Transcript
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Musik
Musik diartikan sebagai ungkapan berasal dari perasaan yang dituangkan
dalam bentuk bunyi-bunyian atau suara, ungkapan yang dikeluarkan melalui suara
manusia disebut vokal, sedangkan ungkapan yang dikeluarkan melalui bunyi alat
musik disebut instrumen (Subagyo, 2006:4). Musik dapat mengekspresikan
perasaan, kesadaran, dan bahkan pandangan hidup manusia (Mulyana, 2005:22).
Oleh karena itu musik merupakan salah satu bentuk komunikasi.
Unsur yang seringkali tertuang dalam musik adalah lirik lagu. Lirik adalah
teks atau kata-kata dalam lagu (Soeharto, 1992:72). Di dalamnya terdapat praktik
yang berkaitan dengan penggunaan bahasa. Bahasa merupakan arena politik
tempat bertemunya berbagai kepentingan, sebagai arena bertarung yang saling
tarik menarik, yang tujuan akhirnya adalah untuk saling mempengaruhi, saling
mendominasi, hegemoni dan hegemoni tandingan, menguasai atau melawan oleh
satu kelompok/orang yang satu terhadap kelompok/orang yang lain.
Halliday (1978:1) merumuskan bahwa language is a shared meaning
potential, at once both a part of experience and an intersubjective interpretation
of experience. Jadi, dalam level yang amat konkret, bahasa itu tidak hanya berisi
kalimat-kalimat, tetapi bahasa itu berisi teks atau wacana, yakni pertukaran makna
(exchange of meaning) dalam konteks interpersonal. Mengkaji bahasa hakikatnya
mengkaji teks atau wacana.
2.1.1. Musik Rap
Musik terdiri dari berbagai macam genre. Salah satunya adalah
musik rap. Rap dikenal sebagai MC-ing, spitting, atau rhyming yang berarti
“spoken or chanted rhyming lyrics." Rap merupakan sebuah bentuk musik
dengan berbicara atau rapping, dengan “R” yang berarti rhyme (rima) dan
rhythm dan “P” poetry (puisi), atau untuk beberapa kasus berarti politics
(politik) (Kellner, 2010). Sejarah mencatat gelombang kemunculan musik
rap diawali di Amerika pada medio 1970-an. Pada tahun-tahun tersebut
budaya hip hop kulit hitam urban mengembangkan berbagai bentuk musik,
tarian, dan nyanyian baru yang sesuai dengan pengalaman dan budaya
masyarakat Afrika-Amerika seperti grafiti urban, tarian break-dance, radio
kulit hitam, adegan klub dengan D.J yang melakukan sampling, scratching,
dan punch-phrasing, dan tak ketinggalan tentu saja rap. Di Amerika Rap
dikenal sebagai sarana berekspresi berbagai pengalaman dan kondisi
masyarakat kulit hitam yang hidup dalam kondisi wilayah kumuh dan sarat
kekerasan. Orang-orang kulit hitam, dan sampai tingkat tertentu masyarakat
kelas bawah, adalah warga negara kelas dua yang tidak memiliki hak suara,
dididik di sekolah-sekolah yang kurang memenuhi standar, dan menerima
upah yang lebih rendah dibanding orang kulit putih pada pekerjaan yang
sama. Dengan latar belakang ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi
di sekitar ruang kehidupan mereka, rap menjadi sarana ekspresi politik
yang menyuarakan kemarahan masyarakat Afrika-Amerika dalam
menghadapi penindasan yang makin meningkat dan merosotnya
kesempatan untuk maju.
2.2 Wacana
Menurut Douglas dalam Mulyana (2005:3), istilah wacana berasal dari
bahasa Sansekerta wac/wak/vak, yang artinya berkata, berucap. Kata tersebut
kemudian mengalami perubahan bentuk menjadi wacana. Hampir senada dengan
pendapat Douglas, menurut Poerwadarminta kata wacana berasal dari kata vacana
‘bacaan’ dalam bahasa Sansekerta. Kata vacana itu kemudian masuk ke dalam
bahasa Jawa Kuna dan bahasa Jawa Baru wacana atau vacana atau’ bicara, kata,
ucapan’. Kata wacana dalam bahasa baru itu kemudian diserap ke dalam bahasa
Indonesia menjadi wacana ‘ucapan, percakapan, kuliah’ (Poerwadarminta 1976:
1144).
Ada pula yang memandang wacana sebagai satuan bahasa yang lengkap.
Kridalaksana dalam Yoce (2009: 69) membahas bahwa wacana adalah satuan
bahasa terlengkap dalam hierarki gramatikal tertinggi dan merupakan satuan
gramatikal yang tertinggi atau terbesar. Wacana dimengerti sebagai satuan lingual
(linguistic unit) yang berada di atas tataran kalimat (Baryadi, 2002:2). Istilah
wacana sering disamakan dengan istilah discourse (diskursus). Kata discourse itu
diturunkan dari kata discurrere. Bentuk discurrere itu merupakan gabungan dari
dis dan currere, ‘lari, berjalan kencang’ (Wabster dalam Baryadi, 2002:1). Secara
terbatas, istilah ini menunjuk pada aturan-aturan dan kebiasaan-kebiasaan yang
mendasari penggunaan bahasa baik dalam komunikasi lisan maupun tulisan.
Secara lebih luas, istilah wacana menunjuk pada bahasa dalam tindakan serta
pola-pola yang menjadi ciri jenis-jenis bahasa dalam tindakan.
Discourse is a term used in linguistics to describe the rules and conventions underlying the use of language in extended stretches of text, spoken and writen. (Such an academic study is referred to as discourse analysis). The term is also used as a convenient general term to refer to language in action and the patterns which characteristise particular types of language in action (Carter, 1997).
Fairclough (1995), lebih melihat wacana sebagai sebagai sebuah tindakan.
Wacana mengandung konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh yang bisa
dipahami pembaca atau pendengar tanpa keraguan apapun (Chaer, 2007:267). Hal
itu mengandung implikasi bahwa wacana merupakan sesuatu yang bertujuan,
entah untuk memengaruhi, membujuk, menyanggah, dan sebagainya. Wacana
merupakan sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu
yang di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran. Praktik berwacana,
karena itu, tidak hanya bertujuan menyampaikan pesan, tetapi juga untuk
memperjuangkan kepentingan.
2.3 Analisis Wacana Kritis (AWK)
Pada dasarnya analisis wacana adalah suatu disiplin ilmu yang berusaha
mengkaji penggunaan bahasa yang nyata dalam komunikasi. Seperti dalam
pendapat Stubbs (1983:1), ia mengatakan bahwa analisis wacana merupakan suatu
kajian yang meneliti dan menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah,
baik lisan maupun tulis, misalnya pemakaian bahasa dalam komunikasi sehari-
hari. Analisis wacana menekankan kajiannya pada penggunaan bahasa dalam
konteks sosial, khususnya dalam penggunaan bahasa antar penutur. Jadi, analisis
wacana bertujuan untuk mencari keteraturan bukan kaidah, yaitu hal-hal yang
berkaitan dengan keberterimaan penggunaan bahasa di masyarakat secara realita
dan cenderung tidak merumuskan kaidah bahasa seperti dalam tata bahasa.
Kartomiharjo (1999:21) mengungkap bahwa analisis wacana merupakan
cabang ilmu bahasa yang dikembangkan untuk menganalisis suatu unit bahasa
yang lebih besar daripada kalimat. Analisis wacana lazim digunakan untuk
menemukan makna wacana yang persis sama atau paling tidak hampir sama
dengan makna yang dimaksud oleh pembicara dalam wacana lisan, atau oleh
penulis dalam wacana tulis.
Terdapat tiga macam paradigma dalam pendekatan analisis wacana, yaitu
paradigma positivis-empiris (positivisme), konstruksionis, dan kritis. Pandangan
pertama disebut positivisme-empiris yang melihat bahasa sebagai jembatan antara
manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap
dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendali
atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai pernyataan-pernyataan yang
logis, sintaksis dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu
ciri dari pemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Dalam
kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari pemahaman ini adalah
orang tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari
pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan
secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantic (Eriyanto, 2001:4).
Pandangan kedua, disebut sebagai konstruktivisme. Aliran ini menolak
pandangan positivisme-empiris yang memisahkan subjek dan objek bahasa.
Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat
untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai
penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor
sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya, dalam hal ini,
seperti dikatakan A.S Hikam, subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol
terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa dipahami dalam
paradigma ini diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan.
Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni
tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri dari sang pembicara, oleh
karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk
membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu (Eriyanto, 2001:5).
Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Pandangan ini ingin
mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi
dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Seperti
ditulis A.S. Hikam, pandangan konstruktivisme masih belum menganalisis wacana
yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu
berikut perilaku-perilakunya. Analisis wacana tidak dipusatkan pada
kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada
analisis konstruktivisme. Analisis wacana menekankan pada konstelasi kekuatan
yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa tidak dipahami
sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami
sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema
wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Analisis wacana dipakai
untuk membongkar kuasa yang ada di dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan
apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa
yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan
kekuasaan, karena menggunakan paradigma kritis, analisis wacana kategori ini
disebut juga dengan analisis wacana kritis (AWK) (Eriyanto, 2001:7).
Studi analisis wacana kritis tidak melihat studi wacana sebagai studi
bahasa semata. Bahasa tidak hanya dianalisis dalam aspek kebahasaan, namun
juga melihat konteks. Konteks di sini berarti bahasa dipakai untuk tujuan dan
praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan (Eriyanto, 2001:7).
Terdapat lima karakteristik penting dari analisis wacana kritis :
1. Tindakan
Prinsip pertama, wacana dipahami sebagai sebuah tidakan (action).
Dengan pemahaman semacam ini wacana ditempatkan sebagai bentuk
interaksi, wacana bukan ditempatkan seperti dalam ruang tertutup internal.
Bahwa seseorang berbicara atau menulis mempunyai maksud tertentu, baik
besar maupun kecil. Selain itu wacana dipahami sebagai sesuatu bentuk
ekspresi sadar dan terkontrol, bukan sesuatu diluar kendali ataupun ekspresi
diluar kesadaran.
2. Konteks
Analsis wacana kritis memperhatikan konteks dari wacana, seperti latar,
situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana dipandang, diproduksi, dimengerti, dan
dianalisis pada suatu konteks tertentu. Wacana dianggap dibentuk sehingga
harus ditafsirkan dalam situasi dan kondisi yang khusus. Wacana kritis
mendefinisikan teks dan percakapan pada situasi tertentu, bahwa wacana
berada dalam situasi sosial tertentu.
3. Historis
Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu, berarti wacana
diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa
menyertakan konteks yang menyertainya. Salah satu aspek penting untuk bisa
mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana dalam konteks historis
tertentu.
4. Kekuasaan
Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan (power)
dalam analisisnya. Bahwa setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks,
percakapan, atau apa pun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah,
wajar dan netral, tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep
kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dengan
masyarakat.
5. Ideologi
Ideologi juga konsep yang sentral dalam analisis wacana yang bersifat
kritis. Hal ini karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik
ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Teori-teori klasik tentang
ideologi di antaranya mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok
yang dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi
mereka.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa analisis
wacana kritis adalah sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi
penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial). AWK memiliki agenda untuk
mengungkap ‘yang tersembunyi’ di balik wacana/diskursus tertentu dalam
masyarakat.
2.4 Analisis Wacana Kritis Model Norman Fairclough
Seperti Van Dijk, analisis Norman Fairclough didasarkan pada pertanyaan
besar, bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat
yang makro. Fairclough berusaha membangun suatu model analisis wacana yang
mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya, sehingga ia
mengkombinasikan tradisi analisis tekstual yang selalu melihat bahasa dalam
ruang tertutup dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Titik perhatian besar
dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan (Eriyanto,
2003:285). Dalam analisis wacananya, Fairclough memusatkan perhatian pada
bahasa. Pemakaian bahasa dalam suatu wacana dipandangnya sebagai sebuah
praktik sosial. Model analisis wacana kritis Fairclough berfokus pada bagaimana
bahasa dalam suatu wacana terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan konteks
sosial tertentu (Fairclough, 1995).
Dalam model Fairclough analisis wacana dibagi dalam tiga dimensi, yaitu
teks (text), praktik wacana (discourse practice), dan praktik sosiokultural
(sociocultural practice). Teks dianalisis secara linguistik dengan melihat kosakata,
semantik, tata kalimat, koherensi, dan kohesivitas. Analisis linguistik tersebut
dilakukan untuk melihat tiga unsur dalam teks, yaitu representasi, relasi, dan
identitas. Yang ingin dilihat dalam elemen representasi adalah bagaimana orang,
peristiwa, kelompok, atau apapun ditampilkan dan digambarkan di dalam teks.
Representasi dapat dilihat dari tiga hal, yaitu representasi dalam anak kalimat.
representasi dalam kombinasi anak kalimat dan representasi dalam rangkaian
antar kalimat. Berikut penjelasannya :
1. Representasi Dalam Anak Kalimat
Menurut Fairclough ketika seseorang, peristiwa, kelompok, atau apapun
ditampilkan dan digambarkan di dalam teks, pemakai bahasa dihadapkan pada
beberapa pilihan yaitu kosa kata, metafora, dan tata bahasa. Pilihan kosakata
yang dipakai terutama berhubungan dengan bagaimana peristiwa, seseorang,
kelompok, atau kegiatan tertentu dikategorikan dalam suatu set tertentu. Kosa
kata ini sangat menentukan karena berhubungan dengan pertanyaan
bagaimana realitas ditandakan dalam bahasa dan bagaimana bahasa itu
memunculkan realitas bentukan tertentu.
Selanjutnya adalah pilihan metafora. Menurut Fairclough metafora
merupakan kunci bagaimana realitas ditampilkan dan dibedakan dengan yang
lain. Metafora bukan hanya soal keindahan literer, tetapi dapat juga
menentukan apakah realitas itu dimaknai atau dikategorikan sebagai positif
atau negatif.
Terakhir adalah pilihan tata bahasa. Analisis Fairclough terutama
dipusatkan pada apakah tata bahasa ditampilkan dalam bentuk proses ataukah
bentuk partisipan. Dalam bentuk proses apakah peristiwa, seseorang,
kelompok, atau kegiatan, ditampilkan sebagai tindakan, peristiwa, keadaan,
ataukah proses mental. Ini terutama didasarkan pada bagaimana suatu tindakan
hendak digambarkan.
2. Representasi dalam Kombinasi Anak Kalimat
Pada dasarnya realitas terbentuk lewat bahasa dengan gabungan antara
satu anak kalimat dengan anak kalimat yang lain. Gabungan antar anak
kalimat ini akan membentuk koherensi lokal, yakni pengertian yang didapat
dari gabungan anak kalimat satu dengan yang lain, sehingga kalimat itu
mempunyai arti. Koherensi pada titik tertentu menunjukkan ideologi dari
pemakai bahasa. Koherensi antar anak kalimat biasanya berbentuk elaborasi
(menggunakan kata penghubung “yang”, “lalu”, atau “selanjutnya”),
perpanjangan (menggunakan kata penghubung “dan”, “akan tetapi”),
mempertinggi (menggunakan kata penghubung “karena”).
3. Representasi dalam Rangkaian Antar Kalimat
Aspek ini berhubungan dengan bagaimana dua kalimat atau lebih disusun
dan dirangkai. Aspek ini melihat bagian mana dalam kalimat yang lebih
menonjol dibandingkan dengan bagian yang lain. Di antara rangkaian antar
kalimat biasanya terdapat pengait antar paragraf seperti ungkapan penghubung
transisi, kata ganti, dan kata kunci.
Selain analisis di atas dalam dimensi teks terdapat pula analisis relasi yang
melihat bagaimana hubungan antara pencipta teks dengan partisipan. Kemudian
analisis identitas yang melihat bagaimana pencipta teks menempatkan dan
mengidentifikasi dirinya dengan masalah atau kelompok sosial yang terlibat. Lalu
intertekstualitas, yaitu kesaling terkaitan antar teks. Bagi Fairclough sebuah teks
dibentuk oleh teks yang datang sebelumnya. Artinya tidak teks yang benar-benar
baru. Setiap teks yang tercipta selalu mengandung teks yang lain yang pernah ada
sebelumnya baik secara interisit ataupun eksplisit.
Dimensi kedua, praktik wacana (discourse practice), merupakan dimensi
yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Dalam dimensi ini
kajian berfokus pada proses produksi yang dilakukan penulis (pembuat teks)
dengan berbagai nilai ideologis yang mendasarinya hingga menghasilkan sebuah
teks dan proses konsumsi yang dilakukan pembaca secara personal (berdasarkan
interpretasi, konteks, dan latar belakang pengetahuan tertentu) ketika
mengonsumsi sebuah teks.
Dimensi yang terakhir adalah praktik sosiokultural (sociocultural practice)
merupakan dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks. Konteks di
sini berupa praktik institusi pembuat teks, yaitu media, yang dipengaruhi
masyarakat, budaya, atau politik tertentu. Dengan kata lain ideologi yang
dipegang oleh media tertentu. Dalam kaitannya dengan penelitian ini konteks
dapat dilihat dari ideologi dari Homicide juga kondisi-kondisi yang
melatarbelakangi lahirnya teks.
Analisis wacana kritis milik Fairclough melihat teks yang memiliki
konteks baik pada level produksi, interpretasi, dan praktik sosiokultural. Dengan
demikian, untuk memahami wacana (naskah/teks) kita tak dapat melepaskan dari
konteksnya. Untuk menemukan ”realitas” di balik teks kita memerlukan
penelusuran atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya
yang mempengaruhi pembuatan teks. Proses pengumpulan data yang multilevel
dalam CDA Fairlough ini secara sederhana diperlihatkan dalam tabel dibawah ini:
Tabel 2.1. Skema Analisis dan Teknik Pengumpulan Data
No. Level Masalah Level Analisis Teknik Pengumpulan Data1 Praktik
Sosiokultural
Makro Literatur dibantu dengan depth
interview dengan pakar sosial
politik.2 Praktik Wacana Meso Depth interview dengan
pengelola media (dalam
penelitian ini dengan pencipta
lagu).3 Teks Mikro Teks elektif.Sumber : (Hamad, 48:2004)
2.5 Gerakan Sosial
Pada umumnya gerakan sosial merupakan istilah yang dipakai untuk
menyebut sebuah gerakan perlawanan. Eric Hobsbawn, Sosiolog asal Amerika
adalah seorang yang melakukan penelitian tentang gerakan sosial sebagai gerakan
perlawanan (primitive rebels). Penelitian Hobsbawn kemudian dibukukan dengan
judul Primitive Rebels : Studies in Archaic Forms of Social Movements in the
Nineteenth and Twentieth Centuries. Akan tetapi kajian awal Hobsbawn tentang
gerakan sosial memiliki satu kelemahan. Satu kelemahan tersebut adalah terlalu
luasnya pengertian gerakan sosial, yaitu mencakup segala sesuatu mulai dari
kerusuhan yang berlangsung hanya beberapa jam hingga organisasi perlawanan
yang permanen mulai dari carbonari (organisasi politik rahasia revolusioner abad
ke-19 di Italia, Perancis, dan Spanyol) dan mafia (Burke, 2003:132).
Studi awal gerakan sosial juga masih memandang gerakan sosial sebagai
sesuatu yang negatif. Gerakan sosial dianggap sebagai sebuah gejala
penyimpangan (deviant), irasional, dan dianggap penyakit sosial. Pandangan ini
terkait dengan pendekatan fungsionalisme atau sering juga disebut sebagai
“fungsionalisme struktural”. Fungsionalisme melihat masyarakat dan pranata
sosial sebagai sistem di mana seluruh bagian saling bergantung satu sama lain dan
bekerja bersama guna menciptakan keseimbangan. Dengan demikian
keseimbangan merupakan unsur kunci dalam fungsionalisme. Oleh karena itu
gerakan sosial dalam perspektif struktural fungsionalisme cenderung dilihat
sebagai disfungsi yakni aktivitas yang menimbulkan konflik dan mengganggu
keseimbangan. Baru pada studi yang berkembang tahun 1960-an hingga 1970-an,
dan 1980-an hingga sekarang gerakan sosial dipandang sebagai gejala positif yang
kelahirannya didasari oleh alasan-alasan rasional (Sadikin, 2005). Gerakan sosial
dipandang sebagai bagian dari dinamika internal masyarakat atau sebagai sarana
konstruktif bagi perubahan sosial. Pendekatan ini merupakan alternatif terhadap
fungsionalisme, yang dikenal sebagai teori konflik. Teori konflik pada dasarnya
menggunakan tiga asumsi dasar, yaitu: pertama, rakyat dianggap memiliki
sejumlah kepentingan dasar dimana mereka akan berusaha secara keras untuk
memenuhinya. Kedua, kekuatan adalah inti dari struktur sosial dan ini melahirkan
perjuangan untuk mendapatkannya dan yang terakhir, nilai dan gagasan adalah
senjata konflik yang digunakan oleh berbagai kelompok untuk mencapai tujuan
masing-masing, ketimbang sebagai alat mempertahankan identitas dan
menyatukan tujuan masyarakat (Fakih, 1996). Studi gerakan sosial ini juga diikuti
dengan beragam praktik gerakan sosial di seluruh dunia seperti misalnya gerakan
antiperang vietnam di Amerika, gerakan sosial meminta pembaruan agraria,
gerakan sosial menjatuhkan rezim diktator, gerakan buruh di negara-negara
berkembang meminta kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja, gerakan
antipembangunan, gerakan perempuan dan gerakan lingkungan hidup. Dalam
konteks penelitian ini, penulis meyakini gerakan sosial sebagai dinamika
masyarakat yang mengarahkan tujuan pada terciptanya perubahan.
Gerakan sosial sendiri memiliki bermacam definisi. Michael Useem dalam
Wiktorowicz (2007) mendefinisikan gerakan sosial sebagai “tindakan kolektif
terorganisasi, yang dimaksudkan untuk mengadakan perubahan sosial.” John
McCarthy dan Mayer Zald melangkah lebih rinci, dengan mendefinisikan gerakan
sosial sebagai “upaya terorganisasi untuk mengadakan perubahan di dalam
distribusi hal-hal apa pun yang bernilai secara sosial”. Sedangkan Charles Tilly
menambahkan corak perseteruan (contentious) atau perlawanan di dalam interaksi
antara gerakan sosial dan lawan-lawannya. Dalam definisinya, gerakan-gerakan
sosial adalah “upaya-upaya mengadakan perubahan lewat interaksi yang
mengandung perseteruan dan berkelanjutan di antara warganegara dan negara.
David Meyer dan Sidney Tarrow (1998:4) dalam Wiktorowicz (2007),
memasukkan semua ciri yang sudah disebutkan di atas dan mengajukan sebuah
definisi yang lebih inklusif tentang gerakan sosial, yakni: “Tantangan-tantangan
bersama, yang didasarkan atas tujuan dan solidaritas bersama, dalam interaksi
yang berkelanjutan dengan kelompok elite, saingan atau musuh, dan pemegang
otoritas”.
Terdapat dua ciri umum yang muncul dalam pengertian gerakan sosial.
Pertama, gerakan-gerakan sosial melibatkan “tantangan kolektif”, yakni upaya-
upaya terorganisasi untuk mengadakan perubahan di dalam aransemen-aransemen
kelembagaan. Ciri yang kedua adalah corak politis yang inheren di dalam
gerakan-gerakan sosial. Ini terutama terkait dengan tujuan-tujuan yang hendak
dicapai lewat gerakan-gerakan sosial, yang secara tipikal mencakup perubahan di
dalam distribusi kekuasaan dan wewenang.
Gerakan-gerakan sosial adalah bentuk paling modern dari politik
perseteruan (contentious politics), yang terjadi “ketika orang-orang biasa, sering
kali dalam kerja sama dengan warga negara yang lebih berpengaruh, bersama-
sama menggalang kekuatan dalam konfrontasi kolektif mereka melawan
kelompok elite, pemegang otoritas, dan musuh-musuh politik (Tarrow:1998)”.
Tidak semua bentuk perlawanan yang terjadi bisa disebut sebagai gerakan
sosial. Bagi Tarrow, konsep gerakan sosial harus memiliki empat properti
mendasar, yaitu :
1. Tantangan Kolektif
2. Tujuan Bersama
3. Solidaritas dan Identitas Kolektif
4. Memelihara Politik Perlawanan
2.5.1. Gerakan Sosial Baru
Gerakan sosial baru merupakan istilah yang umum digunakan
untuk menyebut fenomena gerakan sosial yang muncul sejak pertengahan
tahun 1960-an terutama di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan
negara-negara Eropa Barat yang telah memasuki era ekonomi pasca-
industrial. Ini berarti bahwa wacana tentang gerakan sosial baru bermula di
negara-negara maju sebagai bagian dari konteks perkembangan peradaban
mereka (Suharko, 2006:8).
Para ahli ilmu sosial melihat gerakan sosial baru sebagai pertama,
tipe gerakan sosial yang memiliki tampilan baru dan bahkan mungkin
unik. Kedua, akumulasi pengetahuan yang dihasilkan dari riset tentang
gerakan sosial baru telah membawa gerakan sosial baru kepada status
sebagai suatu paradigma (cara pandang terhadap suatu subyek
permasalahan) dalam memahami kenyataan sosial itu sendiri (Pichardo,
1997, Singh, 2001). Status yang masih membawa perdebatan di kalangan
intelektual ilmu sosial. Akan tetapi dalam tulisan ini penulis tidak akan
memasuki ranah tersebut. Tulisan ini lebih merujuk kepada pemahaman
yang menempatkan gerakan sosial baru sebagai tipe (tambahan) gerakan
sosial. Gerakan sosial baru dilihat sebagai kisah tambahan yang muncul
belakangan dalam episode yang disebut gerakan sosial (the repertoire of
social movements) (Pichardo, 1997:425). Singh (2001) mengatakan bahwa
gerakan sosial baru pada dasarnya merupakan bentuk respon terhadap
hadir dan menguatnya dua institusi yang menerobos masuk ke hampir
semua relung kehidupan warga yakni negara (the state) dan pasar (the
market), karena itu gerakan sosial baru membangkitkan isu “pertahanan
diri” komunitas dan masyarakat untuk melawan ekspansi aparat negara
dan pasar yang makin meningkat (Suharko, 2006). Dengan kata lain
gerakan sosial baru melawan tata sosial dan kondisi yang didominasi oleh
negara dan pasar dan menyerukan sebuah kondisi yang lebih adil.
Gerakan sosial baru memiliki perbedaan yang signifikan
dibandingkan gerakan sosial lama/klasik/tradisional. Gerakan sosial lama
biasanya dicirikan secara kuat oleh tujuan ekonomis-material seperti
tercermin dari gerakan kaum buruh. Sedangkan gerakan sosial baru
menanggalkan tujuan tersebut. Gerakan sosial baru lebih berfokus pada
tujuan-tujuan non-material. Dengan kata lain, apabila gerakan sosial lama
berorientasi pada perjuangan kelas, dengan semboyan anti-kapitalisme,
revolusi kelas, perjuangan kelas, gerakan sosial baru tampil sebagai
perjuangan lintas kelas. Gerakan sosial baru tidak lagi mengikuti model
pengorganisasian serikat buruh industri dan model politik kepartaian.
Gerakan ini lebih memilih saluran diluar politik normal, menerapkan taktik
yang mengganggu (distruptive) dan memobilisasi opini publik untuk
mendapatkan daya tawar politik (Suharko, 2006:10).
Gerakan sosial baru memilih model politik akar rumput,
memprakarsai gerakan-gerakan mikro pada kelompok-kelompok kecil, dan
membidik isu-isu lokal dengan sebuah dasar institusi yang dibatasi.
Merujuk pada Cohen (dalam Singh, 2001) Gerakan sosial baru umumnya
membidik dan merespon isu-isu yang bersumber dari civil society daripada
perekonomian dan negara. Mereka berjuang untuk otonomi, pluralitas dan
keberbedaan; melakukan upaya sadar untuk belajar dari pengalaman masa
lalu untuk merelatifkan nilai-nilai mereka melalui penalaran, dan
mempertimbangkan keberadaan formal negara dan ekonomi pasar, dan
tidak lagi berjuang untuk komunitas-komunitas utopia yang tidak
terjangkau di masa lalu. Karena itu dalam pandangan Cohen tujuan
gerakan sosial baru adalah menata kembali hubungan negara, masyarakat
dan perekonomian, dan untuk menciptakan ruang publik yang di dalamnya
wacana demokratis tentang otonomi dan kebebasan individual,
kolektifitas, serta identitas dan orientasi bisa didiskusikan dan selalu
diperiksa.
2.6 Kerangka Pikir
Penelitian
Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough :
Analisis Teks (representasi, relasi, identitas)Analisis Praktik Wacana (produksi dan konsumsi teks)Analisis Sosiokultural (konteks)
Wacana Lagu Puritan (God
Blessed Fascists)
Homicide
Lagu Puritan (Godblessed
Fascists)
Gerakan Sosial Baru
Salah satu bentuk ekspresi budaya adalah lagu. Sebuah lagu memiliki
berbagai macam fungsi, salah satunya sebagai ekspresi protes. Contohnya adalah
lagu yang berjudul Puritan. Puritan merupakan lagu yang diciptakan Homicide
pada tahun 2001. Lagu ini bercerita tentang aksi sweeping buku, pembakaran
buku dan pengrusakan markas aktivis oleh ormas yang tergabung dalam
organisasi Aliansi Anti Komunis. Di dalam lagu ini Homicide menceritakan aksi
sweeping dalam bahasa mereka sendiri. Permainan bahasa yang digunakan
Homicide tentunya memiliki tujuan tertentu. Melalui bingkai analisis wacana
kritis peneliti akan mencoba melihat wacana dibalik teks lagu Puritan. Penelitian
ini juga bertujuan untuk melihat ideologi yang melatarbelakangi Homicide dalam
membuat karya-karyanya.
top related