BAB II KAJIAN PUSTAKA · 2016. 8. 15. · 8 4) Ketrampilan interpersonal dan kelompok kecil (interpesonal and small group skill), ketrampilan siswa menyampaikan ide, pendapat, gagasan
Post on 31-Jan-2021
6 Views
Preview:
Transcript
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)
Muhamad Nur dalam Gatot (2007: 1.24) mengemukakan bahwa menurut
teori konstruktivis berlandaskan pada teori Vygotsky yang telah digunakan dalam
menunjang metode pengajaran yang menekankan pada pembelajaran kooperatif,
pembelajaran berbasis proyek dan penemuan atau inkuiri. Menurut teori ini pula,
Budiningsih dalam Gatot (2007 : 1.25) berpendapat bahwa pengetahuan bukanlah
kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai
konstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun
lingkungannya. Oleh karena itu, pembelajaran kooperatif ini diperlukan dalam
kegiatan pembelajaran untuk mengkonstruksi siswa dalam memahami konsep,
fakta ataupun hal- hal baru melalui pengalaman maupun lingkungannya untuk
mencapai tujuan belajar.
Menurut Depdiknas dalam Komalasari (2010: 62) mengemukakan bahwa
pembelajaran kooperatif merupakan merupakan pembelajaran yang dilakukan
melalui kelompok- kelompok kecil untuk menciptakan adanya interaksi antar
siswa untuk mencapai tujuan belajar. Sejalan dengan itu, Bern dan Erickson
(Komalasari, 2010: 62) menyatakan bahwa cooperative learning merupakan
strategi pembelajaran yang mengorganisir pembelajaran dengan kelompok belajar
kecil di mana siswa bekerjasama untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pendapat
tersebut juga diperkuat dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sugiyarto (2010:
37) bahwa pembelajaran kooperatif merupakan pendekatan pembelajaran yang
berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam
memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar. Dapat dilihat
bahwa yang menjadi pokok dalam pembelajaran kooperatif ini adalah adanya
penggunaan kelompok- kelompok kecil yang bertujuan agar siswa dapat saling
berinteraksi dengan siswa lain untuk bekerjasama sehingga dapat memaksimalkan
tercapainya tujuan belajar yang diharapkan. Suprihatiningrum (2013: 191) juga
7
sependapat dengan ahli- ahli sebelumnya yang menyatakan bahwa pembelajaran
kooperatif (cooperative learning) mengacu pada model pembelajaran di mana
siswa berkerja sama dalam kelompok kecil dan saling membantu. Tugas dari
anggota- anggota kelompok kecil ini adalah menyelesaikan tugas- tugas kelompok
dalam memahami dan mempelajari materi itu sendiri. Dengan adanya kelompok
ini akan melatih ketrampilan siswa secara khusus dalam bekerja sama dalam
anggota kelompok dengan baik.
Lie dalam Sugiyarto (2010) menyampaikan ada beberapa elemen-
elemen dalam pembelajaran kooperatif yaitu :
1) Saling ketergantungan positif yang dapat menciptakan suasana yang mendorong siswa saling membutuhkan.
2) Interaksi tatap muka. Memaksa siswa saling tatap muka dalam kelompok sehingga mereka dapat berdialog.
3) Akuntabilitas individual. Penilaian ditujukan untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap materi pelajaran secara individual
dan hasil tersebut disampaikan guru dalam kelompok.
4) Ketrampilan menjalin hubungan antar pribadi seperti ketrampilan sosial misalnya rasa, sikap, sopan terhadap teman,
mengkritik ide dan bukan mengkritik teman, dan menjalin
hubungan antar pribadi.
Sedangkan menurut Johnson & Johnson dalam Suprihatiningrum (2013:
194), mengemukakan terdapat lima unsur penting dalam belajar koopertif, yaitu :
1) Saling ketergantungan secara positif (positif independence), bahwa siswa merasa dirinya merupakan bagian dalam
kelompok yang sedang bekerja sama untuk mencapai tujuan
dan terikat dengan yang lain. Sehingga dalam kerja sama
tersebut, keberhasilan akan dirasakan semua anggota dalam
kelompok bukan hanya seorang.
2) Interaksi tatap muka semakin meningkat (face to face promotive interaction), model pembelajaran ini akan
meningkatkan interaksi antar siswa. Kegagalan seorang akan
mempengaruhi keberhasilan kelompok, sehingga dengan
interaksi dan tatap muka antar anggota kelompok akan saling
membantu.
3) Tanggung jawab individual (induvidual accountability/ personal responsibility), siswa tidak hanya sekedar
“membonceng” keberhasilan dalam kelompok namun benar-
benar membantu keberhasilan kelompok. Hal tersebut dapat
ditunjukkan dengan partisipasi aktifnya dalam kelompok.
8
4) Ketrampilan interpersonal dan kelompok kecil (interpesonal and small group skill), ketrampilan siswa menyampaikan ide,
pendapat, gagasan dan hal- hal lain dalam kelompok dengan
ketrampilan khususnya.
5) Proses kelompok (group processing), proses ini sangat penting dalam kegiatan kooperatif, dan proses ini terjadi jika anggota
kelompok mendiskusikan bersama untuk mencapai tujuan yang
baik dan demi kerja sama yang baik pula dalam kelompok.
Beberapa unsur dan ciri- ciri pembelajaran kooperatif tersebut harus
dilaksanakan untuk mencapai hasil yang maksimal dalam pembelajaran. Hal
tersebut juga menjadi keunggulan dari pembelajaran kooperatif dibandingkan
dengan pembelajaran tradisional atau konvensional. Dengan penggunaan
pembelajaran kooperatif, siswa tidak akan cepat bosan dengan kegiatan
pembelajaran tetapi sebaliknya, akan membuat mereka semakin antusias,
termotivasi dan aktif dalam pembelajaran. Menurut Ibrahim dkk
(Suprihatiningrum, 2013: 192) terdapat 6 langkah atau tahapan di dalam pelajaran
yang menggunakan pembelajaran kooperatif seperti pada tabel berikut :
9
Langkah- langkah Model Pembelajaran Kooperatif
Fase Tingkah laku Guru
Fase – 1
Menyampaikan tujuan dan
motivasi siswa
Guru menyampaikan semua tujuan
pelajaran yang ingin dicapai pada
pelajaran tersebut dan memotivasi siswa
belajar.
Fase – 2
Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada
siswa dengan jalan demonstrasi atau
lewat bahan bacaaan.
Fase – 3
Mengorganisasikan siswa
ke dalam kelompok-
kelompok belajar
Guru menjelaskan kepada siswa
bagaimana caranya membentuk
kelompok belajar dan membantu setiap
kelompok agar melakukan transisi
secara efisien.
Fase – 4
Membimbing kelompok
bekerja dan belajar
Guru membimbing kelompok-
kelompok belajar pada saat mereka
mengerjakan tugas mereka.
Fase – 5
Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang
materi yang telah dipelajari atau masing-
masing kelompok mempresentasikan
hasil kerjanya.
Fase – 6
Memberikan penghargaan
Guru mencari cara- cara untuk
menghargai, baik upaya maupun hasil
belajar individu dan kelompok.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
kooperatif merupakan strategi yang digunakan untuk membantu mengkonstruksi
siswa dalam memahami hal- hal baru melalui pengalaman dan lingkungannya
dengan bantuan pembentukan kelompok- kelompok kecil yang saling berinteraksi
dan bekerjasama untuk mencapai tujuan belajar yang diharapkan.
10
2.1.1.1 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT (Numbered Head
Together) Dengan Kartu Domino Matematika (Domat)
Numbered Head Together (NHT) atau penomoran berpikir bersama
merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi
pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional
(Trianto, 2007: 62). Model pembelajaran ini pertama kali dikembangkan oleh
Spenser Kagan (1993) untuk lebih banyak melibatkan siswa dalam mengecek
pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut. Dengan penggunaan model
pembelajaran ini guru akan mengetahui tingkat ataupun pola pemahaman siswa
dalam pelajaran melalui interaksi dan kerjasama yang dilakukan. Untuk
mengetahui tingkat pemahaman tersebut pun, guru dapat memodivikasi kegiatan
pembelajaran yang dilakukan dengan permainan ataupun penggunaan media yang
sesuai dengan materi pelajaran. Kelebihan dari model pembelajaran NHT ini
dalam satu kelompok semua siswa harus memahami tugas dan materi yang
disampaikan guru, karena guru dapat menunjuk setiap siswa dalam kelompok
untuk menyampaikan hasil kerja kelompok. Jadi, semua siswa berpeluang untuk
menyampaikan hasil kerja mereka. Oleh karena itu, setiap siswa dalam kelompok
harus menguasai materi pelajaran karena guru dapat mengajukan pertanyaan
kepada seluruh kelas.
Dalam mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas, guru menggunakan
struktur empat fase sebagai sintaks NHT (Trianto, 2007: 62) yaitu :
1) Fase 1 : Penomoran Dalam fase ini guru membagi siswa ke dalam kelompok yang
terdiri dari 3- 5 orang dan kepada setiap anggota kelompok
diberi nomor antara 1 sampai 5.
2) Fase 2 : Mengajukan Pertanyaan Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan
yang diajukan guru kepada siswa dapat bervariasi. Pertanyaan
tersebut dapat secara spesifik dan dalam bentuk kalimat tanya.
Misalnya, “Berapakah jumlah gigi orang dewasa?” Atau dapat
pula berbentuk arahan misalnya, “Pastikan setiap orang
mengetahui 5 buah ibu kota propinsi yang terletak di Pulau
Sumatera.”
3) Fase 3 : Berpikir Bersama
11
Siswa menyatukan pendapatnya terhadap jawaban pertanyaan
itu dan meyakinkan tiap anggota dalam timnya agar
mengetahui jawaban tim tersebut.
4) Fase 4 : Menjawab Guru memanggil suatu nomor tertentu, kemudian siswa yang
nomornya sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba
menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas.
Secara lebih rinci Komalasari (2010: 62) menjelaskan langkah- langkah
dalam kegiatan pembelajaran menggunakan NHT atau kepala bernomor.
1) Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor.
2) Guru memberikan tugas dan masing- masing kelompok mengerjakannya.
3) Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap anggota kelompok dapat mengerjakannya/
mengetahui jawabannya.
4) Guru memanggil salah satu nomor siswa dan nomor yang dipanggil melaporkan hasil kerja sama mereka.
5) Tanggapan dari teman yang lain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain.
6) Kesimpulan.
Seperti yang telah diuraikan mengenai model pembelajaran kooperatif
tipe NHT (Numbered Head Together), bahwa model pembelajaran ini membantu
mengkonstruksi siswa dalam kegiatan pembelajaran dengan mengelompokkan
siswa. Kelompok yang dibentuk ini tidak hanya sekedar kelompok biasa, namun
bertujuan agar setiap siswa saling berkomunikasi, bekerjasama dan berinteraksi
secara utuh dalam memahami pelajaran yang disampaikan. Selain itu, untuk
memotivasi siswa aktif dalam kegiatan pembelajaran, setiap siswa dalam
kelompok harus dapat menguasai materi yang diberikan guru, karena guru dapat
meminta setiap siswa untuk mewakili kelompok dalam menjawab pertanyaan dari
guru berdasarkan nomor yang ditunjuk oleh guru. Oleh karena itu, kelebihan dari
pembelajaran model NHT ini bahwa setiap siswa dalam kelompok turt
berpartisipasi aktif untuk mencapai tujuan belajar.
Model pembelajaran ini, yaitu Number Heads Together (NHT) akan
dilengkapi dengan kartu domino matematika, yang nantinya akan membantu
pendidik atau guru dalam menyampaikan informasi kepada siswa. penggunaan
12
media ini bertujuan untuk membantu siswa dalam memahami materi yang
disampaikan, dan juga agar siswa lebih terfokus dalam kegiatan pembelajaran.
Pada dasarnya penggunaan kartu domino matrmatika (domat) ini seperti halnya
kartu domino pada umumnya. Namun, yang membedakan adalah pada kartu
domino terdapat bulatan- bulatan merah, namun yang digunakan pada kartu domat
ini adalah kartu domino yang bertuliskan materi itu sendiri, yaitu bilangan
Romawi.
2.1.1.2 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS (Think Pair Share) Dengan
Kartu Domino Matematika (Domat)
Model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think Pair Share) atau berpikir
berpasangan berbagi merupakan jenis strategi pembelajaran yang dirangcang
untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Strategi Think Pair Share berkembang
dari penelitian dan belajar kooperatif dan waktu tunggu. Hal ini pertama kali
dikembangkan oleh Frang Lyman dan koleganya di Universitas Maryland sesuai
yang dikutip Arends (1997), yang menyatakan bahwa TPS (Think Pair Share)
merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi
kelas (Trianto, 2007: 61). Prosedur yang digunakan dalam Think Pair Share
adalah memberikan siswa lebih banyak waktu untuk berpikir, untuk merespon dan
saling membantu. Guru memperkirakan hanya melengkapi penyajian singkat atau
siswa membaca tugas, atau situasi yang menjadi tanda tanya. Sekarang guru
menginginkan siswa mempertimbangkan lebih banyak apa yang telah dijelaskan
dan dialami. Guru memilih menggunakan Think Pair Share untuk
membandingkan tanya jawab kelompok keseluruhan. Dalam melaksanakan
kegiatan ini, guru perlu menggunakan langkah- langkah atau fase sebagai berikut
(Trianto, 2007 : 61) :
1) Langkah 1 : Berpikir (Thinking) Guru mengajukan suatu pertanyaan atau masalah yang dikaitkan
dengan pelajaran, dan meminta siswa menggunakan waktu
beberapa menit untuk berpikir sendiri jawaban atau masalah.
Siswa yang membutuhkan penjelasan bahwa berbicara atau
mengerjakan bukan bagian berpikir.
2) Langkah 2 : Berpasangan (Paring) Selanjutnya guru meminta siswa untuk berpasangan dan
mendiskusikan apa yang telah mereka peroleh. Interaksi selama
13
waktu yang disediakan dapat menyatukan jawaban jika suatu
pertanyaan yang diajukan atau menyatukan gagasan apabila suatu
masalah khusus yang diidentifikasi. Secara normal guru
memberika waktu tidak lebih dari 4 sampai 5 menit untuk
berpasangan.
3) Langkah 3 : (Sharing) Pada langkah akhir, guru meminta pasangan- pasangan untuk
berbagi dengan keseluruhan kelas yang telah mereka bicarakan.
Hal ini efektif untuk berkeliling ruangan dari pasangan ke
pasangan mendapat kesempatan untuk melaporkan. Arends,
(1997) disadur Tjokrodiharjo, (2003).
Kelebihan dari strategi pembelajaran ini setiap siswa diberi waktu untuk
berpikir secara individual terlebih dahulu. Sehingga, ketika setiap siswa diminta
untuk berpasangan setiap siswa sudah memiliki konsep awal terlebih dahulu untuk
mendiskusikan dengan teman dalam pasangannya. Dalam diskusi secara
berpasangan tersebut, siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan yang
menjadi ide, gagasan, pertanyaan ataupun jawaban dari apa yang disampaikan
guru. Kemudian pada kegiatan akhir setiap pasangan berbagi kepada pasangan
yaitu siswa lain di kelas, mengenai hasil dari pemikiran mereka secara
berpasangan. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran yang dilakukan dapat
melibatkan siswa secara aktif dan berpusat pada siswa (student centered).
Model pembelajaran ini, yaitu Think Pair Share (TPS) akan dilengkapi
dengan kartu domino matematika, yang nantinya akan membantu pendidik atau
guru dalam menyampaikan informasi kepada siswa. penggunaan media ini
bertujuan untuk membantu siswa dalam memahami materi yang disampaikan, dan
juga agar siswa lebih terfokus dalam kegiatan pembelajaran. Pada dasarnya
penggunaan kartu domino matrmatika (domat) ini seperti halnya kartu domino
pada umumnya. Namun, yang membedakan adalah pada kartu domino terdapat
bulatan- bulatan merah, namun yang digunakan pada kartu domat ini adalah kartu
domino yang bertuliskan materi itu sendiri, yaitu bilangan Romawi.
2.1.2 Definisi Hasil Belajar
Slameto (2003) menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses usaha
yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang
baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi
14
dengan lingkungannya. Menilik dari definisi mengenai belajar yang tersebut,
dapat dimaknai bahwa perubahan – perubahan tingkah laku baru yang dialami
individu tersebut merupakan hasil dari proses yang dilakukan individu dengan
pengalaman di lingkungannya yang dinamakan hasil belajar. Secara singkat Tri
Anni (2004) juga menjelaskan bahwa hasil belajar merupakan perubahan perilaku
yang diperoleh individu setelah mengalami aktivitas belajar (Learning Activity).
Perubahan- perubahan tingkah laku yang dialami individu tersebut dapat
menyangkut aspek- aspek kognitif, afektif dan psikomotor dari individu di mana
aspek – aspek tersebut akan membantu individu memahami atau pun mengenal
hal- hal baru dari pengalamannya (Susanto, 2013: 5). Secara spesifik Nawawi
dalam K.Brahim dalam Susanto (2013: 5) mengemukakan bahwa hasil belajar
diartikan sebagai tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran
di sekolah yang dinyatakan dalam skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai
sejumlah materi pelajaran tertentu. Dari pendapat tersebut terlihat bahwa hasil
belajar merupakan komponen yang diperlukan dalam belajar karena tujuan dari
belajar itu sendiri adalah perubahan tingkah laku yang baru. Dengan adanya hasil
belajar maka guru dapat mengetahui seberapa tingkat perubahan tingkah laku
yang dialami siswa dalam belajar.
Gagne & Bridge dalam Suprihatiningrum (2013) berpendapat bahwa
hasil belajar adalah kemampuan- kemampuan yang dimiliki siswa sebagai akibat
perbuatan belajar dan dapat diamati melalui penampilan siswa (learner’s
performance). Hal ini tidak terlepas dari peran guru yang penting dalam melihat
atau mengamati hasil belajar siswa, sehingga dalam dunia pendidikan guru
sebagai pemberi nilai, penghargaan (reward) dan motivator bagi siswa untuk
menunjang hasil belajar yang lebih baik. Secara lebih spesifik Reigeluth dalam
Suprihatiningrum (2013) mengatakan hasil belajar merupakan hasil kinerja
(performance) dari individu yaitu siswa yang diindikasikan sebagai suatu
kemampuan yang telah diperoleh di mana hasil tersebut dinyatakan dalam bentuk
tujuan khusus yaitu perilaku atau unjuk kerja.
Untuk mengetahui apakah hasil belajar yang dicapai sesuai dengan tujuan
yang dikehendaki dapat diketahui dengan cara evaluasi. Sunal dalam
15
Susanto(2013) mengemukakan evaluasi merupakan proses penggunaan informasi
untuk membuat pertimbangan seberapa efektif suatu program telah memenuhi
kebutuhan siswa. Dengan cara ini pula dapat dijadikan tindak lanjut (feedback)
dalam mengukur tingkat pemahaman siswa. Kemajuan yang diukur ini bukan
hanya sekedar dalam ilmu pengetahuan saja namun juga ketrampilan dan sikap
siswa.
Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
merupakan hasil yang diperoleh siswa setelah melakukan serangkaian kegiatan
belajar (pembelajaran) di mana dhasil tersebut dilambangkan dengan skor atau
nilai.
2.1.3 Hakikat Matematika
Matematika adalah sebagai struktur pelajaran abstrak dan saling
berkaitan. Matematika juga merupakan baris ekspresi bagi kebanyakan rumus-
rumus ilmiah. Hal- hal yang tidak diketahui ini dapat dicari menggunakan
matematika. Sebagai pengetahuan, matematika mempunyai ciri- ciri khusus antara
lain abstrak, deduktif, konsisten, hierarkis, dan logis. Soedjadi (Muhsetyo, 2007:
1.2) menyatakan bahwa keabstrakan matematika karena objek dasarnya abstrak
yaitu fakta, konsep, operasi dan prinsip. Ciri keabstrakan matematika beserta
cirinya yang tidak sederhana ini menyebabkan matematika tidak mudah untuk
dipelajari dan pada akhirnya banyak siswa yang kurang tertarik dengan mata
pelajaran ini.
Namun demikian, ada hal yang tidak dapat dipungkiri pentingnya
mempelajari matematika karena mata pelajaran ini berfungsi untuk
mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bilangan-
bilangan dan simbol serta ketajaman penalaran yang dapat membantu
memperjelas dan menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari- hari,
seperti halnya bahasa, membaca dan menulis.
Sementara itu James dan James (Suherman, 2001: 18) dalam kamus
matematikanya mengatakan bahwa
matematika merupakan ilmu tentang logika mengenai
bentuk, susunan, besaran, dan konsep- konsep yang
berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah
16
yang banyak yang terbagi ke dalam bidang yaitu aljabar,
analisis, dan geometri.
Menurut Susanto (2013: 185) matematika merupakan salah satu bidang
studi yang ada pada jenjang pendidikan mulai dari tingkat sekolah dasar sampai
pada jenjang perguruan tinggi, bahkan mata pelajaran ini juga diajarkan di taman
kanak- kanak (TK) secara informal. Hal ini menunjukkan pentingnya matematika
dalam bidang pendidikan dan dalam kehidupan sehari- hari.
Belajar matematika merupakan suatu syarat cukup untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, karena hal ini melatih seseorang untuk
berpikir kritis, kreatif dan aktif. Seperti yang sudah diuraikan dalam hakikat
matematika tersebut, bidang studi ini merupakan ide- ide abstrak yang berisi
simbol- simbol maka konsep matematika harus dipahami terlebih dahulu sebelum
memanipulasi simbol- simbol tersebut. pembelajaran mengandung makna belajar
dan mengajar sehingga ada subjek yang akan memberikan informasi (informan)
dan ada objek yang akan menerima informasi.
2.1.4 Pembelajaran Matematika SD
Menurut Dimyanti (Susanto, 2013) mengemukakan bahwa pembelajaran
merupakan kegiatan guru secara terprogram dalam desain intruksional untuk
membuat siswa belajar secara aktif dengan penyediaan sumber belajar. Dalam
pembelajaran ini ada aktivitas guru dalam merancang bahan pelajaran agar proses
belajar mengajar tersebut dapat berlangsung secara efektif, yang dapat
memberikan makna kepada siswa.
Pembelajaran matematika merupakan suatu proses belajar mengajar yang
dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas berpikir siswa serta dapat
meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya
peningkatan penguasaan yang baik terhadap materi matematika (Susanto, 2013).
Pembelajaran matematika mengandung dua jenis kegiatan yang tidak bisa
dipisahkan yaitu mengajar matematika dan belajar matematika. Kedua jenis
kegiatan ini akan berkolaborasi secara terpadu yang akan membawa suasana
dalam kegiatan pembelajaran matematika menjadi menyenangkan karena adanya
interaksi antar guru dengan siswa dan antar siswa dengan siswa.
17
Peran guru dalam hal ini menjadi kunci kesuksesan kegiatan
pembelajaran yang kondusif, menyenangkan dan efektif untuk mengarahkan siswa
mencapai tujuan secara optimal. Oleh karena itu, guru perlu menempatkan
posisinya secara dinamis dan fleksibel sebagai informan, transformator, organizer
serta evaluator bagi terwujudnya kegiatan belajar siswa yang dinamis dan inovatif.
Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya pembelajaran matematika ada
pada semua jenjang atau tingkat pendidikan mulai dari tingkat sekolah dasar
sampai pada tingkat perguruan tinggi. Dari jenjang pendidikan yang ada, tingkat
sekolah dasar menjadi tolakan pertama dalam keberhasilan mencapai tujuan
pendidikan dan pembelajaran. Menurut Piaget (Sumantri dkk, 2007) pendidikan
anak pada usia sekolah dasar adalah 7 tahun sampai dengan 12 tahun yaitu pada
tahap perkembangan operasional konkret yang mana kemampuan kemampuan
berpikir logis muncul pada tahap ini. Sehingga kemampuan berpikir yang
dihadapai siswa pada tahap ini adalah permasalahan yang konkret atau nyata.
Oleh karena itu, pembelajaran matematika di sekolah dasar memiliki tujuan
khusus sesuai dengan tahap perkembangannya.
Secara sigkat dan rinci dalam standar isi pendidikan menurut
Permendiknas No 22 Tahun 2006 tentang standar isi telah memaparkan
standar kompetensi dan kompetensi dasar matematika pada setiap jenjang
pendidikan, terutama pada jenjang SD. Dari penjabaran berikut, peneliti
mengambil materi matematika pada semester 2 pada standar kompetensi
nomor 7, yaitu menggunakan lambang bilangan romawi. Seperti diketahui
materi ini terbilang singkat dan mudah bagi siswa sekolah dasar. Namun,
ada pula siswa yang kurang memahami materi ini karena guru mengajarkan
untuk menghafal lambang bilangan romawi tersebut. Jika hanya dengan
menghafal siswa akan mudah lupa. Namun, dengan adanya tindakan atau
aktivitas yang berkaitan dengan materi, siswa akan dapat mengingat dan
memahaminya. Berikut standar kompetensi dan kompetensi dasar
Matematika Kelas IV Semester 2:
18
(Sumber : educloud.fkip.unila.ac.id/index.php)
2.1.5 Media Pembelajaran Matematika
Media merupakan alat bantu pembelajaran yang secara sengaja dan
terencana disiapkan atau disediakan guru untuk mempresentasikan atau
menjelaskan bahan pelajaran, serta digunakan siswa untuk dapat terlibat langsung
dengan pembelajaran matematika (Muhsetyo, 2007).
Menurut Sundayana (2013), mengatakan bahwa media dilihat dari asal
katanya yaitu dari bahasa Latih dan merupakan bentuk jamak dari kata Medium
yang secara harafiah berarti “perantara” atau “penyalur”. Maka media merupakan
informasi belajar atau penyalur pesan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran merupakan suatu
sarana atau alat bantu yang secara terencana disiapkan oleh guru untuk membantu
menyampaikan informasi yaitu suatu materi pelajaran kepada peserta didik,
19
dimana alat tersebut juga dapat membantu mengaktifkan dan memotivasi siswa
dengan keikutsetaannya dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.
Media pembelajaran tentunya memiliki fungsi masing- masing sesuai
dengan tujuan dan situasi dalam penggunaannya. Seperti yang dikemukakan
Sadiman ( Sundayana, 2013: 7) yang menyatakan bahwa media mempunyai
fungsi :
1) Memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalitas. 2) Mengatasi keterbatasan ruang, waktu tenaga dan daya indra. 3) Menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara
siswa dengan sumber belajar.
4) Memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual, auditori & kinestetiknya.
5) Memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman & menimbulkan persepsi yang sama.
6) Penyampaian pesan pembelajaran dapat lebih terstandar. 7) Pembelajaran dapat lebih menarik. 8) Pembelajaran menjadi lebih interaktif dengan menerapkan
teori belajar.
9) Waktu pelaksanaan pembelajaran dapat diperpendek. 10) Kualitas pembelajaran dapat ditingkatkan. 11) Proses pembelajaran dapat berlangsung kapanpun dan
dimanpun diperlukan.
12) Sikap positif siswa terhadap materi pembelajaran serta proses pembelajaran dapat ditingkatkan.
Ada banyak media yang dapat digunakan guru untuk menunjang
kesuksesan pemberian makna dan pemahaman dalam kegiatan pembelajaran. Oleh
karena itu,dari bermacam- macam media yang dapat digunakan tersebut pengguna
perlu mengetahui pengelompokkannya agar memudahkan pengguna untuk
mengetahui cara pemakaian, ketepatan pemakaian atau dalam pemilihannya.
Sanjaya (Sundayana, 2013: 13) menyatakan media pembelajaran dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa klasifikasi tergantung pada dari sudut mana
melihatnya.
1) Dilihat dari sifatnya, media dibagi ke dalam : a) Media auditif, yaitu media yang hanya dapat didengar saja atau
media yang memiliki unsur suara seperti radio atau rekaman
suara.
20
b) Media visual, yaitu media yang hanya dapat dilihat saja dan tidak mengandung unsur suara. Seperti, gambar, foto, lukisan,
dan berbagai bentuk bahan cetak.
c) Media audiovisual, yaitu jenis media yang selain mengandung unsur suara juga mengandung unsu gambar yang bisa dilihat.
Misalnya, televisi, film. Kemampuan media ini dapat lebih
menarik sebab mengandung kedua unsur suara dan gambar.
2) Dilihat dari kemampuan menjangkaunya, media dapat pula dibagi ke dalam :
a) Media yang memiliki daya liput luas dan serentak, seperti radio dan televisi. Dengan media ini siswa dapat mengetahui kejadian-
kejadian aktual secara serentak tanpa menggunakan ruang
khusus. Misalnya, berita mengenai terjadinya bencana alam di
suatu negara.
b) Media yang mempunyai daya liput yang terbatas oleh ruang dan waktu, seperti film, video, dan lain sebagainya.
3) Dilihat dari cara atau teknik pemakaiannya, media dapat dibagi : a) Media yang diproyeksikan, seperti film, transparansi, slide, dan
lain sebagainya. Jenis media ini membutuhkan alat proyeksi
khusus seperti film projector untuk memproyeksikan film,
overhead projector (OHP) untuk memproyeksikan transparansi.
Sehingga, alat proyektor menjadi pendukung utama dalam
menggunakan media yang akan digunakan tersebut.
b) Media yang tidak diproyeksikan, seperti gambar, foto, lukisan, radio dan lain sebagainya.
2.2 Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dian Ratnasari (2013) yang
berjudul “Keefektifan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share
terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas IV SD Negeri Kadunguter 02
Brebes,” menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair
Share efektif dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa. Hal tersebut
dibuktikan dengan kondisi awal sebelum perlakuan memiliki rata- rata nilai 56,5
(kurang dari KKM), dan setelah mendapat perlakuan dengan model pembelajaran
kooperatif tipe Think Pair Share nilai rata- rata meningkat menjadi 84. Sehingga,
dapat dikatakan bahwa penggunaan model pembelajaran tipe Think Pair Share ini
efektif meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Noor Amirul Lutfi
(2011) yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran NHT Dan Model
Pembelajaran Tipe Jigsaw Dengan Berbantu LKS Pada Pokok Bahasan Bangun
21
Ruang Sisi Datar (Kubus Dan Balok) Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas VIII
Semester 2 SMP Negeri 3 Welehan Jepara TahunAjaran 2010/ 2011,”
menunjukkan bahwa model pembelajaran Numbered Nead Together (NHT)
berbantu LKS dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran
matematika dengan pokok bahasan bangun ruang sisi datar yaitu kubus dan balok.
Hal tersebut dapat terlihat dengan hasil penelitian yang ditunjukkan dengan rata-
rata 85 pada hasil kelas eksperimen I dan 79,13 untuk hasil kelas eksperimen II
yang menggunakan model pembelejaran kooperatif tipe Jigsaw, dan hasil rata-
rata pada kelas kontrol dengan metode konvensional adalah 73.05. Menurut hasil
penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe
NHT (Numbered Nead Together) dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada
mata pelajaran matematika.
Selain penggunaan metode dan model pembelajaran yang menarik, media
pembelajaran juga menjadi komponen penting untuk menunjang proses belajar
mengajar dalam meningkatkan hasil belajar siswa. Misalnya dengan penggunaan
media permainan yang membantu meningkatkan hasil belajar siswa, seperti
penelitian yang dilakukan oleh Mustika Anis A (2013). Penelitian yang berjudul
“Efektivitas Model Pembelajaran NHT dengan Reading Guide Dengan Media
Kartu Domino Terhadap Hasil Belajar Siswa Di MTS Negeri Bawu Jepara Tahun
Ajaran 2012/ 2013,” dapat meningkatkan hasil belajar siswa dengan penggunaan
media kartu domino dibandingkan dengan penggunaan metode konvensional.
2.3 Kerangka Berpikir
Pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan yang terencana atau
proses yang dilakukan dalam upaya memberikan pengalaman belajar kepada
peserta didik sehingga peserta didik dapat memperoleh kompetensi tentang materi
yang disampaikan. Dalam memberikan pengalaman tersebut guru dituntut untuk
kreatif dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran yang menarik salah satunya
adalah dengan penggunaan model pembelajaran yang variatif, seperti model
pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think Pair Share) dan NHT(Numbered Head
Together). Model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think Pair Share)
merupakan pembelajaran kooperatif yang membantu siswa bekerja sama dengan
22
siswa lain. Namun, yang menjadi keunggulannya adalah memberikan kesempatan
bagi semua siswa untuk berpikir terlebih dahulu mengenai materi yang
disampaikan.
Selain itu model pembelajaran NHT (Numbered Head Together) juga
memiliki keunggulan tersendiri yang memberikan kesempatan bagi siswa untuk
berinteraksi dengan siswa lain dalam kelompok dan membantu siswa saling
bekerja sama dalam membantu siswa lain dalam kelompok untuk memahami
materi atau bahan yang harus dikuasai. Keberhasilan pembelajaran tersebut tidak
hanya terfokus pada model pembelajaran yang menyenangkan namun, diperlukan
pula media yang membantu siswa lebih memahami pelajaran.
Ada banyak media pembelajaran yang dapat digunakan guru sesuai
dengan bahan atau kesesuaian materi yang akan disampaikan, contohnya
penggunaan media kartu Domino Matematika (Domat) untuk membantu siswa
memahami materi bilangan romawi pada mata pelajaran matematika. Media ini
dapat membuat kegiatan pembelajaran lebih menyenangkan, mengaktifkan siswa,
dan menantang siswa untuk berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran.
Sehingga, tujuan pembelajaran yang diharapkan dapat tercapai dengan maksimal.
23
Bagan kerangka berpikir penelitian
2.4 Hipotesis
H0 : Tidak terdapat perbedaan signifikan dari hasil belajar matematika
pada siswa kelas IV SD Gugus Gajah Mungkur menggunakan
model pembelajaran NHT dilengkapi kartu domino matematika
(domat) dengan hasil belajar matematika siswa dengan
menggunakan model pembelajaran TPS dilengkapi kartu domino
matematika (domat).
Ha : Terdapat perbedaan signifikan dari Hasil belajar matematika pada
siswa kelas IV SD Gugus Gajah Mungkur menggunakan model
pembelajaran NHT dilengkapi kartu domino matematika (domat)
Kelas
eksperimen I
pretest
Pembelajaran
menggunakan metode
NHT dengan media kartu
domino matematika
Post test
Kelas
eksperimen II
pretest
Pembelajaran
menggunakan metode
TPS dengan media kartu
domino matematika
Post test
Hasil pretes tidak boleh
ada perbedaan yang
signifikan
Uji beda post test apakah
ada pengaruh yang
signifikan dengan
penggunaan metode NHT
atau TPS dengan media
kartu domino matematika
24
dengan hasil belajar matematika siswa dengan menggunakan model
pembelajaran TPS dilengkapi kartu domino matematika (domat).
top related