BAB II GERAKAN PERLAWANAN SIMBOL ADAT ......gerakan perempuan pada tahun 1970-an dan 1980-an. Kesemuanya itu membawa akibat lahirnya bermacam-macam pendekatan dan teori tentang gerakan
Post on 08-Feb-2021
7 Views
Preview:
Transcript
23
BAB II
GERAKAN PERLAWANAN SIMBOL ADAT SEBAGAI
GERAKAN SOSIAL DALAM RANAH KEKUASAAN
KEBIJAKAN PUBLIK
Gerakan demonstrasi massa yang dimunculkan di tengah-tengah
masyarakat merupakan sebuah gerakan sosial. Setiap gerekan sosial
dalam bentuk demonstrasi massa, pawai, dan mimbar bebas, pasti
digerakan oleh manusia dan memiliki tujuan tertentu.
Setiap gerakan sosial memiliki dasar serta tujuan yang berbeda-
beda. Dasar serta tujuan dari suatu gerakan sosial tentu memiliki
faktor-faktor penyebab yang sangat beragam. Hal ini menyebabkan
setiap gerakan sosial yang terjadi pada tiap-tiap wilayah akan sangat
berbeda-beda, akan tetapi setiap gerakan sosial selalu menginginkan
perubahan entah perubahan yang diinginkan mengarah pada hal-hal
yang positif atau negatif, hal itu tidak bisa dipastikan. Namun dari fakta
riil, sebuah gerakan dapat diberi nilai positif atau negatif, hal itu sangat
tergantung pada suatu keadaan. Misalnya dalam konteks bernegara,
Indonesia merupakan negera hukum, karena itu jika ada gerakan sosial
yang menentang hukum yang berlaku, maka kita dapat memberi nilai
negtif terhadap tujuan gerekan tersebut. Atau sebaliknya, jika dalam
praktek pemerintahan terjadi pelanggaran atas hukum, dan muncul
gerakan sosial menentang sikap pemerintahan, maka tujuan sebuah
gerakan sosial dapat dipastikan positif.
Muncul pertanyaan pada bagian ini adalah; apakah sebuah
gerakan sosial dapat disamakan dengan gerakan perlawanan?
Pertanyaan ini penting untuk dijawab sebelum penulis menguraikan
bagian-bagian yang lain dari bab ini. Gerakan sosial tentu mencakup
semua gerakan yang dilakukan oleh manusia yang berhubungan
dengan situasi sosial. Karena hubungan gerekan sosial selalu
berhubungan dengan situasi sosial, maka untuk menilai apakah
24
gerakan tersebut merupakan gerakan perlawanan, atau bukan gerakan
perlawanan, hal itu sangat tergantung pada substansi gerakan tersebut.
Jika terjadi gerakan sosial atas dasar menentang ketidakadilan, maka
gerakan tersebut termasuk gerakan perlawanan karena menentang
ketidakadilan untuk tujuan keadilan. Hal ini berbeda dengan gerakan
sosial untuk tujuan kemanusiaan. Gerakan sosial untuk kemanusiaan
secara langsung diarahkan pada masalah sosial yang dihadapi oleh
sekelompok orang yang membutuhkan pelayanan kemanusiaan.
Reaksi gerakan perlawanan simbolik adat terhadap kebijakan
pemerintah daerah Kabupaten Kaimana, merupakan dua sisi yang
berada dalam satu arena realitas masyarakat lokal. Antara kebijakan
publik dan gerakan perlawanan simbol keduanya saling bersinggungan
secara negatif. Pada konteks realitas obyektif, gerakan perlawanan
simbol adat menginginkan adanya keadilan dalam pelaksanaan
kebijakan pembangunan. Tuntutan obyektif masyarakat lokal,
didasarkan pada fakta kebijakan pembangunan yang dirasakan
mengalami kepincangan disaat kebijakan pembangunan
diimplementasikan.
Sesungguhnya, substansi kebijakan pemerintah daerah
Kabupaten Kaimana, merupakan bagian dari sikap pemerintah yang
bertujuan untuk menjawab persoalan sosial yang dialami masyarakat.
Hal ini memiliki hubungan erat dengan mandat rakyat dipegang oleh
seorang kepala daerah yang berasal dari rakyat. Mandat yang diberikan
tidak hanya dilihat dari sisi manusia sebagai makhluk politik yang
menyalurkan hak politiknya, pada sisi yang lain, mandat rakyat
dititipkan kepada seorang kepala daerah merupakan titipan dari rakyat
sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia butuh pihak
lain untuk memenuhi kebutuhan hidup. Maka dalam hal ini
pemerintah sebagai penerima mandat rakyat dianggap mampu
menjawab kebutuhan manusia yang tidak bisa dipenuhinya sendiri.
Dalam konteks tersebut, ternyata melahirkan fakta berbeda dan
menimbulkan ketegangan masyarakat versus pemerintah.
Terlepas dari sisi manusia sebagai makhluk politik, dan makhluk
sosial, manusia adalah makhluk simbolik. Artinya, dalam
25
berkomunikasi dan berprilaku, manusia selalu menggunakan simbol-
simbol untuk menyampaikan pesan-pesan yang dirasakannya kepada
pihak lain. Interaksi manusia dengan sesama dalam menggunakan
simbol telah terjadi sejak manusia hadir di dunia, karena itu ukuran
usia manusia dengan usia simbol adalah sama, tidak ada yang lebih
duluan satu dengan yang lain. Dalam konteks inilah, manusia disebut
juga sebagai makhluk pengguna simbol. Untuk menyampaikan pesan-
pesan dalam bentuk simbol, pesan yang disampaikan bisa bermaksud
positif tetapi juga negatif, hal tersebut sangat tergantung pada masalah
yang dirasakan manusia untuk disampaikan kepada pihak lain.
Simbol selalu dipahami dan dimaknai sebagai sesuatu yang
mewakili sesuatu yang lain, maka setiap penggunaan simbol pasti
dilakukan berdasarkan pada tujuan yang ingin disampaikan. Hal ini
dimaksudkan agar menjadi jelas pada pihak lain sebagai sasaran atau
tujuan penerima simbol. Untuk itu, setiap simbol yang digunakan harus
diperjelas tujuan penggunaan simbol, mulai dari pengirim maupun
kepada penerima simbol agar tidak menimbulkan prasangka serta
penilaian buruk. Pada sisi lain dalam situasi tertentu simbol terkadang
dapat dimodifikasi dan dipolitisir untuk kepentingan individu atau
kelompok tertentu.
Pada bagian ini penulis akan mendudukan kajian literatur
gerakan sosial, simbol dan kebijakan publik yang memiliki kaitan
dengan implementasi kebijakan pemerintah daerah yang dijuluki
―Negeri 1001 Senja‖.
Gerakan Perlawanan Simbol
Pengertian ―pergerakan‖ menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) dari kata dasar ―gerak‖ dengan pengertian ―peralihan tempat
atau kedudukan, baik hanya sekali maupun berkali-kali‖. Selanjutnya
kata per-gerak-an dijelaskan; 1) hal atau keadaan bergerak; 2)
kebangkitan (untuk perjuangan atau perbaikan): contoh: ―pada waktu
itu pergerakan nasional muncul di mana-mana‖. Untuk kata ―simbol‖
26
diartikan ―lambang‖,1 dari kedua kata jika digabung maka narasinya
akan menjadi begini ―pergerakan simbol‖ dan memberi arti sebagai berikut: dalam suatu keadaan tertentu simbol/lambang mengalami
pergerakan, atau digerakan oleh ―sesuatu‖.
Sangat tidak mungkin simbol mengalami pergerakan tanpa ada
yang menggerakan. Yang dimaksud penulis tentang ―sesuatu‖ dalam konteks ini adalah manusia sebagai penggerak simbol, sebab manusia
adalah makhluk simbol dan makhluk pengguna simbol. Setiap gerakan
tentu memiliki tujuan, artinya tidak ada gerakan/pergerakan yang
dilakukan manusia tanpa memiliki dasar serta tujuan. Berdasarkan
tujuan tersebut maka sebuah gerakan/pergerakan dilakukan untuk
mencapai maksud dan tujuan yang dijadikan sebagai target pencapaian
tujuan.
Dalam catatan sejarah pergerakan sosial, munculnya berbagai
gerakan di mana-mana selalu didasarkan atas nama kebebasan
demokrasi. Tidak ketinggalan pula di Indonesia, bahkan sampai ke
pelosok daerah terpencil sekalipun. Misalnya, pergerakan sosial yang
terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1950-an dan 1960-an yang
dikenal dengan nama ―komunitas gerakan hak-hak sipil di kalangan Kulit Hitam‖. Gerakan mahasiswa tahun 1960-an dan 1970-an, gerakan lingkungan hidup, gerakan perdamaian dan gerakan solidaritas maupun
gerakan perempuan pada tahun 1970-an dan 1980-an. Kesemuanya itu
membawa akibat lahirnya bermacam-macam pendekatan dan teori
tentang gerakan sosial (Fakih, 1966:35).
Gerakan sosial dalam beberapa catatan dunia, misalnya
perjuangan etnis atau nasionalis di negara-negara bagian (bekas) Uni
Soviet, dan gerakan anti apartheid di Afrika Selatan. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk pendekatan perubahan sosial yang
dominan (mainstream approach), yaitu suatu perubahan sosial yang direkayasa oleh negara, melalui apa yang disebut sebagai pembangunan
(development).
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia/Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan an pengembangan bahsa cetakan 3 Jakarta Balai Pustaka-1990. BP No 3658.
27
Kebijakan pembangunan oleh pemerintah, merupakan bagian
yang menampakan eksistensi/keberadaan pemerintah, sebagai institusi
penerima kuasa/mendat rakyat dalam konteks berdemokrasi. Dalam
pandangan masyarakat, pembangunan tidak selamanya menghadirkan
pemerataan, karena dalam benak masyarakat, penyebab kemacetan,
krisis ekonomi, ekologis yang mencekik kehidupan masyarakat,
dipandang oleh masyarakat sebagai kekeliruan kebijakan pemerintah
dalam mengelola dan menjalankan mandat rakyat. Menyikapi konteks
tersebut, pergerakan perlawanan simbol masyarakat adat, dinilai
sebagai bagian dari kritik terhadap skenario modernisasi yang memiliki
asumsi merancang kemajuan dan kemakmuran masyarakat di suatu
negara. Menurut pendapat Bonner, dalam konteks gerakan sosial dan
transformasi sosial tidak dapat dipisahkan dari masalah
―pembangunan‖2.
Gerakan Sosial
Sejarah gerakan sosial yang terjadi di pelosok dunia, bahkan di
Indonesia merupakan bagian dari masalah sosial yang dihadapi oleh
umat manusia. Tentu setiap gerakan sosial memiliki dasar dan tujuan
tersendiri, misalnya rangkaian revolusi yang melanda jazirah Eropa
Barat pada akhir abad tujuh belas sampai abad sembilan belas. Kondisi
tersebut pada sisi substansi, tentu memiliki perbedaan dengan yang
terjadi di belahan dunia yang lain, namun indikator pergerakan yang
memainkan peran dalam suatu gerakan sosial tentu memiliki
kesamaan. Dalam kesamaan tersebut muncul berbagai teori dan analisa
yang bertujuan untuk mengidentifikasi setiap gerakan sosial. Tujuan
dilakukannya identifikasi setiap gerakan sosial dan penyebab
munculnya gerakan sosial, telah dikelompokan oleh para ahli dan para
akademisi yang memiliki kompetensi dalam memahami sebuah
gerakan sosial, serta mampu menghasilkan pendapat dan teori-teori
gerakan sosial. Dari sekian banyak teori gerakan sosial yang telah
dibuat, pada bagian ini penulis mengedepankan beberapa pendapat
2 Ibid...36.
28
para ahli dan akademisi tentang bagaimana mereka memandang
berbagai gerakan sosial tersebut.
Teori Perilaku Kolektif
Sidney Tarrow (1998) berpendapat, bahwa ahli-ahli sosiologi
terdahulu seringkali mengaitkan dampak negatif Revolusi Prancis dan
kemarahan massa pada periode abad pencerahan sebagai akar
perkembangan teori gerakan sosial. Salah satu teorinya adalah teori
―prilaku kolektif‖, kemudian menjadi salah satu teori klasik dalam mempelajari fenomena gerakan sosial di Eropa Barat dan Amerika
Utara. Gustave Le Bon (1895) perintis utama teori prilaku kolektif
menginterpretasikan kerumunan massa Revolusi Prancis merupakan
bentuk perilaku kolektif yang menyerupai emosi binatang. Yang dilihat
oleh Gustave Le Bon dari Revolusi Prancis adalah, dalam sebuah
kerumunan massa, setiap individu yang terbentuk dalam komunitas
pergerakan massa, tidak lagi memiliki kekuatan untuk mengontrol diri,
dan kemampuan untuk bertindak secara positif. Yang ada dalam diri
setiap individu adalah mengikuti keinginan massa. Dengan kata lain,
individu-individu di dalam kerumunan massa tidak lagi menjadi
individu yang rasional dan taat terhadap tatanan norma-norma standar
yang ada di masyarakat.
David Popenoe (1977:259) melihat prilaku kolektif seringkali
muncul sebagai sebuah respon atau stimulus terhadap sebuah situasi
yang tidak stabil secara spontan dan tidak terstruktur. Dengan kata
lain, prilaku kolektif merupakan tindakan yang tidak mencerminkan
struktur sosial yang ada. Yang dimaksudkan dengan struktur sosial oleh
David Popenoe berkaitan dengan peraturan, undang-undang, kebijakan
pemerintah dan lembaga formal dan non formal, seperti yang diuraikan
oleh Herbert Blumer:
―….masyarakat terdiri dari individu-individu yang memiliki kedirian mereka sendiri (yakni membuat indikasi untuk diri mereka sendiri), tindakan individu itu merupakan suatu konstruksi dan bukan sesuatu yang lepas begitu saja, yakni keberadaannya dibangun oleh individu melalui catatan dan penafsiran situasi dimana dia bertindak, sehingga kelompok atau tindakan kolektif itu terdiri dari beberapa susunan tindakan
29
individu yang disebabkan oleh penafsiran individu/pertimbangan individu terhadap setiap tindakan yang lainnya‖.(Irving Zetlin, 1995:332).
Neil Smelser (1962) prilaku kolektif dalam bentuk gerakan sosial
merupakan efek samping dari transformasi sosial yang berjalan begitu
cepat. Bagi Smelser seperti yang diinterpertasi ulang oleh Donatella
Della Porta dan Mario Diani (1999: 4) kemunculan perilaku-perilaku
kolektif seperti gerakan sosial dan berbagai bentuk protes masyarakat
memiliki makna ganda dalam periode transformasi sosial yang berlaku
begitu cepat dan dalam skala besar. Pada satu sisi mencerminkan
ketidakmampuan lembaga-lembaga dan mekanisme kontrol sosial
mereproduksi keretakan sosial, dan di sisi lain merefleksikan berbagai
upaya masyarakat untuk bereaksi atas krisis sosial melalui berbagai
keprihatinan kepada kelompok yang lebih luas, kemudian menjadi
dasar baru terbentuknya solidaritas sosial.
Ralph H. Tuner dan Lewis M. Killian (1972) menegaskan bahwa
―prilaku kolektif hanya terjadi meskipun tidak harus selalu, ketika organisasi negara dan mahasiswa berhenti memberikan arahan dan menyediakan saluran bagi masyarakat‖ (Popenoe 1977:404).
Teori pilihan rasional
Teori ini bertolak belakang dengan teori prilaku massa, teori
pilihan rasional memandang berbagai bentuk perlawanan masyarakat
terhadap lembaga-lembaga negara, korporasi atau organisasi
keagamaan dan sosial merupakan manifestasi sebuah tindakan
individu-individu yang rasional dan dilakukan secara sadar untuk
mengejar kepentingan individunya. Mancur Olson dalam bukunya The Logic Of Collective Action: Public Goods And The Theory Of Groups mengatakan bahwa aksi-aksi kolektif yang melibatkan berbagai bentuk
kekerasan, menimbulkan kepanikan di tengah-tengah masyarakat,
melanggar hukum negara dan norma-norma kepantasan di masyarakat,
individu-individu tersebut melakukannya secara sadar sebagai bentuk
kerasionalannya. Para pelaku tidak mempersoalkan bila aksi yang
mereka lakukan membahayakan, bahkan mereka belajar dari
30
pengalaman-pengalaman yang tersedia dan observasi mereka sendiri,
bahwa hanya dengan cara kekerasan tujuan individu-individu dalam
aksi-aksi kolektif seringkali cukup efektif dalam mencapai tujuan.
Olson berpendapat:
―jika anggota-anggota dalam beberapa organisasi memiliki kepentingan dan tujuan bersama, jika mereka akan menjadi lebih baik jika tujuan bersama tersebut dapat dicapai, mereka akan bertindak untuk mencapai tujuannya, sebagai bentuk rasionalitasnya dan kepentingan pribadinya‖.
Teori perjuangan kelas vanguard dan hegemoni budaya
Jauh sebelum Olson mencetuskan gagasan teori aksi kolektifnya
yang dikenal dengan teori rasional, Karl Marx telah merintis terlebih
dahulu pada abad delapan belas, dengan konsep perjuangan kelas. Di
dalam The Manifesto of the Communist Party, Karl Marx dan Frederick Engels mengutarakan bila sejarah setiap perkembangan
peradaban masyarakat yang ada sampai dengan saat ini, tidak dapat
dilepaskan dari sejarah perjuangan kelas (Fargains, 2000: 31). Menurut
Marx, masyarakat selalu terdiri dari dua kelompok besar, satu
kelompok menjadi penindas dan satu kelompok masyarakat lainnya
menjadi yang ditindas. Kita mengenal kategori-kategori di dalam
masyarakat sebagai berikut:―orang bebas versus budak‖, ―bangsawan versus masyarakat desa‖, raja versus hamba sahaya‖, pemilik alat produksi versus buruh‖. Karena sejarah perkembangan masyarakat selalu bergerak maju, dan secara konstan mengarah pada perbaikan dan
kebebasan lebih besar, maka revolusi sosial seperti antara para
penggarap tanah dengan para tuan tanah yang umumnya para
bangsawan atau para buru dengan para pemilik alat produksi tidak bisa
dielakan. Masing-masing revolusi sosial memberikan jalan bagi
masyarakat yang tertindas untuk menjadi kelas yang berkuasa sebelum
kemudian dihancurkan oleh revolusi sosial lainnya seperti revolusi
para penggarap tanah dan para budak menghancurkan kelompok feodal
yang kemudian memberikan jalan bagi kelas borjuis untuk berkuasa,
begitupun sebaliknya kelas buruh akan menghancurkan kelas borjuis
31
dengan menggantikannya menjadi masyarakat sosialis dalam bergerak
menuju ke masyarakat komunis (Giddens, 2000:12).
Konsep perjuangan kelas Karl Marx ini menempatkan aksi-aksi
kolektif dalam bentuk revolusi, gerakan sosial dan bentuk perlawanan
merupakan rangkaian tindakan dari sebuah kelompok masyarakat yang
rasional untuk keluar dari situasi buruk penindasan. Menurut Karl
Marx, hanya dengan cara perjuangan kelas kelompok yang tertindas
bisa keluar dari jebakan penindasan. Kelompok yang tertindas tidak
bisa berharap dari lembaga-lembaga negara atau kerajaan, peradilan
dan lembaga-lembaga sosial seperti organisasi keagamaan untuk
mengeluarkan mereka dari situasi penindasan karena lembaga-
lembaga tersebut telah menjadi alat yang berkuasa untuk
mempertahankan kekuasaannya. Perjuangan kelas akan tumbuh
dengan sendirinya secara spontanitas, ketika penderitaan
berkepanjangan dari sebuah kelompok yang ditindas dan tidak bisa
dikompromikan antara kedua kelas yang sedang bertentangan. Situasi
penindasan ini menumbuhkan kesadaran kelas baru, dan kesadaran ini
menjadi faktor pemicu sebuah revolusi sosial untuk menumbangkan
kelas yang sedang berkuasa.
Teori gerakan sosial modern
Teori gerakan sosial modern memiliki beberapa ciri utama:
pertama, memandang dan menempatkan aktivitas gerakan sosial
sebagai sebuah aksi kolektif yang rasional dan memiliki nilai positif.
Kedua, memperbaiki dan mengkontekstualisasikan teori-teori gerakan
sosial sebelumnya ke dalam era kekinian seperti menjeneralisasi teori
eksploitasi kelas Karl Marx menjadi teori keluhan yang lebih cocok
dipergunakan dalam konteks saat ini, aksi-aksi kolektif berkembang
tidak hanya didorong oleh eksploitasi kelas pemilik alat produksi
terhadap buruh di masyarakat kapitalis. Ketiga, semakin banyaknya
riset dan studi gerakan sosial di negara-negara di luar Amerika Utara
dan Eropa Barat yang membuat kajian gerakan sosial semakin kaya.
Dan ke empat, teori gerakan sosial modern berhasil mengidentifikasi
faktor-faktor yang memfasilitasi tumbuhnya gerakan sosial, kuat
lemahnya dan berhasil atau tidaknya sebuah gerakan sosial.
32
Teori keluhan
Mempergunakan analisa Karl Marx berkenan dengan penyebab
utama perjuangan kelas, Sidney Tarrow dan sejumlah akademisi
gerakan sosial memodifikasi konsep eksploitasi kelas menjadi teori
keluhan dan kemudian dipergunakan sebagai pisau analisa dalam
mempelajari gerakan sosial dan berbagai bentuk politik perlawanan
lainnya (Tarrow 1998:11). Teori keluhan ini juga digunakan untuk
menjembatani perdebatan para ahli gerakan sosial dalam menganalisa
pemicu utama gerakan sosial dari bingkai produk eksploitasi,
ketidakadilan dan ketimpangan yaitu keluhan.
Donatella Della Porta dan Mario Diani mengutarakan
―kebangkitan berbagai bentuk gerakan pada tahun 1960-an dan 1970-
an adalah sebuah kritik terhadap model interpertasi Marxis atas konflik
kelas. Model tersebut telah menemui sejumlah masalah dalam
menjelaskan perkembangan gerakan sosial. Transformasi sosial yang
terjadi setelah perang dunia kedua meletakan pusat konflik antara
buruh dengan pemilik modal dalam pertanyaan besar.
Meluasnya akses terhadap pendidikan tinggi atau masuknya
perempuan dalam dunia kerja telah menciptakan kemungkinan-
kemungkinan struktur baru atas konflik dan meningkatnya relevansi
stratifikasi sosial yang tidak hanya berbasis sumber daya ekonomi‖
(Porta dan Diani, 1999: 11). Pandangan Alberto Melucci, gerakan sosial
baru sebagai sebuah bentuk reaksi dan keluhan baru justru ingin
melakukan perlawanan atas intervensi negara dan pasar yang terlalu
besar dalam ruang privat individu-individu dan berupaya merebut
kembali ekonomi sebagai individu yang telah dihancurkan oleh sebuah
sistem yang sangat manipulatif. Karena itu, gerakan sosial baru tidak
akan berhenti hanya mendapatkan porsi pembagian keuntungan dari
pendapatan usaha produksi yang lebih berimbang dengan para
kelompok borjuis tetapi yang lebih penting adalah gerakan ini
melawan semua upaya lembaga-lembaga negara melakukan intervensi
melalui aparatur birokasi dalam kehidupan sehari-hari (Melucci, 1995:
41-63).
33
Joe Fowerker mengutip Mouffe, juga sependapat dengan
beberapa ahli gerakan sosial, keluhan baru mendorong gerakan sosial
baru dalam konteks negara-negara di Eropa Barat. Keluhan itu berupa
bentuk baru subordinasi kapitalisme, komersialisasi kehidupan sosial,
ekspansi kapitalisme yang mengkooptasi budaya, kebahagiaan dan
seksualitas, birokratisasi masyarakat, hegemonisasi kehidupan
masyarakat melalui intervensi media massa. Gagalnya pembangunan,
tindakan represif militer, penolakan kebijakan populis atau dukungan
terhadap kebijakan populis seperti pendidikan gratis bagi masyarakat
miskin adalah bentuk-bentuk keluhan baru yang dipergunakan oleh
para aktor dalam membangun gerakan sosial (Fowareker, 1995: 41-42).
Dari pandangan teori para ahli dan akademisi tentang gerakan
sosial menunjukan bahwa, terjadinya gerakan sosial diakibatkan pada
tingkatan strata dalam kehidupan manusia. Atau, dalam kehidupan
manusia telah tercipta tingkatan strata yang didasarkan pada tingkatan
kedudukan sosial (jabatan, kekayaan dan kepemilikan harta) yang
mengakibatkan munculnya tekanan pada kaum jelata yang menjadi
pekerja rendahan. Akibat dari kedudukan dan tekanan kaum borjuis
dan birokrasi pemerintah atau organisasi terhadap kelompok
masyarakat jelata memungkinkan munculnya gerakan-gerakan
pelawanan yang mengakibatkan konflik sosial.
Simbol Dan Tanda Dalam Tindakan Manusia
Simbol dan tanda dalam sejarah manusia sangat memainkan
peran penting. Peran simbol dan tanda diibaratkan sebagai alur yang
memungkinkan seseorang dapat memulai dari mana dia datang dan
kemana dia pergi. Karena itu, memahami simbol dan tanda merupakan
keharusan bagi manusia, baik secara individu, marga/klan, bahkan
dalam suatu komunitas masyarakat.
Meremehkan simbol dan tanda, akan mewajibkan seseorang
untuk menanggung akibat dari sikap yang dilakukan. Kenyataan itu
bisa terlihat dalam konteks keseharian manusia dalam beraktifitas di
jalan raya, entah menggunakan kenderaan atau sebagai pejalan kaki.
34
Rambu-rambu lalulintas yang terpasang misalnya, jika tidak diakui dan
ditaati oleh manusia, tentu akan menimbulkan kekacauan, bahkan
dapat mengakibatkan manusia kehilangan nyawa disaat seseorang
mengabaikan rambu-rambu lalulintas. Minimal akibat dari
ketidaktaatan mematuhi rambu-rambu lalulintas, seseorang akan
dikenai sanksi hukum sebagai rujukan untuk diproses berdasarkan jenis
pelanggaran yang dilakukan. Contoh ini merupakan bagian kecil dari
kekuatan simbol dan tanda yang diciptakan dan disepakati manusia
dengan tujuan mengatur manusia saat beraktifitas di jalan raya.
Dalam komunitas manusia yang berada di wilayah-wilayah
terpencil sekalipun, simbol dan tanda dibuat untuk disepakati dan
ditaati bersama. Tidak berbeda jauh dengan simbol dan tanda di
wilayah perkotaan, di wilayah pedalaman atau wilayah-wilayah
terpencil, simbol dan tanda memainkan peran penting untuk mengatur
manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam, hal ini dilakukan
dengan tujuan agar tercipta keseimbangan antar manusia dengan
sesama dan manusia dengan alam yang bertujuan pada keselamatan
manusia itu sendiri.
Salah satu tujuan mulia dibuatnya simbol dan tanda oleh
manusia, tidak hanya untuk ditaati dan dilaksanakan, tetapi ada hal
penting dan menjadi keinginan bersama yang kuat, yaitu untuk
menciptakan keteraturan hidup setiap individu. Keteraturan hidup
yang diinginkan dalam konteks ini adalah, kedamaian hidup antar
individu, antar sesama komunitas, dan antara komunitas dengan alam.
Pada bagian ini, akan diuraikan peran simbol dan tanda, makna
dan tindakan simbolik manusia dalam kehidupan (individu dan
komunitas) bersama.
Simbol dan tanda
Terkadang manusia mengalami kesulitan dalam membedakan
dua kata yang berkaitan dengan simbol dan tanda. Mengawali
penjelasan terkait simbol dan tanda, kajian ini diawali dengan
pertanyaan apakah simbol dan apakah tanda itu?
35
Secara etimologi simbol berasal dari bahasa Yunani ―sym-ballein‖ yang berarti melemparkan bersama suatu (benda atau perbuatan) yang
dikaitkan dengan ide (Hartoko dan Rakhmanto, 1998 : 133). Ada pula
yang menyebutkan ―syimbolos‖, yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang (Herusatoto, 2000:10).
Biasanya simbol terjadi berdasarkan metanoia (metonimy), yakni nama untuk benda lain yang berasosiasi atau yang menjadi atributnya
(misalnya si kaca mata untuk seseorang yang berkaca mata) dan
metafora (metaphor), yaitu pemakaian kata atau ungkapan lain untuk obyek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan (misalnya kaki
gunung, kaki meja, berdasarkan kias pada kaki manusia) (Kridalaksana,
2001:136-138).
Semua simbol melibatkan tiga unsur: simbol itu sendiri, suatu
rujukan atau lebih, dan hubungan antara simbol dengan rujukan.
Ketiga hal ini merupakan dasar bagi semua makna simbol. Simbol
adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain di luar perwujudan
bentuk simbolik itu sendiri. Karena itu, Peirce mengemukakan bahwa:
―A symbol is a sign which refers to the object that it denotes by virtue of a law, usually an association of general ideas, which operates to cause the symbol to be interpreted as referring to that object‖ (Peirce 1931-58, 2.249).
Dalam konsep Peirce, simbol diartikan sebagai tanda yang
mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Hubungan
antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandai (petanda)
sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat
pemakainya, ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan
menafsirkan maknanya.
―bahasa‖ komunikasi, simbol seringkali diistilahkan sebagai lambang. Simbol atau lambang adalah suatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan kelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), prilaku non verbal dan obyek yang maknanya disepakati bersama. Kemampuan manusia menggunakan lambang verbal memungkinkan perkembangan bahasa dan mengenai
36
hubungan antara manusia dan obyek (baik nyata maupun abstrak) tanpa kehadiran manusia dan objek tersebut‖.3
Berger (2000a:85) mengklasifikasikan simbol-simbol menjadi tiga
bagian: (1) konvensional. Konvensional adalah kata-kata yang kita
pelajari yang berdiri/ada untuk (menyebut/menggantikan) sesuatu; (2)
aksidental (accidental), adalah bentuk kontras dari konvensional, dia lebih individu, tertutup dan berhubungan dengan sejarah kehidupan
seseorang; dan (3) universal adalah sesuatu yang berakar dari
pengalaman semua orang4.
Sebagai bagian yang tidak terpisah dari kehidupan manusia
(simbol), maka simbol itu sendiri menjadi bagian dari kebudayaan
manusia. Kata budaya, menurut perbendaharaan bahasa Jawa, berasal
dari kata budi dan daya. Penyatuan dua kata menjadi satu kata membentuk satu pengertian baru yang dalam bahasa Jawa adalah:
a. Kata budi mengandung arti:
1. akal, dalam arti ―batin‖ untuk menimbang baik dan buruk, benar
dan tidak; dalam bahasa Jawa : ditimbang-timbangin batin;
2. tabiat, watak, akhlak, perangai; dalam bahasa Jawa: berbudi bawa
laksana;
3. kebaikan, perbuatan baik; dalam bahasa Jawa; budi luhur;
4. daya upaya, ikhtiar; dalam bahsa Jawa: mangulir budi;
5. kecerdikan untuk mencari pemecahan masalah; dalam bahasa Jawa:
hambudi daya;
b. Kata daya mengandung arti:
1. kekuatan, tenaga; dalam bahasa Jawa : Dayaning batin;
2. pengaruh; dalam bahasa Jawa : Daya pangaribawa;
3. akal, jalan/cara, ikhtiar; dalam bahasa Jawa : Daya upaya;
4. muslihat, tipu; dalam bahasa Jawa : Hambudi daya.
Kedua kata tersebut kalau diperhatikan memiliki beberapa
persamaan dalam arti yang dikandungnya. Setelah dijarwodosokan menjadi ―budaya‖ memperoleh pengertian yang baru yaitu: ―kekuatan
3 Semiotika Komunikasi. Alex Sobur P.T. Remaja Rosdakarya-Bandung, 2009,hlm.156. 4 Tanda-tanda dalam kebudayaan Kontemporer. Arthur Berger Asa. Penerjemah M. Dewi marianto dan Sunarto, Yogyakarta: 2000b.Tiara Wacana.
37
batin dalam daya upayanya menuju kebaikan‖ atau ―kesadaran batin
menuju kebaikan‖. Ada pula yang mengartikan ―daya upaya manusia
untuk menciptakan sesuatu keindahan5.
Konsep humanistik mengenai budaya menyebutkan dengan kata
―cultura animi‖ (kebudayaan dari budi)6, menurut Koentjaraningrat
kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta buddhaya, ialah bentuk
jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Jadi kebudayaan itu
dapat diartikan: ―hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal‖.
Zoetmulder dalam bukunya ―Cultuur, Oost en West‖ berpendapat bahwa asal kata budaya itu merupakan perkembangan dari majemuk
―budi-daya‖, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal.)7
Ki Sarino Mangunpranoto berpendapat, bahwa budaya manusia
itu terwujud karena adanya perkembangan norma hidupnya atau
lingkungannya. Norma hidup itu terwujud dalam bentuk: alam pikir,
alam budi, alam karya, alam tatasusila, alam seni yang meliputi: (seni
rupa: pahat, sungging, lukis dan sebagainya; seni sastra; seni suara; seni
tari; seni musik, seni drama, olah raga dan sebagainya).
Keseluruhan sifat-sifat hidup ini melahirkan adanya rasa budaya
manusia. Kalau rasa budaya ini dilaksanakan maka terjadilah
kebudayaan atau budaya manusia.8 Begitu eratnya hubungan manusia
dengan kebudayaannya, disebabkan oleh karena kebudayaan
merupakan lingkup di mana manusia harus hidup. Aktifitas mulai dari
rohani, jasmani, merupakan bagian dari kehidupan manusia yang
menggunakan akal budi logika manusia dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan.
Pernyataan bahwa manusia merupakan makhluk budaya
mengandung pengertian bahwa kebudayaan merupakan ukuran dalam
hidup dan tingkah laku manusia. Dalam kebudayaan tercakup hal-hal
5 Pakem Pengetahuan tentang Keris, Koesni, penerbit C.V. Aneka Semarang, 1979, hlm. 33 6 Suatu Konsepsi Kearah Penerbitan Bidang Filsafat, The Liang Gie Penerbit Karya Kencana, Yogyakarta, 1979,hlm.128. 7 Kebudayaan, mentalitet dan Pembangunan, Koencaraningrat,Penerbit P.T. Gramedia, Jakarta hlm.19. 8 Simbolisme dalam Budaya Jawa, Budiono Herusatoto, Penerbit P.T. Hanindita, Yogyakarta, 1984.hlm.7.
38
bagaimana manusia memberi tanggapan terhadap dunianya,
lingkungan serta masyarakatnya, seperangkat nilai-nilai yang menjadi
landasan pokok untuk menentukan sikap terhadap dunia luarnya,
bahkan untuk mendasari setiap langkah yang hendak dan harus
dilakukannya, sehubungan dengan pola hidup dan tata cara
kemasyarakatannya. Konteks ini sejalan dengan pikiran Michael
Landman dalam bukunya ―Filosofische Antropologie‖ menyatakan bahwa setiap karya dari manusia dilaksanakan dengan sesuatu tujuan,
yaitu bahwa setiap benda alam di sekitarnya yang disentuh dan
dikerjakan oleh manusia mengandung dalam dirinya suatu nilai. Nilai
yang diperoleh manusia dapat bermacam-macam, misalnya nilai sosial,
ekonomis keindahan, kegunaan dan sebagainya. Dengan demikian,
berkarya berarti menciptakan nilai, atau dalam setiap karya terwujud
sesuatu idea dari manusia. Dengan demikian, manusia disebut ―homo creator‖, karena dalam setiap karyanya, setiap manusia memberi bentuk dan isi yang manusiawi secara pribadi pada setiap benda
budaya yang menandakan nilai tertentu, menunjukan maksud serta
gagasan-gagasan penciptanya.9
Dalam konteks manusia sebagai makhluk yang
berbudaya/memiliki budaya, lahirlah konsep-konsep manusia yang
diwujudkan dengan simbol (abstrak dan non abstrak). Simbol lahir
sebagai bukti bahwa manusia adalah makhluk yang mampu berkreasi
tanpa dinding pembatas dalam budayanya, sehingga budaya itu sendiri
terdiri dari gagasan-gagasan, simbol-simbol dan nilai-nilai sebagai hasil
karya dan prilaku manusia. Karena itu, tidaklah berlebihan apabila
dikatakan bahwa: ―begitu eratnya kebudayaan manusia itu dengan simbol-simbol sehingga manusia dapat pula disebut sebagai makhluk bersimbol‖. Dengan perkataan lain dunia kebudayaan adalah dunia penuh simbol, manusia menciptakan dan menggunakan simbol.
Ungkapan-ungkapan simbolis ini merupakan ciri khas dari mansia,
yang dengan jelas membedakannya dari hewan. Maka Ernst Cassirer
cenderung menyebut manusia:
9 Menuju Kepada Manusia Seutuhnya, Soerjanto Poespowerdojo, dalam buku Sekitar Manusia Bunga Rampai Tentang Filsafat Manusia, P.T. Gramedis, Jakarta 1978.hlm. 11.
39
―The great thinkers who have defined man as an animal rationale,‖ writes Ernst Cassirer,―were not empiricists, nor did they ever intend to give an empirical account of human nature. By this definition they were expressing rather a fundamental moral imperative. Reason is a very inadequate term with which to comprehend the forms of man‘s cultural life in all their richness and variety. But all these forms are symbolic forms. Hence, instead of defining man as an animal rationale, we should define him as animal symbolicum‖ (Cassirer 1974, 25-26) Digunakan untuk menyebutkan manusia sebagai: ―animal symbolicum‖ atau hewan yang bersimbol‖10.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan WJS
Poewadarminta disebutkan, simbol atau lambang adalah semacam
tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya, yang menyatakan
suatu hal, atau mengandung suatu maksud tertentu. Misalnya, warna
putih melambangkan kesucian, padi lambang kemakmuran, dan kopiah
merupakan salah satu tanda mengenal warga Negara Republik
Indonesia.
Simbol atau lambang adalah sesuatu hal atau keadaan yang
merupakan pengantara pemahaman terhadap obyek. Untuk
mempertegas pengertian simbol atau lambang dibedakan antara
pengertian-pengertian isyarat, tanda dan simbol atau lambang. Isyarat
ialah sesuatu hal atau keadaan yang diberitahukan oleh si subyek
kepada obyek, artinya subyek selalu berbuat sesuatu untuk
memberitahukan keadaan si obyek yang diberi isyarat agar si obyek
mengetahuinya pada saat itu juga. Isyarat tidak dapat ditangguhkan
pemakaiannya, ia hanya berlaku pada saat dikeluarkan atau dilakukan
oleh subyek. Isyarat yang dapat ditangguhkan atau disimpan
penggunaannya akan berubah bentuk menjadi tanda. Sedangkan tanda
ialah sesuatu hal atau keadaan yang menerangkan atau
memberitahukan sesuatu kepada si obyek, sedangkan simbol atau
lambang ialah sesuatu hal atau keadaan yang memimpin pemahaman si
subyek kepada obyek. Tanda selalu menunjukan kepada sesuatu yang
10 An Essay on Man. An Introduction to a Philosophy of Human Culture, Ernst Cassire, New Haven, 1944, hlm 23-26.
40
riil atau benda, kejadian atau tindakan, misalnya guntur selalu ditandai
dengan adanya kilat yang mendahuluinya. Tanda-tanda alamiah ini
merupakan suatu bagian dari hubungan alamiah tertentu, dan
menunjukan pada bagian yang lain yaitu hubungan sebab akibat (asap
menandakan ada api). Tanda-tanda yang dibuat oleh manusiapun
menunjukan sesuatu yang terbatas artinya dan menunjukan hal-hal
yang tertentu, misalnya rambu-rambu lalulintas, tugu-tugu jarak
jalanan seperti kilometer, tanda baca, tanda pangkat atau jabatan dll.11
C.A. van Peursen dalam bukunya ―Strategi Kebudayaan‖ yang diterjemahkan oleh Dick Hartono, menguraikan tentang pengertian
dan proses terwujudnya simbol atau lambang dalam kebudayaan
manusia antara lain sebagai berikut: 12
1. Sejumlah pengarang membedakan antara tanda dan simbol atau
lambang. Tanda mempunyai pertalian tertentu dan tetap dengan apa
yang ditandai: ―di mana ada asap, di sana ada api‖, asap merupakan
tanda adanya api. Seekor hewan dapat diajari menghafalkan tanda-
tanda, maka bukan hanya tanda-tanda yang diikutsertakannya. Ia
sendiri dapat menciptakan tanda-tanda, dan tanda-tanda ciptaannya
kita namakan simbol-simbol. Antara tanda dan apa yang ditandai tak
ada lagi suatu pertalian alamiah. Huruf a—p—i itu merupakan sebuah
simbol. Dengan cepat kita memahami tanda-tanda tersebut: suatu
perjanjian lisan dan sederhana sudah cukup untuk itu. Terdapat juga
simbol-simbol yang semata-mata berdasarkan perjanjian serupa itu,
seperti misalnya tanda-tanda dalam ilmu aljabar atau petunjuk-
petunjuk disebuah stasiun.
2. Terdapat juga simbol-simbol yang terbina selama berabad-abad.
Lambang-lambang purba seperti ―api‖, ―air‖, ―matahari‖, ―ikan‖ dan
sebagainya mempunyai fungsi yang kadang-kadang relijius, kadang-
kadang seni dan kadang-kadang teknis semata-mata sebagai alat
komunikasi. Sebetulnya aspek-aspek tersebut tak dapat dipisahkan dan
11 Simbolisme dalam Budaya Jawa, Budiono Herusatoto, Penerbit P.T. Hanindita, Yogyakarta, 1984.hlm.11. 12 Strategi kebudayaan, C.A. van Peursen, Yayasan Kanisius Yogyakarta dan BPK Gunung Mulia Jakarta, 1976.hlm.141-150.
41
dalam lingkungan kebudayaan kuno memang berjalan bersama-sama.
Contoh yang bagus kita jumpai dalam huruf-huruf hiroglif di Mesir
kuno. Huruf-huruf tersebut menggambarkan sesuatu, jadi mengandung
berita, tetapi tidak lewat huruf-huruf biasa, satu huruf satu bunyi
misalnya, melainkan lewat lambang-lambang keagamaan kuno yang
sekaligus merupakan ekspresi seni yang indah sekali.
3. Lambang-lambang mengejawantahkan proses belajar, sehingga
kita seolah-olah dapat naik menara dan memandang daerah-daerah
yang luas yang dulu tidak pernah kita kenal, kita lalu tahu arah mana
kita harus berkiblat. Manusia lalu tidak lagi seperti hewan terkurung
dalam lingkungan alam, alam itu diangkat ke dalam daya-daya cetusan
simbol-simbolnya sendiri. Ini berarti bahwa manusia tidak hanya
mendirikan menara-menara yang memperluas pandangan sendiri
diubahnya. Lambang-lambang merupakan penunjuk jalan di tengah-
tengah kesimpangsiuran perbuatan manusiawi. Lambang itu
melontarkan pertanyaan kepada kita: bagaimana kita menanggapi
situasi sekeliling kita? Simbol-simbol merupakan tugu-tugu yang
menandai proses belajar umat manusia, penunjuk jalan ke arah
pembaharuan dan penyusunan kembali. Bahkan lambang-lambang
purba yang sepenjang segala abad kita jumpai dalam dunia mitos
kesenian, khayalan, impian dan dunia bawah sadar, bukanlah batu-
batu yang berdiri tegak tanpa perubahan, melainkan selalu harus
ditafsirkan kembali. Baru lewat penafsiran kembali itu lambang-
lambang tadi tetap berlaku, seperti misalnya, dalam psikoterapi seperti
kesenian. Daya simboliknya tetap sama, asal disusun kembali dijadikan
kaidah-kaidah baru.
4. Lambang-lambang memperlihatkan sesuatu dari kaidah yang
berlaku dalam perbuatan manusiawi, pengertian dan ekspresi. Kaidah-
kaidah tersebut tidak hanya bertalian dengan akal budi dan pengertian
manusia, tetapi dengan seluruh pola kehidupannya, seluruh perbuatan
dan harapan manusia. Kaidah-kaidah tersebut selalu mengalami
perubahan, dan ini memerlukan suatu proses belajar yang bertalian
dengan situasi-situasi yang disusun kembali lewat perubahan dalam
simbol-simbol. Lambang-lambang bukan hasil pemerasan otak, bukan
42
semacam teka-teki silang. Lambang-lambang harus dipraktekkan,
merupakan penunjuk jalan yang memberi arah kepada perjalanan kita,
alat-alat terinformasi, untuk merubah sesuatu. Semua aktivitas manusia
berlangsung lewat kaidah-kaidah tertentu, entah dalam suatu
mekanisme teknis, kebijaksanaan politik, perwujudan artistik, atau
argumentasi ilmiah. Kaidah-kaidah tadi mengakomodir lambang-
lambang.
5. Lambang-lambang terdapat di luar badan manusia dan tidak
terikat oleh naluri jasmaniah. Manusia dapat menangani simbol-
simbol. Simbol dimana manusia sedang belajar, atau bila proses belajar
sedang berlangsung. Belajar berarti memperoleh suatu kepandaian
baru, pengertian baru, atau kaidah kelakuan yang baru. Seluruh
kebudayaan manusia merupakan proses belajar yang besar. Untuk
menampung hasil pelajarannya, manusia memiliki dan menggunakan
media yaitu bahasa. Dengan bahasa itu manusia meneruskan hasil
pelajarannya, bahkan mewariskannya kepada ingatan penerusnya.
Dengan demikian apa yang dipelajari setiap angkatan terus menambah
khasana pelajaran dari angkatan-angkatan sebelumnya, sehingga
pengetahuan manusia terus bertambah. Tradisi belajar dengan lisan
diikuti dengan tradisi belajar secara tertulis. Dan kemudian
pengetahuan manusia meneruskan dan dialihkan dengan menggunakan
lambang-lambang atau simbol-simbol abstrak yang disandikan/bahasa
sandi, maka pengertian bahasa menjadi meluas, tidak hanya meliputi
bahasa dalam arti kata yang sempit, melainkan meliputi segala macam
bentuk lambang atau simbol berupa: kata, tarian, gambar-gambar
isyarat.
I. Kuntara Wiryamartana seorang ahli filsafat berpendapat
bahwa bentuk lambang dapat berupa: bahasa, (cerita, perumpamaan,
pantun, syair, peribahasa), gerak tubuh (tari), suara atau bunyi (lagu
musik), warna dan rupa (lukisan, hiasan, ukiran, bangunan).13
13 Simbolisme dalam Budaya Jawa, Budiono Herusatoto, Penerbit P.T. Hanindita, Yogyakarta, 1984.hlm.14.
43
Memaknai sesuatu itu (simbol), tersirat sikap individu dan
kelompok tertentu untuk melakukan apa yang ada pada simbol
tersebut. Memaknai menunjukan sikap yang relevan antara makna dan
pemakna. Terjadinya perlawanan antara makna (maksud simbol) dan
pemakna (pengguna simbol), akan muncul sikap perlawanan yang
mengakibatkan hilangnya tujuan pada sesuatu itu (simbol). Karena itu,
memaknai simbol dibutuhkan rasa kolektiv, cara padang kolektiv, cara
bertindak kolektiv pada tujuan yang akan dicapai. Jika pada komunitas
tertentu, tujuan atau hasil dari simbol yang dilakukan tidak tercapai,
maka hal tersebut akan berdampak pada kekacauan individu, dan
berakibat pada kesuraman simbol di masa depan. Pada uraian berikut,
akan diuraikan makna dan tindakan simbolik manusia.
Makna dan tindakan simbolik manusia
Manusia dan simbol yang digunakan merupakan dua sisi yang
memiliki kaitan, dan sangat sulit untuk dipisahkan. Bahkan, keduanya
saling memberi pemaknaan. Untuk mengetahui manusia bersama
seluruh aspek hidupnya, simbol menjadi pintu masuk. Dari simbol
yang dimunculkan melalui perilaku manusia, pada saat yang sama pula,
manusia sementara menyampaikan pesan kepada pihak lain tentang
apa yang sementara dipikirkan dan dikerjakan. Dalam konteks
tersebut, menurut sosiolog R.M. Maclver bahwa:
―Kesatuan sebuah kelompok, seperti semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan maksud simbol... Simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu, sebuah sarana komunikasi, dan landasan pemahaman bersama... Setiap komunikasi dengan bahasa atau sarana yang lain, menggunakan simbol-simbol. Masyarakat hampir tidak mungkin ada tanpa simbol-simbol‖14.
Dalam bukunya berjudul, Culture and Communication, Edmund Leach (1950:340), memasukan tanda dan isyarat (sinyal) sebagai
operator dalam proses komunikasi; ketiganya merupakan ―tindakan-
tindakan ekspresif‖ yang ―entah hanya mengatakan sesuatu tentang
tatanan dunia sebagaimana adanya, entah bermaksud untuk mengubah
14 Soceiety, Macmilan, R.M. Maclver, 1950, hlm. 340.
44
tatanan itu secara metaforis‖. Operator-operator seperti isyarat, tanda,
dan simbol, menurut Leach, bersifat deskriptif atau transformatif.15
F.W. Dillistone, menjelskan pendapatnya tentang beberapa
istilah umum yang berkaitan dengan gambaran, penunjuk, ikon,
kiasan, bahwa simbol agak terpisah dari dunia, sedangkan penunjuk
dan tanda-tanda pertama-tama diterapkan pada dunia sebagaimana
adanya. Menurutnya, penunjuk dan tanda-tanda beroperasi dalam
lingkungan yang relativ statis, di mana kata-kata atau gerak-gerik yang
sudah dikenal digunakan untuk mendeskripsikan suatu barang atau
peristiwa. Biasanya ada kesesuaian langsung, satu lawan satu; tugas
penguraian kode (decoding), apabila pemberi dan penerima berada
dalam masyarakat yang sama dan tetap, hanya sedikit yang
menimbulkan kesulitan. Ia menjelaskan juga, bahwa sinyal memiliki
perbedaan, kata sinyal mengisyaratkan permintaan perhatian atau
tindakan, yang dengan suatu cara untuk mengubah
(mentransformasikan) suatu keadaan atau duduk perkara yang ada.
Kata ini lebih tepat digunakan dan sesuai dalam konteks-konteks
kemiliteran, perdagangan, dan cara modern dalam menyampaikan
pesan-pesan dengan sarana elektronik. Meskipun demikian, dalam
banyak hal, baik dalam deskripsi maupun dalam tindakan
transformatif, komunikasi dimaksudkan untuk mencapai suatu hasil
langsung, dengan menggunakan tanda dan sinyal yang ada, dalam
peristilahan umum suatu sisitem budaya khusus. Dalam situasi yang
sangat kompleks, apabila bahasa simbol dan simbolisme digunakan,
―simbol‖ dan ―simbolis‖ dalam iklan, berita, pidato politik, prakiraan cuaca, dan analisis ekonomi, semakin tidak menunjukan
ketidaksesuaian dengan istilah-istilah yang digunakan.16
Symbollein17, memberi penekanan pada sebuah benda yang dipecahkan menjadi dua bagian dan masing-masing pihak memegang
15 Culture and Communication, Edmund Leach, Cambridge University Press, 1976 16 The Power Of Simbols, F.W. Dillistone, diterjemahkan oleh A. Widyamartaya Kanisius 2002.hlm. 17 Pada waktu dua orang Yunani kuno mengadakan perjanjian, mereka kerapkali memeteraikan perjanjian itu dengan memecahkan sesuatu – sebuah lempengan, sebuah cincin, sebuah benda dari tanah liat – menjadi dua bagian dan masing-masing pihak menyimpan satu bagian. Jika salah satu pihak yang mengadakan perjanjian, kemudian menghendaki perjanjian itu dihormati, ia atau
45
kedua bagian merupakan satu kekuatan yang mengikat kedua pihak.
Walaupun dalam kenyataannya kedua pihak tidak berada dalam satu
wilayah, namun patahan benda tersebut sewaktu-waktu dapat dapat
disatukan atau ―dicocokan‖ kembali. Pada saat kedua patahan benda tersebut ―dicocokan‖ maka kata ―dicocokan/disatukan‖ itu disebut simbol. Kata ini lambat laun berarti tanda pengenalan, dalam
pengertian yang lebih luas, misalnya, untuk anggota-anggota
masyarakat, rahasia atau minoritas yang dikejar-kejar... Sebuah simbol
pada mulanya adalah sebuah benda, sebuah tanda, atau sebuah kata
yang digunakan untuk saling mengenali dan dengan ―arti‖ yang sudah dipahami oleh kedua pihak.
Dari kata symbollein, Edmund Leach memberikan pernyataan bahwa:
―kesatuan sebuah kelompok, seperti semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan memakai simbol... Simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu, sebuah sarana komunikasi dan landasan pemahaman bersama... Setiap komunikasi, dengan bahasa atau sarana yang lain, menggunakan simbol-simbol, mengisyaratkan bahwa masyarakat hampir tidak mungkin ada tanpa simbol-simbol18.
A.N. Whitehead menulis dalam bukunya symbolisim ―pikiran manusia berfungsi secara simbolis apabila beberapa komponen
menggugah kesadaran, kepercayaan, perasaan, dan gambaran mengenai
komponen-komponen lain pengalamannya‖. Perangkat komponen
terdahulu adalah ―simbol‖ dan perangkat komponen yang kemudian
adalah ―makna‖ simbol. Keberfungsian organis yang menyebabkan
adanya peralihan dari simbol kepada makna itu akan disebut
―referensi‖19.
wakilnya akan mengidentivikasikan diri dengan mencocokan bagian dari barang yang telah dipecah itu dengan bagian yang lain. ―Mencocokan‖ dalam bahasa Yunani adalah symbollein dan atau kedua bagian atau kepingan itu disebut ―syimbola‖. 18 Culture and Communication, The logich by which symbols are connected and introduction to the use of structuralist analysis in social anthropology, Edmund Leach,Published by the press syndicate of the university of cambridge,2003.hlm.23. 19 Simbolisim, A.N. Whitehed, Cambridge University Press, 1928, hlm.9.
46
Goethe menyatakan bahwa dalam simbolisme sejati, yang khusus
mengungkapkan yang universal bukan sebagai impian atau bayangan,
melainkan sebagai wahyu yang hidup, dari yang tidak dapat diduga,
sedangkan Coleridge menandaskan bahwa sebuah simbol
sesungguhnya mengambil bagian dalam realitas yang membuatnya
dapat dimengerti. Pengambil bagian, atau partisipasi ini dilukiskan
kemudian hari pada abad ke sembilan belas dengan istilah ―substansi‖ seperti misalnya oleh George MacDonald, putranya menulis tentang
―ujaran simbolis‖. Baginya sebuah simbol jauh melebihi tanda lahir dan terlihat arbiter untuk sebuah konsepsi yang abstrak: nilainya yang
tinggi terletak dalam suatu substansi bersama ide yang disajikan‖20.
Berbeda dengan Arnold Toynbee yang memusatkan
perhatiannya pada dunia intelek, menurutnya; ―sebuah simbol tidak
identik atau koekstensif dengan obyek yang disimbolkannya‖.
Seandainya demikian halnya, simbol tersebut tidak dapat menjadi
simbol barang itu, melainkan barang itu sendiri. Adalah salah anggapan
bahwa sebuah simbol dimaksudkan untuk menjadi reproduksi barang;
sebenarnya simbol dimaksudkan bukan untuk merepro objeknya,
melainkan untuk meneranginya. Pengujian yang menunjukan bahwa
sebuah simbol berhasil atau gagal bukan karena simbol merepro atau
tidak merepro dengan setiap obyek yang ditunjukannya; pengujiannya
adalah, apakah simbol itu memberi tarang atas obyek itu, atau
mengaburkan pemahaman kita tentangnya. Simbol yang efektif adalah
simbol yang memberi terang, dan simbol efektif merupakan bagian
mutlak perlengkapan intelektual kita. Jika sebuah simbol harus bekerja
dengan efektif sebagai alat untuk tindakan intelektual – artinya,
sebagai ―model‖ – simbol itu harus disederhanakan dan dipertajam sehingga menjadi seperti sesuatu yang mirip peta-sketsa, jadi bukan
sebuah fotograf yang diambil dari pesawat terbang U-2‖21.
Erwin Goodenough dalam telaahannya yang panjang lebar,
Jewish symbols in graeco-roman period, mendefinisikan simbol sebagai berikut:
20 Lois Macneice, Varietis Cambridge University Press, 1965.hlm.94,97. 21 A Study of History Arnold Toynbee (edisi pertama), Thomas and Hudson,1976,hlm.53.
47
―simbol adalah barang atau pola yang apa pun sebabnya, bekerja pada manusia, dan berpengaruh pada manusia, melampaui pengakuan semata-mata tentang apa yang disajikan secara harfiah dalam bentuk yang diberikan itu‖. ―Simbol memiliki maknanya sendiri, atau nilainya sendiri dan bersama dengan ini, daya kekuatan sendiri untuk menggerakan kita‖. Singkatnya, referensi yang bersifat intelektual semata-mata tidak diterima. Malahan, daya kekuatan simbol yang bersifat emotif, yang merangsang orang untuk bertindak dipandang sebagai ciri hakikinya‖22.
Fungsi simbol menurut Erwin Goodenough merangsang daya
imajinasi, dengan menggunakan sugesti, asosiasi dan relasi. Sementara
Whitehead menjelaskan bahwa ‗simbol mengacu pada makna‘; bagi
Goethe ‗simbol menggambarkan yang universal‘; bagi Coledrige ‗simbol
berpartisipasi dalam realitas‘; bagi Toynbee ‗simbol menyinari realitas‘;
bagi Goodenaugh ‗simbol mendatangkan transformasi atas apa yang
harafiah dan lumrah‘; dan bagi Brown ‗simbol menyelubungi ke-Allah-
an‘.
F.W. Dillistone menggambarkan simbol dalam tiga bagian
diantaranya adalah:
1. sebuah kata, atau barang, atau obyek, atau tindakan, atau
peristiwa, atau pola, atau pribadi, atau hal yang konkrit;
2. yang mewakili, atau menggambarkan, atau mengisyaratkan, atau
menandakan, atau menyelubungi, atau menyampaikan, atau
mengunggah, atau mengungkapkan, atau mengingatkan, atau
merujuk kepada, atau berdiri menggantikan, atau mencorakan,
atau menunjukan, atau berhubungan dengan, atau bersesuaian
dengan, atau menerangi, atau mengacu kepada, atau mengambil
bagian dalam, atau menggelar kembali, atau berkaitan dengan;
3. sesuai yang lebih besar, atau transenden, atau tertinggi, atau
terakhir: sebuah makna, realitas, suatu cita-cita, nilai, prestasi,
kepercayaan masyarakat, konsep, lembaga, dan suatu keadaan.
22 Erwin Goodenough, Jewish Symbols in the Graecho-Roman Period, jilid 4, Pantheon Press, New York, 1953.hlm.28.
48
Dari ke tiga hal yang dijelaskan; poin nomor satu lebih dapat
dilihat, lebih dapat didengar, lebih dapat diraba, lebih dekat, lebih
konkret dari pada nomor tiga. Fungsi simbol menurut defenisi-defenisi
ini ialah, untuk menjembatani jurang antara dunia nomor satu dan
dunia nomor tiga, dan hal ini teramat penting demi berfungsinya hidup
masyarakat. Fariasi yang mungkin timbul dalam defenisi-defenisi itu
diakui secara umum, bahwa sebuah simbol sedikit banyak
menghubugkan dua entitas.23
Raymond Firth ―Hakikat simbolisme terletak dalam pengakuan, bahwa hal yang satu mengacu pada (mewakili) hal yang lain, dan hubungan antara keduanya, pada hakikatnya adalah hubungan yang konkret dengan hal yang abstrak, hal yang khusus dengan hal yang umum. Hubungan ini sedemikan rupa, sehingga simbol dari dirinya tampak mempunyai kemampuan, untuk menimbulkan dan menerima akibat-akibat yang dalam keadaan yang lain, hanya diperuntukan bagi obyek yang diwakili oleh simbol itu—dan akibat-akibat itu kerap kali mempunyai muatan emosional yang kuat‖.
Simbol mempunyai peranan yang sangat penting dalam urusan-
urusan manusia:
―manusia menata dan menafsirkan realitasnya dengan simbol-simbol, dan bahkan merekonstruksi realitasnya dengan simbol‖. Simbol menurut pandanganya, tidak hanya berperan untuk menciptakan tatanan – fungsi yang dapat dianggap pertama-tama bersifat intelektual‖. Sebuah simbol dapat berhasil memusatkan pada dirinya sendiri, seluruh semangat yang semestinya hanya menjadi milik realitas terakhir (tertinggi) yang diwakilinya‖.
Sesungguhnya menurut Firth, sebuah simbol dapat menjadi
sarana, untuk menegakkan tatanan sosial, atau untuk menggugah
kepatuhan-kepatuhan sosial; selain itu, sebuah simbol kadang-kadang
dapat memenuhi suatu fungsi, yang dapat bersifat privat dan
individual, meskipun tidak mudah mengakui adanya nilai dalam
sebuah simbol, yang tidak mempunyai suatu acuan kepada pengalaman
sosial yang lebih luas.
23 The Power Of Simbols, F.W. Dillistone, diterjemahkan oleh A. Widyamartaya Kanisius 2002.hlm. 20, 21.
49
Pada bagian akhir, buku yang ditulis oleh Firth ―symbol and substance‖, Firth memusatkan perhatian pada soal yang asasi bagi semua teori simbolisme, dia menyatakan dengan terus terang; apa itu
simbol? Jika dalam masyarakat bentuk-bentuk simbolis digunakan,
apakah yang diwakili oleh bentuk-bentuk simbol itu, apa fungsinya,
makna apa yang termaktub, apa akibatnya pada hidup orang-orang
yang menggunakan bentuk-bentuk simbol itu? Dua istilah yang
digunakan oleh Firth penting artinya: ―simbol‖ mencakup dua entitas: ―substansi‖ berarti zat atau bahan yang mendasari, tidak terbagi. Suatu pandangan hidup yang meliputi simbol-simbol bersifat biner
(berpasangan): tidak ada perpaduan kristalisasi penuh, menjadi sebuah
masa yang kuat padat, melainkan antar hubungan yang tetap unsur-
unsur satu sama lain. Suatu pandangan hidup yang berdaya upaya
untuk mendefenisikan substansi-substansi bersifat uniter (kesatuan):
mungkin ada banyak substansi, tetapi masing-masing atomis, mandiri,
final. Maka dari itu, substansi hanyalah substansi; tidak dapat berkaitan
secara hidup dengan sesuatu yang lain dan dengan demikian tidak
dapat membangun hubungan simbolis apapun (Firth 1973:105)24
Mary Douglas dalam bukunya Natural Symbolis, pada bagian yang diberi judul; ―The Two Bodies‖. Dijelaskan ―ia sangat terkesan melihat hubungan erat yang ada antara tubuh manusia dan masyarakat
manusia‖... Tubuh merupakan anologi yang cocok sekali untuk
diterapkan pada masyarakat umum: susunan, tata kerja dan tata
hubungan antara pelbagai bagian tubuh dapat disejajarkan dengan
hidup setiap masyarakat tertutup. Oleh karena adanya korelasi ini
maka dijelaskan bahwa: ―simbol-simbol alami tidak akan ditemukan
dalam butir-butir leksikal yang individual‖. Tubuh jasmani dapat
mempunyai makna universal hanya sebagai sistem yang menjawab
sistem sosial, dengan mengungkapkannya sebagai sebuah sistem. Apa
yang disimbolkannya secara alamiah adalah hubungan bagian-bagian
sebuah organisme dengan keseluruhan.
24 Lihat Syimbols: and Privasi, Allen and Unwin Raymond Firth 1973. hlm.103-105.
50
Dua tubuh itu adalah diri sendiri dan masyarakat: kadang-kadang
keduanya sedemikian dekatnya sehingga hampir menjadi satu; kadang-
kadang keduanya terpisah jauh. ―Tegangan antara keduanya memungkinkan pengembangan makna-makna‖. Seperti halnya
manusia berusaha menciptakan tatanan dan pengendalian dalam hal-
hal yang berhubungan dengan tubuhnya sendiri, demikian juga ia
mengupayakan kategori-kategori stabilitas untuk kehidupan sosialnya.
Sesungguhnya ia tidak dapat tumbuh berkembang mencapai
kematangan badani dan budaya kalau tidak di dalam sistem simbolis
yang koheren.
Demikian juga sistem simbolis yang paling memuaskan, rupanya
adalah apa yang terstruktur secara organis dan yang menjaga hubungan
erat antara ungkapan sosial dan ungkapan tubuh. Bahwa bahasa
manusia dan tata cara dipengaruhi secara mendalam oleh susunan
masyarakat dan vice versa, bahwa setiap masyarakat menemukan simbol-simbolnya yang autentik dengan menimbah dari anologi-
anologi yang diberikan oleh prilaku berpola tubuh manusia. Karena
keyakinannya yang mendalam bahwa simbol-simbol sangat penting,
tidak hanya untuk menata masyarakat tetapi juga untuk
mengungkapkan kosmologinya.
Viktor Turner (1969:15), dalam bukunya ―the forest of symbols‖ dan ―the ritual process‖ membicarakan fungsi simbol dalam mengatur kehidupan sosial. Ia menjelaskan ada dua segi yang harus
dipertimbangkan: penciptaan peranan-peranan dan aturan-aturan yang
memungkinkan eksistensi sosial sehari-hari, munculnya kelompok-
kelompok komunal yang mempunyai keyakinan-keyakinan dan hasrat-
hasrat bersama, serta yang menata dirinya dengan cara-cara yang
berbeda, dari cara-cara masyarakat luas. Ia menjelaskan, bentuk-
bentuk simbolis dalam ritual konteks Ndembu;
―hampir setiap barang yang dipakai, setiap gerak-gerik yang digunakan, setiap nyanyian atau doa, setiap satuan tempat dan waktu, menurut adat, berarti sesuatu yang lain dari dirinya sendiri, lebih banyak dari pada tampaknya, dan kerap kali jauh lebih banyak‖.
51
Suatu unsur, atau satuan ritual disebut chijikijilu. Secara harafiah
kata ini berarti, suatu ―hal yang menonjol‖ atau ―nyala api‖ (untuk mencari atau membuat jalan), chijikijilu juga berarti suatu ―unsur‖ sesuatu dalam pemandangan alam yang jelas kelihatan, seperti
misalnya sebuah sarang semut... Jadi, kata ini mempunyai dua artian (i)
sebagai nyala api pemburu, mengartikan suatu unsur hubungan antara
wilayah yang diketahui dan yang tidak diketahui; (ii) baik sebagai
nyala api maupun suar, memberikan pengertian tentang, yang tersusun
dan teratur, sebagai lawan yang tidak tersusun, dan kacau balau.
Pemakaiannya dalam upacara sudah bersifat metaforis,
menghubungkan dunia yang diketahui, yaitu dunia yang terserap
pancaindra, dengan dunia yang tidak ketahui dan tidak kelihatan, yaitu
dunia bayang-bayang gelap. Membuat apa yang misterius, dan juga
berbahaya menjadi dapat dimengerti‖. Jika penafsiran kata chijikijilu ini benar, itu berarti ada keinginan yang kuat untuk memelihara suatu
―suar‖ kehidupan, yang teratur dan tepat suatu ruang keramat yang sentral, suatu tempat terbuka dalam semak belukar yang tanpa bentuk,
di mana pribadi-pribadi simbolis dapat bekerja dengan menetapkan
peraturan dan pemeliharaan siklus tata cara yang tepat.25
Namun, tidak hanya masyarakat Ndembu, tetapi juga untuk banyak masyarakat suku lainnya, fungsi rangkap bentuk-bentuk
simbolis ini perlu. Di satu pihak, ada penggambaran tatanan secara
simbolis, tempat yang keramat atau kuil, penataan terus menerus atas
upacara-upacara yang berkaitan dengan kelahiran, masa puber, dan
kematian, atau dengan siklus penanggalan perayaan gerakan-gerakan
benda-benda langit. Di lain pihak, ada tata cara simbol yang harus
dilaksanakan ketika suatu peristiwa kritis hampir terjadi: suatu
perjalanan ekspedisi baru, perjumpaan dengan suku bangsa lain. Ini
adalah pengalaman-pengalaman kritis, dimana kelompok-kelompok
terbatas harus berpetualang masuk ke dalam dunia yang tidak
diketahui. Upacara-upacara simbolis diperlukan untuk menjamin
kepergian yang aman, dan kedatangan kembali yang membahagiakan.
25 The Ritual Process, Routledge and Kegan Paul, 1969. hlm.15.
52
Jadi, di satu pihak ada bentuk-bentuk simbolis yang diperlukan,
untuk menjaga kesehatan yang berkelangsungan dan kehidupan teratur
seluruh masyarakat. Seiring dengan itu, Turner membuat perbedaan
antara simbol dan tanda: dalam simbol-simbol, ada semacam kemiripan
(entah bersifat metafora atau bersifat metanomia), antara hal yang
ditandai maknanya, sedangkan tanda-tanda tidak mempunyai
kemiripan seperti itu... Tanda-tanda hampir selalu ditata dengan sitem-
sistem ―tertutup‖, sedangkan simbol-simbol, khususnya simbol yang
dominan dari dirinya sendiri bersifat ―terbuka‖ secara semantis. Makna
simbol sama sekali tidaklah tetap... Makna-makna baru, dapat saja
ditambahkan oleh ―arbriter‖26, pada wahana-wahana simbolis yang
lama. Lagi pula, individu-individu dapat menambahkan makna pribadi
pada makna umum sebuah simbol.27
Clifford Geertz selama beberapa tahun menetapkan tujuan utama
hidupnya untuk menafsirkan kebudayaan-kebudayaan. Dalam
bukunya berjudul ―Anthropological Approaches to the Study of Religion‖ yang disunting oleh Michael Banton (1968:3), Geertz menyatakan, bahwa
―dalam praktek-praktek keagamaan yang ditelaah oleh para ahli antropologi budaya ―kebudayaan‖ telah menjadi istilah yang kabur dan kerap kali ambigu dibanyak tempat. Menurut penggunaan Geertz, ―kebudayaan‖ berarti ―suatu pola yang ditularkan secara historis, yang diejawantahkan dalam simbol-simbol, suatu sistem konsep yang diwarisi, terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis, yang menjadi sarana manusia untuk menyampaikan, mengabadikan, dan mengembangkan penge-tahuan mereka, sikap-sikap terhadap hidup‖28.
26 ...disepakati oleh dua belah pihak yang bersengketa untuk memberikan keputusan yang akan ditaati oleh kedua belah pihak. Dalam hubungannya dengan kesepakatan terhadap pemaknaan penggunaan simbol, terkadang simbol mengalami perubahan desain berdasarkan konteks,maka ―arbriter‖ menjadi pilihan bersama dan semua pihak diminta untuk menaati perubahan penambahan atau pengurangan terhadap simbol bersama. Konteks ini dalam kehidupan suku Mairasi di Kabupaten Kaimana, komunitas suku telah mengubah sikap lama yang terikat kental dengan sikap masa lalu ―nyawa ganti nyawa‖ jika ada anggota suku yang terbunuh. Masa sekarang,tuntutan tersebut mengalami perubahan, anggota suku yang terbunuh diganti dengan seorang anak (dalam keadaan hidup-bukan dalam bentuk membalas membunuh). 27 F.W. Dillistone, Relegious Experience and Christian Faith, SCM Press, 1983. 28 Michael Banton (ed), Anthropologival Aproaces to the Study of Religion, Methuen,1968.hlm, 3.
53
Jadi, makna yang diejawantahkan dalam simbol, konsep yang
terungkap dalam bentuk simbolis, merupakan pusat minat dan
pilihannya. ―Geertz memberikan paradigma; simbol keagamaan
―berfungsi mensintesiskan etos suatu bangsa – nada, watak, mutu hidup mereka, gaya, rasa moral, dan estetisnya – serta pandangan hidup yang
mereka punyai tentang cara hal ikhwal apa adanya, gagasan mereka
yang paling komprehensip tentang tatanan‖. Cara hidup dan
pandangan hidup saling melengkapi, kerap kali melewati satu bentuk
simbolis. Hal ini memberikan gambaran tatanan yang komprehensif,
dan pada waktu yang sama, mewujudkan pola sintesis perilaku sosial.
Ada kongruensi, atau kesesuaian antara gaya hidup dan tatanan
universial, dan hal ini terungkap dalam sebuah simbol yang terkait
dengan keduanya.
Setiap obyek, tindakan, peristiwa, sifat atau hubungan yang
dapat berperan sebagai wahana suatu konsepsi; dan konsepsi ini adalah,
―makna‖ simbol. Jadi penafsiran kebudayaan pada dasarnya adalah penafsiran simbol-simbol, sebab simbol-simbol bersifat teraba, terserap,
umum, dan konkret. Simbol-simbol keagamaan adalah simbol-simbol
yang mensintesiskan ―dunia sebagaimana dihayati dan dunia
sebagaimana dibayangkan‖, dan simbol-simbol ini berguna untuk
menghasilkan dan memperkuat keyakinan keagamaan. Dengan
memegang pandangan ini, Geertz menyingkirkan semua teori
mentalitas primitif, atau evolusi budaya. Yang diinginkan Geertz
adalah, memahami apa arti atau makna tindakan-tindakan simbolis,
bagi orang-orang yang melakukannya, membeberkan ―struktur-struktur konseptual yang dinyatakan oleh tindakan-tindakan ritual‖29.
Kekuasaan Simbolik Dalam Bahasa Dan Prilaku Manusia
Dalam kehidupan sosial, wujud kekuasaan seringkali terpatri
dalam gagasan politik formal seperti negara, dan kekerasan
diidentikkan dengan aktivitas fisik yang merugikan. Perwujudan relasi
29 The Power Of Simbols, F.W. Dillistone, diterjemahkan oleh A. Widyamartaya Kanisius 2002.hlm.115.
54
kekuasaan dan kekerasan dilihat sebagai peristiwa yang melibatkan
entitas-entitas fisik, seperti tubuh para aktor, sarana prasarana fisik,
institusi, dan lainnya.
Seiring dengan globalisasi dan teknologi informasi, wujud
kekuasaan dan kekerasan mengalami perubahan secara radikal.
Keduanya hadir dalam sebuah ruang yang seolah-olah tidak terjadi apa-
apa, atau seakan-akan kosong dari segala kepentingan. Kekuasaan dan
kekerasan dipikirkan sebagai suatu entitas yang terpisah, dimana
kekuasaan sepertinya tak bersinggungan dengan kekerasan, dan
begitupun sebaliknya. Perwujudan relasi kekuasaan dan kekerasan
pada era sekarang ini tidak lagi tampil dalam ruang konkrit yang
melibatkan aktivitas fisik, keduanya beroperasi dalam sebuah ruang
representasi, yang menjadikan sumber daya simbol sebagai kekuatan
abstrak, untuk menciptakan kebenaran.
Melalui representasi, sebuah realitas yang sebelumnya tidak
dapat dihadirkan, bisa dipresentasikan kembali melalui mobilisasi
sistem simbol, entah itu bahasa, wacana, gambar, dan semacamnya.
Representasi kebenaran melalui semesta simbolik mampu menciptakan
mekanisme sosial yang di dalamnya terdapat pertautan antara
kekuasaan dan kekerasan. Representasi yang seharusnya mengandung
keselarasan antara tanda-tanda yang diproduksi dengan apa yang
dipresentasikannya, seringkali mengaburkan realitas yang sebenarnya.
Hal ini terjadi dikarenakan adanya patahan-patahan dalam sistem
representasi tersebut, di mana sistem simbolik sebagai medium
representasi telah didominasi oleh sistem kekuasaan tertentu.
Pengambilalihan sistem simbol ini terjadi sedemikian rupa, sehingga
menyebabkan mereka yang menerimanya tidak merasakan apa-apa.
Penerimaan begitu saja oleh mereka yang didominasi terhadap segala
bentuk tata simbol itulah yang menandakan berlangsungnya praktik
kekerasan dalam ruang sosial. Dengan kata lain, relasi kekuasaan dan
kekerasan senantiasa hadir dalam bilik-bilik kehidupan, walaupun
pola, teknik, dan mekanismenya mengambil bentuk yang berbeda.30
30 Pierre Bourdieu/Fashri, Fauzi, Menyingkap Kuasa Simbol, Yogyakarta 2014.hlm.10.
55
Setiap rezim yang muncul dalam menjalankan kekuasaannya,
tentu menghadirkan pula simbol-simbol yang menjadi tujuan dan
mewarnai kebijakan yang menjadi tujuan.
Orde politik era Sukarno misalnya, memproduksi gagasan
NASAKOM31 (Nasionalisme Agama Komunis) sebagai gugus simbolik
yang bertujuan menyatukan komponen kekuatan politik yang terbelah
pada masa itu. Di era Orde Baru32, sistem simbolik bersarang pada
wacana pembangunan. Begitu pula pada masa SBY-JK, wacana good
31 Konsepsi ini sebenarnya sudah dikemukakan oleh Sukarno muda di tahun 1926, melalui artikel berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Tiga aliran itu, kata Sukarno, merupakan kekuatan politik utama dalam pergerakan kemerdekaan di Indonesia. Nah, dalam kerangka melawan kolonialisme, penyatuan tiga aliran itu menjadi mutlak adanya. Dalam Suluh Indonesia Muda, tahun 1926, Sukarno sudah mengemukakan gagasan Nasakom ini. ―Nasionalisme, Islam, dan Marxisme, inilah azas-azas yang dipegang teguh oleh pergerakan-pergerakan rakyat diseluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi rohnya pergerakan-pergerakan di Asia itu. Rohnya pula pergerakan-pergerakan diIndonesia-kita ini,‖ kata Sukarno. Bukan tanpa alasan Sukarno mengatakan demikian. Memang sejak awal perjuangan kemerdekaan, kita memang sudah mengenal tiga aliran politik ini mewarnai berbagai organisasi pergerakan zaman itu. Semisal Indsche partij dan Sarekat Hindia yang ―Nasionalis‖, Sarikat Islam yang berideologi islam, dan kemudian ISDV/PKI yang berideologi marxisme. Dalam surat kabar pemandangan, melalui artikel berjudul Menjadi Pembantu Pemandangan, tahun 1941. Sukarno menganggap dirinya sebagai perasaan dari nasakom. Nasakom menjadi konsepsi Sukarno untuk menyatukan berbagai barisan perjuangan dalam merebut dan menegakkan kemerdekaan. Saat memberi amanat di Sidang Panca Tunggal Seluruh Indonesia, di Istana Negara, 23 Oktober 1965, Sukarno terang-terangan menyebut dirinya sebagai perasan dari nasakom. ―Ik ben nasionalist, ik ben islamiet, socialist. Tiga in one. Three in one, Sukarno. Lain kali disini, dimuka Istana merdeka saya pernah berkata, aku adalah perasan dari pada Nasakom‖ (Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/sukarno-dan-konsep-persatuan-nasakom/. Diunduh pada tanggal 21 Januari 2018. 32 Pemerintahan Orde Baru adalah suatu penataan kembali seluruh kehidupan bangsa dan negara serta menjadi titik awal koreksi terhadap penyelewengan pada masa yang lalu. Orde Baru bisa diartikan sebagai orde yang mempunyai sikap dan tekad mendalam untuk mengabdi kepada rakyat serta mengabdi kepada kepentingan nasional yang didasari oleh falsafah Pancasila dan menjunjung tinggi asas serta sendi Undang-undang Dasar 1945. ―Orde Baru juga bisa diartikan sebagai masyarakat yang tertib dan negara yang berdasarkan hukum, dimana terdapat keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat serta warga negara mempunyai pemimpin atau penguasa yang tunduk kepada ketentuan yang berlaku‖ (Jenderal Soeharto, 1967:7). ―Surat Perinttah 11 Maret 1966 atau Supersemar itulah yg menjadi titik awal lahirnyya Orde Baru‖ sebab dengan Supersemar itulah kemudian Soeharto membubarkan PKI dan mengambil tidakan-tindakan pembaharuan dan stabilisasi politik. Dan dengan Supersemar itulah sebenarnya kekuasaan Soekarno dengan sistem politik Demokrasi Terpimpin menjadi lenyap. Lenyapnya kekuasaan Soekarno kemudian diperkuat dengan ketetapan MPRS yang melalui sidang istimewa pada tahun 1967 mengangkat Letjen Soeharto sebagai Pejabat Presiden, sehingga sebagai simbol pun Soekarno tidak diakui sebagai pemegang kekuasaan. Kemudian pada bulan Maret 1968 MPRS menganggkat dan melantik Letjen Soeharto sebagai Presiden (Marwati Djoenet Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1984: 415).
http://www.berdikarionline.com/sukarno-dan-konsep-persatuan-nasakom/
56
governance dijadikan simbol utama untuk mendayung visi besar pemerintahan. Rezim politik juga seringkali melukiskan dirinya dalam
bahasa simbolik seperti ―penyambung lidah rakyat‖, ―bapak
pembangunan‖, atau ―anak bangsa‖. Pemilik simbol dapat mengejewantahkan dirinya seperti apa yang disimbolkan. Jika
demikian, rezim politik bisa menjalankan praktik kekuasaan-nya, atas
nama simbol yang diciptakan sendiri. Ia memiliki wewenang untuk
menjadikan simbol itu nyata, dan mendapatkan pengakuan bahwa
rezim politik memiliki mandat untuk bertindak sesuai dengan karakter
yang disimbolkan.
Simbol mengandung kekuatan untuk membentuk wajah realitas.
Kekuatan itu tersimpan dalam proses kategorisasi, penilaian, dan
pemaksaan ide-ide tertentu kepada obyek yang menafsirkan simbol.
Dalam dunia politik, operasi kerja kekuatan tak bisa dilepaskan dari
kekuatan struktur aktor politik yang berkepentingan mengonstruksi
realitas. Wacana good governance yang digulirkan pemerintah SBY-JK sebagai visi besar pengelolaan negara. Mangacu pada pandangan
Edward Said di bagian pendahuluan Magnum Opus-nya, menyatakan bahwa ―there is no such things as a delivered presence; there is onli re-presence, or representation‖ di balik pewacanaan good governance terdapat upaya menyembunyikan relasi kuasa yang tak tampak, seolah-
olah objektif. Wacana terorisme, misalnya, digunakan oleh pemerintah
untuk menentukan kelompok mana yang disebut teroris dan mana
yang bukan. Terorisme sebagai wacana simbolik dijadikan modal
politik bagi pemerintah dalam mengesahkan Undang-Undang
Terorisme yang memberikan payung hukum sah untuk melakukan
praktik politik, seperti membuat kategori teroris hingga ke proses
penangkapan terhadap kelompok-kelompok yang dikategorikan
terorisme33.
Niccolo Mechiavelli dalam karyanya ―The Prince‖, kekuasaan harus dilestarikan melalui cara apapun agar kedaulatan sang penguasa
(negara) tetap tegak. Karenanya penggunaan kekerasan yang bersifat
fisik pun dapat dibenarkan, seperti intimidasi, penyiksaan penculikan,
33 Ibid.hlm. 11-13.
57
dan sebagainya. Dengan kata lain, negara memiliki kewenangan
melakukan politik kekerasan untuk mempertahankan dominasinya
terhadap yang dikuasainya. Antonio Gramsci seorang pemikir
neomarxis dari Itali–menyatakan, bahwa kekuasaan dapat
dilanggengkan melalui strategi hegemoni. Hegemoni yang
dimaksudkan oleh Gramsci ialah: peran kepemimpinan intelektual dan
moral (intellectual and moral leadership) untuk menciptakan ide-ide dominan. Kekuasaan yang dimaksudkan diperoleh lewat hegemoni ide-
ide (dalam wilayah budaya) didasarkan atas mekanisme konsensus.
Melalui hegemoni, ide-ide yang diciptakan penguasa menentukan
struktur kognitif masyarakat34.
Untuk menjaga keberlangsungan proses reproduksi kekuasaan
dan relasi kekuasaan, Louis Althusser menyatakan, negara sebagai
institusi sentral yang berperan mempersatukan dan memaksa
masyarakat dalam reproduksi kekuasaan, Ia membedakan antara kuasa
negara (pemeliharaan kekuasaan negara atau perebutan kuasa negara)
sebagai tujuan perjuangan kelas politik dan aparatus negara di sisi lain.
Pada bagian ini, uraian simbol kuasa dalam bahasa dan prilaku
simbolik manusia akan diuraikan lebih lanjut oleh penulis.
Simbol kuasa dalam bahasa manusia
Bahasa berperan positif bagi pembentukan makna, dalam
bentuk-bentuk kekuasaan di balik beroperasinya/penggunaan bahasa.
Artinya, bahasa menempati posisi strategi bagi penyemaian ideologi
yang ada di baliknya, serta mengandaikan modus kekuasaan tertentu
dalam setiap praktik bahasa, pilihan kata, gaya mengungkapkan dan
perbendaharaan kata, hingga kandungan pengetahuan yang
diungkapkan, atau disamarkan oleh suatu bahasa. Karena itu, bahasa
menjadi begitu penting bagi individu maupun kelompok tertentu
untuk meraih, melanggengkan, bahkan melawan suatu kekuasaan.
Perkara ini digambarkan oleh John B. Thompson sebagai berikut:
34 Menyingkap Kuasa Simbol, Pierre Bourdieu/Fashri, Fauzi, Yogyakarta 2014.hlm.16.
58
―As competent speakers we are aware of the many ways in which linguistic exchanges can express relation of power. We are sensitive to the variation in accent, intonation and vocabulary which reflect different positions in the social hierarchy. We are aware that individuals speak with differing degrees of authority, that words are loaded with unequal weights, depending on who utters them and how they are said, such that some word uttered in certain circumstances have a farces and a conviction that they wauld not have elsewhere. We are experts in the innumerable and subtle strategies by which words can be used as instruments of coercion and constrain, as tools of intimidation and abuse, as signs politeness, condescension and contempt‖.35
Bahasa tak sekedar menjadi alat komunikasi yang mencakup
sekumpulan kata-kata bermakna, dalam sebuah proses pemahaman. Ia
juga bisa berubah menjadi instrumen kekerasan yang mengeksploitasi
semesta simbolik dalam jejaring kekuasaan. Bahasa—sebagai salah satu
ruang produksi dan diaspora simbol—didapati oleh pelbagai
kepentingan untuk memperebutkan legitimasi dan mendapatkan
otoritas guna menanamkan otoritas. Bahasa seringkali menjadi aparatus hegemoni dari sebuah sistem kekuasaan melalui dua cara. Pertama, ketika ia tidak memberi ruang hidup bagi bahasa-bahasa lain (yang
plural), karena dianggap sebagai ancaman. Kedua, ketika ia digunakan untuk menyampaikan informasi (atau versi informasi), yang sesuai
dengan kepentingan kekuasaan. Dalam pertarungan simbolik, selalu
terdapat kekuatan-kekuatan untuk memberi nama yang diakui secara
resmi, monopoli visi yang sah terhadap dunia sosial, dan memaksa
pandangan suatu kelompok atas kelompok lain. Dalam pertarungan
simbolik pula, kompetisi antar pelaku sosial terjadi dengan tujuan akhir
memperoleh kekuasaan.
Kekuasaan simbolik—dalam pengertian Bourdieu—merupakan
suatu kekuasaan untuk mengonstruksi realitas, melalui tatanan
gneosological, yaitu melalui pemaknaan yang paling dekat mengenai dunia sosial untuk kelompok atau orang. Kekuasaan simbolik ialah
kekuasaan tak tampak dan hanya dikenali dari tujunnya untuk
memperoleh pengakuan. Sebuah kekuasaan simbolik meski tidak
35 Ibid..hlm.116.
59
dikenali bentuk aslinya, tapi ia tetap diakui. Kekuasaan simbolik
bekerja dengan menggunakan simbol-simbol sebagai instrumen
―pemaksa‖, terhadap kelompok subordinat yang turut berperan mereproduksi tatanan sosial, sesuai dengan keinginan kelompok
dominan. Seperti yang dipaparkan oleh Bourdieu. ―What creates the power of words and slogans, a power capable of maintaining or subverting the social order, is the belief in the legitimacy of words and of those who utter them‖36.
Kekuasaan simbolik bagi Bourdieu, dalam mengoptimalkan
kekuatannya, sangat bergantung pada dua hal. Pertama, seperti halnya wacana performatif, kekuasaan simbolik didasarkan pada kepemilikan
modal simbolik (symbolic capital). Semakin besar seseorang atau suatu kelompok memiliki modal simbolik, semakin besar peluangnya untuk
menang. Artinya, modal simbolik merupakan kredit bagi terbentuknya
otoritas sosial yang diperoleh dari pertarungan sebelumnya. Kedua, bergantung pada efektivitas simbolik di mana strategi investasi
sombolik bekerja. Efektivitas ini atas dasar pandangan yang
ditawarkan, atau sejauh mana strategi investasi simbolik dijalankan.
Dalam pandangan ini, kekuasaan simbolik merupakan sebuah
kekuasaan pentahbisan, sebuah kekuasaan untuk menyembunyikan
atau menampakkan sesuatu lewat kata-kata.37
Dominasi yang mengambil bentuk halus inilah yang disebut
Bourdieu sebagai kekerasan simbolik (symbolic violence), yaitu sebuah kekerasan yang lembut (a gentle violence), sebuah kekerasan tak kasat mata (imperceptible and visible) secara lebih lengkap, kekerasan simbolik merupakan suatu bentuk kekerasan yang halus dan tak
tampak yang dibaliknya menyembunyikan praktik dominasi. Bourdieu
bertutur:
...‖the gentle, invisible form of violence, misrecognized as such, chosen as much as it is submitted to, the violence of confidence, of personal loyality, of hospitality, of the gift, of the debt, of
36 Ibid..hlm.142. 37 Ibid..hlm.143.
60
recognition, of piety—of all virtues, in a word, which an honoured by the ethics of honour‖38.
Kekerasan simbolik menciptakan mekanisme kekerasan sosial yang
bersifat obyektif, di mana mereka yang dikuasai menerimanya begitu
saja. Mekanisme objektif yang diciptakan kekerasan simbolik
memanfaatkan simbol-simbol yang ada untuk memenuhi fungsi
politiknya, yaitu kehendak untuk berkuasa.
Prilaku simbolik manusia
Tidak bisa dipungkiri bahwa simbol dalam kehidupan
masyarakat (lokal, kelompok garis keras, politik dll), telah melekat dan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Simbol telah menjadi identitas,
individu, marga/klan, hingga komunitas kesukuan. Karena itu,
kehidupan manusia memang digerakan oleh simbol-simbol, dibentuk
oleh simbol-simbol dan dirayakan dengan simbol-simbol.
Sebagai sebuah identitas dalam hal apapun, simbol terkadang
diagung-agungkan, dibesar-besarkan, bahkan dipahami sebagai sebuah
peradaban. Baik menyangkut peradaban masa lalu hingga peradaban
masa sekarang. Karena itu, di tengah-tengah munculnya ketegangan
antara pihak-pihak tertentu, simbol menjadi sasaran penghancuran
musuh. Ketika simbol dihancurkan, orang dapat mengetahui siapa yang
melakukan dan dengan alasan apa musuh itu menghancurkan simbol
tersebut.
Ketika aksi terorisme 11 September meluluhlantakan gedung
kembar WTC (World Trade Center) di kawasan Manhattan New York Amerika Serikat; dan ketika orang-orang di negeri hiruk pikuk
menghancurkan, memorak-porandakan dan membakari gedung
pemerintahan, kendaraan, mall, atau tempat-tempat ibadah, sasaran sesungguhnya bukan pada benda-benda itu sendiri. Sasaran mereka
sebenarnya adalah simbol. Gedung-gedung pencakar langit, kendaraan,
pusat-pusat perbelanjaan, tempat-tempat ibadah, hal itu bisa saja
dilihat sebagai simbol ―kecongkakan‖, ―kekuasaan‖, ―kesewenangan‖,
―keserakahan‖, ―ke-pura-pura-an‖, dan itulah yang menjadi sasaran
38 Ibid..hlm.143.
61
penghancuran oleh kelompok-kelompok yang menganggap dirinya
sebagai musuh pemilik simbol-simbol tersebut39.
top related