BAB II FIX - sinta.unud.ac.id filekembali budaya tradisional dan mengurangi dampak negatif budaya pariwisata. Untuk pembangunan berkelanjutan sosial-budaya, pengelola geopark s mengadakan
Post on 27-Aug-2019
223 Views
Preview:
Transcript
15
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL
PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian terhadap geopark sudah dilakukan banyak peneliti termasuk
Setyadi (2012), Farsani et al (2014), dan Edi (2014). Sedangkan untuk Batur
Global Geopark masih sangat minim. Minimnya penelitian terhadap Batur Global
Geopark karena objek ini baru. Selama ini komentar tentang Batur Global
Geopark banyak muncul di media massa, namun semuanya berguna karena
memberikan gambaran sepintas tentang pengembangan yang terjadi.
Setyadi (2012) menganalisis aspek pengelolaan kawasan cagar alam
geologi Karangsambung. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang fokus
dalam menganalisis data secara deskriptif dan naratif. Teknik analisis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif. Konsep
pengembangan Cagar Alam Geologi Karangsambung adalah taman batuan alam
yang menyajikan fenomena evolusi bumi selama ratusan juta tahun. Harapan
untuk menjadi geopark harus diikuti dengan usaha untuk mencapai tiga tujuan
utama, diatantaranya memperkenalkan perlindungan warisan geologi kepada
publik dan merangsang keingintahunan dan mengembangkan rasa kebangganaan
terhadap warisan geologi yang ada. Tujuan kedua adalah untuk memperkuat
upaya pengembangan kegiatan ekonomi lokal. Tujuan ketiga adalah
pengembangan di bidang pendidikan.
Penelitian Setyadimemiliki persamaan dengan penelitian ini yaitu
menganalisis geopark dengan metode analisis deskriptif kualitatif. Perbedaannya
16
adalah penelitian Setyadi (2012) memfokuskan pada aspek pengelolaan kawasan
geopark, sedangkan pada penelitian ini lebih berfokus pada respon para pemangku
kepentingan pariwisata terhadap pengembangan geopark. Hasilnya dapat berupa
perencanaan pengembangan wisata geopark. Penelitiannya selanjutnya dilakukan
oleh Farsani et al (2014), tentang pengembangan geopark yang bertujuan untuk
menilai strategi inovatif dari geoparks untuk keberlanjutan budaya. Metodologi
penelitian ini meliputi penelitian primer dan sekunder. Adapun hasil dari
penelitian ini adalah mayoritas geopark terletak di daerah pedesaan dan geowisata
berpeluang untuk menjaga keberlanjutan budaya dan pembangunan pedesaan.
Mengenai hal ini, pengelola geopark memiliki beberapa kebijakan positif dalam
merangsang penduduk setempat untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang
diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi lokal dan konservasi
sumber daya alam. Melalui promosi geowisata, berusaha untuk menghidupkan
kembali budaya tradisional dan mengurangi dampak negatif budaya pariwisata.
Untuk pembangunan berkelanjutan sosial-budaya, pengelola geoparks
mengadakan lokakarya, festival, pameran dan program pendidikan. Selain itu,
geopark, melalui strategi yang inovatif, mencoba untuk memperkenalkan
keterampilan tradisional penduduk setempat sebagai guide lokal. Geoproducts
yang dibuat berdasarkan unsur-unsur geologi geoparks tidak hanya
memperkenalkan produk lokal dan kerajinan untuk wisatawan, tetapi juga
meningkatkan pengetahuan tentang geologi. Dengan demikian, geowisata
memungkinkan para wisatawan dan pengunjung untuk melakukan perjalanan di
17
wilayah mereka untuk mendapatkan pengalaman, belajar dan menikmati warisan
bumi.
Temuan dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa geopark mencoba
untuk menghidupkan kembali makanan tradisional, kesenian lokal dan budaya
tradisional melalui promosi kepada wisatawan. Ini menunjukkan bahwa geoparks
sebagai pelopor dalam pengembangan geopariwisata dapat dianggap sebagai dasar
berkelanjutan untuk pengembangan pariwisata. Penelitian Farsani et al (2014)
memiliki persamaan dengan penilitian ini karena sama menganalisis
pengembangan geopark di suatu wilayah. Beberapa perbedaannya adalah
penelitian Farsani et al (2014) menilai strategi inovatif dari pengembangan
geopark untuk keberlanjutan budaya di wilayahnya. Jadi fokusnya adalah
memberikan peniliaian terhadap pengembangan geopark, berbeda dengan
penilitian terfokus pada respon masyarakat lokal, wisatawan dan industri
pariwisata serta upaya pensosialisasian gagasan geopark lebih dipahami di
kalangan stakeholder pariwisata.
Edi (2014) melakukan penelitian di kawasan wisata Batur Global
Geopark, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli yang bertujuan untuk
mengidentifikasi kondisi potensi wisata masing-masing daya tarik wisata pada
kawasan wisata Batur Global Geopark dan mendeskripsikan bentuk partisipasi
masyarakat terhadap pengelolaan kawasan wisata Batur Global Geopark. Objek
penelitian ini adalah daya tarik wisata pada kawasan wisata Batur Global
Geopark. Subjek dalam penelitian ini adalah masyarakat sekitar kawasan wisata
Batur Global Geopark.
18
Populasi dalam penelitian ini berjumlah 1596 KK yang terdapat di dua
desa pada kawasan wisata Batur Global Geopark Kecamatan Kintamani yaitu
Desa Batur Tengah dengan daya tarik taman wisata alam Penelokan dan Museum
Gunungapi Batur dan Desa Trunyan dengan daya tarik wisata Kuburan Desa
Trunyan. Sampel yang digunakan adalah 10% dari jumlah populasi dari kedua
desa. Kemudian data dikumpulkan dengan menggunakan metode observasi,
wawancara, kuesioner dan pencatatan dokumen sedangkan analisis data
menggunakan analisis deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukan kondisi potensi wisata pada masing
masing daya tarik wisata yang berada pada kawasan wisata Batur Global Geopark
yaitu kondisi potensi daya tarik wisata taman wisata alam Penelokan tergolong
baik, kondisi potensi daya tarik Wisata Desa Trunyan tergolong sedang dan
kondisi potensi wisata daya tarik Wisata Museum Gunungapi Batur tergolong
baik. Secara umum kondisi potensi wisata Kawasan Wisata Batur Global Geopark
tergolong baik dan layak dijadikan sebagai daerah tujuan wisata bagi para
wisatawan, baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Terdapat
dua bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Kawasan Wisata Batur
Global Geopark yaitu bentuk partisipasi vertikal seperti penyuluhan dan
partisipasi horizontal seperti kerja bakti di sekitar lingkungan Batur Global
Geopark.
Terdapat persamaan penelitian yang dilakukan oleh Edi (2014) dengan
penelitian ini yaitu memiliki objek penelitian di Batur Global Geopark. Selain itu
juga sama – sama melihat respon dari masyarakat lokal dimana geopark itu
19
dikembangkan. Perbedaannya, penelitian Edi (2014) melihat perkembangan Batur
Global Geopark dari potensi dan bentuk partisipasi masyarakat. Pada penelitian
ini lebih berfokus dalam menganalisis respon yang timbul dari pengembangan
Batur Global Geopark yang nantinya akan berpengaruh bagi keberlanjutan
pariwisata Kintamani kedepan. Respon ini bisa dilihat dari sikap, persepsi dan
partisipasi para pemangku kepentingan pariwisata di Kintamani. Peneliti mencari
respon baik dari masyarakat lokal, industri pariwisata dan wisatawan domestik
dan mancanegara di kawasan Batur Global Geopark. Penelitian ini mencoba
mengkaitkan bagaimana pengembangan Geopark di Kintamani direspon oleh
masyarakat lokal, industi pariwisata dan wisatawan baik itu positif ataupun
negatif. Selanjutnya, dari hasil respon (sikap, persepsi dan partisipasi) dapat
melihat atau mengevaluasi pengembangan wisata Batur Global Geopark sesuai
dengan harapan para stakeholder pariwisata dan menentukan upaya yang bisa
ditempuh oleh pemegang kebijakan.
2.2 Konsep
Terdapat empat konsep yang perlu dijelaskan dalam penelitian ini, yaitu 1.
Konsep respon masyarakat lokal, 2. Konsep industri pariwisata, 3. Konsep
wisatawan, dan 4. Konsep Batur Global Geopark. Konsep-konsep tersebut
diuraikan satu per satu berikut ini untuk memberikan batasan dan ruang lingkup
permasalahan pada penelitian.
2.2.1 Respon Masyarakat Lokal
Sebelum melihat lebih jauh tentang respon masyarakat lokal, akan
dijelaskan terlebih dahulu konsep tentang ‘respon’. Respon merupakan balasan
20
atau tanggapan seseorang terhadap sesuatu. Proses merespon dilatarbelakangi oleh
tiga hal yakni sikap, persepsi dan partisipasi. Respon juga dapat memulai atau
membimbing tingkah laku individu yang bersangkutan karena tanggapan yang
dihasilkan merupakan pengaruh dari lingkungan tersebut (Swastha dan Handoko,
1997). Dalam berkomunikasi dengan dunia luar, orang menggunakan kelima
indranya untuk menerima tanda-tanda dan pesan-pesan. Cara orang menerima
dengan indra dan respons yang ditimbulkan berbeda-beda karena respons
(persepsi, sikap, dan perilaku) seseorang dibentuk oleh budaya ( Eilers, 1995).
Sikap yang muncul dapat positif, yakni cenderung menyenangi, mendekati
dan mengharapkan suatu objek. Seseorang disebut mempunyai respon positif
apabila dilihat melalui tahap kognisi, afeksi, dan psikomotorik. Sebaliknya,
seseorang disebut mempunyai respon negatif apabila informasi yang didengar
atau perubahan terhadap sesuatu objek tidak mempengaruhi tindakannya atau
justru menghindar dan membenci objek tertentu.
Lebih lanjut Blumer dalam Ritzer, (2010) menjelaskan terdapat sebuah
model yang dikenal dengan model stimulus respon. Model ini menekankan
keutamaan peristiwa eksternal yakni tindakan manusia dilihat sebagai respon
terhadap rangsangan yang terjadi di dunia luar. Tindakan manusia dapat sekaligus
disengaja dan kreatif, dimana aktor memperhitungkan, mengenal, menilai, dan
memutuskan pilihan dari berbagai alternatif tindakan yang ada.
Lebih lanjut untuk melihat masyarakat lokal secara lebih dalam,
Koentjaraningrat (1990) menyatakan masyarakat berasal dari akar kata Arab
21
syaraka yang berarti “ikut serta, berpartisipasi”. Masyarakat adalah sekumpulan
manusia yang saling “bergaul”, atau dikenal dengan istilah, saling “berinteraksi”.
Pemakaian kata masyarakat sehari-hari biasanya meliputi juga “Community”
dalam bahasa Inggris atau pada masyarakat berbahasa Inggris. Menurut Fairchild,
et al (dalam Setiadi, 2006), Community (masyarakat lokal) atau komunitas
merupakan bagian dari kelompok masyarakat (society) dalam lingkup yang lebih
kecil, serta lebih terikat oleh tempat (teritorial). Dengan mengambil uraian
masyarakat lokal menunjuk pada bagian masyarakat yang bertempat tinggal di
suatu wilayah dengan batas – batas tertentu, dimana faktor utama yang menjadi
dasarnya adalah interaksi yang lebih besar di antara anggota-anggotanya,
dibandingkan dengan penduduk di luar batas wilayahnya.
Dapat disimpulkan bahwa masyarakat lokal (community) adalah suatu
wilayah kehidupan sosial yang ditandai oleh derajat hubungan sosial yang
tertentu. Dasar-dasar masyarakat lokal adalah lokalitas dan perasaan masyarakat
setempat. Jadi unsur pertama dari masyarakat lokal adalah adanya wilayah atau
lokalitas, kedua adalah perasaan saling ketergantungan atau saling membutuhkan.
Perasaan bersama antara anggota masyarakat lokal itu disebut community
sentiment yang memiliki tiga unsur di antaranya; seperasaan, sepenanggungan dan
saling memerlukan. Jadi, dalam penelitian ini respon masyarakat lokal yang
dimaksud adalah sikap atau tanggapan yang diberikan oleh individu/ tokoh baik
postif dan negatif yang berinteraksi dalam kegiatan pariwisata pada kawasan
Batur Global Geopark.
22
2.2.2 Respon Industri Pariwisata
Industri pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait
dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan
wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata (UU No.10 Tahun 2009). Menurut
Yoeti (1985) industri pariwisata merupakan kumpulan dari macam-macam
perusahaan yang secara bersama menghasilkan barang-barang dan jasa (goods
and service) yang dibutuhkan para wisatawan selama dalam perjalanannya. Jasa
yang diperoleh tidak hanya oleh satu perusahaan yang berbeda fungsi dalam
proses pemberian pelayanannya. Perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam
industri pariwisata yaitu: Biro Perjalanan Wisata (Travel Agent), Perusahaan
Angkutan (Transportasi), Akomodasi Perhotelan, Bar dan Restoran, Souvenir dan
Handicraft, Perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengan aktifitas wisatawan,
seperti; media massa, tempat orang menjual dan mencetak film, kamera,
postcards, kantor pos, money changer, bank, dan lain-lain (Yoeti, 1983).
Dalam menjalankan perannya, industri pariwisata harus menerapkan
konsep dan peraturan serta panduan yang berlaku dalam pengembangan
pariwisata agar mampu mempertahankan dan meningkatkan jumlah kunjungan
wisatawan yang nantinya bermuara pada pemberian manfaat ekonomi bagi
industri pariwisata dan masyarakat lokal. Industri-industri pariwisata yang sangat
berperan dalam pengembangan pariwisata adalah: biro perjalanan wisata, hotel
dan restoran. Selain itu juga didukung oleh industri-industri pendukung pariwisata
lainnya.
23
Biro perjalanan wisata merupakan jembatan penghubung antara wisatawan
dengan penyedia jasa akomodasi, restoran, operator adventure tour, operator
pariwisata dan lain-lain (Subadra, 2007). Umumnya wisatawan menggunakan jasa
biro perjalanan wisata dalam menentukan rencana perjalannya (tour itenary),
namun tidak tertutup kemungkinan wisatawan mengatur rencana perjalanannya
sendiri. Berkaitan dengan penelitian ini, yang dimaksud dengan respon industri
pariwisata adalah sikap atau tanggapan dari pihak biro perjalanan wisata, hotel,
dan restoran baik positif maupun negatif yang aktivitasnya mencakup pada
kawasan Batur Global Geopark. Respon ini bisa terlihat dari sikap, persepsi dan
partisipasi para industri dalam pengembangan Batur Global Geopark.
2.2.3 Respon Wisatawan Domestik dan Mancanegara
Dalam konteks memahami respon wisatawan, akan dijelaskan siapa
wisatawan itu. Pemerintah mengeluarkan UU No. 10 tahun 2009 yang
menyatakan wisatawan adalah “orang yang melakukan wisata”. Wisatawan sering
disebut sebagai orang yang bepergian dari tempat tinggalnya untuk berkunjung ke
tempat lain dengan menikmati perjalanan dari kunjungannya itu (Spillane, 1993).
Definisi mengenai wisatawan secara teknikal biasanya digunakan dalam
perspektif kepentingan tujuan bisnis, organisasi dalam suatu wilayah. Salah satu
contoh definisi wisatawan secara teknikal adalah definisi yang dibuat oleh
Organization of Economic Coorporation Development (OECD) dengan
menggunakan istilah yang dikeluarkan oleh Komisi Ekonomi Liga Bangsa-
bangsa (The Committee of Statistical Experts of the League of Nations, 1937)
dalam Pitana (2005) yang menyatakan bahwa:
24
“Wisatawan adalah setiap orang yang mengunjungi suatu tempat selain
tempat di mana dia biasanya tinggal, dan dengan periode setidak-tidaknya
24 jam”.
Organisasi pariwisata dunia juga memberikan suatu definisi terkait
wisatawan. Wisatawan merupakan orang atau sekelompok orang yang melakukan
perjalanan untuk rekreasi atau liburan. Seorang wisatawan melakukan perjalanan
paling tidak sejauh 80 km (50 mil) dari rumahnya dengan tujuan rekreasi
(UNWTO, 2011). Berdasarkan berbagai pengertian wisatawan itu, dapat ditarik
kesimpulan bahwa secara teknikal, pengertian mengenai wisatawan seharusnya
memuat beberapa hal, di antaranya: pertama tempat tinggal asal wisatawan dan
lokasi tujuan wisatanya, kedua jangka waktu dan jarak perjalanan, ketiga tujuan
dan kepentingan melakukan perjalanan (Pitana, 2005).
Dalam konteks sosiologis wisatawan, perubahan persepsi serta motivasi
wisatawan dalam melakukan perjalanan wisata terus menerus mengalami
perubahan.Menurut Plog (1972 dalam Pitana 2005) wisatawan dapat
dikelompokan berdasarkan tipologi wisatawan sebagai berikut:
1. Allocentris, yaitu wisatawan hanya ingin mengunjungi tempat-tempat
yang belum diketahui, bersifat petualangan, dan mau memanfaatkan
fasilitas yang disediakan oleh masyarakat lokal.
2. Psycocentris, yaitu wisatawan yang hanya ingin mengunjungi daerah
tujuan wisata sudah mempunyai fasilitas yang sama dengan di negaranya.
3. Mid-Centris, yaitu terletak di antara tipologi Allocentris dan Psycocentris.
25
Menurut Pitana (2005), tipologi wisatawan perlu diketahui untuk tujuan
perencanaan, termasuk dalam pengembangan kepariwisataan. Tipologi yang lebih
sesuai adalah tipologi berdasarkan atas kebutuhan riil wisatawan sehingga
pengelola dalam melakukan pengembangan daya tarik wisata sesuai dengan
segmentasi wisatawan. Dalam penelitian ini, wisatawan yang dimaksud adalah
orang/ sekelompok orang yang melakukan perjalanan dengan tujuan utama untuk
liburan baik dari dalam negeri (domestik) ataupun asing (mancanegara) dan
berkunjung/ menginap di kawasan Batur Global Geopark. Respon wisatawan
yang dimaksud adalah sikap atau tanggapan wisatawan baik positif maupun
negatif yang muncul karena adanya rangsangan berupa interaksi yang terbentuk
pada kawasan Batur Global Geopark.
2.2.4 Batur Global Geopark
Geopark pertama kali berkembang di Eropa tahun 1999 dan kemudian
diikuti dengan pembentukan European Geopark Network (EGN) pada tahun 2000.
Konsep ini mendapat dukungan dari UNESCO (United Nations Educational
Scientific and Cultural Organization) dengan membentuk UNESCO official
Global Network of National Geoparks (GNG) pada tahun 2001. Hingga saat ini
sudah terdapat 66 geopark di 21 negara yang masuk ke dalam keanggotaan
GNG. Di Asia, Cina merupakan negara yang memiliki geopark terbanyak, yakni
sebanyak 22 geopark, sedangkan di Asia Tenggara baru Malaysia yang memiliki
geopark, yaitu geopark Pulau Langkawi dan Indonesia dengan Batur Global
Geopark yang resmi ditetapkan pada 20 sepetember 2012 pada saat konferensi
26
geopark Eropa yang ke-11 di geopark Auroca, Portugal (Disbudpar Kabupaten
Bangli, 2013).
Pada dasarnya geopark merupakan sebuah taman bumi. Namun,
terminologi geopark bukanlah hanya sebagai taman bumi yang dipahami dan
lebih dikaitkan dengan aspek wisata dan konservasi, tetapi merupakan suatu
konsep baru yang mulai berkembang sejak tahun 1999. Konsep ini
mengintegrasikan pengelolaan warisan geologi (geological heritages) dengan
warisan budaya (cultural heritages) dari suatu wilayah untuk tiga tujuan utama,
yakni konservasi, edukasi dan sustainable development. Dengan demikian,
keberadaan sebuah geopark tidak hanya membawa misi konservasi dan ekonomi
seperti layaknya sebuah taman yang memiliki berbagai atraksi, tetapi juga dapat
menjadi media edukasi dan pemberdayaan masyarakat lokal. Sebuah Taman
Geologi yang selama ini hanya memiliki arti penting dan hanya dapat dinikmati
oleh kalangan komunitas keilmuan tertentu untuk pengembangan ilmu, dengan
konsep ini keberadaannya akan memberikan manfaat yang jauh lebih luas kepada
semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat tanpa kehilangan fungsinya
sebagai sumber pengembangan ilmu (LIPI, 2012).
Geopark merupakan satu kawasan yang mempunyai warisan geologi yang
bermakna di peringkat antarabangsa. Keadaan geologi yang terdapat didalamnya
mungkin penting kepada pendidikan atau saintifik, nilai kualiti estetik atau
keanehannya. Geopark bukan sekadar tertumpu kepada ciri-ciri geologi, tetapi
meliputi nilai tapak terhadap ekologi, arkeologi, sejarah dan warisan budaya.
Konsep asas geopark adalah pembangunan ekonomi secara mapan melalui
27
warisan geologi atau geotourism. Geopark merupakan satu kaedah bagi
melindungi kawasan yang mempunyai kepentingan geologi di peringkat daerah,
negara dan antarabangsa. Geopark dilindungi melalui peruntukan undang
undang yang telah ditetapkan oleh sesebuah negara atau pun daerah (Global
Geopark Network, 2006).
2.3 Landasan Teori
Terdapat dua teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teori index
iritasi masyarakat (Irridex) dan teori siklus hidup area pariwisata. Penggunaan
kedua teori tersebut dijelaskan secara lebih rinci berikut ini.
2.3.1 Teori Irridex
Dalam hubungan dengan evolusi sikap masyarakat terhadap wisatawan,
Doxey (1976 dalam Pitana 2005) sudah mengembangkan sebuah kerangka teori
yang disebut irridex (iritation index). Model Irridex dari Doxey ini
menggambarkan perubahan sikap masyarakat lokal terhadap wisatawan secara
linier. Sikap yang mula-mula positif berubah menjadi semakin negatif seiring
dengan pertambahan jumlah wisatawan. Secara evolutif, Greenwood (1977 dalam
Pitana 2005) melihat bahwa hubungan antara wisatawan dan masyarakat lokal
menyebabkan terjadinya proses komersialisasi dari keramahtamahan masyarakat
lokal. Pada awalnya wisatawan dipandang sebagai 'tamu' dalam pengertian
tradisional, yang disambut dengan keramahtamahan tanpa motif ekonomi. Dengan
semakin bertambahnya jumlah wisatawan, maka hubungan berubah terjadi atas
dasar pembayaran, yang tidak lain daripada proses komersialisasi, dimana
masyarakat lokal sudah mulai agresif terhadap wisatawan, mengarah kepada
28
eksploitasi dalam setiap interaksi, tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka
panjang.
Pada fase-fase seperti ini, banyak ditemui tindakan kriminal terhadap
wisatawan. Fase ini biasanya direspon oleh Pemerintah dengan melakukan
pengaturan pariwisata secara melembaga dan profesional, sehingga hubungan
wisatawan dengan masyarakat lokal tidak semakin memburuk. Profesionalisme
menjadi inti pokok untuk membina hubungan baik dengan wisatawan, dan sangat
memperhatikan kelanjutan hubungan di masa-masa yang mendatang. Tahapan-
tahapan sikap masyarakat terhadap digambarkan sebagai berikut:
Euphoria. Kedatangan wisatawan diterima dengan baik, dengan sejuta
harapan. Ini terjadi pada fase-fase awal perkembangan pariwisata pada suatu
daerah tujuan wisata, dan umumnya daerah tujuan wisata tersebut belum
mempunyai perencanaan.
Apathy. Masyarakat menerima wisatawan sebagai sesuatu yang lumrah,
dan hubungan antara masyarakat dengan wisatawan didominasi oleh hubungan
komersialisasi. Perencanaan yang dilakukan pada daerah tujuan wisata pada fase
ini umumnya hanya menekankan pada aspek pemasaran.
Annoyance. Titik kejenuhan sudah hampir dicapai, dan masyarakat mulai
merasa ternganggu dengan kehadiran wisatawan. Perencanaan umumnya berusaha
meningkatkan prasarana dan sarana, tetapi belum ada usaha membatasi
pertumbuhan.
Antagonism. Masyarakat secara terbuka sudah menunjukkan
ketidaksenangannya, dan melihat wisatawan sebagai sumber masalah. Pada fase
29
ini perencana baru menyadari pentingnya perencanaan menyeluruh. Untuk lebih
jelasnya, berikut visualisasi tingkat iritasi masyarakat dapat dilihat pada Gambar
2.1.
Gambar 2.1 Tingkat Iritasi Masyarakat terhadap Pariwisata
Sumber: Doxey (1976 dalam Pitana 2005)
Dalam konteks Batur Global Geopark, sikap yang diperlihatkan oleh
masyarakat bisa dikategorikan masuk pada tahapan apathy. Beberapa indikator
yang bisa menjadi ukuran adalah pertama, masyarakat menerima wisatawan
sebagai sesuatu yang lumrah, dan hubungan antara masyarakat dengan wisatawan
didominasi oleh hubungan komersialisasi. Hal ini juga bisa menjadi penyebab
interaksi antara masayarakat dan wisatawan yang tidak baik. Dalam artian
masyarakat lokal seperti pedagang acung dan petugas perahu boat menganggap
bahwa wisatawan adalah sumber uang. Akibatnya, wisatawan selalu merasa
dipaksa untuk membeli produk yang ditawarkan. Kedua, perencanaan yang
dilakukan di kawasan Batur Global Geopark umumnya hanya menekankan pada
30
aspek pemasaran. Dengan masuknya kawasan pariwisata kintamani pada Global
Geopark Network, masyarakat termasuk pemerintah hanya melihat sebagai bahan
promosi yang baik karena berlabelkan UNESCO. Padahal, justru permasalahan
yang terjadi saat ini adalah turunnya citra pariwisata Kintamani akibat kualitas
pelayanan yang tidak memuaskan kepada wisatawan. Jadi, yang penting untuk
dilakukan adalah memanajemen pariwisata dengan implementasi dari konsep
Batur Global Geopark.
2.3.2 Teori Siklus Hidup Area Pariwisata
Pengembangan pariwisata di Kintamani sebelum masuknya gagasan
geopark telah memberikan dampak yang cukup banyak dirasakan oleh masyarakat
lokal. Dalam melihat dampak dari adanya geopark di Kintamani bisa dilakukan
dengan melihat kondisi pariwisata yang sedang terjadi. Menurut Butler (2006)
terdapat beberapa fase pengembangan pariwisata (siklus hidup area pariwisata)
yang membawa implikasi serta dampak yang berbeda, di antaranya:
Eksplorasi atau penemuan (Exploration), pada tahap ini destinasi masih
relatif belum terjamah dan baru dikenal beberapa wisatawan. Pada tahap ini
terjadi kontak yang tinggi antara wisatawan dengan masyarakat lokal, karena
wisatawan menggunakan fasilitas lokal yang tersedia. Karena jumlah yang
terbatas dan frekuensi yang jarang, maka dampak sosial budaya ekonomi pada
tahap ini masih sangat kecil.
Keterlibatan (Involvement), pada tahapan ini merupakan tahap pelibatan
masyarakat terhadap situasi yang berkemang di daerah mereka. Dengan
31
meningkatnya jumlah kunjungan, maka sebagaian masyarakat lokal mulai
menyediakan berbagai fasilitas yang memang diperuntukan bagi wisatawan.
Kontak antara wisatawan dengan masyarakat masih tinggi dan masyarakat mulai
mengubah pola-pola sosial yang ada untuk merespon perubahan ekonomi yang
terjadi. Disinilah mulainya suatu daerah menjadi suatu destinasi wisata, yang
ditandai oleh mulai adanya promosi.
Pembangunan (Development), investasi dari luar mulai masuk, serta mulai
munculnya pasar wisata secara sistematis. Daerah semakin terbuka secara fisik,
dan promosi semakin intensif, fasilitas lokal sudah tersisih atau digantikan oleh
fasilitas yang benar-benar berstandar internasional, dan atraksi buatan sudah mulai
dikembangkan, menambahkan atraksi yang asli alami. Berbagai barang dan jasa
impor termasuk tenaga kerja asing, untuk mendukung perkembangan pariwisata
yang pesat.
Konsolidasi (Consolidation), pariwisata sudah dominan dalam struktur
ekonomi daerah, dan didominasi ekonomi ini dipegang oleh jaringan internasional
atau major chains and franchise. Jumlah kunjungan wisatawan masih naik, tetapi
pada tingkat yang lebih rendah. Pemasaran semakin gencar dan diperluas untuk
mengisi fasilitas yang sudah dibangun. Fasilitas lama sudah mulai ditinggalkan.
Stagnan (Stagnation), kapasitas berbagai faktor sudah terlampaui diatas
daya dukung (carring capacity) sehingga menimbulkan masalah ekonomi, sosial
dan lingkungan. Kalangan industri sudah mulai bekerja keras untuk memenuhi
kapasitas dari fasilitas yang dimiliki, khususnya dengan mengharapkan repeater
guest dan wisata konvensi/bisnis. Pada fase ini, atraksi buatan sudah mendominasi
32
atraksi asli alami (baik budaya ataupun alam), citra awal sudah mulai luntur, dan
destinasi sudah tidak lagi populer.
Penurunan (Decline), wisatawan sudah mulai beralih ke destinasi wisata
baru atau pesaing, dan yang ditinggal hanya “sisa-sisa”, khususnya wisatawan
yang hanya berakhir pekan. Banyak fasilitas pariwisata sudah beralih atau
dialihkan fungsinya untuk kegiatan non-pariwisata, sehingga destinasi semakin
tidak menarik bagi wisatawan. Partisipasi lokal mungkin meningkat lagi, terkait
dengan harga yang merosot turun dengan melemahnya pasar. Destinasi bisa saja
berkembang menjadi destinasi kelas rendah atau secara total kehilangan jati diri
sebagai destinasi wisata.
Peremajaan (Rejuvenation), perubahan secara dramatis bisa terjadi
(sebagai hasil dari berbagai usaha berbagai pihak, menuju perbaikan atau
peremajaan. Peremajaan ini bisa terjadi karena inovasi dan pengembangan produk
baru, atau menggali atau memanfaatkan sumber daya alam dan budaya yang
sebenarnya. Berbagai tahapan dalam siklus hidup pariwisata tersebut secara visual
seperti pada Gambar 2.2.
33
Gambar. 2.2 Siklus Hidup Area Pariwisata
Sumber: Butler, 2006
Dalam penelitian ini, teori siklus hidup area wisata akan membantu
memperjelas posisi perkembangan Kintamani dalam industri kepariwisataan di
Bali. Dilihat dari beberapa indikator perkembangan pariwisata Kintamani telah
mencapai pada fase Konsolidasi (Consolidation), pariwisata sudah dominan
dalam struktur ekonomi daerah, dan didominasi ekonomi ini dipegang oleh
jaringan internasional atau major chains and franchise. Jumlah kunjungan
wisatawan masih naik, tetapi pada tingkat yang lebih rendah. Pemasaran semakin
gencar dan diperluas untuk mengisi fasilitas yang sudah dibangun. Fasilitas lama
sudah mulai ditinggalkan. Kalangan industri sudah mulai bekerja keras untuk
memenuhi kapasitas dari fasilitas yang dimiliki, khususnya dengan mengharapkan
repeater guest dan wisata konvensi/ bisnis.
34
Sebagai contoh, rerstoran yang ada Kintamani melakukan kerjasama
dengan biro perjalanan wisata dengan memberikan potongan harga jika
membawakan tamu. Pada fase ini, atraksi buatan sudah mendominasi atraksi asli
alami (baik budaya ataupun alam), citra awal sudah mulai luntur, dan destinasi
sudah tidak lagi populer. Pada kasus ini Kintamani dikunjungi karena ada
kerjasama restoran dan biro perjalanan wisata bukan karena keindahan danau dan
gunung Batur sebagai faktor penarik yang utama.
2.4 Model Penelitian
Kintamani sebagai salah satu destinasi pariwisata tentunya memiliki
potensi dan peluang yang cukup besar dalam industri kepariwisataan Bali. Hal ini
dikarenakan Kintamani memiliki keragaman alam dan budaya yang tidak dimiliki
destinasi lain yang ada di Bali. Seiring perkembangannya, Kintamani mengalami
berbagai macam permasalahan yang menyebabkan turunnya kualitas pariwisata
yang diberikan kepada wisatawan. Penurunan kualitas ini membutuhkan berbagai
upaya yang bisa mendongkrak citra pariwisata Kintamani kembali menjadi
positif. Dengan melihat berbagai kondisi nyata di lapangan, banyak isu yang
tengah menjadi perdebatan antara para pelaku pariwisata, pemerintah, dan
masyarakat lokal (stakeholder pariwisata). Apabila hal ini dibiarkan begitu saja,
banyak wisatawan akan mengalami kekecewaan dalam kunjungannya ke
Kintamani. Dampaknya tentu bukan hanya pada eksistensi Kintamani, tetapi Bali
sebagai destinasi pariwisata yang menaungi pariwisata Kintamani.
35
Saat ini pemerintah sedang berupaya memperbaiki citra pariwisata
Kintamani dari keterpurukan. Salah satu upayanya adalah pengajuan Kintamani
sebagai salah satu geopark yang mempunyai jaringan pasar dengan UNESCO.
Dengan ditetapkannya geopark ini, tentunya para stakeholder pariwisata akan
memberikan respon terhadap pengembangannya, baik itu positif ataupun negatif.
Respon ini penting untuk diketahui karena perkembangan geopark di Kintamani
dapat dievaluasi sehingga dapat meningkatkan daya tarik bagi wisatawan.
Untuk membahas permasalahan bagaimana respon masyarakat lokal,
industri pariwisata, wisatawan, dan bagaimana upaya yang bisa ditempuh agar
gagasan geopark dapat tersosialsiasikan di kalangan stakeholder dalam
pengembangan Batur Global Geopark akan digunakan beberapa konsep
diantaranya; konsep respon masyarakat lokal, konsep industri pariwisata, konsep
respon wisatawan, konsep Batur Global Geopark. Pada acuan teori, penelitian ini
menggunakan teori Iritation Index dan teori siklus hidup area pariwisata. Dengan
menggunakan metode penelitian dan pendekatan kualitatif didukung data
kuantitatif, diharapkan penelitian ini akan mampu menjawab permasalahan yang
ada. Sehingga, akhir dari penelitian dapat memberikan simpulan dan saran yang
berguna untuk membangun pariwisata Kintamani yang berkelanjutan. Oleh karena
itu, dapat dilihat model penelitian yang dilakukan pada Bagan 1.1 berikut.
36
Gambar 2.3
Bagan Model Penelitian
Pariwisata Kintamani
Konsep: Respon Masyarakat Lokal dan IndustriPariwisata Teori: -Irritation Index
Batur Global Geopark
Respon Masyarakat Lokal dan Industri
Pariwisata
Respon Wisatawan
Domestik dan Mancanegara
Upaya Sosialisasi Gagasan Batur Global Geopark
Simpulan dan Saran
Potensi Alam dan Budaya
Wisatawan
Konsep: Respon Wisatawan Domestik dan Mancanegara
Konsep 1.Batur Global Geopark Teori: -Siklus Hidup Area Pariwisata
top related