BAB I PENDAHULUAN - iaitfdumai.ac.id · tentang arti pembangunan, dimana dia menegaskan: Pertanyaan yang perlu ... Asmartya Sen (dalam Todaro, 2011) menyatakan bahwa “kapabilitas”
Post on 11-Mar-2019
217 Views
Preview:
Transcript
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Kajian mengenai pembangunan memiliki dua dimensi yang berbeda. Yakni
diantara studi pembangunan dan ekonomi pembangunan. Akan tetapi keduanya
memberikan tumpuan kepada kesejahteraan (well-being) sebagai orientasi dari
pembangunan. Meskipun dengan orientasi kesejahteraan, namun perdebatan timbul
dikalangan penggiat teori pembangunan di seputar apakah sesungguhnya
kesejahteraan itu, dan bagaimana caranya untuk direalisasikan.
Ukuran kesejahteraan seringkali disamakan dengan posisi material suatu
negara, yang diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, sesungguhnya
PDB tidak menangkap semua aspek kehidupan manusia dan hal itu semakin diakui
bahwa diperlukan langkah-langkah baru untuk mengukur kesejahteraan (Bandura,
2008).
Kesejahteraan adalah gagasan bahwa orang-orang dan pembuat kebijakan
pada umumnya bercita-cita untuk ditingkatkan. Namun, itu adalah konsep yang
ambigu, definisi yang tidak bersifat universal dan tidak dapat diterima dan sering
dihadapkan dengan interpretasi persaingan. Kesejahteraan umumnya dipandang
sebagai sebuah deskripsi keadaan dari situasi kehidupan masyarakat (Gillivray,
2007).
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
2
Islam identik dengan kesejahteraan, karena tujuan utama Syariat Islam
adalah membentuk manusia yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dalam
artian mencapai falah. Kesejahteraan menurut Islam tidak saja sebatas menyangkut
kehidupan lahir, melainkan juga aspek batin. Kesejahteraan sejalan dengan misi
Islam itu sendiri. Misi inilah yang sekaligus menjadi misi kerasulan Nabi
Muhammad Saw, sebagaimana firman Allah SWT (Q.S.al-anbiyâ’:107) yang
artinya: “Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi seluruh alam. (Muhibbuddin, 2014).
Selanjutnya menurut Muhibbuddin (2014), kesejahteraan dalam Islam
adalah pilar terpenting dalam keyakinan seorang Muslim adalah kepercayaan
bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT. Dia tidak tunduk kepada siapa pun
kecuali kepada Allah SWT. (Q.S. ArRa’du:36) dan (Q.S. Luqman: 32). Ini
merupakan dasar bagi piagam kebebasan sosial Islam dari segala bentuk
perbudakan. Menyangkut hal ini, Al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa
tujuan utama dari misi kenabian Muhammad SAW. Adalah melepaskan manusia
dari beban dan rantai yang membelenggunya (Q.S. Al-A’raf:157).
Mewujudkan kesejahteraan hakiki bagi manusia merupakan dasar sekaligus
tujuan utama dari syariat Islam (mashlahah al ibad), karenanya juga merupakan
tujuan ekonomi Islam. Perlindungan terhadap mashlahah terdiri dari 5 (lima) hal,
yaitu keimanan (ad-dien), ilmu (al-‘ilm), kehidupan (an-nafs), harta (al-mal) dan
kelangsungan keturunan (an-nash) yang kelimanya merupakan sarana yang
dibutuhkan bagi kelangsungan kehidupan yang baik dan mencapai tingkat
kesejahteraan. Syariat Islam bertujuan memelihara kemaslahatan manusia sekaligus
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
3
menghindari mafsadat dan mudharat dari berbagai aspek kehidupan baik di dunia
maupun di akhirat. Ada 5 (Lima) Masalah dasar sebagai bagian dari maqasid al
Syariah yang harus dipelihara yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta. Kelima hal tersebut merupakan kebutuhan dasar manusia, yaitu kebutuhan
yang mutlak harus dipenuhi agar manusia dapat hidup bahagia di dunia dan di
akhirat. Jika salah satu dari kebutuhan di atas tidak terpenuhi atau terpenuhi dengan
tidak seimbang kebahagiaan hidup juga tidak tercapai dengan sempurna untuk
menuju kesejahteraan yang hakiki. (Syatibi, t.th)
Kesejahteraan sulit untuk didefinisikan, tetapi lebih sulit lagi untuk
diukur. Secara umum, langkah-langkah kesejahteraan dapat diklasifikasikan ke
dalam dua kategori besar, yakni ukuran objektif dan subjektif. Langkah-langkah
pada kategori pertama, dimana kesejahteraan diukur melalui fakta-fakta yang dapat
diamati seperti statistik ekonomi, sosial dan lingkungan. Kesejahteraan rakyat
biasanya dinilai secara tidak langsung dengan menggunakan langkah-langkah
kardinal. Di sisi lain, subjektif kesejahteraan diukur dengan menangkap perasaan
orang atau pengalaman nyata secara langsung, menilai kesejahteraan melalui
langkah-langkah ordinal (McGillivray dan Clarke, 2006; van Hoorn, 2007).
Kesulitan dalam mendefinisikan serta mengukur tingkat kesejahteraan
secara tepat, berdampak kepada ambiguitas dalam penentuan strategi serta
kebijakan pembangunan di sebuah negara. Bahkan selanjutnya berdampak pula
kepada kegagalan pembangunan dunia. Syah (2013) memaparkan data dan fakta
statistic bahwa hampir setengah atau lebih kurang 3 miliar penduduk dunia hidup
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
4
dengan pendapatan USD 2,5 per hari, setidaknya 80 persen penduduk bumi hidup
dengan pendapatan dibawah USD 10 per hari.
Todaro (2011) menyatakan bahwa pengalaman pembangunan dalam
dasawarsa 1950-an dan 1960-an, pada saat negara-negara berkembang mencapai
target pertumbuhan ekonomi namun tingkat kehidupan sebagian besar masyarakat
umumnya tetap tidak berubah, menunjukkan bahwa ada yang sangat salah dengan
pengertian pembangunan yang sempit itu. Kini, makin banyak ekonom dan
pembuat kebijakan yang menyuarakan perlunya upaya serius untuk menanggulangi
meluasnya kemiskinan absolute, distribusi pendapatan yang semakin tidak merata,
dan meningkatnya pengangguran. Singkatnya, selama dasawarsa 1970-an
pembangunan ekonomi mulai didefinisikan ulang dalam kaitannya sebagai upaya
pengurangan angka kemiskinan dalam konteks perekonomian yang semakin
berkembang. “pertumbuhan dan pemerataan” kemudian menjadi slogan bersama.
Seers (dalam Todaro, 2013) dengan tepat mengajukan pertanyaan dasar
tentang arti pembangunan, dimana dia menegaskan: Pertanyaan yang perlu
diajukan tentang pembangunan suatu negara adalah: apa yang terjadi dengan
kemiskinan di negara itu? Apa yang terjadi dengan tingkat pengangguran nya?
Apa yang terjadi dengan ketimpangan nya? Jika ketiga hal itu telah menunjukkan
penurunan, maka tidak diragukan lagi bahwa pembangunan di negara tersebut telah
menunjukkan tanda keberhasilan. Jika satu atau dua kondisi itu, apalagi ketiganya
memburuk, maka akan sangat aneh untuk menyebutnya sebagai “pembangunan”,
sekalipun pendapat per kapita meningkat berlipat ganda.
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
5
Penegasan ini bukanlah spekulasi kosong dan bukan pula uraian keadaan
yang sifatnya hipotetis. Sejumlah negara berkembang telah mencapai tingkat
pertumbuhan pendapatan per kapita yang relatif tinggi selama dasawarsa 1960-an
dan 1970-an, tetapi pada saat yang sama menunjukkan sedikit atau tidak ada
perbaikan atau bahkan sedikit penurunan dalam tingkat pengangguran,
ketimpangan, dan pendapatan rill dari 40 persen bagian bawah populasi.
Berdasarkan definisi awal tentang pertumbuhan, negara-negara ini sedang
berkembang, tetapi tidak demikian halnya jika didasarkan pada kriteria baru tentang
kemiskinan, kesetaraan, dan lapangan kerja. Situasinya memburuk dalam
dasawarsa 1980-an dan 1990-an, ketika tingkat pertumbuhan GNI (Gross National
Income) menjadi negatif di kebanyakan Negara berkembang dan pemerintah yang
menghadapi masalah pembengkakan utang luar negeri terpaksa mengurangi
program-program sosial dan ekonomi yang sebenarnya memang sudah terbatas
(Todaro,2011: 17).
Pada saat yang sama, kita juga tidak dapat berharap bahwa pertumbuhan
yang tinggi di negara maju akan menetes ke bawah ke kaum miskin di negara
berkembang. Pertumbuhan berlangsung cepat di kebanyakan negara berkembang
dalam dasawarsa 2000-an, sekalipun banyak yang meragukan bahwa hal itu
kemungkinan terdorong oleh pertumbuhan semu dari aktivitas ekonomi spekulatif
yang disebut gelembung ekonomi (economic bubble) di negara-negara barat dan
dapat merosot tajam karena krisis ekonomi dan dampak guncangan berikutnya
(Todaro, 2011).
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
6
Goulet (dalam Todaro, 2011) menggambarkan keadaan keterbelakangan
dengan ungkapan yang menarik. “Keterbelakangan itu sangat menggetarkan hati:
kita berhadapan dengan kemelaratan, penyakit kematian yang tak perlu, dan
keputusasaan. Pengamat paling empiris sekalipun hanya dapat berbicara secara
objektif tentang keterbelakangan jika ia telah mengalami langsung atau setidaknya
dekat dengan “kejutan keterbelakangan”. Kejutan budaya yang unik ini terjadi
pada seseorang ketika terlibat dalam emosi yang menyelimuti “budaya
kemiskinan.” Kejutan sebaliknya di rasakan oleh orang-orang yang hidup dalam
kemelaratan ketika mereka diberi tahu bahwa kehidupan mereka tidak manusiawi
dan sesungguhnya dapat diubah. Perasaan yang berkembang dalam situasi
keterbelakangan adalah ketidak berdayaan pribadi dan sosial ketika berhadapan
dengan penyakit dan kematian, kebingungan dan ketidak tahuan ketika berupaya
memahami perubahan, sikap rendah diri ketika berhadapan dengan orang-orang
yang dipandang menentukan nasib mereka, serta keputusasaan ketika menghadapi
bencana kelaparan dan musibah alam. Kemiskinan kronis adalah neraka jahanam,
dan kita tidak akan mampu memahami betapa kejamnya neraka itu hanya dengan
memandang kemiskinan sebagai suatu objek”.
Dengan demikian, fenomena pembangunan atau keterbelakangan kronis
bukan sekadar persoalan Ilmu Ekonomi, atau bahkan sekadar pengukuran secara
kuantitatif atas pendapatan, lapangan kerja, dan ketimpangan. Keterbelakangan
adalah keadaan rill dalam kehidupan sehari-hari bagi lebih dari 3 miliar orang di
dunia – keadaan kejiwaan orang-orang yang terperangkap di dalamnya, dan juga
kondisi kemiskinan nasional (Todaro, 2011)
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
7
Oleh sebab itu, pembangunan haruslah dipandang sebagai proses
multidimensi yang melibatkan berbagai perubahan mendasar dalam struktur sosial,
sikap masyarakat, dan lembaga nasional; serta percepatan pertumbuhan,
pengurangan ketimpangan, dan penanggulangan kemiskinan. Pada hakikatnya,
pembangunan haruslah mencerminkan perubahan sistem sosial secara total sesuai
dengan berbagai kebutuhan dasar, serta upaya menumbuhkan aspirasi individu dan
kelompok-kelompok sosial dalam sistem itu. Pembangunan seharusnya merupakan
upaya untuk mengubah kondisi kehidupan dari yang di pandang tidak memuaskan
menjadi lebih baik secara lahir dan batin (Todaro, 2011).
Asmartya Sen (dalam Todaro, 2011) menyatakan bahwa “kapabilitas” untuk
berfungsi (capability to function)” merupakan hal yang paling berperan untuk
menentukan status miskin tidaknya seseorang. Dia menyatakan bahwa:
“Pertumbuhan Ekonomi tidak boleh dipandang sebagai tujuan. Pembangunan
haruslah lebih memperhatikan upaya peningkatan kualitas kehidupan yang kita
jalani dan kebebasan yang kita nikmati.”
Untuk memahami konsep kesejahteraan manusia pada umumnya dan
kemiskinan pada khususnya, kita perlu berpikir lebih dari sekadar ketersediaan
komoditas dan mulai mempertimbangkan penggunaannya untuk memperjelas apa
yang disebut Sen sebagai keberfungsian (Functioning). Sehingga keberfungsian
adalah apa yang dilakukan (atau dapat dilakukan) seseorang terhadap komoditas
dengan karakteristik tertentu yang dimiliki atau dikendalikannya. Kebebasan
memilih, atau kendali atas kehidupan pribadi, merupakan aspek penting dari hampir
semua pemahaman tentang kesejahteraan (Todaro, 2011)
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
8
Sen (dalam Todaro, 2011) menekankan bahwa, penilaian seseorang tentang
kehidupan yang bermakna tidak selalu sama dengan hal-hal yang menyenangkan
orang itu. Jika kita kaitkan utilitas dengan kebahagiaan dalam cara tertentu, maka
orang yang sangat miskin boleh jadi memiliki utilitas yang sangat tinggi. Bahkan
adakalanya orang-orang yang mengalami malnutrisi memiliki keyakinan untuk
merasa cukup bahagia atau belajar mensyukuri setiap kesenangan kecil yang dapat
di nikmati, misalnya embusan angin dalam terik mentari, dan menghindari rasa
kecewa dengan cara hanya berusaha mendapatkan hal-hal yang memang mungkin
diraih (sangatlah manusiawi untuk mengatakan bahwa anda tidak menginginkan
hal-hal yang tidak dapat anda miliki). Kalau memang tidak ada yang dapat
dilakukan untuk mengatasi kemiskinan, sikap kebahagiaan subjektif seperti itu
tidak diragukan lagi akan sangat menguntungkan secara spiritual, sikap ini tidak
akan membuat si miskin yang tidak memilik rumah mampu merasakan
kebahagiaan, sehingga tidak memandang betapa pentingnya peluang untuk terbebas
dari penyakit atau mendapat tempat tinggal sederhana.
Konsep “keberfungsian” Amartya Sen ini dalam pandangan Islam sangat
dekat dengan konsep keberkahan. Para ulama mendefinisikan berkah atau Al-
Barakah adalah kebaikan yang banyak lagi tetap. Artinya, segala sesuatu hendaklah
mendatangkan kemanfaatan yang banyak. Kuantitas tidak dapat dijadikan ukuran
akhir pencapaian. Namun tujuan akhirnya adalah kemanfaatan, atau kemaslahatan
yang harus menjadi ukurannya. Konsep keberkahan ini sesungguhnya
mengantarkan pada keselarasan diantara objek well-being dan subjek well-being
yang harus seimbang sebagai orientasi pembangunan ekonomi. Sehingga
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
9
kebahagiaan hanya dapat diraih melalui keberkahan. Sehingga wajar saja jika
seorang Muslim dalam doanya selalu mengharapkan keberkahan dalam
kehidupannya.
Sejalan dengan Amartya Sen, “Dalam pengertian kebahagiaan, utilitas dapat
dicakup dengan baik dalam daftar beberapa keberfungsian yang penting dan relevan
dengan kesejahteraan seseorang.” Akhir-akhir ini, para ekonomi telah mengkaji
hubungan kepuasan dan kebahagiaan subjektif dengan sejumlah factor lain seperti
pendapatan.
Pada bulan Juli 2011, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
mengusulkan 'kebahagiaan masyarakat' sebagai ukuran baru untuk memandu
kebijakan pembangunan. Pada bulan April tahun berikutnya, PBB meluncurkan
pertemuan pertama tentang kebahagiaan dan kesejahteraan, yang dipimpin oleh
Perdana Menteri Bhutan. Tidak lama setelah itu, untuk pertama kalinya World
Happiness Report (Earth Institute, 2012) diterbitkan. Momentum ini sejalan dengan
kemajuan dalam standar dan pengumpulan data, sehingga menyebabkan komponen
kebahagiaan terintegrasi ke dalam millennium development goals (MDGs)
untuk 2015-2030, .
Kajian empiris dilakukan di sejumlah negara dan dilakukan dalam periode
waktu tertentu. Salah satu temuan kajian itu adalah bahwa rata-rata tingkat
kebahagiaan atau kepuasan meningkat sejalan dengan pendapatan suatu negara.
Sebagai contoh, persentase jumlah orang yang menyatakan bahwa mereka tidak
bahagia atau tidak puas di Tanzania, Bangladesh, India, dan Azerbaijan empat kali
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
10
lebih besar dibandingkan dengan orang-orang di amerika serikat dan swedia
(Todaro,2011).
Kajian yang menghubungkan diantara pendapatan dan kebahagiaan
akhirnya marak dilakukan. Hal itu membuktikan bahwa kesejahteraan belum tepat
bila hanya diukur dari satu sisi yakni pendapatan per kapita. Sehingga para ekonom
telah melampaui batas-batas bidang mereka dengan menghubungkan variabel
ekonomi terhadap psikologi serta ilmu perilaku lainnya dalam penelitian mereka
tentang well-being. Hal ini telah menyebabkan eksplorasi besar-besaran pada
literature subjektif well-being, (kebahagiaan). (Bandura, 2008).
Gagasan bahwa kebahagiaan adalah penting untuk masyarakat bukanlah hal
baru. Banyak intelektual terkemuka, filsuf dan pemimpin politik sepanjang sejarah,
termasuk Aristoteles, Confucius, dan Plato telah mengagas konsep kebahagiaan
dalam filsafat mereka. Namun secara akademik kebahagiaan yang dikaitkan dengan
variabel ekonomi atau ekonomi kebahagiaan baru dimulai sejak tahun 1972, oleh
mantan Raja Bhutan, Jigme Singye Wangchuck. Dia memperkenalkan gross
national happiness (GNH) melalui filsafat empat pilar pembangunan dalam sebuah
konferensi internasional. Sejak itu kajian tentang ekonomi kebahagiaan terus
berkembang sehingga menurut Bruno (2013), sampai dengan tahun 2011 tercatat
20.000 artikel yang dimuat di google scholar berkenaan dengan ekonomi
kebahagiaan, yang menandakan bahwa bidang kajian ini sangat populer.
Di Indonesia, untuk pertama kalinya di tahun 2013 Biro Pusat Statistik
(BPS) melaksanakan Studi Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK). Studi
tersebut menghasilkan indeks kebahagiaan masyarakat Indonesia tahun 2013
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
11
adalah sebesar 65, 11 pada skala 0-100. Indeks kebahagiaan tersebut merupakan
rata-rata dari angka indeks yang dimiliki oleh setiap individu di Indonesia pada
tahun 2013. Nilai indeks 100 merefleksikan kondisi sangat bahagia. Sebaliknya,
angka indeks 0 menggambarkan kehidupan individu yang sangat tidak bahagia
(BPS, 2014).
Tingkat kebahagiaan masyarakat ialah suatu ukuran evaluasi kehidupan
secara keseluruhan maupun menurut domain kehidupan tertentu yang esensial.
Secara teoritis, konsep kebahagiaan memiliki makna dan cakupan yang tidak hanya
terbatas pada kondisi kehidupan masyarakat yang menyenangkan (pleasant life),
maupun kondisi kehidupan yang baik (good life), tetapi juga pada kondisi
kehidupan yang bermakna (meaningful life) (BPS, 2014).
Tingkat kebahagiaan (kepuasan hidup) bersifat kuantitatif, dalam arti dapat
diukur dan nilainya dapat diperbandingkan antar individu. Indeks Kebahagiaan
merupakan indeks komposit yang diukur secara ter timbang dan mencakup
indikator kepuasan individu terhadap 10 (sepuluh) domain kehidupan yang
esensial. Kesepuluh domain yang secara substansi dan bersama-sama
merefleksikan tingkat kebahagiaan individu meliputi: (1) pekerjaan, (2) pendapatan
rumah tangga, (3) kondisi rumah dan aset, (4) pendidikan, (5) kesehatan, (6)
keharmonisan keluarga, (7) hubungan sosial, (8) ketersediaan waktu luang, (9)
kondisi lingkungan, dan (10) kondisi keamanan (BPS,2014).
Tingginya indeks kebahagiaan masyarakat Indonesia tahun 2013 itu
mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Kepala Badan Pusat Statistik, Suryamin
(2014) menyatakan bahwa indeks kebahagiaan dapat mengukur capaian kinerja
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
12
pembangunan pemerintah menjadi lebih valid, sekaligus menjadi pertimbangan
pemerintah dalam mendorong kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, Kepala
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Heruanto Hadna (2014)
menyatakan bahwa mengukur kebahagiaan bukan hal mudah, persepsi orang
tentang bahagia antara satu dengan yang lainnya bisa saja berbeda sehingga sangat
subjektif. Menurutnya, ukuran-ukuran yang digunakan dalam SPTK yang
dilakukan oleh BPS itu hanya pada aspek ekonomi. Yakni tentang pekerjaan,
pendapatan, dan sebagainya. Sehingga ukuran itu lemah karena tidak semua
kebahagiaan orang bisa diukur dari pendekatan tersebut.
Senada dengan itu, Direktorat Statistik Kesejahteraan Rakyat, Kasnawi
(2014) menegaskan bahwa kesepuluh indikator yang dijadikan ukuran oleh BPS
belum sempurna karena tidak memasukkan unsur spiritualitas atau iman dan takwa.
Menurutnya, hal itu penting mengingat Bhutan merupakan negara pertama yang
memperkenalkan konsep kebahagiaan pada tahun 1970an, memasukan unsur
spiritualitas (Budhisme) ke dalam indikator kebahagiaan masyarakatnya. Dia
menegaskan bahwa Kesepuluh indikator tersebut hanya membawa kita pada hal-
hal yang bersifat material semata.
Berbeda dengan Kasnawi, Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan
Bappenas, Widjojo (2014) menanggapi kebahagiaan itu dari aspek perbedaan
sebaran kawasan. Menurutnya, Kebahagiaan berbeda bila dilihat dari kawasan
pemukiman seseorang. Tingkat kebahagiaan di suatu tempat berbeda dengan
tempat yang lain. Hal tersebut sesuai dengan hasil survey BPS yang menyatakan
bahwa tingkat kebahagiaan di daerah perkotaan lebih besar yakni 65,92 sementara
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
13
kawasan pedesaan 64,32. Kenyataan ini disebabkan oleh faktor tertentu seperti
persoalan pendapatan, dimana perkotaan memiliki pendapatan lebih tinggi
dibandingkan kawasan desa. Sedangkan, untuk persoalan keharmonisan rumah
tangga dan kondisi lingkungan, daerah pedesaan jauh lebih baik.
Upaya BPS dalam melengkapi data pengukur kinerja pembangunan ini
dengan meletakkan indeks kebahagiaan mendapat sambutan dari semua pihak.
Namun parameter yang digunakan oleh BPS dalam menakar kebahagiaan itu masih
menuai pertentangan. Masih diperlukan penyempurnaan-penyempurnaan sehingga
indeks kebahagiaan itu dapat menjadi tolak ukur pembangunan dimasa hadapan.
Kesadaran memasukkan aspek spiritualitas sebagai indikator menjadi wacana yang
menantang terutama bagi kalangan akademisi.
Sebagai salah satu indikator yang diharapkan dapat mengukur kinerja
pembangunan di sebuah negara, kebahagiaan menjadi tema menarik dalam banyak
diskusi dan kajian pembangunan dewasa ini, Campante (2013) mencoba melihat
pengaruh dari religius terhadap pertumbuhan ekonomi dan kebahagiaan bukti dari
amalan muslim di bulan Romadhan. Kajian ini mendapati terdapat hubungan
pengamalan ibadah di bulan Romadhan terhadap kebahagiaan meskipun terhadap
pertumbuhan ekonomi hubungannya bersifat negatif.
Kajian yang coba menghubungkan diantara kebahagiaan dengan
pertumbuhan ekonomi (PDB) telah dimulai oleh Easterlin (1974) membahas
tentang faktor yang berkontribusi terhadap kebahagiaan dalam kajiannya yang
berjudul “Apakah Pertumbuhan Ekonomi Memperbaiki Lot Manusia”. Easterlin
menemukan bahwa dalam suatu Negara, orang dengan pendapatan yang lebih tinggi
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
14
lebih mungkin untuk menyatakan merasa bahagia. Namun, dalam perbandingan
internasional, rata-rata menyatakan tingkat kebahagiaan tidak berbeda jauh dengan
pendapatan nasional per orang, setidaknya untuk negara-negara dengan pendapatan
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Demikian pula, meskipun
pendapatan per orang meningkat terus di Amerika Serikat antara tahun 1946 dan
1970, rata-rata yang menyatakan bahagia tidak menunjukkan tren jangka panjang
dan menurun antara tahun 1960 dan 1970. Artinya, pendapatan tinggi tidak
berkorelasi dengan kebahagiaan. Temuan Easterlin ini menjadi fondasi dalam
kerangka ilmu ekonomi kebahagiaan dan disebut juga dengan Easterlin Paradox.
Berbeda dengan Easterlin, Clark (2011) mengamati apakah pertumbuhan
ekonomi (PDB) dapat mempengaruhi kebahagiaan masyarakat negara berkembang.
Clark menemukan bahwa, bagi Negara berkembang dengan ciri politik yang tidak
stabil, maka pertumbuhan PDB berkontribusi terhadap kebahagiaan masyarakat,
namun hal itu hanya bersifat sementara. "Ketika dilakukan plot-rata kebahagiaan
versus pendapatan rata-rata untuk kelompok masyarakat di suatu negara pada
waktu tertentu, orang-orang kaya sebenarnya jauh lebih bahagia daripada orang
miskin. (Frank, 2005). Hal ini berlaku untuk kedua negara maju dan berkembang,
bahkan hal tersebut kadang-kadang disarankan bahwa kemiringan income
happiness lebih besar terjadi pada negara berkembang atau transisi daripada di
negara maju (lihat Clark et al, 2008).
Bukti empiris bahkan lebih konklusif dan konsensus mengenai gradien
income happiness seluruh Negara, Deaton (2008) misalnya, menemukan sebuah
elastisitas 0.84 antara log pendapatan rata-rata dan rata-rata kepuasan nasional di
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
15
satu set besar sampel perwakilan nasional dari orang yang tinggal di 129 negara
maju dan berkembang, dengan menggunakan data dari Gallup World Poll tahun
2006. Dalam semangat yang sama, Inglehart (1990) menganalisis data dari 24
negara pada tingkat perkembangan yang berbeda dan menemukan 0.67 korelasi
antara GNP per kapita dan kepuasan hidup.
Dalam sebuah makalah yang lebih baru, Inglehart et al. (2008) melaporkan
korelasi s0.62 dengan menggunakan semua data yang tersedia dalam data survei
nilai-nilai dunia (World Values Survey). Wolfer’s dan Stevenson (2008), dengan
menggunakan satu set data yang sangat komprehensif mengungkap bahwa gradien
diantara negara sejahtera, biasanya berpusat di sekitar 0, 4. Dalam survei Inglehart
et al. (2008) hasil analisis menemukan bahwa, di Denmark 52 persen masyarakat
menunjukkan bahwa mereka sangat puas dengan kehidupan mereka (dengan skor
lebih dari 8 pada skala 10-point) dan 45 persen mengatakan mereka sangat senang.
Sebaliknya, di Armenia hanya 5 persen mengatakan mereka sangat puas dan 6
persen sangat senang.
Bila kajian-kajian diatas memfokuskan pada pendapatan dan kebahagiaan,
namun terdapat pula kajian-kajian yang melihat hubungan diantara religiusitas
terhadap pendapatan dan kebahagiaan. Hubungan antara agama dan kinerja
ekonomi berkorelasi negatif. Hal ini diamati dari praktik keagamaan (misalnya
kehadiran pada ibadah keagamaan) terhadap pertumbuhan ekonomi (Barro dan
McCleary, 2003: McCleary dan Barro, 2006). Meskipun demikian ternyata
religiusitas berpengaruh terhadap kebahagiaan atau subjec well-being sebagaimana
dapatan kajian Carlk (2011).
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
16
Kenyataan ini tentu menarik perhatian kita semua di saat angka
pertumbuhan ekonomi di Indonesia di tahun 2013 yakni sebesar 5,78 persen
menurun bila dibandingkan dari tahun sebelumnya 2012 sebesar 6,23 persen dan
6 persen pada tahun 2011. Sementara indeks kebahagiaan masyarakat Indonesia di
tahun 2013 adalah sebesar 65,11 pada skala 0-100, indeks tersebut menyatakan
bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang bahagia. Indeks kebahagiaan
itu semakin kontras lagi bila disandingkan dengan angka kemiskinan di Indonesia.
Angka kemiskinan pada Maret 2013 tercatat sebesar 11, 37 persen atau 28,
07 juta orang. Besarnya angka kemiskinan itu dipertajam pula dengan indeks
kedalaman kemiskinan yang naik dari 1, 75 persen (Maret 2013) menjadi 1, 89
persen. Kemudian indeks keparahan kemiskinan naik dari 0, 43 persen (Maret)
menjadi 0, 48 persen. Artinya tingkat kemiskinan yang ada di Indonesia semakin
parah. Sebab berada menjauhi garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran
penduduk miskin semakin melebar (Suryamin, 2014).
Indeks kebahagiaan Indonesia yang diekspos BPS pada tahun 2013 itu
memang memiliki banyak perdebatan ketika dilihat dari aspek makro yang
melingkupinya. Namun yang angka 65,11 kebahagiaan di Indonesia pada tahun
2013 itu tidak mengagetkan jika kita melihat apa yang dimuat oleh Riard Layard
(dalam Todaro, 2011;23), dimana dia memaparkan gambar sebaran perbandingan
pendapatan dan kebahagiaan yang merupakan perbandingan antar Negara
sebagaimana gambar 1 dibawah ini
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
17
Gambar 1.1: Pendapatan dan Kebahagiaan Perbandingan Antar Negara
Sumber Todaro (2011; 23)
Gambar 1 diatas menunjukkan bahwa tingkat kebahagiaan Indonesia
mendekati angka 90, padahal pendapatan per kapita per tahun dibawah USD 5 ribu.
Dari gambar diatas juga terlihat, tingkat kebahagiaan Indonesia itu hampir sama
dengan tingkat kebahagiaan masyarakat di Negara-negara yang berpendapatan
tinggi yakni diatas USD 20 ribu.
Kajian Riard Layard sebagaimana diatas, dilakukan pada tahun 2005, yang
menghasilkan indeks kebahagiaan Indonesia mendekati angka 90, dan sementara
survey BPS tahun 2013 menemukan bahwa indeks kebahagiaan Indonesia adalah
sebesar 65,11. Meskipun dengan angka yang berbeda, namun dapat disimpulkan
baik Layard maupun BPS, menyatakan bahwa masyarakat Indonesia adalah
masyarakat yang “bahagia”.
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
18
“Susah namun bahagia”,”miskin tapi bahagia”. Adalah ungkapan-
ungkapan yang cocok dengan kondisi tersebut, sehingga hal itu menjadi sangat
fenomenal. Banyak faktor yang mungkin dapat dihubungkan dengan kondisi
tersebut. Namun berkaca dari Bhutan, maka religiusitas Budha memberikan
kontribusi besar terhadap tingkat Gross Nasional Happiness di Sana. Sehingga
religiusitas memainkan peran penting dalam penciptaan kebahagiaan. Hal itu
sejalan dengan hasil kajian Campante (2013), yang menemukan hubungan
signifikan diantara pelaksanaan ibadah di bulan Romadhan terhadap kebahagiaan.
Apa yang terjadi dengan Indonesia pada hari ini adalah bahwa ketimpangan
melebar, tingkat kesejahteraan penduduk miskin kian tertinggal, penduduk kaya
semakin kaya, tetapi secara keseluruhan masyarakat Indonesia merasa berbahagia.
Kondisi itu terlihat dari gambar berikut ini:
Gambar 1.2: Kondisi Ketimpangan dan Kebahagiaan Indonesia 2013
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
19
Sumber: Bisnis.com, 2014
Gambar diatas terlihat dengan jelas kondisi ketimpangan di Indonesia
meskipun masyarakatnya merasa sangat bahagia. Sebagaimana disampaikan oleh
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin, bahwa angka ketimpangan sosial
ekonomi Indonesia saat ini tercermin secara nyata dalam gini ratio Indonesia yang
tidak membaik sejak tahun 2011 yang berada di level 0,41. Dimana, rasio gini
berada di angka 0 hingga 1, yang artinya seberapa besar porsi orang kaya
menikmati kue ekonomi nasional. Semakin besar gini rasio, semakin besar tingkat
ketimpangan. Gini rasio hingga 0,3 dianggap masih aman, tetapi 0,4 hingga 0,6
sudah dianggap lampu kuning, sedangkan lebih dari 0,6 adalah rasio yang
berbahaya. Kondisi gini rasio yang masih relatif "hijau" masih terjadi hingga tahun
2010, di mana posisinya masih di angka 0, 38. Di era Orde Baru, gini rasio berkisar
0, 31-0, 38. Data BPS juga mengindikasikan kondisi ketimpangan sosial ekonomi
yang makin melebar, jika dikonfrontasikan dengan laju pertumbuhan ekonomi
yang mencapai 5-6 persen dalam beberapa tahun terakhir. (Bisnis.com, 2014).
Suryamin menjelaskan, kelompok kaya lebih mendapatkan manfaat dari
pertumbuhan ekonomi tersebut. Pada 2008, 40 persen penduduk di kelompok
pendapatan terendah masih menikmati PDB antara 21-23 persen. Namun porsi itu
anjlok menjadi hanya 16 persen pada 2012. Sebaliknya, 20 persen penduduk
terkaya, yang pada 2008 sudah menikmati 40 persen produk domestik bruto atau
kue ekonomi nasional, melonjak menjadi penikmat 49 persen kue ekonomi
nasional pada 2012. Ini terjadi, karena dari rata-rata laju pertumbuhan ekonomi 6
persen, penduduk miskin hanya menikmati kenaikan pendapatan maksimal 2
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
20
persen per tahun. Sebaliknya penduduk terkaya menikmati kenaikan pendapatan
hingga 8 persen. Artinya, "Kenaikan pendapatan penduduk yang kaya melonjak
signifikan, sedangkan penduduk miskin meski pendapatannya naik tetapi tidak
besar Ketimpangan pendapatan sebagaimana diatas, tidak serta merta
menyebabkan masyarakat Indonesia tidak berbahagia. Hal itu terlihat dari hasil
survei BPS atas lebih dari 9000 sampel dari seluruh Indonesia pada 2013, yang
menghasilkan indeks 65, 11. Menurut Suryamin, indeks 65, 11 itu mencerminkan
bahwa masyarakat Indonesia "berbahagia". Angka indeks di atas 75 baru bisa
disebut sangat bahagia. Tingkat kebahagiaan juga berbeda tergantung gender,
wilayah dan kelompok umur. (Bisnis.com, 2014).
Apa yang sesungguhnya berkontribusi kepada wujudnya kebahagiaan di
Indonesia merupakan teka teki yang menantang untuk di jawab. Sebagai salah satu
ukuran dari pembangunan nasional, selayaknya teka teki itu dapat uraikan sehingga
dapat memberikan kontribusi kepada pembangunan dimasa mendatang. Apa yang
menarik untuk dianalisis adalah kenyataan bahwa Indonesia adalah sebuah negara
dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia. Survei BPS (2010) menjelaskan bahwa
87,18 persen dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam,
6,96 persen Protestan, 2,9 persen Katolik, 1,69 persen Hindu, 0,72 persen Buddha,
0,05 persen Kong Hu Cu, 0,13 persen agama lainnya. Merujuk pada kajian
Campante (2013) diatas, maka boleh jadi Jumlah pemeluk agama Islam yang
dominan di Indonesia itu, berkontribusi terhadap tingginya tingkat kebahagiaan
masyarakat meskipun dalam kondisi ekonomi yang sulit. Artinya Islam sangat
berkontribusi dalam pembentukan “kebahagiaan” di Indonesia.
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
21
Dari landasan pemikiran diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji
hubungan diantara “Pengaruh pembangunan dan pengamalan agama islam terhadap
kebahagiaan di Indonesia”.
1.2. Ruang Lingkup dan Perumusan Masalah
1.2.1. Ruang Lingkup Penelitian
Adapun permasalahan dalam kajian ini berhubungan dengan kesejahteraan.
Kesejahteraan adalah merupakan harapan dari setiap individu dan pula merupakan
cita-cita pembangunan yang dilakukan oleh setiap bangsa. Namun kesejahteraan
memiliki dimensi yang luas untuk dapat diukur dan selanjutnya digunakan sebagai
penanda atas sebuah kemajuan pembangunan.
Selama itu, kinerja ekonomi PDB selalu digunakan sebagai ukuran untuk
kesejahteraan dan kinerja pembangunan. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak
Negara dengan pertumbuhan PDB yang tinggi namun masih menyisakan masalah
kemiskinan dan keterbelakangan. Artinya, kinerja ekonomi tidak seluruhnya dapat
menangkap kesejahteraan satu masyarakat. Kerancuan ini sudah merupakan
wacana pembangunan, sehingga muncul berbagai bentuk baru secara objektif
mengukur kinerja pembangunan seperti indeks pembangunan manusia (IPM).
Pendekatan objektif dalam menakar kesejahteraan itu ternyata masih jauh
dari harapan. Untuk itu muncul pendekatan subjektif yakni indeks kebahagiaan,
yang mewakili pengukuran dari subjek well-being. Pendekatan baru ini sangat
memberikan peluang bahwa kesejahteraan dapat ditakar dengan benar. Namun di
satu sisi pendekatan ini pun menyisa persoalan bilamana pada kenyataannya indeks
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
22
yang dihasilkan berbeda jauh dengan fakta serta indikator ekonomi secara makro
lainnya. Hal inilah yang terjadi dengan indeks kebahagiaan di Indonesia tahun 2013
Meskipun dengan hasil dapatan yang dianggap jauh dari kenyataan. Namun
dalam berbagai pertemuan BPS dan Bapenas, menyimpulkan bahwa indeks
kebahagiaan Indonesia 2013, masih perlu penyempurnaan dimana dalam indikator
ukurannya belum memasukkan aspek religious sebagai bagian penting dari
kebahagiaan itu sendiri (Kasnawi,2014).
Dengan demikian kajian pengaruh pembangunan dan pengamalan agama
Islam terhadap kebahagiaan di Indonesia ini akan menetapkan ruang lingkup kajian
pada aspek kinerja pembangunan yang mencangkup kinerja pembangunan
ekonomi, yang diukur dari produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita,
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) serta kemiskinan. Variabel pengamalan
agama Islam di Indonesia Akan dirumuskan melalui pendekatan yang
memperhatikan indeks pembangunan Islam yang telah di rumuskan oleh
pengkajian sebelumnya seperti: Islamicity index EI2 (Askari, 2010), Islamic
Human Development Index IHD-I (MB Hendrie Anto, 2009), Integrated
Development Index I-Dex (Ruzita Mohd Amin, 2012) serta indeks pembangunan
Islam lainnya. Selanjutnya variabel tersebut dihubungkan dengan variabel
kebahagiaan di Indonesia, melalui indeks kebahagiaan.
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
23
1.2.2. Rumusan Masalah
Dari permasalahan dalam ruang lingkup diatas maka dapat dirumuskan masalah
dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh PDRB per kapita terhadap kebahagiaan di Indonesia;
2. Bagaimana pengaruh pengamalan agama Islam terhadap kebahagiaan di
Indonesia;
3. Bagaimana pengaruh indeks pembangunan manusia terhadap kebahagiaan
di Indonesia;
4. Bagaimana pengaruh PDRB per kapita melalui pengamalan agama Islam
terhadap kebahagiaan di Indonesia;
5. Bagaimana pengaruh kemiskinan melalui pengamalan agama Islam
terhadap kebahagiaan di Indonesia;
6. Bagaimana pengaruh indeks pembangunan manusia melalui pengamalan
agama Islam terhadap kebahagiaan di Indonesia;
7. Bagaimana pengaruh PDRB per kapita, pengamalan agama Islam dan
indeks pembangunan manusia terhadap kebahagiaan di Indonesia;
8. Bagaimana pengaruh PDRB per kapita, kemiskinan dan indeks
pembangunan manusia baik langsung maupun melalui pengamalan agama
Islam terhadap kebahagiaan di Indonesia;
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang serta permasalahan yang diajukan oleh
penulis maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
24
1. Menganalisis tentang PDRB per kapita terhadap kebahagiaan di Indonesia;
2. Menganalisis tentang pengamalan agama Islam terhadap kebahagiaan di
Indonesia;
3. Menganalisis tentang indeks pembangunan manusia terhadap kebahagiaan
di Indonesia;
4. Menganalisis tentang PDRB per kapita melalui pengamalan agama Islam
terhadap kebahagiaan di Indonesia;
5. Menganalisis tentang kemiskinan melalui pengamalan agama Islam
terhadap kebahagiaan di Indonesia;
6. Menganalisis tentang indeks pembangunan manusia melalui pengamalan
agama Islam terhadap kebahagiaan di Indonesia;
7. Menganalisis tentang PDRB per kapita, pengamalan agama Islam dan
indeks pembangunan manusia terhadap kebahagiaan di Indonesia;
8. Menganalisis tentang PDRB per kapita, kemiskinan dan indeks
pembangunan manusia baik langsung maupun melalui pengamalan agama
Islam terhadap kebahagiaan di Indonesia;
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memberi sumbangan ilmu pengetahuan dalam bidang ekonomi
pembangunan dalam perspektif Islam. Hasil dari kajian ini diharapkan
dapat memperkaya pengembangan teori ekonomi pembangunan Islam,
khususnya yang berkaitan dengan pengukuran kinerja pembangunan
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
25
sebuah Negara. Dengan memperhatikan konsep kesejahteraan subjektif
(kebahagiaan) yang islamis.
2. Sebagai referensi bagi kalangan akademisi dan masyarakat yang Akan
melakukan penelitian dengan topic sejenis
3. Memberikan masukan kepada pemerintah, para perencana pembangunan
(Bappenas dan Bappeda) dan otoritas penyedia data (BPS) dalam
menentukan indicator, strategi serta kebijakan pembangunan dimasa
mendatang.
1.5. Signifikansi Penelitian
Terdapat banyak kajian yang menjadikan kebahagiaan sebagai objeknya.
Pada umumnya kajian-kajian itu bermuara pada bidang ilmu psikologi. Bidang
ilmu ini selalu memeriksa individu satu dengan individu lainnya dari apa yang
mereka rasakan. Kajian ilmu ekonomi yang mengaitkan dengan apa yang dirasakan
oleh individu tersebut merupakan kajian yang masih bersifat baru.
Kebahagiaan marak didiskusikan dalam ranah ekonomi khususnya dalam
kajian ekonomi pembangunan, bilamana raja Bhutan Jigme Singye Wangchuck
(1970) memperkenalkan Gross National Happiness (GNH). Wangchuck
memperkenalkan Konsep GNH menyiratkan bahwa pembangunan berkelanjutan
harus mengambil pendekatan holistik terhadap gagasan kemajuan dan memberikan
sama pentingnya dengan aspek non-ekonomi kesejahteraan. Konsep GNH
diterjemahkan melalui empat pilar, yakni: tata pemerintahan yang baik,
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
26
pembangunan sosial-ekonomi yang berkelanjutan, pelestarian budaya, dan
konservasi lingkungan.
Dalam rangka menciptakan pemahaman luas tentang GNH dan untuk
mencerminkan rentang holistik nilai GNH, ke-empat pilar itu, kini telah
diklasifikasikan lebih lanjut menjadi sembilan domain Kesembilan domain itu
adalah: kesejahteraan psikologis, kesehatan, pendidikan, penggunaan waktu,
keragaman budaya dan ketahanan, tata pemerintahan yang baik, vitalitas
masyarakat, keragaman ekologi dan ketahanan, dan standar hidup.
Konsep GNH Bhutan yang diilhami dari religiusitas Budha sebagai agama
resmi Kerajaan Bhutan, selanjutnya mendapat banyak sambutan dari berbagai
kalang pemikir pembangunan. Kegagalan pembangunan ekonomi Dunia yang
masih menyisakan penderitaan, keterbelakangan dan perusakan lingkungan itu
telah menarik perhatian banyak kalangan untuk melakukan kajian tentang
kesejahteraan sebagai alternative dan ukuran baru kesejahteraan.
Bhutan merumuskan standar kebahagiaan itu melalui spirit Budhisme.
Namun para ilmuwan mencoba melihatnya dari perspektif rasionalitas empiris.
Kajian awal tentang kebahagiaan yang dilakukan oleh para ilmuwan ekonomi
sangat mengokohkan konsep kerajaan Bhutan tersebut. Dimana, Easterlin (1974)
telah melakukan kajian yang menghubungkan diantara pertumbuhan ekonomi
dengan kebahagiaan, dia menemukan bahwa tidak terdapat hubungan diantara
kemajuan ekonomi dengan tingkat kebahagiaan masyarakat, kenyataan ini dikenal
juga dengan Easterlin paradox.
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
27
Selaras dengan perkembangan kajian kebahagiaan, pada tahun 2013 untuk
pertama kalinya BPS melakukan survey tingkat kebahagiaan di Indonesia. Survei
itu membuktikan bahwa ternyata masyarakat Indonesia berada dalam suasana yang
bahagia dengan indeks kebahagiaan 65, 11%. Bahkan sebelum itu sesungguhnya
Riard Layard (2005) juga mendapati hal yang sama dengan angka kebahagiaan
Indonesia mendekati 90%. Dimana angka tersebut mendekati sama dengan
Negara-negara berpendapatan tinggi di atas USD 20 ribu per tahun , padahal
pendapatan per kapita Indonesia pada waktu itu dibawah USD 5 ribu per tahun,
lihat gambar 1. Kondisi itu sesungguhnya masih linier dengan Easterlin paradox,
dimana pertumbuhan ekonomi tidak punya hubungan dengan kebahagiaan.
Akan tetapi kenyataan dimana pendapatan yang rendah dengan tingkat
kebahagiaan yang tinggi itu bertolak belakang dengan banyak kajian-kajian
kebahagiaan mutakhir yang menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi memiliki
hubungan signifikan dengan kebahagiaan khususnya bagi Negara berkembang
seperti Indonesia (Riard Layard, 2006: Wolfers J, at el, 2010). Sehingga penelitian
ini menjadi penting untuk melihat gap diantara teoretis baru dan klasik
sebagaimana diatas.
Gap teoretis sebagaimana diatas, akan menemukan jawabannya melalui
studi secara empiris dengan pendekatan religiusitas. Masyarakat Indonesia yang
mayoritas Muslim, yakni lebih kurang 87% dari jumlah penduduk Indonesia di
tahun 2013. Kebahagiaan di Indonesia sangat memungkinkan untuk diamati dari
perspektif Islam. Karena kewujudan agama sangat berkesan dalam penciptaan
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
28
kebahagiaan sebagaimana di Bhutan, dan banyak kajian yang menghubungkan
diantara religiusitas dengan kebahagiaan.
Kajian ini Akan memberikan corak baru bagi pemerintah di Indonesia
dalam melihat peran agama khususnya Islam terhadap pembangunan. Agama
mayoritas penduduk Indonesia ini tidak boleh lagi dipandang hanya sebagai sebuah
kepercayaan semata, sehingga tidak memiliki hubungan penting dalam
pembangunan dan kemajuan bangsa. Karena Agama Islam memiliki konsep dan
teknik tersendiri dalam penciptaan kebahagiaan bukan hanya bagi pemeluknya
namun segenap alam semesta.
1.6. Sistematika Penelitian
Bab I : Pendahuluan yang memuat latar belakang penelitian, permasalahan
penelitian dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian
serta signifikasi penelitian
Bab II : Kajian teoretis Kebahagiaan, kinerja pembangunan yang
mencangkup Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita,
Indeks Pembangunan Manusia (IPM), kemiskinan dan
pengamalan agama Islam di Indonesia yang di proxy melalui
beberapa pendekatan dengan memperhatikan Islamicity index I2
(Askari, 2010), Islamic Human Development Index IHD-I (MB
Hendrie Anto, 2009), Integrated Development Index I-Dex (Ruzita
Mohd Amin, 2012) serta indeks pembangunan Islam lainnya.
_______________________________________ “Pengaruh Pembangunan Dan Pengamalan Agama Islam Terhadap Kebahagiaan Di Indonesia” Disertasi oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil, Islamic Economic & Finance Univ Trisakti 2016
29
Teori TSR (tawhidi String Relation), digunakan dalam membentuk
kerangka hipotesis kajian.
Bab III : Metodologi Penelitian yang terdiri atas rancangan penelitian,
populasi dan metode penetuan sampel, metode pengumpulan data,
metode analisis dan pembentukan pemodelan persamaan struktur,
pengembangan instrument dan model penelitian.
Bab IV : Analisis hasil dan pembahasan, yang terdiri dari Analisis Deskripsi
dari setiap variabel penelitian serta analisis inferensial statistik yang
berhubungan dengan analisis jalur. Namun sebelum itu dilakukan
uji klasik yang terdiri dari uji normalitas, linarites, homoskedasitas,
independensi variabel eksogen, galat variabel bebas dan uji satu arah
kausalitas dalam sistem. Selanjutnya dari hasil analisis data,
dilakukan pembahasan sesuai dengan hipotesis yang telah
ditetapkan.
Bab V : Kesimpulan dan implikasi teoretis dan kebijakan, rekomendasi
untuk penelitian selanjutnya, daftar pustaka
top related