Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82519/potongan/S1-2015-285857...pengurusan surat izin usaha perdagangan (SIUP) sampai akhir tahun
Post on 21-Jun-2019
216 Views
Preview:
Transcript
Bab I
Pendahuluan
I.I LATAR BELAKANG MASALAH
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pola relasi antara pemerintah Kota Yogyakarta
dengan aktor-aktor pariwisata terkait dengan fenomena pembangunan hotel di Kota
Yogyakarta. Pemerintah Kota Yogyakarta diwakili oleh Dinas Perizinan dan Dinas Pariwisata
Kota Yogyakarta. Sedangkan aktor-aktor yang berhubungan dengan pembangunan hotel
adalah masyarakat Kota Yogyakarta yang terkait langsung dengan kebijakan pembangunan
hotel Kota Yogyakarta, PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) sebagai organisasi
perhotelan di Indonesia khususnya di Yogyakarta dan PUSPAR UGM (Pusat Studi Pariwisata
Universitas Gadjah Mada). Pembangunan hotel menjadi kata kuncinya, karena apa yang
dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta terkait pembangunan hotel dianggap tidak sesuai oleh
PHRI untuk stabilitas dunia perhotelan di Yogyakarta, serta banyaknya tanggapan negatif yang
datang dari masyarakat di Kota Yogyakarta. Meskipun sudah terbit peraturan walikota nomor
77 tahun 2013 tentang moratorium pembangunan hotel, ternyata masih banyak keluhan yang
muncul dalam surat kabar maupun forum-forum masyarakat.
Menurut data dari Pusat Studi Pariwisata UGM pada tahun 2011 berdiri 37 hotel baru
dengan estimasi pertambahan 3.000 kamar, sedangkan di tahun 2012 ada 17 hotel baru dan
tambahan 2.400 kamar.1 Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) cabang
Yogyakarta mengungkapkan, tercatat ada 7.000 lebih jumlah kamar hotel di Yogyakarta dan
di tahun 2012 ini akan ada 17 hotel baru yang akan dibangun. Masih menurut PHRI pada tahun
2013 terdapat 1.160 hotel di wilayah DIY, yang terdiri dari 60 hotel berbintang dengan lebih
1Hasil wawancara dengan Fernando Marpaung Pusat Studi Pariwisata UGM tanggal 12 Juni 2012
Relasi Antar Aktor Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Masyarakat dan PHRI (Perhimpunan HoteldanRestoran Indonesia) dalam Keterkaitannya dengan Fenomena Pembangunan Hotel di KotaYogyakartaDHIENDA VIOLA DEWINTHAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
dari 6.000 kamar, dan 1.100 hotel kelas melati dengan 12.660 kamar. Sedangkan berdasarkan
data Badan Pusat Statistik DIY, jumlah hotel di Yogyakarta sampai awal 2013 mencapai 401
unit, terdiri dari 39 hotel berbintang dan 362 hotel nonbintang.2 Menurut kepala bidang
perizinan Kota Yogyakarta Golakari Made Yulianto, sampai bulan Februari 2013 sudah ada 63
pembangunan hotel yang sebagian besar sudah mengantongi IMBB selain itu, menurut badan
Perekonomian Pengembangan PAD & Kerjasama (P3DK) Kota Yogyakarta berdasarkan
pengurusan surat izin usaha perdagangan (SIUP) sampai akhir tahun 2012 investasi di Kota
Yogyakarta mengalami kenaikan dari Rp. 591,852 Miliar menjadi Rp. 717,613 Miliar yang
didominasi oleh izin pembangunan hotel.3
Banyaknya pembangunan hotel menurut Kepala Dinas Perizinan Kota Yogyakarta,
dikarenakan minat dari investor yang ingin terjun ke bisnis akomodasi sangat tinggi, mengingat
Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota tujuan wisata. Tingginya minat pembangunan
dilihat dari sisi ekonomi menandakan pertumbuhan ekonomi di tempat tersebut tumbuh
dengan baik , khususnya pembangunan hotel dapat berdampak positif karena membuka
lapangan kerja baru. Pertumbuhan hotel yang meningkat tajam juga bisa diartikanbahwa
tingkat kunjungan wisatawan yang datang ke kota Yogyakarta tiap tahunnya meningkat, dan
tingkat hunian hotel tinggi, sehingga investor lebih memilih investasi dalam bentuk akomodasi/
hotel.
Gambar1
Jumlah Tamu Asing dan Domestik yang Datang Per Bulan di DIY
2Prakoso, Ario. 2014. Rakyat Jogja Tertindas Pembangunan diakses dari http://lpmhimmahuii.org/2014/11/rakyat‐jogja‐tertindas‐oleh‐pembangunan/ tanggal 20 Maret 2015 3Sujatmiko, Tomi. 2012, Investasi Yogya Tumbuh 21 Persen. Diakses dari http://krjogja.com/read/162361/2012‐investasi‐kota‐yogya‐tumbuh‐21‐persen.kr. Tanggal 20 Maret 2015
Relasi Antar Aktor Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Masyarakat dan PHRI (Perhimpunan HoteldanRestoran Indonesia) dalam Keterkaitannya dengan Fenomena Pembangunan Hotel di KotaYogyakartaDHIENDA VIOLA DEWINTHAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Sumber : DIY dalam angka tahun 2014
Tingkat kunjungan wisatawan asing dalam grafik tersebut mengalami naik turun,
bahkan tingkat kunjungan wisatawan mancanegara di DIY dalam kurun waktu 14 tahun
terakhir tidak pernah melebihi angka 350.000/tahun, seperti yang pernah dicapai pada tahun
1995.4 Dalam sepuluh tahun terakhir tingkat kunjungan wisatawan mancanegara tidak lebih
160.000/tahun, sehingga rata-rata tingkat hunian kamar hotel pada low season (bukan musim
liburan) kurang dari 60% yaitu hanya sekitar 40-50%. Rendahnya tingkat kunjungan wisatawan
asing diantaranya disebabkan oleh: 1) leadership/ kepemimpinan yang masih kurang, 2) sense
of tourism/ kurangnya kebijakan dan regulasi yang mendorong tumbuh kembangnya
pariwisata, 3) tur yang terlalu lamban membuat pelaku pariwisata di daerah ini cepat puas.5
Wisatawan yang datag di DIY sebagian besar diwakili dari jumlah wisatawan dari Kota
Yogyakarta.
4Kedaulatan Rakyat, Sabtu 12 Maret 2011 5ibid
Relasi Antar Aktor Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Masyarakat dan PHRI (Perhimpunan HoteldanRestoran Indonesia) dalam Keterkaitannya dengan Fenomena Pembangunan Hotel di KotaYogyakartaDHIENDA VIOLA DEWINTHAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Tabel 1
Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Kota Yogyakarta
No Tahun Domestik Mancanegara JUMLAH
1 2007 1.159.805 100.853 1.260.658
2 2008 1.490.656 263.056 1.753.712
3 2009 1.850.675 177.694 2.028.369
4 2010 2.253.064 207.903 2.460.967
5 2011 2.449.595 221.054 2.670.649
6 2012 2.611.453 283.727 2.895.180
7 2013 2.536.091 179.380 2.715.471
Sumber Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta Tahun 2014
Dapat dilihat dari Tabel 1, bahwa memang tingkat kunjungan wisatawan domestik tiap
tahunnya mengalami peningkatan walaupun sempat mengalami sedikit penurunan di tahun
Relasi Antar Aktor Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Masyarakat dan PHRI (Perhimpunan HoteldanRestoran Indonesia) dalam Keterkaitannya dengan Fenomena Pembangunan Hotel di KotaYogyakartaDHIENDA VIOLA DEWINTHAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2012 ke 2013. Kunjungan wisatawan sangat berpengaruh bagi tingkat okupansi hotel, karena
wisatawan datang tidak hanya pada peak season tetapi diharapakan juga pada low season.
Wisatawan domestik datang ke Yogyakarta biasanya pada musim libur sekolah atau libur hari
raya, sedangkan wisatawan asing datang tidak hanya pada musim liburan saja.
Rendahnya kunjungan wisatawan sangat berhubungan dengan tingkat okupansi hotel,
jika kunjungan rendah maka menurut PHRI hotel-hotel akan mengalami biaya operasional
tinggi yang akan menyebabkan hotel mengalami kerugian. Biaya operasional yang tinggi
terjadi karena hotel harus tetap melakukan pemeliharaan dan memberikan gaji kepada
karyawan walaupun tingkat okupansinya rendah. Selama Januari sampai Maret 2012 kemarin
merupakan low season dan pada saat itu tingkat hunian hotel berbintang hanya mencapai 60%,
sedangkan hotel melati hanya 30% saja. Rendahnya tingkat okupansi hotel membuat PHRI
menghimbau agar hotel-hotel berhemat untuk menekan biaya operasionalnya.
Dari data yang diatas PHRI menyimpulkan bahwa tidak boleh ada penambahan kamar
lagi oleh hotel-hotel yang ada di Yogyakarta. Penambahan hotel diperbolehkan jikalau hunian
kamar saat musim biasa bisa mencapai 60%, karena jika terlalu banyak hotel yang berdiri yang
dikhawatirkan adalah muculnya persaingan tidak sehat antar hotel. Persaingan antar hotel
berbintang dan melati akan terjadi jika, hotel berbintang membanting harga kamarnya demi
menarik minat wisatawan, maka hal ini akan berdampak pada usaha hotel kelas melati yang
berlevel UKM. Segi fasilitas sarana dan prasarana hotel berbintang jauh lebih lengkap
dibandingkan hotel nonbintang, sehingga yang ditakutkan adalah terjadi perang tarif dan
berakibat terhadap persaingan yang tidak sehat. Menurut Istijab (ketua PHRI Yogyakarta),
anggota harus mematuhi peraturan terkait tarif batas bawah seperti hotel bintang lima sebesar
Rp 800 ribu dan hotel bintang empat Rp 700 ribu. Penetapan batas bawah dan atas dilakukan
Relasi Antar Aktor Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Masyarakat dan PHRI (Perhimpunan HoteldanRestoran Indonesia) dalam Keterkaitannya dengan Fenomena Pembangunan Hotel di KotaYogyakartaDHIENDA VIOLA DEWINTHAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
agar tidak mematikan hotel non bintang dan menurunkan tingkat hunian 10-15 persen.6 Hotel
berbintang bisa tetap untung karena selain menyewakan kamar, mereka juga menyewakan
convention hall atau ballroom untuk acara-acara tertentu seperti rapat atau acara pernikahan.
Selain itu juga peningkatan okupansi hotel pada low season didukung dengan adanya MICE
(Meeting, Incentive, Convention and Exhibition) yang mulai dirintis pada tahun 2009 bagi hotel
berbintang.
Hal senada juga diungkapkan oleh Gubernur DIY yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono
X. Beliau mengungkapkan kekhawatirannya mengenai pembangunan hotel yang begitu pesat
akan dapat menjadi boomerang bagi kota Yogyakarta sendiri, karena khawatir jika
pertumbuhan hotel tersebut tak terkendali, akan mematikan hotel-hotel yang selama ini telah
dibangun pihak investor. Sri Sultan khawatir jika nanti okupansi hotel di DIY turun semua,
akan sulit menarik investor baru.7 Pernyataan yang disampaikan oleh Sri Sultan HB X sama
dengan pendapat PHRI yaitu, agar pemerintah lebih jeli dalam membuka peluang investasi
hotel di kota Yogyakarta. PHRI kemudian menyarankan kepeda pemerintah kota agar
pemberian izin pembangunan hotel harus melalui pertimbangan PHRI serta sebaiknya
pemerintah kota mulai membatasi pembangunan hotel. Selain itu pendapat PHRI juga disetujui
oleh PUSPAR (Pusat Studi Pariwisata UGM) yang mengatakan bahwa pemerintah perlu
memperketat izin pembangunan hotel, memperketat dalam hal ini yaitu meningkatkan kriteria
atau standar dengan studi kelayakan, AMDAL, ANDAS, Transportasi dan hal yang terkait.8
Kedudukan PUSPAR di sini tidak memihak siapapun karena berperan sebagai
akademisi, sehingga PUSPAR tidak ikut campur dalam permasalahan pemerintah dengan
PHRI. PUSPAR melihat fenomena pembangunan hotel yang ada hanya melalui sudut pandang
6Lihat http://krjogja.com/read/124379/phri-imbau-hotel-tak-perang-tarif.kr 7Lihat http://www.traveltextonline.com/traveltalk/sultan-saya-khawatir-pertumbuhan-cepat-hotel-di-yogyakarta 8Hasil wawancara dengan Fernando Marpaung Pusat Studi Pariwisata UGM tanggal 12 Juni 2013
Relasi Antar Aktor Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Masyarakat dan PHRI (Perhimpunan HoteldanRestoran Indonesia) dalam Keterkaitannya dengan Fenomena Pembangunan Hotel di KotaYogyakartaDHIENDA VIOLA DEWINTHAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
pariwisata, tetapi pembangunan hotel yang tidak terkendali dapat berdampak buruk bagi
kehidupan masyarakat di Kota Yogyakarta. Tidak hanya PHRI saja yang merasakan dampak
pembangunan hotel yang begitu pesat, tetapi juga masyarakat merasakannya. Terutama
masyarakat yang bermukim di belakang hotel-hotel, masyarakat merasakan dampak yang
merugikan dari segala aspek terutama aspek lingkungan. Pembangunan yang tidak terkendali
memancing masyarakat yang terdiri dari aktivis, seniman dan warga sekitar hotel melakukan
protes melalui sebuah gerakan yang bernama Warga Berdaya. Aksi protes tersebut dinamakan
protes ‘Jogja Asat’ yang dilaksanakan pada hari Kamis 2 Oktober silam, warga dan seniman
membuat mural dan poster tentang dampak negatif pembangunan hotel terutama berkurangnya
cadangan air tanah di Kota Yogyakarta.9 Aksi turun ke jalan para seniman, aktivis dan warga
tersebut diharapkan dapat memantik kesadaran pemerintah tentang dampak negatif
pembangunan hotel yang tidak terkendali.
Pemerintah Kota Yogyakarta mempunyai pandangan sendiri terhadap kemajuan
pembangunan hotel sekarang ini. Pemerintah mempunyai alasan bahwa mereka mempunyai
rancangan jangka panjang mengenai pembangunan pariwisata yang meliputi pembangunan
hotel. Menurut pemerintah pembangunan hotel di kota Yogyakarta masih dinilai perlu, karena
berhubungan dengan rencana mendatang misalnya pembangunan bandara Kulonprogo yang
dapat menampung 5,6 juta penumpang. Pembangunan bandara baru yang akan dilaksanakan
oleh pemerintah dinilai akan menambah jumlah pengunjung dan peningkatan okupansi hotel
yang ada. Alasan lain adalah bergairahnya iklim investasi di Yogyakarta membuat pemerintah
tidak ingin mengecewakan para investor.
9Asdhiana, I Made. 2014. Pembangunan Hotel Seniman dan Warga Membuat Mural. Diakses dari http://travel.kompas.com/read/2014/10/03/205300827/Protes.Pembangunan.Hotel.Seniman.dan.Warga.Membuat.Mural tanggal 20 Maret 2015
Relasi Antar Aktor Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Masyarakat dan PHRI (Perhimpunan HoteldanRestoran Indonesia) dalam Keterkaitannya dengan Fenomena Pembangunan Hotel di KotaYogyakartaDHIENDA VIOLA DEWINTHAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Dari beberapa alasan yang dilontarkan pemerintah terdapat suatu kesimpulan dimana
pemerintah tidak ingin menghentikan pembangunan hotel serta tidak mau melibatkan PHRI
dalam pemberian izin pembangunan hotel. Selain itu pemerintah juga menolak adanya
pembatasan pembangunan hotel di kota Yogyakarta, karena hal tersebut tentu saja bertentangan
dengan rencana pemerintah yang sudah disusun berdasarkan kajian-kajian yang ada.
Pemerintah dalam hal ini berperan sebagai fasilitator bagi investor dalam pembangunan hotel
serta sebagai regulator yang berfungsi untuk mengawasi dan mengatur tentang persaingan
ataupun dampak dari pembangunan hotel yang ada. Terlebih lagi izin pembangunan hotel
merupakan kewenangan dari pemerintah kota, sehingga pemerintah provinsi tidak dapat
campur tangan dalam hal tersebut.
Gambar 2
Distribusi Presentase PDRB Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga
Berlaku di DIY (persen) 2013
Sumber: DIY dalam Angka Tahun 2014
Relasi Antar Aktor Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Masyarakat dan PHRI (Perhimpunan HoteldanRestoran Indonesia) dalam Keterkaitannya dengan Fenomena Pembangunan Hotel di KotaYogyakartaDHIENDA VIOLA DEWINTHAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Dari gambar diatas terlihat bahwa pemerintah bersikukuh jikalau pembangunan hotel
sangat menguntungkan dari segi investasi,karena investasi yang masuk ke kota Yogyakarta
secara langsung dapat meningkatkan pendapatan kota. Terlihat dari PDRB DIY bahwa
pemasukan terbesar berasal dari perdagangan hotel dan restoran. Sumber pendapatan
pemerintah provinsi berasal dari jenis-jenis pajak yang dikelola Pemerintah Provinsi yaitu:
Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar
Bermotor, serta Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,
sedangkan jenis pajak yang dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota yaitu: Pajak Hotel, Pajak
Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan dan
Pengelolaan Bahan Galian Golongan C, dan Pajak Parkir.10
Meskipun pembangunan hotel sangat berkontribusi dalam meningkatkan PAD daerah,
seharusnya pemerintah tetap memperhatikan apa yang menjadi kepentingan pihak-pihak lain.
Pihak lain yang dimaksud adalah masyarakat Kota Yogyakarta yang terkena imbas dari
pembangunan hotel tersebut, serta PHRI sebagai organisasi perhotelan. Posisi PHRI disini
sebagai penyalur aspirasi para pengusaha hotel di Yogyakarta, yang diinginkan PHRI adalah
pemerintah mempertimbangkan saran dari PHRI dalam memberikan izin pembangunan hotel.
Selain itu PHRI disini berperan sebagai penyambung suara ke pemerintah, karena jika
pemerintah tidak menetapkan regulasi maka para pengusaha hotel yang akan dirugikan. Di sisi
lain munculnya gelombang protes atas pembangunan hotel banyak bermunculan di kalangan
aktivis dan masyarakat yang merasa jengah dengan pembangunan hotel yang semakin marak,
seharusnya membuat pemerintah kota lebih mawas diri.
Banyaknya aksi penolakan pembangunan hotel membuat walikota Yogyakarta Haryadi
Suyuti menerbitkan peraturan walikota nomor 77 tahun 2013 tentang moratorium pemberian
10BPS DIY yabg diakses melalui http://yogyakarta.bps.go.id/ tanggal 21 Maret 2015
Relasi Antar Aktor Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Masyarakat dan PHRI (Perhimpunan HoteldanRestoran Indonesia) dalam Keterkaitannya dengan Fenomena Pembangunan Hotel di KotaYogyakartaDHIENDA VIOLA DEWINTHAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
izin pembangunan hotel mulai 1 Januari 2014 sampai 31 Desember 2016. Setelah tebit perwal
tersebut diharapkan dapat mengurangi pembangunan hotel, tetapi yang terjadi masih ada 104
hotel baru yang akan dibangun sampai tahun 2016.11 Apakah pemerintah serius menanggapi
keluhan masyarakat tentang pembangunan hotel tersebut, karena perwal nomor 77 tahun 2013
hanya dianggap sebagai penghiburan saja melihat masih banyaknya hotel yang akan dibangun
di Kota Yogyakarta. Sikap pemerintah tersebut dapat memunculkan pertanyaan bahwa
hubungan/relasi apakah yang terjalin antara pemerintah dengan masyarakat dan PHRI dalam
kaitannya dengan fenomena pembangunan hotel di Kota Yogyakarta. Seharusnya pemerintah
mendengarkan aspirasi rakyatnya, terlebih kaitannya dengan kemajuan kota itu sendiri.
Pembatasan pendirian hotel di Kota Yogyakarta merupakan hal yang penting,
mengingat pariwisata bukan hanya di sektor ekonomi yaitu meningkatkan pendapatan daerah
tersebut tetapi, masih banyak sektor lain yang menyangkut pariwisata seperti transportasi,
perikanan, kerajinan ataupun peternakan. Selain itu menurut peneliti dari Pusat Studi
Pariwisata UGM menilai arah pengembangan pariwisata di DIY hanya berpusat pada ekonomi
dan industri bukan keseluruhan. Padahal pariwisata bersifat yang multisektoral dan borderless
(tidak mengenal batasan wilayah), ditambah lagi pariwisata menyumbang pendapatan daerah
sebesar 48%. Jika pemerintah tidak concern dalam mengatur pariwisata termasuk berkaitan
dengan pendirian hotel, maka ditakutkan pengembangan pariwisata di Yogyakarta akan
mengalami kerugian yang diakibatkan kurangnya sikap pemerintah dalam mengendalikan
pembangunan hotel.
Fokus penelitian ini untuk melihat pola relasi antara pemerintah Kota Yogyakarta
dengan komponen yang ada dalam dunia pariwisata di Kota Yogyakarta, khususnya yang
terkait langsung dengan pembangunan hotel yaitu masyarakat dan PHRI. Hal ini cukup
11Hasil wawancara dengan Dinas Perizinan Kota Yogyakarta pada tanggal 11 Februari 2014
Relasi Antar Aktor Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Masyarakat dan PHRI (Perhimpunan HoteldanRestoran Indonesia) dalam Keterkaitannya dengan Fenomena Pembangunan Hotel di KotaYogyakartaDHIENDA VIOLA DEWINTHAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
menarik untuk diteliti terlebih kota Yogyakarta menjadikan pariwisata sebagai pemasukan
kedua terbesar setelah pendidikan. Pemerintah sebagai aktor yang berkuasa diharapkan dapat
menjalin relasi dengan berbagai pihak dan seharusnya setiap kebijakan yang diambil
pemerintah tidak merugikan sebagian pihak seperti masyarakat Kota Yogyakarta.
I.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan pokok masalah yaitu :
Relasi Antar Aktor Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Masyarakat dan PHRI (Perhimpunan HoteldanRestoran Indonesia) dalam Keterkaitannya dengan Fenomena Pembangunan Hotel di KotaYogyakartaDHIENDA VIOLA DEWINTHAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
”Bagaimana pola relasi antara Pemerintah Kota Yogyakarta dengan aktor-aktor yang
berhubungan dengan pembangunan hotel (masyarakat dan PHRI) dalam keterkaitannya
dengan fenomena pembangunan hotel di Kota Yogyakarta ?”
I.3 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui relasi antara Pemerintah Kota Yogyakarta dengan masyarakat dalam
fenomena pembangunan hotel di Kota Yogyakarta
2. Mengetahui relasi Pemerintah Kota Yogyakarta dengan PHRI dalam dunia pariwisata
dan keterkaitannya dengan fenomena pembangunan hotel di Kota Yogyakarta
I.4 MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut :
1. Bagi Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pembaca untuk
dapat lebih memahami relasi antara pemerintah dengan PHRI (Perhimpunan Hotel dan
Restoran Indonesia) dalam hubungannya dengan fenomena pembangunan hotel di kota
Yogyakarta.
2. Bagi Pihak Luar
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan sumber
informasi bagi pembaca pada umumnya dan sumber inspirasi bagi peneliti mendatang
untuk meneliti lebih lanjut mengenai fenomena pembangunan hotel dalam
hubungannya antara pemerintah dan PHRI.
Relasi Antar Aktor Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Masyarakat dan PHRI (Perhimpunan HoteldanRestoran Indonesia) dalam Keterkaitannya dengan Fenomena Pembangunan Hotel di KotaYogyakartaDHIENDA VIOLA DEWINTHAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
top related