BAB I PENDAHULUAN - · PDF filePermebilitas Permeabilitas ... agregat yang disyaratkan pada gradasi no 4 Bina Marga dan aspal penetrasi 60/70. Benda uji yang digunakan merupakan lapisan
Post on 05-Feb-2018
225 Views
Preview:
Transcript
Penggunaan metoda kemampatan maksimum untuk perencanaan
gradasi porus aspal dengan material lokal
Maximum Density Method for aggregate gradation design of porous asphalt
using local material
Disusun Oleh :
A g u n g P r a s e t y o n o I . 1 1 0 3 0 2 3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Bulan November 2004 sedikitnya telah terjadi tiga peristiwa tergelincirnya
pesawat terbang saat melakukan pendaraatan. Salah satunya adalah kecelakaan
yang dialami oleh pesawat MD-82 Lion Air di Bandara Adisumarmo, Solo,
mengakibatkan 25 orang meninggal, 55 penumpang luka berat, 62 orang luka
ringan, dan 20 orang selamat. Komite Nasional Keselamatan Transportasi
(KNKT) dalam penjelasannya, Selasa 8 Februari 2005, menyimpulkan, penyebab
utama kecelakaan pesawat Lion Air adalah akibat pesawat mengalami
hydroplaning yang menyebabkan efektifitas pengereman pesawat saat mendarat
tidak bekerja sehingga pesawat meluncur keluar landasan pacu(Kompas,11/2).
Pada tanggal 16 Februari 2005, Ketua KNKT Setio Rahardjo menyatakan bahwa
selain faktor utama hydroplaning, faktor kontributor lainnya adalah tertutupnya
spoiler dan thrust reverser pesawat mengurangi perlambatan. Lalu, ada faktor tail
wind berhembus 13 knot (Buletin Malam, RCTI, 16/2).
Hydroplaning terjadi akibat adanya genangan air di atas permukaan perkerasan
jalan. Hydroplaning juga bisa dialami oleh kendaraan/mobil saat menerobos
genangan air. Hydroplaning dapat dihindari jika tidak terjadi genangan air di atas
permukaan aspal/jalan, pembuatan kemiringan melintang dan sistem darinase
yang baik diharapkan mampu mengatasi terjadinya genangan air. Ternyata kedua
usaha di atas masih belum mampu mengatasi terjadinya Hydorplaning. Di
beberapa negara telah dikembangkan suatu sistem perkerasan jalan yang disebut
Porus Aspal (PA).
Porus Aspal (PA) adalah campuran beraspal yang porus atau campuran aspal yang
berongga. Rongga yang ada terjadi karena persentase agregat kasar lebih besar
jika dibandingkan dengan persentase agregat halus. Dengan kondisi yang
berongga tersebut diharapkan kondisi permukaan yang dihasilkan agak kasar
sehingga akan mempunyai tingkat kekasaran yang tinggi. Selain untuk
menghasilkan permukaan yang mempunyai tingkat kekasaran yang tinggi.
Rongga pada PA diharapkan dapat berfungsi sebagai saluran drainase guna
mengalirkan air ke saluran samping. Hal inilah yang membedakan perkerasan
biasa dengan perkerasan yang mengunakan porus aspal.
Pada jenis perkerasan konvensional, menggunakan selokan sebagai saluran
drainase. Permukaan perkerasan yang kedap air menghantarkan air untuk
mengalir ke bagian samping badan jalan dan kemudian masuk ke selokan yang
ada. Air membutuhkan waktu untuk sampai ke selokan, sehingga sempat terjadi
genangan di permukaan jalan.
Untuk lapisan perkerasan porous aspal, disamping lewat permukaan sistem
drainase juga dilakukan oleh lapisan itu sendiri untuk mencapai saluran samping,
dengan konstruksi tergambar pada gambar 1.1. Adanya pori – pori udara yang
terdapat di dalam lapisan ini mengakibatkan air dapat langsung meresap masuk ke
dalam lapisan, mengalir ke samping badan jalan dan kemudian masuk ke selokan.
Dengan demikian air tidak sempat menggenang di permukaan perkerasan.
Gambar 1.1. Sistem drainase porus aspal
Gradasi agregat menentukan sifat-sifat porus aspal, berbagai macam gradasi
agregat telah dikembangkan diberbagai lembaga penelitian dari berbagai negara
(Takahashi,1999), gradasi agregat tersebut pada umumnya adalah berdasarkan
resep yang digunakan dalam waktu lama dengan hasil yang sudah diuji dan dapat
diandalkan namun demikian tidak dapat diterangkan bagaimana gradasi resep
tersebut dikembangkan kecuali dengan percobaan-percobaan yang berulang-ulang
dan memakan waktu lama.
Porus aspal didominasi oleh agregat kasar, agregat halus dan filler ditambahkan
sedemikian hingga tidak akan menghalangi interlock antar agregat kasar tersebut.
Salah satu metode untuk menentukan gradasi aggregat adalah dengan
memproduksi campuran yang mempunyai densitas maksimum atau minimum
porositas (Takahashi,1999).
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gradasi aggregat dari material lokal
dengan metode maksimum densitas dari campuran aggregat kasar, kemudian
menambahkan filler untuk menentukan target porositas. Gradasi yang mempunyai
stabilitas maksimum dan porositas optimum diusulkan sebagai gradasi yang
paling cocok untuk material lokal yang digunakan.
1.2. RUMUSAN DAN BATASAN MASALAH
1.2.1. Rumusan Masalah
• Apakah metoda maksimum densitas dapat diterapkan pada perencanaan
gradasi porus aspal dengan menggunakan material lokal, sehingga
menghasilkan gradasi yang tepat?
• Bagaimanakah performa porus aspal dengan gradasi hasil perencanaan
dengan metoda maksimum densitas jika dibandingkan dengan porus aspal
dengan gradasi konvensional?
1.2.2. Batasan Masalah
Agar penelitian ini tidak terlalu luas tinjauannya dan tidak menyimpang dari
rumusan masalah di atas maka perlu adanya pembatasan masalah yang ditinjau.
Batasan-batasan masalah yang diambil dalam penelitian ini sesuai dengan tujuan
penelitian sebagai berikut :
• Aspal yang digunakan adalah aspal keras dengan penetrasi 60/70
• Agregat kasar dan agregat halus berasal dari PT. Paca Dharma Surakarta
yang diperoleh dari daerah Karanganyar
• Abu batu diperoleh dari PT. Panca Dharma
• Abu batu yang dipakai lolos saringan no. 200
• Pengujian sampel mengunakan Marshall test, unconfied compression test,
dan Abrassion test.
• Tidak dilakukan analisa saringan.
1.3.TUJUAN DAN MANFAAT
1.3.1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
• Merencanakan (dengan metoda pemadatan kering) gradasi porus aspal
yang paling sesuai untuk material lokal yang memenuhi target porositas
• Mengevaluasi sifat-sifat campuran porus aspal dengan gradasi yang
dihasilkan yaitu sifat volumetrik maupun sifat mekanik empirisnya.
• Membandingkan sifat-sifat PA dengan gradasi yang diusulkan terhadap
sifat-sifat porus aspal dengan gradasi empiris yang menggunakan material
yang sama (BS dan BVR).
1.3.2. Manfaat
1.3.2.1. Teoritis
Untuk mendapatkan gradasi aggregat dari material lokal sehingga
gradasi tersebut dapat digunakan untuk umum.
1.3.2.2. Praktis
Sebagai pertimbangan pihak-pihak yang berkepentingan dalam
pemilihan material yang sesuai, khususnya aspal dan aggregat untuk
perkerasan jalan.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Tinjauan Pustaka
Pengguanan nama Porus Aspal (PA) sangat terkait dengan perilaku atau sifat-sifat
campuran beraspal yang menggunakan gradasi agregat dengan jumlah fraksi kasar
diatas 85% dari berat total campuran, sehingga struktur yang dihasilkan lebih
terbuka dan berongga. Struktur demikian diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan mengalirkan air baik secara arah vertikal maupun horizontal.
Sifat-sifat porus aspal yang umum diamati meliputi rongga udara dalam
campuran, stabilitas Marshall dan permeabilitas. Sifat-sifat ini sangat dipengaruhi
oleh gradasi dan ukuran maksimum agregat dan juga kadar bahan pengikat yang
digunakan. Sifat-sifat utama tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Rongga udara dalam campuran
Peningkatan rongga dalam campuran sangat berpengaruh terhadap nilai
permeabilitas. Dalam campuran porus aspal, jumlah agregat kasar dan
gradasi sangat menentukan nilai rongga dalam campuran, selanjutnya
mempengaruhi nilai permeabilitas. Umumnya, peningkatan proporsi
agregat kasar dan mengurangi agregat halus dapat meningkatkan nilai
rongga dalam campuran (Cabrera,et.al 1996). Porous aspal adalah aspal
yang dicampur dengan agregat tertentu yang setelah dipadatkan
mempunyai 20 % pori-pori udara (Khalid & Jimenes, 1994).
Porus aspal adalah jenis perkerasan jalan raya yang didesain untuk
meningkatkan besar koefisien gesek pada permukaan perkerasan
(Kandhall & Mallick, 2001).
Porus aspal adalah jenis perkerasan yang didesain untuk memperoleh
angka pori yang tinggi (28-32 %) sambil menjaga aspal yang ada di dalam
agregat (Setyawan et all, 2002).
2. Permebilitas
Permeabilitas merupakan sifat teknis yang sangat penting dalam campuran
porus aspal. Pengaliran ini dapat terjadi dengan saling tersambungnya
sesama rongga, membentuk saluran kapiler. Koefisien permeabilitas (k)
umumnya dinyatakan dalam cm/detik. Nilai k ini rata-rata berkisar 0,16-
0,17 cm/detik (Gemayel et. al.,1988), dan 0,38 cm/detik (Woelfl et
all,1981). Kemampuan alir ini berkurang bila rongga dalam campuran
tersumbat. Peningkatan kadar aspal juga dapat mengurangi kemampuan
alir air, karena aspal yang berlebih akan mengisi lebih banyak rongga
dalam campuran.
3. Stabilitas Marshall
Dalam campuran porus aspal, stabilitas campuran diperoleh dari saling
menguncinya sesama agregat kasar. Umumnya stabilitas Marshall dalam
campuran porus aspal lebih rendah dari beton aspal yang menggunakan
gradasi rapat. Stabilitas Marshall meningkat, bila gradasi terbuka yang
digunakan lebih banyak fraksi halus (Cabrera et all, 1996).
Dari sifat-sifat diatas porus aspal mempunyai beberapa keunggulan jika
dibandingkan dengan aspal beton antara lain :
1. Aspal yang digunakan lebih sedikit
2. Air hujan dapat segera mengalir melalui rongga yang ada sehingga
kemungkinan terjadinya genagan air sangat kecil, dan terjadinya
aquaplaning dapat dihindari
3. Karena mempunyai pori/rongga, daya cengkram roda lebih kuat (friksi
lebih kasar)
4. Dapat megurangi kebisingan akibat gesekan roda dengan aspal
5. Memperkecil terjadinya pantulan cahaya, karena porus aspal dapat
menyerap cahaya.
Namun porus aspal juga mempunyai beberapa kelemahan, antara lain :
1. Kekuatanya lebih rendah jika dibandingkan dengan aspal beton
2. Memiliki durabilitas yang lebih rendah sehingga umurnya lebih pendek
yaitu 7-10 tahun (Van Heystrean dan Mouraux, 1996)
3. Biaya konstruksi lebih mahal, karena membutuhkan aggregat yang
memiliki daya tahan tinggi terhadap gesekan. Menurut AASHTO T 96
aggregat yang digunakan untuk porus aspal harus mempunyai kekuatan
abrasi kurang dari 40%.
Perbedaan antara porus aspal dengan aspal beton dapat dilihat pada gambar 2.1.
Gambar 2.1. Hasil serapan air pada lapisan perkerasan
Untuk melihat bagaimana karakteristik dari lapisan porous aspal telah dilakukan
penelitian di beberapa negara, diantaranya Malaysia, Switzerland, Inggris,
Amerika, dan Jepang. Adapun hasilnya ditampilkan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Karakteristik porus aspal hasil penelitian
Marshall Unconfined
Compreseive Peneliti densitas porositas Stabilitas Flow
abrasi strength
( gr/cm3 ) ( % ) ( kg ) ( mm ) ( % ) ( kPa )
Ir. Ari Setyawan, M. Sc, Ph. D 1) 28.8 ≤ 16 1692 Ir. Amwar Yamin, MT 2) 1.86 581.76 2.854 Muhammad Karamin, ST, M.Sc 3) 456 Ir. Hardiman, M. Sc 4) 20.5 4.5 Sumber : 1) A. Setyawan et al, 2002, 2) A. Yamin, 2004, 3) M. Karamin, 2004, 4) Hardiman, 2004
Penelitian yang dilakukan di Leeds University digunakan batu kapur sebagai
agregat dengan Specifi Grafity (SG) 2,63 gr/cm3 dan kakuatan abrasi sebesar ≤16
%. Adapun aspal yang digunakan adalah penetrasi 50 dengan SG 1,03 gr/cm3
(Setyawan et all, 2002).
Penelitian yang dilakukan di Institut Teknologi Nasional (Itenas) digunakan
agregat yang disyaratkan pada gradasi no 4 Bina Marga dan aspal penetrasi 60/70.
Benda uji yang digunakan merupakan lapisan perkerasan jenis semi lentur yaitu
menambahkan mortar semen dengan FAS 35 % dan kadar additif 35 % ke dalam
porus aspal (Yamin et al, 2004).
Penelitian yang dilakukan oleh Karami, menggunakan bahan batu pecah dari jenis
granit yang mempunyai SG sebesar 2,5828 gr/cm3 dengan keausan sebesar 26,5 %
dan kelekatan aspal sebesar 100%. Aspal yang dipakai adalah aspal Shell
penetrasi 70/80.
Penelitian ini dilakukan pada porus aspal yang telah diisi pori–porinya dengan
mortar semen/slurry (bahan pengisi pada porus aspal). Untuk pembuatan mortar
semen dipakai semen portland jenis tiga roda, air dan bahan tambahan (additif)
jenis Sika Bond produksi PT. Sika Nusa Pratama (Karami, 2004).
Penelitian yang dilakukan di Penang Malaysia oleh Hardiman, menunjukkan hasil
abrasi untuk kadar aspal 4,5 % sebesar 5 %, dengan porositas sebesar 22,5 %.
Porous aspal yang dibuat menggunakan filler 4 % yang terdiri dari 2% hydrated
lime dan 2 % ordinary portland cement (OPC). Sedangkan bahan pengikatnya
menggunakan aspal semen penetrasi 60/70. (Hardiman, 2004)
Penelitian yang dilakukan oleh Agus Setyana, 2004 menunjukkan bahwa agregat
yang relatif sama dengan agregat yang digunakan dalam penelitian ini dapat
digunakan pada campuran Split Mastic Asphalt (SMA) dengan hasil disajikan
pada tabel 2.2. (Setyana, 2004)
Selain jenis SMA, agregat yang digunakan pada penelitian ini juga cocok
digunakan pada jenis Laston (Hanafi, 2004) dengan hasil disajikan pada tabel 2.2.
Tabel 2.2. Hasil penelitian pada jenis perkerasan yang lain
Data Jenis campuran pada kadar aspal optomum Marshall SMA 1) Laston 2)
Densitas 2.263
Porositas 4.863 5.392 Stabilitas 937.633 1128.07
Flow 3.7 3.5 M.Q 255.636 309.29
Sumber : 1) Setyana, 2004
2) Hanafi, 2004
2.2. Dasar Teori
2.2.1. Lapisan Perkerasan Jalan
Lapisan perkerasan jalan adalah suatu lapisan yang terletak di atas tanah
dasar yang telah dipersiapkan dengan pemadatan dan berfungsi sebagai pemikul
beban diatasnya dan kemudian disebarkan ke badan jalan (tanah dasar).
Berdasarkan bahan pengikatnya, konstruksi perkerasan jalan dibedakan menjadi 3
jenis konstruksi perkerasan, yaitu :
1. Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement)
Konstruksi ini menggunakan aspal sebagai bahan pengikatnya.
Lapisan–lapisan perkerasan ini mempunyai sifat memikul dan
menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar.
2. Konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement)
Konstruksi ini menggunakan semen sebagai bahan pengikatnya.
Beben lalu lintas sebagian besar dipikul oleh pelat beton dengan atau tanpa
tulangan yang diletakkan diatas tanah dasar dengan atau tanpa lapis
pondasi dasar.
3. Konstruksi perkerasan komposit (composit pavement)
Konstruksi ini menggunakan kombinasi antara semen dan aspal sebagai
bahan pengikatnya.
Konstruksi porus aspal merupakan perkerasan lentur. Sedangkan gradasi dari
porus aspal sendiri merupakan gradasi terbuka. Porus aspal merupakan lapisan
permeable yang berfungsi mengurangi beban drainase pada permukaan
perkerasan bersamaan dengan kemiringan permukaan. Dengan demikian sebagai
konsekuensinya, lapisan dibawah porus aspal harus lapisan impermeable untuk
melindungi lapisan dibawahnya dari air.
2.2.2. Bahan Penyusun Perkerasan Jalan
2.2.2.1 Aspal
Aspal merupakan unsur hydrocarbon yang kompleks yang dapat
dikategorikan sebagai: Asphaltenees dan Maltenes. Aspal adalah material
berwarna hitam atau coklat tua, dimana pada suhu ruang berbentuk padat, bila
dipanaskan sampai pada temperatur tertentu akan berbentuk cair, dan saat
temperatur turun akan kembali mengeras. Pada saat panas aspal membungkus
agregat dan akan mengikat agregat pada tempatnya saat temperatur turun
(termoplastis).
Berdasarkan cara memperolehnya aspal dapat dibedakan menjadi beberapa jenis
yaitu:
1) Aspal alam, dibedakan menjadi 2, yaitu :
- aspal gunung ( rock aspalt )
- aspal danau ( lake asphalt )
2) Aspal buatan, yaitu :
- Aspal minyak, merupakan hasil penyulingan minyak bumi
Aspal minyak merupakan material hasil lanjutan dari residu hasil proses destilasi
minyak bumi, yang umum juga disebut bitumen. Jenis aspal berdasarkan bahan
dasar dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :
1. Aspal Panas
Pada suhu ruang berbentuk padat, dan pengelompokannya berdasarkan
nilai penetrasinya.
2. Aspal Emulsi
Merupakan campuran air dengan emulsifier.Yang menentukan sifat aspal
emulsi yaitu emulsifiernya.
3. Aspal Cair
Merupakan campuran aspal cair dengan bahan pencair hasil penyulingan
minyak bumi.
2.2.2.2 Agregat
Agregat adalah bahan penyusun utama dalam perkerasan jalan. Mutu dari
agregat akan sangat menentukan mutu dari perkerasan yang akan dihasilkan.
Pengawasan terhadap mutu agegat dapat dilakukan dengan pengujian di
laboraturium.
Menurut asal kejadiannya agregat dapat dibagi menjadi 3 (tiga),yaitu:
1. Batuan Beku
Yaitu batuan yang berasal dari membekunya magma didalam perut bumi.
2. Batuan Sedimen
Yaitu batuan yang berasal dari pengendapan material dalam waktu yang
cukup lama.
3. Batuan Metamorf
Yaitu batuan yang berasal dari batuan beku atau batuan sedimen yang
berubah bentuk dan sifatnya akibat waktu dan pengaruh lingkungan
disekitarnya.
Menurut proses pengolahan ada 3 (tiga), yaitu:
1. Agregat Alam (Natural Aggregate)
Agregat yang dapat diambil langsung dari alam tanpa proses pengolahan
dan dapat langsung dipakai sebagai bahan perkerasan jalan. Agregat alam
yang banyak digunakan sebagai bahan penyusun perkerasan adalah kerikil
dan pasir.
2. Agregat dengan Pengolahan
Agregat yang berasal dari mesin pemecah batu. Pengolahan ini bertujuan
untuk memperbaiki gradasi agar sesuai dengan ukuran yang diperlukan,
membuat bentuk yang bersudut dan bertekstur kasar.
3. Agregat Buatan
Agregat ini dibuat dengan alasan khusus, yaitu agar mempunyai daya
tahan tinggi dan ringan untuk digunakan pada konstruksi jalan.
Menurut ukuran ada 3 (tiga), yaitu:
1. Agregat Kasar (Coarse Aggregate)
Adalah agregat yang tidak lolos saringan 2,36 mm.
2. Aggregat Halus (Fine Aggregate)
Adalah agregat yang lolos saringan 2,36 mm dan tertahan saringan No.
200.
3. Filler
Adalah bagian dari agregat yang lolos saringan No. 200 (<75 µm).
Sifat agregat memberikan pengaruh yang penting pada campuran porus aspal.
Sifat agregat tersebut antara lain adalah gradasi. Gradasi adalah pembagian
ukuran agegat. Gradasi agregat dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :
1. Gradasi Seragam (Uniform Gradation)
Adalah agregat dengan ukuran butir yang hampir sama.
2. Gradasi Baik (Well Gradation)
Adalah agregat dengan ukuran butir dari besar ke kecil dengan porsi yang
hampir seimbang.
3. Gradasi Senjang (Gap Gradation)
Adalah gradasi dimana ada bagian tertentu yang dihilangkan sebagian.
Pada umumnya porus aspal mempunyai gradasi jenis baik (Well Gradation).
Berbagai macam gradasi untuk porus aspal telah dikembangkan diberbagai
lembaga penelitian dari berbagai negara. Macam-macam gradasi yang telah
dikenal gradasi Britis Standar (BS), Non Britis Standar (BVR), gradasi Australia,
gradasi Jepang, dan gradasi No 4. Masing-masing gradasi mempunyai spesifikasi
yang berbeda-beda.Spesifikasi tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 2.3. British Standar Gradation Limits
Gradation % Passing Designation 28 20 14 10 6.3 3.35 0.075 BS 10 mm 100 90…100 40…55 22…28 3…6
Tabel 2.4. Gradasi BVR
Gradation % Passing
Designation 28 20 14 10 6.3 3.35 0.075 BS 10 mm 100 90…100 40…55 8…16 3…6
Tabel 2.5. Gradasi Australia
Diameter Gradasi Australia
Saringan Diameter Agregat
Maksimum (mm) 14mm 26.5 19 100
13.2 95 9.5 50 6.7 27
4.75 11 2.36 9 1.18 8 0.6 6.5 0.3 5.5
0.15 4.5 0.075 3.5
Tabel 2.6. Gradasi Jepang
% Passing Sieve
Size 19 13,2 9,5 4,75 2,36 0,60 0,30 0,15 0,075
0/20mm 95-100 53-78 35-62 10-31 10-21 4-17 3-12 3-8 2-7
0/13mm 92-100 62-81 10-31 10-21 4-17 3-12 3-8 2-7
Tabel 2.7. Gradasi No 4 (Indonesia)
Ukuran Gradasi No 4
Saringan Diameter Agregat
Maksimum (mm)
19 100 12,5 54 9,5 38
4,75 10 2,36 1 0,60 1 0,075 1
Gradasi-gradasi tersebut pada umumnya adalah berdasarkan resep yang sudah
digunakan dalam waktu lama. Hasilnya sudah diuji dan dapat diandalkan sebagai
penyusun konstruksi perkerasan. Namun tidak dapat diterangkan bagaimana
gradasi resep tersebut dikembangkan. Pada tahun 1996, Cabrera dan Hamzah
mengemukakan metoda pemadatan kering (MPK)/Dry Penetrasion Method
(DPM)(Cabrera dan Hamzah,1996). Metoda dilakukan untuk mencari porositas
minimum. Untuk mendapatkan porositas minimum maka perlu didapatkan
kepadatan (density) maksimum. Untuk mencapai target porositas, dilakukan
dengan mencampurkan 5 (lima) fraksi ukuran agregat ABCDE. Agregat A adalah
agregat dengan ukuran 12,7 s/d 9,5 mm, agregat B adalah agregat dengan ukuran
9,5 s/d 4,75 mm, agregat C adalah agregat dengan ukuran 4,75 s/d 2,8 mm,
agregat D adalah agregat dengan ukuran 2,8 s/d 0,5 mm dan agregat E adalah
agregat dengan ukuran <0,09 mm (Filler). Pemadatan dilakukan dengan
menggetarkan sampel. Aggregat yang dipadatkan terdiri dari aggregat ABCD dan
Filler, hingga didapatkan penurunan maksimum.
Konsep ini terlihat jelas dalam gambar :
Gambar 2.2. Konsep Metoda Pemadatan Kering
Metode MPK dimulai dengan mencampur agregat A dan B dengan komposisi
yang diinginkan untuk mendapatkan porositas minimum dari campuran A dan B.
Campuran A dan B dengan porositas minimum yang dihasilkan digunakan
sebagai agregat kasar yang baru dengan menambahkan agregat C sebagi agregat
halus. Agregat C ditambahkan dengan persentase tertentu untuk mendapatkan
porositas minimum. Campuran AB dan C dengan porositas minimum tersebut
dianggap sebagai komposisi agregat yang paling stabil dan kekuatan dan
ketahanan yang cukup untuk menahan deformasi.
Agregat halus (D dan E) ditambahkan untuk mencapai target porositas yang
diinginkan.
Densitas maksimum dicari dengan Metoda Pemampatan Kering (MPK) dengan
cara trial. Trial tersebut ada 4 (empat) tahap, yaitu sebagai berikut:
1. Merencanakan campuran A + B
Proporsi dari aggregat A dan B disajikan dalam tabel 2.8 sebagai berikut:
Tabel. 2.8. Proporsi aggregat A dan B
Sampel A20B80 A30B70 A40B60 A50B50
Aggregat A (12,7 s/d 9,5mm) 20% 30% 40% 50%
Aggregat B (9,5 s/d 4,75mm) 80% 70% 60% 50%
Sumber : Cabrera dan Hamzah, 1996
2. Merencanakan campuran AB + C
Proporsi dari aggregat AB dan C disajikan dalam tabel 2.9 sebagai berikut:
Tabel. 2.9. Proporsi aggregat AB dan C
Sampel AB40C60 AB50C50 AB60C40 AB70C30 AB480C20
Aggregat AB 40% 50% 60% 70% 80%
Aggregat C
(4,75 s/d 2,8mm)
60% 50% 40% 30% 20%
Sumber : Cabrera dan Hamzah, 1996
3. Merencanakan campuran ABC + D
Untuk tahap yang terakhir proporsi ABC + D ditambah dengan filler sebesar 4%
dari berat aggregat. Proporsi dari aggregat ABC + D disajikan dalam tabel 2.10
sebagai berikut:
Tabel. 2.10. Proporsi aggregat ABC dan D dengan Filler 4%
Sampel ABC95D5 ABC90D10 ABC85D15 ABC80D20
Aggregat ABC 95% 91,2% 90% 86,4% 85% 81,6% 80% 76,8%
Aggregat D
(2,8s/d0,5mm)
5% 4,8% 10% 9,6% 15% 14,4% 20% 19,2%
Filler
(<0,075 mm)
0% 4% 0% 4% 0% 4% 0% 4%
Sumber : Cabrera dan Hamzah, 1996
Latar Belakang Masalah
Terjadinya sejumlah kecelakaan pesawat saat melakukan pendaratan. Setelah
dilakukan investigasi oleh KNKT disimpulkan bahwa salah satu penyebabnya
adalah pesawat mengalami hydroplaning. Sehingga diperlukan lapisan perkerasan
yang dapat mengatasi genangan air di permukaan perkerasan saat hujan, yaitu Porus
aspal. Namun masihperlu kajian gradasi PA yang dianggap sesuai dengan kondisi di
Indonesia.
Masalah
Tahun 1996 Cabrera dan Hamzah menemukan Metode Maksimum Densitas.
Apakah metoda tersebut dapat diterapkan pada perencanaan gradasi PA dengan
menggunakan material lokal, sehingga menghasilkan gradasi yang tepat ?
Bagaimanakah performa PA dengan gradasi hasil perencanaan dengan metoda
maksimum densitas jika dibandingkan dengan PA yang mengunakan gradasi
2.2.3. Kerangka Pikir
Proses Penelitian Labolatorium 1. Unconfined Compressive Strength
test 2. Cantabrian test 3. Uji Permeabilitas
Kesimpulan
A
A
Gambar 2.3. Diagram Kerangka Pikir
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan metode eksperimental, yang berarti mengadakan
kegiatan percobaan untuk mendapatkan hasil. Hasil ini dapat menggambarkan
bagaimanakah kedudukan variabel – variabel yang diamati. Berdasarkan hasil
penelitian yang terdahulu variabel yang telah didapat dapat dibahas dan
selanjutnya ditarik kesimpulan.
3.2. Tempat Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini bertempat di Labolatorium Transportasi Jurusan Teknik
Sipil Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini berjalan
selama 9 minggu dari tanggal 1 April 2005 sampai dengan 8 Juni 2005.
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan berupa pengumpulan data primer dan
pengumpulan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh secara
langsung dari pelaksanaan penelitian, sedang data sekunder yaitu data yang
diperoleh dari data yang telah tersedia.
Data primer antara lain :
1) pemeriksaan penetrasi aspal
2) pemeriksaan titik nyala dan titik bakar aspal
3) pemeriksaan titik lembek
4) pemeriksaan daktilitas aspal
5) pemeriksaan berat jenis aspal
6) pemeriksaan abrasi agregat
7) pemeriksaan berat jenis agregat
8) pemeriksaan berat jenis filler
9) pengujian densitas/penurunan dengan MPK
10) perencanaan gradasi Sebelas Maret
11) pemeriksaan tinggi dan berat benda uji
12) pembacaan alat Marshall
13) kadar aspal optimum
14) kekuatan abrasi benda uji
15) kekuatan tekan benda uji
16) uji permeabilitas
Data sekunder antara lain :
1) gradasi pembanding
2) stabilitas dan flow benda uji pembanding
3) kekuatan abrasi benda uji pembanding
4) kekuatan tekan benda uji pembanding
5) permeabilitas pembanding
3.4. Alat dan Bahan Penelitian
3.4.1. Alat Penelitian
Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
1) Oven dengan pengatur suhu
2) Termometer
3) Timbangan triple beam
4) Alat pemeriksaan agregat
a. Satu set mesin uji Los Angeles yang berada di Labolatorium Bahan
Fakultas Teknik UNS.
b. Satu set alat uji saringan (sieve) standar ASTM
c. Mould MPK
d. Satu set mesin getar untuk saringan (sreve striacker)
5) Alat pemeriksaan aspal
a. Satu set alat uji penetrasi
b. Satu set alat uji daktilitas aspal
c. Satu set alat uji titik lembek aspal
d. Satu set alat uji titik nyala aspal
e. Satu set alat uji berat jenis aspal
6) Alat pembuat briket campuran aspal panas
a. Satu set cetakan (mold) berbentuk silinder diameter 101,45 mm tinggi
80 mm lengkap dengan plat atas dan leher sambung
b. Satu set alat pemadat briket (compactor) yang berpermukaan rata
berbentuk silinder
c. Satu set alat pengangkat briket (dongkrak hidrolis)
7) Satu set water batch
8) Satu set alat marshall, terdiri dari :
a. kepala penekan
b. cincin penguji berkapasitas 2500 kg dengan arloji tekan yang
berketelitian 0,0025 cm
c. arloji penunjuk kelelahan
9) Satu set cantabrian test (Los Angles) yang berada di Labolatorium Bahan
Fakultas Teknik UNS.
10) Alat uji permeabilitas.
11) Peralatan bantu lainnya :
a. spatula
b. panci
c. kunci pas, obeng, roll kabel
3.4.2. Bahan Penelitian
Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
1. Agregat
Agregat yang digunakan berasal dari daerah Karanganyar dengan nilai
keausan sebesar 33,65 % dan berat jenis sebesar 2,72 gr/ cm3. Sifat – sifat
telah diteliti di Labolatorium Bahan Fakultas Teknik UNS.
2. Aspal
Aspal yang digunakan adalah aspal keras ( aspal panas ) dengan penetrasi
60/70 dengan sifat – sifat telah diteliti di Labolatorium Jalan Raya Fakultas
Teknik UNS.
3. Filler
Filler yang digunakan adalah abu batu dengan diameter < 0,075 mm (lolos
ayakan No. 200)
3.5. Mencari Densitas Maksimum
Densitas maksimum dicari dengan Metoda Pemampatan Kering (MPK) dengan
cara trial. Trial tersebut ada 4 (empat) tahap, yaitu sebagai berikut:
2. Merencanakan campuran A + B
Proporsi dari aggregat A dan B disajikan dalam tabel 3.1 sebagai berikut:
Tabel. 3.1. Proporsi aggregat A dan B
Sampel A20B80 A30B70 A40B60 A50B50
Aggregat A (12,7 s/d 9,5mm) 20% 30% 40% 50%
Aggregat B (9,5 s/d 4,75mm) 80% 70% 60% 50%
4. Merencanakan campuran AB + C
Proporsi dari aggregat AB dan C disajikan dalam tabel 3.2 sebagai berikut:
Tabel. 3.2. Proporsi aggregat AB dan C
Sampel AB40C60 AB50C50 AB60C40 AB70C30 AB480C20
Aggregat AB 40% 50% 60% 70% 80%
Aggregat C
(4,75 s/d 2,8mm)
60% 50% 40% 30% 20%
5. Merencanakan campuran ABC + D
Untuk tahap yang terakhir proporsi ABC + D ditambah dengan filler sebesar 4%
dari berat aggregat. Proporsi dari aggregat ABC + D disajikan dalam tabel 3.3
sebagai berikut:
Tabel. 3.3. Proporsi aggregat ABC dan D dengan Filler 4%
Sampel ABC95D5 ABC90D10 ABC85D15 ABC80D20
Aggregat ABC 95% 91,2% 90% 86,4% 85% 81,6% 80% 76,8%
Aggregat D
(2,8s/d0,5mm)
5% 4,8% 10% 9,6% 15% 14,4% 20% 19,2%
Filler
(<0,075 mm)
0% 4% 0% 4% 0% 4% 0% 4%
3.6. Merencanakan Gradasi Sebelas Maret (SM)
Setelah didapatkan densitas maksimum maka dapat disusun gradasi Sebelas
Maret. Gradasi tersebut disusun didasarkan pada trial yang terakhir yaitu trial
ABCD + Filler .
3.7. Menentukan Kadar Aspal Optimum
Pemeriksaan kadar aspal optimum ini dilaksanakan untuk mencari prosentase
kadar aspal yang memberikan marshall properties yang terbaik pada campuran
porous aspal.
Langkah–langkah dalam penentuan kadar aspal optimum ini dapat dijabarkan
sebagai berikut :
1. Tahap I
Merupakan tahap persiapan yaitu pengumpulan data bahan dengan penelitian
agregat, aspal, dan filler. Dimana data–data ini akan dibutuhkan dalam
pelaksanaan penelitian.
2. Tahap II
Melakukan penimbangan secara komulatif agregat dan filler berdasarkan
gradasi yang telah ditentukan untuk masing–masing benda uji. Hal ini
dilkukan untuk kelancaran dalam pembuatan benda uji.
3. Tahap III
Pada tahap ini dilakukan pembuatan benda uji sebanyak 3 buah untuk masing–
masing variasi kadar aspal. Kadar aspal yang dipakai yaitu 3%, 3,5%, 4%,
4,5%, dan 5 %. Benda uji yang dibutuhkan sebanyak 3 x 5 = 15.
Setelah benda uji dibuat dilakukan pengukuran berat dan tinggi benda uji
untuk mendapatkan nilai densitas dan porositas. Selanjutnya dilakukan
pengujian Marshall untuk mendapatkan nilai stabilitas, flow dan marshall
quotient. Dari hasil tersebut akan diperoleh kadar aspal optimum yang akan
dipakai untuk penelitian selanjutnya.
5.8. Prosedur Penelitian
5.8.1. Pembuatan Benda Uji
Pembuatan benda uji dapat dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu :
1. Tahap I
Tahap persiapan dimana kita mempersiapkan bahan dan alat yang akan
digunakan
2. Tahap II
Menentukan berat aspal dan agregat yang akan dicampur berdasarkan variasi
kadar aspal. Prosentase ditentukan berdasarkan berat total campuran.
Misal :
Kadar aspal : 3 %
Berat total agregat : 1100 gram
Prosentase berat aspal dan agregat : 100 %
Berat aspal : 1100100
3 ×
: 33 gram
Berat agregat : 1100 – 33 gram
: 1067 gram
Selanjutnya menentukan komposisi berat agregat berdasarkan gradasi dan
berat total agregat.
Misal :
Gradasi : Sebelas Maret
Kadar aspal : 3 %
Berat total agregat : 1067 gram
Berat agregat yang tertampung tiap ayakan:
- ayakan 3/8” : 1067100
32,16 × : 174,134 gram
- ayakan # 4 : 1067100
32,16 × : 174,134 gram
- ayakan # 8 : 1067100
96,48 × : 522,403 gram
- ayakan # 200 : 1067100
4,14 × : 153,648 gram
- pan (filler ) : 1067100
4 × : 42,680 gram
3. Tahap III
Agregat yang telah ditimbang dipanaskan di atas pemanas sampai mencapai
suhu ± 170 °C.
Aspal yang telah dihitung beratnya dipanaskan hingga mencapai suhu ± 160
°C kemudian dituang kedalam wajan yang berisi agregat yang telah
dipanaskan.
4. Tahap IV
Setelah aspal dituangkan ke dalam agregat. Campuran ini diaduk sampai rata
diatas pemanasan dengan suhu percampuran mencapai ± 160 °C.
Kemudian campuran ini didiamkan hingga mencapai suhu ± 140 °C, barulah
campuran ini dimasukkan ke dalam mold yang telah disiapkan sebelumnya.
5. Tahap V
Campuran dipadatkan dengan alat pemadat sebanyak 50 kali untuk masing–
masing sisinya. Suhu Pemadatan adalah ± 120 °C.
Selanjutnya benda uji didinginkan pada suhu ruang, barulah dikeluarkan dari
mold dengan bantuan dongkrak.
5.8.2. Pengujian Benda Uji
Penelitian ini dilakukan dengan 4 (empat) macam pengujian, yaitu pengujian
Marshall (Marshall Test), pengujian kuat tekan (Unconfined Comperssive
Strength Test), pengujian abrasi (Cantabrian Test) dan uji permeabilitas. Sebelum
melakukan pengujian, terlebih dahulu dilakukan penghitungan Volumetrik Test
untuk masing–masing benda uji.
5.8.2.1. Volumetrik Test
Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui porositas dari masing – masing
benda uji.
Adapun tahap pengujiannya adalah sebagai berikut :
1. Tahap I
Benda uji yang telah diberi kode diukur ketinggiannya pada empat sisi yang
berbeda–beda dengan menggunakan bantuan jangka sorong.
Setelah diukur ketingginnya, benda uji tersebut ditimbang untuk mendapatkan
berat benda uji.
2. Tahap II
Hasil pengukuran tinggi, berat, serta diameter benda uji, dihitung densitas
dengan menggunakan rumus berikut :
hd
MaD
2
4
π= ... ( 3.1 )
dimana D : densitas ( gr/cm3 )
Ma : berat sampel diudara ( gr )
d : diameter sampel ( cm )
h : tinggi sampel ( cm )
3. Tahap III
Tahap ketiga, menghitung berat jenis (Specific Graravity) masing–masing
benda uji dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
GSf
Wf
GSa
Wa
GSag
WagSG
%%%100
++= ... (3. 2 )
dimana %Wag : persen berat agregat ( % )
% W a : persen berat aspal ( % )
% W f : persen berat filler ( % )
GSag : Specific Grafity agregat ( gr/cm3 )
Gsa : Specific Grafity aspal ( gr/cm3 )
GSf : Specific Grafity filler ( gr/cm3 )
4. Tahap IV
Hasil densitas dan GS dihitung besar porositas dengan menggunakan rumus
berikut :
%100*1max
−=
GS
DP ... (3. 3 )
5.8.2.2. Marshall Testt
Langkah dalam pengujian ini adalah sebagai berikut :
1. Benda uji direndam dalam water bath (bak perendam) selama 30 menit
dengan suhu 60 °C.
2. Benda uji dikeluarkan kemudian diletakkan pada alat uji marshall untuk
dilakukan pengujian.
3. Dari hasil pengujian ini didapat nilai stabilitas dan kelelahan (flow).
5.8.2.3. Unconfined Comperssive Strength Test
Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan alat UTM.
Benda uji diletakkan pada alat uji UTM untuk dilakukan pengujian.
Dari hasil pengujian ini didapat nilai kuat tekan.
5.8.2.4. Cantabrian Test
Langkah dalam pengujian ini adalah sebagai berikut :
1. Langkah I
Mengukur berat masing – masing benda uji
2. Langkah II
Memasukkan benda uji kedalam mesin Los Angeles tanpa bola baja.
Mesin diputar sebanyak 300 rotasi dengan kecepatan 30-33 rpm.
3. Langkah III
Setelah 300 rotasi benda uji dikeluarkan lalu diukur beratnya pada benda uji yang tidak hancur.
5.8.2.5. Permeabilitas
Langkah dalam pengujian ini adalah sebagai berikut :
1. Benda uji diletakkan pada pipa bagian bawah
2. Untuk menjaga benda uji selalu menempel pada pipa dan mencegah
kebocoran, kencangkan klem
3. Ukur luas permukaan benda uji (¼πd2)
4. Letakkan pipa dengan benda uji yang telah diklem pada bak air yang telah
terisi penuh air, dan bagian atas sempel sama dengan tinggi permukaan air
pada bak untuk menjaga tekanan agar tetap konstan
5. Jepit tabung dengan statif untuk menjaga posisi tabung tetap tegak
6. Isi tabung dengan air sampai mencapai ketinggian tertentu (h1)
7. Catat saat air dalam pipa turun dari h1 mencapai ketinggian 20 cm di atas
permukaan benda uji (h2).
Pengujian ini dilakukan pada tiap benda uji satu persatu.
5.9.Prosedur Penelitian
Untuk alur penelitian ini dapat disajikan pada gambar 3.1 berikut.
Mulai
Persiapan Benda Uji
Pengujian bahan dan sifat-
Perencanaan Gradasi PA dengan MPK*
A
Penentuan Kadar Aspal Optimum
( 3; 3,5; 4; 4,5; 5 )
Volumetrik test
1. density 2. Specific Grafity
A
Analisa
Kesimpulan
Selesai
Gambar 3.1. Diagram alir penelitian
Keterangan :
* = Metoda Pemadatan Kering
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pemeriksaan Bahan
4.1.1. Pemeriksaan Agregat
Kualitas bahan yang digunakan diteliti dengan dua cara, yaitu secara visual dan
percobaan. Penelitian secara visual untuk mengetahui bentuk butiran dan tekstur
permukaan, dari pemeriksaan visual terlihat bahwa bahan yang akan digunakan
bentuk butirannya tidak beraturan dan tekstur permukaannya kasar. Percobaan
dilakukan untuk mengetahui kekerasan agregat (dengan mesin los angles), berat
jenis semu dan resapan terhadap air (absorbsi). Hasil pemeriksaan disajikan
dalam tabel 4.1 sebagai berikut:
Tabel 4.1. Hasil pemeriksaan agregat
No Jenis Pemeriksaan Syarat Hasil 1 Keausan dengan menggunakan mesin Los Angeles max. 40% 33,65 % 2 Peresapan terhadap air max. 3% 2,66 % 3 Berat jenis semu min. 2,5 gr/cc 2,72 gr/cc
Sumber : Hasil penelitian
4.1.2. Pemeriksaan Aspal
Aspal yang digunakan diuji sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh
AASTHO. Jenis aspal yang digunakan adalah aspal panas dengan pen 60/70.
Hasil pengujian disajikan dalam tabel 4.2 sebagai berikut:
Tabel 4.2. Hasil pemeriksaan aspal
No jenis pemeriksaan syarat hasil 1 Penetrasi 100 gr, 25 °C, 5 detik (0,1mm) 60-79 70,6 2 Titik Lembek ( °C ) 48 - 58 51 3 Titik Nyala ( °C ) > 200 282.5 4 Titik Bakar ( °C ) > 200 317 5 Daktilitas, 25 °C, 5 cm/menit ( cm ) > 100 >150 6 Berat jenis ( gr/cc ) > 1 1.0226
Sumber : Hasil penelitian
4.1.3. Pemeriksaan Filler
Pemeriksaan ini hanya pada SG dari filler, dimana data ini akan
dipakai untuk perhitungan volumetrik test.
Dari pemeriksaan ini menunjukkan bahwa SG dari filler abu batu
yang digunakan sebesar 2,6134 gr/cc.
4.2.Hasil Pemeriksaan Densitas Maksimum
Pemeriksaan densitas maksimum meggunakan Metoda Pemadatan Kering (MPK).
Mould yang digunakan dalam MPK, merupakan mould modifikasi dengan
sepesifikasi sebagai berikut :
Diameter Lubang = 10,00 cm Tinggi = 10,80 cm Data Besi Pemberat Diameter = 10,00 cm Berat = 1,01 kg Tebal = 1,47 cm Berat Aggregat = 600,00 gram
Mould tersebut digetarkan dengan sieve shaker selama 15 menit.
4.2.1. Tahap I (Trial agregat A + B)
Tahap I agregat A (12,7 s/d 9,5 mm) dan B (9,5 s/d 4,75 mm) dimasukkan dalam
mould MPK. Tinggi agregat dalam mould diukur. Mould digetarkan
menggunakan sieve shaker selama 15 menit. Setelah 15 menit tinggi agregat
dalam mould diukur untuk mencari besar penurunan yang terjadi.
4.2.1.1. Komposisi sampel A20;B80
Komposisi sampel A20;B80 artinya agregat yang dimasukkan dalam mould MPK
terdiri dari agregat A dan B dengan persentase berat masing-masing 20% dan 80%
dari berat total agregat.
Agregat A (12,7 s/d 9,5mm) = 20% = 120,00 gram
Agregat B (9,5 s/d 4,75 mm) = 80% = 480,00 gram
Hasil pengukuran perbedaan tinggi agregat disajikan dalam tabel 4.3.
Tabel 4.3 Pembacaan pada sampel A20;B80
Tinggi Ruang Kosong
No Sampel
No Pembacaan
Tinggi Mould Total (cm)
Sebelum digetarkan
(cm)
Setelah digetarkan
(cm)
Tinggi Sampel
(cm) Density (1) (2) (3) (4) (5) (6)
= (3) – (5) (7)
Rumus 3.1
1 4,22 4,88 2 4,30 4,86 3 4,31 4,70 4 4,36 4,74 5 4,33 4,85
1
Rata-rata 10,80 4,30 4,80 5,99 1,28 1 4,39 5,03 2 4,50 5,13 3 4,51 5,24 4 4,44 5,16 5 4,37 5,02
2
Rata-rata 10,80 4,44 5,11 5,68 1,35 1 4,16 5,05 2 4,23 4,92 3 4,34 4,79 4 4,23 4,88 5 4,13 5,03
3
Rata-rata 10,80 4,22 4,93 5,86 1,30 Sumber: Hasil penelitian
Rata-rata density = 31,13
30,135,128,1 =++
SGmix = 72,2
72,2
100100 =
Porositas = %90,5110072,231,1
100 =×−
4.2.1.2. Komposisi sampel A30;B70
Agregat A (12,7 s/d 9,5mm) = 30% = 180,00 gram
Agregat B (9,5 s/d 4,75 mm) = 70% = 420,00 gram
Hasil pengukuran perbedaan tinggi agregat disajikan dalam tabel 4.4.
Tabel 4.4 Pembacaan pada sampel A30;B70
Tinggi Ruang Kosong
No Sampel
No Pembacaan
Tinggi Mould Total (cm)
Sebelum digetarkan
(cm)
Setelah digetarkan
(cm)
Tinggi Sampel
(cm) Density (1) (2) (3) (4) (5) (6)
= (3) – (5) (7)
Rumus 3.1
1 4,21 5,05 2 4,30 5,06 3 4,40 4,83 4 4,37 4,83 5 4,16 5,01
1
Rata-rata 10,80 4,29 4,95 5,84 1,31 1 4,25 4,60 2 4,30 4,73 3 4,14 4,83 4 4,02 4,80 5 4,09 4,63
2
Rata-rata 10,80 4,16 4,71 6,08 1,26 1 4,30 4,79 2 4,30 4,90 3 4,13 4,96 4 4,12 4,96 5 4,28 4,82
3
Rata-rata 10,80 4,22 4,89 5,91 1,29 Sumber: Hasil penelitian
Rata-rata density = 29,13
29,126,131,1 =++
SGmix = 72,2
72,2
100100 =
Porositas = %71,5210072,229,1
100 =×−
4.2.1.3. Komposisi sampel A40;B60
Agregat A (12,7 s/d 9,5mm) = 40% = 240,00 gram
Agregat B (9,5 s/d 4,75 mm) = 60% = 360,00 gram
Hasil pengukuran perbedaan tinggi agregat disajikan dalam tabel 4.5.
Tabel 4.5 Pembacaan pada sampel A40;B60
Tinggi Ruang Kosong
No Sampel
No Pembacaan
Tinggi Mould Total (cm)
Sebelum digetarkan
(cm)
Setelah digetarkan
(cm)
Tinggi Sampel
(cm) Density (1) (2) (3) (4) (5) (6)
= (3) – (5) (7)
Rumus 3.1
1 4,42 4,79 2 4,45 4,72 3 4,51 4,61 4 4,55 4,77 5 4,46 4,81
1
Rata-rata 10,80 4,48 4,74 6,06 1,26 1 4,30 5,20 2 4,39 5,22 3 4,44 5,03 4 4,33 4,98 5 4,23 5,07
2
Rata-rata 10,80 4,34 5,10 5,70 1,34 1 3,83 4,99 2 3,91 4,95 3 4,09 4,79 4 4,09 4,74 5 3,85 4,95
3
Rata-rata 10,80 3,95 4,88 5,91 1,29 Sumber: Hasil penelitian
Rata-rata density = 30.13
29,134,126,1 =++
SGmix = 72,2
72,2
100100 =
Porositas = %25,5210072,230,1
100 =×−
4.2.1.4. Komposisi sampel A50;B50
Agregat A (12,7 s/d 9,5mm) = 50% = 300,00 gram
Agregat B (9,5 s/d 4,75 mm) = 50% = 300,00 gram
Hasil pengukuran perbedaan tinggi agregat disajikan dalam tabel 4.6.
Tabel 4.6 Pembacaan pada sampel A50;B50
Tinggi Ruang Kosong
No Sampel
No Pembacaan
Tinggi Mould Total (cm)
Sebelum digetarkan
(cm)
Setelah digetarkan
(cm)
Tinggi Sampel
(cm) Density (1) (2) (3) (4) (5) (6)
= (3) – (5) (7)
Rumus 3.1
1 3,83 4,99 2 3,76 4,98 3 4,49 5,11 4 4,35 5,17 5 4,42 5,10
1
Rata-rata 10,80 4,17 5,07 5,73 1,34 1 3,92 5,07 2 3,94 4,86 3 4,08 4,86 4 4,14 4,91 5 4,01 5,07
2
Rata-rata 10,80 4,09 4,95 5,84 1,31 1 4,20 5,26 2 4,25 5,15 3 4,30 4,99 4 4,26 4,99 5 4,18 5,20
3
Rata-rata 10,80 4,24 5,12 5,68 1,35 Sumber: Hasil penelitian
Rata-rata density = 33,13
35,131,134,1 =++
SGmix = 72,2
72,2
100100 =
Porositas = %11,5110072,233,1
100 =×−
Hasil trial pada tabel 4.3, 4.4, 4.5, dan 4.6 dibuat grafik hubungan sebagai berikut:
51.00
51.20
51.40
51.60
51.80
52.00
52.20
52.40
52.60
52.80
Po
rosi
tas
(%)
Grafik 4.1 Porositas VS % Agregat B pada campuran A + B
Grafik 4.2 Densitas VS % Agregat B pada campuran A + B
Dari grafik 4.1 terlihat densitas optimum terjadi saat komposisi A50B50 dengan
density sebesar 1,33
4.2.2. Tahap II (Trial agregat AB + C)
Tahap I menghasilkan nilai densitas maksimum sebesar 1,330. Densitas
maksimum ini terjadi pada komposisi agregat A sebesar 50% dan agregat B
sebesar 50% dari berat total agregat dalam mould MPK. Besarnya perbandingan
agregat A dan B pada tahap II adalah 1:1, sesuai hasil pada tahap I. Pada tahap II
1.28
1.29
1.30
1.31
1.32
1.33
1.34
0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00
% Agregat B
Den
sita
s (g
r/cm
3)
agregat A (12,7 s/d 9,5 mm) dan B (9,5 s/d 4,75 mm) ditambah dengan agregat C
(4,75 s/d 2,8 mm) dimasukkan dalam mould MPK. Tinggi agregat dalam mould
diukur. Mould digetarkan menggunakan sieve shaker selama 15 menit. Setelah 15
menit tinggi agregat dalam mould diukur untuk mencari besar penurunan yang
terjadi.
4.2.2.1. Komposisi sampel AB40;C60
Komposisi sampel AB40;C60 artinya agregat yang dimasukkan dalam mould
MPK terdiri dari agregat A, B, dan C dengan persentase berat masing-masing
20%, 20%, dan 60% dari berat total agregat.
Agregat A (12,7 s/d 9,5mm) = 20% = 120,00 gram
Agregat B (9,5 s/d 4,75 mm) = 20% = 120,00 gram
Agregat C (4,75 s/d 2,8 mm) = 60% = 360,00 gram
Hasil pengukuran perbedaan tinggi agregat disajikan dalam tabel 4.7.
Tabel 4.7 Pembacaan pada sampel AB40;C60
Tinggi Ruang Kosong
No Sampel
No Pembacaan
Tinggi Mould Total (cm)
Sebelum digetarkan
(cm)
Setelah digetarkan
(cm)
Tinggi Sampel
(cm) Density (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
= (3) – (5) Rumus 3.1 1 4,49 4,91 2 4,54 4,89 3 4,40 4,68 4 4,31 4,70 5 4,43 4,85
1
Rata-rata 10,80 4,43 4,80 5,99 1,28 1 3,11 5,96 2 3,08 5,92 3 2,94 5,74 4 2,84 5,73 5 3,03 5,96
2
Rata-rata 10,80 2,99 5,86 4,94 1,55 1 4,71 5,25 2 4,77 5,17 3 4,63 5,06 4 4,56 5,16 5 4,76 5,24
3
Rata-rata 10,80 4,69 5,18 5,62 1,36 Sumber: Hasil penelitian
Rata-rata density = 39,13
36,155,128,1 =++
SGmix = 72,2
72,2
100100 =
Porositas = %72,4810072,239,1
100 =×−
4.2.2.2. Komposisi sampel AB50;C50
Agregat A (12,7 s/d 9,5mm) = 25% = 150,00 gram
Agregat B (9,5 s/d 4,75 mm) = 25% = 150,00 gram
Agregat C (4,75 s/d 2,8 mm) = 50% = 300,00 gram
Hasil pengukuran perbedaan tinggi agregat disajikan dalam tabel 4.8.
Tabel 4.8 Pembacaan pada sampel AB50;C50
Tinggi Ruang Kosong
No Sampel
No Pembacaan
Tinggi Mould Total (cm)
Sebelum digetarkan
(cm)
Setelah digetarkan
(cm)
Tinggi Sampel
(cm) Density (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
= (3) – (5) Rumus 3.1 1 3,92 4,96 2 4,06 5,14 3 4,00 5,11 4 3,84 5,09 5 3,99 4,97
1
Rata-rata 10,80 3,96 5,05 5,74 1,33 1 4,35 5,22 2 4,42 5,38 3 4,31 5,38 4 4,30 5,23 5 4,47 5,34
2
Rata-rata 10,80 4,37 5,31 5,49 1,39 1 4,77 5,33 2 4,82 5,45 3 4,80 5,52 4 4,75 5,40 5 4,82 5,40
3
Rata-rata 10,80 4,79 5,42 5,38 1,42 Sumber: Hasil penelitian
Rata-rata density = 38,13
42,139,133,1 =++
SGmix = 72,2
72,2
100100 =
Porositas = %18,4910072,238,1
100 =×−
4.2.2.3. Komposisi sampel AB60;C40
Agregat A (12,7 s/d 9,5mm) = 30% = 180,00 gram
Agregat B (9,5 s/d 4,75 mm) = 30% = 180,00 gram
Agregat C (4,75 s/d 2,8 mm) = 40% = 240,00 gram
Hasil pengukuran perbedaan tinggi agregat disajikan dalam tabel 4.9.
Tabel 4.9 Pembacaan pada sampel AB60;C40
Tinggi Ruang Kosong
No Sampel
No Pembacaan
Tinggi Mould Total (cm)
Sebelum digetarkan
(cm)
Setelah digetarkan
(cm)
Tinggi Sampel
(cm) Density (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
= (3) – (5) Rumus 3.1 1 4,39 4,95 2 4,51 5,08 3 4,38 5,25 4 4,33 5,08 5 4,49 5,01
1
Rata-rata 10,80 4,42 5,07 5,73 1,34 1 4,25 5,46 2 4,56 5,34 3 4,52 5,23 4 4,41 5,37 5 4,49 5,42
2
Rata-rata 10,80 4,44 5,36 5,43 1,41 1 4,36 5,04 2 4,51 5,19 3 4,46 5,27 4 4,32 5,13 5 4,46 5,11
3
Rata-rata 10,80 4,42 5,15 5,65 1,35 Sumber: Hasil penelitian
Rata-rata density = 37,13
35,141,134,1 =++
SGmix = 72,2
72,2
100100 =
Porositas = %81,4910072,237,1
100 =×−
4.2.2.4. Komposisi sampel AB70;C30
Agregat A (12,7 s/d 9,5mm) = 35% = 210,00 gram
Agregat B (9,5 s/d 4,75 mm) = 35% = 210,00 gram
Agregat C (4,75 s/d 2,8mm) = 30% = 180,00 gram
Hasil pengukuran perbedaan tinggi agregat disajikan dalam tabel 4.10.
Tabel 4.10 Pembacaan pada sampel AB70;C30
Tinggi Ruang Kosong
No Sampel
No Pembacaan
Tinggi Mould Total (cm)
Sebelum digetarkan
(cm)
Setelah digetarkan
(cm)
Tinggi Sampel
(cm) Density (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
= (3) – (5) Rumus 3.1 1 4,02 5,19 2 4,20 5,35 3 4,15 5,36 4 3,99 5,20 5 4,11 5,33
1
Rata-rata 10,80 4,09 5,29 5,51 1,39 1 0,00 4,84 2 0,00 4,90 3 0,00 4,99 4 0,00 4,92 5 0,00 4,87
2
Rata-rata 10,80 0,00 4,90 5,89 1,29 1 4,59 5,59 2 4,68 5,46 3 4,73 5,35 4 4,66 5,50 5 4,61 5,52
3
Rata-rata 10,80 4,66 5,49 5,31 1,44
Sumber: Hasil penelitian
Rata-rata density = 38,13
44,129,139,1 =++
SGmix = 72,2
72,2
100100 =
Porositas = %46,4910072,2
38,1100 =×−
4.2.2.5. Komposisi sampel AB80;C20
Agregat A (12,7 s/d 9,5mm) = 40% = 240,00 gram
Agregat B (9,5 s/d 4,75 mm) = 40% = 240,00 gram
Agregat C (4,75 s/d 2,8 mm) = 20% = 120,00 gram
Hasil pengukuran perbedaan tinggi agregat disajikan dalam tabel 4.11.
Tabel 4.11 Pembacaan pada sampel AB80;C20
Tinggi Ruang Kosong
No Sampel
No Pembacaan
Tinggi Mould Total (cm)
Sebelum digetarkan
(cm)
Setelah digetarkan
(cm)
Tinggi Sampel
(cm) Density
(1) (2) (3) (4) (5) (6) = (3) – (5)
(7) Rumus 3.1
1 4,26 5,20 2 4,35 5,03 3 4,47 4,99 4 4,39 5,14 5 4,29 5,14
1
Rata-rata 10,80 4,35 5,10 5,69 1,34 1 4,58 4,97 2 4,36 5,04 3 4,66 5,16 4 4,53 5,10 5 4,72 5,00
2
Rata-rata 10,80 4,57 5,05 5,74 1,33 1 4,47 4,88 2 4,42 4,69 3 4,47 4,71 4 4,53 4,90 5 4,42 4,80
3
Rata-rata 10,80 4,46 4,79 5,99 1,27 Sumber: Hasil penelitian
Rata-rata density = 31,13
27,1,33,134,1 =++
SGmix = 72,2
72,2
100100 =
Porositas = %62,5110072,231,1
100 =×−
Hasil trial pada tabel 4.7, 4.8, 4.9, 4.10, dan 4.11 dibuat grafik hubungan sebagai
berikut:
49.00
49.50
50.00
50.50
51.00
51.50
52.00
Po
rosi
tas
(%)
Grafik 4.3 Porositas VS % Agregat C pada campuran AB + C
Grafik 4.4 Densitas VS % Agregat C pada campuran AB + C
Dari grafik 4.4 terlihat densitas optimum terjadi saat komposisi AB40;C60
dengan density sebesar 1,39
4.2.3. Tahap III (Trial agregat ABC + D)
Tahap II menghasilkan nilai densitas maksimum sebesar 1,395. Densitas
maksimum ini terjadi pada komposisi agregat A sebesar 20%, agregat B sebesar
20%, dan agregat C sebesar 60% dari berat total agregat dalam mould MPK.
1.311.321.331.341.351.361.371.381.391.40
0.00 20.00 40.00 60.00 80.00
% Agregat C
Den
sita
s (g
r/cm
3)
Besarnya perbandingan agregat A, B, dan C pada tahap III adalah 1:1:3, sesuai
hasil pada tahap II. Pada tahap III agregat A (12,7 s/d 9,5 mm), B (9,5 s/d 4,75
mm), dan C (4,75 s/d 2,8 mm) ditambah dengan agregat D (2,8 s/d 0,5 mm)
dimasukkan dalam mould MPK. Tinggi agregat dalam mould diukur. Mould
digetarkan menggunakan sieve shaker selama 15 menit. Setelah 15 menit tinggi
agregat dalam mould diukur untuk mencari besar penurunan yang terjadi.
4.2.3.1. Komposisi sampel ABC95;D5
Komposisi sampel ABC95;D5 artinya agregat yang dimasukkan dalam mould
MPK terdiri dari agregat A, B, C, dan D dengan persentase berat masing-masing
19%, 19%, 57%, dan 60% dari berat total agregat.
Agregat A (12,7 s/d 9,5mm) = 19% = 114,00 gram
Agregat B (9,5 s/d 4,75 mm) = 19% = 114,00 gram
Agregat C ( 5,6 s/d 2,8 mm) = 57% = 342,00 gram
Agregat D (2,8 s/d 0,5mm) = 5% = 30,00 gram
Hasil pengukuran perbedaan tinggi agregat disajikan dalam tabel 4.12.
Tabel 4.12 Pembacaan pada sampel ABC95;D5
Tinggi Ruang Kosong
No Sampel
No Pembacaan
Tinggi Mould Total (cm)
Sebelum digetarkan
(cm)
Setelah digetarkan
(cm)
Tinggi Sampel
(cm) Density
(1) (2) (3) (4) (5) (6) = (3) – (5)
(7) Rumus 3.1
1 4,52 4,27 2 4,43 5,13 3 4,57 5,07 4 4,66 5,20 5 4,45 5,19
1
Rata-rata 10,80 4,53 4,97 5,82 1,31 1 4,74 5,49 2 4,67 5,34 3 4,56 5,26 4 4,61 5,40 5 4,75 5,45
2
Rata-rata 10,80 4,67 5,39 5,41 1,41 1 4,09 5,17 2 4,26 5,02 3 4,23 4,96 4 4,05 5,05 5 4,21 5,12
3
Rata-rata 10,80 4,17 5,06 5,73 1,33 Sumber: Hasil penelitian
Rata-rata density = 35,13
33,1,41,131,1 =++
SGmix = 72,2
72,2
100100 =
Porositas = %24,5010072,2
35,1100 =×−
4.2.3.2. Komposisi sampel ABC90;D10
Agregat A (12,7 s/d 9,5mm) = 18% = 108,00 gram
Agregat B (9,5 s/d 4,75 mm) = 18% = 108,00 gram
Agregat C ( 5,6 s/d 2,8 mm) = 54% = 324,00 gram
Agregat D (2,8 s/d 0,5mm) = 10% = 60,00 gram
Hasil pengukuran perbedaan tinggi agregat disajikan dalam tabel 4.13.
Tabel 4.13 Pembacaan pada sampel ABC90;D10
No No Tinggi Tinggi Ruang Kosong Tinggi Density
Sampel Pembacaan Mould Total (cm)
Sebelum digetarkan
(cm)
Setelah digetarkan
(cm)
Sampel (cm)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) = (3) – (5)
(7) Rumus 3.1
1 4,90 5,53 2 5,07 5,68 3 5,04 5,78 4 4,90 5,63 5 4,99 5,61
1
Rata-rata 10,80 4,98 5,65 5,15 1,48 1 4,24 5,51 2 4,40 5,38 3 4,33 5,30 4 4,19 5,45 5 4,32 5,44
2
Rata-rata 10,80 4,29 5,42 5,38 1,42 1 4,66 5,31 2 4,71 5,27 3 4,86 5,46 4 4,82 5,41 5 4,66 5,27
3
Rata-rata 10,80 4,74 5,34 5,45 1,40 Sumber: Hasil penelitian
Rata-rata density = 44,13
40,142,148,1 =++
SGmix = 72,2
72,2
100100 =
Porositas = %21,4710072,2
44,1100 =×−
4.2.3.3. Komposisi sampel ABC85;D15
Agregat A (12,7 s/d 9,5mm) = 17% = 102,00 gram
Agregat B (9,5 s/d 4,75 mm) = 17% = 102,00 gram
Agregat C ( 5,6 s/d 2,8 mm) = 51% = 306,00 gram
Agregat D (2,8 s/d 0,5mm) = 15% = 90,00 gram
Hasil pengukuran perbedaan tinggi agregat disajikan dalam tabel 4.14.
Tabel 4.14 Pembacaan pada sampel ABC85;D15
Tinggi Ruang Kosong
No Sampel
No Pembacaan
Tinggi Mould Total (cm)
Sebelum digetarkan
(cm)
Setelah digetarkan
(cm)
Tinggi Sampel
(cm) Density (1) (2) (3) (4) (5) (6)
= (3) – (5) (7)
Rumus 3.1 1 5,20 5,37 2 5,33 5,54 3 5,21 5,59 4 5,08 5,45 5 5,29 5,46
1
Rata-rata 10,80 5,22 5,48 5,31 1,44 1 5,08 5,37 2 5,11 5,52 3 5,21 5,41 4 5,19 5,27 5 5,07 5,47
2
Rata-rata 10,80 5,13 5,41 5,39 5,42 1 4,98 5,32 2 4,93 5,46 3 5,07 5,46 4 5,14 5,33 5 4,91 5,38
3
Rata-rata 10,80 5,00 5,39 5,41 1,41 Sumber: Hasil penelitian
Rata-rata density = 42,13
41,142,144,1 =++
SGmix = 72,2
72,2
100100 =
Porositas = %66,4710072,2
42,1100 =×−
4.2.3.4. Komposisi sampel ABC80;D20
Agregat A (12,7 s/d 9,5mm) = 16% = 96,00 gram
Agregat B (9,5 s/d 4,75 mm) = 16% = 96,00 gram
Agregat C ( 5,6 s/d 2,8 mm) = 48% = 288,00 gram
Agregat D (2,8 s/d 0,5mm) = 20% = 120,00 gram
Hasil pengukuran perbedaan tinggi agregat disajikan dalam tabel 4.15.
Tabel 4.15 Pembacaan pada sampel ABC80;D20
Tinggi Ruang Kosong
No Sampel
No Pembacaan
Tinggi Mould Total (cm)
Sebelum digetarkan
(cm)
Setelah digetarkan
(cm)
Tinggi Sampel
(cm) Density (1) (2) (3) (4) (5) (6)
= (3) – (5) (7)
Rumus 3.1 1 5,21 5,66 2 5,20 5,51 3 5,00 5,45 4 5,05 5,62 5 5,24 5,60
1
Rata-rata 10,80 5,15 5,57 5,23 1,46 1 5,10 5,71 2 5,16 5,53 3 5,22 5,48 4 5,16 5,68 5 5,10 5,62
2
Rata-rata 10,80 5,15 5,60 5,19 1,47 1 5,40 5,64 2 5,41 5,45 3 5,24 5,41 4 5,26 5,56 5 5,44 5,59
3
Rata-rata 10,80 5,35 5,53 5,27 1,45 Sumber: Hasil penelitian
Rata-rata density = 46,13
45,147,146,1 =++
SGmix = 72,2
72,2
100100 =
Porositas = %26,4610072,2
46,1100 =×−
Hasil trial pada tabel 4.12, 4.13, 4.14, dan 4.15 dibuat grafik hubungan sebagai
berikut:
47.00
47.50
48.00
48.50
49.00
49.50
50.00
50.50
Po
rosi
tas
(%)
Grafik 4.5 Porositas VS % Agregat D pada campuranABC + D
Grafik 4.6 Densitas VS % Agregat D pada campuran ABC + D
Dari grafik 4.6 terlihat densitas maksimum terjadi saat komposisi ABC80;D20
dengan density sebesar 1,46
4.2.4. Tahap IV (Trial agregat ABC + D + Filler)
Pada tahap III didapatkan nilai densitas maksimum sebesar 1,462. Densitas
maksimum ini terjadi pada komposisi agregat A sebesar 16%, agregat B sebesar
1.34
1.36
1.38
1.40
1.42
1.44
1.46
1.48
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00
% Agregat D
Den
sita
s (g
r/cm
3)
16%, agregat C sebesar 48%,dan agregat D sebesar 20% dari berat total agregat
dalam mould MPK. Besarnya perbandingan agregat A, B, C, dan D pada tahap IV
adalah 1:1:3:1,25, sesuai hasil pada tahap III. Pada tahap IV agregat A (12,7 s/d
9,5 mm), B (9,5 s/d 4,75 mm), C (4,75 s/d 2,8 mm), D (2,8 s/d 0,5 mm) ditambah
agregat E atau Filler (< 0,09 mm) dimasukkan dalam mould MPK. Tinggi
agregat dalam mould diukur. Mould digetarkan menggunakan sieve shaker selama
15 menit. Setelah 15 menit tinggi agregat dalam mould diukur untuk mencari
besar penurunan yang terjadi.
4.2.4.1. Komposisi sampel ABC91,2;D4,8;E4
Komposisi sampel ABC91,2;D4,8;E4 artinya agregat yang dimasukkan dalam
mould MPK terdiri dari agregat A, B, C, D, dan E dengan persentase berat
masing-masing 18,24%, 18,24%, 54,72%, 4,8% dan 4% dari berat total agregat.
Agregat A (12,7 s/d 9,5mm) = 18,24% = 109,44 gram
Agregat B (9,5 s/d 4,75 mm) = 18,24% = 109,44 gram
Agregat C ( 5,6 s/d 2,8 mm) = 54,72% = 328,32 gram
Agregat D (2,8 s/d 0,5mm) = 4,80% = 28,80 gram
Filler < 0,075 mm = 4,00% = 24,00 gram
Hasil pengukuran perbedaan tinggi agregat disajikan dalam tabel 4.16.
Tabel 4.16 Pembacaan pada sampel ABC91,2;D4,8;E4
No No Tinggi Tinggi Ruang Kosong Tinggi Density
Sampel Pembacaan Mould Total (cm)
Sebelum digetarkan
(cm)
Setelah digetarkan
(cm)
Sampel (cm)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) = (3) – (5)
(7) Rumus 3.1
1 4,57 5,19 2 4,63 4,99 3 4,48 4,95 4 4,44 5,12 5 4,66 5,09
1
Rata-rata 10,80 4,56 5,07 5,73 1,33 1 4,23 5,27 2 4,33 5,15 3 4,45 5,02 4 4,35 5,19 5 4,27 5,25
2
Rata-rata 10,80 4,33 5,17 5,62 1,36 1 4,85 5,18 2 4,83 5,33 3 4,87 5,40 4 4,91 5,23 5 4,81 5,24
3
Rata-rata 10,80 4,85 5,28 5,52 1,39 Sumber: Hasil penelitian
Rata-rata density = 36,13
39,136,133,1 =++
SGmix = 72,2
72,2
100100 =
Porositas = %02,5010072,2
36,1100 =×−
4.2.4.2. Komposisi sampel ABC86,4;D9,6;E4
Agregat A (12,7 s/d 9,5mm) = 17,28% = 103,68 gram
Agregat B (9,5 s/d 4,75 mm) = 17,28% = 103,68 gram
Agregat C ( 5,6 s/d 2,8 mm) = 51,84% = 311,04 gram
Agregat D (2,8 s/d 0,5mm) = 9,60% = 57,60 gram
Filler < 0,09 mm = 4,00% = 24,00 gram
Hasil pengukuran perbedaan tinggi agregat disajikan dalam tabel 4.17.
Tabel 4.17 Pembacaan pada sampel ABC86,4;D9,6;E4
Tinggi Ruang Kosong
No Sampel
No Pembacaan
Tinggi Mould Total (cm)
Sebelum digetarkan
(cm)
Setelah digetarkan
(cm)
Tinggi Sampel
(cm) Density (1) (2) (3) (4) (5) (6)
= (3) – (5) (7)
Rumus 3.1 1 4,51 6,16 2 4,66 6,05 3 4,68 5,88 4 4,56 6,05 5 4,61 6,16
1
Rata-rata 10,80 4,60 6,06 4,74 1,61 1 3,74 5,72 2 3,75 5,87 3 3,57 5,98 4 3,68 5,85 5 3,76 5,80
2
Rata-rata 10,80 3,70 5,84 4,95 1,54 1 4,93 5,83 2 4,87 5,69 3 5,00 5,59 4 4,99 5,74 5 4,85 5,79
3
Rata-rata 10,80 4,93 5,73 5,07 1,51 Sumber: Hasil penelitian
Rata-rata density = 56,13
51,154,161,1 =++
SGmix = 72,2
72,2
100100 =
Porositas = %81,4210072,2
56,1100 =×−
4.2.4.3. Komposisi sampel ABC81,6;D14,4;E4
Agregat A (12,7 s/d 9,5mm) = 16,32% = 97,92 gram
Agregat B (9,5 s/d 4,75 mm) = 16,32% = 97,92 gram
Agregat C ( 5,6 s/d 2,8 mm) = 48,96% = 293,76 gram
Agregat D (2,8 s/d 0,5mm) = 14,40% = 86,40 gram
Filler < 0,09 mm = 4,00% = 24,00 gram
Hasil pengukuran perbedaan tinggi agregat disajikan dalam tabel 4.18.
Tabel 4.18 Pembacaan pada sampel ABC81,6;D14,4;E4
Tinggi Ruang Kosong
No Sampel
No Pembacaan
Tinggi Mould Total (cm)
Sebelum digetarkan
(cm)
Setelah digetarkan
(cm)
Tinggi Sampel
(cm) Density (1) (2) (3) (4) (5) (6)
= (3) – (5) (7)
Rumus 3.1 1 5,10 6,30 2 4,96 6,16 3 4,97 6,08 4 5,12 6,22 5 5,02 6,24
1
Rata-rata 10,80 5,03 6,20 4,60 1,66 1 5,08 5,42 2 5,16 5,56 3 5,30 5,66 4 5,23 5,54 5 5,10 5,46
2
Rata-rata 10,80 5,17 5,53 5,27 1,45 1 4,92 6,02 2 5,04 5,92 3 5,00 5,83 4 4,88 5,93 5 4,99 5,98
3
Rata-rata 10,80 4,97 5,94 4,86 1,57 Sumber: Hasil penelitian
Rata-rata density = 56,13
57,145,166,1 =++
SGmix = 72,2
72,2
100100 =
Porositas = %56,4210072,2
56,1100 =×−
4.2.4.4. Komposisi sampel ABC76,8;D19,2;E4
Agregat A (12,7 s/d 9,5mm) = 15,36% = 92,16 gram
Agregat B (9,5 s/d 4,75 mm) = 15,36% = 9216 gram
Agregat C ( 5,6 s/d 2,8 mm) = 46,08% = 276,48 gram
Agregat D (2,8 s/d 0,5mm) = 19,20% = 115,20 gram
Filler < 0,09 mm = 4,00% = 24,00 gram
Hasil pengukuran perbedaan tinggi agregat disajikan dalam tabel 4.19.
Tabel 4.19 Pembacaan pada sampel ABC76,8;D19,2;E4
Tinggi Ruang Kosong
No Sampel
No Pembacaan
Tinggi Mould Total (cm)
Sebelum digetarkan
(cm)
Setelah digetarkan
(cm)
Tinggi Sampel
(cm) Density (1) (2) (3) (4) (5) (6)
= (3) – (5) (7)
Rumus 3.1 1 4,88 6,01 2 5,06 6,12 3 4,96 6,27 4 4,80 6,19 5 5,00 6,02
1
Rata-rata 10,80 4,94 6,12 4,67 1,64 1 5,15 5,80 2 5,21 5,88 3 5,19 6,02 4 5,03 5,91 5 5,13 5,88
2
Rata-rata 10,80 5,14 5,89 4,90 1,56 1 4,92 5,58 2 5,03 5,68 3 4,90 5,66 4 4,78 5,57 5 5,00
3
Rata-rata 10,80 4,93 4,50 6,30 1,21 Sumber: Hasil penelitian
Rata-rata density = 47,13
21,156,164,1 =++
SGmix = 72,2
72,2
100100 =
Porositas = %96,4510072,2
47,1100 =×−
Hasil trial pada tabel 4.16, 4.17, 4.18, dan 4.19 dibuat grafik hubungan sebagai
berikut:
Grafik 4.7 Porositas VS % Agregat D pada campuran ABCD + Filler
Grafik 4.8 Densitas VS % Agregat D pada campuran ABCD + Filler
Dari grafik 4.8 terlihat densitas optimum terjadi saat komposisi
ABC81,6;D14,4;E4 dengan density sebesar 1,56
40.00
42.00
44.00
46.00
48.00
50.00
52.00
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00
% Aggregat D
Po
rosi
tas
(%)
1.30
1.35
1.40
1.45
1.50
1.55
1.60
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00
% Agregat D
Den
sita
s (g
r/cm
3)
4.3. Merencanakan Gradasi Sebelas Maret (SM)
Dari hasil pemerikasaan densitas maksimum dapat dilihat bahwa densitas
maksimum terjadi pada komposisi agregat :
• Agregat A (12,7 s/d 9,5 mm) = 16,32 %
• Agregat B ( 9,5 s/d 4,75 mm) = 16,32 %
• Agregat C (4,75 s/d 2,8 mm) = 48,96 %
• Agregat D (2,8 s/d 0,5 mm) = 14,4 %
• Filler = 4 %
Dari persentase tertahan dihasilkan gradasi Sebelas Maret sebagai berikut:
Tabel 4.20. gradasi penelitian
Nomor Saringan ½” 3/8” # 4 # 8 # 200 pan Lolos ayakan (%) 100 83,68 67,36 18,40 4 0
Grafik 4.9 Gradasi Sebelas Maret
4.4. Menentukan Kadar Aspal Optimum
0.0010.0020.0030.0040.0050.00
60.0070.0080.0090.00
100.00
0.01 0.1 1 10 100
Diameter Saringan (mm)
% L
olos
SM
Penentuan kadar aspal optimum dilakukan di laboratorium, menggunakan
Marshall Test dengan variasi kadar aspal yang berbeda- beda yaitu 3%; 3,5%;
4%; 4,5%; dan 5%. Metode ini sering disebut dengan metode Asphalt Institute.
Dari pengujian Marshall di dapat nilai densitas (density), stabilitas (stability),
kelelahan (flow), dan Marshall Quotient (MQ). Dari nilai–nilai tersebut dapat
ditentukan sifat campuran yang terbaik atau kadar aspal optimum.
Perhitungan kadar aspal optimum diawali dengan pengukuran
tinggi dan penimbangan benda uji di udara untuk memperoleh
nilai densitas. Selanjutnya benda uji dites dengan menggunakan
alat marshall untuk mendapatkan nilai pembacaan kelelahan dan
stabilitas. Adapun hasil pengujian ini disajikan pada tabel 4.21,
4.22, dan 4.23.
Tabel 4.21. Hasil tes Marshall untuk variasi kadar aspal gradasi
Sebelas Maret
Data kadar aspal ( % ) Marshall 3,00 3,50 4,00 4,50 5,00 Density 1,77 1,80 1,82 1,81 1,78 porosity 31,70 29,80 28,80 28,65 29,87 stability 263,23 469,34 453,82 405,26 267,94
Flow 3,60 2,60 2,67 2,80 3,23 MQ 73,81 180,72 170,24 144,70 83,01
Sumber : Hasil penelitian
Tabel 4.22. Hasil tes Marshall untuk variasi kadar aspal gradasi
BS
Data kadar aspal ( % ) Marshall 3,00 3,50 4,00 4,50 5,00 density 1,75 1,82 1,83 1,82 1,81 porosity 32,64 29,17 28,35 27,97 27,84 stability 218,26 244,83 274,40 282,00 246,34
Flow 2,8 1,93 1,60 1,7 3,1 MQ 77,66 126,81 172,48 167,02 79,92
Sumber : Chatarina Rista, 2005
Tabel 4.23. Hasil tes Marshall untuk variasi kadar aspal optimum
gradasi BVR
Data Kadar Aspal ( % ) Marshall 3,00 3,50 4,00 4,50 5,00 density 1,66 1,70 1,71 1,71 1,69 porosity 35,81 33,89 33,05 32,44 32,63 stability 199,68 315,30 379,16 350,72 99,27
flow 3,07 2,27 1,93 1,53 1,97 MQ 65,15 140,31 196,50 229,09 50,82
Sumber : Chatarina Rista, 2005
Penentuan kadar aspal optimum berdasarkan grafik yang
disajikan pada lampiran hasil pengujian marshall. Grafik ini
menunjukkan hubungan antara kadar aspal dengan variabel–
variabel yang di dapat pada tabel 4.21, 4.22, dan 4.23 di atas.
Adapun yang menjadi bahan pertimbangan untuk pengamatan
visual diantaranya: banyaknya pori yang tampak, penyebaran
agregat, dan penutupan aspal terhadap agregat. Dari grafik
tampak bahwa kadar aspal yang optimum adalah :
• gradasi SM = 4,00%
• gradasi BS = 4,50%
• gradasi BVR = 4,50%
Dari hasil kadar aspal optimum, diperoleh nilai marshall
properties sebagai berikut:
• Gradasi SM
Densitas : 1,82 gr/cc
Porositas : 28,80 %
Stabilitas : 453,82 kg
Kelelahan : 2,67 mm
Marshall Quotient : 170,24 kg/mm
• Gradasi BS
Densitas : 1,82 gr/cc
Porositas : 28,01 %
Stabilitas : 309,23 kg
Kelelahan : 2,40 mm
Marshall Quotient : 129,12 kg/mm
• Gradasi BVR
Densitas : 1,71 gr/cc
Porositas : 32,27 %
Stabilitas : 267,71 kg
Kelelahan : 2,17 mm
Marshall Quotient : 119,09 kg/mm
4.5. Hasil Pemeriksaan Volumetrik
Dari hasil kadar aspal optimum di atas dibuat 12 benda uji untuk
pengujian berikutnya. Sebelum diujikan, benda uji diperiksa
varibel volumetriknya yaitu : density, SG dan porosity.
Dari pemeriksaan ini di dapat tinggi dan berat benda uji lalu di
lakukan proses penghitungan, sebagai contoh :
Berat benda uji = 1083,10 gr
Tebal benda uji = 7,25 cm
Density = 85,125,7*)15,10(*
10,1083*42
=π
gr/cc ...(3.1)
SG = 54,2
70,2
4
02,1
4
72,2
92100 =
++ gr/cc ...(3.2)
Porosity = %42,26%100*54,2
85,11 =
− ...(3.3)
Hasil perhitungan selanjutnya disajikan pada tabel 4.24 dan 4.25.
Tabel 4.24. Hasil uji Volumetrik
Sumber : Hasil penelitian
Dari perhitungan didapat hasil rata–rata porosity untuk gradasi
Sebelas Maret sebesar 30,30%.
Kode Kadar Berat di Tebal ( cm ) Rata-rata Densitas SG Porositas
sampel aspal udara (gram) 1 2 3 4 (cm) (gr/mm) (%)
1 4 1083,10 7,25 7,27 7,17 7,33 7,25 1,85 2,54 27,49 2 4 1081,90 7,74 7,63 7,70 7,75 7,71 1,74 2,54 31,83 3 4 1080,70 7,69 7,66 7,70 7,76 7,70 1,74 2,54 31,88 4 4 1088,20 7,48 7,53 7,49 7,49 7,50 1,80 2,54 29,53 5 4 1080,60 7,60 7,46 7,42 7,46 7,49 1,80 2,54 29,90 6 4 1095,10 7,84 7,85 7,94 7,99 7,90 1,71 2,54 32,73 7 4 1099,20 7,58 7,62 7,55 7,70 7,61 1,79 2,54 29,88 8 4 1094,70 7,50 7,42 7,66 7,72 7,58 1,79 2,54 29,84 9 4 1098,90 7,79 7,60 7,44 7,50 7,58 1,80 2,54 29,64 10 4 1088,10 7,60 7,65 7,64 7,55 7,61 1,77 2,54 30,58 11 4 1076,10 7,58 7,58 7,64 7,61 7,60 1,76 2,54 31,28 12 4 1083,70 7,88 8,02 8,00 7,89 7,95 1,69 2,54 33,79
Rata-rata 30,30
Tabel 4.25. Hasil uji Volumetrik
kode kadar berat di tebal ( cm ) Rata-rata densitas SG porositas sampel aspal udara ( gram ) 1 2 3 4 ( gr/mm ) ( % )
BS 1 4,5 981 6,74 6,36 6,49 6,50 6,52 1,86 2,53 26,42 BS 2 4,5 980 6,66 6,50 6,65 6,55 6,59 1,84 2,53 27,25 BS 3 4,5 973.5 6,44 6,60 6,50 6,30 6,46 1,87 2,53 26,28 BS 4 4,5 974 6,46 6,50 6,60 6,60 6,54 1,84 2,53 27,14 BS 5 4,5 985 6,50 6,50 6,50 6,50 6,50 1,88 2,53 25,87 BS 6 4,5 999.5 6,90 7,00 7,01 7,02 6,98 1,77 2,53 29,97 BS 7 4,5 988.6 6,57 6,55 6,36 6,58 6,51 6,51 2,53 25,76 BS 8 4,5 986.4 6,91 6,81 6,85 7,00 6,89 6,89 2,53 29,97 BS 9 4,5 982.5 6,58 6,75 6,86 6,57 6,69 6,69 2,53 28,17
Rata-rata 27,43 BVR 1 4,5 986 6,96 7,00 7,00 7,00 6,99 1,75 2,53 30,99 BVR 2 4,5 992.5 7,00 7,10 7,10 6,90 7,03 1,75 2,53 30,89 BVR 3 4,5 982.1 7,14 7,10 7,22 7,20 7,17 1,70 2,53 32,95 BVR 4 4,5 981.25 7,45 7,40 7,27 7,20 7,33 1,66 2,53 34,51 BVR 5 4,5 980 6,84 6,84 6,97 7,00 6,91 1,75 2,53 30,65 BVR 6 4,5 979.5 7,07 6,97 7,18 7,30 7,13 1,70 2,53 32,80
BVR 7 4,5 992.5 7,07 7,23 7,29 7,02 7,15 1,72 2,53 32,09 BVR 8 4,5 995.6 7,25 7,17 7,22 7,34 7,24 1,70 2,53 32,76 BVR 9 4,5 994.25 7,26 7,26 7,16 7,13 7,20 1,71 2,53 32,47
Rata-rata 32,23 Sumber : Chatarina Rista, 2005
Dari perhitungan didapat hasil rata – rata porosity untuk gradasi
BS sebesar 27,43% dan untuk gradasi BVR sebesar 32,23%.
4.6. Hasil Uji Marshall
Hasil pengujian Marshall benda uji dari kadar aspal optimum
disajikan pada tabel 4.26 dan 4.27.
Tabel 4.26. Hasil Uji Marshall untuk benda uji
Sumber : Hasil penelitian
Tabel 4.27. Hasil Uji Marshall untuk benda uji
kode kadar stabilitas Marshall sampel aspal koreksi terkoreksi flow Quotient
dial kalibrasi
tebal ( % ) lb kg kg mm kg/mm
BS 7 4,50 25 343,29 0,93 319,26 2,0 159,63 BS 8 4,50 20 274,63 0,85 233,43 1,6 145,90 BS 9 4,50 24 329,55 0,89 293,30 1,5 195,54
Rata-rata 281,99 1,7 167,02 BVR 7 4,50 33 453,14 0,83 375,54 1,5 250,36 BVR 8 4,50 30 411,94 0,82 336,76 1,5 224,51 BVR 9 4,50 30 411,94 0,83 339,85 1,6 212,41
Rata-rata 350,72 1,53 229,09 Sumber : Chatarina Rista, 2005
4.7. Hasil Uji Unconfined Comperssive Strength
Kode Kadar Stabilitas Marshall sampel aspal Koreksi Terkoreksi Flow Quotient
Dial Kalibrasi tebal
( % ) lb kg kg mm kg/mm 1 4 42 576,72 0,82 472,91 2,70 175,15 2 4 40 549,26 0,79 433,91 2,70 160,71 3 4 43 590,45 0,77 454,65 2,60 174,86
Rata-rata 453,82 2,67 170,24
Dari pengujian dengan alat UTM didapatkan besaran kuat desak dengan satuan
kg, kemudian satuan ini dikonversikan ke dalam satuan kPa. Berikut contoh
pengkonversiannya :
Hasil kuat desak = 1620 kg
Hasil konversi = 03,196710145.0**
4
1*1000
81,9*1620
2
=π
kPa
Hasil pengujian Unconfined Comperssive Strength benda uji dari kadar aspal
optimum disajikan pada tabel 4.28 dan 4.29.
Tabel 4.28. Hasil uji Unconfined Comperssive Strength
Sumber : Hasil penelitian
Tabel 4.29. Hasil uji Unconfined Comperssive Strength
kode gaya konversi sampel desak satuan
( kg ) ( kPa )
BS 4 2460 2986,97 BS 5 2740 3326,95 BS 6 2140 2598,42
Rata-rata 2970,78 BVR 4 1150 1396,35 BVR 5 1500 1821,32 BVR 6 1480 1797,04
Rata-rata 1671,57 Sumber : Chatarina Rista, 2005
4.8. Hasil Uji Cantabrian Test
Kode Gaya Konversi sampel desak satuan
( kg ) ( kPa )
7 1620 1967,03 8 1840 2234,15 9 1500 1821,32
Rata-rata 2007,49
Untuk mendapat hasil nilai keausan dari pengujian ini perlu
dilakukan perhitungan seperti contoh berikut :
Berat awal = 1088,20 kg
Berat akhir = 432,22 kg
Kehilangan berat = 1088,2-432,22 = 655,98 kg
Persen keausan = 28,60%100*20,1088
98,655 = kg
Untuk hasil pengujian selanjutnya disajikan pada tabel 4.30 dan
4.31.
Tabel 4.30. Hasil uji Cantabrian
Sumber : Hasil penelitian
Tabel 4.31. Hasil uji Cantabrian
kode tebal berat berat kehilangan persen sampel sampel awal akhir berat keausan
( kg ) ( kg ) ( kg ) ( kg ) ( % )
BS 1 6,52 981,00 421,09 559,91 57,08 BS 2 6,59 980,00 169,79 810,21 82,68 BS 3 6,46 973,50 434,54 538,96 55,36
Rata-rata 65,04 BVR 1 6,99 986,00 317,63 668,37 67,79 BVR 2 7,03 992,50 449,11 543,39 54,75 BVR 3 7,17 982,10 286,86 695,24 70,79
Rata-rata 64,44
Kode Tebal Berat Berat Kehilangan Persen sampel sampel awal akhir berat keausan
( cm ) ( kg ) ( kg ) ( kg ) ( % ) 4 7,50 1088,20 432,22 655,98 60,28 5 7,49 1080,60 453,68 626,92 58,02 6 7,90 1095,10 461,62 633,48 57,85
Rata-rata 58,71
Sumber : Chatarina Rista, 2005
4.9. Hasil Uji Permeabilitas
Pengujian permeabilitas pada penelitian ini dilakukan menggunakan metode
permeabilitas vertikal, semuanya menggunakan prinsip falling had permeability.
Contoh perhitungannya sebagai berikut:
Kode Aspal SM10
Luas penampang tabung (a) = 03,8116,10**4/1 2 =π cm2
Tebal sampel (L) = 7,61 cm
Diameter sampel (d)= 10,14 cm
Keliling sampel = 14,10*π =31,84 cm
Permeabilitas vertikal (A) = 71,8014,10**4/1 2 =π cm2
Tinggi batas air paling atas (h1) = 70 cm
Tinggi batas air paling bawah (h2) = 20 cm
Waktu antara h1 dan h2 (t) = 36,3 dt
Koefisien Permeabilitas Vertikal (kv) =
××
2
1log3,2h
h
At
aL
=
××××
20
70log
50,2971,80
61,703,813,2
= 0,29 cm/dt
Hasil dari pengujian permeabilitas vertikal disajikan dalam Tabel 4.32 dan 4.33.
Tabel 4.32. Hasil pengujian permeabilitas vertikal
Sumber : Hasil penelitian
Tabel 4.33. Hasil pengujian permeabilitas vertikal
Kode Kadar Luas
penampang Tebal Luas
penampang Batas Batas Koefisien
permeabilitas sampel aspal tabung sampel sampel atas bawah Waktu vertikal
a(cm²) L(cm) A(cm²) h1(cm) h2(cm) t(dt) kv(cm/dt)
10 4 81,03 7,61 80,71 70 20 36,3 0.26 11 4 81,03 7,60 80,71 70 20 36,3 0.26 12 4 81,03 7,95 80,71 70 20 36,3 0.28
Kode Sampel
Luas Penampang
Tabung a (cm2)
Tebal sampel L (cm)
Luas Penampang
Sampel A (cm2)
Batas Atas
h1(cm)
Batas Bawah h2 (cm)
Waktu t (dt)
Koefisien Permeabilitas
Vertikal kv (cm/dt)
BS10 81,03 6,65 80,71 70 20 87,00 0,09 BS11 81,03 6,63 80,71 70 20 100,30 0,08 BS12 81,03 6,50 80,71 70 20 101,70 0,08 BS13 81,03 6,63 80,71 70 20 87,60 0,09 BS14 81,03 6,84 80,71 70 20 80,00 0,11
BVR10 81,03 7,09 80,71 70 20 31,60 0,28 BVR11 81,03 6,96 80,71 70 20 32,70 0,27 BVR12 81,03 7,24 80,71 70 20 29,80 0,31 BVR13 81,03 7,09 80,71 70 20 30,20 0,29 BVR14 81,03 7,12 80,71 70 20 27,80 0,32
Sumber : Astuti, 2005
4.10. Pembahasan
4.10.1. Perbandingan Hasil Pemeriksaan Gradasi
Gradasi hasil penelitian jika dibandingkan dengan gradasi BS dan BVR terlihat
pada grafik 4. 10.
0.0010.0020.0030.0040.0050.0060.0070.0080.0090.00
100.00
0.01 0.1 1 10 100
% L
olos SM
BS
BVR
Grafik 4.10 Perbandingan hasil pemeriksaan Gradasi
Dari grafik 4.10 dapat terlihat, Gradasi BVR mempunyai susunan agregat paling
kasar. Gradasi BS lebih halus jika dibandingkan dengan BVR. Gradasi SM untuk
fine aggregatnya lebih halus dibandingkan dengan BVR namun lebih kasar jika
dibandingkan dengan BS, untuk course aggregatnya paling halus jika
dibandingkan dengan BVR dan BS.
Jika dilihat secara keseluruhan, kandungan material pada gradasi SM lebih kasar
jika dibandingkan dengan gradasi BS dan BVR, sehingga kadar aspal optimum
pada gradasi SM lebih kecil daripada kadar aspal optimum gradasi BS dan BVR.
Kadar aspal gradasi SM lebih kecil karena luas permukaan yang harus diselimuti
oleh aspal lebih kecil jika dibandingkan dengan gradasi BS dan BVR.
4.10.2. Perbandingan Hasil Pemeriksaan Volumetrik
Porositas adalah faktor yang paling penting yang harus diperhatikan dalam
pembuatan porus aspal.
30.30
27.40
32.15
25.00
26.00
27.00
28.00
29.00
30.00
31.00
32.00
33.00
Jenis G radas i
VIM
(%
) S M
B S
B V R
Grafik 4.11 Perbandingan hasil pemeriksaan Volumetrik
Pada grafik 4.11 terlihat bahwa gradasi BVR mempunyai nilai porositas yang
paling tinggi. Angka porositas menunjukkan rapat tidaknya suatu gradasi
campuran, makin kecil angka porositas maka gradasi campuran yang dipakai
makin rapat. Hasil pemeriksaan volumetrik tersebut sesuai dengan gradasi yang
terlihat pada grafik 4.10. Dimana gradasi BVR merupakan mempunyai susunan
gradasi yang paling kasar sehingga rongga yang ada pada gradasi BVR lebih
banyak/besar jika dibandingkan dengan susunan gradai SM dan BS. Angka
Porositas SM lebih tinggi jika dibandingkan dengan BS karena agregat halus pada
gradasi SM lebih kasar jika dibandingkan dengan agregat halus pada gradasi BS.
Selain agregat halusnya lebih kasar, agregat kasar pada gradasi SM lebih halus
jika dibandingkan dengan agregat kasar pada gradasi BS, sehingga ukuran butir
agregat kasar dan agregat halus pada gradasi SM hampir seragam.
4.10.3. Perbandingan Hasil Pengujian Marshall
4.10.3.1. Stabilitas
Perbandingan nilai stabilitas ditunjukkan dalam grafik 4.10 sebagai berikut:
453.82
286.26 267.87
50.00100.00150.00200.00250.00300.00350.00400.00450.00500.00
Sta
bilit
as SM
BS
BVR
Grafik 4.10 Perbandingan hasil pemeriksaan Stabilitas
Nilai stabilitas menunjukkan kemampuan campuran aspal saat menerima beban
horisontal. Saat menerima beban partikel-partikel dalam campuran akan semakin
rapat, jika di dalam campuran terdapat rongga maka rongga-rongga yang ada akan
terisi oleh partikel. Jadi semakin banyak rongga dalam campuran akan semakin
kecil nilai stabilitasnya. Pada gradasi SM nilai porositasnya lebih tinggi dari
gradasi BS, namun demikian nilai stabilitasnya lebih tinggi. Hal ini terjadi karena
ukuran agregat yang menyusun gradasi SM hampir seragam, sehingga saat
dilakukan uji marshall masing-masing butiran sudah saling bersinggungaan,
namun rongga masih tetap ada karena tidak ada butiran agregat yang dapat
mengisi rongga tersebut karena ukuran rongga lebih kecil dari ukuran butiran.
4.10.3.2. Flow
Perbandingan nilai stabilitas ditunjukkan dalam grafik 4.11 sebagai berikut:
2.672.40
2.17
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
Jenis Gradasi
Flo
w (
mm
)
SM
BS
BVR
Grafik 4.11 Perbandingan hasil pemeriksaan Flow
Nilai flow/kelelahan menunjukkan tingkat kelenturan atau
kekakuan campuran. Flow yang tinggi menunjukkan tingkat
kelenturan yang tinggi, sehingga retakan yang timbul karena
pembebanan dapat terhindari. Sebaliknya flow yang rendah
menunjukkan tingkat kelenturan lapisan rendah dan bersifat
getas, sehingga mudah mengalami pecah akibat terjadinya
pemisahan antar partikel butiran.
Keplastisan aspal juga mempengaruhi nilai flow. Sifat keliatan aspal yang tinggi
akan menghasilkan campuran yang semakin fleksibel.
4.10.4. Perbandingan Hasil Pengujian Unconfined Compessive Stength
Kuat tekan merupakan kemampuan lapisan perkerasan untuk
menahan pembebanan secara vertikal. Kuat tekan menunjukkan
langsung berapa beban yang mampu ditumpu perkerasan di
lapangan.
Pada gambar 4.12 menunjukkan bahwa SM mampu menahan
beban sebesar 2007,50 kPa atau 2007,50 kN tiap 1 m2, BS mampu
menahan beban sebesar 2970,78 kPa atau 2970,78 kN tiap 1 m2,
dan BVR mampu menahan beban sebesar 1617,57 kPa atau
1617,57 kN tiap 1 m2.
Perbandingan nilai stabilitas ditunjukkan dalam grafik 4.12 sebagai berikut:
Grafik 4.12 Perbandingan hasil pemeriksaan Unconfined Compressive Strength
Nilai kuat desak BS lebih besar dari nilai kuat desak SM. Tetapi nilai stabilitas
SM lebih besar dari nilai stabilitas BS. Kondisi tersebut terjadi karena gradasi SM
materialnya hampir seragam (ditujukkan pada grafik 4.9). Sehingga saat didesak
rongga yang ada tidak dapat terisi dengan material halus. Berbeda dengan gardasi
BS, komposisi materialnya lebih menerus sehingga saat didesak rongga yang ada
dapat terisi oleh material halus. Pada gradasi BVR nilai kuat desaknya paling
kecil walaupun gradasi BVR mempunyai komposisi material yang menerus,
karena jumlah agregat halus yang dikandung gradasi BVR jauh lebih sedikit dari
agregat kasarnya sehingga saat didesak tidak semua rongga terisi oleh agregat
halus.
4.10.5. Perbandingan Hasil Pengujian Cantabrian Test
2007.50
2970.78
1671.57
0.00
500.00
1000.00
1500.00
2000.00
2500.00
3000.00
3500.00
Jenis Gradasi
Unc
onfin
ed C
ompr
essi
ve S
teng
th
(kpa
) SM
BS
BVR
Perbandingan nilai stabilitas ditunjukkan dalam grafik 4.13 sebagai berikut:
Grafik 4.13 Perbandingan hasil pemeriksaan Cantabrian Test
Kekuatan adesi dan kohesi sangat berpengaruh pada kekuatan
total dari campuran untuk terhindar dari pelepasan partikel
akibat dari gesekan roda. Kekuatan ini juga dipengaruhi oleh
kerapatan dari lapisan perkerasan.
58.71
56.22
64.44
52.00
54.00
56.00
58.00
60.00
62.00
64.00
66.00
Jenis Gradasi
Abr
asi (
%)
SM
BS
BVR
4.10.6. Perbandingan Hasil Pengujian Permeabilitas
Perbandingan nilai stabilitas ditunjukkan dalam grafik 4.14 sebagai berikut:
Grafik 4.14 Perbandingan hasil pemeriksaan Permeabilitas
Dari grafik 4.14 terlihat bahwa gradasi BVR mempunyai nilai koefisien
permeabilitas yang paling tinggi. Dari uji volumetric didapat nilai porositas yang
paling tinggi adalah gradasi BVR. Sehingga bisa disimpulkan bahwa nilai
porositas dapat menunjukkan nilai koefisien permeabilitas jika rongga yang ada
dalam campuran tersebut saling berhubungan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
0.27
0.09
0.29
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
Jenis Gradasi
Koe
f. P
erm
eabi
litas
Ver
tikal
SM
BS
BVR
5.1 KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dan analisa data yang telah diperoleh kesimpulan sebagai
berikut :
1. Telah dihasilkan gradasi Sebelas Maret (SM) dengan komposisi agregat
sebagai berikut :
• Agregat A (12,7 s/d 9,5 mm) = 16,32 %
• Agregat B (9,5 s/d 4,75 mm) = 16,32 %
• Agregat C (4,75 s/d 2,8 mm) = 48,96 %
• Agregat D (2,8 s/d 0,5 mm) = 14,4 %
• Filler = 4 %
2. Dari persen tertahan di atas dapat digambar grafik gradasi SM sebagai
berikut :
Grafik 5.1 Gradasi Sebelas Maret
3. Sifat-sifat dari gradasi SM dilihat dari beberapa pengujian adalah sebagai
berikut :
• Hasil uji volumetrik, nilai porositas gradasi SM sebesar 30,30 %.
• Hasil Unconfined Compressive Strength gradasi SM sebesar 2007,50
kpa.
• Nilai abrasi gradasi SM sebesar 58,71 %.
• Nilai koefisien permeabilitas vertikal gradasi SM sebesar 0,27.
0.0010.0020.0030.0040.0050.00
60.0070.0080.0090.00
100.00
0.01 0.1 1 10 100
Diameter Saringan (mm)
% L
olos
SM
4. Perbandingan antara porus aspal yang menggunakan gradasi SM dengan
gradasi BS dan BVR adalah sebagai berikut :
• Hasil uji volumetrik, nilai porositas gradasi SM sebesar 30,30 %,
gradasi BS sebesar 27,40 % dan gradasi BVR sebesar 32,15 %.
• Hasil Marshall Test :
a Stabilitas gradasi SM sebesar 453,82 kg, gradasi BS sebesar
286,26 kg dan gradasi BVR sebesar 267,87 kg.
b Flow gradasi SM sebesar 2,67 mm, gradasi BS sebesar 2,40 dan
gradasi BVR sebesar 2,17 mm.
• Hasil Unconfined Compressive Strength gradasi SM sebesar 2007,50
kpa, gradasi BS sebesar 2970,78 kpa dan gradasi BVR sebesar 1671,57
kpa.
• Nilai abrasi gardasi SM sebesar 58,71 %, gradasi BS sebesar 56,22 %
dan gradasi BVR sebesar 64,44 %.
• Nilai koefisien permeabilitas vertikal gradasi SM sebesar 0,27, gradasi
BS sebesar 0,09 dan gradasi BVR sebesar 0,29.
5.2 SARAN
Beberapa saran yang dapat dikemukakan sehubungan dengan penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Pelaksanaan Metoda Pemadatan Kering (MPK), mould yang digunakan
harus benar-benar rapat sehingga agregat tidak hilang saat mould
digetarkan.
2. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan variasi trial persen agregat yang
lebih banyak guna mendapatkan batas atas dan batas bawah gradasi SM.
3. Penelitian lebih lanjut diperlukan analisis saringan untuk menentukan
komposisi agregat pada penerapan di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Bendtsen, H., Nielsen, C.B., Raaberg & Macdonald, R.A. 2002. Clogging
of Porous Bituminous Surfacing : an Investigation in Copenhagen, In Zoorob,
S.E. , Collop, A.C. & Brown, S.E. (eds), Performance of Bituminous and
Hydroulic Materials in Pavement, Nottingham.
Cabrera, J.G. & Hamzah, M.O., 1994, Aggregate Grading Design for
Porous Asphalt. In Cabrera, J.G. & Dixon, J.R. (eds), Performance and Durability
of Bituminous Materials, Proceding of Symposium, University of Leeds, March
1994, London.
Daines, M.E., 1992, Trials of Porous Asphalt and Rolled Asphalt on the
A38 at Burton. Materials and Construction Division Highways Group Transport
and Road Research Laboratory Crowthorne, Berkshire, RG11 6AU, ISSN 0266-
5247.
European Standard – Working Draft Testing Bituminous Materials, 1998
Hassan, H.F. Hassan & Taha, R. 2002. Use of Open Graded Friction
Course (OGFC) Mixtures in Oman. In Zoorob, S.E. , Collop, A.C. & Brown, S.E.
(eds), Performance of Bituminous and Hydroulic Materials in Pavement,
Nottingham.
Hardiman, 2004, Peran Gradasi dan Bahan Pengikat dalam Perbaikan
Sifat-Sifat Campuran Porus Aspal, Simposium VII, Universitas Katolik
Parahyangan, September 2004, Bandung
top related