BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76987/potongan/S2-2014... · Menghadapi perekonomian di masa depan, ... nilai pengetahuan yang tinggi baik
Post on 10-Mar-2019
220 Views
Preview:
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menghadapi perekonomian di masa depan, Indonesia diyakini akan
menghadapi tantangan berupa era globalisasi ekonomi yang tidak lagi bisa
dihindari, terdekat adalah integrasi ekonomi ASEAN dalam bentuk Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan berlangsung tahun 2015. Negara, wilayah
hingga kota yang tidak memiliki inovasi dalam pembangunan ekonomi tidak akan
mampu bersaing. Tren yang ada saat ini adalah setiap daerah bersaing
menonjolkan identitasnya, mengemas potensi daerah yang dimiliki sedemikian
rupa sehingga berbeda dari kompetitornya. Hal ini sejalan dengan amanat
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yaitu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan
potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Amanat dari peraturan tersebut erat
kaitannya dengan marketing atau pemasaran dan semakin didukung dengan
perkembangan entrepreneurial city.
Pemasaran daerah atau marketing places menjadi salah satu model
entrepreneurial yang cukup terkenal bagi pemerintah sejak tahun 1970 (Griffiths,
1998). Kartajaya et al. (2002: 78) berpendapat bahwa entrepreneurial adalah
pemerintah yang jeli dan selalu berpikir keras untuk melihat dan memanfaatkan
peluang yang muncul dalam upaya memakmurkan dan meningkatkan kualitas
hidup masyarakatnya. Ashworth dan Voogd (1994) menambahkan 3 atribut pada
teori pemasaran daerah sebagai pengembangan dalam disiplin ilmu marketing
2
yaitu pemasaran pada organisasi non-profit, social marketing dan marketing
image yang berkontribusi pada kebebasan aliran pemasaran konvensional yang
harus diterapkan sesuai dengan tujuan awalnya. Pemasaran yang diterapkan pada
sebuah kota dapat menjadi proses untuk mengemas image sebuah kota menjadi
positif untuk menarik perhatian dari potensi wisatawan, investor dan penduduk.
Kota Medan merupakan salah satu dari kota-kota yang memiliki banyak
peninggalan masa lalu yang kental dengan kekayaan budaya dan arsitektur
bangunan bersejarah. Kota Medan, kota multietnis, ibukota Provinsi Sumatera
Utara memiliki peran penting dalam konstelasi ekonomi Pulau Sumatera. Kota ini
merupakan kota perdagangan dan hubungan penerbangan internasional terpenting
yang menghubungkan kota-kota di Pulau Sumatera ke negara-negara tetangga
seperti Singapura, Malaysia dan Thailand, sehingga bukan sesuatu yang
berlebihan jika menyebutkan kota ini sebagai pintu gerbang Indonesia di bagian
barat yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian utara.
Perjalanan terbentuknya Kota Medan memiliki nilai perjuangan dan
perkembangan sosial budaya masyarakat dengan berbagai peninggalan berupa
artefak, bangunan yang mengandung karakter khas lokal bernilai sejarah serta
nilai pengetahuan yang tinggi baik dari ciri khas arsitektural yang sangat berguna
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kajian sejarah maupun pertumbuhan
perekonomian Kota Medan. Permasalahan yang kemudian muncul adalah kondisi
bangunan dan kawasan bersejarah baik secara kuantitas maupun kualitas semakin
menurun ditinjau dari segi arsitektur, segi konstruksi serta segi fungsi bangunan
karena adanya tekanan nilai ekonomis yang mendorong terjadinya alih fungsi
3
bangunan dan kawasan bersejarah menjadi bangunan/kawasan yang lebih bernilai
ekonomis jangka pendek. Nilai lahan yang semakin tinggi sementara nilai
bangunan/kawasan bersejarah yang semakin turun akibat penyusutan nilai
ekonomis menyebabkan desakan tersebut semakin besar.
Sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia, Kota Medan mengalami
dinamika pesat yang ditandai dengan pertambahan penduduk yang tinggi serta
laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik. Menurut data BPS, Kota Medan
memiliki laju pertumbuhan ekonomi dengan tren positif dalam kurun waktu 5
tahun terakhir (2007 – 2011), berdasar harga konstan tahun 2000 rata-rata
pertumbuhan ekonomi Kota Medan sebesar 6.865 persen, di atas rata-rata
pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun yang sama yaitu sebesar 6.29 persen.
Sebuah prestasi pada sektor ekonomi yang cukup membanggakan. Dalam hal
peran suatu sektor dalam menunjang perekonomian daerah di Kota Medan dapat
dilihat dari data PDRB menurut lapangan usaha, sebagaimana diuraikan dalam
Tabel 1.1 berikut.
Tabel 1.1 Struktur PDRB Kota Medan Atas Dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Usaha Tahun 2007 – 2011 (Persen)
No Sektor/Lapangan Usaha Tahun
2007 2008 2009 2010 2011 1. Primer. 2,85 2,82 2,79 2,67 2,5 a. Pertanian 2,84 2,81 2,79 2,67 2,5 b. Pertambangan dan Penggalian 0,01 0 0 0 0 2. Sekunder. 27,93 27,26 26,2 26,45 26,57 a. Industri Pengolahan 16,28 15,96 14,95 14,97 14,38 b. Listrik, Gas dan Air Bersih 1,88 1,75 1,71 1,7 1,69 c. Konstruksi 9,77 9,55 9,54 9,78 10,5
3. Tersier. 69,21 69,92 71,01 70,87 70,92 a. Perdagangan, Hotel dan Restoran 25,44 25,92 26,85 26,92 25,92 b. Transportasi dan Telekomunikasi 19,02 19,08 19,63 18,95 19,02 c. Keuangan dan Jasa Perusahaan 14,13 14,63 13,85 14,27 15,11 d. Jasa-jasa lainnya 10,63 10,29 10,67 10,72 10,88
T o t a l 100 100 100 100 100 Sumber: BPS Kota Medan, 2012
4
Berdasarkan Tabel 1.1 dapat diketahui bahwa sektor tersier selama kurun
waktu tahun 2007 – 2011 mendominasi perekonomian di Kota Medan dengan
rata-rata kontribusi 70.386 persen (terbesar berasal dari sektor perdagangan, hotel
dan restoran). Tentunya bagi kalangan pelaku bisnis di sektor ini,
mempertahankan nilai-nilai budaya relatif dianggap tidak lagi relevan dengan
perkembangan zaman. Sebagai tambahan, kontradiksi dengan tren pertumbuhan
ekonomi yang semakin membaik ini, Ikatan Ahli Perencana (IAP) Indonesia
melakukan survei livable city terhadap kota-kota besar di Indonesia pada Tahun
2009 dan 2011. Livable city adalah sebuah lingkungan dan suasana kota yang
nyaman sebagai tempat tinggal dan sebagai tempat untuk beraktivitas yang dilihat
dari berbagai aspek baik aspek fisik (tata ruang, lingkungan, transportasi, fasilitas
kesehatan, fasilitas pendidikan dan infrastruktur) serta aspek non-fisik (ekonomi,
kemanan dan sosial-budaya). Kota Medan bertahan pada peringkat terbawah
selama kurun waktu tahun 2009 – 2011 dengan capaian hanya sebesar 52,28
persen dan 46,67 persen. Kondisi tersebut bahkan lebih buruk dari capaian Kota
Jakarta yaitu sebesar 50,71 persen. Hasil survei secara lengkap ditampilkan pada
Tabel 1.2 berikut.
Tabel 1.2 Most Livable City Index Kota-Kota di Indonesia Tahun 2009 dan 2011 (Persen)
No Kota Index Tahun
2009Index Tahun
20111 Yogyakarta 65,34 66,52 2 Denpasar NA 63,63
3 Makassar 56,52 58,46 4 Manado 59,9 56,39 5 Surabaya 53,13 56,38
6 Semarang 52,52 54,63 7 Banjarmasin 52,61 53,16
5
No Kota Index Tahun
2009 Index Tahun
2011 8 Batam NA 52,69 Jayapura 53,86 52,56 10 Bandung 56,37 52,32
11 Palembang NA 52,15 12 Palangkaraya 52,04 50,86 13 Jakarta 51,9 50,71
14 Pontianak 43,65 46,93
15 Medan 52,28 46,67 Sumber: Ikatan Ahli Perencana, 2013
Snapshot sederhana dan aktual mengenai persepsi warga kota yang
tergambarkan dalam index livable city tersebut menunjukkan bahwa Kota Medan
khususnya masih jauh dari kondisi ideal sebagai kota nyaman dan di masa depan
akan semakin tidak nyaman apabila tidak ada tindakan berani, kreatif dan
progresif dari para pemimpin kota. Padahal antara tahun 1920 – 1930-an, Kota
Medan telah menjadi kota perdagangan yang indah dan jaya dengan sebutan
“Parijs van Sumatera”. Sisa-sisa dari wujud nyata julukan tersebut masih
terekam dalam wujud fisik bangunan-bangunan yang berdiri kokoh hingga kini
dan telah berumur lebih dari setengah abad bahkan beberapa bangunan telah
berumur lebih dari seratus tahun. Bersama bangunan-bangunan tersebut terekam
sejarah perkembangan Kota Medan, meskipun sebagian dari bangunan-bangunan
tersebut telah dirobohkan.
Pada Tahun 2013 terdapat sebanyak 175 hotel di Kota Medan dengan rata-
rata tingkat pertumbuhan sebesar 4,2 persen/tahun (BPS Kota Medan, 2013),
seharusnya Kota Medan mampu menarik orang untuk stay di Kota Medan.
Berdasarkan data yang diperoleh, rata-rata tingkat okupansi hotel tidak lebih dari
50 persen dengan rata-rata lama kunjungan wisatawan hanya 1,67 hari
(bandingkan dengan rata-rata lama menginap wisatawan di Indonesia menurut
6
BPS Nasional yaitu 7.84 hari pada Tahun 2011 dan 7.70 hari pada Tahun 2012).
Angka yang relatif kecil bagi sebuah kota yang bertumpu pada perkembangan
sektor tersier.
Tabel 1.3 Tingkat Okupansi dan Lama Tamu Menginap (Stay Overnight) Hotel di Kota Medan
Tahun Tingkat Okupansi
(persen) Lama menginap
Tamu Medan (hari)
2008 51,26 NA
2009 47,76 1,61
2020 51,19 1,51
2011 53,81 1,85 2012 52,34 1,71
Rata-rata 51,272 1,67 Sumber: BPS Kota Medan, 2013
Kondisi tersebut diatas pada akhirnya mengakibatkan Kota Medan hanya
dijadikan sebagai “kota transit” bagi kalangan wisatawan karena belum
menemukan objek dan daya tarik wisata yang menarik di Kota Medan. Wisatawan
dalam hal ini menggunakan definisi dari International Union of Office Travel
Organization (IUOTO) dan World Tourism Organization (WTO) yang juga
digunakan oleh BPS, di mana wisatawan adalah seseorang atau sekelompok orang
yang melakukan perjalanan ke sebuah atau beberapa negara di luar tempat tinggal
biasanya atau keluar dari lingkungan tempat tinggalnya untuk periode kurang dari
12 bulan dan memiliki tujuan untuk melakukan berbagai aktivitas wisata (leisure
dan pleasure) atau tanpa bermaksud memperoleh penghasilan di tempat yang
dikunjungi. Beberapa objek wisata Kota Medan yang tercatat oleh BPS adalah
Museum Perjuangan, Museum Rahmad, Taman Margasatwa, Taman Budaya,
Istana Maimun dan Mesjid Raya Kota Medan. Padahal dengan seringnya Kota
Medan menjadi tujuan MICE seharusnya Kota Medan memiliki potensi pasar
7
pariwisata yang cukup baik. Namun hal ini tidak termanfaatkan dengan baik
karena potensi wisatawan tersebut lebih memilih untuk melakukan wisata pada
objek dan daya tarik wisatawan yang terletak di kota dan kabupaten berdekatan
dengan Kota Medan antara lain Kabupaten Tapanuli Utara (Danau Toba dan
Pulau Samosir), Kabupaten Langkat (Bukit Lawang dan Tangkahan), Kabupaten
Karo (Berastagi, Air Terjun Sipiso-piso dan Bukit Gundaling) serta beberapa
objek wisata menarik lainnya.
Kekayaan heritage berupa bangunan bernilai sejarah yang berpotensi
menarik wisatawan justru tidak terkelola dengan baik. Dalam kurun waktu 10
tahun terakhir, 10 dari 42 bangunan bernilai sejarah telah beralih fungsi atau
bahkan dihancurkan. Padahal menurut Kearns dan Philo (1993), kemungkinan
promosi sebagai bagian dari pemasaran daerah juga bisa dilakukan melalui seni,
festival dan daya tarik kebudayaan. Hal ini juga sudah dibuktikan melalui
penelitian yang dilakukan oleh Trueman et al. (2004) bahwa city of Bradford
di Inggris berhasil melakukan rebranding yaitu mengubah image dari sebuah kota
industri yang kotor dan tua melalui kekayaan heritage yang dikombinasikan
dengan ide-ide baru dan kreativitas. Namun jika Kota Medan ingin melakukan
rebranding seperti apa yang dilakukan oleh city of Bradford melalui pemanfaatan
heritage bukanlah perkara mudah. Penyebabnya adalah sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh Hatz dan Schultz (2001), bahwa penciptaan brand sebuah kota
akan sangat sulit karena merujuk pada interaksi tiga variabel yaitu visi, budaya
dan image yang perlu disejajarkan dalam rangka menciptakan brand yang kuat.
Akan tetapi kota dengan sebuah new brand yang terintegrasi dengan framework
8
destinantion branding dan strategi pengembangan pariwisata telah terbukti
memiliki kontribusi besar terhadap aliran kunjungan wisatawan, investasi dan
menarik orang untuk tinggal menjadi penduduk tetap. City branding menurut
pendapat berbagai ahli merupakan tindakan menjual image kota yang telah
terbentuk. Setelah kota memiliki image maka branding selanjutnya berperan
untuk menumbuhkan, mempengaruhi persepsi orang lain mengenai image kota itu
sendiri. Dengan kata lain, upaya menciptakan kota sesuai dengan brand yang
dipilih karena city branding berfokus pada menciptakan persepsi orang mengenai
kota dan membentuk kota seperti image yang ditetapkan dengan upaya-upaya
tertentu.
1.1.1 Studi Kasus Singapura: “Uniquely Singapore”
Singapura adalah salah satu negara dengan pertumbuhan sektor pariwisata
sangat tinggi. Keterbatasan budaya dan sumber daya alam yang dimiliki
menyebabkan pertumbuhan tersebut tidak hanya diperoleh melalui investasi dan
pembangunan mega proyek saja, melainkan peran marketing yang cukup besar
(Henderson, 2007). Dimulai pada tahun 1970-an, Singapura menggunakan brand
“Instan Asia” yang menunjukkan bahwa pengunjung dapat menikmati budaya
utama Asia di multiras Singapura dan kemudian diganti menjadi “Surprising
Singapore” pada 1980-an yang menjanjikan perpaduan eksotis oriental dan gaya
barat modernitas. Karakteristik kemudian terus berganti menjadi “New Asia-
Singapura” yang diperkenalkan pada akhir 1990-an untuk mengungkapkan
bagaimana Singapura menginginkan dunia melihat apa yang terjadi pada
negaranya di akhir abad ke-20.
9
Pentingnya memiliki image tujuan yang kuat telah disorot dalam beberapa
tahun terakhir karena persaingan meningkat dan beberapa krisis ekonomi yang
menunjukkan bahwa sektor pariwisata di Singapura masih belum stabil. Hal ini
kemudian mendorong peninjauan kembali terhadap brand “New Asia Singapura”
pada awal abad ke-21. Titik inilah yang kemudian mendorong terjadinya revolusi
brand di Singapura. Pada pertengahan tahun 2003, Pemerintah Singapura
melakukan upaya penggantian brand tersebut menjadi sebuah brand baru yang
lebih kredibel, menarik, berbeda dan universal. Melakukan dialog bersama 400
stakeholder kunci, terdiri dari perwakilan pemerintah, mitra industri di dalam dan
di luar negeri, wisatawan dan investor serta warga Singapura, hasilnya adalah
“Uniquely Singapura”. Brand baru ini menekankan pada diversity, kosmopolitan,
infrastruktur kelas dunia, delivery (akses, efisien, ramah, aman), experience
(nyaman, bebas stres, welcome) dan benefit (terpenuhi, memuaskan,
menyenangkan, bermanfaat/memperkaya). Point-point tersebut yang kemudian
menentukan atribut brand kosmopolitan, modern, keragaman budaya, kualitas
efisien dan campuran keragaman tersebut pada sebuah lingkungan hidup
berdampingan yang nyaman.
Gambar 1.1 Milestone City Branding Singapura
1970-an “Instant Asia”: Budaya utama
asia pada multiras yang
dimiliki Singapura
1980-an “Surprising Singapore”: Perpaduan
eksotis oriental dan modernitas
1990-an “New Asia
Singapore”: Relaksasi
peraturan demi kenyamanan
2003-an “Uniquely
Singapore”: kosmopolitan,
modern, diversity, efisien dan kenyamanan
10
“Uniquely Singapore” resmi digunakan pada bulan Maret 2004. City
branding tersebut kemudian terintergasi dengan program lainnya dan tertuang
dalam strategi pariwisata yang dikenal dengan Tourism 2015 (T2015). Hal ini
merupakan sinyal kuat bahwa Pemerintah Singapura berniat untuk mengubah
sektor pariwisata menjadi pendorong ekonomi utama bagi Singapura. Target yang
ingin dicapat adalah memperoleh penerimaan 3 kali lebih besar menjadi
S$30.000.000.000, kedatangan pengunjung dua kali lipat menjadi 17 juta orang
dan menciptakan 100.000 lapangan pekerjaan yang berkaitan dengan pariwisata
pada akhir tahun perencanaan yaitu tahun 2015.
Hasilnya adalah pada tahun 2013 jumlah kedatangan wisatawan ke
Singapura mendekati angka target, tepatnya 15.567.923 wisatawan atau
meningkat sebesar 154,10 persen dari awal brand dilaunching yaitu tahun 2003
dengan total penerimaan dari sektor pariwisata sebesar S$23.000.000.000.
Meskipun secara kuantitatif masih diperlukan studi yang memisahkan dampak
spesifik dari marketing akan tetapi setidaknya peningkatan secara signifikan
terjadi setelah adanya launching city brand “Uniquely Singapore”, sebagaimana
dapat dilihat pada Tabel 1.4 dan Gambar 1.2 berikut.
Tabel 1.4 Jumlah Kedatangan Internasional dan Lama Kunjungan Wisatawan di Singapura Tahun 1966 – 2013
Tahun Jumlah (orang)
Lama Kunjungan (hari)
1966 128.670 NA
1970 579.284 NA
1980 2.562.085 NA
1990 5.332.654 NA
2000 7.691.000 3,2
2001 7.522.000 3,2
11
Tahun Jumlah (orang)
Lama Kunjungan (hari)
2002 7.567.112 3,1
2003 6.126.569 3,2
2004 8.328.118 3,2
2005 8.940.000 3,4
2006 9.751.141 3,4
2007 10.284.545 3,6 2008 10.116.054 4 2009 9.682.690 4 2010 11.641.701 4 2011 13.171.303 3,7 2012 14.496.091 3,5 2013 15.567.923 3,7
Sumber: Singapore Tourism Board, 2014
Gambar 1.2 Jumlah Kedatangan Internasional di Singapura Tahun 1966 – 2013 (orang)
Sumber: Singapore Tourism Board, 2014 1.1.2 Studi Kasus George Town, Malaysia: “City of Living Culture”
Kota Sejarah George Town, Penang (Malaysia), dijuluki sebagai “the city
of living culture”, menyusun strategi untuk mewujudkan kotanya sesuai dengan
brandnya. Fokus Pariwisata di Kota bersejarah George Town adalah heritage dan
Jumlahkedatanganinternasional
12
local wisdom, yang merupakan kulminasi dari penjajahan masa lalu dan kekayaan
sejarah. Kota Sejarah George Town memfokuskan upaya konservasi pada
bangunan pra-perang. Upaya pemerintah untuk menempatkan kota tua atau pusat
bersejarah pada world heritage list. Lokasi tersebut meliputi area seluas kurang
lebih 259,38 ha yang terdiri dari peninggalan kota pada abad ke-18 dengan konsep
water front city dan lingkungan multietnis. Menurut UNESCO lokasi tersebut
sebagai sebuah contoh luar biasa dari permukiman multibudaya tradisional yang
paling mewakili budaya toleransi, perdamaian, keragaman, konflik dan
kontinuitas dalam menghadapi modernisasi dan perubahan sosial.
George Town, dengan penduduk yang terdiri dari Cina, India dan Melayu
mengklaim bahwa kotanya telah menciptakan “living culture” dalam
keberagaman tersebut. Budaya lokal, campuran Cina, India, Jawi Pekan dan
Melayu (bahasa Arab setempat, Rawa, Minang, Achinese, dan keturunan Jawa)
adalah potensi yang kemudian dijadikan sebagai selling point. Meskipun
demikian, sumber daya budaya analog dengan "bahan baku" dalam proses
produksi, perlu diolah lebih lanjut untuk kemudian dapat menjadi produk wisata
yang dapat dijual. Jadi image dibangun dari sebuah komunitas dengan kelompok
etnis yang berbeda tetapi mampu hidup dalam keharmonisan. The Harmony Trail
dengan koleksi bangunan bersejarah dari Cina, India dan Melayu adalah contoh
dari keharmonisan tersebut. Pemerintah dalam upaya menempatkan George Town
pada daftar warisan dunia UNESCO juga mengintegrasikan nilai-nilai
kemanusiaan tersebut dengan arsitektur dan perencanaan kota.
13
Proses penciptaan image adalah proses selektif. George Town memilih
sejarah kolonial sebagai image dan kemudian diwakilkan melalui brand “City of
living culture”. Heritage dipilih sebagai produk pariwisata yang inherent bersama
etnis dan budaya (bahasa/dialek, sistem kepercayaan, ritual dan gaya hidup).
George Town telah berhasil menciptakan image yang kuat, meskipun tetap
menjual produk melalui promosi dan partisipasi dari sektor publik dan swasta.
Kota Bersejarah George Town telah berhasil memanfaatkan keanekaragaman
budaya dan heritage. Sebagai modal pembangunan masa depan, image kota terus
dipertahankan melalui konservasi dan pelestarian. Upaya bersama antara
pemerintah, sektor swasta dan masyarakat setempat sangat penting untuk
menjamin keberlanjutan Kota Bersejarah George Town yang bertumpu pada
industri pariwisata heritage.
Gambar 1.3 Jumlah Wistawan Lokal dan Mancanegara di Penang, Malaysia Tahun 2005 – 2012 (orang)
Sumber: Kementerian Pariwisata Malaysia dan Penang Institute, 2014
Berdasarkan Gambar 1.3, dapat dilihat tren meningkat untuk jumlah
kedatangan wisatawan internasional dan lokal selama bertahun-tahun. Pada tahun
2008, jumlah kunjungan ke George Town mencapai 6.310.000 wisatawan setelah
Jumlahwisatawanlokaldanmancanegara
Tahun
14
George Town secara resmi diakui sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO
di tahun tersebut. Ledakan kunjungan wisatawan dengan jumlah lebih dari 3 kali
lipat (320 persen) ini kemudian melambat tetapi tetap stabil di antara 5.96 dan
6.09 juta wisatawan hingga tahun 2012. Terdapat titik balik pada tahun 2009,
ketika jumlah wisatawan internasional mulai melebihi pengunjung lokal. Sejak
itu, persentase tetap konstan, mencapai proporsi yang hampir sama antara
wisatawan lokal dan internasional.
Helbrecht (1994: 528), membahas relevansi filosofi pemasaran kota dan
metoda bagi pemerintah daerah bahwa pemasaran kota memungkinkan
peningkatan level kualitas kebijakan pembangunan daerah dalam hal
komprehensif, kreativitas dan fleksibilitas. Sumber daya baru dalam bentuk ide,
modal dan pengetahuan lokal yang dimobilisasi untuk kebijakan lokal.
Berdasarkan cara tersebut, pemasaran kota memungkinkan pendekatan strategis
untuk menciptakan kerjasama publik dan sektor swasta. City branding
menyiratkan perubahan yang signifikan dari perspektif pemasaran yang
menyeluruh. Pemasaran adalah sebuah proses yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan berbagai tujuan yang ditetapkan oleh kota, karena untuk
membahas pemasaran kota hanya dalam hal ekonomi adalah untuk
menyederhanakan maknanya (Paddison, 1993). City branding dipahami sebagai
sarana baik untuk mencapai keunggulan kompetitif dalam rangka meningkatkan
investasi masuk dan pariwisata, dan juga untuk mencapai pembangunan
masyarakat, memperkuat identitas lokal dan identifikasi warga dengan kota serta
15
mengaktifkan semua kekuatan sosial untuk menghindari pengucilan sosial dan
kerusuhan.
Saat ini, aktivitas pemasaran dianggap sebagai hal yang cukup penting oleh
banyak kalangan pemerintahan, tidak terkecuali Pemerintah Kota Medan.
Pada bulan Januari 2012, bersamaan dengan penetapan Kota Medan sebagai
Tahun Kunjungan Wisata (Visit Medan Year 2012) oleh Kementerian Budaya dan
Pariwisata Republik Indonesia, Kota Medan secara resmi menggunakan brand
logo beserta tag line “This is Medan”, sebagai city branding yang bertujuan
menarik minat wisatawan dan investasi di Kota Medan. Meskipun belum ada
peraturan formal yang dijadikan sebagai dasar hukum dalam menetapkan logo dan
tag line tersebut sebagai city branding Kota Medan, namun aktivitas promosi
pariwisata di Kota Medan menggunakan logo dan tag line tersebut sebagai salah
satu perangkatnya.
Gambar 1.4 City Branding Kota Medan
Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan, 2014
16
Arti dan makna brand logo tersebut adalah sebagai berikut.
This is Medan
This is Medan merupakan penterjemahan kedalam versi Bahasa Inggris dari kalimat; Ini Medan, Bung!!. Kalimat tersebut merupakan image yang sudah melekat bagi Kota Medan sejak era tahun 1970-an, akan tetapi berasosiasi negatif karena berdekatan dengan makna arogansi/superior/premanisme yang terjadi di Kota Medan. Maksud This is Medan tanpa kata “bung” bertujuan untuk menghilangkan image negatif tersebut. Jadi ingin menunjukkan kepada dunia luar bahwa telah terjadi relaksasi dalam aspek kemanan dan kenyamanan pada dunia luar (softening).
Emoticon smile berwarna merah
Seluruh penduduk Kota Medan siap mendukung perubahan yang dimaksudkan oleh tag line: This is Medan yang diwakilkan dengan tanda senyum. Masyarakat Kota Medan akan menyambut baik semua orang yang akan berkunjung ke Kota Medan.
Payung Agung
Payung agung dalam Kebudayaan Melayu adalah sebagai tanda kebesaran dan keagungan seorang raja sebagai pengayom masyarakat yang dipimpinnya. Dalam brand logo tersebut payung agung adalah sebagai lambang sapta pesona yang memayungi industri pariwisata di Kota Medan. Sapta Pesona sendiri merupakan merupakan sebutan bagi 7 unsur pengembangan dan pengelolaan daya tarik wisata di Indonesia, yang terdiri dari: 1. aman; 2. tertib; 3. bersih; 4. sejuk; 5. indah; 6. ramah; 7. kenangan.
Tujuan Pemerintah Kota Medan menciptakan city branding tersebut secara
teori mengadopsi makna dan filosofis pemasaran daerah (marketing places)
sebagai instrumen penting untuk memperkuat perekonomian daerah dan daya
saing global. Kartajaya et al. (2002: 177) mendefinisikan pemasaran daerah/kota
sebagai perencanaan dan perancangan suatu daerah/kota agar mampu memenuhi
dan memuaskan keinginan dan harapan “pasar targetnya” yang meliputi tiga
pihak, yaitu:
17
1. penduduk dan masyarakat daerah tersebut;
2. pengunjung, pengusaha, investor dari dalam dan luar daerah; dan
3. pengembang dan event organizers serta pihak-pihak lainnya yang membantu
meningkatkan daya saing daerah tersebut.
Dalam tiga dekade terakhir, jumlah kota yang menggunakan metoda
pemasaran terus meningkat disebabkan oleh persaingan intensif untuk
memperoleh lebih banyak investasi, penerimaan dari sektor pariwisata dan
penduduk (Kotler et al., 1999: 21). Kavaratzis (2004) berpendapat bahwa dalam
konsep pemasaran kota (city marketing) akan sangat tergantung dari bagaimana
membangun, mengkomunikasikan dan mengatur image kota tersebut. Objek dari
pemasaran kota adalah image kota yang pada akhirnya akan menjadi starting
point dalam mengembangkan city branding. Beberapa contoh kota beserta brand
yang dimiliki antara lain Paris dengan keromatisannya, Milan sebagai Kota
Fashion, Washington dikenal dengan Kota Power, Tokyo dengan
kemodernannya, Lagos sebagai Kota Korupsi, Barcelona dengan kebudayaannya,
Rio sebagai kota fun (Anholt, 2006).
Apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Medan pada dasarnya adalah
mengikuti tren yang saat ini berkembang pada kota-kota besar lainnya seperti
“Malaysia the Truly Asia” sebagai brand nasional dan “City of the Future” pada
konteks Kota Kuala Lumpur. Sementara untuk konteks Indonesia sendiri seperti
Bali dengan “Bali: Shanti, Shanti, Shanti”, Yogyakarta dengan “Jogja Never
Ending Asia”, Solo dengan “Solo the Spirit of Java”, Semarang dengan
“Semarang the Beauty of Asia” dan Jawa Tengah dengan “Passion Strength
18
Herritage”. Penggunaan brand logo yang disertai dengan tag line pun memiliki
kemiripan yaitu menggunakan Bahasa Inggris dengan harapan brand logo dan tag
line yang diciptakan memiliki cakupan internasional. Intinya adalah satu, bahwa
ide di balik branding sebuah kota adalah untuk melakukan persuasi kepada
customer atau target pasar bahwa sebuah kota mampu memenuhi kebutuhan lebih
baik dari kompetitornya. Brand yang simple dan naratif memiliki pengaruh besar
terhadap keputusan seseorang untuk mengunjungi kota, membeli barang dan jasa,
melakukan kegiatan bisnis atau bahkan berpindah tempat tinggal (Anholt, 2006).
Berdasarkan hal tersebut, menjadi penting bagi Kota Medan untuk
membedakan dirinya dari kota-kota lain, sehingga generasi apapun akan
mempromosikan kekuatan dan karakteristik unik yang dimiliki Kota Medan dan
pada gilirannya dapat diakui dan diadopsi oleh masyarakat untuk menciptakan
keberlanjutan Kota Medan sebagai kota yang bertumpu pada sektor tersier.
Sebagai tambahan bahwa city branding tidak hanya bermanfaat dalam aspek
ekonomi, akan tetapi juga berdampak pada budaya dan konservasi, sehingga city
brand yang kuat diharapkan akan memperbaiki tatanan dan lingkungan kehidupan
Kota Medan. Perbaikan pada persepsi orang tentang brand sebuah kota membantu
dalam peremajaan kota (Trueman et al., 2004). Namun apakah This is Medan
sebagai city branding telah berjalan dan dilaksanakan sesuai dengan tujuannya
sebagaimana kisah sukses city branding Singapura dan George Town akan
menjadi sebuah pertanyaan yang menarik untuk dijawab, karena apapun yang
dijadikan sebagai sebuah brand harus mampu dilaksanakan secara fokus,
sistematik dan menarik agar komunitas bisnis, wisatawan, pengunjung dan
19
penduduk lokal tetap setia kepada Kota Medan. Sebuah city branding yang
seharusnya tidak memiliki disonansi antarstakeholder.
1.2 Keaslian Penelitian
Literatur dan penelitian empiris terhadap city branding bisa dikatakan masih
sedikit jumlahnya, saat ini fokus literatur hanya pada tataran perbaikan secara
konseptual. Fatimah (2010) melakukan penelitian tentang potensi kuliner (tahu
bakso) sebagai city branding Kabupaten Semarang. Penelitian tersebut
memperkirakan dampak potensi city branding terhadap peningkatan
perekonomian Kabupaten Semarang bila dilihat dari pengaruh sektor industri
kecil dan rumah tangga dalam meningkatkan tenaga kerja. Studi ini
menyimpulkan bahwa tahu bakso dinilai potensial sebagai city branding
Kabupaten Semarang berdasarkan analisis brand association dan perceived
quality. Selain itu, potensi city branding tersebut dinilai dapat memberikan
pengaruh terhadap peningkatan tenaga kerja di sektor industri kecil dan rumah
tangga.
Raubo (2010) melakukan penelitian tentang city branding dan dampaknya
pada daya tarik kota bagi external audiens. Untuk mengetahui dampaknya, Raubo
(2010) menggunakan multiple regresi untuk mengetahui apakah terdapat
hubungan antara kekuatan city branding terhadap 2 indikator yaitu pariwisata
dengan jumlah kunjungan wisatawan yang menginap dan estimasi penanaman
modal asing dalam rentang waktu 1 tahun. Penelitian dilakukan terhadap 29
negara di Eropa di mana kekuatan branding masing-masing kota menggunakan
hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Saffron European City Brand
20
Barometer. Penelitian dilakukan untuk menguji hipotesis apakah kekuatan city
branding mempengaruhi daya tarik sebuah kota menurut external audiens, dengan
kata lain semakin tinggi nilai kekuatan city brand indexnya maka akan semakin
besar pula jumlah kunjungan wisatawan bermalam dan penanaman modal asing
di kota tersebut. Hasilnya adalah tidak satu pun hipotesis yang ditolak, artinya
hubungan antara kekuatan city branding dengan jumlah kunjungan wisatawan dan
nilai investasi adalah signifikan.
Deffner dan Metaxas (2006) menyusun rencana contoh pemasaran Kota Nea
Ionia, Yunani melalui implementasi branding. Isi makalah berupa panduan
rencana pemasaran tentang bagaimana image multidimensi Kota Nea Ionia secara
efektif dapat dipromosikan. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa
pentingnya mengembangkan branding atau brand kota untuk meningkatkan
statusnya sebagai tujuan wisata, lokasi usaha dan perumahan. Branding
berkontribusi terhadap pembangunan identitas lokal. Branding berhubungan
dengan nilai ekonomi dan simbolis, kota-kota harus memiliki kedalaman,
orisinalitas dan karakter yang berbeda melalui pilihan materi, keragaman dan ciri
menonjol.
Anholt (2006) dan Hildreth (2008) keduanya sama-sama melakukan
pengukuran terhadap kekuatan dari sebuah city brand. Anholt (2006) meneliti 30
kota di dunia dan menyusun ranking kota-kota tersebut berdasarkan brandnya
yang dikenal dengan Anholt-GMI City Brand Index. Pengukuran yang dilakukan
oleh Anholt didasarkan kepada 6 komponen, yaitu: the presence, the place, the
potential, the pulse, the people dan the prerequisites. Hildreth (2008) juga
21
melakukan studi untuk mengetahui kekuatan city brand. Perbedaannya, studi
dilakukan dengan mengukur kekuatan aset dan kekuatan city brand dalam rangka
mencari korelasi apakah aset memperkuat brand sebuah kota. Studi ini menilai
kekuatan city brand berdasarkan persentase kekuatan aset.
Secara ringkas studi-studi empiris terdahulu terkait city branding disajikan
pada Tabel 1.5 berikut.
Tabel 1.5 Rangkuman Studi-studi Empiris Terdahulu terkait City Branding
No Peneliti Metoda Hasil 1. Kavaratzis (2004) Pendekatan pengembangan
konsep corporate branding dengan beberapa modifikasi yang dapat diterapkan dalam city branding.
Penggunaan city branding dan efek potensialnya terhadap penduduk kota yang didasarkan pada kombinasi pengukuran pemasaran kota dan komponen manajemen city branding.
2. Anholt (2006) Pengukuran yang dilakukan oleh Anholt didasarkan kepada 6 komponen, yaitu: the presence, the place, the potential, the pulse, the people dan the prerequisites. Sebanyak 17.502 responden disurvei secara on-line untuk melakukan penilaian terhadap 30 kota di dunia berdasarkan 6 komponen tersebut.
Ranking kota berdasarkan brand-nya
3. Henderson (2007) Pendekatan studi kasus dengan mengumpulkan data sebanyak mungkin melalui interview kepada siapa saja yang terlibat dalam branding. Sebuah metoda yang sering digunakan oleh bidang periklanan sektor pariwisata.
Keunikan Singapore dibanding negara tentangganya di Asia Tenggara memang dianggap sebagai kekuatan dalam sektor pariwisata. Brand yang cukup kuat pada kenyataannya akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan wisatawan.
4. Hildreth (2008) Mengukur kekuatan aset dan kekuatan city brand dalam rangka mencari korelasi apakah aset memperkuat brand sebuah kota. Studi ini menilai kekuatan city brand berdasarkan persentase kekuatan aset.
Ranking kota berdasarkan brand-nya.
5. Riyadi (2009) Penelitian dilakukan dengan desk study untuk mengetahui seberapa pentingkah brand bagi sebuah kota dan bagaimana merumuskan brand yang tepat untuk suatu daerah.
Merumuskan brand suatu daerah agar benar-benar dapat dibedakan dari daerah lain sebagai salah satu strategi promosi untuk meraih keunggulan bersaing baik tingkat lokal, regional bahkan internasional. Untuk membangun brand yang kuat diperlukan berbagai kajian dan analisa yang mendalam selain juga kreatifitas.
22
Lanjutan Tabel 1.5
No Peneliti Metoda Hasil 6. Fatimah (2010) Menganalisis potensi tahu bakso
sebagai city branding dan pengarunya terhadap peningkatan tenaga kerja di sektor industri kecil dan rumah tangga. Studi ini dilakukan dengan menggunakan metoda deskriptif untuk menganalisis konsumen dan analisis korelasi pearson serta metoda forecasting untuk melihat pengaruh potensi city branding terhadap perekonomian daerah.
1. Tahu bakso berpotensi menjadi city branding berdasarkan hasil analisis brand awareness yang menduduki tingkat top of mind.
2. Potensi tahu bakso sebagai city branding akan meningkatkan tenaga kerja di sektor industri kecil dan rumah tangga di Kab. Semarang.
7. Deffner dan Metaxas (2006)
Penciptaan dan pelaksanaan kemasan/packaging, menghitung karakter multidimensi Nea Ionia sebagai produk akhir.
Produk akhirnya adalah image Kota Nea Ionia yang merupakan gabungan unsur tradisional dan modern serta mempertimbangkan strategi tertentu yang ingin dikembangkan Nea Ionia. Produk akhir kota tersebut didasarkan pada pariwisata dengan tiga dimensi sebagai berikut: kegiatan budaya, olahraga dan kuliner .
8. Raubo (2010) Multiple regresi untuk menguji hipotesis apakah terdapat hubungan antara kekuatan city branding sebuah kota dengan jumlah kunjungan wisatawan bermalam dan nilai investasi asing.
Hipotesis diterima artinya model tersebut signifikan.
Pada bagian latar belakang, disampaikan bahwa dibutuhkan sebuah city
branding yang jelas dan konsisten, serta dapat diterima oleh semua pemangku
kepentingan atau stakeholder. Jika hal ini tercapai maka akan berkontribusi besar
terhadap kekuatan branding sebuah kota, begitu juga sebaliknya. Dalam konteks
Kota Medan, aset heritage yang memiliki potensi cukup besar untuk
dikembangkan menjadi city branding diyakini akan membawa manfaat bagi kota
dalam jangka panjang. Namun bagi stakeholder lainnya, mempertahankan
heritage dianggap tidak lagi relevan terhadap perkembangan Kota Medan saat ini.
Berdasarkan perbedaan persepsi tersebut dibutuhkan sebuah penelitian untuk
23
mengidentifikasi persepsi stakeholder dalam rangka mengatasi kesenjangan
kinerja brand yang sudah ditetapkan. Secara khusus faktor-faktor mendasar yang
dapat membedakan penelitian ini dengan sebelumnya adalah:
1. penelitian dilakukan secara deskriptif untuk memberikan gambaran tentang
persepsi masing-masing stakeholder terhadap city branding dan kinerja city
branding;
2. penelitian menggunakan Uji AC2ID (Balmer, 2001) untuk mengidentifikasi
konflik antara persepsi stakeholder dan inkonsistensi strategi city branding;
3. penelitian empiris tentang city branding pertama untuk lokasi Kota Medan.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa tujuan
Pemerintah Kota Medan menetapkan logo beserta tag line “This is Medan”
adalah sebagai city branding atau sebagai komunikasi sekunder menurut kerangka
teoritis membangun city branding (Kavaratzis, 2004). Sejatinya, city branding
tersebut akan memperkuat persepsi positif Kota Medan yang berkaitan dengan
tinggal, berkunjung dan investasi. Sebagai kota yang bertumpu pada sektor tersier,
city branding penting mengingat rendahnya tingkat okupansi dan buruknya
penilaian masyarakat terhadap kenyamanan Kota Medan (most liveable city index)
serta yang tidak kalah pentingnya adalah penghancuran secara massive terhadap
aset kota yaitu heritage menyebabkan Kota Medan kehilangan identitasnya.
Perpaduan ketiga hal tersebut akan mengancam keberlanjutan perekonomian Kota
Medan. Diharapkan city branding mampu bekerja secara opimal untuk
memperbaiki kondisi tersebut, sebagaimana tujuannya.
24
Fokus penelitian dan literatur yang selama ini adalah lebih kepada
bagaimana membangun sebuah brand tersebut. Belum banyak literatur yang
melakukan studi untuk mengidentifikasi dan memberikan gambaran tentang
bagaimana kinerja city branding. Oleh karena itu, hal ini membuat menarik bagi
peneliti untuk melakukan penelitian tentang city branding dengan pertanyaan
penelitian sebagai berikut.
1. Bagaimana gambaran kinerja city branding (brand performance), apakah
sesuai dengan tujuannya yaitu menjadikan Kota Medan lebih atraktif untuk
menarik kunjungan wisatawan dan berinvestasi?
2. Apakah terjadi konflik atau disonansi yang disebabkan perbedaan persepsi
antarstakeholder terhadap city branding dalam rangka mewujudkan city
branding ideal bagi Kota Medan?
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. menganalisis perkembangan jumlah kunjungan wisatawan dan nilai investasi
sebelum dan sesudah ditetapkannya city branding. Hal ini dilakukan untuk
memberikan deskripsi terhadap kinerja city branding (brand performances)
Kota Medan;
2. mengidentifikasi konflik atau disonansi persepsi antarstakeholder terhadap
city branding dalam rangka mewujudkan city branding ideal bagi Kota
Medan.
25
1.5 Manfaat Penelitian
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan dalam latar belakang, rumusan
masalah dan tujuan penelitian maka manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini
adalah:
1. memperkaya khasanah studi empiris bagi kalangan akademisi dalam
memahami implementasi ilmu pemasaran pada sektor publik khususnya
marketing places atau pemasaran daerah;
2. sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kota Medan dalam perencanaan dan
pengambilan kebijakan khususnya dalam mengoptimalkan kinerja city
branding sebagai akibat adanya konflik atau disonansi persepsi
antarstakeholder.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penyusunan tesis ini adalah sebagai berikut: Bab I adalah
pengantar yang menguraikan tentang latar belakang masalah penelitian, keaslian
penelitian, manfaat dan tujuan dan sistematika penulisan. Bab II adalah studi
literatur yang menguraikan tentang tinjauan pustaka dan teori yang terkait dengan
penelitian, studi empiris berupa rangkuman best practice yang dijadikan sebagai
benchmarking dalam penelitian. Bab III adalah metoda riset yang menguraikan
pendekatan penelitian, data dan sumber data serta alat-alat analisis yang
digunakan untuk menemukan jawaban atas permasalahan dan tujuan penelitian.
Bab IV adalah temuan dan analisis data yang menguraikan hasil penelitian dan
pembahasan. Bab V adalah penutup yang berisi kesimpulan, saran dan
keterbatasan penelitian.
top related