Transcript
ARTIKEL TENTANG SEMEN
DISUSUN OLEH:
IRVANTI NORMA RENNY
TEKNIK SIPIL
0909025037
Semen (cement) adalah hasil industri dari paduan bahan baku : batu kapur/gamping
sebagai bahan utama dan lempung / tanah liat atau bahan pengganti lainnya dengan hasil akhir
berupa padatan berbentuk bubuk/bulk, tanpa memandang proses pembuatannya, yang
mengeras atau membatu pada pencampuran dengan air. Batu kapur/gamping adalah bahan
alam yang mengandung senyawa Calcium Oksida (CaO), sedangkan lempung/tanah liat
adalah bahan alam yang mengandung senyawa : Silika Oksida (SiO2), Alumunium Oksida
(Al2O3), Besi Oksida (Fe2O3 ) dan Magnesium Oksida (MgO). Untuk menghasilkan semen,
bahan baku tersebut dibakar sampai meleleh, sebagian untuk membentuk clinkernya, yang
kemudian dihancurkan dan ditambah dengan gips (gypsum) dalam jumlah yang sesuai. Hasil
akhir dari proses produksi dikemas dalam kantong/zak dengan berat rata-rata 40 kg atau 50
kg.
Jenis-jenis semen menurut BPS adalah :
- semen abu atau semen portland adalah bubuk/bulk berwarna abu kebiru-biruan, dibentuk
dari bahan utama batu kapur/gamping berkadar kalsium tinggi yang diolah dalam tanur
yang bersuhu dan bertekanan tinggi. Semen ini biasa digunakan sebagai perekat untuk
memplester. Semen ini berdasarkan prosentase kandungan penyusunannya terdiri dari 5
(lima) tipe, yaitu tipe I sd. V.
- semen putih (gray cement) adalah semen yang lebih murni dari semen abu dan digunakan
untuk pekerjaan penyelesaian (finishing), seperti sebagai filler atau pengisi. Semen jenis
ini dibuat dari bahan utama kalsit (calcite) limestone murni.
- oil well cement atau semen sumur minyak adalah semen khusus yang digunakan dalam
proses pengeboran minyak bumi atau gas alam, baik di darat maupun di lepas pantai.
- mixed & fly ash cement adalah campuran semen abu dengan Pozzolan buatan (fly ash).
Pozzolan buatan (fly ash) merupakan hasil sampingan dari pembakaran batubara yang
mengandung amorphous silika, aluminium oksida, besi oksida dan oksida lainnya dalam
berbagai variasi jumlah. Semen ini digunakan sebagai campuran untuk membuat beton,
sehingga menjadi lebih keras.
Semakin baik mutu semen maka semakin lama mengeras atau membatunya jika
dicampur dengan air, dengan angka-angka hidrolitas yang dapat dihitung dengan rumus :
(% SiO2 + % Al2O3 + Fe2O3) : (%CaO + %MgO)
Angka hidrolitas ini berkisar antara <1/1,5 (lemah) hingga >1/2 (keras sekali). Namun
demikian dalam industri semen angka hidrolitas ini harus dijaga secara teliti untuk
mendapatkan mutu yang baik dan tetap, yaitu antara 1/1,9 dan 1/2,15.
Proses pembuatan semen dapat dibedakan menurut :
Proses basah : semua bahan baku yang ada dicampur dengan air, dihancurkan dan
diuapkan kemudian dibakar dengan menggunakan bahan bakar minyak, bakar (bunker
crude oil). Proses ini jarang digunakan karena masalah keterbatasan energi BBM.
Proses kering : menggunakan teknik penggilingan dan blending kemudian dibakar dengan
bahan bakar batubara. Proses ini meliputi lima tahap pengelolaan yaitu :
- proses pengeringan dan penggilingan bahan baku di rotary dryer dan roller meal.
- proses pencampuran (homogenizing raw meal) untuk mendapatkan campuran yang
homogen.
- proses pembakaran raw meal untuk menghasilkan terak (clinker : bahan setengah jadi
yang dibutuhkan untuk pembuatan semen).
- proses pendinginan terak.
- proses penggilingan akhir di mana clinker dan gypsum digiling dengan cement mill.
Dari proses pembuatan semen di atas akan terjadi penguapan karena pembakaran
dengan suhu mencapai 900 derajat Celcius sehingga menghasilkan : residu (sisa) yang tak
larut, sulfur trioksida, silika yang larut, besi dan alumunium oksida, oksida besi, kalsium,
magnesium, alkali, fosfor, dan kapur bebas.
Semen dalam perkembangan peradaban manusia khususnya dalam hal bangunan,
tentu kerap mendengar cerita tentang kemampuan nenek moyang merekatkan batu-batu
raksasa hanya dengan mengandalkan zat putih telur, ketan atau lainnya. Alhasil, berdirilah
bangunan fenomenal, seperti Candi Borobudur atau Candi Prambanan di Indonesia ataupun
jembatan di Cina yang menurut legenda menggunakan ketan sebagai perekat. Ataupun
menggunakan aspal alam sebagaimana peradaban di Mahenjo Daro dan Harappa di India
ataupun bangunan kuno yang dijumpai di Pulau Buton.
Benar atau tidak, cerita, legenda tadi menunjukkan dikenalnya fungsi semen sejak
zaman dahulu. Sebelum mencapai bentuk seperti sekarang, perekat dan penguat bangunan ini
awalnya merupakan hasil percampuran batu kapur dan abu vulkanis. Pertama kali ditemukan
di zaman Kerajaan Romawi, tepatnya di Pozzuoli, dekat teluk Napoli, Italia. Bubuk itu lantas
dinamai pozzuolana.
Sedangkan kata semen sendiri berasal dari caementum (bahasa Latin), yang artinya
kira-kira "memotong menjadi bagian-bagian kecil tak beraturan". Meski sempat populer di
zamannya, nenek moyang semen made in Napoli ini tak berumur panjang. Menyusul
runtuhnya Kerajaan Romawi, sekitar abad pertengahan (tahun 1100 - 1500 M) resep ramuan
pozzuolana sempat menghilang dari peredaran.
Pabrik semen di Australia.
Baru pada abad ke-18 (ada juga sumber yang menyebut sekitar tahun 1700-an M),
John Smeaton - insinyur asal Inggris - menemukan kembali ramuan kuno berkhasiat luar biasa
ini. Dia membuat adonan dengan memanfaatkan campuran batu kapur dan tanah liat saat
membangun menara suar Eddystone di lepas pantai Cornwall, Inggris. Ironisnya, bukan
Smeaton yang akhirnya mematenkan proses pembuatan cikal bakal semen ini. Adalah Joseph
Aspdin, juga insinyur berkebangsaan Inggris, pada 1824 mengurus hak paten ramuan yang
kemudian dia sebut semen portland. Dinamai begitu karena warna hasil akhir olahannya mirip
tanah liat Pulau Portland, Inggris. Hasil rekayasa Aspdin inilah yang sekarang banyak
dipajang di toko-toko bangunan.
Sebenarnya, adonan Aspdin tak beda jauh dengan Smeaton. Dia tetap mengandalkan
dua bahan utama, batu kapur (kaya akan kalsium karbonat) dan tanah lempung yang banyak
mengandung silika (sejenis mineral berbentuk pasir), aluminium oksida (alumina) serta oksida
besi. Bahan-bahan itu kemudian dihaluskan dan dipanaskan pada suhu tinggi sampai
terbentuk campuran baru. Selama proses pemanasan, terbentuklah campuran padat yang
mengandung zat besi. Nah, agar tak mengeras seperti batu, ramuan diberi bubuk gips dan
dihaluskan hingga berbentuk partikel-partikel kecil mirip bedak.
Pengaduk semen sederhana.
Lazimnya, untuk mencapai kekuatan tertentu, semen portland berkolaborasi dengan bahan
lain. Jika bertemu air (minus bahan-bahan lain), misalnya, memunculkan reaksi kimia yang
sanggup mengubah ramuan jadi sekeras batu. Jika ditambah pasir, terciptalah perekat tembok
nan kokoh. Namun untuk membuat pondasi bangunan, campuran tadi biasanya masih
ditambah dengan bongkahan batu atau kerikil, biasa disebut concrete atau beton.
Beton bisa disebut sebagai mahakarya semen yang tiada duanya di dunia. Nama
asingnya, concrete - dicomot dari gabungan prefiks bahasa Latin com, yang artinya bersama-
sama, dan crescere (tumbuh). Maksudnya kira-kira, kekuatan yang tumbuh karena adanya
campuran zat tertentu. Dewasa ini, nyaris tak ada gedung pencakar langit berdiri tanpa
bantuan beton. Meski bahan bakunya sama, "dosis" semen sebenarnya bisa disesuaikan
dengan beragam kebutuhan. Misalnya, jika kadar aluminanya diperbanyak, kolaborasi dengan
bahan bangunan lainnya bisa menghasilkan bahan tahan api. Ini karena sifat alumina yang
tahan terhadap suhu tinggi. Ada juga semen yang cocok buat mengecor karena campurannya
bisa mengisi pori-pori bagian yang hendak diperkuat.
Kandungan kimia
Trikalsium Silikat
Dikalsium Silikat
Trikalsium Aluminat
Tetrakalsium Aluminofe
Gipsum
Produksi Semen
Langkah Utama Proses Produksi Semen adalah:
1. Penggalian/Quarrying:Terdapat dua jenis material yang penting bagi produksi semen: yang
pertama adalah yang kaya akan kapur atau material yang mengandung kapur (calcareous
materials) seperti batu gamping, kapur, dll., dan yang kedua adalah yang kaya akan silika atau
material mengandung tanah liat (argillaceous materials) seperti tanah liat. Batu gamping dan
tanah liat dikeruk atau diledakkan dari penggalian dan kemudian diangkut ke alat penghancur.
2. Penghancuran: Penghancur bertanggung jawab terhadap pengecilan ukuran primer bagi
material yang digali.
3. Pencampuran Awal: Material yang dihancurkan melewati alat analisis on-line untuk
menentukan komposisi tumpukan bahan.
4. Penghalusan dan Pencampuran Bahan Baku: Sebuah belt conveyor mengangkut tumpukan
yang sudah dicampur pada tahap awal ke penampung, dimana perbandingan berat umpan
disesuaikan dengan jenis klinker yang diproduksi. Material kemudian digiling sampai
kehalusan yang diinginkan.
5. Pembakaran dan Pendinginan Klinker: Campuran bahan baku yang sudah tercampur rata
diumpankan ke pre-heater, yang merupakan alat penukar panas yang terdiri dari serangkaian
siklon dimana terjadi perpindahan panas antara umpan campuran bahan baku dengan gas
panas dari kiln yang berlawanan arah. Kalsinasi parsial terjadi pada pre‐heater ini dan
berlanjut dalam kiln, dimana bahan baku berubah menjadi agak cair dengan sifat seperti
semen. Pada kiln yang bersuhu 1350-1400 °C, bahan berubah menjadi bongkahan padat
berukuran kecil yang dikenal dengan sebutan klinker, kemudian dialirkan ke pendingin
klinker, dimana udara pendingin akan menurunkan suhu klinker hingga mencapai 100 °C.
6. Penghalusan Akhir: Dari silo klinker, klinker dipindahkan ke penampung klinker dengan
dilewatkan timbangan pengumpan, yang akan mengatur perbandingan aliran bahan terhadap
bahan-bahan aditif. Pada tahap ini, ditambahkan gipsum ke klinker dan diumpankan ke mesin
penggiling akhir. Campuran klinker dan gipsum untuk semen jenis 1 dan campuran klinker,
gipsum dan posolan untuk semen jenis P dihancurkan dalam sistim tertutup dalam penggiling
akhir untuk mendapatkan kehalusan yang dikehendaki. Semen kemudian dialirkan dengan
pipa menuju silo semen.
Jenis semenJenis semen
No.SNI Nama
SNI 15-0129-2004 Semen portland putih
SNI 15-0302-2004 Semen portland pozolan / Portland Pozzolan Cement (PPC)
SNI 15-2049-2004 Semen portland / Ordinary Portland Cement (OPC)
SNI 15-3500-2004 Semen portland campur
SNI 15-3758-2004 Semen masonry
SNI 15-7064-2004 Semen portland komposit
Pabrik semen di Indonesia
PT.Indocement Tunggal Prakarsa (Semen Tigaroda) PT.Semen Baturaja Persero (Semen Baturaja) PT.Semen Padang (Semen Padang) PT.Semen Gresik (Semen Gresik) PT.Semen Bosowa (Semen Bosowa) PT.Semen Andalas (Semen Andalas) PT.Holcim Indonesia PT.Semen Tonasa (Semen Tonasa) PT.Semen Kupang (Semen Kupang)
PRODUKSI SEMEN DARI SAMPAH ( EKOSEMEN )
Jepang, sebuah negeri penuh inovasi. Mungkin sebutan itu sangat sesuai sebagaimana
Jepang menangani masalah sampah di negaranya. Setelah berhasil membuat sebuah airport
berkelas internasional di Kobe yang dibangun di atas lapisan sampah dan menerapkan
pembuatan pupuk dari sampah di berbagai hotel di Jepang, kini Jepang telah berhasil
mengubah sampah menjadi produk semen yang kemudian dinamakan dengan ekosemen.
Ekosemen
Terminologi ekosemen dibentuk dari kata “ekologi” dan “semen”. Diawali penelitian
di tahun 1992, para peneliti Jepang telah mempelajari kemungkinan memprosesan abu hasil
pembakaran sampah dan endapan air kotor untuk dijadikan bahan pembuat semen. Dari hasil
penelitian tersebut diketahui bahwa abu hasil pembakaran sampah mengandung unsur yg
sama dengan bahan dasar semen pada umumnya. Pada tahun 1993, proyek itu dibiayai oleh
Kementrian Perdangan Internasional dan Industri Jepang. Tahun 2001, pabrik pertama di
dunia yang mengubah sampah menjadi semen resmi beroperasi di Chiba. Pabrik tersebut
mampu memproduksi ekosemen sebanyak 110,000 ton/tahunnya. Sampah yang diubah
menjadi abu yang kemudian diolah menjadi semen mencapai 62,000 ton/tahun sedangkan
endapan air kotor dan residu abu industri yang diolah mencapai 28,000 ton/tahun.
Penggunaan Abu Insinerasi untuk semen
Penduduk Jepang membuang sampah, baik organik maupun anorganik, dengan jumlah
sekitar 50 juta ton/tahun. Dari 50 ton/tahun tersebut, sampah yang dibakar (proses
incineration) menjadi abu (incineration ash) ialah sekitar 37 ton/tahun. Sedangkan abu yang
dihasilkan mencapai 6 ton per tahunnya. Abu inilah yang kemudian dijadikan sebagai bahan
pembuat ekosemen. Abu dan endapan air kotor mengandung senyawa-senyawa yang
diperlukan dalam pembentukan semen konvensional, yaitu senyawa-senyawa oksida seperti
CaO, SiO2, Al2O3, dan Fe2O3. Karena itu, abu insinerasi dapat difungsikan sebagai pengganti
tanah liat yang digunakan pada pembuatan semen konvensional. Kebutuhan kandungan CaO
yang masih belum terpenuhi pada abu insinerasi dapat dicukupi dengan penambahan batu
kapur. Dalam pembuatan ekosemen, klorin dan logam berat yang terkandung pada abu
insinerasi diekstrak menjadi artificial ore (Cu, Pb, dan lainnya) yang kemudian di-recyle
untuk digunakan kembali.
Proses Pembuatan Ekosemen
Secara umum, produksi semen konvensional (Portland) meliputi pengeringan, penghancuran,
dan pencampuran batu kapur, tanah liat, quartzite, serta bahan baku lainnya dan kemudian
dibakar pada rotary klin. Prinsip produksi ekosemen pada dasarnya sama dengan prinsip
pembuatan semen konvensional. Adapun perbedaannya terletak pada proses pembakaran dan
pengolahan limbah.
1. Persiapan
Bahan baku (abu insenerasi, endapan air kotor rumah tangga, dan residu abu industri) diproses
terlebih dahulu melalui pengeringan, penghancuran, dan pemisahan logam yang masih
terkandung pada bahan baku.
2. Penghancuran
Setelah dikeringkan, bahan baku tersebut kemudian dihancurkan pada raw grinder atau drying
mill bersamaan dengan batu kapur.
3. Pencampuran
Setelah dikeringkan dan dihancurkan, umpan dimasukkan ke dalam homogenizing tank
bersamaan dengan fly ash (abu yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga batu bara) dan
blast furnace slag (limbah yang dihasilkan industri besi). Penempatan dua homoginezing tank
yang diilustrasikan dalam diagram dimaksudkan untuk mencampuran semua secara merata
sehingga dapat menghasilkan komposisi yang diinginkan.
4. Pembakaran
Berbeda dengan produksi semen konvensional dimana bahan baku dibakar pada suhu 900oC,
pada proses pembuatan ekosemen, bahan baku dimasukkan ke dalam rotary klin dan dibakar
pada suhu diatas 1350oC. Dalam rotary kiln, dioksin dan senyawa berbahaya lainnya yang
terkandung pada abu insenerasi akan terurai menjadi air dan gas klor sehingga aman bagi
lingkungan. Gas yang keluar dari rotary klin kemudian didinginkan secara cepat hingga suhu
200oC untuk mencegah kembali terbentuknya dioksin. Pada proses ini, logam berat yang
masih terkandung dipisahkan dan dikumpulkan ke dalam bag filter sebagai debu yang masih
mengandung klor. Debu ini kemudian dialirkan ke heavy metal recovery process. Klor yang
masih tersisa akan dihilangkan dan menghasilkan sebuah articial ore seperti tembaga dan
timbal yang kemurniannya mencapai 35% atau lebih. Proses pembakaran akan menghasilkan
clinker (intermediate stage pada industri semen) yang kemudian dikirim ke clinker tank.
5. Penghancuran Produk Campuran gypsum dan clinker dihancurkan dalam finish mill dan
kemudian akan dihasilkan ekosemen.
Fig 1. Flowchart pembuatan ekosemen [3]
Kendala
Salah satu kendala utama pengembangan ekosemen adalah proses produksinya yang
relatif mahal apabila dibandingkan dengan produksi semen konvensional. Hal ini disebabkan
oleh proses pemisahan klor pada produksi ekosemen yang memakan banyak biaya.
Keberadaan klor sendiri diakibatkan karena adanya plastik vinil yang ikut tercampur pada
sampah organik. Pada pembuatan abu insenarasi, plastik vinil akan ikut terurai menjadi klor.
Klor akan menurunkan kekuatan konkrit ekosemen apabila tidak dipisahkan. Hal tersebut
membuat pemisahan plastik dari sampah organik secara seksama menjadi kunci utama pada
produksi ekosemen.
Kualitas Ekosemen
Hingga saat ini, terdapat dua macam tipe ekosemen (berdasarkan penambahan alkali
dan kandungan klor) yaitu tipe biasa dan tipe rapid hardening. Ekosemen tipe biasa
mempunyai kualitas sama baiknya dengan semen Portland biasa. Tipe ekosemen ini
digunakan sebagai ready mixed concrete sedangkan ekosemen tipe fast hardening memiliki
kekuatan konkrit serta pengerasan yang lebih cepat dibanding semen Portland tipe high-early
strength (lihat Fig 2). Ekosemen tipe fast hardening digunakan pada blok arsitektur, bahan
genteng, pemecah ombak, dan lain sebagainya. Ekosemen tipe fast hardening telah melewati
standardisasi JIS (Japanese Industrial Standard).
Fig 2. Perbandingan kekuatan ekosemen dibandikan dengan semen Portland [2]
Manfaat Ekosemen
Pengolahan sampah menjadi semen akan menambah metode alternatif pengolahan
sampah yang lebih bernilai ekonomis dan biaya pengolahan sampah akan menjadi lebih
murah. Sebagai contohnya, di Jepang, biaya pengolahan sampah konvensional sebelum
keberadaan teknologi ekosemen ialah sebesar 40,000 yen/ton dan sekarang turun menjadi
39,000 yen/ton.
Selain itu, teknologi ekosemen sangat ramah lingkungan. Pada proses produksi ekosemen,
sebagian CaO yang dibutuhkan dapat diperoleh dari abu insenerasi sehingga mengurangi
penggunaan batu kapur (CaCO2) yang selama ini merupakan sumber emisi gas CO2 pada
industri semen. Atas keberhasilan dalam mengurangi emisi CO2 ini, teknologi ekosemen
mendapat penghargaan dari menteri lingkungan Jepang atas peranannya dalam mencegah
pemanasan global.
Peluang di Indonesia
Indonesia merupakan sebuah negara yang belum bisa lepas dari masalah sampah.
Mulai dari penolakan warga masyarakat sekitar TPA akibat kepulan asap dan bau yang
ditimbulkan oleh pengolahan sampah dengan PLTSa hingga kejadian yang tidak pernah
dilupakan Tragedi Leuwigajah yang merenggut 24 nyawa tak bersalah.
Sudah banyak upaya yang dilakukan untuk mencari solusi penyelesaian masalah
sampah Indonesia termasuk dengan cara mengubah sampah tersebut menjadi sumber energi
(methane). Namun, akibat kurangnya prospek dari segi ekonomi, perkembangan proses
konversi tersebut dapat dikatakan masih jalan di tempat. Dengan berhasilnya Jepang dalam
mengolah sampah menjadi semen, muncul peluang yang besar untuk melakukan hal yang
sama di Indonesia. Untuk masalah bahan baku, di Jakarta, sampah domestik yang dihasilkan
mencapai lebih dari 6000 ton/hari. Dari segi proses, dapat dikatakan bahwa prinsip pembuatan
ekosemen hampir sama dengan pembuatan semen biasa. Apabila Pemerintah dan pihak
industri dapat bekerja sama dengan baik, masalah sampah akan teratasi dan pihak industri
meningkatkan keuntungan dengan adanya pengurangan penggunaan limestone sebesar 26%.
Satu faktor utama yang menentukan keberhasilan proses pengolahan sampah ialah
regulasi pemerintah, khususnya pemerintah kota/daerah, dalam mengelola sampah dengan
baik. Salah satu cara yang dapat ditempuh ialah melalui penggalakkan kampanye pemisahan
sampah antara sampah organik, sampah anorganik, sampah botol, dan sampah kaleng serta
kemudian menjadikannya sebagai kebiasaan warga Indonesia secara luas. Dimulai dari hal
sederhana tersebut, peluang pemanfaatan sampah menjadi semen atau produk yang lain dapat
dilakukan pihak industri dengan lebih ekonomis.
top related