Transcript
RANCANGAN TERAPI MUSIK ANGKLUNG UNTUK
MENURUNKAN PENGHAYATAN PERASAAN
KESEPIAN (LONELINESS) LANSIA
KASUS DI PANTI WERDHA KOTAMADYA BANDUNG
Oleh :
Arisanti Chandra Dewi
NPM : L2H 040515
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Sidang
Guna Memperoleh Gelar Magister Psikologi
Program Magister Profesional Psikologi
Bidang Kajian Psikologi Klinis
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PROFESIONAL PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG
2010
RANCANGAN TERAPI MUSIK ANGKLUNG UNTUK
MENURUNKAN PENGHAYATAN PERASAAN
KESEPIAN (LONELINESS) LANSIA
KASUS DI PANTI WERDHA KOTAMADYA BANDUNG
Oleh :
Arisanti Chandra Dewi
NPM : L2H 040515
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Sidang
Guna Memperoleh Gelar Magister Psikologi
Program Magister Profesional Psikologi
Bidang Kajian Psikologi Klinis
Ini Telah disetujui oleh Tim Pembimbing pada tanggal Seperti tertera di bawah ini
Bandung, Januari 2010
Prof. DR. Sawitri Supardi Sadarjoen DR. H. Ahmad Gimmy Prathama S., M.Si Ketua Tim Pembimbing Anggota Tim Pembimbing
iv
Kupersembahkan Karya kecil ini sebagai
Janji Bakti-ku pada Papa (Alm), dan Mama
Terima kasih atas segala kasih sayang yang telah diberikan selama ini,
Semoga Allah SWT selalu menyertai kita dan menempatkan arwah Papa tercinta
di sisi-Nya yang terbaik dan terindah.
Amien ya Robbal Alamin
Untuk Yang Tercinta Papap dan Kaka
v
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Karya tulis saya, tesis ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untk
mendapatkan gelar akademik magister, baik di Universitas Padjadjaran
maupun di perguruan tinggi lainnya.
2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa
bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan
sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan
dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah
diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma
yang berlaku di perguruan tinggi ini.
Bandung, Januari 2010
Yang membuat pernyataan,
(Arisanti Chandra Dewi)
L2H040515
vi
ABSTRACT
The aim of this research is to introduce and develop the form of musical therapy by utilizing Angklung as the tool in order to solve the psychological problem, especially the problem of loneliness on Elders who stay in three panti werdha in Kotamadya Bandung. The period of Elders is the end period of a human cycle with the characteristics of deterioration in physiological, psychological, and social interaction as well. Elders are a human group that is very prone to have loneliness. It is caused by loosing their spouse, living separately with their children, having no more friends at the same age, and the problem has become worse since they have lived in panti werdha. Basically, there are some ways to decrease the loneliness such as involving the m on social activities and listening to the music. Many people have researched the effect of music on human physiology and psychology. Music has been acknowledged as the media for therapy which then developed as musical therapy. Musical therapy consists of some stages of activities: listening, playing, creating and constructing the music or song. The scope of this research is to the stage of playing musical instrument. Musical instrument which are often used in musical therapy are modern musical instrument, while the traditional ones, such as Angklung, are seldom used. Angklung has unique timbre which is light and also has the meaning of happiness and togetherness. The lonely elders need the ambience which could create positive mood and togetherness that will eliminate sadness and loneliness. This research is true experimental which means the study of the intentional treatment by observing the effect by strictly controlling some extraneous variables. The research design used is “Before After two group design”. Statistical test used in this research is Mann Whitney and Wilcoxon difference test. The subject of this research is Elders which suffer the problem of loneliness, following the rules of UCLA Loneliness scale v.3 by Danniel Russel (1996). The result of the statistical test shows that there is a difference of loneliness level on experimental group (EG) as the subject by comparing the condition before and after the treatment of Angklung musical therapy (with significant level of 95%). This condition shows that Angklung musical therapy, by playing Angklung together, can create positive mood and increase social interaction ability of the subject, and as the result, decrease the loneliness. At the end of this research, there are some suggestions for the next research. Keyword : Loneliness, Music Therapy, and Angklung.
vii
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memperkenalkan dan mengembangkan bentuk terapi musik dengan menggunakan alat musik angklung dalam mengatasi permasalahan psikologis khususnya masalah kesepian (loneliness) pada lansia yang tinggal di tiga panti werdha kotamadya Bandung. Masa lansia adalah puncak dari siklus manusia yang ciri-cirinya cenderung mengalami penurunan dan kesengsaraan, baik secara fisiologis, psikologis, dan sosial. Lansia adalah kelompok yang paling rentan terhadap permasalahan kesepian (loneliness), hal ini disebabkan karena kehilangan pasangan, berpisah dengan anak-anak yang semakin dewasa, kehilangan relasi atau teman sebaya, terlebih lagi bagi mereka yang dititipkan di panti werdha. Pada dasarnya terdapat beberapa cara untuk mengurangi penghayatan perasaan kesepian (loneliness), antara lain dengan aktif mengikuti kegiatan sosial dan mendengarkan musik. Musik sudah banyak diteliti dan memiliki pengaruh terhadap fungsi fisiologis dan psikologis. Musik sudah diakui dapat menjadi media dalam sebuah terapi, yang kemudian berkembang menjadi terapi musik. Terapi musik dimulai dari kegiatan mendengarkan, bermain, kemudian membuat dan mengaransemen sebuah musik atau lagu. Dalam penelitian ini hanya sampai pada tahap bermain alat musik. Alat musik yang sering digunakan dalam terapi musik adalah alat-alat musik moderen, sedangkan alat musik tradisional seperti angklung seringkali terabaikan keberadaannya. Angklung sendiri memiliki timbre yang khas yaitu ringan, selain itu secara filosofi dan perkembangannya mengandung makna dan unsur utama kegembiraan dan kebersamaan. Para lansia yang menghayati perasaan kesepian (loneliness) membutuhkan suasana yang dapat membangkitkan mood dan penuh kebersamaan sehingga mereka tidak mengalami perasaan sedih terabaikan, terasing sehingga menjadi kesepian. Penelitian ini merupakan true experimental yaitu adanya perlakuan (treatment) yang sengaja diberikan untuk melihat pengaruhnya, dengan mengontrol secara ketat extraneous variable. Rancangan yang digunakan yaitu Before After two group design. Uji statistik yang digunakan adalah uji beda Mann Whitney dan uji beda Wilcoxon. Subjek penelitian adalah para lansia yang mengalami penghayatan perasaan kesepian (loneliness) yang tinggi, dimana telah dijaring melalui UCLA Loneliness scale v.3 dari Danniel Russell (1996). Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan antara taraf loneliness kelompok eksperimen (EG) sebelum dengan sesudah diberikan treatment (dengan taraf signifikansi 95 %). Kondisi ini memperlihatkan bahwa terapi musik angklung dengan memainkan alat musik angklung secara berkelompok dapat membuat suasana hati (mood) dan kemampuan berinteraksi para subjek penelitian meningkat sehingga menurunkan penghayatan perasaan kesepian (loneliness) karena pada alat musik angklung terdapat unsur kenyamanan, kesenangan, kebersamaan dan rekreatif saat memainkannya. Diakhir penelitian ada beberapa saran yang diajukan. Kata kunci : Perasaan Kesepian (Loneliness), Terapi Musik, dan Angklung.
viii
Kata Pengantar
Assalamua’aikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, Segala Puja dan Puji syukur hanya untuk Allah SWT atas
segala nikmat dan hidayah yang selama ini telah diberikan-Nya kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini.
Penelitian ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat ujian guna
memperoleh gelar Magister Psikologi pada program magister profesional Psikologi
bidang kajian Psikologi Klinis Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran. Penulis
menyadari bahwa penyusunan tugas akhir ini tidak akan berjalan dengan baik dan
lancar tanpa adanya bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
tidak terkira kepada :
1. Prof. DR. Sawitri Supardi Sadarjoen, selaku ketua komisi pembimbing yang
telah membimbing, mengarahkan, dan mendukung penulis dalam
penyelesaian penelitian ini.
2. DR. H. Ahmad Gimmy Prathama Siswadi, M.Si., selaku anggota komisi
pembimbing yang juga telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam
penyelesaian penelitian ini.
3. Prof. DR. Hj. Juke R. Siregar, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Padjadjaran.
4. DR. Hj. Hendriati Agustiani. M.Si., selaku Ketua Program BKU Magister
Keprofesian Psikologi Universitas Padjadjaran.
5. Drs. Amir Sjarif Bachtiar, M.Si., atas do’a dan dukungannya.
6. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi yang telah mendidik dan
memberikan bekal ilmu pengetahuan, wawasan, serta pengalaman kepada
penulis, juga ibu Nani, Mbak Umi beserta seluruh staf administrasi magister
yang telah banyak membantu.
ix
7. Bapak Drs. H. Nuryana, Ketua Lembaga Lansia Indonesia Pemprov Jawa
Barat yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian ini.
8. Bapak dr. H. Djamhoer, Ketua bidang kesenian dan olahraga Lembaga
Lansia Indonesia Pemprov Jawa Barat yang telah membantu penulis dalam
pelaksanaan penelitian ini.
9. Bapak Drs. H. Iwa, Bagian Keuangan Lembaga Lansia Indonesia Pemprov
Jawa Barat yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian ini.
10. Bapak Sam Udjo dari Saung Angklung Udjo yang telah banyak membantu
dalam penelitian ini.
11. Bapak Eddie, Pelatih Angklung STBA yang telah banyak membantu penulis
dalam mengenal dan berlatih angklung, beserta rekan-rekan Gentra Seba
STBA..
12. Ibu Hj. Nia, Kepala asrama Panti Werdha Budi Pertiwi Bandung, beserta
para pengurus dan petugas panti.
13. Ibu Mayor Wayan, Kepala Panti Werdha Senjarawi Bandung, Ibu Indri
beserta para kandidat dan petugas panti.
14. Ibu Gina, kepala asrama Panti Werdha Asuhan Bunda Bandung, beserta para
petugas panti.
15. Nenek, Kakek, Oma dan Opa, para penghuni Panti Werdha Budi Pertiwi,
Panti Werdha Senjarawi, dan Panti Werdha Asuhan Bunda yang sudah
bersedia meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam
menyelesaikan penelitian ini.
16. Secara khusus penulis menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya
kepada Mama dan Papa (Alm) tersayang yang selalu memberikan perhatian,
kasih sayang, dukungan, semangat dan do’a sejak kecil hingga kapanpun.
Tiada yang lebih berarti dan berharga dalam kehidupan ini selain kasih
sayang dan do’a yang Mama dan Papa (Alm) curahkan selama ini. Semoga
Allah menerima Arwah Papa di sisi-Nya yang terbaik, Amien.
x
17. Rokky Irvayandi, S.T., M.M., suami tercinta yang telah memberikan warna
dan mengisi sisi lain kehidupan penulis dengan memberikan semangat,
dukungan, cinta dan do’a. “Thank you for your love and for all beautiful
moments we’ve made together.”
18. Darriel Aqeela Devandra, anakku tercinta yang sudah menemani sejak dalam
kandunganku dengan setia, mendukung, dan menjadi teman berbagi ketika
penulis dalam keadaan suka maupun duka. Terima kasih sayang, mamam dan
papap sayang kaka.
19. Bapak, Mamah serta Aldi, Fifi dan Raditya keponakanku tersayang, untuk
semua dukungan dan do’a yang dipanjatkan sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini.
20. Tante-tanteku, Oom-oomku terutama Tante Rini dan Oom Heru atas do’a
dan dukungannya, dan adik-adikku terutama Ryo, Arief dan Akbar yang
selalu membuat hidup penulis penuh gejolak emosi baik canda tawa dan
marah.
21. Telletubies: Dewot, Babeh, dan Daffa, Neng Ria, Ardi, Nayla dan Nazwa,
Ewieh Iza dan calon babynya, Terimakasih buat Do’anya dan persahabatan
kita yang indah.
22. Farida, Julian, Aulia, dan Amir, yang selalu berjuang bersama dan berbagi
suka dan duka selama menyelesaikan pendidikan.
23. Prita, Ida, dan Koagouw, terima kasih untuk diskusi, masukan, dukungan
dan bantuannya selama penyelesaian penulisan.
24. Teman-teman magister angkatan 3 yang sama-sama sudah berjuang dan
melewati masa-masa indah bersama selama menempuh masa pendidikan.
25. Teman-teman magister jurusan klinis angkatan 2 dan 4, yang juga saling
menguatkan selama penyelesaian penelitian dan penulisan ini.
26. Teman-teman co-Fasilitator dan observer, Icha, Aden, Anin, Ayu, Dinda,
Ari, Vikri, Angki, Kia, Anya, Mia, Yucki, Elya, Silmi, Tantri, Mira, Septi,
xi
Muti, Lofa, Fitria, Yatni, Yani, Sani, terima kasih sudah membantu penulis
sehingga terselesaikannya penelitian ini.
27. Semua pihak yang telah membantu dan memotivasi penulis selama
menyelesaikan penelitian ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan,
walaupun demikian mudah-mudahan tulisan ini dapat dimanfaatkan oleh yang
membutuhkannya. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik atas
semua bantuan dan dorongan yang telah diberikan kepada penulis. Amien ya Robbal
Alamin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bandung, Januari 2010
Penulis
(Arisanti Chandra Dewi)
xii
DAFTAR ISI
JUDUL i
PENGESAHAN ii
PENGESAHAN REVISI iii
KATA PERSEMBAHAN iv
SURAT PERNYATAAN v
ABSTRACT vi
ABSTRAK vii
Kata Pengantar viii
Daftar Isi xii
Daftar Bagan xvi
Daftar Tabel xviii
Daftar Gambar xix BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang Masalah 1
1.2. Rumusan Masalah 8
1.3. Maksud, tujuan dan Kegunaan Penelitian 10 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS 12
2.1. Kajian Pustaka 12
2.1.1. Usia Lanjut 12
2.1.1.1. Definisi Masa Usia Lanjut 12
2.1.1.2. Karakteristik Usia Lanjut 13
2.1.1.3. Aspek Biologis dari Usia Lanjut 17
2.1.1.4. Aspek Psikologis dari Usia Lanjut 19
2.1.1.4.1. Penginderaan dan Persepsi 19
2.1.1.4.2. Belajar dan Memori (Daya Ingat) 20
2.1.1.4.3. Proses Belajar dan Pembelajaran pada Lansia 22
xiii
2.1.1.4.4. Kepribadian 24
2.1.1.4.5. Keterlibatan Komunitas dan Dukungan Sosial 25
2.1.1.5. Aspek Sosiologis dari Usia Lanjut 27
2.1.1.5.1. Hubungan Keluarga 27
2.1.1.5.2. Hubungan Sosial 29
2.1.2. Gerontology 32
2.1.2.1. Definisi Gerontology 32
2.1.2.2. Kesehatan Mental Lansia 34
2.1.2.3. Perkembangan Sosio-Emosional Lansia 35
2.1.3. Kehidupan Lansia Dalam Institusi 37
2.1.4. Panti Werdha 38
2.1.4.1. Pengertian Panti Werdha 38
2.1.4.2. Tujuan Penyelenggaraan Panti Werdha 39
2.1.4.3. Pelayanan di Panti Werdha 40
2.1.5. Loneliness 41
2.1.5.1. Definisi Loneliness 41
2.1.5.1.1. Definisi Loneliness Berdasarkan Pendekatan Sosial 42
2.1.5.1.2. Definisi Loneliness Berdasarkan Pendekatan
Eksistensial 45
2.1.5.2. Macam-Macam Penyebab Loneliness 47
2.1.5.2.1. Kejadian Pemicu Kesepian (Precipitating Event) 47
2.1.5.2.2. Faktor Predisposisi dan Bertahannya Gejala
Kesepian 50
2.1.5.3. Karakteristik Orang-orang yang Mengalami Kesepian 54
2.1.5.4. Pengalaman dari Kondisi Kesepian 54
2.1.5.4.1. Manifestasi Afektif 54
2.1.5.4.2. Manifestasi Motivasional 55
2.1.5.4.3. Manifestasi Kognitif 56
2.1.5.4.4. Korelasi Tingkah Laku dengan Kesepian 56
xiv
2.1.5.4.5. Konsekuensi Sosial dan Kesehatan 57
2.1.6. Musik 58
2.1.6.1. Unsur-unsur dalam Musik 60
2.1.7. Terapi Musik 60
2.1.7.1. Definisi Terapi Musik 60
2.1.7.2. Aspek Pendukung Terapi Musik 63
2.1.7.2.1. Psikobiologis Suara 63
2.1.7.2.2. Musik dan Penyembuhan 67
2.1.7.2.3. Respon Fisiologis Terhadap Musik 69
2.1.7.2.4. Respon Emosi Musikal 77
2.1.7.2.5. Musical Expression 78
2.1.7.2.6. Musical Perception 78
2.1.7.2.7. Fisiologi Emosi Musik 78
2.1.7.2.8. Musik dan Suasana Hati 80
2.1.7.2.9. Psikologi Musik dan Efek Psikologis 82
2.1.7.2.9.1. Psikologi Musik 82
2.1.7.2.9.1. Pengaruh Musik Terhadap Perubahan
Psikologis 83
2.1.8. Angklung 85
2.1.8.1. Sejarah Angklung 85
2.1.8.2. Spesifikasi Angklung 89
2.1.9. Angklung dan Psikologi 95
2.2. Kerangka Pemikiran 96
2.3. Premis 104
2.4. Hipotesis 105
BAB III METODE DAN SUBYEK PENELITIAN 106
3.1. Metode Penelitian 106
3.1.1. Skema Penelitian 107
xv
3.1.2. Variabel Penelitian 108
3.1.2.1. Independent Variable(IV) 108
3.1.2.2. Dependent Variable (DV) 109
3.2. Subyek Penelitian 111
3.2.1. Populasi Penelitian 111
3.2.2. Subjek Penelitian 111
3.3. Alat Ukur 113
3.3.1. Proses Adaptasi Alat Ukur Loneliness 114
3.3.2. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 114
3.4. Pengukuran 115
3.5. Tahapan Penelitian 116
3.5.1. Lokasi Kegiatan Penelitian 123
3.6. Rancangan Penelitian 123
3.6.1. Rancangan Kegiatan 123
3.6.2. Rancangan Waktu, Materi, dan Pemberian Materi Penelitian 127
3.7. Analisa Data 127
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 129
4.1. Hasil Penelitian 129
4.2. Pembahasan 136
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 163
5.1. Kesimpulan 163
5.2. Saran 165
DAFTAR PUSTAKA 167
LAMPIRAN
xvi
DAFTAR BAGAN
2.1. Kerangka Pemikiran 103
3.1. Skema Penelitian 107
xvii
DAFTAR TABEL
2.1. Emosi Dasar yang Dihasilkan Berdasarkan Berbagai Karakteristik
Musik 84
3.1. Rancangan Kegiatan Penelitian 123
3.2. Rancangan Kegiatan Pelaksanaan Pemberian Intervensi / Pelakuan
(Treatment) 125
3.3. Rancangan Waktu dan Proses Pemberian Intervensi (Lampiran) 127
4.1. Hasil Uji Beda Mann Whitney Pre-Test antara Kelompok EG dan CG 130
4.2.Hasil Uji Beda Mann Whitney Post-Test antara Kelompok EG dan CG 131
4.3. Hasil Uji Beda Wilcoxon Pre-Test – Post-Test Skor Total Loneliness
Kelompok EG 132
4.4. Hasil Uji Beda Wilcoxon Pre-Test – Post-Test Skor Total Loneliness
Kelompok CG 133
4.5.Rekap Perbandingan Data Hasil Pengukuran Awal (Pre-) dan Pengukuran
Akhir (Post-) Kelompok Eksperimen (EG) dan Kelompok
Kontrol (CG) 136
4.6.a. Rekap Perbandingan Data Hasil Pengukuran Awal (pre-) dan Pengukuran akhir
Kelompok Eksperimen (EG) 139
4.6.b. Rekap Perbandingan Data Hasil Pengukuran Awal (pre-) dan Pengukuran
Akhir Kelompok Eksperimen (EG) 139
xviii
4.7. Rekap Hasil Observasi dan Interviu Selama Kegiatan Terapi
Musik Angklung 142
xix
DAFTAR GAMBAR
Diagram 4.1. Gambaran Umum Kondisi Loneliness Pra- dan Pasca-
Kegiatan Terapi Musik Angklung 134
Diagram 4.1.a. Perbandingan Skor UCLA Loneliness Scale Kelompok Kontrol (CG)
Pra- dan Pasca Kegiatan 134
Diagram 4.1.b. Perbandingan Skor UCLA Loneliness Scale Kelompok Eksperimen
(EG) Pra- dan Pasca Kegiatan 135
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Masa lanjut usia oleh sebagian besar orang dianggap sebagai masa penurunan
yang tidak dapat dihindari oleh setiap manusia. Pada masa ini terjadi penurunan
kondisi fisiologis, psikologis dan sosial, yang jika tidak dapat dilalui dengan baik
maka akan muncul hambatan-hambatan dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Ciri-
ciri usia lanjut yang cenderung menuju pada kesengsaraan serta adanya penyesuaian
diri yang buruk, membuat banyak orang merasa takut untuk menghadapi masa tua-
nya, ini terjadi khususnya dalam kebudayaan Amerika (Hurlock, 1980). Orang-orang
pada masa usia lanjut seringkali membutuhkan bantuan dan dukungan dari orang lain,
khususnya dari orang-orang terdekatnya seperti keluarga, sahabat dan kelompok
sosial seusianya. Fenomena yang banyak terjadi saat ini mereka seringkali bukan
merasa terbantu ataupun didukung melainkan lebih sering merasa terabaikan
keberadaannya, ini dapat menimbulkan perasaan tertentu dalam diri mereka seperti
sedih, kesepian, tersisihkan, dan marah. Para lansia dianggap tidak memiliki
kemampuan dan keterampilan apapun diusianya yang sudah lanjut. Bahkan mereka
oleh sebagian besar orang dianggap menyusahkan, membebani, dan merepotkan
orang lain. Anggapan ini semakin membuat orang-orang banyak yang cenderung
menjauhkan diri dari keberadaan dan kehidupan orang lanjut usia.
2
Masa tua seharusnya menjadi masa yang paling membahagiakan, karena
merupakan fase paling puncak dari tahapan kehidupan setiap manusia. Pada masa ini,
seseorang seharusnya hanya tinggal menikmati kehidupan setelah selama masa
produktifnya mereka membangun karir dan kehidupan mereka baik secara ekonomi
maupun kehidupan berkeluarga. Namun pada kenyataannya yang terjadi justru
kondisi sebaliknya, dimana mereka justru merasa terbuang, tersisihkan dan terabaikan
dari kehidupan mereka khususnya dari anak dan cucunya. Mereka justru rentan
terhadap perasaan kesepian (loneliness) di masa tuanya. Perasaan ini muncul akibat
kematian pasangan, berkurangnya minat sosial dan kesibukan yang dimiliki oleh para
anggota keluarga lainnya sehingga seringkali meninggalkan para lansia sendirian
tanpa ada yang menemani. Kondisi ini membuat beberapa orang lebih memilih
menitipkan para lansia di panti werdha dengan pertimbangan agar para lansia dapat
beraktivitas dan bersosialisasi disertai pengawasan dari pihak panti.
Penitipan para lansia di panti bukannya membantu mereka untuk lebih merasa
bahagia tapi memunculkan permasalahan baru pada diri para lansia tersebut yaitu
timbul perasaan terbuang dan perasaan kesepian, terutama mereka yang masuk ke
panti bukan keinginan sendiri. Bagi mereka yang masuk ke panti secara sukarela
tidak merasa dibuang namun perasaan kesepian tetap mereka rasakan. Tingkah laku
yang muncul dari para lansia di panti werdha tersebut antara lain seringkali
menyendiri, melamun, duduk bersama-sama tapi saling diam dan sibuk dengan
pikiran serta perasaan masing-masing, bila ada kunjungan meskipun bukan keluarga
mereka merasa senang dan berusaha mempersiapkan diri dan berdandan untuk tampil
3
sebaik mungkin. Mereka akan aktif mendekati dan mengajak berbicara (ngobrol)
dengan orang-orang yang melakukan kunjungan. Mereka mengatakan bahwa mereka
pasrah dengan keadaan yang dialami saat ini namun mereka sering merasa kesepian
meskipun mereka tinggal di panti dengan teman-teman yang sebaya mereka. (Hasil
wawancara dan observasi peneliti terhadap para penghuni di empat panti kotamadya
Bandung, 2007).
Berbagai cara sudah mulai dilakukan untuk mengatasi masalah kesepian yang
dialami oleh para lanjut usia terutama bagi mereka yang tinggal di panti werdha,
seperti memelihara binatang, keterampilan tangan, berkebun, aktivitas keagamaan
dan melalui media musik yang diterapkan dan diselenggarakan oleh pihak panti.
Berbagai cara yang dilakukan untuk mengatasi masalah baik fisik maupun psikologis
tersebut lebih sering dikenal dengan istilah terapi. Pada dasarnya terapi merupakan
prosedur untuk menyembuhkan atau meringankan suatu penyakit. Terapi sendiri
mampu membantu seseorang dalam mengatasi penyakit atau gangguan yang diderita
sehingga yang bersangkutan dapat berfungsi lagi secara optimal baik untuk dirinya
sendiri maupun orang lain.
Media terapi ada berbagai macam seperti binatang, aktivitas fisik, air, dan
musik. Musik sendiri mulai lebih dikembangkan dan diterapkan sebagai alat terapi
sejak National Association for Music Therapy mendefinisikan terapi musik pada
tahun 1960. Pengembangan serta penerapan ini dilakukan karena unsur-unsur yang
terkandung dalam musik selaras dengan unsur-unsur ritmis dalam tubuh manusia
misalkan denyut jantung, sistem pernafasan, tekanan darah dan lain sebagainya.
4
Mendengarkan musik dapat memberikan efek secara fisiologis maupun psikologis.
Musik ketika didengarkan, mengantarkan gelombang listrik yang ada di otak
pendengar sehingga secara fisiologis terdapat perubahan ritme denyut jantung dan
tekanan darah sesuai dengan frekuensi, tempo, dan volumenya (Wikipedia, 2005).
Selain itu, aktivitas mendengarkan musik dapat pula memberikan efek secara
psikologis seperti membuat seseorang merasa nyaman, bahagia, segar, dan tenang.
Bila aktivitas mendengarkan disertai dengan bermain alat musik maka seseorang
tersebut juga akan merasakan suatu kesenangan, meningkatkan kemampuan
sosialisasi dan komunikasi terutama bila bermain musik dilakukan secara bersama-
sama. (Djohan, 2006).
Menurut Djohan (2003), banyak penelitian tentang pengaruh musik dimana
dengan mendengarkan musik dapat menimbulkan emosi yang dalam istilah terapi
aktivitas ini dikatakan sebagai aktifnya berbagai kognisi dan perasaan. Dilihat dari
aspek kognitif dan aktivitas otak bisa dikatakan bahwa setiap orang yang sehat dapat
bereaksi terhadap musik baik secara fisik maupun psikis. Sementara dalam penelitian
neurologis dikatakan bahwa separuh otak manusia memiliki tugas untuk memproses
berbagai aspek pengalaman musik (Kaufman & Frisina, 1992 dalam Djohan, 2003).
Sedangkan dalam penelitian tentang emosi sebagai respon terhadap musik
menjelaskan bahwa musik dapat meningkatkan intensitas emosi dan akan lebih akurat
bila ‘emosi musik’ itu dijelaskan sebagai suasana hati (mood), pengalaman dan
perasaan yang dipengaruhi akibat mendengar musik (Sloboda, 1991 dalam Djohan,
2003).
5
Terapi musik umumnya menggunakan metoda mendengarkan musik namun
adapula beberapa kasus lain yang awalnya dimulai dari mendengarkan hingga
menggunakan alat musik untuk dimainkan terutama bagi mereka yang mengalami
keterbatasan fisik dan masalah psikologis lainnya hingga menciptakan dan
mengaransemen sebuah musik atau lagu (Don Campbell, 2002). Dalam beberapa
kasus tersebut alat musik yang digunakan seringkali alat musik dari jenis musik
klasik seperti piano, biola, harpa, bass dan genderang, jarang sekali menggunakan alat
musik tradisional terutama tradisional dari bangsa kita sendiri yaitu Indonesia
(Djohan, 2006).
Jarangnya penggunaan alat musik tradisional bangsa Indonesia dalam terapi
musik menimbulkan suatu pertanyaan dan pemikiran tersendiri bagi peneliti. Asumsi
yang muncul dari peneliti berkenaan dengan jarangnya penggunaan alat musik
tradisional Indonesia yaitu kurangnya sosialisasi, namun pada dasarnya setiap alat
musik dapat digunakan untuk media terapi musik, selama memenuhi kaidah-kaidah
dari music therapy dan dapat disesuaikan dengan permasalahan yang dialami oleh
pasien atau klien. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Djohan (2007) bahwa setiap alat
musik baik itu yang moderen maupun tradisional memiliki warna musik masing-
masing yang bersifat khas dan berbeda satu sama lain serta dapat digunakan dalam
terapi secara psikologi. Setiap bunyi yang dihasilkan suatu alat musik maupun
berbagai macam alat musik dapat menjadi sugesti tertentu yang dihayati berbeda
untuk setiap individu. Saat ini mulai dikembangkan alat musik tradisional untuk
6
digunakan sebagai kajian terapi musik, seperti gamelan, dan barok. (penelitian
Djohan, 2007, unpublised research)
Penelitian ini akan mengangkat musik sebagai bentuk terapi dengan
menggunakan alat musik tradisional berupa angklung yang merupakan alat musik
tradisional asli Indonesia tepatnya dari daerah Jawa Barat, karena angklung sedang
menjadi perbincangan hangat dimulai dengan banyaknya seminar-seminar yang
membahas mengenai kesenian angklung sebagai alat musik khas Jawa Barat yang
disampaikan oleh beberapa pemerhati kesenian tradisional Jawa Barat seperti Bapak
Obby A. R. Wiramiharja, Masyarakat Musik Angklung (MMA), serta sebuah pusat
kesenian sunda dan kerajinan angklung yang lebih dikenal sebagai saung angklung
Udjo, selain itu angklung sudah dimainkan dimana-mana bahkan mengglobal sampai
ke mancanegara. Pembicaraan mengenai angklung yang terhangat adalah saat negara
tetangga yaitu Malaysia berusaha mematenkan bahwa angklung merupakan alat
musik yang berasal dari negara mereka. Padahal keberadaan angklung sudah ada
sejak jaman kerajaan Sunda atau kerajaan Pasundan sebelum abad 15 yang digunakan
untuk upacara adat dalam rangka menghormati keberadaan Dewi Sri atau Dewi Padi.
Angklung dimainkan secara bersama-sama oleh para petani sebagai persembahan
terhadap Dewi Sri. Adanya mitos ini dapat dikatakan bahwa angklung merupakan
refleksi dari kehidupan masyarakat petani dimana dapat memberikan semangat dan
kegembiraan bagi para petani untuk terus bercocok tanam (P4ST UPI, 2003). Filosofi
yang ada dalam angklung di atas dapat dianalogikan pada tubuh seorang manusia,
dimana dengan adanya refleksi bahwa angklung dapat memberikan kesenangan dan
7
menambah semangat para petani diharapkan dapat pula dirasakan oleh manusia
secara keseluruhan.
Filosofi angklung yang merefleksikan keadaan yang penuh kesenangan dan
menambah semangat serta efek warna suara yang dihasilkan oleh angklung belum
terbukti secara empiris, sehingga masih perlu diadakan suatu kajian ilmiah terutama
dalam bentuk kajian yang berpengaruh secara psikologis pada setiap diri individu.
Angklung telah dikembangkan oleh bapak Daeng Sutigna dengan mottonya
untuk angklung adalah 5 M: Murah, Mudah, Menarik, Massal, dan Mendidik (Obby
A R. Wiramihardja, 1989). Berdasarkan motto tersebut maka diharapkan siapapun
termasuk para lansia ataupun orang-orang yang mengalami keterbatasan tidak akan
mengalami kesulitan untuk memainkannya. Mereka hanya perlu menggoyangkan
angklung dengan menggunakan sedikit energi yang dikeluarkan tanpa memerlukan
bakat khusus (talenta) di bidang musik, namun hasil yang dirasakan dapat optimal
dan memiliki harmonisasi nada yang indah. Selain itu, mereka juga tidak akan merasa
malu karena mereka cenderung akan memainkan angklung secara bersama-sama
sehingga diharapkan dapat memotivasi mereka untuk bermain dan berlatih, serta
menambah kesenangan dan kegembiraan ketika mendengarkan maupun bermain
angklung. Selain itu, dengan bermain angklung secara bersama-sama diharapkan
dapat pula menambah kemampuan komunikasi, kemampuan sosialisasi, rasa
kepercayaan diri, semangat hidup dan peningkatan penghargaan terhadap diri sendiri
bahwa diri mereka masih mampu melakukannya, masih mampu untuk berkarya dan
menunjukkan keterampilan mereka, karena pada dasarnya lansia terutama yang
8
mengalami penghayatan perasaan kesepian (loneliness) membutuhkan kebersamaan
dengan orang lain.
Pada kenyataannya, di panti jompo Sandbühl, Schlieren Swiss, angklung sudah
sepuluh (10) tahun lebih digunakan sebagai terapi untuk melatih gerakan tangan para
lansia yang sudah tidak terkontrol atau sulit untuk dikontrol. Hal ini menjadi suatu hal
yang ironis, dimana angklung yang merupakan alat musik tradisional Jawa barat
Indonesia lebih dahulu digunakan di luar negeri sebagai alat terapi dibandingkan oleh
kita sendiri sebagai negara asalnya. Namun, hal ini semakin memperkuat motivasi
peneliti untuk meneliti lebih lanjut mengenai angklung yang digunakan sebagai
bentuk terapi musik untuk mengatasi permasalahan psikologis yaitu kesepian
(loneliness).
1.2. Rumusan Masalah
Periode lanjut usia adalah periode yang rentan mengalami kesepian yang
disebabkan karena kehilangan pasangan, berpisah dengan anak-anak yang semakin
dewasa, kehilangan relasi dengan teman sebaya. Hasil wawancara dan observasi
peneliti terhadap penghuni yang tinggal di empat panti kotamadya Bandung,
ditunjang dengan hasil liputan wawancara yang dilakukan oleh media Pikiran Rakyat
dan beberapa hasil penelitian terdahulu, sebagian besar penghuni panti werdha
mengalami perasaan kesepian. Tingkah laku yang muncul seperti murung, sedih,
melamun, malas berbaur dengan teman-teman di panti, namun ketika menerima
kunjungan maka mereka sangat antusias untuk menyambut para tamu.
9
Pada dasarnya banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi perasaan
kesepian, misalkan meningkatkan aktivitas pertemanan, mengerjakan hobi,
memelihara binatang peliharaan, aktivitas keagamaan dan mendengarkan musik dari
radio atau televisi. Musik sendiri sudah banyak diteliti dan memiliki pengaruh
terhadap fungsi-fungsi fisiologis, psikologis serta peningkatan suasana hati (mood).
Penelitian-penelitian terdahulu dari terapi musik lebih banyak menggunakan alat
musik dari luar negeri yang lebih bersifat klasik atau moderen, sehingga seringkali
membuat alat musik tradisional terlupakan. Pemikiran peneliti, pada dasarnya semua
alat musik dapat digunakan untuk menjadi bagian dari terapi musik, sehingga alat
tradisional juga dapat dijadikan media dalam terapi musik termasuk angklung.
Berdasarkan pemikiran peneliti di atas, angklung sebagai alat musik tradisional
diharapkan dapat menjadi salah satu kajian dalam terapi musik. Motto angklung yang
dikembangkan oleh Bapak Daeng Soetigna juga menambah nilai dasar dari angklung
untuk dapat digunakan sebagai alat terapi musik. Oleh karena itu, pertanyaan pada
penelitian ini adalah :
“Apakah terapi musik angklung dapat berperan untuk menurunkan
perasaan kesepian pada orang lanjut usia yang tinggal di panti werdha?”
1.3. Maksud, Tujuan dan Kegunaan Penelitian
10
Maksud dari penelitian ini adalah mengangkat alat musik angklung sebagai
bagian dari kajian terapi musik yang dapat digunakan untuk kepentingan terapi dalam
bidang psikologi khususnya penurunan perasaan kesepian pada orang lanjut usia.
Tujuan dari penelitian ini adalah melihat pengaruh pemberian terapi musik
angklung untuk mengatasi masalah perasaan kesepian (loneliness) yang dialami para
lanjut usia di Panti Werdha yaitu dengan mendapatkan data empiris untuk
mengembangkan bentuk intervensi metode terapi musik dengan menggunakan alat
musik angklung.
Kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
a. Aspek praktis : rancangan terapi musik dengan menggunakan alat musik
angklung dapat digunakan sebagai keperluan terapi terutama untuk penurunan
perasaan kesepian pada orang lanjut usia.
b. Aspek teoritis : dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan terapi
khususnya terapi musik dengan menggunakan angklung sebagai alat musik
tradisional asli dari daerah Jawa Barat Indonesia, sehingga selanjutnya dapat
menjadi suatu kajian preventif terhadap permasalahan loneliness.
c. Aspek edukatif : hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
bagi penelitian lain dalam mengembangkan rancangan intervensi psikologis
berupa terapi musik dengan menggunakan angklung sebagai alat musik
tradisional asli dari daerah Jawa Barat Indonesia khususnya dalam konteks
11
penurunan perasaan kesepian pada orang lanjut usia terutama yang tinggal di
panti werdha.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS
2.1. Kajian Pustaka
2.1.1. Usia Lanjut
2.1.1.1. Definisi Usia Lanjut
Psikologi perkembangan biasanya mengacu pada perbedaan organisme sejalan
dengan usia kematangan fisik, dan usia lanjut menunjuk pada perubahan-perubahan
atau diferensiasi yang terjadi setelah usia kematangan fisik (Birren & Schaie, 1977).
Selain itu, terdapat beberapa definisi mengenai usia lanjut, salah satunya adalah yang
dikemukakan oleh Handler (1960; dalam Birren & schaie, 1977:4) yaitu usia lanjut
adalah deteriorisasi atau kemunduran pada organisme yang matang sebagai akibat
dari ketergantungan pada waktu, perubahan-perubahan hakiki yang secara esensial
tidak dapat dikembalikan, yang terjadi pada semua anggota dari suatu spesies,
sedemikian rupa sejalan dengan berlalunya waktu, mereka menjadi semakin tidak
dapat mengatasi tekanan-tekanan lingkungan, sehingga meningkatkan kemungkinan
kematian.
Birren & Schaie (1977) menyatakan bahwa usia lanjut menunjuk pada
perubahan yang teratur yang terjadi pada organisme representatif yang matang secara
genetis, yang hidup di bawah kondisi lingkungan yang representatif sejalan dengan
kelanjutan usia kronologis mereka. Selanjutnya uraian tentang usia lanjut akan dibagi
menjadi 3 aspek yaitu biologis, psikologis, dan sosiologis.
13
2.1.1.2. Karakteristik Usia Lanjut
Usia lanjut merupakan periode penutup dalam rentang kehidupan seseorang.
Menurut Hurlock (1980), biasanya usia 60 tahun dipandang sebagai garis pemisah
antara usia madya (pertengahan) dan usia lanjut, walaupun telah disadari bahwa usia
kronologis merupakan kriteria yang kurang baik dalam menandai permulaan usia
lanjut karena perbedaan tertentu di antara individu-individu dalam memulai periode
usia lanjut mereka. Menurut Kalish (1977), cara lain untuk mengetahui seseorang
telah lanjut usia adalah dengan melihat perubahan penampilan fisik, kemampuan
kognitif, peran sosial, kesehatan, dan aspek-aspek psikologis tertentu (Turner &
Helms, 1987:433).
Ada beberapa ahli yang membagi usia lanjut ke dalam beberapa tahap.
Menurut Hurlock (1980), masa tua dibagi dalam dua tahap, yaitu:
1. Early old-age (usia 60 - 70 tahun)
2. Advanced old-age (mulai usia 70 tahun ke atas)
Burnside (1979), membagi usia lanjut dalam tahap-tahap sebagai berikut:
l. Young-old ( usia 60 - 69 tahun)
Merupakan masa transisi utama, karena kebanyakan lansia harus beradaptasi
dengan struktur peran yang baru sebagai usaha untuk mengatasi berbagai
kehilangan yang terjadi pada dekade ini, seperti penurunan pendapatan, teman
mulai berkurang, dan kekuatan fisik mulai menurun.
14
2. Middle age-old (usia 70 - 79 tahun)
Ditandai dengan berbagai kehilangan dan penyakit, teman dan keluarga semakin
banyak yang meninggal. Selain itu, partisipasi dalam masyarakat makin
berkurang, masalah kesehatan juga sangat terasa. Ada penurunan aktivitas
seksual, yang disebabkan oleh kematian pasangan hidup.
3. Old-old (usia 80 -89 tahun)
Lansia akan mengalami kesulitan dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan
lingkungan. Mereka membutuhkan bantuan untuk mempertahankan kontak sosial
dan budaya.
4. Very old-old (usia 90 -99 tahun)
Masalah kesehatan akan semakin menjadi-jadi. Bila krisis-krisis pada tahap-
tahap sebelumnya dapat diatasi dengan baik, maka dekade sembilan puluhan ini
dapat memberikan kebahagiaan, kegembiraan, dan kepuasan.
Berkaitan dengan bervariasinya kriteria usia lanjut, Havighurst (1957)
mengungkapkan bahwa tak ada pembatasan usia lanjut yang pasti, peran sosial lansia
yang lebih menentukan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada Sidang Umum
tentang Lanjut Usia tahun 1991 menetapkan kriteria usia lanjut adalah 60 tahun ke
atas, dan hal ini berlaku secara internasional.
Sama seperti pada tahap-tahap usia lainnya, usia lanjut juga memiliki tugas-
tugas perkembangan, yang menurut Duval (1971, dalam Pikunas, 1976: 366) adalah
sebagai berikut:
1. Menentukan tempat tinggal yang memuaskan untuk menghabiskan masa tua.
15
2. Menyesuaikan diri dengan uang pensiun yang diperolehnya.
3. Mengukuhkan kegiatan rutin rumah tangga yang memuaskan.
4. Memelihara hubungan dengan pasangan hidup.
5. Menghadapi kematian diri sendiri atau mempersiapkan diri hidup tanpa
pasangan.
6. Memelihara hubungan dengan anak dan cucu.
7. Memelihara hubungan dengan kerabat atau sanak keluarga.
8. Memelihara hubungan dengan lingkungan sekitar.
9. Menemukan makna atau arti hidup.
Usia lanjut juga dikatakan sebagai suatu periode kemunduran. Manusia selalu
berubah secara konstan, tidak statis. Selama bagian awal kehidupan seseorang, terjadi
perubahan-perubahan yang sifatnya evolusional, dalam arti bahwa individu selalu
menuju pada kedewasaan dan keberfungsian. Namun pada bagian usia selanjutnya,
mereka tidak evolusional lagi dan perubahan tersebut dikenal dengan istilah ‘menua’,
yang mempengaruhi struktur fisik maupun mental.
Dalam periode usia lanjut, terjadi kemunduran baik fisik maupun mental secara
perlahan dan bertahap, yang prosesnya disebut sebagai senescence, yaitu masa proses
menjadi tua. Seseorang akan menjadi semakin tua pada usia lima puluhan, pada awal
atau akhir usia enampuluhan, tergantung pada laju kemunduran fisik dan mentalnya.
Kemunduran fisik dan mental ini membawa juga perubahan minat dan keinginan
pada lansia. Minat tersebut antara lain meliputi minat terhadap diri sendiri, minat
terhadap penampilan, minat untuk berekreasi, minat untuk melakukan kontak sosial
16
(Hurlock, 1980). Orang akan menjadi semakin dikuasai oleh dirinya sendiri apabila
dirinya bertambah tua, dimana mereka lebih banyak berpikir tentang dirinya sendiri
daripada orang lain dan kurang memperhatikan keinginan atau kehendak orang lain.
Lansia juga cenderung untuk mengeluh tentang kesehatan dan suka membesar-
besarkan penyakit ringan yang dideritanya. Lansia juga tampak begitu dikuasai oleh
dirinya sendiri, sehingga mereka tidak habis-habisnya menceritakan pengalaman masa
lalunya setiap saat, berharap untuk dilayani dan selalu ingin menjadi pusat perhatian.
Banyak lansia tetap menganggap penting penampilan, tetapi banyak juga yang
menunjukkan sikap tidak perduli terhadap penampilannya. Ada beberapa penjelasan
tentang menurunnya keinginan untuk memperhatikan penampilannya. Semakin aktif
seseorang dengan kegiatan sosial, semakin terangsang mereka untuk merawat diri agar
penampilannya lebih menarik. Sebaliknya, orang yang mengundurkan diri dari kegiatan
sosial, mempunyai motivasi yang lebih rendah dalam menjaga dan merawat
penampilan tubuhnya. Status ekonomi dan tempat tinggal juga mempengaruhi minat
lansia dalam memperhatikan penampilan. Status ekonomi yang rendah akan membuat
lansia lebih memprioritaskan biaya hidupnya untuk kebutuhan sehari-hari. Demikian
juga lansia yang tinggal sendiri mempunyai minat yang lebih rendah untuk menjaga
penampilannya bila dibandingkan dengan lansia yang tinggal dengan pasangan
hidupnya atau dengan anak dan cucunya.
17
2.1.1.3. Aspek Biologis dari Usia Lanjut
Usia lanjut biasanya menunjuk kemunduran pada tubuh dan tingkah laku yang
berkaitan dengan umur (Perlmutter & Hall, 1985). Perubahan-perubahan biologis yang
terkait dengan normal aging terjadi secara bertahap dan kumulatif. Pada proses
menua, tubuh kehilangan kemampuan untuk memperbaiki kerusakan sel-sel, organ-
organ, dan jaringan, sehingga akhirnya terjadi kerusakan (breakdown) dalam integrasi
sistem tubuh (Shock, 1977b; dalam Perlmutter & Hall, 1985:82). Saat seseorang
memasuki tahap biologis terakhir dalam hidupnya, kemampuannya untuk beradaptasi
dengan tantangan lingkungan berkurang, sehingga mengurangi kesempatan mereka
untuk bertahan (Rockstein & Sussman, 1979; dalam Perlmutter & Hall, 1985:68).
Proses aging (menua) lebih lanjut diuraikan dalam dua macam proses, yaitu
primary aging dan secondary aging. Primary aging yang juga dikenal sebagai normal
aging, terjadi pada setiap individu. Sifatnya universal dan tidak bisa dihindarkan,
terdiri dari perubahan gradual dan terkait dengan usia, yang bisa diamati pada setiap
anggota spesies. Primary aging ini terjadi lebih awal dalam kehidupan dan
mempengaruhi semua sistem tubuh. Tanda-tanda primary aging yang terlihat antara
lain: rambut yang mulai memutih dan jarang, bercak-bercak pigmentasi di balik
lengan, melambannya gerakan, berkurangnya penglihatan dan pendengaran. Respons
terhadap suhu mulai melamban. Efektivitas sistem kekebalan untuk melindungi tubuh
dari infeksi semakin menurun. Pemulihan akibat pengerahan tenaga fisik
membutuhkan waktu lebih lama. Terdapat pula perbedaan tingkat kerentanan
terhadap penyakit yang dipengaruhi secara genetis.
18
Secondary aging terjadi pada sebagian besar orang, tapi tidak universal dan
dapat dihindarkan. Karena perubahan-perubahan yang diasosiasikan dengan
secondary aging berkorelasi dengan usia kronologis, maka perubahan yang terjadi
sering dianggap sebagai hal yang tidak bisa dihindarkan pada proses primary aging.
Secondary aging adalah hasil dari penyakit, kurangnya latihan (disuse), atau
penyalahgunaan (abuse). Pada lansia, hubungan antara umur dengan penyakit adalah
sangat kuat, hal ini dapat dilihat dari hampir 85 % individu di atas 65 tahun memiliki
sekurangnya satu penyakit kronis dan sekitar 50 % mengatakan bahwa aktivitas
normal mereka dalam beberapa hal dibatasi oleh kondisi mereka (Shanas & Maddox,
1976; dalam Perlmutter & Hall, 1985:70). Selain penyakit kronis yang hanya bisa
dikontrol dan tidak bisa disembuhkan, lansia juga sering mempunyai masalah dengan
penyakit-penyakit akut.
Disuse dapat menyebabkan secondary aging pada semua bagian sistem tubuh.
Kurangnya latihan dapat menyebabkan otot atropi (berhenti pertumbuhannya) dan
menjadi kaku. Banyak lansia tidak melakukan aktivitas atau olah raga karena mereka
berpendapat tidak mampu untuk itu dan karena mereka berpikir bahwa latihan itu
tidak baik untuk mereka. Padahal, dengan tidak menggunakan tubuh mereka, efek
secondary aging menjadi lebih cepat.
Penyalahgunaan (abuse) adalah penyebab ketiga dari secondary aging.
Bentuk yang jelas dari penyalahgunaan yang membawa kerusakan adalah merokok,
minum minuman beralkohol, terlalu banyak makan, dan kurang gizi. Perlakuan yang
tidak baik terhadap tubuh akan membuat tubuh semakin rentan terkena penyakit,
19
seperti kanker, serangan jantung, stroke, hipertensi, diabetes, dan penyakit-penyakit
lainnya.
2.1.1.4. Aspek Psikologis dari Usia Lanjut
2.1.1.4.1. Penginderaan dan Persepsi
Sejalan dengan meningkatnya usia, sistem penginderaan secara perlahan
menjadi kurang sensitif terhadap stimulus dari lingkungan, sehingga dapat membatasi
pengetahuan tentang dunia dan terkadang mengganggu kemampuan untuk
berkomunikasi dengan orang lain. Woodruff (1983; dalam Perlmutter & Hall, 1985:
182) menyatakan bahwa jika dibandingkan dengan orang muda, orang usia lanjut
berada pada kondisi deprivasi penginderaan. Kondisi ini bertanggung jawab atas
terjadinya disorientasi dan kebingungan, bila tidak terdapat kerusakan organis pada
otak.
Pada lansia terjadi perubahan-perubahan dalam penginderaan, namun yang
penting untuk dikemukakan di sini adalah kemunduran dalam penglihatan dan
pendengaran. Akibat menurunnya kemampuan organ mata, akomodasi mata menjadi
kurang efisien dan fungsi indera visual mengalami kemunduran. Orang usia lanjut
menjadi kurang peka terhadap warna dan mengalami kerusakan persepsi kedalaman.
Sejalan dengan bertambahnya usia, pemrosesan informasi visual menjadi lamban, dan
muncul stimulus persistence (Botwinick, 1973; dalam Perlmutter & Hall, 1985: 186)
yang ditampakkan oleh perubahan dalam sensitivitas terhadap kedipan.
20
Kehilangan kemampuan pendengaran berkembang secara gradual sejalan
dengan usia. Perubahan saraf dapat merusak diskriminasi pengucapan, dan tinnitus
(suara dering, deru, atau dengungan yang persisten di telinga) mungkin juga terdapat
pada problem pendengaran lansia. Kesulitan pendengaran memungkinkan
berkembangnya simptom-simptom paranoid, atau seorang lansia menjadi terisolasi
secara sosial. Proses auditory yang lambat tampaknya menyebabkan
ketidakmampuan untuk membedakan bunyi ucapan. Meningkatkan intensitas ucapan
belum tentu mengatasi masalah dan stress akan semakin mengurangi kemampuan
tersebut.
Berkurangnya fungsi penginderaan mungkin merupakan kehilangan
kemampuan (yang terkait dengan penuaan) yang sifatnya hampir universal.
Bagaimanapun, beberapa orang menunjukkan hanya sedikit kerusakan penginderaan
walaupun telah berusia lanjut.
2.1.1.4.2. Belajar dan Memory (Daya Ingat)
Semua pemfungsian kognitif dapat dimasukkan dalam istilah pemrosesan
informasi, dimana individu mengambil informasi dari lingkungan, kemudian
memanipulasi, menyimpan, mengklasifikasi, dan mendapatkannya kembali. Dengan
proses belajar dan mengingat, informasi ditransfer di dalam sistem, sehingga sulit
untuk memisahkan kedua proses tersebut. Meskipun penuaan biologis terlibat dalam
belajar dan memori, faktor-faktor lain juga penting, termasuk perbedaan
21
pemfungsian kognitif yang didapat dari situasi kehidupan, penurunan ketrampilan
kognitif, dan depresi.
Tingkat penurunan dalam keterampilan belajar dan usia dimana hal itu
dimulai tidak diketahui. Pengkondisian klasikal tampaknya memerlukan waktu lebih
lama dan respons mungkin melemah pada orang dewasa di atas 60 tahun.
Pengkondisian operant tampaknya efektif pada orang dewasa usia berapa pun. Lansia
dapat mempelajari keterampilan kognitif walaupun keterampilan mereka mengalami
deterioriasi karena kurangnya latihan atau kurangnya motivasi. Faktor-faktor yang
memberi kontribusi pada perbedaan usia dalam studi tentang belajar adalah motivasi,
kewaspadaan lansia, distrakbilitas, dan interferensi retroaktif atau proaktif.
Sistem memori meliputi sensory memory, yaitu tempat informasi lingkungan
didaftarkan secara cepat; short term memory, yaitu tempat informasi disimpan dalam
kesadaran; dan long term memory, yaitu tempat ingatan, pengetahuan, dan
pengalaman lampau disimpan. Dalam short term memory, yaitu tempat informasi
diatur untuk pengkodean dalam long term memory, kecepatan dan fleksibilitas
menurun seiring usia. Dalam long term memory, informasi disimpan dalam bentuk
ingatan episodik atau semantik, dan penyimpanan ini tidak dipengaruhi oleh penuaan.
Sejalan dengan usia, terdapat kesulitan untuk mendapatkan kembali ingatan episodik,
tetapi recall ingatan semantik maupun recognition tidak mengalami penurunan berarti.
Pengkodean juga menunjukkan masalah bagi lansia yang disebabkan oleh defisiensi
produksi, dimana lansia gagal menggunakan strategi mengingat secara spontan
walaupun pada saat muda mereka memiliki metamemory yang baik, kegagalan untuk
22
menggunakan strategi mengingat disebabkan oleh penurunan sejumlah energi yang
tersedia pada lansia. Disamping itu, lansia mungkin mengkodekan informasi secara
kurang spesifik dan kurang terdiferensiasi, sehingga untuk mendapatkan kembali
informasi menjadi lebih sulit.
2.1.1.4.3. Proses Belajar dan Pembelajaran (Learning & Education) Pada Lansia
Dalam beberapa buku ada fakta menyebutkan bahwa beberapa para lansia
memiliki motivasi belajar yang sangat tinggi, pengalaman dan tes performance yang
sangat tinggi pula terutama bagi mereka yang masih menggunakan atau menjaga
minat mereka terhadap lingkungan sekitar dan juga bagi mereka yang selalu
menggunakan kemampuan problem solving, mereka akan mengalami sedikit
penurunan drastis akibat dari usia.
Pendidikan memegang peranan penting, karena tingkat pendidikan yang
tinggi menunjukkan daya tahan yang luar biasa terhadap penurunan intelektual
daripada mereka yang berpendidikan rendah. Para lansia yang suka membaca buku
dan mengikuti kursus-kursus, tergabung dalam berbagai aktivitas juga menunjukkan
daya tahan yang tinggi pula. Hal ini memperkuat bahwa usia memiliki keeratan yang
negatif terhadap penurunan kemampuan kognitif seseorang. (Jarvik & Bank, 1983;
Schaie, 1983; Siegler, 1983 dalam Aiken, 1995).
Beberapa pendapat menyatakan bahwa lansia sebagai orang yang belajar
(older learner) adalah rigid atau ‘tetap dalam cara mereka’. Konsekuensinya, mereka
memiliki kesulitan untuk mempelajari hal baru, bukan karena pengurangan kapasitas
23
tapi karena pengetahuan lama dan kebiasaan dalam cara mendapatkan pembelajaran
baru. Pembelajaran yang berkelanjutan dan penggunaan problem solving pada lansia
dapat bertahan dan bahkan meningkatkan kemampuan intelektual, sikap, dan minat,
yang kesemuanya saling berinteraksi terhadap performance.
Karakteristik older learner yang perlu dipahami oleh para pengajar yaitu :
1. Lansia memerlukan cara pemberian materi yang lebih lambat.
2. Mengulang materi beberapa kali (jika perlu), karena pengulangan dapat
memperbaiki gangguan atau perhatian yang kurang.
3. Ajari para older learner bagaimana cara mengorganisasi atau encode materi
yang dipelajari secara semantik. Asosiasi imaginer, dan teknik mnemonik
lainnya.
4. Menggunakan beberapa reinforcement positif dan meningkatkan pengalaman
atas kesuksesan sebelumnya (jika diperlukan).
5. Merancang tujuan jangka pendek yang dapat dicapai oleh older learner dengan
jangka waktu yang masuk akal.
6. Karena para lansia mudah merasa lelah, waktu untuk praktek dari materi yang
diberikan harus lebih singkat bila dibandingkan dengan younger learner.
7. Ketika mendemokan yang berkaitan dengan kemampuan fisik, usahakan
dijabarkan dengan bantuan lisan untuk setiap tahapan apa saja yang sedang
dilakukan sambil dipraktekan oleh pengajar.
8. Hati-hati dan buat pengecualian bagi para lansia yang mengalami gangguan
visual dan auditory; seperti pencahayaan yang harus lebih terang dan cerah,
24
cara bicara dan alat bantu harus lebih keras volumenya, materi ditulis dengan
tulisan atau huruf yang ukurannya lebih besar, dan sebagainya.
Penurunan dalam kemampuan belajar dan mendapatkan atau memahami
informasi baru dipengaruhi oleh perubahan sensori dan latihan, dan beberapa hal lain
seperti bentuk materi yang terlalu kompleks untuk para lansia. Mekanisme memori
terkandung didalamnya yaitu encoding, storage dan retrival. Hal ini dapat
dipengaruhi pula oleh situasi, tipe informasi dan bagaimana informasi tersebut
digunakan (Lovelace, 1990). Kesulitan yang dialami dari setiap tahapan dapat
mengganggu proses memori (Zacks, Hasher, & Li, 2000). Short Term Memory dan
Long Term Memory serta kemampuan untuk memahami ide-ide baru merupakan
kemampuan mental yang akan mengalami penurunan dikarenakan faktor usia.
2.1.1.4.4. Kepribadian
Banyak orang yakin bahwa penuaan mempengaruhi kepribadian dalam
berbagai cara yang dapat diperkirakan, dan mereka telah mengembangkan ide-ide
stereotipe mengenai perubahan tersebut. Hans Thomae (1980; dalam Perlmutter &
Hall, 1985:272) telah melaporkan bahwa para murid melihat lansia itu keras kepala,
mudah tersinggung, bossy, dan sering mengeluh secara berlebihan. Orang Jerman
menyebut mereka tidak aktif dan menarik diri. Lansia juga digambarkan sebagai
manusia yang tidak kompeten, dependen, dan pasif. Psikiater menganggap mereka itu
kaku (rigid), mudah tersinggung, dan ekstrim. Hurlock (1980) pun menggambarkan
lansia sebagai manusia yang menjengkelkan, dengan sifat-sifat mudah marah, pelit,
25
suka bertengkar, banyak menuntut, egois, semaunya sendiri, dan umumnya sulit
menyesuaikan diri.
Studi-studi menunjukkan bahwa karakteristik kepribadian dari masa muda ke
dewasa tua tidak berubah pada orang dewasa sehat yang tinggal dalam komunitas
(Thomae, 1980; dalam Perlmutter & Hall, 1985:273). Tidak ada masalah mengenai
pendekatan teoritis mana yang digunakan, kepribadian tetap stabil (McCrae &
Costa, 1982; dalam Perlmutter & Hall, 1985:273). Kepribadian cenderung untuk
tetap stabil sepanjang ada kontinuitas situasi kehidupan (Moss & Susman,1980;
dalam Perlmutter & Hall, 1985:277).
Gangguan kepribadian yang timbul pada lansia lebih disebabkan oleh kondisi
sosial yang dapat menimbulkan perasaan tidak aman. Banyak lansia yang
menunjukkan penyimpangan perilaku di bawah tekanan-tekanan yang mereka alami
ketika muda. Kemudian ditimpa oleh tekanan karena masalah yang misalnya
berhubungan dengan kematian pasangan hidup, pensiun, berkurangnya teman, atau
perubahan tempat tinggal (Hurlock, 1980).
2.1.1.4.5. Keterlibatan Komunitas dan Dukungan Sosial
Kehadiran orang dewasa di tempat peribadatan cenderung stabil sampai
umur 65 tahun; lalu mengalami penurunan, yang berkaitan dengan kesehatan.
Perbedaan kohort dan waktu historis yang muncul mempengaruhi kehadiran di
tempat peribadatan. Berbagai penurunan waktu kehadiran di tempat peribadatan
yang sejalan dengan usia, mungkin diimbangi dengan kegiatan religius pribadi, dan
26
tampaknya terdapat peningkatan pemaknaan agama secara pribadi di antara para
lansia.
Meskipun studi-studi cross-sectional mengindikasikan peningkatan
konservatisme seiring usia, pendidikan, dan situasi historis perlu diperhitungkan
dalam peningkatan tersebut. Kebanyakan orang mempertahankan orientasi politis
saat mereka muda, yang dimodifikasi oleh trend umum dalam masyarakat. Aktivitas
politik cenderung memuncak selama usia 50-an, tapi tidak menurun seiring usia.
Usia dapat digunakan untuk status bantuan, untuk mendapat hak-hak istimewa, atau
untuk menghindari kewajiban tertentu. Diskriminasi melawan orang lanjut usia
biasanya terjadi pada pekerjaan, karena usia bukan lagi prediktor kemampuan atau
kebutuhan, telah dinyatakan bahwa semua program sosial didasarkan oleh
kebutuhan, bukan usia, maka tanda usia lanjut dipindah dari umur 65 tahun ke 75
tahun.
Kebanyakan orang Amerika, termasuk lansia, tinggal di rumah atau
apartemen, dengan kepemilikan rumah yang mantap seiring usia. Meskipun hanya
sejumlah kecil lansia yang tinggal di age-segregated housing, sebagian besar yang
memilih tinggal di tempat tersebut cukup merasa puas. Pindah ke perumahan umum
age-segregated mengakibatkan penurunan pada beberapa individu dan perbaikan
pada individu-individu yang lain. Congregate housing mendukung sosialisasi dan
interdependensi diantara lansia. Memasuki sebuah rumah perawatan seringkali
diikuti oleh penurunan atau kematian, sebagian disebabkan karena individu yang
memasuki institusi itu cenderung memiliki kesehatan yang buruk, sebagian terjadi
27
karena lingkungan biasanya tidak menstimulasi, dan sebagian karena lingkungan
tampaknya mengajarkan ketidakberdayaan. Studi-studi menunjukkan bahwa
mengembalikan beberapa kontrol kepada penghuni akan mengurangi stress,
memperbaiki kesehatan, dan kepuasan. Lansia yang agresif pada umumnya akan
lebih baik daripada yang pasif, dalam suatu institusi.
Program-program sosial tampak didukung oleh publik ketika kelompok yang
memerlukan bantuan tidak memiliki alternatif sumber pertolongan, ketika program
itu memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang esensial, ketika program membuat
seorang individu tidak begitu tergantung pada orang lain, dan ketika individu yang
membutuhkan tidak menyebabkan kondisi tersebut. Outreach service mencoba
untuk menempatkan lansia dan menginformasikan kepada mereka berbagai program
pendukung, termasuk pelayanan kesehatan, program nutrisi, pelayanan transportasi,
dukungan sosial, pelayanan hukum, dan foster care. Pelayanan yang suportif
ditujukan untuk meningkatkan partisipasi lansia dalam komunitas, memperluas
kapasitas mereka, dan membantu mereka menyesuaikan diri dengan peran sosial
yang baru (Perlmutter & Hall, 1985).
2.1.1.5 Aspek Sosiologis dari Usia Lanjut
2.1.1.5.1 Hubungan Keluarga
Hubungan antara kakek-nenek dan cucu dipengaruhi oleh suku, agama,
tingkat sosial ekonomi, dan kepribadian. Ikatan istimewa seringkali berkembang
antara kakek-nenek dengan cucu, dan hubungan ini memungkinkan kakek-nenek
28
melawan norma yang menghargai tingkah laku sesuai umur dan memberi
kesempatan melakukan kontak fisik yang penuh afeksi. Robinson (1989; dalam
L'Abate, 1994:211) menyatakan bahwa hubungan kasih sayang dengan cucu-cucu
dapat membantu mengkompensasikan beberapa hal yang `hilang' karena penuaan,
khususnya jika kakek-nenek tersebut merasa mereka memiliki sesuatu yang berharga
untuk diberikan kepada cucu-cucunya. Wanita lansia mengekspresikan kepuasan yang
lebih besar lagi jika cucu-cucu mereka masih kecil dan jika mereka memiliki tanggung
jawab (meskipun bukan tanggung jawab penuh) untuk membantu cucunya (Thomas,
1989, 1990, dalam L’Abate, 1994. p. 212). Sebagian besar lansia sering
berhubungan dengan anak-anak mereka yang sedang berkembang, menerima
dukungan emosional dan sosial yang konsisten sebagai alat dalam menghadapi krisis.
Banyak keluarga terdiri dari tiga generasi (kakek-nenek, ayah-ibu, anak) dan
kebanyakan lansia yang tinggal bersama-sama anaknya menganggap hal tersebut
adalah kebutuhan, bukan suatu pilihan. Kesenjangan pandangan antara orang tua dan
anak yang telah dewasa tentang hubungan mereka menyebabkan saat orang tua
memasuki usia lanjut, anak-anak yang telah dewasa bertanggung jawab atas dua
generasi selain mereka sendiri. Keluarga yang lebih kecil mungkin akan membuat
lansia di masa mendatang tidak lagi memiliki sumber keluarga yang tersedia seperti
sekarang dan trend ke arah age-irrelevancy membatasi anak yang sedang berkembang
dalam menyediakan pelayanan bagi orang tua yang telah lanjut usia.
Kehidupan lansia pada umumnya ditunjang oleh anak-anak mereka yang telah
dewasa, baik dalam hal materi maupun emosional (Kennedy, 1978). Hal ini
29
menyebabkan lansia lebih memilih untuk tetap tinggal bersama dengan anak-anak dan
cucu-cucunya. Tetapi ada pula lansia yang memilih untuk tinggal berdua saja dengan
pasangan hidupnya, atau untuk lansia yang telah ditinggal oleh pasangannya memilih
untuk tinggal sendiri saja atau di panti werdha (Kennedy, 1978).
Lansia mempunyai keterikatan dan ketergantungan yang semakin kuat dengan
pasangan hidupnya. Orientasi hubungan akan semakin terpusat pada pasangannya,
karena hubungannya dengan anak-anak semakin berkurang. Lansia yang kehilangan
pasangan hidupnya karena kematian akan menghadapi kecemasan, merasa tidak
berdaya dan putus asa, yang disebabkan oleh keinginannya untuk bergantung pada
orang lain dan diperhatikan oleh orang lain (Walsh, 1980).
2.1.1.5.2 Hubungan Sosial
Kemunduran fisik dan mental yang dialami orang yang telah lanjut usia
membuat minat dan keinginannya mengalami perubahan. Minat tersebut antara lain
meliputi minat terhadap diri sendiri, yaitu minat terhadap penampilan, minat untuk
berekreasi, dan minat untuk melakukan kontak sosial (Hurlock, 1980). Orang akan
menjadi semakin dikuasai oleh dirinya sendiri apabila bertambah tua, dia lebih
banyak berpikir tentang dirinya sendiri daripada orang lain dan kurang
memperhatikan keinginan atau kehendak orang lain. Lansia juga cenderung untuk
mengeluh tentang kesehatan dan tampak dikuasai oleh dirinya sendiri, sehingga tidak
habis-habisnya menceritakan pengalaman masa lalunya setiap saat. Lansia juga
berharap untuk dilayani dan selalu menjadi pusat perhatian.
30
Lansia cenderung untuk tetap tertarik pada kegiatan rekreasi yang biasa mereka
lakukan pada masa muda, dan hanya mengubah minat tersebut bila benar-benar
diperlukan. Perubahan minat untuk berekreasi biasanya terjadi karena dahulu lansia
disibukkan oleh pekerjaan dan keluarga, namun kini menjadi lebih banyak
mempunyai kesempatan untuk berekreasi. Kegiatan rekreasi atau kegiatan mengisi
waktu luang meliputi membaca, menulis surat, mendengarkan radio, menonton
televisi, berkunjung ke rumah teman atau saudara, menjahit, menyulam, berkebun,
piknik, jalan-jalan, bermain kartu, menonton bioskop, ikut serta dalam organisasi
kemasyarakatan atau organisasi keagamaan. Lansia yang tinggal di panti werdha
mempunyai bentuk rekreasi yang disesuaikan dengan kondisi fisik dan mentalnya
(Hurlock, 1980).
Dengan bertambahnya usia, sebagian orang merasa kehilangan keterlibatan
sosialnya atau merasa lepas dari lingkungan sosialnya. Pada usia lanjut, hal ini
dirasakan dengan berkurangnya partisipasi sosial atau kontak sosial. Cumming &
Henry (1981) mengemukakan bahwa pelepasan diri secara sosial (social
disengagement) dilakukan oleh lansia atas kemauannya sendiri atau karena terpaksa.
Dalam hal pelepasan diri secara sukarela, lansia menganggap bahwa keterlibatan
sosial sudah tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Pelepasan diri dari kegiatan
sosial secara terpaksa dilakukan apabila lansia menginginkan dan memerlukannya,
atau karena kondisi-kondisi tertentu, seperti meninggal dunia, pindah rumah, kondisi
fisik yang tidak memungkinkan lansia beraktivitas seperti dulu. Keterlibatan atau
pelepasan diri tersebut dapat menentukan kepuasan pada masa tuanya. Menurut
31
Birren (1964), social disengagement meliputi keterlibatan dengan orang lain
berkurang, pengurangan variasi peran sosial yang dimainkan, dan berkurangnya
partisipasi dalam kegiatan fisik.
Havighurst, Neugarten, dan Tobin (1964) mengatakan bahwa kontak sosial
pada lansia berubah karena keterlibatan berubah. Ada tiga macam sumber kontak
sosial yang sangat dipengaruhi oleh usia lanjut, yaitu persahabatan pribadi yang
akrab, kelompok persahabatan, dan perkumpulan formal (Wood & Robertson, 1978;
dalam Hurlock, 1980). Dalam teori aktivitas yang dikemukakan Havighurst (1964),
dikatakan bahwa lansia dapat memperoleh kepuasan dan kebahagiaan dengan terus
melakukan aktivitas. Orang yang aktif, dapat berprestasi dan berarti bagi orang lain.
Orang yang tidak dibutuhkan dalam kehidupan bersama akan merasa tidak puas dan
tidak bahagia. Hal ini terlihat misalnya pada lansia yang tidak lagi hidup di tengah-
tengah keluarganya. Lansia tersebut merasa terasing dan tidak dapat berpartisipasi
secara aktif.
Pendapat lain mengatakan bahwa justru setelah orang memasuki usia lanjut
atau pensiun, kontak dengan teman-teman atau keluarga menjadi lebih sering terjadi.
Hal ini disebabkan oleh waktu luang yang tersedia lebih banyak (Turner & Helms,
1983). Hilang atau berkurangnya aktivitas yang harus dilakukan menimbulkan
kebutuhan akan aktivitas pengganti. Umumnya lansia kemudian aktif dalam kegiatan
sosial kemasyarakatan dan melakukan kegiatan yang merupakan hobinya di masa
muda. Namun penyesuaian diri yang demikian tergantung pada sikap dan kebiasaan
lansia pada masa sebelumnya (Pikunas, 916:373). Bila sewaktu muda lansia terbiasa
32
aktif dan mempunyai banyak hobi, dapat melanjutkannya di masa tua, terutama setelah
pensiun. Sedangkan lansia yang sewaktu mudanya tidak mempunyai hobi akan
mengalami kesulitan mencari aktivitas pengganti. Aktivitas sosial juga dipengaruhi
oleh keadaan fisik, sosial dan keuangan (Pikunas, 1976:373).
2.1.2. Gerontology
2.1.2.1. Definisi Gerontology
Study of biological, psikological, medical, sociological and economic factors
having a bearing on old age. Gerontology is an interdisiplinary field based on
the premise that solutions to the problems of aging require the cooperative
efforts of specialists in many fields. (Lewis R. Aiken, 1995).
Dalam gerontologi terdapat gabungan dari beberapa ilmu seperti biologi,
psikologi, sosiologi, medis dan ekonomi untuk melihat dan mengatasi permasalahan
yang terjadi dalam proses penuaan seorang manusia. Seringkali terjadi tumpang
tindih dalam aktivitas para ahli yang meneliti mengenai gerontologi. Gerontologi
merupakan disiplin ilmu yang bersifat aplikatif yang diperuntukkan bagi peningkatan
kesehatan dan kehidupan yang layak bagi para orang lanjut usia.
Proses penuaan sendiri akan berbeda bagi setiap individu, dimana didalamnya
terdapat perubahan mulai dari penampilan fisik, sistem organ internal, sensasi,
persepsi, gerakan (movement), kondisi psikis, kondisi sosial, dan kondisi ekonomi.
Perubahan tersebut lebih banyak merupakan perubahan ke arah kemunduran, hal
33
inilah yang sering membuat banyak orang menjadi takut untuk menghadapi masa
tuanya.
Usia berhubungan dengan perubahan kulit, otot dan tulang pada setiap tubuh
manusia. Kulit akan terlihat keriput, splotchier, colagen berkurang, elastisitas
berkurang, kasar, varises, rambut beruban dan menipis, serta tubuh terlihat mengecil.
Pada saat proses penuaan terdapat pula penurunan secara umum pada sel-sel dan
tissues dari semua organ internal, yang menghasilkan penurunan pada efisiensi
fungsi-fungsi dari cardio vascular, pernapasan, musculoskeletal, gastrointestinal dan
genitourinary systems.
Penurunan jumlah neurons dalam otak, aliran darah ke otak, dan kecepatan
impuls nerve memberi efek pada kapasitas otak untuk memproses informasi pada usia
lanjut. Pola tidur pun berubah, dimana mereka memiliki waktu tidur yang kurang dan
tidak seperti orang-orang yang lebih muda usianya.
Usia juga berhubungan dengan penurunan fungsi-fungsi panca indera,
misalkan pada mata, paling banyak gangguan yang terjadi adalah presbyopia, tapi
katarak dan glukoma juga merupakan gangguan serius yang terjadi pada para lansia.
Penglihatan mereka akan sangat terbantu bila mereka menggunakan kacamata,
pencahayaan yang sangat memadai, dan bentuk tulisan yang besar. Pada
pendengaran, para lansia akan mengalami penurunan pada sensitivitas mendengar di
frekuensi yang rendah. Penurunan fungsi pendengaran ini dapat dikurangi dengan
menggunakan alat bantu pendengaran. Indera pembau, perasa dan peraba serta
34
sensitivitas rasa sakit dan terhadap suhu juga mengalami penurunan seiring
bertambahnya usia.
Pergerakan juga menjadi sulit dan reaksinya menjadi melambat, tapi itu pun
akan berbeda bagi setiap individu sesuai dengan fungsi motorik yang dimiliki. Hal
untuk mempermudah para lansia dalam bergerak adalah dibuatnya alat-alat bantu
seperti tongkat untuk membantu berjalan ataupun layout ruangan yang dibuat
sedemikian rupa agar para lansia tidak mengalami kesulitan untuk bergerak.
2.1.2.2. Kesehatan Mental Lansia
Gangguan mental dapat membuat individu semakin tergantung pada
pertolongan dan perawatan orang lain. Kesehatan mental tidak hanya dilihat dari
ketidakhadiran gangguan-gangguan mental, berbagai kesulitan dan frustrasi, tapi juga
merefleksikan kemampuan seseorang untuk menghadapi masalah-masalah kehidupan
dengan cara-cara yang efektif dan memuaskan. Orang-orang dewasa lanjut usia lebih
memungkinkan untuk memiliki beberapa jenis penyakit fisik, keterkaitan antara
persoalan-persoalan fisik dan mental lebih umum terjadi pada masa dewasa akhir
dibandingkan pada masa dewasa awal (Birren & Sloane, 1985). Sekitar 10 % dari
individu yang berusia diatas 65 tahun, memiliki permasalahan-permasalahan
kesehatan mental yang cukup parah yang memerlukan perhatian profesional (Larve,
Dessonville & Jarvik, 1985; dalam Santrock, 2002).
Jenis gangguan yang lazim dialami adalah depresi, kecemasan, dan alzheimer.
Frekuensi depresi di orang-orang lansia bervariasi (Lewinsohn dkk, 1991). Sekitar
35
80% dari orang lansia yang menunjukkan gejala-gejala depresi, dan sama sekali tidak
mendapatkan perawatan, dan sekitar 25% dari individu yang melakukan bunuh diri di
Amerika antara lain mereka yang berusia lebih dari 65 tahun (Church, Siegel &
Foster, 1988). Kurang lebih 7% dari orang lansia memiliki gangguan kecemasan
(Gatz, 1992). Orang lansia sebenarnya memiliki kemungkinan yang lebih tinggi
untuk mengalami gangguan-gangguan kecemasan daripada depresi (George dkk,
1988 dalam Santrock, 2002).
2.1.2.3. Perkembangan Sosio – Emosional Lansia
Dalam Santrock (2002) terdapat tiga teori penuaan, yaitu :
a. Teori Pemisahan; dimana orang-orang lansia secara perlahan-lahan menarik diri
dari masyarakat (Cumming & Henry, 1961). Teori ini menjelaskan bahwa
pemisahan merupakan aktivitas timbal balik dimana orang-orang lansia tidak
hanya menjauh dari masyarakat, tapi masyarakat juga menjauh dari mereka.
Dalam teori ini juga dijelaskan bahwa orang-orang lansia mengembangkan
suatu kesibukan terhadap dirinya sendiri (self-preoccupation), mengurangi
hubungan emosional dengan orang lain, dan menunjukkan penurunan
ketertarikan terhadap berbagai persoalan kemasyarakatan.
b. Teori Aktivitas (Activity Theory); dimana semakin orang-orang lansia aktif dan
terlibat, semakin kecil kemungkinan mereka menjadi renta dan semakin besar
kemungkinan mereka merasa puas dengan kehidupannya.
36
c. Teori Rekonstruksi gangguan sosial; dimana penuaan dikembangkan melalui
fungsi psikologis negatif yang dibawa oleh pandangan-pandangan negatif
tentang dunia sosial dari orang-orang lansia dan tidak memadainya penyediaan
layanan untuk mereka. Rekonstruksi sosial dapat terjadi dengan merubah
pandangan dunia sosial dari orang-orang lansia dan dengan menyediakan
sistem-sistem yang mendukung mereka (Kuypers & Bengston, 1973).
Stereotipe orang lansia antara lain banyak lansia menghadapi diskriminasi
yang menyakitkan dan seringkali tersembunyi sehingga sulit untuk melawannya.
Selain itu, seringkali lansia ditolak secara sosial, karena dipandang sudah pikun atau
membosankan. Pada waktu yang lain, mereka mungkin dipandang seperti anak-anak
dan dilukiskan dengan kata-kata sifat sebagai sosok yang ‘mungil dan manis’. Orang
lansia mungkin disingkirkan dari kehidupan keluarga mereka oleh anak-anak yang
melihat mereka sebagai sosok yang sakit, jelek dan parasit. Singkatnya, orang lansia
mungkin dipandang tidak mampu untuk berpikir jernih, mempelajari sesuatu yang
baru, menikmati seks, memberi kontribusi terhadap komunitas, dan memegang
tanggung jawab pekerjaan. Persepsi yang tentu saja tidak berperikemanusiaan, tapi
seringkali terjadi secara nyata dan menyakitkan (Butler, 1987; Chinn, 1991; Cole
dkk, 1993; Gatz, 1992). Seringkali lansia tinggal di dalam institusi-institusi seperti
rumah sakit, rumah sakit jiwa, panti jompo dan sebagainya, namun hampir 95 %
orang lansia tinggal di dalam rumahnya sendiri dan bukan di institusi.
37
2.1.3. Kehidupan Lansia dalam Institusi
Lansia yang memasuki institusi jangka panjang bertujuan untuk
mendapatkan jaminan untuk bertahan hidup dengan memperlambat deterioriasi lebih
lanjut, dan memperbaiki hilangnya fungsi-fungsi fisik maupun mental. Tujuan ini
sesuai dengan setting tempat tinggal yang memiliki ketetapan perawatan kesehatan
dalam lingkungan sosial yang terstruktur.
Sebuah tinjauan studi mengenai pengaruh institusi mengatakan bahwa lansia
yang diinstitusikan memiliki karakteristik sebagai berikut: penyesuaian diri buruk,
depresi dan tidak bahagia, intelektual tidak efektif, self image negatif, perasaan
tidak berarti dan impoten, pandangan terhadap diri sebagai orang "tua" (Tobin &
Lieberman, 1976). Lansia penghuni panti cenderung menunjukkan minat dan
aktivitas yang rendah. Mereka tampaknya lebih hidup di masa lalu, menarik diri, dan
tidak responsif dalam berhubungan dengan orang lain. Ada beberapa pendapat bahwa
lansia tersebut mengalami peningkatan kecemasan, yang sering berfokus pada
kematian mereka.
Kemampuan lansia untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan institusi juga
dipengaruhi oleh kerelaannya. Menurut Hurlock (1980), apabila lansia, baik laki-laki
maupun perempuan, masuk ke dalam institusi secara sukarela, maka mereka akan
lebih bahagia dan memiliki motivasi yang kuat untuk menyesuaikan diri terhadap
berbagai perubahan mendadak yang diakibatkan oleh institusi.
Berdasarkan salah satu penelitiannya, Townsend (1953), mengemukakan
empat alasan lansia membutuhkan panti werdha, yaitu:
38
1. Karena mereka tinggal sendiri dan tidak ada orang yang menolong bila
mereka sakit.
2. Karena mereka kehilangan tempat tinggal dengan alasan diusir oleh pemilik
tanah, keluarga membutuhkan ruangan untuk anak-anaknya. berselisih dengan
anak atau menantu, keluarga pindah ke tempat lain.
3. Karena kehilangan keluarga yang menunjang penghidupan mereka.
4. Karena keluarga yang menunjang mereka telah menjadi lemah ekonominya
dan tidak dapat memberikan tunjangan lagi.
2.1.4. Panti Werdha
2.1.4.1. Pengertian Panti Werdha
Panti werdha yang disebut juga Sasana Tresna Werdha merupakan unit
pelaksanaan teknis di bidang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia / Jompo,
yang memberikan pelayanan kesejahteraan sosial bagi para lansia / jompo berupa
pemberian penampungan, jaminan hidup seperti makanan dan pakaian, pemeliharaan
kesehatan, pengisian waktu luang termasuk rekreasi, bimbingan sosial, mental serta
agama, sehingga lansia dapat menikmati hari tuanya dengan diliputi ketentraman lahir
dan batin (Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pembinaan Kesejahteraan Sosial Lanjut
Usia/Jompo Terlantar Melalui Sasana Tresna Werdha, Departemen Sosial RI, 1986).
Lansia yang diterima oleh panti werdha milik pemerintah adalah lansia yang
berumur 60 tahun ke atas, yang secara fisik dan sosial ekonominya lemah, tidak
berdaya mencari nafkah untuk keperluan hidup sehari-hari, menerima nafkah dari
39
orang lain, hidup terlantar karena tidak ada keluarga atau tidak diketahui keluarganya,
tidak diurus sebagaimana layaknya oleh keluarga, atau karena sesuatu sebab tertentu
lansia tersebut tidak mau hidup dalam lingkungan keluarganya, tetapi ingin disantuni
di dalam panti werdha.
Panti werdha yang dikelola oleh swasta ada dua macam, yaitu panti yang
hanya menerima lansia yang terlantar dan panti yang menerima lansia yang masuk
atas anjuran keluarga dengan membayar sejumlah uang, serta menerima lansia yang
terlantar hidupnya.
2.1.4.2. Tujuan Penyelenggaraan Panti Werdha
Menurut UU No.4 tahun 1965 tentang pemberian bantuan penghidupan orang
jompo dan Surat Keputusan Menteri Sosial RI No. HUK 33/1.50/107/70 jo UU No.6
tahun 1974 tentang ketentuan pokok kesejahteraan sosial, tercantum kebijakan
pemerintah tentang pelayanan dan penyantunan lansia, yaitu:
1. Pemberian bantuan dan santunan kepada lansia dalam panti werdha.
2. Pemberian bantuan dan santunan kepada lansia di luar panti berupa pemberian
bantuan usaha produktif.
3. Bantuan peningkatan kemampuan pelayanan panti pemerintah daerah dan
swasta.
Tujuan didirikannya panti werdha adalah sebagai tempat mencintai dan
menyayangi orang tua yang secara operasional merupakan panti sosial tempat
melayani para lansia jompo dengan memenuhi kebutuhannya (Pedoman Pelaksanaan
40
Bantuan dan Penyantunan Lanjut Usia/Jompo Terlantar di Sasana Tresna Werdha,
Departemen Sosial RI, 1986).
2.1.4.3 Pelayanan di Panti Werdha
Pelayanan yang sesuai dengan Keputusan Menteri Sosial No.4l
/HIJK/Kep/IX/79 adalah sebagai berikut:
1. Pemeliharaan kesehatan.
2. Pelaksanaan kegiatan yang bersifat rekreatif dan kegiatan lain yang
bermanfaat.
3. Pelaksanaan bimbingan mental spiritual dan kemasyarakatan.
Menurut Hurlock (1980), terdapat beberapa keuntungan yang diperoleh lansia di panti
werdha, yaitu:
1. Kemungkinan berhubungan dengan teman seusia dan mempunyai minat serta
kemampuan yang yang sejenis.
2. Ada kesempatan untuk berprestasi berdasarkan prestasi masa lalu, yang tidak
mungkin diperoleh dalam kelompok generasi yang lebih muda.
Panti werdha menuntut adanya penyesuaian diri yang baik, karena lansia
harus bisa mengikuti ketentuan / tata tertib yang berlaku di panti, juga melakukan
penyesuaian terhadap sesama penghuni lain dan petugas panti.
41
2.1.5. Loneliness
2.1.5.1. Definisi Loneliness
Konsep mengenai loneliness belum dapat didefinisikan dengan baik.
Beberapa definisi mengenai kesepian (Loneliness), antara lain :
”Loneliness berdasarkan pendekatan eksistensial, yang salah satunya yaitu kesepian
dalam hidup yang rapuh (loneliness of a broken life) ditandai kehidupan yang
dibayangi oleh penolakan, pembuangan, pengasingan, kesalahpahaman, rasa nyeri,
penyakit, kematian, tragedi, dan krisis yang biasanya tidak hanya mempengaruhi
kesadaran seseorang akan keberadaannya, tetapi juga dunia yang dihuninya,
hubungannya dengan orang lain dan pekerjaannya” (Moustakas, 1961 dalam Turnip,
1997). Dalam kesepian eksistensial manusia sangat menyadari dirinya sebagai
individu yang terisolasi dan terpisah.
“Loneliness disebabkan bukan karena keadaan sendiri (alone), loneliness disebabkan
tidak adanya suatu atau sekumpulan relasi definit yang dibutuhkan individu.
…Loneliness tampaknya selalu merupakan respon dari ketiadaan sejumlah relasi tipe
tertentu, atau lebih akurat lagi, loneliness adalah suatu respon atas ketiadaan sejumlah
relasi khusus yang dibutuhkan.” (Weiss, 1973 dalam Peplau & Perlman, 1982: 4.
dikutip dari Witriani, 2000).
“Loneliness merupakan perasaan deprivasi yang disebabkan oleh kekurangan dari
kontak sosial (dengan orang lain): perasaan bahwa seseorang merasa kehilangan. Dan
sejak seseorang memiliki suatu harapan dari suatu yang tidak ada, loneliness dapat
dikarakteristikan lebih jauh sebagai suatu rasa dari deprivasi yang muncul ketika
42
relasi sosial dengan orang lain tidak terjalin” (Gordon, 1976, p. 26 dalam Peplau &
Perlman, 1982: 4).
2.1.5.1.1. Definisi Loneliness Berdasarkan Pendekatan Sosial
Menurut sudut pandang sosial, Peplau dan Perlman (1982) menggolongkan
definisi kesepian dalam tiga buah pendekatan, yaitu:
a. Kebutuhan intimasi (need for intimacy)
Pendekatan ini digunakan antara lain oleh Sullivan, Weiss, Fromm
Reichman dan Bowly. Sullivan mengatakan:
"Loneliness ... is the exceedingly unpleasant and driving experience connected
with inadequate discharge of the need for human intimacy for interpersonal
intimacy."
(Sullivan dalam Peplau & Perlman, 1982: 4)
Kesepian adalah keadaan yang tidak menyenangkan atas tidak terpenuhinya
kebutuhan akan hubungan yang intim atau dekat pada seseorang.
“Loneliness is caused not by being alone but by being without some definite
needed relationship or set of relationships …”
(Weiss dalam Peplau & Perlman, 1982: 4)
Weiss mengatakan bahwa kesepian bukan disebabkan karena kesendirian tapi
karena tidak adanya hubungan atau satu set hubungan yang dibutuhkan. Maka
seseorang akan mengalami kesepian apabila dalam hubungannya dengan orang
43
lain, ia tidak dapat memenuhi atau memuaskan kebutuhan sosial yang ada dalam
dirinya.
Jadi pendekatan ini menekankan bahwa secara universal manusia
memiliki kebutuhan untuk menjalin hubungan yang intim dengan manusia
lainnya.
b. Proses kognitif (Cognitive processes)
Flanders, Sadler dan Johnson (dalam Peplau & Perlman, 1982)
berpendapat melalui pendekatan ini bahwa kesepian dihasilkan dari
ketidakpuasan seseorang terhadap hubungan sosialnya. de Jong Gierveld
mengatakan:
"We define loneliness as the experiencing of a lag between realized and
desired interpersonal relationship as disagreeable or unacceptable,
particularly when desired interpersonal relationships within a reasonable
period of time."
(Gierveld dalam Peplau & Perlman, 1982: 4)
Kesepian merupakan keadaan yang disebabkan karena adanya kesenjangan
antar dua jenis hubungan sosial, yaitu jenis hubungan sosial yang diinginkan
dan jenis hubungan yang sesungguhnya atau pada kenyataannya dimiliki oleh
seseorang.
Jadi inti dari pendekatan ini menyangkut persepsi dan evaluasi
seseorang mengenai hubungan sosial manusia.
44
c. Social reinforcement
Pendekatan ini mengatakan bahwa orang mengalami kesepian
disebabkan karena ia merasa adanya kekurangan dalam bentuk hubungan
sosial yang memuaskan. Tingkatan dari kuantitas dan tipe hubungan seperti
apa yang memuaskan bagi seseorang tergantung dari apa yang telah dipelajari
sebelumnya. Young mendefinisikan kesepian sebagai:
"... the absence or perceived absence of satisfying social relationship,
accompanied by symptoms of psychological distress that are related to the
actual or perceived absence ... propose that social relationship can be in part
as a response to the abcence of important social reinforcement."
(Young dalam Peplau & Perlman, 1982: 4)
Kesepian adalah tidak munculnya hubungan yang dianggapnya
sebagai hubungan sosial yang memuaskan, diiringi dengan munculnya gejala
psikologis yang berhubungan dengan ketidakmunculan tersebut.
Jadi pendekatan ini mendefinisikan kesepian sebagai keadaan yang
diakibatkan perasaan ketidakterpenuhinya hubungan seseorang akan
hubungan sosial yang menurut norma sosialnya adalah hubungan yang
memuaskan. Namun pendekatan ini cenderung lebih mengacu pada kebutuhan
sosial daripada pendekatan kognitif.
45
2.1.5.1.2. Definisi Loneliness Berdasarkan Pendekatan Eksistensial
Menurut sudut pandang eksistensial, kesepian dibagi dalam dua golongan,
yaitu kesepian eksistensial (existential loneliness) dan kesepian kecemasan (anxiety
loneliness) (Moustakas dalam Turnip, 1997).
a. Kesepian eksistensial (existential loneliness)
Kesepian eksistensial adalah kenyataan tak terelakkan sebagai bagian dari
keberadaan manusia (Moustakas dalam Turnip, 1997). Menurut Thomas
Wolfe (dikutip dalam Witriani, 2000) kesepian ini adalah pengalaman
intrinsik dan merupakan kondisi yang menunjang munculnya kreativitas,
melampaui duka, rasa putus asa dan kelumpuhan menyeluruh. Semuanya
menimbulkan dorongan pada seseorang untuk mencari dan menciptakan
bentuk baru serta menemukan cara yang unik untuk menyadari keberadaannya
dan mengekspresikan pengalamannya.
Ada dua bentuk kesepian eksistensial yang utama, yaitu kesepian dalam
kesendirian (loneliness of solitude) dan kesepian dalam hidup yang rapuh
(loneliness of a broken life). Kesepian dalam kesendirian adalah keadaan yang
damai berada sendirian dengan segala misteri yang melingkupi alam semesta,
dalam harmoni dan keutuhan keberadaannya. Kesepian dalam kerusakan
hidup yang rapuh ditandai kehidupan yang dibayangi oleh penolakan,
pembuangan, pengasingan, kesalahpahaman, rasa nyeri, penyakit, kematian,
tragedi, dan krisis yang biasanya tidak hanya mempengaruhi kesadaran
seseorang akan keberadaannya, tetapi juga dunia yang dihuninya,
46
hubungannya dengan orang lain dan pekerjaannya (Moustakas, 1961 dalam
Turnip, 1997).
Dalam kesepian eksistensial manusia sangat menyadari dirinya sebagai
individu yang terisolasi dan terpisah.
b. Kesepian kecemasan (anxiety loneliness)
Kesepian kecemasan disebabkan oleh pengasingan diri dan penolakan diri,
jadi bukan kesepian yang sesungguhnya, tetapi kecemasan yang sifatnya
mengganggu dan samar-samar (Moustakas, 1961 dalam Turnip, 1997). Maka
kesepian ini disebabkan oleh kesenjangan yang mendasar antara kesejatian
diri seseorang dengan peran yang harus dijalankannya. Usaha seseorang untuk
mencapai konformitas dengan orang lain dalam lingkungannya, menuruti
segala aturan, meniru orang lain, mencoba menjadi orang lain, keinginan
untuk memiliki kekuasaan dan status dapat meningkatkan keterasingan
seseorang terhadap kesejatian dirinya, membuat orang kehilangan jati dirinya
dan kemudian mengalami kesepian karena tidak mengenali lagi kesejatian
dirinya yang sebenarnya.
Kesepian kecemasan adalah kondisi yang banyak terjadi dalam masyarakat
masa kini. Orang-orang modern sepertinya tidak lagi menikmati pertemanan,
dukungan dan perlindungan dari sesamanya. Mereka hidup dalam komunitas
dengan pola hubungan antar manusia yang telah ditentukan oleh aturan-aturan
47
tingkah laku untuk mencapai tujuan tertentu (Moustakas, 1961 dalam Turnip,
1997).
Kesepian kecemasan yang terburuk adalah penghayatan ketidakberartian diri,
tidak adanya orientasi pada nilai-nilai, keyakinan, pegangan hidup dan ketakutan
akan keterasingan. Karenanya orang berusaha untuk menghindarinya dan keluar
dari kondisi ini melalui cara berkegiatan dengan orang lain (Moustakas, 1972
dalam Turnip, 1997).
Dalam kesepian kecemasan, manusia terasing dari dirinya sendiri dalam
menghayati keberadaannya.
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan kesepian adalah keadaan
yang membuat seorang individu merasa sendiri di dunia ini karena interpretasi dirinya
terhadap lingkungannya.
2.1.5.2. Macam-macam Penyebab Loneliness
Ada dua hal dasar yang menyebabkan kesepian. Pertama, adalah kejadian
yang memicu loneliness; dan kedua, adalah faktor-faktor predisposisi penyebab
loneliness dan membuat orang tetap berada dalam loneliness.
2.1.5.2.1. Kejadian Pemicu Kesepian (Precipitating Event)
Kejadian-kejadian yang menjadi pemicu (precipitating event) munculnya
perasaan loneliness yaitu sebagian besar dari menurunnya tingkat relasi sosial
seseorang, seperti berakhirnya suatu hubungan suami istri, ditinggalkan orang
48
terdekat, diabaikan keberadaannya, khususnya untuk para lansia ditinggal pasangan
hidup yang meninggal dan teman sebayanya sudah banyak yang meninggal, anak-
anak sibuk dengan urusan masing-masing dan para lansia seringkali tidak dilibatkan
dalam urusan anak-anak dan cucu-cucu mereka adalah beberapa contohnya. Perasaan
loneliness tidak hanya disebabkan oleh ada atau tidak adanya relasi sosial, tapi juga
dari aspek kualitatif relasi sosial seseorang. Bila seseorang merasa tidak puas dengan
relasi sosial yang dimilikinya saat itu dapat memunculkan perasaan kesepian.
Munculnya perasaan kesepian juga dapat dipicu oleh perubahan dalam keinginan
seseorang akan bentuk relasi sosial mereka terutama bila keinginan tidak terjadi
dalam kejadian nyata. Seseorang yang memiliki hambatan dalam kemampuan
bersosial membuat ia mengalami kesulitan untuk membangun dan mempertahankan
hubungan sosial yang memuaskan.
Kejadian yang menjadi pemicu kesepian dapat ditinjau dari 2 pendekatan,
yaitu pendekatan sosial dan pendekatan eksistensial.
Menurut pendekatan eksistensial, kesepian dapat dipicu oleh beberapa hal,
seperti misalnya karena rasa frustasi akan kebutuhan kasih sayang dan perlindungan
yang tidak diperoleh, sebagaimana umumnya terjadi pada masa kecil; pada usia
dewasa dapat terjadi karena kegagalan berhubungan dengan orang lain atas dasar
cinta, ketulusan dan kedalaman hubungan. Kesepian dapat juga dipicu oleh hilangnya
kehangatan manusiawi yang asli dan munculnya kepura-puraan dalam suara maupun
senyuman, serta kata-kata dan pertemuan yang basa-basi; masuk ke rumah sakit atau
49
rumah jompo juga dapat memicu kesepian karena keterasingan yang dirasakan
(Moustakas, 1961 dalam Turnip, 1997).
Sedangkan menurut pendekatan sosial, Peplau dan Perlman (1982)
mengatakan ada dua macam perubahan dalam hal ini, yaitu:
a. Hubungan sosial aktual pada seseorang
Yaitu perubahan dalam hubungan sosial aktual seseorang sehingga berada di
bawah level optimal seperti berakhirnya suatu hubungan yang dekat karena
kematian, perceraian, atau putusnya hubungan cinta, atau juga perpisahan secara
fisik dengan orang-orang yang dicintai, seperti pindah ke komunitas baru, dan lain-
lain.
Contoh-contoh di atas dapat menyebabkan seseorang mengalami kesepian, karena
Peplau & Perlman (1982) mengatakan bahwa kesepian disebabkan bukan hanya
karena seseorang punya atau tidak jalinan hubungan dengan orang lain, tapi juga
dipengaruhi oleh aspek kualitas dalam suatu hubungan sosial.
b. Adanya perubahan dalam kebutuhan atau keinginan sosial dalam diri seseorang
Dengan adanya perubahan usia, maka ada perubahan-perubahan lain yang akan
mengikuti dalam diri seseorang, di antaranya adalah kebutuhan dan keinginan
sosial. Sehingga dengan demikian, kebutuhan atau keinginan sosial yang telah
terpenuhi sekarang belum tentu akan sesuai untuk orang yang sama dalam
beberapa tahun mendatang. Hal ini dapat menyebabkan kesepian.
50
2.1.5.2.2. Faktor Predisposisi dan Bertahannya Gejala Kesepian
Faktor predisposisi dan bertahannya kesepian dikelompokkan menjadi faktor
psikologis dan situasional. Banyak faktor psikologis dan situasional yang
meningkatkan kerentanan seseorang terhadap munculnya kesepian. Faktor-faktor
tersebut meningkatkan kemungkinan seseorang mengalami kesepian dan juga
menyulitkan baginya untuk membangun kembali hubungan sosial yang memuaskan.
Middlebrook (1980) menggolongkannya sebagai berikut :
a. Faktor psikologis
1. Kesepian eksistensial
Terbatasnya keberadaan manusia yang terpisah dari orang lain sehingga ia
tidak mungkin berbagi perasaan dan pengalaman dengan orang lain; dia harus
mengambil keputusan sendiri dan menghadapi ketidakpastian.
2. Pengalaman traumatis
Kehilangan seseorang yang sangat dekat secara tiba-tiba bisa menyebabkan
orang merasa kesepian; tetapi dia akan lebih sanggup menghadapi kesepian
bila sering mengalaminya atau orang itu sendiri yang mulai untuk menjauh
dari orang yang dekat padanya.
3. Kurang dukungan dari lingkungan
Orang bisa mengalami kesepian bila merasa tidak sesuai dengan
lingkungannya, sehingga ia menganggap dirinya diabaikan atau ditolak oleh
lingkungan.
51
4. Krisis dalam diri dan kegagalan
Seseorang bisa kehilangan semangat dan menghindar dari lingkungannya bila
merasa harga dirinya terganggu karena harapannya tidak terpenuhi; hal ini
dapat menyebabkan timbulnya gejala kesepian pada orang itu.
5. Kurang rasa percaya diri
Kesepian dapat terjadi bila seseorang kurang dapat mengungkapkan diri
sepenuhnya dan hanya mampu berhubungan secara formal saja. Meskipun ia
bisa berhubungan sosial dengan cukup baik, ia tetap merasa kurang dilibatkan.
6. Kepribadian yang tidak sesuai dengan lingkungan
Orang-orang dengan temperamen tertentu seperti pemalu dan yang tidak
mampu berhubungan sosial akan menarik diri dari lingkungan.
7. Ketakutan untuk menanggung resiko sosial
Seseorang merasa takut untuk terlalu dekat dengan orang lain, karena
khawatir akan ditolak. Ia melihat kedekatan sosial sebagai sesuatu yang
berbahaya dan penuh resiko.
b. Faktor situasional
1. Takut dikenal orang lain
Seseorang yang takut dikenal secara mendalam oleh orang lain akan
cenderung menghilangkan kesempatan untuk berhubungan dekat dengan
orang lain, sehingga ia tidak punya teman berbagi rasa.
52
2. Nilai-nilai yang berlaku pada lingkungan sosial
Nilai-nilai yang dianut seperti privasi dan kesuksesan membuat seseorang
terikat.
3. Kehidupan di luar rumah
Rutinitas di luar rumah seperti sekolah, kuliah, dan kerja menyebabkan
kurangnya kehangatan hubungan seseorang dengan orang-orang tertentu.
4. Kehidupan di dalam rumah
Rutinitas di rumah seperti jam-jam makan, tidur, mandi, menyebabkan
kejenuhan pada pelakunya.
5. Perubahan pola-pola dalam keluarga
Kehadiran orang lain atau perginya seseorang dari keluarga menyebabkan
terganggunya hubungan antar anggota keluarga.
6. Pindah tempat
Sering berpindah-pindah menyebabkan seseorang tidak dapat menjalin
hubungan yang akrab dengan lingkungan baru.
7. Terlalu besarnya suatu organisasi
Bila populasi yang terdapat dalam suatu organisasi terlalu besar, akan sulit
bagi seseorang untuk mengenal satu sama lain secara lebih dekat; perkenalan
terjadi hanya di permukaan saja.
8. Desain arsitektur bangunan
Bentuk bangunan modern yang canggih membatasi interaksi sosial dan
membuat anggota masyarakat menjadi individualistis.
53
Sementara itu Moustakas juga mengatakan bahwa salah satu faktor penyebab
kesepian adalah penolakan atau pengabaian semasa kanak-kanak (Moustakas, 1961
dalam Turnip, 1997). Tingkah laku yang menyebabkan terjadinya kesepian pada
seseorang adalah usaha untuk mencapai konformitas dengan orang lain, mencoba
menjadi orang lain, usaha untuk mencapai status dan kekuasaan yang tidak sesuai
dengan kemampuannya yang sebenarnya, semua itu dapat membuat seseorang
terasing dari dirinya sendiri (Moustakas, 1961 dalam Turnip, 1997).
Kesepian kecemasan disebabkan karena pertahanan yang dilakukan terhadap
keadaan dunia yang tidak bersahabat, perlawanan terhadap rasa sakit dan keinginan
untuk mencari kasih sayang dan rasa aman. Sementara kesepian eksistensial
disebabkan karena keberadaan manusia itu sendiri;
“The constant, everlasting weather of man’s life is not love but loneliness.
Love is the rare and precious flower but loneliness pervades each new day
and each new night”
(Moustakas, 1961 dalam Turnip, 1997)
Keberagaman seseorang dan adanya faktor sosial dapat menyebabkan
seseorang rentan terhadap kemungkinan kesepian. Keberagaman tersebut oleh Peplau
& Perlman (1982) disebutkan sebagai berikut:
a. Karakteristik personal
Peplau & Perlman (1982) menyebutkan bahwa karakter orang-orang
lonely yaitu pemalu, introvert, dan tidak punya cukup keinginan untuk
mengambil resiko dalam berhubungan sosial.
54
b. Faktor kebudayaan dan situasi
Para sosiolog memberi masukan bahwa keadaan kesepian dapat
meningkat akibat nilai-nilai kebudayaan yang berlaku di lingkungan
seseorang.
2.1.5.3. Karakteristik Orang-Orang yang Mengalami Kesepian
Peplau dan Perlman (1982) mengemukakan karakteristik utama orang-orang
yang biasanya terisolir dari orang lain yang bukan keluarga adalah mereka yang
berpendidikan rendah, memiliki pemasukan dana yang rendah, berusia lanjut atau
sudah tua, sudah menikah, tidak bekerja, dan terutama wanita.
2.1.5.4. Pengalaman dari Kondisi Kesepian
2.1.5.4.1. Manifestasi Afektif
Kesepian adalah pengalaman yang tidak menyenangkan. Fromm-Reichman
(dalam Peplau & Perlman, 1982) mengatakan bahwa kesepian adalah salah satu
keadaan yang menyakitkan dan mengerikan. Sedangkan Weiss mengatakan bahwa
kesepian adalah stres yang mengganggu tanpa bentuk yang jelas.
Peplau dan Perlman (1982) mengemukakan bahwa kesepian berkorelasi
dengan depresi. Orang yang kesepian biasanya kurang bahagia, kurang puas, lebih
pesimistis dan lebih depresif (Bradburn, 1969; Perlman, Gerson, Spinner, 1978 dalam
Perlman & Peplau, 1982). dan kecemasan, sehingga banyak tanda-tanda fisik yang
menyertainya, seperti gangguan makan atau tidur, sakit kepala dan mual-mual.
55
Mereka juga rentan terhadap penyakit.
Penelitian terdahulu menemukan bahwa Orang yang kesepian juga sering
merasa tegang, gelisah, dan bosan (Loucks, 1971 dalam Peplau & Perlman, 1982).
Mereka juga cenderung lebih kasar terhadap orang lain (Moore & Sermat, 1974;
Loucks, 1974 dalam Peplau & Perlman, 1982). Hasil yang sama didapat dari sample
mahasiswa dan lansia yaitu munculnya rasa marah, menutup diri, kosong dan
canggung (Perlman et al, 1978).
Menurut Moustakas (1961 dalam Turnip, 1997), manifestasi afektif dari
kesepian kecemasan adalah duka cita dan rasa kehilangan yang mendalam dan tidak
dapat dihindari; sedang depresi yang terjadi menyeluruh berakibat kehampaan dan
rasa putus asa. Muncul juga rasa inferior dan rasa nyeri serta penderitaan karena
orang yang bersangkutan merasa tidak dicintai dan diabaikan.
2.1.5.4.2. Manifestasi Motivasional
Dua kontradiksi muncul dalam manifestasi ini. Satu sisi mengatakan bahwa
kesepian sebagai sesuatu yang merangsang. Sullivan (1953) menyatakan bahwa
loneliness adalah dorongan, kekuatan yang memotivasi orang untuk mencari interaksi
sosial walaupun mereka merasa cemas untuk melakukannya.
Sisi lainnya mengatakan bahwa kesepian menurunkan motivasi. Fromm &
Reichman (1959) menyatakan bahwa kesepian yang sesungguhnya menyebabkan
ketidakberdayaan yang melumpuhkan dan kesia-siaan yang pasti dihadapi. Penelitian
Perlman (unpublishes research) menemukan bahwa orang yang kesepian
56
mengeluarkan pernyataan apatis seperti “Kekuatan saya sepertinya sering menjauh
dari saya” dan menolak pernyataan “Saya mempunyai banyak energi”.
2.1.5.4.3. Manifestasi Kognitif
Ada bukti yang menyatakan bahwa pada umumnya orang yang kesepian
kurang sanggup berkonsentrasi secara efektif (Perlman, unpublishes research). Orang
yang kesepian biasanya juga sangat sadar (aware) dan sangat terfokus terhadap
dirinya (Jones, Freemon, Goswick, 1981). Weiss (dikutip dalam Witriani, 2000)
mengatakan bahwa orang yang kesepian biasanya bersikap sangat waspada dalam
hubungan interpersonal.
Apabila seseorang yang kesepian memiliki kepribadian yang stabil, maka
kemungkinan dialaminya depresi pun berkurang (Michela, Peplau, Weeks, 1980).
2.1.5.4.4. Korelasi Tingkah Laku dengan Kesepian
Menurut Moustakas (1961) tingkah laku yang menyertai kesepian antara lain
ketidakbahagiaan, kesedihan yang mendalam, kepura-puraan, kepalsuan, mengenali
orang lain pada permukaan saja, kegagalan mencari makna eksistensi yang sering
menimbulkan ketakutan akan munculnya kesepian.
Orang yang kesepian biasanya juga menjadi mudah curiga, dan mudah sekali
terluka hatinya, bahkan oleh kritik yang paling halus sekalipun (Moustakas, 1961).
Mereka bisa terjerumus ke dalam kesedihan yang pasif; menangis, tidur, makan,
57
menonton televisi terus menerus adalah contoh manifestasinya (Deaux, Dane,
Wrightsman, 1993).
2.1.5.4.5. Konsekuensi Sosial dan Kesehatan
Konsekuensi kesepian tidak hanya dirasakan oleh individu yang
bersangkutan, melainkan juga oleh masyarakat sekitarnya sebagai satu kesatuan.
Misalnya, banyak remaja yang dihinggapi kesepian menampilkan tingkah laku yang
menyimpang sehingga merugikan masyarakat sekitarnya, misalnya kebiasaan
membolos, ketergantungan obat, delikuensi, perkelahian masal dan tindakan-tindakan
destruktif lainnya (Brennann & Auslander, 1979), bahkan ada yang sampai bunuh diri
(Wenzs, 1977).
Kesepian berkorelasi dengan depresi dan kecemasan; sehingga banyak tanda-
tanda fisik yang menyertainya, seperti gangguan makan atau tidur, sakit kepala, mual-
mual (Perlman & Peplau, 1982). Kesepian juga berkorelasi dengan frekuensi minum
alkohol (Rubenstein & Shaver, 1982). Orang yang kesepian cenderung menjadi
alkoholik sebagai respon terhadap masalah pribadi dan stress (Perlman, unpublished
research). Mereka juga lebih rentan terhadap penyakit (Peplau, Russel & Cutrona,
unpublished research).
Beberapa pengertian tentang perasaan kesepian (loneliness) telah diberikan
oleh para ahli sosial terdahulu, namun dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik
suatu benang merah mengenai pandangan mereka mengenai perasaan kesepian yaitu
58
menjadi tiga dasar dari perasaan kesepian (Perlman & Peplau, 1982 dalam Iwan
Suhadi, 2005).
1. Perasaan kesepian adalah suatu hasil dari kurangnya relasi sosial seseorang.
2. Perasaan kesepian adalah sesuatu yang bersifat subyektif, berarti tidak dapat
disamakan dengan isolasi sosial yang sifatnya obyektif.
3. Mengalami suatu perasan kesepian adalah tidak menyenangkan dan sangat
menekan.
Meningkatnya jumlah manula di dunia termasuk Indonesia akibat perbaikan
layanan kesehatan menimbulkan masalah baru, khususnya bagi mereka yang terpaksa
tinggal di panti werdha. Beberapa penelitian (Drageset, 2003; Hicks, 2003)
melaporkan bahwa kehidupan para manula di panti werdha dapat menimbulkan
kesepian pada diri mereka. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satu faktor
penyebabnya adalah dikarenakan kurang teraturnya kunjungan keluarga terhadap
anggota keluarganya yang tinggal di panti werdha akibat kesibukan yang dialami oleh
anggota keluarga dari penghuni panti.
2.1.6. Musik
Musik adalah bunyi yang diterima oleh individu dan berbeda-beda
berdasarkan sejarah, lokasi, budaya dan selera seseorang. Definisi sejati tentang
musik juga bermacam-macam, yaitu :
1. Bunyi yang dianggap enak oleh pendengarnya.
59
2. Segala bunyi yang dihasilkan secara sengaja oleh seseorang atau kumpulan
dan disajikan sebagai musik.
Musik adalah suatu seni suara yang mengeskpresikan ide-ide dan emosi dalam
bentuk yang signifikan ke dalam elemen-elemen seperti ritme, melodi, harmoni, dan
warna suara (Webster Encyclopedic Unabridged Dictionary of The England
Language, 1989).
Musik dikenal memiliki kekuatan khusus yang mampu melampaui pikiran,
emosi, dan kesehatan fisik, hal ini dipercayai dalam masyarakat Yunani kuno. Musik
menurut Aristoteles mempunyai kemampuan sebagai katarsis emosi dimana mampu
mendamaikan hati yang gundah, mempunyai terapi rekreatif dan menumbuhkan jiwa
patriotisme; Plato menyebut musik sebagai obat jiwa; dan Caelius Aurelianus yang
anti-diskriminasi, menggunakan musik untuk melawan gangguan-gangguan kejiwaan.
Disadari atau tidak, musik bisa mempengaruhi hidup seseorang. Dengan
mendengarkan musik, seseorang dapat menghadirkan suasana yang mempengaruhi
batinnya. Apakah itu suasana bahagia ataupun sedih, bergantung pada pendengar itu
sendiri. Yang jelas, musik mampu memberikan semangat pada jiwa yang lelah.
Musik juga dapat difungsikan sebagai sarana terapi kesehatan. Ketika mendengarkan
musik, gelombang listrik yang ada di otak pendengar dapat diperlambat dan
dipercepat. Hal ini membuat kinerja sistem tubuh mengalami perubahan. Bahkan,
musik juga mampu mengatur hormon-hormon yang mempengaruhi stres seseorang,
serta mampu meningkatkan daya ingat pada otak.
60
Selain itu, musik juga memiliki kekuatan untuk memengaruhi denyut jantung
dan tekanan darah sesuai dengan frekuensi, tempo, dan volumenya. Makin lambat
tempo musik, denyut jantung semakin lambat dan tekanan darah menurun. Kemudian
pendengar pun terbawa dalam suasana rileks, baik itu pada pikiran maupun pada
tubuh.
2.1.6.1 Unsur-unsur dalam musik
Musik memiliki 3 bagian penting, yaitu beat, ritme, dan harmoni. Kombinasi
ketiganya akan menghasilkan musik yang enak. “Musik yang baik, adalah musik
yang menyelaraskan ketiganya,” ujar Dra. Louise, M.Psi., seorang psikolog sekaligus
terapis musik dari Present Education Program RSAB Harapan Kita, Jakarta.
Sedangkan menurut Djohan (2005) menjelaskan musik sebagai serangkaian
suara yang diorganisir sedemikian rupa dengan dukungan elemen-elemen yang
menyertainya, yaitu: pitch, timbre (warna suara), tempo, dan dinamika keras
lembutnya suara).
2.1.7. Terapi Musik
2.1.7.1. Definisi Terapi Musik
Musik dapat digunakan sebagai terapi untuk menstimulasi, memulihkan,
menghidupkan, mempersatukan, membuat seseorang peka, menjadi saluran, dan
memerdekakan. Terapi musik memiliki suatu kapasitas yang unik dan mapan
61
sehingga memungkinkan terjadinya perubahan hidup. (Artikel majalah Sahabat
Gembala; Musik sebagai Alat Konseling, Rodney J. Hunter, Juli 1992).
Banyaknya cara penggunaan musik sebagai alat terapi, menyebabkan tidak
mudah untuk mendefinisikan terapi musik secara tepat. Sejak awal
perkembangannya, terapi musik didefinisikan sesuai dengan berbagai kepentingan.
National Association for Music Therapy (1960) di Amerika Serikat misalnya,
mendefinisikan terapi musik sebagai :
“Penerapan seni musik secara ilmiah oleh seorang terapis, yang menggunakan
musik sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan terapi tertentu melalui perubahan
tingkah laku.”
Dua dasawarsa kemudian, dengan berkembangnya teknik dan standar praktik
yang baru sebagai perkembangan dari bermacam-macam tuntutan kebutuhan klien,
definisi terapi musik diperjelas menjadi :
“Suatu aplikasi sistematis dengan menggunakan musik yang dilakukan oleh
seorang terapis musik dalam lingkup terapi, yang dimaksudkan untuk mencapai
perubahan perilaku. Dengan perubahan tersebut klien diharapkan dapat memahami
dirinya dan dunianya secara mendalam, serta mampu menyesuaikan diri dalam
masyarakat. Seorang terapis musik profesional berperan dalam menganalisis masalah
kliennya dan menetapkan sebuah tujuan umum sebelum merencanakan dan
melakukan serangkaian aktivitas musik secara khusus bagi kliennya. Proses ini
diikuti dengan evaluasi secara periodik untuk mengkaji efektivitas dari prosedur yang
dilakukan.”
62
Sejak tahun 1980, terapi musik berkembang menjadi pengetahuan baru dan
diakui sebagai bagian dari profesi kesehatan. Dalam rumusan The American Music
Therapy Association (1997), terapi musik secara spesifik disebut sebagai sebuah
profesi di bidang kesehatan.
“Terapi musik adalah suatu profesi di bidang kesehatan yang menggunakan
musik dan aktivitas musik untuk mengatasi berbagai masalah dalam aspek fisik,
psikologis, kognitif dan kebutuhan sosial individu yang mengalami cacat fisik.
(AMTA, 1997)”
Berbagai definisi masih terus berkembang, antara lain dengan menyebutkan
secara rinci untuk siapa terapi musik diperuntukkan :
“Terapi musik adalah penggunaan musik dalam lingkup klinis, pendidikan,
dan sosial bagi klien atau pasien yang membutuhkan pengobatan, pendidikan atau
intervensi pada aspek sosial dan psikologis. (Wigram, 2000e)”
dengan maksud agar definisinya dapat lebih umum dan merangkul semua
definisi terapi musik yang ada, maka pada tahun 1996 Federasi Terapi Musik Dunia
(WMFT) mengemukakan definisi terapi musik yang lebih menyeluruh, yaitu :
“Terapi musik adalah penggunaan musik dan / atau elemen musik (suara,
irama, melodi, dan harmoni) oleh seorang terapis musik yang telah memenuhi
kualifikasi, terhadap klien atau kelompok dalam proses membangun komunikasi,
meningkatkan relasi interpersonal, belajar, meningkatkan mobilitas, mengungkapkan
ekspresi, menata diri atau untuk mencapai berbagai tujuan terapi lainnya. Proses ini
dirancang untuk memenuhi kebutuhan fisik, emosi mental, sosial maupun kognitif,
63
dalam rangka upaya pencegahan, rehabilitasi, atau pemberian perlakuan. Terapi
musik bertujuan mengembangkan potensi dan / atau memperbaiki fungsi individu,
baik melalui penataan diri sendiri maupun dalam relasinya dengan orang lain, agar ia
dapat mencapai keberhasilan dan kualitas hidup yang lebih baik.”
Dari definisi di atas dapat dilihat bahwa terapi musik tidak saja bersifat
memperbaiki dan mengatasi suatu kekurangan, tapi juga dapat diandalkan sebagai
sarana prevensi. Beberapa literatur bahkan menyebutkan, pencegahan atau prevensi
adalah bagian terpenting dalam sebuah proses terapi musik. Dikatakan juga, terapi
musik akan sangat bermakna jika dapat dijadikan sarana pencegahan jangka panjang.
Berbagai penelitian selama setengah abad lebih menunjukkan bahwa terapi
musik terbukti efektif dalam membantu rehabilitasi gangguan fisik, peningkatan
motivasi dalam menjalani perawatan, memberikan dorongan emosional untuk klien
dan keluarga, mengekspresikan perasaan dan dalam berbagai proses psikoterapi.
Terapi musik adalah salah satu teknik penyembuhan yang secara langsung
menyentuh kedua sisi (tubuh dan pikiran) yang terdapat dalam tubuh setiap manusia
secara menyeluruh.
2.1.7.2. Aspek Pendukung Terapi Musik
2.1.7.2.1. Psikobiologis Suara
Manusia memiliki telinga sebagai alat penerima suara dan bunyi, yang
berfungsi sejak masih berupa janin berusia 16 minggu dan terus berlangsung
sepanjang hidup. Kemampuan manusia untuk dapat mendengarkan suara sangat
64
terbatas, telinga normal umumnya hanya dapat mendengar bunyi yang memiliki
frekuensi antara 20 Hertz (hz) sampai 20.000 Hz. Semakin lanjut usia seseorang,
jangkauan pendengaran akan semakin berkurang.
Pemahaman seseorang mengenai suara sangat tergantung pada bagaimana
persepsi orang tersebut terhadap apa yang ia dengar. Persepsi ini dapat diperngaruhi
oleh pengalaman musikal dan pengalaman sosial-budaya. Keberhasilan terapi musik
akan sangat ditentukan oleh peran suara dan persepsi klien terhadap suara yang ia
dengar. Oleh karena itu, diperlukan pula mengenai pengetahuan tentang sumber-
sumber suara, cepat rambat suara, batas-batas pendengaran sesuai usia klien, dan juga
pemahaman klien terhadap warna bunyi. Selanjutnya, pemahaman tentang suara juga
membutuhkan pengetahuan tentang efek suara terhadap persepsi klien. Misalnya,
apakah bunyi suara-suara tertentu menimbulkan ingatan traumatik terhadap klien.
Jika ada, terapis perlu tanggap terhadap efek psikobiologis yang ditampakkan oleh
klien, seperti pucat, keringat dingin, badan gemetar dan napas sesak, indikator-
indikator ini perlu dipahami dengan baik, dan karenanya seorang calon terapis musik
harus mempunyai gambaran tentang aspek psikobiologis suara.
Pemahaman tentang aspek psikobiologis suara berawal dengan pengertian
bahwa perubahan getaran udara sebenarnya adalah musik. Dalam perjalanan
selanjutnya, diyakini bahwa tubuh kita adalah sumber suara dan bahwa organ-organ
tubuh sekaligus dapat dianalogikan sebagai seperangkat alat musik. Tubuh manusia
sebenarnya sarat dengan bunyi, sebagai contoh adalah denyut jantung dan lambung
dapat menghasilkan berbagai macam suara.
65
Hasil penelitian para pakar fisiologi menunjukkan keterkaitan antara aspek-
aspek biologi dan musik. Berikut beberapa contoh penelitian yang telah dilakukan;
M. Getry bersama Hector Berlioz seorang komponis Perancis (dalam Djohan, 2006)
melakukan observasi mengenai kinerja musik pada nadi. Haller, melaporkan bahwa
memainkan alat perkusi genderang akan melipat gandanya semburan aliran darah dari
urat nadi. Sementara itu, Dogiel dari Rusia (dalam Djohan, 2006) memperdengarkan
nada tertentu melalui alat musik tiup dan piano pada hewan dan manusia, ditemukan
bahwa hewan dan manusia sama-sama bereaksi pada stimuli suara, sehingga terjadi
akselerasi pada tekanan jantung. Meskipun demikian, efek tersebut lebih intens
terjadi pada hewan sementara pada manusia reaksinya bervariasi. Penelitian lainnya
masih banyak lagi.
Sebagai contoh diterangkan lebih lanjut oleh Djohan (2006), rata-rata
hitungan normal dalam setiap ketukan musik hampir sama dengan rata-rata detak
jantung manusia yaitu antara 72 sampai 80 ketukan per menit. Maka musik yang
simulatif, yaitu yang biasanya dimainkan dengan tempo lebih cepat, dapat
meningkatkan detak jantung, sementara musik yang menenangkan biasanya adalah
musik-musik yang bertempo lebih lambat.
Terdapat empat elemen musik yang menjadi dasar pemberian perilaku pada
terapi musik; yaitu :
1. Pitch
Pitch-tension dalam musik lebih dikenal dengan sebutan tonal tension.
Tonal tension adalah perpindahan nada sebagai suatu melodi atau harmoni
66
yang memiliki jarak tertentu sesuai dengan jarak dalam tangga nada.
Perpindahan dapat terjadi dengan naik atau turunnya nada dengan mode
mayor dan minor. Kutub dari ekspresi musik ditunjukkan dengan sistem yang
saling berhubungan yang disebut mode mayor dan minor berdasarkan trinada
mayor dan minor.
2. Tempo
Adalah rata-rata satuan waktu pada saat sebuah musik dimainkan yang
menggambarkan kecepatan musik tersebut. Tempo biasa disebut sebagai
langkah musik, menentukan kecepatan musik. Mengalirnya musik dalam
waktu melibatkan irama dan tempo.
Istilah-istilah tempo secara umum diambil dari bahasa Italia, suatu
sisa-sisa jaman dimana opera Italia pernah mendominasi daratan Eropa. Yang
termasuk istilah tempo misalnya allegro, Vivace, Andante, Grave, Adagio,
Largo, dan sebagainya.
3. Timbre
Timbre adalah warna bunyi, berupa keseluruhan kesan pendengaran
yang kita peroleh dari sumber bunyi, setelah dipengaruhi resonansi dan zat
pengantar. Penjelasan lainnya yaitu perbedaan sifat antara dua nada yang
sama kuat dan sama tinggi nadanya dalam konstruksi instrumen, yang disebut
juga warna suara atau kualitas suara. Sebagai contoh, jika dua alat musik,
misalnya gitar dan trombon dimainkan bersama-sama pada nada dasar / pitch
67
yang sama, kita tetap dapat membedakan mana suara gitar dan mana suara
trombon karena keduanya memiliki warna suara yang berbeda.
4. Dinamika
Adalah aspek musik yang terkait dengan tingkat kekerasan bunyi, atau
gradasi kekerasan dan kelembutan suara musik, atau secara singkat dinamika
diartikan sebagai derajat keras atau lembutnya musik saat dimainkan. Peran
dinamika dalam musik dapat dianalogikan dengan peranan terang dan
tajamnya gambar atau warna dalam lukisan.
Macam-macam tanda dinamika yang biasa digunakan antara lain
piano (p), pianissimo (pp), forte (f), fortissimo (ff), dan sebagainya. Tanda
tempo dam dinamika bisa merupakan petunjuk berharga bagi kandungan
ekspresi yang ada dalam suatu karya musik, karena itu tanda-tanda tersebut
biasa disebut sebagai “tanda-tanda ekspresi”.
2.1.7.2.2. Musik dan Penyembuhan
Manusia menggunakan musik untuk tujuan penyembuhan sejak peradaban
dimulai. Berawal dari zaman Yunani kuno hingga saat ini, praktik penyembuhan
berdasarkan suara dan musik masih terus berlangsung. Menurut Bruscia (1987),
penyembuhan melalui suara berbeda dengan penyembuhan melalui musik. Untuk
lebih jelasnya dijabarkan sebagai berikut :
1. Penyembuhan melalui suara didasarkan pada pengertian bahwa segala sesuatu
dalam alam semesta ini adalah vibrasi. Beberapa vibrasi dapat dirasakan
68
dalam tubuh, ada yang dapat dilihat atau didengar sementara yang lain
mungkin hanya dapat dirasakan dalam perubahan kondisi kesadaran tertentu.
Karena itu, penyembuhan melalui suara adalah penggunaan vibrasi frekuensi
atau bentuk suara yang dikombinasikan dengan musik atau elemen musikal
(misalkan irama, melodi, harmoni) untuk meningkatkan kesembuhan. Titik
beratnya adalah pada perubahan-perubahan fisiologis seperti penurunan
tekanan darah, detak jantung, atau meredakan ketegangan otot. Newhan
(1998) mengemukakan penggunaan pernapasan, tubuh, dan latihan suara serta
teknik menata suara klien secara bebas, pada dasarnya bertujuan mengeliminir
ketegangan otot, energi yang menghalangi dan membatasi tubuh, pikiran dan
spiritual.
2. Penyembuhan melalui musik adalah penggunaan pengalaman musikal, bentuk
energi dan kekuatan universal yang melekat pada musik untuk
menyembuhkan tubuh, pikiran, dan aspek-aspek spiritual. Agak sulit untuk
menjelaskan perbedaan penyembuhan melalui musik, karena untuk sebagian
orang suara-suara tertentu dapat saja dimaknai sebagai musik. Terapi musik
meyakini adanya sinergi antara potensi penyembuhan diri yang dimiliki klien
sebagai individu, dan adanya relasi terapeutik yang memungkinkan klien
untuk memperoleh kekuatan luar biasa yang disalurkan secara eksternal
melalui terapi.
69
2.1.7.2.3. Respon Fisiologis Terhadap Musik
Dalam terapi musik, kerangka musik disediakan untuk dapat menemukan
tingkat psikologis yang mendalam. Juliette Alvin (Melly Norayana, 2009) seorang
pelopor terapi musik mengingatkan bahwa efek musik terhadap aspek fisik klien tidak
boleh diabaikan. Karena menurutnya, sangat penting untuk memahami respons
fisiologis dan bagaimana musik dapat mempengaruhi tubuh manusia. Aspek ini
sering diabaikan karena dianggap berhubungan langsung dengan aspek psikologis
dan psikoterapi yang penting dalam terapi musik. Namun sebenarnya, seseorang tidak
mungkin menunjukkan efek emosional dari musik tanpa menghubungkannya dengan
efek fisik dari suara yang memicu reaksi fisiologis.
Menurut hasil beberapa penelitian, beberapa indikator fisik dan fisiologis
yang tidak dapat diabaikan adalah :
a. Detak jantung,
b. Tekanan darah,
c. Pernapasan,
d. Suhu kulit,
e. Aktivitas arus listrik pada permukaan kulit, dan
f. Gelombang otak.
Menurut dr. Sondang Aemilia Pandjaitan-Sirait, Sp.KK (2006) efek musik
terhadap berbagai bagian dan fungsi tubuh kita, diantaranya :
70
1. Hubungan Musik Dengan Fungsi Otak
Semua jenis bunyi atau bila bunyi tersebut dalam suatu rangkaian teratur yang
dikenal dengan musik, akan masuk melalui telinga, kemudian menggetarkan
gendang telinga, mengguncang cairan di telinga dalam serta menggetarkan sel-sel
berambut di dalam Koklea untuk selanjutnya melalui saraf Koklearis menuju ke
otak. Ada 3 buah jaras Retikuler atau Reticular Activating System yang diketahui
sampai saat ini. Pertama: jaras retikuler-talamus. Musik akan diterima langsung
oleh Talamus, yaitu suatu bagian otak yang mengatur emosi, sensasi, dan
perasaan, tanpa terlebih dahulu dicerna oleh bagian otak yang berpikir mengenai
baik-buruk maupun intelegensia. Kedua: melalui Hipotalamus mempengaruhi
struktur basal "forebrain" termasuk sistem limbik, dan ketiga: melalui axon
neuron secara difus mempersarafi neokorteks. Hipotalamus merupakan pusat
saraf otonom yang mengatur fungsi pernapasan, denyut jantung, tekanan darah,
pergerakan otot usus, fungsi endokrin, memori, dan lain-lain (dr. Sondang
Aemilia Pandjaitan-Sirait, Sp.KK, 2006). Seorang peneliti Ira Altschuler (dalam
Melly Norayana, 2009) mengatakan "Sekali suatu stimulus mencapai Talamus,
maka secara otomatis pusat otak telah diinvasi." Secara lebih lengkap dapat
dilihat dalam lampiran 1; bagan Efek Musik Terhadap Otak. dan Tubuh Manusia
beserta gambar bagian-bagian otak.
Sebuah survei pada suatu seminar menunjukkan bahwa pendengarnya
mengatakan bahwa mereka tidak mendengarkan syair dari sebuah lagu. Namun
pada waktu lagu tersebut diperdengarkan, separuh dari mereka dapat
71
melagukannya tanpa mereka sadari. Hal ini menunjukkan adanya memori dalam
otak yang mampu merekam apa saja yang masuk melalui pendengarannya
bersama musik, tanpa mampu dicerna oleh akal sehat. Kesimpulannya tidak ada
lagu/musik yang mampu dicegah masuknya ke dalam otak kita, walaupun kita
berkata "Saya tidak mendengarkan syairnya".
Seorang peneliti, Donald Hodges dalam Melly Norayana (2009)
mengemukakan bahwa bagian otak yang dikenal sebagai Planum Temporale dan
Corpus Callosum memiliki ukuran lebih besar pada otak musisi jika dibandingkan
dengan mereka yang bukan musisi. Kedua bagian ini bahkan lebih besar lagi jika
para musisi tersebut telah belajar musik sejak usia yang masih sangat muda yakni
di bawah usia tujuh tahun. Gilman dan Newman (1996) mengemukakan bahwa
Planum Temporale adalah bagian otak yang banyak berperan dalam proses verbal
dan pendengaran, sedangkan Corpus Callosum berfungsi sebagai pengirim pesan
berita dari otak kiri ke sebelah kanan dan sebaliknya. Seperti kita ketahui otak
manusia memiliki dua bagian besar, yaitu otak kiri dan otak kanan. Walaupun
banyak peneliti mengatakan bahwa kemampuan musikal seseorang berpusat pada
belahan otak kanan, namun pada proses perkembangannya proporsi kemampuan
yang tadinya terhimpun hanya pada otak kanan akan menyebar melalui Corpus
Callosum kebelahan otak kiri. Akibatnya, kemampuan tersebut berpengaruh pada
perkembangan linguistik seseorang. Dr. Lawrence Parsons dari Universitas Texas
San Antonio menemukan data bahwa harmoni, melodi dan ritme memiliki
perbedaan pola aktivitas pada otak. Melodi menghasilkan gelombang otak yang
72
sama pada otak kiri maupun kanan, sedangkan harmoni dan ritme lebih terfokus
pada belahan otak kiri saja. Namun secara keseluruhan, musik melibatkan hampir
seluruh bagian otak. Dr. Gottfried Schlaug dari Boston mengemukakan bahwa
otak seorang laki-laki musisi memiliki Cerebellum (otak kecil) 5% lebih besar
dibandingkan yang bukan musisi. Kesemua ini memberikan pengertian bahwa
latihan musik memberikan dampak tertentu pada proses perkembangan otak.
(dikutip dari Melly Norayana, 2009).
2. Musik Dan Produksi Hormon
Mary Griffith (Melly Norayana, 2009), seorang ahli fisiologi, mengemukakan
bahwa hipotalamus mengontrol berbagai fungsi saraf otonom, seperti bernapas,
denyut jantung, tekanan darah, pergerakan usus, pengeluaran hormon tiroid,
hormon adrenal cortex, hormon sex, bahkan dapat mengontrol seluruh
metabolisme tubuh kita. Sebuah studi menemukan adanya peningkatan
Luteinizing Hormone (LH) pada saat mendengarkan musik. LH adalah suatu
hormon sex yang merangsang pematangan sel telur.
Penelitian lain oleh Satiadarma (1990) dilakukan dengan cara mengukur suhu
kulit menggunakan alat Galvanic Skin Response (GSR). Pada saat subyek
penelitian mendengarkan musik hingar-bingar, maka suhu kulit lebih rendah dari
pada suhu basal (suhu normal individu tersebut tanpa musik). Sebaliknya, ketika
musik lembut diperdengarkan, suhu kulit meninggi dari biasanya. Hal ini
menunjukkan adanya suatu hormon stress yang dilepaskan oleh otak, yaitu
73
Adrenalin, yang dapat mempengaruhi bekerjanya pembuluh darah di kulit untuk
vasokonstriksi (menyempit) atau vasodilatasi (melebar). Pada kondisi stress,
adrenalin banyak dikeluarkan dan pembuluh darah kulit menyempit, sehingga
suhu kulit menurun. Kesimpulannya adalah jenis musik hingar-bingar dapat
menyebabkan kita stress, sedangkan musik lembut memiliki efek menenangkan.
Sebuah penelitian oleh Ann Ekeberg dalam Melly Norayana (2009),
menunjukkan pengaruh jenis musik terhadap denyut jantung. Siswa di sebuah
sekolah menjadi subyek penelitian dan mereka diukur kecepatan denyut nadinya
sebelum mendengar musik. Kemudian musik jenis hard rock diperdengarkan
selama 5 menit. Semua siswa harus tetap duduk tenang di kursi mereka. Pada
akhir tes, denyut nadi diperiksa kembali dan dicatat. Hasilnya adalah peningkatan
denyut nadi sebesar 7-12 denyut per menit.
David Noebel, meneliti bahwa nada bass dengan getaran frekuensi rendah
bersama-sama dengan dentuman drum, mempengaruhi cairan serebrospinal, yang
akan mempengaruhi kelenjar Pituitary di otak. Kelenjar ini memiliki fungsi
sekresi berbagai hormon tubuh. (Melly Norayana, 2009).
Musik juga dikenal sebagai wahana terapi. Sejak zaman dahulu dikenal
penyembuhan fisik dan mental melalui musik. Daud memainkan kecapi sambil
menyanyi untuk menyembuhkan Raja Saul yang sedang gundah. Musik juga
dipakai oleh Raja Philip V dari Spanyol, Raja George II dari Inggris, dan Raja
Ludwig II dari Bavaria untuk penyembuhan. O’Sullivan (1991) mengemukakan
bahwa musik mempengaruhi imaginasi, intelegensi dan memori, di samping juga
74
mempengaruhi hipofisis di otak untuk melepaskan endorfin. Endorfin kita ketahui
dapat mengurangi rasa nyeri, sehingga dapat mengurangi penggunaan obat
analgetik, juga menurunkan kadar katekolamin dalam darah, sehingga denyut
jantung menurun. Mornhinweg (1992) meneliti 58 subyek sehat untuk menilai
jenis musik mana yang menurunkan stress. Musik klasik ternyata memberikan
efek relaksasi yang dapat dibuktikan secara statistik dibandingkan dengan musik
"new age". Musik yang menenangkan ini juga dipakai dalam pengobatan
penderita infark miokard (serangan jantung), pasien sebelum operasi, bahkan
untuk menurunkan stres pasien yang menunggu di ruang tunggu praktek.
Chanagi H (1996) dan Segal (1999) melaporkan hasil penelitian atas teori
neuron (sel konduktor pada sistim saraf) bahwa neuron akan menjadi sirkuit jika
ada rangsang musik, karena suara mengakibatkan neuron-neuron yang terpisah
akan bertautan dengan mengintegrasikan diri dalam sirkuit otak. Semakin banyak
atau semakin sering rangsang musik diberikan maka akan semakin kompleks
jalinan antar neuron itu dan akan mempengaruhi kemampuan matematika, logika,
bahasa, musik, dan juga emosi pada diri seseorang.
3. Hubungan Musik dengan Ritme Tubuh
Pada dasarnya manusia adalah mahluk yang ritmik. Ada siklus gelombang
pada otak, siklus tidur, denyut jantung, sistem pencernaan, dan lain-lain yang
kesemuanya bekerja dalam satu ritme. Fenomena ritmik ini bukan hanya terjadi
pada manusia, tetapi pada hampir semua mahluk hidup, termasuk tumbuh-
75
tumbuhan. Bila ada gangguan terhadap ritme tubuh ini, maka dapat terjadi
berbagai penyakit, seperti diabetes, kanker, dan gangguan pernapasan. Menurut
John Diamond, seorang dokter di New York, ritme yang berlawanan dengan ritme
tubuh akan mengganggu sinkronisasi antara kedua sisi otak, dengan demikian
simetri antara otak kiri dan kanan tidak ada lagi. Ia mencoba memperdengarkan
musik rock pada pekerja pabrik, ternyata produktivitas menurun. Dibutuhkan
jenis musik dengan ritme tertentu untuk dapat meningkatkan produktivitas
pekerja, bila musik yang dipilih salah, maka pasti akan berefek buruk. Dalam
laboratorium ia mencoba memberi beban pada lengan pria dan ternyata mampu
menahan sampai 45 pound. Namun bila musik rock didengarkan, maka
kemampuan itu menurun. Peneliti lain dari Stanford University mencatat
hubungan antara otak, otot dan musik untuk menghasilkan pekerjaan yang baik.
Sebuah alat mengukur gelombang elektrik dari otot para wanita pekerja; musik
didengarkan dan gelombang otot dicatat. Musik dengan ritme tidak teratur
menghasilkan gelombang elektrik otot yang tampak seperti orang yang tidak
pengalaman bekerja dengan tangannya. Namun dengan musik yang ritmenya
teratur, gelombang elektriknya menunjukkan gelombang seperti pekerja yang
pengalaman, sehingga efisiensi kerja bertambah. (Melly Norayana, 2009).
Peneliti lain mencoba merekam gelombang otak selama diperdengarkan ritme
anapestic, terjadi gangguan pada gelombang alfa otak, sehingga terjadi
"switching". Switching adalah sebuah fenomena yang timbul pada orang dewasa
yang sakit jiwa/gila (skizofrenia), di mana orang tersebut akan menjadi seperti
76
anak kecil dan berjalan seperti hewan melata/reptil (merangkak dengan kaki-
tangan bersamaan sisi, yang seharusnya berlawanan). Bila hubungan otak kanan
dengan kiri berjalan normal, maka seperti bayi normal akan merangkak dengan
kaki-tangan berlawanan sisi. Gerakan orang yang mendengar musik rock sering
"bopping", yang juga merupakan gerakan sesisi/homolateral. Ternyata tidak
semua musik rock memiliki ritme anapestik, musik klasikpun ada yang memiliki
ritme demikian. Finale pada lagu Rite of Spring dari Igor Stravinsky, memiliki
ritme ini. Pada pertama kalinya lagu ini dimainkan dalam konser di Paris tahun
1913, terjadi kerusuhan dan pengrusakan gedung konser. Hanya dalam waktu 10
menit telah mulai terjadi perkelahian.
Peneliti lain menggunakan tikus sebagai subyek penelitian. Studi ini
dilakukan dengan memperdengarkan musik dengan bunyi yang tidak beraturan
dan dengan suara drum yang terus menerus. Tikus-tikus ini pada akhirnya bukan
saja mengalami kesulitan belajar dan gangguan memori, namun juga perubahan
struktur sel-sel otak. Neuron menunjukkan adanya kerusakan "wear and tear"
karena stress. Diambil suatu kesimpulan, bahwa ritme-lah yang dapat
mengganggu keseimbangan otak, bukan melodi atau harmoni. Setiap mahluk
hidup memiliki ritme, bila harmoni ritme ini diganggu oleh suatu disharmoni,
maka akan timbul efek yang merusak. Nordwark (1970) dan Butler (1973)
melaporkan bahwa stimulasi auditorik yang terjadi terus menerus akan
menyebabkan terjadinya adaptasi. Suara kereta yang terus menerus akan
menyebabkan respons inhibisi/menghambat pada sistem pendengaran. Reaksi
77
adaptasi ini terjadi dalam waktu 3 menit dan baru dapat hilang setelah periode
pemulihan selama 1-2 menit. Musik bila akan digunakan sebagai pengobatan,
harus mampu merangsang pelepasan endorfin. Bila terjadi inhibisi, maka proses
ini tidak terjadi.
2.1.7.2.4. Respon Emosi Musikal
Musik dapat membangkitkan jenis emosi yang kuat. Tidak hanya karena
pendengar memiliki reaksi emosional terhadap musik, tetapi juga karena komposisi
musik mewakili suatu jenis emosi tertentu yang dapat dikenali oleh pendengar.
Secara teoritis, musik dapat mempengaruhi keterbangkitan emosi dapat dijelaskan
sebagai berikut. Saat pendengar mendengarkan musik, mereka dapat menerima tanda-
tanda dan unsur-unsur musik yang menyertainya yang kemudian kesemuanya itu
saling berhubungan dan berasosiasi dengan konotasi emosi tertentu. Maka muncullah
suatu perbedaan emosional dalam musik yaitu, major tonality berhubungan dengan
‘happiness’ dan minor tonality berhubungan dengan ‘sadness’
Respon emosi musikal adalah masalah yang selalu akan menyertai suatu
proses terapi musik. Memahami emosi yang muncul karena mendengarkan musik,
sedikit banyak akan menjelaskan mengapa seseorang atau sekelompok orang
menyukai musik tersebut, latar belakang yang mendorong munculnya emosi karena
mendengarkan lagu tertentu, atau musik seperti apa yang membuat seseorang merasa
lebih nyaman. Bila dikaitkan dengan dengan terapi musik, maka salah satu inti
perlakuan musik terhadap klien adalah pada respon emosinya. Artinya respon yang
78
diberikan akan menunjukkan seberapa jauh pengaruh yang ditimbulkan dan seberapa
besar makna dari perubahan yang terjadi. (Djohan, 2006).
2.1.7.2.5. Musical Expression
Memahami musik adalah memahami komunikasi makhluk semesta
(Setiadarma, 2002). Musik adalah suatu alat komunikasi yang bersifat universal
meskipun dipengaruhi oleh budaya dan kultur. Sebagai suatu alat komunikasi musik
juga memiliki dimensi kognitif, afektif, dan spiritual. Untuk dapat menikmati musik,
seseorang harus dapat ‘merasakan’ bunyi, mereproduksi imajinasi, bahkan tergugah
emosinya. Singkatnya seseorang harus dapat memberikan ekspresi tersendiri yang
mungkin bersifat subyektif terhadap musik yang didengarnya.
2.1.7.2.6. Musical Perception
Musik adalah suatu medium akustik, atau dapat dikatakan bahwa musik
dibangun melalui suara (Scheire, 1998). Setiap aspek atau unsur musik yang
membuat suatu komposisi berbeda satu dengan yang lain disampaikan melalui
gelombang suara.
2.1.7.2.7. Fisiologi Emosi Musik
Pythagoras pernah menyatakan bahwa vibrasi musik dapat memberikan
kesembuhan serta perubahan pada fisik pendengarnya. Musik yang stimulatif dapat
meningkatkan frekuensi detak jantung, sebaliknya musik yang tenang dapat
79
menurunkan frekuensi detak jantung. Setiap jenis musik dapat dipastikan akan
meningkatkan detak jantung sedangkan detak yang dialami akan semakin meningkat
bila mendengarkan musik-musik yang bersifat stimulatif dibandingkan musik-musik
yang lebih tenang (non-stimulatif). Sejalan dengan terjadinya perubahan detak
jantung, perubahan pernafasan juga dapat dirasakan sebagai hasil intensitas
pengalaman emosi. Peningkatan aktivitas otot seiring dengan pernafasan akan
meningkatkan detak jantung dan hal ini dapat diketahui selama terjadi
hyperventilation (Frijda, 1988). Ries (1969) menemukan korelasi yang signifikan
antara amplitudo pernafasan dan respon emosi terhadap musik, sehingga amplitudo
pernafasan seseorang berhubungan dengan respon afeksinya. Korelasi yang semakin
signifikan dangan semakin tingginya kesukaan subjek terhadap musik yang
didengarnya. Secara umum, frekuensi pernafasan seseorang dapat meningkat saat
mendengar musik yang disukai dan biasanya reaksinya saat menghela nafas pun akan
menjadi lebih dalam. (Djohan, 2003).
Bever (1988) menyatakan bahwa persepsi terhadap bentuk suatu jenis musik
juga meningkat seiring dengan penghargaan terhadap nilai estetis musik tersebut.
Persepsi dan penghargaan terhadap musik juga akan mempengaruhi tingkat kesukaan
yang selanjutnya juga akan menstimuli emosi. Menurut Peretz (2001) emosi musik
muncul secara tertutup dalam otak manusia. Salah satu penemuan baru mengatakan
bahwa aktivitas otak kiri bekerja untuk mengekspresikan kegembiraan musik
(Schmidt & Trainor, 2001 in Peretz, 2001), sedangkan dalam hubungannya dengan
musik aktivitas otak kanan lebih berfungsi mengekspresikan rasa ketakutan dan
80
kesedihan. Bila musik menghasilkan efek fisiologis dan psikologis terhadap
kesehatan manusia sebagai pendengar, maka dapat diasumsikan bahwa seorang
penderita penyakit tertentu akan memiliki respon terhadap musik dengan cara yang
khusus pula (Aldridge, 1996) (dikutip dari Djohan, 2003).
2.1.7.2.8. Musik dan Suasana Hati
Lewis, Dember, Schefft dan Radenhausen (1995) menemukan pengaruh
musik atau video dalam beberapa hasil pengukuran suasana hati melalui kuisioner
tentang optimisme/pesimisme (OPQ), skala sikap dan skala Wessman-Ricks tentang
Elation dan Depression. Sebelumnya dipilih musik dan video dengan kategori
suasana hati positif dan negatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa musik memiliki
pengaruh yang besar terhadap suasana hati tetapi tidak demikian dengan video. Musik
dengan kategori positif menghasilkan peningkatan suasana hati yang positif demikian
pula dengan musik yang sedih juga menghasilkan peningkatan suasana hati negatif.
Maka disimpulkan bahwa sebuah musik cenderung menimbulkan suasana hati yang
sama dalam diri pendengarnya. Mode mayor dan minor dari trinada kutub ekspresi
musik dapat memberikan jenis emosi tertentu (Cooke, 1959). Mode mayor
mengekspresikan emosi positif seperti bahagia, senang, percaya diri, dan cinta.
Sedangkan mode minor dapat mengkspresikan emosi negatif seperti duka, sedih, dan
takut. (dalam Caroline M.D. Nugroho, 2003).
Menurut Djohan (2003), banyak peneliti menganggap bahwa kognisi musik
adalah ’domain dominan’ saat mengenal domain tradisional seperti kognitif,
81
psikomotor, dan afektif. Secara psikologis penentuan aktivitas musik termasuk
persepsi dan kognisi ditanggapi secara apriori walaupun perilaku musikal juga
merupakan salah satu aspek penting dari perilaku manusia. Namun sejauh ini
penelitian atas perilaku musikal selalu dihubungkan dengan proses kognitif dan
persepsi. Neisser, 1997 (dalam Djohan, 2003) mengatakan bahwa psikologi kognitif
dan disiplin terkait menjadi penting dan secara ekologis merupakan penemuan yang
valid dalam proses penggabungan antara disiplin psikologi dan musik. Hubungan
antara konsep psikologi dan musik juga ditunjukkan oleh tumbuh kembangnya
disiplin terapi musik dalam konteks pentingnya pengalaman musikal bagi
kehidupan manusia. Gangguan mental secara psikologis dapat diobati dengan
kelengkapan terapeutik yang dimiliki dalam terapi musik.
Dalam aplikasi pengetahuan dan penelitian dari psikologi musik sebagai
ikhtiar pendidikan musik, tidak perlu dipikirkan pemisahan antara jiwa/pikiran dan
tubuh. Secara sederhana cukup dengan mengacu pada perilaku musikal seseorang
baik secara individual maupun holistik. Menurut Abler (1989), musik memiliki
semua karakter penting dari sistem kimia, genetika, dan bahasa manusia. Sloboda
(1998) secara tegas mengatakan bahwa perasaan manusia terikat dengan bentuk
musik karena terdapat konsistensi dalam respon musik yang secara relatif
memberikan lingkungan yang sama.
82
2.1.7.2.9. Psikologi Musik dan Efek Psikologis
2.1.7.2.9.1. Psikologi Musik
Bidang studi yang mempelajari hubungan antara musik dan psikologi disebut
sebagai Psikologi musik. Pembahasan mengenai psikologi musik dimulai dengan
interdisiplin antara kognisi dan musik. Para ilmuwan Abad 17 melakukan kembali
eksperimen empirik dari Pythagoras seperti yang dijelaskan dalam buku Dialog Plato:
Timaeus dan Republik. Alasan lain melanjutkan ketertarikan penelitian terhadap
musik adalah kepercayaan kuno yang mengatakan bahwa suara musik tidak hanya
berisi rahasia ke-universal-an dalam ketepatan matematis tetapi juga ketepatan
analogi emosi dan karakter manusia. Disinilah awal mula timbulnya psikologi musik
modern. (Djohan, 2003).
Psikologi musik mencakup diantaranya penelitian tentang persepsi musik dari
segi biologis, penelitian tentang representasi auditori dan koding dari sudut pandang
psikologi kognitif, penelitian tentang acquisition keterampilan musical dari sudut
pandang psikologi perkembangan dan penelitian tentang aspek aestetik dan afektif
dari sudut pandang psikologi sosial.
Psikologi musik meliputi bidang psikologi lain, antara lain psikologi sosial,
faal, dan pendidikan, karena dalam berinteraksi dengan musik banyak hal yang
berperan antara lain kognitif, persepsi, ingatan, keterampilan, dan pembelajaran.
Sloboda (dalam Hargreaves & North, 2000) menyatakan bahwa psikologi musik
hendaknya bertujuan untuk menjelaskan stuktur dan isi dari pengalaman musik.
83
2.1.7.2.9.2. Pengaruh Musik Terhadap Perubahan Psikologis
Setiap manusia memiliki kemampuan untuk dapat berbahasa dan bemusik
(Sloboda, 1994). Musik itu sendiri adalah bahasa dari emosi-emosi (Machlis, 1963).
Dengan musik seseorang bisa mengekspresikan emosi dan perasaannya untuk
dikomunikasikan kepada pihak lain (pendengar). Tujuan utamanya adalah agar para
pendengar dapat merasakan emosi dan perasaan yang sama dengan pemusik tersebut
(Gardner,1973; Bayless & Ramsey,1986).
Musik bisa mempengaruhi emosi pendengar karena pada dasarnya, seperti
halnya dengan bahasa, musik juga adalah alat komunikasi yang universal. Bentuk dari
komunikasi emosi tersebut disampaikan bukan hanya melalui lirik-lirik lagunya saja,
tetapi juga melalui gelombang suara dalam bentuk pitch, duration, loudness, dan
timbre (Seashore, 1967).
Musik dapat memberikan efek yang positif dan negatif bagi manusia. Musik
secara psikologis dapat memberikan efek seperti membuat seseorang merasa nyaman,
bahagia, segar, serta tenang, dan dengan bermain musik seseorang tersebut juga akan
merasakan suatu kesenangan, meningkatkan kemampuan sosialisasi dan komunikasi
terutama bila dilakukan secara bersama-sama (berkelompok) (Djohan, 2006).
Penelitian lainnya tentang emosi sebagai respon psikologis terhadap musik
menjelaskan bahwa musik dapat meningkatkan intensitas emosi dan akan lebih akurat
bila ‘emosi musik’ itu dijelaskan sebagai suasana hati (mood), pengalaman dan
perasaan yang dipengaruhi akibat mendengar musik (Sloboda, 1991 dalam Djohan,
2003).
84
Tempo &
Ritme
Pitch &
Melodi
Harmoni Timbre Volume
senang Cepat, hidup,
mengalir
Tinggi,
menarik
Mayor Ringan, jelas,
banyak staccato
Cenderung
sedang
Sedih Lambat,
lembut
Mengalir,
ragu- ragu
Minor
tanpa
tekanan
Berkelanjutan,
datar, lambat
Cenderung
halus
Lembut Lembut.
Lambat
Naik & turun
secara
bertahap
Mayor &
minor
bergantian
Sentuhan ringan
berlarut-larut
Halus
Marah Cepat,
tersentak,
suka berubah
tiba- tiba
Rendah, tidak
terduga
Minor Terpecah,
melengking,
kasar
Sangat keras
& kuat
Takut Cepat,
tersentak
Rendah Minor,
acak, kuat
Terpecah, berat Tiba-tiba
keras &
meledak
Tabel 2.1 Emosi Dasar yang Dihasilkan Berdasarkan Berbagai Karakteristik
Musik
Menurut Combarieu (dalam Djohan, 2003), musik dapat digunakan untuk
memperbaiki suatu gangguan yang bersifat Psikologis dan kemudian akan
mengembalikannya ke dalam keadaan normal, umumnya ada tiga kategori respon
yang ditampilkan individu pada saat mendengarkan musik, yaitu :
1. Respon gerakan-gerakan fisik untuk melepaskan ketegangan otot melalui
rangsang ritmis dari musik.
85
2. Respon emosional yang dapat dibangkitkan melalui berbagai jenis musik.
3. Respon asosiatif dimana musik merangsang proses pikir manusia yang
memungkinkan adanya ekspresi elemen-elemen mental yang tidak
disadari.
2.1.8. Angklung
2.1.8.1. Sejarah Angklung
Angklung adalah alat musik tradisional asli dari daerah sunda (Jawa Barat),
yang terbuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan
oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam
susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil.
Laras (nada) alat musik angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah
salendro dan pelog.
Dalam rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu dikenal
jenis kesenian yang disebut angklung dan calung. Adapun jenis bambu yang biasa
digunakan sebagai alat musik tersebut adalah awi wulung (bambu berwarna hitam)
dan awi temen (bambu berwarna putih), awi belang dan awi tali. Tetapi untuk
pembuatan angklung yang berukuran besar ada juga yang mempergunakan awi
surat (Obby A. Wiramihardja, 1989; kutipan yang tercantum dalam buku "Daeng
Soetigna Bapak Angklung Indonesia" tulisan Helius Sjamsudin dan Hidayat
Winitasasmita, yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
86
Sejarah Nasional, Jakarta 1986). Sebaiknya bambu-bambu (awi) tersebut
dipanen / dipotong pada pukul 10.00 s/d 15.00, karena bambu secara alamiah
sedang tidak melakukan proses penyerapan sari-sari makanan (proses
penyerapan terjadi sebelum pukul 10.00 dan sesudah pukul 15.00). Setelah
dipotong, batang bambu kemudian digantung dalam posisi berdiri untuk
dikeringkan sehingga daun-daunnya berguguran dengan sendirinya. Proses
pengeringan secara alamiah ini memakan waktu sekitar 3 bulan. Selain itu,
proses penebangan atau pemotongan bambu tersebut harus tepat pada waktunya
yaitu antara bulan April, Mei, Juni dan Juli. Jadi tidak boleh lebih atau kurang dari
bulan tersebut. (Hasil wawancara dengan pengurus Saung Angklung Udjo, 2005)
Asal usul jenis alat musik bambu di Indonesia sudah ada sejak sebelum zaman
Hindu, malah angklung pernah di pakai dalam upacara persembahyangan sebagai
pengganti genta. Awal berkembangnya instrumen musik bambu di Indonesia
bersamaan dengan migrasi etnik dari benua Asia yang berlanjut kemudian menjadi
Melayu Indonesia, hal ini diungkapkan oleh ahli musik barat, J dan C.J.A. Kunst
dalam bukunya "Musical Exploration in the Indian Archipelago" in Asiatic Review-
October 1934 halaman 814 serta Will G. Gilbert "Muziek Uit Oost en West Indie"
halaman 9-10. Selain itu ada pula cerita yang mengatakan bahwa Tome Pirez orang
Portugis pernah bertamu di Keraton Pajajaran dan di dalam catatan perjalanannya
beliau di jemput dengan musik bambu yang dibunyikannya dengan cara digoyang-
goyang dan sambil berjalan/melangkah juga menari dan dimainkan oleh serombongan
pemusik. (Obby A. Wiramihardja, 1989)
87
Terciptanya musik bambu, seperti angklung dan calung berdasarkan
pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi
(pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap
Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Pada
zaman kejayaan Kerajaan Pajajaran, angklung disamping sebagai alat upacara
pertanian, juga dipergunakan sebagai alat musik bala tentara kerajaan dimana untuk
menambah semangat tempur dalam menghadapi musuh dan menurut keterangan
sejarah, pada saat terjadinya "Perang Bubat" (antara Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan
Mataram), angklung dipakai sebagai alat musik Kerajaan Pajajaran sebagai alat musik
perang untuk membangun dan menambah semangat juang bala tentara di medan
perang. Tidak mengherankan bila pada pertengahan abad ke 19, ketika di Jawa Barat
diselenggarakan "Tanam Paksa" oleh pemerintah Kolonial Belanda (zaman Gubernur
Jenderal Van Den Bosh), mengeluarkan larangan permainan angklung, alasannya
karena angklung dapat memberi pengaruh besar bagi semangat rakyat untuk melawan
kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Dalam larangan tersebut permainan
angklung dikecualikan untuk anak-anak dan pengemis. Sejak saat itu angklung
"turun" derajatnya dari alat pembangkit semangat menjadi alat musik pengemis. Hal
tersebut berlangsung sekitar 1 (satu) abad. (Obby A. Wiramihardja, 1989)
Keberadaan angklung mulai terangkat ke permukaan diawali pada tahun
1938 ketika seorang putra ahli musik Tatar Sunda kelahiran Garut, yaitu Bapak
Daeng Soetigna (13 Mei 1908-8 April 1984) memperkenalkan alat musik tersebut.
88
Ia berguru kepada bapak Jaya dari Kuningan, seorang ahli pembuat angklung.
(Obby A. Wiramihardja, 1989).
Bapak Daeng Soetigna berusaha menggunakan angklung sebagai alat
pendidikan. Mottonya adalah 5 M: Murah, Mudah, Menarik, Massal, dan
Mendidik (Obby A. Wiramihardja, 1989). Beliau juga sempat menggelar pentas di
Konferensi Asia Afrika tahun 1955, bahkan mengajarkan kepada beberapa anggota
delegasi dari luar negeri untuk bermain angklung. Motto 5M yang diterapkan oleh
Bapak Daeng dapat dijabarkan sebagai berikut: Angklung merupakan alat musik yang
relatif murah karena terbuat dari bahan yang murah yaitu bambu. Mudah, karena
untuk memainkan angklung kita tidak perlu memiliki keterampilan khusus atau bakat
musik yang sangat baik. Kemudian menarik, karena kesederhanaannya, bunyinya
yang riang tapi lembut, bentuknya yang unik namun mampu memainkan semua jenis
musik, baik klasik, pop, dan sebagainya.
Angklung juga merupakan alat musik massal, yaitu untuk memainkan satu
lagu diperlukan banyak orang. Biasanya satu orang memegang satu angklung, tapi
bisa juga satu orang memegang dua angklung sekaligus, asalkan nada-nada yang
dimainkan tidak muncul berurutan. Terakhir, mendidik, selain belajar bermusik,
pemain dituntut untuk dapat kompak dan saling pengertian dengan sesama pemain,
selain itu dituntut pula adanya kesabaran karena biasanya untuk menghasilkan suatu
lagu yang sempurna dibutuhkan latihan teratur, disiplin, berkelanjutan dan selama
bermain dibutuhkan pula konsentrasi yang tinggi dari para pemainnya sehingga tidak
terjadi kesalahan nada.
89
Departemen P & K dengan Surat Keputusan tanggal 23 Agustus 1963 No.
082/1968 kemudian menetapkan angklung sebagai alat pendidikan musik di
lingkungan Departemen P & K dan menugaskan Direktorat Jenderal Kebudayaan
untuk mengusahakan agar angklung dapat dikembangkan tidak hanya hanya di
lingkungan Departemen P & K saja. Saat ini, alat musik Angklung yang sering
digunakan sudah bertangga nada diatonis dan merupakan hasil perkembangan dari
angklung buhun yang bertangga nada pentatonis, seperti : Angklung Buncis,
Angklung Baduy dan Angklung Gubrag, yang sejak lama terdapat di Tatar Sunda.
Dengan menggunakan bahan yang sangat murah dan relatif mudah didapat, dapat
dibuat alat seni suara yang sederhana serta mencukupi segala persyaratan, baik
dipandang dari sudut seni suara maupun dari sudut pendidikan. Nada-nada yang
dipergunakan yakni dari yang paling rendah G sampai yang tertinggi C3. Dari
sini nyatalah, bahwa susunan nada yang ada pada angklung ini sedikit pun tidak
berbeda dengan susunan nada pada alat seni suara yang biasa seperti biola,
acordeon, dan kebanyakan alat-alat tiup. Demikian pula ia sesuaikan
penalaannya dengan standar internasional yaitu A-440. Kemudian tangga nada
diatonis ini dilengkapi pula dengan semua nada kroma, sehingga terjadi tangga
nada kromatis yang sempurna. (Obby A. Wiramihardja, 1989).
2.1.8.2 Spesifikasi Musik Angklung
Dalam kumpulan seminar angklung Obby A.R. Wiramihardja (1989),
dijelaskan bahwa pengelompokan angklung terdiri dari 2 bentuk, yaitu
90
angklung melodi dan angklung pengiring (akompanyemen), yang disusun
dalam kelompok-kelompok sebagai berikut :
1) Angklung Melodi :
Sejumlah angklung melodi yang bernada G besar sampai dengan C3 atau
angklung yang bernomor 30 masing-masing nomor itu dirangkap dua (2
kali) maka disebut Dua set Besar dan jumlah itu terbentuk sebuah
susunan ANGKLUNG MELODI.
Angklung telah dibuat melodi seluas tiga setengah oktaf, yaitu dari nada G besar
sampai nada C 3 atau nada C bergaris tiga.
Dapat dilihat pada gambar garis paranada :
Jumlah melodi "Angklung Melodi" dapat kita susun serta dikelompokkan sebagai
berikut :
Angklung yanq bernada :
G dari angklung G sampai B disebut OKTAF BESAR
Gis
A
Ais
B
91
Angklung yang bernada dan bernomor :
Dari angklung c sampai dengan nomor 5 (b) disebut OKTAF KECIL
c
cis
d
dis
e
f
fis --------------------------------- bernomor = 0
g --------------------------------- bernomor = 1
gis --------------------------------- bernomor = 2
a --------------------------------- bernomor = 3
ais --------------------------------- bernomor = 4
b --------------------------------- bernomor = 5
lihat pada garis balok kunci F
Angklung yang bernada dan bernomor :
Dari angklung nomor 6 sampai 17 disebut OKTAF BERGARIS SATU
c 1 ------------- bernomor= 6
cis 1 ------------- bernomor= 7
d 1 ------------- bernomor=8
dis 1 ------------- bernomor=9
e 1 -------------- bernomor= 10
f 1 ------------- bernomor= 11
fis 1 ------------- bernomor= 12
92
g 1 ------------- bernomor= 13
gis 1 ------------- bernomor= 14
a 1 ------------- bernomor = 15
ais 1 ------------- bernomor= 16
b 1 ------------- bernomor= 17
Angklung yang bernada dan bernomor :
Dari angklung nomor 18 sampai 29 disebut OKTAF BERGARIS DUA
c 2 ------------- Bernomor = 18
cis 2 ------------- Bernomor = 19
d 2 ------------- Bernomor = 20
dis 2 ------------- Bernomor = 21
e 2 ------------- Bernomor = 22
f 2 ------------- Bernomor = 23
fis 2 ------------- Bernomor = 24
g 2 ------------- Bernomor = 25
gis 2 ------------- Bernomor = 26
a 2 ------------- Bernomor = 27
ais 2 ------------- Bernomor = 28
b 2 ------------- Bernomor = 29
c 2 ----------- Bernomor = 30 lihat pada garis balok kunci G.
2) . Angklung Pengiring Besar (Akompanyemen)
Terdiri dari 24 buah angklung pengiring besar (Akompanyemen) yaitu :
- 12 buah Akompanyemen Mayor :
93
A 7 , Bes 7 , B 7 , C 7 , Cis 7 , D 7 , Es 7 , E 7 , F 7 , Fis 7 , G 7 , AS 7
- 12 buah Akompanyemen Minor :
Am, Besm, Bm, Cm, Cism, Dm, Esm, Em, Fm, Fism, Gm, Asm
Angklung Pengiring Kecil (Ko-Akompanyemen)
Terdiri dari 24 buah angklung pengiring kecil (Ko-Akompanyemen):
- 12 buah Akompanyemen Mayor :
A 7 , Bes 7 , B 7 , C 7 , Cis 7 , D 7 , Es 7 , E 7 , F 7 , Fis 7 , G 7 , AS 7
- 12 buah Aakompanyemen Minor :
Am, Besm, Bm, Cm, Cism, Dm, Esm, Em, Fm, Fism, Gm, Asm
Namun range nadanya satu oktaf lebih tinggi dari angklung pengiring besar
dan fungsinya sebagai penguat bagi lagu-lagu yang berirama keroncong, Chacha,
Bequine, Mars atau lagu-lagu yang berirama Amerika Latin lainnya.
Di samping keunikannya, alat musik angklung mempunyai kelemahan
yang bersifat alami. Beberapa kelemahan alat musik angklung:
1) Elastisitas bambu (bersifat mengkerut dan mengembang)
Pengaruh cuaca atau iklim setempat dapat menyebabkan perubahan
nada yang telah terbentuk pada angklung. Nada yang bersangkutan dapat
menjadi lebih tinggi apabila bambu itu mengkerut, atau menjadi lebih rendah
apabila bambu mengembang.
94
Besar kecilnya elastisitas (kelenturan) bambu tergantung kepada
kepadatan bambu yang bersangkutan. Apabila bambu itu kurang padat, maka
elastisitasnya akan menjadi lebih besar sehingga mudah sekali berubah karena
pengaruh iklim. Namun jika bambu itu cukup padat, maka elastisitasnya akan
sangat kecil sehingga perubahan nadanya akan hampir tidak kelihatan. Yang
terakhir inilah yang terbaik dijadikan angklung. Kelemahan elastisitas ini
masih dapat ditolong, yaitu dengan melakukan penyeteman (penalaan)
kembali.
2) Bambu menjadi retak/pecah (karena pengaruh iklim yang drastis)
Daya tahan bambu sangat berbeda dengan daya tahan logam terhadap
iklim yang drastis atau terhadap suhu yang sangat panas serta udara yang
sangat dingin. Pada suhu yang sangat panas bambu akan mudah retak atau
bahkan pecah. Ini akan mengakibatkan nada yang telah terbentuk menjadi rusak
dan tidak akan tertolong lagi, kecuali harus diganti dengan yang baru.
3) Bambu menjadi hancur (karena dimakan bubuk atau rayap)
Dengan adanya binatang bubuk atau rayap, maka kadang-kadang
bambu yang dibuat menjadi angklung pun dimakannya. Dari pengalaman dapat
diketahui bahwa binatang bubuk sangat menyenangi bambu yang empuk atau
kurang padat. Angklung yang dimakan bubuk pun nadanya akan menjadi rusak
dan harus diganti baru.
95
2.1.9. Angklung dan Psikologi
Alat musik yang terbuat dari rumpun bambu seperti arumba, calung, alat
musik dari bambu di daerah bali dan angklung memiliki kekhasan dalam warna
musiknya, rumpun bambu dapat membuat seseorang merasa tenang, damai, senang,
dan bersemangat, tergantung dari mode lagu yang sedang dimainkan (penelitian
Djohan mengenai alat musik tradisional dari bali yang berbahan dasar bambu,
unpublished, 2007). Angklung merupakan alat musik tradisional yang memiliki
filosofi dasar kesenangan, bersemangat dan kebersamaan. Angklung memiliki suara
yang riang serta warna suara yang seragam (Budi Supardiman, Ir., dalam website
Keluarga Paduan Angklung SMUN 3 Bandung, tahun penerbitan tidak diketahui).
Tekstur angklung sendiri kental dan hangat ini sesuai dengan karakteristik dari
tanaman bambu (Iwan Pirous, 2007). Angklung dapat memainkan semua jenis musik,
hal ini dapat membuat orang-orang yang memainkan maupun yang hanya
mendengarkan saja merasa senang, nyaman, bersemangat atau dapat pula bersedih
karena mengenang kejadian-kejadian di masa lalu yang memiliki keterkaitan dengan
jenis lagu yang dimainkan dengan menggunakan alat musik angklung. Untuk
memainkan alat musik angklung pada dasarnya dapat dimainkan secara individual
maupun secara bersama-sama, namun untuk menghasilkan paduan harmonisasi nada-
nada yang indah dibutuhkan banyak orang. Biasanya satu orang memegang satu
angklung, tapi bisa juga satu orang memegang dua angklung sekaligus asalkan nada-
nada yang dimainkan tidak muncul secara berurutan. Memainkan angklung secara
bersama-sama mendidik para pemain untuk dapat saling pengertian dan menjalin
96
komunikasi yang baik sehingga dapat meningkatkan kemampuan sosialisasi serta
tumbuh rasa saling menghormati, saling menghargai, kekeluargaan, keeratan, dan
kekerabatan antar sesama pemain. Mereka akan secara bersama-sama merasakan
kegembiraan saat berlatih dan memainkan angklung. (Obby A. Wiramihardja, 1989).
2.2. Kerangka Pemikiran
Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang kehidupan seseorang, yaitu
suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih
menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh manfaat (Hurlock, 1980). Masa
usia lanjut tidak dapat dihindarkan dan merupakan suatu hukum alam. Masa lanjut
usia juga merupakan masa penurunan baik secara fisik maupun psikologis, hal ini
seringkali memunculkan pemikiran bahwa masa lanjut usia adalah masa yang
‘menakutkan’. Masa lanjut usia juga rentan terhadap perasaan kesepian (loneliness),
akibat ditinggalkan oleh pasangan hidup (meninggal), ditinggalkan oleh anak-
anaknya yang menikah dan sibuk dengan pekerjaan dan keluarganya, serta sahabat-
sahabat yang meninggal. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu persiapan diri untuk
menghadapi masa lanjut usia.
Secara naluri setiap manusia memiliki harapan dan keinginan untuk disayangi
dan diperhatikan oleh orang lain terutama oleh keluarganya, mulai dari masa prenatal
hingga masa usia lanjut dan pada akhirnya meninggal dunia. Namun pada
kenyataannya, seringkali di masa usia lanjut harapan tersebut tidak terpenuhi. Kondisi
yang terjadi saat ini, dimana anggota keluarga lainnya memiliki kesibukan tersendiri
97
terutama berkaitan dengan pekerjaan membuat mereka tidak mampu merawat dan
menjaga anggota keluarga mereka yang sudah lanjut usia. Ketidakmampuan untuk
merawat anggota keluarga terutama orang tua yang sudah lanjut usia membuat
mereka lebih memilih untuk menitipkan para lansia ke panti werdha dengan tujuan
agar para lansia tersebut ada yang merawat, memperhatikan, menjaga, menemani dan
membantu dalam memenuhi segala kebutuhan para lansia tersebut. Akan tetapi,
kondisi ini justru memunculkan penghayatan tersendiri yang menjadi suatu masalah
baru bagi para lansia tersebut terutama yang masuk ke panti bukan karena keinginan
sendiri, yaitu munculnya penghayatan akan perasaan terbuang, dijauhkan, dipisahkan,
terasing, kesalahpahaman, dan rasa nyeri terutama terhadap keluarganya. Selain itu,
para lansia yang tinggal di panti juga sering menghayati perasaan kesepian
dikarenakan mereka dibayangi oleh penyakit yang mereka derita, kematian, tragedi,
krisis, serta ketiadaan sejumlah relasi khusus yang mereka butuhkan atau harapkan.
Mereka seringkali memunculkan perilaku melamun, menyendiri, menangis, marah-
marah dengan penghuni lainnya dan tidak mau berbicara dengan penghuni lainnya di
panti.
Pada kenyataannya, tidak tertutup kemungkinan bahwa kondisi yang terjadi
pada lansia yang masuk panti secara nonsukarela juga terjadi pada para lansia yang
secara sukarela masuk ke dalam panti, seringkali mereka juga merasa terasing,
kesepian, tidak memiliki teman, dimusuhi, dan terabaikan keberadaannya. Meskipun
mereka berusaha untuk bersikap pasrah dengan kondisinya saat ini di panti dan
berusaha untuk tetap bersosialisasi dengan teman-teman sesama penghuni di panti,
98
tapi perasaan loneliness masih sering sekali mereka rasakan. (Hasil wawancara dan
observasi peneliti terhadap para penghuni di empat panti kotamadya Bandung, 2006).
Lansia yang mengalami loneliness seringkali memiliki suasana hati (mood)
yang kurang baik bahkan cenderung menurun, kemudian kemampuan sosialisasi dan
komunikasi yang rendah serta menampilkan perilaku yang negatif seperti melamun
dan murung. (Peplau & Perlman, 1982). Pada dasarnya mereka yang mengalami
penghayatan loneliness memerlukan adanya suatu kedekatan dengan orang lain, hal
inilah yang seringkali tidak terpenuhi pada para lansia yang tinggal di panti werdha.
Mereka membutuhkan kebersamaan dengan orang lain untuk mengatasi perasaan
kesepian (loneliness). Beberapa cara penanganan berupa terapi telah diberikan agar
perasaan kesepian dari para penghuni panti dapat teratasi seperti memelihara
binatang, keterampilan tangan, berkebun, aktivitas keagamaan dan melalui media
musik.
Musik telah diyakini mampu menjadi salah satu media dalam metoda
penyembuhan tambahan terhadap beberapa penyakit fisik maupun psikologis. Djohan
(2003) mencatat bahwa dengan bantuan alat musik, klien juga didorong untuk
berinteraksi, berimprovisasi, mendengarkan, atau aktif bermain musik. Tanpa harus
mengucapkan kata-kata, misalnya klien dapat mengekspresikan kemarahannya
dengan berimprovisasi di alat musik. Oleh karena itu, berkembanglah suatu terapi
musik untuk membantu proses penyembuhan suatu penyakit atau masalah psikologis
lainnya.
99
Benenzon (1997) mengemukakan, kesesuaian terapi musik sangat ditentukan
oleh nilai-nilai individual, falsafah yang dianut, pendidikan, tatanan klinis, dan latar
belakang budaya. Namun semua terapi musik mempunyai tujuan yang sama yaitu
membantu mengekspresikan perasaan, membantu rehabilitasi fisik, memberi
pengaruh positif terhadap kondisi suasana hati dan emosi, meningkatkan memori,
serta menyediakan kesempatan yang unik untuk berinteraksi dan membangun
kedekatan emosional. Dengan demikian, terapi musik juga diharapkan dapat
mengatasi stress, mencegah penyakit dan meringankan rasa sakit.
Peran musik dalam terapi musik tentunya bukan seperti obat yang dapat dengan
segera menghilangkan rasa sakit. Musik juga tidak dengan segera mengatasi sumber
penyakit. Musik sendiri diyakini mampu mempengaruhi suasana hati orang-orang
yang mendengarkannya. Menurut Aristoteles, musik memiliki kemampuan untuk
mendamaikan hati yang gundah, mempunyai terapi rekreatif dan menumbuhkan jiwa
patriotisme. Sebagai alat terapi kesehatan, musik ketika didengarkan mengantarkan
gelombang listrik yang ada di otak pendengar, sehingga memberikan efek secara
fisiologis terutama pada perubahan ritme denyut jantung dan tekanan darah sesuai
dengan frekuensi, tempo dan volumenya (Wikipedia, 2005). Mendengarkan musik
secara psikologis dapat memberikan efek seperti membuat seseorang merasa nyaman,
bahagia, segar, serta tenang, dan dengan bermain musik seseorang tersebut juga akan
merasakan suatu kesenangan, meningkatkan kemampuan sosialisasi dan komunikasi
terutama bila dilakukan secara bersama-sama (berkelompok) (Djohan, 2006).
100
Menurut pernyataan dr. Teddy Sp.Kj. dalam Pikiran Rakyat (2004), bahwa
banyak hal yang dapat diperoleh dari terapi musik yaitu meningkatkan keterampilan
berkomunikasi, mengurangi perilaku yang tidak selaras, memperbaiki prestasi
akademik, memperbaiki gerakan psikomotorik, menambah perhatian, meningkatkan
konsentrasi, memperbaiki hubungan interpersonal, pengelolaan emosi dan
mengurangi stres. Untuk mereka yang mengidap penyakit di stadium terminal (akhir),
seperti kanker terapi musik bersifat paliatif yang bertujuan untuk mengurangi rasa
nyeri, pengekpresian perasaan, meningkatkan rasa percaya diri, mengurangi
kecemasan dan stres, mengurangi rasa takut, peningkatan kemandirian, dan lebih
mampu dalam berkomunikasi. Selaras dengan hal tersebut, diharapkan semua orang
yang mendengarkan musik terkhusus para lansia yang mengalami perasaan kesepian
dengan menampilkan perilaku simptom perasaan kesepian dapat berkurang dengan
ditandai adanya perubahan suasana hati, kemampuan sosialisasi dan komunikasi yang
meningkat menjadi lebih baik, serta perilaku yang positif seperti menampilkan
ekspresi wajah yang ceria disertai senyuman, merasa senang dan bahagia.
Terapi musik yang sudah berjalan sampai saat ini seringkali hanya
menggunakan alat musik dari luar negeri dan membuat alat musik tradisional
terabaikan, padahal seluruh alat musik selama memiliki unsur-unsur musik dapat
digunakan sebagai alat dalam terapi musik (Djohan, dalam Seminar Terapi Musik;
unpublished, 2007). Pernyataan tersebut memperkuat asumsi peneliti yang sudah
dikemukakan di latar belakang masalah, bahwa semua jenis alat musik baik
tradisional maupun internasional dapat digunakan sebagai salah satu bentuk kajian
101
terapi musik, tentu saja penggunaannya disesuaikan dengan kasus yang dihadapi.
Angklung sebagai alat musik tradisional memiliki unsur-unsur yang terkandung
dalam musik, oleh karena itu memenuhi syarat bila dijadikan salah satu bentuk kajian
dari terapi musik dalam bentuk suatu intervensi tersendiri dalam menangani kasus-
kasus psikologis. Angklung sendiri memiliki warna suara yang khas yaitu riang (Budi
Supardiman, Ir., dalam website Keluarga Paduan Angklung SMUN 3 Bandung, tahun
penerbitan tidak diketahui), tekstur yang kental dan hangat (Iwan Pirous, 2007)
sehingga membuat orang yang memainkan alat musik angklung merasa senang dan
bersemangat. Angklung yang dimainkan memiliki harmonisasi nada dan warna suara
yang bersifat seragam (Budi Supardiman, Ir., dalam website Keluarga Paduan
Angklung SMUN 3 Bandung, tahun penerbitan tidak diketahui) ini selaras dengan
motto angklung yang menyatakan bahwa angklung sebagai alat musik yang bersifat
massal, dengan kata lain angklung memiliki unsur kebersamaan yang bila digunakan
dalam penelitian ini dimana berkaitan dengan penghayatan perasaan kesepian para
lansia yang pada dasarnya memerlukan kondisi kebersamaan dan kegembiraan
dirasakan tepat untuk digunakan dalam mengatasi permasalahan tersebut. Pada saat
bermain alat musik angklung terdapat pula unsur-unsur lainnya yang distimulasi
seperti konsentrasi, memori, serta gerak fisik/tubuh terutama anggota tubuh
pergerakan bagian atas yaitu bahu, lengan dan tangan.
Selain jenis alat musik yang digunakan dalam terapi musik, jenis musik dan
nada dasar yang dimainkan yaitu berupa mode mayor dan minor dapat mempengaruhi
tujuan dari penelitian yang dilaksanakan. Mode mayor mengekspresikan emosi-emosi
102
yang bermuatan positif seperti bahagia, senang, percaya diri, dan cinta. Sedangkan
mode minor dapat mengekspresikan emosi-emosi yang negatif seperti duka, sedih,
dan takut (Cooke, 1959 dalam Caroline M. D. Nugroho, 2003). Pemberian intervensi
terapi musik berupa bermain alat musik angklung secara bersama-sama dengan
memainkan lagu-lagu yang memiliki mode mayor diharapkan dapat membantu
meningkatkan suasana hati para lansia dimana mereka merasa lebih senang dan
bahagia serta diharapkan kemampuan komunikasi dan sosialisasi mereka meningkat
sehingga perasaan kesepian yang dirasakan diharapkan dapat menurun. Terapi
dengan memainkan alat musik angklung secara bersama-sama diharapkan dapat
memberikan pengaruh dalam mengatasi perasaan kesepian terkhusus bagi para lansia,
hal ini dikarenakan angklung memiliki timbre yang riang, ringan untuk didengar,
seragam (Budi Supardiman, Ir., KPA3 website, tidak tercantum tahun penerbitan) dan
hangat serta kental sesuai dengan karakteristik tanaman bambu (Iwan Pirous
blogwebsite, 2007), didalam bermain alat musik angklung juga terdapat kegiatan
yang unsur utamanya adalah kebersamaan dan kesenangan (pleasure), disamping itu
mengingat filosofi yang terkandung dalam angklung dan juga motto yang dari
angklung sendiri juga cukup menunjang dalam suatu metode terapi musik.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada skema kerangka pemikiran pada
halaman berikutnya :
103
Penghayatan perasaan kesepian (loneliness) para lansia tinggi. ditandai dengan: - Suasana hati (-) - Sosialisasi (-) - Komunikasi (-) - Perilaku (-)
seperti murung & melamun
2.1. Skema kerangka pemikiran
Lansia tinggal di panti werdha dengan lack antara harapan dengan kenyataan dalam hubungan sosial, kunjungan keluarga tidak teratur dan memiliki kualitas relasi sosial yang rendah.
Lansia dengan berbagai permasalahan keterbatasan fisik dan masalah psikologis
Intervensi Terapi Musik Angklung
• memainkan lagu bernada dasar mayor
• dimainkan secara bersama-sama
Fenomena : Lansia merasa tersisihkan dan terabaikan
Penurunan penghayatan perasaan kesepian (loneliness) para lansia. ditandai dengan : - Suasana hati (+) - Sosialisasi (+) - Komunikasi (+) - Perilaku (+)
seperti senang & bahagia
104
2.3. Premis
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dalam penelitian ini
dikemukakan sejumlah premis sebagai berikut:
1). Dalam rangka mengatasi permasalahan fisik dan psikologis para lansia yang
tinggal di panti diperlukan asessment kebutuhan dan permasalahan para lansia
terlebih dahulu agar penanganannya dapat lebih efektif dan efisien, disamping
penanganan secara terpadu dari pihak medis (dokter dan perawat), pengurus panti,
lansia yang tinggal di panti dan keluarga (Karina Dwiyani, 2000).
2). Musik dapat menimbulkan emosi, dalam istilah terapi aktivitas ini dikatakan
sebagainya aktifnya kognisi dan perasaan. Musik dapat pula meningkatkan
intensitas emosi dan akan mempengaruhi suasana hati (mood). Secara umum,
musik dapat menjadi salah satu bentuk terapi baik untuk preventif maupun kuratif
untuk mengatasi masalah-masalah psikologis. (Djohan, 2003).
3). Alat musik angklung yang memiliki unsur kebersamaan dan warna suara yang
ringan dapat menimbulkan perasaan nyaman, antusias, semangat, dan
kegembiraan. (Iwan Pirous, 2007).
105
2.4. Hipotesis
Berdasarkan kerangka penelitian dan premis di atas, dikemukakan hipotesis
yaitu:
Ho = Pemberian terapi musik angklung dengan cara memainkannya secara
berkelompok untuk lagu-lagu bermode mayor tidak memberikan efek
untuk peningkatan suasana hati (mood), kemampuan sosialisasi,
kemampuan komunikasi, serta perilaku positif seperti ekspresi senang
sehingga tidak memiliki peranan dalam menurunkan perasaan loneliness
yang dirasakan oleh para lansia yang tinggal di panti werdha.
H1 = Pemberian terapi musik angklung dengan cara memainkannya secara
berkelompok untuk lagu-lagu bermode mayor dapat memberikan efek
positif berupa peningkatan suasana hati (mood), kemampuan sosialisasi,
kemampuan komunikasi serta perilaku positif seperti ekspresi senang
sehingga berperan untuk menurunkan perasaan loneliness yang
dirasakan. para lansia yang tinggal di panti werdha.
106
BAB III
METODE DAN SUBYEK PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh pemberian terapi musik yang
menggunakan alat musik angklung dengan memainkan lagu-lagu bernada dasar
mayor secara bersama-sama atau berkelompok untuk menurunkan rasa kesepian
(loneliness) yang dialami oleh para lanjut usia yang tinggal di panti werdha.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode true experimental, yaitu
suatu rancangan penelitian dimana peneliti dengan sengaja memberikan treatment
atau perlakuan terhadap subjek dengan mengadakan pengamatan secara seksama
terhadap reaksi-reaksi subjek dengan mengontrol extraneous variable secara ketat.
Peneliti berusaha menentukan hubungan antara treatment dengan reaksi-reaksi
tersebut. Rancangan ini digunakan untuk melihat pengaruh dari suatu pemberian
perlakuan (treatment) terhadap permasalahan.
Dalam true experiment, kontrol yang dilakukan sangat ketat sehingga error
variance dapat ditekan seminimal mungkin. Terdapat suatu independent variable (IV)
dan juga dependent variable (DV), sehingga dapat dlihat pengaruhnya dari
independent variable terhadap dependent variable. Sebagai suatu desain penelitian
true experiment, extraneous variables harus diperhitungkan dan diantisipasi dengan
menggunakan prosedur penelitian tertentu, pengontrolan terhadap pemilihan karakter
subjek penelitian, penentuan waktu, tempat pengukuran, dan sebagainya. Jadi,
107
penelitian ini menguji apakah suatu rancangan intervensi mencapai tujuan yang
diharapkan, dengan sejauh mungkin mengontrol hal-hal yang mungkin dikendalikan.
3.1.1. Skema Penelitian
Pada penelitian ini akan menggunakan rancangan Before After two group
design (Eny Suwarni. dkk, Psikologi Umum & Eksperimen Unisba, 1999).
Rancangan ini diberikan pada dua kelompok yang pada awal penelititan diberikan
pre-test atau baseline measure, bila hasil sama mengindikasikan bahwa kedua
kelompok sama dan pengukuran post-test bisa dilakukan. Selanjutnya partisipan
kelompok eksperimen (EG) diberikan treatment, dan kemudian kedua kelompok
kembali diberikan pengukuran akhir (post-test atau outcomes measure). Setelah itu,
dilakukan uji beda antara hasil yang diperoleh dari pre-test dan post-test.
Rancangan penelitian yang digunakan dapat digambarkan dalam skema
berikut :
Group Pre-test Treatment Post-test
EG W1 X Y1
CG W2 - Y2
Bagan 3.1. Skema Penelitian
108
Keterangan :
W1 : Pre-Test. Pengukuran tingkat Loneliness subjek penelitian sebelum perlakuan (treatment) berupa terapi angklung diberikan.
X : Perlakuan (treatment). Pelaksanaan terapi angklung pada subjek penelitian.
Y1 : Post-Test. Pengukuran tingkat Loneliness subjek penelitian setelah perlakuan (treatment) berupa terapi angklung diberikan.
W2 : Pre-Test. Pengukuran tingkat Loneliness subjek penelitian sebelum perlakuan (treatment) berupa terapi angklung diberikan.
- : Tidak ada perlakuan (treatment).
Y2 : Post-Test. Pengukuran tingkat Loneliness subjek penelitian setelah perlakuan (treatment) berupa terapi angklung diberikan.
3.1.2. Variabel Penelitian
3.1.2.1. Independent Variable (IV)
Independent variable dalam penelitian ini adalah terapi musik angklung, yaitu
memainkan alat musik angklung (bermain secara kelompok yang mempergunakan
alat musik angklung) dengan lagu-lagu yang bernada dasar mayor sebagai bagian dari
kajian terapi musik.
Definisi Konseptual :
Terapi musik adalah penggunaan musik dan elemen musik (suara, irama,
melodi, dan harmoni) terhadap klien atau kelompok dalam proses membangun
komunikasi, meningkatkan relasi interpersonal, belajar, meningkatkan mobilitas,
mengungkapkan ekspresi, menata diri atau untuk mencapai berbagai tujuan terapi
109
lainnya. Proses ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan fisik, emosi mental, sosial
maupun kognitif, dalam rangka upaya pencegahan, rehabilitasi, atau pemberian
perlakuan. Terapi musik bertujuan mengembangkan potensi dan memperbaiki fungsi
individu, baik melalui penataan diri sendiri maupun dalam relasinya dengan orang
lain, agar ia dapat mencapai keberhasilan dan kualitas hidup yang lebih baik.
(WMFT, 1996).
Definisi Operasional :
Suatu rangkaian intervensi yang menggunakan media utama berupa musik
dan aktivitas musik, yang didalamnya terdapat beberapa fase dimulai dari
mendengarkan alunan musik dan memainkan alat musik, dalam hal ini ditekankan
pada memainkan alat musik angklung secara bersama-sama atau berkelompok untuk
mengatasi permasalahan pada aspek psikologis. Subyek akan memainkan alunan
musik (lagu) bernada dasar mayor secara berkelompok dengan menggunakan alat
musik angklung, agar terdapat perubahan sikap dan perilaku partisipan sebagai
bentuk penurunan perasaan kesepian (loneliness) yang dirasakan para lansia.
3.1.2.2. Dependent Variabel (DV)
Dependent Variable dalam penelitian ini adalah perasaan kesepian
(loneliness) yang dirasakan oleh para lanjut usia terutama yang tinggal di panti
werdha.
110
Definisi Konseptual
”Loneliness berdasarkan pendekatan eksistensial, yang salah satunya yaitu kesepian
dalam hidup yang rapuh (loneliness of a broken life) ditandai kehidupan yang
dibayangi oleh penolakan, pembuangan, pengasingan, kesalahpahaman, rasa nyeri,
penyakit, kematian, tragedi, dan krisis yang biasanya tidak hanya mempengaruhi
kesadaran seseorang akan keberadaannya, tetapi juga dunia yang dihuninya,
hubungannya dengan orang lain dan pekerjaannya” (Moustakas, 1961 dalam Turnip,
1997).
Definisi Operasional
Perasaan yang dialami dan dihayati disertai dengan perilaku yang ditampilkan
berdasarkan hasil observasi dan interviu oleh lansia yang tinggal di panti saat sedang
merasa kesepian yang merupakan respon atas munculnya bayang-bayang rasa
penolakan, pembuangan, pengasingan, kesalahpahaman, rasa nyeri, penyakit,
kematian , tragedi, krisis serta ketiadaan sejumlah relasi khusus yang dibutuhkan dan
diharapkan. Tingkah laku yang dimunculkan adalah melamun, murung, menyendiri,
tidak berbaur dengan penghuni lainnya, suasana hati (mood) yang negatif seperti
perasaan sedih, perasaan hampa, perasaan terisolasi serta perasaan terbuang oleh
keluarga maupun lingkungannya baik di dalam panti maupun di luar panti, kemudian
kemampuan sosialisasi dan komunikasi yang negatif atau rendah. Perasaan ini
bersifat subyektif, yaitu kadar perasaan kesepian dirasakan dan dihayati berbeda dari
diri masing-masing lansia yang tinggal di panti werdha.
111
3.2. Subjek Penelitian
3.2.1. Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah para lansia yang tinggal di tiga panti werdha
kotamadya Bandung. Para lansia tersebut mengalami dan menghayati adanya
perasaan kesepian (loneliness) yang tinggi. Untuk menjaring sampel dari populasi
penelitian dilakukan dengan menentukan karakteristik sampel untuk mengontrol
secara ketat extraneous variable dan dengan menggunakan alat ukur UCLA
Loneliness scale V.3 (Daniel Russell, 1996). Pemilihan sampel penelitian
menggunakan karakteristik sampel untuk mengurangi kemungkinan error atau bias,
lebih jelasnya mengenai karakteristik sample dibahas dalam sub judul subjek
peneilitan.
3.2.2. Subjek Penelitian
Para lansia yang menjadi subjek penelitian telah dijaring melalui karakteristik
sampel dan dengan menggunakan UCLA loneliness scale dengan taraf diatas batas
rata-rata untuk standar lansia akan menjadi subjek penelitian, yang kemudian akan
dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok kontrol (CG) dan kelompok
eksperimen (EG). Kelompok eksperimen inilah yang akan menerima treatment dan
diharapkan akan membantu para lansia dalam mengatasi perasaan kesepiannya
(loneliness).
Sejalan dengan tujuan penelitian ini yaitu melihat peranan alunan musik angklung
yang dimainkan secara bersama-sama untuk menurunkan perasaan kesepian yang
112
dialami para lansia di panti, maka dari itu karakteristik sampelnya adalah sebagai
berikut :
1. Orang yang berusia 60 tahun keatas (kriteria lansia yang ditentukan PBB).
2. Tinggal di Panti Werdha (lokasi penelitian) minimal 1 tahun dengan
pertimbangan lansia tersebut sudah mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungan panti. Hal ini untuk mengontrol masalah kesepian yang dialami
para lansia murni benar-benar masalah yang dirasakan dan bukan akibat dari
proses penyesuaian dirinya terhadap lingkungan baru.
3. Menampilkan perilaku adanya perasaan kesepian (ditunjukkan dengan data
asesmen kebutuhan dan observasi, ditunjang dengan data hasil pretest atau
pengukuran awal sebelum treatment diberikan). Hal ini berlaku pada semua
penghuni panti werdha karena pada kenyataannya mereka yang masuk secara
sukarela seringkali juga merasa kesepian.
4. Nilai standar UCLA Loneliness Scale dengan total score di atas nilai rata-rata
untuk lansia yaitu 16 (menurut skala interpretasi UCLA Loneliness Scale
Daniel Russell, 1996) .
5. Masih dapat berkomunikasi, dengan pertimbangan agar peneliti dapat
menggali informasi dari lansia yang bersangkutan.
6. Kemampuan mendengar masih baik dan tidak memiliki gangguan
pendengaran. (Dilakukan berdasarkan hasil observasi dan interview pada saat
survey awal penelitian), dengan alasan efek terapi musik dapat dilihat secara
signifikan.
113
7. Tinggal di panti tanpa anggota keluarga lain, dengan alasan agar lingkungan
panti yang dihadapi sama kondisinya dengan lansia lain yang juga tinggal
sendiri di panti. Ada panti yang menerima lansia beserta dengan anggota
keluarganya yang juga telah lanjut usia.
8. Masih dapat berjalan dan mengurus dirinya sendiri, yang menandakan kondisi
kesehatan masih baik.
9. Kunjungan keluarga kurang teratur, jarang atau tidak pernah. Dengan alasan
bahwa kunjungan keluarga dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan
tingginya perasaan kesepian yang dirasakan oleh para lansia yang tinggal di
panti werdha.
Berdasarkan kriteria sampel dan hasil pengukuran UCLA Loneliness scale
(pretest) diperoleh 30 (tiga puluh) orang lansia dengan tingkat loneliness yang
tinggi (nilai UCLA Loneliness scale 16 > keatas), yang kemudian dibagi menjadi
dua kelompok untuk dibandingkan.
3.3. Alat Ukur
alat ukur yang digunakan adalah Loneliness scale (Version 3) dari UCLA (Daniel
Russell, 1996) yang diadaptasikan sesuai dengan kebutuhan penelitian ini dan subjek
penelitian. Alat ukur ini bersifat tertutup dengan alternatif pilihan yang telah
ditentukan. Dengan demikian output yang dihasilkan akan berupa gambaran keadaan
partisipan mengenai aspek yang diukur.
114
3.3.1. Proses Adaptasi Alat Ukur Loneliness
Sebelum digunakan, dilakukan adaptasi terhadap alat ukur Loneliness scale
v.3 dari UCLA (Daniel Russell, 1996) terlebih dahulu. Berikut tahapan-tahapan
dalam proses adaptasi alat ukur :
1. Menerjemahkan alat ukur kedalam Bahasa Indonesia.
2. Menerjemahkan ulang alat ukur yang telah dialihbahasakan kedalam Bahasa
Indonesia kedalam Bahasa Inggris.
Tujuan : mengkaji kesesuaian hasil terjemahan dengan alat ukur.
3. Melakukan uji validitas dan reliabilitas alat ukur yang telah diterjemahkan.
3.3.2. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
Uji coba (try-out) terhadap alat ukur variabel penelitian dilakukan pada 33
orang sampel untuk mengukur validitas dan reliabilitas dari alat ukur yang akan
digunakan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah pernyataan-pernyataan
yang digunakan untuk menjaring data penelitian cukup baik untuk digunakan.
Validitas dan reliabilitas ini diuji dengan menggunakan bantuan Microsoft Excell
dan software SPSS 13 for Windows.
Pengukuran validitas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah alat
ukur yang digunakan secara keseluruhan memang mengukur apa yang menjadi
tujuan pengukuran. Pada uji coba ini, pengukuran validitas dilakukan dengan
mengkorelasikan masing-masing skor pada Item dengan Total Score. Korelasi
dilakukan dengan memilih menu Analyse/Correlate/Bivariate, sehingga diperoleh
115
koefisien korelasi Spearman (r). Kategori korelasi diperoleh dengan mengacu
pada kriteria Guilford (1956) sebagai berikut :
Koefisien korelasi < 0,2 : korelasi sangat rendah
Koefisien korelasi 0,2 – 0,39 : korelasi rendah
Koefisien korelasi 0,4 – 0,69 : korelasi cukup
Koefisien korelasi 0,7 – 0,89 : korelasi tinggi
Koefisien korelasi 0,9 – 1,00 : korelasi sangat tinggi
Pengukuran reliabilitas bertujuan untuk mengetahui sejauh mana alat ukur
tersebut dapat diandalkan. Dengan menggunakan software SPSS versi 13,
dilakukan analisis reliabilitas atau reliability analysis dengan memilih menu
Analyse/Scale/Reliability-Analysis, kemudian masukkan data subjek uji coba
untuk semua item sehingga dapat diperoleh koefisien reliabilitas alpha cronbach
(α). Untuk alat ukur UCLA Loneliness Scale V.3 diperoleh α = 0,845. Berdasarkan
kriteria Brown Thompson, dimana α ≥ 0,7 dapat diandalkan dan α < 0,7 kurang
dapat diandalkan, maka alat ukur variabel penelitian ini termasuk dapat
diandalkan.
3.4. Pengukuran
Pengukuran dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pra intervensi dan tahap
pasca intervensi. Pada kedua tahap dilakukan pengukuran dengan menggunakan alat
ukur UCLA Loneliness Scale yang sudah diadaptasikan.
116
Sebagaimana telah digambarkan pada bagan 3.1. (pada halaman 107), tahap
pertama dilakukan pengukuran untuk melihat keadaan aktual pra intervensi. Variabel
yang diukur adalah keadaan perasaan kesepian (loneliness) pada para lansia penghuni
panti werdha. Setelah Pretest diukur, akan dilakukan proses observasi dan interviu
secara lebih mendalam pada para lansia yang menjadi sample penelitian (EG & CG)
selama tiga (3) hari mulai dari pagi sampai sore. Ini dilakukan sebagai pengumpulan
data secara kualitatif untuk menambah bahasan dalam interpretasi hasil akhir. Pada
pengukuran tahap kedua juga dilakukan pengukuran terhadap variabel yang sama
dengan pengukuran tahap pertama yaitu keadaan perasaan kesepian (loneliness) untuk
melihat keadaannya pasca intervensi.
Secara teknis, pengukuran tahap kedua akan dilakukan minimal satu minggu
setelah perlakuan diberikan. Jeda waktu tersebut ditetapkan atas dasar pertimbangan
waktu proses penghayatan dan proses penyerapan akan informasi baru pada diri
lansia masing-masing dari intervensi yang telah diberikan.
3.5. Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian ini terbagi kedalam tiga tahapan sebagai berikut :
I. Tahap Persiapan
1. Menentukan ruang lingkup permasalahan dengan cara menjaring berbagai
informasi aktual dari buku dan majalah ilmu pengetahuan.
2. Melakukan studi kepustakaan mengenai tinjauan teoritis permasalahan yang
akan diteliti.
117
3. Melakukan survey awal berupa asessmen kebutuhan untuk memetakan
permasalahan yang akan diteliti.
4. Menyusun rancangan penelitian sesuai dengan permasalahan yang akan
diteliti.
5. Menyiapkan alat ukur yang akan digunakan sebagai alat ukur untuk menjaring
data.
6. Menyiapkan dan menyusun rancangan pemberian materi terapi berdasarkan
kondisi dan kemampuan subjek penelitian.
Sesuai dengan metode yang digunakan, yaitu learning for elderly, maka
tahapan penyusunan silabus merupakan bagian dari tahap pertama dalam
metode tersebut, yaitu tahap ”perencanaan” sehingga materi yang
disampaikan dapat dipahami dengan mudah oleh para lansia.
Dengan tetap memperhatikan hal-hal yang penting dari learning for elderly,
maka tahapan dalam penyusunan rancangan pemberian materi adalah sebagai
berikut :
1) Menentukan tujuan kegiatan terapi musik angklung.
Tujuan kegiatan terapi musik angklung disusun berdasarkan
assessment kebutuhan yang telah dilakukan pada para lansia yang
tinggal di panti werdha kotamadya Bandung.
2) Memilih aktivitas yang sesuai dengan rancangan kegiatan terapi musik
angklung.
118
Tahap-tahap dalam menentukan aktivitas :
a) Memberikan gambaran umum mengenai kegiatan terapi musik
angklung.
Tujuan :
- Subjek penelitian memperoleh gambaran mengenai kegiatan
terapi musik angklung yang akan diikuti.
- Menciptakan keinginan untuk mengikuti kegiatan terapi pada
subjek penelitian.
b) Menentukan pola pemberian materi.
Pada tahap ini yang perlu dipersiapkan adalah :
- Menentukan rancangan materi yang akan diberikan
- Menentukan rancangan alokasi waktu.
c) Melakukan kajian ulang rancangan pemberian materi kegiatan
terapi.
Tujuan :
- Menerapkan materi serta alokasi waktu yang akan digunakan
dalam kegiatan terapi.
d) Membuat run-down acara kegiatan terapi.
Tujuan :
- Memiliki panduan tertulis dalam menjalankan kegiatan terapi
sehingga tidak ada waktu serta logistik yang terlewat.
119
e) Memperbanyak run-down kegiatan terapi.
Tujuan :
- Pelatih, fasilitator dan co-fasilitator memiliki panduan yang
sama untuk menjalankan kegiatan terapi.
b. Menyusun format ”Observasi Penilaian Tingkah Laku dan Interview
selama mengikuti intervensi” untuk digunakan dalam kegiatan terapi
musik angklung (terlampir; lampiran 8 dan 9).
(1) Pelatihan Co-Fasilitator
a. Personil.
- Untuk memperoleh hasil pengukuran yang lebih akurat (reliable),
maka dalam penelitian ini dilibatkan co-fasilitator.
- Personil yang terlibat selama kegiatan terapi musik angklung adalah
10 (sepuluh) orang sarjana Psikologi.
- Tugas dari setiap personil adalah : (a.1) terlibat aktif selama kegiatan
terapi musik, dan (a.2) melakukan interview berkaitan dengan
perasaan yang dihayati serta observasi tingkah laku para peserta pada
kondisi pre-, selama intervensi, post- intervensi.
120
b. Kegiatan Pelatihan Co-Fasilitator
Tujuan : agar co-fasilitator memiliki kesamaan pemahaman mengenai
tujuan dan teknis kegiatan serta cara melakukan proses interview dan
observasi tingkah laku pada para lansia.
Langkah-langkah :
b.1 Memberikan gambaran pada setiap co-fasilitator agar memiliki
kesamaan pemahaman mengenai tujuan dan teknis kegiatan terapi
musik angklung.
b.2 Memberikan silabus kegiatan terapi yang telah disusun kepada para
co-fasilitator.
b.3 Mendiskusikan form ”Interview dan Observasi Penilaian Tingkah
Laku para lansia” agar setiap co-fasilitator memiliki pemahaman yang
sama saat melakukan interview dan observasi terhadap tingkah laku
yang muncul selama kegiatan terapi musik.
II. Tahap Eksperimen, terdiri atas :
(1) Tahap Pre-Treatment
Pre-treatment dilakukan ketika mengambil data awal. Data yang diperoleh
dari ketigapuluh lansia tersebut kemudian menjadi subjek penelitian yang
terbagi menjadi 2 kelompok, 15 (lima belas) orang dalam kelompok
eksperimen (EG) dan 15 (lima belas) orang dalam kelompok kontrol (CG).
121
(2) Tahap Treatment
- Program kegiatan terapi musik angklung dilakukan selama 6 (enam) hari
pertemuan dengan durasi setiap pertemuan adalah 1,5 jam efektif.
(terlampir; lampiran 6).
- Menyiapkan alat-alat yang akan digunakan dalam kegiatan terapi musik
angklung (terlampir; lampiran 6).
- Melaksanakan program terapi musik angklung sesuai dengan rancangan
pemberian materi terapi yang telah disusun (terlampir; lampiran 6 dan 7).
(3) Tahap Post-Treatment
Dilakukan pengukuran akhir, dengan rentang waktu satu minggu setelah
kegiatan terapi musik angklung diberikan. Pada kelompok eksperimen (EG)
maupun pada kelompok kontrol (CG) diberikan alat ukur UCLA Loneliness
Scale V.3 seperti yang diberikan pada tahap pre-treatment.
Tujuan : mengukur tingkat Loneliness setelah diberikan treatment.
III. Tahap Akhir
(1) Analisa Statistika
Data-data yang telah diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan Uji
Beda Mann Whitney dan Uji Beda Wilcoxon dengan bantuan software SPSS
versi 13 sehingga akan diperoleh asymp. sig. (2-tailed) yang signifikan bila
nilainya < alpha (α) yang digunakan (0.05).
122
(2) Pengolahan Data
Dalam pengolahannya, tidak semua data dapat digunakan. Hanya data-data
yang tidak ”error” saja yang dapat digunakan. Yang termasuk kategori data
”error” adalah :
- Tidak mengikuti salah satu bagian dari pengukuran (baik pada saat pre-
treatment, kegiatan terapi musik angklung, maupun post-treatment).
Dari penjelasan tersebut, hanya 12 (dua belas) orang lansia dari kelompok
eksperimen EG yang datanya dapat digunakan dalam penelitian dengan
penjelasan sebagai berikut :
- Satu lansia tidak mengikuti kegiatan terapi angklung karena sakit.
- Satu lansia tidak mengikuti kegiatan terapi angklung karena mengaku
tidak berminat untuk mengikuti kegiatan di luar panti.
- Satu lansia tidak mengikuti kegiatan terapi angklung karena mengaku
tidak mau meninggalkan kamarnya karena banyak yang suka mencuri.
(setelah dilakukan crosscheck dengan petugas panti dan observasi interviu
selama proses pra intervensi, dikatakan bahwa subjek memiliki gangguan
paranoid).
Oleh sebab itu, data yang diolah dan digunakan untuk pembahasan adalah
yang berasal dari 12 orang lansia kelompok EG dan 15 orang lansia kelompok
CG.
123
3.5.1. Lokasi Kegiatan Penelitian
Penelitian dilakukan dilakukan di tiga panti werdha kotamadya Bandung
untuk Pre dan Post Test, yaitu :
1. Panti Werdha Senjarawi Jl. Jeruk no. 7 Bandung
2. Panti Werdha Budi Pertiwi Jl. Sancang No. 2 Burangrang Bandung
3. Panti Werdha Asuhan Bunda Jl. Pak Gatot I No. 20 KPAD Gegerkalong
Bandung 40153
sedangkan kegiatan terapi musik angklung dilakukan di gedung Graha Lansia (LLI)
Pemprov Jawa Barat Jln. Ternate no 2 Bandung.
3.6. Rancangan Penelitian
3.6.1. Rancangan Kegiatan
Tabel 3.1 Rancangan Kegiatan Penelitian
No Kegiatan Tujuan Materi & Pelaksana
1. Membina good
rapport
Membangun hubungan
baik dan kepercayaan
antara peneliti dan para
fasilitator dengan para
lansia.
- Peneliti beserta para
fasilitator memperkenalkan
diri.
- Menjelaskan pelaksanaan
kegiatan pengambilan data
awal (pretest) dikaitkan
dengan latar belakang
dilakukannya intervensi
sebagai penelitian.
2. Kontrak. Menjalin kesepakatan
tentang proses penelitian
Menjelaskan lebih terperinci
mengenai proses dan
124
yang akan dilakukan. kegiatan yang akan
dilakukan.
3. Pretest.
( + 1 minggu
sebelum intervensi
diberikan)
Pengambilan data
mengenai kondisi awal
tingkat loneliness para
lansia.
Peneliti dan para fasilitator
mengambil data awal
(pretest) dengan
menggunakan alat ukur
UCLA Loneliness Scale.
4. Observasi &
Interview
(dilakukan 3 hari di
panti)
Pengumpulan data secara
kualitatif
Peneliti dan para fasiltator
mengobservasi para lansia
yang menjadi sampel
penelitian.
5. Intervensi.
(dilakukan + 8 kali
pertemuan dengan
durasi 1-1,5 jam
untuk setiap
pertemuan, dengan
pertimbangan
kenyamanan fisik
dan psikis dari para
lansia)
Memberikan terapi musik
angklung dan
mengevaluasi perasaan
dan kesan dari masing-
masing subjek.
− Memperkenalkan, dan
mencoba memainkan alat
musik angklung.
− Evaluasi perasaan para
lansia selama proses
intervensi berlangsung.
6. Posttest.
( + 1 minggu
setelah pemberian
intervensi)
Pengambilan data akhir
mengenai loneliness para
lansia.
Peneliti dan para fasilitator
mengambil data akhir
(posttest) dengan
menggunakan alat ukur
UCLA Loneliness Scale.
7. Analisis Data Membandingkan secara
kuantitatif dan kualitatif
- Alat ukur UCLA
Loneliness Scale.
125
hasil dari pretest dengan
posttest baik secara satu
kelompok (EG) maupun
kelompok lainnya (CG)
untuk melihat bagaimana
pengaruh dari pemberian
intervensi.
- Observasi dan interview
selama proses intervensi
diberikan.
Tabel 3.2 Rancangan Kegiatan Pelaksanaan Pemberian Intervensi / Perlakuan
(Treatment)
No Kegiatan Tujuan Materi
1. Membina good
rapport.
Membangun hubungan
baik dan kepercayaan
antara peneliti, para
fasilitator, dan pelatih
angklung dengan para
lansia.
- Peneliti, para fasilitator, dan
pelatih angklung
memperkenalkan diri.
- Menjelaskan pelaksanaan
kegiatan dikaitkan dengan
latar belakang dilakukannya
intervensi sebagai penelitian
tesis peneliti.
2. Ice Breaking. Mencairkan suasana,
mengakrabkan antar
lansia dari berbagai
tempat yang berbeda
juga dengan terapis.
- Perkenalan masing-masing
peserta.
- Permainan ringan yang dapat
menghangatkan suasana.
3. Penyampaian tujuan
dan manfaat
intervensi.
Memusatkan perhatian
para lansia sehingga
dapat memotivasi
- Menjelaskan tujuan dan
gambaran kegiatan yang
akan dilakukan.
126
mereka untuk serius
mengikuti proses terapi.
4. Kontrak. Menjalin kesepakatan
tentang proses terapi
yang akan dilakukan.
- Menanyakan kesediaan
responden dari segi tempat
dan waktu untuk terlibat
dalam terapi.
- Menjelaskan lebih terperinci
mengenai proses dan
kegiatan yang akan
dilakukan.
5. Intervensi.
(dilakukan + 6 kali
pertemuan dengan
durasi 1-1,5 jam
untuk setiap
pertemuan, dengan
pertimbangan
kenyamanan fisik
dan psikis dari para
lansia)
- Memberikan terapi
musik angklung dan
menjelaskan manfaat
yang didapat.
- Mengevaluasi
perasaan dan kesan
dari masing-masing
subjek.
- Memberikan pemahaman
bagaimana cara pegang
angklung dan
memainkannya.
- Mencoba pengenalan nada
angklung yang dipegang
masing-masing subjek.
- Memvisualisasikan masing-
masing nada dalam bentuk
tertentu seperti buah-buahan.
- Mencoba dua lagu bernada
mayor yang sangat sederhana
melodinya (tokecang &
cingcangkeling).
- Mendapatkan gambaran
mengenai perubahan yang
terjadi pada diri masing-
masing subjek.
127
7. Mereview
keseluruhan kegiatan
terapi yang telah
dilakukan.
Mengetahui penilaian
subjek terhadap materi
dan proses terapi.
- Materi yang sudah diberikan.
- Evaluasi kondisi saat ini
setelah pemberian intervensi
dan harapan subjek.
8. Penutup. Mengucapkan terima
kasih atas partisipasi
para lansia dalam
penelitian.
- Ucapan terima kasih.
Pertimbangan pemberian lagu tokecang dan cingcangkeling adalah bahwa
kedua lagu ini merupakan lagu bernada sederhana yang bersifat riang karena
memiliki mode mayor dan hasil dari survey awal para lansia mayoritas mengenal
kedua lagu tersebut sehingga dianggap oleh peneliti cukup mewakili lagu-lagu mode
mayor lainnya untuk dapat dengan mudah untuk diikuti dan dimainkan oleh para
lansia yang merupakan older learner. Pemberian kedua lagu ini telah didiskusikan
dengan pelatih angklung.
3.6.2. Rancangan Waktu, Materi, dan Pemberi Materi Intervensi
Tabel 3.3 Rancangan waktu dan proses pemberian intervensi (terlampir;
lampiran 7)
3.7. Analisa Data
Data hasil pengukuran skala loneliness akan menghasilkan data yang berskala
ordinal. Untuk melihat apakah terdapat perbedaan antara kedua kelompok pada
128
kondisi pre- dan post- intervensi dilakukan perhitungan statistik uji beda Mann
Whitney. Sedangkan perhitungan statistik yang akan digunakan untuk melihat
signifikansi pengaruhnya dari treatment adalah uji beda untuk sampel variabel
independent two group hasil pretest dan posttest dari treatment yang diberikan adalah
uji beda Wilcoxon. Kedua proses perhitungan statistik akan menggunakan software
SPSS 13 for Windows.
Hasil perhitungan statistik ini akan dikolaborasi dengan hasil kualitatif (observasi
dan interviu) selama proses rangkaian kegiatan diberikan, sehingga didapatkan
gambaran perubahan yang lebih detil dari setiap individu yang mengikuti program
terapi musik angklung.
167
DAFTAR PUSTAKA
Aiken, Lewis.R. 1995. Aging: An Introduction to Gerontology. California: SAGE
Publications, Inc.
Bassano, Mary. 1992. Penyembuhan Melalui Musik dan Warna. Yogyakarta: Putra
Langit.
Birren, James E., & Schaie, K. W. 1977. Handbook of Psychology of Aging. New
York: Van Nostrand Reinhold Company.
Campbell, D.T., & Stanley, J.C. 1966. Experimental and Quasi-Experimental
Designs For Research. Chicago: Rand Monally College Publishing Company.
Campbell, Don. 2002. Efek Mozart: Memanfaatkan Kekuatan Musik Untuk
Mempertajam Pikiran, Meningkatkan Kreativitas, dan Menyehatkan Tubuh.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Direktorat Bina Kesejahteraan Anak, Keluarga, dan Lanjut Usia. 1986. Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Pembinaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia/Jompo
Terlantar Melalui Sasana Tresna Wredha. Jakarta: Departemen Sosial RI,
Dirjen Bina Kesejahteraan Sosial.
Djohan. 2006. Terapi Musik: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Galangpress.
Djohan. 2003. Psikologi Musik. Yogyakarta: Buku Baik.
Dwiyani, Karina. 2000. Hubungan Antara Pemenuhan Kebutuhan Psikologis dengan
Penyesuaian Diri Pada Lansia di Panti Werdha. Fakultas Psikologi Universitas
Padjadjaran Bandung : Skripsi.
168
Graziano & Raulin. 2000. Research Methods. United States of America: Allyn and
Bacon.
Hurlock, Elizabeth B. 1990. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan, Edisi kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Juslin, Patrik. N., & Sloboda, J.A. 2001. Music and Emotion: Theory and Research.
New York: Oxford University Press.
Kurnia, Ganjar & Nalan, A.S. 2003. Deskripsi Kesenian Jawa Barat. Bandung: Dinas
P&K Jabar dan Pusat Dinamika Pembangunan UNPAD.
L’Abate, L. 1994. Handbook of Developmental Family Psychology and
Psychopathology. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Maharani, Gita. 2005. Gambaran Kesepian Pada Wanita Lansia Yang Telah
Menjanda Dan Cara Penanggulangannya (Studi kualitatif pada tiga wanita
lansia di Jakarta). Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Depok. : Skipsi.
Masunah, Juju. dkk. 2003. Angklung Di Jawa Barat: Sebuah Perbandingan, Buku 1.
Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional
(P4ST) UPI.
Mucci, K. & Mucci, R. 2002. The Healing Sound of Music: Manfaat Musik untuk
Kesembuhan, Kesehatan, dan Kebahagiaan Anda. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Norayana, Melly. 2009. Pengaruh Terapi Musik Terhadap Emosi Marah Narapidana
Wanita Kelas 2A Lembaga Permasyarakatan Sukamiskin Bandung. Fakultas
Psikologi Universitas Islam Bandung : Skripsi.
169
Nugroho, Caroline M. D. 2003. Pengaruh Pemberian Ilustrasi Musik Terhadap
Kemunculan Persepsi Mengenai Jenis Emosi Pada Film Bisu. Fakultas
Psikologi Universitas Padjadjaran Bandung : Skripsi.
Panjaitan-Sirait, Sondang Aemilia, DR., SpKK. 2006. Efek Musik Pada Tubuh
Manusia. GEMA website: Artikel
Peplau, L.A & Perlman, D. 1982. Loneliness; A Sourcebook Of Current Theory
Research And Therapy. Canada: John Wiley & Sons, Inc.
Perlmutter, m. & Hall, E. 1985. Adult Development and Aging. New York: John
Wiley & Sons, Inc.
Pikiran Rakyat Online. 2007. http: // www.pikiranrakyat.com
Pikunas, J. 1976. An Human Development Emergent Science. Tokyo: McGrawHill.
Pirous, Iwan. 2007. Daeng Soetigna Mencari Keindonesiaannya Melalui Angklung.
from Google Web : Blog : Kamar Iwan Pirous. http://iwan.pirous.com/about.
Russell, D. 1996. The UCLA Loneliness Scale (version 3). Retrieved November 26,
2007 from the Google Web: http: // www.psychology.iastate.edu / ~ccutrona /
uclalone.htm.
Rodney J. Hunter. 1992. Musik sebagai Alat Konseling. Majalah Sahabat Gembala,
edisi Juli: Artikel
Santrock, J.W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Jilid 2
edisi 5. Jakarta: Erlangga.
Setiadarma, Monty P. 2002. Terapi Musik. Jakarta: Milenia Populer.
170
Suhadi, Iwan. 2005. Pengklasifikasian Perasaan Kesepian (Loneliness) pada
Penderita Psoriasis dan Perbedaan Penyesuaian. Fakultas Psikologi
Universitas Padjadjaran Bandung : Skripsi.
Supardiman, Budi. Tidak diketahui tahun penerbitan. from Google Web :
Arransemen Angklung. Kolom Pengetahuan. Website Keluarga Paduan
Angklung 3. Jove.prohosting.com/angklung/archive/jan/.../pengetahuan.html.
Suwarni, Eny, dkk. 1999. Psikologi Eksperimen: True dan Quasi Eksperimental
Designs, edisi 4. Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung : Kumpulan
Diktat Perkuliahan.
Wiramihardja, Obby A.R. 1989. Angklung Padaeng. Bandung. Makalah seminar
disampaikan pada Seminar Nasional Angklung di ITB, 26 Oktober 1989 (tidak
diterbitkan).
Witriani. 2000. Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Tipe Loneliness pada
Mahasiswa Baru Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran. Fakultas
Psikologi Universitas Padjadjaran Bandung : Skripsi.
top related