ANALISIS PROSES PEMATANGAN KOMUNITAS POLITIK …
Post on 21-Oct-2021
13 Views
Preview:
Transcript
ANALISIS PROSES PEMATANGAN KOMUNITAS POLITIK KEAMANAN ASEAN (APSC) TERHADAP DINAMIKA PERSENJATAAN ASIA
TENGGARA PERIODE 2006 – 2012 ZEIN SEPTIAN HIDAYAT
ANDI WIDJAJANTO PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK Abstrak
Ide pembentukan Komunitas Politik Keamanan ASEAN (APSC) pada tahun 2015 merupakan perwujudan salah satu pilar dari Komunitas ASEAN (ASEAN Community). Pembentukan komunitas keamanan ini merupakan suatu fenomena yang menarik karena komunitas ini dibentuk dalam suatu kawasan regional yang terdiri dari negara-negara dengan kapabilitas militer yang cenderung serupa karena tidak terdapat hegemon regional di kawasan tersebut. Penelitian ini berfokus untuk menganalisis mengapa proses pematangan APSC diikuti oleh poliferasi senjata ofensif oleh negara-negara anggota ASEAN. Penelitian ini juga bertujuan untuk menunjukkan keterkaitan antara proses pematangan Komunitas Politik Keamanan ASEAN (APSC) dengan dinamika persenjataan di Asia Tenggara serta seberapa besar tingkat interaksi antara kedua variabel tersebut. Kata Kunci : APSC; Asia Tenggara; Dinamika Persenjataan; Komunitas Keamanan; Security Dilemma Abstract
The idea of the establishment of ASEAN Political Security Community (APSC) in 2015 is a manifestation of security pillar, which is one of the pillars that support ASEAN Community. The establishment of this security community is an interesting phenomenon as it is created in a region that consists of states with similar military capabilities as the region does not possess regional hegemon. This research focuses on the question why the maturation of ASEAN Political Security Community (APSC) is followed by the arms proliferation of ASEAN member states. It also explains the linkage between the maturation of APSC and the arms dynamics in Southeast Asia as well as the level of interaction among the two variables. Key words: APSC; Arms Dynamic; Security Community; Security Dilemma; Southeast Asia PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suatu negara idealnya akan berusaha untuk menciptakan kestabilan keamanan
nasionalnya dengan mengambil beberapa opsi atau tindakan yang berimbas pada tindakan
preventif negara lain, secara konseptual gambaran umum ini merupakan pola security
dilemma. Arms race adalah salah satu dampak dari security dilemma. Arms race menunjukkan
dinamika dari teknologi militer yang bertanggung jawab pada permasalahan utama antara
negara-negara dalam hubungan internasional.1 Naval arms race antara negara-negara Eropa
pada Perang Dunia I dan perlombaan nuklir pada Perang Dingin adalah contoh arms race
yang terjadi yang berpotensi pada perang. Untuk menghadapi arms race yang beresiko 1 Barry Buzan, an Introduction to Strategic Studies, Military Technology and International Relations (London: Macmillan in association with the International Institute of Strategic Studies, 1987), hlm. 69
1
Analisis Proses ..., Zein Septian Hidayat, FISIP UI, 2013
perang, terutama untuk perlombaan nuklir yang berpotensi pada perang dengan daya hancur
massive. Harus ada suatu cara agar arms race bisa direduksi dan ditangani. Institusi kerjasama
dibidang keamanan adalah penyelesaian dari arms race adalah ide untuk mereduksi arms race
tersebut. Menurut Jervis institusi adalah defense terbaik yang merupakan offense yang baik
juga ketika dalam hubungan internasional.2 Kerjasama dibidang keamanan memberi wadah
dan mediasi untuk membicarakan masalah-masalah keamanan diantara negara sehingga
intensitas untuk saling menyerang diantara negara akan berkurang.
Komunitas Politik Keamanan ASEAN (e.g.: APSC) yang akan direalisasikan pada
tahun 2015 adalah kerjasama keamanan antara negara ASEAN yang diharapkan bisa
menurunkan intensitas perang antara negara-negara ASEAN. APSC dibentuk untuk
memberikan kerangka regional bagi anggotanya untuk menyelesaikan masalah-masalah
keamanan dan perselisihan di dalamnya serta meningkatkan dan mempercepat kerjasama ke
tingkat yang lebih tinggi. Selain itu, negara-negara anggota menyadari bagaimana semakin
berkembangnya ancaman keamanan transnasional yang tidak dapat diselesaikan secara
unilateral.3 APSC bertujuan untuk mempercepat kerjasama politik keamanan di ASEAN
untuk mewujudkan perdamaian di kawasan, termasuk dengan masyarakat internasional.
Komunitas politik keamanan ASEAN bersifat terbuka, berdasarkan pendekatan keamanan
komprehensif dan tidak ditunjukan untuk membentuk suatu pakta pertahanan/aliansi militer
maupun kebijakan luar negeri bersama (common foreign policy). Komunitas politik keamanan
ASEAN juga mengacu kepada berbagai instrumen politik ASEAN yang telah ada seperti
ASEAN Regional Forum (ARF) dengan tiga pilarnya : membangun rasa saling percaya
(confident building measure/CBM), diplomasi preventif (Preventive Diplomacy), dan
penyelesaian konflik (conflict resolution), Zone of Peace, Freedom and Neutrality
(ZOPFAN), Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC), dan Treaty on
Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone (SEANWFZ), serta menaati Piagam PBB dan
prinsip-prinsip hukum internasional terkait lainnya. Sebagai salah satu upaya untuk
mewujudkan ASEAN Political Security Community (APSC), ASEAN telah menyusun
rancangan ASEAN Political Security Community Blueprint.
Dalam laporan SIPRI yang dikeluarkan pada Maret 2012, disebutkan bahwa total
transfer senjata ke negara-negara di Asia Tenggara meningkat sebesar 185 persen antara
2002-2006 dan 2007-2011. Hal ini merupakan tingkat tertinggi sejak Perang Vietnam 2 Rober T. Jervis, “Cooperatio….” Op. Cit., hlm.92 3 Mely Caballero-Anthony, “Non-Traditional Security Challenges, Regional Governance, and The ASEAN Political-Security Community (APSC)” dalam Asia Security Initiative Policy Series, Working paper No.17 (Singapore, 2010), hlm. 6
2
Analisis Proses ..., Zein Septian Hidayat, FISIP UI, 2013
berakhir tahun 1975. Pengiriman ke Malaysia dan Singapura meningkat hampir 300 persen,
sedangkan pengiriman ke Indonesia meningkat sebesar 144 persen dan pengiriman ke
Vietnam sebesar 80 persen.4 Angka-angka dalam kasus Vietnam bahkan bisa lebih tinggi.
Vietnam adalah penerima terbesar kelima dari ekspor Rusia selama periode 2007-2011,
terhitung 4 persen dari total volume penjualan Rusia di Asia dan Oseania. Pengiriman Rusia
ke Vietnam selama 2011 termasuk dua frigat kelas Gepard, rudal anti kapal dan delapan
pesawat tempur Su 30MK2. Dalam beberapa tahun mendatang, Rusia akan memberikan lebih
banyak frigat Gepard, rudal anti kapal dan pesawat tempur Su-30MK2, serta enam kapal
selam Proyek-636 ke Vietnam.5
Dari data-data tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa di Asia Tenggara poliferasi
senjata semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan ASEAN dianggap gagal menerapkan non
poliferasi diantara anggotanya, hal ini tentu saja bertolak belakang dengan tujuan dibentuknya
ASEAN. Di satu sisi ASEAN dalam tahap pembentukan Komunitas ASEAN 2015 yang
bertujuan meningkatkan kerjasama di antara anggotanya ke tahap komunitas yang lebih
kolektif, salah satunya Komunitas Politik Keamanan ASEAN. Melihat hal tersebut penulis
tertarik menganalisis mengapa perjalanan pembentukan APSC disertai dengan poliferasi
senjata ofensif di Asia Tenggara.
1.2 Permasalahan
Penelitian ini menggunakan rumusan permasalahan Bagaimana Proses Pematangan
(Maturity) Komunitas Politik Keamanan ASEAN Berpengaruh pada Dinamika
Persenjataan Asia Tenggara? Rentang waktu yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah tahun 2006 hingga tahun 2012, dimana tahun 2006 merupakan tahun diinisiasikannya
Komunitas Politik Keamanan ASEAN, yang selanjutnya akan disebut APSC secara resmi.
Dalam pembentukan Komunitas Politik Keamanan ASEAN pada tahun 2015 masih banyak
permasalahan yang perlu diperhatikan ASEAN sebelum komunitas ini dibentuk. Salah
satunya adalah non poliferasi yang masih belum bisa diterapkan.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk melihat kematangan komunitas politik
keamanan ASEAN (APSC) terhadap dinamika persenjataan Asia Tenggara periode 2006-
2012 dengan menganalisis dinamika persenjataan yang terjadi di periode 2006 – 2012
4 Paul Holtom, et.all., “Trends in International Arms Transfers, 2011”, hlm.7 5 Ibid., hlm.2-3
3
Analisis Proses ..., Zein Septian Hidayat, FISIP UI, 2013
dikaitakan dengan kematangan APSC . Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk melihat
bagaimana kematangan APSC dapat mempengaruhi dinamika persenjataan di kawasan Asia
Tenggara. Dengan begitu, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi spesifik
bagi perkembangan ilmu hubungan internasional terutama dalam kajian Komunitas Politik
Keamanan ASEAN. Signifikansi dari penelitian ini dalam konteks Ilmu Hubungan
Internasional ialah untuk memberikan pemahaman spesifik terhadap pematangan Komunitas
Keamanan ASEAN memiliki pengaruh terhadap dinamika persenjataan Asia Tenggara.
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Security Dilemma
Negara yang merasa terancam pada dasarnya dapat mengambil tindakan defensif atau
melakukan kerjasama dengan negara lain untuk meredam konflik atau bahkan peperangan
yang merupakan sifat alami sistem internasional yang anarkis. Hubungan konfliktual terjadi
karena eksistensi sebuah negara merupakan ancaman bagi negara lainnya, untuk itu sebuah
negara dapat melakukan beberapa cara untuk mencapai keamanan baik dengan upaya internal
atau eksternal. Dalam upaya internal negara dapat meningkatkan kapabilitas ekonomi dan
militer, dan mengembangkan strategi, sedangkan untuk tindakan eksternal, negara dapat
melakukan aliansi dengan negara lain untuk meminimalisir ancaman.6
Jervis berpendapat bahwa ketika aspek defensif dari negara memiliki keuntungan,
maka security dilemma berkurang. Ini dikarenakan dua alasan: (a) Karena negara yang
defensif hanya menyiapkan diri dari serangan dan (b) adanya opsi-opsi strategi dasar yang
dapat diambil negara untuk meredam efek security dilemma,7 yang mana opsi-opsi interaksi
dalam lingkup security dilemma tersebut dijelaskan oleh Robert Jervis sebagai berikut:
pertama, munculnya pola aksi reaksi terhadap kondisi security dilemma yang akan
menyebabkan perpecahan dalam kerjasama - skema ini terkait dengan national interest yang
di akomodasi oleh kepentingan bersama (contohnya aliansi), kedua, negara akan berusaha
memaksimalkan kekuatan nasionalnya lewat beberapa tindakan seperti ploliferasi ideologi,
dan intervensi terhadap negara lain. ketiga, negara dengan kapabilitas yang kuat akan
melakukan infiltrasi dan intervensi terhadap negara-negara lemah, utamanya dalam
mendapatkan dukungan dan menjadi daerah penyangga demi menjaga kepentingan
geostrategic dan geopolitics. Jervis juga mengatakan bahwa negara dapat menerapkan pola 6 Charles L. Glaser, The Security Dilemma Revisited, diakses dari http://harrisschool.uchicago.edu/faculty/articles/glaser-security_dilemma.pdf pada 16 November 2011, pada tanggal 28 November 2012, pada pukul 13:23 WIB, hlm. 175 7 Ibid., hlm. 167.
4
Analisis Proses ..., Zein Septian Hidayat, FISIP UI, 2013
ofensif atau defensif,8 Perimbangan ofensif-defensif ditentukan oleh kemampuan suatu negara
dalam melakukan strategi kekuatan postur militer dan penempatan kekuatan militer.
Kemampuan ofensif memberikan keuntungan, dengan menyederhanakan bahwa lebih mudah
menghancurkan pasukan negara lain dan mengambil wilayahnya daripada bersikap defensif.
Namun, ketika defensif memberikan keuntungan, lebih mudah untuk melindungi dan
bertahan, daripada melakukan penyerangan, menghancurkan, dan ekspansi.
Robert Jervis juga menjelaskan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi apakah
sifat ofensif atau defensif yang memberikan keuntungan terhadap strategi militer suatu
negara, yaitu faktor teknologi dan geografi. Faktor teknologi, perkembangan teknologi
persenjataan baik dalam kekuatan ofensif dan defensif merupakan sistem utama yang dapat
memproteksi dan memaksimalkan kepentingan dan keamanan domestik, faktor geografis,
faktor ini sangat mempengaruhi efektifitas militer terutama karena bentuk wilayah yang
heterogen, seperti laut, daratan, dan pegunungan yang sangat berpengaruh untuk menentukan
strategi penyerangan.9 Jervis juga memberikan model “matriks 4 dunia” sebagai solusi untuk
menentukan pilihan negara baik dalam strategi ofensif maupun defensive untuk meredam
ancaman eksternal
2.2 Dinamika Persenjataan
Dalam the Arms Dynamic in World Politics, Buzan dan Herring menjelaskan tentang
dinamika persenjataan, yang mengakibatkan ‘perlombaan persenjataan’. Perlombaan
persenjataan ini, menuai banyak kontroversi dalam dunia internasional. Ada yang berpendapat
bahwa perlombaan persenjataan dapat menciptakan perdamaian dan stabilitas, adapula yang
mengangap konsep perlombaan senjata berhubungan dengan banyak hal, mulai dari perang,
deterrence/‘penangkalan’, perlucutan senjata, bahkan hal-hal lain seperti pembangunan
ekonomi.
Istilah dinamika persenjataan digunakan untuk menjelaskan seluruh tekanan yang
membuat aktor-aktor (terutama negara) mendapatkan kekuatan persenjataan dan mengubah
kuantitas dan kualitas yang telah mereka miliki. Konsep dinamika persenjataan dipengaruhi
oleh konsep balance of power, security dilemma, dan juga strategic rivalries.
Untuk menjelaskan dinamika persenjataan ini, Buzan dan Herring mengunakan tiga
model pendekatan, yaitu: model aksi-reaksi, model struktur domestik dan model imperatif.
8 Robert Jervis, “Cooperation under the Security Dilemma” , dalam World Politics, Vol. 30, No. 2 (London: Cambridge University Press January 1978),hlm 153 9 Ibid.,hlm. 167.
5
Analisis Proses ..., Zein Septian Hidayat, FISIP UI, 2013
Model pendekatan model struktur domestik dan imperatif tidak dijelaskan dalam tulisan ini.
Model pendekatan pertama yaitu model aksi-reaksi yang akan digunakan dalam tulisan ini,
karena tulisan ini berfokus kepada hubungan antara negara – negara. Model ini sangat
dipengaruhi oleh faktor eksternal negara, hal yang paling menggambarkan hal tersebut adalah
‘balance of power’ dan berkaitan erat dengan ‘Security Dilemma’.
Adapun tingkatan dalam dinamika persenjataan, yaitu arms race yang merupakan titik
ekstrim dari dinamika persenjataan, maintenance yaitu kondisi dimana negara-negara
menerapkan proses normal dari dinamika persenjataan, buildup atau kompetisi adalah daerah
abu-abu antara perlombaan senjata dan maintenance, dan juga build-down/arms reduction
level kondisi yang lebih rendah dari maintenance.
Dinamika persenjataan akan cenderung ke arms race apabila telah melewati build up
level. Tetapi untuk mengetahui apakah telah terjadi Arms Race atau masih Build Up terkadang
sulit untuk dibedakan. Cara membedakan Arms Race dan Build Up dijelaskan berikut. Arms
Build Up hanya merujuk pada grafik spiral ke atas pada indikator-indikator utama militer
seperti pengeluaran pertahanan dan pemilikan persenjataan. Meningkatnya anggaran belanja
pertahanan, angkatan bersenjata yang lebih modern, akuisisi senjata yang lebih meningkat dan
produksi persenjataan di suatu kawasan tidak harus mengindentifikasikan adanya perlombaan
senjata apabila tidak didorong oleh interaksi atau dinamika kompetisi di antara mereka yang
terlibat. Dengan kata lain, Arms Build Up bisa disebabkan oleh faktor-faktor di luar antar-
negara, seperti faktor domestik dan sebagainya.
Arms build up juga merupakan salah satu bagian dari arms race.10 Sedangkan indikasi
telah terjadi arms race dengan karakteristik umum arms race adalah derajat yang sangat
cepat dari akuisisi senjata, akan tetapi kemungkinan juga terjadi arms race dengan gerak yang
“sangat lamban” (slow motion).11 Ketika hal tersebut terjadi maka yang terjadi hanya arms
build up. Menurut Steiner perlombaan senjata didefinisikan sebagai “penyesuaian
kemampuan mesin perang secara berulang, kompetitif dan timbal balik (reciprocal) antara
dua negara atau dua kelompok negara.12 Sementara Huntington lebih melihat dari segi kapan
peristiwa dinamika itu terjadi, dia mendefinisikan arms race sebagai peningkatan
kemampuan persenjataan suatu negara atau kelompok negara secara progresif yang terjadi
pada masa damai yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan dan merasa terancam satu
10 Amitav Acharya, “An Arms Race in Post-Cold War Southeast Asia? Prospects for Control”, Dalam Pacific Strategic Papers (Singapore: ISEAS, 1994),hlm.3 11 Ikrar Nusa Bhakti, “Forum Regional ASEAN dan Pengaturan Keamanan Regional di Asia Pasifik” dalam Jurnal Ilmu Politik No. 16 (Tahun 1996), hlm. 59 12 Ibid.,
6
Analisis Proses ..., Zein Septian Hidayat, FISIP UI, 2013
sama lain. Sedangkan Hedley Bull mendefinisikan perlombaan senjata sebagai kompetisi yang
intens antara negara atau kelompok negara yang saling bertentangan di mana masing-masing
pihak berusaha untuk mencapai keunggulan kekuatan militernya dengan cara meningkatkan
kuantitas atau memperbaiki kualitas sistem persenjataannya.13
Colin Gray secara khusus memberikan empat kondisi dasar untuk menunjukkan
adanya perlombaan senjata: (1) Harus ada dua atau lebih negara yang bertikai; (2) Negara
yang terlibat perlombaan senjata harus menyusun kekuatan bersenjata dengan perhatian
terhadap efektifitas angkatan bersenjata dalam menghadapi, bertempur atau sebagai
penangkal terhadap peserta lomba senjata; (3) Mereka harus berkompetisi dalam kuantitas
(SDM, senjata) dan/atau kualitas (SDM, senjata, organisasi, doktrin, penggelaran); dan (4)
Harus ada peningkatan cepat dalam kuantitas dan/atau peningkatan dalam kualitas.14
2.3 Komunitas Keamanan
Konsep komunitas keamanan awalnya digagas oleh Karl W. Deutsch, yang kemudian
dikembangkan secara spesifik oleh Amitav Acharya dalam meneliti fenomena kemunculan
rezim atau institusi keamanan di tingkat kawasan. Menurutnya, komunitas keamanan adalah
suatu kelompok yang telah ‘terintegrasi’, dalam artian telah mencapai suatu sense of
community, yang didukung dengan institusi atau tindakan formal atau informal, sedemikian
kuatnya hingga menjamin perubahan secara damai antara anggota-anggotanya dengan
‘kepastian yang beralasan’ dalam periode/waktu yang lama.15 Menurut Acharya, komunitas
keamanan ditandai dengan ketiadaannya persaingan kekuatan militer atau perlombaan senjata
antara anggotanya, menghindari timbulnya perang dan tidak melegitimasi penggunaan
kekerasan, serta adanya “we feeling” sehingga komunitas dibentuk berdasarkan shared
interest and identities.16 Demikian diketahui bahwa elemen-elemen penting dalam
pembentukan suatu komunitas keamanan adalah interaksi antar aktor dalam komunitas yang
membangun kesamaan identitas dan kepentingan melalui nilai dan norma bersama dalam
komunitas; dengan demikian tercipta suatu komunitas yang tidak saling bersaing maupun
menggunakan kekerasan (dalam artian kekuatan militer) satu sama lain.
13 Ibid., 14 Colin S. Gray, “The Arms Race Phenomenon”, World Politics, Vol. 24, (1972), hal. 41, dalam Michael Sheehan, The Arms Race (Oxford: Martin Robertson, 1983), hal. 10. 15 Karl W.Deutsch, ‘Security Communities’, dalam James Rosenau (ed.), International Politics and Foreign Policy (New York: Free Press, 1961), p. 98, dalam Amitav Acharya, Constructing Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problem of Regional Order (New York: Routledge, 2001), hlm. 16. 16 Amitav Acharya, Constructing Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problem of Regional Order (New York: Routledge, 2001), hlm. 17-20.
7
Analisis Proses ..., Zein Septian Hidayat, FISIP UI, 2013
Adler dan Barnett mengemukakan tiga fase pembentukan komunitas keamanan, yaitu fase
nascent, ascendant dan mature.17 Dalam fase pertama yang disebut fase nascent,
menunjukkan kondisi awal dalam pembentukan komunitas keamanan. Dalam fase ini aktor-
aktor masih belum menginisiasikan langkah -langkah menuju komunitas keamanan, hanya
menggunakan institusi yang ada untuk meningkatkan keamanan serta mengurangi biaya
transaksi yang dibutuhkan untuk mendapatkan tujuan yang sama.18 Terkandung mekanisme
pemicu seperti persepsi ancaman, ekspektasi keuntungan perdagangan, identitas bersama dan
emulasi organisasional, sebagai inisiasi tiap unit dalam pentingnya mewujudkan keamanan
bersama. Dalam fase ini, keberadaan pihak ketiga untuk menjadi penengah masih banyak
digunakan karena kemampuan untuk menyelesaikan masalah secara mandiri masih lemah.
Kemudian, pada fase kedua, mulai terlihat kedekatan koordinasi militer dan kurangnya
ketakutan akan ancaman dari dalam kelompok dan terbentuknya identitas kolektif yang
mendukung harapan akan perubahan secara damai yang terpercaya (dependable expectations
of peaceful change). Fase ini dikarekterisasikan sebagai fase kerjasama yang mendalam di
berbagai bidang, khusunya dalam bidang keamanan. Dalam kondisi ini, security dilemma juga
makin bergerak menjadi dorman. Dalam fase ini banyak tantangan yang muncul karena
intensifikasi dan ekstensifikasi kerjasama, maka diharapkan bahwa negara-negara inti akan
muncul untuk menjaga idealisme atau untuk memastikan fleksibilitas akan perubahan-
perubahan yang ada.19
Fase ketiga menunjukkan karakteristik komunitas yang terinstitusionalisasi dan
bercirikan supranasionalisme, kepercayaan tingkat tinggi dan kemungkinan konflik militer
yang rendah atau tidak ada sama sekali. Tahap ini mengambarkan fase dimana komunitas
keamanan sudah melebihi institusi tapi sudah menjadi unit social. Dalam fase ini, indikasi
utama dari adanya identitas kolektif dan kepercayaan timbal-balik adalah penggunaan prinsip
konsensual dalam multilateralisme, daerah perbatasan yang lebih terbuka, eksklusi
(pengecualian)anggota komunitas sebagai potensi ancaman militer, adanya definisi ancaman
yang dipahami kolektif, serta munculnya diskursus unik dalam komunitas keamanan
tersebut.20 Konsep komunitas keamanan Adler dan Barnett yang secara sederhana melihat
perkembangan komunitas, dari kondisi-kondisi pemicu awal, kemudian terbentuknya faktor-
faktor kondusif dalam mengembangkan mutual trust dan collective identity, sampai akhirnya
17 Ibid.; Acharya, Op.cit., hlm. 34-35. 18 Emmanuel Adler dan Michael Barnett, “Security Communities in Theoretical Prespective” dalam Security Communities (Cambridge: Cambridge UP, 1998) hlm 50 19 Ibid., hlm 54 20 Ibid., hlm 55-56
8
Analisis Proses ..., Zein Septian Hidayat, FISIP UI, 2013
mencapai kondisi-kondisi yang cukup dalam mewujudkan dependable expectations of
peaceful change.21 Fase dimana komunitas mencapai kematangan pun dapat dibagi dalam dua
jenis, yaitu loosely-coupled (yang intinya mengharapkan kondisi tiadanya ancaman militer
antar anggotanya dan pengendalian diri dalam menggunakan kekuatannya) dan tightly-
coupled (yang tingkat supranasionalitasnya tinggi dan memiliki mekanisme saling
membantu/mutual aid).22
METODE PENELITIAN
Melalui metode kuantitaf dan kualitatif, peneliti akan mencoba menganalisis apakah
impilkasi dari pematanagn APSC terhadap semangat pembentukan dinamika persenjataan
Asia Tenggara. Untuk membantu metode kuantitaf, akan digunakan studi literatur untuk
membantu analisis dan pengkajian mengenai variabel-variabel yang ada. Untuk membantu
memahami mengenai analisis yang dijelaskan, data-data pendukung akan ditambahkan untuk
memberi pemahaman lebih lanjut. Data-data akan diambil dari buku, jurnal, surat kabar, dan
media-media lainnya yang signifikan terhadap penelitian ini.
TABEL OPERASIONALISASI VARIABEL
Variabel Kategori Indikator Sumber Data
Variabel
Independen/Bebas:
Kematangan
Komunitas Politik
Keamanan
ASEAN ( APSC)
3 Fase
Pembentukan
Komunitas
Keamanan:
fase nascent,
ascendant
dan mature
Komunitas yang
terinstitusionalis
asi dan
bercirikan
supranasionalis
me,
kepercayaan
tingkat tinggi
dan
kemungkinan
konflik militer
yang rendah
atau tidak ada
sama sekali
Website ASEAN
(www.asean.org.)
Website ARF,
Website ADMM,
Website East Asia
Summit.
Publikasi media tentang
APSC 2015
website resmi negara-
negara yang diteliti
publikasi CSIS
publikasi ASEAN
tentang ADMM+,
ASEAN+1, ASEAN+3,
21 Amitav Acharya, Constructing Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problem of Regional Order (New York: Routledge, 2001),hlm. 35 22 Ibid.,
9
Analisis Proses ..., Zein Septian Hidayat, FISIP UI, 2013
ASEAN+6, East Asia
Summit
Variabel
Dependen/Terikat:
Dinamika
Persenjataan Asia
Tenggara 2006 -
2012
Struktur
Pertahanan
dan Belanja
Senjata
Kepemilikan
Senjata
Konvensional
(apakah
menunjukkan
arms race,arms
build up, atau
arms
reduction?)
Pembelian
persenjataan
/military
transfer
The Military
Balance, 2007 2012
SIPRI
HASIL PENELITIAN
Kesimpulan sementara yang hendak diuji dalam tulisan ini merupakan proposisi
bivariat yang menggambarkan keterkaitan antara arms race dan security community. Hipotesa
tulisan ini adalah Semakin Matang Fase Pembentukan Komunitas Politik Keamanan
ASEAN maka Dinamika Persenjataan Asia Tenggara Akan menuju ke Arms Reductor,
Begitu Pula Sebaliknya. Konsep security community merupakan konsep yang menekankan
digunakannya cara – cara non-violent di dalam Hubungan Internasional dan dicoba untuk
diangkat setelah Perang Dunia II. Munculnya konsep ini merupakan tantangan terhadap
security dilemma. Dalam konsep security dilemma ini, digambarkan bahwa dalam kondisi
internasional sistem yang anarki, maka self-help akan mengarahkan negara kepada
perlombaan senjata dan konflik.
10
Analisis Proses ..., Zein Septian Hidayat, FISIP UI, 2013
PEMBAHASAN
TABEL DINAMIKA PERSENJATAAN ASIA TENGGARA 2006-2012
Senjata/
Negara Battle Tank Combat Aircraft Warship
Brunei
Darussalam
Tetap sama
kepemilikannya dari
tahun 2006 – 2012
Menurun Menurun
Kamboja Tetap sama
kepemilikannya dari
tahun 2006 – 2012
Terjadi Peningkatan
di tahun 2011, dalam
kepemilikan FGA
Terjadi peningkatan
di tahun 2009 dalam
kepemilikan PB
Indonesia Tetap sama
kepemilikannya dari
tahun 2006 – 2012
Terjadi peningkatan
pada tahun 2010,
2011,2012 dalam
kepemilikan FGA,
FTR, TPT, TRG
Terjadi peningkatan
di tahun 2008, 2009,
2011,dalam
kepemilikan
CORVETTES – FS,
dan PCC
Laos Tetap sama
kepemilikannya dari
tahun 2006 – 2012
Terjadi peningkatan
pada tahun 2011
dalam kepemilikan
FGA
Tidak memiliki
warship
Malaysia Terjadi peningkatan
pada tahun 2011 dalam
kepemilikan MBT dan
upgrade LT TK
Terjadi peningkatan
pada tahun
2008,2009, 2011
dalam kepemilikan
FTR,FGA, TGR
Terjadi peningkatan
pada tahun 2009,
2011, 2012 dalam
kepemilikan
SUBMARINES •
TACTICAL • SSK,
FRIGATES
Myanmar Terjadi peningkatan
pada tahun 2012 dalam
kepemilikan MBT
Terjadi peningkatan
pada tahun 2011
dalam kepemilikan
FTR
Terjadi peningkatan
pada tahun 2008,
2010, 2011, 2012
dalam kepemilikan
PTG, PB,
FRIGATES
11
Analisis Proses ..., Zein Septian Hidayat, FISIP UI, 2013
Filipina Tetap sama
kepemilikannya dari
tahun 2006 – 2012
Terjadi peningkatan
pada tahun 2010
dalam kepemilikan
TPT
Terjadi peningkatan
pada tahun 2008,
2011, 2012 dalam
kepemilikan PCC,
PBF,PSOH,PB
Singapura Tetap sama
kepemilikannya dari
tahun 2006 – 2012
Tidak terjadi
perubahan yang
signifikan tetapi
Singapura memiliki
Combat Aircraft yang
berteknologi paling
tinggi dibandingkan
Negara lain
Terjadi peningkatan
pada tahun 2008,
2011, dalam
kepemilikan
FFGHM,
SUBMARINES •
TACTICAL • SSK
Thailand Berkurang karena
dalam perbaikan
Tetap sama
kepemilikannya dari
tahun 2006 – 2012
Terjadi peningkatan
pada tahun 2007,
2010 dalam
kepemilikan FS, PCI
Vietnam Tidak terjadi perubahan
yang signifikan tetapi
Vietnam memiliki
jumlah Battle Tanks
terbanyak
dibandingkan negara
lain
Terjadi peningkatan
pada tahun 2012
dalam kepemilikan
FGA
Terjadi peningkatan
pada tahun 2007,
2011, 2012 dalam
kepemilikan PFM,
FSG, FFGM
Sumber: Olah data dari Laporan Military Balance 2006 – 2012
Untuk mengkategorisasi apakah telah terjadi perlombaan persenjataan dengan
menggunakan indikator Colen S. Gray yaitu : 1) Harus ada dua atau lebih negara yang
bertikai; 2) Negara yang terlibat perlombaan senjata harus menyusun kekuatan bersenjata
dengan perhatian terhadap efektifitas angkatan bersenjata dalam menghadapi, bertempur atau
sebagai penangkal terhadap peserta lomba senjata; 3) Mereka harus berkompetisi dalam
kuantitas (SDM, senjata) dan/atau kualitas (SDM, senjata, organisasi, doktrin, penggelaran);
dan 4) Harus ada peningkatan cepat dalam kuantitas dan/atau peningkatan dalam kualitas
Komunitas keamanan akan disebut matang ketika telah terbentuk komunitas yang
12
Analisis Proses ..., Zein Septian Hidayat, FISIP UI, 2013
terinstitusionalisasi dan bercirikan supranasionalisme, kepercayaan tingkat tinggi dan
kemungkinan konflik militer yang rendah atau tidak ada sama sekali perlombaan peningkatan
kapabilitas militer diantara anggotanya.
Dari penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa untuk mengindikasikan
adanya perlombaan persenjataan di Asia Tenggara, dapat melihat: 1). adanya pihak yang
berlawanan; 2). adanya usaha untuk mencari keunggulan militer; 3). terjadi pada masa
damai/tidak perang; 4). proses terjadi secara kompetitif, timbal balik, dan eskalatif. Dari
keempat indikasi tersebut Asia Tenggara baru terbukti sampai indikasi ke – 3. Asia Tenggara
belum sepenuhnya mencerminkan indikasi ke 4 sehingga belum sepenuhnya mencerminkan
arms race sehingga level dinamika persenjataan yang terjadi di Asia Tenggara pada periode
2006 – 2012 masih dalam level buildup.
Kemudian untuk melihat proses pematangan APSC Seperti yang telah dijelaskan pada
kerangka teori Adler dan Barnett mengemukakan tiga fase pembentukan komunitas
keamanan, yaitu fase nascent, ascendant dan mature. Dalam fase pertama yang disebut fase
nascent, menunjukkan kondisi awal dalam pembentukan komunitas keamanan. Dalam fase ini
actor-aktor masih belum menginisiasikan langkah-langkah menuju komunitas keamanan,
hanya menggunakan institusi yang ada untuk meningkatkan keamanan serta mengurangi
biaya transaksi yang dibutuhkan untuk mendapatkan tujuan yang sama.23 Terkandung
mekanisme pemicu seperti persepsi ancaman, ekspektasi keuntungan perdagangan, identitas
bersama dan emulasi organisasional, sebagai inisiasi tiap unit dalam pentingnya mewujudkan
keamanan bersama. Dalam fase ini, keberadaan pihak ketiga untuk menjadi penengah masih
banyak digunakan karena kemampuan untuk menyelesaikan masalah secara mandiri masih
lemah.
Kemudian, pada fase kedua, mulai terlihat kedekatan koordinasi militer dan kurangnya
ketakutan akan ancaman dari dalam kelompok dan terbentuknya identitas kolektif yang
mendukung harapan akan perubahan secara damai yang terpercaya (dependable expectations
of peaceful change). Fase ini dikarekterisasikan sebagai fase kerjasama yang mendalam di
berbagai bidang, khusunya dalam bidang keamanan. Dalam kondisi ini, security dilemma juga
makin bergerak menjadi dorman. Dalam fase ini banyak tantangan yang muncul karena
intensifikasi dan ekstensifikasi kerjasama, maka diharapkan bahwa negara-negara inti akan
23 Emmanuel Adler dan Michael Barnett, “Security Communities in Theoretical Prespective” dalam Security Communities (Cambridge: Cambridge UP, 1998), hlm 50.
13
Analisis Proses ..., Zein Septian Hidayat, FISIP UI, 2013
muncul untuk menjaga idealisme atau untuk memastikan fleksibilitas akan perubahan-
perubahan yang ada.24
Fase ketiga menunjukkan karakteristik komunitas yang terinstitusionalisasi dan
bercirikan supranasionalisme, kepercayaan tingkat tinggi dan kemungkinan konflik militer
yang rendah atau tidak ada sama sekali. Tahap ini mengambarkan fase dimana komunitas
keamanan sudah melebihi institusi tapi sudah menjadi unit social. Dalam fase ini, indikasi
utama dari adanya identitas kolektif dan kepercayaan timbal-balik adalah penggunaan prinsip
konsensual dalam multilateralisme, daerah perbatasan yang lebih terbuka, eksklusi
(pengecualian) anggota komunitas sebagai potensi ancaman militer, adanya definisi ancaman
yang dipahami kolektif, serta munculnya diskursus unik dalam komunitas keamanan
tersebut.25
Identitas yang dipegang APSC identitas yang terkandung dalam ASEAN yaitu ASEAN
Way adalah norma dan nilai-nilai terkandung dalam TAC, Konsep-konsep yang ada di dalam
ARF seperti CBNs (Confidence Building Measure), diplomasi preventive (preventive
diplomacy), dan penyelesaian konflik (conflict resolution), Zone of Peace, Freedom and
Neutrality (ZOPFAN) dan Treaty on Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone
(SEANWFZ), semua hal tersebut merupakan konsep-konsep yang tersurat dalam ASEAN
Concept Paper.26
Kenyataan dinamika persenjataan Asia Tenggara bisa terjadi Arms Race jika terjadi
dinamika persenjataan dengan akuisisi yang cepat. Negara-negara Asia Tenggara cenderung
meningkatkan jenis senjata ofensif dan pengelaran senjata diperbatasan masih banyak terjadi,
akan tetapi dinamika persenjataan di Asia Tenggara ini belum sampai pada tingkat Arms Race
masih dalam level Build-Up karena belum ada akuisi yang cepat dalam dinamika
persenjataan.
Melihat identitas kolektif yang dimiliki digunakan oleh APSC, APSC telah masuk dalam
fase ascendant karena APSC telah memiliki faktor – faktor kondusif untuk membentuk
komunitas keamanan, yaitu: 1) APSC telah melewati tahap faktor – faktor pendorong
terbentuknya komunitas keamanan, Terkandung mekanisme pemicu seperti persepsi ancaman,
ekspektasi keuntungan perdagangan, identitas bersama dan emulasi organisasional, sebagai
inisiasi tiap unit dalam pentingnya mewujudkan keamanan bersama. 2) APSC memiliki
norma-norma dan nilai-nilai yang secara kolektif digunakan oleh negara-negara anggotanya. 24 Ibid., hlm 54 25 Ibid, hlm55-56 26 C.P.F, Luhulima, Masa Depan ASEAN Regional Forum (ARF), dalam Bantarto Bandoro (Ed.), Agenda dan Penataan Keamanan di Asia Pasifik (Jakarta: CSIS, 1996), hlm. 75
14
Analisis Proses ..., Zein Septian Hidayat, FISIP UI, 2013
3) APSC yang tidak memiliki pakta pertahanan maupun konsep collective defensive lainnya
menunjukkan bahwa APSC telah menuju penyelesaian masalah tanpa kekerasan militer,
walaupun telah memiliki identitas kolektif dan menuju ke penyelesaian permasalahan secara
damai APSC belum bisa dikategorikan dalam Fase Mature karena belum memiliki rasa saling
percaya diantara anggotanya.
KESIMPULAN
Untuk menjawab rumusan permasalahan Bagaimana Proses Pematangan
(Maturation) Komunitas Politik Keamanan ASEAN Berpengaruh pada Dinamika
Persenjataan Asia Tenggara. Pematangan APSC yang masih dalam fase ascendant melihat
keterkaitannya dengan dinamika persenjataan Asia Tenggara dengan menggunakan olah data
Military Balance tahun 2006 -2012, mengakibatkan dinamika persenjataan negara – negara
Asia tenggara berda dalam level build up di Asia Tenggara. Hal ini terjadi dikarenakan
belum adanya rasa percaya diantara negara – negara Asia Tenggara, dan identitas kolektif
yang dimiliki ASEAN masih kurang digunakan.
Selanjutnya dari penjelasan ini juga digambarkan signifikansi hubungan antara kedua
variabel, dimana analisis independen akhirnya mampu menjustifikasi bahwa kematangan
APSC mempengaruhi dinamika persenjataan Asia Tenggara. APSC yang masih belum
matang (masih fase ascendant) berakibat pada dinamika persenjataan pada level build-up
sehingga hipotesa penelitian ini dapat diterima.
KEPUSTAKAAN
Acharya, Amitav. (1994) An Arms Race in Post-Cold War Southeast Asia? Prospects for
Control. Singapore: ISEAS, Pacific Strategic Papers
Acharya, Amitav. (1998). Arms Proliferation Issues in ASEAN: Towards a More
"Conventional" Defence Posture? Contemporary Southeast Asia, Vol. 10, No. 3,
Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), (December 1988), diakses dari:
http://www.jstor.org/stable/25798014
Acharya, Amitav. (2001). Constructing Security Community in Southeast Asia: ASEAN and
the Problem of Regional Order. New York: Routledge
Adler, Emmanuel dan Barnett, Michael. (1998) Security Communities. Cambridge:
Cambridge University Press
Amitav Acharya, Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and The
Problem of Regional Order (London & New York: Routledge, 2001). Hal. 47.
15
Analisis Proses ..., Zein Septian Hidayat, FISIP UI, 2013
Anthony, Mely Caballero. (2010) Non-Traditional Security Challenges, Regional
Governance, and The ASEAN Political-Security Community (APSC). Asia Security
Initiative Policy Series. Singapore: Working paper No.17.
ASEAN Regional Forum, ARF Objectives diakses dari
http://aseanregionalforum.asean.org/about/arf-objectives.html, pada tanggal 23
November 2012, pukul 22:09 WIB
Bhakti, Ikrar Nusa. (1996) Forum Regional ASEAN dan Pengaturan Keamanan Regional di
Asia Pasifik. Jakarta: Jurnal Ilmu Politik No. 16
Blueprint, ASEAN Political Security Community
Buzan, Barry dan Herring, Erric. (1998). The Arms Dynamic in World Politics. London:
Lynnc Ricnner Publisher, Inc.
Buzan, Barry. (1978). An Introduction to Strategic Studies, Military Technology and
International Relations. London: Macmillan in association with the International
Institute of Strategic Studies.
Deutsch, Karl W. (1961). Security Communities’, dalam James Rosenau (ed.), International
Politics and Foreign Policy (New York: Free Press, 1961), p. 98, dalam Amitav
Acharya, Constructing Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the
Problem of Regional Order (New York: Routledge, 2001)
Glaser, Charles L, The Security Dilemma Revisited, diakses dari
http://harrisschool.uchicago.edu/faculty/articles/glaser-security_dilemma.pdf pada 16
November 2011, pada tanggal 28 November 2012, pada pukul 13:23 WIB
Gray, Colin S. (1983) The Arms Race Phenomenon. World Politics, Vol. 24, (1972), hal. 41,
dalam Michael Sheehan, The Arms Race (Oxford: Martin Robertson, 1983)
Jervis, Rober T. (1978). Cooperation under the Security Dilemma. World Politics, Vol.
30,No. 2. London: Cambridge University Press.
Jiangli, Wang. (2007). Security Community. The Context of Nontraditional Security (Research
for the NTS-Asia Research fellowships Project 2007) hlm 3. Diakses dari www.rsis-
ntsasia.org/activies/fellowship/2007/wj%20paper.pdf., pada tanggal 25 November
2012, Pukul 12:23WIB
Kapila, Subhash. South East Asia: Strategic Power Play and Regional Arms Buildup. South
Asia Analysis Group, Paper No. 4663, 24 Agustus 2011, diakses dari
http://www.southasiaanalysis.org/%5Cpapers47%5Cpaper4663.html pada 24
November 2012, pukul 3:18 WIB;
16
Analisis Proses ..., Zein Septian Hidayat, FISIP UI, 2013
Kompas ,Sejumlah Negara Keberatan dengan ASEAN Security Community, Nusa Dua Bali,
diakses dari : http://kompas.co.id/utama/news/0310/03/164718.htm, pada tanggal 24
November 2012, pada pukul 14:23 WIB.
Laporan Military Balance 2006 - 2012
Leifer, Michael. (2005) ASEAN as a Model of Security Community?. Chin Kin Wah dan Leo
Suryadinata (ed.), Michael Leifer: Selected Works on Southeast Asia. Singapura:
Institute of Southeast Asian Studies.
Luhulima, C.P.F. (1996). Masa Depan ASEAN Regional Forum (ARF). Bantarto Bandoro
(Ed.), Agenda dan Penataan Keamanan di Asia Pasifik. Jakarta: CSIS.
Micheal Jonshon, Militer Indonesia berencana untuk membelanjakan 16,7 milyar dolar AS
sampai tahun 2015 Diakses dari
:http://apdforum.com/id/article/rmiap/articles/online/features/2012/10/22/indonesia-
military-spends pada tanggal 23 November 2012, pada pukul 11:30 WIB.
Neumann, W. Lawrence. (2003) Social Research Methods: Qualitative and Quantitative
Approaches. Boston: Pearson Education.
Nuclear Threat Initiative, Association Southeast Asian Nation, diakses dari:
http://www.nti.org/treaties-and-regimes/association-southeast-asian-nations-asean/,
pada tanggal 27 oktober 2012. Pukul 11:33 WIB
Paul Holtom, et al., “Trends in International Arms Transfers, 2009”, SIPRI Fact Sheet, Maret,
2010
Paul Holtom, et.al., “Trends in International Arms Transfers, 2010”, SIPRI Fact Sheet, Maret,
2011
Paul Holtom, et.all., “Trends in International Arms Transfers, 2011”
Pieter D. Wezeman dan Siemon D. Wezeman dalam Andrew Marshall, “Military
Maneuvers”, Time Magazine, Sept 27, 2010, diakses dari
http://www.time.com/time/magazine/article/0,9171,2019534,00.html pada 24
November 2012, pukul 4:12 WIB.
Prasetyono, Edy. Peran Institusi – Institusi Keamanan di Asia Pasifik dalam ASEAN dan
Tantangan satu Asia Tenggara. Penyunting Bantarto Bandoro dan Ananta Gondomo.
Jakarta: Centre for Strategic and International Studies Jakarta,.
Sekretariat ASEAN, ASEAN in The Global Community Annual Report 2010-2011, diakses
dari: http://www.asean.org/resources/publications/asean-publications/item/asean-in-
the-global-community-annual-report-2010-2011, pada tanggal 22 desember 2012,
pada pukul 13: WIB
17
Analisis Proses ..., Zein Septian Hidayat, FISIP UI, 2013
18
Simon, Sheldon. (1999). The Regionalization of Defense in Southeast Asia. Pacific Review,
Vol. 5, No. 2.
Solidium, Esterella D. (2003). The Politics of ASEAN: An Introduction to Southeast Asia
Regionalism. Philadelphia: Eastern University.
Stockholm International Peace Research Institute, SIPRI Yearbook 2000:
The United Nations Register of Convencional Arms, The Global Reported Arms Trade,
diakses dari: http://www.un-register.org/Background/Index.aspx, pada tanggal 2
Desember 2012, Pada pukul 13:22 WIB
Usman, Asnani dan Bandoro, Bantarto (penyuting). (1996) Konflik Intra-ASEAN dan
Penataan Keamanan Kawasan, dalam Agenda dan Penataan Kemanan di Asia
Pasifik. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies Jakarta.
World Armaments and Disarmaments (Oxford: Oxford University Press, 2000)
Wulan, Alexandra Retno dan Bandoro, Bantarto (ed). (2007) ASEAN’S Quest For A Full-
Fledged Community. Jakarta: CSIS
Analisis Proses ..., Zein Septian Hidayat, FISIP UI, 2013
19
Analisis Proses ..., Zein Septian Hidayat, FISIP UI, 2013
top related