ANALISIS POLITIK HUKUM DALAM SISTEM PENDIDIKAN ...
Post on 08-May-2023
0 Views
Preview:
Transcript
1
ANALISIS POLITIK HUKUM DALAM SISTEM PENDIDIKAN
(Studi Kasus di Kabupaten Pamekasan)
Ach. Khoiri
Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan
E-mail: ach.khoiri27@gmail.com
Abstrak;
Masalah politik hukum Sistem Pendidikan di Pamekasan
merupakan produk dari kepentingan politik penguasa, karena itu mereka menggunakannya sebagai alat
kekuasaan. Pendidikan sebagai subsistem negara
memiliki fungsi sebagai pemasok orang berpendidikan,
dapat berhasil dalam pembangunan. Di Pamekasan ini, realitas masalah dalam pendidikan tidak dapat
dipisahkan dari upaya untuk mendapatkan otoritas. Oleh
karena itu, sektor pendidikan adalah media untuk
keberhasilan kebijakan untuk mencapai tujuan dan aspirasi utama kepemimpinannya.
Kata Kunci: politik hukum, pendidikan, Pamekasan.
Abstract;
The Problems of education in Pamekasan is the product
of political interest of ruler, therefore they use it as a
tool of authority. Education as subsystem of the state has function as supplier of educated people, it can
succeed in development. In this beloved country, the
reality of problems in education can not be separated
from the effort to gain the authority. Therefore, educations sector is the medium for the success of the
policy to achieve the goal and principal aspiration its
leadership.
Keywords : Politic, Education, Pamekasan.
2
A. Pendahuluan
Azra mengatakan bahwa ketika berbicara tentang
instruksi, kebenaran yang ditemukan adalah kerangka
sekolah tidak dapat dipisahkan dari strategi politik otoritas
publik. Hal ini dapat diikuti dari latar belakang sejarah
persoalan legislasi Islam pada masa al-Ma'mun (813 H)
sebelum musnahnya madzhab Mu'tazilah yang mendapat
bantuan penuh dari para ahli yang pada waktu itu
penyelidikan ilmu-ilmu umum bergantung. pada alasan dan
ujian eksperimental meluap. Dilacak bahwa negara bahkan
bekerja dengan karya inovatif logis dari sekolah yang tidak
hanya berpusat pada penyelidikan agama Ansich tetapi juga
ujian logis secara keseluruhan. Bagaimanapun, setelah
runtuhnya kekuatan Mu'tazilah yang digantikan oleh
penguasa universalitas Sunni, pergeseran besar mulai terjadi.
Misalnya, otoritas publik Nizam al-Mulk pada tahun 1064
yang membuka madrasah dan Jami'ah Nizamiah sarat
dengan kepentingan politik atau inspirasi murni untuk
mempertahankan universalitas syariah dalam struktur
pemikiran Sunni (Hasan, 2006:77- 78).
Rencana pendidikan yang disusun lebih berpusat pada
ujian yang ketat dari pada penyelidikan umum dengan seluk-
beluk kenabian. Efek dari kerangka ini adalah bahwa studi
fiqh menemukan aktivasinya, tidak demikian halnya dengan
studi kalam atau ujian eksperimental lainnya. Para ahli fiqh
juga memiliki kedudukan yang luar biasa dibandingkan
dengan para peneliti kalam atau lainnya (Azra, 1999: xv). Ia
(Azra, 1999: xvi) juga mengungkap bahwa apa yang terjadi
di kampus al-Azhar pada masa Gamal Abdul Nasser
membatalkan kemerdekaan al-Azhar sebagai pembelaan
yang diduga untuk melawan berbagai upaya mengubah dunia
Islam, Nasser meningkatkan kemerdekaan ini. dengan
menetapkan perguruan tinggi di bawah posisinya dan mulai
mengirimkan perubahan signifikan dengan menambahkan
sumber daya baru seperti obat-obatan, desain, pertanian,
aspek keuangan, dan penulisan.
Realitas yang dapat dibuktikan di Pamekasan
memberikan tanda yang sama dari masa baik dan buruk
negeri ini pada masa perintis Belanda hingga masa
kemerdekaan pada masa Sukarno, Suharto, dan BJ. Habibie,
3
Gus Dur, dan Megawati, atau bahkan SBY, yang merupakan
penyesuaian kerangka instruksional yang disandarkan pada
kepentingan politik. Hal ini sebenarnya tidak mengherankan
bila disinggung dari tujuan pendidikan umum, khususnya
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membina pribadi
Indonesia seutuhnya, jadi pada dasarnya uraian ini
merupakan penjabaran dari filosofi politik publik yang
dikenang untuk daerah pelatihan. (UUD 1945 Revisi dan
Klarifikasi, 2001:6). Hal ini dengan alasan bahwa pelatihan
merupakan bagian dari perbaikan politik negara yang hanya
merupakan konsistensi antara bantalan politik dan cetak biru
kemajuan masyarakat yang bergantung pada Pancasila dan
UUD 1945.
B. Metode Penelitian
Untuk mengetahui perubahan arah kerangka pendidikan
Belajar Merdeka, tulisan ini berupaya mengkaji kualitas
kerangka pengajaran dan membedah perubahan pendekatan
politik hukum dibidang pendidikan. Pemanfaatan filosofi
penyusunan ini menggunakan pendekatan sasaran logis yang
jelas (Mufrodi, 1980:10). Sumber informasi opsional yang
digunakan mencakup bahan tinjauan hukum yang penting,
bahan tambahan yang sah, dan bahan hukum tersier. Bahan
hukum esensial terdiri dari undang-undang, pesan dalam
undang-undang dan pilihan hakim. UU yang dikaji adalah
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012,
tentang Pendidikan Tinggi. Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014, tentang Desa. Peraturan Pemerintah Nomor 04 Tahun
2014, tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan
Pengelolaan Perguruan Tinggi. Peraturan Presiden nomor 8
tahun 2012, tentang KKNI.
C. Hasil dan Pembahasan
1. Tinjauan historis politik hukum Pemerintah di
bidang Pendidikan
a. Pendidikan pada masa Kemerdekaan
Menjelang awal kemerdekaan, pemerintah
Indonesia belum secara maksimal mencari sekolah
untuk kerabatnya, karena beban politik yang sangat
4
besar dan perjuangan untuk mempertahankan
otonomi yang sangat menguras energi dan pemikiran
otoritas publik dan individu. Sekalipun ada gangguan
politik yang ekstrem, pelatihan masih belum selesai
dalam kondisi yang belum sempurna. Masa
pemerintahan Soekarno mulai menemukan
kepribadian tatanan politiknya pada tahun 1950-an
dengan seluk-beluk komunis seperti yang tertuang
dalam pilihan MPRSno II/MPRS/1960 tentang orang-
orang komunis, maka pada saat itulah kemajuan
persekolahan sangat penting bagi pembangunan. Di
sekelilingnya diatur tujuan-tujuan perbaikan publik,
lebih tepatnya suatu tuntutan masyarakat yang
berkeadilan berdasarkan Pancasila. Sekolah dibundel
sebagai perangkat progresif dalam iklim kebebasan
yang menuntut perputaran roda pengarah dalam
segala hal sehingga alasan pengajaran adalah untuk
melahirkan warga komunis Indonesia yang idealis,
bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat
komunis yang adil dan makmur. Sebagaimana
ditunjukkan oleh Tilaar (1985: 99-101), jiwa dari
rencana pendidikan persekolahan yang berbaur
adalah: 1) Jiwa melakukan tatanan persekolahan
individu dalam kolaborasi bersama; 2) sistem berbasis
Soul of Directed Vote; 3) Jiwa cinta tanah air; dan 4)
Jiwa Iman kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
b. Sistem Pendidikan pada Era Soeharto
Seiring dengan pembangunan pada sektor
perekonomian yang melonjaknya kebutuhan tenaga
terampil dan SDM yang handal, maka pada
pembangunan jangka panjang tahap pertama dari
pelita satu hingga keempat, pendidikan Indonesia
berorentasi pada human development. Sistem ini
didasarkan atas kesinambungan antara pendidikan
dan tenaga kerja sebagai jawaban atas
ketidaksinambungan antara output pendidikan dengan
kebutuhan tenaga kerja untuk mengisi sektor
perekonomian yang berkembang sangat cepat. Sistem
yang dikenal dengan link and match ini berpengaruh
pada dibukanya sekolah kejuruan yang akan
5
menghasilkan tenaga terampil tingkat menengah serta
pelatihan ketrampilan dan kursus.
Tilaar (1985: 142) mengatakan bahwa dalam
jangka panjang tahap kedua sebagaimana tertuang
dalam rumusan GBHN 1993 yang menegaskan bahwa
PJP II merupakan periode kedua kebangkitan nasional
yang tumbuh dan berkembang dengan mengandalkan
kemampuan sendiri untuk menciptakan kehidupan
yang setara. Dengan rumusan tersebut, sistem
pendidikan diarahkan pada peningkatan harkat dan
martabat manusia serta peningkatan kualitas sumber
daya manusia. Kurikulum berorientasi pada
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai
dengan zaman dan tahapan perkembangan. kurikulum
tiga hal, yaitu: 1) kurikulum yang fleksibel; 2)
kurikulum yang mengembangkan sikap manusia; 3)
kurikulum yang mengembangkan sikap
kewirausahaan.
Menurut Suryadi (1994: 237), salah satu upaya
pemerataan pendidikan pada era ini adalah
dicanangkannya wajib belajar 9 tahun dengan
melibatkan peran swasta yang begitu besar untuk
memberikan kontribusi bagi pencerdasan bangsa.
Aplikasi kurikulum pendidikan pada PJP II cenderung
sentralistik yang berdampak pada pengabaian potensi
dan budaya daerah. Sentralisaai ini memicu pada
problem ketertinggalan berbagai wilayah di Pulau
Jawa.
Sisi buram pada produk pendidikan PJP I dan II
adalah disorientasi tujuan pendidikan dari mencetak
manusia Indonesia yang seutuhnya menjadi
berorientasi pada pengembangan iptek namun
terjebak pada pendewaan terhadap ilmu pengetahuan
sehingga menghasilkan robot-robot yang produktif
namun tanpa memiliki moral dan miskin iman, atau
manusia work-Aholic yang gersang dari kehangatan
kemanusiaan.
c. Pendidikan pada era Reformasi
Menurut Suryodo (1997: 3-4), periode perubahan
yang diselaraskan dengan perubahan perjalanan
6
kehidupan di abad 21 secara fundamental
mempengaruhi keberadaan negara. Jika abad kedua
puluh digambarkan sebagai seratus tahun kekacauan
modern kedua, abad 21 digambarkan sebagai masa
globalisasi dan penerimaan. Keduanya dapat dikenali
sebagai abad yang penuh dengan perubahan cepat,
diskontinuitas, dan keadaan darurat yang tertunda.
Para futurulog telah memperingatkan beberapa waktu
lalu tentang ujian yang mengesankan ini, antara lain
Tofler, Francis Fukuyama dan John Naisbit yang
mengingatkan bahwa negara-negara non-industri,
termasuk Indonesia, harus mempersiapkan diri untuk
acara-acara dunia. Perbaikan Indonesia, termasuk
Indonesia, belum selesai. Perkembangan globalisasi
secara tak terduga telah dihantam oleh terpancarnya
batas-batas politik dan keuangan negara dengan
tujuan agar hubungan asosiasi antara negara-negara
non-industri dan negara-negara berkembang menjadi
lebih mudah. Indonesia menghadapi penjajahan
sistem kepercayaan, masalah legislatif, keamanan,
budaya seperti ilmu pengetahuan dan inovasi tanpa
oposisi kritis.
Kondisi sosial politik di Pamekasan mengharuskan
pemerintah pada masa Badrut Tamam untuk
menggelogori peningkatan pendidikan sains dan
teknologi sebagai upaya melawan penjajah di sektor
iptek, akan tetapi proyek tersebut terkoyak dengan
perubahan konstelasi perpolitikan yang begitu cepat.
Sementara itu, pada masa Syafi’i keberhasilan yang
mencolok jusrtu terjadi pada pendidikan berpolitik di
mana kebebasan dibuka seluas-luasnya yang
berdampak pada amunisi bagi pemerintahan sendiri
dengan jatuhnya Syafi’i dari kekuasaan. Pada
pemerintahan Kholilirrhman dan dilanjutkan
pemerintahan Indonesia bersatu disusun pendidikan
berbasis kompetensi yang tidak lagi sentralistik namun
lebih memberikan kesempatan pada pengembangan
potensi dan budaya daerah, di satu sisi mengacu pada
kompetensi atau kemampuan dan ketrampilan pada
tiga aspek pendidikan yaitu, kognitif, afektif, dan
7
psikomotorik. Menurut Freire dkk. (1999:138)
kurikulum dengan basis kompetensi ini diharapkan
dapat menjadi jawaban atas orentasi kognitif ansich
pada kurikulum yang telah berlaku sehingga peserta
didik diharapkan dapat memiliki pengetahuan (learn to
know), memiliki skill dalam mengaplikasikan keilmuan
(learn to do), memiliki sikap dan kepribadian (learn to
be), dan akan menghasilkan output pendidikan yang
memiliki kesalehan sosial (learn to life together).
Konsep general edukasi yang diaplikasikan pada
sistem KBK merupakan respon atas carut marutnya
wajah pendidikan yang sangat memprihatinkan, baik
dari sisi kualitas intelektual maupun integritas moral
serta semangat nasionalisme dan patriotisme yang
diharapkan dapat menjawab krisis produk pendidikan
yang sedang melanda negara Indonesia.
Pasca jatuhnya pemerintahan Syafi’i yang
dilanjutkan pemerintahan selanjutnya dunia
pendidikan masih terus mengharapkan peran
pemerintah untuk menciptakan sebuah sistem yang
handal sehingga menghasilkan output pendidikan yang
dapat bersaing dan berkualitas. Menilik dari kebijakan
politik pemerintahan Indonesia bersatu saat ini
tampak bahwa kebijakan sektor pendidikan masih
tambal sulam dan cenderung memberikan kepuasan
sesaat bagi rakyat bukan kebijakan strategis yang
dapat mendongkrak mutu pendidikan dalam
menghadapi persaingan global. Kebijakan pendidikan
yang dirasa sebagai “lipstik” semata dapat dilirik
sebagai upaya pemerintah menenangkan masyarakat
dan menciptakan stabilitas serta kepercayaan dan
harapan cemerlang atas pemerintahan yang baru.
Seperti dengan diberlakukannya kebijakan untuk tidak
mengganti buku panduan belajar tingkat dasar,
menengah dan umum selama lima tahun serta
penyertaan output pendidikan dalam dunia kerja
dengan pengangkatan Pegawai Negeri Sipil besar-
besaran serta ramainya dibuka bursa kerja di kampus-
kampus Perguruan Tinggi Negeri dan Pemda.
Kebijakan ini pun tidak terlepas dari trik politik untuk
8
mengurangi beban politis penguasa karena dengan
besarnya jumlah pengangguran akan berdampak pada
melebarnya kelas ekonomi serta rawan terhadap
munculnya keresahan sosial.
Agaknya pemerintahan sekarang tidak mau
dipusingkan dengan kondisi kesenjangan sosial yang
ada. Bagi praktisi pendidikan, sebenarnya yang lebih
penting dari penciptaan stabilitas sosial walaupun itu
juga penting adalah kebijakan pendidikan yang
strategis bagi peningkatan sumber daya yang
berkualitas. Terakhir, pada masa pemerintahan Badrut
Tamam, juga menginginkan upaya peningkatan
kualitas pendidikan anak bangsa ini. Ketika pada era
pemerintahan sebelumnya, telah terdapat konsensus
bersama dalam memberlakukan rekonstruksi
kurikulum dengan KBK-nya, namun dalam era
sekarang ini juga terdapat perbaikan-perbaikan
kurikulum dengan KTSP-nya, yang sekarang sudah
masuk dalam lini birokrasi pendidikan di Indonesia
masih dalam proses. Sesungguhnya, KBK dan KTSP
yang menjadi ruhiyah memiliki kemiripan, yang secara
subtansi memiliki banyak persamaan dalam
menghasilkan out put yang berkualitas.
Dari sisi lain, pemerintah Badrut Tamam telah
mencanangkan anggaran pendapatan belanja negara
(APBN) dengan target 20% dalam kerangka upaya
peningkatan kualitas pendidikan kita, termasuk di
dalamnya pendidikan Islam. Namun pada proses
pelaksanaannya sampai saat ini masih terdapat tarik
menarik yang belum sesuai dengan harapan
masyarakat.
2. Kecenderungan Pergeseran Orientasi Politik
hukum di Bidang Pendidikan
Kebenaran ketergantungan antara masalah dan
instruksi pemerintah seperti yang diungkapkan dalam
informasi di atas atau sebaliknya, dampak sekolah pada
masalah legislatif adalah kebutuhan. Kebutuhan ini dapat
dilihat dari substansi persoalan legislasi sebagai bagian
dari kehidupan masing-masing di mata publik yang
meliputi relasi kuasa dan koneksi kekuatan (Gani,
9
1987:16-17). Isu-isu pemerintahan sebagai pekerjaan
untuk memperoleh kekuasaan, memperluas dan
mengikuti kekuasaan, memahami tujuannya dalam
berbagai strategi yang diidentifikasi dengan persyaratan
kehidupan individu. Lagi pula, sekolah sebagai mata
pelajaran untuk mempertahankan kehadiran siswa yang
berbaur, menggali, dalam gaya hidup dengan ukuran
lingkungan, publik, dan dunia berkontribusi signifikan
terhadap penguatan wilayah lokal yang merupakan salah
satu andalan mempertahankan kemajuan (Tilaar,
1999):28). Ini berarti bahwa strategi administrasi di
bidang apa pun tidak dapat dipisahkan dari hasil
pembelajaran karena bidang ini memasok kebutuhan
individu yang berbakat dan solid untuk mencapai
kemajuan.
Dugaan ini juga dapat dibalik bahwa sifat masyarakat
dengan pendidikan yang berkualitas akan mempengaruhi
pengelompokan bintang politik sebagai individu yang
cerdas hanya akan memilih perintis yang brilian, individu
yang terpelajar akan memilih utusan yang berwibawa
sehingga individu dari DPR adalah berbagai individu yang
cerdas. Demikian pula, pelatihan dengan kerangka
doktrinal dan terpadu seperti pada zaman Permintaan
Baru akan membentuk kerangka politik oligarki tiran. Hal
ini unik dalam kaitannya dengan kerangka instruksi
terbuka yang dapat membuat kerangka politik yang lugas
dengan kontrol sosial yang dinamis di wilayah setempat.
Dari anggapan ini, sifat persekolahan suatu negara dapat
dilihat dari para ahli politik yang bermain di dalamnya.
Sesuai dengan Ma'arif (2002:8), untuk menjalankan
hipotesis di atas dan melihat perubahan strategi
pemerintah di bidang pelatihan, cenderung terlihat bahwa
dengan batasan kuantitatif, kemajuan sekolah
menunjukkan angka yang luar biasa. Tingkat pendidikan
yang rendah dapat diturunkan menjadi sekitar 15%
dibandingkan dengan awal kebebasan yang mencapai
90%. Pencapaian ini merupakan produk dari isu legislasi
pelatihan massal sebagai lawan langsung dari isu
pemerintahan elitis pionir. Masyarakat Indonesia mungkin
senang melihat peningkatan pengajaran sejauh dapat
10
dipercaya, namun jika dibandingkan dengan negara lain,
kebanggaan dapat berubah menjadi demoralisasi karena
mereka jauh tertinggal dari segi kualitas dan jumlah.
Dalam pemerintahan Soeharto yang menitikberatkan pada
gagasan connection and match instruksi, ternyata
informasi terukur ke arah ini tidak punya pilihan untuk
membantu perekonomian. Peningkatan budaya Madura
secara keseluruhan atau Pergantian materi dan dunia
lain". Ini melibatkan kebanggaan sejauh pepatah namun
sejauh pelaksanaannya telah berubah menjadi
Peningkatan budaya Indonesia yang pecah" dengan
alasan bahwa ada jeda yang signifikan antara apa yang
disusun dan apa yang dilakukan, sehingga tumpahan
subsidi kemajuan datang. sampai 30%. negara paling
merosot kelima di planet ini.
Sistem penalaran yang dapat digunakan sebagai
penelitian arah pelatihan berbasis negara pasar adalah
hipotesis sumber daya manusia yang menjelaskan bahwa
pengajaran mempengaruhi perkembangan moneter
mengingat tugas sekolah dalam meningkatkan efisiensi
kerja. Hipotesis ini menerima bahwa perkembangan
masyarakat dimulai dari efisiensi individu. Jika setiap
individu memiliki gaji liga yang besar karena pendidikan
yang maju, maka pembangunan ekonomi daerah dapat
dipertahankan. Bagaimanapun, ini benar-benar berbeda di
antara negara-negara maju dan agraris. Di Indonesia,
pelatihan formal hanya menawarkan lebih sedikit status
kerja. Kekecewaan hipotesis sumber daya manusia yang
menunjukkan bahwa lulusan sekolah tidak siap untuk
bekerja sesuai asumsi kerja dijawab oleh hipotesis
kredensialisme. Hipotesis ini menerima bahwa konstruksi
masyarakat lebih luar biasa daripada manusia dalam
memberdayakan pembangunan dan kemajuan, karena
sekolah formal sering dilihat sebagai metode untuk
mengikuti bisnis seperti biasa dari pemegang
kesejahteraan ekonomi. Hipotesis ini menganggap formal
hanya sebagai kepentingan dangkal melalui pengadaan
sertifikat dan bukan kegunaan. Dari hipotesis ini,
kapasitas pengajaran formal tidak akan melahirkan
spesialis yang berbakat, tetapi hanya bekerja sebagai
11
media penting dalam mencakup pelatihan dengan
kebutuhan bisnis. Kekecewaan pembelajaran di PJP II
dimana masih banyak hasil sekolah yang menganggur
merupakan efek samping dari kegagalan kerangka
pelatihan untuk menciptakan lulusan yang dapat
dipersiapkan atau yang dapat membantu diri mereka
sendiri untuk menjadi tenaga kerja berbakat sesuai
kebutuhan pasar.
Sejak pembangunan Orde Baru hingga masa
Reformasi problem yng dihadapi dunia pendidikan adalah
besarnya jumlah pengangguran terdidik yang berakses
pada problem ketenagakerjaan dan sosial yang disinyalir
merupakan produk dari sistem pendidikan yang tidak
berkualitas. Problem besar itu merupakan buah dari
sistem pendidikan yang menekankan pada fungsinya
sebagai pemasok tenaga kerja terdidik (driving force).
Program pendidikan formal lebih bertujuan membentuk
lulusan yang mengusai pengetahuan dan ketrampilan dari
pada menguasai kemampuan dan kemauan belajar. Jika
kemampuan dan kemauan belajar ditumbuhkan, lulusan
akan menjadi tenaga kerja kreatif sehingga pengetahuan
dan ketrampilan menjadi model dalam mengembangkan
diri di masyarakat dan dunia kerja.
3. Rekonstruksi law Political of Education: Sebuah
Solusi alternatif
Bermula dari pengaruh kebijakan politik terhadap
pendidikan di Pamekasan yang berarti juga berimplikasi
pada lahirnya, berbagai problematika muncul di
permukaan, maka sudah barang tentu mengundang pula
keprihatinan para pakar pendidikan di Pamekasan,
sebagaimana menurut Fadjar (2004:7), yang melukiskan
suatu sintesa, konvergensi, dan sinergisitas dualisme-
dikotomik. Ia (Fadjar, 2004:6-7) juga mengungkapkan
bahwa menurutnya, integralisasi tersebut dapat
melahirkan kesatuan antara moralitas-rasionalitas,
ruhaniah- jasmaniah. Selanjutnya, menurut Hasan (2004:
247), perlu upaya menyuarakan wacana “pendidikan
berbasis masyarakat” (Community Based Education).
Statemen terakhir, dijelaskan bahwa ada beberapa
model keterlibatan masyarakat terhadap lembaga-
12
lembaga pendidikan yang diusulkan sebagai berikut: (1)
Berupa dukungan (support), dalam arti orang tua dan
anggota masyarakat memberikan sumbangan dana atau
tenaga (2) Keterlibatan (involvement), orang tua dan
anggota masyarakat terlibat atau memberikan bantuan
dalam pengambilan keputusan masalah pendidikan (3)
Kemitraan (partnership), orang tua dan anggota
masyarakat menjalin hubungan kemitraan yang sejajar
dengan pengelola sekolah/madrasah dalam menentukan
hal-hal yang berhubungan pengelolaan pendidikan (4)
Kepemilikan penuh (full awnership), para orang tua dan
masyarakat mengendalikan semua kebijakan/ keputusan
tentang program pendidikan (Nielson, 2000: 178-179).
Kebenaran strategi politik pendidikan umum, termasuk
ajaran Islam selama organisasi SBY saat ini, sehingga
persekolahan di Indonesia lebih cocok untuk perencanaan
ke depan dan dapat dipertimbangkan, khususnya ajaran
Islam sehingga menjadi pilihan, kemudian, pada saat itu
pada dasarnya ada Ada beberapa hal yang dapat
dipertimbangkan sebagai berikut: Pertama, kejelasan
antara apa yang dicoba dengan kemajuan fungsional.
Kedua, melibatkan perusahaan yang ada dengan merevisi
kerangka kerja. Ketiga, peningkatan, pembaruan, dan
kemajuan dalam kerangka administrasi atau dewan.
Keempat, memperluas SDM yang dibutuhkan (Fadjar,
1998:13).
Sesuai dengan penegasan di atas, Djojonegoro (1995:
124) berpendapat bahwa ada pola-pola berbeda yang
menentukan arah perubahan instruktif yang dapat
dijelaskan sebagai berikut: 1) Persekolahan semakin
dituntut untuk tampil sebagai kunci dalam peningkatan
mutu pendidikan. SDM 2) Dalam bidang pekerjaan, arah
menuju kapasitas asli (what one can do) yang dapat
ditunjukkan oleh lulusan pelatihan harus lebih membumi
3) Sebagai dampak globalisasi, sifat persekolahan suatu
negara tidak hanya diperkirakan tergantung pada aturan
di negara itu, namun berbeda dengan negara lain. Meski
demikian, berbagai tawaran pilihan yang diharapkan,
memang, secara substansi hanya bergantung pada
program pendidikan. Hal ini ditegaskan oleh Ghony
13
(2007:13-14), dalam wacana pengenalan keilmuannya di
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (UIN) Malang, ada
kira-kira tiga kalangan yang meliputi perencanaan
pendidikan, lebih spesifiknya, mendekati persoalan
legislatif, daerah setempat. kebutuhan, dan tujuan
kehadiran.
D. Penutup
Wajah pendidikan di Pamekasan sebagai produk dari
kepentingan politik penguasa menempatkan pendidikan
sebagai salah satu alat kekuasaan. Realitas ini dapat dibaca
dari teori fungsional Durkheimian yang memandang bahwa
masyarakat sebagai unifikasi dari berbagai macam subsistem
akan berjalan efektif jika setiap subsistem digerakkan untuk
mendukung sistem yang ada. Demikian pula dengan
pendidikan sebagai subsistem dari negara jika difungsikan
sebagai alat pemasok kalangan terdidik maka dapat
mensukseskan pembangunan. Jika pembangunan
diorientasikan untuk mencukupi kebutuhan rempah- rempah
dan kejayaan alam negeri penjajah maka pendidikanpun
diformat untuk mencetak tenaga kasar dan buruh. Hal ini
berbeda dengan masa Badrut Tamam yang menginginkan
kepemimpinan maju maka pendidikan difokuskan pada
penumbuhan semangat patriotisme anak bangsa. Berbeda
lagi pada masa Syafi’i yang sosialis, pendidikanpun
digerakkan berdasarkan dengan asas gotong royong.
Sementara pada era Kholilurrahman yang memproklamirkan
diri sebagai “Bapak Pembangunan” maka pendidikanpun
diformat untuk mencetak tenaga terampil penopang
kesuksesan dan pendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Sementara pada era pemerintahan Indonesia Bersatu
agaknya orientasi pendidikan masih berkutat untuk
menyelesaikan kerikil-kereikil penghambat pendidikan yaitu
membludaknya angka pengangguran, meskipun banyak juga
para pakar pendidikan kita yang berusaha memberikan
tawaran alternatif dalam penyelesaiannya.
Demikianlah realitas politik Pendidikan di Pamekasan
dalam menyikapi problematika pendidikan yang tidak dapat
dipisahkan dari upaya melanggengkan kekuasaan dengan
memfungsionalkan berbagai subsistem, sehingga termasuk
14
sektor pendidikan dijadikan sebagai sarana dan wadah untuk
menyukseskan kebijakan yang dilancarkannya dalam
menggapai tujuan dan cita-cita utama kepemimpinannya.
Tentunya aktor politik yang bertanggung jawab akan
menghantarkan masyarakatnya pada kejayaan sebuah negeri
yang ideal sebagaimana tergambar dalam al-Qur'an
"baldatun thoyyibatun wa robbun ghofuur", demikian pula
sebaliknya.
15
DAFTAR PUSTAKA
Anggoro, S.A., 2019. Politik Hukum: Mencari Sejumlah
Penjelasan. Jurnal Cakrawala Hukum, 10(1), pp.77-86
Saraswati, R., 2014. Arah Politik Hukum Pengaturan Desa Ke
Depan (Ius Constituendum). Masalah-Masalah
Hukum, 43(3), pp.313-321
Ismail, N., 2012. Arah politik hukum pertanahan dan
perlindungan kepemilikan tanah masyarakat. Jurnal Rechts
Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 1(1), pp.33-51.
Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Modern. Jakarta: Logos.
Nielson, Dean. 2000. “Memetakan Konsep Pendidikan Berbasis
Masyarakat di Indonesia” dalam Reformasi Pendidikan
dalam Konteks Otonomi Daerah. Jakarta: Bappenas.
Djojonegoro, Wardiman. 1995. “Transformasi Pendidikan dan
Pengembangan SDM” dalam ICMI, Beberapa Catatan Kritis.
Jakarta: Amanah Putra Nusantara
. 2004. Sintesa antara Perguruan Tinggi dengan
Pesantren: Upaya Menghadirkan Wacana Pendidikan
Alternatif. Malang: Universitas Islam (UIN) Malang.
Ghony, Djunaidi, M. 2007. “Paradigma Pengembangan
Kurikulum dalam Peningkatan Mutu Pendidikan Tinggi
Islam” dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Gruru Besar UIN
Malang. Malang: UIN Malang.
Freire, Paulo, dkk. 1999. Menggugat Pendidikan Fundamentalis,
Konservatif, Liberalis, Anarkis. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Ismail Ghani, Soelistiyati. 1987. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta:
Pustaka Saadiyah.
Maarif, Syafii. 2002. Posisi Umat Islam dalam Konteks Pembangunan Nasional dalam Tantangan Pembangunan di
Indonesia. Jakarta: Gramedia.
16
Mufrodi, Ali. 1980. “Metode Penelitian Sejarah dan Kebudayaan
Islam” dalam Makalah: Metode Penelitian dalam Sejarah.
Surabaya: T.p.
Thalhah Hasan, Muhammad. 2006. Dinamika pemikiran tentang
Pendidikan Islam. Jakarta: Lantabora Press.
Suryadi, Ace. 1994. Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar.Bandung: Rosda Karya.
Surya, Djoko. 1997. Membangun Visi ke Depan: Refleksi atas
Masalah Pembangunan dalam Tantangan Pembangunan Indonesia, Yogyakarta: UII Press.
top related