Analisis Faktor Sosial Ekonomi dan Budaya Terhadap ...nasuwakesaceh.ac.id/gudang/file/pdf/jurnal-pdf-BfeumMj7CNIm5Hpg.pdf · ekonomi dan budaya terhadap kejadian stunting pada anak
Post on 15-May-2019
218 Views
Preview:
Transcript
154
Analisis Faktor Sosial Ekonomi dan Budaya Terhadap Kejadian Stunting
Pada Anak Sekolah Dasar Di Kabupaten Aceh Jaya
Analysis of Socio Economic and Cultural Factors on Stunting Events in Primary
School Students in Aceh Jaya Regency
Hayana Mursalin*, Hermansyah**, Asnawi Abdullah***
*Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Muhammadiyah Aceh
Jl. Kampus Muhammadiyah, Batoh Banda Aceh – Indonesia
Email: yanaariq04@gmail.com
Abstrak:. Kabupaten Aceh Jaya merupakan salah satu kabupaten di wilayah Aceh dengan
prevalensi stunting yang cukup tinggi. Penelitian ini akan mengkaji hubungan faktor sosial
ekonomi dan budaya terhadap kejadian stunting pada anak sekolah dasar di Kabupaten Aceh
Jaya. Penelitian ini menggunakan desain case control. Populasi kasus adalah anak sekolah
kelas IV, V, dan VI yang mengalami stunting sebanyak 42 orang, sedangkan kontrol
adalah semua siswa yang tidak stunting. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 84
orang siswa sekolah dasar. Hasil penelitian diketahui faktor yang berhubungan dengan
kejadian stunting adalah pendidikan ibu (OR=3,1; 95% CI :1,2-7,8), pendidikan ayah
(OR=3.25 ;95% CI : 1.3-7.9) jumlah anggota keluarga (OR=3,3; 95% CI :1,3-8.7),
pengetahuan (OR=3,5; 95% CI :1,3-9.3), kebiasaan makan (OR=3,2; 95% CI :1,3-8.1) dan
pola asuh (OR=5.9; 95% CI :2.3-15.6). Faktor dominan terhadap kejadian stunting adalah
pendapatan (OR= 4,9; 95% CI: 1.6-12.2) dan pola asuh (OR= 5; 95% CI: 1.8-14.0). Perlu
ditingkatkan penyuluhan gizi pada ibu rumah tangga, agar tingkat pengetahuan ibu meningkat
dan mampu serta mau memperbaiki pola makan keluarga
Kata Kunci : Sosial, ekonomi, budaya, stunting
Abstract. Aceh Jaya District is one of the districts in Aceh with a high prevalence of
stunting. This study examines the relationship of socio-economic and cultural factors
to the occurrence of stunting in primary school students in Aceh Jaya District. The
research is an observational analytic research using case control design. The case
population was 42 students with stunting from 4th, 5th, and 6th graders, while the
controls were all students without stunting. The number of samples in this study was
84 students The result of the research indicated that factors related to stunting
incidence were maternal education (OR = 3,1, 95% CI: 1,2-7,8), father education
(OR = 3.25, 95% CI: 1.3-7.9), family member number (OR = 3.3, 95% CI: 1.3-8.7),
knowledge (OR = 3,5; 95% CI: 1.3-9.4), eating habits (OR = 3.2; 95% CI: 1,2-8.1),
and nurturing pattern (OR = 5.9; 95% CI: 2.3-15.6). The dominant factor to the
stunting event was income (OR = 4,9; 95% CI: 1.6-12.2) and nurturing pattern (OR =
5; 95% CI: 1.8-14.0). The conclusions of the study is that respondents with low
mother’s and father’s education, low family income, large family members, low
knowledge level, bad eating habits
Keywords: Social, economic, cultural, stunting
155 Analisis Faktor Sosial Ekonomi dan Budaya terhadap Kejadian Stunting …
PENDAHULUAN
Stunting (pendek) atau kurang gizi
kronik adalah suatu bentuk lain dari
kegagalan pertumbuhan. Anak yang
mengalami stunting terlihat memiliki
badan normal yang proporsional,
sebenarnya tinggi badannya lebih
pendek dari tinggi badan normal yang
dimiliki anak seusianya 1.
Kejadian Stunting menurut hasil
Riskesdas tahun 2013, prevalensi
pendek secara nasional adalah 37,2%,
yang menunjukkan adanya peningkatan
dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan
2007 (36,8%). Prevalensi stunting di
Indonesia lebih tinggi daripada negara-
negara lain di Asia Tenggara, seperti
Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan
Thailand (16%) 2.
Menurut Riskesdas Provinsi Aceh
pada tahun 2013 prevalensi stunting di
Provinsi Aceh adalah 34,3% yang
terdiri dari 12,9% sangat pendek dan
21,4% pendek, sedangkan di Kabupaten
Aceh Jaya prevalensi stunting mencapai
30,5%, yang terdiri dari 13% sangat
pendek dan 17,5% pendek 3
Prevalensi kejadian stunting di
Kabupaten Aceh Jaya pada tahun 2016
adalah (13,8%). Puskesmas Lhok Kruet
merupakan puskesmas dengan jumlah
balita dengan kategori stunting
terbanyak yaitu 362 balita (43,1%),
kemudiaan di ikuti oleh Puskesmas
Panga sebanyak 110 (17,4%) dan
Puskesmas Lageun sebanyak 135
(18,8%).
Stunting berkaitan dengan
berbagai faktor antara lain faktor sosial
ekonomi dan budaya, untuk itu penting
melakukan penelitian mengenai
hubungan sosial ekonomi dan budaya
terhadap kejadian stunting
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis
penelitian observasional analitik dengan
desain Case Control Study. Sampel
dalam penelitian ini adalah 84 dengan
menggunakan perbandingan 1:1 yang
terdiri dari 42 orang kasus dan 42 orang
sebagai kontrol.Data diambil dengan
dengan wawancara dan observasi.
Analisis data untuk mengetahui faktor
risiko dilakukan secara univariat,
bivariat dan multivariat dengan program
stata.
HASIL
Kabupaten Aceh Jaya secara
geografis terletak pada 0422’-0516’
Lintang Utara dan 9502’-9603’ Bujur
Timur dengan Luas daerah 3.727 Km
batas wilayah Aceh Jaya terbagi dalam
Jurnal Kesehatan Ilmiah Nasuwakes Vol. 10 No. 2, Nopember 2017 156
9 Kecamatan, 22 mukim, 172 Desa.
Batas wilayah administrasi meliputi
sebelah Utara berbatas dengan
kabupaten Aceh Besar dan kabupaten
Pidie, sebelah selatan berbatas dengan
Samudra Indonesia dan kabupaten Aceh
Barat, sebelah Timur berbatas dengan
kabupaten Pidie dan kabupaten Aceh
Barat, serta sebelah Barat berbatas
dengan samudra Indonesia.
Dari hasil penelitian pada Tabel
1. menunjukkan variabel yang
berhubungan dengan kejadian stunting
Hasil penelitian diketahui faktor yang
berhubungan dengan kejadian stunting
adalah pendidikan ibu (OR=3,1; 95%
CI :1,2-7,8), pendidikan ayah
(OR=3.25 ;95% CI : 1.3-7.9) jumlah
anggota keluarga (OR=3,3; 95%
CI :1,3-8.7), pengetahuan (OR=3,5;
95% CI :1,3-9.3),kebiasaan makan
(OR=3,2; 95% CI :1,3-8.1) dan pola
asuh (OR=5.9; 95% CI :2.3-15.6).
Variabel-variabel yang memiliki
nilai p ≤ 0.25 atau secara substansi
dianggap perlu dimasukkan sebagai
faktor risiko kemudian dilanjutkan ke
analisis multivariat. Hasil analisis
multivariat menunjukkan Faktor
dominan terhadap kejadian stunting
adalah pendapatan (OR= 4,9; 95% CI:
1.6-12.2) dan pola asuh (OR= 5; 95%
CI: 1.8-14.0).
PEMBAHASAN
1. Hubungan pendidikan dengan
Stunting
Hasil penelitian diperoleh risiko
stunting pada responden pendidikan ibu
Tabel 1. Analisis Bivariat Hubungan faktor Sosial Ekonomi dan Budaya dengan
Stunting
No Variabel Odd Ratio (95% CI) P value
A. Sosial ekonomi
1 Pendidikan ibu 3.1 (1.23-7.75) 0.016
2 Peniddikan ayah 3.25 (1.32-.94) 0,010
3 Pekerjaan ibu 1,7 (0,68-4,22) 0,253
4 Pendapatan keluarga 6 (2.08-17.23) 0,001
5 Jumlah anggota keluarga 3.3 (1.28-8,65) 0,013
B Budaya
1 Pengetahuan 3.5 (1.31-9,36) 0,012
2 Pantangan makanan 2,2 (0.79-6.35) 0,129
3 Kebiasaan makan 3.2 (1.25-8.13) 0,015
4 Pola asuh 5.9 (2.27-15.63) 0,001
157 Analisis Faktor Sosial Ekonomi dan Budaya terhadap Kejadian Stunting …
rendah 3,1 kali lebih besar
dibandingkan dengan responden
pendidikan ibu tinggi dan secara
statistik diperoleh ada hubungan antara
pendidikan dengan kejadian stunting
(OR=3,1; 95% CI :1,23-7,75), (p value=
0,016. Begitu juga dengan pendidikan
ayah dimana hasil uji statistik diperoleh
(OR=3.25; 95% CI :1,32-7,94), (p
value=0,010), sehingga dapat
disimpulkan responden dengan
pendidikan ayah rendah memiliki risiko
stunting 3.25 kali lebih besar
dibandingkan dengan responden
pendidikan ayah tinggi dan secara
statistik ada hubungan antara
pendidikan ayah dengan kejadian
stunting pada anak sekolah.
Hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan terdapat hubungan antara
sosial ekonomi antara lain pendidikan
orang tua dengan kejadian stunting 4.
berbeda dengan penelitian5 pendidikan
orang tua bukan merupakan faktor
risiko terhadap kejadian stunting.
Penelitian Candra 6 juga menunjukkan
tidak ada hubungan yang signifikan
antara pendidikan orang tua dengan
kejadian stunting. Menurut teori
dijelaskan bahwa tingkat pendidikan
turut menentukan mudah tidaknya
seseorang menyerap dan memahami
pengetahuan gizi dan kesehatan. Hal ini
berkaitan erat dengan wawasan
pengetahuan mengenai sumber gizi dan
jenis makanan yang baik untuk
konsumsi keluarga. 7.
2. Hubungan Pekerjaan dengan
Stunting
Hasil penelitian diperoleh anak
sekolah yang mengalami stunting pada
ibu yang bekerja 1,7 kali lebih besar
dibandingkan dengan responden tidak
bekerja dan secara statistik tidak ada
hubungan yang signifikan anatar
pekerjaan dengan stunting pada anak
sekolah dasar (OR=1,7; 95% CI :1,23-
7,75), (p value= 0,253).
Pada penelitian ini dijumpai
bahwa bahwa mayoritas responden
terbanyak adalah tidak bekerja, baik
pada kelompok stunting sebanyak
59,52% maupun pada kelompok tidak
stunting 71,43%. Menurut peneliti hal
ini dapat disebabkan oleh pengkajian
terhadap pekerjaan hanya dilakukan
pada pekerjaan ibu saja dan tidak
mengelompokkan jenis pekerjaan yang
dilakukan. Hasil penelitian ini sejalan
dengan Ngaisyah 4 bahwasanya
pekerjaan orang tua tidak berhubungan
dengan kejadian stunting. Namun
berbeda dengan penelitian Nasikhah 8
yang mengatakan bahwa status ibu
Jurnal Kesehatan Ilmiah Nasuwakes Vol. 10 No. 2, Nopember 2017 158
balita (bekerja dan tidak bekerja)
merupakan faktor risiko yang
berpengaruh terhadap kejadian stunting.
Penelitian yang dilakukan oleh Arini 9
menemukan ada perbedaan proporsi
yang signifikan antara ibu bekerja
memiliki balita stunting lebih kecil
dibandingkan dengan ibu tidak bekerja
dan ibu bekerja memiliki balita non-
stunting lebih tinggi dibandingkan
dengan ibu yang tidak bekerja.
3. Hubungan Pendapatan dengan
Stunting
Hasil penelitian diperoleh anak
sekolah dengan pendapatan keluarga
rendah memiliki risiko stunting 6 kali
lebih besar dibandingkan dengan anak
sekolah dengan pendapatan keluarga
tinggi dan secara statistik berhubungan
(OR=6; 95% CI :2.08-17.23), (p value=
0,001).
Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Picauly
10 yang menunjukkan bahwa keluarga
dengan tingkat pendapatan rendah
memiliki peluang anaknya mengalami
stunting sebesar 62.128 kali lebih besar
dibandingkan keluarga dengan tingkat
pendapatan tinggi. Penelitian lainnya
yang dilakukan oleh Arini 9
menunjukkan terdapat perbedaan antara
tingkat pendapatan keluarga antara
balita stunting dan non-stunting. Hasil
penelitiian ini sesuai dengan pendapat
Sulistyoningsih 11 bahwa meningkatnya
pendapatan akan meningkatkan peluang
untuk membeli pangan dengan kualitas
dan kuantitas yang lebih baik,
sebaliknya penurunan pendapatan akan
menyebabkan menurunnya daya beli
pangan yang baik secara kualitas
maupun kuantitas.
4. Hubungan Jumlah Anggota Keluarga
dengan Stunting
Hasil penelitian penelitian
diperoleh anak sekolah yang berada
pada keluarga dengan jumlah anggota
keluarga besar memiliki risiko stunting
3,3 kali lebih besar dibandingkan
dengan responden jumlah anggota
keluarga kecil dan secara statistik ada
hubungan antara pendidikan dengan
kejadian stunting pada anak sekolah
(OR=3,3; 95% CI :1,28-8.65), (p value=
0,013).
Hasil penelitian ini
menunjukkan semakin banyak jumlah
tanggungan keluarga maka risiko
stunting akan semakin besar karena
jumlah anak dalam keluarga merupakan
salah satu faktor yang berperan dalam
ketersediaan pangan dalam keluarga
sehingga berpengaruh pada konsumsi
makanan dalam keluaraga. Keluarga
159 Analisis Faktor Sosial Ekonomi dan Budaya terhadap Kejadian Stunting …
yang memiliki banyak anak terutama
dengan kondisi ekonomi kurang tidak
akan dapat memberikan perhatian dan
makanan yang cukup pada seluruh anak
anaknya. Gangguan pertumbuhan dan
perkembangan cenderung akan dialami
oleh anak yang dilahirkan belakangan,
karena beban yang ditangggung orang
tua semakin besar dengan semakin
banyaknya jumlah anak yang dimiliki.
Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Candra 6 Jumlah anak
>2 merupakan faktor risiko stunting
pada anak 1-2 tahun (p=0,002). Hasil
ini berbeda dengan penelitian Pahlevi 12
salah satu faktor yang tidak
berhubungan dengan status gizi adalah
jumlah anggota keluarga (p=0,074).
Penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Faradevi and Faradevi 13
menunjukkan bahwa jumlah anak
berkisar antara 1-5 orang dengan rerata
1,95±0,81,pada kedua kelompok
sebagian besar mempunyai jumlah anak
≤ 2. Hasil uji Mann-Whitney
menunjukkan tidak terdapat perbedaan
jumlah anak antara kelompok balita
kurus dan normal (p= 0,856).
5. Hubungan Pengetahuan dengan
Stunting
Hasil analisis menunjukkan
risiko menderita stunting pada
responden dengan pengetahuan ibu
kurang 3,5 kali lebih besar
dibandingkan dengan responden
pengetahuan ibu baik dan secara
statistik ada hubungan pengetahuan
dengan kejadian stunting pada anak
sekolah dasar (OR=3,5; 95% CI :1,31-
9.36), (p value= 0,012). Sehingga dapat
disimpulkan Kejadian stunting salah
satunya disebabkan oleh kurangnya
asupan pemberian makanan balita,
perilaku ini antara lain dipengaruhi oleh
pengetahuan gizi ibu.
Namun demikian untuk anak
yang stunting tetapi pengetahuan orang
tua tentang gizi yang baik yaitu
berjumlah 19,05%, dipengaruhi oleh
faktor lain seperti besarnya keluarga
dimana jarak kelahiran antar anak amat
dekat akan menimbulkan lebih banyak
masalah. Apabila pendapatan keluarga
pas-pasan sedangkan jumlah anak pada
keluarga tersebut banyak maka,
pemerataan dan kecukupan makanan
dalam keluarga kurang bisa dijamin.
Penelitian ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh
Nasikhah 8 bahwa ada hubungan yang
bermakna antara pengetahuan orang tua
dengan kejadian stunting pada anak.
Penelitian yang dilakukan oleh Picauly
10 menunjukkan bahwa ibu dengan
Jurnal Kesehatan Ilmiah Nasuwakes Vol. 10 No. 2, Nopember 2017 160
pengetahuan gizi kurang/rendah,
memiliki peluang anaknya mengalami
stunting dibandingkan ibu dengan
pengetahuan gizi baik. Namun berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Candra 6 tentang hubungan underlying
faktor dengan kejadian stunting pada
anak usia 1-2 tahun, bahwa tidak ada
hubungan bermakna antara faktor
pengetahuan dengan stunting pada anak
6. Hubungan Pantangan Makanan
dengan Stunting
Hasil penelitian diperoleh tidak
ada hubungan antara pantangan
makanan dengan kejadian stunting pada
anak sekolah dasar. Hasil analisis
bivariat diperoleh nilai (OR=2.2; 95%
CI :0.79-6.35), (p value= 0,129).
Sehingga dapat disimpulkan responden
yang ada melakukan pantangan
makanan memiliki risiko stunting 2.2
kali lebih besar dibandingkan dengan
responden tidak ada melakukan
pantangan makanan.
Hasil penelitian ini dapat
dijelaskan mayoritas responden tidak
melakukan atau menerapkan pantangan
makanan tertentu kepada anak,
meskipun sebagian kecil responden
mempercayai bahwa ada beberapa
makanan yang tidak baik diberikan
kepada anak seperti makan semangka
dengan susu akan keracunan, tidak
boleh membawa makanan pada malam
hari dan adanya perilaku menyisakan
sedikit makanan kepada makhluk halus
atau arwah dari orang terdahulu yang
telah meninggal.
Adanya pantangan makananan
juga dipengaruhi oleh pengetahuan yang
kurang, sebagaimana dikemukakan oleh
14 Kurangnya pengetahuan gizi dan
kesehatan orang tua, khususnya ibu
merupakan salah satu penyebab
terjadinya kekurangan gizi pada balita.
Di pedesaan makanan banyak
dipengaruhi oleh keadaan sosial
ekonomi dan kebudayaan. Terdapat
pantangan makan pada balita misalnya
anak kecil tidak diberikan ikan karena
dapat menyebabkan cacingan, kacang-
kacangan juga tidak diberikan karena
dapat menyebabkan sakit perut atau
kembung.
7. Hubungan Kebiasaan makan dengan
Stunting
Hasil penelitian diperoleh
responden kebiasaan makan kurang
memiliki risiko stunting 3.2 kali lebih
besar daripada responden kebiasaan
makan baik dan secara statitik ada
hubungan antara kebiasan makan
dengan kejadian stunting pada anak
sekolah (OR=3,2; 95% CI :1,25-8.13),
161 Analisis Faktor Sosial Ekonomi dan Budaya terhadap Kejadian Stunting …
(p value= 0,015). Kebiasaan makan
merujuk pada perilaku seseorang atau
sekelompok orang untuk memenuhi
kebutuhan makan yang melibatkan
sikap, kepercayaan, dan pilihan
makanan 15.
Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Putri and Sukandar 16
Hasil uji menunjukkan terdapat juga
pengaruh signifikan kebiasaan makan
balita terhadap status gizi (p<0.05).
Penelitian Meilyasari and Isnawati 17
juga menunjukkan kebaisaan pemberian
makanan prelaktal merupakan faktor
risiko stunting.
8. Hubungan pola asuh dengan Stunting
Hasil penelitian diperoleh
responden pola asuh kurang memiliki
risiko stunting 5.9 kali lebih besar
dibandingkan dengan responden pola
asuh baik dan secara statistik ada
hubungan antara pola asuh dengan
kejadian stunting pada anak sekolah
(OR=5.9; 95% CI :2.27-15.63), (p
value= 0,0001). Sebagian besar
responden pola asuh kurang 78,57%
adalah stunting, sedangkan 61,90%
responden pola asuh baik tidak stunting.
Hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa
pola asuh yang baik terutama pada masa
bayi seperti memberikan ASI ekslusif,
memberikan asupan nutrisi yang cukup
baik kuantitas maupun kualitas,
melakukan pemantauan berat badan
serta menjaga kebersihan sangat
mendukung pertumbuhan anak.
Hasil penelitian Renyoet tahun
2009 dalam Hanum, Khomsan 18 bahwa
pola asuh terutama ibu memiliki
kontribusi yang besar dalam proses
pertumbuhan anak dimana pola asuh
menunjukan hubungan yang signifikan
dengan kejadian stunting. Hasil
penelitian 19 juga menyatakan terdapat
hubungan antara pola asuh ibu dengan
status gizi balita stunting. Salah satu
penyebab gizi buruk adalah pola asuh
tidak benar salah satunya pemberian
makanan pendamping ASI yang terlalu
dini atau kurang dari usia 6 bulan.
Anak yang diberikan MP-ASI terlalu
dini memiliki risiko menjadi stunting
6,54 kali dibandingkan dengan anak
yang diberikan MP-ASI sesuai dengan
umur yang seharusnya 20.
9. Faktor dominan stunting
Berdasarkan hasil analisis
regresi logistik dimulai dari pemilihan
variabel terpilih ke analisis multivariat
sampai ke model akhir, maka diketahui
faktor risiko kejadian stunting pada anak
sekolah dari ke tujuh enam variabel
tersebut yang palin dominan berperan
terhadap kejadian stunting pada anak
Jurnal Kesehatan Ilmiah Nasuwakes Vol. 10 No. 2, Nopember 2017 162
sekolah di Kabupaten Aceh Jaya adalah
pendapatan (OR= 4,96; 95% CI: 1.62-
15.23), (p value 0,005) dan pola asuh
(OR= 5.06; 95% CI: 1.82-14.00), (p
value 0,002), dimana anak sekolah
yang tinggal dengan keluarga/orang tua
berpendapatan rendah berisiko stunting
4,9 kali lebih besar dibandingkan
dengan tinggi dan anak sekolah yang
mendapat pola asuh kurang dari orang
tua berisiko stunting 5 kali lebih besar
bila dibandingkan dengan anak sekolah
yang mendapat pola asuh orang tua
baik.
KESIMPULAN
Penelitian ini menemukan beberapa
faktor yang berhubungan dengan
stunting di Kabupaten Aceh Jaya adalah
pendidikan ibu dan ayah, pendapatan
keluarga, jumlah anggota keluarga,
pengetahuan, kebiasaan makan dan pola
asuh. Dari beberapa faktor tersebut juga
diketahui adalah pendapatan (OR= 4,96;
95% CI: 1.62-15.23), (p value 0,005)
dan pola asuh (OR= 5.06; 95% CI:
1.82-14.00), (p value 0,002), merupakan
faktor yang paling dominan terhadap
kejadian stunting.
SARAN
Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten
Aceh Jaya perlu ditingkatkan
penyuluhan gizi pada ibu balitadengan
memberikan informasi dan edukasi
tentang MP-ASI dan status gizi bayi
sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangannya dan melakukan
kerjasama lintas sektoral dan melakukan
perencanaan program kebijakan guna
menanggulangi balita stunting lebih
diprioritaskan pada keluarga dengan
status ekonomi rendah.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan
terimakasih kepada orang tua murid
sekolah Dasar Kabupaten Aceh Jaya,
Staf dan Guru Sekolah yang telah
memberi izin terhadap penelitian ini
sampai selesai.
DAFTAR PUSTAKA :
1. UNICEF. Tracking progress on child
and maternal nutrition: a survival and
development priority: UNICEF;
2009.
2. Kementerian Kesehatan R. Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
2013. Jakarta: Badan penelitian dan
pengembangan kesehatan Kemenkes
RI. 2013.
163 Analisis Faktor Sosial Ekonomi dan Budaya terhadap Kejadian Stunting …
3. Andi Ridwan MS, Aprildah
Sapardin. Riskesdas Provinsi Aceh
2013. Banda Aceh: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI; 2013.
4. Ngaisyah RD. Hubungan Sosial
Ekonomi Dengan Kejadian Stunting
Pada Balita Di Desa Kanigoro,
Saptosari, Gunung Kidul. Medika
Respati. 2015;10(4).
5. Al-Anshori HN. Faktor Risiko
Kejadian Stunting Pada Anak Usia
12-24 Bulan (Studi Di Kecamatan
Semarang Timur): Diponegoro
University; 2013.
6. Candra A. Hubungan Underlying
Factors Dengan Kejadian Stunting
Pada Anak 1-2 Th. Journal of
Nutrition and Health. 2013;1(1).
7. Almatsier S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2001.
8. Nasikhah R, Margawati, Ani. Faktor
risiko kejadian stunting pada balita
usia 24–36 bulan di Kecamatan
Semarang Timur: Diponegoro
University; 2012.
9. Arini MS. Perbedaan Karakteristik
Keluarga Yang Memiliki Balita
Stunting Dan Non-Stunting Di
Kelurahan Kartasura Kecamatan
Kartasura Kabupaten Sukoharjo:
Universitas Muhammadiyah
Surakarta; 2012.
10.Picauly IT, Sarci Magdalena.
Analisis Determinan dan Pengaruh
Stunting Terhadap Prestasi Belajar
Anak Sekolah di Kupang dan Sumba
Timur, NTT. Jurnal Gizi dan Pangan.
2013;8(1):55.
11.Sulistyoningsih H. Gizi untuk
kesehatan ibu dan anak. Yogyakarta:
Graha Ilmu. 2011;52:57-8.
12.Pahlevi AE. Determinan status gizi
pada siswa sekolah dasar. Jurnal
Kesehatan Masyarakat.
2012;7(2):122-6.
13.Faradevi R, Faradevi R. Perbedaan
besar pengeluaran keluarga, jumlah
anak serta asupan energi dan protein
balita antara balita kurus dan normal:
Diponegoro University; 2011.
14.Balawati FY. Pengantar Pangan dan
Giz. Jakarta: Penebar Swadaya;
2004.
15.Khomsan AS, Dadang. Faktor
Determinan Stunting pada Anak Usia
24–59 Bulan di Indonesia. Info
Pangan dan Gizi. 2010;nfo Pangan
dan Giz, 19(2), 42—43.
16.Putri DS, Sukandar D. Keadaan
rumah, kebiasaan makan, status gizi,
dan status kesehatan balita di
Kecamatan Tamansari, Kabupaten
Jurnal Kesehatan Ilmiah Nasuwakes Vol. 10 No. 2, Nopember 2017 164
Bogor. Jurnal Gizi dan Pangan.
2012;7(3).
17.Meilyasari F, Isnawati M. Faktor
risiko kejadian stunting pada balita
usia 12 bulan di Desa Purwokerto
Kecamatan Patebon, Kabupaten
Kendal: Diponegoro University;
2014.
18. Hanum F, Khomsan A,
Heryatno Y. Hubungan Asupan Gizi
dan Tinggi Badan Ibu dengan Status
Gizi Anak Balita. Jurnal Gizi dan
Pangan. 2014;9(1).
19.Welasasih BDW, R Bambang.
Beberapa Faktor yang Berhubungan
dengan Status Gizi Balita Stunting.
Public Health. 2012;8(3):15-20.
20.Lestari W, Margawati A, Rahfiludin
Z. Faktor risiko stunting pada anak
umur 6-24 bulan di kecamatan
Penanggalan kota Subulussalam
provinsi Aceh. Jurnal Gizi Indonesia.
2014;3(1):37-45.
165 Analisis Faktor Sosial Ekonomi dan Budaya terhadap Kejadian Stunting …
top related