Transcript
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kejahatan ( Tindak Pidana )
1. Pengertian Kejahatan
Secara etimologis kejahatan merupakan suatu perbuatan manusia yang
mempunyai sifat jahat sebagaimana bila orang membunuh, merampok,
mencuri dan lain sebagainya. Sutherland menekankan bahwa ciri pokok
kejahatan adalah perilaku yang dilarang oleh negara karena merupakan
perbuatan yang merugikan Negara dan terhadap perbuatan itu Negara
bereaksi dengan hukumnya sebagai pamungkas5. Sedangkan penganut
aliran sosiologis berpendapat bahwa dalam memberikan pengertian
kejahatan harus dimulai dari dengan mempelajari norma-norma kelakuan
didalam masyarakat sehingga tidak perlu ada batasan-batasan politik serta
tidak selalu terkandung dalam undang-undang6. Selain dari pada itu perlu
juga memperhatikan rumusan Arif Gosita yakni mengenai pengertian
kejahatan, yaitu :
Suatu hasil interaksi antara fenomena yang ada dan saling
mempengaruhi, selanjutnya beliau menambahkan bahwa kejahatan yang
dimaksud tidak hanya meliputi rumusan undang-undang pidana saja tetapi
juga hal-hal yang dapat menimbulkan penderitaan dan tidak dapat
dibenarkan serta dianggap jahat.
5 Topo Santoso, Kriminologi (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 14. 6 Ibid, hal. 100.
13
Terlepas dari berbagai pendapat yang ada maka pada hakekatnya
pengertian kejahatan dapat diklasifikasikan atas 3 pengertian 7:
1. Pengertian kejahatan dari sudut pandang yuridis :
Secara yuridis formal kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang
bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan yang bertentangan
dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat, sosial sifatnya dan
melanggar undang-undang pidana (KUHP). Di dalam KUHP sendiri tak
ditentukan pengertian kejahatan, tapi dapat dirumuskan bahwa kejahatan
adalah semua bentuk perbuatan yang memenuhi perumusan ketentuan -
ketentuan KUHP.
2. Pengertian kejahatan dari sudut pandang sosiologis :
Secara sosiologis kejahatan merupakan suatu perilaku manusia yang
diciptakan oleh masyarakat, atau dengan kata lain kejahatan adalah semua
bentuk ucapan, perbuatan, tingkah laku yang secara ekonomis, politis dan
sosio-psikis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma-norma susila,
dan menyerang keselamatan warga masyarakat (baik yang telah tercakup
dalam undang-undang maupun yang belum tercantum).
3. Pengertian kejahatan dari sudut pandang kriminologis :
Secara kriminologis kejahatan adalah segala perbuatan manusia dalam
bidang politis, ekonomi dan sosial yang sangat merugikan dan berakibat
jatuhnya korban-korban baik individual maupun korban kelompok atau
golongan-golongan masyarakat.
7 Ibid, hal. 100.
14
2. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis seperti halnya untuk
memberikan definisi atau pengertian terhadap istilah hukum, maka
bukanlah hal yang mudah untuk memberikan definisi atau pengertian
terhadap istilah tindak pidana. Pembahasan hukum pidana dimaksudkan
untuk memahami pengertian pidana sebagai sanksi atas delik, sedangkan
pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar pembenaran pengenaan pidana
serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Perlu disampaikan di sini
bahwa, pidana adalah merupakan suatu istilah yuridis yang mempunyai arti
khusus sebagai terjemahan dari bahasa Belanda ”straf” yang dapat diartikan
sebagai ”hukuman”.8
Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dikenal dengan istilah strafbaar feit dan dalam kepusta kaan tentang
hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat
undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah
peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana
merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam
ilmu hukum sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam
memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana
mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit
dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan
arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat
8 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta, Bina Aksara, 1987), hal. 37.
15
memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan
masyarakat.
Menurut Pompe, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang
Poernomo, pengertian strafbaar feit dibedakan menjadi 9 :
a. Definisi menurut teori memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu
pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar
dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan
menyelamatkan kesejahteraan umum ;
b. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbaar feit”
adalah suatu kejadiaan (feit) yang oleh peraturan perundangundangan
dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.
Tindak pidana menurut Prof. Moeljatno yaitu “perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan
tersebut.” 10
Menurut E.Utrecht pengertian tindak pidana dengan istilah peristiwa
pidana yang sering juga disebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan
(handelen atau doen positif) atau suatu melalaikan (natalennegatif), maupun
akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan
itu).11
9 http://www.hukumsumberhukum.com/2014/06/apa-itu-pengertian-tindak-pidana.html, diakses
pada hari Kamis tanggal 21 November pukul 08.55 WIB. 10 Ibid. 11 Ibid.
16
Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum
pidana, tindak pidana adalah pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah
perbuatan atau kejahatan yang diartikan secara yuridis atau secara
kriminologis. Barda Nawawi Arief menyatakan “tindak pidana secara
umum dapat diartikan sebagai perbuatan yang melawan hukum baik secara
formal maupun secara materiil”12.
Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku
atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya
yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur
objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-
keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si
pelaku itu harus dilakukan. 13
Unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:14
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);
2. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti
yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;
3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya
di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan,
pemalsuan dan lain-lain;
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang
terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
12 Ibid. 13 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia (Jakarta, Citra Aditya Bakti, 1997),
hal. 193. 14 Ibid.
17
5. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak
pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah 15 :
1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid;
2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai
negeri di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP a tau
keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan
Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.
3. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai
penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Menurut Prof. Moeljatno unsur tindak pidana yaitu sebagai
berikut, yakni:16
a. Perbuatan;
b. Yang dilarang (oleh aturan hukum); dan
c. Ancaman pidana (yang melanggar larangan).
Menurut R. Tresna tindak pidana terdiri dari unsur-unsur yaitu
sebagai berikut :17
a. Perbuatan/rangkaian perbuatan;
b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; dan
c. Diadakan tindakan penghukuman.
15 Ibid. 16 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan &
Batas Berlakunya Hukum Pidana) , (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2014), hal. 79. 17 Ibid.
18
Meskipun rumusan di atas terlihat berbeda namun pada hakikatnya
ada persamaan, yaitu tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai
perbuatannya maupun mengenai diri orang lain.
Dalam hukum pidana dikenal delik formil dan delik materiil. Bahwa
yang dimaksud dengan delik formil adalah delik yang perumusannya
menitik beratkan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
oleh Undang-Undang. Di sini rumusan dari perbuatan jelas, misalnya Pasal
362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pencurian. Adapun delik
materiil adalah delik yang perumusannya menitik beratkan pada akibat yang
dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Dengan kata lain,
hanya disebut rumusan dari akibat perbuatan, misalnya Pasal 338 KUHP
tentang pembunuhan.
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran
dan kejahatan terhadap kepentingan umum. Pelanggaran dan kejahatan
tersebut diancam dengan hukuman yang merupakan penderitaan atau
siksaan bagi yang bersangkutan. Pelanggaran sendiri mempunyai art ian
sebagai suatu perbuatan pidana yang ringan dan ancaman hukumannya
berupa denda atau kurungan, sedangkan kejahatan adalah perbuatan pidana
yang berat. Ancaman hukumannya berupa hukuman denda, hukuman
penjara, hukuman mati, dan kadangkala masih ditambah dengan hukuman
19
penyitaan barang-barang tertentu, pencabutan hak tertentu, serta
pengumuman keputusan hakim.18
Perbuatan pidana dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu sebagai
berikut:19
1. Perbuatan pidana (delik) formil, adalah suatu perbuatan pidana yang suda h
dilakukan dan perbuatan itu benar-benar melanggar ketentuan yang
dirumuskan dalam pasal undang-undang yang bersangkutan. Contoh:
Pencurian adalah perbuatan yang sesuai dengan rumusan Pasal 362 KUHP,
yaitu mengambil barang milik orang lain dengan maksud hendak memiliki
barang itu dengan melawan hukum.
2. Perbuatan pidana (delik) materiil, adalah suatu perbuatan pidana yang
dilarang, yaitu akibat yang timbul dari perbuatan itu. Contoh: pembunuhan.
Dalam kasus pembunuhan yang dianggap sebagai delik adalah matinya
seseorang yang merupakan akibat dari perbuatan seseorang.
3. Perbuatan pidana (delik) dolus, adalah suatu perbuatan pidana yang
dilakukan dengan sengaja. Contoh: pembunuhan berencana (Pasal 338
KUHP)
4. Perbuatan pidana (delik) culpa, adalah suatu perbuatan pidana yang tidak
sengaja, karena kealpaannya mengakibatkan luka atau matinya seseorang.
Contoh: Pasal 359 KUHP tentang kelalaian atau kealpaan.
18 Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia , (Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, 2004),
hal. 60. 19 Ibid, hal. 63.
20
5. Delik aduan, adalah suatu perbuatan pidana yang memerlukan pengaduan
orang lain. Jadi, sebelum ada pengaduan be lum merupakan delik. Contoh:
Pasal 284 mengenai perzinaan atau Pasal 310 mengenai Penghinaan.
6. Delik politik, adalah delik atau perbuatan pidana yang ditujukan kepada
keamanan negara, baik secara langsung maupun tidak langsung. Contoh:
Pasal 107 mengenai pemberontakan akan penggulingan pemerintahan yang
sah.
B. Penyebab Tindak Pidana ( Teori Kriminologi )
Adapun teori-teori yang memaparkan beberapa unsur yang turut
menjadi penyebab terjadinya kejahatan atau membahas dimensi kejahatan, oleh
Abintoro Prakoso 20 yaitu sebagai berikut:
Teori Kriminologi Modern
a. Teori asosiasi diferensial (differential association theory) dari Gabriel
Tarde, menyatakan bahwa kejahatan yang dilakukan seseorang adalah hasil
peniruan terhadap tindakan kejahatan yang ada dalam masyarakat.
Sedangkan Edwin H. Sutherland berhipotesis bahwa perilaku kriminal, baik
meliputi teknik kejahatan, motif, dorongan, sikap, dan rasionalisasi yang
nyaman, dipelajari melalui asosiasi yang dilakukan mereka yang melanggar
norma-norma masyarakat, termasuk norma hukum.
b. Teori tegang atau anomi (strain theory) dari Emile Durkheim, menerangkan
bahwa di bawah kondisi sosial tertentu, norma-norma sosial tradisional dan
berbagai peraturan kehilangan otoritasnya atas perilaku. Sedangkan Robert
20 Wahju Muljono, Pengantar Teori Kriminologi (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2012), hal. 97.
21
K. Merton menganggap bahwa manusia pada dasarnya selalu melanggar
hukum setelah terputusnya antara tujuan dan cara mencapainya menjadi
demikian besar, sehingga satu-satunya cara mencapai tujuan adalah melalui
saluran yang tidak legal.
c. Teori kontrol sosial (social control theory), merujuk kepada setiap
perspektif yang membahas ikhwal pengendalian perilaku manusia, yaitu
delinquency dan kejahatan terkait dengan variabel-variabel yang bersifat
sosiologis, yaitu struktur keluarga, pendidikan, dan kelompok dominan.
Sedangkan Travis Hirschi memberikan gambaran mengenai konsep ikatan
sosial (social bond), yaitu apabila seseorang terlepas atau terputus dari
ikatan sosial dengan masyarakat, maka ia bebas untuk berperilaku
menyimpang.
d. Teori sub-budaya (sub-culture theory) dari Albert K. Cohen, memiliki
asumsi dasar bahwa perilaku anak nakal di kelas merupakan cerminan
ketidakpuasan mereka terhadap norma-norma dan nilai-nilai kelompok
anak-anak kelas menengah yang mendominasi nilai kultural masyarakat.
e. Teori-teori sendiri (the self-theories) dari Carl Roger, menitikberatkan
kriminalitas pada interpretasi atau penafsiran individu yang bersangkutan.
f. Teori psikoanalisis (psycho-analitic theory), yaitu tentang kriminalitas
menghubungkan deliquent dan perilaku kriminal dengan hati nurani
(concience) yang begitu menguasai sehingga menimbulkan rasa bersalah
atau begitu lemah sehingga tidak dapat mengontrol dorongan-dorongan si
individu dan bagi suatu kebutuhan yang harus segera dipenuhi.
22
g. Teori netralisasi (the techniques of netralization) berasumsi ba hwa aktivitas
manusia selalu dikendalikan oleh pikirannya dan bahwa di masyarakat
selalu terdapat persamaan pendapat tentang hal-hal yang baik di dalam
kehidupan masyarakat dan menggunakan jalan layak untuk mencapai hal
tersebut.
h. Teori pembelajaran sosial (social learning theory) berasumsi bahwa
perilaku seseorang dipengaruhi oleh pengalaman belajar, pengalaman
kemasyarakatan disertai nilai-nilai dan pengharapannya dalam hidup
bermasyarakat.
i. Teori kesempatan (opportunity theory) dari Richard A. Cloward dan Lloyd
E. Ohlin, menyatakan bahwa munculnya kejahatan dan bentuk-bentuk
perilakunya bergantung pada kesempatan, baik kesempatan patuh norma,
maupun kesempatan penyimpangan norma.
j. Teori rangsangan patologis (pathological stimulation seeking) dari Herbert
C. Quay, yaitu kriminalitas yang merupakan manifestasi dari banyak sekali
kebutuhan bagi peningkatan-peningkatan atau perubahan-perubahan dalam
pola stimulasi pelaku.
k. Teori interaksionis (interactionist theory) menurut Goode, menyatakan
bahwa orang beraksi berdasarkan makna (meaning), makna timbul karena
adanya interaksi dengan orang lain, terutama dengan orang yang sangat
dekat, dan makna terus-menerus berubah karena adanya interpretasi
terhadap obyek, orang lain, dan situasi.
23
l. Teori pilihan rasional (rational choice theory) menurut Gary Becker,
menegaskan bahwa akibat pidana sebagai fungsi, pilihan-pilihan langsung,
serta keputusan-keputusan yang dibuat relatif oleh pelaku tindak pidana
bagi peluang-peluang yang terdapat baginya.
m. Teori perspektif baru, menunjukkan bahwa orang menjadi kriminal bukan
karena cacat atau kekurangan internal namun karena apa yang dilakukan
oleh orang-orang yang berada dalam kekuasaan, khususnya sistem
peradilan pidana.
n. Teori pemberian nama (labeling theory), menjelaskan bahwa sebab u tama
kejahatan dapat dijumpai dalam pemberian label oleh masyarakat untuk
mengidentifikasi anggota-anggota tertentu pada masyarakatnya.
o. Teori-teori konflik (conflict theories) menurut George B. Volt, keseluruhan
proses pembuatan hukum merupakan suatu cermin langsung dari konflik
antara kelompok-kelompok kepentingan, semua mencoba menjadikan
hukum-hukum disahkan untuk kepentingan mereka dan untuk mendapatkan
kontrol atas kekuasaan kepolisian negara.
p. Teori pembangkit rasa malu (reintegrative shaming theory) dari John
Braithwaite, mengulas bahwa reaksi sosial meningkatkan kejahatan.
q. Teori kriminologi kritis (radical criminology) berpendirian bahwa kejahatan
itu tidak ditemukan, melainkan dirum uskan oleh penguasa.
24
C. Pengaturan Tindak Pidana Kosmetik yang tidak memiliki izin edar
1. Kosmetik Ilegal
Kosmetik berasal dari bahasa Inggris Cosmetic yang artinya “alat
kecantikan wanita”. Dalam bahasa Arab modern diistilahkan dengan
Alatujtajmiil, atau sarana mempercantik diri. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kosmetik adalah sesuatu berhubungan dengan kecantikan
(tentang corak kulit); n obat (bahan) untuk mempercantik wajah, kulit,
rambut, dan sebagainya (seperti bedak, pemerah bibir). Definisi lebih
rincinya menurut badan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan),
Departemen Kesehatan, kosmetika adalah panduan bahan yang siap untuk
digunakan pada bagian luar badan (epidermis/kulit, rambut, kuku, bibir dan
organ kelamin luar), gigi dan ronggga mulut untuk membersihkan,
menambah daya tarik, mengubah penampilan supaya tetap dalam keadaan
baik.21
Kosmetik saat ini telah menjadi kebutuhan manusia yang tidak bisa
dianggap sebelah mata lagi. Dan sekarang semakin terasa bahwa kebutuhan
adanya kosmetik yang beraneka bentuk dengan ragam warna dan keunikan
kemasan serta keunggulan dalam memberikan fungsi bagi konsumen
menuntut industri kosmetik untuk semakin terpicu mengembangkan
teknologi yang tidak saja mencakup peruntukannya dari kosmetik itu sendiri
namun juga kepraktisannya di dalam penggunaannya 22.
21 https:jdih.pom.go.od/ diakses pada hari Senin, 1 November 2019, pukul 18.30 WIB 22 Retno Iswari Tranggono dan Fatma Latifah, Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik.
(Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2007).
25
Menurut BPOM dan Depkes, ada sejumlah bahan berbahaya yang
sering disalahgunakan ditambahkan pada kosmetika, ya itu : Bukti terbaru
dipaparkan BPOM, menurut penjelasan kepala BPOM, Dr. Ir. Penny K.
Lukito, MCP, pihaknya menemukan ada banyak merek kosmetik yang
mengandung bahan yang dilarang digunakan untuk kosmetik. Bahan
berbahaya tersebut yaitu: Merkury (Hg), Hidroquinon, Zat warna Rhodamin
B dan Merah K3. Temuan ini hasil pengawasan BPOM yang dilakukan dari
tahun 2016 hingga kini.23
Dari peredaran bahan kosmetik yang tidak memiliki izin edar di
pasaran tentu merupakan sebuah hal yang berbahaya dan sangat merugikan
bagi para konsumen. Dampak merugikan dari penggunaan kosmetik yang
tidak memiliki izin edar tentu merupakan suatu hal yang perlu dihindari
sejak dini. Bahaya bagi kesehatan pengguna sangat serius mulai dari alergi,
kanker sampai kegagalan jantung. Zat kimia yang terdapat pada kosmetik
tersebut yang melebihi standar yang digunakan untuk kosmetik bisa
memunculkan resiko kesehatan. Secara tidak sadar kondisi disebabkan
karena kecerobohan konsumen pada saat melakukan kegiatan sehari-hari
tanpa disadari tercampur dengan zat kimia yang terdapat pada pewarna
kuku, sehingga zat kimia tersebut masuk ke dalam tubuh. Zat kimia yang
terkandung dalam pewarna kuku tersebut menyerap melalui pori-pori kuku
sehingga masuk ke dalam tubuh. Kerusakan pada saluran pencernaan jug a
23 https://www.pom.go.id/new/view/direct/head diakses pada hari Senin, 1 November 2019, pukul
20.00 WIB.
26
dapat diakibatkan oleh zat kimia di dalam kosmetik yang tidak memiliki izin
edar, ini dari hasil penelitain BPOM akan bahaya dari kandungan kosmetik
yang tidak memiliki izin edar, apalagi pada kosmetik-kosmetik yang
mengandung merkury.
2. Pengaturan Mengenai Kosmetik yang Tidak Memiliki Izin Edar
1.) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Mengenai
Kejahatan Pemalsuan Merek Dalam Perdagangan Kosmetik
Kosmetik merupakan bagian dari sediaan farmasi, untuk itu pembuatan
hingga pengedarannya harus sesuai standar dan mematuhi berbagai
peraturan yang berlaku. Salah satu peraturan yang mengatur mengenai
permasalahan kosmetik adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan yang menggolongkan kosmetik ke dalam golongan
sediaan farmasi yang peredarannya harus memenuhi standar keamanan
tertentu.
Pasal 98 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
menyebutkan bahwa ayat (1) “sediaan farmasi dan alat kesehatan harus
aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau.” Kemudian ayat (2)
menyebutkan, “setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan
dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan
mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.” Selanjutnya ayat (3)
menyebutkan, “ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan,
promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus
memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan
27
Peraturan Pemerintah.” Dan ayat (4) menyebutkan, “pemerintah
berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi
pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).”
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga
mengatur mengenai sanksi pidana bagi siapa pun yang melanggar pasal 98.
Aturan tersebut disebutkan di dalam Pasal 196 yang berbunyi “setiap orang
yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi
dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan
keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Selain Pasal yang telah disebutkan diatas, Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan juga mengatur mengenai sediaan farmasi
dan juga sanksi pidana bagi yang melanggar, yakni di dalam Pasal 106 dan
Pasal 197.
Pasal 106:
1. Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah
mendapat izin edar.
2. Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus
memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak
menyesatkan.
28
3. Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan
penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah
memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi
persyaratan dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan
dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 197:
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
2.) Undang – Undang Perlindungan Konsumen
Upaya untuk menghindarkan akibat negatif pemakaian barang dan
atau jasa, maka UUPK menentukan berbagai larangan bagi pelaku usaha
yang diatur dalam 10 pasal. UUPK menetapkan tujuan perlindungan
konsumen antara lain adalah untuk mengangkat harkat kehidupan
konsumen, maka untuk maksud tersebut berbagai hal yang membawa akibat
negatif dari pemakaian barang dan atau jasa harus dihindarkan dari aktivitas
perdagangan pelaku usaha. Sebagai upaya untuk menghindarkan akibat
negatif pemakaian barang dan/atau jasa tersebut maka undang-undang
menentukan berbagai larangan sebagai berikut: 24
24 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen , (Jakarta: PT. Rajawali Pers,
2011), hal. 63.
29
Pasal 8
(1) pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang:
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan
dan ketentuan peraturan perundang-undangan,
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam
hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang
tersebut,
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran sebenarnya,
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut,
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,
gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam
label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut,
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
g. keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut,
h. tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan
atau pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.
i. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label,
30
j. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat
nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan
pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku
usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan
harus dipasang/dibuat.
k. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang
dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundangan yang
berlaku,
(2) pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat,
atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap
dan benar atas barang yang dimaksud,
(3) pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan
yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar,
(4) pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)
dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib
menariknya dari peredaran.
Pada dasarnya substansi Pasal 8 terdapat dua hal, yaitu larangan
memproduksi barang dan/atau jasa, dan larangan memperdagangkan barang
dan/atau jasa. Larangan yang dimaksud, hakikatnya untuk mengupayakan
agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk
layak edar, antara lain asal usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha
31
baik melalui label, etiket, iklan, dan lain sebagainya. 25 Berbeda dengan
produk-produk lainnya, terhadap barang-barang yang berupa sediaan
farmasi mendapat perlakuan khusus, karena barang jenis tersebut jika rusak,
cacat, bekas, atau tercemar maka dilarang untuk diperdagangkan, meskipun
disertai dengan informasi yang lengkap dan benar atas barang tersebut.
Larangan yang tertuju pada “produk” adalah untuk memberikan
perlindungan terhadap kesehatan/harta konsumen dari penggunaan barang
dengan kualitas yang di bawah standar atau kualitas yang lebih rendah
daripada nilai harga yang dibayar. Dengan adanya perlindungan, maka
konsumen tidak akan diberikan barang dengan kualitas yang lebih rendah
daripada harga yang dibayarnya, atau yang tidak sesuai dengan informasi
yang diperolehnya. Pasal yang perlu diperhatikan dari UUPK adalah
larangan-larangan yang diatur dalam Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12 dan Pasal
13 yang berhubungan dengan berbagai macam larangan dalam
mempromosikan barang dan/atau jasa tertentu, serta Pasal 17 yang khusus
diperuntukkan bagi perusahaan periklanan. Pasal 9 UUPK melarang setiap
pelaku usaha untuk menawarkan, mempromosikan, mengiklankan maupun
memperdagangkan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan
seolah-olah:26
25 Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen , (Bandung: Mandar
Maju, 2000) hal. 18. 26 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,Hukum Perlindungan Konsumen , (Jakarta: PT.Gramedia
Pustaka Utama, 2000), hal. 44
32
1. Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga,
harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu,
karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
2. Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
3. Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan atau memiliki
sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-
ciri kerja atau aksesori tertentu;
4. Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai
sponsor, persetujuan atau afiliasi;
5. Barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
6. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
7. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
8. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
9. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa
lain;
10. Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak
berbahaya, tidak mengandung risiko, atau efek samping tanpa
keterangan yang lengkap;
11. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Pada Pasal 10 UUPK, pelaku usaha dilarang menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan, atau membuat pernyataan yang tidak
benar atau menyesatkan mengenai:
1. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
33
2. Kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
3. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang
dan/atau jasa;
4. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
5. Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal 12 mengatur mengenai larangan menawarkan,
mempromosikan,mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga
atau tarif khusus dalam suatu waktu dan dalam jum lah tertentu, seperti:
1. Suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah
berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud
tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang
dijanjikannya;
2. Obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa
pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiag
berupa barang dan/atau jasa lain.
Pasal 17 secara khusus melarang bagi pelaku usaha periklanan untuk
memproduksi iklan yang:
1. Mengetahui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan,
dan harga barang dan/atau tarif jasa, serta ketepatan waktu penerimaan
barang dan/atau jasa;
2. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
3. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang
dan/atau jasa;
34
4. Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang
berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
5. Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai periklanan.
Pada Pasal 16 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1175/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Izin Produksi Kosmetika, pelaku
usaha dilarang membuat/memproduksi dan mengedarkan produk kosmetika
yang mengandung bahan bahan berbahaya dan atau bahan-bahan yang tidak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelaku usaha
dilarang mengiklankan produk kosmetik yang diproduksinya sebelum
memperoleh izin edar sebagaimana terdapat pada Pasal 30 Keputusan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia nomor
HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik.
D. Upaya Penanggulangan
Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya
merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat ( social
defence) dan upaya mencapai kesejahteraan (social welfare). Kebijakan
penanggulangan kejahatan atau bisa disebut juga politik kriminal memiliki
tujuan akhir atau tujuan utama yaitu “perlindungan masyarakat untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat”. Kebijakan penanggulangan kejahatan
(criminal policy) itu sendiri merupakan bagian dari kebijakan penegakan
hukum (law enforcement policy). Kebijakan penegakan hukum merupakan
bagian dari kebijakan social (social policy) dan termasuk juga dalam
35
kebijakan legislatif (legislative policy). Politik kriminal pada hakikatnya
juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial yaitu kebijakan atau
upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial. 27
Muladi menyatakan kebijakan kriminal atau kebijakan penanggulangan
kejahatan bila dilihat lingkupnya, sangat luas dan tinggi kompleksitasnya.
Hal ini wajar karena karena pada hakikatnya kejahatan merupakan masalah
kemanusiaan dan sekaligus masalah sosial yang memerlukan pemahaman
tersendiri. Kejahatan sebagai masalah sosial ia lah merupakan gejala yang
dinamis selalu tumbuh dan terkait dengan gejala dan struktur
kemasyarakatan lainnya yang sangat kompleks, ia merupakan socio -
political problems. 28
Salah satu bentuk dari perencanaan perlindungan sosial adalah
usahausaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan
yang biasa disebut dengan politik kriminal (criminal politic). Tujuan akhir
dari politik kriminal adalah suatu perlindungan masyarakat. Dengan
demikian politik criminal adalah merupakan bagian dari perencanaan
perlindungan masyarakat, yang merupakan bagian dar i keseluruhan
kebijakan sosial. Upaya penanggulangan kejahatan yang dilakukan terhadap
anak sebenarnya tidaklah jauh berbeda dengan kebijakan yang diterapkan
terhadap orang dewasa. Di dalam upaya penanggulangan kejahatan perlu
ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti:29
27 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 2. 28 Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency , (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal.72. 29 Ibid, hal.75.
36
1. Ada keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial
2. Ada keterpaduan antara upaya penggulangan kejahatan dengan penal
maupun non penal
Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih
menitikberatkan pada sifat “repressive”
(penindasan/pemberantasan/penum pasan) sesudah kejahatan terjadi,
sedangkan jalur “non-penal” lebih menitikberatkan pada sifat “preventive”
(pencegahan/penangkalan) sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai
perbedaan secara kasar, karena tindakan refresif pada hakikatnya dapat
dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas. 30
Menurut G.P. Hoefnagels yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief,
bahwa upaya penangulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:
1. Penerapan hukum pidana (criminal law application);
2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);
3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and
punishment/mass media). 31
Berdasarkan pendapat di atas maka upaya penanggulangan kejahatan
secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yakni jalur penal dan non penal.
30 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 188 31 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Semarang: Fajar
Interpra tama, 2011), hal. 45.
37
1. Penanggulangan Kejahatan Dengan Hukum Pidana (Upaya Penal)
Menurut Barda Nawawi Arief, 32 bahwa upaya penanggulangan lewat
jalur penal ini bisa juga disebut sebagai upaya yang dilakukan melalui jalur
hukum pidana. Upaya ini merupakan upaya penanggulangan yang lebih
menitikberatkan pada sifat represif, yakni tindakan yang dilakukan sesudah
kejahatan terjadi dengan penegakan hukum dan penjatuhan hukuman
terhadap kejahatan yang telah dilakukan. Selain itu, melalui upaya penal ini,
tindakan yang dilakukan dalam rangka menanggulangi kejahatan sampai
pada tindakan pembinaan maupun rehabilitasi.
Pada hakikatnya, kebijakan hukum pidana (penal policy, criminal
policy, atau strafrechtpolitiek) merupakan proses penegakan hukum pidana
secara menyeluruh atau total. Kebijakan hukum pidana merupakan tindakan
yang berhubungan dalam hal-hal:33
a. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan
hukum pidana;
b. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar dapat sesuai dengan
kondisi masyarakat;
c. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan
hukum pidana;
d. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat
dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar.
32 Ibid, hal. 46. 33 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis, dan Praktik, (Bandung:
Alumni, 2008), hal. 390.
38
Kebijakan penal yang bersifat represif, namun sebenarnya juga
mengandung unsur preventif, karena dengan adanya ancaman dan
penjatuhan pidana terhadap delik diharapkan ada efek
pencegahan/penangkalnya (deterrent effect). Di samping itu, kebijakan
penal tetap diperlukan dalam penanggulangan kejahatan, karena hukum
pidana merupakan salah satu sarana kebijakan sosial untuk menyalurkan
“ketidaksukaan masyarakat (social dislike) atau pencelaan/kebencian sosial
(social disapproval/social abhorrence ) yang sekaligus juga diharapkan
menjadi sarana “perlindungan sosial” (social defence). Oleh karena itu
sering dikatakan bahwa “penal policy” merupakan bagian integral dari
“social defence policy”.34
Hal senada juga dikemukakan oleh Roeslan Saleh, yang mengemukakan
tiga alasan yang cukup panjang mengenai masih diperlukannya pidana dan
hukum pidana, adapun intinya sebagai berikut:
a. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuantujuan
yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk
mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan; persoalannya bukan
terletak pada hasil yang akan dicapai, te tapi dalam pertimbangan antara
nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi masing-
masing.
34 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 182.
39
b. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti
sama sekali bagi si terhukum; dan di samping itu harus tetap ada suatu
reaksi atas pelanggaranpelanggaran norma yang telah dilakukannya itu
dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja.
c. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada
si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat
yaitu warga masyarakat yang menaati norma-norma masyarakat.35
Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief dan
Roeslan Saleh, dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan hukum pidana
dalam menanggulangi kejahatan masih sangat diperlukan pada saat ini,
mengingat bahwa hukum pidana selain memiliki sisi represif juga memiliki
sisi preventif untuk mencegah agar masyarakat yang taat pada hukum tidak
ikut melakukan atau akan berfikir dua kali jika ingin melakukan kejahatan.
Menurut Barda Nawawi Arif, efektivitas pidana penjara dapat
ditinjau dari dua aspek pokok tujuan pemidanaan, yaitu aspek perlindungan
masyarakat dan aspek perbaikan si pelaku. Bahwa yang dimaksud dengan
aspek perlindungan masyarakat meliputi tujuan mencegah, mengurangi atau
mengendalikan tindak pidana dan memulihkan keseimbangan masyarakat
(antara lain menyelesaikan konflik, mendatangkan rasa aman, memperbaiki
kerugian/kerusakan, menghilangkan noda-noda, memperkuat kembali nilai-
nilai yang hidup di dalam masyarakat), sedangkan yang dimaksud dengan
35 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana , (Bandung:
Alumni, 2010), hal. 153
40
aspek perbaikan si pelaku meliputi berbagai tujuan, antara lain melakukan
rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku dan melindunginya
dari perlakuan sewenang-wenang di luar hukum.36
Dilihat dari aspek perlindungan/kepentingan masyarakat maka suatu
pidana dikatakan efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat mencegah
dan mengurangi kejahatan. Jadi, kriteria efektifitas dilihat dari seberapa jauh
frekuensi kejahatan dapat ditekan. Dengan kata lain, kriterianya terletak
pada seberapa jauh efek pencegahan umum (general prevention) dari pidana
penjara dalam mencegah masyarakat pada umum nya untuk tidak melakukan
kejahatan.37Dilihat dari aspek perbaikan si pelaku, maka ukuran efektifitas
terletak pada aspek pencegahan khusus (special prevention) dari pidana.
Jadi, ukurannya terletak pada masalah seberapa jauh pidana itu (penjara)
mempunyai pengaruh terhadap si pelaku/terpidana. 38
Menurut Barda Nawawi Arief,39 berdasarkan masalah-masalah
metodologis yang dikemukakan di atas dapatlah dinyatakan, bahwa
penelitianpenelitian selama ini belum dapat membuktikan secara pasti
apakah pidana penjara itu efektif atau tidak. Terlebih masalah efektifitas
pidana sebenarnya berkaitan dengan banyak faktor. Efektifitas pemidanaan
diartikan sebagai tingkat tercapainya tujuan yang ingin dicapai dengan
adanya pemidanaan. Suatu pemidanaan dikatakan efektif apabila tujuan
yang ingin dicapai dengan adnya pemidanaan itu tercapai. Ditin jau dari segi
36 Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal. 224. 37 Ibid, hal. 225 38 Ibid, hal. 229 39 Ibid, hal. 230
41
efektifitasnya maka pidana menjadi kurang efektif apabila ditinjau dari segi
penjeraannya terhadap terpidana. Hal ini disebabkan karena pidana denda
dapat dibayarkan oleh orang lain. Sedangkan dalam hal pidana penjara tidak
mungkin diwakilkan oleh orang lain. Di samping itu terpidana dapat saja
mengumpulkan uang dari mana saja untuk melunasi/membayar denda
tersebut.
Sehubungan dengan masalah efektifitas pidana, Soerjono Soekanto
mengemukakan beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan
efektifitas suatu sanksi. Faktor- faktor yang dikemukakan antara lain:40
a. Karakteristik atau hakekat dari sanksi itu sendiri.
b. Persepsi warga masyarakat dalam menanggung resiko.
c. Jangka waktu penerapan sanksi negatif itu.
d. Karakteristik dari orang yang terkena oleh sanksi.
e. Peluang- peluang yang memang (seolah-olah) diberikan oleh suatu
kebudayaan masyarakat.
f. Karakteristik dari pelaku yang perlu dikendalikan atau diawasi dengan
sanksi negatif itu.
g. Keinginan masyarakat atau dukungan sosial terhadap perilaku yang
akan dikendalikan.
40 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana , (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal.
108.
42
Terdapat 4 (empat) hal yang harus dipenuhi agar hukum dapat
berlaku efektif dalam arti mempunyai dampak positif, m enurut
Soerjono Soekanto yaitu:
a. Hukum positif yang tertulis yang ada harus mempunyai taraf
sinkronisasi vertikal dan horisontal yang jelas.
b. Para penegak hukum harus mempunyai kepribadian yang baik dan
dapat memberikan teladan dalam kepatuhan hukum.
c. Fasilitas yang mendukung proses penegak hukum harus memadai.
d. Warga masyarakat harus dididik agar dapat mematuhi hukum. 41
Keterbatasan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal
terungkap pula dari pendapat beberapa sarjana antara lain:
a. Rubin menyatakan bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya, apakah
dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki), sedikit atau
tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan.
b. Schultz menyatakan bahwa naik turunnya kejahatan di suatu Negara
tidaklah berhubungan dengan perubahan-perubahan di dalam
hukumnya atau kecenderungan-kecenderungan dalam putusan-putusan
pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya
perubahanperubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat.
c. Karl O. Christiansen pada waktu membicarakan beberapa
pertimbangan mengenai kemungkinan suatu politik criminal yang
41 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana
Penjara, (Semarang: Ananta, 1994), hal. 117-118
43
rasional, mengemukakan antara lain: “Pengaruh pidana terhadap
masyarakat luas sangat sulit diukur. Pengaruh itu terdiri dari sejumlah
bentuk aksi dan reaksi yang berbeda dan saling berkaitan erat, yang
disebut dengan berbagai macam nama, misalnya pencegahan
(deterrence), pencegahan umum (general prevention), memperkuat
kembali nilai-nilai moral (reinforcement of moral values), memperkuat
kesadaran kolektif (strengthening the collective solidarity),
menegaskan kembali/memperkuat rasa aman dari masyarakat
(reaffirmation of the public feeling of security), mengurangi atau
meredakan ketakutan (alleviation of fears), melepaskan ketagangan-
ketegangan agresif (release of aggressive tensions) dan sebagainya.
d. Donald R. Taft dan Ralph W. England pernah menyatakan, bahwa
efektivitas hukum pidana tidak dapat diukur secara akurat. Hukum
hanya merupakan salah satu kontrol sosial. Kebiasaan, keyakinan
agama, dukungan dan pencelaan kelompok, penekanan dari kelompok-
kelompok interest dan pengaruh dari pendapat umum merupakan
sarana-sarana yang lebih efesien dalam mengatur tingkah laku manusia
daripada sanksi hukum. 42
Menurut Sudarto karena terjadinya kejahatan disebabkan penyebab
yang sangat kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana, maka
wajar hukum pidana mempunyai keterbatasan kemampuan untuk
menanggulanginya dan menurutnya penggunaan hukum pidana merupakan
42 Barda Nawawi Arief, Op.cit. hal. 3-4.
44
penanggulangan satu gejala (kurieren am symptom) dan bukan penyelesaian
dengan menghilangkan sebab-sebabnya. Jadi keterbatasan hukum pidana
selama ini juga disebabkan oleh sifat/hakikat dan fungsi dari hukum pidana
itu sendiri, karena sanksi hukum pidana bukanlah obat (remedium) untuk
mengatasi sebab-sebab (sumber) penyakit, melainkan sekedar untuk
mengatasi gejala/ akibat dari penyakit. Dengan kata lain sanksi hukum
pidana bukanlah merupakan pengobatan kausatif melainkan hanya sekedar
“pengobatan simptomatik” dan dengan pengobatan simptomatik berupa
“sanksi pidana” ini masih mengandung banyak kelemahan sehingga masih
selalu dipersoalkan keefektifannya. 43
2. Penanggulangan Kejahatan Tanpa Hukum Pidana (Upaya Non Penal)
Menurut Barda Nawawi Arief, bahwa upaya penanggulangan lewat
jalur non penal ini bisa juga disebut sebagai upaya yang dilakukan melalui
jalur di luar hukum pidana. Upaya ini merupakan upaya penanggulangan
yang lebih menitikberatkan pada sifat preventif, yakni tindakan yang berupa
pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Melalui upaya nonpenal ini
sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab
terjadinya kejahatan, yakni meliputi masalah-masalah atau kondisi-kondisi
sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau
menumbuhsuburkan kejahatan.44
43 Ibid, hal. 72 44 Ibid, hal. 46.
45
Kebijakan non-penal (non-penal policy) merupakan kebijakan
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana di luar hukum
pidana. Kebijakan melalui saran non-penal dapat dilakukan dalam bentuk
kegiatan seperti: penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka
mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat; penggarapan
kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama, dan
sebagainya; peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja; serta
kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara berkelanjutan oleh polisi
dan aparat keamanan lainnya. Kebijakan non-penal ini dapat meliputi
bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial, dimana
tujuan utamanya memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara
tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan
demikian, maka kegiatan preventif melalui sarana non-penal sebenarnya
mempunyai kedudukan yang sangat strategis, memegang posisi kunci yang
harus diintensifkan dan diefektifkan untuk mewujudkan tujuan akhir dari
politik kriminal.45
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal”
lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka
sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab
terjadinya kejahatan Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada
masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau
45 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana , (Bandung: Alumni, 2010),
hal. 159.
46
tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan.
Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan
global, maka upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis
dari keseluruhan upaya politik kriminal. Di berbagai Kongres PBB
mengenai “The Prevention of Crime and Treatment of Offenders”
ditegaskan upaya-upaya strategis mengenai penanggulangan sebab-sebab
timbulnya kejahatan. 46
Upaya non penal dapat pula digali dari berbagai sumber lainnya yang
juga mempunyai potensi efek-preventif, misalnya media pers/media massa,
pemanfaatan kemajuan teknologi (dikenal dengan istilah techno-
prevention) dan pemanfaatan potensi efek-preventif dari aparat penegak
hukum. Mengenai yang terakhir ini, Sudarto pernah mengemukakan, bahwa
kegiatan patroli dari polisi yang dilakukan secara kontinu termasuk upaya
non penal yang mempunyai pengaruh preventif bagi penjahat (pelanggar
hukum) potensial. Sehubungan dengan hal ini, kegiatan razia/operasi yang
dilakukan pihak kepolisian di beberapa tempat tertentu dan kegiatan yang
berorientasi pada pelayanan masyarakat atau kegiatan komunikatif edukatif
dengan masyarakat, dapat pula dilihat sebagai upaya non penal yang perlu
diefektifkan.47
46 M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 20 47 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan , (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 48
47
Penjelasan di atas pada dasarnya ingin menekankan bahwa upaya non
penal yang paling strategis adalah segala upaya untuk menjadikan
masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang sehat
(secara materil dan immateril) dari faktor-faktor kriminogen (sebab-sebab
terjadinya kejahatan). Ini berarti, masyarakat dengan seluruh potensinya
harus dijadikan sebagai faktor penangkal kejahatan atau faktor anti
kriminogen yang merupakan bagian integral dari keseluruhan politik
kriminal.
Menurut IS Heru Permana,48 di samping kebijakan yang bersifat penal,
penanggulangan kejahatan jauh lebih efektif jika dilakukan de ngan
kebijakan non penal. Di samping negara masyarakat dapat pula berusaha
melalui upaya-upaya sosial, seperti dalam bidang pendidikan, perbaikan
taraf hidup anggota masyarakat.
Upaya non-penal merupakan suatu pencegahan kejahatan, dimana
dilakukan sebelum kejahatan itu terjadi, sehingga upaya ini lebih dikenal
dengan upaya yang sifatnya preventif atau pencegahan. Hal ini seharusnya
harus lebih diutamakan daripada upaya yang sifatnya represif. Ada pendapat
yang mengatakan bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati.
Demikian pula W.A. Bonger mengatakan:
Dilihat dari efisiensi dan efektifitas upaya pencegahan lebih baik daripada
upaya yang bersifat represif. Dalam dunia kedokteran crim inal telah
disepakati suatu pemikiran bahwa mencegah kejahatan adalah leb ih baik
48 IS Heru Permana, Politik Kriminal, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2007), hal.12
48
daripada mencoba mendidik penjahat menjadi baik kembali, lebih baik
disini juga berarti lebih mudah, lebih murah dan lebih mencapai
tujuannya.49
Salah satu kelebihan penanggulangan kejahatan di luar jalur hukum
pidana (non penal) adalah dapat digunakan untuk mengatasi faktor-faktor
kriminogen. Beberapa catatan kongres PBB tentang “ the Prevention of
Crime and the Treatment of Onffenders” tersebut, memberi kesan bahwa
kondisi sosial, ekonomi, budaya serta strukural masyarakat dianggap
bertanggung jawab timbulnya kejahatan (krim inogen). Konsekuensi
pendekatan yang demikian itu sudah barang tentu mewarnai pula usaha -
usaha penanggulangan kejahatan di masyarakat. Ini berarti bahwa
penanggulangan kejahatan yang hanya semata-mata menggunakan hukum
pidana yang diwujudkan oleh sistem peradilan pidana tidak akan mampu,
untuk itu perlu diterapkannya tindakan-tindakan yang dapat menjangkau
serta mengatasi faktor-faktor kriminogen tersebut. Faktor-faktor
kriminogen yang pada hakekatnya bersifat kemasyarakatan yaitu dirasakan
perlunya untuk mengkaitkan politik kriminal (criminal policy) dengan
politik sosial (social policy), atau dengan kata lain di dalam politik social
perlu dimasukkan pula politik kriminal. Dari jenis-jenis tindakan-tindakan
non penal tampaknya perlu lebih dikedepankan guna menunjang tindakan-
49 W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi Pembangunan , (Bogor: Ghalia Indonesia, 1995),
hal. 167.
49
tindakan penerapan hukum pidana yang diwujudkan melalui sistim
peradilan pidana.
Kebijakan non-penal ini mempunyai kelebihan-kelebihan untuk
menanggulangi masalah kejahatan karena langsung menyentuh ke akar
permasalahan dari kejahatan yaitu sebab-sebab terjadinya kejahatan.
Kebijakan non-penal meliputi bidang yang sangat luas karena
mencakuphampir seluruh bidang kehidupan masyarakat. Kebijakan non
penal mempunyai daya pencegah (preventif) terjadinya kejahatan sehingga
memiliki nilai yang strategis untuk menanggulangi masalah kejahatan.
Konsepsi yang demikian ini juga terdapat di dalam Kongres PBB ke -6 tahun
1980 di dalam resolusinya mengenai Crime Trends and Crime Prevention
Strategies yang antara lain dikemukakan:
a. Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian
kualitas hidup yang pantas bagi semua orang ( the crime problem
impodes progress towards the attainment of an acceptable quality of
life for all people);
b. Bahwa strategis pencegahan kejahatan harus didasarkan pada
penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan
kejahatan (crime prevention strategies should be based upon the
elimination of causes and conditions giving rise to crime );
c. Bahwa penyebab utama dari kejahatan di banyak negara ialah
ketimpangan sosial, deskriminasi rasial dan nasional, standar hidup
yang rendah, pengangguran dan kebutahurufan di antara golongan
50
besar penduduk (the main causes of crime in many countries are social
in equality, racial and national discrimination, law standard of liv ing,
unemployment and illiteracy among broad sections of the
population).50
E. Pengertian Penegakan Hukum
Pengertian penegakan hukum dapat juga diartikan
penyelenggarakan hokum oleh petugas penegak hukum dan oleh setiap
orang yang mempunyai kepentingan sesuai dengan kewenangannya
masing-masing menurut aturan hukum yan berlaku. Penegakan hukum
pidana merupakan satu kesatuan proses diawali dengan penyidikan,
penangkapan, penahanan, peradilan terdakwa dan diakhiri dengan
pemasyarakatan terpidana.
Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah
mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir.
untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup. 51 Penegakan hukum pidana adalah penerapan hukum
pidana secara konkrit oleh aparat penegak hukum.
Dengan kata lain, penegakan hukum pidana merupakan pelaksaan
dari peraturan-peraturan pidana. Dengan demikian, penegakan hukum
50 Sudarto, Op. Cit, hal. 113-116 51 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum , (Jakarta:
Rajawali,1983) hal. 35.
51
merupakan suatu sistem yang menyangkut penyerasian antara nilai dengan
kaidah serta prilaku nyata manusia. Kaidah-kaidah tersebut kemudian
menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku atau tindakan yang dianggap
pantas atau seharusnya. Perilaku atau sikap tindak itu bertujuan untuk
menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian.
Menurut Moeljatno menguraikan berdasarkan dari pengertian istilah
hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu
negara yang mengadakan unsur-unsur dan aturan-aturan, yaitu:52
a. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh di lakukan dengan
di sertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa
yang melanggar larangan tersebut.
b. Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar
laranganlarangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana
yang telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan
tersebut.
F. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang tidak pernah
henti-hentinya dibicarakan. Istilah penegakan hukum mempunyai konotasi
menegakkan, melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di
52 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Surabaya: Putra Harsa,1993). hal. 23.
52
dalam masyarakat, sehingga dalam konteks yang lebih luas penegakan
hukum merupakan perwujudan konsep-konsep yang abstrak menjadi
kenyataan. Di dalam proses tersebut, hukum tidaklah mandiri, artinya ada
faktor-faktor lain yang erat dengan proses penegakan hukum tersebut yang
harus ikut serta, yaitu masyarakat itu sendiri dan penegak hukumnya. Dalam
hal ini hukum tidak lebih hanya ide-ide atau konsep-konsep yang
mencerminkan didalamnya apa yang disebut dengan keadilan, ketertiban
dan kepastian hukum yang dituangkan dalam bentuk perundang-undangan
dengan maksud mencapai tujuan tertentu. Namun demikian, tidak berarti
pula peraturan-peraturan hukum yang berlaku diartikan telah lengkap dan
sempurna, melainkan suatu kerangka yang masih memerlukan
penyempurnaan. Untuk merealisasikan tujuan hukum tersebut, sangat
ditentukan
tingkat profesionalisme aparat penegak hukum, yang meliputi kemampuan
dan keterampilan baik dalam menjabarkan peraturan-peraturan maupun di
dalam penerapannya.
Menurut Soerjono Soekanto penegakan hukum bukan semata -mata
pelaksanaan perundang-undangan saja, terdapat faktor yang
mempengaruhinya yaitu:
1. Faktor hukumnya sendiri.
2. Faktor Penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
53
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum itu tersebut
berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergumulan hidup 53.
Apabila kelima faktor tersebut dijadikan barometer didalam penegakan
hokum untuk melihat faktor penghambat dan pendorong di dalam
pelaksanaan tugasnya.
53 Soerjono Soekanto, Op. Cit, hal. 5.
top related