2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id filekarang di Indonesia adalah Gobiidae (272 spesies), Labridae (178), Apogonidae ... Indonesia merupakan eksportir terbesar di dunia untuk
Post on 18-Mar-2019
215 Views
Preview:
Transcript
9
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum Perikanan Ikan Hias Laut di Indonesia
Indonesia merupakan pusat keragaman hayati laut dunia yang kaya akan
spesies ikan karang. Menurut Allen dan Adrim (2003), di Indonesia terdapat 2057
spesies ikan karang yang terbagi kedalam 113 famili. Sembilan famili utama ikan
karang di Indonesia adalah Gobiidae (272 spesies), Labridae (178), Apogonidae
(114), Bleniidae (107), Serranidae (102), Muraenidae (61), Syngnathidae (61),
Chaetodontidae (59), dan Lutjanidae (43).
Perdagangan ikan hias laut di Indonesia dimulai sejak awal era 70an atau
mungkin lebih awal. Saat ini Indonesia merupakan negara pengekspor utama ikan
hias laut. Nilai ekspor pada tahun 1993 sebesar US$ 5,5 juta dengan negara
tujuan utama Amerika dan Eropa (Wood 2001a).
Indonesia merupakan eksportir terbesar di dunia untuk sumberdaya laut
dalam memenuhi kebutuhan industri akuarium dan telah sangat bergantung pada
kegiatan pengambilan langsung di alam. Karena posisinya di khatulistiwa,
Indonesia berada pada posisi yang strategis dalam mensuplai spesies-spesies laut
bagi Eropa, Amerika Utara dan Asia dalam 25 tahun terakhir (Reksodihardjo dan
Lilley 2007).
Perdagangan biota laut untuk akuarium telah memanfaatkan kondisi
Indonesia yang strategis di dunia. Akan tetapi patut disayangkan bahwa terlalu
banyak pihak yang terlibat di dalam industri ini yang berasumsi bahwa suplai dari
alam tidak terbatas. Industri ini telah menarik ribuan nelayan pesisir untuk
memiliki penghasilan tambahan dengan menjadi nelayan kolektor sumberdaya
laut untuk kebutuhan industri akuarium. Sebagian besar dari nelayan tersebut
tidak mengenyam pendidikan dan tidak memiliki pekerjaan, para nelayan dipaksa
bertahan dengan harga jual yang rendah, kondisi kerja yang buruk, kelumpuhan
dan kematian akibat kegiatan penangkapan, untuk memenuhi kepuasan pasar yang
terus berkembang (Reksodihardjo dan Lilley 2007).
Walaupun Indonesia merupakan eksportir terbesar, akan tetapi data
perdagangan ikan hias laut Indonesia sampai saat ini sangat terbatas. Sangat
10
sedikit catatan perdagangan yang ada sebelum kurun waktu tahun 2000, selain itu
Kementrian Kelautan dan Perikanan tidak pernah mensyaratkan para
pengusaha/pedagang untuk memasukkan data perdagangan ikan hias laut mereka
(Lilley 2008). Ekspor ikan hias laut dari Indonesia menunjukkan peningkatan
setiap tahun (Dufour 1997). Terdapat sebanyak 280 jenis ikan karang yang
dimanfaatkan sebagai ikan hias (Anonim 2001). Berdasarkan basis data yang
dipublikasikan oleh Global Marine Aquarium Database (http://www.unep-
wcmc.org/marine/GMAD/data.html), sejak tahun 1993-2003 tercatat sebanyak
464 spesies ikan hias laut yang di ekspor dari Indonesia, dengan jumlah total lebih
dari 900 ribu ekor.
Salah satu jenis ikan hias laut di Indonesia yang merupakan primadona di
pasar akuarium dunia adalah Ikan Banggai Cardinalfish. Ikan Banggai
Cardinalfish atau di kalangan nelayan dan eksportir ikan hias dikenal dengan
nama Ikan Capungan Ambon atau Capungan Banggai termasuk ke dalam jenis
ikan laut dari suku Apogonidae (Wijaya 2010). Banggai Cardinalfish menjadi
pepuler di kalangan penggemar akuarium karena tampilannya yang menarik, daya
tahan yang baik di dalam akuarium, dan siap dibesarkan di penangkaran (Helfman
2007).
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Roberts dan Hawkins (1999),
seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap jenis ikan ini sejak awal 1990
tetapi dengan rentang geografis yang terbatas, fekunditas rendah, dan
penangkapan yang intensif menghasilkan dugaan yang mengkhawatirkan terhadap
keberadaan ikan ini di alam. Mereka menyatakan kemungkinan ikan jenis ini akan
punah dari alam, dan Allen (2000) mengusulkan untuk memasukan ikan ini ke
dalam IUCN Red List.
Wijaya (2010) melakukan kajian terhadap kegiatan pemanfaatan Ikan
Banggai Cardinalfish dan menemukan bahwa tingkat pemanfaatan jenis ikan ini
berdasarkan data yang didapatkan dari Bone Baru, Mbato mbato, Tolokibit dan
Pulau Bandang (Pulau Banggai, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi
Tengah) masih berada di bawah angka potensi tangkap lestarinya. Ikan ini
ditangkap dengan metode yang masih tergolong ramah lingkungan, akan tetapi
cara pengoperasian masih berpotensi mengakibatkan kerusakan terumbu karang
11
meskipun dalam skala yang relatif kecil. Sedangkan tata niaga ikan Banggai
Cardinal dari nelayan hingga eksportir rantainya masih terlalu panjang sehingga
peluang kematian relatif tinggi dan harga di tingkat nelayan menjadi rendah.
Banggai Cardinalfish adalah salah satu ikan laut tropis yang mudah untuk
dikembangbiakan dalam penangkaran dan ikan hasil pengembangbiakan tersedia
secara luas. Banggai Cardinalfish hasil penangkaran dijual dengan harga US$
12,50-15,00, sedangkan ikan yang ditangkap langsung dari alam dijual pada
kisaran harga US$ 6-8 (Helfman 2007).
2.2 Kegiatan Penangkapan Ikan Hias Laut
Ikan hias laut dapat ditangkap dengan menyelam bebas (snorkelling), tetapi
lebih umum menggunakan alat SCUBA dan kompresor hookah. Jika nelayan
secara kebetulan menangkap ikan hias di alat perangkap mereka, mereka akan
menjualnya kepada pengumpul ikan hias karena harganya yang lebih tinggi
dibandingkan sebagai ikan konsumsi. Nelayan kolektor ikan hias dapat
merupakan nelayan paruh waktu maupun sebagai nelayan ikan hias penuh, bekerja
sendiri atau bekerja untuk pengumpul atau eksportir (Wood 2001b).
Tekanan pasar telah mengarahkan kegiatan penangkapan ikan hias laut.
Importir sering meminta jenis-jenis tertentu seperti ikan anemon dan cleaner
wrasse (Labroides sp.) yang permintaan pasarnya selalu ada. Ikan-ikan tersebut
menjadi target yang selalu ditangkap karena adanya garansi semu dari eksportir
bahwa ikan pasti terjual. Di sisi lain jika terdapat jenis ikan dengan daya jual
rendah, eksportir selalu meminta nelayan untuk tidak mengirimkan suplai (Wood
2001b).
Saat menangkap ikan, nelayan biasanya memburu individu ikan ataupun
suatu gerombolan ikan (Helfman 2007). Menurut Wood (2001b), saat ini jaring
merupakan alat utama bagi nelayan penangkap ikan hias dengan dibantu sebuah
tongkat yang berfungsi untuk memancing ikan keluar dari persembunyiannya lalu
menggiring nya ke dalam jaring. Hand net (serok) dan barrier net adalah yang
paling umum digunakan dan biasanya terbuat dari jaring mono-filamen dengan
ukuran mata jaring berkisar dari 3-28mm, sedangkan diameter serok yang
digunakan berkisar antara 10 – 50 cm (Gambar 2).
Rata
menangka
sebanyak
50 ekor (W
dari 50 ne
perikanan
Gambar 2
Peng
beberapa
penggunaa
tetapi pen
mengguna
ditangkap
seekor ika
liver akib
syndrome
mengalam
Men
masalah d
kedalam ti
atau tidak
a-rata nelay
ap sekitar 20
24-36 ekor,
Wood 2001
egara produ
ini menjad
Illustrasi (sumber:
ggunaan sia
tempat m
an bahan k
nggunaanny
akan jaring
dengan m
an dapat ma
bat racun si
(SDS), yai
mi stress (He
nurut Sadov
dengan mor
iga jenis ya
sengaja (in
yan yang me
0-25 ekor ik
, Australia s
1b). Akan
usen ikan h
i sulit (Helf
proses penwww.teran
anida untuk
meskipun
kimia lain
ya relatif
(Wood 200
menggunakan
ati secara tib
ianida. M
itu kematian
elfman 2007
vy (2002),
rtalitas ikan
aitu: kemati
ncidental), d
elakukan pe
kan per hari
sebanyak 20
tetapi tidak
hias laut, m
fman 2007)
angkapan ikgi.or.id).
k menangk
merupakan
yang ditaw
lebih maha
01b). Rata
n sianida m
ba-tiba saat
asalah lain
n ikan seca
7).
kegiatan p
n hasil tan
an tiba-tiba
dan kematia
enangkapan
i, berdasark
0-45 ekor, d
k adanya da
membuat ke
.
kan hias lau
ap ikan hia
n kegiatan
warkan adal
al dibandin
a-rata tingka
mencapai 8
diberi maka
n yaitu adan
ara tiba-tiba
erdagangan
ngkapan yan
a (instaneou
an tertunda (
n mengguna
kan observas
dan Sri Lank
ata CPUE d
ebijakan pen
ut dan alat
as laut mas
yang ile
lah minyak
ngkan deng
at kematian
80%. Di d
an karena a
nya masala
a di dalam a
n ikan hias
ng biasany
us), kematia
(delayed).
akan jaring
si di Cook I
ka sebanyak
dari sekitar
ngelolaan s
yang digun
sih dilakuk
egal. Alte
k cengkeh,
gan menan
n ikan hias
dalam akua
danya kerus
ah sudden
akuarium k
laut meng
ya dikelomp
an akibat by
12
dapat
Island
k 30 -
lebih
sektor
nakan
kan di
ernatif
akan
ngkap
yang
arium,
sakan
death
karena
alami
pokan
ycatch
13
Ikan target yang mati selama proses penangkapan diakibatkan oleh
penanganan yang buruk maupun praktek penangkapan yang merusak, sehingga
menyebabkan hilangnya potensi keuntungan bagi nelayan. Keadaan ini
merupakan bentuk ‘pemborosan’ dimana ikan yang mati akan digantikan oleh
dengan ikan yang baru pada kegiatan penangkapan berikutnya, sehingga
meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya. Kematian akibat bycatch atau
incidental terjadi pada ikan non target dan terjadi pada semua kegiatan perikanan
tangkap pada tingkatan tertentu. Karena kegiatan perikanan ikan hias laut
cenderung menangkap ikan secara individual (satu per satu), bycatch relatif sangat
kecil, terutama jika tidak menggunakan praktek penangkapan yang merusak.
Kematian tertunda terjadi pada tahap penanganan setelah ikan ditangkap, biasanya
pada tahapan penyimpanan dan transportasi. Kematian ini diakibatkan karena
ikan mengalami stress sejak proses ikan ditangkap hingga tahap pengiriman,
kelaparan, dan kualitas air yang buruk (Helfman 2007).
Menurut Rubec et al. (2001), perdagangan ikan karang hias yang ditangkap
menggunakan jaring dimungkinkan secara ekonomi. Hal ini dapat dicapai jika
mortalitas ikan dapat ditekan secara signifikan pada setiap tahapan pengiriman,
sejak dari nelayan hingga penjual akhir (retailer) serta sekaligus menerapkan pola
yang hemat biaya. Penangkapan ikan menggunakan jaring akan dapat
meminimalisasi stress pada ikan yang berhubungan dengan proses penanganan
dan pengiriman.
2.3 Dampak Kegiatan Industri Akuarium
Terumbu karang sangat luas, sebagian besar populasi berada dalam jumlah
besar, dan hanya sebagian kecil individu yang dikoleksi untuk industri akuarium.
Meskipun begitu, beberapa spesies ikan yang secara alami memiliki kelimpahan
yang rendah mungkin memiliki tingkat predasi yang rendah dan tingkat regenerasi
yang rendah, sehingga rentan terhadap penangkapan berlebih. Sebagai contoh
Ikan Lepu Ayam (Pterois sp.) tidak pernah ditemukan dalam jumlah banyak,
terlindung dari predator, tetapi merupakan target utama penangkapan untuk ikan
hias. Ikan anemon dan cleaner wrasse terancam karena sangat populer. Ikan
anemon juga semakin tertekan karena hidup berasosiasi dengan hewan anemon
14
yang juga merupakan target koleksi untuk akuarium. Lambatnya proses
reproduksi pada kedua ikan ini semakin menekan keberadaannya di alam
(Helfman 2007).
Masalah lain yang dihadapi adalah intensitas penangkapan yang terjadi di
semua kelompok usia ikan. Juvenil adalah kelompok usia ikan yang sering
menjadi target industri akuarium. Chan dan Sadovy (1998) mengestimasi bahwa
sekitar 56% dari hewan hias yang dijual di Hong Kong adalah juvenil, dimana hal
ini akan mempercepat laju penurunan populasi dan ketidakseimbangan ekosistem.
Edwards dan Shepherd (1992) menggunakan metode sensus visual untuk
mengestimasi kepadatan populasi dan potensi lestari untuk spesies akuarium di
Maldives. Mereka menyimpulkan bahwa 12 spesies dieksploitasi melebihi tingkat
lestarinya, dan 12 lainnya akan mengalami overeksploitasi jika ekspor
ditingkatkan menjadi tiga kali lipat dibanding tahun 1989 yaitu sebesar 54.000
ekor ikan setiap tahunnya.
Tissot dan Hallacher (2003) menemukan bahwa tujuh dari sepuluh ikan
target mengalami penurunan kelimpahan yang signifikan di lokasi penangkapan
yang berkisar antara 38% hingga 75%, sedangkan 2 dari 9 spesies yang memiliki
kesamaan ekologi tetapi bukan merupakan ikan target menunjukan adanya
penurunan jumlah di lokasi penangkapan di pesisir Kona, Hawaii. Lebih jauh,
meskipun terjadi penurunan sebesar 32% dari ikan herbivora, tidak ditemukan
perbedaan kepadatan makro alga antara daerah penangkapan dan daerah kontrol.
Melalui wawancara dengan nelayan lokal, Kolm dan Berglund (2003)
menemukan dampak negatif yang signifikan akibat tekanan penangkapan ikan
terhadap kepadatan Ikan Banggai Cardinalfish. Keadaan ini mengkhawatirkan
karena sifat ikan Banggai Cardinalfish yang memiliki pola sebaran yang terbatas.
Hal ini membuktikan bahwa meskipun metode penangkapan yang digunakan
merupakan metode yang tidak merusak, kegiatan perdagangan ikan untuk
akuarium telah mengakibatkan dampak parah terhadap populasi di alam.
Terminologi ‘metode penangkapan yang tidak merusak’ mungkin mengakibatkan
persepsi yang keliru dalam kaitannya dengan konservasi sumberdaya ikan karang.
Perdagangan ikan hias laut jika dilakukan secara lestari, bebas dari metode
yang merusak, dan tidak metargetkan spesies ikan konsumsi dapat memberikan
15
keuntungan bagi negara-negara di daerah tropis khususnya bagi desa-desa kecil
dan terpencil. Kegiatan ini dapat memberikan lapangan pekerjaan,
mempromosikan kegiatan konservasi, dan mengurangi tekanan terhadap
sumberdaya ikan dan sumberdaya laut lainnya (Helfman 2007).
Dari sudut pandang sosial-ekonomi, Dufour (1997) mengkalkulasi bahwa
setiap 100.000 ikan yang diekspor dalam perdagangan akuarium telah
menciptakan 10-20 lapangan kerja, menghasilkan pendapatan tahunan sebesar
US$ 200.000. Dengan mengekstrapolasi nilai tersebut terhadap 15-40 juta ekor
ikan yang diekspor setiap tahunnya, perdagangan dapat mencapai nilai US$30 -
60 juta bagi ekonomi lokal, menyerap tenaga kerja sebanyak 1.500 - 3.000 orang.
2.4 Pengelolaan Ikan Hias Laut Melalui Pembatasan Jumlah Tangkapan
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Gasparini et al. (2005), ada 8
pendekatan yang dapat dilakukan bagi pengelolaan kegiatan perikanan hias, yaitu:
(1) pembatasan jenis yang diperdagangkan; (2) memprioritaskan kajian terhadap
spesies-spesies yang utama dimanfaatkan; (3) membangun sistem kuota berbasis
spesies; (4) pembatasan ukuran; (5) mempromosikan metode panangkapan dan
perlakuan penanganan yang baik; (6) melindungi jenis-jenis langka maupun
spesies kunci; (7) sistem pencatatan dan pelaporan yang baik oleh penjual; dan (8)
membuat panduan lapangan yang berupa foto atau gambar dari spesies-spesies
yang dimanfaatkan, untuk membantu pihak-pihak yang melakukan monitoring
aktivitas pemanfaatan dan perdagangan.
Di Republik Maladewa, berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Edwards
(1988) dalam Wood (2001b) kuota total sebanyak 100.000 ekor ikan ditetapkan
pada tahun 1988 dan 1989. Kuota berbasis spesies pun ditetapkan pada beberapa
spesies yang rentan terhadap eksploitasi berlebih atau tingkat pemanfaatannya
mendekati MSY.
Lebih jauh, Saleem dan Islam (2009) menyatakan bahwa Republik
Maladewa menerapkan suatu sistem ketegorisasi dalam menetapkan kuotanya.
Kategori A terdiri dari 17 spesies yang dilarang untuk ekspor. Kategori A
diantaranya terdiri dari spesies yang memiliki daya tahan rendah di akuarium,
seperti Chaetodon meyeri, C. trifasciatus, dan C. triangulum. Kategori B terdiri
16
dari 66 spesies yang memiliki kuota tangkap. Kategori C terdiri dari 71 spesies
yang dapat diekspor secara bebas hingga mencapai jumlah total 300.000 ekor.
Studi pendugaan stok alami ikan hias laut, harus menjadi pertimbangan
utama jika pengambilan terhadap ikan ini terus meningkat secara signifikan.
Disamping itu, untuk mencegah kemungkinan terjadinya penangkapan berlebih
juga diperlukan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) untuk
menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (kuota) terhadap ikan dengan
nilai jual tinggi tetapi kelimpahannya rendah (Dufour, 1997).
Kuota harus ditetapakan berdasarkan spesies (seperti penetapan 100, 1.000,
atau 10.000 ekor ikan). Kuota tersebut harus ditetapkan setelah verfikasi stok
alami yang ada terhadap suatu spesies dan juga mempertimbangkan ancaman atau
dampak yang ada jika spesies ikan tersebut diambil (Dufour, 1997).
Pengelolaan stok ikan dapat diduga dari populasi yang telah diambil, yaitu
jumlah total ikan yang ditangkap. Namun demikian, terkadang kelimpahan ikan
sangat kontradiktif terhadap pendugaan stok melalui jumlah ikan yang telah
diambil. Salah satu prinsip utama dalam pendugaan fluktuasi stok ikan hias laut
adalah jumlah larva yang berada di karang, karena hal tersebut sangat mewakili
jumlah produksi ikan yang sebenarnya. Dalam perdagangan ikan hias laut
pendugaan stok dilakukan berdasarkan jumlah spesimen dan bukan biomassa,
sehingga tingkat kolonisasi merupakan teori yang digunakan untuk penentuan
batas pengambilan maksimum (Dufour, 1997). Namun demikian, untuk beberapa
spesies jumlah kolonisasi larva yang terdapat di suatu pulau dalam satu tahun
tergantung kepada bagaimana larva tersebut dapat bertahan dengan baik di lautan,
sehingga tidak bisa digunakan untuk memprediksi figur pulau lain berdasarkan
suatu pulau. Untuk skala waktu dan ruang yang kecil, tingkat kolonisasi lebih
mudah diprediksi berdasarkan spesies (Dufour, 1997).
Pengelolaan perikanan umumnya dilakukan berdasarkan biomassa optimal
dan tidak berdasarkan jumlah spesimen hasil tangkapan, sehingga besar
kemungkinan jumlah anak ikan yang tertangkap sangat banyak dan 90% akan
hilang sebelum dewasa. Pengelolaan seperti ini hanya melindungi jumlah stok
ikan dewasa (Dufour, 1997).
17
Model perikanan tradisional belum berhasil mengatasi beberapa faktor
kesalahan dalam pengelolaan. Para peneliti perikanan kembali menduga bahwa
metode konvensional terutama dalam aplikasi untuk spesies dengan pertumbuhan
cepat di daerah tropis tidak dapat dirancang dengan dana terbatas untuk
melakukan pendugaan secara reguler terhadap populasi ikan target (Hodgson dan
Ochavillo 2006).
Batasan-batasan dari asumsi yang ada pada teori model perikanan dan
kurangnya data perdagangan hewan hias, kelimpahan ikan taget yang rendah dan
variasi kelas ukuran menjadi suatu peluang untuk mengembangkan model
perikanan. Edwards dan Shepherd (1998) mengusulkan pendekatan untuk
pemanfataan ikan secara lestari dalam perdagangan akuarium. Mereka melakukan
penghitungan kuota berdasarkan densitas (kelimpahan) ikan yang dihasilkan
berdasarkan survei potensi dan populasi ikan karang serta estimasi skala total area
kawasan terumbu karang. Berdasarkan fakta bahwa terumbu karang bukan
merupakan habitat karang saja, maka kawasan terumbu karang diberikan nilai 0,5
untuk variabilitasnya. Selanjutnya berdasarkan formulasi dari Gulland (1971)
yang menyatakan bahwa MSY adalah bagian dari biomassa yang tidak
tereksploitasi, MSY diasumsikan tercapai dalam batas 66%. Faktor mortalitas
alami dengan menggunakan panjang ikan infinity (L∞) dan suhu perairan juga
menjadi parameter untuk perhitungan kuota. Sehingga diperoleh persamaan Q =
M (0,5 x D) (0,5) (0,66) dimana Q adalah kuota, M adalah mortalitas alami dan D
adalah densitas ikan.
Menurut Satriya (2009), pada eksploitasi dengan prinsip kehati-hatian
(precautionary principle), maka studi tentang jumlah tangkapan yang
diperbolehkan (JTB) mutlak dilakukan pada setiap penelitian pendugaan status
suatu perikanan. JTB sendiri berarti besarnya atau banyaknya sumber daya ikan
(SDI) yang boleh ditangkap dengan memperhatikan keamanan kelestariannya di
wilayah perikanan Republik Indonesia (Kepmentan No.995 /Kpts/IK.210/9/99).
Estimasi JTB adalah sebesar 80% dari nilai maximum sustainable yield (MSY).
Selanjutnya menurut Wiadnya et al. (2006), tujuan kebijakan dan pengelolaan
perikanan Indonesia mempertimbangkan prinsip kehari-hatian dengan
menetapkan tangkapan sebesar 80% dari MSY. Hal ini tertuang dalam Kepmen
18
KP No Kep. 18/Men/2002 tentang rencana strategis pembangunan kelautan den
perikanan 2001-2004.
2.5 Pendekatan Lain Dalam Pengelolaan Perikanan Ikan Hias Laut
Rencana pengelolaan dan regulasi jarang ditemui pada perdagangan untuk
akuarium dibandingkan untuk perikanan karang secara umum (Wood 2001a).
Saat terdapat regulasi yang komprehensif, kepatuhan dan pengawasan cenderung
mengalami masalah, Di Hawaii, hanya 13% dari kolektor yang memiliki ijin yang
memenuhi kewajiban untuk memberikan laporan, meskipun tidak ada langkah
untuk mengkaji keakuratan data yang dilaporkan (Moffie 2002).
Wood (2001b) mengeneralisasi bahwa perikanan ikan hias perlu dikelola
untuk: (1) memastikan keberlanjutannya dan terintegrasi dengan pemanfaatan
sumberdaya lainnya (jenis perikanan lain dan ekowisata); (2) meminimalkan
kematian saat penangkapan dan pasca penangkapan, termasuk tidak menangkap
jenis ikan yang sulit dipelihara di akuarium; dan (3) menyentuh isu sosial-
ekonomi untuk perdagangan yang adil dan seimbang.
Pendekatan lain yang dapat dilakukan adalah dengan metapkan daerah
perlindungan atau zona larang ambil (no take zone). Menurut Friedlander (2001),
daerah perlindungan menawarkan alternatif suatu pendekatan pengelolaan
perikanan yang umumnya bergantung pada pembatasan ukuran tangkap,
pembatasan jumlah tangkapan, pengaturan alat tangkap dan upaya. Dengan daya
jelajah yang terbatas dan tingginya asosiasi antara ikan hias laut dengan
habitatnya menyebabkan daerah perlindungan merupakan strategi yang sangat
efektif dalam mengelola sumberdaya. Hasil kajian dari Hawaii menunjukan
bahwa daerah perlindungan dengan habitat yang beragam dan kompleks dapat
memberikan dampak positif terhadap stok ikan.
Membangun daerah perlindungan yang membatasi kegiatan pemanfaatan
akan memberikan keuntungan pada spesies-spesies ikan hias. Hasil kajian dari
Tissot dan Hallacher (2003) yang menunjukan bahwa pemanfaatan ikan hias laut
yang mengakibatkan penurunan stok telah mendorong pembentukan sembilan
lokasi perlindungan untuk mengembalikan sumberdaya ikan di pesisir barat
19
Hawaii, menempatkan 30% dari wilayah pesisir tertutup bagi pemanfaatan untuk
ikan hias laut.
Pendekatan lain yang saat ini juga sedang gencar dilakukan adalah melalui
sertifikasi. Dalam beberapa tahun terakhir, organisasi perdagangan dan LSM
telah bekerjasama untuk memastikan bahwa biota hias yang ditangkap,
ditransportasikan, dan dijual telah melalui suatu proses yang bertanggung jawab
dan berkelanjutan. American Wildlife Dealer Association (AWDA) telah
menetapkan suatu kode etik dan standar praktis bagi konsumen produk-produk
ikan hias yang dinamakan the Responsible Marine Aquarist yang bertujuan untuk
mendorong para konsumen dapat memilih jenis ikan yang paling sesuai dengan
kondisi akuarium yang mereka miliki (Helfman 2007).
Lecchini et al. (2006) menawarkan sebuah model pemanfaatan ikan hias
melalui perspektif yang berbeda, yaitu dengan menangkap ikan pada fase larva
yang kemudian diasuh dan dibesarkan hingga mencapai ukuran jual. Pendeketan
ini memiliki beberapa keuntungan yaitu: (i) larva ditangkap dengan menggunakan
alat tangkap yang bersifat pasif (crest net) sehingga tidak merusak lingkungan dan
mengurangi stres pada larva; (ii) ikan yang dibesarkan sejak fase larva nantinya
akan terbiasa hidup dalam akuarium sehingga memiliki tingkat ketahanan hidup
(survival rate) yang tinggi saat ikan dipelihara oleh konsumen.
2.6 Analisis Finansial
Analisis finansial adalah suatu analisis yang memiliki tujuan diantaranya
untuk: (i) mengetahui tingkat keuntungan yang dapat dicapai melalui investasi
suatu proyek atau usaha, dan (ii) mengadakan penilaian terhadap peluang investasi
yang ada sehingga kita dapat memilih alternatif yang paling menguntungkan
(Gray et al. 2005).
Analisis finansial terdiri dari dua kelompok analisis, yaitu analisis
kelayakan usaha dan kriteria investasi. Analisis kelayakan usaha yang umum
digunakan adalah analisis pendapatan usaha, analisis rasio pendapatan atas biaya
(R/C), analisis titik impas (break even point) dan analisis rentabilitas (return on
investment) (Kadariyah et al. 1999). Sedangkan analisis kriteria investasi yang
20
umum digunakan adalah analisis net present value (NPV), internal rate of return
(IRR), dan net benefit-cost ratio (Net B/C) (Gray et al. 2005).
2.7 Analisis SWOT
Analisis SWOT merupakan identifikasi berbagai faktor secara sistematis
untuk merumuskan berbagai strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada
logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang
(opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan
(weaknesses) dan ancaman (threats). Proses pengambilan keputusan strategi selalu
berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan perusahaan
(Rangkuti 2004). Analisis SWOT mempertimbangkan faktor internal (internal
factor evaluation/IFE) yaitu strengths dan weaknesses serta faktor eksternal
(external factor evaluation/EFE) yaitu opportunities dan threats yang dihadapi
dunia usaha, sehingga dari analisis tersebut dapat diambil suatu keputusan strategi
pengembangan (Marimin 2004).
Analisis SWOT didahului dengan identifikasi posisi usaha melalui IFE dan
EFE, selanjutnya tahapan analisis matriks SWOT. Proses yang harus dilakukan
dalam pembuatan analisis SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat
melalui berbagai tahapan sebagai berikut:
1) Tahap pengambilan data yaitu evaluasi faktor internal dan eksternal
2) Tahap analisis yaitu pembuatan matriks internal eksternal dan matriks SWOT
3) Tahap pengambilan keputusan.
Analisis SWOT dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari 2
model matriks, yaitu matriks SWOT atau matriks TOWS. Model matriks
mendahulukan faktor-faktor eksternal (ancaman dan peluang), kemudian melihat
kapabilitas internal (kekuatan dan kelemahan). Matriks TOWS menghasilkan 4
strategi (Rangkuti 2004), yaitu:
1) Strategi S-O, memanfaatkan kekuatan untuk merebut peluang.
2) Strategi W-O, memanfaatkan peluang yang ada dengan cara meminimalkan
kelemahan yang ada.
3) Strategi S-T, memanfaatkan kekuatan untuk menghindari atau memperkecil
dampak dari ancaman eksternal.
21
4) Strategi W-T, didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha
memperkecil kelemahan, serta menghindari ancaman.
top related