YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript

Kwik Kian Gie: Subsidi BBM itu Bohong!Posted on Maret 21, 2012 by A Nizami

1 Votes Di bawah adalah tulisan Kwik Kian Gie yang menyatakan Subsidi BBM adalah bohong. Jika kita teliti, itu memang benar. Sesungguhnya biaya produksi minyak dari menggali minyak, kilang, hingga distribusi ke Pom Bensin menurut KKG adalah US$ 10/brl. Ada baiknya kita naikan saja jadi US$ 15/brl untuk memberi keuntungan bagi pendukung Neoliberalisme yang mengatakan Subsidi BBM itu ada. Itu sudah termasuk keuntungan yang cukup besar bagi para operator dan distributor. Taruhlah rate 1 US$ = Rp 10.000 dan 1 barrel = 159 liter. Jika harga minyak Rp 4.500/liter, artinya Rp 715.500/brl atau US$ 71/brl. Jadi dengan biaya produksi hanya US$ 15/brl dan harga jual US$ 71/brl, sebetulnya pemerintah untung US$ 56/brl. Bayangkan jika produksi BBM kita 1 tahun 350 juta barel. Pemerintah untung US$ 19,6 milyar atau Rp 196 trilyun/tahun. Itu kalau pakai harga Subsidi Rp 4.500/liter. Kalau pakai harga Pertamax yang Rp 9000/liter, pemerintah untung Rp 392 trilyun/tahun. Tapi bagaimana dengan harga minyak dunia yang misalnya US$ 120/brl? Bukankah kita rugi US$ 79/brl? Benar kalau kita adalah negara bukan penghasil minyak seperti Singapura atau Jepang yang harus beli minyak dari negara lain. Tapi Indonesia memproduksi sendiri minyaknya sebesar 907 ribu barel/hari. Bahkan mungkin lebih jika tidak dikadali perusahaan minyak asing yang mengelola 90% minyak kita. Sementara kebutuhan BBM Subsidi itu hanya 740 ribu bph. Jadi masih untunglah pemerintah. Mau harga minyak dunia naik sampai US$ 200/brl pun sebetulnya biaya produksi minyak di Indonesia tidak akan berubah. Paling banter cuma US$ 15/brl. Cuma ya itu beda pemikiran ekonom kerakyatan atau Islam dibanding ekonom Neoliberal yang berpihak pada perusahaan-perusahaan minyak asing. Meski untung, mereka tetap bilang rugi. Padahal minyak itu adalah milik bersama rakyat Indonesia. Bukan milik perusahaan minyak atau pemerintah Indonesia. Jadi tak pantas dijual dengan harga Internasional. Simulasi Harga Minyak dalam bentuk XLS bisa didownload di sini: http://www.mediafire.com/?jez4ynm4vzt Kita akan tahu bahwa meski harga minyak dunia US$ 200/brl, Indonesia tetap untung dgn harga Rp 4500/ltr atau US$ 71 brl mengingat biaya produksi hanya US$ 15/brl. Lihat perbandingan beda pandangan antara pemahaman untung/rugi penjualan minyak antara pemikiran Ekonom Islam/Rakyat dengan Ekonom Neoliberal yang dipengaruhi Yahudi. Di zaman Nabi ada Yahudi yang menjual air dengan harga tinggi kepada rakyat. Harap diketahui, hingga sekarang harga air di Arab Saudi lebih mahal daripada harga minyak karena air di sana sangat langka. Namun setelah dibeli ummat Islam sumur airnya, Nabi membagikannya gratis kepada rakyat. Ini karena rakyat harus bisa mendapatkan kebutuhan hidupnya dengan mudah.

Perbandingan di bawah dengan asumsi: 1 barel = 159 liter 1 US$ = Rp 10.000 Produksi minyak Indonesia = 907 ribu bph Kebutuhan BBM Subsidi dgn harga Rp 4500/ltr (US$ 71/brl) = 740 ribu bph HARGA MINYAK DUNIA (US$/BRL) Persepsi Untung/Rugi 60 120 200 400 Ekonom Islam/Rakyat 56 56 56 56 Ekonom Neoliberal 11 -49 -129 -329 Saat harga Minyak Dunia tinggi, kaum Neolib memandang Indonesia rugi. Padahal dibanding biaya produksi yang tetap, sebetulnya untung. Anggito Abimanyu, salah satu fundamentalis neo-liberal Indonesia yang selalu bersikeras menaikkan harga BBM dengan alasan mengurangi beban subsidi BBM, mengakui bahwa selama ini tidak pernah ada subsidi dalam BBM. Masih ada surplus penerimaan BBM dibanding biaya yang dikeluarkan, katanya dalam acara talkshow di TVOne hari Senin (13/03/2012), terkait rencana kenaikan harga BBM akibat kenaikan harga BBM dunia. Anggito menjadi salah satu narasumber bersama Kwik Kian Gie dan Wamen ESDM. Mungkin Anggito tidak akan pernah memberikan pengakuan seperti itu kalau saja tidak karena ada Kwik Kian Gie yang telah lama menyampaikan pendapatnya bahwa isu subsidi adalah pembohongan publik, dan pendapat itu diulangi lagi dalam acaratalkshow tersebut di atas.

http://muslimdaily.net/opini/opini-17/anggito-abimanyu-selama-ini-tidak-pernah-ada-subsidibbm.html http://www.kaskus.us/showthread.php?t=6494160

BBM DISUBSIDI ADALAH OMONG KOSONGPercakapan antara Djadjang dan Mamad Oleh Kwik Kian GiePemerintah berencana tidak membolehkan kendaraan berpelat hitam membeli bensin premium, karena harga Rp. 4.500 per liter jauh di bawah harga pokok pengadaannya. Maka pemerintah rugi besar yang memberatkan APBN. Apakah benar begitu ? Kita ikuti percakapan antara Djadjang dan Mamad. Djadjang (Dj) seorang anak jalanan yang logikanya kuat dan banyak baca. Mamad (M) seorang Doktor yang pandai menghafal. Dj : Mad, apa benar sih pemerintah mengeluarkan uang tunai yang lebih besar dari harga jualnya untuk setiap liter bensin premium ? M : Benar, Presiden SBY pernah mengatakan bahwa semakin tinggi harga minyak mentah di pasar internasional, semakin besar uang tunai yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengadakan bensin. Indopos tanggal 3 Juli 2008 mengutip SBY yang berbunyi : Jika harga minyak USD 150 per barrel, subsidi BBM dan listrik yang harus ditanggung APBN Rp. 320 trilyun. Kalau USD 160, gila lagi. Kita akan keluarkan (subsidi) Rp. 254 trilyun hanya untuk BBM. Dj : Jadi apa benar bahwa untuk mengadakan 1 liter bensin premium pemerintah mengeluarkan uang lebih dari Rp. 4.500 ? Kamu kan doktor Mad, tolong jelaskan perhitungannya bagaimana ? M : Gampang sekali, dengarkan baik-baik. Untuk mempermudah perhitungan buat kamu yang bukan orang sekolahan, kita anggap saja 1 USD = Rp. 10.000 dan harga minyak mentah USD 80 per barrel. Biaya untuk mengangkat minyak dari perut bumi (lifting) + biaya pengilangan (refining) + biaya transportasi rata-rata ke semua pompa bensin = USD 10 per barrel. 1 barrel = 159 liter. Jadi agar minyak mentah dari perut bumi bisa dijual sebagai bensin premium per liternya dikeluarkan uang sebesar (USD 10 : 159) x Rp. 10.000 = Rp. 628,93 kita bulatkan menjadi Rp. 630 per liter. Harga minyak mentah USD 80 per barrel. Kalau dijadikan satu liter dalam rupiah, hitungannya adalah : (80 x 10.000) : 159 = Rp. 5.031,45. Kita bulatkan menjadi Rp. 5.000. Maka jumlah seluruhnya kan Rp. 5.000 ditambah Rp. 630 = Rp. 5.630 ? Dijual Rp.

4.500. Jadi rugi sebesar Rp. 1.130 per liter (Rp. 5.630 Rp. 4.500). Kerugian ini yang harus ditutup oleh pemerintah dengan uang tunai, dan dinamakan subsidi. Dj : Hitung-hitunganmu aku ngerti, karena pernah diajari ketika di SD dan diulang-ulang terus di SMP dan SMA. Tapi yang aku tak paham mengapa kau menghargai minyak mentah yang milik kita sendiri dengan harga minyak yang ditentukan oleh orang lain ? M : Lalu, harus dihargai dengan harga berapa ? Dj : Sekarang ini, minyak mentahnya kan sudah dihargai dengan harga jual dikurangi dengan harga pokok tunai ? Hitungannya Rp. 4.500 Rp. 630 = Rp. 3.870 per liter ? Kenapa pemerintah dan kamu tidak terima ? Kenapa harga minyak mentahnya mesti dihargai dengan harga yang Rp. 5.000 ? M : Kan tadi sudah dijelaskan bahwa harga minyak mentah di pasar dunia USD 80 per barrel. Kalau dijadikan rupiah dengan kurs 1 USD = Rp. 10.000 jatuhnya kan Rp. 5.000 (setelah dibulatkan ke bawah). Dj : Kenapa kok harga minyak mentahnya mesti dihargai dengan harga di pasar dunia ? M : Karena undang-undangnya mengatakan demikian. Baca UU no. 22 tahun 2001 pasal 28 ayat 2. Bunyinya : Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Nah, persaingan usaha dalam bentuk permintaan dan penawaran yang dicatat dan dipadukan dengan rapi di mana lagi kalau tidak di New York Mercantile Exchange atau disingkat NYMEX ? Jadi harga yang ditentukan di sanalah yang harus dipakai untuk harga minyak mentah dalam menghitung harga pokok. Dj : Paham Mad. Tapi itu akal-akalannya korporat asing yang ikut membuat Undang-Undang no. 22 tahun 2001 tersebut. Mengapa bangsa Idonesia yang mempunyai minyak di bawah perut buminya diharuskan membayar harga yang ditentukan oleh NYMEX ? Itulah sebabnya Mahkamah Konstitusi menyatakannya bertentangan dengan konstitusi kita. Putusannya bernomor 002/PUU-I/2003 yang berbunyi : Pasal 28 ayat (2) yang berbunyi : Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. M : Kan sudah disikapi dengan sebuah Peraturan Pemerintah (PP) ? Dj : Memang, tapi PP-nya yang nomor 36 tahun 2004, pasal 27 ayat (1) masih berbunyi : Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi, keuali Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil, DISERAHKAN PADA MEKANISME PERSAINGAN USAHA YANG WAJAR, SEHAT DAN TRANSPARAN. Maka sampai sekarang istilah subsidi masih dipakai terus, karena yang diacu adalah harga yang ditentukan oleh NYMEX. M : Jadi kalau begitu kebijakan yang dinamakan menghapus subsidi itu bertentangan dengan UUD kita ?

Dj : Betul. Apalagi masih saja dikatakan bahwa subsidi sama dengan uang tunai yang dikeluarkan. Ini bukan hanya melanggar konstitusi, tetapi menyesatkan. Uang tunai yang dikeluarkan untuk minyak mentah tidak ada, karena milik bangsa Indonesia yang terdapat di bawah perut bumi wilayah Republik Indonesia. Menurut saya jiwa UU no. 22/2001 memaksa bangsa Indonesia terbiasa membayar bensin dengan harga internasional. Kalau sudah begitu, perusahaan asing bisa buka pompa bensin dan dapat untung dari konsumen bensin Indonesia. Maka kita sudah mulai melihat Shell, Petronas, Chevron. M : Kembali pada harga, kalau tidak ditentukan oleh NYMEX apakah mesti gratis, sehingga yang harus diganti oleh konsumen hanya biaya-biaya tunainya saja yang Rp. 630 per liternya ? Dj : Tidak. Tidak pernah pemerintah memberlakukan itu dan penyusun pasal 33 UUD kita juga tidak pernah berpikir begitu. Sebelum terbitnya UU nomor 22 tahun 2001 tentang Migas, pemerintah menentukan harga atas dasar kepatutan, daya beli masyarakat dan nilai strategisnya. Sikap dan kebijakan seperti ini yang dianggap sebagai perwujudan dari pasal 33 UUD 1945 yang antara lain berbunyi : Barang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Dengan harga Rp. 2.700 untuk premium, harga minyak mentahnya kan tidak dihargai nol, tetapi Rp. 2.070 per liter (Rp. 2.700 Rp. 630). Tapi pemerintah tidak terima. Harus disamakan dengan harga NYMEX yang ketika itu USD 60, atau sama dengan Rp. 600.000 per barrel-nya atau Rp. 3.774 (Rp. 600.000 : 159) per liternya. Maka ditambah dengan biaya-biaya tunai sebesar Rp. 630 menjadi Rp. 4.404 yang lantas dibulatkan menjadi Rp. 4.500. Karena sekarang harga sudah naik lagi menjadi USD 80 per barrel pemerintah tidak terima lagi, karena maunya yang menentukan harga adalah NYMEX, bukan bangsa sendiri. Dalam benaknya, pemerintah maunya dinaikkan sampai ekivalen dengan harga minyak mentah USD 80 per barrel, sehingga harga bensin premium menjadi sekitar Rp. 5.660, yaitu: Harga minyak mentah : USD 80 x 10.000 = Rp. 800.000 per barrel. Per liternya Rp. 800.000 : 159 = Rp. 5.031, ditambah dengan biaya-biaya tunai sebesar Rp. 630 = Rp. 5.660 Karena tidak berani, konsumen dipaksa membeli Pertamax yang komponen harga minyak mentahnya sudah sama dengan NYMEX. M : Kalau begitu pemerintah kan kelebihan uang tunai banyak sekali, dikurangi dengan yang harus dipakai untuk mengimpor, karena konsumsi sudah lebih besar dibandingkan dengan produksi. Dj : Memang, tapi rasanya toh masih kelebihan uang tunai yang tidak jelas ke mana perginya. Kaulah Mad yang harus meneliti supaya diangkat menjadi Profesor.

+ Hitungan Subsidi BBM Ala Kwik Kian Gie Dan KritiknyaDengan melonjaknya harga minyak mentah di pasaran dunia sampai di atas US$ 100 per barrel, DPR dan Pemerintah menyepakati mengubah pos subsidi BBM dengan jumlah Rp. 153 trilyun. Artinya Pemerintah sudah mendapat persetujuan DPR mengeluarkan uang tunai sebesar Rp. 153 trilyun tersebut untuk dipakai sebagai subsidi dari kerugian Pertamina qq. Pemerintah. Jadi akan ada uang yang dikeluarkan? Saya sudah sangat bosan mengemukakan pendapat saya bahwa kata subsidi BBM itu tidak sama dengan adanya uang tunai yang dikeluarkan. Maka kalau DPR memperbolehkan Pemerintah mengeluarkan uang sampai jumlah yang begitu besarnya, uangnya dilarikan ke mana? Dengan asumsi-asumsi untuk mendapat pengertian yang jelas, atas dasar asumsi-asumsi, pengertian subsidi adalah sebagai berikut. Harga minyak mentah US$ 100 per barrel. Karena 1 barrel = 159 liter, maka harga minyak mentah per liter US$ 100 : 159 = US$ 0,63. Kalau kita ambil US$ 1 = Rp. 10.000, harga minyak mentah menjadi Rp. 6.300 per liter. Untuk memproses minyak mentah sampai menjadi bensin premium kita anggap dibutuhkan biaya sebesar US$ 10 per barrel atau Rp. 630 per liter. Kalau ini ditambahkan, harga pokok bensin premium per liternya sama dengan Rp. 6.300 + Rp. 630 = Rp. 6.930. Dijualnya dengan harga Rp. 4.500. Maka rugi Rp. 2.430 per liternya. Jadi perlu subsidi. Alur pikir ini benar. Yang tidak benar ialah bahwa minyak mentah yang ada di bawah perut bumi Indonesia yang miliknya bangsa Indonesia dianggap harus dibeli dengan harga di pasaran dunia yang US$ 100 per barrel. Padahal tidak. Buat minyak mentah yang ada di dalam perut bumi Indonesia, Pemerintah dan Pertamina kan tidak perlu membelinya? Memang ada yang menjadi milik perusahaan minyak asing dalam rangka kontrak bagi hasil. Tetapi buat yang menjadi hak bangsa Indonesia, minyak mentah itu tidak perlu dibayar. Tidak perlu ada uang tunai yang harus dikeluarkan. Sebaliknya, Pemerintah kelebihan uang tunai. Memang konsumsi lebih besar dari produksi sehingga kekurangannya harus diimpor dengan harga di pasar internasional yang mahal, yang dalam tulisan ini dianggap saja US$ 100 per barrel. Data yang selengkapnya dan sebenarnya sangat sulit atau bahkan tidak mungkin diperoleh. Maka sekedar untuk mempertanyakan apakah memang ada uang yang harus dikeluarkan untuk subsidi atau tidak, saya membuat perhitungan seperti Tabel terlampir. Nah kalau perhitungan ini benar, ke mana kelebihan yang Rp. 35 trilyun ini, dan ke mana uang

yang masih akan dikeluarkan untuk apa yang dinamakan subsidi sebesar Rp. 153 trilyun itu? Seperti terlihat dalam Tabel perhitungan, uangnya yang keluar tidak ada. Sebaliknya, yang ada kelebihan uang sebesar Rp. 35,31 trilyun. PERHITUNGAN ARUS KELUAR MASUKNYA UANG TUNAI TENTANG BBM (Harga minyak mentah 100 dollar AS) DATA DAN ASUMSI Produksi : 1 juta barrel per hari 70 % dari produksi menjadi BBM hak bangsa Indonesia Konsumsi 60 juta kiloliter per tahun Biaya lifting, pengilangan dan pengangkutan US $ 10 per barrel 1 US $ = Rp. 10.000 Harga Minyak Mentah di pasar internasional Rp. US $ 100 per barrel 1 barrel = 159 liter Dasar perhitungan : Bensin Premium dengan harga jual Rp. 4.500 per liter PERHITUNGAN Produksi dalam liter per tahun : 70 % x (1,000.000 x 159 ) x 365 = 40,624,500,000 Konsumsi dalam liter per tahun 60,000,000,000 Kekurangan yang harus diimpor dalam liter per tahun 19,375,500,000 Rupiah yang harus dikeluarkan untuk impor ini : (19,375,500, 000 : 159) x 100 x 10.000 = 121,900,000,000,000 Kelebihan uang dalam rupiah dari produksi dalam negeri : 40,624,500,000 x Rp. 3.870 = 157,216,815,000,000 Walaupun harus impor dengan harga US$ 100 per barrel Pemerintah masih kelebihan uang tunai sebesar 35,316,815,000, 000 Perhitungan kelebihan penerimaan uang untuk setiap liter bensin premium yang dijual, harga Bensin Premium per liter (dalam rupiah) 4,500. Biaya lifting, pengilangan dan transportasi US $ 10 per barrel atau per liter : (10 x 10.000) : 159 = Rp. 630 (dibulatkan) Kelebihan uang per liter 3,870 Subsidi BBM Bukan Pengeluaran Uang. Uangnya Dilarikan Kemana? Oleh Kwik Kian Gie

Istilah Subsidi BBM Menyesatkan. Mengapa Dipakai Untuk Menaikkan Harga Lagi?? (Artikel 1)Dalam tulisan ini saya membuat beberapa kalkulasi tentang jumlah uang yang masuk karena penjualan BBM dan uang yang harus dikeluarkan untuk memproduksi dan mengadakannya. Hasilnya pemerintah kelebihan uang. Mengapa dikatakan pemerintah harus mengeluarkan uang untuk memberi subsidi, sehingga APBN-nya jebol. Dan karena itu harus menaikkan harga BBM yang sudah pasti akan lebih menyengsarakan rakyat lagi setelah kenaikan luar biasa di tahun 2005 sebesar 126%. Mari kita segera saja melakukan kalkulasinya. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (Menteri Ani) memberi keterangan kepada Rakyat Merdeka yang dimuat pada tanggal 24 April 2008. Angka-angka yang dikemukakannya adalah angka-angka yang terakhir disepakati antara Pemerintah dan DPR, yang sekarang tentunya sudah ketinggalan lagi. Maka dalam perhitungan yang saya tuangkan ke dalam tiga buah Tabel Kalkulasi saya menggunakan angka-angkanya Menteri Ani yang diperlukan untuk mengetahui berapa persen bagian bangsa Indonesia dari minyak mentah yang dikeluarkan dari perut bumi Indonesia. Berapa jumlah penerimaan Pemerintah dari Migas di luar pajak. Jadi yang saya ambil angkaangka yang masih dapat dipakai walaupun banyak angka yang sudah ketinggalan oleh perkembangan, seperti harga minyak mentahnya sendiri. Angka kesepakatan antara Pemerintah dan Panitia Anggaran harga minyak masih US$ 95 per barrel. Sekarang sudah di atas US$ 120. Saya mengambil US$ 120 per barrel. Keseluruhan data dan angka yang menjadi landasan kalkulasi saya tercantum dalam tabel-tabel kalkulasi yang bersangkutan. Setiap Tabel kalkulasi sudah cukup jelas. Untuk memudahkan memahaminya, saya jelaskan sebagai berikut. Menteri Ani antara lain mengemukakan bahwa lifting (minyak mentah yang disedot dari dalam perut bumi Indonesia) sebanyak 339,28 juta barrel per tahun. Dikatakan bahwa angka ini tidak

seluruhnya menjadi bagian Pemerintah. (baca : bagian milik bangsa Indonesia). Kita mengetahui bahwa 90% dari minyak kita dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan minyak asing. Maka mereka berhak atas sebagian minyak mentah yang digali. Berapa bagian mereka? Menteri Ani tidak mengatakannya. Tetapi kita bisa menghitungnya sendiri berdasarkan angka-angka lain yang dikemukakannya, yaitu sebagai berikut. Menteri Ani memberi angka-angka sebagai berikut. Lifting : 339,28 juta barrel per tahun Harga minyak mentah : US$ 95 per barrel Nilai tukar rupiah : Rp. 9.100 per US$ Penerimaan Migas diluar pajak : Rp. 203,54 trilyun. Dari angka-angka tersebut dapat dihitung berapa hak bangsa Indonesia dari lifting dan berapa persen haknya perusahaan asing. Perhitungannya sebagai berikut. Hasil Lifting dalam rupiah : (339.280.000 x 95) x Rp. 9.100 = Rp. 293,31 trilyun. Penerimaan Migas Indonesia : Rp. 203,54 trilyun. Ini sama dengan (203,54 : 293,31) x 100 % = 69,39%. Untuk mudahnya dalam perhitungan selanjutnya, kita bulatkan menjadi 70% yang menjadi hak bangsa Indonesia. Jadi dari sini dapat diketahui bahwa hasil lifting yang miliknya bangsa Indonesia sebesar 70%. Kalau lifting seluruhnya 339,28 juta barrel per tahunnya, milik bangsa Indonesia 70% dari 339,28 juta barrel atau 237,5 juta barrel per tahun. Berapa kebutuhan konsumsi BBM bangsa Indonesia? Banyak yang mengatakan 35,5 juta kiloliter per tahun. Tetapi ada yang mengatakan 60 juta kiloliter. Saya akan mengambil yang paling jelek, yaitu yang 60 juta kiloliter, sehingga konsumsi minyak mentah Indonesia lebih besar dibandingkan dengan produksinya. Produksi yang haknya bangsa Indonesia : 237,5 juta kiloliter. Konsumsinya 60 juta kiloliter. 1 barrel = 159 liter. Maka 60 juta kiloliter sama dengan 60.000.000.000 :159 = 377,36 juta barrel. Walaupun kesepakatan antara Pemerintah dan DPR seperti yang dikatakan Menteri Ani tentang harga minyak mentah US$ 95 per barrel, saya ambil US$ 120 per barrel. Walaupun kesepakatan antara Pemerintah dan DPR seperti yang diungkapkan Menteri Ani tentang nilai tukar adalah Rp. 9.100 per US$, saya ambil Rp. 10.000 per US$. Tabel III (click tabel) Hasilnya seperti yang tertera dalam Tabel III, yaitu Pemerintah kelebihan uang tunai sebesar Rp. 35,71 trilyun, walaupun dihadapkan pada keharusan mengimpor dalam memenuhi kebutuhan

konsumsi rakyatnya. Produksi minyak mentah yang menjadi haknya bangsa Indonesia 237,5 juta barrel. Konsumsinya 60 juta kiloliter yang sama dengan 377,36 juta barrel. Terjadi kekurangan sebesar 139,86 juta barrel yang harus dibeli dari pasar internasional dengan harga US$ 120 per barrelnya dan nilai tukar diambil Rp. 10.000 per US$. Toh masih kelebihan uang tunai. Tabel I (click tabel) Apalagi kalau kita merangkaikan semua data kesepakatan terakhir antara Pemerintah dengan Panitia Anggaran DPR. Seperti yang diungkapkan oleh Menteri Ani kepada Rakyat Merdeka tanggal 24 April yang lalu kesepakatannya adalah sebagai berikut. Lifting : 339,28 juta barrel per tahun Harga : US$ 95 per barrel Nilai tukar : Rp. 9.100 per US$ Penerimaan Migas di luar pajak : Rp. 203,54 trilyun. Kalkulasi tentang uang yang harus dikeluarkan dan uang yang masuk seperti dalam Tabel I. Kita lihat dalam Tabel I tersebut bahwa kelebihan uang tunainya sebesar Rp. 82,63 trilyun. Ketika itu Pemerintah sudah teriak bahwa kekurangan uang dalam APBN dan minta mandat dari DPR supaya diperbolehkan menggunakan uang APBN sebesar lebih dari Rp. 100 trilyun, yang disetujui oleh DPR. Tabel II (click tabel) Dalam Tabel II saya mengakomodir pikiran teoretis dari Pemerintah yang mengatakan bahwa Pertamina harus membeli minyak mentahnya dari Menteri Keuangan dengan harga internasional yang dalam kesepakatan antara Pemerintah dan Panitia Anggaran US$ 95 per barrel dan nilai tukar ditetapkan Rp. 9.100 per US$. Seperti dapat kita lihat, hasilnya memang Defisit sebesar Rp. 122,69 trilyun. Tetapi uang yang harus dibayar oleh Pertamina kepada Menteri Keuangan yang sebesar Rp. 205,32 trilyun kan milik rakyat Indonesia juga? Maka kalau ini ditambahkan menjadi surplus, kelebihan uang yang jumlahnya Rp. 82,63 trilyun, persis sama dengan angka surplus yang ada dalam Tabel I. MENGAPA? Mengapa Pemerintah mempunyai pikiran bahwa subsidi sama dengan pengeluaran uang tunai? Mengapa DPR menyetujuinya? Itulah yang menjadi pertanyaan terbesar buat saya yang sudah saya kemukakan selama 10 tahun dalam bentuk puluhan tulisan di berbagai media massa. Dibantah tidak, digubris tidak. Sekarang saya mengulanginya lagi, karena masalahnya sudah menjadi kritis dalam dua aspek. Yang pertama, kesengsaraan rakyat sudah sangat parah. Kedua, kenaikan harga BBM lagi bisa memicu kerusuhan sosial. Kali ini jangan main-main. Semoga saya salah.

PIKIRAN BINGUNG YANG ZIG-ZAG Ketika harga BBM di tahun 2005 dinaikkan dengan 126%, bensin premium menjadi Rp. 4.500 per liter. Ketika itu, harga bensin ini ekivalen dengan harga minyak mentah sebesar US$ 61,5 per barrel. Pemerintah mengatakan bahwa mulai saat itu sudah tidak ada istilah subsidi lagi, karena harga BBM di dalam negeri sudah sama dengan harga minyak mentah yang setiap beberapa kali sehari ditentukan oleh New York Mercantile Exchange. Memang betul, bahkan lebih tinggi sedikit, karena ketika itu harga minyak mentah US$ 60 per barrel. Ketika harga minyak mentah turun sampai sekitar US$ 57 dan Wapres JK ditanya wartawan apakah harga BBM akan diturunkan, beliau menjawab tidak. Lantas harga minyak meningkat sampai US$ 80. Wartawan bertanya lagi kepadanya, apakah harga BBM akan dinaikkan? Dijawab : Tidak, dan tidak akan dinaikkan walaupun harga minyak mentah meningkat sampai US$ 100 per barrel. Lantas Presiden mengumumkan bahwa kalau harga minyak sudah US$ 120 pemerintah akan kekurangan uang untuk memberikan subsidi kepada rakyatnya dalam jumlah besar, sehingga APBN akan jebol. Maka terpaksa menaikkan harga BBM pada akhir Mei dengan sekitar 30 %. Jadi sangatlah jelas bahwa Presiden menganggap subsidi BBM sama dengan uang tunai yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah. Pada tanggal 13 Mei jam 22.05 Metro TV menayangkan Todays Dialogue, di mana Wapres Jusuf Kalla mengakui bahwa pemerintah akan kelebihan uang, yang dibutuhkan untuk membangun infrastruktur. Jadi dalam pengadaan BBM pemerintah kekurangan uang karena harus memberikan subsidi, atau kelebihan uang yang akan dipakai untuk membangun infrastruktur? Penutup Tulisan ini baru awal dari sebuah perdebatan publik. Ayo, saya mohon dibantah. Wahai media televisi, selenggarakanlah debat publik tanpa batas waktu siapa yang benar dan siapa yang salah? Buat urusan perut rakyat yang termiskin yang notabene pemilik minyak, janganlah lebih mementingkan iklan iklan. Tunggu artikel-artikel berikutnya di KoranInternet ini. Artikel-artikel berikutnya akan membahas masalah penentuan harga BBM untuk rakyatnya ini dari segi disiplin ilmu cost accounting beserta landasan falsafahnya yang nampaknya tidak dikuasai dan tidak dipahami oleh para teknokrat, tetapi selalu bersikap gebrak dulu dengan sikap biar bodoh asal sombong. Pokoknya gebrak dan gertak. Boleh boleh saja, tetapi kalau lantas menyengsarakan rakyat ya ayolah berdebat keras!

Aneka Demo Pro dan Kontra Kenaikan BBM 2012Sekelumitinfo Kebijakan Pemerintah Mengenai Kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak) yang terkait dengan Efek penyebab naiknya Harga BBM di pasar Dunia maupun efek sosial dan ekonomi terhadap perekonomian maupun stabilitas Keamanan di Indonesia menuai banyak reaksi Pro maupun Kontra baik itu dari kalangan Partai Politik, Pengamat Ekonomi, organisasi Massa maupun rakyat Jelata. Berikut Sekelumitinfo mengumpulkan beberapa Kutipan mengenai Pro dan Kontra Kenaikan BBM.

Fraksi Demokrat Sebut Kenaikan BBM Permintaan RakyatFraksi Partai Demokrat di Dewan Perwakilan Rakyat menyebut rencana pemerintah untuk menaikkan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi merupakan permintaan mayoritas masyarakat agar subsidi BBM tidak membebani anggaran negara.Masyarakat sudah banyak menginginkan BBM bisa dinaikkan harganya. Kalau tidak kita naikkan maka beban APBN besar sehingga biaya pembangunan infrastruktur berkurang, kata Ketua Fraksi Partai Demokrat (PD) Jafar Hafsah di Kompleks DPR, Jakarta, Rabu (29/2/2012). (sumber http://nasional.kompas.com/read/2012/02/29/18154513/Fraksi.Demokrat.Sebut.Kenaikan.BBM. Permintaan.Rakyat)

Raja Sapta : Hipmi Dukung Kenaikan BBMKetua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Raja Sapta Oktohari mengatakan pihaknya mendukung rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) namun harus diberikan kepastian waktu dan dilakukan sosialisasi terlebih dahulu. Sikap kami (Hipmi) yaitu apabila dibutuhkan penyesuaian jangan segan-segan dilakukan, kami mendukung penyesuaian BBM atau kenaikan BBM. Tapi bagi pengusaha butuh waktu untuk penyesuaian, tak bisa tiba-tiba besok naik, kata Ketua BPP Hipmi Raja Sapra Oktori pada diskusi soal rencana kenaikan BBM di kantor DPP Partai Golkar, Jalan Anggrek Neli, Slipi, Jakarta, Senin. Diskusi yang mengambil tema Mendengar Aspirasi Rakyat Atas Rencana Kebijakan Pembatasan BBM Bersubsidi dan Kenaikan TTL pada 1 April 2012 diselenggarakan ESDA DPP Partai Golkar bidang ESDA, kantor DPP Partai Golkar. (sumber :http://id.berita.yahoo.com/raja-sapta-hipmi-dukung-kenaikan-bbm-082214677.html)

Koalisi Setuju BBM NaikDi luar PKS, hampir semua fraksi dari partai yang tergabung dalam koalisi mendukung. Mulai dari Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PAN, Fraksi PPP, maupun Fraksi PKB. Berbeda dengan PKS, Fraksi Partai Demokrat bahkan yakin jika opsi kenaikan tersebut adalah

justru pilihan yang dikehendaki publik. Masyarakat sudah banyak yang menginginkan BBM bisa dinaikkan harganya, sebab kalau tidak dinaikkan, beban APBN besar, sehingga biaya pembangunan infrastruktur berkurang, ujar Ketua Fraksi Partai Demokrat, Jafar Hafsah. Senada, Fraksi Partai Golongan Karya memiliki pandangan untuk mendukung kenaikan harga BBM. Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Priyo Budi Santoso menilai, pemerintah nampaknya sudah di posisi bulat untuk menaikkan BBM. Dalam bahasa lain, kenaikan BBM ini adalah untuk mengurangi sejumlah triliunan rupiah dana subsidi untuk dialokasikan di pos lain. DPR bisa memahami karena keputusan mengurangi subsidi adalah keputusan yang tak terhindarkan, mengingat situasi harga minyak dunia, ujar Priyo. (Sumber : http://radarcirebon.com/2012/03/01/koalisi-setuju-bbm-naik/)

PDIP Keukeuh Tolak Kenaikan BBMAnggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, Dewi Aryani, menegaskan kembali sikap fraksinya yang tetap keukeuh menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp1.500,00 per liter. Dewi yang juga anggota Komisi VII DPR RI, Rabu (29/2), mengatakan bahwa subsidi adalah hak dasar rakyat yang dilindungi oleh konstitusi (UUD 1945), menurut dia, subsidi juga menjadi tolok ukur keberhasilan pemerintah dalam mengelola negara. Jika subsidi makin dikurangi terus, menjadi bukti Pemerintah gagal menjaga amanat rakyatnya, kata wakil rakyat dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah itu. (sumber :http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/02/29/m04x0a-pdip-keukeuh-tolakkenaikan-bbm)

Kenaikan BBM Langgar KonstitusiPakar Hukum Tata Negara, Irmanputra Sidin mengatakan rencana pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dengan alasan karena harga pasar BBM dunia yang tinggi sehingga membebani APBN, melanggar konstitusi. Segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak adalah tanggung jawab pemerintah untuk menyediakannya kepada rakyat secara merata dengan harga yang terjangkau. Tentang kebijakan BBM berkaitan dengan pasal 33 UUD 45 yang berisi bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat .Ini jelas maksudnya dan tidak ada tawar menawar. Pemerintah wajib menyediakan hal-hal yang menguasai hajat hidup orang banyak mulai dari ketersediaan, harga dan distribusi. Jika ini tidak dilakukan maka pemerintah melanggar konsitutusi, ujar Irman di Jakarta, Kamis.(Sumber:http://www.pikiran-rakyat.com/node/179017)

PKS Tolak Kenaikan BBM BersubsidiSekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera, Anis Matta menegaskan PKS menolak usulan kebijakan kenaikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Alasannya kata Anis, adalah bagaimana pemerintah mengelola beban anggaran. Sebenarnya masih bisa diatasi kalau pemerintah lebih antisipasi dua tahun lalu. Tapi mereka tidak mengantisipasinya pada dua tahun lalu, kata Anis di DPR, Jakarta, Rabu (29/2). (Sumber :http://berita.liputan6.com/read/379711/pks-tolak-kenaikan-bbm-bersubsidi)

BEM Seluruh Indonesia Tolak Kenaikan BBM dan TDLRencana penghapusan subsidi dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) serta tarif dasar listrik (TDL) ditentang oleh mahasiswa seluruh Indonesia. Hal itu disampaikan melalui aksi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia di Tugu Adipura, Bandar Lampung, Kamis (1-3), yang juga mengancam pencopotan Presiden dan Wakil Presiden RI jika tuntutan itu tidak dipenuhi. Koordinator Pusat BEM Seluruh Indonesia Ando yang ditemui di lokasi aksi mengatakan pihaknya mewakili mahasiswa se-Indonesia menolak rencana pemerintah mencabut subsidi BBM. Termasuk juga menuntut pemerintah untuk membatalkan rencana kenaikan harga BBM dan TDL sebelum ketok palu pada 1 April mendatang. Menurutnya pemerintah dalam hal ini Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden, Boediono, selaku pemangku kebijakan harus bisa mengkondisikan kepentingan rakyat dibanding kepentingan lainnya. Kenaikan harga BBM dinilai mahasiswa Universitas Padjajaran ini akan memiliki efek domino. Sebab tidak hanya satu sektor yang terpengaruh akibat kenaikan BBM namun juga berimbas pada sektor lainnya. Tanggungjawab pemimpin untuk mengkaji kebijakan yang penting. Jika BBM naik, maka SBY harus turun, tegasnya. Presiden BEM Unila Eko Primananda menambahkan subsidi BBM adalah strategi pemerintah yang secara normatif baik meski kondisi dilapangan tidak berjalan sesuai tujuan. (Sumber: http://lampungpost.com/home/pencarian-berita/120-bandar-lampung/26398-bem-seluruhindonesia-tolak-kenaikan-bbm-dan-tdl-.html) Gede Pasek Suardika JAKARTA, (TubasMedia.Com) Rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi ditanggapi masyarakat sebagai kebijakan tidak populis. Kebijakan menaikkan harga premium dan solar sebesar Rp 1.500 itu mulai 1 April mendatang telak menimbulkan gejolak. Selain kenaikan harga sembako juga menaikkan suhu mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya berunjuk rasa di berbagai daerah di Indonesia. Politisi Partai Demokrat Gede Pasek Suardika saat ditemui tubasmedia.com di Balai Wartawan gedung DPR Jakarta mengakui setiap kebijakan pemerintah selalu ada yang pro dan kontra. Sebenarnya kenaikan harga BBM juga terjadi pada era pemerintahan masa lalu, katanya.

Dari harga premium Rp 0,5 di tahun 60-an hingga era Presiden SBY selalu ada kebijakan kenaikan harga BBM eceran. Hanya saja ketika SBY sekarang ini menaikkan harga BBM selalu diikuti dengan menjaga jaringan sosial masyarakat miskin, kata Pasek Suardika. Menurut dia rakyat miskin yang diselamatkan jangan sampai dimasuki oleh kepentingan lain yang tak bertanggung jawab. Kalau masyarakat bawah tidak perlu diskusi, mereka harus diselamatkan. Masalahnya, bagaimana mengurangi pemakaian BBM bersubsidi oleh mereka yang bermobil dan bermotor. Konsumsi BBM tidak bersubsidi tidak terlalu banyak. Padahal pertumbuhan kendaraan bermotor sudah tinggi, sekitar 15%. Selama ini Partai Demokrat terus belajar dan belajar. Upaya yang dilakukan dengan pola jaring pengaman sosial melalui Bantuan Langsung Masyarakat Sementara (BLMS) yang sebelumnya namanya Bantuan Langsung Tunai (BLT). Kita sepakat untuk menjaga BLMS bisa tepat sasaran yaitu masyarakat bawah yang tak mampu, tegas Suardika. Selain itu juga transparansi anggaran menjadi komponen penting juga. Ini yang selalu menjadi sorotan masyarakat terhadap pemimpin negeri ini. Dan, ini yang selalu didorong melalui keterbukaan informasi kepada publik, ujar pria kelahiran Bali itu. (rudi kosasih)

KARTA, (TubasMedia.Com) Petani dan nelayan ramai-ramai menolak program kompensasi atas penaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT). Program itu dinilai tidak produktif, cuma mau menyelamatkan citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat. Para pemimpin kelompok tani dan nelayan di sejumlah daerah di Tanah Air, mendesak pemerintah memberikan bantuan program menyeluruh, yang hasilnya dirasakan seluruh petani dan nelayan, bukan cuma segelintir orang. Pemerintah akan menaikkan harga BBM bersubsidi mulai April. Sebagai kompensasinya, pemerintah mengucurkan BLT Rp150 ribu per bulan per satu rumah tangga sasaran selama sembilan bulan. Berdasarkan hasil survei Lingkaran Survei Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat menjadi pihak yang paling disalahkan atas penaikan harga BBM bersubsidi. Akan tetapi, program BLT ternyata mampu menyelamatkan citra Yudhoyono dan partai yang dibinanya. BLT hanya menjadi jaring pengaman bagi citra penguasa, padahal petani dan nelayan tidak membutuhkannya. Ketua Umum Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir menjelaskan jauh lebih baik bila pemerintah membuat program bantuan yang menyeluruh, semua petani merasakan dampaknya, daripada BLT yang dirasakan orang per orang. Bantuan menyeluruh yang manfaatnya dapat dirasakan petani, kata Winarno, dapat berupa benih gratis, subsidi pupuk, dan perbaikan irigasi. (red)

Kamis, 08/04/2010 11:28 WIB Nurseffi Dwi Wahyuni - detikFinance Jakarta - Revisi UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi akan 'memanjakan' PT Pertamina (Persero). Pasalnya dengan revisi ini maka perusahaan minyak negara ini akan mendapatkan banyak prioritas dari pemerintah, karena selama ini terlihat kalah bersaing di rumah sendiri dari perusahaan-perusahaan minyak dari luar. "Pertamina sebagai perusahaan minyak nasional, itu harus diperkuat lagi. Jangan diperlakukan sama dengan yang lain. Harus ada keberpihakan pemerintah terhadap NOC-nya (National Oil Company) supaya Pertamina lebih berjaya," ujar Ketua Komisi VII Ketua Komisi VII DPR Teuku Riefky Harsya saat dihubungi detikFinance, Rabu (8/4/2010). Teuku mencontohkan, keberpihakan pemerintah terhadap Pertamina dapat dilakukan dengan memberikan prioritas kepada Pertamina untuk mengambil peran dalam pengelolaan blok migas yang akan memperpanjang masa kontraknya atau yang sudah dikembalikan ke pemerintah. "Menurut saya ini harus dimasukan dalam revisi UU Migas," kata dia. Selain itu, pasal lain yang akan direvisi dalam UU Migas yaitu pasal 22 ayat 1, pasal 28 ayat 2 dan 3, serta pasal 12 ayat 1. Ketiga pasal merupakan pasal-pasal yang harus dimandemen sesuai putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004 lalu. Dalam pasal 22 ayat 1 berbunyi: Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Menurut Teuku, besaran maksimum DMO (Domestic Market Obligation) sebesar 25% tersebut perlu dievaluasi kembali. Apalagi menurut keputusan MK, pasal ini dinilai tidak menganut prinsip sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat seperti yang digariskan pasal 33 UUD 1945. "Namun berapa perubahannya masih kami bahas. Ini perlu perhitungan yang teliti karena jangan sampai revisi ini mengganggu iklim investasi," katanya. Sementara untuk pasal 28 ayat 2 yang berbunyi: Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Pasal 28 ayat 3 menyebutkan: Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak mengurangi tanggung jawab sosial pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu.

Teuku menyarankan adanya peranan pemerintah dan DPR untuk ikut serta dalam penentuan harga dan tidak menyerahkan sepenuhnya ke mekanisme pasar. "Karena kalau dilepas ke pasar ini akan berbahaya," ungkapnya. Sementara bunyi pasal 12 ayat 3 yang memberi wewenang kepada badan usaha atau bentuk usaha tetap untuk melakukan kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi pada Wilayah Kerja, dinilai Teuku menghilangkan penguasaan negara. Selain ketiga pasal tersebut, dalam revisi UU Migas ini DPR juga akan mengevaluasi status Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) karena dikhawatirkan adanya tumpang tindih antara 2 lembaga tersebut dengan unit-unit kerja yang ada di Kementerian ESDM. "Kan di ESDM ada Direktur Hulu dan Hilir Migas, kami akan lihat apakah ini tumpang tindih? Jadi nantinya keberadaan kedua lembaga ini bisa saja diperkuat dengan mengganti statusnya dari BHMN (Badan Hukum Milik Negara) menjadi BUMN atau bisa saja dihilangkan," paparnya. Teuku mengungkapkan, rencananya pembahasan revisi UU Migas ini akan dimulai pada masa sidang ini. Selain membahas dengan pemerintah, DPR juga akan melibatkan para stakeholder di sektor Migas untuk memberikan masukkan. "Sementara, saat ini draf inisiatif dari DPR untuk revisi UU itu sedang disusun," ungkapnya. Sementara itu, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM, Evita Herawati Legowo menyatakan saat ini pemerintah menyiapkan bahan-bahan untuk revisi UU Migas No22/2001, meskipun pihaknya menilai revisi terhadap UU ini masih belum perlu dilakukan. "Revisi UU Migas bukan usulan. Itu hasil keputusan angket. Kita siapkan bahan, DPR juga siapkan bahan," ujar Evita.(epi/dnl) sumber: www.detik.com

UU Listrik dan Migas, Sebuah Koreksi dari MKVincentia Hanni S. SIANG (15/12), Mahkamah Konstitusi sekali lagi membuat kejutan. Mahkamah Konstitusi lewat putusan pembatalan UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan telah mengkoreksi pembangunan ekonomi Indonesia yang selama ini mendaraskan pada liberalisme dan pro pasar bebas. Putusan UU minyak dan gas, MK telah meminta Pemerintah mengendalikan harga migas. Seusai pembacaan putusan, Ketua MK menjelaskan bahwa MK sebenarnya hanya membatalkan tiga pasal, yakni pasal 16,17, dan 68 yang dimintakan pemohon. Namun karena ketiga pasal tersebut yang mendasari paradigma UU Nomor 20 Tahun 2002 dan "jantung" dari UU tersebut, MK menyatakan secara keseluruhan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Bagi majelis hakim konstitusi, kebijakan pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik dengan sistem "unbundling" yang tercantum dalam pasal 8 ayat (2) UU Listrik telah mereduksi makna "dikuasai oleh negara untuk cabang-cabang produksi yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak speerti yang dimaksud pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Sistem "unbundling" yang tercantum dalam pasal 8 ayat (2) UU Listrik meliputi usaha pembangkitan, transmisi, distribusi, penjualan, agen penjualan, pengelola pasar, dan pengelola sistem tenaga listrik oleh badan usaha yang berbeda, kecuali transmisi dan distribusi, yang lainnya dikompetisikan oleh semua badan usaha (termasuk swasta). Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan bahwa listrik merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasa hajat hidup orang banyak. Dengan pertimbangan itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan sesuai dengan pasal 33 ayat (2) UUD 1945, cabang produksi tenaga listrik haruslah dikuasai oleh negara. Dari keterangan para ahli di MK, terungkap bahwa pengalaman empiris yang terjadi di Eropa, Amerika Latin, Korea, dan Meksiko, sistem unbundling dalam restrukturisasi usaha listrik justru tidak menguntungkan dan tidak selalu efisien. Malah menjadi beban berat bagi negara. Sedangkan di dalam putusan MK soal judicial review UU 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, MK menandaskan perlunya campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga migas. MK menyatakan bahwa campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga haruslah menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. PUTUSAN MK soal dua UU di bidang ekonomi sangatlah menarik dicermati, terutama dalam kaitannya dengan konstitusi Indonesia yang belum menganut liberalisasi ekonomi. Ketua MK Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa kedua putusan MK soal UU di bidang perekonomian ini menjadi "milestones" (batu pijakan) bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Para hakim konstitusi, jelas Jimly, sama sekali tidak menampik adanya sebuah kenyataan bahwa dunia ini mengalami globalisasi dengan pasar yang sedemikian terintegrasi. Untuk keluar dari arus globalisasi itu sangatlah sulit. Hampir semua negara, terutama negara-negara yang menganut demokrasi dan prinsip liberalisme sudah menyerahkan semua urusan perekonomian mereka kepada mekanisme pasar. Negara tidak lagi memiliki peranan untuk mengintervensi lagi. Semua pasar yang menentukan.

Catatan yang paling penting, di negara-negara tersebut, konstitusi hanyalah merupakan dokumen politik yang mengatur hukum-hukum politik, dan perekonomian sama sekali tidak diatur di dalam konstitusi mereka. Pada umumnya, konstitusi yang dipahami sebagai norma dasar memang lebih melandaskan pada konstitusi politik. Di negara-negara sosialis, justru sebaliknya. Di dalam bidang ekonomi, mereka membutuhkan intervensi negara yang besar. Perekonomian diatur khusus di dalam konstitusi mereka. Sementara di Indonesia, konstitusi mengadopsi ide kedaulatan rakyat, dimana rakyat berdaulat di bidang politik dan juga rakyat berdaulat di bidang ekonomi. Tidak heran jika, UUD 1945 juga mengatur bab tersendiri soal ekonomi yakni pada bab XIV soal kesejahteraan sosial, yakni pasal 33 dan 34. Bahkan, pada perubahan ketiga UUD 1945, bab XIV ini semakin diperjelas dengan nama bab perekonomian nasional dan kesejahteraan. "Perubahan konstitusi kita memang memasukkan ide-ide demokrasi politik, namun di bidang ekonomi sama sekali tidak dianut demokrasi ekonomi. Di dalam perubahan konstitusi, di bidang ekonomi secara tegas dan jelas dimasukkan peranan negara yang semakin kuat. Ini terlihat dengan bertambahnya ayat pada pasal 33 dan pasal 34," jelas Jimly. Namun di dalam praktiknya, pembangunan ekonomi di Indonesia, peranan negara ini semakin diperlonggar. Terlebih dengan keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian-perjanjian internasional, seperti WTO. "Ini ada perbedaannya dengan Cina, di Cina mereka mengatakan liberalisasi ekonomi yes, liberalisasi politik no. Indonesia sebaliknya," jelas Jimly. Jarak antara formulasi konstitusi dan kenyataan sangat terlihat. Selama ini banyak sekali UU di bidang ekonomi yang tidak sejalan dengan prinsip pasal 33 UUD 1945. Kondisi ini terjadi karena para pembentuk UU tidak pernah menjadikan konstitusi sebagai referensi substantif saat membuat UU di bidang ekonomi. Pasal 33 --yang mensyaratkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara-- selama ini hanya distempelkan saja oleh para pembentuk UU. Pasal ini ditafsirkan secara pragmatis dengan mengikuti perkembangan logika ekonomi pasar belaka. "Memang konstitusi juga harus ditafsirkan secara dinamis dengan memperhatikan berbagai standar dan prinsip. Namun penafsiran konstitusi juga harus ada metodologinya, jangan terlalu longgar dengan hanya mempertimbangkan aspek pragmatis. Harus ada rambu-rambu di dalam konstitusi yang harus ditaati," jelas Jimly. Di dalam putusan UU Listrik, MK juga memperdebatkan soal kata "penguasaan negara". MK menafsirkan, penguasaan negara juga termasuk dalam arti pemilikan privat yang tidak harus selalu 100 persen. Artinya, pemilikan saham pemerintah dalam badan usaha yang menyangkut cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud, dapat bersifat mayoritas mutlak (di atas 50 persen) atau bersifat mayoritas relatif (di bawah 50 persen) sepanjang pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas relatif tersebut secara hukum tetap memegang kedudukan menentukan dalam pengambilan keputusan di badan usaha itu. Meski, pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif dalam sebuah BUMN akan tetapi harus dipertahankan posisi negara untuk tetap sebagai pihak yang menentukan dalam proses pengambilan keputusan atas penentuan kebijakan dalam badan usaha yang bersangkutan yang menggambarkan penguasan negara yang mencakup pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan.

"...presumption that markets, by themselves, lead to efficient outcomes, failed to allow for desirable government interventions in the market and make everyone better off." (Joseph E Stiglitz: Globalization and Its Discontents). Asumsi bahwa mekanisme pasar dapat secara otomatis memenuhi tiga hal yang menjadi kepentingan rakyat, seperti ketersediaan yang cukup, distribusi yang merata, dan terjangkaunya harga bagi orang banyak, kata Stiglitz, merupakan penyederhanaan logika yang jauh dari kenyataan. Kenyataanya, tidak ada mekanisme pasar yang sempurna. Hubungan antara penguasaan negara atas cabang produksi yang penting bagi negara dan hajat hidup orang banyak serta misi yang terkandung dalam penguasaan negara merupakan keutuhan paradigma yang dianut oleh UUD 1945. Konstitusi telah menentukan pilihannya, yakni dengan tidak memilih sistem mekanisme pasar sebagaimana yang tercermin dalam pasal 33. Penegasan MK soal pilihan konstitusi atas mekanisme pasar itu terlihat jelas dalam putusan judicial review UU Minyak dan Gas, dimana MK menyatakan pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) UU Migas bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 28 ayat (2) yang berbunyi bahan bakar minyak dan gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar dipandang oleh MK sama sekali tidak menjamin makna demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam pasal 33 ayat 4 UUD 1945. MK menilai, campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga haruslah menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. "Kenapa harga minyak dan gas sekarang naik? Itu karena semua mengidealkan harga minyak dan gas diserahkan ke mekanisme pasar. Ini problem baru, mekanisme pasar itu artinya disesuaikan dengan harga di luar negeri. Ini yang bertentangan dengan konstitusi," jelas Jimly. Ia melanjutkan, kuncinya terletak pada kata "cabang produksi yang penting" dan "menyangkut hajat hidup orang banyak". Dua kata kunci itu, lanjut Jimly, MK menilai, cabang produksi itu tidak boleh diserahkan pada mekanisme pasar. Pemerintah tetap harus mengontrol pasar. MK di dalam putusannya soal UU Migas juga meminta agar pemerintah mengamandemen pasal 12 ayat (3) yang memberikan kewenangan kepada menteri untuk menyerahkan kewenangannya pada badan usaha atau bentuk usaha tetap. "MK mencari jalan tengah antara idealisme versus pragmatisme berkaitan dengan peran negara versus mekanisme pasar bebas itu. Jalan tengah itu adalah realisme konstitusional yang mesti ditemukan MK dalam setiap putusan UU bidang ekonomi," jelas Jimly. Sumber : Kompas (23 Desember 2004)

Kontroversi Nasionalisme Kenegarawanan MiGasBy jakarta45 Leave a Comment Categories: Jiwa Semangat Nilai-nilai 45 Tags: Leadership, Nation & Character Building, Nationalism, Oil & Gas, politics, Statemanship

Penguasaan energi berarti kuasai dunia, begitu kira-kira strategi hegemoni yang trendi di abad-21 ini. Nah, dalam konteks Indonesia, skenario lalu digelar antara lain dengan mengganti UU No. 8/1971 dengan UU No. 22/2001, namun sayangnya terjadi ketidakcermatan sehingga muncul situasi dan kondisi bahwa UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi itu malahan rawan batal demi hukum karena mengacu pernyataan bersama sepatutnya Batal Demi Hukum oleh berbagai komponen pemangku kepentingan MiGas nasional yakni MASBETA (Masyarakat Bela Tanah Air), SPKP (Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina), KOPPERTA (Koperasi Purnakarya Pertamina), MASDEM (Mimbar Aspirasi Demokrat), ILUNI UI Jakarta, FORTANA (Forum Tenaga Kerja Pertamina), FSPPB (Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu), Front Revolusi 45, AMD (Angkatan Muda Demokrat, Banten), Pusat Kajian Indonesia Baru pada tanggal 11 Mei 2005 di Jakarta Pusat. Adapun materi Pernyataan itu adalah (1) Bahwasanya UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menyandang Cacat Hukum Bawaan sejak disahkan pada tanggal 23 Nopember 2001 akibat (1.1) ikhwal Menimbang (e) UU No. 22/2001 ketika disahkan tidak diberikan dasar hukum oleh UUD 1945 sementara keberadaan Pasal-33 ayat (4) UUD 1945 yang berkaitan justru baru disahkan ketika Amandemen IV tanggal 10 Agustus 2002; (1.2) ikhwal Mengingat (1) UU No. 22/2001 yaitu Pasal-33 ayat (2) dan ayat (3) UndangUndang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua UndangUndang Dasar 1945 ketika disahkan justru bertentangan dengan fakta yaitu Pasal-33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 itu tidak mengalami perubahan tekstual sejak pengesahan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945; (1.3) Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Perkara No. 002/PUU-I/2003 tanggal 21 Desember 2004 ternyata baik ikhwal Menimbang (e) maupun ikhwal Mengingat (1) UU No. 22/2001 tidak diuji material sebagaimana mestinya; (2) Bahwasanya oleh karena itulah, dengan sesungguhnya, maka UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi termaksud adalah sepatutnya Batal Demi Hukum. Ya, boleh jadi roh daripada Pasal-33 UUD 1945 tidak mau diusik oleh kiprah demokrasi daulat pasar.

Demikian pula yang terjadi pada turunannya yakni PP No. 34/2005 tanggal 10 September 2005 tentang Perubahan Atas PP No. 35/2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, misalnya Pasal-103D PP No.

34/2005 menyatakan Berdasarkan persetujuan Presiden, Menteri menetapkan bentuk dan ketentuan-ketentuan pokok Kontrak Kerja Sama dan menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap untuk melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi menggantikan Pasal-103 PP No. 35/2004 yang menyatakan Ketentuan mengenai pengusahaan Gas Metana Batubara termasuk bentuk dan ketentuanketentuan Kontrak Kerja Samanya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Gas Metana Batubara (Coalbed Methane) yang adalah gas bumi (hidrokarbon) dimana gas metana merupakan komponen utamanya yang terjadi secara alamiah dalam proses pembentukan batubara (coalification) dalam kondisi terperangkap dan terserap (terabsorbsi) di dalam batubara dan/atau lapisan batubara jelas berbeda dengan ikhwal Kegiatan Usaha Hulu yang adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi. Dari berbagai pemberitaan media diketahui bahwa pada tanggal 17 September 2005 dilakukan penandatanganan Kontrak Kerja Sama Blok CEPU yang boleh dikategorikan sebagai kontroversial mengingat didahului serentang waktu 7 (tujuh) hari saja oleh penerbitan PP No. 34/2005 tersebut diatas yang seolah guna upaya pembenaran aspek legalistik semata bagi kepentingan daulat pasar.

Adalah benar Pasal-5 UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya, namun pertanyaannya lalu menjadi apakah dengan pernyataan pada Pasal 103A PP No. 34/2005 bahwa Dalam hal adanya kepentingan nasional yang mendesak, dengan tetap mempertimbangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi Negara, dapat dilakukan pengecualian terhadap beberapa ketentuan pokok Kontrak Kerja Sama, dan Pasal-103C PP No. 34/2005 bahwa Menteri mengajukan permohonan pengecualian ketentuan-ketentuan pokok Kontrak Kerja Sama untuk suatu Wilayah Kerja tertentu berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal-103B kepada Presiden untuk mendapatkan persetujuan, kemudian boleh mengabaikan prinsip2 kemandirian TRISAKTI yang dikemukakan oleh Bung Karno sebagaimana ditegaskan kembali pada Kongres Alumni GMNI tanggal 24 Maret 2006. Seharusnya jawabannya adalah Tidak, karena prinsip2 kemandirian TRISAKTI jelas Pro Daulat Rakyat ketimbang Pro Daulat Pasar.

Senafas dengan itu, seharusnya pemerintah mempertegas kewajiban pemenuhan pasar domestik lebih besar daripada 25%, misalnya menjadi 75%, kepada produsen MiGas dengan merevisi UU No. 22/2001 tentang MiGas karena Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No 002/PUU-I/2003 tanggal 21 Desember 2004 telah memberi jalan dengan menghapus kata paling banyak sehingga Pasal-22 (1) UU MiGas menjadi Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Lebih lanjut, berdasarkan UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hanya dikenali jenis dan hierarki sebagai berikut (a) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (b) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, (c) Peraturan Pemerintah, (d) Peraturan Presiden, (e) Peraturan Daerah, dengan lain perkataan maka Keputusan Menteri (KepMen) adalah bukan bagian daripada Perundang-undangan. Pertanyaannya lalu menjadi apakah pendelegasian berbuah KepMen oleh PP yang terkait harkat hidup orang banyak dan asset Negara dapat dikatakan cukup dapat dipertanggungjawabkan dalam kerangka dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat kepada segenap rakyat sebagai pemegang hak kedaulatan ? Seharusnya jawabannya adalah Tidak, karena bagaimanapun, bentuk KepMen dikenali hanya untuk mengatur operasional administratif dari departemen teknis yang bersangkutan. Sehingga kewenangan yang berlebih suatu KepMen sewajarnyalah dipermasalahkan paling tidak oleh lembaga tinggi Negara lain seperti Mahkamah Agung dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat guna tercapainya satu titik keseimbangan yang aman bagi tujuan kesejahteraan lahir dan batin kehidupan berbangsa dan bernegara layaknya mekanisme checks and balances. Sungguh mengherankan bahwa kepekaan lembaga2 tinggi Negara lain untuk mempermasalahkannya lalu harus pula menunggu sikap proaktif warga peduli konstitusi dan perundang-undangan misalnya keberadaan pengajuan permohonan uji material. Jawabannya hanya satu, sikap kenegarawanan boleh jadi memang masih menjadi ikhwal yang langka bagi para pejabat2 publik terkait. Nah ini bisa menjadi urusan ahli sosiologi untuk juga segera angkat bicara demi penguatan sikap kenegarawanan dimaksud. Apa ini juga berarti sejalan saja dengan pendapat misalnya bahwa para wakil rakyat terpilih sekarang di DPR kebanyakan bukan the right man in the right place ? Kalau benar begitu ya Partai Politik terkait sepatutnya mengkaji ulang pasukannya di DPR, sederhana saja bukan ? Alias, kalau bisa ada penggantian antar waktu kenapa harus dipertahankan sebagai legislator, senafas saja dengan kalau bisa dipermudah kenapa harus dipersulit. Tapi jangan kebablasan, sehingga mempermudah investor asing masuk namun di pihak lain mempersulit rakyat menggapai kedaulatannya untuk memperoleh kesejahteraannya secara mandiri.

Nasionalisme Kenegarawanan MiGas oleh karena itu seharusnya dapat diartikan terkait paham Kebangsaan yakni paham yang mengajarkan bahwa kesetiaan individu harus diserahkan kepada Negara Kebangsaan (Hans Kohn, Sejarah Lahirnya Pancasila, YAPETA Pusat, Maret 1995). A. Dahlan Ranuwihardja, SH berpendapat bahwa rambu2 paham Kebangsaan adalah Pro Kemerdekaan, Anti Penjajahan, Kemerdekaan adalah hasil Perjuangan, Pro Ketuhanan, Anti Atheisme, Pro 4 Tujuan Nasional, Pro Demokrasi, Pro Republik, Pro UUD, Pro Pancasila yang salah satunya Persatuan Indonesia, dan Prof MR Notonegoro menegaskan Paham Kebangsaan Indonesia yang dalam Pancasila adalah Persatuan Indonesia diartikan sebagai Persatuan Indonesia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang ber-Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, yang ber-Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat

Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, yang ber-Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Dengan lain perkataan, sikap pragmatis terhadap internasionalisasi/globalisasi seharusnya tidak mendominasi sikap Nasionalisme Kenegarawanan MiGas, karena bagaimanapun MiGas masih menjadi tumpuan potensial Energi di Indonesia sementara Energi Alternatif sendiri sedang dalam tahap awal pengembangan.

26 Maret 2006 Lintas Advokasi Politik & Hukum Indonesia,

DR Ir Pandji R. Hadinoto, MH Koordinator, eMail : [email protected]


Related Documents