10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kartilago
Kartilago atau tulang rawan sendi adalah jaringan yang terdiri dari sel dan
serat yang menutupi matriks atau bahan padat (Gibson, 2003). Kartilago
mengandung campuran glikosaminoglikan dengan protein pada substansi
dasarnya yang memberikan karakter yang kuat walaupun memiliki derajat
elastisitas dan kompresibilitas yang lebih besar dari pada tulang (Slaane, 2004).
Kartilago tidak memiliki pembuluh darah, pembuluh limfe atau saraf, tetapi
diselubungi membran yaitu perikondrium sebagai tempat tulang rawan
mendapatkan darah (Gibson, 2003).
Secara alami, kartilago memiliki kemampuan untuk mengalami degenerasi
dan regenerasi. Proses penyembuhan kartilago diatur oleh kondrosit yang
memproduksi matriks ekstraseluler berupa proteoglikan dan kolagen. Akan tetapi,
ketika kartilago artikular mengalami cedera maka kemampuannya untuk
memperbaiki diri sangat terbatas. Hal ini dikarenakan beberapa respons terhadap
penyembuhan cedera pada kartilago tidak dikompensasi dengan proliferasi tipe
kolagen dan proteoglikan yang sesuai dan akan menyebabkan fungsi yang
abnormal. (Steinert et al., 2008).
11
2.1.1 Klasifikasi kartilago
Terdapat tiga jenis kartilago dengan kandungan sel dan serat yang berbeda, yaitu:
2.1.1.1 Kartilago hialin
Kartilago hialin terbentuk terutama pada area yang membutuhkan
sokongan kuat, tetapi fleksibilitas juga diperlukan. Kartilago hialin membentuk:
a. Sebagian besar tulang rawan pada tulang,tulang rawan iga, pada ujung
anterior iga; pada umur yang sudah lanjut tulang rawan ini mengalami
osifikasi (menjadi tulang),
b. Tulang rawan artikular di dalam sendi. Tulang rawan ini menutupi permukaan
tulang dalam sendi dan bersifat licin, dengan cairan yang disekresi oleh
membran sinovial sendi,
c. Laring dan cincin trakea. Tulang rawan laring dapat mengalami osifikasi.
2.1.1.2 Kartilago elastik
Kartilago elastik memiliki struktur yang serupa dengan kartilago hialin
tetapi mengandung banyak serat elastin yang bercabang banyak. Hal ini
memungkinkan kekakuan kartilago, tetapi tidak memiliki elastisitas dalam
pergerakan. Kartilago elastik terbentuk pada bagian telinga eksternal, epiglotis
dan beberapa kartilago laring (Gibson, 2003; Sloane, 2004).
2.1.1.3 Fibrikartilago
Tulang rawan ini terdiri dari serat kolagen dalam jumlah besar dan
ditemukan di dalam jaringan ikat (Gibson, 2003). Fibrikartilago terjadi pada
lokasi yang lebih memerlukan sokongan atau daya regang yang lebih kuat
daripada yang dapat diberikan kartilago hialin. Fibrikartilago menyatukan tulang
12
pada persendian yang gerakannya terbatas misalnya tulang pada tengkorak kepala,
simfisis pubis dan diskus intervetebral. Struktur kondrosit pada fibrikartilago
seringkali terbentuk dalam kelompok atau barisan di antara sejumlah berkas serat
kolagen (Sloane, 2004).
2.1.2 Histogenesis kartilago
Pembentukan kartilago dimulai dari kondroblas yang merupakan sel
kondrosit yang imatur. Sel ini kemudian berproliferasi dan memproduksi matriks.
Seiring dengan meningkatnya matriks extraselular, kondroblas terkumpul di
dalam lakuna dan menjadi kondrosit. Kondrosit adalah sel kartilago yang telah
matur dan mengisi ruang-ruang kecil (lakuna) dalam matriks. Kondrosit akan
terus membelah dan memproduksi kartilago tambahan (Sloane, 2004). Beberapa
makromolekul utama yang terkandung dalam matriks kartilago antara lain
kondrosit, kolagen dan proteoglikan.
2.1.2.1 Kondrosit
Semua komponen jaringan dalam kartilago artikular disintesis oleh
kondrosit. Kondrosit membentuk sekitar 1% dari keseluruhan volume jaringan
(Erggelet and Mandelbaum, 2008). Kondrosit merupakan sel yang terdapat dalam
kartilago matur dan bertanggung jawab untuk sintesis dan integritas dari matriks
ekstraseluler kartilago. Kartilago yang normal akan menstimulasi kondrosit untuk
menjaga komposisi molekul kartilago yang sesuai, sedangkan kartilago yang
mengalami gangguan akan menstimulasi kondrosit untuk mengubah komposisi
molekul kartilago, dimana hal ini akan mengarah pada kejadian osteoarthritis
13
(Monfort et al., 2006). Fenotip kondrosit dikarakterisasi dengan ekspresi dari gen
spesifik berupa kolagen tipe-2 dan faktor transkripsi SOX-9 (Tew et al., 2007).
Gambar 2.1. Peran faktor transkripsi SOX-9 dalam kondrogenesis.
Bone morphogenic protein-2 (BMP-2) bersifat osteoinduktif serta
merupakan faktor yang berperan dalam proses induksi diferensiasi dari osteoblast.
Efek dari ESWT pada tulang subkondral didukung dengan peningkatan
vaskularisasi yang dimanifestasikan dengan perubahan pada vessel endothelial
growth factor (VEGF), sedangkan proses osteogenesis dimanifestasikan dengan
adanya perubahan dalam BMP-2. VEGF merupakan protein yang menstimulasi
vaskulogenesis dan angiogenesis serta faktor yang mengindikasikan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah dan aktivitas mikrovaskuler termasuk pertumbuhan
angiogenik dari pembuluh darah baru (Hsu et al., 2013).
14
2.1.2.2 Kolagen
Kolagen adalah struktur protein yang merupakan makromolekul dengan
jumlah terbesar yang menyusun kartilago artikular. Sekitar 60% dari berat kering
kartilago terdiri dari kolagen. Kartilago hialin terutama terdiri dari kolagen tipe-2,
dan pada jumlah yang lebih sedikit terdapat jenis kolagen tipe-9, 10 dan 11.
Kolagen bertanggung jawab untuk ketahanan kartilago dan kemampuannya dalam
menahan beban. Kondroitin sulfat, keratan sulfat dan dermatan sulfat merupakan
matriks proteoglikan yang penting dalam kartilago (Erggelet and Mandelbaum,
2008).
2.1.2.3 Proteoglikan
Proteoglikan terdiri dari protein inti dengan rantai glikosaminoglikan
yang terhubung. Baik penyerapan maupun pengeluaran pada kartilago artikular
diatur oleh molekul proteoglikan. Proteoglikan sangat penting untuk penyerapan
stres mekanis serta penyerapan nutrisi untuk kartilago karena sebagian besar
nutrisi diperoleh melalui difusi sinovial (Erggelet and Mandelbaum, 2008).
Proteoglikan memiliki fungsi untuk memberikan elastisitas pada
jaringan. Beban yang berat pada sendi dapat meningkatkan konsentrasi
proteoglikan sebagai akibat dari peningkatan sintesis dan/atau pengurangan
degradasi di tulang rawan sendi. Adanya proteoglikan dalam jumlah yang tinggi
diperkirakan dapat memperkuat elastisitas jaringan melalui efek osmotik
(Monfort et al., 2006).
15
Gambar 2.2. Struktur kartilago
2.2 Anatomi Sendi Lutut
Sendi lutut merupakan bagian dari ekstremitas inferior yang
menghubungkan tungkai atas dengan tungkai bawah dan berfungsi untuk
mengatur pergerakan dari kaki. Adapun gerakan yang dapat dilakukan oleh sendi
lutut adalah gerakan fleksi, ekstensi, dan sedikit rotasi. Jika terjadi gerakan atau
faktor lain yang menyebabkan kapasitas sendi berlebihan, maka hal ini dapat
menimbulkan cedera pada tulang rawan sendi lutut (Snell, 2012).
Sendi lutut dibentuk oleh empat tulang yaitu tulang femur, patela, tibia dan
fibula. Pergerakan utama dari sendi lutut terjadi antaran tulang femur, tibia dan
patella. Permukaan atas dari tibia memiliki bentuk yang relatif datar dan disebut
tibia plateau. Sedangkan bagian akhir dari femur berbentuk menyerupai huruf
‘W’ dengan tonjolan bulat disebut condyle. Condyle yang berada pada bagian
dalam disebut medial condyle sedangkan condyle yang di bagian luar disebut
lateral condyle. Patella merupakan bagian yang paling sering mengalami arthritis
16
dan bagian yang paling sering mengalami perasaan nyeri pada sendi lutut bagian
depan. Pada setiap bagian tulang yang berhubungan dengan sendi lutut dilapisi
oleh tulang rawan sendi yang keras namun halus untuk mengurangi risiko
terjadinya cedera antar tulang (Hugate and Holland, 2012).
Ligamen merupakan komponen yang paling penting dalam
mempertahankan stabilitas sendi. Stabilitas sendi lutut saat melakukan pergerakan
dipertahankan oleh kolateral ligamen. Kolateral ligamen menghubungkan antara
aspek bagian luar dan dalam dari sendi lutut. Ligamen yang berada pada bagian
medial sendi lutut disebut medial collateral ligament (MCL) sedangkan ligamen
yang berada pada bagian lateral sendi lutut disebut lateral collateral ligament
(LCL). Selain itu, terdapat pula ligamen yang menyilang di tengah sendi lutut dan
karena letaknya yang menyilang, ligamen ini disebut dengan cruciate ligaments.
Ligamen yang berada pada bagian depan disebut anterior cruciate ligament
(ACL), sedangkan yang berada pada bagian belakang disebut posterior cruciate
ligament (PCL). Cruciate ligament merupakan ligamen yang penting dalam
mempertahankan stabilitas sendi lutut saat melakukan gerakan yang mengarah ke
depan-belakang serta gerakan berputar (Hugate and Holland, 2012).
17
Gambar 2.3. Ligamen pada sendi lutut.
Sendi lutut dibagi menjadi tiga kompartemen yang terpisah. Kompartemen
pertama disebut dengan kompartemen medial yang terletak di antara medial
condyle dari femur dan medial tibial plateau. Kompartemen medial merupakan
kompartemen pada sendi lutut yang paling sering terlibat dalam kejadian
osteoarthritis. Kompartemen yang kedua disebut kompartemen lateral yaitu ruang
antara lateral femoral condyle dan lateral tibial plateau, sedangkan kompartemen
yang ketiga terletak pada ruang di antara patella dan femur sehingga disebut
dengan kompartemen patello-femoral. Dalam banyak kasus arthritis yang terjadi,
ketiga kompartemen tersebut akan menunjukkan tanda dan gejala berupa
degradasi dan nyeri pada tulang rawan sendi lutut (Hugate and Holland, 2012).
18
Gambar 2.4. Kompartemen pada sendi lutut.
2.3 Biomekanik Sendi Lutut
Biomekanik atau pergerakan sendi lutut yang normal akan menghasilkan
gerakan fisiologis yang didasari oleh gerak osteokinematik seperti gerakan fleksi,
ekstensi dan rotasi. Aksis gerakan fleksi dan ekstensi terletak di atas permukaan
sendi yaitu melewati condylus femoris sedangkan aksis untuk gerakan rotasi
terletak secara longitudinal pada daerah condylus medialis. Gerakan rotasi
berperan penting dalam gerakan fleksi dan ekstensi lutut. Pada saat gerakan
ekstensi mendekati akhir gerak, akan terjadi rotasi eksternal tibia terhadap femur.
Demikian sebaliknya sewaktu gerakan awal fleksi akan terjadi rotasi internal tibia
terhadap femur.
Untuk mendapatkan fungsi pergerakan dan mampu menahan beban
dengan baik, maka sendi lutut membutuhkanstruktur anatomi yang normal. Secara
biomekanik, beban yang diterima sendi lutut dalam keadaan normal akan melalui
medial sendi lutut dan diimbangi oleh otot-otot paha bagian lateral sehingga
19
resultannya akan jatuh di bagian sentral sendi lutut. Adanya gangguan pada sendi
seperti kerusakan struktur yang disebabkan karena berbagai faktor dapat
meningkatkan risiko osteoarthritis pada sendi lutut.
Deformitas varus (genu varus) adalah suatu kondisi dimana keselarasan
dari sendi melewati kompartemen medial sendi daripadi pusat sendi lutut yang
dapat menyebabkan kontak dan tekanan beban yang lebih besar pada
kompartemen medial lutut. Genu varus dapat menyebabkan kompensasi beban
mengarah pada bagian medial sehingga mengakibatkan perubahan kinetik dan
kinematika sendi selama melakukan pergerakan. Sedangkan deformitas valgus
(genu valgus) adalah kondisi dimana keselarasan sendi melewati kompartemen
lateral sendi daripadi pusat sendi lutut yang dapat menyebabkan peningkatan stres
pada bagian luar atau pada kompartemen sendi lutut bagian lateral
(Levinger et al., 2010). Peningkatan derajat genu varus terkait dengan
perkembangan osteoarthritis lutut, terutama pada pasien yang mengalami obesitas.
Genu varus meningkatkan risiko osteoarthritis lutut sebesar 5 kali lipat pada
pasien obesitas (Eustice, 2015).
Deformitas varus dan valgus akan memberikan efek instabilitas secara
langsung pada lutut. Adanya deformitas menyebabkan tekanan dan beban tubuh
tidak hanya berada pada tulang rawan artikular tetapi juga pada jaringan lain di
sekitarnya yaitu pada tulang subkondral dan ligamen. Memburuknya kondisi
deformitas akan memperburuk osteoarthritis yang diderita sehingga dapat
dikatakan bahwa deformitas berkontribusi dalam perkembangan osteoarthritis dan
berpartisipasi dalam memburuknya kondisi osteoarthritis (Eustice, 2015).
20
2.4 Osteoarthritis
Osteoarthritis merupakan suatu sindrom klinik yang ditandai dengan
adanya gangguan dan penurunan progresif pada tulang rawan sendi artikular yang
mengakibatkan gejala berupa perasaan nyeri, keterbatasan gerak dan kekakuan
pada sendi yang terutama muncul ketika inaktivitas panjang atau aktivitas yang
berlebihan. Manifestasi osteoarthritis umumnya bersifat lokal, menyerang satu
atau beberapa sendi seperti sendi lutut, pinggul dan tangan. Kekakuan sendi
umumnya akan menghilang sejenak saat istirahat dan akan memburuk setelah
melakukan aktivitas. Osteoarthritis kronis dapat menyebabkan kesulitan saat
menjalankan aktivitas, deformitas dan cacat progresif pada penderita.
Osteoarthritis tahap akhir ditunjukkan dengan kegagalan dari proses reparatif
tulang rawan sendi yang dapat mengakibatkan degradasi matriks ekstraseluler,
kematian sel dan kehilangan integritas dari tulang rawan sendi (Monfort et al.,
2006; Dipiro et al., 2009; Arthritis Foundation, 2014). Kejadian osteoarthritis
berkaitan erat dengan proses angiogenesis dan inflamasi. Angiogenesis dan
inflamasi dapat mempengaruhi progresivitas gejala osteoarthritis seperti nyeri.
Inflamasi dapat menstimulasi terjadinya angiogenesis, sedangkan angiogenesis
dapat memfasilitasi peristiwa inflamasi. Angiogenesis dapat menyebabkan
gangguan pada regulasi kondrosit dan osifikasi endokondral yang berkontribusi
terhadap perubahan radiografi pada tulang rawan sendi. Proses inflamasi
berpengaruh pada syaraf sehingga menyebabkan peningkatan rasa nyeri (Bonnet
and Walsh, 2005).
21
2.4.1 Klasifikasi osteoarthritis
Berdasarkan patogenesisnya, osteoarthritis dapat dibagi menjadi 2 (dua)
tipe. Klasifikasi osteoarthritis berdasarkan patogenesisnya dibedakan menjadi:
2.4.1.1 Osteoarthritis primer
Osteoarthritis primer merupakan tipe osteoarthritis yang paling sering
ditemukan dan bersifat idiopatik. Osteoarthritis primer adalah osteoarthritis yang
kausanya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik
maupun proses perubahan lokal pada sendi (Sudoyo et al., 2009). Osteoarthritis
primer dapat bersifat general (terjadi pada tiga sendi atau lebih) atau lokal (terjadi
pada satu atau dua sendi).
2.4.1.2 Osteoarthritis sekunder
Osteoarthritis sekunder terjadi akibat adanya faktor risiko yang
teridentifikasi seperti trauma sendi, abnormalitas anatomi sendi, infeksi, gangguan
metabolik pada tulang rawan sendi, perubahan tulang subkondral (akromegali)
dan faktor bawaan (Brashers, 2008; Dipiro et al., 2009)
2.4.2 Epidemiologi osteoarthritis
Prevalensi dan tingkat keparahan dari osteoarthritis meningkat seiring
dengan pertambahan usia, dimana peningkatan prevalensi terjadi pada wanita
dengan usia diatas 40 tahun dan pada pria dengan usia diatas 50 tahun (Dipiro
et al., 2009; Braddom, 2011). Berdasarkan Center for Disease Control and
Prevention (2014), pada tahun 2005 osteoarthritis menyerang 13.9% penderita
dalam kelompok usia 25 tahun atau lebih dan 33.6% menyerang penderita dalam
22
kelompok usia 65 tahun ke atas. Persentase munculnya osteoarthritis pada sendi
lutut pada kelompok usia 25-34 tahun adalah sebesar 0,1% sedangkan pada
kelompok usia 65-74 tahun osteoarthritis muncul dengan persentase mencapai 10-
20%. Insidensi osteoarthritis dengan tingkat keparahan sedang (moderate) - parah
(severe) pada sendi lutut ditemukan pada 33% penderita yang termasuk dalam
kelompok usia antara 65-74 tahun, sedangkan 50% diantaranya menderita
osteoarthritis pada sendi pinggul. Kejadian osteoarthritis lebih banyak ditemukan
pada wanita, dimana wanita dengan usia lebih tua memiliki risiko dua kali lebih
besar terserang osteoarthritis pada sendi lutut dan tangan jika dibandingkan
dengan pria (Dipiro et al., 2009). Osteoarthritis pada sendi tangan umumnya
terjadi pada wanita, sementara itu osteoarthritis pada sendi pinggul umumnya
muncul pada pria (Braddom, 2011).
2.4.3 Etiologi osteoarthritis
Etiologi dari osteoarthritis bersifat multifaktorial, dimana kebanyakan
penderita osteoarthritis memiliki lebih dari satu faktor risiko yang dapat
menginduksi munculnya osteoarthritis. Faktor risiko yang paling umum sebagai
penyebab osteoarthritis adalah obesitas, jenis pekerjaan, partisipasi dalam
kegiatan olahraga, riwayat trauma sendi dan faktor genetik (Dipiro et al., 2007).
A. Obesitas
Peningkatan berat badan sangat berhubungan dengan kejadian
osteoarthritis pada sendi pinggul, lutut dan tangan, dimana obesitas dianggap
sebagai faktor risiko utama yang dapat dicegah pada osteoarthritis. Kemunculan
osteoarthritis seringkali didahului dengan adanya obesitas dan lebih banyak
23
berkontribusi dalam perkembangan osteoarthritis dibandingkan dengan inaktivitas
sendi (Dipiro et al., 2007). Seseorang yang menderita obesitas memiliki risiko 14
kali lebih besar untuk mengalami osteoarthritis pada salah satu sendi lutut dan 5
kali lebih besar mengalami osteoarthritis pada kedua sendi lutut. Beban berlebihan
yang ditanggung oleh sendi pada penderita obesitas dapat mempercepat kerusakan
tulang rawan sendi dan meningkatkan kerentanan terhadap kejadian osteoarthritis
(ARC, 2014). Obesitas ternyata tak hanya berkaitan dengan osteoarthritis pada
sendi yang menanggung beban, tapi juga berpengaruh dengan sendi lain
(Sudoyo et al., 2009).
B. Pekerjaan, olahraga dan trauma sendi
Individu yang terlibat dalam suatu kegiatan atau pekerjaan yang
memerlukan gerakan berulang atau adanya riwayat cedera memiliki risiko yang
lebih tinggi untuk mengalami osteoarthritis. Begitu pula dengan individu yang
berpartisipasi dalam aktivitas olahraga, walaupun risiko munculnya osteoarthritis
tergantung pada tipe dan intensitas dari aktivitas fisik yang dilakukan.
Kemunculan osteoarthritis pada individu dengan usia lebih tua yang mengalami
cedera sendi cenderung lebih besar jika dibandingkan dengan individu berusia
muda dengan cedera serupa (Dipiro et al., 2007).
C. Faktor genetik
Osteoarthritis merupakan penyakit yang bersifat multifaktorial, dimana
faktor genetik memiliki peran terhadap terjadinya osteoarthritis. Kelompok gen
interleukin (IL) menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap kejadian
osteoarthritis. Begitu pula dengan calmulin yang merupakan regulator intraseluler
24
dan berperan dalam berbagai perisitiwa fisiologis, termasuk dalam ekspresi
kolagen tipe-2 juga memiliki kontribusi dalam kejadian osteoarthritis (Dipiro et
al., 2007). Selain itu, faktor genetika yang berkaitan dengan kelainan tulang
bawaan yang mempengaruhi bentuk sendi dan stabilitas atau cacat yang
menyebabkan perubahan dalam bentuk tulang rawan sendi juga dapat
menyebabkan osteoarthritis (Arthritis Foundation, 2014). Beberapa faktor risiko
yang dapat menyebabkan kejadian osteoarthritis berdasarkan American Geriatrics
Society dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Faktor risiko osteoarthritis (AGS, 2001)
Dapat diubah Potensial dapat diubah Tidak dapat diubah
Kegemukan (obesitas) Trauma Umur
Kelemahan otot
Berkurangnya proprioception
atau kemampuan untuk
merasakan dan memahami
gerakan serta posisi tubuh
Jenis kelamin
Aktivitas fisik yang
berat
Biomekanik sendi yang buruk
(misalnya kelemahan sendi) Keturunan
Tidak aktif - Kongenital
2.4.4 Patofisiologi osteoarthritis
Patofisiologi osteoarthritis disebabkan karena adanya berbagai faktor
risiko yang dapat menstimulasi terjadinya disorganisasi dan degradasi pada
kartilago. Faktor risiko baik faktor biomekanik dan biokimia merupakan faktor
penting yang menstimulasi terbentuknya produk degradasi kartilago di dalam
cairan sinovial sendi yang mengakibatkan terjadinya inflamasi, nyeri serta
kerusakan kondrosit. Dalam osteoarthritis terjadi gangguan antara degradasi dan
sintesis matriks ekstraseluler kartilago yang dipengaruhi oleh kondrosit (Monfort
25
et al., 2006). Aktivitas katabolik yang aktif karena dimediasi oleh sitokin pro-
inflamasi, stres oksidatif dan aktivitas enzim proteolitik merupakan faktor inisiasi
yang penting dalam progresivitas osteoarthritis (Egloff et al., 2012).
Keseimbangan antara proses anabolik dan katabolik (repair and damage)
selalu terjadi pada tulang rawan sendi. Pada kejadian osteoarthritis, diferensiasi
pada tulang rawan sendi merupakan akibat dari ketidakmampuan kondrosit dalam
mempertahankan keseimbangan sintesis dan degradasi matriks ekstraseluler
tulang rawan sendi. Patogenesis osteoarthritis meliputi ketidakseimbangan faktor
biomekanik dan biokimia yang akan mengubah homeostasis dari proses anabolik
dan katabolik jaringan tulang rawan sendi sehingga memberikan efek destruktif
pada tulang rawan sendi (Iannone and Lapadula, 2003; Lee et al., 2013).
Secara garis besar, peristiwa degenerasi tulang rawan sendi pada
progresivitas osteoarthritis dibagi menjadi dua tahap, yaitu fase biosintesis yaitu
fase dimana sel-sel dalam tulang rawan sendi yaitu kondrosit melakukan upaya
untuk mengkompensasi kehilangan matriks ekstraseluler; dan fase degradatif yaitu
fase dimana aktivitas kondrosit dalam melakukan sintesis matriks dihambat dan
degenerasi serta erosi dari tulang rawan sendi berlangsung secara cepat
(Sandell and Aigner, 2001). Secara singkat, patofisiologi terjadinya osteoarthritis
dapat dilihat pada Gambar 2.5.
26
Gambar 2.5. Ringkasan patofisiologi osteoarthritis.
Perkembangan khas dari penyakit osteoarthritis melibatkan peristiwa berikut: (1)
hilangnya matriks tulang rawan yang dapat menyebabkan sendi menjadi lebih
rentan mengalami cedera; (2) perubahan pada tulang rawan dengan perkembangan
osteofit di pinggiran sendi; (3) pelepasan fragmen tulang rawan ke dalam sendi;
(4) kerusakan tulang rawan yang berhubungan dengan peradangan sinovial, yang
menyebabkan pelepasan sitokin dan enzim yang dapat memperburuk kerusakan
tulang rawan sendi (Braddom, 2011). Peristiwa seperti proliferasi kondrosit,
diferensiasi hipertrofi kondrosit, remodelling dan mineralisasi matriks
ekstraseluler, invasi kondrosit ke pembuluh darah dan apoptosis sel kondrosit
terjadi sejalan dengan progresivitas osteoarthritis (Dreier, 2010).
Pengaruh genetik: - Kelainan biokimia dalam
sintesis kolagen dan
proteoglikan serta kelainan dalam pembentukan tulang
- Displasia bawaan
Kerusakan struktur
tulang rawan
Faktor risiko: - Umur
- Obesitas
- Kondisi metabolik - Malalignment
-Trauma sendi / cedera
Pelepasan MMP disertai
degradasi dari kolagen dan proteoglikan
Kelemahan otot
(muscle weakness)
Perubahan dalam
fungsi kondrosit
Pelepasan sitokin dan
perubahan faktor
transkripsi
Perubahan bentuk
(remodeling) tulang
Peradangan
sinovial
27
Gambar 2.6. Progresivitas osteoarthritis.
Etiopatogenesis osteoarthritis dimulai dari paparan faktor biomekanik dan
biokimia yang berlangsung secara terus menerus dan akan mengganggu
keseimbangan proses anabolik dan katabolik pada tulang rawan sendi. Saat
keadaan normal, permukaan tulang rawan sendi yang halus dan elastis akan
memungkinkan sendi untuk bergesekan tanpa menimbulkan rasa sakit. Pada
kejadian osteoarthritis terjadi kehilangan komponen matriks ekstraseluler yang
berdampak pada degradasi matriks ekstraseluler tulang rawan sendi
(Brashers, 2008).
Matriks ekstraseluler tulang rawan sendi tersusun atas makromolekul
utama yaitu kondrosit, kolagen dan proteoglikan. Kondrosit merupakan sel normal
yang terkandung di dalam tulang rawan sendi dan bertanggung jawab untuk
sintesis dan integritas matriks ekstraseluler tulang rawan sendi. Fungsi tulang
rawan sendi tergantung pada struktur integritas dan komposisi biokimia dari
matriks ekstraseluler. Agrekan dan kolagen tipe-2 adalah makromolekul utama
dan komponen penting dalam penyusunan struktur matriks ekstraseluler yang
menentukan sifat mekanis dari jaringan (Monfort et al., 2006). Pada kartilago
28
yang normal, kolagen tipe-2 berikatan erat sehingga membuat molekul-molekul
agrekan berada dalam jarak dekat antara satu sama lain. Agrekan merupakan
proteoglikan yang berikatan dengan asam hyaluronat yang terdiri dari
glikosaminoglikan bermuatan negatif. Molekul agrekan akan memberikan efek
kekakuan pada kartilago melalui tolakan elektrostatis dari muatan negatifnya
(Fauci et al., 2008). Kerusakan dari kolagen tipe-2 dan hilangnya komponen
matriks ekstraseluler tulang rawan sendi mengakibatkan penurunan sintesis
matriks dan regulasi degradasi jaringan tulang rawan sendi. Oleh karena itu,
keseimbangan antara agrekan dan kolagen tipe-2 merupakan parameter kritis
untuk menentukan integritas matriks ekstraseluler tulang rawan sendi
(Monfort et al., 2006; Tew et al., 2007).
Fenotipe dari kondrosit artikular dicirikan dengan adanya ekspresi molekul
gen spesifik kartilago pada matriks ekstraseluler seperti kolagen tipe-2, SOX9,
dan agrekan yang secara keseluruhan bertanggung jawab pada perubahan
anabolisme dari kartilago. Matriks ekstraseluler dari kartilago tersusun atas
kompleks proteoglikan, hyarulonat dan fibril heterotipik. Penyusun dari fibril
heterotipik tersebut adalah kolagen tipe-2, kolagen tipe-9, dan kolagen tipe-11.
Adanya deplesi dari komponen proteoglikan dan destabilisasi dari supra
molekuler kolagen menyebabkan terjadinya suatu stersor antara interaksi
kondrosit dan matriks ekstraseluler yang menyebabkan hilangnya keseimbangan
antara sistesis dan degradasi dari matriks ekstraseluler yang memicu apoptosis
dari kondrosit (Bertrand, 2010).
29
Paparan faktor biomekanik dan biokimia akan menstimulasi hilangnya
molekul proteoglikan dan jaringan lain pada tulang rawan sendi. Hal ini berakibat
pada munculnya inflamasi dan pengikisan pada permukaan tulang rawan sendi
sehingga tulang rawan sendi akan kehilangan elastisitas dan rusak dengan mudah.
Pada peristiwa ini juga mulai terjadi kehilangan molekul air sehingga celah dan
lubang muncul pada tulang rawan sendi. Selama tahap ini, penderita akan
mengalami gejala osteoarthritis secara akut seperti kekakuan sendi dan perasaan
nyeri ketika bergerak yang dapat terjadi pada derajat ringan dalam waktu singkat,
yaitu sekitar 30 menit. Fleksibilitas sendi umumnya akan kembali saat sendi
dipergunakan secara aktif (Lozada, 2013).
Stres mekanis kronis yang dialami oleh tulang rawan sendi menyebabkan
terjadinya cedera seluler pada kartilago yang menyebabkan dilepaskannya produk
degradasi kartilago yang bersifat proinflamatorik ke cairan sinovium. Produk
degradasi ini dapat bertindak sebagai Damage-Associated Mollecular Pattern
(DAMP) yang selanjutnya berinteraksi dengan toll-like receptor (TLR), integrin,
dan reseptor RAGE pada sel-sel sinovium dan kondrosit. Aktivasi dari ketiga
reseptor tersebut menginisiasi proses awal dari inflamasi pada cairan sinovial atau
lebih dikenal dengan sinovitis yakni dengan mengaktivasi dua protein signaling
inflamatorik penting yakni NF-kB dan Notch. Aktivasi Notch juga dimediasi
dengan peningkatan ekspresi Jag1 yang merupakan ligan dari Notch. Kedua
molekul ini bertindak sebagai faktor transkripsi bagi sejumlah mediator-mediator
proinflamatorik seperti TNF-α, IL-1β, IL-6, MMP, inducible nitric oxide synthase
30
(iNOS), dan ADAMTs yang selanjutnya memainkan peranan masing-masing
dalam patogenesis osteoarthritis (Saito et al., 2017).
Walaupun inflamasi memegang peranan penting dalam patogenesis
osteoarthritis, degradasi dan penurunan daya regeneratif kartilago sendi adalah
ujung akhir dari proses ini yang selanjutnya menimbulkan gejala klinis. TNF-α,
IL-1β dan IL-6 merupakan sitokin inflamatorik yang berperan dalam inisiasi dan
progresivitas inflamasi. Kehadiran ketiga sitokin ini menginduksi terjadinya
sinovitis dan propagasi inflamasi oleh sel-sel sinovium yang selanjutnya menarik
leukosit ke dalam cairan synovial (Xia et al., 2014).
Gambar 2.7. Interaksi seluler dalam sendi sinovial (Lee et al., 2013).
IL-1 dan TNF-α juga dapat menimbulkan suatu lingkaran reaktivasi
inflamasi dimana interaksi kedua molekul ini dengan reseptornya menyebabkan
aktivasi NF-kB yang selanjutnya meningkatkan produksi sitokin lebih banyak
31
lagi. Konsekuensi penting dari aktivasi berulang NF-kB adalah diproduksinya
berbagai jenis MMP yang mendegradasi protein-protein matriks ekstraseluler
(Saito et al., 2017). Dari banyak jenis MMP yang diinduksi, MMP-13 merupakan
yang terpenting karena bertanggung jawab dalam degradasi komponen mayor dari
kartilago yakni kolagen tipe-2. Degradasi kolagen oleh MMP-13 bertanggung
jawab terhadap penipisan lapisan kartilago seperti yang umum terlihat dari hasil
X-ray pada penderita osteoarthritis (Marcu et al., 2010).
Matriks metaloproteinase (MMP) merupakan komponen penting yang
berkaitan erat dengan proses degradasi komponen matriks ekstraseluler kartilago
serta berperan dalam patofisiologi osteoarthritis (Monfort et al., 2006).
Dibandingkan dengan MMP yang lain, MMP-13 adalah gen target yang penting
selama perkembangan osteoarthritis karena ekspresi MMP-13 lebih terbatas pada
jaringan ikat (Wang et al., 2013). Selain itu, ekspresi MMP-13 juga secara
spesifik ditemukan dalam kartilago dari pasien osteoarthritis dan tidak ditemukan
pada kartilago pasien normal (Li et al., 2011).
MMP-13 merupakan komponen utama yang berperan dalam degradasi
matriks ekstraseluler kartilago pada osteparthrtitis. Akan tetapi, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa protease ADAMTs juga memiliki peranan yang
penting dalam proses katabolic kartilago pada osteoarthritis. Beberapa penelitian
telah membuktikan adanya peningkatan ekspresi ADAMTs 4 dan 5 pada penderita
osteoarthritis. Berbeda dengan MMP-13 yang berfungsi dalam degradasi kolagen
tipe-II, ADAMTs berperan dalam degradasi agrekan yang juga merupakan
32
komponen penting dari matriks ekstraseluler kartilago yang memperberat
degradasi kartilago pada osteoarthritis (Troeberg et al., 2012).
Pensinyalan molekuler dari sitokin pro-inflamatorik juga memiliki efek
pada efisiensi diferensiasi kondrosit dan tingkat sintesis matriks ekstraseluler.
Kehadiran IL-1β dan TNF-α dalam konsentrasi yang tinggi menyebabkan
turunnya ekspresi faktor transkripsi SOX-9 (Zhang et al., 2015). SOX-9
merupakan faktor transkripsi penting pada kondrosit karena peranannya dalam
dua proses penting yakni diferensiasi kondrosit dan regulasi deposisi matriks
ekstraseluler terutama komponen kolagen tipe-2, agrekan, dan kolagen tipe-9.
Inhibisi SOX-9 menyebabkan penurunan diferensiasi dari kondrosit baru guna
menggantikan kondrosit yang mengalami apoptosis sebagai akibat dari stress
mekanik dan inflamasi. Penurunan laju deposisi matriks ekstraseluler juga
memperberat ketidak seimbangan proses anabolik dan katabolik pada kartilago
yang semakin menghambat daya regeneratif kartilago sendi pada osteoarthritis
(Needham, 2014).
SOX-9 merupakan regulator sensitif dari teknisi pembentuk kartilago
artikuler, dan merupakan penanda awal dari sebuah proses kondrogenesis, dan
merupakan suatu parameter penting dalam regenerasi kartilago (Wu, 2007).
SOX-9 merupakan protein yang sangat penting dalam kondrogenesis, SOX-9
diekspresikan pada seluruh kondro progenitor dan kondrosit. Famili dari SOX
(SOX-5, 6, dan 9) secara bersamaan melakukan aktivasi dari kolagen tipe-2 yang
akan meningkatkan aktivitas dari sel kondrogenik yang memicu remodelling dari
33
kondrosit. Delesi dari gen SOX pada tikus menyebabkan adanya kondroplasia
menyeluruh dan hilangnya kartilago secara luas (Jong-min, 2012).
Pada orang normal, metabolisme dari kartilago berjalan lambat dengan
degradasi dan sintesis yang seimbang sedangkan pada kasus osteoarthritis,
metabolisme kartilago berjalan dengan sangat aktif dan tidak seimbang. Hal ini
akan menyebabkan degradasi yang sangat cepat dari molekul kolagen tipe-2 dan
agrekan, dimana perubahan ini akan menyebabkan hilangnya kekakuan kartilago
sehingga efek destruktif dari kejadian osteoarthritis lebih mudah terjadi (Fauci
et al., 2008). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa IL-1 tidak hanya berperan
aktif dalam peristiwa degradasi kartilago, tetapi juga dapat menekan upaya
perbaikan pada kasus osteoarthritis (Ling and Bathon, 2011).
Selain dari pada peranan kolagen, MMP dan SOX, masih terdapat peranan
reactive oxygen species (ROS) dalam degradasi dan apoptosis kartilago. Pada
suatu kondisi patologis, tekanan oksigen pada cairan sinovial akan mengalami
fluktuasi dan menyebabkan terjadinya iskemia periodik yang mempercepat
metabolisme patologis. Respon yang timbul akibat adanya fluktuasi dalam
tekanan oksigen adalah terbentuknya level ROS abnormal melalui oksidase
NADPH, NOS, dan XO yang kemudian akan memicu terbentuknya radikal seperti
ONOO- dan H2O2 serta mediator inflamasi seperti IL-1β, TNF-α, IFN-γ, ox-LDL,
LPS, dan IL-7. Adanya ROS yang berlebih akan memicu kaskade signaling,
komponen ROS akan mengaktivasi NF-ҡB, IL-1β dan Prostaglandin E2 yang
kemudian akan menurunkan sistesis endogen dari IL-1 reseptor antagonis (IL-
34
1Ra) yang memicu apoptosis sel kondrosit dan membatas kapasitas pembentukan
sel baru kondrosit (Lepetos, 2016).
Gambar 2.8. Peran sitokin proinflamasi dalam patofisiologi osteoarthritis
(Kapoor et al., 2011).
Perubahan fungsi kondrosit dalam komponen struktural tulang rawan sendi
dapat mempengaruhi stabilitas mekanis jaringan dan kondisi kondrosit, yang
dapat berakibat pada kegagalan dalam menanggung beban mekanis pada sendi
(Monfort et al., 2006). Beberapa penelitian membuktikan bahwa dalam keadaan
normal tulang rawan sendi ternyata dapat melakukan perbaikan sendiri, dimana
kondrosit akan mengalami replikasi dan memproduksi matriks baru. Proses
perbaikan ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan insulin-like growth factor
(IGF-1), growth hormon, transforming growth factor β (TGF-β) dan coloni
stimulating factors (CSFs) (Sudoyo et al., 2009). Akan tetapi, karena inflamasi
yang terjadi pada sinovium cenderung tidak responsif terhadap faktor
35
pertumbuhan serta tingginya jumlah MMP yang diproduksi menyebabkan
menurunnya kemampuan faktor-faktor pertumbuhan tersebut untuk mengimbangi
laju degradasi matriks.
Keseluruhan proses yang terjadi selanjutnya menimbulkan gejala-gejala
khas dari penderita osteoarthritis. Sitokin proinflamasi dan prostaglandin yang
dilepaskan pada proses inflamasi selanjutnya menimbulkan rasa nyeri pada
penderita. Osteofit yang berkembang sebagai akibat stimulasi mitosis pada
kondroblast dan osifikasi endokondral menyebabkan restriksi fungional sendi
yang membatasi ruang gerak sendi. Pada tahap awal osteoarthritis, terjadi fase
hipertrofi kartilago yang berhubungan dengan suatu peningkatan terbatas dari
sintesis matriks makromolekul oleh kondrosit (Sudoyo et al., 2009). Kekakuan
sendi dan perasaan nyeri yang dirasakan penderita osteoarthritis pada tahap awal
disebabkan oleh peristiwa inflamasi yang disertai dengan hipertrofi sinovial dan
perubahan subkondral pada tulang rawan sendi (Birrel et al., 2011). Hipertrofi
tulang rawan sendi yang reaktif akan menstimulasi pembentukan osteofit yang
khas dan berhubungan dengan sintesis matriks ekstraseluler oleh kondrosit
sebagai kompensasi perbaikan (repair) tulang rawan sendi (Davey, 2006).
Osteofit juga menyebabkan terdengarnya krepitasi pada pemeriksaan fisik sendi.
Karena inflamasi merupakan penyebab sentral dari pathogenesis osteoarthritis
maka penanganan osteoarthritis difokuskan pada aspek ini seperti yang akan
dijabarkan di bagian terapi.
36
2.4.5 Diagnosis osteoarthritis
Penegakan diagnosis pada pasien osteoarthritis juga didasarkan pada
identitas umum pasien (misal umur, jenis kelamin, pekerjaan), riwayat kesehatan
pasien, pemeriksaan klinis dan temuan radiologis. Selain nyeri, peristiwa
keterbatasan gerak, kekakuan sendi, crepitus (bunyi gemeretak pada saat sendi
bergerak), instabilitas dan deformitas sendi juga mungkin muncul. Kekakuan
sendi biasanya muncul selama kurang dari 30 menit dan dapat diatasi dengan
menggerakkan sendi (Dipiro et al., 2009). Pembesaran sendi berhubungan dengan
proliferasi tulang atau penebalan sinovium dan kapsul sendi. Adanya rasa hangat,
kemerahan dan sendi yang empuk menandakan terjadinya inflamasi sinovitis.
Deformitas sendi dapat terjadi pada tahap selanjutnya sebagai akibat dari
subluksasi (dislokasi ringan), kolapsnya tulang subkondral, pembentukan tonjolan
tulang atau pertumbuhan tulang yang berlebih (Sukandar et al.,2007).
2.4.6 Terapi osteoarthritis
Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam terapi osteoarthritis yaitu
pendekatan tanpa obat (terapi non farmakologi) dan pendekatan dengan obat
(terapi farmakologi). Terapi osteoarthritis pada umumnya simptomatik, misalnya
dengan pengendalian faktor-faktor risiko, latihan fisik dan intervensi modalitas
fisik. Target dari pelaksanaan terapi osteoarthritis adalah mengurangi rasa nyeri
pada tulang rawan sendi, mencegah disfungsi tulang rawan sendi serta mencegah
dan memperlambat degenerasi tulang rawan sendi (Zhao et al., 2012).
37
Pendekatan umum dalam menjalankan terapi non farmakologi pada pasien
osteoarthritis adalah dengan memberikan edukasi pada pasien tentang penyakit,
prognosis dan pendekatan manajemen terapi. Selain itu, diperlukan konseling diet
untuk pasien osteoarthritis yang kelebihan berat badan (Sukandar et al.,2009).
Pelaksanaan terapi non farmakologi pada penderita osteoarthritisdapat
dilakukan dengan melakukan aktivitas fisik secara teratur. Kurangnya aktivitas
fisik dikenal sebagai faktor risiko untuk banyak penyakit yang menyerang
populasi manula. Peningkatan aktivitas fisik pada pasien osteoarthritis akan
menurunkan morbiditas dan mortalitas penderita (Depkes RI, 2006).
a. Terapi non-farmakologis
Aktivitas fisik dan olahraga
Hampir semua pedoman internasional menyatakan olahraga sebagai
manajemen lini pertama untuk pasien osteoarthritis. Latihan dianggap sebagai
pilihan manajemen yang dapat meningkatkan fungsi fisik pada pasien dengan OA
lutut walaupun hanya memiliki efek moderat dalam mengurangi rasa sakit.
Namun, efek analgetik yang ditemukan dari latihan fisik serupa dengan analgesia
atau obat anti-inflamasi non-steroid tetapi memiliki risiko efek samping yang
lebih rendah. Akan tetapi, olahraga tidak memiliki efek terapeutik yang sama pada
OA pinggul. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa olahraga memiliki efek
analgesic dan pemulihan fungsi fisik yang rendah tetapi penelitian yang lebih baru
mengungkapkan bahwa olahraga masih memiliki efek terapeutik yang signifikan
bagi pasien dengan OA pinggul simptomatik. Secara keseluruhan, latihan fisik
menunjukkan manfaat yang menjanjikan dalam mengurangi tingkat nyeri pada
38
pasien OA terutama bagi mereka yang menggabungkan elemen penguatan otot.
Selain itu, untuk meningkatkan efektivitas latihan, dapat dimulai dengan latihan
akuatik yang dapat mengurangi beban sendi dan meminimalkan eksaserbasi nyeri.
Manfaat dari metode ini telah didokumentasikan baik pada OA lutut dan pinggul
(Fransen, 2010).
Olahraga pada OA mencakup beberapa aspek penting. Karena OA lutut
umumnya terkait dengan atrofi otot progresif, latihan resistensi harus
direkomendasikan kepada semua penderita. Urgensi kelemahan otot atau atrofi
cukup signifikan karena dikaitkan dengan peningkatan derajat nyeri dan
fungsionalitas sendi lutut yang berpotensi menghambat aktivitas sehari-hari
pasien. Pelatihan juga terbukti secara signifikan mengurangi penyempitan sendi
lutut dibandingkan dengan latihan ROM. Beberapa penelitian lain gagal
menemukan peningkatan yang signifikan. Tampaknya pelatihan isokinetik lebih
diterima dan sesuai dibandingkan dengan pelatihan konsentris. Di sisi lain, tidak
ada perbedaan yang diamati antara pelatihan resistensi tinggi dan rendah yang
menunjukkan bahwa kedua resimen memiliki efektivitas yang sama dalam
mengurangi rasa sakit, meningkatkan fungsionalitas dan kekuatan otot serta
kegiatan sehari-hari (Foroughi, 2011).
Aspek lain dari latihan olahraga untuk OA adalah pelatihan aerobik yang
bermanfaat dalam meningkatkan kapasitas aerobik pasien OA. Peningkatan
kapasitas aerobik merupakan aspek penting dalam manajemen OA karena
sebagian besar pasien OA mengalami penurunan status karena kurangnya
gerakan. Ini juga menambah sifat penguatan otot dari pelatihan ketahanan yang
39
akan membawa efek menguntungkan seperti yang dinyatakan sebelumnya. Bukti
dari manfaat tersebut diperkuat oleh studi rekomendasi OARSI yang
mengungkapkan bahwa latihan aerobik meningkatkan hasil dari pasien OA yang
diukur dalam tes berjalan dan mengangkat kursi (Fitzgerald, 2011).
Terdapat juga latihan fleksibilitas (ROM) yang umumnya meningkatkan
panjang dan elastisitas otot serta jaringan peri-artikular. Akan tetapi, latihan ini
juga dapat mengurangi tingkat kekakuan, meningkatkan mobilitas sendi, dan
mencegah pembentukan kontraktur. Metode ini jarang berdiri sendiri dan biasanya
dikombinasikan dengan dua metode latihan lainnya. Oleh karena itu, tidak ada
laporan yang secara eksklusif mengevaluasi efektivitas pelatihan ROM pada
pasien OA. Namun, sebagai bagian dari metode latihan lain, pendekatan ini
terbukti efektif dalam memperbaiki gejala OA walaupun memiliki pengaruh yang
tergolong kecil bagi mereka yang memiliki fungsi sosial yang optimal di
masyarakat. Taichi adalah salah satu latihan ROM yang populer di antara pasien
OA tetapi penelitian yang mengevaluasi hasilnya jarang (Fitzgerald, 2011).
Dalam penerapannya, olahraga dapat dilakukan secara berkelompok untuk
meningkatkan motivasi pasien terhadap pengobatan.. Namun demikian, penting
untuk diketahui bahwa olahraga berlebihan dapat membahayakan pasien itu
sendiri dan dapat menyebabkan rasa sakit selama beraktivitas yang umumnya
berlangsung lebih lama dari 1 atau 2 jam, yang dapat menimbulkan edema,
kelemahan dan kelelahan otot. Kejadian ini tidak boleh menimbulkan rasa takut
beraktivitas kepada pasien karena sering dikaitkan dengan respon pengobatan
yang buruk (Fitzgerald, 2012).
40
Secara umum, olahraga adalah rekomendasi inti dalam panduan OA baik
untuk OA lutut dan pinggul serta memiliki efek jangka pendek maupun panjang
yang menguntungkan dalam hal fungsionalitas pasien. Dalam kasus OA pinggul,
latihan hanya memiliki sedikit efek dalam meningkatkan fungsi fisik tetapi secara
signifikan dapat mengurangi rasa sakit. Penerapan latihan fisik pada OA
diregulasi oleh American Geriatrics Society Panel on Exercise and Osteoarthritis .
Program latihan pada Osteoarthritis harus mencakup fleksibilitas, daya tahan dan
pelatihan kekuatan untuk mengoptimalkan perbaikan yang dihasilkan (American
Geriatrics Society Panel on Exercise and Osteoarthritis, 2001).
Program penurunan berat badan
Pasien yang mengalami obesitas atau overweight dengan OA lutut harus
disarankan untuk melakukan program penurunan berat badan karena berat badan
itu sendiri menimbulkan beban yang signifikan pada lutut dan bantalan sendi
lainnya. Menggabungkan penurunan berat badan dengan olahraga memiliki efek
yang jauh lebih besar dibandingkan dengan olahraga atau penurunan berat badan
saja karena peningkatan kuantitas dan kualitas tulang rawan sendi. Dengan
demikian, penurunan berat badan sangat dianjurkan dalam panduan manajemen
OA (Anandacoomarasamy, 2012).
Pemanasan dan pendinginan
Pemanasan memiliki efek memberikan rasa nyaman serta efek terapeutik
bagi pasien OA karena dapat mengurangi sensasi nyeri sekaligus meningkatkan
ekspresi heat shock protein 70 (HSP 70) pada saat yang bersamaan. HSP 70
memiliki peran penting dalam perlindungan kartilago, mengurangi peradangan,
41
dan mencegah apoptosis kondrosit. HSP 70 juga meningkatkan metabolisme
matriks yang meningkatkan regenerasi kartilago. Sementara itu, sejauh ini fungsi
terapeutik dari terapi dingin superfisial hanya terbatas pada pengurangan rasa
sakit. Namun, pemilihan metode terapi bergantung pada minat pasien dan
seringkali pasien harus mencoba kedua jenis metode tersebut sebelum dapat
memutuskan terapi mana yang memberikan efek terbesar (Yildirim, 2010).
Pulsed electromagnetic field therapy (PEMF)
Aplikasi PEMF dalam manajemen OA telah secara signifikan
meningkatkan aktivitas harian pasien, menurut meta-analisis RCT PEMF. Namun,
tidak ada perbaikan yang diamati dalam pengurangan rasa sakit dan kekakuan.
Pedoman manajemen OA merekomendasikan PEMF sebagai terapi adjuvan untuk
OA lutut meskipun banyak penelitian gagal menunjukkan efeknya dalam
pengurangan nyeri. Terapi latihan yang meliputi peregangan, ROM, dan latihan
ketahanan menunjukkan efek yang sebanding dengan PEMF dalam mengurangi
keparahan nyeri dan peningkatan fungsi tetapi latihan memiliki biaya yang jauh
lebih rendah. Dengan demikian, penerapan PEMF dapat digantikan oleh terapi
latihan setidaknya dalam beberapa kasus (Gremion, 2009).
Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)
Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) telah digunakan
sebagai penghilang rasa sakit pada berbagai tatalaksana medis yang berhubungan
dengan rasa sakit. TENS dianggap sangat efektif dalam mengurangi rasa sakit dan
biasanya diterapkan dalam kondisi dengan nyeri kronis atau ketika intervensi
farmakologis telah gagal mengatasi permasalahan nyeri tersebut. TENS juga telah
42
terbukti efektif pada OA dengan pengurangan skala nyeri dilaporkan pada semua
sesi perawatan menggunakan TENS bahkan dengan frekuensi yang tergolong
rendah. Menggabungkan TENS dengan latihan terbukti sangat meningkatkan
efektivitas terapi dengan pengurangan yang signifikan pada skala nyeri dan
peningkatan aktivasi otot paha depan dan dengan demikian, kualitas yang lebih
tinggi dari fungsi aktivitas harian (Vance, 2012).
Terapi laser frekuensi rendah
Kombinasi terapi laser frekuensi rendah (LLL) dengan olahraga telah
terbukti mengurangi tingkat nyeri dan meningkatkan fungsionalitas dan aktivitas
di OA lutut. Radiasi juga meningkatkan mikrosirkulasi lokal dan sangat
dianjurkan dalam manajemen OA sebagai terapi adjuvan (Alfredo, 2012).
Masase
Masase juga dapat digunakan dalam tatalaksana OA. Pijat selama enam
puluh menit per minggu telah terbukti menimbulkan perbaikan pada skala nyeri
dan skor fungsi WOMAC setelah 8 minggu perawatan. Namun, tidak ada
perbedaan yang diamati setelah 24 minggu dibandingkan dengan pengobatan
konvensional. Sebagai catatan, menstimulasi pijatan femoris quadriceps, gracilis,
sartorious, dan paha belakang tidak membantu dalam reposisi sendi lutut yang
terpengaruh (Perlman, 2012).
Akupuntur
Meskipun efektivitasnya telah terbukti, penerapan akupunktur dalam
manajemen OA masih memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk divalidasi.
Beberapa efeknya mungkin dihasilkan dari harapan pasien atau efek plasebo dan
43
bahkan pengurangan rasa sakit yang dihasilkan oleh perbaikan postur yang lebih
baik. Hal ini juga sebagian bergantung pada perbedaan pengalaman ahli
akupunktur yang berdampak pada perbedaan hasil terapi. Dengan demikian, studi
lebih lanjut harus dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas sebenarnya dengan
menggunakan desain double blind sehingga aplikasinya dapat divalidasi (Suarez-
Almazor, 2010).
Prosedur Operatif
Prosedur operasi misalnya osteotomi, pengangkatan sendi, penghilangan
osteofit, artroplasti parsial atau total serta joint infusion diindikasikan untuk
pasien dengan rasa sakit parah yang tidak memberikan respon terhadap terapi
konservatif (Sukandar et al.,2009). Terapi bedah juga diberikan apabila terapi
farmakologis lain tidak berhasil untuk mengurangi rasa sakit dan juga untuk
melakukan koreksi apabila terjadi deformitas sendi yang mengganggu aktivitas
sehari-hari (Sudoyo et al., 2009).
b. Terapi farmakologis
Analgesik
Tatalaksana simptomatik pada OA dapat dilakukan dengan administrasi
obat analgesik. Meskipun tatalaksana simptomatik tidak mengubah perjalanan
penyakit, hal ini dapat meningkatkan dan memperbaiki status fungsional dan
kecacatan. Karena intervensi kuratif patofisiologik pada OA sangat sulit dilakukan
maka perbaikan kondisi pasien menjadi asimptomatik adalah satu-satunya tujuan
yang realistis hingga ditemukan suatu pendekatan yang dapat memperbaiki
44
struktur sendi dan menghambat patofisiologi penyakit pada OA. Perbaikan gejala
dapat menunda kebutuhan intervensi bedah dan dapat mengurangi besaran biaya
keseluruhan untuk pasien dan sistem perawatan kesehatan (Harvey, 2010).
Acetaminophen (parasetamol) adalah analgesik yang paling sering
digunakan untuk nyeri ringan sampai sedang pada OA. Acetaminophen adalah
analgesic murni tanpa ada efek modifikasi patofisioligik yang berbeda dengan
NSAID yang juga memiliki efek anti-inflamasi. Mekanisme kerja acetaminophen
masih belum dipahami dengan baik, tetapi kemungkinan melibatkan beberapa
modifikasi dari sistem siklooksigenase tanpa mempengaruhi kaskade inflamasi.
Obat ini terkenal karena onset kerjanya yang cepat (<1 jam) dan durasi kerja yang
pendek (4-6 jam). Obat ini dimetabolisme oleh hati dan hasil metabolitnya
diekskresikan melalui urin dan oleh karena itu harus digunakan dengan hati-hati
pada pasien dengan penyakit hati atau ginjal.. Dalam dosis standar obat ini
umumnya ditoleransi dengan baik dan hanya menyebabkan sedikit efek samping
gastrointestinal (GI) atau hematologi (Graham, 2005).
Tramadol adalah analgesik opioid non narkotik yang berguna dalam
pengobatan nyeri sedang sampai berat pada OA. Mekanisme kerjanya berbeda
namun sinergis dengan asetaminofen. Kombinasi obat ini dengan acetaminophen
memungkinkan dosis tramadol yang lebih rendah dengan manfaat analgesik yang
sama.. Tramadol dimetabolisme di hati dan diekskresikan dalam urin sehingga
membutuhkan penyesuaian dosis pada pasien dengan gangguan ginjal dan hati.
Obat ini harus digunakan dengan hati-hati pada pasien lanjut usia karena adanya
potensi penekanan sistem saraf pusat (SSP) dan pada pasien dengan gangguan
45
kejang atau dalam kombinasi dengan obat lain yang mengubah ambang kejang.
Efek samping yang paling umum adalah mual, kemerahan, dan mengantuk.
(Cepeda, 2007).
Selain asetaminofen dan tramadol, terdapat juga obat yang mengandung
narkotika dengan berbagai potensi dan efektivitasnya telah terbukti dalam
mengobati kondisi nyeri akut dan kronis pada OA. Namun, karena adanya potensi
penekanan sistem saraf pusat, kecanduan dan kurangnya efek kausatif pada
penyakit, agen ini tidak dapat digunakan sebagai lini pertama. The American
Geriatric Society (2009) menyatakan bahwa terapi opioid memiliki potensi untuk
digunakan dalam pengobatan nyeri kronis pada OA. Agen ini tidak
direkomendasikan untuk penggunaan rutin guna mengontrol nyeri pada OA,
namun dibatasi hanya pada pasien dengan respon yang tidak adekuat. atau
kontraindikasi terhadap terapi lain (Weaver, 2002).
Non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAID)
NSAID adalah kelompok besar obat yang memiliki sifat analgesik dan
antiinflamasi. Karena itu NSAID paling banyak dipergunakan dalam penanganan
osteoarthritis. Terdapat juga beberapa bukti bahwa agen ini dapat merurangi
peradangan pada OA (Brandt, 2006).
NSAID menghambat enzim siklooksigenase (COX) yang mengubah asam
arakadonat menjadi prostaglandin yang merupakan mediator utama peradangan.
Dua isoenzim enzim COX yang umum (COX-1 dan COX-2) dihambat oleh
berbagai NSAID dengan derajat inhibisi yang bervariasi. Isoenzim COX-1 sangat
penting pada toksisitas gastrointestinal yang umumnya timbul sebagai efek
46
samping dari beberapa kelas NSAID sedangkan isoenzim COX-2 lebih berperan
dalam menimbulkan toksisitas kardiovaskular. COX-2 hanya diekspresikan oleh
sel yang diaktifkan oleh sitokin inflamasi dan diyakini paling relevan dalam
menimbulkan efek antiinflamasi sistemik (Lai, 2006).
Agen topikal
NSAID topikal telah diteliti dengan ekstensif dan tersedia dalam beberapa
jenis. Gel diethylamine topikal diklofenak telah terbukti memberikan efek
analgesik jangka pendek yang baik dengan lebih sedikit efek gastrointestinal dan
toksisitas ginjal dibandingkan dengan diklofenak oral (Lin, 2004). NSAID topikal
juga efektif dalam meredakan nyeri pada osteoarthrritis dan ini merupakan
alternatif potensial untuk digunakan pada pasien dengan risiko toksisitas sistemik
NSAID (Altman, 2007).
Kortikosteroid intraartikuler
Injeksi kortikosteroid intraartikuler terutama ditujukan untuk ostearthritis
akut dan berat (NICE, 2017).
Selain terapi non farmakologis dan terapi farmakologis yang telah
disebutkan, pelaksanaan terapi terbaru yaitu dengan metode Extracorporeal Shock
Wave Therapy (ESWT) juga dapat dilakukan sebagai langkah yang efektif dalam
menangani kasus osteoarthritis.
Sistem yang dapat diaplikasikan secara universal merupakan salah satu
syarat yang penting untuk melakukan penilaian hasil terapi osteoarthritis, baik
melalui data histologis, histokimia maupun imunohistokimia. Histologic/
Histochemical Grading System (HHGS) yang dideskripsikan oleh Mankin et al.
47
selama ini telah dikembangkan untuk melakukan penilaian kualitas tulang rawan
sendi pada kejadian osteoarthritis dan telah digunakan secara luas dalam studi
yang dilakukan pada manusia (Custers et al., 2007).
Selanjutnya mengalami proses modifikasi dari beberapa peneliti dan
digunakan untuk penilaian osteoarthritis tulang rawan sendi pada beberapa model
hewan. Skor pada Histologic/Histochemical Grading System (HHGS) terdiri dari
14 poin yang dibedakan berdasarkan perubahan seluler, penilaian histokimia dari
pewarnaan dengan Safranin O dan perubahan arsitektur tulang rawan sendi (erosi,
penetrasi pembuluh darah) (Custers et al., 2007).
Tabel 2.2. Histologic/Histochemical Grading System (HHGS)
I. Structure
A. Normal
B. Surface
C. Pannus and surface irregularities
D. Clefts to transitional zone
E. Clefts to radial zone
F. Clefts to calcified zone
G. Complete disorganization
0
1
2
3
4
5
6
II. Cells
A. Normal
B. Diffuse hypercellularity
C. Cloning
D. Hypocellularity
0
1
2
3
III. Safranin O staining
A. Normal
B. Slight reduction
C. Moderate reduction D. Severe reduction
E. No dye noted
0
1
2 3
4
IV. Tidemark intergrity
A. Intact
B. Crossed by blood vessels
0
1
Total Score
Minimal 0
Maximal 14
48
2.5 Metode Pengujian Indikator Osteoarthritis
2.5.1 Metode imunohistokimia
Imunologi merupakan suatu proses yang terutama berkaitan dengan respon
imun baik antibodi maupun sel perantara pada berbagai kondisi yang dialami
individu. Penggunaan metode pengukuran penyakit dengan memanfaatkan
antibodi semakin meluas dan menunjukkan peningkatan. Hal ini disebabkan
karena deteksi atau pengukuran antibodi yang langsung berikatan dengan antigen
yang spesifik merupakan hal yang penting dalam diagnosis serta dapat digunakan
sebagai indikator penilaian berbagai penyakit.Pengukuran dengan menggunakan
antibodi umumnya dilakukan dengan pengambilan serum sampel dari jaringan.
Antibodi yang terikat pada sampel jaringan dapat divisualisasikan dengan
imunofluoresensi atau teknik yang lain (Underwood, 1999).
Metode imunohistokimia adalah suatu metode kombinasi dari imunologi,
anatomi dan biokimia untuk mengidentifikasi komponen jaringan yang memiliki
ciri spesifik dengan menggunakan interaksi antara antigen target dan antibodi
spesifik yang diberi label. Aplikasi metode imunohistokimia banyak digunakan
untuk proses diagnosis penyakit, pengembangan obat dan terapi serta diterapkan
dalam berbagai penelitian yang bersifat biologis (Coons et al., 1942).
Imunohistokimia merupakan suatu metode pemeriksaan yang berfungsi
untuk mengukur derajat imunitas melaluikadar antibodi atau antigen dalam
jaringan. Dengan menggunakan imunohistokimia, kita dapat melihat distribusi
dan lokalisasi dari komponen seluler spesifik diantara sel dan jaringan lain di
sekitarnya dengan menggunakan mikroskop cahaya biasa (Coons et al., 1942).
49
Komponen seluler tersebut dapat terlihat karena kompleks antigen-antibodi yang
sudah dilabel akan memberikan warna yang berbeda dari sekitarnya
(Underwood, 1999).
Metode imunohistokimia merupakan suatu metode yang digunakan dalam
deteksi produk sel dengan menggunakan penanda antibodi. Metode ini digunakan
untuk mengidentifikasi konstituen seluler atau jaringan (antigen) melalui interaksi
antigen-antibodi, dimana ikatan antibodi akan diidentifikasi baik dengan
pelabelan langsung (direct labeling) atau metode pelabelan sekunder (secondary
labeling). Pengikatan antibodi dilakukan melalui label fluoresensi atau kimia yang
menghasilkan suatu produk berwarna (Mitchell et al., 2009). Pada pelaksanaan
metode imunohistokimia menggunakan antibodi yang telah dikenalkan secara
artifisial terhadap substansi spesifik yang diinginkan atau dicurigai. Antibodi
tersebut akan mengikat substansi spesifik yang terkandung di dalam jaringan.
Ikatan antibodi ini akan diperlihatkan dengan menggunakan kompleks zat warna
(Underwood, 1999).
Antibodi adalah suatu imunoglobulin (Ig) yang dihasilkan oleh sistem
imun dalam merespon kehadiran suatu antigen tertentu. Antibodi dibentuk
berdasarkan antigen yang menginduksinya. Beberapa antibodi yang telah
teridentifikasi adalah IgA, IgD, IgE, IgG dan IgM. Antigen adalah suatu zat atau
substansi yang dapat merangsang sistem imun dan dapat bereaksi secara spesifik
dengan antibodi membentuk kompleks terkonjugasi. Ikatan antara antibodi
dengan antigen akan divisualisasikan dengan menggunakan senyawa label atau
marker yang biasanya dilekatkan pada antibodi sehingga bisa divisualisasi secara
50
langsung atau dengan menggunakan pereaksi untuk mengidentifikasi marker
(Goodman, 2009).
Imunohistokimia dibagi menjadi 2 metode, yaitu metode direct (langsung)
dan indirect (tidak langsung). Pada metode direct, antibodi spesifik yang
mengenali antigen jaringan akan dimodifikasi dengan mengkonjugasikan molekul
indikator pada antibodi tersebut. Molekul indikator yang dimaksud dapat berupa
molekul yang berpendar seperti biotin atau enzim peroksidase sehingga apabila
diberikan substrat akan memberikan warna pada jaringan tersebut. Pada metode
indirect, antibodi spesifik yang mengenali antigen jaringan disebut sebagai
antibodi primer dan tidak dilakukan modifikasi pada antibodi ini. Namun
diperlukan antibodi lain yang dapat berikatan dengan antibodi primer yang disebut
dengan antibodi sekunder. Antibodi sekunder ini dimodifikasi sehingga memiliki
molekul indikator pada antibodi tersebut. Setiap satu antibodi primer dapat
dikenali oleh lebih dari satu antibodi sekunder sehingga setelah diberikan substrat
akan terbentuk warna yang lebih jelas pada jaringan tersebut (Key, 2009).
Metode imunohistokimia merupakan metode investigasi kuat yang dapat
memberikan informasi mengenai penilaian morfologi jaringan. Penggunaan
imunohistokimia memungkinkan untuk memvisualisasikan distribusi dan
lokalisasi komponen sel spesifik dalam konteks jaringan yang tepat. Melalui
aplikasi metode imunohistokimia, penanda seluler yang mendefinisikan fenotip
tertentu dapat dipelajari dengan baik, dimana hal ini akan memberikan manfaat
yang penting dalam proses identifikasi, lokalisasi dan karakterisasi suatu antigen
tertentu serta menentukan diagnosis, prognosis, terapi dan prediktif terhadap
51
status penyakit serta faktor imunologi yang terlibat di dalamnya. Penerapan
antibodi terhadap studi molekuler patologi jaringan yang telah disempurnakan
tercermin dalam penerapan metode histokimia (Key, 2009).
Secara garis besar, langkah-langkah dalam melakukan metode
imunohistokimia dibagi menjadi preparasi sampel, labelling dan interpretasi serta
kuantifikasi dari hasil yang diperoleh (Coons et al., 1942). Preparasi sampel
merupakan persiapan untuk membentuk preparat jaringan dari jaringan yang
masih segar sedangkan sampel labeling adalah pemberian pereaksi yang dapat
memberikan warna pada preparat. Proses preparasi sampel sangat penting
dilakukan untuk mempertahankan morfologi sel, arsitektur jaringan serta untuk
pemilihan antibodi dan antigen yang tepat (Chu and Weiss, 2009).
A. Preparasi sampel: pengumpulan sampel jaringan
Langkah pertama dalam analisis imunohistokimia adalah dengan
melakukan pengumpulan sampel jaringan. Proses pengumpulan sampel jaringan
merupakan tahapan yang penting sehingga harus dilakukan secara benar untuk
menghindari degradasi sampel dan mempertahankan kualitas sampel. Proses ini
juga harus dilakukan dengan cepat untuk mencegah pemecahan protein seluler
dan arsitektur jaringan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas sampel
antara lain waktu fiksasi dan suhu sampel (MdBio Foundation, 2014).
Untuk mencegah deteksi antigen hematologi yang dapat mengganggu
proses deteksi antigen sasaran, seringkali sampel jaringan mengalami proses
perfusi atau pembilasan terlebih dahulu. Perfusi jaringan dilakukan dengan
menggunakan pompa peristaltik untuk menghilangkan darah serta menggunakan
52
larutan garam steril dalam membilas pembuluh darah pada jaringan untuk
menghapus semua komponen darah pada sampel jaringan. Organ target atau
jaringan kemudian dikumpulkan untuk proses imunohistokimia selanjutnya
(Coons et al., 1942).
B. Preparasi sampel: fiksasi jaringan
Dari berbagai tahap pengolahan jaringan, fiksasi merupakan tindakan
pertama dan sangat menentukan keberhasilan tahap selanjutnya dari proses
analisissampel jaringan. Metode fiksasi jaringan yang tepat harus dioptimalkan
berdasarkan aplikasi dan antigen yang akan dianalisis (MdBio Foundation, 2014).
Fiksasi jaringan harus dilakukan dengan teliti sehingga perubahan patologik pada
struktur mikroanatomi suatu jaringan akibat perlakukan yang diberikan dapat
diamati dengan lebih baik dan jelas serta dapat dibandingkan dengan kelompok
kontrol.Tujuan dari proses fiksasi adalah untuk mencegahperubahan post mortal
(autolisis), mencegah kerusakan jaringan, mempertahankan morfologi sel dan
jaringan agarsedapat mungkin sama dengan saat terakhirjaringan tersebut diambil
dari tubuh hewan ataumanusia selama hidup dan mengeraskanjaringan agar dapat
diproses lanjut dengan mengubah konsistensi sel dari semi-cair menjadi semi-
padat (Miranti, 2010).
Untuk mencapai tujuan tersebut maka bahan yang digunakan dalam fiksasi
jaringan harus memiliki kemampuan untuk menghentikan proses enzimatik dan
metabolisme sel dalam jaringan secepatnya untuk mencegah autolisis. Autolisis
adalah kerusakan sel yang terjadi setelah kematian sel, disebabkan oleh kerja
enzim yang terdapat di dalam sel itu sendiri. Proses autolisis dapat dihambat
53
dengan mendinginkan jaringan dalam temperatur di bawah 0°C atau dalam udara
panas dengan suhu lebih dari 57°C, dimana dalam suhu kamar proses autolisis
akan berlangsung secara cepat. Selain autolisis, kerusakan jaringan dapat terjadi
akibat bakteri, baik disebabkan oleh bakteri yang ada (septikemi) ataupun bakteri
komensial.Selain mencegah autolisis, komponen dalam fiksasi jaringan juga harus
dapat mengkoagulasi protein jaringan sehingga menjadikan sel insolubel yang
mencegah masuk atau keluarnya zat-zat dalam sel serta membuat jaringan mudah
diwarnai (Miranti, 2010).
Sampel jaringan harus ditempatkan dalam larutan fiksasi sesegera
mungkin. Jaringan harus segera difiksasi maksimal 30 menit setelah dikeluarkan
dari tubuh. Jumlah minimal cairan fiksatif adalah sekitar 15-20 kali volume
jaringanyang direndam dan lama merendam yaitu berkisar antara 12-24 jam,
tergantung pada jenis cairan fiksatif dan ukuran jaringan (Miranti, 2010).
Terdapat berbagai jenis cairan fiksatif yang dapat dipilih untuk digunakan
dalam proses pengamatan perubahan sel dan matriks jaringan. Cairan fiksatif yang
banyak dipakai dalam proses analisis imunohistokimia adalah formalin buffer
netral 10% (campuran dari 100 ml formalin 37-40% dan akuadestilata 900 ml).
Alasan pemakaian cairan fiksatif ini karena formalin buffer netral 10% lebih
mudah dan dapat digunakan untuk menyimpan jaringan dalam waktu lama
(Miranti, 2010).
Selain larutan formalin buffer netral 10%, bahan lainnya yang dapat
digunakan dalam proses fiksasi jaringan dalam pelaksanaan metode
imunohistokimia adalah alkohol. Alkohol merupakan larutan dengan daya
54
dehidrasi yang kuat dan menyebabkan pengerasan dan pengerutan jaringan.
Alkohol sebenarnya memiliki fungsi utama adalah sebagai bahan fiksasi sediaan
sitologi, namun dalam keadaan tertentu dapat digunakan sebagai bahan fiksasi
sediaan histopatologi. Hal ini disebabkan alkohol memiliki daya tembus yang
kurang baik sehingga jaringan cepat menjadi keras dan mengkerut, dimana hal ini
mengakibatkan kesulitan dalam prosespengamatan sampel (Miranti, 2010).
C. Preparasi sampel: penanaman (embedding) jaringan
Penanaman (embedding) jaringan merupakan proses memasukkan jaringan
pada parafin cair dan membentuknya ke dalam blok yang padat. Penanaman
sampel jaringan dalam parafin dilakukan untuk mempertahankan bentuk dan
arsitektur sampel selama penyimpanan (Coons et al., 1942).Teknik embedding
dilakukan dengan sampel yang sudah diiris pada bagian yang mengalami
perubahan dimasukkan ke dalam embedding cassete yang sudah diberi label
(MdFoundation, 2014).
Sebelum mengalami proses penanaman (embedding), sampel jaringan
terlebih dahulu menjalani proses sectioning (pembedahan), dehidrasi dan
penjernihan. Proses sectioning dilakukan dengan pengirisan blok parafin sehingga
permukaan blok parafin yang akan diisi dengan sampel jaringan akan berbentuk
segi empat. Proses dehidrasi bertujuan untuk menarik atau mengeluarkan air
dalam jaringan dengan bahan dehidran yang umum digunakan, yaitu alkohol atau
aseton. Setelah dikeluarkan dari cairan dehidran, jaringan dimasukkan dalam
cairan penjernih yang pada akhir proses ini dihasilkan suatu jaringan yang
transparan. Reagen yang dipakai adalah xylol, toluen, benzol atau kloroform.
55
Waktu penjernihan harus diatur dengan tepat agar struktur jaringan tidak terlalu
keras. Kloroform merupakan bahan penjernih pilihan yang dipakai pada beberapa
laboratorium tertentu karena tidak menimbulkan masalah dalam proses embedding
serta tidak membuat jaringan terlalu keras (Miranti, 2010).
Setelah menjadi transparan, jaringan dipindah dan dimasukkan ke dalam
parafin cair yang akan mengadakan penetrasi jauh ke bagian dalam jaringan.
Jaringan atau sampel akan ditanam di kotak kertas, dengan terlebih dahulu parafin
membeku pada bagian dasar dalam kotak dan setelah penempelan jaringan
dilanjutkan dengan penutupan dengan parafin sampai membeku. Pada umumnya,
parafin yang dipakai adalah yang mencair sempurna pada suhu di bawah 60oC.
Suhu tersebut harus dipertahankan agar tidak berakibat pengerutan dan
pengerasan jaringan. Cairan parafin yang paling direkomendasikanadalah
paraplast. Cairan parafin lainnya mempunyai kerugian dan mempunyai proses
yang lebih rumit. Tahapan selanjutnya dalam pemrosesan jaringan adalah
menanamkan jaringan yang terisi parafin cair ke dalam cetakan yang telah
dituangi parafin cair dan didiamkan sampai parafin membeku. Blok parafin yang
berisi jaringan siap dipotong setebal 2-7 mikron dengan mikrotom. Lapisan tipis
jaringan ditempelkan pada kaca obyek dan dimasukkan dalam oven
untukmelelehkan parafin yang berada dalam jaringan (Miranti, 2010).
D. Labeling sampel: imonudeteksi
Proses deteksi antigen sasaran dengan antibodi merupakan proses yang
membutuhkan optimasi pada setiap tahapannya untuk memaksimalkan kualitas
hasil deteksi. Imunodeteksi diawali dengan proses inkubasi jaringan atau sel
56
dengan antibodi untuk membentuk kompleks antigen-antibodi untuk mendeteksi
sinyal antigen yang ditargetkan (MdBio Foundation, 2014). Pembilasan sampel
jaringan sebelum melakukan proses imunodeteksi penting dilakukan untuk
menghilangkan antibodi yang terikat dan untuk menghilangkan antibodi yang
secara lemah terikat ke situs non spesifik dari antigen. Pemilihan komponen untuk
buffer bilas harus dipertimbangkan dengan baik untuk memaksimalkan proses
pembilasan sampel jaringan dan meminimalkan gangguan pada proses deteksi
(Coons et al., 1942).
Proses imunodeteksi dapat dilakukan melalui dua metode yaitu metode
langsung (direct) dan metode tidak langsung (indirect). Kedua metode ini
menggunakan antibodi untuk mendeteksi antigen target, dimana pemilihan
metode yang akan digunakan tergantung pada tingkat ekspresi antigen target
(MdBio Foundation, 2014).
Metode langsung merupakan metode pengecatan satu langkah karena
hanya melibatkan satu jenis antibodiyang akan berikatan secara langsung dengan
antigen sedangkan metode tidak langsung adalah metode yang menggunakan dua
macam antibodi, yaitu antibodi primer (tidak berlabel) dan antibodi sekunder
(berlabel). Antibodi primer bertugas mengenali antigen yang diidentifikasi pada
jaringan (first layer), sedangkan antibodi sekunder akan berikatan dengan antibodi
primer (second layer). Antibodi kedua merupakan anti-antibodi primer.Pelabelan
antibodi sekunder diikuti dengan penambahan substrat berupa kromogen.
Kromogen merupakan suatu gugus fungsi senyawa kimiawi yang dapat
57
membentuk senyawa berwarna bila bereaksi dengan senyawa tertentu (MdBio
Foundation, 2014).
E. Interpretasi sampel: visualisasi hasil deteksi
Interpretasi hasil pemeriksaan dalam aplikasi metode imunohistokimia
dilakukan melalui proses visualisasi dari hasil deteksi dengan teknik
imunofluoresensi. Hasil pemeriksaan dapat dideteksi melalui penggunaan
kromogen atau fluoresensi. Deteksi dengan kromogen didasarkan pada aktivitas
dari enzim, dimana enzim yang sering digunakan adalah horseradish peroksidase
(HRP) atau alkalin fosfatase (AP) yang dapat membentuk kompleks yang
berwarna. Untuk deteksi dengan fluoresensi, antibodi primer atau sekunder akan
berkonjugasi dengan fluorofor sebagai agen yang dapat memberikan fluoresensi
secara mikroskopik. Teknik imunofluoresensi dengan menggunakan antibodi
kimia yang terkonjugasi dilakukan dengan pewarna fluoresen yang akan terlihat
atau terdeteksi di bawah sinar UV. Pewarna yang sering digunakan antara lain
fluorescein isotiosianat (FITC) dan rodamin isotiosianat (TRITC) (Coons et al.,
1942; MdBio Foundation, 2014).
2.5.2 Metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Pemeriksaan dengan menggunakan aspek mikrobiologi meliputi deteksi
dan identifikasi mikroorganisme yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan
langsung pada sampel yang berasal dari penderita atau melalui kultur dari sampel
tersebut. Kultur sampel berguna untuk meningkatkan jumlah organisme sebelum
digunakan untuk pemeriksaan. Salah satu metode deteksi langsung dalam aspek
mikrobiologi adalah pengaplikasian dari metode deteksi antibodi spesifik yang
58
diperlihatkan dalam metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
(Underwood, 1999).
Metode ELISA didasarkan pada prinsip imunologi yang dikombinasi
dengan reaksi enzimatik. Reaksi imunologi yang dimaksud dalam metode ELISA
adalah adanya ikatan antigen-antibodi atau sebaliknya sementara reaksi enzimatik
antara enzim dan reaktan digunakan untuk menandakan adanya reaksi yang
kemudian dapat diukur secara kuantitatif berdasarkan pada perubahan warna
dalam sistem (Underwood, 1999).
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) digunakan pertama kali
pada tahun 1969 untuk proses deteksi virus. Ciri utama dari metode ELISA adalah
digunakannya enzim (alkalin fisfatase atau peroksidase) untuk mendeteksi reaksi
imunologi yang terjadi. Ikatan kovalen antara molekul imunoglobulin dan enzim
dapat digunakan untuk mengamplifikasi reaksi antigen-antibodi (Akin, 2010).
Adanya penemuan mengenai metode deteksi ELISA telah membawa
dampak yang sangat besar dalam meningkatkan daya deteksi serologi. Metode
ELISA memiliki keunggulan yaitu reaksi yang dihasilkan yang cepat dan relatif
murah jika dibandingkan dengan metode molekuler lainnya.Secara singkat,
tahapan kerja dalam pelaksanaan metode ELISA ditunjukkan pada Gambar 2.9.
59
Gambar 2.9. Tahapan kerja metode ELISA.
Aplikasi metode ELISA dibedakan menjadi tiga macam metode yaitu ELISA
langsung (direct ELISA), ELISA tidak langsung (indirect ELISA) dan ELISA
lapis ganda (sandwich ELISA) (Akin, 2010).
60
Gambar 2.10. Konfigurasi berbagai metode ELISA.
A. ELISA langsung
ELISA langsung merupakan metode ELISA yang paling sederhana. Hasil
deteksi dengan menggunakan metode ELISA akan terlihat setelah proses
penambahan substrat (senyawa) dari enzim yang digunakan sebagai label
antibodi. Teknik ELISA langsung memerlukan antibodi yang khas untuk antigen
yang dideteksi. Metode ELISA langsung digunakan dengan enzim yang berguna
untuk amplifikasi reaksi diikat secara kovalen pada antibodi yang langsung
berikatan dengan antigen. Antigen yang akan dideteksi akan diikatkan langsung
pada permukaan padat (Akin, 2010).
B. ELISA tidak langsung
Metode ELISA tidak langsung dilakukan apabila enzim berikatan pada
antibodi sekunder yang berikatan dengan antibodi primer. ELISA tidak langsung
merupakan metode ELISA yang paling sederhana yang dapat digunakan untuk
mengukur konsentrasi antibodi. Antigen dan antibodi sekunder biasanya dibuat
konstan, dimana perubahan dilakukan pada antibodi primer (Akin, 2010).
61
C. ELISA lapis ganda (sandwich)
ELISA lapis ganda memiliki ciri khas yaitu antibodi yang digunakan untuk
menangkap antigen diikatkan pada fase padat. Pelaksanaan teknik ELISA lapis
ganda dapat diikuti dengan metode ELISA langsung ataupun ELISA tak langsung
(Akin, 2010).
2.6 Injeksi papain
Papain adalah enzim jenis protease yang memiliki efek proteolitik dan
memiliki kemampuan untuk menguraikan ikatan-ikatan dalam molekul protein
sehingga protein terurai menjadi polipeptida dan dipeptida. Induksi kerusakan
tulang rawan sendi dengan menggunakan enzim protease seperti papain yang
disuntikkan pada sendi merupakan metode yang sesuai untuk penelitian dengan
hewan coba karena pelaksanaannya sederhana dan destruksi tulang rawan sendi
terjadi dalam waktu yang singkat. Kejadian arthritis yang disebabkan oleh injeksi
papain secara intra artikular telah diaplikasikan selama 20 tahun dalam berbagai
studi histologis dan biokimia. Injeksi papain menghasilkan kerusakan tulang
rawan sendi yang disertai dengan penurunan yang drastis dari proteoglikan dan
mitosis abnormal kondrosit (Miyauchi et al., 1993).
Proses kerusakan tulang rawan sendi yang disebabkan oleh injeksi enzim
protease yaitu papain tergantung pada dosis papain yang disuntikkan dalam tulang
rawan sendi. Ketika papain diinjeksikan dalam dosis yang rendah, maka perbaikan
kartilago dapat terjadi dengan cepat, meskipun penurunan proteoglikan yang
bersifat sementara segera terjadi setelah injeksi. Namun ketika papain diinjeksikan
dalam dosis tinggi, maka hal ini akan menginduksi kerusakan tulang rawan sendi
62
yang bersifat ireversibel. Proses perbaikan tulang rawan sendi yang meliputi
peningkatan proteoglikan dan proliferasi normal dari kondrosit dapat diamati
dalam 7 hari setelah injeksi papain, dimana proteoglikan akan kembali ke level
pra-injeksi (sebelum injeksi) sekitar 4 minggu setelah injeksi papain dilakukan
(Miyauchi et al., 1993).
Mekanisme induksi ostroarthritis karena injeksi papain terutama
berkaitan dengan matriks ekstraseluler dari tulang rawan sendi. Matriks
ekstraseluler memiliki peran penting dalam menjaga ketahanan jaringan tulang
rawan sendi. Pemberian injeksi papain yang bersifat proteolitik dapat memecah
protein yang terkandung di dalam matriks ekstraseluler tulang rawan sendi
sehingga stabilitas komposisi dan struktur dari tulang rawan sendi terganggu
(Havdrup and Telhag, 1977).
Komponen matriks ekstraseluler tulang rawan sendi terdiri dari kolagen
dan proteoglikan (Davies, 2001). Papain sebagai enzim proteolitik menyebabkan
degradasi pada kolagen yang mengganggu mikroarsitektur tulang rawan dan
integritas sendi. Hal ini akan menyebabkan kemunculan osteoarthritis dalam
waktu yang singkat setelah pemberian injeksi papain (Khan et al., 2013).
Struktur molekul proteoglikan relatif dipertahankan secara stabil karena
diregulasi dengan baik secara intra maupun ekstraseluler. Proteoglikan memiliki
sifat yang sangat peka dan sensitif terhadap enzim protease sehingga lebih cepat
mengalami proses degeneratif dibandingkan dengan kolagen. Papain dapat
menghancurkan protein inti dari proteoglikan, yaitu ikatan protein yang berfungsi
untuk menstabilkan agregat proteoglikan dan rantai kolagen.
63
Degradasi proteoglikan dikontrol oleh matriks metaloproteinase (MMP)
yang disintesis oleh kondrosit. Aktivitas degradatif dari MMP dikontrol oleh
inhibitor endogen yang disebut tissue inhibitor of metaloproteinase (TIMP).
Kecepatan degradasi ditentukan oleh kadar sintesis dan aktivitas dalam jaringan.
Pada keadaan normal, proses degradasi dan sintesis harus terkoordinasi secara
reguler agar jumlah makromolekul tetap seimbang (Parkinson et al., 2010).
Reaksi inflamasi yang disebabkan oleh kerusakan dan pemecahan
protein inti proteoglikan dapat menyebabkan kerusakan pada tulang rawan sendi
yang diinduksi oleh produksi interleukin (IL)-1 oleh sel sinovial dan kondrosit
(Grevenstein et al., 1991). Hilangnya proteoglikan dapat menginduksi terjadinya
osteoarthritis, yang mengarah pada kelemahan dan kerusakan semua komponen
dari tulang rawan sehingga tulang rawan sendi akan mengalami pengikisan
(O’Connor et al., 1984).
Papain sebagai enzim protease dapat memecah molekul kondroprotein
tulang rawan yang berukuran besar, membebaskan kondroitin sulfat dan mengikis
matriks ekstraseluler tulang rawan sendi (Shaw and Lacey, 1973). Injeksi papain
pada hewan dapat mengakibatkan penipisan tulang kortikal subkondral,
peningkatan degradasi matriks tulang rawan sendi, peningkatan aktivasi makrofag
dan pembentukan osteofit (Siebelt et al., 2014).
Injeksi papain secara intrartikular dapat menyebabkan fibrilasi berat dan
hilangnya lapisan tulang rawan sendi (O’Connor et al., 1984). Selain itu injeksi
papain juga terbukti dapat meningkatkan TGF-β di sinovium dan tulang rawan
sendi. Transforming Growth Factor-β (TGF-β) berperan dalam patogenesis
64
osteoarthritis serta merupakan faktor kunci dalam perkembangan osteofit dan
penebalan sinovial pada kejadian osteoarthritis (Scharstuhl et al., 2003).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh O’Connor et al. (1984) diperoleh
hasil yang menunjukkan bahwa 15 menit setelah injeksi intra artikular papain,
terjadi penurunan yang signifikan pada kapasitas tulang rawan sendi. Dalam
periode tersebut sekitar 75% dari tulang rawan sendi mengalami kehilangan
proteoglikan, dimana morfologi dari permukaan tulang rawan sendi tidak
mengalami perubahan. Peristiwa hilangnya proteoglikan semakin memburuk
dalam periode waktu 20-30 menit, dimana pada periode waktu 60 menit hilangnya
proteoglikan akan menyebabkan kerusakan dan hilangnya komponen tulang
rawan sendi lainnya, terutama kolagen. Hal ini terjadi akibat papain yang
melepaskan atau mengaktivasi kolagenase endogen sehingga proses destruksi
akan terjadi pada keseluruhan tulang rawan sendi. Hilangnya proteoglikan juga
menyebabkan penurunan fungsi tulang rawan sendi secara mekanik, yang
selanjutnya akan berdampak pada peristiwa ruptur pada jaringan serat tulang
rawan sendi. Kerapuhan tulang rawan sendi akan terlihat dalam 240 menit setelah
injeksi papain yang diilustrasikan oleh terjadinya keretakan pada permukaan
tulang rawan sendi.
2.7 Extracorporeal Shock Wave Therapy (ESWT)
Extracorporeal Shock Wave Therapy (ESWT) adalah metode pemanfaatan
stresor mekanik dalam penatalaksanaan terapi non invasif pada pasien nyeri.
ESWT merupakan metode yang mampu menginduksi perubahan biokimia dalam
65
jaringan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi ekspresi sel pada tingkat
molekuler sehingga bila digunakan secara selektif, metode ESWT dapat
menghasilkan reaksi jaringan spesifik (Krishnan et al., 2012).
Sejak tahun 1991, ESWT sudah dipertimbangkan sebagai pilihan alternatif
untuk mengatasi rasa nyeri atau peradangan yang berlokasi pada sistem otot
tulang (muskuloskeletal) tanpa melalui proses pembedahan. Food and Drug
Administration (FDA) di Amerika Serikat pertama kali menyetujui penggunaan
ESWT untuk pengobatan pada kejadian proksimal plantar fascitis pada tahun
2000 dan epikondilitis lateral pada tahun 2002 (Wanget al., 2012).
Aplikasi dari ESWT sering digunakan untuk menanggulangi masalah nyeri
yang berkaitan dengan sendi seperti sendi bahu (rotator cuff), sendi siku
(epicondylitis atau tennis elbow), sendi panggul dan sendi lutut (tendinitis).
Adapun beberapa contoh kondisi yang dapat diatasi dengan ESWT antara lain
nyeri pada bagian bawah tumit (plantar fascitis), nyeri pada bagian belakang
tumit (achilles tendonitis), nyeri pada bagian depan lutut, persis di bawah
tempurung lutut (patellar tendonitis), yang disebabkan karena stres berulang pada
tendon lutut sehingga dapat menyebabkan sobekan atau peradangan otot serta
nyeri pada tulang yang akan semakin terasa nyeri ketika mengangkat beban
(Moretti et al., 2008). Aplikasi ESWT dikontraindikasikan pada kondisi-kondisi
tertentu antara lain jika pasien mengalami infeksi pada area target ESWT, adanya
tumor pada jaringan, gangguan pada proses pembekuan darah dan kehamilan
(Schumacher, 2010).
66
Penggunaan gelombang ultrasonik pada pelaksanaan ESWT untuk
mengatasi nyeri pada sendi akan memberikan efek fisiologik termal dengan
implikasi klinis berupa peningkatan konduksi saraf, peningkatan ambang
rangsang rasa nyeri, penurunan aktivitas spasme otot yang secara sekunder
menyebabkan nyeri serta meningkatkan aliran darah. Selain efek termal,
gelombang ultrasonik juga memberikan efek kavitasi yang muncul ketika
gelombang ultrasonik yang dipancarkan melalui tranducer mengalami kontak
dengan kulit. Saat kulit mendapatkan vibrasi ultrasonik yang tepat, akan terjadi
fenomena mikrokavitasi yang menghasilkan gelembung gas berukuran kecil.
Gelembung ini akan membesar seiring dengan meningkatnya suhu dan tekanan
internal, kemudian pecah. Ketika gelembung kavitasi pecah, gaya resultan
(resultant force) akan terbentuk. Dalam tubuh manusia, gaya ini cukup kuat untuk
memecah deposit kalsifikasi patologis pada jaringan lunak. Peristiwa pecahnya
gelembung kavitasi juga diikuti dengan pembentukan gelombang energi sekunder
yang disebut mikrojet. Mikrojet juga membentuk banyak gaya yang dapat
memecah deposit patologis kalsifikasi secara mekanis pada jaringan lunak secara
langsung (Schumacher, 2010).
Dalam aplikasi ESWT, ratusan dan ribuan gelembung kavitasi dihasilkan.
Jika dikalikan dengan gelombang yang diberikan kepada suatu jaringan melalui
pelaksanaan ESWT, maka dapat diketahui besarnya gaya yang dapat dihasilkan
untuk memecah deposit kalsifikasi pada sendi dan jaringan lunak lainnya.
Implikasi klinis yang dihasilkan melalui efek kavitasi mempengaruhi hampir
semua fungsi sel dalam jaringan termasuk pertumbuhan sel, diferensiasi sel,
67
migrasi sel, sintesis protein dan nekrosis jaringan seperti stimulasi pelepasan
growth factor dari makrofag, stimulasi pembentukan kapiler darah baru dan
peningkatan kandungan kolagen (Schumacher, 2010).
Efek kavitasi terjadi bila gelombang ultrasonik ditransmisikan ke dalam
suatu medium yang mengandung gelembung gas. Selain memberikan implikasi
klinis positif, peristiwa kavitasi diketahui dapat memberikan efek negatif untuk
jaringan tubuh. Hal ini disebabkan oleh osilasi amplitudo dari gelombang
ultrasonik yang akan menyebabkan gelembung gas mengalami proses kompresi
dan dekompresi secara terus menerus. Proses kompresi adalah proses dimana
diameter gelembung gas mengecil akibat tekanan positif, sedangkan proses
dekompresi adalah proses saat diameter gelembung gas membesar akibat tekanan
negatif. Apabila amplitudo dari gelombang ultrasonik yang dipancarkan memiliki
tekanan yang cukup besar, maka gelembung gas dapat mengalami kerusakan
(kolaps). Peristiwa ini disebut dengan inertial cavitation yang diketahui dapat
menyebabkan paralisis, kerusakan sel (lisis) dan pembentukan radikal bebas yang
bersifat toksik bagi tubuh (Schumacher, 2010).
Peristiwa kavitasi berhubungan dengan kejadian osteoarthritis pada
jaringan tulang rawan sendi dalam tingkat seluler. Implikasi klinis atau efek
negatif yang dihasilkan melalui penerapan ESWT akan mempengaruhi
progresivitas penyakit osteoarthritis. Oleh karena itu, level dan densitas energi
dari shock wave pada aplikasi ESWT harus diberikan pada dosis yang tepat
sehingga proses penyembuhan tulang rawan sendi dapat distimulasi tanpa
merugikan jaringan di sekitarnya (Schumacher, 2010).
68
Tulang rawan sendi yang berada dalam kondisi normal sebenarnya dapat
melakukan proses perbaikan sendiri yang dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan
suatu polipeptida yang mengontrol proliferasi sel dan membantu komunikasi antar
sel. Dalam proses perbaikan tersebut terjadi replikasi kondrosit dan pembentukan
matriks ekstraseluler tulang rawan sendi. Faktor pertumbuhan yang berperan
dalam proses perbaikan dalam kasus osteoarthritis adalah insulin-like growth
factor (IGF-1), growth hormon, transforming growth factor β (TGF-β) dan coloni
stimulating factors (CSFs).
Gambar 2.11. Jalur transduksi sinyal yang diaktivasi oleh ultrasound.
Faktor pertumbuhan seperti IGF-1 memegang peranan penting dalam
proses perbaikan rawan sendi. Pada keadaan inflamasi, sel menjadi kurang sensitif
terhadap efek IGF-1. Sementara itu, TGF-β mempunyai efek multipel pada
69
matriks kartilago yaitu merangsang sintesis kolagen dan proteoglikan serta
menekan stromelisin sebagai enzim yang mendegradasi proteoglikan,
meningkatkan produksi prostaglandin E2 (PGE2) dan melawan efek inhibisi
sintesis PGE2 oleh interleukin-1 (IL-1) (Sudoyo et al., 2009).
Munculnya kejadian osteoarthritis yang disebabkan oleh berbagai faktor
risiko akan menginduksi kondrosit untuk mensintesis asam deoksiribonukleat
(DNA) dan protein seperti kolagen serta proteoglikan (Sudoyo et al., 2009).
Selanjutnya akan terjadi kehilangan matriks ekstraseluler kartilago yang terjadi
terutama pada permukaan medial kartilago, dimana sitokin inflamasi seperti
interleukin (IL), prostaglandin dan faktor nekrosis tumor alfa (TNF-α) akan
meningkatkan inflamasi pada sendi dan degradasi kartilago (Brashers, 2008).
Karena adanya inflamasi, kondrosit yang tidak responsif terhadap faktor
pertumbuhan seperti IGF-1 dan TGF-β menjadi tidak mampu sepenuhnya
mengompensasi peristiwa kehilangan matriks ekstraseluler (Brashers, 2008).
Peningkatan degradasi kolagen akan mengubah keseimbangan metabolisme
kartilago. Kelebihan produk hasil degradasi matriks kartilago cenderung
berakumulasi di sendi dan menghambat fungsi kartilago serta mengawali suatu
respons imun yang menyebabkan inflamasi sendi (Sudoyo et al., 2009).
Ketidakseimbangan antara degradasi dan sintesis matriks ekstraseluler kartilago
yang diatur oleh kondrosit ditandai dengan adanya abrasi, cekungan dan fisura
pada permukaan kartilago artikular. Hal ini akan menyebabkan kartilago artikular
menjadi overhidrasi dan membengkak (Brashers, 2008).
70
Degradasi matriks dan overhidrasi mengakibatkan sendi kehilangan
kekakuan dan elastisitas kompresif pada transmisi yang memberikan tekanan
mekanis besar ke tulang subkondral. Tulang trabekular subkondral rusak dan
kehilangan komponen matriks ekstraseluler kartilago (Brashers, 2008).
Matriks metaloproteinase (MMP) merupakan komponen penting yang
berkaitan erat dengan proses degradasi komponen matriks ekstraseluler kartilago
serta berperan dalam patofisiologi osteoarthritis (Monfort et al., 2006).
Dibandingkan dengan MMP yang lain, MMP-13 adalah gen target yang penting
selama perkembangan osteoarthritis karena ekspresi MMP-13 lebih terbatas pada
jaringan ikat (Wang et al., 2013). Selain itu, ekspresi MMP-13 juga secara
spesifik ditemukan dalam kartilago dari pasien osteoarthritis dan tidak ditemukan
pada kartilago pasien normal (Li et al., 2011).
Dalam kondisi normal, sintesis dan aktivasi MMP terjadi secara ketat
dalam beberapa tahapan. Matriks metaloproteinase (MMP) disekresikan sebagai
proenzim yang tidak aktif sehingga memerlukan proses pemecahan secara
enzimatik untuk menjadi aktif. Setelah diaktifkan, MMP akan rentan terhadap
inhibitor jaringan MMP yang disebut tissue inhibitor of metaloproteinase (TIMP)
yang juga disekresikan oleh sel sinovial dan kondrosit. Pada kartilago yang
mengalami osteoarthritis, sintesis dari TIMP lebih rendah dibandingkan dengan
produksi MMP. Ketidakseimbangan ini akan mengaktifkan degradasi enzimatik
dari matriks tulang rawan dan tidak diimbangi dengan sintesis inhibitor yang
memadai. Oleh karena itu, individu yang mengalami osteoarthritis atau kerusakan
71
tulang rawan sendi artikular akan memiliki ekspresi MMP terutama MMP-13,
yang tinggi (Ling and Bathon, 2011).
Fungsi normal dari tulang rawan sendi tergantung pada struktur integritas
dan komposisi biokimia dari matriks ekstraseluler. Agrekan dan kolagen tipe-2
adalah makromolekul utama dan komponen penting dalam penyusunan struktur
matriks ekstraseluler yang menentukan sifat mekanis dari jaringan. Oleh karena
itu, keseimbangan antara agrekan dan kolagen tipe-2 merupakan parameter kritis
untuk menentukan integritas matriks (Monfort et al., 2006).
Peristiwa penurunan level kolagen tipe-2 pada kejadian osteoarthritis
berhubungan dengan faktor yang berperan dalam proses sintesis MMP yaitu
interleukin (IL)-1. Interleukin (IL)-1 adalah sitokin proinflamasi yang kuat dan
mampu merangsang kondrosit serta sel sinovial untuk mensintesis MMP. Selain
menginduksi sintesis dari MMP, IL-1 juga menekan sintesis kolagen tipe-2
sebagai molekul yang menentukan kekakuan kartilago dan proteoglikan serta
menghambat TGF-β yang menstimulasi proliferasi kondrosit (Ling and Bathon,
2011). Kolagen tipe-2 merupakan komponen yang paling banyak terkandung
dalam matriks ekstraseluler dan penting untuk menentukan integritas tulang rawan
sendi.Kerusakan dari kolagen tipe-2 dan hilangnya komponen matriks
ekstraseluler tulang rawan sendi timbul dari mekanisme patogenik yang
kompleks, yang mengakibatkan penurunan sintesis matriks dan regulasi degradasi
jaringan tulang rawan sendi (Tew et al., 2007).
Pada kartilago yang normal, kolagen tipe-2 berikatan erat sehingga
membuat molekul-molekul agrekan berada dalam jarak dekat antara satu sama
72
lain. Agrekan merupakan proteoglikan yang berikatan dengan asam hyaluronat
yang terdiri dari glikosaminoglikan bermuatan negatif. Molekul agrekan akan
memberikan efek kekakuan pada kartilago melalui tolakan elektrostatis dari
muatan negatifnya. Pada orang normal, metabolisme dari kartilago berjalan
lambat dengan degradasi dan sintesis yang seimbang sedangkan pada kasus
osteoarthritis, metabolisme kartilago berjalan dengan sangat aktif dan tidak
seimbang. Hal ini akan menyebabkan degradasi yang sangat cepat dari molekul
kolagen tipe-2 dan agrekan, dimana perubahan ini akan menyebabkan hilangnya
kekakuan kartilago sehingga efek destruktif dari kejadian osteoarthritis lebih
mudah terjadi (Fauci et al., 2008). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa IL-1
tidak hanya berperan aktif dalam peristiwa degradasi kartilago, tetapi juga dapat
menekan upaya perbaikan pada kasus osteoarthritis (Ling and Bathon, 2011).
Karakteristik tulang rawan sendi yang mengalami osteoarthritis
ditunjukkan dengan adanya perubahan dari ekspresi gen matriks ekstraseluler dan
penurunan regulasi dari faktor transkripsi kondrogenik yaitu SOX-9 (Tew et al.,
2007). SOX-9 berperan penting dalam diferensiasi kondrosit, peningkatan regulasi
transkripsi kolagen tipe-2 dan mempertahankan metabolisme fenotip kondrosit
(Salminen et al., 2001). Faktor transkripsi SOX-9 juga merupakan regulator
penting yang mengatur protein kondrosit spesifik selama perkembangan tulang
rawan sendi (Yamashita et al., 2010). SOX-9 adalah faktor transkripsi esensial
yang mengendalikan ekspresi berbagai gen dalam matriks ekstraseluler kartilago
termasuk kolagen tipe-2 dan agrekan serta merupakan faktor yang diperlukan
dalam inisiasi tahapan kondrogenesis. Kondrogenesis adalah proses biologis yang
73
sangat penting dalam pembentukan tulang endokondral, skeletogenesis dan pola
jaringan (Akiyama et al., 2004; Hata et al., 2008; Peffers et al., 2010).
Gambar 2.12. Proliferasi kondrosit yang diregulasi oleh faktor transkripsi SOX-9.
Proses kondrogenesis dijalankan dalam beberapa tahapan dalam osifikasi
endokondral. Kondrogenesis dimulai dengan proliferasi yang dilanjutkan dengan
kondensasi sel-sel mesenchymal. Selanjutnya sel-sel mesenchymal menjadi
kondroblas imatur, bertransformasi menjadi kondrosit prehipertropik dan
berdiferensiasi menjadi kondrosit hipertropik. Pada proses kondrogenesis awal
yaitu saat terbentuk kondroblas imatur, SOX-9 mengekspresikan protein matriks
ekstraseluler seperti kolagen tipe-2 alfa-1 (Col2a1). Col2a1 yaitu gen yang
mengkode kolagen tipe-2 yang merupakan matriks protein utama kartilago
(Kulyk et al., 2000; Yamashita et al., 2010).
Ekspresi dari SOX-9 menurun dengan cepat dan disertai dengan
penurunan ekspresi gen matriks ekstraseluler tulang rawan sendi yaitu Col2a1.
74
Ekspresi yang tinggi dari SOX-9 dalam kondrosit akan meningkatkan ekspresi
dari Col2a1 dan meningkatkan kapasitas serta kemampuannya untuk mereformasi
matriks ekstaseluler tulang rawan sendi. Mengingat pentingnya peran SOX-9
dalam pengembangan dan pemeliharaan fenotip kondrosit, penurunan regulasi
SOX-9 diduga berkontribusi dalam progresivitas penyakit osteoarthritis pada
tulang rawan sendi (Tew et al., 2007).
Teknik penatalaksanaan ESWT pada pasien nyeri dimulai dari tahapan
observasi dan rontgen pada titik-titik sendi yang mengalami nyeri. Penentuan
level dan densitas energi dari shock wave akan disesuaikan dengan
mempertimbangkan lokasi dan derajat nyeri serta tingkat keparahan dari penyakit.
Level dan densitas energi dari shock wave diberikan pada dosis yang tepat
sehingga pelaksanaan ESWT dapat menstimulasi proses penyembuhan tanpa
merugikan jaringan di sekitarnya (Millis and Levine, 2014).
Pemberian shock wave untuk kasus ortopedi umumnya dimulai dari level
dan densitas energi terendah dengan menargetkan daerah-daerah kritis pengobatan
secara akurat untuk memicu mekanisme perbaikan dari individu. Level dan
densitas energi rendah juga digunakan agar pasien dapat menyesuaikan diri
dengan proses pengobatan yang akan dijalani, dimana level dan densitas energi
dari shock wave akan ditingkatkan secara bertahap dan disesuaikan dengan tingkat
toleransi nyeri dari pasien dan reaksi terhadap efek analgesik yang dihasilkan
melalui penerapan shock wave (Bachmann et al., 2001).
Dampak mekanik dan fisik pada jaringan yang terpapar shock wave
tergantung pada level dan densitas energi yang dihasilkan (Notarnicola and
75
Moretti, 2012). Masing-masing level dan densitas energi shock wave, baik level
dan densitas energi yang rendah maupun tinggi memiliki indikasi tersendiri.
Jaringan tertentu seperti tulang memberikan respon yang lebih baik ketika
diberikan paparan shock wave dengan level dan densitas energi yang tinggi.
Sedangkan untuk jaringan lain seperti tendon dengan struktur yang lebih sensitif
memerlukan penggunaan level dan densitas energi yang lebih rendah, karena
paparan energi yang tinggi dapat merusak struktur jaringan. Efek negatif
penggunaan ESWT dengan level dan densitas energi yang tinggi dapat diamati
pada aplikasi ESWT yang dilakukan secara fokus pada area dengan struktur yang
sensitif (Bachmann et al., 2001; Millis and Levine, 2014).
Selanjutnya shock wave akan dikonsentrasikan ke lokasi nyeri dengan
durasi setiap tindakan tergantung pada frekuensi dan impuls yang diberikan.
Frekuensi dan impuls yang diberikan akan ditentukan oleh konsep terapi dari
dokter dan pelaksanaan terapi dilakukan oleh operator medis yang terlatih.
Aplikasi ESWT dapat diterapkan pada kasus osteoarthritis stadium awal sampai
sedang, sedangkan pada kasus osteoarthritis stadium lanjut dimana seluruh lapisan
tulang rawan sendi sudah menghilang sehingga terjadi perasaan nyeri dan
keterbatasan gerak, maka pasien akan disarankan untuk melakukan tindakan
operatif yang dikenal dengan knee arthroplasty, joint resurfacing atau total knee
replacement (Bachmann et al., 2001; Wess, 2010).
Pengaturan intensitas gelombang kejut yang digunakan dalam penerapan
ESWT digambarkan sebagai gelombang kejut berintensitas rendah. Secara umum,
gelombang kejut yang digunakan memiliki densitas energi antara 0-0.30 mJ/mm2
76
dengan kisaran 100-1000 impuls per cm2 dan frekuensi sebesar 5 Hz, dimana tiap
sesi terapi diberikan dengan interval sekitar satu minggu. Pemberian interval
selama satu minggu untuk setiap sesi terapi berhubungan dengan tahap
kondrogenesis dan proses proliferasi sel pada kasus cedera tulang. Proses
kondrogenesis dengan periode awal berupa perekrutan dan produksi sel
fibrogenitor terjadi dalam jangka waktu 0-7 hari sedangkan tahap proliferasi sel
untuk penyembuhan cedera tulang terjadi sekitar 5 hari. Pada tahap ini akan
terjadi pembentukan benang-benang fibrin, pembentukan jaringan untuk
revaskularisasi serta invasi dari fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan osteoblast
yang berkembang dari osteosit, sel endotel dan sel periosteum akan menghasilkan
kolagen dan proteoglikan yang merupakan substansi matriks ekstraseluler pada
tulang rawan sendi. Ekspresi kolagen tipe-2 yang merupakan gen spesifik sebagai
hasil karakterisasi dari fenotip kondrosit pada tulang rawan sendi mencapai
puncak pada waktu antara 7-9 hari sedangkan matriks ekstraseluler tulang rawan
sendi akan terbentuk dalam waktu 6 hari (Stein and Lian, 1992; Hall, 2014).
Sebagai bentuk terapi yang berdasarkan pada pemanfaatan gelombang,
pelaksanaan ESWT membutuhkan medium tertentu dimana proses kontak untuk
transfer energi dapat terjadi. Oleh karena itu, metode ESWT diaplikasikan dengan
menggunakan aplikator berupa bantalan gel (gel pads / gel transducer) khusus
dengan ketebalan yang berbeda. Bantalan gel dapat disesuaikan untuk mengatur
kedalaman penetrasi dari gelombang kejut sehingga gelombang kejut yang
diberikan dapat bekerja tepat pada kedalaman penetrasi yang diinginkan serta
memberikan efek secara optimal. Bantalan gel juga berfungsi untuk mengarahkan
77
gelombang kejut yang digunakan dalam proses terapi ke dalam jaringan. Energi
yang dihasilkan oleh ESWT akan melewati jaringan dalam tubuh tanpa dampak
apapun, sedangkan energi dari gelombang kejut yang digunakan akan
terkonsentrasi dan terfokus pada jaringan yang diinginkan (Schumacher, 2010).
Gambar 2.13. Ilustrasi kedalaman penetrasi oleh gel pads pada aplikasi ESWT.
Aplikator berupa bantalan gel akan menghasilkan tingkat densitas energi
yang berbeda tergantung pada level aplikator yang digunakan. Sebagai contoh,
aplikator dengan level 0.1-1 pada alat F10/G4 akan menghasilkan densitas energi
sebesar 0.032-0.092 mJ/mm2, level 6 akan menghasilkan densitas energi sebesar
0,220 mJ/mm2 dan level 20 akan menghasilkan energi sebesar 0.822 mJ/mm2.
Pelaksanaan ESWT memiliki berbagai kelebihan diantaranya pasien tidak
perlu menjalani rawat inap, pasien tidak perlu mengkonsumsi obat secara oral
maupun injeksi, hasil terapi dapat bertahan selama beberapa tahun tanpa
pengulangan serta biaya yang dikeluarkan relatif lebih sedikit jika dibandingkan
dengan tindakan operatif atau terapi konservatif lainnya (Zhao et al., 2013).
Studi dasar telah menunjukkan berbagai efek pada jaringan tubuh yang
menjalani ESWT, dimana di dalamnya terdapat keterlibatan mekanisme
78
neurovaskularisasi, stimulasi spesifik dari pertumbuhan tulang dan resorpsi atau
pemecahan pengapuran pada daerah persendian (Ehrenberg and Licht, 2005).
Transmisi yang masuk melalui ESWT merupakan suatu stresor mekanik berupa
gelombang bertekanan tinggi, dekompresi dan regangan. Stresor mekanik yang
diarahkan akan membentuk impuls energi yang menyebar dan menstimulasi
aktivitas metabolik di daerah nyeri dan merangsang perbaikan aliran darah ke
daerah yang mengalami peradangan sehingga menurunkan sensitivitas tubuh
terhadap nyeri. Adapun parameter fisik yang paling penting dari terapi ESWT
untuk terapi pada tulang rawan sendi meliputi distribusi tekanan, densitas energi
dan total energi yang diberikan (Wang et al., 2012).
Saat ini, pemanfaatan ESWT secara luas digunakan dalam proses terapi
penyakit osteoarthritis yang terutama berkaitan dengan persendian. Osteoarthritis
didefinisikan sebagai berbagai kelompok kondisi dengan tanda dan gejala pada
sendi yang berhubungan dengan kerusakan integritas pada tulang rawan sendi
(Brashers, 2008). Osteoarthritis merupakan suatu sindrom klinik yang ditandai
dengan adanya gangguan dan penurunan progresif pada tulang rawan sendi
artikular yang mengakibatkan gejala berupa perasaan nyeri, keterbatasan gerak
dan kekakuan pada sendi yang terutama muncul ketika inaktivitas panjang atau
aktivitas yang berlebihan. Manifestasi osteoarthritis umumnya bersifat lokal,
menyerang satu atau beberapa sendi seperti sendi lutut, pinggul dan tangan
(Monfort et al., 2006; Dipiro et al., 2009; Arthritis Foundation, 2014).
Pada kasus osteoarthritis terdapat tiga aspek yang berperan dalam
perkembangan penyakit antara lain penurunan transforming growth factor β
79
(TGF-β) yang merupakan tahap awal dari proses degradasi tulang rawan sendi,
peningkatan tumor necrosis factor α (TNF-α) dan peningkatan interleukin (IL).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Moretti et al. (2008), pemberian ESWT
mampu menurunkan regulasi kondrosit dari TNF-α dan IL penderita osteoarthritis
sampai level normal. Perbaikan level TNF-α dan IL sebagai hasil dari penerapan
ESWT dapat dianggap sebagai efek proteksi karena dapat mencegah aktivasi
MMP dan menghambat kerusakan tulang rawan sendi.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, maka dapat dikatakan
bahwa mekanisme pelaksanaan ESWT untuk menghilangkan nyeri pada kasus
osteoarthritis dipengaruhi oleh kekuatan mekanik dari gelombang yang
dipancarkan melalui ESWT. Hal ini dapat merangsang respon biologis dalam
tubuh termasuk peningkatan ekspresi angiogenik dari faktor pertumbuhan yang
menyebabkan neovaskularisasi dan proliferasi jaringan. Penggunaan shock wave
juga dapat meningkatkan suplai darah ke daerah yang mengalami cedera,
menstimulasi proses inflamasi, menurunkan nyeri, meningkatkan respon imun
untuk mengatasi cedera jaringan dan penyembuhan luka. Kondisi tulang, tendon
dan ligamen yang termasuk ke dalam daerah dengan suplai darah yang terbatas
menyebabkan efek peningkatan suplai darah yang diperoleh melalui aplikasi
ESWT menjadi faktor yang efektif dalam meningkatkan proses penyembuhan di
jaringan yang mengalami cedera serta lebih efektif dalam proses renovasi jaringan
yang rusak. Melalui mekanisme tersebut, penerapan ESWT telah terbukti
berkhasiat dalam mengurangi rasa nyeri yang terkait dengan penyakit degeneratif
80
dan dapat melindungi jaringan sendi pada penderita osteoarthritis
(Metheney, 2004).
Extracorporeal Shock Wave Therapy (ESWT) memang merupakan sebuah
solusi, metode dan teknologi terapi baru dengan tingkat komplikasi yang sangat
rendah (Wess, 2010). Walaupun penggunaan ESWT dirasa memiliki banyak
keunggulan dan sangat efektif untuk mengatasi nyeri pada kejadian osteoarthritis,
tetapi untuk menghindari risiko kekambuhan nyeri maka pasien tetap disarankan
untuk menjalani terapi non farmakologi seperti mengatur pola makan,
mempertahankan daya tahan tubuh, menjaga fungsi saraf, mempertahankan berat
badan ideal serta tetap berlatih agar otot tetap lentur dan massa tulang tetap padat
sehingga tulang memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri hingga usia tua.
Dengan adanya berbagai aspek positif yang dapat diperoleh melalui pemanfaatan
ESWT, maka terdapat kemungkinan yang sangat besar bagi pengguna ESWT
dalam mengatasi masalah nyeri dan deformitas yang ditimbulkan dari penyakit
osteoarthritis, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup penderita
osteoarthritis.
A. Mekanisme potensial dari ESWT terhadap perbaikan kartilago
ESWT telah dievaluasi secara klinis dan pre-klinis terhadap efeknya pada
penderita OA. Perbaikan pada aspek nyeri dan mobilitas telah banyak dipaparkan
akan tetapi, aspek molekuler aplikasi ESWT terhadap perbaikan gejala maupun
kartilago pada OA masih belum banyak dieksplorasi secara mendalam. Namun,
efek ESWT terhadap inflamasi dan laju diferensiasi seluler telah dibuktikan pada
beberapa penelitian.
81
B. Pengaruh aplikasi ESWT terhadap MMP-13
Beberapa penelitian telah menemukan adanya pengaruh negatif dari
penggunaan ESWT terhadap ekspresi dan kadar MMP-13 jaringan. Bukti awal
adanya efek terapeutik ultrasound pada osteoarthritis dilaporkan oleh Zhao dkk
(2012) yang menunjukkan bahwa ultrasound intensitas rendah secara signifikan
menurunkan ekspresi MMP-13 dan jalur pensinyalan MAPK. Selain itu, Xueping
dkk (2011) menguatkan fakta adanya efek negatif ultrasound terhadap MMP-13
dimana ditemukan bahwa ultrasound menurunkan laju signaling pada jalur ERK1,
ERK2, dan p38 yang berakibat pada penurunan laju sekresi MMP-13. Di lain
pihak, bukti langsung dari efek ESWT terhadap osteoarthritis dilaporkan oleh
Wang dkk (2013) dimana ditemukan bahwa penggunaan ESWT pada tikus model
osteoarthritis mengakibatkan penurunan yang nyata pada tingkat ekspresi MMP-
13 pada jaringan kartilago. Selain menurunkan MMP-13, terdeteksi juga adanya
peningkatan ekspresi vWF, BMP-2, dan VEGF yang menunjukkan adanya efek
angiogenik dari ESWT.
Mekanisme penerunan regulasi dari MMP-13 oleh ESWT masih belum
diungkap secara pasti. Namun, adanya efek anti-inflamasi ESWT diduga berperan
besar dalam menurunkan ekspresi dan sekresi MMP-13. Efek anti-inflamasi
ESWT telah dievaluasi pada laporan riset Moretti dkk (2008) yang menemukan
bahwa ESWT dapat menurunkan kadar TNF-α dan IL-1β secara signifikan. Kedua
ligan ini adalah stimulator utama produksi MMP-13 yang dimediasi melalui
aktivasi NF-kB. Selain itu, ESWT juga meningkatkan konsentrasi IL-6 dan IL-10
yang bersifat anti-inflamasi juga telah dilaporkan pada inflamasi tendon yang
82
distimulasi dengan ESWT (Visco, 2014). ESWT juga meningkatkan ekspresi
TGF-β yang juga memiliki sifat anti-inflamasi namun juga merupakan stimulator
sintesis kolagen tipe II (Visco, 2014). Merujuk pada fakta-fakta tersebut, dapat
disimpulkan bahwa ESWT memiliki potensi yang kuat untuk diaplikasikan pada
penderita osteoarthritis.
C. Pengaruh aplikasi ESWT terhadap ekspresi SOX-9
Belum terdapat bukti yang menunjukkan secara langsung efek stimulasi
ESWT terhadap ekspresi SOX-9.Namun, terdapat beberapa penjelasan yang dapat
menjadi dasar hipotesis adanya efek ESWT pada ekspresi SOX-9. Pada kondisi
osteoarthritis, ekspresi dan aktivasi SOX-9 tersupressi oleh adanya inflamasi pada
jaringan kartilago (Zhang et al., 2015). Interaksi antara TNF-α dan IL-1β dengan
reseptornya mengaktivasi jalur pensinyalan yang dimediasi oleh NF-kB sehingga
menghambat ekspresi serta aktivasi dari SOX-9. Peningkatan faktor pertumbuhan
yang mengiringi inflamasi dan degradasi matriks kartilago tidak banyak
berpengaruh akibat penurunan fungsi SOX-9 yang menyebabkan penurunan laju
diferensiasi dan sintesis kolagen tipe-2 oleh kondrosit dan kondroblast
(Sudoyo, 2009).
Oleh karena itu, efek anti-inflamasi ESWT memegang peranan penting
dalam meningkatkan ekspresi dan fungsi SOX-9. Penurunan kadar TNF-α dan IL-
1β akan menghilangkan efek inhibisi dari jalur pensinyalan kedua sitokin tersebut
yang akan memulihkan ekpresi dan aktivasi SOX-9. Pemulihan fungsi SOX-9
mengembalikan efek dari faktor pertumbuhan dalam meregenerasi kondrosit dan
matriks kartilago.
83
Namun, terdapat bukti yang kuat yang mengindikasikan adanya efek
independen dari ESWT terhadap faktor ekspresi diferensiatif (Visco, 2014)
menunjukkan bahwa aplikasi ESWT meningkatkan ekspresi dan aktivitas SCX
pada kultur tenocyte yang merupakan faktor transkripsi penting sintesis kolagen
tipe I. Karena penelitian ini dilakukan pada kultur sel, maka efek dari penurunan
regulasi inflamasi dapat dieksklusi yang menunjukkan adanya efek stimulasi
metabolik langsung dari ESWT. Akan tetapi, mekanisme efek ini masih belum
diketahui secara pasti dan masih belum terdapat bukti langsung dari efek ESWT
terhadap SOX-9.
D. Pengaruh aplikasi ESWT terhadap ekspresi kolagen tipe -2
Peningkatan ekspresi kolagen tipe-2 pada hewan coba yang mendapatkan
ESWT telah didokumentasikan pada beberapa penelitian. Wang et al (2013)
menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan pada kandungan kolagen tipe II
pada kartilago sendi genu tikus model osteoarthritis. Peneliti juga membuktikan
bahwa efek yang sama dapat diinduksi pada femur distal dan tibia proksimal
(Hasanova et al., 2011) juga membuktikan bahwa pemaparan ultrasound
intensitas rendah berpulsasi dengan dosis 0.14 mW/cm2 pada kultur kondroblas
menyebabkan peningkatan ekspresi integrin, marker kondrosit, SOX9, kolagen
tipe-2 dan agrekan. Bukti-bukti ini menunjukkan bahwa ESWT berpotensi
memiliki efek regeneratif terhadap kartilago pada OA.Kolagen tipe-2 merupakan
komponen sentral pada matriks ekstraseluler kartilago.
Peningkatan akumulasi kolagen tipe-2 dapat menunjang regenerasi
kartilago dan meningkatkan resiliensi kartilago terhadap stress mekanik.
84
Peningkatan ekspresi kolagen tipe-2 pada hewan coba yang terpapar ESWT
kemungkinan diakibatkan oleh efek anti-inflamasi dan stimulasi SOX9 oleh
ESWT (Saito et al., 2017). Penurunan tingkat inflamasi menurunkan ekspresi dan
sekresi MMP-13 yang merupakan enzim utama yang mendegradasi kolagen tipe-2
sehingga menurunkan tingkat degradasi kolagen. Selain itu, peningkatan aktivitas
SOX9 baik oleh karena hilangnya efek inhibisi TNF-α maupun IL-1β atau oleh
karena akibat stimulasi langsung ESWT meningkatkan ekspresi gen COL2A1
yang mengkode kolagen tipe-2 (Zhang et al., 2015). Oleh karena itu, terjadi
pergeseran metabolik kearah sintesis dan akumulasi kolagen pada kartilago sendi
yang akan menunjang proses regeneratif kartilago.
Gambar 2.14. Ilustrasi Aplikasi ESWT Pada Tulang Subkondral
Tulang Subkondral
BMP 2
ESWT
VEGF
Vasculogenesis
Angiogenesisa
Sklerotik tulang
Subkondral
BMP 1A
FGFR3
MAPK
ERK
SOX9
Mesenchymal
Stem cell
Precondrocyte
Proliferating
Condrocyte
Nutrisi ke tulang
rawan
Kolagen tipe 2
85
Penanganan Rasional Osteoarthritis
Primer Sekunder
Gambar . 2.15. Penanganan Rasional Osteoarthritis Berdasarkan Patofisiologis
Perubahan Biomekanik / Biokimia
Respon Kondrosit
Proliferasi sel
peningkatan sintesa
matrik
Mikro fraktur dan
sklerotik tulang
subkondral
Pengeluaran enzim
degeneratif
Terapi Fisik
Operasi
Ostearthritis
Proses inflamasi
Reaksi imunologi
Perubahan Matrik
Kerusakan struktur
mattrik
ESWT
EDUKASI
Analgesik/ OAINS
Anti inflamasi / OAINS
Eliminasi penyebab
ESWT ?
Faktor penyebab
Perubahan
Kolagen
Chondroprotective agent
Gejala
Pembentukan
osteofit