Top Banner
Tinjauan Pustaka Infeksi Virus Dengue Pendahuluan Infeksi virus dengue merupakan suatu penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus genus Flavivirus, family Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotype yaitu DEN-1, DEN-2. DEN-3, dan DEN-4, melalui perantara nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Keempat serotype dengue terdapat di Indonesia, DEN-3 merupakan serotype dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat, diikuti serotype DEN-2. Pada saat ini jumlah kasus masih tetap tinggi rata-rata 10-25 per 100.000 penduduk, namun angka kematian telah menurun bermakna < 2%. Umur terbanyak yang terkena infeksi dengue adalah kelompok umur 4-10 tahun, walaupun makin banyak kelompok umur lebih tua. Spectrum klinis infeksi dengue dapat bervariasi antara penyakit paling ringan, sampai paling berat yang dapat dibagi menjadi (1) gejala klinis paling ringan tanpa gejala (silent dengue infection), (2) demam dengue (DD), (3) demam berdarah dengue (DBD), dan demam berdarah dengue disertai syok (sindrom syok dengue/ DSS). Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini memperlihatkan sebuah fenomena gunung es dengan kasus DBD dan DSS yang dirawat di rumah sakit sebagai puncak gunung es yang terlihat di atas permukaan laut, sedangkan kasus dengue ringan (silent dengue infection dan demam dengue) merupakan dasarnya. 1 1
51

Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

Dec 13, 2015

Download

Documents

Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

Tinjauan Pustaka

Infeksi Virus Dengue

Pendahuluan

Infeksi virus dengue merupakan suatu penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus

genus Flavivirus, family Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotype yaitu DEN-1, DEN-2. DEN-3,

dan DEN-4, melalui perantara nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Keempat serotype

dengue terdapat di Indonesia, DEN-3 merupakan serotype dominan dan banyak berhubungan

dengan kasus berat, diikuti serotype DEN-2.

Pada saat ini jumlah kasus masih tetap tinggi rata-rata 10-25 per 100.000 penduduk, namun

angka kematian telah menurun bermakna < 2%. Umur terbanyak yang terkena infeksi dengue

adalah kelompok umur 4-10 tahun, walaupun makin banyak kelompok umur lebih tua. Spectrum

klinis infeksi dengue dapat bervariasi antara penyakit paling ringan, sampai paling berat yang dapat

dibagi menjadi (1) gejala klinis paling ringan tanpa gejala (silent dengue infection), (2) demam

dengue (DD), (3) demam berdarah dengue (DBD), dan demam berdarah dengue disertai syok

(sindrom syok dengue/ DSS). Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini memperlihatkan

sebuah fenomena gunung es dengan kasus DBD dan DSS yang dirawat di rumah sakit sebagai

puncak gunung es yang terlihat di atas permukaan laut, sedangkan kasus dengue ringan (silent

dengue infection dan demam dengue) merupakan dasarnya.1

Epidemiologi

Istilah haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di Filipina pada tahun

1953. Pada tahun 1958 meletus epidemic penyakit serupa di Bangkok. Setelah tahun 1958 penyakit

ini dilaporkan berjangkit dalam bentuk epidemic di beberapa negara lain di Asia Tenggara, di

antaranya Hanoi (1958), Malaysia ( 1962-1964), Saigon (1965) yang disebabkan oleh virus dengue

tipe 2 dan Calcutta (1963) dengan virus dengue tipe-2 dan chikungu berhasil di isolasi dari

beberapa kasus. Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi

konfirmasi virologist baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta kasus pertama dilaporkan pada

tahun 1969. Kemudian DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung (1972), Yogyakarta (1972).

Epidemic pertama di luar Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung,

1

Page 2: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

disusul oleh Riau, Sulawesi Utara dan Bali (1973). Pada tahun 1974 epidemik dilaporkan di

Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pada tahun 1993 DBD telah menyebar ke seluruh

propinsi di Indonesia. Pada saat ini DBD sudah endemis di banyak kota-kota besar, bahkan sejak

tahun 1975 penyakit ini telah berjangkit di daerah pedesaan. Berdasarkan jumlah kasus DBD,

Indonesia menempati urutan kedua setelah Thailand. Sejak tahun 1968 angka kesakitan rata-rata

DBD di Indonesia terus meningkat dari 0,05 (1968) menjadi 8,14 (1973), 8,65 (1983), dan

mencapai angka tertinggi pada tahun 1998 yaitu 35,19 per 100.000 penduduk dengan jumlah

penderita sebanyak 72.133 orang. Pada saat ini DBD telah menyebar luas di kawasan Asia

Tenggara Pasifik Barat dan daerah Karibia. 1,2

Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai Negara bervariasi disebabkan

beberapa factor antara lain status umur penduduk, kepadatan vector, tingkat penyebaran virus

dengue, prevalensi serologi virus dengue dan kondisi meteorologist. Secara keseluruhan tidak

terdapat perbedaan antara jenis kelamin, tetapi kematian ditemukan lebih banyak terjadi pada anak

perempuan daripada laki-laki. Pada awal terjadinya wabah di suatu Negara, pola distribusi umur

memperlihatkan proporsi kasus terbanyak berasal dari golongan anak berumur < 15 tahun (86-

95%). Namun pada wabah selanjutnya, jumlah kasus golongan usia dewasa muda meningkat. Di

Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas, namun secara garis besar jumlah

kasus meningkat antara September sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada bulan

Januari.1,2

Etiologi

Virus dengue termasuk dalam group B arthropod borne virus (arboviruses) dan sekarang

dikenal sebagai genus Flavivirus, family Flaviviridae, yang mempunyai 4 jenis serotype yaitu Den-

1, Den-2, Den-3, dan Den-4. Infeksi dengan salah satu serotype akan menimbulkan antibody

seumur hidup terhadap serotype yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotype

yang lain. Di Indonesia, pengamatan birus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa

rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotype ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun.

Serotype Den-3 merupakan serotype yang dominan dan berhubungan dengan kasus berat. 1,2,3

2

Page 3: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

Patofisiologi

Volume Plasma

Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan antara DD

dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma,

terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta diatesis hemoragik. Penyelidikan volume plasma pada

kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine Labelled human albumin sebagai indicator

membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa

demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai

hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding

pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok

terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vascular (ruang interstitial dan rongga

serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini adalah meningkatnya berat

badan, ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura,

dan pericardium yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infuse, dan

terdapatnya edema.

Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara efektif dengan

memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini dapat diberikan cairan yang

mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis terjadi secara cepat dan

drastis. Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang bersifat

destruktif atau akibat radang, sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding

pembuluh darah agaknya disebabkan oleh mediator farmakologis yang bekerja secara cepat.

Gambaran mikroskop electron biopsy kulit pasien DBD pada masa akut memperlihatkan kerusakan

sel endotel vascular yang mirip dengan luka akibat anoksia atau luka bakar. Gambaran itu juga

mirip dengan binatang yang diberi histamine atau serotonin atau dibuat keadaan trombositopenia.1,4

Trombositopenia

Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar kasus

DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa

syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan nilai normal biasanya

tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang dihubungkan dengan

meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit

3

Page 4: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah

depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotope membuktikan bahwa penghancuran

trombosit terjadi dalam system retikuloendotel, limpa, dan hati. Penyebab peningkatan destruksi

trombosit tidak diketahui, namun beberapa factor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue,

komponen aktif system komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi system pembekuan darah

secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun

mungkin disebabkan proses imunologis terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah.

Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya

perdarahan pada DBD. 1,4

Sistem Koagulasi dan Fibrinolisis

Kelainan system koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa perdarahan

memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi memanjang.

Beberapa factor pembekuan menurun, termasuk factor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada

kasus DBD berat terjadi peningkatan fibrinogen degradation products (FDP). Penelitian lebih lanjut

membuktikan adanya penurunan aktifitas antitrombin III. Di samping itu juga dibuktikan bahwa

menurunnya aktifitas factor VII, factor II dan antitrombin III tidak sebanyak seperti fibrinogen dan

factor VIII tidak hanya diakibatkan oleh konsumsi system koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi

system fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan dengan penurunan aktifitas α-2

plasmin inhibitor dan penurunan aktifitas plasminogen.

Seluruh penelitian diatas membuktikan bahwa (1) pada DBD stadium akut telah terjadi proses

koagulasi dan fibrinolisis, (2) Disseminated intravascular coagulation (DIC) secara potesial dapat

juga terjadi pada DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC tidak menonjol dibandingkan

dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis

maka syok akan memperberat DIC sehingga perannya akan emncolok. Syok dan DIC akan saling

mempengaruhi sehingga perannya akan mencolok. Syok dan DIC akan saling mempengaruhi

sehingga penyakit akan memasuki syok ireversibel disertai perdarahan hebat, terlihatanya organ-

organ vital yang biasanya diakhiri dengan kematian. (3) perdarahan kulit pada umumnya

disebabkan oleh fakator kapiler, gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia; sedangkan

perdarahan masif ialah akibat kelainan mekanisme yang lebih kompleks seperti trombositopenia,

gangguan factor pemberkuan, dan kemungkinan besar oleh factor DIC, terutama pada kasus

dengan syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis metabolic. (4) antitrombin

4

Page 5: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan kekurangan antitrombin III, respons

pemberian heparin akan berkurang. 1,4

Sistem Komplemen

Penelitian system komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadara C3, C3

proaktivator, C4, dan C5, baik pada kasus yang disertai syok amupun tidak. Terdapat hubungan

positif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit. Penurunan ini menimnulkan

perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun jalur

alternative. Hasil penelitian radioisotope mendukung pendapat dan bukan oleh karena produksi

yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan anafilaktoksin C3a dan C5a

yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamine dan merupakan

mediator kuat untuk menimnulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma,

dan syok hipovolemiik. Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel,

permukaan trombosit dan limfosit T, yang mengakibatkan waktu paruh trombosit memendek,

kebocoran plasma, syok dan perdarahan. Di samping itu komplemen juga merangsang monosit

untuk memproduksi sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon gamma, interleukin (IL-

2 dan IL-1).

Bukti-bukti yang mendukung peran system komplemen pada penderita DBD ialah (1)

ditemukannya kadar histamine yang meningkat dalam urin 24 jam, (2) adanya kompleks imun yang

bersirkulasi, baik pada DBD derajat ringan maupun berat, (3) adanya korelasi antara kadar

kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat penyakit. 1,4

Respons Leukosit

Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan limfosit atopic

yang berlangsung sampai hari kedelapan. Suvatte dan LOngsaman menyebutnya sebaga

transformed lymphocytes. Dialporkan juga bahwa pada sediaan hapus buffy coat kasus DBD

dijumpai transformed lymphocytes dalam persentase yang tinggi (20-50%). Hal ini khas untuk

DBD oleh karena proporsinya sangat berbeda dengan infeksi virus lain (0-10%). Penelitian yang

lebih mendalam dilakukan oelh Sutaryo yang menyebutnya sebagaai limfosit plasma bitu (LPB).

pemeriksaan LPB secara seri dari preparat hapus darah tepi memperlihatkan bahwa LPB pada

infeksi dengue mencapai puncak pada hari demam keenam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa di

antar hari keempat sapai kedepalan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD

5

Page 6: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

dengan demam dengue. Namun, antara hari kedua sampai dengan hari kesembilan demam, tidak

terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD syok dan tanpa syok. Definisi LPB adalah

limfosit dengan sitoplasma biru tua, pada umumnya mempunyai ukuran lebih besar atau sama

dengan limfosit besar, sitoplasma lebar dengan vakuolisasi halus sampai sangat nyata, dengan

daerah perinuklear yang jernih. Inti terletak pada salah satu tepi sel berbentuk bulat oval atau

berbentuk ginjal. Kromosom inti kasar dan akdang-kadang di dalam inti terdapat nucleoli. Pada

sitoplasma tidak ada granula azurofilik. Daerah yang berdekatan dengan eritrosit tidak melekuk

dan tidak bertambah biru. 1,4

Patogenesis

Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan biokimiawi DBD belum

diketahui secara pasti. Hingga kini sebagian besar masih menganut the secondary heterologous

infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis yang mengatakan bahwa DBD dapat

terjadi apabila seseorang seteleha terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua

dengan virus dengue serotype lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun.

The Immunological Enhancement Hypothesis

Antibody yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG yang berfungsi menghambat

peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing-antibody dan neutralizingantibody.

pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibody yaitu (1) kelompok monoclonal reaktif yang tidak

mempunyai sifat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus, dan (2) Antibodi yang dapat

menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi virus. Perbedaan ini berdasarkan

adanya virion determinant specificity. Antibody non-neutralisasi yang dibentuk pada infeksi primer

akan menyebabkan terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat memacu

replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi sekunder virus dengue oleh

serotype dengue yang berbeda cenderung menyebabkan manifestasi berat. Dasar utama hipotesis

ialah meningkatnya reaksi immunologis (the immunological enhancement hypothesis) yang

berlangsung sebagai berikut : 1,4

a) Sel fagosit mononuclear yaitu monosit, makrofag, histiosit dan sel kupffer merupakan

tempat utama terjadinya infeksi virus dengue primer.

6

Page 7: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

b) Non neutralizing antibody baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang melekat (sitofilik)

pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada

permukaan sel fagosit mononuclear. Mekanisme pertama ini disebut mekanisme aferen.

c) Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuclear yang telah

terinfeksi.

d) Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebab ke usus, hati,

limpa, dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut mekanisme eferan. Parameter perbedaan

terjadinya DBD dengan dan tanpa renjatan ialah jumlah sel yang terkena infeksi.

e) Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan system humoral dan

system komplemen dengan akibat dilepaskannya mediator yang mempengaruhi

permeabilitas kapiler dan mengaktivasi system koagulasi. Mekanisme ini disebut

mekanisme efektor.

Aktivasi Limfosit T

Limfosit T juga memegang peran penting dalam pathogenesis DBD. Akibat rangsang monosit

yang terinfeksi virus dengue atau antigen virus dengue, limfosit dapat mengeluarkan interferon

(IFN-α dan γ). Pada infeksi sekunder oleh virus dengue (serotype berbeda dengan infeksi pertama),

limfosit T CD4+ dan CD8

+ spesifik virus dengue, monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan

mediator yang ,menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan.

Hipotesis kedua pathogenesis DBD mempunyai konsep dasar bahwa keempat serotype virus

dengue mempunyai potensi pathogen yang sama dan gejala berat terjadi sebagai akibat serotype/

jalur serotype virus dengue yang paling virulen. 1,4

Manifestasi Klinis

Demam dengue (Dengue Fever)

Masa tunas berkisar antara 3-5 hari (pada umumnya 5-8 hari). Awal penyakit biasanya

mendadak, disertai gejala prodromal seperti nyeri kepala, nyeri berbagai bagian tubuh, anoreksia,

rasa menggigil, dan malaise. Dijumpai trias sindrom yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota

badan, dan timbulnya ruam (rash). Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali,

yaitu pada hari sakit ke 3-5 berlangsung 3-4 hari. ruam bersifat makulopapular yang menghilang

pada tekanan. Ruam terdapat di dada, tubuh serta abdomen, menyebar ke anggota gerak dan muka.

7

Page 8: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

Pada lebih dari separuh pasien, gejala klinis timbul dengan mendadak, disertai kenaikan suhu,

nyeri kepala hebat, nyeri di belakang bola mata, punggung, otot, sendi dan disertai rasa menggigil.

Pada beberapa penderita dapat dilihat bentuk kurva suhu yang menyerupai pelana kuda atau

bifasik, tetapi pada penelitian selanjutnya bentuk kurva ini tidak ditemukan pada semua pasien

sehingga tidak dapat dianggap patognomonik.

Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan, di samping itu perasaan tidak nyaman di daerah

epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering ditemukan. Pada stadium dini sering

timbul perubahan dalam indra pengecap. Gejala klinis lain yang sering terdapat ialah fotofobia,

keringat yang bercucuran, suara serak, batuk, epistaksis, dan disuria. Demam menghilang secara

lisis, disertai keluarnya banyak keringat. Kelenjar limfa servikal dilaporkn membesar pda 67-77%

kasus. Manifestasi perdarahan tidak sering dijumpai. Rush pada tahun 1789 melaporkan pasien

demam dengue dengan perdarahan yang kemudian meninggal. Bentuk perdarahan lain yang

dilaporkan ialah menoragi dan menstruasi dini, abortus atau kelahiran bayi berat badan lahir

rendah, mungkin sekali akibat perdarahan uterus.

Kelainan darah tepi demam dengue ialah leucopenia selama periode pra-demam dan demam,

neutrofilia relative dan limfopenia, disusul oleh neutropenia relative dan limfositosis pada periode

puncak penyakit dan pada masa konvalesens. Eosinofil menurun atau menghilang pada permulaan

dan pada puncak penyakit, hitu ng jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam, sel

plasma meningkat pada periode memuncaknya penyakit dengan terdapatnya trombositopenia.

Darah tepi menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu.

Komplikasi demam dengue walaupun jarang dilaporkan ialah orkhitis atau ovaritis, keratitis,

dan retinitis. Berbagai kelainan neurologis dilaporkan diantaranya menurunnya kesadaran, paralisis

sensorium yang bersifat sementara, meningismus, dan ensefalopati. Diagnosis banding mencakup

berbagai infeksi virus (termasuk chikungunya), bacteria, dan parasit yang memperlihatkan sindrom

serupa. 1-9

Demam Berdarah Dengue

Demam berdarah dengue ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demam tinggi, perdarahan,

terutama perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan peredaran darah (circulatory failure).

Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dari DD

ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma,

trombositopenia, dan diathesis hemoragik. Perbedaan antara DBD dengan DD tertera pad tabel 1.

8

Page 9: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

Tabel 1. Gejala klinis demam dengue dan demam berdarah dengue

Demam dengue (DD) Gejala klinis Demam berdarah dengue (DBD)

++ Nyeri kepala +

+++ Muntah ++

+ Mual +

++ Nyeri otot +

++ Ruam kulit +

++ Diare +

+ Batuk +

+ Pilek +

++ Limfadenopati +

+ Kejang +

0 Kesadaran menurun ++

0 Obstipasi +

+ Uji tourniquet positif ++

++++ Petekie +++

0 Perdarahan saluran cerna +

++ Hepatomegali +++

+ Nyeri perut +++

++ Trombositopenia ++++

0 Syok +++

Keterangan : (+) 25%, (++) 50%, (+++) 75%; (++++) 100%

Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji tourniquet positif, memar, dan perdarahan pada

tempat pengambilan darah vena. Petekie halus yang tersebar di anggota gerak, muka, aksila

seringkali ditemukan pada masa dini demam. harus diingat juga bahwa perdarahann dapat terjadi di

setiap organ tubuh. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai, sedangkan perdarahan saluran

9

Page 10: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

pencernaan hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah renjatan yang tidak dapat diatasi.

Perdarahan lain, seperti perdarahan subkonjungtiva kadang-kadang ditemukan. Pada masa

konvalesens seringkali ditemukan eritema pada telapak tangan/ telapak kaki. 1-9

Dengue Syok Sindrom

Pada DBD syok, setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan umum tiba-tiba

memburuk, hal ini biasanya terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu di antara hari

sakit ke 3-7. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis peningkatan reaksi imunologis (the

immunological enhancement hypothesis). Pada sebagian besar kasus ditemukan nadi menjadi cepat

dan lembut. Anak tampak lesu, gelisah, dan secara cepat masuk dalam fase syok. Pasien seringkali

mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok.

Fabie (1966) mengemukakan bahwa nyeri perut hebat seringkali mendahului perdarahan

gastrointestinal. Nyeri di daerah retrosternal tanpa sebab yang jelas dapat memberikan petunjuk

adanya perdarahan gastrointestinal yang hebat. Syok yang terjadi selama periode demam biasanya

mempunyai prognosis buruk.

Di samping kegagalan sirkulasi, syok ditandai oleh nadi lembut, cepat, kecil sampai tidak

dapat diraba. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang dan tekanan sistolik menurun

sampai 80 mmHg atau lebih rendah. Syok harus segera diobati, apabila terlambat pasien dapat

mengalami syok berat (profound shock), tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak dapat

diraba. Tatalaksana syok yang tidak adekuat akan menimbulkan komolikasi asidosis metabolic,

hipoksia, perdarahan gastrointestinal hebat dengan prognosis buruk. Sebaliknya, dengan

pengobatan yang tepat (termasuk kasus syok berat) segera terjadi masa penyembuhan dengan

ceapt. Pasien membaik dalam 2-3 hari. Selera makan yang membaik merupakan petunjuk

prognosis baik.

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi. Jumlah

trombosit < 100.000/ul ditemukan antara hari sakit ke 3-7. Peningkatan kadar hematokrit

merupakan bukti adanya kebocoran plasma, walau dapat terjadi pula pada kasus derajat ringan

meskipun tidak sehebat dalam keadaan syok. Hasil laboratorium lain yang sreing ditemukan ialah

hipoproteinemia, hiponatremia, kadar transaminase serum dan urea nitrogen darah meningkat. Pada

beberapa kasus ditemukan asidosis metabolic. Jumlah leukosit bervariasi antara leucopenia dan

leukositosis. Kadang-kadang ditemukan albuminuria ringan yang bersifat sementara. 1-9

Diagnosis

10

Page 11: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

Pada anamnesis biasanya didapatkan demam yang merupakan tanda utama, terjadi secara

mendadak selama 2-7 hari, selain itu dapat disertai dengan tidak mau makan, muntah, lesu. Pada

anak yang lebih besar dapat mengeluh nyeri kepala, nyeri retro orbita, nyeri otot dan tulang, ruam

kulit, serta nyeri perut. Diare kadang-kadang juga dapat ditemukan. Dapat juga dijumpai

perdarahan dimana yang paling sering adalah perdarahan kulit dan mimisan.

Pada pameriksaan fisik dapat ditemukan gejala klinis DBD diawali dengan demam yang

mendadak tinggi, facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorokan

dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga kanan. Hepatomegali dan kelainan fungsi

hati lebih sering ditemukan pada DBD. Perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD terjadi

peningkatan permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan perembesan plasma, hipovolemia, dan

syok. Perembesan plasma mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga pleura dan rongga

peritoneal selama 24-48 jam. Fase kritis terjadi sekitar hari ke-3 hingga ke-5 perjalanan penyakit.

Pada saat ini suhu turun, yang dapat merupakan awal penyembuhan pada infeksi ringan namun

pada DBD berat merupakan tanda awal syok. Perdarahan yang terjadi dapat berupa petekie,

epistaksis, melena, ataupun hematuria.

Dapat juga ditemukan tanda-tanda syok seperti anak gelisah sampai terjadi penurunan

kesadaran, sianosis, nafas cepat, nadi teraba lembut kadang-kadang tidak teraba, tekanan darah

turun, tekanan nadi < 10 mmHg, akral dingin, capillary refill menurun, dieresis menurun sampai

anuria. Apabila syok tidak dapat segera diatasi, akan terjadi komplikasi berupa asidosis metabolic

dan perdarahan hebat. 1-9 berikut adalah gambar 1 tentang perjalanan dari penyakit demam dengue.

Gambar 1. Perjalanan

Penyakit Dengue

Klasifikasi Dengue

11

Page 12: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

Saat ini telah terdapat klasifikasi terbaru menurut WHO 2009 dapat dilihat pada gambar 2,3, yakni

sebagai berikut :

Gambar 2. Klasifikasi terbaru demam dengue.

12

Page 13: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

Gambar 2. Klasifikasi terbaru demam dengue.

13

Page 14: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

Gambar 2. Klasifikasi terbaru demam dengue.

Gambar 3. Dengue Case Clasification by severity

14

Page 15: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan meliputi :

Laboratorium

Darah perifer, kadar hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, hematokrit, trombosit.

Trombositopenia (< 100.000/ ul) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari peningkatan

hematokrit > 20% dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa sebelum sakit atau

masa konvalesen. Pada apusan darah perifer juga dapat dinilai limfosit plasma biru.

Uji serologis, uji hemaglutinasi inhibisi dilakukan saat fase akut dan fase konvalesens

o Infeksi primer, serum akut < 1:20, serum konvalesens naik 4x atau lebih namun

tidak melebihi 1:1280

o Infeksi sekunder, serum akut < 1:20, konvalesens 1:2560; atau serum akut 1:20,

konvalesens naik 4x atau lebih.

o Persangkaan infeksi sekunder yang baru terjadi (presumptibe secondary

infection): serum akut 1:1280, serum konvalesens dapat lebih besar atau sama.

Pemeriksaan radiologis (urutan pemeriksaan sesuai indikasi klinis) :

o Pemeriksaan foto dada, dolakukan atas indikasi (1) dalam keadaan klinis ragu-ragu

namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan radiologis pada perembesan plasma

20-40%, (2) pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan.

o Kelainan radiologis, dilatasi pembuluh darah paru terutama daerah hilus kanan,

hemitoraks kanan lebih radio opak dibandingkan kiri, kubah diafragma kanan lebih

tinggi darripada kanan, dan efusi pleura.

o USG : efusi pleura, ascites, kelainan (penebalan) dinding vesika felea dan vesica

urinaria.

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan criteria klinis dan laboratorium.1-9

Pemeriksaan Serologis

Setelah satu minggu tubuh terinfeksi virus dengue, terjadi viremia yang diikuti oleh

pembentukan IgM- antidengue. IgM hanya berada dalam waktu yang relative singkat dan akan

disusul segera oleh pembentukan IgG. Pada kira-kira hari kelima infeksi terbentuklah antibody ang

bersifat menetralisasi virus (neutralizing antibody (NT)). Titer antibody NT akan naik dengan

cepat, kemudian menurun secara lambat untuk waktu yang lama, biasanya seumur hidup. Setelah

15

Page 16: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

antibody NT, akan timbul antibody yang mempunyai sifat menghambat hemaglutinasi sel darah

merah angsa (haemaglutination inhibiting antibody = HI). Titer antibody HI itu naik sejajar dengan

antibody NT, kemudian turun secar perlahan-lahan, tetapi lebih cepar daripada antibody NT.

Antibody yang terakhid, yaitu antibody yang mengikat komplemen (complement fixing antibody

=CF), timbul pada sekitar hari keduapuluh. Titer antibody itu naik setelah perjalanan penyakit

mencapai maksimum dalam waktu 1-2 bulan, kemudian turun secara cepat dan menghilang setelah

1-2 bulan. Pada dasarnya diagnosis konfirmasi infeksi virus dengue ditegakkan atas hasil

pemeriksaan serologic atau hasil isolasi virus. Dasar pemeriksaan serologis adalah membandingkan

titer antibody pada masa akut dengan konvalesen. Teknik pemeriksaan serologi yang dianjurkan

WHO ialah pemeriksaan HI dan CF. kedua cara itu membutuhkan 2 contoh darah. Contoh darah

pertama diambil pada waktu demam akut, sedangkan yang kedua pada masa konvalesen 1-4

minggu dalam perjalanan penyakit. Dalam praktik sukar sekali didapatkan contoh darah kedua

karena pasien yang telah sembuh sehingga tidak bersedia diambil darahnya. Dengan demikian,

diambil kebijaksanaan untuk mengambil darah sebanyak 3 kali. pertama, sewaktu masuk rumah

sakit, kedua pada waktu meninggalkan rumah sakit, dan ketiga 1-4 minggu setelah perjalanan

penyakit. Apabila hanya diperoleh satu contoh darah, penafsiran akan sulit atau bahkan sering tidak

mungkin dilakukan.1,7,8

Uji Serologi HI

Pemeriksaan serologi HI dapat dilakukan dengan sampel serum atau mempergunakan kertas

saring filter paper disc. Hasil yang diperoleh dengan menggunakan kertas saring cukup baik,

apabila cara pengisian dilakukan dengan benar. Pada pemeriksaan serologist es HI, serum

diencerkan menjadi kelipatan 2x, dimulai dengan pengenceran 1:10, 1:20, 1:40, dan seterusnya.

Interpretasi hasil pemeriksaan didasarkan atas criteria WHO, sebagai berikut : 1,7,8

1. Pada infeksi primer, titer antibody HI pada masa akut, yaitu apabila serum diperoleh

sebelum hari ke-4 sakit adalah kurang dari 1:20 dan titer akan naik 4x atau lebih pada masa

konvalesen, tetapi tidak akan melebihi 1:1280.

2. Pada infeksi sekunder, adanya infeksi baru (recent dengue infection) ditandai oleh titer

antibody HI kurang dari 1:20 pada masa akut, sedangkan pada masa konvalesen titer

bernilai sama atau lebih besar dari 1:2560. Tanda lain infeksi sekunder adalah apabila titer

antibody akut sama atau lebih besar dari 1:20 dan titer akan naik 4 kali atau lebih pada

masa konvalesen.

16

Page 17: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

3. Persangkaan adanya infeksi sekunder yang baru terjadi (presumptive diagnosis) ditandai

oelh titer antibody HI yang sama atau lebih besar daripada 1:1280 pada masa akut, dalam

hal ini tidak diperlukan kenaikan titer 4x atau lebih pada masa konvalese. Metode

pemeriksaan yang mampu mendeteksi antibody anti dengue dalam serum penderita pada

masa akut yang tepat terus dikembangkan. Pada saat ini telah terdapat metode untuk

membuat diagnosis infeksi dengue pada masa akut melalui deteksi IgM dan antigen virus,

baik sediri-sendiri maupun dalam bentuk kompleks IgM-antigen, dengan memanfaatkan

teknik ELISA mikro. Di samping itu secara komersial telah beredar degue blot yang dapat

digunakan sebagai uji diagnostic yang cepat pada masa akut untuk mengkonfirmasi

diagnosis infeksi dengue sekunder. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Grafik Uji Serologi pada Demam Dengue

Kriteria klinis

Criteria klinis demam dengue adalah sebagai berikut :1-9

Demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2- 7 hari.

Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji bending positif, petekie, ekimosis, epistaksis,

perdarahan gusi, hematemesis, dan/ melena.

Hepatomegali

Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki dan

tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.

Criteria laboratorium.

Trombositopenia (100.000/µl atau kurang).

17

Page 18: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit 20% menurut standar umum dan

jenis kelamin.

Dua criteria klinis pertama disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi, serta

dikonfirmasi secara uji serologic hemaglutinasi.

Syok

Manifestasi syok pada anak terdiri atas : 1-9

1) Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan, dan hidung

sedangkan kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi yang insufisien yang

menyebabkan peninggian aktivitas simpatikus secara reflex.

2) Anak yang semula rewek, cengeng dan gelisah lambat laun kesadarannya menurun menjadi

apatis, spoor, dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan sirkulasi serebral.

3) Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi menjadi cepat dan lembut

sampai tidak dapat diraba oleh karena kolap sirkulasi.

4) Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang.

5) Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau kurang.

6) Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi arteri renalis.

Pada kira-kira sepertiga kasus DBD setelah demam berlangsung beberapa hari, keadaan umum

pasien tiba-tiba memburuk. Hal ini terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu di antara

hari ke 3-7. Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut saat sebelum syok timbul. Syok yang

terjadi selama periode demam, biasanya mempunyai prognosis buruk. Tatalaksana syok harus

dilakukan secara tepat, oleh karena bila tidak pasien dapat masuk dalam syok berat (profound

shock), tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak dapat diraba. Lama syok singkat; pasien

dapat meninggal dalam waktu 12-24 jam atau menyembuh. Tatalaksana syok yang tidak adekuat

akan menimbulkan komplikasi asidosis metabolic, hipoksia, perdarahan gastrointestinal hebat

dengan prognosis buruk. Sebaliknya, dengan pengobatan tepat, masa penyembuhan cepat sekali

terjadi bahkan seringkali tidak kelihatan. Pasien menyembuh dalam waktu 2-3 hari dan selera

makan yang membaik merupakan petunjuk prognosis baik.

Nyeri abdomen seringkali menonjol pada anak besar yang menderita DSS. Ditemukannya

gejala ini pada kasus DSS merupakan canang bahaya oleh akrena kemungkinan besar terjadi

perdarahan gastrointestinal. Terjadinya kejang dengn hiperpireksia disertai penurunan kesadaran

18

Page 19: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

pada beberapa kasus seringkali mengelabui sehingga ditegakkan diagnosis kemungkinan

ensefalitis.1-9

Diagnosis Banding

Demam pada fase akut mencakup spectrum infeksi bakteri dan virus yang luas. Pada hari-hari

pertama diagnosis DBD sulit dibedakan dari morbili dan idiopathic thrombocytopenic purpura

(ITP) yang disertai demam. Pada hari demam ke 3-4, kemungkinan diagnosis DBD akan lebih

besar, apabila gejala klinis lain seperti manifestasi perdarahan dan pembesaran hati menjadi nyata.

Kesulitan kadang-kadang dialami dalam membedakan syok pada DBD dengan sepsis; dalam hal ini

trombositopenia dan hemokonsentrasi di samping penilaian gejala klinis lain seperti tipe dan lama

demam dapat membantu. 1,4

Tata Laksana

Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma

sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat

berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa, tetapi pada kasus DBD

dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Diagnosis dini dan edukasi untuk segera dirawat

bila terdapat tanda syok, merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak

lain, perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada watu masuk keadaan umumnya

tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong. Kunci keberhasilan

tatalaksana DBD/ DSS terletak pada ketrampilan para dokter untuk mengatasi masa peralihan dari

fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik.

Terapi infeksi virus dengue dibagi menjadi 4 bagian yaitu (1) tersangka DBD, (2) demam

dengue (DD), (3) DBD derajat I dan II, (4) DBD derajat III dan Iv (DSS).1-11 untuk lebih jelas

perhatikan juga gambar 5,6,7,8,9,10.

DBD tanpa syok (derajat I dan II)

Medikamentosa

Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan aspirin atau ibuprofen

karena obat-obatan ini dapat merangsang terjadinya perdarahan.

19

Page 20: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antacid,

antiemetic) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.

Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati, apabila terdapat perdarahan saluran cerna

kortikosteroid tidak diberikan.

Antibiotic diberikan untuk DBD ensefalopati.

Suportif

Berikan anak banyak minumlarutan oralit atau jus buah, aor tajin, air sirup, susu, untuk

mengganti cairan yang hilang akibat kebocoran plasma, demam, muntah/ diare.

Mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan

perdarahan.

Kunci keberhasilan terletak pada kemampuan untuk mengatasi masa peralihan dari fase

demam ke fase syok disebut time of fever differvesence dengan baik.

Cairan intravena diperlukan, apabila (1) anak terus menerus muntah, tidak mau minum,

demam tinggi, dehidrasi yang dapat mempercepat terjadinya syok, (2) nilai hematokrit

cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.

Berikan infuse sesuai dengan dehidrasi sedang :

o Berikan hanya larutan isotonic seperti ringer laktat/asetat.

o Kebutuhan cairan parenteral

Berat badan < 15 kg : 7 ml/kgBB/jam

Berat badan 15-40 kg : 5 ml/kgBB/jam

Berat badan > 40 kg : 3 ml/kgBB/jam

o Pantau tanda vital dan dieresis setiap jam, serta periksa laboratorium (hematokrit,

trombosit, leukosit, dan hemoglobin) tiap 6 jam.

o Apabila terjadi penurunan hematokrit dan klinis membaik, turunkan jumlah cairan

secar bertahap sampai keadaan stabil. Cairan intravena biasanya hanya memerlukan

waktu 24-48 jam sejak kebocoran pembuluh kapiler spontan setelah pemberian

cairan.

Apabila terjadi perburukan klinis berikan tatalaksana sesuai dengan tatalaksana syok

terkompensasi.1,3,5,6

DBD disertai syok (Sindrom Syok Dengue, derajat III da IV)

20

Page 21: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

Perlakukan hal ini sebagai gawat darurat. Berikan oksigen 2-4 L/menit secara nasal.

Penggantian volume plasma segera, cairan intravena larutan ringer laktat/ asetat 10-20 ml/

kgbb secepatnya maksimal diberikan dalam waktu 30 menit. Apabila syok belum teratasi

tetap berikan ringer laktat 20 ml/kgbb ditambah koloid 20-30 ml/kgbb/jam, maksimal 1500

ml/hari.

Pemberian cairan 10 ml/kgbb/jam tetap diberikan 1-4 jam pasca syok. Volume cairan

diturunkan menjadi 7 ml/kgbb/jam, selanjutnya 5 ml, dan 3 ml apabila tanda vital dan

diuresis baik.

Jumlah urin 1 ml/kgbb/jam merupakan indikasi bahwa sirkulasi membaik.

Pada umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi 48 jam setelah syok teratasi.

Koreksi asidosis metabolic dan elektrolit pada DBD syok.

Hiponatremia dan asidosis metabolic sering menyertai pasien DBD/ DSS, maka

pemeriksaan analisis gas darah dan akdar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat.

Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya DIC (Disseminated Intravascular

Coagulation) sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks. Pada umumnya, apabila

penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan koreksi pada asidosis

dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat DIC tidak akan terjadi

sehingga heparin tidak diperlukan.

Indikasi pemberian darah : Terdapat perdarahan secara klinis.

Setelah pemberian cairan kristaloid dan koloid, syok menetap, hematokrit turun diduga

telah terjadi perdarahan, berikan darah segar 10 ml/kgbb.

Apabila kadadar hematokrit tetap > 40 vol%, maka berikan darah dalam volume kecil.

Plasma segar beku dan suspense trombosit berguna untuk koreksi gangguan koagulopati

atau koagulopati desiminata (KID) pada syok berat yang menimbulkan perdarahan massif.

Pemberian transfuse suspense trombosit pada KID harus selalu disertai plasma segar (berisi

factor koagulasi yang diperlukan), untuk mencegah perdarahan lebih hebat. 1,3,5,6

Untuk tatalaksana DBD yang baru dapat dilihat pada gambar 9,10,11. 8-11

21

Page 22: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

Gambar 5. Tatalaksana Kasus Tersangka DBD/ Infeksi Virus Dengue

22

Page 23: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

Gambar 6. Tatalaksana Tersangka DBD (Rawat Inap) atau Demam Dengue.

23

Page 24: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

Gambar 7. Tatalaksana DBD derajat I dan II

24

Page 25: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

Gambar 8. Tatalaksana DBD derajat III dan IV

25

Page 26: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

Gambaar 9. Dengue Case Management

26

Page 27: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

Gambaar 9. Dengue Case Management

27

Page 28: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

Gambar 9. Dengue Case Management

28

Page 29: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

Gambar 10. Algorithm for fluid management of compensated shock : in infant and children

Gambar 11. Algorithm for fluid management in hypotensive shock- in infants, children adnd adults.

29

Page 30: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

Penanganan kelebihan cairan

Kelebihan cairan merupakan komplikasi penting dalam penanganan syok. Hal ini dapat terjadi

karena :3,6

Kelebihan dan/ atau pemberian cairan yang terlalu cepat

Penggunaan jenis cairan yang hipotonik

Pemberian cairan intravena yang terlalu lama

Pemberian cairan intravena yang jumlahnya terlalu banyak dengan kebocoran yang hebat.

Tanda awal :

Nafas cepat

Tarikan dinding dada ke dalam

Efusi pleura yang luas

Asites

Edema peri-orbital atau jaringan lunak

Tanda-tanda lanjut kelebihan cairan yang berat :

Edema paru

Sianosis

Syok ireversibel

Tatalaksana penanganan kelebihan cairan berbeda tergantung pada keadaan apakah klinis

masih menunjukkan syok atau tidak :

Anak yang masih syok dan menunjukkan tanda kelebihan cairan yang berat sangat sulit

untuk ditangani dan berada pada risiko kematian yang tinggi. Rujuk segera.

Jika syok sudah pulih namun anak masih sukar bernafas atau bernafas cepat dan mengalami

efusi luas, berikan obat minum atau furosemid intravena 1 mg/kgBB/ dosis sekali atau dua

kali sehari selama 24 jam dan terapi oksigen.

Jika syok sudah pulih dan anak stabil, hentikan pemberian cairan intravena dan jaga anak

tetap istirahat di tempat tidur selama 24-48 jam. Kelebihan cairan akan diserap kembali dan

hilang melalui diuresis.

30

Page 31: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

Pemantauan

Untuk anak dengan syok :

Petugas medic memeriksa tanda vital anak setiap jam (terutama tekanan nadi) hingga pasien

stabil, dan periksa nilai hematokrit setiap 6 jam. Dokter harus mengkaji ulang pasien

sedikitnya 6 jam.

Untuk anak tanpa syok :

Petugas medis memeriksa tanda vital anak (suhu badan, denyut nadi, dan tekanan darah)

minimal empat kali sehari dan nilai hematokrit minimal sehari sekali

Catat dengan lengkap cairan masuk dan cairan keluar.

Jika terdapat tanda berikut : syok berulang, syok berkepanjangan, ensefalopati, perdarahan

hebat, gagal hati akut, gagal ginjal akut, edema paru dan gagal napas, segera rujuk. 3,6

DBD ensefalopati

Pada ensefalopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok telah teratasi, cairan

diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO3- dan jumlah cairan segera dikurangi. Larutan

ringer laktat segera ditukar dengan larutan NaCl (0,9%) : glukosa (5%) = 3:1. 3,6

Pemantauan

Pemantauan selama perawatan

Tanda klinis, apakah syok telah teratasi dengan baik, adakah pembesaran hati, tanda perdarahan

saluran cerna, tanda ensefalopati, harus dimonitor dan dievaluasi untuk menilai hasil pengobatan.

Kadar hemoglobin, hematokrit, dan trombosit tiap 6 jam, minimal tiap 12 jam.

Balans cairan, catat jumlah cairan yang masuk, dieresis ditampung, dan jumlah perdarahan.

Pada DBD syok, lakukan cross match darah untuk persiapan transfuse darah apabila diperlukan. 3,6

Faktor risiko terjadinya komplikasi :

Ensefalopati dengue, dapat terajdi apda DBD dengan syok ataupun tanpa syok

Kelainan ginjal, akibat syok berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal akut.

Edema paru, seringkali terjadi akibat overloading cairan.

31

Page 32: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

Kriteria memulangkan pasien : 3,6

Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik.

Nafsu makan membaik

Secara klinis tampak perbaikan

Hematokrit stabil

Tiga hari setelah syok teratasi

Jumlah trombosit > 50.000/ml

Tidak dijumpai distress pernapasan

Pemberantasan

Strategi pemberantasan penyakit DBD lebih ditekankan pada (1) upaya preventif, yaitu

melaksanakan penyemprotan missal sebelum musim penularan penyakit di desa/ kelurahan

endemis DBD, yang merupakan pusat-pusat penyebaran penyakit ke wilayah lainnya, (2) strategi

ini diperkuat dengan menggalakan pembinaan peran serta masyarakat dalam kegiatan

pemberantasan sarang nyamuk (PSN), (3) melaksanakan penanggulangan focus di rumah pasien

dan di sekitar tempat tinggalnya guna mencegah terjadinya kejadian luar biasa (KLB), dan (4)

melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat melalui berbagai media.

Kewajiban pelaporan kasus/ tersangka dalam tempo 24 jam ke Dinkes Dati II/ Puskesmas

tempat tinggal pasien merupakan keharusan sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan 560 tahun

1989 dengan tujuan kemungkinan terjadinya penularan lebih lanjut, penyakit DBD dapat dicegah

dan ditanggulangi sedini mungkin. Dengan adanya laporan kasus ke Puskesmas/ Dinkes Dati II

yang bersangkutan, dapat dengan segera melakukan penyelidikan epidemiologi dan sekitar tempat

tinggal kasus untuk melihat kemungkinan risiko penularan.

Apabila dari hasil penyelidikan epidemiologi diperoleh data adanya risiko penularan DBD,

maka Puskesmas/ Dinkes Dati II akan melakukan langkah-langkah upaya penanggulangan berupa

(1) foging focus, (2) abatisasi selektif. Tujuan abatisasi ialah membunuh larva dengan butir0butir

abate sand granule (SG) 1% pada tempat penyimpanan air dengan dosis ppm (part per million),

yaitu 10 gram meter 100 liter air, (3) menggalakkan masyarakat untuk melakukan kerja bakti

dalam PSN.1,6,8,10,11

32

Page 33: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

Analisis Kasus

Pada kasus ini, pasien di diagnosa sebagai dengue shock syndrome karena dari anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan sebagai berikut:

1. Dari anamnesis

Didapatkan adanya gejala demam yang muncul secara mendadak, naik turun sejak 5 hari

SMRS. Demam yang dirasakan pasien juga tidak meningkat secara perlahan-lahan yang

biasanya menandakan pola infeksi virus, serta tidak muncul pada sore atau malam hari

(seperti demam tifoid). Selain itu pasien juga merasakan lemas, nafsu makan menurun,

mual, muntah, adanya nyeri ulu hati, nyeri kepala, serta OS sering mengalami mimisan, dan

gusi berdarah. Buang air besar dalam batas normal (pada demam tifoid biasanya terjadi

perubahan pola BAB), namun frekuensi berkemih OS jauh berkurang dibandingkan

sebelum OS jatuh sakit. OS juga tidak memiliki riwayat berpergian ke luar kota

(menyingkirkan malaria), dan tidak suka jajan sembarangan (menyingkirkan demam tifoid).

Berdasrkan tinjauan pustaka, maka gejala ini mirip dengan gejala dengue shock syndrome

dimana didapatkan gejala seperti demam berdarah yakni adanya demam yang berlangsung

setelah beberapa hari terutama hari ke 3-7, dan biasanya terjadi perburukan pada saat atau

setelah demam menurun. Pada pasien ini demam terjadi sudah 5 hari, dan 2 hari sebelum

masuk rumah sakit demam dirasakan pasien menurun. Kemudian pada pasien juga

didapatkan gejala-gejala lain yang biasanya menyertai gejala demam berdarah dengue

seperti adanya lemas, nafsu makan menurun, mual, muntah, nyeri ulu hati, nyeri kepala,

serta OS sering mengalami mimisan dan gusi berdarah. Pada pasien juga diketahui

frekuensi buang air kecil pun berkurang yang merupakan salah satu tanda adanya

hipovolemia.

2. Dari pemeriksaan fisik

Pada pasien ini didapatkan keadaan umum yang lemah dan tampak sakit berat,

kesadarannya menurun menjadi apatis, tanda-tanda vital meliputi TD 70/50 mmHg, PR 138

kali/menit (regular, cepat, lemah, tidak kuat angkat), RR 24 kali/menit, suhu 35,0 0C. Selain

itu, pada Pada pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan epigastrium, turgor kulit agak

lambat, serta pada ekstremitas ditemukan akral dingin dengan CRT > 3 detik.

Berdasarkan tinjauan pustaka hal ini sesuai dengan dengue shock syndrome dimana juga

seringkali didapatkan kesadaran yang menurun, tanda-tanda vital dimana tekanan sistol bisa

menjadi 80 mmHg atau kurang, frekuensi nadi menjadi cepat, lemah bahkan dapat sampai

33

Page 34: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

tidak teraba, nyeri tekan epigastrium, turgor kulit agak lambat serta pada ekstremitas

didapatkan akral dingin, dan CRT > 3 detik, yang menandakan adanya tanda-tanda syok.

Namun pada pasien ini tidak ditemukan adanya hepatomegali dimana biasanya ditemukan

pada pasien demam berdarah dengue/ dengue shock syndrome, serta pada pasien ini uji

tourniquet negative kemungkinan karena telah terjadi syok hipovolemik sehingga pembuluh

darah menjadi kolaps.

3. Dari pemeriksaan penunjang

Didapatkan laboratorium, didapatkan leukopenia, trombositopenia, peningkatan

hemoglobin dan hematokrit, hiponatremia, hipoklorida, serta serologi IgM dan IgG yang

positif.

Berdasarkan tinjauan pustaka, hal ini sesuai dengan ditemukannya trombositopenia dan

kecurigaan adanya hemokonsentrasi dimana jumlah trombosit < 100.000/ul yakni

14.000/ul, serta peningkatan kadar hematokrit yakni 43,6% yang menunjukkan adanya

kebocoran plasma. Selain itu biasanya juga ditemukan adanya hiponatremia dimana pada

pasien ini juga ditemukan kadar natrium yang menurun. Serta tes serologi anti dengue IgG

dan IgM yang positif yang menunjukkan bahwa pasien ini positif terjadi demam berdarah

dengue.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan gejala-

gejala demam berdarah dengue serta adanya tanda-tanda terjadinya syok sehingga lebih tepat

diagnose pasien ini adalah dengue shock syndrome.

Tatalaksana

Pada pasien ini sebagai tatalaksana permulaan diberikan oksigen 2 liter/menit, infuse 2 jalur

meliputi 1 jalur diberikan asering 250 cc/jam, dan jalur lainnya diberikan gelofusal 250 cc/jam

yang berangsur-angsur dikurangi sesuai dengan klinis pasien, injeksi ceftizoxime 2 x 600 mg, dan

juga dipantau balance cairan, TTV serta H2TL setiap 6 jam.

Setelah 1jam, dan keadaan pasien berangsur membaik, infuse hanya dijadikan 1 jalur saja

yakni asering 250 ml dalam 1 jam, kemudian lanjut asering 150 cc/jam. Dan cek ulang H2TL 2 jam

kemudian. Kemudian 2 jam kemudian, melaporkan kembali kepada dokter spesialis dengan hasil

hematokrit yang juga kembali normal, infuse asering menjadi 110 cc/jam, tidak boleh turun dari

tempat tidur, serta cek ulang H2TL 6 jam kemudian, terapi yang lain masih sesuai dengan hari

sebelumnya. Setelah 4 hari dirawat, infuse diturunkan menjadi 40 cc/jam, dan juga diberikan

ranitidine 2 x 20 mg iv. dengan terapi lain masih sesuai dengan hari sebelumnya.

34

Page 35: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

Yang dilakukan telah sesuai dengan tinjauan pustaka dimana kita dapat memberikan cairan

kristaloid sebanyak 20 ml/kgBB secepatnya maksimal diberikan dalam waktu 30 menit, kemudian

evaluasi, jika syok teratasi, lanjut dengan diberikan cairan 10 mg/kgBB/jam selama 1-4 jam pasca

syok, yang akhirnya juga dapat diturunkan menjadi 7 ml/kgBB/hari, dan selanjutnya

5ml/kgBB/hari dan apabila tanda vital dan diuresis baik dapat menajdi 3 ml/kgBB/jam.

Pada pasien ini awalnya diberikan sekitar 10-20 ml/kgBB/jam, dimana berat pasien 22 kg.

untuk mengatasi syoknya diberikan 2 jalur infuse dengan masing-masing jalur diberikan 250 cc (+

10 ml/kgBB/jam), kemudian keadaan pasien membaik akhirnya diberikan 1 jalur saja asering 250

cc/kgBB/jam (+ 10 cc/kgBB/jam) selama 1 jam, kemudian diturunkan menjadi 150 cc/jam (+ 7

cc/kgBB/jam), lalu 2 jam kemudian diturunkan kembali menjadi 110 cc/jam (+ 5 cc/kgBB/jam)

selama 4 hari. Kemudian diturunkan kembali menjadi 40 cc/jam ((+ 2-3 cc/kgBB/jam).

Namun pada pasien ini juga diberikan injeksi ceftizoxime dimana seharusnya tidak

diperlukan karena ini merupakan infeksi virus. Selain itu, pasien juga diberikan injeksi ranitidine

dimana utuk mengurangi mual dan muntah pada pasien.

35

Page 36: Tinjauan Dbd/dhf/demam berdarah dengue

Daftar Pustaka

1. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar infeksi & pediatric tropis.

Edisi ke-2. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008.h.155-81.`

2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 2. Jakarta :

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006.h.607-21.

3. Roespandi H, Nurhamzah W, et all. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit,

pedoman bagi rumah sakit rujukan tingkat petama di kabupate/ kota. Jakarta : WHO

Indonesia, 2008.h.162-6.

4. Kliegman RM, Stanton BMD, et all. Nelson textbook of pediatrics. 19 th edition. Canada :

Elsevier Saunders,2011.p.1092-4.

5. Arna H, Nataprawira HM. Pedoman diagnosis dan terapi ilmu kesehatan anak. Edisi ke-4.

Bandung : Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran-

RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung, 2012.h.409-17.

6. Pudijadi AH, et all. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak Indonesia. Jakarta :

IDAI, 2009.h. 141-9.

7. PapadaKis MA, McPhee SJ Rabow MW. Current medical diagnosis & treatment. Edisi ke-

52. New York : McGraw-Hill Medical, 2013.p.1384-8.

8. World Health Organization. Dengue : guidelines for diagnosis, treatment, prevention and

control. France : WHO, 2009.p. 25-106.

9. Dengue Shock. Journal of emergencies, trauma, and shock, 2011. Diunduh dari

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3097561/, 4 April 2015.

10. World Health Organization. Comprehensive guidelines for prevention and control of

dengue and dengue haemorrhagic fever. Revised and expanded edition. India : WHO,

2011.h. 17-56.

11. Deen J, et all. Dengue, dengue haemorrhagic fever and dengue shock syndrome in the

context of the intergrated management of childhood illness. Korea : WHO, 2005.p.2-28.

36