Top Banner
STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska Oleh: 06/196149/SA/13607 Ayu Dipta Kirana JURUSAN ARKEOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA 2013
111

STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

Jan 23, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA,

JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

Oleh:

06/196149/SA/13607 Ayu Dipta Kirana

JURUSAN ARKEOLOGI

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2013

Page 2: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA,

JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

Oleh:

06/196149/SA/13607 Ayu Dipta Kirana

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian pada Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Gadjah Mada

Yogyakarta sebagai salah satu syarat Memperoleh gelar sarjana

Dalam Ilmu Arkeologi 2013

Page 3: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

THE STRATEGIC OF ENVIRONMENTAL ADAPTATION BY KIDANG CAVE’S OCCUPANT:

A Study of Shell Molluscs Analysis

Oleh:

06/196149/SA/13607 Ayu Dipta Kirana

This Thesis Submitted to The Board of Examiners in Partial Fulfillment

of The Requirement for The Bachelor’s Degree Program in the Faculty of Cultural Sciences

Gadjah Mada University Yogyakarta

2013

Page 4: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

Abstraksi

Strategi Adaptasi Lingkungan Komunitas Penghuni Gua Kidang, Blora, Jawa Tengah: Studi Analisis Cangkang Moluska

Penulis : Ayu Dipta Kirana Tahun lulus : 2013 Dosen Pembimbing : Agus Trihascaryo S.S., S.T., M.Sc. Topik : Penelitian ini membahas tentang strategi komunitas penghuni Gua Kidang di Blora, Jawa Tengah untuk beradaptasi terhadap lingkungan tempat mereka tinggal. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data artefak dan ekofak cangkang moluska yang ditemukan dalam penggalian di Situs Gua Kidang. Permasalahan:

1. Apa saja jenis temuan moluska dan bagaimana habitat dari moluska tersebut?

2. Bagaimana komunitas penghuni Gua Kidang memanfaatkan jenis-jenis moluska tersebut ?

3. Bagaimana strategi adaptasi lingkungan yang dilakukan oleh komunitas penghuni Gua Kidang untuk memperoleh jenis moluska tersebut?

Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah melihat cara-cara tertentu yang dilakukan oleh manusia pada masa itu dalam memanfaatkan sumber daya yang ada di alam terutama eksploitasi moluska. Selain itu juga penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kondisi lingkungan pada masa hunian Gua Kidang. Metode: Metode penalaran yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penalaran induktif. Analisis yang dilakukan pada data artefak dan ekofak cangkang moluska temuan ekskavasi Gua Kidang antara lain: analisis taksonomi untuk mengetahui jenis dan habitat moluska yang dieksploitasi. Selanjutnya dilakuan analisis lingkungan dalam skala meso antara gua dan pada sekitar lingkungan situs. Hasil dari kedua analisis tersebut disintesiskan untuk ditarik kesimpulan. Kesimpulan: Berdasarkan hasil sintesis dari analisis-analisis yang dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa komunitas penghuni Gua Kidang cenderung mengeksploitasi moluska air tawar yang berada tak jauh dari lokasi hunian. Sumber daya alam di sekitar situs menyebabkan daya jelajah mereka tidak terlalu jauh. Dari analisis taksonomi, jenis moluska darat tidak jauh berbeda dengan jenis yang ada pada masa kini. Ini berarti komunitas tersebut mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar karena kondisinya lingkungan pada masa Holosen awal relatif stabil.

Page 5: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

Abstraction

The Strategic of Environmental Adaptation by Kidang Cave’s Occupant: A Study of Shells Molluscs Analysis

Author : Ayu Dipta Kirana Year of Gradution : 2013 Supervisor : Agus Trihascaryo S.S., S.T., M.Sc. Topic: The research is disccused about occupant of Kidang Cave’s strategic to struggled with the enviromental that they had to lived. The data were used in this research are artifacts and ecofacts which found in Kidang Cave’s excavation. Research Question:

1. What kind of variety and habitation of shells mollsucs in Kidang Cave? 2. How is the occupant of Kidang Cave used that molluscs? 3. What is the strategic of enviromental adaptation to get the molluscs had

done by the occupant of Kidang Cave? Objective : The research goal is to know what kind of strategic that used by the people at past to occupy the natural resources especially in exploitation of molluscs. Beside, this research is try to gain image about enviroment condition when the Kidang Cave had been occupied. Methods: This research use the taxonomy analysis of artifacts and ecofacts to sort out all of the variety of molluscs. Another method is environmental analysis to compared between recent and past condition of nature resources surround the Kidang Cave. Conclusion: The occupants of Kidang Cave had exploited the freshwater mollucs from the natural resoures near the site. Their catchment area to got the molluscs as food and raw material for the tools was just near with site. The freshwater molluscs that found in Kidang Cave’s excavation represent the stable environment which is show the Early Holosen Period.

Page 6: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

Untuk Bapak, Yang tidak bisa melihat aku memakai seragam putih-biru,

seragam putih abu-abu, Lalu kini, toga hitam

Dan Mama, Yang selalu melihat ku sejak masih berwarna merah

Berseragam merah, biru dan abu-abu Lalu kini toga hitam

Page 7: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

Skripsi ini diterima oleh panitia

Ujian Fakultas llmu Budaya

Univelsitas Gadiah Mada

Pada tanggat: ............

Prpf. Df. Sumiiati Atmos$dirqKetua

PengujiUtama

Page 8: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

ii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,

dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu

dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Sleman, 10 Januari 2013

Page 9: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

iii

KATA PENGANTAR

Didera flu dan Fraktura Metatarsal V tak menyurutkan langkah menuju

babak final penulisan tugas akhir yang berjudul, “Strategi Adaptasi Lingkungan

Komunitas Penghuni Gua Kidang, Blora, Jawa Tengah: Studi Analisis Cangkang

Moluska”. Mengalami satu proses perjalanan panjang inilah, Tuhan YME sebagai

Sutradara Kehidupan, mengantarkan cerita, pertemuan, rahmat, serta

anugerahNya. Alhamdulillah..

Pertemuan dengan bekicot ini berkat andil dari pertemuan-pertemuan

sebelumnya yang tak terduga. Pertemuan dengan berbagai sosok ini juga

memberi dampak yang tidak kecil. Maka, dari berbagai pertemuan dalam proses

untuk mengakhiri satu perjalanan demi perjalanan lain inilah, tak lupa penulis

berterima kasih kepada:

1. Ketua Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah

Mada bersama dengan seluruh staf dan pengajar jurusan yang telah

memberi kesempatan untuk belajar selama ini.

2. Agus Tri Hascaryo S.S, S.T, M.Sc., sebagai dosen pembimbing skripsi

yang telah banyak memberikan waktunya, buah pikir, tenaga, serta acap

kali dikecewakan namun tidak pernah berhenti untuk selalu mengingatkan

tentang tenggat waktu pengumpulan bab per bab.

3. Drs. Djoko Dwiyanto M. Hum dan Prof. Dr. Inajati Adrisijanti, sebagai

dosen pembimbing akademik yang merupakan pintu pertama berkenalan

dengan berbagai macam mata kuliah menarik mengenai arkeologi.

4. Dra. Indah Asikin Nurani, atas ijin penggunaan data berharga penelitian

yang ada di Balar Yogyarta. Tak lupa serta kepada seluruh jajaran

Page 10: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

iv

anggota tim penelitian Pola Okupasi Gua Kidang tahap VI pada bulan

April 2012 yang lalu. Terutama kepada mas Andreas Eka Atmaja yang

telah memberi berbagai data foto yang sangat penting bagi skripsi ini.

5. Jajaran staf Balar Yogyakarta, terutama Bu Sri dan Pak Karman dengan

teh manis hangatnya menemani di Ruang Temuan Balar.

6. Drs. J. Susetyo Edy Yuwono dan Dr. Daud Aris Tanudirjo M.A, untuk

kesempatan-kesempatan luar biasa berharga yang pernah diberikan

kepada penulis selama ini.

7. Damai Tegar Muslim yang selama ini telah berbagi banyak cerita,

nasehat dan bantuan kepada penulis. Terutama pada detik-detik akhir

penulisan skripsi bebarengan dengan kondisi patah tulang yang

menyebabkan mobilitas terganggu.

8. Vinsensius Ngesti Wahyuono untuk bantuan luar biasanya pada

pembuatan peta serta saran-saran pada penulis yang selama ini buta

mengenai geoarkeologi. Juga pinjaman netbook-nya disaat kepanikan

melanda karena komputer mati.

9. Teman seperjalanan dalam road trip Blora – Blitar – Malang yang

berkedok survei pertama ke Gua Kidang: Umarul Mukhtar A.W, Helmy

Yanuar, Ayu Oktafi, Adita Nofiandi, Yuliadi Tunjung P. dan Camella

Sukma Dara pada Juli 2011.

10. Teman-teman dari angkatan 2006 yang telah begitu berpengaruh besar

pada perjalanan ini: Adya Grahita, Shinatria Adityatama, Ujon Sujana,

Agustin Kartika, Dyah Ayu Nancy, Annisa Febianti, Bima Sakti A.W,

Yoses Tanzaq, Subhi Mahmasony H, Afdilla Ranganti dan lainnya yang

tak dapat dituliskan satu persatu.

Page 11: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

v

11. Keluarga Warganing HIMA (Himpuanan Mahasiswa Arkeologi) UGM

sebagai keluarga besar yang telah menaungi untuk tumbuh dewasa serta

bersaudara dengan berbagai wajah dari angkatan 2004, 2005, 2007,

2008 dan 2009.

12. Redaksi Artefak dan Petugas Sirkulasi Perpustakaan Jurusan Arkeologi

atas wadah untuk berkembang dan dewasa.

13. Pak Miarto dan Bu Nung, sebagai orang tua yang selalu percaya meski

anaknya berulang kali mengecewakan. Serta tak lupa trio kakak

superior—Mas Sinang, Mbak Indit, Mas Bhas. Hidup terasa luar biasa

dengan keluarga ini.

14. Keluarga besar Turmudzi Hadi Suprapto untuk bantuan doa dan

materinya selama ini. Terutama janji kecil di bulan Desember, oleh

keponakan kepada Pamannya.

15. Dan para sahabat-satu-dekade, yang telah bersama mengarungi waktu

demi waktu, berbagi tawa dan tangis, berlayar bersama dengan “kapal

persahabatan” yang kami beri nama ‘kolax’ dan ejekan agar cepat lulus

kuliah: Mutiara Meistisa—partner in crime, Riani Witaningrum, Dwi

Romadhani, Dina Aktrisita Santoso dan Hasna Penta Kurnia.

Pada suatu masa awal perkuliahan, seorang pengajar berkata, “Jangan

pernah takut untuk salah. Bila kita tidak melakukan kesalahan maka kita tidak

akan pernah menemukan kebenaran itu..”. Maka apabila dalam karya tulis ini

banyak sekali kekurangan dan kesalahan agar supaya membuka pintu

kebenaran bagi ilmu pengetahuan Arkeologi yang hakiki.

Sleman, 7 Januari 2013

Ayu Dipta Kirana

Page 12: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

vi

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... i

KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii

DAFTAR ISI ........................................................................................................vi

DAFTAR FOTO ................................................................................................. viii

DAFTAR GAMBAR .............................................................................................ix

DAFTAR TABEL ................................................................................................. x

DAFTAR GRAFIK ...............................................................................................xi

DAFTAR PETA .................................................................................................. xii

DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang ......................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................... 6

C. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................ 7

D. Keaslian Penelitian ................................................................................... 7

E. Metode Penelitian .................................................................................... 9

BAB II TINJAUAN WILAYAH PENELITIAN ..................................................... 14

A. Kondisi Geografis Sekitar Lokasi Penelitian ........................................... 14

B. Deskripsi Situs Gua Kidang, Blora, Jawa Tengah .................................. 21

1. Hasil Penelitian di Situs Gua Kidang, Blora ...................................... 23

BAB III VARIASI JENIS MOLUSKA TEMUAN GUA KIDANG

BLORA, JAWA TENGAH ..................................................................... 39

A. Temuan Moluska di Gua Kidang ............................................................ 42

1. Gastropoda ...................................................................................... 45

Page 13: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

vii

2. Bivalvia ............................................................................................. 56

BAB VI STRATEGI ADAPTASI KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG,

BLORA, JAWA TENGAH.................................................................. 64

A. Pemanfaatan Moluska oleh Komunitas Penghuni Gua Kidang ............... 65

1. Moluska Sebagai Sumber Bahan Pangan ........................................ 70

2. Moluska Sebagai Sumber Bahan Baku ............................................ 72

B. Rekonstruksi Jelajah dan Adaptasi Lingkungan Komunitas Penghuni Gua

Kidang, Blora, Jawa Tengah .................................................................. 73

BAB V KESIMPULAN ....................................................................................... 85

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 89

DAFTAR ISTILAH ............................................................................................. 92

Page 14: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

viii

DAFTAR FOTO

Foto 2.1: Kondisi Ruang Gua Kidang ..................................................................... 22

Foto 2.2: Permukaan Atas Gua Kidang .................................................................. 23

Foto 2.3: Akses Menuju Gua ................................................................................. 23

Foto 3.1: Famili Camaenidae ................................................................................. 50

Foto 3.2: Cyclophoridae ......................................................................................... 51

Foto 3.3: Helicarionidae ......................................................................................... 52

Foto 3.4: Pleuroceridae.......................................................................................... 54

Foto 3.5: Marginelidae ........................................................................................... 55

Foto 3.6: Viviparidae .............................................................................................. 56

Foto 3.7: Famili Donacidae .................................................................................... 60

Foto 3.8: Unionidae ............................................................................................... 62

Foto 4.1: Waduk Bentolo ....................................................................................... 76

Foto 4.2: Sungai Kedungwungu ............................................................................. 76

Foto 4.3: Bendungan Dumpil ................................................................................. 80

Foto 4.4: Teras Sungai Yang Mengandung Cangkang Moluska Laut & Darat ........ 80

Page 15: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1: Denah Kotak Ekskavasi Situs Gua Kidang ........................................ 29

Gambar 2.2: Stratigrafi Kotak T6S1 ....................................................................... 34

Gambar 2.3: Stratigrafi Kotak S1B6 ....................................................................... 38

Gambar 3.1: Bagian Cangkang Gastropoda .......................................................... 46

Gambar 3.2: Bagian Cangkang Bivalvia ................................................................ 57

Gambar 3.3: Bentuk Donacidae Utuh Sebagai Pembandingan .............................. 60

Page 16: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

x

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1: Rekapitulasi Temuan Ekskavasi Gua Kidang Kotak T6S1 Tahun 2005

- 2010 .................................................................................................................... 31

Tabel 2.2: Rekapitulasi Temuan Ekskavasi Gua Kidang Kotak S1B6 Tahun 3005

– 2010 ................................................................................................................... 36

Tabel 3.1: Rekapitulasi Temuan Cangkang Moluska Situs Gua Kidang ................. 42

Tabel 3.2: Rekapitulasi Temuan Gastropoda ......................................................... 47

Tabel 3.3: Rekapitulasi Jenis Camaenidae ............................................................ 49

Tabel 3.4: Rekapitulasi Jenis Cyclophoridae .......................................................... 50

Tabel 3.5: Rekapitulasi Temuan Helicarionidae ..................................................... 51

Tabel 3.6: Rekapitulasi Jenis Pleuroceridae .......................................................... 53

Tabel 3.7: Distribusi Temuan Cangkang Marginelidae ........................................... 55

Tabel 3.8: Distribusi Cangkang Viviparidae............................................................ 55

Tabel 3.9: Rekapitulasi Temuan Bivalvia ............................................................... 58

Tabel 3.10: Distribusi Cangkang Donacidae .......................................................... 60

Tabel 3.11: Rekapitulasi Cangkang Unionidae ...................................................... 62

Tabel 4.1: Habitat Temuan Moluska Kotak T6S1 ................................................... 68

Tabel 4.2: Habitat Temuan Moluska Kotak S1B6 ................................................... 69

Page 17: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

xi

DAFTAR GRAFIK

Grafik 3.1: Distribusi Temuan Jenis Moluska Kotak T6S1 ...................................... 44

Grafik 3.2: Distribusi Temuan Jenis Moluska Kotak S1B6 ...................................... 44

Grafik 3.3: Distribusi Famili Gastropoda Kotak T6S1 ............................................. 47

Grafik 3.4: Distribusi Famili Gastropoda Kotak S1B6 ............................................. 48

Grafik 3.5: Distribusi Temuan Camaenidae Kotak T6S1 ........................................ 49

Grafik 3.6: Distribusi Temuan Camaenidae Kotak S1B6 ........................................ 49

Grafik 3.7: Distribusi Temuan Pleuroceridae Kotak T6S1 ...................................... 53

Grafik 3.8: Distribusi Temuan Pleuroceridae Kotak S1B6 ...................................... 53

Grafik 3.9: Distribusi Variasi Jenis Bivalvia Kotak T6S1 ......................................... 58

Grafik 3.10: Distribusi Variasi Jenis Bivalvia Kotak S1B6 ....................................... 59

Grafik 3.11: Distribusi Temuan Unionidae Kotak T6S1 .......................................... 63

Grafik 3.12: Distribusi Temuan Unionidae Kotak S1B6 .......................................... 63

Page 18: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

xii

DAFTAR PETA

Peta 2.1: Lokasi Penelitian Gua Kidang, Blora, Jawa Tengah ............................... 17

Peta 4.1: Peta Kawasan Sekitar Gua Kidang ........................................................ 77

Page 19: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

xiii

DAFTAR SINGKATAN

Balar: Balai Arkeologi

BT: Bujur Timur

C: Celcius

Cm: Centimeter

Dkk: Dan kawan-kawan

Dpl: Di atas permukaan laut

Ed: Editor

IR: Infra Red

Km: Kilometer

LS: Lintang Selatan

Mm: millimeter

Sp: Species

t.t: Tanpa Tahun

Page 20: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan. Ketika manusia prasejarah pertama hidup di dunia, kelompok tersebut

hanya dapat mengandalkan apa yang tersedia dari alam sebelum pada akhirnya

menjadi manusia modern seperti sekarang ini. Lingkungan alam merupakan faktor

yang paling penting dalam pengambilan keputusan untuk memilih tempat tinggal.

Proses adaptasi manusia terbentuk karena lingkungan tempat mereka tinggal

(Steward, 1959: 90). Dengan kata lain, upaya manusia prasejarah untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungan mengakibatkan pengambilan keputusan

untuk memenuhi kebutuhan hidup tidak akan jauh-jauh dari pertimbangan

lingkungan tempat tinggal. Menurut Karl Butzer (1982) yang dikutip oleh Kuswanto

(2007), pemilihan lokasi hunian pada masyarakat berburu dan meramu memiliki

beberapa kriteria, antara lain: ketersediaan sumber air, adanya tempat berteduh,

kondisi tanah yang lembap, bentang lahan yang memudahkan untuk bergerak

dengan leluasa, tersedianya sumber makanan baik berupa flora maupun fauna,

serta faktor-faktor yang memberi kemudahan dalam cara memperoleh sumber

bahan tersebut.

Pertimbangan untuk memilih suatu lokasi menjadi tempat tinggal tersebut

membutuhkan proses yang cukup panjang dengan penyesuaian terhadap kondisi

lingkungan masa purba yang rentan terhadap perubahan alam. Proses penyesuaian

suatu kelompok akan menghasilkan suatu strategi tertentu dalam usaha

mempertahankan hidup. Strategi adaptasi adalah suatu proses untuk mengatasi

Page 21: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

2

berbagai masalah yang berada di lingkungan alam, budaya dan ekonomi dalam

rangka memenuhi kebutuhan pokok demi kelangsungan hidupnya (Martias, 2009).

Pada akhirnya, lingkungan merupakan salah satu faktor penentu dari kesuksesan

adaptasi pemenuhan kebutuhan pangan pada suatu komunitas manusia prasejarah.

Proses usaha pemenuhan kebutuhan manusia pada masa prasejarah selalu

dikaitkan dengan usaha paling utama yaitu untuk usaha untuk memenuhi konsumsi

pangan yang menjadi kebutuhan pokok manusia. Sebagai kebutuhan paling

mendasar seluruh makhluk hidup, kebutuhan pangan manusia pada masa

prasejarah hanya dapat dipenuhi oleh lingkungan sekitar dari tempat mereka

tinggal. Oleh karena itu, kegiatan mengumpulkan kebutuhan pangan sangat

berpengaruh pada kebudayaan manusia. Alat-alat yang dihasilkan oleh manusia

pada masa itu disesuaikan dengan sumber bahan yang hendak dieksploitasi.

Menurut Sharer dan Ashmore (1993), pengumpulan makanan menjadi dasar dari

semua teknologi yang dibuat oleh manusia untuk melakukan proses adaptasi

terhadap lingkungan tempat tinggal mereka. Maka tidaklah heran, suatu corak

kebudayaan ditentukan dari sumber daya yang dikonsumsi.

Ilmu arkeologi merupakan ilmu yang mempelajari objek material masa lalu

beserta satuan keruangan yang melingkupinya, untuk mengungkapkan bentuk,

fungsi dan proses budaya (Sharer dan Ashmore, 1993). Salah satu cabang ilmu ini

ialah kajian arkeologi lingkungan yang mempelajari kondisi lingkungan pada masa

lampau untuk menjembatani proses kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia

pendukung masa tersebut. Kajian ilmu ini dapat memberikan gambaran tentang

usaha pemenuhan kebutuan pangan pada masa lalu. Hal tersebut dapat terjadi

karena manusia dan lingkungan saling berinteraksi untuk menghasilkan sebuah

Page 22: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

3

model perilaku budaya yang sesuai dengan kondisi lingkungan tempat manusia

tersebut hidup.

Salah satu pendekatan dari kajian arkeologi lingkungan adalah lewat

penelitian dari sisa-sisa fauna yang ada di suatu situs arkeologi, baik temuan artefak

maupun ekofak. Fauna pada situs arkeologi memiliki peran penting dalam upaya

pengungkapan adaptasi manusianya. Keberadaan sisa-sisa fauna dapat

membeberkan fakta mengenai pangan yang dikonsumsi oleh komunitas manusia

pada masa lampau. Selain itu, sisa fauna yang ditemukan pada situs prasejarah

dapat membantu menentukan karakter iklim dan kondisi lingkungan (Renfrew dan

Paul Bahn, 1991: 215), karena tiap fauna memiliki kemampuan untuk bertahan

hidup yang berbeda-beda, terutama pada kondisi perubahan iklim dan cuaca yang

tidak menentu seperti pada Kala Pleistosen Akhir menuju awal Kala Holosen.

Salah satu jenis fauna indikator yang dapat memberikan gambaran terhadap

perubahan lingkungan adalah jenis microfauna. Menurut Colin Renfrew (1991)

microfauna atau binatang berukuran kecil memiliki sensitivitas terhadap guncangan

dan dapat beradaptasi dengan cepat pada lingkungan yang telah berubah. Jenis

microfauna juga merupakan temuan paling banyak muncul dari tiap penggalian

situs-situs prasejarah adalah temuan cangkang moluska. Studi analisis moluska

dapat menjadi data rekonstruksi lingungan dan iklim purba, studi mengenai sumber

daya pangan dan penggunaan cangkang moluska untuk dijadikan alat maupun

perhiasan. Keunggulan dari temuan cangkang moluska ini sangat berpotensi besar

untuk mengungkapkan lingkungan kehidupan manusia prasejarah.

Moluska memiliki ciri fisik berupa cangkang keras yang mengandung

kalsium karbonat (calcium carbonate) yang menyebabkan cangkang ini dapat

terlindungi dari pengapuran (Shackley, 1981: 125-126). Karena kelebihannya inilah,

Page 23: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

4

bagian cangkang moluska dapat bertahan lama dan menjadi data yang sangat

penting, terutama dalam kajian arkeologi lingkungan. Berbagai penelitian situs

prasejarah di Indonesia menunjukkan bahwa moluska dikonsumsi sebagai bahan

pangan dan juga sisa-sisa cangkangnya dimanfaatkan kembali menjadi berbagai

macam alat-alat yang digunakan untuk memudahkan kegiatan berburu atau

mengkonsumsi hasil buruan.

Temuan cangkang moluska ini merupakan salah satu temuan yang sering

kali ditemukan di berbagai situs hunian gua-gua prasejarah. Situs Prasejarah yang

memiliki temuan cangkang moluska di Jawa antara lain di Situs Mulyorejo (Cepu),

serta situs gua-gua prasejarah di Kawasan Karst Gunungsewu, seperti Song

Keplek, Song Terus Punung, dan Song Jebreng. Ada pula temuan berbagai alat

berbahan dasar cangkang moluska di situs-situs di Kawasan Karst Tuban seperti di

Song Prahu. Selain situs-situs yang telah disebutkan tadi, terdapat situs hunian

prasejarah yang baru-baru ini diteliti secara intensif dan terdapat temuan moluska

yang cukup signifikan, yaitu Situs Gua Kidang.

Situs Gua Kidang berada di Kawasan Karst Blora. Situs hunian ini secara

administratif terletak di Desa Tinapan, Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora, Jawa

Tengah. Gua ini berada di Kawasan Karst Blora yang termasuk dalam kawasan

perbukitan Rembang. Menurut pendapat Yuwono (2005), diperkirakan penghunian

kawasan karst Perbukitan Rembang, sebagai kelanjutan migrasi darat dari

Punggungan Kendeng, mulai berlangsung pada akhir Pleistosen.

Berdasarkan penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta yang dilakukan sejak

tahun 2005, gua-gua di Kawasan Karst Blora memiliki profil fisik yang cukup unik

dan hampir kebanyakan merupakan jenis gua vertikal. Akibat dari kondisi morfologi

wilayah Todanan Selatan yang secara umum berlereng landai, bergelombang

Page 24: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

5

sedang, dan tidak dijumpai gua-gua tebing yang biasanya menjadi pilihan utama

hunian manusia prasejarah (Nurani dan Yuwono, 2009).

Gua Kidang sendiri merupakan sebuah gua yang terbentuk akibat runtuhnya

atap dari sebuah ruang besar bawah tanah sehingga menghasilan lubang vertikal

yang sangat besar (Nurani dan Yuwono, 2009). Meskipun berada di bawah

permukaan tanah, akses untuk menuju ruangan gua masih relatif mudah. Selain itu,

kondisi Gua Kidang memiliki kelembapan sedang. Sirkulasi udara di gua sangat

baik dengan pencahayaan yang cukup memadai, dan memiliki ruang yang luas

yang diperkirakan cukup menjadi ruang untuk berbagai macam aktivitas. Sumber

daya air terdekat dari gua berupa anak sungai yang berada di sekitar wilayah situs

yang berada di daerah Desa Tinapan dan Desa Kedungwungu. Sementara itu,

terdapat cekungan air yang kemudian dijadikan waduk bernama Waduk Bentolo di

Desa Kedungwungu. Waduk ini sekarang berfungsi sebagai pengatur aliran sungai

untuk irigasi. Aliran dari sungai-sungai yang ada di sekitar Gua Kidang akan

bermuara pada sungai besar yang bernama Sungai Lusi yang letaknya 8 km di

sebelah selatan Gua Kidang. Adapun sumber daya air laut terdekat dari situs adalah

Laut Jawa yang berjarak sekitar 28 hingga 30 km ke arah utara.

Penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi di situs Gua Kidang telah

dilaksanakan secara bertahap semenjak tahun 2005 dan paling akhir dilakukan

pada tahun 2012 yang lalu. Temuan yang didapatkan dari penelitian yang selama ini

berlangsung memiliki variasi cukup beragam baik jenis temuan artefaktual maupun

ekofaktualnya. Temuan artefak bervariasi dan memiliki bahan berasal dari sisa-sisa

tulang binatang maupun berasal dari cangkang moluska.

Pertanggalan dengan menggunakan sampel arang menunjukkan bahwa

Gua Kidang telah dihuni kurang lebih pada 7.770 BC. Situs hunian Gua Kidang ini

Page 25: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

6

juga menunjukkan jejak penguburan dengan ditemukannya kerangka berjumlah dua

individu manusia. Satu rangka ditemukan dalam kondisi terlipat menghadap ke arah

barat. Sementara untuk satu individu lainnya ditemukan dalam kondisi yang tidak

utuh karena hanya ditemukan bagian kakinya saja.

Penelitian di Gua Kidang merupakan salah satu dari situs prasejarah yang

diteliti secara berkesinambungan oleh Balar Yogyakarta dengan tujuan untuk

mengungkap kebudayaan manusia prasejarah, terutama di Kawasan Karst Blora.

Hingga saat ini, penelitian tentang pola okupasi komunitas penghuni Gua Kidang

masih berlanjut.

B. RUMUSAN DAN TUJUAN MASALAH

Dari ulasan di atas dapat ditarik beberapa permasalahan yang hendak

dipecahkan, antara lain:

1. Apa saja jenis temuan moluska dan bagaimana habitat tempat tinggal dari

moluska tersebut?

2. Bagaimana komunitas penghuni Gua Kidang memanfaatkan jenis-jenis

moluska tersebut?

3. Bagaimana strategi adaptasi lingkungan yang dilakukan oleh komunitas

penghuni Gua Kidang untuk memperoleh jenis moluska tersebut?

Tujuan dari penelitian ini adalah menjawab permasalahan yang telah dijabarkan,

yaitu untuk mengetahui berbagai macam jenis temuan moluska serta habitatnya

yang diperkirakan dikonsumsi oleh komunitas penghuni Gua Kidang. Selain itu,

penelitian di Gua Kidang berupaya memperoleh gambaran mengenai kondisi

lingkungan dan bagaimana cara-cara tertentu yang dilakukan oleh manusia pada

Page 26: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

7

masa itu untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Serta bagaimana strategi

adaptasi terhadap lingkungan di wilayah sekitar Gua Kidang, terutama dalam

rangka memperolah moluska.

C. RUANG LINGKUP PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di situs Gua Kidang yang secara administratif terletak

di Desa Tinapan, Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Data yang

dipakai dalam penelitian ini berupa data artefak dan ekofak temuan cangkang

moluska dari hasil penggalian yang telah dilakukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta.

Data yang digunakan adalah hasil ekskavasi tahun 2005 hingga 2010, pada

dua kotak, yaitu kotak T6S1 dan S1B6. Pemakaian data dari kedua kotak tersebut

ditekankan pada jumlah dan variasi temuannya yang menarik. Selain itu juga, kotak

T6S1 mencapai kedalaman 160 cm, karena merupakan kotak dengan penggalian

paling dalam diantara kotak ekskavasi yang lain. Temuan moluska menjadi data

berupa artefak alat kerang yang digunakan serta ekofak yang diperkirakan sisa

sampah komunitas penghuni Gua Kidang. Penggunaan data ini sendiri telah

mendapatkan ijin dari Ketua Tim Penelitian, yaitu Indah Asikin Nurani.

D. KEASLIAN PENELITIAN

Penelitian di situs Gua Kidang telah dilakukan oleh Balai Arkeologi (Balar)

Yogyakarta selama beberapa tahap dimulai sejak tahun 2005 dan paling akhir

dilakukan pada tahun 2012. Pada penelitian pertama, Balar Yogyakarta mencoba

mengeksplorasi sebaran gua-gua dan kondisi geologis-geografis di Kawasan Karst

Blora. Dari penelitian tahap I (2005) dan II (2006) dapat disimpulkan bahwa

Page 27: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

8

Kawasan Karst Blora sangat minim gua hunian dikarenakan kondisi bentang

lahannya tidak ideal menjadi hunian. Hanya ada satu gua yang memiliki potensi

arkeologis yaitu Gua Kidang. Dengan demikian, penelitian selanjutnya dari tahun

2009 hingga 2011 bertujuan untuk mengungkapkan kebudayaan komunitas

penghuni Gua Kidang, Blora. Tujuan penelitian Balar Yogyakarta yaitu mencoba

mengungkapkan pola okupasi Kawasan Kart Blora serta interaksi manusia penghuni

Gua Kidang dengan sumber daya alam sekitarnya (Nurani dan Hascaryo, 2010).

Penelitian mengenai strategi subsistensi dalam upaya bertahan hidup

dengan bergantung pada lingkungannya telah dibahas dalam skripsi yang berjudul

“Strategi Subsistensi Pendukung Budaya Situs Gua Macan: Tinjauan Data

Ekskavasi” oleh Yogi Piskonata. Dalam tulisannya, penulis mencoba

mengungkapkan bagaimana strategi adaptasi dalam upaya pemenuhan kebutuhan

hidup komunitas manusia yang tinggal di Gua Macan yang berada di Desa Kepel,

Jember, Jawa Timur. Data yang digunakan tidak hanya mencakup temuan

cangkang moluska saja namun juga temuan tulang dan gigi fauna, litik, dan lain

sebagainya.

Ada pula penelitian yang dilakukan oleh Irsyad Martias (2009) melalui skripsi

yang berjudul “Model Transformasi Sampah Cangkang Kerang di Pemukiman

Kawasan Pesisir Watukarung, Pacitan: Studi Etnoarkeologi”. Penelitian ini

menitikberatkan pada bagaimana proses transformasi sampah cangkang kerang

menjadi data arkeologis.

Untuk kajian analisis moluska telah dibahas oleh Gregorius Dwi Kuswanto

(2007) yang berjudul “Eksploitasi Sumber Daya Akuatik oleh Komunitas Penghuni

Song Jrebeng”. Dalam skripsinya, dibahas mengenai rekonstruksi habitat yang

Page 28: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

9

menyediakan sumberdaya akuatik yang telah dimanfaatkan komunitas manusia

prasejarah untuk bertahan hidup di lingkungan pesisir.

Penelitian yang dilakukan oleh penulis mengambil tema strategi adapatasi

lingkungan oleh komunitas penghuni Gua Kidang dalam rangka melakukan

pemenuhan kebutuhan pangan dengan data yang digunakan yaitu temuan

cangkang moluska. Data tersebut termasuk jenis artefaktual dan ekofaktual yang

ditemukan melalui ekskavasi.

E. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode yang bersifat eksplikatif atau deskriptif,

yaitu memberikan gambaran data arkeologi yang ditemukan, baik dalam kerangka

waktu maupun bentuk, serta berupaya mengungkapkan hubungan antar variabel

penelitian (Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, 2008).

Selanjutnya, jenis penalaran yang digunakan pada penelitian adalah penalaran

induktif. Penalaran ini bergerak dari kajian fakta-fakta atau gejala-gejala khusus

untuk kemudian disimpulkan sebagai gejala umum atau yang disebut juga

generalisasi empiris (Tanudirjo, 1988-1989).

Studi analisis cangkang moluska dari penelitian dapat berguna sebagai

landasan dalam upaya menafsirkan kondisi ekologis dan arkeologis dalam suatu

situs hunian prasejarah. Kajian lingkungan merupakan aspek penting yang sangat

berpengaruh terdapat hasil-hasil kebudayaan suatu komunitas. Kajian arkeologi

lingkungan berupaya untuk menjembatani proses kebudayaan berdasarkan

adaptasi lingkungan masyarakat. Selain itu, kebudayaan merupakan hasil dari

adaptasi dari lingkungan (Steward, 1959), sehingga dapat dilihat bagaimana suatu

Page 29: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

10

lingkungan hidup dapat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap

pemikiran dan tingkah laku manusia yang menempatinya.

Sesuai dengan metode dan penalaran tersebut maka penelitian ini melalui

tahap-tahap sebagai berikut:

1. Tahap Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data

primer meliputi: temuan data artefaktual dan ekofaktual cangkang moluska

dari hasil ekskavasi yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta mulai

dari tahap I (2005) hingga IV (2010). Data stratigrafi juga diperlukan untuk

mengungkapkan kronologi dari pemanfaatan berbagai jenis moluska yang

ditemukan melalui gambaran yang diungkapkan lewat endapan tanah. Untuk

melengkapi data lingkungan dilakukan observasi lapangan untuk

mendapatkan gambaran mengenai bagaimana kondisi situs dan lingkungan

di sekitarnya Gua Kidang.

Sementara itu untuk data sekunder dilakukan kajian pustaka sebagai

data pendukung. Pemakaian peta juga merupakan pendukung data dari

observasi lapangan yang dilakukan. Sebagai data pendukung untuk

mengetahui perilaku pengumpulan kerang dilakukan kajian etnografi dari

masyarakat pengumpul kerang. Data etnografi ini diharapkan dapat

menjembatani penulis dalam memahami model perilaku kelompok

masyarakat pengumpul moluska Gua Kidang.

2. Tahap Analisis Data

Setelah data, baik primer maupun sekunder, telah terkumpul maka

tahap selanjutnya yaitu menganalisis data tersebut. Sesuai dengan tujuan

Page 30: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

11

dari penelitian ini, yaitu merekonstruksi strategi adaptasi lingkungan dalam

memperoleh moluska, maka analisis yang dilakukan meliputi:

a. Analisis Taksonomi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, taksonomi merupakan

cabang ilmu biologi yang mengelompokkan makhluk hidup berdasarkan

persamaan dan perbedaan sifatnya. Dengan demikian identifikasi

taksonomis temuan moluska di Gua Kidang dilakukan untuk

mengelompokkan individu temuan cangkang moluska secara biologis

sehingga dapat diketahui variasinya (Martias, 2009). Pengelompokan

moluska ini berdasarkan ciri-ciri bentuk, warna, dan lain sebagainya. Dari

analisis ini dapat diketahui jenis moluska yang ada. Setelah diketahui

jenisnya, maka dengan mudah akan dapat diketahui lingkungan tempat

moluska tersebut dapat hidup.

Analisis taksonomi yang dilakukan melalui pembandingan dengan

rujukan pustaka antara lain: Kerang dan Siput Indonesia Vol 1 & 2 yang

ditulis oleh Bunjamin Dharma (1988&1992), Shells yang ditulis oleh Peter

Dance (1992), Shells: Guide to The Jewels of The Sea yang ditulis oleh

Giorgio Gabbi (1999), Gastropods dan Bivalvia yang ditulis oleh J. H Leal

(t.t), A Field Guide in Colour to Molluscs yang ditulis oleh Václav Pfleger

(1999), serta Eksploitasi Sumber Daya Akuatik oleh Komunitas Penghuni

Song Jrebeng yang ditulis oleh Gregorius D. Kuswanto (2007). Selain

dari rujukan pustaka dilakukan juga analisis taksonomi di Laboratorium

Taksonomi dan Sistematika Hewan, Fakultas Biologi, UGM diawasi

langsung oleh laboran.

Page 31: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

12

Analisis taksonomi dilakukan pada data artefaktual maupun

ekofaktual temuan moluska Gua Kidang yang masih mampu

menunjukkan ciri-ciri khusus dari tiap jenisnya.

b. Analisis Lingkungan

Analisis lingkungan dianggap ideal untuk merekonstruksi strategi

adaptasi komunitas penghuni Gua Kidang dalam skala meso, karena

rekonstruksi lingkungan yang dilakukan cenderung hanya melalui

observasi pada lingkungan sekitar situs saja.

Veriabel lingkungan yang diambil dalam penelitian ini mencakup

bentang lahan, sumber daya air, iklim, cuaca, dan keanekaragaman

jenis flora dan fauna yang ada di wilayah situs. Data lingkungan masa

kini dianggap dapat mewakili lingkungan masa hunian komunitas Gua

Kidang yang tidak terlalu berbeda.

c. Pendekatan Etnografi

Data etnografi dari suatu kelompok masyarakat pengumpul kerang

bisa menjadi jembatan dalam memahami model perilaku kelompok

masyarakat pengumpul moluska Gua Kidang dengan manusia masa

kini. Dalam penelitian ini, pendekatan etnografi merujuk pada literasi

mengenai masyarakat pengumpul kerang di Rawa Pening yang disusun

oleh Rahayu Suciati (1992). Data etnografi ini dipilih karena masyarakat

pengumpul Kerang di Rawa Pening lebih banyak mengumpulkan jenis

kerang air tawar. Diharapkan pola tingkah laku komunitas penghuni Gua

Kidang dalam mencari bahan moluska air tawar kurang lebih akan

serupa.

Page 32: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

13

3. Tahap Sintesis

Pada tahap ini, diharapkan data dari tiap variabel yang telah

terkumpul dicari hubungannya satu sama lain. Analisis yang dilakukan

kemudian dipadukan untuk diinterpretasi agar dapat mengungkapkan upaya

adaptasi lingkungan komunitas penghuni Gua Kidang berdasarkan analisis

taksonomi, lingkungan serta pendekatan etnografi tersebut.

4. Kesimpulan

Pada tahapan ini diharapkan dapat disimpulkan secara singkat,

keseluruhan penelitian ini. Kesimpulan tersebut diarahkan untuk

memberikan gambaran mengenai variasi data moluska yang dieksploitasi

oleh komunitas penghuni Gua Kidang berdasarkan studi analisis taksonomi.

Selain itu melalui analisis lokasional diperoleh pula rekonstruksi strategi

adaptasi lingkungan alam di sekitar situs hunian ini.

Page 33: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

14

BAB II

TINJAUAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

A. KONDISI GEOGRAFIS SEKITAR LOKASI PENELITIAN

Situs Gua Kidang merupakan salah satu hunian Prasejarah yang ada di

Kawasan Karst Blora. Secara administratif, situs ini berada di Desa Tinapan,

Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi astronomis

gua ini terletak pada 06° 59’ 18, 6” LS & 111° 11’ 50, 2” BT. Situs hunian ini terletak

pada kawasan perbukitan batugamping Kabupaten Blora. Jarak situs dengan laut

terdekat yang berada di utara dari Pulau Jawa kurang lebih sekitar 28 – 30 km.

1. Fisiografi dan Geomorfologi

A.J Pannekoek (1949) membagi wilayah Jawa di sebelah timur menjadi

beberapa zone fisiografis (Suhartono, 2000). Zone tersebut antara lain:

a). Kelompok Zona Lipatan Utara

Bagian wilayah ini merupakan zona terlebar ( ± 87 km). Daerah ini

dibagi ke dalam 2 sub-zone yaitu wilayah Pegunungan Kendeng dan

Perbukitan Rembang. Di antara keduanya dipisahkan oleh depresi

memanjang yang bernamakan Depresi Randublatung. Topografinya

cenderung datar dengan ketinggian rata-rata 200 m, kecuali pada

daerah sekitar Pegunungan Kendeng dan Perbukitan Rembang

bertopografi berbukit-bukit dengan ketinggian rata-rata 300 m.

b). Kelompok Zona Tengah Vulkanik

Zona ini berada pada bagian tengah Jawa Timur yang memiliki jarak

rata-rata 65 km dengan topografi bergelombang. Ketinggiannya

Page 34: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

15

bervariasi dari 100 m sampai ribuan meter. Zona ini dibagi secara

longitudinal: sub-zona Blitar dibagian paling selatan, sub-zona Solo

yang terdiri dari kelompok gunung api dan dataran antar

pegunungan, serta sub-zona Ngawi yang berbatasan dengan

Pegunungan Kendeng.

c). Kelompok Zona Plato Selatan

Sebagian besar merupakan topografi karst yang cenderung miring ke

arah Samudera Indonesia (ke arah selatan). Bagian terlebar ±40 km

dan tersempit ±10 km.

Sesuai dengan pengelompokkan fisiografis tersebut, lokasi wilayah

penelitian ini terdapat pada daerah Kelompok Zona Lipatan Utara. Kelompok

perbukitan tersebut, terbentang antiklin Rembang-Madura di wilayah utara,

Punggungan Kendeng di selatan, dan zone sinklinal di antaranya, yang membujur

dari barat ke timur, yang dikenal dengan sebutan Depresi Randublatung. Wilayah

diantara keduanya ini diperkirakan masih berupa laut semi tertutup pada Kala

Pleistosen Bawah. Akibat dari proses sedimentasi dan pengangkatan barulah

kawasan tersebut menjadi daratan seperti saat ini (Bemmelen, 1949: 29-30;

Suhartono 2000: 22; Yuwono, 2005).

Antiklinorium Rembang memiliki lebar rata-rata ± 50 km. Perbukitan ini

membujur dari barat ke timur dan mencapai pantai utara yang kemudian dipisahkan

oleh pantai dan bukit berpasir (Bemmelen, 1949: 29-30). Morfologi di Kawasan

Perbukitan Rembang lebih landai dan lebih simetris dibandingkan dengan

Punggungan Kendeng yang cenderung terjal. Selain itu juga, kawasan ini terdiri dari

Page 35: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

16

sejumlah bukit kapur berderet dan berselang-seling dengan dataran aluvial

(Yuwono, 2005).

Antiklinorium Rembang tersusun dari deposit Neogene muda yang tipis,

berupa batu gamping yang berumur Pliosen Atas yang sangat berpengaruh

terhadap pembentukan topografi wilayah tersebut. Sementara itu, Deposit

Pleistosen Bawah dan tanah tersusun atas lempung yang mudah tererosi dan

mengisi sinklinal dari lipatan (Pannekoek, 1949). Karakteristik perbukitan ini antara

lain berupa topografi karst berbukit-bukit konikal, lembah kering serta gua-gua. Di

sisi utara dari Antiklin Rembang ini dapat ditemukan hasil abrasi marin pada

ketinggian 20 m. Hal ini menjadikan bukti adanya pengangkatan daratan sehingga

bergabungnya Pulau Jawa menjadi satu (Yuwono, 2005).

Bentang lahan kawasan Antiklinorium Rembang memanjang dari barat ke

timur tersebut memiliki ketinggian 200 m dari permukaan laut (dpl). Berdasarkan

sudut tektonik lipatan-lipatannya, Antiklinorium Rembang cenderung lebih landai

dan simetris. (Bahagiarti, 2004: 36; Setyowati, 1993). Kabupaten Blora merupakan

bagian dari wilayah Antiklinorium Rembang yang telah mengalami pengangkatan

dan pelipatan sedemikian rupa yang menghasilkan 3 ciri khas bentang lahan. Ketiga

bentang lahan yang ada di Kabupaten Blora antara lain: aluvial, karst dan

tektonik/struktural (pfi3p.litbang.deptan.go.id). Wilayah penelitian situs Gua Kidang

berada pada kawasan perbukitan Rembang berada di bagian barat dari

Antiklinorium Rembang (lihat peta 2.1).

Page 36: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

17

Peta 2.1: Lokasi Penelitian Gua Kidang, Blora Jawa Tengah

Modifikasi oleh Vinsensius Ngesti Wahyuono (2012)

Page 37: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

18

2. Iklim dan Curah Hujan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, iklim adalah keadaan hawa

termasuk suhu, kelembaban, awan, hujan dan sinar matahari di suatu daerah

dalam jangka waktu yang panjang. Iklim merupakan salah satu faktor penting

dalam pembentukan kondisi bentang lahan suatu daerah. Iklim pula yang

berpengaruh terhadap perkembangan vegetasi dan variasi fauna yang muncul

dalam suatu daerah. Wilayah penelitian berada di Kawasan Karst Rembang yang

secara administratif terdapat di Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah.

Meskipun demikian, secara keletakannya dalam bentang alam Pulau Jawa,

keberadaan situs ini berada di wilayah Jawa bagian Timur.

Wilayah Jawa di bagian timur beriklim tropik monsoon yang ditandai

dengan pembagian tegas antara bulan basah dan bulan kering. Iklim ini

dipengaruhi oleh keberadaan arah angin. Secara umum, iklim di wilayah Jawa

bagian timur dikategorikan sebagai zona tropik menengah dengan suhu yang

cenderung hangat. Karena adanya musim kemarau dan kadang-kadang

kekeringan ganas, hutannya cenderung terbuka dan berpohon luruh (Bellwood,

2000: 11).

Curah hujan di Kabupaten Blora berkisar antara 1496 mm sampai 2506

mm. Hal ini dikarenakan kondisi iklim yang menyebabkan perbedaan curah hujan

antara musim kemarau dan musim penghujan. Durasi lamanya musim kering

sekitar 4 – 6 bulan, sementara musim penghujan kurang lebih 4 – 5 bulan. Suhu

udara rata-rata berkisar antara 26, 5° C – 28, 4° C (pfi3p.litbang.deptan.go.id).

Page 38: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

19

3. Flora dan Fauna

Telah dijabarkan sebelumnya, iklim sangat berpengaruh terhadap

pertumbuhan vegetasi dan variasi fauna yang muncul di suatu daerah.

Kabupaten Blora masuk dalam iklim tropik monsoon yang menyebabkan

daerahnya ditumbuhi oleh pepohonan luruh. Wilayah dengan iklim seperti ini

cenderung memiliki hutan tropik musiman yang terbuka, kering, dan vegetasinya

meranggas pada musim-musim tertentu. Jenis pepohonan ini menggugurkan

daunnya pada musim kering, seperti Acacia leucophloea (Legu) dan kapok atau

randu alas (J Salmalia malabarica) (Whitten, 1999).

Variasi fauna di kawasan Jawa Timur masuk dalam kelompok fauna khas

dari Daerah Paparan Sunda. Jenis-jenis faunanya cenderung berupa mamalia

besar yang juga meninggalkan banyak sekali fosil di berbagai situs hunian

prasejarah (Bellwood, 2000: 19). Jenis fauna yang banyak ada di wilayah iklim

tropik monsoon antara lain seperti, banteng, badak, monyet, sapi, gajah, dll.

Pada situs Gua Kidang sendiri temuan tulang fauna antara lain: kerbau, rusa,

dan monyet. Untuk fauna akuatik yang dieksploitasi diketahui berdasarkan dari

tabel temuan 2.2 terdapat cangkang kepiting, lalu terdapat cangkang kura-kura

dan moluska.

4. Sumber Daya Air

Sumber daya air merupakan salah satu faktor penting yang menentukan

habitat tempat berkembangnya hewan bercangkang. Hampir separuh dari jenis

hewan moluska yang terklasifikasi memiliki habitat di tempat berair. Sisanya,

berbagai jenis moluska tersebut hidup di tempat yang cenderung lembap

Page 39: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

20

meskipun tidak di air. Sumber daya air yang berada di Kawasan Karst Blora,

yang relevan dengan penelitian ini berada di beberapa lokasi daerah aliran

sungai.

Berdasarkan dari Peta RBI dengan skala 1: 25.000 pada lembaran

Kunduran, disisi sebelah selatan dari Situs Gua Kidang mengalir sebuah sungai

besar yang bernama Sungai Lusi atau Kali Lusi dalam bahasa lokal yang

disebutkan oleh penduduk sekitar. Sungai Lusi merupakan bagian dari Sistem

Sungai Seluna (Sungai Seran Lusi Juana) yang bermuara ke di Laut Jawa.

Sungai Lusi mengalir dari timur ke barat dan memiliki luas 1.906, 48 km². Aliran

sungainya mengalir melewati Kabupaten Grobogan hingga Kabupaten Blora

Provinsi Jawa Tengah ( Hadi, 1989: 49; Rachmanto, 2006). Sungai Lusi

merupakan sungai besar yang akan terus mengalir sepanjang tahun. Sungai ini

tidak akan surut pada musim kemarau hanya debit airnya akan menurun.

Anak-anak sungai dari percabangan Sungai Lusi inilah kemudian

mengalir di antara tiga perbukitan yaitu Punggungan Kendeng, Cepu, dan

Kawasan Perbukitan Rembang (Hadi, 1989: 72). Beberapa anak sungai yang

mengalir melewati daerah Kunduran yang berdekatan dengan Situs Gua Kidang.

Berdasarkan dari survei yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta

pada tahun 2009, terdapat beberapa aliran sungai yang mengalir di wilayah

Todanan yang merupakan desa tempat Situs Gua Kidang berada. Sumber daya

air tersebut, antara lain: aliran sungai di Kedungwungu, Kedungwaru, Kalisat,

dan Kali Jaten (Asikin dan Hascaryo, 2010). Keempat daerah aliran sungai

tersebut berlokasi tidak terlalu jauh dari lokasi penelitian dan berdasarkan

pengamatan Peta RBI, aliran sungai dari keempat wilayah tersebut akan

bermuara ke Sungai Lusi.

Page 40: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

21

Keempat aliran sungai tersebut memiliki karakterisitik batu gamping yang

terlihat pada singkapan-singkapannya serta memiliki karakteristik sungai yang

hampir dapat ditemui wilayah Pulau Jawa yang cenderung memiliki aliran pendek

dan lebar yang tidak terlalu besar (Whitten, 1999). Terdapat cekungan air yang

kemudian dijadikan waduk yang diberi nama Waduk Bentolo di Desa

Kedungwungu. Waduk ini sekarang berfungsi sebagai pengatur aliran sungai

untuk irigasi.

Volume air juga sangat terpengaruh oleh musim. Ketika memasuki musim

penghujan, debit air meningkat dan arus air yang bertambah deras. Sedangkan

pada musim kering, permukaan dan arus air mengalami penurunan. Ada

beberapa anak sungai yang mengalami kekeringan.

B. DESKRIPSI SITUS GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH

Balai Arkeologi (BALAR) Yogyakarta pertama kali melakukan penelitian di

wilayah karst Blora semenjak tahun 2005 dan telah berlangsung terakhir pada

bulan April 2011 yang lalu. Penelitian awal yang dilaksanakan pada tahun 2005

memiliki tujuan awal survei potensi arkeologis di daerah karst Blora. Selama ini,

penelitian arkeologis di daerah karst perbukitan Rembang lebih banyak

mengeksplorasi kawasan karst Tuban yang terletak di utara. Sementara itu,

bagian selatan belum banyak eksplorasi potensi arkeologis terutama di kawasan

karst Blora.

Berdasarkan survei yang dilakukan BALAR Yogyakarta pada tahun 2005,

dapat disimpulkan bahwa gua yang memiliki potensi sebagai gua hunian adalah

Page 41: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

22

Gua Kidang yang terletak di Desa Tinapan, Kecamatan Todanan, Kabupaten

Blora, Provinsi Jawa Tengah. Ukuran luas ruang Gua Kidang yaitu dalam gua 36

m x lebar 18 m x tinggi 18 m. Ruang gua cukup lapang, dengan langit-langit yang

tinggi sehingga sirkulasi udara sangat baik dan tidak pengap (lihat foto 2.1).

Lahan di dalam gua juga cukup kering sehingga bisa dijadikan tempat untuk

beraktifitas.Gua ini cukup mendapatkan banyak sinar matahari meskipun letak

Gua Kidang berada di bawah permukaan tanah (lihat foto: 2.2). Akses menuju

gua harus melalu jalan setapak yang menurun dengan kemiring sekitar 60° (lihat

foto 2.3). Jalan masuk tersebut relatif cukup mudah untuk dilalui.

Foto 2.1: Kondisi Ruang Gua Kidang Dokumentasi oleh: Ayu Dipta Kirana

Page 42: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

23

Foto 2.2: Permukaan Atas Gua Kidang (Menggunakan IR)

Dokumentasi Oleh: Andreas Eka Atmaja (Balar Yogyakarta, 2012)

Foto 2.3: Akses menuju Gua

Dokumentasi: Ayu Dipta Kirana

Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa manusia selalu memiliki

pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam penentuan lokasi tempat tinggal.

Menurut Karl Butzer (1982) yang dikutip oleh Kuswanto (2007), komunitas

manusia pada masa pemburu dan meramu akan memilih tempat tinggal dengan

Page 43: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

24

kondisi yang ideal sebagai tempat berteduh, tempatnya cenderung lembap,

kondisi tanah yang kering, serta kondisi sekitarnya memiliki akses yang mudah

untuk dilalui sehingga mereka dapat bergerak leluasa untuk memenuhi

kebutuhan dengan bergantung dari sumber daya alam sekitar mereka.

Pada awal mulanya, Gua Kidang merupakan bagian lorong dari sistem

sungai bawah tanah yang naik ke permukaan akibat dari proses pelipatan dan

pengangkatan Perbukitan Rembang. Sistem sungai bawah tanah merupakan

sistem sumber daya air penting terutama bagi bentang lahan kawasan karst.

Menurut Haryono dan Adji (2004) yang dikutip oleh Kuswanto (2007), sifat

batuan karbonat mempunyai banyak rongga percelahan yang mudah larut oleh

air dan mengakibatkan sistem drainase permukaan tidak berkembang. Hal

tersebut menyebabkan sumber daya air pada bentang lahan karst berkembang

sistem sungai bawah tanah termasuk di kawasan karst Blora dengan Gua Kidang

sebagai bagian darinya.

Berdasarkan penelitian oleh Balar Yogyakarta (2011) diketahui bahwa

berdasarkan keruangan, awalnya merupakanlorong dari aliran sungai bawah

tanah (Nurani dan Hascaryo, 2011: 19-21). Aliran sungai mempengaruhi proses

pelarutan dalam lorong, terutama karena sifat batuan karbonat yang mudah

terkikis. Bagian atap lorong tersebut semakin lama semakin menipis seiring

dengan gempuran arus sungai. Sementara itu kondisi hujan dalam jangka waktu

yang lama menyebabkan pengikisan pada bagian atap lorong. Kekar-kekar yang

berkembang pada bagian atap semakin memperkuatkan erosi hingga pada

akhirnya bagian atas dari lorong tersebut kemudian runtuh. Hal ini

mengakibatkan lorong sungai bawah tanah tadi kemudian membentuk semacam

chamber. Lubang dari runtuhan tersebut semakin terkikis menjadikannya

Page 44: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

25

semakin lebar. Akibatnya sinar matahari dapat masuk dan menerangi bagian

dalam dari chamber tersebut. Pada akhirnya, pembentukan daratan dari

Perbukitan Rembang mengakibatkan bagian dalam chamber tersebut akhirnya

kering sehingga layak untuk dijadikan hunian pada masa prasejarah.

1. Hasil Penelitian di Situs Gua Kidang, Blora

Penelitian yang dilakukan oleh BALAR Yogyakarta pertama kali dilakukan

pada tahun 2005 dan telah berlangsung selama lima tahap. Penelitian tahap I

(2005) bertujuan untuk mengeksplorasi sebaran gua dan kondisi geologi dan

geografis di wilayah perbuktian batu gamping daerah tersebut. Dari survei yang

dilakukan telah menemukan sembilan gua horizontal dan sebuah gua vertikal

yang ada di wilayah Kabupaten Blora. Pada penelitian tahap ini ditemukan

potensi Gua Kidang sebagai gua hunian masa prasejarah. Ekskavasi dilakukan

dengan membuka satu buah kotak test spit yang diberi kode LU.1. Letak kotak ini

berada di sisi sebelah kanan bagian muka gua. Ekskavasi dilakukan hingga

kedalaman 90 cm. Temuan ekskavasi antara lain: fragmen tulang hewan,

fragmen tembikar, keramik asing, uang koin masa sejarah, fragmen cangkang

moluska, dan temuan gigi molar Homo sapiens. Temuan paling mendominasi

dari penggalian ini adalah fragmen cangkang moluska. Penggalian ini telah

menunjukkan adanya indikasi hunian oleh sekelompok manusia di Gua Kidang

sehingga penelitian di Gua Kidang pun berlanjut ke tahap berikutnya.

Penelitian tahap II (2006) penelitian Gua Kidang masih dilanjutkan

dengan eksplorasi jelajah wilayah karst untuk menemukan gua-gua potensial lain

yang memiliki jejak hunian prasejarah. Ekskavasi dilanjutkan di kotak LU.1

hingga kedalaman 95 cm. Selain melanjutkan kotak terdahulu, penggalian ini

Page 45: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

26

kemudian membuka kotak ekskavasi baru yaitu Kotak S1B6, S2B6, dan B2U7.

Temuan dari penggalian tahun ini hampir serupa dengan penelitian tahun

sebelumnya. Dari penelitian tahap I dan tahap II ditarik kesimpulan bahwa di

Kawasan Karst di Kecamatan Todanan cenderung minim gua hunian. Hal ini

merupakan akibat dari bentukan geomorfologis gua-gua vertikal dari bentuk

lorong-lorong sungai bawah tanah yang tidak ideal untuk ditinggali.

Untuk itu, penelitian tahap III (2009) difokuskan pada eksplorasi situs

hunian Gua Kidang. Tujuan penelitian tahap ini mengharapkan untuk dapat pola

okupasi hunian Gua Kidang. Penelitian ini mencoba melihat pola pemanfaatan

sumber daya alam dalam menyiasati pola hidup manusia pendukung Gua Kidang

dan bentuk pemanfaatan lahan gua yang tersedia untuk mengetahui karakter

micro settlement dari Gua Kidang (Nurani, 2009: 3). Penggalian di situs Gua

Kidang membuka 3 kotak galian. Kotak tersebut antara lain adalah kotak LU.1

yang kemudian diberi nama kotak T6S1 yang berada di bagian depan kanan

mulut gua, kotak S2B1 yang berada di bagian kanan tengah gua, kotak S1B6

yang berada di dalam sisi kanan gua, dan terakhir kotak B2U7 yang berada di

bagian kiri tengah gua. Pada kotak S1B6, S2B1, dan B2U7 kotak galian telah

mencapai kedalaman kurang lebih 45 cm. Sementara itu untuk kotak T6S1 telah

mencapai kedalaman 150 cm.

Tahun 2010, penelitian tahap IV di Gua Kidang kembali dilaksanakan

untuk berupaya merekonstruksi pola adapatasi manusia penghuni gua hunian

untuk dengan lingkungannya. Selain itu, pada penelitian tahap IV lebih

ditekanankan rekonstruksi kronologi waktu awal pemanfaatan hingga akhir dari

situs hunian dengan penggalian kotak T6S1 sebagai patokannya. Rekonstruksi

ini menggunakan pendekatan geologi lewat analisis stratigrafi berdasarkan

Page 46: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

27

sampel tanah yang ada di kotak dengan kedalaman mencapai 160 cm. Kotak

yang dibuka pada penggalian kali ini hanya 3 kotak saja, yaitu kotak T6S1, S1B6

dan B2U7. Penggalian pada kotak S2B1 tidak dilanjutkan karena keterbatasan

waktu dan tenaga.

Penelitian di Gua Kidang dilakukan Balar pada tahun 2011 masih

melanjutkan tujuan penelitian sebelumnya serta menjawab beberapa pertanyaan

penelitian yang belum terjawab. Penelitian tahap V kemudian kembali membuka

kotak ekskavasi T6S1 untuk mengetahui kronologis waktu situs hunian Gua

Kidang. Kotak yang dibuka pada penggalian ini antara lain: Kotak B2U7 yang

masih dilanjutkan kembali penggaliannya, T7S2, T6S2, dan terakhir kotak

U31T49 di Gua AA. Gua AA merupakan sebuah ceruk yang tepat berada di

seberang Gua Kidang. Sasaran penelitian tahap V lebih ditekankan untuk

mengungkapkan temuan rangka yang ditemukan di kotak T6S1 dan B2U7,

sehingga penggalian di kotak penggalian yang lain tidak dilanjutkan (Nurani dan

Hascaryo, 2011: 8)

Penggalian tahap VI yang dilakukan pada tahun 2012 kembali

melanjutkan penelitian yang terdahulu. Kotak ekskavasi yang dibuka pada

penelitian tahap ini berjumlah empat buah, yaitu antara lain: kotak B2U7; T6S2;

T7S2 dan kotak U31T49 di Gua Kidang AA. Penggalian di tahap ini kemudian

menemukan rangka manusia dalam kondisi terlipat serta menghadap ke barat –

timur di kotak T6S2. Dapat dikatakan, kondisi rangka manusia tersebut

merupakan salah satu indikasi sudah adanya sistem penguburan yang

diterapkan oleh komunitas penghuni Gua Kidang. Selain temuan kerangka

hominid, temuan ekskavasi pada tahap ini relatif cukup sama dengan temuan

tahap sebelumnya. Temuan yang ada, baik artefak maupun ekofak, kebanyakan

Page 47: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

28

merupakan jenis tulang hewan dengan beragam ukuran. Temuan moluska juga

masih ditemukan meski dalam jumlah yang tidak cukup banyak.

Dari ulasan penelitian yang telah dilakukan oleh Balar Yogyakarta,

penulis kemudian memilah data yang akan dijadikan data primer dalam penelitian

ini. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah data artefaktual dan

ekofaktual cangkang moluska pada kotak T6S1 dan S1B6, serta berasal dari

penggalian tahap I – IV yaitu dalam kurun waktu tahun 2005 – 2010. Data tahun

2011 tidak digunakan dalam penelitian ini dikarenakan masih diolah lebih lanjut

oleh peneliti dari Balar Yogyakarta.

Alasan pemakaian data tersebut adalah kotak T6S1 merupakan kotak

ekskavasi yang telah mencapai kedalaman hingga 160 cm merupakan kotak

dengan penggalian paling dalam di Gua Kidang. Selain itu, dari rekaptulasi

temuan pada ekskavasi tahun 2011 baik temuan artefaktual ataupun ekofaktual

mengalami penurunan jumlah temuan drastis. Sehingga diperkirakan dalam

tahap analisis data tidak akan terlalu berpengaruh terhadap analisis taksonomi

pada spesimen moluska yang ada.

Temuan cangkang moluska yang ada di kotak S1B6 dipakai sebagai data

primer dalam penelitian ini dikarenakan kotak ini juga mencakup temuan

cangkang moluska yang memiliki signifikansi penting dalam upaya

merekonstruksi perolehan jenis moluska komunitas penghuni Gua Kidang. Kotak

T6S1 berlokasi di sisi kanan pada bagian mulut gua sementara itu kotak S1B6

berada di sisi kanan bagian dalam gua. Kedua kotak tersebut dianggap dapat

mewakili jenis perolehan cangkang moluska dan menjawab pertanyaan

penelitian berupa konstruksi strategi subsistensi penghuni Gua Kidang (lihat

Gambar 2.1).

Page 48: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

29

Gambar 2.1: Peta Denah Kotak Ekskavasi Situs Gua Kidang (Sumber: Laporan Penelitian Arkeologi Tahun 2010 oleh Balar Yogyakarta)

Page 49: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

30

1.1 Kotak T6S1

Kotak ini berada di sebelah kanan bagian muka Gua Kidang. Kotak

ekskavasi ini dibuka pertama kali pada tahun 2005. Kotak ini sebelumnya diberi

nama kotak LU.1 karena merupakan kotak test spit sebagai awal penggalian

untuk membuktikan adanya hunian prasejarah di Gua Kidang. Penggalian di

Kotak T6S1 telah mencapai kedalaman sekitar 160 cm. Sejauh ini, kotak ini

merupakan kotak ekskavasi yang paling dalam digali oleh Balar Yogyakarta.

Stratigrafi dari penggalian di kotak ini akan dijadikan acuan dalam

mengungkapkan kronologi waktu hunian Gua Kidang. Temuan kotak T6S1

sangat beragam dengan jumlah yang melimpah (lihat tabel 2.1) mengingat telah

digali pada setiap tahap penelitian di Gua Kidang.

Kedalaman ekskavasi tahap I mencapai 90 cm. Temuan antara lain

berupa fragmen tembikar, fragmen tulang-tulang hewan, artefak dan ekofak

cangkang moluska dan sebuah gigi geraham manusia pada kedalaman 90 cm.

Penggalian tahap II pada tahun 2006, kotak kemudian diberi nama T6S1.

Kedalaman penggalian hanya mencapai 95 cm. Temuan dari kotak ini hampir

serupa dengan penemuan tahap sebelumnya.

Penggalian berikut pada tahun 2009, kotak T6S1 digali hingga mencapai

kedalaman akhir 150 cm dengan jarak interval tiap spit yaitu 5 cm. Pada tahap

ini, temuan juga masih didominasi oleh temuan artefak maupun ekofak cangkang

moluska, artefak tulang, fragmen tulang hewan, gigi binatang. Di kotak ini juga

ditemukan tulang dan gigi Homo sapiens.

Penggalian tahun 2010, kotak T6S1 digali hingga mencapai kedalaman

akhir 160 cm. Pada tahapan ini temuan kotak berupa cangkang moluska,

Page 50: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

31

fragmen tembikar, fragmen tulang hewan dan fragmen tembikar.Kotak T6S1

berukuran 150 x 150 cm dengan sistem pembagian menjadi kuadran. 4 sisi

masing-masing kuadran berukuran 75 x 75 cm.

Jenis Temuan Tahun

Jumlah 2005 2006 2009 2010 Artefak Kerang 37 36 131 13 217 Artefak Tulang 13

14 47 74

Cangkang Moluska 315 93 732 33 1173 Frg. Tulang 127 72 858 619 1676 Frg. Kuku

1 1

Frg. Rahang dan Gigi 1 1 10 3 15 Frg. Tembikar 36

2

38

Batu

3 1 4 Alat Batu

2

2

Gigi Hominid 1

1 Frg. Tulang Hominid

2 2

Frg. Tulang Karapak 1

34

35 Frg. Tengkorak Hewan

4 1 5

Artefak tak teridentifikasi

76

76 Jumlah Total 494 202 1866 720 3319

Tabel 2.1: Rekapitulasi Temuan Ekskavasi Gua Kidang Kotak T6S1Tahun 2005 – 2010.

(Sumber: Indah Asikin Nurani dengan modifkasi penulis)

Berikut ini adalah deskripsi stratigrafi kotak T6S1 (lihat gambar 2.2) yang

telah mencapai kedalaman 160 cm.

i. Lapisan 1: Pasir halus

Lapisan ini memiliki tebal 5 -10 cm, memiliki ciri megaskopik,

warnanya coklat muda, merupakan semen karbonat, porositas

sangat baik, dan kekompakan yang sangat rendah. Tekstur

lapisan ini sangat terbuka dengan struktur sedimen masif. Ukuran

Page 51: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

32

butir dengan skala Wentworth menunjukan jenis pasir sangat

halus.

ii. Lapisan 2: Pasir sedang

Lapisan ini memiliki ketebalan 7 – 30 cm Secara megaskopik

memperlihat ciri-ciri warna coklat keabu-abuan, kekompakan

sedang, tingkat kelembapan rendah, dan porositas sedang.

Berdasarkan skala Wentworth pasir ini dikategorikan pasir

sedang. Struktur sedimen yang tampak kasar ke bawah

sedangkan teksturnya agak terbuka. Semen pengikat antar butiran

adalah larutan CaCO₃ yang berasal dari dinding atau atap gua.

Matriks batu gamping berukuran kerikil dengan bentuk membulat

tanggung terkonsentrasi di bagian bawah. Proses

pengendapannya melalui media air permukaan yang berlangsung

lambat. Lapisan ini menumpang secara tidak selaras di atas

lapisan 3. Pada lapisan ini sudah mulai masuk pada konteks

prasejarah pada kedalaman 30 cm.

iii. Lapisan 3: Pasir Halus

Ketebelan lapisan ini antara 50 – 80 cm dengan ciri-ciri

megaskopik berwarna cokelat keabu-abuan, kekompakannya

rendah dan porositas sedang. Semen pengikat antar butiran

berupa larutan CaCO₃ dengan struktur sedimen masif. Ukuran

butirnya termasuk butir pasir halus. Pada bagian dinding selatan

kotak galian ditemukan sisa pembakaran berupa arang kayu.

Lapisan ketiga ini menumpang selaras tepat di atas lapisan

dibawahnya.

Page 52: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

33

iv. Lapisan 3a: Pasir Lanauan

Lapisan ini memiliki jenis tanah berwarna coklat kemerahan,

kekompakannya sangat tinggi, porositasnya kecil dan

tersementasi dengan CaCo₃. Tampak pada gambar, lapisan ini

menempel pada lapisan pasir sedang dan lapisan pasir halus.

v. Lapisan 4: Pasir lanauan

Lapisan ini mencapai ketebalan antara 40 – 70 cm. Lapisan ini

berwarna cokelat kehitaman, kekompakan sedang, porositas

sedang dan semen pengikat antar butiran berupa larutan CaCO₃.

Matrik berupa batu gamping berukuran kecil dan berbentuk agak

membundar. Antara lapisan 3 dengan lapisan ini dibatasi oleh

endapan CaCO₃ berwarna putih. Lapisan pasir lanauan

tampaknya diendapkan oleh media angin dalam kondisi

lingkungan musim basah (Nurani dan Hascaryo, 2010: 16).

Page 53: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

34

Gambar 2.2: Stratigrafi Kotak T6S1 (Sumber: Laporan Penelitian Arkeologi Tahun 2010 oleh Balar Yogyakarta)

Page 54: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

35

1.2 Kotak S1B6

Kotak ini terletak di sebelah kanan bagian dalam Gua Kidang. Kotak

eksavasi pertama kali digali pada penelitian tahap II (2006) hingga tahap IV (2010)

serta telah mencapai kedalaman hingga 55 cm. Temuan di kotak S1B6 cukup

bervariasi meski secara kuantitas tidak sebanyak temuan yang ada di kotak T6S1

(lihat tabel 2.2). Pada lapisan awal kotak ini telah memasuki konteks prasejarah

diperkirakan karena permukaan tanah cenderung semakin menurun dibagian dalam

gua (Nurani dan Hascaryo, 2010: 31). Kotak ini dibuka pertama kali pada tahun

2006 dalam penelitian tahap II Balar Yogyakarta di Gua Kidang. Penelitian kala itu,

penggalian berakhir pada kedalaman 30 cm dari permukaan tanah. Temuan kotak

S1B6 antara lain berupa artefak cangkang moluska, ekofak cangkang moluska dan

fragmen tulang-tulang binatang. Pada penelitian tahap III (2009), penggalian

dilanjutkan hingga mencapai kedalaman kurang lebih 40 cm. Temuan pada

penggalian ini berkisar variasi artefak cangkang moluska dan fragmen tulang.

Penggalian tahap IV (2010) melanjutkan penggalian yang dimulai dengan

membuka kotak S1B6 pada kedalaman awal 35 cm. Pada pembersihan awal

ditemukan 6 fragmen tulang dan 6 cangkang moluska. Penggalian dilanjutkan

dengan interval galian 5 cm, yaitu pada kedalaman 36 – 40 cm. Pada spit ini,

ditemukan antara lain: fragmen gigi 2 buah, fragmen tulang 17 buah, cangkang

moluska klas bivalvia 17 buah, cangkang moluska klas Gastropoda 5 buah, artefak

cangkang moluska klas bivalvia 3 buah, tembikar 3 buah. Spit berikutnya dengan

kedalaman 41 – 45 cm, temuannya didominasi temuan fragmen tulang yang cukup

banyak dan fragmen cangkang moluska. Pada kedalaman 51 – 55 cm, temuannya

berupa fragmen tulang berukuran relatif besar dan terkonsentrasi di sisi selatan

Page 55: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

36

kotak, sebuah pelandas yang terbuat dari batu gamping dan fragmen cangkang

moluska.

Jenis Temuan Tahun

Jumlah 2006 2009 2010 Artefak Kerang 57 37 3 97 Artefak Tulang 1 2 2 5 Cangkang Moluska 207 25 164 396 Frg. Tulang 205 66 283 554 Frg. Kuku 1 1 Frg. Rahang dan Gigi 2 1 2 5 Frg. Capit Kepiting 1 1 2 Frg. Tembikar 59 18 77 Frg. Keramik 5 5 Alat Batu 1 1 Kalsedon 1 1 Kulit Kemiri 2 2 Tak teridentifikasi 26 1 27 Jumlah Total 566 150 457 1173

Tabel 2.2: Rekapitulasi Temuan Ekskavasi Gua Kidang Tahun 2005 – 2010 Sumber: Indah Asikin Nurani dengan modifikasi penulis

Berikut ini adalah deskripsi stratigrafi kotak S1B6 (lihat gambar 2.3) yang

telah mencapai kedalaman hingga 55 cm:

i. Lapisan 1: Pasir sangat halus

Lapisan ini merupakan lapisan pasir sangat halus dengan ketebalan

antara 3 – 10 cm. Lapisan ini berwarna cokelat kemerahan, memiliki

kekompakan yang sedang, dan tingat porositas sedang. Struktur

sedimennya berupa perlapisan sejajar (parallel laminasi) dengan

tekstur yang agak terbuka. Antar butiran diikat oleh larutan CaCO₃.

Lapisan abu tampak muncul sebagai lensa di lapisan ini dan

menyebar di dinding bagian utara maupun dinding barat. Tingkat

Page 56: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

37

kelembapan lapisan ini cukup tinggi mengingat lokasi kotak galian

yang berada di bagian dalam gua. Lapisan ini menopang secara

tidak selaras di atas lapisan berikutnya.

ii. Lapisan 2: Pasir halus

Pada lapisan ini, ketebalannya kira-kira 15 – 40 cm serta memiliki ciri

megaskopis berwarna cokelat, kekompakan sedang, dan porositas

sedang. Pengingat antar butiran berupa larutan karbonat dengan

struktur sedimen masif. Ukuran butiran berdasarkan skala

wenthworth mengkategorikan lapisan ini sebagai butiran pasir halus.

Tingkat kelembapan sangat tinggi diperkirakan akibat dari air yang

mengalir dair stalaktit aktif yang berada di atas kotak ekskavasi.

Lapisan ini kemungkinan diendapkan oleh media angin dalam

lingkungan bermusim kering. Lapisan ini menumpang selaras di atas

lapisan 3.

iii. Lapisan 2a: Pasir lanauan

Lapisan pasir lanauan ini berwarna cokelat kehitaman, kekompakan

tinggi, porositas kecil dan semen pengikat antar butirannya berupa

larutan CaCO₃. Ukuran butirannya sangat halus.

iv. Lapisan 3: Pasir Lanauan

Ketebalan lapisan ini antara 10 – 30 cm, berwarna cokelat

kehitaman, kekompakan sedang, porositas sedang, dan pengikat

antar butiran berupa larutan karbonat. Struktur sedimen masif,

sedangkan strukturnya agak tertutup. Lapisan pasir lanauan berada

di bawah lapisan 3 yang dibatasi oleh pelapukan endapan CaCO₃

berwarna putih.

Page 57: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

38

Gambar 2.3: Stratigrafi Kotak S1B6 (Sumber: Laporan Penelitian Arkeologi Tahun 2010 oleh Balar Yogyakarta

Page 58: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

39

BAB III

VARIASI JENIS MOLUSKA

TEMUAN GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH

Filum Moluska adalah jenis hewan yang tidak bertulang belakang dan

terkadang memiliki cangkang yang tumbuh diluar tubuh lunaknya. Filum ini

merupakan jenis terbesar kedua yang memiliki banyak spesies, setelah filum

Arthopoda. Kata moluska berasal dari bahasa latin mollis yang berarti lunak.

Moluska dapat diartikan sebagai jenis hewan bertubuh lunak. Cangkang yang

tumbuh di luar tubuh mereka sangat penting terutama untuk membentuk tubuh

lunak mereka menjadi kaku dan tegas. Selain itu pula cangkang moluska digunakan

sebagai pelindung dari ancaman predator.

Pembagian moluska disesuaikan dengan karakter cangkang mereka. Tipe

cangkang itu juga menjadi dasar taksonomi jenis hewan ini. Filum moluska dibagi

menjadi 7 klas, (1) Gastropoda yaitu jenis moluska yang hanya memiliki satu

cangkang, (2) Cephalopoda yaitu moluska yang tidak memiliki cangkang eksterior,

(3) Scaphopoda atau jenis Tusk Shell yaitu cangkang yang tumbuh lurus dan

mengerucut, (4) Bivalvia yaitu jenis moluska yang memiliki 2 buah cangkang yang

dihubungkan semacam engsel lunak sehingga berbentuk seperti katup, (5)

Polyplachopra yaitu jenis moluska yang cangkangnya berbentuk seperti perisai, (6)

Monoplachopora merupakan jenis moluska kerap kali disebut dengan fosil hidup

karena jenis ini tidak mengalami evolusi menjadi moluska modern serta hidup

didasar laut dengan cangkang menyerupai limpet atau sejenis siput, (7)

Aplacophora merupakan jenis moluska yang bentuknya memanjang seperti cacing

laut. Klas Monoplachopora dan Aplacophora merupakan jenis yang sudah langka

Page 59: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

40

ditemukan dan kebanyakan spesiesnya tidak memiliki cangkang (Rosenberg, 2004;

Scheu, 2004).

Filum Moluska terdiri lebih dari 100.000 spesies dan 2.000 spesies yang

sekarang dalam bentuk fosil (Dharma, 1988: 7). Colin Renfrew (1991) menjabarkan

mengenai karakterisitik moluska menjadi 2 jenis yaitu moluska darat dan moluska

laut. Moluska darat memiliki habitat untuk hidup di lingkungan daratan maupun air

tawar. Kalsium karbonat yang terkandung dalam cangkang mereka dapat bertahan

diberbagai jenis tanah dan endapan, terutama pada kondisi alkalin atau basa.

Kerang darat dapat memperlihatkan kondisi lingkungan yang didiami serta sangat

responsif terhadap perubahan iklim yang sifatnya tidak terlalu besar (microclimate).

Walaupun jenis ini sangat peka terhadap perubahan lingkungan namun mereka

bergerak cukup lambat untuk berpindah. Hal ini karena kemampuan moluska darat

untuk menyesuaikan diri. Apabila lingkungan benar-benar berubah menjadi sangat

merugikan bagi koloni barulah mereka perlahan-lahan meninggalkan tempat

tersebut. Suhu dan curah hujan merupakan faktor yang paling berpengaruh

terhadap perkembangbiakan. Sementara itu, ketika jumlah moluska darat menjadi

tidak normal maka dapat diperkirakan bahwa terjadi perubahan lingkungan yang

sangat ekstrem di tempat mereka tinggal. Pada jenis moluska yang memiliki habitat

hidup di air laut memiliki kemampuan untuk mengungkapkan kondisi lingkungan

secara mikro, misalnya habitatnya cenderung berpasir atau berbatu-batu. Seperti

halnya moluska darat, perkembangbiakan jenis moluska air laut dipengaruh pula

oleh suhu dan curah hujan.

Moluska memiliki habitat hidup di air laut, air tawar, air payau hingga

daratan. Hewan ini termasuk jenis binatang yang dapat menyesuaikan diri untuk

dapat bertahan hidup diberbagai tempat dan cuaca. Namun faktor paling penting

Page 60: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

41

dalam pertumbuhan moluska adalah keberadaan Kalsium Karbonat sebagai bahan

utama pembentukan cangkang mereka. Kalsium karbonat merupakan unsur penting

bagi moluska untuk dapat menghasilkan cangkang yang akan awet dalam jangka

waktu yang lama. Kalsium karbonat didapat dari lingkungan sekitar dan jenis

makanan yang dikonsumsi oleh moluska. Tidak heran, beberapa jenis moluska juga

memakan cangkang moluska yang telah mati.

Beberapa jenis moluska juga memakan langsung kapur, sehingga jenis yang

hidup di gua-gua karst cenderung memiliki cangkang yang tebal. Moluska yang

memiliki habitat air laut atau tepian pantai cenderung memiliki cangkang yang jauh

lebih tebal dan ukurannya pun jauh lebih besar dibandingkan dengan moluska air

tawar dan darat. Hal ini disebabkan karena pada habitat pantai atau air laut

kandungan Kalsium Karbonat jauh lebih besar. Zat berasal dari pecahan koral atau

dari terumbu karang. Bentuk moluska air laut pun cenderung besar dan lebih

banyak memiliki ornamen dikarenakan adaptasi lingkungan moluska air laut yang

harus menghadapi gelombang air laut yang besar. Apabila dalam prosesnya

pembentukan cangkang kerang terjadi penurunan jumlah konsentrasi kalsium pada

air laut maka yang berdampak pada proses pengapuran cangkang moluska laut

berakibat cangkang akan cenderung rapuh dan tipis. (Dharma 1988: 22-23 ; Wilbur,

1964 dalam Claassen 1998: 22).

Berbeda dengan moluska air laut yang memiliki cangkang yang cenderung

besar dan tebal, untuk jenis moluska yang memiliki habitat hidup di air tawar

maupun daratan ukurannya jauh lebih kecil dan tipis. Hal ini lebih disebabkan

habitat tempat mereka hidup tidak memiliki kandungan kapur yang tinggi. Meskipun

demikian, pada moluska yang hidup di daerah tanah berkapur akan memiliki

cangkang yang lebih kuat dan tebal dibandingkan dengan jenis yang tinggal di

Page 61: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

42

wilayah minim kandungan kapur. Moluska yang memiliki habitat di air tawar akan

memiliki permukaan cangkang halus karena mendiami lingkungan sungai atau

danau yang memiliki arus air cukup tenang (Dharma, 1988: 22 – 23).

A. TEMUAN MOLUSKA GUA KIDANG

Dalam berbagai penelitian arkeologi, cangkang moluska memiliki nilai

penting yang sangat tinggi sebagai data arkeologi terutama berkaitan dengan kajian

lingkungan masa lampau. Kalsium karbonat yang terkandung pada cangkang

mampu mencegah pengapuran serta dapat bertahan dalam kurun waktu yang

sangat lama. Identifikasi yang dilakukan pada cangkang moluska akan dapat

mengetahui habitat seperti apa tempat mereka berkembang biak.

Dari penggalian di Situs Gua Kidang, temuan dari filum moluska yang

banyak ditemukan berasal dari klas Gastropoda dan Bivalvia. Kedua klas ini dapat

dikategorikan sebagai “shells” atau moluska yang memiliki cangkang eksterior guna

melindungi tubuh lunak mereka. Data yang digunakan pada penelitian ini berupa

temuan cangkang moluska yang berasal dari data ekskavasi dari 2 kotak galian,

yaitu T6S1 dan S1B6 dalam kurun waktu penelitian dari tahun 2005 hingga 2010

(lihat tabel 3.1).

No. Tahun Ekskavasi T1B6 S1B6 Jumlah 1. 2005 305 - 305 2. 2006 118 240 358 3. 2009 802 90 892 4. 2010 39 157 196 Jumlah Total 1264 Fragmen 487 Fragmen 1751 Fragmen

Tabel 3.1: Rekapitulasi Temuan Cangkang Moluska Situs Gua Kidang (Berdasarkan jumlah temuan yang disimpan di Balar Yogyakarta)

Page 62: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

43

1751 fragmen yang dipakai data dalam penelitian ini merupakan jumlah

cangkang kerang yang ada di ruang temuan Balar Yogyakarta pada akhir tahun

2011. Jumlahnya berbeda dengan rekapitulasi karena beberapa cangkang yang

disimpan dan digunakan untuk penelitian lebih lanjut oleh Balar Yogyakarta.

Sehingga pada temuan cangkang moluska pada layer penggalian kedalaman 125 –

130 cm tidak dapat dianalisis karena temuan tersebut tidak berada di tempat

penyimpanannya.

Identifikasi taskonomi pada temuan cangkang moluska tidak semua jenis

diketahui hingga spesies. Hal ini dikarenakan untuk mengetahui spesies dari suatu

fauna dibutuhkan juga ciri-ciri warna dari cangkang. Sementara itu, hampir semua

temuan cangkang moluska yang mengalami pemudaran warna dan mengalami

pelapukan sehingga menyebabkan cangkang cenderung rapuh dan mudah rusak.

Berdasarkan data yang digunakan ini kemudian dilakukan identifikasi

taksonomi Filum Moluska pada temuan cangkang moluska yang ada di Gua Kidang

diketahui bahwa terdapat dua klas, yaitu: Klas Gastropoda dan Klas Bivalvia. Kedua

jenis moluska tersebut ditemukan pada ekskavasi di Gua Kidang dalam jumlah yang

cukup melimpah. Jumlah temuan jenis Bivalvia yang ada jauh lebih banyak apabila

dibandingkan dengan jenis Gastropoda (Lihat grafik 3.1 dan 3.2).

Hasil dari penggalian pada kotak T6S1 dan S1B6 menunjukkan bahwa jenis

moluska dari Klas Gastropoda terlihat banyak ditemukan pada pengupasan awal.

Selanjutnya terjadi penurunan kuantitas temuan jenis ini pada penggalian yang

semakin dalam. Sementara ini untuk temuan moluska Klas Bivalvia cenderung

mengalami peningkatan temuan seiring dengan semakin dalamannya penggalian.

Page 63: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

44

Grafik 3.1: Distribusi Temuan Jenis Moluska Kotak T6S1

Grafik 3.2: Distribusi Temuan Jenis Moluska Kotak S1B6

0

20

40

60

80

100

120

140

p0-

40 c

m40

-60

cm60

-80

cm80

-90

cm90

-95

cm95

-105

cm

105-

110

cm11

0-11

5 cm

115-

120

cm12

5-13

0 cm

130-

135

cm13

5-14

0 cm

140-

145

cm14

5-15

0 cm

150-

160

cm

Jum

lah

Kedalaman (Z)

Gastropoda

Bivalvia

0

20

40

60

80

100

120

140

Jum

lah

Kedalaman (Z)

Gastropoda

Bivalvia

Page 64: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

45

1. GASTROPODA

Pada Filum Moluska, Gastropoda merupakan klas yang memiliki banyak

variasi jenisnya. Separuh lebih dari jumlah hewan Moluska masuk dalam kelompok

hewan dengan ciri memiliki satu buah cangkang eksterior ini. Cangkang Gastropoda

berbentuk spiral dan berfungsi untuk melindungi badannya yang lunak. Tubuh

Gastropoda terdiri dari 4 bagian, yaitu: kepala yang terkadang memiliki tentakel,

kaki, perut dan mantle. Jenis hewan ini merupakan moluska yang bertubuh tidak

simetris. Mantle Gastropoda terletak di bagian depan, apabila badannya tergulung

akan masuk ke dalam cangkang secara spiral ke arah belakang (Dharma, 1988: 22

; Leal, t.t).

Menurut Bunjamin Dharma (1988) klas Gastropoda dibagi dalam 3 sub class

berdasarkan alat pernafas yang dimiliki setiap jenis spesimen. Sub klas

Prosobranchia merupakan kelompok Gastropoda yang bernafas dengan insang.

Kebanyakan jenis ini memiliki operculum atau penutup cangkang yang berguna

untuk mencegah masuknya hewan-hewan kecil ke dalam cangkang. Jenis ini

memiliki satu alat kelamin saja. Sub klas Opisthobranchia merupakan kelompok

Gastropoda yang memiliki insang dibagian belakang tubuhnya. Jenis ini umunya

hidup di laut namun memiliki cangkang yang tipis. Adapula jenis dari kelompok ini

yang tidak memiliki cangkang. Sub klas terakhir yaitu Sub klas Pulmonata.

Kelompok Gastropoda ini memiliki rongga mantle yang juga berfungsi sebagai paru-

paru. Kebanyakan habitat hidupnya di darat. Kelompok ini juga memiliki jenis yang

tidak mempunyai cangkang. Kelompok ini hemaprodit atau memiliki dua jenis

kelamin dalam satu tubuh untuk berkembang biak dan menghasilkan larva telur

mereka.

Page 65: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

46

Gastropoda dapat hidup dalam berbagai jenis lingkungan karena

kemampuan mereka menyesuaikan lingkungan sangat baik. Mereka dapat hidup di

air laut, air tawar seperti di sungai maupun danau, hingga di daratan. Gastropoda

yang berhabitat di daratan sangat menyukai tempat hidup yang memiliki

kelembapan tinggi (Listiawan, 2008). Hewan ini merupakan pemakan tetumbuhan,

buah-buahan, dan terkadang memakan cangkang dari moluska yang sudah mati.

Lingkungan dan jenis makan yang mereka ambil sangat berpengaruh terhadap

pertumbuhan cangkang mereka termasuk menghasilkan warna, ornamen, dan

ketebalan cangkang. Tubuh Gastropoda terbagi dalam beberapa bagian (lihat

gambar 3.1).

Gambar: 3.1: Bagian Cangkang Gastropoda (Sumber: J.H.Leal,t.t: 101)

Bagian paling ujung dari cangkang Gastropoda dinamakan apex, dari sinilah

titik pertumbuhan cangkang dimulai. Bagian atas cangkang yang membentuk

kerucut disebut dengan Spire sementara dibagian bawah badan cangkang yang

Page 66: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

47

juga merupakan putaran terakhir (whorl) disebut dengan body whorl. Suture

merupakan bagian tumbuh yang menyambungkan bagian atas dan bawah

cangkang. Bukaan pada bagian depan dari cangkang Gastropoda disebut dengan

aperture, bagian ini hanya dimiliki oleh moluska bercangkang tunggal saja (Dharma,

1988: 122 – 125; Kuswanto, 2007: 46).

Dari hasil penggalian yang dilakukan oleh Balar Yogyakarta, temuan

cangkang Gastropoda termasuk melimpah ruah. Secara keseluruhan data

Gastropoda yang dipakai berjumlah 612 fragmen (Lihat tabel 3.2). Hasil analisis

taksonomi menunjukkan bahwa temuan Gastropoda di Gua Kidang memiliki varian

jenis beragam. Jenis-jenis tersebut telah dipisah dan diklasifikasi yang kemudian

menghasilkan 6 famili (Lihat grafik 3.3 dan 3.4).

Kotak Teridentifikasi Tak Teridentifikasi Jumlah T6S1 442 52 494 S1B6 69 49 118 Jumlah Total 511 fragmen 101 fragmen 612 fragmen

Tabel 3.2: Rekapitulasi Temuan Gastropoda

Grafik 3.3: Distribusi Famili Gastropoda Kotak T6S1

0

10

20

30

40

50

60

70

p0-

4040

-60

60-8

080

-90

90-9

595

-105

105-

110

110-

115

115-

120

125-

130

130-

135

135-

140

140-

145

145-

150

150-

160

Jum

lah

Kedalaman (Z)

Camaenidae

Pleuroceridae

Cyclophoridae

Helicarionidae

Viviparidae

Tak Teridentifikasi

Page 67: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

48

Grafik 3.4: Distribusi Famili Gastropoda Kotak S1B6

1.1 Camaenidae

Jenis siput ini masuk dalam Klas Gastropoda, Subclass Pulmonata, Order

Stylommatophora, Famili Camaenidae. Penulis melakukan determinasi pada

spesimen ini pada bulan Desember tahun 2011. Famili Camaenidae merupakan

famili yang memiliki jumlah spesimen genus yang sangat banyak. Jenis ini memiliki

cangkang yang umum berukuran besar dan bentuknya bervariasi. Bentuk cangkang

famili ini dextral atau sinistral (Dharma, 1988: 112). Jenis moluska ini merupakan

jenis siput yang hidup di daratan. Biasanya mereka tinggal di rimbunan pepohonan.

Jenis famili Camaenidae yang ditemukan di Gua Kidang hampir sebagian tidak

utuh. Bagian apex hingga spire pada siput ini kebanyakan telah pecah.

Pada ekskavasi Gua Kidang selama ini, pada tiap layer yang dikupas

cenderung selalu menemukan cangkang jenis siput ini. Camaenidae merupakan

jenis Gastropoda yang paling banyak ditemukan di situs ini (Lihat tabel 3.3).

0

5

10

15

20

25Ju

mla

h

Kedalaman (Z)

Camaenidae

Pleuroceridae

Cyclophoridae

Helicarionidae

Viviparidae

Marginelidae

Tak Teridentifikasi

Page 68: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

49

Camaenidae Kotak Jumlah

T6S1 357 S1B6 37 Jumlah Total 394 fragmen

Tabel 3.3: Rekapitulasi Jenis Camaenidae

Grafik 3.5: Distribusi Temuan Camaenidae Kotak T6S1

Grafik 3.6 : Distribusi Temuan Camaenidae Kotak S1B6

0

10

20

30

40

50

60

70

p0-

4040

-60

60-8

080

-90

90-9

595

-105

105-

110

110-

115

115-

120

125-

130

130-

135

135-

140

140-

145

145-

150

150-

160

Jum

lah

Kedalaman (Z)

Camaenidae

0

2

4

6

8

10

12

Jum

lah

Kedalaman (Z)

Camaenidae

Page 69: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

50

Foto 3.1: Famili Camaenidae

Dokumentasi oleh: Ayu Dipta Kirana

1.2 Cyclophoridae

Cyclophoridae merupakan jenis siput darat. Dalam taksonominya, jenis ini

masuk ke dalam Subklas Prosobranchia, Order Mesogastropoda. Cangkang

Cyclophoridae berbentuk kerucut dan umumnya memiliki penebalan dibagian bibir

aperture (Lihat Foto 3.3). Hewan jenis ini biasanya memiliki habitat hidup di tanah.

Beberapa genus dari famili ini hidup menempel di daun atau batang pohon kecil.

Familli Cyclophoridae merupakan jenis siput darat yang tersebar hampir di seluruh

belahan dunia. Hewan ini memiliki kecenderungan untuk hidup di lingkungan yang

bersuhu hangat (Bunjamin Dharma, 1988 ;Pfleger, 1990: 46). Ekskavasi Gua

Kidang hingga tahun 2010 menemukan spesimen jenis Cyclophoridae sebanyak 36

spesimen pada 2 kotak T6S1 dan S1B6 (Lihat Tabel 3.5). Jenis ini ditemukan

merata di hampir tiap layer dengan jumlah yang sedikit.

Cyclophoridae Kotak Jumlah T6S1 31 S1B6 5 Jumlah Total 36

Tabel 3.4: Rekapitulasi Jenis Cyclophoridae

Page 70: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

51

Foto 3.2: Cyclophoridae

Dokumentasi oleh: Ayu Dipta Kirana

1.3 Helicarionidae

Jenis siput ini masuk dalam Klas Gastropoda, Subclass Pulmonata, Order

Stylommatophora, Famili Helicarionidae. Cangkang siput ini yang ditemukan pada

penggalian ini cenderung memiliki ukuran yang kecil. Bibir aperture pada cangkang

umumnya tidak memiliki penebalan sehingga bagian tersebut sangat tajam (lihat

foto 3.3). Helicarionidae adalah jenis siput yang hidup di darat (Dharma, 1992: 106).

Pada penggalian di Gua Kidang hingga tahun 2010, temuan gastropoda

pada jenis ini cenderung ditemukan dalam keadaan utuh. Jenis siput ini cenderung

ditemukan pada lapisan teratas dari tiap kotak. Temuan Helicarionidae yang dapat

teridentifikasi berjumlah 26 spesimen (Lihat tabel 3.5)

Helicarionidae Kotak Jumlah

T6S1 23 S1B6 3 Jumlah Total 26

Tabel 3.5: Rekapitulasi Temuan Helicarionidae

Page 71: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

52

Foto 3.3: Helicarionidae

Dokumentasi: Ayu Dipta Kirana

1.4 Pleuroceridae

Determinasi temuan moluska jenis Gastropoda ini dilakukan dengan

membandingkan hasil temuan kerang dari penelitian di Song Jebreng pada tahun

2006 yang dilakukan oleh Gregorius Kuswanto dalam penggalian yang dilakukan

bertujuan untuk mengetahui pola adaptasi penghuni Song Jebreng dan komunitas di

pesisir Jawa. Diketahui bahwa jenis ini masuk kedalam famili Pleuroceridae.

Menurut Encyclopedia Britanica (2007) yang dikutip oleh Kuswanto (2007: 32),

Pleuroceridae memiliki cangkang yang memelintir sehingga berbentuk kerucut.

Ukurannya kecil dan meruncing pada bagian spire (Lihat Foto 3.4). Selain itu pula

Gastropoda ini merupakan berhabitat hidup di air tawar dan biasanya bertempat

tinggal di sungai dan danau. Meskipun demikian, ada pula jenis yang dapat hidup di

air payau. Biasanya jenis ini hidup di tempat berpasir dan ada pula yang tinggal di

tempat berlumpur serta menempel pada akar bakau.

Ekskavasi Gua Kidang hingga tahun 2010 menemukan sejumlah spesimen

dari Pleuroceridae. Pada kotak T6S1 dan S1B6 ditemukan jenis siput ini sebanyak

65 spesimen (Lihat Tabel 3.6). Pleuroceridae ditemukan pada tingkat kedalaman

yang bervariasi.

Page 72: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

53

Pleuroceridae Kotak Jumlah

T6S1 28 S1B6 21 Jumlah Total 49

Tabel 3.6: Rekapitulasi Jenis Pleuroceridae

Grafik 3.7: Distribusi Temuan Pleuroceridae Kotak T6S1

Grafik 3.8: Distribusi Temuan Pleuroceridae Kotak S1B6

0

1

2

3

4

5

6

7

8

p0-

4040

-60

60-8

080

-90

90-9

595

-105

105-

110

110-

115

115-

120

125-

130

130-

135

135-

140

140-

145

145-

150

150-

160

Jum

lah

Kedalaman (Z)

Pleuroceridae

0

2

4

6

8

10

12

14

Jum

lah

Kedalaman (Z)

Pleuroceridae

Page 73: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

54

Foto 3.4: Pleuroceridae

Dokumentasi oleh: Ayu Dipta Kirana

1.5 Marginellidae

Marginellidae merupakan jenis kerang laut. Pada umumnya, gastropoda ini

memiliki ukuran cangkang yang kecil dan sangat mengkilap. Bentuknya memanjang

dan memiliki 3 – 5 lipatan pada bagian columella serta tidak memiliki operculum.

Kerang laut ini dapat berkembang biak dengan baik pada habitatnya yaitu perairan

tropis yang hangat. Mereka tinggal di pasir, di bawah batu atau menempel di

ganggang (Dance, 1992: 178; Dharma, 1992: 58).

Berdasarkan determinasi penulis, temuan kerang jenis ini merupakan

spesies Marginella ventricosa. Sebaran spesies ini yaitu di Laut Jawa dan Selat

Karimata. Jenis ini mudah ditemukan pada daerah persebarannya. Hasil ekskavasi

Gua Kidang hingga tahun 2010 menunjukkan jumlah temuan kerang laut jenis ini

berjumlah dua buah. Temuan kerang laut ini merupakan artefak karena terdapat

sebuah lubang pada bagian tengah cangkang. Kemungkinan kerang laut ini

merupakan artefak perhiasan (lihat foto 3.5).

Ekskavasi Gua Kidang menemukan spesimen Marginelidae berjumlah 2

buah cangkang, di kotak S1B6 pada kedalaman antara 10 – 15 cm dan 50 – 55 cm.

Page 74: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

55

Marginelidae Kotak Kedalaman Jumlah

S1B6 10 – 15 cm 1 50 – 55 cm 1

Jumlah Total 2 Tabel: 3.7. Distribusi Temuan Cangkang Marginelidae

Foto 3.5: Marginellidae

Dokumentasi oleh: Ayu Dipta Kirana

1.6 Viviparidae

Famili Viviparidae merupakan kelompok jenis siput yang sering dijumpai di

sungai-sungai. Gastropoda ini masuk dalam subclass Prosobanchia yang

menyebabkan kelompok hewan ini memiliki operculum. Ukuran cangkangnya cukup

besar, apabila dibandingkan dengan jenis siput air tawar lainnya. Cangkangnya tipis

berwarna cokelat kehijauan. Cangkangnya mudah dikenali dari 3 garis gelap yang

membujur pada bagian badan whorl (Lihat Foto 3.6). Jenis siput ini sungai ini dapat

bertahan hidup pada daerah kering dengan cara menutup tubuhnya dengan

operculum. Viviparidae hidup dengan memakan ganggang segar atau sampah

organis yang ada di lumpur. Siput ini memiliki kelebihan dalam bertahan hidup pada

kondisi air yang tercemar maupun iklim yang tidak baik (Pfeleger, 1990:48).

Page 75: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

56

Ekskavasi Gua Kidang hingga tahun 2010 telah menemukan jenis

Viviparidae pada kedua kotak T6S1 dan S1B6 berjumlah total 5 buah. Jenis siput ini

ditemukan pada permukaan kotak dan pada lapisan teratas saja (Lihat tabel 3.8).

Viviparidae Kotak Kedalaman Jumlah

T6S1 Permukaan (P) 2 0 – 40 cm 1

S1B6 0 – 5 cm 1 Jumlah Total 4

Tabel 3.8: Distribusi Cangkang Viviparidae

Foto 3.6: Viviparidae

Dokumentasi Oleh: Ayu Dipta Kirana

2. BIVALVIA

Klas Bivalvia merupakan kelompok jenis terbanyak kedua setelah

Gastropoda pada Filum Moluska. Kelompok jenis ini memiliki tidak kurang dari

10.000 spesies dimana kebanyakan adalah jenis kerang air laut sementara sisanya

meurpakan jenis yang hidup di air tawar (Gabbi, 1999: 22). Bivalvia merupakan jenis

moluska yang memiliki 2 tangkup atau cangkang yang simetris maupun asimetris

(lihat gambar 3.2). Badannya terdiri dari kaki, hewan ini tidak memiliki kepala, mata

dan randula namun memiliki sepasang siphon, dan insang. Kedua cangkang

Bivalvia dihubungkan oleh semacam engsel yang disebut dengan ligament.

Page 76: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

57

Terdapat pula otot adductor yang memiliki kemampuan untuk membuka dan

menutup cangkang. Bagian pinggiran cangkang disebut dengan margin selain itu

pada apex kerang terdapat sebuah umbu (Claassen, 1998: 18; Dharma, 1988:8).

Gambar 3.2: Bagian Cangkang Bivalvia Sumber: J.H. Leal, t.t:27 dengan modifikasi penulis

Di bagian dalam cangkang kerang ini terdapat mantle yang memiliki peran

penting dalam pembentukan struktur serta warna cangkang. Zat lain yang penting,

selain kalsium karbonat pada pembentukan cangkang adalah Conchiolin yang

berupa lapisan tipis yang menghasilkan bagian mengkilap pada tubuh bagian dalam

cangkang yang biasa disebut dengan lapisan mutiara pada kerang (Dharma,

1988:23). Umur kerang dapat dilihat dari alur-alur pada cangkang luarnya seperti

menghitung umur pohon.

Bivalvia ada yang hidup di air laut maupun air tawar. Biasanya mereka hidup

dengan membenamkan diri mereka ke dalam pasir maupun lumpur, ada pula yang

menempel di batu-batu karang, hingga menempel pada akar pohon bakau. Dengan

adanya perbedaan lingkungan habitat mereka tinggal, terdapat pula karakterisitik

dari masing-masing jenis kerang tersebut yang dapat merepresentasikan kondisi

lingkungan tempat mereka tinggal.

Hasil temuan dari ekskavasi di Gua Kidang hingga tahun 2010 menunjukan

bahwa temuan kerang jenis Bivalvia sangat melimpah (Lihat tabel 3.9). Determinasi

Page 77: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

58

taksonomis dilakukan juga pada Bulan Desember 2011 hingga Januari 2012.

Identifikasi penentuan taxa jenis Bivalvia dilakukan di Laboratorium Taksonomis

Hewan, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada di bawah bimbingan Donan

Satria Yudha S. Si, M. Sc yang bertindak sebagai laboran. Hasil identifikasi

taksonomi klas Bivalvia dapat diketahui ada dua jenis Famili Bivalvia, yaitu:

Donacidae dan Unionidae (lihat grafik 3.5 dan 3.6).

Kotak Teridentifikasi Tak Teridentifikasi Jumlah T6S1 360 410 770 S1B6 196 173 369 Jumlah Total 556 fragmen 583 fragmen 1139 fragmen

Tabel 3.9: Rekapitulasi Temuan Bivalvia

Grafik 3.9: Distribusi Variasi Jenis Bivalvia Kotak T6S1

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

p0-

4040

-60

60-8

080

-90

90-9

595

-105

105-

110

110-

115

115-

120

125-

130

130-

135

135-

140

140-

145

145-

150

150-

160

Jum

lah

Kedalaman (Z)

Unionidae

Tak Teridentifikasi

Page 78: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

59

Grafik 3.10: Distribusi Variasi Jenis Bivalvia Kotak S1B6

2.1 Donacidae

Famili Donacidae atau sering disebut juga dengan kerang Donax adalah

kerang laut. Berbagai jenis kerang ini tersebar luas ke seluruh penjuru dunia.

Cangkangnya berbentuk segitiga dan padat dan memiliki umbu yang sangat dekat

dengan bagian akhir dari sebuah cangkang (lihat gambar 3.3). Ligament nya

pendek, memiliki dua gigi cardinal ditiap tangkup cangkang. Bagian pallial sinus

menjorok sangat dalam dan luar (Lihat Foto 3.7). Umumnya kerang ini berukuran 2

– 4 cm dengan cangkangnya yang tebal khas kerang laut. Kerang ini tinggal di

pantai yang berpasir maupun berlumpur dengan cara menggali dan membenamkan

tubuhnya. Mereka cenderung dapat hidup di perairan yang hangat dan tenang.

Jenis ini merupakan kerang laut yang dapat dikonsumsi (Dance, 1992: 237; Gabbi,

1999: 164).

Pada ekskavasi di Gua Kidang pada tahun 2010, cangkang jenis kerang

Donacidae ditemukan satu buah di kotak S1B6 pada kedalaman antara 45 – 50 cm

(Lihat tabel 3.10). Cangkang Donacidae ini tampak terpotong pada bagian

0

20

40

60

80

100

120

p

0-5

5-10

10-1

5

15-2

0

20-2

5

25-3

0

30-3

5

35-4

0

40-4

5

45-5

0

50-5

5

Jum

lah

Kedalaman (Z)

Unionidae

Donacidae

Tak Teridentifikasi

Page 79: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

60

badannya. Serta pada bagian separuh bagian gigi anteriornya terpotong sehingga

cukup menyulitkan dalam determinasi jenis famili. Namun 2 gigi kardinal pada

bagian atas cangkang menunjukkan ciri khas kerang jenis Donacidae.

Donacidae

Kotak Kedalaman Jumlah

S1B6 45 – 50 cm 1

Jumlah Total 1 Tabel 3.10: Distribusi Cangkang Donacidae

Foto 3.7: Famili Donacidae

Dokumentasi Oleh: Ayu Dipta Kirana

Gambar 3.3: Bentuk Donacidae Utuh Sebagai Pembandingan

Sumber: Sumber: J.H. Leal, t.t:53

Page 80: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

61

2.2 Unionidae

Famili Unionidae merupakan temuan paling mendominasi dari setiap layer

yang digali. Baik temuan yang mengindikasikan artefak maupun ekofak sisa

sampah. Unionidae memiliki cangkang yang simetris, pada bagian dalam cangkang

terdapat lapisan tipis Conchiolin yang menyebabkan berkilau seperti mutiara, serta

memiliki umbu yang nampak jelas. Pada umumnya jenis ini memiliki dua gigi

cardinal dan dua gigi lateral di tangkup cangkang sebelah kiri. Di tangkup cangkang

bagian kanannya memiliki satu gigi cardinal dan satu gigi lateral (Pfleger, 1990:

176).

Unionidae merupaka kerang yang tinggal di air tawar. Biasanya jenis kerang

ini dapat ditemukan di sungai, danau atau rawa. Mereka hidup membenamkan diri

di tempat berlumpur atau berpasir untuk menyembunyikan diri. Cangkang Unionidae

tipis dengan ukuran yang beragam mulai dari kecil hingga besar. Hal tersebut

kemungkinan terjadi karena lingkunga tempat hidupnya. Apabila lingkungan tempat

tinggal di tempat yang mengandung kapur tinggi maka pertumbuhan cangkang akan

menjadi sangat besar. Kerang air tawar ini cenderung memilih tempat hidup di

perairan yang tenang dengan arus yang konsisten. Ini pula yang menyebabkan

cangkang pada kerang air tawar cenderung memiliki struktur yang agak rapuh.

Kondisi yang tenang membuat mereka beradaptasi dengan mudah.

Pada ekskavasi Gua Kidang, cangkang kerang Unionidae merupakan

temuan kerang yang paling banyak ditemukan diberbagai layer. Jenis ini ditemukan

kotak T6S1 dan S1B6 dalam jumlah besar (lihat tabel 3.11). Cangkang Unionidae

ditemukan sebagian masih dalam kondisi yang utuh sementara tak sedikit yang

sudah menjadi fragmen atau secara dengan sengaja dipecah. Cangkang kerang

Page 81: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

62

dipotong pada bagian badan secara vertikal namun ada pula cangkang yang

terpotong menyesuaikan dengan alur-alur umur pada bagian badannya.

Temuan Unionidae di Gua Kidang memiliki ukuran bervariasi namun rata-

rata panjang tubuhnya sekitar 4 – 6 cm. Namun tidak sedikit yang memiliki ukuran

tubuh lebih besar hingga mencapai 9 – 10 cm (lihat foto 3.8). Hal tersebut bisa

disebabkan karena lingkungan tempat jenis itu hidup memiliki kandungan karbonat

yang tinggi sehingga menyebabkan kerang dapat tumbuh besar menyerupai jenis

kerang dengan habitat di air laut. Biasanya Unionidae yang berukuran besar

bertempat tinggal di kondisi perairan yang payau atau rawa-rawa.

Hasil identifikasi cangkang Unionidae yang dilakukan di Laboratorium

Taksonomi Hewan, Fakultas Biologi, UGM menunjukkan bahwa adanya 2 genus

yaitu Lamelliden Simpson (1900) dan Elliptio Rafinesque (1819).

Foto 3.8: Unionidae

Dokumentasi oleh: Ayu Dipta Kirana

Unionidae Kotak Jumlah T6S1 360 S1B6 195 Jumlah Total 555

Tabel 3.11: Rekapitulasi Cangkang Unionidae

Page 82: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

63

Grafik 3.11: Distribusi Temuan Unionidae Kotak T6S1

Grafik 3.12: Distribusi Temuan Unionidae Kotak S1B6

0

10

20

30

40

50

60

70

p0-

4040

-60

60-8

080

-90

90-9

595

-105

105-

110

110-

115

115-

120

125-

130

130-

135

135-

140

140-

145

145-

150

150-

160

Jum

lah

Kedalaman (Z)

Unionidae

0

10

20

30

40

50

60

70

Jum

lah

Kedalaman (Z)

Unionidae

Page 83: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

64

BAB IV

STRATEGI ADAPTASI KOMUNITAS PENGHUNI

GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH

Masa prasejarah merupakan periode masa dengan kehidupan paling

sederhana dalam sejarah kehidupan manusia. Tahapan evolusi budaya pada

periode ini ialah manusia hidup dengan bergantung pada lingkungan tempatnya

tinggal. Keberlangsungan hidup suatu kelompok manusia ditentukan oleh sumber

daya alam dari lingkungan sekitar. Oleh sebab itulah, lingkungan memiliki peran

penting dalam menghasilkan sebuah kebudayaan. Manusia adalah makhluk hidup

yang diberi kemampuan untuk beradaptasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

Luring, adaptasi memiliki arti penyesuaian terhadap lingkungan, pekerjaan dan

pelajaran. Dalam proses penyesuaikan diri manusia akan membentuk suatu pola

perilaku tertentu yang disebut dengan strategi adaptasi. Menurut Martias (2009),

strategi adaptasi adalah suatu proses untuk mengatasi berbagai permasalahan

yang ada di lingkungan alam, budaya, dan ekonomi dalam rangka memenuhi

kebutuhan pokok demi keberlangsungan hidup.

Strategi adaptasi manusia pada masa prasejarah biasanya selalu

berhubungan dengan teknologi, subsistensi, dan ekonomi. Aspek ekonomi manusia

saat itu merupakan rangkaian kegiatan menyingkapi alam untuk memperoleh

makanan dengan pengeluaran energi seminimal mungkin (Cristiana, 2005: 113).

Upaya memperoleh kebutuhan pangan ini akan berujung pada suatu bentuk

karakter budaya. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa, usaha

pemenuh kebutuhan panganlah yang akan membentuk kebudayaan dari suatu

komunitas.

Page 84: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

65

Dalam pemenuhan kebutuhan pangannya, komunitas penghuni Gua Kidang

melebarkan daya jelajah ke wilayah sekitar tempat mereka tinggal untuk

memperoleh makanan. Berdasarkan dari berbagai temuan yang ada di Situs Gua

Kidang, dapat diketahui bahwa manusia pada masa itu mengeksploitasi pangan

baik fauna darat maupun fauna akuatik. Temuan rangka berbagai macam fauna di

Gua Kidang antara lain rangka dari bagian Bovidae, Cervidae, dan Macaca

mengindikasikan bahwa mereka mengkonsumsi hewan-hewan tersebut. Fauna

tersebut dapat merepresentasikan jenis kondisi alam yang stabil. Mereka hidup

dengan habitat hutan alam terbuka dengan iklim tropik moonson. Fauna tersebut

terpenuhi kebutuhan konsumsinya sebagai hewan herbivora dengan lingkungan

alam yang ditumbuhi oleh jenis flora-flora dan juga sumber daya air yang

mendukung keberlangsungan hidup fauna tersebut.

Selain mengkonsumsi fauna mamalia, komunitas penghuni Gua Kidang juga

terbukti mengeksploitasi fauna akuatik seperti kura-kura dan tentu saja moluska.

Temuan moluska di Gua Kidang menunjukkan jumlah yang sangat banyak, hampir

sebanding dengan temuan tulang belulang fauna darat. Hal ini mengindikasikan

bahwa jenis moluska merupakan salah satu jenis fauna yang dikonsumsi secara

kontinyu oleh komunitas penghuni Gua Kidang.

A. PEMANFAATAN MOLUSKA OLEH KOMUNITAS PENGHUNI

GUA KIDANG

Moluska merupakan hewan invertebrata yang memiliki beragam jenis

dengan tempat hidup mereka yang bervariasi. Moluska dapat hidup di jenis

lingkungan daratan, air tawar seperti di sungai atau danau, air payau seperti di

Page 85: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

66

rawa-rawa hingga di air laut dengan dasar samudera yang gelap. Hewan berukuran

kecil ini memiliki daya tahan yang sangat baik terhadap berbagai perubahan

lingkungan tempatnya hidup. Oleh karena ini kemelimpahan suatu moluksa dapat

menunjukkan bahwa jenis fauna ini dapat berkembang biak dalam lingkungan yang

stabil dan jauh dari polusi baik udara maupun air. Pertumbuhan moluska sangat

dipengaruhi oleh suhu dan curah hujan, temperatur air tempat ia tinggal, kadar

garam, dan tentunya keberadaan kapur dalam lingkungan tempat hidupnya. (Wilbur

1976:100 dalam Claassen 1998: 25).

Nilai gizi yang terkandung pada moluska, seperti siput dan kerang, sangat

baik. Dagingnya memiliki kandungan protein yang sangat tinggi (Dharma, 1989:3),

selain juga kandungan kalsium karbonat sehingga jenis pangan ini dapat menjadi

subtitusi pangan daging mamalia apabila komunitas penghuni Gua Kidang tidak

bisa mendapatkan fauna-fauna darat sebagai bahan pangan pokok. Selain itu pula,

sisa cangkang moluska dapat dimanfaatkan kembali sebagai peralatan yang

berguna untuk membantu aktivitas harian. Kelebihan yang dimiliki oleh moluska

inilah yang menyebabkan komunitas penghuni Gua Kidang menjadikannya sebagai

salah satu sumber bahan ekonomi pokok selain fauna-fauna besar. Pemilihan

moluska sebagai bahan pangan didasarkan pada pemikiran logis mengenai tempat

pengambilan bahan, kemudahan akses untuk memperoleh sumber tersebut, dan

ketersediaan sumber daya moluska yang bisa diperoleh pada waktu-waktu tertentu.

Sumber daya moluska yang dieksploitasi oleh komunitas Penghuni Gua

Kidang telah dibahas dalam bab analisis dalam tulisan ini. Analisis taksonomi

moluska berdasarkan cangkang yang ditemukan dapat mengetahui habitat tempat

hidup berbagai jenis moluska yang dieksploitasi. Dari hasil determinasi taksonomi

Page 86: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

67

yang dilakukan, dapat diketahui terdapat 7 famili dari klas Gastropoda dan 2 famili

dari klas Bivalvia (lihat tabel 4.1 dan 4.2).

Dapat diketahui bahwa keberadaan jenis cangkang moluska yang memiliki

habitat berupa jenis Gastropoda seperti bekicot dan siput pohon. Jenis-jenis ini

tempat hidup di pepohonan tanah yang lembap dan rerumputan. Jenis

Helicarionidae, Cyclophoridae, dan Pleuroceridae kebanyakan muncul hingga

kedalaman penggalian kotak ekskavasi sekitar 100 cm namun sesudahnya tidak

begitu banyak cangkang yang ada.

Sementara itu, untuk moluska yang hidup di air tawar yang ditemukan di

Situs Gua Kidang ini, antara lain adalah Pleuroceridae yang termasuk dalam klas

Gastropoda. Spesimen ini memiliki habitat di sungai atau danau. Mereka juga bisa

hidup menempel pada akar pohon bakau di daerah rawa-rawa. Sementara itu, jenis

moluska air tawar lainnya merupakan klas Bivalvia yang juga sering disebut dengan

kerang. Kerang air tawar jenis Unionidae biasa hidup di dasar sungai yang

cenderung tidak berarus deras. Mereka akan hidup berkembang biak dengan baik

dalam kondisi air yang tenang. Kandungan kapur dalam air sungai pada sungai-

sungai yang dijadikan tempat eksploitasi nampaknya cukup tinggi, sehingga

cangkang Unionidae yang ada berukuran cukup besar dan kokoh. Jenis kerang air

tawar ini merupakan cangkang moluska yang banyak ditemukan pada penggalian

situs Gua Kidang. Cangkang Uniondae terdapat di hampir setiap lapisan tanah yang

diekskavasi.

Tampaknya jenis kerang air tawar ini merupakan moluska yang paling

banyak dikonsumsi karena dari perkiraan awal hunian hingga akhir hunian,

cangkang ini selalu ada. Naik turun jumlah temuan kemungkinan disebabkan oleh

musim yang berpengaruh terhadap sungai tempat Unionidae ini hidup.

Page 87: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

68

Tabel 4.1: Habitat Temuan Moluska Kotak T6S1

Kedalaman Famili Camaenidae Pleuroceridae Cyclophoridae Helicarionidae Viviparidae Unionidae

p 3 1 - - 2 - 0-40 cm 51 3 8 1 1 31

40-60 cm 18 - - - - 9 60-80 cm 44 - - - - 24 80-90 cm 39 2 1 2 - 63 90-95 cm 29 - 3 6 - 24 95-105 cm 62 1 10 2 - 38

105-110 cm 29 1 1 3 - 23 110-115 cm 9 - - - - 36 115-120 cm 20 1 2 - - 20 125-130 cm 22 6 - 5 - - 130-135 cm 23 7 - 3 - 41 135-140 cm 5 5 - - - 15 140-145 cm 2 - 2 1 - 5 145-150 cm - 1 2 - - 19 150-160 cm 1 - 2 - - 12

Jumlah Temuan 357 28 31 23 3 360

Siput hidup di darat

Siput hidup di air tawar

Kerang hidup di air tawar

Page 88: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

69

Tabel 4.2: Habitat Temuan Moluska Kotak S1B6

Kedalaman Famili Camaenidae Pleuroceridae Cyclophoridae Donacidae Helicarionidae Marginelidae Unionidae Viviparidae

p - - - - - - - - 0-5 cm - 2 - - - - - 1

5-10 cm 3 2 - - - - 1 - 10-15 cm - - - - - 1 9 - 15-20 cm 1 - 4 - - - 11 - 20-25 cm 2 1 - - - - 18 - 25-30 cm 11 13 - - - - 31 - 30-35 cm 3 - - - 1 - 30 - 35-40 cm 5 - - - - - - - 40-45 cm 9 3 1 - 2 - 61 - 45-50 cm - - - 1 - - 21 -

50-55 cm 3 - - - - 1 13 -

Jumlah Temuan 37 21 5 1 3 2 195 1

Siput hidup di darat

Kerang hidup di laut

Siput hidup di air tawar

Kerang hidup di air tawar

Page 89: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

70

Untuk moluska yang berhabitat di air laut, berupa jenis Gastropoda dan

Bivalvia. Gastropoda air laut merupakan masuk dalam famili Marginelidae.

Spesimen ini hidup dalam habitat pesisir dan membenamkan diri dalam pasir pantai.

Menurut Bunjamin Dharma (1992), Marginelidae merupakan jenis kerang laut yang

banyak ditemuakan di pesisir utara laut Jawa. Spesimen Marginelidae ini hanya

ditemukan 2 buah saja hingga penggalian tahun 2010. Sementara untuk jenis

Bivalvia yang memilii tempat hidup di pesisir pantai adalah famili Donacidae. Kerang

jenis ini kebanyakan tinggal di perairan tropis. Mereka hidup dengan membenamkan

diri di dalam pasit pantai. Spesimen Donacidae ditemukan berjumlah 1 buah pada

kedalaman 50 – 55 cm yang berupa lapisan pasir lanau yang berwarna cokelat

kehitaman dan berasosiasi dengan temuan fragmen tembikar.

1. Moluska sebagai sumber bahan pangan

Pengolahan moluska untuk dimakan memerlukan teknik tertentu, terutama

untuk membuka cangkangnya. Setiap jenis moluska memiliki caranya tersendiri

untuk dikonsumsi oleh manusia. Ada cangkang yang mudah dibuka, harus dibuka

dengan pemanasan terlebih dahulu namun ada pula jenis yang harus dipecah

cangkangnya agar dapat memperoleh daging kerang (Kuswanto, 2007: 119).

Dari grafik yang telah ada pada bab sebelumnya (grafik 3.2), menunjukkan

Famili Camaenidae dari Klas Gastropoda serta famili Unionidae dari klas Bivalvia

mendominasi temuan cangkang moluska yang ada di Gua Kidang. Kedua spesimen

tersebut dapat ditemukan pada lapisan-lapisan tanah yang dikupas pada tiap

penggalian.

Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, moluska merupakan sumber

bahan pangan yang memiliki nilai gizi dan dapat memenuhi nutrisi bagi tubuh

Page 90: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

71

manusia. Dari jumlah dan cara eksploitasi cangkang Camaenidae dan Unionidae

menunjukkan bahwa kedua spesimen tersebut merupakan jenis moluska yang

paling banyak dikonsumsi oleh komunitas penghuni Gua Kidang.

Untuk jenis Gastropoda seperti Camaenidae, cangkang pada bagian atas

(whorl) harus dipecah terlebih dahulu agar mudah memperoleh dagingnya dengan

cara mencuil daging yang menggunakan semacam alat lancipan berukuran kecil.

Hal tersebuh dapat terlihat pada Camaenidae temuan Gua Kidang banyak

ditemukan cangkang-cangkang yang pecah pada bagian apex. Hal tersebut menjadi

dugaan yang sangat kuat bahwa Camaenidae dikonsumsi dalam jumlah yang tidak

sedikit.

Viviparidae merupakan temuan jenis Gastropoda yang memiliki operculum

untuk menutup cangkang. Sehingga diperkirakan untuk mengkonsumsi jenis

Gastropoda seperti Cylophoridae atau Helicarionidae yang tidak memiliki

operculum, cukup dengan menggunakan alat seperti lancipan yang kecil untuk

mencungkil daging siput tersebut. Kerang Bivalvia jenis air tawar seperti Unionidae,

untuk membuka cangkangnya cukup relatif mudah. Kerang Unionidae merupakan

jenis kerang yang hidup di air tawar sehingga menyebabkan cangkang yang

dimilikinya tidak tebal seperti kerang air laut pada umumnya. Cangkang Unionidae

cukup mudah dibuka hanya mencungkil saja dengan alat untuk mendapatkan

dagingnya. Apabila beberapa ada jenis kerang Unionidae yang sulit untuk dibuka

cangkangnya, maka dilakukan pemangkasan pada bagian cangkang. Untuk

memudahkan, pemangkasan mengikuti bagian sutura atau bagian alur dari

cangkang. Pemangkasan cangkang juga bisa dilakukan dengan cara memotong

secara vertikal badan.

Page 91: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

72

2. Moluska sebagai sumber bahan baku

Kelebihan moluska terdapat pada bagian cangkangnya yang keras dan awet

selama puluhan ribu tahun. Cangkang moluska ini juga digunakan sebagai data

yang penting dalam setiap penelitian arkeologi terutama yang berkaitan dengan

kajian lingkungan. Cangkang moluska memiliki kandungan kalsium karbonat yang

dapat bertahan tidak mengalami pelapukan. Bahan seperti ini sangat ideal

digunakan oleh manusia saat itu untuk dijadikan alat yang berguna bagi aktivitas

memperoleh makanan.

Setelah dagingnya dikonsumsi maka bekas sisa cangkang yang menjadi

sampah didaur ulang kembali untuk dimanfaatkan. Cangkang moluska kemudian

menjadi sumber bahan baku untuk dikerjakan menjadi alat, seperti pada di Situs

Gua Kidang. Jenis cangkang moluska yang banyak dipakai kembali adalah

cangkang dari kerang Unionidae. Setelah dikonsumsi, cangkang Unionidae di pakai

kembai menjadi alat seperti serut atau lancipan. Cangkang dipotong menjadi fraktur

concoidal (mengikuti alur cangkang) dan kemudian dipangkas untuk mendapatkan

sisi yang tajam untuk menjadi alat serut. Sementara itu, artefak alat seperti lancipan,

cangkang dipotong bagian sutura dan dipertajam pada salah satu sisinya.

Sementara itu, terdapat hal menarik dari temuan cangkang moluska yang

ditemukan di Situs Gua Kidang. Temuan cangkang moluska yang memiliki habitat

hidup di laut diperkirakan tidak dikonsumsi. Hal tersebut melihat dari kuantitas

temuan cangkang Marginelidae yaitu jenis Gastropoda dengan ukuran yang sangat

kecil, dan tidak ideal untuk dikonsumsi mengingat ukuran daging kerang yang juga

pasti berukuran kecil. Sementara itu, cangkang kerang laut Donacidae ditemukan

hanya satu tangkup (valve) saja, sehingga kemungkinan moluska-moluska jenis ini

Page 92: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

73

didapatkan tidak untuk dimakan melainkan dipakai sebagai sumber bahan baku

alat.

Pada badan cangkang Marginelidae terdapat sebuah lubang kecil pada

bagian badannya (lihat foto 3.5). Lubang tersebut dibuat hingga menembus kedua

sisi cangkang, hal dapat menjadi dasar asumsi bahwa cangkang Marginelidae

berlubang karena dibuat oleh manusia bukan dilubangi oleh sejenis hewan

pengerat. Kedua buah temuan Marginelidae dari penggalian Gua Kidang memiliki

lubang yang serupa. Ada kemungkinan cangkang moluska tersebut dijadikan

artefak semacam alat perhiasan.

Cangkang kerang air laut jenis Donacidae berukuran cukup besar. Cangkang

dipangkas pada bagian badan dan menyisakan sisa pada bagian tepi atas tempat

umbu dan engsel berada. Terdapat upaya memodifikasi cangkang pada bagian

margin pada pinggirannya yang dipangkas. Temuan cangkang Donacidae sejauh ini

hanya ditemukan satu buah fragmen tidak utuh pada penggalian di Situs Gua

Kidang.

B. REKONSTRUKSI JELAJAH DAN ADAPTASI KOMUNITAS PENGHUNI

GUA KIDANG

Subsistensi adalah cara-cara tertentu dari manusia untuk menyambung

hidup. Cara-cara untuk mengumpulkan jenis bahan pangan tertentu, model

perburuan dan waktu-waktu tertentu untuk berburu pada setiap komunitas manusia

prasejarah tentu berbeda satu dengan yang lain. Hal tersebut berkaitan juga dengan

lingkungan tempat mereka hidup. Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia Luring,

lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan

Page 93: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

74

makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kehidupan

dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Maka disimpulkan dengan

kondisi lingkungan hidup tertentu akan menghasilkan suatu ekosistem yang memiliki

ciri-ciri tersendiri. Dalam suatu ekosistem, suhu, dan iklim suatu tempat akan

mempengaruhi tumbuh kembang berbagai jenis tetumbuhan. Keberadaan jenis-

jenis flora sangat penting bagi keberlangsungan hidup fauna pemakan tumbuhan.

Fauna herbivora ini kemudian menjadi makanan bagi fauna karnivora dan manusia.

Siklus hidup tersebut berlangsung secara kontinyu membentuk suatu sistem rantai

makanan. Apabila dalam salah satu komponen terganggu keseimbangannya maka

siklus hidup suatu ekosistem akan terganggu dan berubah.

Dalam suatu sistem ekologi tersebut, manusia akan masuk menjadi makhluk

predator atau memangsa makhluk hidup lain terutama hewan untuk konsumsi

pangan mereka. Kebutuhan untuk mengkonsumsi hewan sebagai bahan pangan

adalah salah satu upaya manusia untuk menyambung hidup juga disebut dengan

kegiatan subsistensi.

Model subsistensi manusia pada masa prasejarah lebih ditekankan pada

cara beradaptasi dengan lingkungan tempat mereka hidup. Ini terjadi karena

manusia pada masa itu sangat bergantung dengan apa yang disediakan oleh alam

dan lingkungan mereka untuk memenuhi kebutuhan pangan hingga tempat tinggal.

Pada strategi untuk memenuhi kebutuhan ekonomis dalam suatu kelompok

masyarakat berburu meramu terdapat salah satu model strategi subsistensi yang

diungkapkan oleh Michael A. Jochim (1976; 1981), atau yang biasa disebut dengan

Model Jochim, yaitu sebuah model yang dibuat untuk melihat perilaku manusia

untuk memenuhi kebutuhan ekonomis berdasarkan data artefaktual maupun

Page 94: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

75

ekofaktual berupa tinggalan fauna. Elisabeth J. Reitz & Elisabeth S. Wing (2008,

253-254) menjelaskan model ini sebagai berikut:

“...The model assumes people make rational decisons to reconcile

competing objectives, but ultimately to ensure regular and

sufficient intake and nutrients (Jochim 1976: 4-5; 1981:64). To do

this, decisions are made about which resources to use, in what

quantity, when, from where, and by whom. These are based on

three interrelated variables: (1) resources use schedules, (2) site

placement, and (3) demographic arragements...”

Dengan kata lain, suatu komunitas yang masih berburu akan mengambil

keputusan rasional yang dalam upaya memenuhi kebutuhan yang didasarkan pada

perasaan aman karena memiliki tempat-tempat yang bisa dieksploitasi karena

memiliki bahan yang melimpah dan dapat tersedia dalam jangka waktu yang

panjang. Pada komunitas manusia purba yang menghuni Gua Kidang pun akan

memilih sumber bahan ekonomis yang dapat memenuhi kebutuhan mereka secara

kontinyu.

Moluska merupakan sumber bahan yang dapat memenuhi kebutuhan

tersebut karena ketersediaan jenisnya yang melimpah tersedia di balik rimbunannya

rerumputan, dasar sungai yang berlumpur atau terbenam di dalam pasir pantai

hingga tersembunyi di batu karang tepi pantai. Jenis ini juga masuk dalam kategori

sumber bahan pangan yang memiliki tingkat resiko rendah dalam upaya untuk

mengusahakannya (Reitz & Wing, 2008: 254). Berbeda dengan jenis binatang

buruan seperti Bovidae (kerbau) atau Cervidae (rusa) yang membutuhkan

keterampilan khusus dalam memburunya, sehingga kadang kala kegiatan berburu

fauna mamalia tersebut tidak menghasilkan apapun, maka moluska adalah jenis

fauna yang dapat dengan mudah di dapatkan. Hal ini menjelaskan bagaimana

Page 95: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

76

temuan cangkang moluska yang dikonsumsi oleh komunitas penghuni Gua Kidang

jumlahnya sangat banyak.

Sumber bahan makanan yang diandalkan apabila komunitas tersebut tidak

bisa mendapatkan hewan-hewan besar dari perburuan mereka, kemungkinan besar

manusia penghuni Gua Kidang mengeksploitasi sumber daya bahan pangan

moluska di wilayah sekitar situs, seperti di aliran sungai daerah Kedungwungu atau

cekungan air yang sekarang menjadi Waduk Bentolo (lihat Foto 4.1 dan Peta 4.1).

Foto 4.1: Waduk Bentolo

Dokumentasi: Ayu Dipta Kirana

Foto 4.2: Sungai kedungwung

Dokumentasi: Ayu Dipta Kirana

Page 96: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

77

Peta4.1: Kawasan Sekitar Gua Kidang

Page 97: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

78

Unionidae atau jenis kerang air tawar dapat hidup dengan membenamkan diri pada

endapan lumpur dan hidup berkembang biak. Dilihat dari temuan cangkang

Unionidae sebagai jenis yang banyak ditemukan, dapat dikatakan bahwa

ketersediaan jenis ini bisa sangat banyak dan mudah didapatkan.

Sementara itu, jenis-jenis dari Gastropoda justru didapatkan jauh lebih

mudah karena keberadaan mereka bisa ditemukan di pepohanan dan tempat yang

lembap yang ada tak jauh dari lingkungan Gua. Berdasarkan dari temuan cangkang,

jenis Gastropoda malah semakin tinggi dikonsumsi pada masa akhir hunian karena

jumlah cangkangnya yang justru makin meninggi dibandingkan dengan cangkang

Unionidae yang meskipun jumlahnya menurun tapi tetap ada hingga akhir hunian.

Perubahan pola konsumsi ini bisa terjadi akibat pergantian musim.

Pada penelitian mengenai rekonstruksi penangkapan kerang di situs Rawa

Pening yang dilakukan oleh Suciati Rahayu (1992) menjelaskan bahwa kerang-

kerang air tawar lebih banyak diperoleh pada musim kemarau dibandingkan pada

musim penghujan. Ini disebabkan karena debit air di sungai akan menurun dan

lumpur tidak akan terlalu dalam. Kondisi tersebut akan memudahkan pengambilan

kerang-kerang air tawar yang hidupnya membenamkan diri pada endapan dasar

sungai. Berbeda dengan musim penghujan yang menyebabkan debit air sungai naik

dan membuat dasar sungai bertambah ketebalan lumpurnya. Meskipun

pengambilan kerang tetap dilakukan pada musim penghujan, namun jumlahnya

tidak akan sebanyak ketika musim kering (Rahayu, 1992: 39 – 40).

Ini mengindikasikan komunitas penghuni Gua Kidang telah memiliki pola

penangkapan kerang dan siput yang sesuai dengan musim. Karena ketika sulit

mendapatkan kerang air tawar di sungai maupun danau maka obyek pangan

mereka bersubtitusi menjadi jenis siput yang hidupnya di tanah atau pepohonan.

Page 98: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

79

Temuan variasi jenis siput darat dan kerang air tawar rata-rata melimpah

menunjukkan bahwa sumber air tersebut berada dalam kondisi yang baik bagi jenis

ini untuk hidup meskipun suhu di wilayah Karst Rembang cenderung panas dengan

lingkungan yang kering. Sungai-sungai yang mengalir di daerah Kedungwungu

merupakan tipe jenis sungai beraliran tenang yang tidak kering pada musim

kemarau meskipun debitnya airnya cenderung menurun (lihat foto 4.2). Hal ini

ditunjukkan pada keberadaan Unionidae yang dikonsumsi secara kontinyu dan tidak

pernah hilang, karena jenis kerang ini tidak dapat bertahan dalam jangka waktu

yang lama tanpa air ( Peacock & Gerber, 2008: 137).

Sementara itu berdasarkan temuan cangkang moluska berhabitat laut

mengindikasikan ada kemungkinan bagi komunitas penghuni Gua Kidang

melakukan perjalanan hingga ke pesisir. Akan tetapi, lokasi pantai terdekat dari

situs Gua Kidang yaitu pantai di sebelah utara Jawa yang berjarak kurang lebih

sejauh 28 – 30 km. Pada bentang jarak tersebut, pengambilan bahan moluska

dirasa tidak memenuhi rasionalitas karena jumlah temuannya yang sedikit. Seperti

yang telah dijabarkan pada model adaptasi Jochim sebagai usaha pemenuhan

kebutuhan subsistensi moluska air laut sangat tidak menguntungkan bagi komunitas

penghuni Gua Kidang melakukan penjelajahan hingga ke pantai utara Jawa.

Survei yang dilakukan pada bulan April 2012, menunjukkan lokasi yang

diindikasi merupakan sumber bahan kerang laut didapatkan oleh komunitas

penghuni Gua Kidang. Lokasi tersebut terletak Bendungan Dumpil, Desa

Kalangdosari, Blora yang juga dibuat untuk mengatur aliran sungai Kali Lusi (lihat

Foto 4.3) yang terletak di sebelah selatan dari hunian gua. Jika ditarik garis lurus,

jarak antara situs dengan Bendungan Dumpil lebih kurang sekitar 8 – 10 km.

Page 99: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

80

Foto 4.3: Bendungan Dumpil

Dokumentasi oleh: Andreas Eka Atmaja (Balar Yogyakarta, 2012)

Foto 4.4: Teras Sungai Yang Mengandung Cangkang Moluska Laut & Darat Dokumentasi oleh: Andreas Eka Atmaja (Balar Yogyakarta, 2012)

Bagian dasar endapan sungai hidup berbagai jenis fauna akuatik seperti

kepiting jenis yuyu, udang, kerang dan siput. Pada teras sungai tersebut banyak

sekali ditemukan berbagai macam fosil binatang berukuran besar, tanduk yang

diperkirakan berasal dari jenis Cervidae dan beberapa artefak batu. Selain itu,

ditemukan pula berbagai variasi jenis cangkang moluska dengan ciri-ciri khas yang

menunjukkan habitat lingkungan air laut atau pesisir pantai (lihat foto 4.4). Hal ini

tentu saja menarik karena saat ini, cangkang-cangkang tersebut ditemukan pada

Page 100: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

81

habitat air tawar. Tentu saja bukti-bukti ini menunjukkan bahwa daerah ini

merupakan bagian dari Depresi Randublatung.

Depresi Randublatung merupakan sebuah zona cekungan yang berada

terletak di tengah antara Perbukitan Rembang di utara dan Punggungan Kendeng di

selatan. Zona depresinya terbagi dalam 2 bagian di barat dan timur. Kedua bagian

tersebut dipisahkan oleh celah sempit di dekat Randublatung sebelah barat Cepu.

Depresi Randublatung ini mengalami anomali karena beberapa bagian barat dari

cekungan ini berada di bawah fisiografi Perbukitan Rembang. Lapisan stratigrafinya

menunjukkan bahwa terdapat lapisan lempung biru yang mengindikasi bahwa zona

ini dahulunya merupakan kawasan laut tertutup (Bemmelen, 584 – 585; Yuwono,

2005). Proses pengangkatan daratan Jawa ini mengimplikasi kan bahwa fauna-

fauna marin turut terbawa aliran sungai termasuk pula di daerah Dumpil. Hal ini

yang mungkin menyebabkan bahwa variasi jenis fauna marin banyak dijumpai dari

sungai lusi karena proses pembentukan lingkungan alam jutaan tahun lalu.

Daerah eksploitasi komunitas penghuni Gua Kidang diperkirakan mencapai

wilayah aliran Kali Lusi yang berada sekitar 8 hingga 10 km dari situs hunian. Jarak

ini merupakan bentang yang rasional ditempuh oleh sekelompok manusia untuk

berburu mendapatkan makanan. Menurut M. R. Jarman (1972), jarak yang

ditempuh dari lokasi tempat tinggal/situs menentukan tingkat intensitas eksploitasi

sumber daya alam. Jarak tersebut dibagi dalam tiga radius, pertama ialah radius

jarak 1 – 2 km yang meliputi perburuan kecil, pengumpulan buah dan umbi-umbian

yang kebanyakan dilakukan oleh wanita dan anak-anak. Kedua yaitu radius jarak 2

– 5 km yang setara dengan satu jam berjalan kaki masih bisa diikuti oleh

perempuan. Yang ketiga adalah jarak radius 5 – 10 km dilakukan oleh kelompok

Page 101: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

82

besar atau kecil laki-laki dewasa. Radius jarak terakhir ini dapat ditemptuh selama 2

jam berjalan kaki (Suhartono, 2000: 113 – 115).

Berarti keberadaan Kali Lusi masuk dalam lokasi yang potensial untuk

dicapai dalam perjalanan satu hari tanpa perlu mencari titik-titik transit untuk

bermalam. Area jelajah yang dilalui komunitas penghuni Gua Kidang untuk berburu

tidak terlalu sulit. Medan perjalanan cukup mudah dengan berjalan kaki. Untuk

keluar dari situs hunian Gua Kidang memang harus menuruni perbukitan dengan

kemiringan sekitar 5° – 15°. Selanjutnya untuk mencapai ke Desa Ngaringan tempat

Kali Lusi berada, topografinya cenderung datar. Vegetasi sekitarnya merupakan

hutan yang tidak terlalu rapat.

Kawasan Sungai Lusi termasuk dalam wilayah penjelajah komunitas

penghuni Gua Kidang untuk mengumpulkan makanan. Sehingga ada kemungkinan,

jelajah hingga sejauh 8 km ini termasuk dalam upaya mencari konsumsi hewan

buruan yang cenderung berukuran besar. Mereka juga melakukan penyusuran

aliran sungai yang mengalir dari kawasan Kedungwungu yang bermuara di Sungai

Lusi untuk mencari hewan. Pengambilan berbagai jenis moluska dengan bentuk

yang berbeda kemungkinan besar merupakan sumber bahan baku yang diambil

ketika juga tengah berburu dan mengumpulkan bahan pangan.

Keberadaan jenis moluska dengan habitat darat seperti siput dan keong-

keong merupakan indikator kondisi lingkungan lokal karena jenis gastropoda ini

tidak dapat berpindah dalam jarak yang ekstrem. Ditambah lagi kemungkinan untuk

mengkonsumsi jenis siput yang lebih kecil sangat jarang sehingga bias yang terjadi

dalam rekonstruksi lingkungan-purba dapat berkurang. (Peacock & Gerber, 2008:

128).

Page 102: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

83

Dari habitat temuan moluska yang telah dianalisis dapat dilihat bahwa

kondisi lingkungan karst Rembang pada masa hunian Gua Kidang merupakan

lingkungan pada Kala Holosen Awal yang stabil. Dari berbagai jenis moluska yang

ditemukan di Gua Kidang dengan variasi habitatnya menunjukkan bahwa

lingkungan pada masa itu cenderung memperlihatkan keseimbangan alam yang

baik dan tidak ada polusi yang dapat menganggu perkembangan hidup fauna ini.

Berbagai jenis siput darat yang ditemukan di Gua Kidang, seperti jenis

Camaenidae, Helicarionidae dan Cyclophoridae merupakan jenis siput yang tidak

dapat melakukan perpindahan yang jauh. Ini berarti ketiga jenis tersebut dapat

merepresentasikan kondisi lingkungan dari gua hunian ini dengan baik. Sehingga

ketika Gua Kidang mulai dihuni, kondisi lingkungan pada masa itu tidak jauh

berbeda dengan masa kini yaitu Kala Holosen Awal.

Sementara itu dengan melihat pola konsumsi moluska dari grafik yang

ditampilkan pada bab sebelumnya ( Grafik 3.2), maka dengan penggunaan data dari

kotak T6S1 dan S1B6 ini bisa dilihat juga kronologi hunian komunitas penghuni Gua

Kidang. Grafik tersebut menunjukkan bahwa pola konsumsi Bivalvia meninggi pada

musim kering lalu kemudian digantikan oleh kuantitas Gastropoda yang dikonsumsi

pada musim penghujan. Grafik tidak menunjukkan pola konsumsi Bivalvia

meningkat kembali setelah grafik dari konsumsi Gastropoda menurun, berarti dapat

disimpulkan bahwa hunian di Gua Kidang berdasarkan pola konsumsi yang terlihat

dari grafik menunjukkan hunian selama dua musim saja.

Masa hunian di Gua Kidang berdasarkan konsumsi moluska yang ditemukan

di kotak T6S1 dan S1B6, menunjukkan masa hunian selama kurang lebih setahun

melihat dari musim yang dilewati, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Oleh

karena itu, meski musim kemarau datang kembali, komunitas penghuni Gua Kidang

Page 103: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

84

tersebut tidak meneruskan untuk tinggal di kawasan ini melainkan bermigrasi

menuju tempat yang lebih ideal.

Page 104: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

85

BAB V

KESIMPULAN

Kebudayaan suatu masyarakat dapat tercermin dari bagaimana suatu

kelompok masyarakat beradaptasi dengan lingkungannya, termasuk salah

satunya adalah dengan pengumpulan jenis makanan yang bisa didapatkan.

Pengambilan bahan makanan sangat terpengaruh oleh sumber daya alam yang

ada di lingkungan sekitar tempat komunitas penghuni situs tinggal. Ini berlaku

juga bagi komunitas penghuni Gua Kidang, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa

Tengah.

Wilayah penelitian Gua Kidang terletak di Kawasan Karst Blora. Daerah

ini merupakan bagian dari antiklin Rembang-Madura yang membentang dari

barat ke timur. Iklim di daerah ini termasuk tipe iklim tropik moonson. Wilayah

penelitian ini merupakan daerah yang cukup kering dan bercurah hujan sedang.

Fauna yang hidup di sekitar wilayah penelitian ini terdiri dari hewan-hewan

seperti sapi, rusa, sementara itu floranya merupakan tumbuhan berpohon luruh.

Sejauh ini, Gua Kidang merupakan satu-satunya gua hunian yang berada

di Kawasan Karst Blora di wilayah Todanan, karena kebanyakan gua-gua di

wilayah ini merupakan gua vertikal yang sulit diakses. Berdasarkan ekskavasi

yang dilakukan di Gua Kidang, ditemukan banyak sekali cangkang kerang.

Temuan ini mendominasi hampir setiap kotak yang digali. Cangkang moluska

merupakan salah satu temuan yang sangat penting. Microfauna ini memiliki

peran besar, terutama dalam kajian paleo-lingkungan. Moluska dapat bertahan

hidup dalam jangka waktu yang sangat lama. Hewan ini juga sangat sensitif

terhadap perubahan lingkungan. Artinya bahwa dengan mengetahui jenis-jenis

Page 105: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

86

hewan ini maka dapat dilihat upaya adaptasi lingkungan suatu komunitas

manusia untuk menjelajah dan mengeksploitasi lingkungan sekitarnya.

Temuan Gua Kidang didominasi oleh jenis kerang air tawar (Unionidae)

dan siput yang hidup di daratan yang kebanyakan masuk dalam Klas

Gastropoda. Diperkirakan jenis inilah yang eksploitasi untuk dijadikan bahan

pangan. Pemecahan ujung (whorl) dari gastropoda merupakan salah satu cara

untuk memudahkan mengambil daging hewan tersebut. Sementara itu, untuk

kerang air tawar tidak banyak dilakukan pemecahan cangkang yang berarti

karena sifat kerang air tawar yang cenderung mudah untuk dibuka. Temuan

moluska yang memiliki tempat hidup di pesisir pantai sejauh ini hanya ditemukan

sejumlah tiga spesimen, yaitu dua jenis Gastropoda dan satu Bivalvia.

Dari hasil analisis tersebut maka bisa diperkirakan daya jelajah komunitas

penghuni Gua Kidang lebih banyak mengeksploitasi sungai-sungai di sekitar

tempat habitat sungai atau danau. Ada pula siput darat yang tinggal di pohon-

pohon. Tempat-tempat tersebut diindikasi menjadi tempat yang mereka

eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Ini berarti, manusia

pada masa itu mendapatkan moluska yang berada tak jauh dari situs hunian,

seperti di aliran Sungai Tinapan, Kedungwungu, cekungan air yang sekarang

berfungsi menjadi Waduk Bentolo dan Sungai Lusi. Moluska menjadi sumber

bahan pangan yang masuk dalam kategori low-risk yang artinya adalah pangan

ini merupakan jenis yang mudah didapatkan tanpa banyak kendala.

Temuan cangkang moluska laut dalam jumlah yang sangat sedikit di Gua

Kidang, menunjukkan bahwa kemungkinan daya jelajah komunitas ini tidak

sampai mencapai pantai. Jarak pantai utara Jawa dari situs gua kurang lebih

sekitar 28 – 30 km yang berarti jika ditempuh dengan berjalan kaki memakan

Page 106: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

87

waktu berhari-hari, sementara hasil yang dibawa hanya sedikit. Hal tersebut tidak

relevan dengan waktu dan resiko yang mereka dapatkan untuk berburu jenis

hewan ini.

Terdapat lokasi yang memungkinkan untuk mendapatkan jenis cangkang

moluska laut tersebut meskipun komunitas penghuni Gua Kidang tidak

melakukan penjelajahan hingga pantai utara Jawa. Lokasi tersebut ada di

wilayah Bendungan Dumpil, Desa Ngaringan yang merupakan aliran dari Sungai

Lusi. Daerah ini merupakan bagian dari cekungan Randublatung yang sebelum

Kala Pleistosen - Holosen merupakan sebuah daerah laut tertutup. Proses

pengangkatan daratan Jawa, menyebabkan aliran Sungai Bengawan Solo

mengalir menyatu dengan aliran Sungai Lusi. Jenis-jenis moluska terbawa oleh

aliran sungai tersebut dan dapat ditemukan di dasar. Letak Bendungan Dumpil

ini hanya sekitar 5 – 8 km yang bisa dicapai dengan berjalan kaki satu hari.

Lokasi ini kemungkinan besar merupakan tempat yang dieksploitasi oleh

komunitas penghuni Gua Kidang untuk mencari moluska sebagai sumber bahan

baku.

Temuan berbagai cangkang moluska di Gua Kidang menunjukkan jenis

yang sama yang ditemukan di Sungai Kedungwungu, seperti jenis Pleuroceridae.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lingkungan pada masa hunian Gua

Kidang tidak jauh berbeda dengan masa kini, yaitu lingkungan pada Kala

Holosen yang telah stabil. Ini ditunjukkan melalui temuan cangkang moluska

yang cukup banyak, yang berkembang biak dengan baik di kawasan sekitar

hunian. Lingkungan yang stabil inilah yang membuat komunitas penghuni Gua

Kidang dapat beradaptasi sangat baik dengan lingkungan yang ada.

Ketersediaan moluska sebagai sumber daya baik untuk pangan maupun bahan

Page 107: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

88

baku pembuatan alat membuat komunitas penghuni Gua Kidang dapat bertahan.

Analisis pada sampel yang digunakan pada dua kotak ekskavasi (T6S1 & S1B6)

penelitian ini memberikan gambaran tentang masa hunian selama dua musim,

yaitu selama musim kemarau dan penghujan.

Penelitan ini telah menjawab pertanyaan mendasar tentang bagaimana

strategi adaptasi lingkungan pada masa hunian manusia di Gua Kidang. Akan

tetapi lingkungan yang direkonstruksi masih dalam sebatas lingkungan lokal

(micro-environment) pada sekitar wilayah hunian saja dan bagaimana manusia

pada masa tersebut mencoba bertahan dengan lingkungan tersebut. Penelitian

lebih lanjut mengenai lingkungan yang lebih luas di Kawasan Karst Blora

diharapkan dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang lebih makro.

Kawasan Cekungan Randublatung yang berada dekat dengan situs Gua Kidang

masih menyimpan banyak pertanyaan untuk diungkapkan melalui kajian-kajian

data yang ditemukan dari penggalian di Gua Kidang.

Diharapkan penelitian mengenai moluska yang ada di Gua Kidang dapat

menambah khasanah pengetahuan mengenai jenis moluska air tawar maupun

Gastropoda darat. Selama ini penelitian moluska air tawar ataupun jenis yang

hidup di darat masih sangat minim. Padahal keberadaan jenis moluska ini tidak

kalah pentingnya dengan jenis moluska air laut. Berbeda dengan jenis kerang air

laut yang kemungkinan untuk berpindah sangat besar akibat gelombang perairan

laut lepas atau perubahan rupa bumi, seperti yang ditunjukkan pada penelitian

ini, jenis siput atau bekicot merupakan fakta solid mengenai lingkungan lokal

karena daya mobilitas mereka yang rendah.

Page 108: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

89

DAFTAR PUSTAKA

Bahagiarti K, Sari. 2004. Mengenal Hidrogeologi Karst. Yogyakarta: Pusat Studi

Karst LPPM UPN “Veteran” Yogyakarta. Balai Arkeologi Yogyakarta, t.t. Laporan Ringkas Penelitian Pola Okupasi Gua

Kidang, Hunian Masa Prasejarah Kawasan Karst Todanan. Diperoleh dari www.arkeologijawa.com. Unduh Tanggal 18 Februari 2013 Pukul 10.02 WIB

Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama Bemmelen, R.W. Van. 1949. The Geology of Indonesia Vol IA. Holland: The

Hague Martinus Nijhoff Claassen, Cheryl. 1998. Shells. Cambridge: Cambridge University Press. Cristian, Anang. 2005. Adaptasi Manusia Penghuni Song Agung. Skripsi Sarjana.

Fakultas Ilmu budaya. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Dance, Peter. 1992. Shells. Australia: HarperCollins Publishers. Dharma, Bunjamin. 1988. Kerang dan Siput di Indonesia I (Indonesian Shells).

Jakarta: PT. Sarana Graha Dharma, Bunjamin. 1992. Kerang dan Siput di Indonesia (Indonesian Shells II).

Wiesbaden: Verlag Christa Hermmen. Distribusi Indonesia: PT. Sarana Graha Jakarta.

Gabbi, Giorgio. 1999. Shells: Guide to The Jewels of The Sea. Italy: Periplus

Editions(HK) Ltd Hadi, Panudju. 1989. Studi Daerah Banjir dan Kerugian Sektor Pertanian Daerah

Aliran Sungai Lusi Jawa Tengah. Tesis Pascasarjana. Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Kamus

Besar Bahasa Indonesia, Luring (Luar Jaringan/Offline) 2012 Versis 1.1, aplikasi iPod.

Kuswanto, Gregorius D. 2007. Eksploitasi Sumber Daya Akuatik oleh Komunitas

Penghuni Song Jrebeng. Skripsi Sarjana. Fakultas Ilmu Budaya. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Leal, J.H.t.t. Bivalvia. The Bailey-Matthews Shell Museums. Diunduh pada

tanggal 24 November 2011 di website www.shellmuseum.org

Page 109: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

91

Leal, J.H. t.t. Gastropods. The Bailey-Matthews Shell Museums. Diunduh pada tanggal 24 November 2011 di website www.shellmuseum.org

Listiawan, Andi dkk. 2008. Keanekaragaman Spesies Anggota Mollusca di

Kawasan Karst Gunung Kidul, DIY. Proceeding Indonesian Scientific Karst Forum. Yogyakarta: Goenoeng Sewoe Karst Forum.

Martias, Irsyad. 2009. Model Transformasi Sampah Cangkang Kerang di

Pemukiman Kawasan Pesisir Watukarung, Pacitan: Studi Etnoarkeologi. Skripsi Sarjana. Fakultas Ilmu Budaya. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Nurani, Indah. 2009. Gua Kidang: Hunian dan Karakter Budaya Kawasan Karst

Blora. Berita Penelitian Arkeologi No. 23. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.

Nurani, Indah dan Agus Tri Hascharyo . 2010. Pola Hidup Komunitas Gua

Hunian Prasejarah Kawasan Karst Blora. Berkala Arkeologi Thn XXX Mei 2010. Yogyakarata: Balai Arkeologi Yogyakarta.

Nurani, Indah dan Agust Tri Hascharyo. 2011. Laporan Penelitian Arkeologi: Pola

Okupasi Gua Hunian Prasejarah Kawasan Karst Blora Tahap V. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta. Tidak diterbitkan.

Nurani, Indah dan J.E.S Yuwono, 2009. Gua Kidang, Pilihan Manusia Prasejarah

di Kawasan Karst Blora. Berkala Arkeologi Tahun XXVIII Mei 2008.Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.

Pannekoek, A.J. 1949. Outline of The Geomorphology of Java. TAG Th 1949,

E.J. Brill, Leiden, Netherland. Peacock, Evan & Jochen Gerber. 2008. Using Land Snails and Freshwater

Mussels to Chart Human Transformation of The Landscape: An Example From North Missisipi USA Dalam Case Study in Environmental Archaeology 2nd Edition, Elisabeth J. Reitz dkk (Ed). New York: Springer Science + Business Media, LLC.

Pfleger, Václav. 1999. A Field Guide in Colour to Molluscs (English Edition).

Leicester: Blitz Edition. P4MI (Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi), Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Diperoleh dari pfi3.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=64itemImid=100

, Tanggal 2 Maret 2012. Pukul 11.36 WIB

Puslitarkenas. 2008. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.

Page 110: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

92

Rachmanto, Pontjo. 2006. Kajian Debit Air Banjir Sungai Lusi Provinsi Jawa Tengah. Tesis. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada

Reitz, Elizabeth J. & Elizabeth S. Wing (2008). Zooarchaeology. Cambridge:

Cambridge University Press.

Renfrew, Colin & Paul Bahn. 1991. Archaeology Theories, Methods, and Practice. USA: Thames and Hudson Ltd.

Rosenberg, Gary. 2004. Conchology 101. Diperoleh dari http://coa.acnatsci.org/conchnet/c-101a.html. 2 Desember 2004.

Scheu, Lynn. 2004. What is A Shell?. Diperoleh dari

http://coa.acnatsci.org/conchnet/edushell.html. 2 Desember 2004 Setyowati, Ninik. 1993. Teknologi dan Fungsi Alat Kulit Kerang Situs Mulyorejo,

Cepu. Skripsi Sarjana. Yogkarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.

Shackley, Myra. 1981. Environmental Archaeology. London: George Allen &

Unwin (Publisher) Ltd. Sharer dan Wendy Ashmore, 1993. Archaeology: Discovering Our Past.

California: Mayfield Publishing Company. Steward, Julian H. 1959. The Concept and Method of Cultural Ecology. Reading

In Anthropology Vol. II Readings in Cultural Anthropolgy. New York: Thomas Y. Crowell Company. Hlm 81 – 93

Suciati, Rahayu. 1992. Proses Terbentuknya Sampah Kerang Di Situs Rawa

Pening. Skripsi Sarjana. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada

Suhartono, Didik. 2000. Site Cathment Analysis pada Penghunian Gua Kawasan

Tuban. Skripsi Sarjana. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.

Tanudirjo, Daud Aris. 1988-1989. Ragam Metoda Penelitian Arkeologi Dalam

Skripsi Karya Mahasiswa Arkeologi Universitas Gadjah Mada. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada.

Whitten, Tony dkk, 1999. Ekologi Jawa dan Bali. Alih Bahasa oleh S.N.

Kartikasari dkk. Jakarta: Prenhallindo Yuwono, J.S. Edy. 2005. Kawasan Karst Perbukitan Rembang dan Potensi

Arkeologisnya. Hasil penelitian tentang Pola Okupasi Gua-gua Hunian Prasejarah Kawasan Pegunungan Kendeng di Kab. Bloradan Rembang oleh Balai Arkeologi Yogyakarta, 5 – 15 Desember 2005.

Page 111: STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska

93

DAFTAR ISTILAH

Antiklinorium : Punggung kulit bumi yang berlapis-lapis

Apex : Titik darimana pertumbuhan cangkang dimulai. Letaknya dipaling ujung

CaCo₃ : Kalsium Karbonat

Conchiolin : Rangkaian matrik organik dari protein hasil dari produksi mantle

Depresi : Cekungan dalam suatu bentang lahan akibat gerak bumi

Famili : Tataran dalam taksonomi yang ada di bawah klas dan diatas genus

Filum : Golongan besar dalam klasifikasi hewan dan tumbuhan yang

mempunyai persamaan sifat dasar tertentu, yang masih terbagi lagi menjadi subfilum, klas, ordo, famili, genus dan spesies

Genus : Tataran dalam taksonomi yang ada di bawah famili dan diatas

spesies

Klas : Tataran dalam taksonomi yang ada di bawah subfilum dan diatas famili

Ligament : Engsel elastis yang tidak terbuat dari zat kapur yan

menghubungkan 2 belah tangkup (valve) dari kerang Mantle : Bagian tubuh lunak yang berada di dalam cangkang dan

menghasilkan sel-sel untuk membentuk cangkang Order/Ordo : Tataran dalam taksonomi yang ada di bawah klas dan diatas

famili Pallial Sinus : Bagian cekungan yang berada dalam tangkup (valve) dari jenis

Bivalvia Spire : Bagian atas dari cangkang siput Gastropoda

Suture : Jahitan spiral yang mengelilingi cangkang Gastropoda

Taksonomi : Cabang ilmu biolog yang menelaah penamaan atau pengelompokan makhluk hidup berdasarkan persamaan dan perbedaan sifat dan ciri-ciri tertentunya

Whorl : Satu putaran lengkap dari bagian cangkang siput Gastropoda