STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska Oleh: 06/196149/SA/13607 Ayu Dipta Kirana JURUSAN ARKEOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA 2013
STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA,
JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska
Oleh:
06/196149/SA/13607 Ayu Dipta Kirana
JURUSAN ARKEOLOGI
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2013
STRATEGI ADAPTASI LINGKUNGAN KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG, BLORA,
JAWA TENGAH: Studi Analisis Cangkang Moluska
Oleh:
06/196149/SA/13607 Ayu Dipta Kirana
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian pada Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Gadjah Mada
Yogyakarta sebagai salah satu syarat Memperoleh gelar sarjana
Dalam Ilmu Arkeologi 2013
THE STRATEGIC OF ENVIRONMENTAL ADAPTATION BY KIDANG CAVE’S OCCUPANT:
A Study of Shell Molluscs Analysis
Oleh:
06/196149/SA/13607 Ayu Dipta Kirana
This Thesis Submitted to The Board of Examiners in Partial Fulfillment
of The Requirement for The Bachelor’s Degree Program in the Faculty of Cultural Sciences
Gadjah Mada University Yogyakarta
2013
Abstraksi
Strategi Adaptasi Lingkungan Komunitas Penghuni Gua Kidang, Blora, Jawa Tengah: Studi Analisis Cangkang Moluska
Penulis : Ayu Dipta Kirana Tahun lulus : 2013 Dosen Pembimbing : Agus Trihascaryo S.S., S.T., M.Sc. Topik : Penelitian ini membahas tentang strategi komunitas penghuni Gua Kidang di Blora, Jawa Tengah untuk beradaptasi terhadap lingkungan tempat mereka tinggal. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data artefak dan ekofak cangkang moluska yang ditemukan dalam penggalian di Situs Gua Kidang. Permasalahan:
1. Apa saja jenis temuan moluska dan bagaimana habitat dari moluska tersebut?
2. Bagaimana komunitas penghuni Gua Kidang memanfaatkan jenis-jenis moluska tersebut ?
3. Bagaimana strategi adaptasi lingkungan yang dilakukan oleh komunitas penghuni Gua Kidang untuk memperoleh jenis moluska tersebut?
Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah melihat cara-cara tertentu yang dilakukan oleh manusia pada masa itu dalam memanfaatkan sumber daya yang ada di alam terutama eksploitasi moluska. Selain itu juga penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kondisi lingkungan pada masa hunian Gua Kidang. Metode: Metode penalaran yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penalaran induktif. Analisis yang dilakukan pada data artefak dan ekofak cangkang moluska temuan ekskavasi Gua Kidang antara lain: analisis taksonomi untuk mengetahui jenis dan habitat moluska yang dieksploitasi. Selanjutnya dilakuan analisis lingkungan dalam skala meso antara gua dan pada sekitar lingkungan situs. Hasil dari kedua analisis tersebut disintesiskan untuk ditarik kesimpulan. Kesimpulan: Berdasarkan hasil sintesis dari analisis-analisis yang dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa komunitas penghuni Gua Kidang cenderung mengeksploitasi moluska air tawar yang berada tak jauh dari lokasi hunian. Sumber daya alam di sekitar situs menyebabkan daya jelajah mereka tidak terlalu jauh. Dari analisis taksonomi, jenis moluska darat tidak jauh berbeda dengan jenis yang ada pada masa kini. Ini berarti komunitas tersebut mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar karena kondisinya lingkungan pada masa Holosen awal relatif stabil.
Abstraction
The Strategic of Environmental Adaptation by Kidang Cave’s Occupant: A Study of Shells Molluscs Analysis
Author : Ayu Dipta Kirana Year of Gradution : 2013 Supervisor : Agus Trihascaryo S.S., S.T., M.Sc. Topic: The research is disccused about occupant of Kidang Cave’s strategic to struggled with the enviromental that they had to lived. The data were used in this research are artifacts and ecofacts which found in Kidang Cave’s excavation. Research Question:
1. What kind of variety and habitation of shells mollsucs in Kidang Cave? 2. How is the occupant of Kidang Cave used that molluscs? 3. What is the strategic of enviromental adaptation to get the molluscs had
done by the occupant of Kidang Cave? Objective : The research goal is to know what kind of strategic that used by the people at past to occupy the natural resources especially in exploitation of molluscs. Beside, this research is try to gain image about enviroment condition when the Kidang Cave had been occupied. Methods: This research use the taxonomy analysis of artifacts and ecofacts to sort out all of the variety of molluscs. Another method is environmental analysis to compared between recent and past condition of nature resources surround the Kidang Cave. Conclusion: The occupants of Kidang Cave had exploited the freshwater mollucs from the natural resoures near the site. Their catchment area to got the molluscs as food and raw material for the tools was just near with site. The freshwater molluscs that found in Kidang Cave’s excavation represent the stable environment which is show the Early Holosen Period.
Untuk Bapak, Yang tidak bisa melihat aku memakai seragam putih-biru,
seragam putih abu-abu, Lalu kini, toga hitam
Dan Mama, Yang selalu melihat ku sejak masih berwarna merah
Berseragam merah, biru dan abu-abu Lalu kini toga hitam
Skripsi ini diterima oleh panitia
Ujian Fakultas llmu Budaya
Univelsitas Gadiah Mada
Pada tanggat: ............
Prpf. Df. Sumiiati Atmos$dirqKetua
PengujiUtama
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Sleman, 10 Januari 2013
iii
KATA PENGANTAR
Didera flu dan Fraktura Metatarsal V tak menyurutkan langkah menuju
babak final penulisan tugas akhir yang berjudul, “Strategi Adaptasi Lingkungan
Komunitas Penghuni Gua Kidang, Blora, Jawa Tengah: Studi Analisis Cangkang
Moluska”. Mengalami satu proses perjalanan panjang inilah, Tuhan YME sebagai
Sutradara Kehidupan, mengantarkan cerita, pertemuan, rahmat, serta
anugerahNya. Alhamdulillah..
Pertemuan dengan bekicot ini berkat andil dari pertemuan-pertemuan
sebelumnya yang tak terduga. Pertemuan dengan berbagai sosok ini juga
memberi dampak yang tidak kecil. Maka, dari berbagai pertemuan dalam proses
untuk mengakhiri satu perjalanan demi perjalanan lain inilah, tak lupa penulis
berterima kasih kepada:
1. Ketua Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah
Mada bersama dengan seluruh staf dan pengajar jurusan yang telah
memberi kesempatan untuk belajar selama ini.
2. Agus Tri Hascaryo S.S, S.T, M.Sc., sebagai dosen pembimbing skripsi
yang telah banyak memberikan waktunya, buah pikir, tenaga, serta acap
kali dikecewakan namun tidak pernah berhenti untuk selalu mengingatkan
tentang tenggat waktu pengumpulan bab per bab.
3. Drs. Djoko Dwiyanto M. Hum dan Prof. Dr. Inajati Adrisijanti, sebagai
dosen pembimbing akademik yang merupakan pintu pertama berkenalan
dengan berbagai macam mata kuliah menarik mengenai arkeologi.
4. Dra. Indah Asikin Nurani, atas ijin penggunaan data berharga penelitian
yang ada di Balar Yogyarta. Tak lupa serta kepada seluruh jajaran
iv
anggota tim penelitian Pola Okupasi Gua Kidang tahap VI pada bulan
April 2012 yang lalu. Terutama kepada mas Andreas Eka Atmaja yang
telah memberi berbagai data foto yang sangat penting bagi skripsi ini.
5. Jajaran staf Balar Yogyakarta, terutama Bu Sri dan Pak Karman dengan
teh manis hangatnya menemani di Ruang Temuan Balar.
6. Drs. J. Susetyo Edy Yuwono dan Dr. Daud Aris Tanudirjo M.A, untuk
kesempatan-kesempatan luar biasa berharga yang pernah diberikan
kepada penulis selama ini.
7. Damai Tegar Muslim yang selama ini telah berbagi banyak cerita,
nasehat dan bantuan kepada penulis. Terutama pada detik-detik akhir
penulisan skripsi bebarengan dengan kondisi patah tulang yang
menyebabkan mobilitas terganggu.
8. Vinsensius Ngesti Wahyuono untuk bantuan luar biasanya pada
pembuatan peta serta saran-saran pada penulis yang selama ini buta
mengenai geoarkeologi. Juga pinjaman netbook-nya disaat kepanikan
melanda karena komputer mati.
9. Teman seperjalanan dalam road trip Blora – Blitar – Malang yang
berkedok survei pertama ke Gua Kidang: Umarul Mukhtar A.W, Helmy
Yanuar, Ayu Oktafi, Adita Nofiandi, Yuliadi Tunjung P. dan Camella
Sukma Dara pada Juli 2011.
10. Teman-teman dari angkatan 2006 yang telah begitu berpengaruh besar
pada perjalanan ini: Adya Grahita, Shinatria Adityatama, Ujon Sujana,
Agustin Kartika, Dyah Ayu Nancy, Annisa Febianti, Bima Sakti A.W,
Yoses Tanzaq, Subhi Mahmasony H, Afdilla Ranganti dan lainnya yang
tak dapat dituliskan satu persatu.
v
11. Keluarga Warganing HIMA (Himpuanan Mahasiswa Arkeologi) UGM
sebagai keluarga besar yang telah menaungi untuk tumbuh dewasa serta
bersaudara dengan berbagai wajah dari angkatan 2004, 2005, 2007,
2008 dan 2009.
12. Redaksi Artefak dan Petugas Sirkulasi Perpustakaan Jurusan Arkeologi
atas wadah untuk berkembang dan dewasa.
13. Pak Miarto dan Bu Nung, sebagai orang tua yang selalu percaya meski
anaknya berulang kali mengecewakan. Serta tak lupa trio kakak
superior—Mas Sinang, Mbak Indit, Mas Bhas. Hidup terasa luar biasa
dengan keluarga ini.
14. Keluarga besar Turmudzi Hadi Suprapto untuk bantuan doa dan
materinya selama ini. Terutama janji kecil di bulan Desember, oleh
keponakan kepada Pamannya.
15. Dan para sahabat-satu-dekade, yang telah bersama mengarungi waktu
demi waktu, berbagi tawa dan tangis, berlayar bersama dengan “kapal
persahabatan” yang kami beri nama ‘kolax’ dan ejekan agar cepat lulus
kuliah: Mutiara Meistisa—partner in crime, Riani Witaningrum, Dwi
Romadhani, Dina Aktrisita Santoso dan Hasna Penta Kurnia.
Pada suatu masa awal perkuliahan, seorang pengajar berkata, “Jangan
pernah takut untuk salah. Bila kita tidak melakukan kesalahan maka kita tidak
akan pernah menemukan kebenaran itu..”. Maka apabila dalam karya tulis ini
banyak sekali kekurangan dan kesalahan agar supaya membuka pintu
kebenaran bagi ilmu pengetahuan Arkeologi yang hakiki.
Sleman, 7 Januari 2013
Ayu Dipta Kirana
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................vi
DAFTAR FOTO ................................................................................................. viii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................. x
DAFTAR GRAFIK ...............................................................................................xi
DAFTAR PETA .................................................................................................. xii
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 6
C. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................ 7
D. Keaslian Penelitian ................................................................................... 7
E. Metode Penelitian .................................................................................... 9
BAB II TINJAUAN WILAYAH PENELITIAN ..................................................... 14
A. Kondisi Geografis Sekitar Lokasi Penelitian ........................................... 14
B. Deskripsi Situs Gua Kidang, Blora, Jawa Tengah .................................. 21
1. Hasil Penelitian di Situs Gua Kidang, Blora ...................................... 23
BAB III VARIASI JENIS MOLUSKA TEMUAN GUA KIDANG
BLORA, JAWA TENGAH ..................................................................... 39
A. Temuan Moluska di Gua Kidang ............................................................ 42
1. Gastropoda ...................................................................................... 45
vii
2. Bivalvia ............................................................................................. 56
BAB VI STRATEGI ADAPTASI KOMUNITAS PENGHUNI GUA KIDANG,
BLORA, JAWA TENGAH.................................................................. 64
A. Pemanfaatan Moluska oleh Komunitas Penghuni Gua Kidang ............... 65
1. Moluska Sebagai Sumber Bahan Pangan ........................................ 70
2. Moluska Sebagai Sumber Bahan Baku ............................................ 72
B. Rekonstruksi Jelajah dan Adaptasi Lingkungan Komunitas Penghuni Gua
Kidang, Blora, Jawa Tengah .................................................................. 73
BAB V KESIMPULAN ....................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 89
DAFTAR ISTILAH ............................................................................................. 92
viii
DAFTAR FOTO
Foto 2.1: Kondisi Ruang Gua Kidang ..................................................................... 22
Foto 2.2: Permukaan Atas Gua Kidang .................................................................. 23
Foto 2.3: Akses Menuju Gua ................................................................................. 23
Foto 3.1: Famili Camaenidae ................................................................................. 50
Foto 3.2: Cyclophoridae ......................................................................................... 51
Foto 3.3: Helicarionidae ......................................................................................... 52
Foto 3.4: Pleuroceridae.......................................................................................... 54
Foto 3.5: Marginelidae ........................................................................................... 55
Foto 3.6: Viviparidae .............................................................................................. 56
Foto 3.7: Famili Donacidae .................................................................................... 60
Foto 3.8: Unionidae ............................................................................................... 62
Foto 4.1: Waduk Bentolo ....................................................................................... 76
Foto 4.2: Sungai Kedungwungu ............................................................................. 76
Foto 4.3: Bendungan Dumpil ................................................................................. 80
Foto 4.4: Teras Sungai Yang Mengandung Cangkang Moluska Laut & Darat ........ 80
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1: Denah Kotak Ekskavasi Situs Gua Kidang ........................................ 29
Gambar 2.2: Stratigrafi Kotak T6S1 ....................................................................... 34
Gambar 2.3: Stratigrafi Kotak S1B6 ....................................................................... 38
Gambar 3.1: Bagian Cangkang Gastropoda .......................................................... 46
Gambar 3.2: Bagian Cangkang Bivalvia ................................................................ 57
Gambar 3.3: Bentuk Donacidae Utuh Sebagai Pembandingan .............................. 60
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1: Rekapitulasi Temuan Ekskavasi Gua Kidang Kotak T6S1 Tahun 2005
- 2010 .................................................................................................................... 31
Tabel 2.2: Rekapitulasi Temuan Ekskavasi Gua Kidang Kotak S1B6 Tahun 3005
– 2010 ................................................................................................................... 36
Tabel 3.1: Rekapitulasi Temuan Cangkang Moluska Situs Gua Kidang ................. 42
Tabel 3.2: Rekapitulasi Temuan Gastropoda ......................................................... 47
Tabel 3.3: Rekapitulasi Jenis Camaenidae ............................................................ 49
Tabel 3.4: Rekapitulasi Jenis Cyclophoridae .......................................................... 50
Tabel 3.5: Rekapitulasi Temuan Helicarionidae ..................................................... 51
Tabel 3.6: Rekapitulasi Jenis Pleuroceridae .......................................................... 53
Tabel 3.7: Distribusi Temuan Cangkang Marginelidae ........................................... 55
Tabel 3.8: Distribusi Cangkang Viviparidae............................................................ 55
Tabel 3.9: Rekapitulasi Temuan Bivalvia ............................................................... 58
Tabel 3.10: Distribusi Cangkang Donacidae .......................................................... 60
Tabel 3.11: Rekapitulasi Cangkang Unionidae ...................................................... 62
Tabel 4.1: Habitat Temuan Moluska Kotak T6S1 ................................................... 68
Tabel 4.2: Habitat Temuan Moluska Kotak S1B6 ................................................... 69
xi
DAFTAR GRAFIK
Grafik 3.1: Distribusi Temuan Jenis Moluska Kotak T6S1 ...................................... 44
Grafik 3.2: Distribusi Temuan Jenis Moluska Kotak S1B6 ...................................... 44
Grafik 3.3: Distribusi Famili Gastropoda Kotak T6S1 ............................................. 47
Grafik 3.4: Distribusi Famili Gastropoda Kotak S1B6 ............................................. 48
Grafik 3.5: Distribusi Temuan Camaenidae Kotak T6S1 ........................................ 49
Grafik 3.6: Distribusi Temuan Camaenidae Kotak S1B6 ........................................ 49
Grafik 3.7: Distribusi Temuan Pleuroceridae Kotak T6S1 ...................................... 53
Grafik 3.8: Distribusi Temuan Pleuroceridae Kotak S1B6 ...................................... 53
Grafik 3.9: Distribusi Variasi Jenis Bivalvia Kotak T6S1 ......................................... 58
Grafik 3.10: Distribusi Variasi Jenis Bivalvia Kotak S1B6 ....................................... 59
Grafik 3.11: Distribusi Temuan Unionidae Kotak T6S1 .......................................... 63
Grafik 3.12: Distribusi Temuan Unionidae Kotak S1B6 .......................................... 63
xii
DAFTAR PETA
Peta 2.1: Lokasi Penelitian Gua Kidang, Blora, Jawa Tengah ............................... 17
Peta 4.1: Peta Kawasan Sekitar Gua Kidang ........................................................ 77
xiii
DAFTAR SINGKATAN
Balar: Balai Arkeologi
BT: Bujur Timur
C: Celcius
Cm: Centimeter
Dkk: Dan kawan-kawan
Dpl: Di atas permukaan laut
Ed: Editor
IR: Infra Red
Km: Kilometer
LS: Lintang Selatan
Mm: millimeter
Sp: Species
t.t: Tanpa Tahun
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Ketika manusia prasejarah pertama hidup di dunia, kelompok tersebut
hanya dapat mengandalkan apa yang tersedia dari alam sebelum pada akhirnya
menjadi manusia modern seperti sekarang ini. Lingkungan alam merupakan faktor
yang paling penting dalam pengambilan keputusan untuk memilih tempat tinggal.
Proses adaptasi manusia terbentuk karena lingkungan tempat mereka tinggal
(Steward, 1959: 90). Dengan kata lain, upaya manusia prasejarah untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan mengakibatkan pengambilan keputusan
untuk memenuhi kebutuhan hidup tidak akan jauh-jauh dari pertimbangan
lingkungan tempat tinggal. Menurut Karl Butzer (1982) yang dikutip oleh Kuswanto
(2007), pemilihan lokasi hunian pada masyarakat berburu dan meramu memiliki
beberapa kriteria, antara lain: ketersediaan sumber air, adanya tempat berteduh,
kondisi tanah yang lembap, bentang lahan yang memudahkan untuk bergerak
dengan leluasa, tersedianya sumber makanan baik berupa flora maupun fauna,
serta faktor-faktor yang memberi kemudahan dalam cara memperoleh sumber
bahan tersebut.
Pertimbangan untuk memilih suatu lokasi menjadi tempat tinggal tersebut
membutuhkan proses yang cukup panjang dengan penyesuaian terhadap kondisi
lingkungan masa purba yang rentan terhadap perubahan alam. Proses penyesuaian
suatu kelompok akan menghasilkan suatu strategi tertentu dalam usaha
mempertahankan hidup. Strategi adaptasi adalah suatu proses untuk mengatasi
2
berbagai masalah yang berada di lingkungan alam, budaya dan ekonomi dalam
rangka memenuhi kebutuhan pokok demi kelangsungan hidupnya (Martias, 2009).
Pada akhirnya, lingkungan merupakan salah satu faktor penentu dari kesuksesan
adaptasi pemenuhan kebutuhan pangan pada suatu komunitas manusia prasejarah.
Proses usaha pemenuhan kebutuhan manusia pada masa prasejarah selalu
dikaitkan dengan usaha paling utama yaitu untuk usaha untuk memenuhi konsumsi
pangan yang menjadi kebutuhan pokok manusia. Sebagai kebutuhan paling
mendasar seluruh makhluk hidup, kebutuhan pangan manusia pada masa
prasejarah hanya dapat dipenuhi oleh lingkungan sekitar dari tempat mereka
tinggal. Oleh karena itu, kegiatan mengumpulkan kebutuhan pangan sangat
berpengaruh pada kebudayaan manusia. Alat-alat yang dihasilkan oleh manusia
pada masa itu disesuaikan dengan sumber bahan yang hendak dieksploitasi.
Menurut Sharer dan Ashmore (1993), pengumpulan makanan menjadi dasar dari
semua teknologi yang dibuat oleh manusia untuk melakukan proses adaptasi
terhadap lingkungan tempat tinggal mereka. Maka tidaklah heran, suatu corak
kebudayaan ditentukan dari sumber daya yang dikonsumsi.
Ilmu arkeologi merupakan ilmu yang mempelajari objek material masa lalu
beserta satuan keruangan yang melingkupinya, untuk mengungkapkan bentuk,
fungsi dan proses budaya (Sharer dan Ashmore, 1993). Salah satu cabang ilmu ini
ialah kajian arkeologi lingkungan yang mempelajari kondisi lingkungan pada masa
lampau untuk menjembatani proses kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia
pendukung masa tersebut. Kajian ilmu ini dapat memberikan gambaran tentang
usaha pemenuhan kebutuan pangan pada masa lalu. Hal tersebut dapat terjadi
karena manusia dan lingkungan saling berinteraksi untuk menghasilkan sebuah
3
model perilaku budaya yang sesuai dengan kondisi lingkungan tempat manusia
tersebut hidup.
Salah satu pendekatan dari kajian arkeologi lingkungan adalah lewat
penelitian dari sisa-sisa fauna yang ada di suatu situs arkeologi, baik temuan artefak
maupun ekofak. Fauna pada situs arkeologi memiliki peran penting dalam upaya
pengungkapan adaptasi manusianya. Keberadaan sisa-sisa fauna dapat
membeberkan fakta mengenai pangan yang dikonsumsi oleh komunitas manusia
pada masa lampau. Selain itu, sisa fauna yang ditemukan pada situs prasejarah
dapat membantu menentukan karakter iklim dan kondisi lingkungan (Renfrew dan
Paul Bahn, 1991: 215), karena tiap fauna memiliki kemampuan untuk bertahan
hidup yang berbeda-beda, terutama pada kondisi perubahan iklim dan cuaca yang
tidak menentu seperti pada Kala Pleistosen Akhir menuju awal Kala Holosen.
Salah satu jenis fauna indikator yang dapat memberikan gambaran terhadap
perubahan lingkungan adalah jenis microfauna. Menurut Colin Renfrew (1991)
microfauna atau binatang berukuran kecil memiliki sensitivitas terhadap guncangan
dan dapat beradaptasi dengan cepat pada lingkungan yang telah berubah. Jenis
microfauna juga merupakan temuan paling banyak muncul dari tiap penggalian
situs-situs prasejarah adalah temuan cangkang moluska. Studi analisis moluska
dapat menjadi data rekonstruksi lingungan dan iklim purba, studi mengenai sumber
daya pangan dan penggunaan cangkang moluska untuk dijadikan alat maupun
perhiasan. Keunggulan dari temuan cangkang moluska ini sangat berpotensi besar
untuk mengungkapkan lingkungan kehidupan manusia prasejarah.
Moluska memiliki ciri fisik berupa cangkang keras yang mengandung
kalsium karbonat (calcium carbonate) yang menyebabkan cangkang ini dapat
terlindungi dari pengapuran (Shackley, 1981: 125-126). Karena kelebihannya inilah,
4
bagian cangkang moluska dapat bertahan lama dan menjadi data yang sangat
penting, terutama dalam kajian arkeologi lingkungan. Berbagai penelitian situs
prasejarah di Indonesia menunjukkan bahwa moluska dikonsumsi sebagai bahan
pangan dan juga sisa-sisa cangkangnya dimanfaatkan kembali menjadi berbagai
macam alat-alat yang digunakan untuk memudahkan kegiatan berburu atau
mengkonsumsi hasil buruan.
Temuan cangkang moluska ini merupakan salah satu temuan yang sering
kali ditemukan di berbagai situs hunian gua-gua prasejarah. Situs Prasejarah yang
memiliki temuan cangkang moluska di Jawa antara lain di Situs Mulyorejo (Cepu),
serta situs gua-gua prasejarah di Kawasan Karst Gunungsewu, seperti Song
Keplek, Song Terus Punung, dan Song Jebreng. Ada pula temuan berbagai alat
berbahan dasar cangkang moluska di situs-situs di Kawasan Karst Tuban seperti di
Song Prahu. Selain situs-situs yang telah disebutkan tadi, terdapat situs hunian
prasejarah yang baru-baru ini diteliti secara intensif dan terdapat temuan moluska
yang cukup signifikan, yaitu Situs Gua Kidang.
Situs Gua Kidang berada di Kawasan Karst Blora. Situs hunian ini secara
administratif terletak di Desa Tinapan, Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora, Jawa
Tengah. Gua ini berada di Kawasan Karst Blora yang termasuk dalam kawasan
perbukitan Rembang. Menurut pendapat Yuwono (2005), diperkirakan penghunian
kawasan karst Perbukitan Rembang, sebagai kelanjutan migrasi darat dari
Punggungan Kendeng, mulai berlangsung pada akhir Pleistosen.
Berdasarkan penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta yang dilakukan sejak
tahun 2005, gua-gua di Kawasan Karst Blora memiliki profil fisik yang cukup unik
dan hampir kebanyakan merupakan jenis gua vertikal. Akibat dari kondisi morfologi
wilayah Todanan Selatan yang secara umum berlereng landai, bergelombang
5
sedang, dan tidak dijumpai gua-gua tebing yang biasanya menjadi pilihan utama
hunian manusia prasejarah (Nurani dan Yuwono, 2009).
Gua Kidang sendiri merupakan sebuah gua yang terbentuk akibat runtuhnya
atap dari sebuah ruang besar bawah tanah sehingga menghasilan lubang vertikal
yang sangat besar (Nurani dan Yuwono, 2009). Meskipun berada di bawah
permukaan tanah, akses untuk menuju ruangan gua masih relatif mudah. Selain itu,
kondisi Gua Kidang memiliki kelembapan sedang. Sirkulasi udara di gua sangat
baik dengan pencahayaan yang cukup memadai, dan memiliki ruang yang luas
yang diperkirakan cukup menjadi ruang untuk berbagai macam aktivitas. Sumber
daya air terdekat dari gua berupa anak sungai yang berada di sekitar wilayah situs
yang berada di daerah Desa Tinapan dan Desa Kedungwungu. Sementara itu,
terdapat cekungan air yang kemudian dijadikan waduk bernama Waduk Bentolo di
Desa Kedungwungu. Waduk ini sekarang berfungsi sebagai pengatur aliran sungai
untuk irigasi. Aliran dari sungai-sungai yang ada di sekitar Gua Kidang akan
bermuara pada sungai besar yang bernama Sungai Lusi yang letaknya 8 km di
sebelah selatan Gua Kidang. Adapun sumber daya air laut terdekat dari situs adalah
Laut Jawa yang berjarak sekitar 28 hingga 30 km ke arah utara.
Penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi di situs Gua Kidang telah
dilaksanakan secara bertahap semenjak tahun 2005 dan paling akhir dilakukan
pada tahun 2012 yang lalu. Temuan yang didapatkan dari penelitian yang selama ini
berlangsung memiliki variasi cukup beragam baik jenis temuan artefaktual maupun
ekofaktualnya. Temuan artefak bervariasi dan memiliki bahan berasal dari sisa-sisa
tulang binatang maupun berasal dari cangkang moluska.
Pertanggalan dengan menggunakan sampel arang menunjukkan bahwa
Gua Kidang telah dihuni kurang lebih pada 7.770 BC. Situs hunian Gua Kidang ini
6
juga menunjukkan jejak penguburan dengan ditemukannya kerangka berjumlah dua
individu manusia. Satu rangka ditemukan dalam kondisi terlipat menghadap ke arah
barat. Sementara untuk satu individu lainnya ditemukan dalam kondisi yang tidak
utuh karena hanya ditemukan bagian kakinya saja.
Penelitian di Gua Kidang merupakan salah satu dari situs prasejarah yang
diteliti secara berkesinambungan oleh Balar Yogyakarta dengan tujuan untuk
mengungkap kebudayaan manusia prasejarah, terutama di Kawasan Karst Blora.
Hingga saat ini, penelitian tentang pola okupasi komunitas penghuni Gua Kidang
masih berlanjut.
B. RUMUSAN DAN TUJUAN MASALAH
Dari ulasan di atas dapat ditarik beberapa permasalahan yang hendak
dipecahkan, antara lain:
1. Apa saja jenis temuan moluska dan bagaimana habitat tempat tinggal dari
moluska tersebut?
2. Bagaimana komunitas penghuni Gua Kidang memanfaatkan jenis-jenis
moluska tersebut?
3. Bagaimana strategi adaptasi lingkungan yang dilakukan oleh komunitas
penghuni Gua Kidang untuk memperoleh jenis moluska tersebut?
Tujuan dari penelitian ini adalah menjawab permasalahan yang telah dijabarkan,
yaitu untuk mengetahui berbagai macam jenis temuan moluska serta habitatnya
yang diperkirakan dikonsumsi oleh komunitas penghuni Gua Kidang. Selain itu,
penelitian di Gua Kidang berupaya memperoleh gambaran mengenai kondisi
lingkungan dan bagaimana cara-cara tertentu yang dilakukan oleh manusia pada
7
masa itu untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Serta bagaimana strategi
adaptasi terhadap lingkungan di wilayah sekitar Gua Kidang, terutama dalam
rangka memperolah moluska.
C. RUANG LINGKUP PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di situs Gua Kidang yang secara administratif terletak
di Desa Tinapan, Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Data yang
dipakai dalam penelitian ini berupa data artefak dan ekofak temuan cangkang
moluska dari hasil penggalian yang telah dilakukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta.
Data yang digunakan adalah hasil ekskavasi tahun 2005 hingga 2010, pada
dua kotak, yaitu kotak T6S1 dan S1B6. Pemakaian data dari kedua kotak tersebut
ditekankan pada jumlah dan variasi temuannya yang menarik. Selain itu juga, kotak
T6S1 mencapai kedalaman 160 cm, karena merupakan kotak dengan penggalian
paling dalam diantara kotak ekskavasi yang lain. Temuan moluska menjadi data
berupa artefak alat kerang yang digunakan serta ekofak yang diperkirakan sisa
sampah komunitas penghuni Gua Kidang. Penggunaan data ini sendiri telah
mendapatkan ijin dari Ketua Tim Penelitian, yaitu Indah Asikin Nurani.
D. KEASLIAN PENELITIAN
Penelitian di situs Gua Kidang telah dilakukan oleh Balai Arkeologi (Balar)
Yogyakarta selama beberapa tahap dimulai sejak tahun 2005 dan paling akhir
dilakukan pada tahun 2012. Pada penelitian pertama, Balar Yogyakarta mencoba
mengeksplorasi sebaran gua-gua dan kondisi geologis-geografis di Kawasan Karst
Blora. Dari penelitian tahap I (2005) dan II (2006) dapat disimpulkan bahwa
8
Kawasan Karst Blora sangat minim gua hunian dikarenakan kondisi bentang
lahannya tidak ideal menjadi hunian. Hanya ada satu gua yang memiliki potensi
arkeologis yaitu Gua Kidang. Dengan demikian, penelitian selanjutnya dari tahun
2009 hingga 2011 bertujuan untuk mengungkapkan kebudayaan komunitas
penghuni Gua Kidang, Blora. Tujuan penelitian Balar Yogyakarta yaitu mencoba
mengungkapkan pola okupasi Kawasan Kart Blora serta interaksi manusia penghuni
Gua Kidang dengan sumber daya alam sekitarnya (Nurani dan Hascaryo, 2010).
Penelitian mengenai strategi subsistensi dalam upaya bertahan hidup
dengan bergantung pada lingkungannya telah dibahas dalam skripsi yang berjudul
“Strategi Subsistensi Pendukung Budaya Situs Gua Macan: Tinjauan Data
Ekskavasi” oleh Yogi Piskonata. Dalam tulisannya, penulis mencoba
mengungkapkan bagaimana strategi adaptasi dalam upaya pemenuhan kebutuhan
hidup komunitas manusia yang tinggal di Gua Macan yang berada di Desa Kepel,
Jember, Jawa Timur. Data yang digunakan tidak hanya mencakup temuan
cangkang moluska saja namun juga temuan tulang dan gigi fauna, litik, dan lain
sebagainya.
Ada pula penelitian yang dilakukan oleh Irsyad Martias (2009) melalui skripsi
yang berjudul “Model Transformasi Sampah Cangkang Kerang di Pemukiman
Kawasan Pesisir Watukarung, Pacitan: Studi Etnoarkeologi”. Penelitian ini
menitikberatkan pada bagaimana proses transformasi sampah cangkang kerang
menjadi data arkeologis.
Untuk kajian analisis moluska telah dibahas oleh Gregorius Dwi Kuswanto
(2007) yang berjudul “Eksploitasi Sumber Daya Akuatik oleh Komunitas Penghuni
Song Jrebeng”. Dalam skripsinya, dibahas mengenai rekonstruksi habitat yang
9
menyediakan sumberdaya akuatik yang telah dimanfaatkan komunitas manusia
prasejarah untuk bertahan hidup di lingkungan pesisir.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis mengambil tema strategi adapatasi
lingkungan oleh komunitas penghuni Gua Kidang dalam rangka melakukan
pemenuhan kebutuhan pangan dengan data yang digunakan yaitu temuan
cangkang moluska. Data tersebut termasuk jenis artefaktual dan ekofaktual yang
ditemukan melalui ekskavasi.
E. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode yang bersifat eksplikatif atau deskriptif,
yaitu memberikan gambaran data arkeologi yang ditemukan, baik dalam kerangka
waktu maupun bentuk, serta berupaya mengungkapkan hubungan antar variabel
penelitian (Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, 2008).
Selanjutnya, jenis penalaran yang digunakan pada penelitian adalah penalaran
induktif. Penalaran ini bergerak dari kajian fakta-fakta atau gejala-gejala khusus
untuk kemudian disimpulkan sebagai gejala umum atau yang disebut juga
generalisasi empiris (Tanudirjo, 1988-1989).
Studi analisis cangkang moluska dari penelitian dapat berguna sebagai
landasan dalam upaya menafsirkan kondisi ekologis dan arkeologis dalam suatu
situs hunian prasejarah. Kajian lingkungan merupakan aspek penting yang sangat
berpengaruh terdapat hasil-hasil kebudayaan suatu komunitas. Kajian arkeologi
lingkungan berupaya untuk menjembatani proses kebudayaan berdasarkan
adaptasi lingkungan masyarakat. Selain itu, kebudayaan merupakan hasil dari
adaptasi dari lingkungan (Steward, 1959), sehingga dapat dilihat bagaimana suatu
10
lingkungan hidup dapat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap
pemikiran dan tingkah laku manusia yang menempatinya.
Sesuai dengan metode dan penalaran tersebut maka penelitian ini melalui
tahap-tahap sebagai berikut:
1. Tahap Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data
primer meliputi: temuan data artefaktual dan ekofaktual cangkang moluska
dari hasil ekskavasi yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta mulai
dari tahap I (2005) hingga IV (2010). Data stratigrafi juga diperlukan untuk
mengungkapkan kronologi dari pemanfaatan berbagai jenis moluska yang
ditemukan melalui gambaran yang diungkapkan lewat endapan tanah. Untuk
melengkapi data lingkungan dilakukan observasi lapangan untuk
mendapatkan gambaran mengenai bagaimana kondisi situs dan lingkungan
di sekitarnya Gua Kidang.
Sementara itu untuk data sekunder dilakukan kajian pustaka sebagai
data pendukung. Pemakaian peta juga merupakan pendukung data dari
observasi lapangan yang dilakukan. Sebagai data pendukung untuk
mengetahui perilaku pengumpulan kerang dilakukan kajian etnografi dari
masyarakat pengumpul kerang. Data etnografi ini diharapkan dapat
menjembatani penulis dalam memahami model perilaku kelompok
masyarakat pengumpul moluska Gua Kidang.
2. Tahap Analisis Data
Setelah data, baik primer maupun sekunder, telah terkumpul maka
tahap selanjutnya yaitu menganalisis data tersebut. Sesuai dengan tujuan
11
dari penelitian ini, yaitu merekonstruksi strategi adaptasi lingkungan dalam
memperoleh moluska, maka analisis yang dilakukan meliputi:
a. Analisis Taksonomi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, taksonomi merupakan
cabang ilmu biologi yang mengelompokkan makhluk hidup berdasarkan
persamaan dan perbedaan sifatnya. Dengan demikian identifikasi
taksonomis temuan moluska di Gua Kidang dilakukan untuk
mengelompokkan individu temuan cangkang moluska secara biologis
sehingga dapat diketahui variasinya (Martias, 2009). Pengelompokan
moluska ini berdasarkan ciri-ciri bentuk, warna, dan lain sebagainya. Dari
analisis ini dapat diketahui jenis moluska yang ada. Setelah diketahui
jenisnya, maka dengan mudah akan dapat diketahui lingkungan tempat
moluska tersebut dapat hidup.
Analisis taksonomi yang dilakukan melalui pembandingan dengan
rujukan pustaka antara lain: Kerang dan Siput Indonesia Vol 1 & 2 yang
ditulis oleh Bunjamin Dharma (1988&1992), Shells yang ditulis oleh Peter
Dance (1992), Shells: Guide to The Jewels of The Sea yang ditulis oleh
Giorgio Gabbi (1999), Gastropods dan Bivalvia yang ditulis oleh J. H Leal
(t.t), A Field Guide in Colour to Molluscs yang ditulis oleh Václav Pfleger
(1999), serta Eksploitasi Sumber Daya Akuatik oleh Komunitas Penghuni
Song Jrebeng yang ditulis oleh Gregorius D. Kuswanto (2007). Selain
dari rujukan pustaka dilakukan juga analisis taksonomi di Laboratorium
Taksonomi dan Sistematika Hewan, Fakultas Biologi, UGM diawasi
langsung oleh laboran.
12
Analisis taksonomi dilakukan pada data artefaktual maupun
ekofaktual temuan moluska Gua Kidang yang masih mampu
menunjukkan ciri-ciri khusus dari tiap jenisnya.
b. Analisis Lingkungan
Analisis lingkungan dianggap ideal untuk merekonstruksi strategi
adaptasi komunitas penghuni Gua Kidang dalam skala meso, karena
rekonstruksi lingkungan yang dilakukan cenderung hanya melalui
observasi pada lingkungan sekitar situs saja.
Veriabel lingkungan yang diambil dalam penelitian ini mencakup
bentang lahan, sumber daya air, iklim, cuaca, dan keanekaragaman
jenis flora dan fauna yang ada di wilayah situs. Data lingkungan masa
kini dianggap dapat mewakili lingkungan masa hunian komunitas Gua
Kidang yang tidak terlalu berbeda.
c. Pendekatan Etnografi
Data etnografi dari suatu kelompok masyarakat pengumpul kerang
bisa menjadi jembatan dalam memahami model perilaku kelompok
masyarakat pengumpul moluska Gua Kidang dengan manusia masa
kini. Dalam penelitian ini, pendekatan etnografi merujuk pada literasi
mengenai masyarakat pengumpul kerang di Rawa Pening yang disusun
oleh Rahayu Suciati (1992). Data etnografi ini dipilih karena masyarakat
pengumpul Kerang di Rawa Pening lebih banyak mengumpulkan jenis
kerang air tawar. Diharapkan pola tingkah laku komunitas penghuni Gua
Kidang dalam mencari bahan moluska air tawar kurang lebih akan
serupa.
13
3. Tahap Sintesis
Pada tahap ini, diharapkan data dari tiap variabel yang telah
terkumpul dicari hubungannya satu sama lain. Analisis yang dilakukan
kemudian dipadukan untuk diinterpretasi agar dapat mengungkapkan upaya
adaptasi lingkungan komunitas penghuni Gua Kidang berdasarkan analisis
taksonomi, lingkungan serta pendekatan etnografi tersebut.
4. Kesimpulan
Pada tahapan ini diharapkan dapat disimpulkan secara singkat,
keseluruhan penelitian ini. Kesimpulan tersebut diarahkan untuk
memberikan gambaran mengenai variasi data moluska yang dieksploitasi
oleh komunitas penghuni Gua Kidang berdasarkan studi analisis taksonomi.
Selain itu melalui analisis lokasional diperoleh pula rekonstruksi strategi
adaptasi lingkungan alam di sekitar situs hunian ini.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
A. KONDISI GEOGRAFIS SEKITAR LOKASI PENELITIAN
Situs Gua Kidang merupakan salah satu hunian Prasejarah yang ada di
Kawasan Karst Blora. Secara administratif, situs ini berada di Desa Tinapan,
Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi astronomis
gua ini terletak pada 06° 59’ 18, 6” LS & 111° 11’ 50, 2” BT. Situs hunian ini terletak
pada kawasan perbukitan batugamping Kabupaten Blora. Jarak situs dengan laut
terdekat yang berada di utara dari Pulau Jawa kurang lebih sekitar 28 – 30 km.
1. Fisiografi dan Geomorfologi
A.J Pannekoek (1949) membagi wilayah Jawa di sebelah timur menjadi
beberapa zone fisiografis (Suhartono, 2000). Zone tersebut antara lain:
a). Kelompok Zona Lipatan Utara
Bagian wilayah ini merupakan zona terlebar ( ± 87 km). Daerah ini
dibagi ke dalam 2 sub-zone yaitu wilayah Pegunungan Kendeng dan
Perbukitan Rembang. Di antara keduanya dipisahkan oleh depresi
memanjang yang bernamakan Depresi Randublatung. Topografinya
cenderung datar dengan ketinggian rata-rata 200 m, kecuali pada
daerah sekitar Pegunungan Kendeng dan Perbukitan Rembang
bertopografi berbukit-bukit dengan ketinggian rata-rata 300 m.
b). Kelompok Zona Tengah Vulkanik
Zona ini berada pada bagian tengah Jawa Timur yang memiliki jarak
rata-rata 65 km dengan topografi bergelombang. Ketinggiannya
15
bervariasi dari 100 m sampai ribuan meter. Zona ini dibagi secara
longitudinal: sub-zona Blitar dibagian paling selatan, sub-zona Solo
yang terdiri dari kelompok gunung api dan dataran antar
pegunungan, serta sub-zona Ngawi yang berbatasan dengan
Pegunungan Kendeng.
c). Kelompok Zona Plato Selatan
Sebagian besar merupakan topografi karst yang cenderung miring ke
arah Samudera Indonesia (ke arah selatan). Bagian terlebar ±40 km
dan tersempit ±10 km.
Sesuai dengan pengelompokkan fisiografis tersebut, lokasi wilayah
penelitian ini terdapat pada daerah Kelompok Zona Lipatan Utara. Kelompok
perbukitan tersebut, terbentang antiklin Rembang-Madura di wilayah utara,
Punggungan Kendeng di selatan, dan zone sinklinal di antaranya, yang membujur
dari barat ke timur, yang dikenal dengan sebutan Depresi Randublatung. Wilayah
diantara keduanya ini diperkirakan masih berupa laut semi tertutup pada Kala
Pleistosen Bawah. Akibat dari proses sedimentasi dan pengangkatan barulah
kawasan tersebut menjadi daratan seperti saat ini (Bemmelen, 1949: 29-30;
Suhartono 2000: 22; Yuwono, 2005).
Antiklinorium Rembang memiliki lebar rata-rata ± 50 km. Perbukitan ini
membujur dari barat ke timur dan mencapai pantai utara yang kemudian dipisahkan
oleh pantai dan bukit berpasir (Bemmelen, 1949: 29-30). Morfologi di Kawasan
Perbukitan Rembang lebih landai dan lebih simetris dibandingkan dengan
Punggungan Kendeng yang cenderung terjal. Selain itu juga, kawasan ini terdiri dari
16
sejumlah bukit kapur berderet dan berselang-seling dengan dataran aluvial
(Yuwono, 2005).
Antiklinorium Rembang tersusun dari deposit Neogene muda yang tipis,
berupa batu gamping yang berumur Pliosen Atas yang sangat berpengaruh
terhadap pembentukan topografi wilayah tersebut. Sementara itu, Deposit
Pleistosen Bawah dan tanah tersusun atas lempung yang mudah tererosi dan
mengisi sinklinal dari lipatan (Pannekoek, 1949). Karakteristik perbukitan ini antara
lain berupa topografi karst berbukit-bukit konikal, lembah kering serta gua-gua. Di
sisi utara dari Antiklin Rembang ini dapat ditemukan hasil abrasi marin pada
ketinggian 20 m. Hal ini menjadikan bukti adanya pengangkatan daratan sehingga
bergabungnya Pulau Jawa menjadi satu (Yuwono, 2005).
Bentang lahan kawasan Antiklinorium Rembang memanjang dari barat ke
timur tersebut memiliki ketinggian 200 m dari permukaan laut (dpl). Berdasarkan
sudut tektonik lipatan-lipatannya, Antiklinorium Rembang cenderung lebih landai
dan simetris. (Bahagiarti, 2004: 36; Setyowati, 1993). Kabupaten Blora merupakan
bagian dari wilayah Antiklinorium Rembang yang telah mengalami pengangkatan
dan pelipatan sedemikian rupa yang menghasilkan 3 ciri khas bentang lahan. Ketiga
bentang lahan yang ada di Kabupaten Blora antara lain: aluvial, karst dan
tektonik/struktural (pfi3p.litbang.deptan.go.id). Wilayah penelitian situs Gua Kidang
berada pada kawasan perbukitan Rembang berada di bagian barat dari
Antiklinorium Rembang (lihat peta 2.1).
17
Peta 2.1: Lokasi Penelitian Gua Kidang, Blora Jawa Tengah
Modifikasi oleh Vinsensius Ngesti Wahyuono (2012)
18
2. Iklim dan Curah Hujan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, iklim adalah keadaan hawa
termasuk suhu, kelembaban, awan, hujan dan sinar matahari di suatu daerah
dalam jangka waktu yang panjang. Iklim merupakan salah satu faktor penting
dalam pembentukan kondisi bentang lahan suatu daerah. Iklim pula yang
berpengaruh terhadap perkembangan vegetasi dan variasi fauna yang muncul
dalam suatu daerah. Wilayah penelitian berada di Kawasan Karst Rembang yang
secara administratif terdapat di Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah.
Meskipun demikian, secara keletakannya dalam bentang alam Pulau Jawa,
keberadaan situs ini berada di wilayah Jawa bagian Timur.
Wilayah Jawa di bagian timur beriklim tropik monsoon yang ditandai
dengan pembagian tegas antara bulan basah dan bulan kering. Iklim ini
dipengaruhi oleh keberadaan arah angin. Secara umum, iklim di wilayah Jawa
bagian timur dikategorikan sebagai zona tropik menengah dengan suhu yang
cenderung hangat. Karena adanya musim kemarau dan kadang-kadang
kekeringan ganas, hutannya cenderung terbuka dan berpohon luruh (Bellwood,
2000: 11).
Curah hujan di Kabupaten Blora berkisar antara 1496 mm sampai 2506
mm. Hal ini dikarenakan kondisi iklim yang menyebabkan perbedaan curah hujan
antara musim kemarau dan musim penghujan. Durasi lamanya musim kering
sekitar 4 – 6 bulan, sementara musim penghujan kurang lebih 4 – 5 bulan. Suhu
udara rata-rata berkisar antara 26, 5° C – 28, 4° C (pfi3p.litbang.deptan.go.id).
19
3. Flora dan Fauna
Telah dijabarkan sebelumnya, iklim sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan vegetasi dan variasi fauna yang muncul di suatu daerah.
Kabupaten Blora masuk dalam iklim tropik monsoon yang menyebabkan
daerahnya ditumbuhi oleh pepohonan luruh. Wilayah dengan iklim seperti ini
cenderung memiliki hutan tropik musiman yang terbuka, kering, dan vegetasinya
meranggas pada musim-musim tertentu. Jenis pepohonan ini menggugurkan
daunnya pada musim kering, seperti Acacia leucophloea (Legu) dan kapok atau
randu alas (J Salmalia malabarica) (Whitten, 1999).
Variasi fauna di kawasan Jawa Timur masuk dalam kelompok fauna khas
dari Daerah Paparan Sunda. Jenis-jenis faunanya cenderung berupa mamalia
besar yang juga meninggalkan banyak sekali fosil di berbagai situs hunian
prasejarah (Bellwood, 2000: 19). Jenis fauna yang banyak ada di wilayah iklim
tropik monsoon antara lain seperti, banteng, badak, monyet, sapi, gajah, dll.
Pada situs Gua Kidang sendiri temuan tulang fauna antara lain: kerbau, rusa,
dan monyet. Untuk fauna akuatik yang dieksploitasi diketahui berdasarkan dari
tabel temuan 2.2 terdapat cangkang kepiting, lalu terdapat cangkang kura-kura
dan moluska.
4. Sumber Daya Air
Sumber daya air merupakan salah satu faktor penting yang menentukan
habitat tempat berkembangnya hewan bercangkang. Hampir separuh dari jenis
hewan moluska yang terklasifikasi memiliki habitat di tempat berair. Sisanya,
berbagai jenis moluska tersebut hidup di tempat yang cenderung lembap
20
meskipun tidak di air. Sumber daya air yang berada di Kawasan Karst Blora,
yang relevan dengan penelitian ini berada di beberapa lokasi daerah aliran
sungai.
Berdasarkan dari Peta RBI dengan skala 1: 25.000 pada lembaran
Kunduran, disisi sebelah selatan dari Situs Gua Kidang mengalir sebuah sungai
besar yang bernama Sungai Lusi atau Kali Lusi dalam bahasa lokal yang
disebutkan oleh penduduk sekitar. Sungai Lusi merupakan bagian dari Sistem
Sungai Seluna (Sungai Seran Lusi Juana) yang bermuara ke di Laut Jawa.
Sungai Lusi mengalir dari timur ke barat dan memiliki luas 1.906, 48 km². Aliran
sungainya mengalir melewati Kabupaten Grobogan hingga Kabupaten Blora
Provinsi Jawa Tengah ( Hadi, 1989: 49; Rachmanto, 2006). Sungai Lusi
merupakan sungai besar yang akan terus mengalir sepanjang tahun. Sungai ini
tidak akan surut pada musim kemarau hanya debit airnya akan menurun.
Anak-anak sungai dari percabangan Sungai Lusi inilah kemudian
mengalir di antara tiga perbukitan yaitu Punggungan Kendeng, Cepu, dan
Kawasan Perbukitan Rembang (Hadi, 1989: 72). Beberapa anak sungai yang
mengalir melewati daerah Kunduran yang berdekatan dengan Situs Gua Kidang.
Berdasarkan dari survei yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta
pada tahun 2009, terdapat beberapa aliran sungai yang mengalir di wilayah
Todanan yang merupakan desa tempat Situs Gua Kidang berada. Sumber daya
air tersebut, antara lain: aliran sungai di Kedungwungu, Kedungwaru, Kalisat,
dan Kali Jaten (Asikin dan Hascaryo, 2010). Keempat daerah aliran sungai
tersebut berlokasi tidak terlalu jauh dari lokasi penelitian dan berdasarkan
pengamatan Peta RBI, aliran sungai dari keempat wilayah tersebut akan
bermuara ke Sungai Lusi.
21
Keempat aliran sungai tersebut memiliki karakterisitik batu gamping yang
terlihat pada singkapan-singkapannya serta memiliki karakteristik sungai yang
hampir dapat ditemui wilayah Pulau Jawa yang cenderung memiliki aliran pendek
dan lebar yang tidak terlalu besar (Whitten, 1999). Terdapat cekungan air yang
kemudian dijadikan waduk yang diberi nama Waduk Bentolo di Desa
Kedungwungu. Waduk ini sekarang berfungsi sebagai pengatur aliran sungai
untuk irigasi.
Volume air juga sangat terpengaruh oleh musim. Ketika memasuki musim
penghujan, debit air meningkat dan arus air yang bertambah deras. Sedangkan
pada musim kering, permukaan dan arus air mengalami penurunan. Ada
beberapa anak sungai yang mengalami kekeringan.
B. DESKRIPSI SITUS GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH
Balai Arkeologi (BALAR) Yogyakarta pertama kali melakukan penelitian di
wilayah karst Blora semenjak tahun 2005 dan telah berlangsung terakhir pada
bulan April 2011 yang lalu. Penelitian awal yang dilaksanakan pada tahun 2005
memiliki tujuan awal survei potensi arkeologis di daerah karst Blora. Selama ini,
penelitian arkeologis di daerah karst perbukitan Rembang lebih banyak
mengeksplorasi kawasan karst Tuban yang terletak di utara. Sementara itu,
bagian selatan belum banyak eksplorasi potensi arkeologis terutama di kawasan
karst Blora.
Berdasarkan survei yang dilakukan BALAR Yogyakarta pada tahun 2005,
dapat disimpulkan bahwa gua yang memiliki potensi sebagai gua hunian adalah
22
Gua Kidang yang terletak di Desa Tinapan, Kecamatan Todanan, Kabupaten
Blora, Provinsi Jawa Tengah. Ukuran luas ruang Gua Kidang yaitu dalam gua 36
m x lebar 18 m x tinggi 18 m. Ruang gua cukup lapang, dengan langit-langit yang
tinggi sehingga sirkulasi udara sangat baik dan tidak pengap (lihat foto 2.1).
Lahan di dalam gua juga cukup kering sehingga bisa dijadikan tempat untuk
beraktifitas.Gua ini cukup mendapatkan banyak sinar matahari meskipun letak
Gua Kidang berada di bawah permukaan tanah (lihat foto: 2.2). Akses menuju
gua harus melalu jalan setapak yang menurun dengan kemiring sekitar 60° (lihat
foto 2.3). Jalan masuk tersebut relatif cukup mudah untuk dilalui.
Foto 2.1: Kondisi Ruang Gua Kidang Dokumentasi oleh: Ayu Dipta Kirana
23
Foto 2.2: Permukaan Atas Gua Kidang (Menggunakan IR)
Dokumentasi Oleh: Andreas Eka Atmaja (Balar Yogyakarta, 2012)
Foto 2.3: Akses menuju Gua
Dokumentasi: Ayu Dipta Kirana
Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa manusia selalu memiliki
pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam penentuan lokasi tempat tinggal.
Menurut Karl Butzer (1982) yang dikutip oleh Kuswanto (2007), komunitas
manusia pada masa pemburu dan meramu akan memilih tempat tinggal dengan
24
kondisi yang ideal sebagai tempat berteduh, tempatnya cenderung lembap,
kondisi tanah yang kering, serta kondisi sekitarnya memiliki akses yang mudah
untuk dilalui sehingga mereka dapat bergerak leluasa untuk memenuhi
kebutuhan dengan bergantung dari sumber daya alam sekitar mereka.
Pada awal mulanya, Gua Kidang merupakan bagian lorong dari sistem
sungai bawah tanah yang naik ke permukaan akibat dari proses pelipatan dan
pengangkatan Perbukitan Rembang. Sistem sungai bawah tanah merupakan
sistem sumber daya air penting terutama bagi bentang lahan kawasan karst.
Menurut Haryono dan Adji (2004) yang dikutip oleh Kuswanto (2007), sifat
batuan karbonat mempunyai banyak rongga percelahan yang mudah larut oleh
air dan mengakibatkan sistem drainase permukaan tidak berkembang. Hal
tersebut menyebabkan sumber daya air pada bentang lahan karst berkembang
sistem sungai bawah tanah termasuk di kawasan karst Blora dengan Gua Kidang
sebagai bagian darinya.
Berdasarkan penelitian oleh Balar Yogyakarta (2011) diketahui bahwa
berdasarkan keruangan, awalnya merupakanlorong dari aliran sungai bawah
tanah (Nurani dan Hascaryo, 2011: 19-21). Aliran sungai mempengaruhi proses
pelarutan dalam lorong, terutama karena sifat batuan karbonat yang mudah
terkikis. Bagian atap lorong tersebut semakin lama semakin menipis seiring
dengan gempuran arus sungai. Sementara itu kondisi hujan dalam jangka waktu
yang lama menyebabkan pengikisan pada bagian atap lorong. Kekar-kekar yang
berkembang pada bagian atap semakin memperkuatkan erosi hingga pada
akhirnya bagian atas dari lorong tersebut kemudian runtuh. Hal ini
mengakibatkan lorong sungai bawah tanah tadi kemudian membentuk semacam
chamber. Lubang dari runtuhan tersebut semakin terkikis menjadikannya
25
semakin lebar. Akibatnya sinar matahari dapat masuk dan menerangi bagian
dalam dari chamber tersebut. Pada akhirnya, pembentukan daratan dari
Perbukitan Rembang mengakibatkan bagian dalam chamber tersebut akhirnya
kering sehingga layak untuk dijadikan hunian pada masa prasejarah.
1. Hasil Penelitian di Situs Gua Kidang, Blora
Penelitian yang dilakukan oleh BALAR Yogyakarta pertama kali dilakukan
pada tahun 2005 dan telah berlangsung selama lima tahap. Penelitian tahap I
(2005) bertujuan untuk mengeksplorasi sebaran gua dan kondisi geologi dan
geografis di wilayah perbuktian batu gamping daerah tersebut. Dari survei yang
dilakukan telah menemukan sembilan gua horizontal dan sebuah gua vertikal
yang ada di wilayah Kabupaten Blora. Pada penelitian tahap ini ditemukan
potensi Gua Kidang sebagai gua hunian masa prasejarah. Ekskavasi dilakukan
dengan membuka satu buah kotak test spit yang diberi kode LU.1. Letak kotak ini
berada di sisi sebelah kanan bagian muka gua. Ekskavasi dilakukan hingga
kedalaman 90 cm. Temuan ekskavasi antara lain: fragmen tulang hewan,
fragmen tembikar, keramik asing, uang koin masa sejarah, fragmen cangkang
moluska, dan temuan gigi molar Homo sapiens. Temuan paling mendominasi
dari penggalian ini adalah fragmen cangkang moluska. Penggalian ini telah
menunjukkan adanya indikasi hunian oleh sekelompok manusia di Gua Kidang
sehingga penelitian di Gua Kidang pun berlanjut ke tahap berikutnya.
Penelitian tahap II (2006) penelitian Gua Kidang masih dilanjutkan
dengan eksplorasi jelajah wilayah karst untuk menemukan gua-gua potensial lain
yang memiliki jejak hunian prasejarah. Ekskavasi dilanjutkan di kotak LU.1
hingga kedalaman 95 cm. Selain melanjutkan kotak terdahulu, penggalian ini
26
kemudian membuka kotak ekskavasi baru yaitu Kotak S1B6, S2B6, dan B2U7.
Temuan dari penggalian tahun ini hampir serupa dengan penelitian tahun
sebelumnya. Dari penelitian tahap I dan tahap II ditarik kesimpulan bahwa di
Kawasan Karst di Kecamatan Todanan cenderung minim gua hunian. Hal ini
merupakan akibat dari bentukan geomorfologis gua-gua vertikal dari bentuk
lorong-lorong sungai bawah tanah yang tidak ideal untuk ditinggali.
Untuk itu, penelitian tahap III (2009) difokuskan pada eksplorasi situs
hunian Gua Kidang. Tujuan penelitian tahap ini mengharapkan untuk dapat pola
okupasi hunian Gua Kidang. Penelitian ini mencoba melihat pola pemanfaatan
sumber daya alam dalam menyiasati pola hidup manusia pendukung Gua Kidang
dan bentuk pemanfaatan lahan gua yang tersedia untuk mengetahui karakter
micro settlement dari Gua Kidang (Nurani, 2009: 3). Penggalian di situs Gua
Kidang membuka 3 kotak galian. Kotak tersebut antara lain adalah kotak LU.1
yang kemudian diberi nama kotak T6S1 yang berada di bagian depan kanan
mulut gua, kotak S2B1 yang berada di bagian kanan tengah gua, kotak S1B6
yang berada di dalam sisi kanan gua, dan terakhir kotak B2U7 yang berada di
bagian kiri tengah gua. Pada kotak S1B6, S2B1, dan B2U7 kotak galian telah
mencapai kedalaman kurang lebih 45 cm. Sementara itu untuk kotak T6S1 telah
mencapai kedalaman 150 cm.
Tahun 2010, penelitian tahap IV di Gua Kidang kembali dilaksanakan
untuk berupaya merekonstruksi pola adapatasi manusia penghuni gua hunian
untuk dengan lingkungannya. Selain itu, pada penelitian tahap IV lebih
ditekanankan rekonstruksi kronologi waktu awal pemanfaatan hingga akhir dari
situs hunian dengan penggalian kotak T6S1 sebagai patokannya. Rekonstruksi
ini menggunakan pendekatan geologi lewat analisis stratigrafi berdasarkan
27
sampel tanah yang ada di kotak dengan kedalaman mencapai 160 cm. Kotak
yang dibuka pada penggalian kali ini hanya 3 kotak saja, yaitu kotak T6S1, S1B6
dan B2U7. Penggalian pada kotak S2B1 tidak dilanjutkan karena keterbatasan
waktu dan tenaga.
Penelitian di Gua Kidang dilakukan Balar pada tahun 2011 masih
melanjutkan tujuan penelitian sebelumnya serta menjawab beberapa pertanyaan
penelitian yang belum terjawab. Penelitian tahap V kemudian kembali membuka
kotak ekskavasi T6S1 untuk mengetahui kronologis waktu situs hunian Gua
Kidang. Kotak yang dibuka pada penggalian ini antara lain: Kotak B2U7 yang
masih dilanjutkan kembali penggaliannya, T7S2, T6S2, dan terakhir kotak
U31T49 di Gua AA. Gua AA merupakan sebuah ceruk yang tepat berada di
seberang Gua Kidang. Sasaran penelitian tahap V lebih ditekankan untuk
mengungkapkan temuan rangka yang ditemukan di kotak T6S1 dan B2U7,
sehingga penggalian di kotak penggalian yang lain tidak dilanjutkan (Nurani dan
Hascaryo, 2011: 8)
Penggalian tahap VI yang dilakukan pada tahun 2012 kembali
melanjutkan penelitian yang terdahulu. Kotak ekskavasi yang dibuka pada
penelitian tahap ini berjumlah empat buah, yaitu antara lain: kotak B2U7; T6S2;
T7S2 dan kotak U31T49 di Gua Kidang AA. Penggalian di tahap ini kemudian
menemukan rangka manusia dalam kondisi terlipat serta menghadap ke barat –
timur di kotak T6S2. Dapat dikatakan, kondisi rangka manusia tersebut
merupakan salah satu indikasi sudah adanya sistem penguburan yang
diterapkan oleh komunitas penghuni Gua Kidang. Selain temuan kerangka
hominid, temuan ekskavasi pada tahap ini relatif cukup sama dengan temuan
tahap sebelumnya. Temuan yang ada, baik artefak maupun ekofak, kebanyakan
28
merupakan jenis tulang hewan dengan beragam ukuran. Temuan moluska juga
masih ditemukan meski dalam jumlah yang tidak cukup banyak.
Dari ulasan penelitian yang telah dilakukan oleh Balar Yogyakarta,
penulis kemudian memilah data yang akan dijadikan data primer dalam penelitian
ini. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah data artefaktual dan
ekofaktual cangkang moluska pada kotak T6S1 dan S1B6, serta berasal dari
penggalian tahap I – IV yaitu dalam kurun waktu tahun 2005 – 2010. Data tahun
2011 tidak digunakan dalam penelitian ini dikarenakan masih diolah lebih lanjut
oleh peneliti dari Balar Yogyakarta.
Alasan pemakaian data tersebut adalah kotak T6S1 merupakan kotak
ekskavasi yang telah mencapai kedalaman hingga 160 cm merupakan kotak
dengan penggalian paling dalam di Gua Kidang. Selain itu, dari rekaptulasi
temuan pada ekskavasi tahun 2011 baik temuan artefaktual ataupun ekofaktual
mengalami penurunan jumlah temuan drastis. Sehingga diperkirakan dalam
tahap analisis data tidak akan terlalu berpengaruh terhadap analisis taksonomi
pada spesimen moluska yang ada.
Temuan cangkang moluska yang ada di kotak S1B6 dipakai sebagai data
primer dalam penelitian ini dikarenakan kotak ini juga mencakup temuan
cangkang moluska yang memiliki signifikansi penting dalam upaya
merekonstruksi perolehan jenis moluska komunitas penghuni Gua Kidang. Kotak
T6S1 berlokasi di sisi kanan pada bagian mulut gua sementara itu kotak S1B6
berada di sisi kanan bagian dalam gua. Kedua kotak tersebut dianggap dapat
mewakili jenis perolehan cangkang moluska dan menjawab pertanyaan
penelitian berupa konstruksi strategi subsistensi penghuni Gua Kidang (lihat
Gambar 2.1).
29
Gambar 2.1: Peta Denah Kotak Ekskavasi Situs Gua Kidang (Sumber: Laporan Penelitian Arkeologi Tahun 2010 oleh Balar Yogyakarta)
30
1.1 Kotak T6S1
Kotak ini berada di sebelah kanan bagian muka Gua Kidang. Kotak
ekskavasi ini dibuka pertama kali pada tahun 2005. Kotak ini sebelumnya diberi
nama kotak LU.1 karena merupakan kotak test spit sebagai awal penggalian
untuk membuktikan adanya hunian prasejarah di Gua Kidang. Penggalian di
Kotak T6S1 telah mencapai kedalaman sekitar 160 cm. Sejauh ini, kotak ini
merupakan kotak ekskavasi yang paling dalam digali oleh Balar Yogyakarta.
Stratigrafi dari penggalian di kotak ini akan dijadikan acuan dalam
mengungkapkan kronologi waktu hunian Gua Kidang. Temuan kotak T6S1
sangat beragam dengan jumlah yang melimpah (lihat tabel 2.1) mengingat telah
digali pada setiap tahap penelitian di Gua Kidang.
Kedalaman ekskavasi tahap I mencapai 90 cm. Temuan antara lain
berupa fragmen tembikar, fragmen tulang-tulang hewan, artefak dan ekofak
cangkang moluska dan sebuah gigi geraham manusia pada kedalaman 90 cm.
Penggalian tahap II pada tahun 2006, kotak kemudian diberi nama T6S1.
Kedalaman penggalian hanya mencapai 95 cm. Temuan dari kotak ini hampir
serupa dengan penemuan tahap sebelumnya.
Penggalian berikut pada tahun 2009, kotak T6S1 digali hingga mencapai
kedalaman akhir 150 cm dengan jarak interval tiap spit yaitu 5 cm. Pada tahap
ini, temuan juga masih didominasi oleh temuan artefak maupun ekofak cangkang
moluska, artefak tulang, fragmen tulang hewan, gigi binatang. Di kotak ini juga
ditemukan tulang dan gigi Homo sapiens.
Penggalian tahun 2010, kotak T6S1 digali hingga mencapai kedalaman
akhir 160 cm. Pada tahapan ini temuan kotak berupa cangkang moluska,
31
fragmen tembikar, fragmen tulang hewan dan fragmen tembikar.Kotak T6S1
berukuran 150 x 150 cm dengan sistem pembagian menjadi kuadran. 4 sisi
masing-masing kuadran berukuran 75 x 75 cm.
Jenis Temuan Tahun
Jumlah 2005 2006 2009 2010 Artefak Kerang 37 36 131 13 217 Artefak Tulang 13
14 47 74
Cangkang Moluska 315 93 732 33 1173 Frg. Tulang 127 72 858 619 1676 Frg. Kuku
1 1
Frg. Rahang dan Gigi 1 1 10 3 15 Frg. Tembikar 36
2
38
Batu
3 1 4 Alat Batu
2
2
Gigi Hominid 1
1 Frg. Tulang Hominid
2 2
Frg. Tulang Karapak 1
34
35 Frg. Tengkorak Hewan
4 1 5
Artefak tak teridentifikasi
76
76 Jumlah Total 494 202 1866 720 3319
Tabel 2.1: Rekapitulasi Temuan Ekskavasi Gua Kidang Kotak T6S1Tahun 2005 – 2010.
(Sumber: Indah Asikin Nurani dengan modifkasi penulis)
Berikut ini adalah deskripsi stratigrafi kotak T6S1 (lihat gambar 2.2) yang
telah mencapai kedalaman 160 cm.
i. Lapisan 1: Pasir halus
Lapisan ini memiliki tebal 5 -10 cm, memiliki ciri megaskopik,
warnanya coklat muda, merupakan semen karbonat, porositas
sangat baik, dan kekompakan yang sangat rendah. Tekstur
lapisan ini sangat terbuka dengan struktur sedimen masif. Ukuran
32
butir dengan skala Wentworth menunjukan jenis pasir sangat
halus.
ii. Lapisan 2: Pasir sedang
Lapisan ini memiliki ketebalan 7 – 30 cm Secara megaskopik
memperlihat ciri-ciri warna coklat keabu-abuan, kekompakan
sedang, tingkat kelembapan rendah, dan porositas sedang.
Berdasarkan skala Wentworth pasir ini dikategorikan pasir
sedang. Struktur sedimen yang tampak kasar ke bawah
sedangkan teksturnya agak terbuka. Semen pengikat antar butiran
adalah larutan CaCO₃ yang berasal dari dinding atau atap gua.
Matriks batu gamping berukuran kerikil dengan bentuk membulat
tanggung terkonsentrasi di bagian bawah. Proses
pengendapannya melalui media air permukaan yang berlangsung
lambat. Lapisan ini menumpang secara tidak selaras di atas
lapisan 3. Pada lapisan ini sudah mulai masuk pada konteks
prasejarah pada kedalaman 30 cm.
iii. Lapisan 3: Pasir Halus
Ketebelan lapisan ini antara 50 – 80 cm dengan ciri-ciri
megaskopik berwarna cokelat keabu-abuan, kekompakannya
rendah dan porositas sedang. Semen pengikat antar butiran
berupa larutan CaCO₃ dengan struktur sedimen masif. Ukuran
butirnya termasuk butir pasir halus. Pada bagian dinding selatan
kotak galian ditemukan sisa pembakaran berupa arang kayu.
Lapisan ketiga ini menumpang selaras tepat di atas lapisan
dibawahnya.
33
iv. Lapisan 3a: Pasir Lanauan
Lapisan ini memiliki jenis tanah berwarna coklat kemerahan,
kekompakannya sangat tinggi, porositasnya kecil dan
tersementasi dengan CaCo₃. Tampak pada gambar, lapisan ini
menempel pada lapisan pasir sedang dan lapisan pasir halus.
v. Lapisan 4: Pasir lanauan
Lapisan ini mencapai ketebalan antara 40 – 70 cm. Lapisan ini
berwarna cokelat kehitaman, kekompakan sedang, porositas
sedang dan semen pengikat antar butiran berupa larutan CaCO₃.
Matrik berupa batu gamping berukuran kecil dan berbentuk agak
membundar. Antara lapisan 3 dengan lapisan ini dibatasi oleh
endapan CaCO₃ berwarna putih. Lapisan pasir lanauan
tampaknya diendapkan oleh media angin dalam kondisi
lingkungan musim basah (Nurani dan Hascaryo, 2010: 16).
34
Gambar 2.2: Stratigrafi Kotak T6S1 (Sumber: Laporan Penelitian Arkeologi Tahun 2010 oleh Balar Yogyakarta)
35
1.2 Kotak S1B6
Kotak ini terletak di sebelah kanan bagian dalam Gua Kidang. Kotak
eksavasi pertama kali digali pada penelitian tahap II (2006) hingga tahap IV (2010)
serta telah mencapai kedalaman hingga 55 cm. Temuan di kotak S1B6 cukup
bervariasi meski secara kuantitas tidak sebanyak temuan yang ada di kotak T6S1
(lihat tabel 2.2). Pada lapisan awal kotak ini telah memasuki konteks prasejarah
diperkirakan karena permukaan tanah cenderung semakin menurun dibagian dalam
gua (Nurani dan Hascaryo, 2010: 31). Kotak ini dibuka pertama kali pada tahun
2006 dalam penelitian tahap II Balar Yogyakarta di Gua Kidang. Penelitian kala itu,
penggalian berakhir pada kedalaman 30 cm dari permukaan tanah. Temuan kotak
S1B6 antara lain berupa artefak cangkang moluska, ekofak cangkang moluska dan
fragmen tulang-tulang binatang. Pada penelitian tahap III (2009), penggalian
dilanjutkan hingga mencapai kedalaman kurang lebih 40 cm. Temuan pada
penggalian ini berkisar variasi artefak cangkang moluska dan fragmen tulang.
Penggalian tahap IV (2010) melanjutkan penggalian yang dimulai dengan
membuka kotak S1B6 pada kedalaman awal 35 cm. Pada pembersihan awal
ditemukan 6 fragmen tulang dan 6 cangkang moluska. Penggalian dilanjutkan
dengan interval galian 5 cm, yaitu pada kedalaman 36 – 40 cm. Pada spit ini,
ditemukan antara lain: fragmen gigi 2 buah, fragmen tulang 17 buah, cangkang
moluska klas bivalvia 17 buah, cangkang moluska klas Gastropoda 5 buah, artefak
cangkang moluska klas bivalvia 3 buah, tembikar 3 buah. Spit berikutnya dengan
kedalaman 41 – 45 cm, temuannya didominasi temuan fragmen tulang yang cukup
banyak dan fragmen cangkang moluska. Pada kedalaman 51 – 55 cm, temuannya
berupa fragmen tulang berukuran relatif besar dan terkonsentrasi di sisi selatan
36
kotak, sebuah pelandas yang terbuat dari batu gamping dan fragmen cangkang
moluska.
Jenis Temuan Tahun
Jumlah 2006 2009 2010 Artefak Kerang 57 37 3 97 Artefak Tulang 1 2 2 5 Cangkang Moluska 207 25 164 396 Frg. Tulang 205 66 283 554 Frg. Kuku 1 1 Frg. Rahang dan Gigi 2 1 2 5 Frg. Capit Kepiting 1 1 2 Frg. Tembikar 59 18 77 Frg. Keramik 5 5 Alat Batu 1 1 Kalsedon 1 1 Kulit Kemiri 2 2 Tak teridentifikasi 26 1 27 Jumlah Total 566 150 457 1173
Tabel 2.2: Rekapitulasi Temuan Ekskavasi Gua Kidang Tahun 2005 – 2010 Sumber: Indah Asikin Nurani dengan modifikasi penulis
Berikut ini adalah deskripsi stratigrafi kotak S1B6 (lihat gambar 2.3) yang
telah mencapai kedalaman hingga 55 cm:
i. Lapisan 1: Pasir sangat halus
Lapisan ini merupakan lapisan pasir sangat halus dengan ketebalan
antara 3 – 10 cm. Lapisan ini berwarna cokelat kemerahan, memiliki
kekompakan yang sedang, dan tingat porositas sedang. Struktur
sedimennya berupa perlapisan sejajar (parallel laminasi) dengan
tekstur yang agak terbuka. Antar butiran diikat oleh larutan CaCO₃.
Lapisan abu tampak muncul sebagai lensa di lapisan ini dan
menyebar di dinding bagian utara maupun dinding barat. Tingkat
37
kelembapan lapisan ini cukup tinggi mengingat lokasi kotak galian
yang berada di bagian dalam gua. Lapisan ini menopang secara
tidak selaras di atas lapisan berikutnya.
ii. Lapisan 2: Pasir halus
Pada lapisan ini, ketebalannya kira-kira 15 – 40 cm serta memiliki ciri
megaskopis berwarna cokelat, kekompakan sedang, dan porositas
sedang. Pengingat antar butiran berupa larutan karbonat dengan
struktur sedimen masif. Ukuran butiran berdasarkan skala
wenthworth mengkategorikan lapisan ini sebagai butiran pasir halus.
Tingkat kelembapan sangat tinggi diperkirakan akibat dari air yang
mengalir dair stalaktit aktif yang berada di atas kotak ekskavasi.
Lapisan ini kemungkinan diendapkan oleh media angin dalam
lingkungan bermusim kering. Lapisan ini menumpang selaras di atas
lapisan 3.
iii. Lapisan 2a: Pasir lanauan
Lapisan pasir lanauan ini berwarna cokelat kehitaman, kekompakan
tinggi, porositas kecil dan semen pengikat antar butirannya berupa
larutan CaCO₃. Ukuran butirannya sangat halus.
iv. Lapisan 3: Pasir Lanauan
Ketebalan lapisan ini antara 10 – 30 cm, berwarna cokelat
kehitaman, kekompakan sedang, porositas sedang, dan pengikat
antar butiran berupa larutan karbonat. Struktur sedimen masif,
sedangkan strukturnya agak tertutup. Lapisan pasir lanauan berada
di bawah lapisan 3 yang dibatasi oleh pelapukan endapan CaCO₃
berwarna putih.
38
Gambar 2.3: Stratigrafi Kotak S1B6 (Sumber: Laporan Penelitian Arkeologi Tahun 2010 oleh Balar Yogyakarta
39
BAB III
VARIASI JENIS MOLUSKA
TEMUAN GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH
Filum Moluska adalah jenis hewan yang tidak bertulang belakang dan
terkadang memiliki cangkang yang tumbuh diluar tubuh lunaknya. Filum ini
merupakan jenis terbesar kedua yang memiliki banyak spesies, setelah filum
Arthopoda. Kata moluska berasal dari bahasa latin mollis yang berarti lunak.
Moluska dapat diartikan sebagai jenis hewan bertubuh lunak. Cangkang yang
tumbuh di luar tubuh mereka sangat penting terutama untuk membentuk tubuh
lunak mereka menjadi kaku dan tegas. Selain itu pula cangkang moluska digunakan
sebagai pelindung dari ancaman predator.
Pembagian moluska disesuaikan dengan karakter cangkang mereka. Tipe
cangkang itu juga menjadi dasar taksonomi jenis hewan ini. Filum moluska dibagi
menjadi 7 klas, (1) Gastropoda yaitu jenis moluska yang hanya memiliki satu
cangkang, (2) Cephalopoda yaitu moluska yang tidak memiliki cangkang eksterior,
(3) Scaphopoda atau jenis Tusk Shell yaitu cangkang yang tumbuh lurus dan
mengerucut, (4) Bivalvia yaitu jenis moluska yang memiliki 2 buah cangkang yang
dihubungkan semacam engsel lunak sehingga berbentuk seperti katup, (5)
Polyplachopra yaitu jenis moluska yang cangkangnya berbentuk seperti perisai, (6)
Monoplachopora merupakan jenis moluska kerap kali disebut dengan fosil hidup
karena jenis ini tidak mengalami evolusi menjadi moluska modern serta hidup
didasar laut dengan cangkang menyerupai limpet atau sejenis siput, (7)
Aplacophora merupakan jenis moluska yang bentuknya memanjang seperti cacing
laut. Klas Monoplachopora dan Aplacophora merupakan jenis yang sudah langka
40
ditemukan dan kebanyakan spesiesnya tidak memiliki cangkang (Rosenberg, 2004;
Scheu, 2004).
Filum Moluska terdiri lebih dari 100.000 spesies dan 2.000 spesies yang
sekarang dalam bentuk fosil (Dharma, 1988: 7). Colin Renfrew (1991) menjabarkan
mengenai karakterisitik moluska menjadi 2 jenis yaitu moluska darat dan moluska
laut. Moluska darat memiliki habitat untuk hidup di lingkungan daratan maupun air
tawar. Kalsium karbonat yang terkandung dalam cangkang mereka dapat bertahan
diberbagai jenis tanah dan endapan, terutama pada kondisi alkalin atau basa.
Kerang darat dapat memperlihatkan kondisi lingkungan yang didiami serta sangat
responsif terhadap perubahan iklim yang sifatnya tidak terlalu besar (microclimate).
Walaupun jenis ini sangat peka terhadap perubahan lingkungan namun mereka
bergerak cukup lambat untuk berpindah. Hal ini karena kemampuan moluska darat
untuk menyesuaikan diri. Apabila lingkungan benar-benar berubah menjadi sangat
merugikan bagi koloni barulah mereka perlahan-lahan meninggalkan tempat
tersebut. Suhu dan curah hujan merupakan faktor yang paling berpengaruh
terhadap perkembangbiakan. Sementara itu, ketika jumlah moluska darat menjadi
tidak normal maka dapat diperkirakan bahwa terjadi perubahan lingkungan yang
sangat ekstrem di tempat mereka tinggal. Pada jenis moluska yang memiliki habitat
hidup di air laut memiliki kemampuan untuk mengungkapkan kondisi lingkungan
secara mikro, misalnya habitatnya cenderung berpasir atau berbatu-batu. Seperti
halnya moluska darat, perkembangbiakan jenis moluska air laut dipengaruh pula
oleh suhu dan curah hujan.
Moluska memiliki habitat hidup di air laut, air tawar, air payau hingga
daratan. Hewan ini termasuk jenis binatang yang dapat menyesuaikan diri untuk
dapat bertahan hidup diberbagai tempat dan cuaca. Namun faktor paling penting
41
dalam pertumbuhan moluska adalah keberadaan Kalsium Karbonat sebagai bahan
utama pembentukan cangkang mereka. Kalsium karbonat merupakan unsur penting
bagi moluska untuk dapat menghasilkan cangkang yang akan awet dalam jangka
waktu yang lama. Kalsium karbonat didapat dari lingkungan sekitar dan jenis
makanan yang dikonsumsi oleh moluska. Tidak heran, beberapa jenis moluska juga
memakan cangkang moluska yang telah mati.
Beberapa jenis moluska juga memakan langsung kapur, sehingga jenis yang
hidup di gua-gua karst cenderung memiliki cangkang yang tebal. Moluska yang
memiliki habitat air laut atau tepian pantai cenderung memiliki cangkang yang jauh
lebih tebal dan ukurannya pun jauh lebih besar dibandingkan dengan moluska air
tawar dan darat. Hal ini disebabkan karena pada habitat pantai atau air laut
kandungan Kalsium Karbonat jauh lebih besar. Zat berasal dari pecahan koral atau
dari terumbu karang. Bentuk moluska air laut pun cenderung besar dan lebih
banyak memiliki ornamen dikarenakan adaptasi lingkungan moluska air laut yang
harus menghadapi gelombang air laut yang besar. Apabila dalam prosesnya
pembentukan cangkang kerang terjadi penurunan jumlah konsentrasi kalsium pada
air laut maka yang berdampak pada proses pengapuran cangkang moluska laut
berakibat cangkang akan cenderung rapuh dan tipis. (Dharma 1988: 22-23 ; Wilbur,
1964 dalam Claassen 1998: 22).
Berbeda dengan moluska air laut yang memiliki cangkang yang cenderung
besar dan tebal, untuk jenis moluska yang memiliki habitat hidup di air tawar
maupun daratan ukurannya jauh lebih kecil dan tipis. Hal ini lebih disebabkan
habitat tempat mereka hidup tidak memiliki kandungan kapur yang tinggi. Meskipun
demikian, pada moluska yang hidup di daerah tanah berkapur akan memiliki
cangkang yang lebih kuat dan tebal dibandingkan dengan jenis yang tinggal di
42
wilayah minim kandungan kapur. Moluska yang memiliki habitat di air tawar akan
memiliki permukaan cangkang halus karena mendiami lingkungan sungai atau
danau yang memiliki arus air cukup tenang (Dharma, 1988: 22 – 23).
A. TEMUAN MOLUSKA GUA KIDANG
Dalam berbagai penelitian arkeologi, cangkang moluska memiliki nilai
penting yang sangat tinggi sebagai data arkeologi terutama berkaitan dengan kajian
lingkungan masa lampau. Kalsium karbonat yang terkandung pada cangkang
mampu mencegah pengapuran serta dapat bertahan dalam kurun waktu yang
sangat lama. Identifikasi yang dilakukan pada cangkang moluska akan dapat
mengetahui habitat seperti apa tempat mereka berkembang biak.
Dari penggalian di Situs Gua Kidang, temuan dari filum moluska yang
banyak ditemukan berasal dari klas Gastropoda dan Bivalvia. Kedua klas ini dapat
dikategorikan sebagai “shells” atau moluska yang memiliki cangkang eksterior guna
melindungi tubuh lunak mereka. Data yang digunakan pada penelitian ini berupa
temuan cangkang moluska yang berasal dari data ekskavasi dari 2 kotak galian,
yaitu T6S1 dan S1B6 dalam kurun waktu penelitian dari tahun 2005 hingga 2010
(lihat tabel 3.1).
No. Tahun Ekskavasi T1B6 S1B6 Jumlah 1. 2005 305 - 305 2. 2006 118 240 358 3. 2009 802 90 892 4. 2010 39 157 196 Jumlah Total 1264 Fragmen 487 Fragmen 1751 Fragmen
Tabel 3.1: Rekapitulasi Temuan Cangkang Moluska Situs Gua Kidang (Berdasarkan jumlah temuan yang disimpan di Balar Yogyakarta)
43
1751 fragmen yang dipakai data dalam penelitian ini merupakan jumlah
cangkang kerang yang ada di ruang temuan Balar Yogyakarta pada akhir tahun
2011. Jumlahnya berbeda dengan rekapitulasi karena beberapa cangkang yang
disimpan dan digunakan untuk penelitian lebih lanjut oleh Balar Yogyakarta.
Sehingga pada temuan cangkang moluska pada layer penggalian kedalaman 125 –
130 cm tidak dapat dianalisis karena temuan tersebut tidak berada di tempat
penyimpanannya.
Identifikasi taskonomi pada temuan cangkang moluska tidak semua jenis
diketahui hingga spesies. Hal ini dikarenakan untuk mengetahui spesies dari suatu
fauna dibutuhkan juga ciri-ciri warna dari cangkang. Sementara itu, hampir semua
temuan cangkang moluska yang mengalami pemudaran warna dan mengalami
pelapukan sehingga menyebabkan cangkang cenderung rapuh dan mudah rusak.
Berdasarkan data yang digunakan ini kemudian dilakukan identifikasi
taksonomi Filum Moluska pada temuan cangkang moluska yang ada di Gua Kidang
diketahui bahwa terdapat dua klas, yaitu: Klas Gastropoda dan Klas Bivalvia. Kedua
jenis moluska tersebut ditemukan pada ekskavasi di Gua Kidang dalam jumlah yang
cukup melimpah. Jumlah temuan jenis Bivalvia yang ada jauh lebih banyak apabila
dibandingkan dengan jenis Gastropoda (Lihat grafik 3.1 dan 3.2).
Hasil dari penggalian pada kotak T6S1 dan S1B6 menunjukkan bahwa jenis
moluska dari Klas Gastropoda terlihat banyak ditemukan pada pengupasan awal.
Selanjutnya terjadi penurunan kuantitas temuan jenis ini pada penggalian yang
semakin dalam. Sementara ini untuk temuan moluska Klas Bivalvia cenderung
mengalami peningkatan temuan seiring dengan semakin dalamannya penggalian.
44
Grafik 3.1: Distribusi Temuan Jenis Moluska Kotak T6S1
Grafik 3.2: Distribusi Temuan Jenis Moluska Kotak S1B6
0
20
40
60
80
100
120
140
p0-
40 c
m40
-60
cm60
-80
cm80
-90
cm90
-95
cm95
-105
cm
105-
110
cm11
0-11
5 cm
115-
120
cm12
5-13
0 cm
130-
135
cm13
5-14
0 cm
140-
145
cm14
5-15
0 cm
150-
160
cm
Jum
lah
Kedalaman (Z)
Gastropoda
Bivalvia
0
20
40
60
80
100
120
140
Jum
lah
Kedalaman (Z)
Gastropoda
Bivalvia
45
1. GASTROPODA
Pada Filum Moluska, Gastropoda merupakan klas yang memiliki banyak
variasi jenisnya. Separuh lebih dari jumlah hewan Moluska masuk dalam kelompok
hewan dengan ciri memiliki satu buah cangkang eksterior ini. Cangkang Gastropoda
berbentuk spiral dan berfungsi untuk melindungi badannya yang lunak. Tubuh
Gastropoda terdiri dari 4 bagian, yaitu: kepala yang terkadang memiliki tentakel,
kaki, perut dan mantle. Jenis hewan ini merupakan moluska yang bertubuh tidak
simetris. Mantle Gastropoda terletak di bagian depan, apabila badannya tergulung
akan masuk ke dalam cangkang secara spiral ke arah belakang (Dharma, 1988: 22
; Leal, t.t).
Menurut Bunjamin Dharma (1988) klas Gastropoda dibagi dalam 3 sub class
berdasarkan alat pernafas yang dimiliki setiap jenis spesimen. Sub klas
Prosobranchia merupakan kelompok Gastropoda yang bernafas dengan insang.
Kebanyakan jenis ini memiliki operculum atau penutup cangkang yang berguna
untuk mencegah masuknya hewan-hewan kecil ke dalam cangkang. Jenis ini
memiliki satu alat kelamin saja. Sub klas Opisthobranchia merupakan kelompok
Gastropoda yang memiliki insang dibagian belakang tubuhnya. Jenis ini umunya
hidup di laut namun memiliki cangkang yang tipis. Adapula jenis dari kelompok ini
yang tidak memiliki cangkang. Sub klas terakhir yaitu Sub klas Pulmonata.
Kelompok Gastropoda ini memiliki rongga mantle yang juga berfungsi sebagai paru-
paru. Kebanyakan habitat hidupnya di darat. Kelompok ini juga memiliki jenis yang
tidak mempunyai cangkang. Kelompok ini hemaprodit atau memiliki dua jenis
kelamin dalam satu tubuh untuk berkembang biak dan menghasilkan larva telur
mereka.
46
Gastropoda dapat hidup dalam berbagai jenis lingkungan karena
kemampuan mereka menyesuaikan lingkungan sangat baik. Mereka dapat hidup di
air laut, air tawar seperti di sungai maupun danau, hingga di daratan. Gastropoda
yang berhabitat di daratan sangat menyukai tempat hidup yang memiliki
kelembapan tinggi (Listiawan, 2008). Hewan ini merupakan pemakan tetumbuhan,
buah-buahan, dan terkadang memakan cangkang dari moluska yang sudah mati.
Lingkungan dan jenis makan yang mereka ambil sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan cangkang mereka termasuk menghasilkan warna, ornamen, dan
ketebalan cangkang. Tubuh Gastropoda terbagi dalam beberapa bagian (lihat
gambar 3.1).
Gambar: 3.1: Bagian Cangkang Gastropoda (Sumber: J.H.Leal,t.t: 101)
Bagian paling ujung dari cangkang Gastropoda dinamakan apex, dari sinilah
titik pertumbuhan cangkang dimulai. Bagian atas cangkang yang membentuk
kerucut disebut dengan Spire sementara dibagian bawah badan cangkang yang
47
juga merupakan putaran terakhir (whorl) disebut dengan body whorl. Suture
merupakan bagian tumbuh yang menyambungkan bagian atas dan bawah
cangkang. Bukaan pada bagian depan dari cangkang Gastropoda disebut dengan
aperture, bagian ini hanya dimiliki oleh moluska bercangkang tunggal saja (Dharma,
1988: 122 – 125; Kuswanto, 2007: 46).
Dari hasil penggalian yang dilakukan oleh Balar Yogyakarta, temuan
cangkang Gastropoda termasuk melimpah ruah. Secara keseluruhan data
Gastropoda yang dipakai berjumlah 612 fragmen (Lihat tabel 3.2). Hasil analisis
taksonomi menunjukkan bahwa temuan Gastropoda di Gua Kidang memiliki varian
jenis beragam. Jenis-jenis tersebut telah dipisah dan diklasifikasi yang kemudian
menghasilkan 6 famili (Lihat grafik 3.3 dan 3.4).
Kotak Teridentifikasi Tak Teridentifikasi Jumlah T6S1 442 52 494 S1B6 69 49 118 Jumlah Total 511 fragmen 101 fragmen 612 fragmen
Tabel 3.2: Rekapitulasi Temuan Gastropoda
Grafik 3.3: Distribusi Famili Gastropoda Kotak T6S1
0
10
20
30
40
50
60
70
p0-
4040
-60
60-8
080
-90
90-9
595
-105
105-
110
110-
115
115-
120
125-
130
130-
135
135-
140
140-
145
145-
150
150-
160
Jum
lah
Kedalaman (Z)
Camaenidae
Pleuroceridae
Cyclophoridae
Helicarionidae
Viviparidae
Tak Teridentifikasi
48
Grafik 3.4: Distribusi Famili Gastropoda Kotak S1B6
1.1 Camaenidae
Jenis siput ini masuk dalam Klas Gastropoda, Subclass Pulmonata, Order
Stylommatophora, Famili Camaenidae. Penulis melakukan determinasi pada
spesimen ini pada bulan Desember tahun 2011. Famili Camaenidae merupakan
famili yang memiliki jumlah spesimen genus yang sangat banyak. Jenis ini memiliki
cangkang yang umum berukuran besar dan bentuknya bervariasi. Bentuk cangkang
famili ini dextral atau sinistral (Dharma, 1988: 112). Jenis moluska ini merupakan
jenis siput yang hidup di daratan. Biasanya mereka tinggal di rimbunan pepohonan.
Jenis famili Camaenidae yang ditemukan di Gua Kidang hampir sebagian tidak
utuh. Bagian apex hingga spire pada siput ini kebanyakan telah pecah.
Pada ekskavasi Gua Kidang selama ini, pada tiap layer yang dikupas
cenderung selalu menemukan cangkang jenis siput ini. Camaenidae merupakan
jenis Gastropoda yang paling banyak ditemukan di situs ini (Lihat tabel 3.3).
0
5
10
15
20
25Ju
mla
h
Kedalaman (Z)
Camaenidae
Pleuroceridae
Cyclophoridae
Helicarionidae
Viviparidae
Marginelidae
Tak Teridentifikasi
49
Camaenidae Kotak Jumlah
T6S1 357 S1B6 37 Jumlah Total 394 fragmen
Tabel 3.3: Rekapitulasi Jenis Camaenidae
Grafik 3.5: Distribusi Temuan Camaenidae Kotak T6S1
Grafik 3.6 : Distribusi Temuan Camaenidae Kotak S1B6
0
10
20
30
40
50
60
70
p0-
4040
-60
60-8
080
-90
90-9
595
-105
105-
110
110-
115
115-
120
125-
130
130-
135
135-
140
140-
145
145-
150
150-
160
Jum
lah
Kedalaman (Z)
Camaenidae
0
2
4
6
8
10
12
Jum
lah
Kedalaman (Z)
Camaenidae
50
Foto 3.1: Famili Camaenidae
Dokumentasi oleh: Ayu Dipta Kirana
1.2 Cyclophoridae
Cyclophoridae merupakan jenis siput darat. Dalam taksonominya, jenis ini
masuk ke dalam Subklas Prosobranchia, Order Mesogastropoda. Cangkang
Cyclophoridae berbentuk kerucut dan umumnya memiliki penebalan dibagian bibir
aperture (Lihat Foto 3.3). Hewan jenis ini biasanya memiliki habitat hidup di tanah.
Beberapa genus dari famili ini hidup menempel di daun atau batang pohon kecil.
Familli Cyclophoridae merupakan jenis siput darat yang tersebar hampir di seluruh
belahan dunia. Hewan ini memiliki kecenderungan untuk hidup di lingkungan yang
bersuhu hangat (Bunjamin Dharma, 1988 ;Pfleger, 1990: 46). Ekskavasi Gua
Kidang hingga tahun 2010 menemukan spesimen jenis Cyclophoridae sebanyak 36
spesimen pada 2 kotak T6S1 dan S1B6 (Lihat Tabel 3.5). Jenis ini ditemukan
merata di hampir tiap layer dengan jumlah yang sedikit.
Cyclophoridae Kotak Jumlah T6S1 31 S1B6 5 Jumlah Total 36
Tabel 3.4: Rekapitulasi Jenis Cyclophoridae
51
Foto 3.2: Cyclophoridae
Dokumentasi oleh: Ayu Dipta Kirana
1.3 Helicarionidae
Jenis siput ini masuk dalam Klas Gastropoda, Subclass Pulmonata, Order
Stylommatophora, Famili Helicarionidae. Cangkang siput ini yang ditemukan pada
penggalian ini cenderung memiliki ukuran yang kecil. Bibir aperture pada cangkang
umumnya tidak memiliki penebalan sehingga bagian tersebut sangat tajam (lihat
foto 3.3). Helicarionidae adalah jenis siput yang hidup di darat (Dharma, 1992: 106).
Pada penggalian di Gua Kidang hingga tahun 2010, temuan gastropoda
pada jenis ini cenderung ditemukan dalam keadaan utuh. Jenis siput ini cenderung
ditemukan pada lapisan teratas dari tiap kotak. Temuan Helicarionidae yang dapat
teridentifikasi berjumlah 26 spesimen (Lihat tabel 3.5)
Helicarionidae Kotak Jumlah
T6S1 23 S1B6 3 Jumlah Total 26
Tabel 3.5: Rekapitulasi Temuan Helicarionidae
52
Foto 3.3: Helicarionidae
Dokumentasi: Ayu Dipta Kirana
1.4 Pleuroceridae
Determinasi temuan moluska jenis Gastropoda ini dilakukan dengan
membandingkan hasil temuan kerang dari penelitian di Song Jebreng pada tahun
2006 yang dilakukan oleh Gregorius Kuswanto dalam penggalian yang dilakukan
bertujuan untuk mengetahui pola adaptasi penghuni Song Jebreng dan komunitas di
pesisir Jawa. Diketahui bahwa jenis ini masuk kedalam famili Pleuroceridae.
Menurut Encyclopedia Britanica (2007) yang dikutip oleh Kuswanto (2007: 32),
Pleuroceridae memiliki cangkang yang memelintir sehingga berbentuk kerucut.
Ukurannya kecil dan meruncing pada bagian spire (Lihat Foto 3.4). Selain itu pula
Gastropoda ini merupakan berhabitat hidup di air tawar dan biasanya bertempat
tinggal di sungai dan danau. Meskipun demikian, ada pula jenis yang dapat hidup di
air payau. Biasanya jenis ini hidup di tempat berpasir dan ada pula yang tinggal di
tempat berlumpur serta menempel pada akar bakau.
Ekskavasi Gua Kidang hingga tahun 2010 menemukan sejumlah spesimen
dari Pleuroceridae. Pada kotak T6S1 dan S1B6 ditemukan jenis siput ini sebanyak
65 spesimen (Lihat Tabel 3.6). Pleuroceridae ditemukan pada tingkat kedalaman
yang bervariasi.
53
Pleuroceridae Kotak Jumlah
T6S1 28 S1B6 21 Jumlah Total 49
Tabel 3.6: Rekapitulasi Jenis Pleuroceridae
Grafik 3.7: Distribusi Temuan Pleuroceridae Kotak T6S1
Grafik 3.8: Distribusi Temuan Pleuroceridae Kotak S1B6
0
1
2
3
4
5
6
7
8
p0-
4040
-60
60-8
080
-90
90-9
595
-105
105-
110
110-
115
115-
120
125-
130
130-
135
135-
140
140-
145
145-
150
150-
160
Jum
lah
Kedalaman (Z)
Pleuroceridae
0
2
4
6
8
10
12
14
Jum
lah
Kedalaman (Z)
Pleuroceridae
54
Foto 3.4: Pleuroceridae
Dokumentasi oleh: Ayu Dipta Kirana
1.5 Marginellidae
Marginellidae merupakan jenis kerang laut. Pada umumnya, gastropoda ini
memiliki ukuran cangkang yang kecil dan sangat mengkilap. Bentuknya memanjang
dan memiliki 3 – 5 lipatan pada bagian columella serta tidak memiliki operculum.
Kerang laut ini dapat berkembang biak dengan baik pada habitatnya yaitu perairan
tropis yang hangat. Mereka tinggal di pasir, di bawah batu atau menempel di
ganggang (Dance, 1992: 178; Dharma, 1992: 58).
Berdasarkan determinasi penulis, temuan kerang jenis ini merupakan
spesies Marginella ventricosa. Sebaran spesies ini yaitu di Laut Jawa dan Selat
Karimata. Jenis ini mudah ditemukan pada daerah persebarannya. Hasil ekskavasi
Gua Kidang hingga tahun 2010 menunjukkan jumlah temuan kerang laut jenis ini
berjumlah dua buah. Temuan kerang laut ini merupakan artefak karena terdapat
sebuah lubang pada bagian tengah cangkang. Kemungkinan kerang laut ini
merupakan artefak perhiasan (lihat foto 3.5).
Ekskavasi Gua Kidang menemukan spesimen Marginelidae berjumlah 2
buah cangkang, di kotak S1B6 pada kedalaman antara 10 – 15 cm dan 50 – 55 cm.
55
Marginelidae Kotak Kedalaman Jumlah
S1B6 10 – 15 cm 1 50 – 55 cm 1
Jumlah Total 2 Tabel: 3.7. Distribusi Temuan Cangkang Marginelidae
Foto 3.5: Marginellidae
Dokumentasi oleh: Ayu Dipta Kirana
1.6 Viviparidae
Famili Viviparidae merupakan kelompok jenis siput yang sering dijumpai di
sungai-sungai. Gastropoda ini masuk dalam subclass Prosobanchia yang
menyebabkan kelompok hewan ini memiliki operculum. Ukuran cangkangnya cukup
besar, apabila dibandingkan dengan jenis siput air tawar lainnya. Cangkangnya tipis
berwarna cokelat kehijauan. Cangkangnya mudah dikenali dari 3 garis gelap yang
membujur pada bagian badan whorl (Lihat Foto 3.6). Jenis siput ini sungai ini dapat
bertahan hidup pada daerah kering dengan cara menutup tubuhnya dengan
operculum. Viviparidae hidup dengan memakan ganggang segar atau sampah
organis yang ada di lumpur. Siput ini memiliki kelebihan dalam bertahan hidup pada
kondisi air yang tercemar maupun iklim yang tidak baik (Pfeleger, 1990:48).
56
Ekskavasi Gua Kidang hingga tahun 2010 telah menemukan jenis
Viviparidae pada kedua kotak T6S1 dan S1B6 berjumlah total 5 buah. Jenis siput ini
ditemukan pada permukaan kotak dan pada lapisan teratas saja (Lihat tabel 3.8).
Viviparidae Kotak Kedalaman Jumlah
T6S1 Permukaan (P) 2 0 – 40 cm 1
S1B6 0 – 5 cm 1 Jumlah Total 4
Tabel 3.8: Distribusi Cangkang Viviparidae
Foto 3.6: Viviparidae
Dokumentasi Oleh: Ayu Dipta Kirana
2. BIVALVIA
Klas Bivalvia merupakan kelompok jenis terbanyak kedua setelah
Gastropoda pada Filum Moluska. Kelompok jenis ini memiliki tidak kurang dari
10.000 spesies dimana kebanyakan adalah jenis kerang air laut sementara sisanya
meurpakan jenis yang hidup di air tawar (Gabbi, 1999: 22). Bivalvia merupakan jenis
moluska yang memiliki 2 tangkup atau cangkang yang simetris maupun asimetris
(lihat gambar 3.2). Badannya terdiri dari kaki, hewan ini tidak memiliki kepala, mata
dan randula namun memiliki sepasang siphon, dan insang. Kedua cangkang
Bivalvia dihubungkan oleh semacam engsel yang disebut dengan ligament.
57
Terdapat pula otot adductor yang memiliki kemampuan untuk membuka dan
menutup cangkang. Bagian pinggiran cangkang disebut dengan margin selain itu
pada apex kerang terdapat sebuah umbu (Claassen, 1998: 18; Dharma, 1988:8).
Gambar 3.2: Bagian Cangkang Bivalvia Sumber: J.H. Leal, t.t:27 dengan modifikasi penulis
Di bagian dalam cangkang kerang ini terdapat mantle yang memiliki peran
penting dalam pembentukan struktur serta warna cangkang. Zat lain yang penting,
selain kalsium karbonat pada pembentukan cangkang adalah Conchiolin yang
berupa lapisan tipis yang menghasilkan bagian mengkilap pada tubuh bagian dalam
cangkang yang biasa disebut dengan lapisan mutiara pada kerang (Dharma,
1988:23). Umur kerang dapat dilihat dari alur-alur pada cangkang luarnya seperti
menghitung umur pohon.
Bivalvia ada yang hidup di air laut maupun air tawar. Biasanya mereka hidup
dengan membenamkan diri mereka ke dalam pasir maupun lumpur, ada pula yang
menempel di batu-batu karang, hingga menempel pada akar pohon bakau. Dengan
adanya perbedaan lingkungan habitat mereka tinggal, terdapat pula karakterisitik
dari masing-masing jenis kerang tersebut yang dapat merepresentasikan kondisi
lingkungan tempat mereka tinggal.
Hasil temuan dari ekskavasi di Gua Kidang hingga tahun 2010 menunjukan
bahwa temuan kerang jenis Bivalvia sangat melimpah (Lihat tabel 3.9). Determinasi
58
taksonomis dilakukan juga pada Bulan Desember 2011 hingga Januari 2012.
Identifikasi penentuan taxa jenis Bivalvia dilakukan di Laboratorium Taksonomis
Hewan, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada di bawah bimbingan Donan
Satria Yudha S. Si, M. Sc yang bertindak sebagai laboran. Hasil identifikasi
taksonomi klas Bivalvia dapat diketahui ada dua jenis Famili Bivalvia, yaitu:
Donacidae dan Unionidae (lihat grafik 3.5 dan 3.6).
Kotak Teridentifikasi Tak Teridentifikasi Jumlah T6S1 360 410 770 S1B6 196 173 369 Jumlah Total 556 fragmen 583 fragmen 1139 fragmen
Tabel 3.9: Rekapitulasi Temuan Bivalvia
Grafik 3.9: Distribusi Variasi Jenis Bivalvia Kotak T6S1
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
p0-
4040
-60
60-8
080
-90
90-9
595
-105
105-
110
110-
115
115-
120
125-
130
130-
135
135-
140
140-
145
145-
150
150-
160
Jum
lah
Kedalaman (Z)
Unionidae
Tak Teridentifikasi
59
Grafik 3.10: Distribusi Variasi Jenis Bivalvia Kotak S1B6
2.1 Donacidae
Famili Donacidae atau sering disebut juga dengan kerang Donax adalah
kerang laut. Berbagai jenis kerang ini tersebar luas ke seluruh penjuru dunia.
Cangkangnya berbentuk segitiga dan padat dan memiliki umbu yang sangat dekat
dengan bagian akhir dari sebuah cangkang (lihat gambar 3.3). Ligament nya
pendek, memiliki dua gigi cardinal ditiap tangkup cangkang. Bagian pallial sinus
menjorok sangat dalam dan luar (Lihat Foto 3.7). Umumnya kerang ini berukuran 2
– 4 cm dengan cangkangnya yang tebal khas kerang laut. Kerang ini tinggal di
pantai yang berpasir maupun berlumpur dengan cara menggali dan membenamkan
tubuhnya. Mereka cenderung dapat hidup di perairan yang hangat dan tenang.
Jenis ini merupakan kerang laut yang dapat dikonsumsi (Dance, 1992: 237; Gabbi,
1999: 164).
Pada ekskavasi di Gua Kidang pada tahun 2010, cangkang jenis kerang
Donacidae ditemukan satu buah di kotak S1B6 pada kedalaman antara 45 – 50 cm
(Lihat tabel 3.10). Cangkang Donacidae ini tampak terpotong pada bagian
0
20
40
60
80
100
120
p
0-5
5-10
10-1
5
15-2
0
20-2
5
25-3
0
30-3
5
35-4
0
40-4
5
45-5
0
50-5
5
Jum
lah
Kedalaman (Z)
Unionidae
Donacidae
Tak Teridentifikasi
60
badannya. Serta pada bagian separuh bagian gigi anteriornya terpotong sehingga
cukup menyulitkan dalam determinasi jenis famili. Namun 2 gigi kardinal pada
bagian atas cangkang menunjukkan ciri khas kerang jenis Donacidae.
Donacidae
Kotak Kedalaman Jumlah
S1B6 45 – 50 cm 1
Jumlah Total 1 Tabel 3.10: Distribusi Cangkang Donacidae
Foto 3.7: Famili Donacidae
Dokumentasi Oleh: Ayu Dipta Kirana
Gambar 3.3: Bentuk Donacidae Utuh Sebagai Pembandingan
Sumber: Sumber: J.H. Leal, t.t:53
61
2.2 Unionidae
Famili Unionidae merupakan temuan paling mendominasi dari setiap layer
yang digali. Baik temuan yang mengindikasikan artefak maupun ekofak sisa
sampah. Unionidae memiliki cangkang yang simetris, pada bagian dalam cangkang
terdapat lapisan tipis Conchiolin yang menyebabkan berkilau seperti mutiara, serta
memiliki umbu yang nampak jelas. Pada umumnya jenis ini memiliki dua gigi
cardinal dan dua gigi lateral di tangkup cangkang sebelah kiri. Di tangkup cangkang
bagian kanannya memiliki satu gigi cardinal dan satu gigi lateral (Pfleger, 1990:
176).
Unionidae merupaka kerang yang tinggal di air tawar. Biasanya jenis kerang
ini dapat ditemukan di sungai, danau atau rawa. Mereka hidup membenamkan diri
di tempat berlumpur atau berpasir untuk menyembunyikan diri. Cangkang Unionidae
tipis dengan ukuran yang beragam mulai dari kecil hingga besar. Hal tersebut
kemungkinan terjadi karena lingkunga tempat hidupnya. Apabila lingkungan tempat
tinggal di tempat yang mengandung kapur tinggi maka pertumbuhan cangkang akan
menjadi sangat besar. Kerang air tawar ini cenderung memilih tempat hidup di
perairan yang tenang dengan arus yang konsisten. Ini pula yang menyebabkan
cangkang pada kerang air tawar cenderung memiliki struktur yang agak rapuh.
Kondisi yang tenang membuat mereka beradaptasi dengan mudah.
Pada ekskavasi Gua Kidang, cangkang kerang Unionidae merupakan
temuan kerang yang paling banyak ditemukan diberbagai layer. Jenis ini ditemukan
kotak T6S1 dan S1B6 dalam jumlah besar (lihat tabel 3.11). Cangkang Unionidae
ditemukan sebagian masih dalam kondisi yang utuh sementara tak sedikit yang
sudah menjadi fragmen atau secara dengan sengaja dipecah. Cangkang kerang
62
dipotong pada bagian badan secara vertikal namun ada pula cangkang yang
terpotong menyesuaikan dengan alur-alur umur pada bagian badannya.
Temuan Unionidae di Gua Kidang memiliki ukuran bervariasi namun rata-
rata panjang tubuhnya sekitar 4 – 6 cm. Namun tidak sedikit yang memiliki ukuran
tubuh lebih besar hingga mencapai 9 – 10 cm (lihat foto 3.8). Hal tersebut bisa
disebabkan karena lingkungan tempat jenis itu hidup memiliki kandungan karbonat
yang tinggi sehingga menyebabkan kerang dapat tumbuh besar menyerupai jenis
kerang dengan habitat di air laut. Biasanya Unionidae yang berukuran besar
bertempat tinggal di kondisi perairan yang payau atau rawa-rawa.
Hasil identifikasi cangkang Unionidae yang dilakukan di Laboratorium
Taksonomi Hewan, Fakultas Biologi, UGM menunjukkan bahwa adanya 2 genus
yaitu Lamelliden Simpson (1900) dan Elliptio Rafinesque (1819).
Foto 3.8: Unionidae
Dokumentasi oleh: Ayu Dipta Kirana
Unionidae Kotak Jumlah T6S1 360 S1B6 195 Jumlah Total 555
Tabel 3.11: Rekapitulasi Cangkang Unionidae
63
Grafik 3.11: Distribusi Temuan Unionidae Kotak T6S1
Grafik 3.12: Distribusi Temuan Unionidae Kotak S1B6
0
10
20
30
40
50
60
70
p0-
4040
-60
60-8
080
-90
90-9
595
-105
105-
110
110-
115
115-
120
125-
130
130-
135
135-
140
140-
145
145-
150
150-
160
Jum
lah
Kedalaman (Z)
Unionidae
0
10
20
30
40
50
60
70
Jum
lah
Kedalaman (Z)
Unionidae
64
BAB IV
STRATEGI ADAPTASI KOMUNITAS PENGHUNI
GUA KIDANG, BLORA, JAWA TENGAH
Masa prasejarah merupakan periode masa dengan kehidupan paling
sederhana dalam sejarah kehidupan manusia. Tahapan evolusi budaya pada
periode ini ialah manusia hidup dengan bergantung pada lingkungan tempatnya
tinggal. Keberlangsungan hidup suatu kelompok manusia ditentukan oleh sumber
daya alam dari lingkungan sekitar. Oleh sebab itulah, lingkungan memiliki peran
penting dalam menghasilkan sebuah kebudayaan. Manusia adalah makhluk hidup
yang diberi kemampuan untuk beradaptasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
Luring, adaptasi memiliki arti penyesuaian terhadap lingkungan, pekerjaan dan
pelajaran. Dalam proses penyesuaikan diri manusia akan membentuk suatu pola
perilaku tertentu yang disebut dengan strategi adaptasi. Menurut Martias (2009),
strategi adaptasi adalah suatu proses untuk mengatasi berbagai permasalahan
yang ada di lingkungan alam, budaya, dan ekonomi dalam rangka memenuhi
kebutuhan pokok demi keberlangsungan hidup.
Strategi adaptasi manusia pada masa prasejarah biasanya selalu
berhubungan dengan teknologi, subsistensi, dan ekonomi. Aspek ekonomi manusia
saat itu merupakan rangkaian kegiatan menyingkapi alam untuk memperoleh
makanan dengan pengeluaran energi seminimal mungkin (Cristiana, 2005: 113).
Upaya memperoleh kebutuhan pangan ini akan berujung pada suatu bentuk
karakter budaya. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa, usaha
pemenuh kebutuhan panganlah yang akan membentuk kebudayaan dari suatu
komunitas.
65
Dalam pemenuhan kebutuhan pangannya, komunitas penghuni Gua Kidang
melebarkan daya jelajah ke wilayah sekitar tempat mereka tinggal untuk
memperoleh makanan. Berdasarkan dari berbagai temuan yang ada di Situs Gua
Kidang, dapat diketahui bahwa manusia pada masa itu mengeksploitasi pangan
baik fauna darat maupun fauna akuatik. Temuan rangka berbagai macam fauna di
Gua Kidang antara lain rangka dari bagian Bovidae, Cervidae, dan Macaca
mengindikasikan bahwa mereka mengkonsumsi hewan-hewan tersebut. Fauna
tersebut dapat merepresentasikan jenis kondisi alam yang stabil. Mereka hidup
dengan habitat hutan alam terbuka dengan iklim tropik moonson. Fauna tersebut
terpenuhi kebutuhan konsumsinya sebagai hewan herbivora dengan lingkungan
alam yang ditumbuhi oleh jenis flora-flora dan juga sumber daya air yang
mendukung keberlangsungan hidup fauna tersebut.
Selain mengkonsumsi fauna mamalia, komunitas penghuni Gua Kidang juga
terbukti mengeksploitasi fauna akuatik seperti kura-kura dan tentu saja moluska.
Temuan moluska di Gua Kidang menunjukkan jumlah yang sangat banyak, hampir
sebanding dengan temuan tulang belulang fauna darat. Hal ini mengindikasikan
bahwa jenis moluska merupakan salah satu jenis fauna yang dikonsumsi secara
kontinyu oleh komunitas penghuni Gua Kidang.
A. PEMANFAATAN MOLUSKA OLEH KOMUNITAS PENGHUNI
GUA KIDANG
Moluska merupakan hewan invertebrata yang memiliki beragam jenis
dengan tempat hidup mereka yang bervariasi. Moluska dapat hidup di jenis
lingkungan daratan, air tawar seperti di sungai atau danau, air payau seperti di
66
rawa-rawa hingga di air laut dengan dasar samudera yang gelap. Hewan berukuran
kecil ini memiliki daya tahan yang sangat baik terhadap berbagai perubahan
lingkungan tempatnya hidup. Oleh karena ini kemelimpahan suatu moluksa dapat
menunjukkan bahwa jenis fauna ini dapat berkembang biak dalam lingkungan yang
stabil dan jauh dari polusi baik udara maupun air. Pertumbuhan moluska sangat
dipengaruhi oleh suhu dan curah hujan, temperatur air tempat ia tinggal, kadar
garam, dan tentunya keberadaan kapur dalam lingkungan tempat hidupnya. (Wilbur
1976:100 dalam Claassen 1998: 25).
Nilai gizi yang terkandung pada moluska, seperti siput dan kerang, sangat
baik. Dagingnya memiliki kandungan protein yang sangat tinggi (Dharma, 1989:3),
selain juga kandungan kalsium karbonat sehingga jenis pangan ini dapat menjadi
subtitusi pangan daging mamalia apabila komunitas penghuni Gua Kidang tidak
bisa mendapatkan fauna-fauna darat sebagai bahan pangan pokok. Selain itu pula,
sisa cangkang moluska dapat dimanfaatkan kembali sebagai peralatan yang
berguna untuk membantu aktivitas harian. Kelebihan yang dimiliki oleh moluska
inilah yang menyebabkan komunitas penghuni Gua Kidang menjadikannya sebagai
salah satu sumber bahan ekonomi pokok selain fauna-fauna besar. Pemilihan
moluska sebagai bahan pangan didasarkan pada pemikiran logis mengenai tempat
pengambilan bahan, kemudahan akses untuk memperoleh sumber tersebut, dan
ketersediaan sumber daya moluska yang bisa diperoleh pada waktu-waktu tertentu.
Sumber daya moluska yang dieksploitasi oleh komunitas Penghuni Gua
Kidang telah dibahas dalam bab analisis dalam tulisan ini. Analisis taksonomi
moluska berdasarkan cangkang yang ditemukan dapat mengetahui habitat tempat
hidup berbagai jenis moluska yang dieksploitasi. Dari hasil determinasi taksonomi
67
yang dilakukan, dapat diketahui terdapat 7 famili dari klas Gastropoda dan 2 famili
dari klas Bivalvia (lihat tabel 4.1 dan 4.2).
Dapat diketahui bahwa keberadaan jenis cangkang moluska yang memiliki
habitat berupa jenis Gastropoda seperti bekicot dan siput pohon. Jenis-jenis ini
tempat hidup di pepohonan tanah yang lembap dan rerumputan. Jenis
Helicarionidae, Cyclophoridae, dan Pleuroceridae kebanyakan muncul hingga
kedalaman penggalian kotak ekskavasi sekitar 100 cm namun sesudahnya tidak
begitu banyak cangkang yang ada.
Sementara itu, untuk moluska yang hidup di air tawar yang ditemukan di
Situs Gua Kidang ini, antara lain adalah Pleuroceridae yang termasuk dalam klas
Gastropoda. Spesimen ini memiliki habitat di sungai atau danau. Mereka juga bisa
hidup menempel pada akar pohon bakau di daerah rawa-rawa. Sementara itu, jenis
moluska air tawar lainnya merupakan klas Bivalvia yang juga sering disebut dengan
kerang. Kerang air tawar jenis Unionidae biasa hidup di dasar sungai yang
cenderung tidak berarus deras. Mereka akan hidup berkembang biak dengan baik
dalam kondisi air yang tenang. Kandungan kapur dalam air sungai pada sungai-
sungai yang dijadikan tempat eksploitasi nampaknya cukup tinggi, sehingga
cangkang Unionidae yang ada berukuran cukup besar dan kokoh. Jenis kerang air
tawar ini merupakan cangkang moluska yang banyak ditemukan pada penggalian
situs Gua Kidang. Cangkang Uniondae terdapat di hampir setiap lapisan tanah yang
diekskavasi.
Tampaknya jenis kerang air tawar ini merupakan moluska yang paling
banyak dikonsumsi karena dari perkiraan awal hunian hingga akhir hunian,
cangkang ini selalu ada. Naik turun jumlah temuan kemungkinan disebabkan oleh
musim yang berpengaruh terhadap sungai tempat Unionidae ini hidup.
68
Tabel 4.1: Habitat Temuan Moluska Kotak T6S1
Kedalaman Famili Camaenidae Pleuroceridae Cyclophoridae Helicarionidae Viviparidae Unionidae
p 3 1 - - 2 - 0-40 cm 51 3 8 1 1 31
40-60 cm 18 - - - - 9 60-80 cm 44 - - - - 24 80-90 cm 39 2 1 2 - 63 90-95 cm 29 - 3 6 - 24 95-105 cm 62 1 10 2 - 38
105-110 cm 29 1 1 3 - 23 110-115 cm 9 - - - - 36 115-120 cm 20 1 2 - - 20 125-130 cm 22 6 - 5 - - 130-135 cm 23 7 - 3 - 41 135-140 cm 5 5 - - - 15 140-145 cm 2 - 2 1 - 5 145-150 cm - 1 2 - - 19 150-160 cm 1 - 2 - - 12
Jumlah Temuan 357 28 31 23 3 360
Siput hidup di darat
Siput hidup di air tawar
Kerang hidup di air tawar
69
Tabel 4.2: Habitat Temuan Moluska Kotak S1B6
Kedalaman Famili Camaenidae Pleuroceridae Cyclophoridae Donacidae Helicarionidae Marginelidae Unionidae Viviparidae
p - - - - - - - - 0-5 cm - 2 - - - - - 1
5-10 cm 3 2 - - - - 1 - 10-15 cm - - - - - 1 9 - 15-20 cm 1 - 4 - - - 11 - 20-25 cm 2 1 - - - - 18 - 25-30 cm 11 13 - - - - 31 - 30-35 cm 3 - - - 1 - 30 - 35-40 cm 5 - - - - - - - 40-45 cm 9 3 1 - 2 - 61 - 45-50 cm - - - 1 - - 21 -
50-55 cm 3 - - - - 1 13 -
Jumlah Temuan 37 21 5 1 3 2 195 1
Siput hidup di darat
Kerang hidup di laut
Siput hidup di air tawar
Kerang hidup di air tawar
70
Untuk moluska yang berhabitat di air laut, berupa jenis Gastropoda dan
Bivalvia. Gastropoda air laut merupakan masuk dalam famili Marginelidae.
Spesimen ini hidup dalam habitat pesisir dan membenamkan diri dalam pasir pantai.
Menurut Bunjamin Dharma (1992), Marginelidae merupakan jenis kerang laut yang
banyak ditemuakan di pesisir utara laut Jawa. Spesimen Marginelidae ini hanya
ditemukan 2 buah saja hingga penggalian tahun 2010. Sementara untuk jenis
Bivalvia yang memilii tempat hidup di pesisir pantai adalah famili Donacidae. Kerang
jenis ini kebanyakan tinggal di perairan tropis. Mereka hidup dengan membenamkan
diri di dalam pasit pantai. Spesimen Donacidae ditemukan berjumlah 1 buah pada
kedalaman 50 – 55 cm yang berupa lapisan pasir lanau yang berwarna cokelat
kehitaman dan berasosiasi dengan temuan fragmen tembikar.
1. Moluska sebagai sumber bahan pangan
Pengolahan moluska untuk dimakan memerlukan teknik tertentu, terutama
untuk membuka cangkangnya. Setiap jenis moluska memiliki caranya tersendiri
untuk dikonsumsi oleh manusia. Ada cangkang yang mudah dibuka, harus dibuka
dengan pemanasan terlebih dahulu namun ada pula jenis yang harus dipecah
cangkangnya agar dapat memperoleh daging kerang (Kuswanto, 2007: 119).
Dari grafik yang telah ada pada bab sebelumnya (grafik 3.2), menunjukkan
Famili Camaenidae dari Klas Gastropoda serta famili Unionidae dari klas Bivalvia
mendominasi temuan cangkang moluska yang ada di Gua Kidang. Kedua spesimen
tersebut dapat ditemukan pada lapisan-lapisan tanah yang dikupas pada tiap
penggalian.
Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, moluska merupakan sumber
bahan pangan yang memiliki nilai gizi dan dapat memenuhi nutrisi bagi tubuh
71
manusia. Dari jumlah dan cara eksploitasi cangkang Camaenidae dan Unionidae
menunjukkan bahwa kedua spesimen tersebut merupakan jenis moluska yang
paling banyak dikonsumsi oleh komunitas penghuni Gua Kidang.
Untuk jenis Gastropoda seperti Camaenidae, cangkang pada bagian atas
(whorl) harus dipecah terlebih dahulu agar mudah memperoleh dagingnya dengan
cara mencuil daging yang menggunakan semacam alat lancipan berukuran kecil.
Hal tersebuh dapat terlihat pada Camaenidae temuan Gua Kidang banyak
ditemukan cangkang-cangkang yang pecah pada bagian apex. Hal tersebut menjadi
dugaan yang sangat kuat bahwa Camaenidae dikonsumsi dalam jumlah yang tidak
sedikit.
Viviparidae merupakan temuan jenis Gastropoda yang memiliki operculum
untuk menutup cangkang. Sehingga diperkirakan untuk mengkonsumsi jenis
Gastropoda seperti Cylophoridae atau Helicarionidae yang tidak memiliki
operculum, cukup dengan menggunakan alat seperti lancipan yang kecil untuk
mencungkil daging siput tersebut. Kerang Bivalvia jenis air tawar seperti Unionidae,
untuk membuka cangkangnya cukup relatif mudah. Kerang Unionidae merupakan
jenis kerang yang hidup di air tawar sehingga menyebabkan cangkang yang
dimilikinya tidak tebal seperti kerang air laut pada umumnya. Cangkang Unionidae
cukup mudah dibuka hanya mencungkil saja dengan alat untuk mendapatkan
dagingnya. Apabila beberapa ada jenis kerang Unionidae yang sulit untuk dibuka
cangkangnya, maka dilakukan pemangkasan pada bagian cangkang. Untuk
memudahkan, pemangkasan mengikuti bagian sutura atau bagian alur dari
cangkang. Pemangkasan cangkang juga bisa dilakukan dengan cara memotong
secara vertikal badan.
72
2. Moluska sebagai sumber bahan baku
Kelebihan moluska terdapat pada bagian cangkangnya yang keras dan awet
selama puluhan ribu tahun. Cangkang moluska ini juga digunakan sebagai data
yang penting dalam setiap penelitian arkeologi terutama yang berkaitan dengan
kajian lingkungan. Cangkang moluska memiliki kandungan kalsium karbonat yang
dapat bertahan tidak mengalami pelapukan. Bahan seperti ini sangat ideal
digunakan oleh manusia saat itu untuk dijadikan alat yang berguna bagi aktivitas
memperoleh makanan.
Setelah dagingnya dikonsumsi maka bekas sisa cangkang yang menjadi
sampah didaur ulang kembali untuk dimanfaatkan. Cangkang moluska kemudian
menjadi sumber bahan baku untuk dikerjakan menjadi alat, seperti pada di Situs
Gua Kidang. Jenis cangkang moluska yang banyak dipakai kembali adalah
cangkang dari kerang Unionidae. Setelah dikonsumsi, cangkang Unionidae di pakai
kembai menjadi alat seperti serut atau lancipan. Cangkang dipotong menjadi fraktur
concoidal (mengikuti alur cangkang) dan kemudian dipangkas untuk mendapatkan
sisi yang tajam untuk menjadi alat serut. Sementara itu, artefak alat seperti lancipan,
cangkang dipotong bagian sutura dan dipertajam pada salah satu sisinya.
Sementara itu, terdapat hal menarik dari temuan cangkang moluska yang
ditemukan di Situs Gua Kidang. Temuan cangkang moluska yang memiliki habitat
hidup di laut diperkirakan tidak dikonsumsi. Hal tersebut melihat dari kuantitas
temuan cangkang Marginelidae yaitu jenis Gastropoda dengan ukuran yang sangat
kecil, dan tidak ideal untuk dikonsumsi mengingat ukuran daging kerang yang juga
pasti berukuran kecil. Sementara itu, cangkang kerang laut Donacidae ditemukan
hanya satu tangkup (valve) saja, sehingga kemungkinan moluska-moluska jenis ini
73
didapatkan tidak untuk dimakan melainkan dipakai sebagai sumber bahan baku
alat.
Pada badan cangkang Marginelidae terdapat sebuah lubang kecil pada
bagian badannya (lihat foto 3.5). Lubang tersebut dibuat hingga menembus kedua
sisi cangkang, hal dapat menjadi dasar asumsi bahwa cangkang Marginelidae
berlubang karena dibuat oleh manusia bukan dilubangi oleh sejenis hewan
pengerat. Kedua buah temuan Marginelidae dari penggalian Gua Kidang memiliki
lubang yang serupa. Ada kemungkinan cangkang moluska tersebut dijadikan
artefak semacam alat perhiasan.
Cangkang kerang air laut jenis Donacidae berukuran cukup besar. Cangkang
dipangkas pada bagian badan dan menyisakan sisa pada bagian tepi atas tempat
umbu dan engsel berada. Terdapat upaya memodifikasi cangkang pada bagian
margin pada pinggirannya yang dipangkas. Temuan cangkang Donacidae sejauh ini
hanya ditemukan satu buah fragmen tidak utuh pada penggalian di Situs Gua
Kidang.
B. REKONSTRUKSI JELAJAH DAN ADAPTASI KOMUNITAS PENGHUNI
GUA KIDANG
Subsistensi adalah cara-cara tertentu dari manusia untuk menyambung
hidup. Cara-cara untuk mengumpulkan jenis bahan pangan tertentu, model
perburuan dan waktu-waktu tertentu untuk berburu pada setiap komunitas manusia
prasejarah tentu berbeda satu dengan yang lain. Hal tersebut berkaitan juga dengan
lingkungan tempat mereka hidup. Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia Luring,
lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
74
makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kehidupan
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Maka disimpulkan dengan
kondisi lingkungan hidup tertentu akan menghasilkan suatu ekosistem yang memiliki
ciri-ciri tersendiri. Dalam suatu ekosistem, suhu, dan iklim suatu tempat akan
mempengaruhi tumbuh kembang berbagai jenis tetumbuhan. Keberadaan jenis-
jenis flora sangat penting bagi keberlangsungan hidup fauna pemakan tumbuhan.
Fauna herbivora ini kemudian menjadi makanan bagi fauna karnivora dan manusia.
Siklus hidup tersebut berlangsung secara kontinyu membentuk suatu sistem rantai
makanan. Apabila dalam salah satu komponen terganggu keseimbangannya maka
siklus hidup suatu ekosistem akan terganggu dan berubah.
Dalam suatu sistem ekologi tersebut, manusia akan masuk menjadi makhluk
predator atau memangsa makhluk hidup lain terutama hewan untuk konsumsi
pangan mereka. Kebutuhan untuk mengkonsumsi hewan sebagai bahan pangan
adalah salah satu upaya manusia untuk menyambung hidup juga disebut dengan
kegiatan subsistensi.
Model subsistensi manusia pada masa prasejarah lebih ditekankan pada
cara beradaptasi dengan lingkungan tempat mereka hidup. Ini terjadi karena
manusia pada masa itu sangat bergantung dengan apa yang disediakan oleh alam
dan lingkungan mereka untuk memenuhi kebutuhan pangan hingga tempat tinggal.
Pada strategi untuk memenuhi kebutuhan ekonomis dalam suatu kelompok
masyarakat berburu meramu terdapat salah satu model strategi subsistensi yang
diungkapkan oleh Michael A. Jochim (1976; 1981), atau yang biasa disebut dengan
Model Jochim, yaitu sebuah model yang dibuat untuk melihat perilaku manusia
untuk memenuhi kebutuhan ekonomis berdasarkan data artefaktual maupun
75
ekofaktual berupa tinggalan fauna. Elisabeth J. Reitz & Elisabeth S. Wing (2008,
253-254) menjelaskan model ini sebagai berikut:
“...The model assumes people make rational decisons to reconcile
competing objectives, but ultimately to ensure regular and
sufficient intake and nutrients (Jochim 1976: 4-5; 1981:64). To do
this, decisions are made about which resources to use, in what
quantity, when, from where, and by whom. These are based on
three interrelated variables: (1) resources use schedules, (2) site
placement, and (3) demographic arragements...”
Dengan kata lain, suatu komunitas yang masih berburu akan mengambil
keputusan rasional yang dalam upaya memenuhi kebutuhan yang didasarkan pada
perasaan aman karena memiliki tempat-tempat yang bisa dieksploitasi karena
memiliki bahan yang melimpah dan dapat tersedia dalam jangka waktu yang
panjang. Pada komunitas manusia purba yang menghuni Gua Kidang pun akan
memilih sumber bahan ekonomis yang dapat memenuhi kebutuhan mereka secara
kontinyu.
Moluska merupakan sumber bahan yang dapat memenuhi kebutuhan
tersebut karena ketersediaan jenisnya yang melimpah tersedia di balik rimbunannya
rerumputan, dasar sungai yang berlumpur atau terbenam di dalam pasir pantai
hingga tersembunyi di batu karang tepi pantai. Jenis ini juga masuk dalam kategori
sumber bahan pangan yang memiliki tingkat resiko rendah dalam upaya untuk
mengusahakannya (Reitz & Wing, 2008: 254). Berbeda dengan jenis binatang
buruan seperti Bovidae (kerbau) atau Cervidae (rusa) yang membutuhkan
keterampilan khusus dalam memburunya, sehingga kadang kala kegiatan berburu
fauna mamalia tersebut tidak menghasilkan apapun, maka moluska adalah jenis
fauna yang dapat dengan mudah di dapatkan. Hal ini menjelaskan bagaimana
76
temuan cangkang moluska yang dikonsumsi oleh komunitas penghuni Gua Kidang
jumlahnya sangat banyak.
Sumber bahan makanan yang diandalkan apabila komunitas tersebut tidak
bisa mendapatkan hewan-hewan besar dari perburuan mereka, kemungkinan besar
manusia penghuni Gua Kidang mengeksploitasi sumber daya bahan pangan
moluska di wilayah sekitar situs, seperti di aliran sungai daerah Kedungwungu atau
cekungan air yang sekarang menjadi Waduk Bentolo (lihat Foto 4.1 dan Peta 4.1).
Foto 4.1: Waduk Bentolo
Dokumentasi: Ayu Dipta Kirana
Foto 4.2: Sungai kedungwung
Dokumentasi: Ayu Dipta Kirana
78
Unionidae atau jenis kerang air tawar dapat hidup dengan membenamkan diri pada
endapan lumpur dan hidup berkembang biak. Dilihat dari temuan cangkang
Unionidae sebagai jenis yang banyak ditemukan, dapat dikatakan bahwa
ketersediaan jenis ini bisa sangat banyak dan mudah didapatkan.
Sementara itu, jenis-jenis dari Gastropoda justru didapatkan jauh lebih
mudah karena keberadaan mereka bisa ditemukan di pepohanan dan tempat yang
lembap yang ada tak jauh dari lingkungan Gua. Berdasarkan dari temuan cangkang,
jenis Gastropoda malah semakin tinggi dikonsumsi pada masa akhir hunian karena
jumlah cangkangnya yang justru makin meninggi dibandingkan dengan cangkang
Unionidae yang meskipun jumlahnya menurun tapi tetap ada hingga akhir hunian.
Perubahan pola konsumsi ini bisa terjadi akibat pergantian musim.
Pada penelitian mengenai rekonstruksi penangkapan kerang di situs Rawa
Pening yang dilakukan oleh Suciati Rahayu (1992) menjelaskan bahwa kerang-
kerang air tawar lebih banyak diperoleh pada musim kemarau dibandingkan pada
musim penghujan. Ini disebabkan karena debit air di sungai akan menurun dan
lumpur tidak akan terlalu dalam. Kondisi tersebut akan memudahkan pengambilan
kerang-kerang air tawar yang hidupnya membenamkan diri pada endapan dasar
sungai. Berbeda dengan musim penghujan yang menyebabkan debit air sungai naik
dan membuat dasar sungai bertambah ketebalan lumpurnya. Meskipun
pengambilan kerang tetap dilakukan pada musim penghujan, namun jumlahnya
tidak akan sebanyak ketika musim kering (Rahayu, 1992: 39 – 40).
Ini mengindikasikan komunitas penghuni Gua Kidang telah memiliki pola
penangkapan kerang dan siput yang sesuai dengan musim. Karena ketika sulit
mendapatkan kerang air tawar di sungai maupun danau maka obyek pangan
mereka bersubtitusi menjadi jenis siput yang hidupnya di tanah atau pepohonan.
79
Temuan variasi jenis siput darat dan kerang air tawar rata-rata melimpah
menunjukkan bahwa sumber air tersebut berada dalam kondisi yang baik bagi jenis
ini untuk hidup meskipun suhu di wilayah Karst Rembang cenderung panas dengan
lingkungan yang kering. Sungai-sungai yang mengalir di daerah Kedungwungu
merupakan tipe jenis sungai beraliran tenang yang tidak kering pada musim
kemarau meskipun debitnya airnya cenderung menurun (lihat foto 4.2). Hal ini
ditunjukkan pada keberadaan Unionidae yang dikonsumsi secara kontinyu dan tidak
pernah hilang, karena jenis kerang ini tidak dapat bertahan dalam jangka waktu
yang lama tanpa air ( Peacock & Gerber, 2008: 137).
Sementara itu berdasarkan temuan cangkang moluska berhabitat laut
mengindikasikan ada kemungkinan bagi komunitas penghuni Gua Kidang
melakukan perjalanan hingga ke pesisir. Akan tetapi, lokasi pantai terdekat dari
situs Gua Kidang yaitu pantai di sebelah utara Jawa yang berjarak kurang lebih
sejauh 28 – 30 km. Pada bentang jarak tersebut, pengambilan bahan moluska
dirasa tidak memenuhi rasionalitas karena jumlah temuannya yang sedikit. Seperti
yang telah dijabarkan pada model adaptasi Jochim sebagai usaha pemenuhan
kebutuhan subsistensi moluska air laut sangat tidak menguntungkan bagi komunitas
penghuni Gua Kidang melakukan penjelajahan hingga ke pantai utara Jawa.
Survei yang dilakukan pada bulan April 2012, menunjukkan lokasi yang
diindikasi merupakan sumber bahan kerang laut didapatkan oleh komunitas
penghuni Gua Kidang. Lokasi tersebut terletak Bendungan Dumpil, Desa
Kalangdosari, Blora yang juga dibuat untuk mengatur aliran sungai Kali Lusi (lihat
Foto 4.3) yang terletak di sebelah selatan dari hunian gua. Jika ditarik garis lurus,
jarak antara situs dengan Bendungan Dumpil lebih kurang sekitar 8 – 10 km.
80
Foto 4.3: Bendungan Dumpil
Dokumentasi oleh: Andreas Eka Atmaja (Balar Yogyakarta, 2012)
Foto 4.4: Teras Sungai Yang Mengandung Cangkang Moluska Laut & Darat Dokumentasi oleh: Andreas Eka Atmaja (Balar Yogyakarta, 2012)
Bagian dasar endapan sungai hidup berbagai jenis fauna akuatik seperti
kepiting jenis yuyu, udang, kerang dan siput. Pada teras sungai tersebut banyak
sekali ditemukan berbagai macam fosil binatang berukuran besar, tanduk yang
diperkirakan berasal dari jenis Cervidae dan beberapa artefak batu. Selain itu,
ditemukan pula berbagai variasi jenis cangkang moluska dengan ciri-ciri khas yang
menunjukkan habitat lingkungan air laut atau pesisir pantai (lihat foto 4.4). Hal ini
tentu saja menarik karena saat ini, cangkang-cangkang tersebut ditemukan pada
81
habitat air tawar. Tentu saja bukti-bukti ini menunjukkan bahwa daerah ini
merupakan bagian dari Depresi Randublatung.
Depresi Randublatung merupakan sebuah zona cekungan yang berada
terletak di tengah antara Perbukitan Rembang di utara dan Punggungan Kendeng di
selatan. Zona depresinya terbagi dalam 2 bagian di barat dan timur. Kedua bagian
tersebut dipisahkan oleh celah sempit di dekat Randublatung sebelah barat Cepu.
Depresi Randublatung ini mengalami anomali karena beberapa bagian barat dari
cekungan ini berada di bawah fisiografi Perbukitan Rembang. Lapisan stratigrafinya
menunjukkan bahwa terdapat lapisan lempung biru yang mengindikasi bahwa zona
ini dahulunya merupakan kawasan laut tertutup (Bemmelen, 584 – 585; Yuwono,
2005). Proses pengangkatan daratan Jawa ini mengimplikasi kan bahwa fauna-
fauna marin turut terbawa aliran sungai termasuk pula di daerah Dumpil. Hal ini
yang mungkin menyebabkan bahwa variasi jenis fauna marin banyak dijumpai dari
sungai lusi karena proses pembentukan lingkungan alam jutaan tahun lalu.
Daerah eksploitasi komunitas penghuni Gua Kidang diperkirakan mencapai
wilayah aliran Kali Lusi yang berada sekitar 8 hingga 10 km dari situs hunian. Jarak
ini merupakan bentang yang rasional ditempuh oleh sekelompok manusia untuk
berburu mendapatkan makanan. Menurut M. R. Jarman (1972), jarak yang
ditempuh dari lokasi tempat tinggal/situs menentukan tingkat intensitas eksploitasi
sumber daya alam. Jarak tersebut dibagi dalam tiga radius, pertama ialah radius
jarak 1 – 2 km yang meliputi perburuan kecil, pengumpulan buah dan umbi-umbian
yang kebanyakan dilakukan oleh wanita dan anak-anak. Kedua yaitu radius jarak 2
– 5 km yang setara dengan satu jam berjalan kaki masih bisa diikuti oleh
perempuan. Yang ketiga adalah jarak radius 5 – 10 km dilakukan oleh kelompok
82
besar atau kecil laki-laki dewasa. Radius jarak terakhir ini dapat ditemptuh selama 2
jam berjalan kaki (Suhartono, 2000: 113 – 115).
Berarti keberadaan Kali Lusi masuk dalam lokasi yang potensial untuk
dicapai dalam perjalanan satu hari tanpa perlu mencari titik-titik transit untuk
bermalam. Area jelajah yang dilalui komunitas penghuni Gua Kidang untuk berburu
tidak terlalu sulit. Medan perjalanan cukup mudah dengan berjalan kaki. Untuk
keluar dari situs hunian Gua Kidang memang harus menuruni perbukitan dengan
kemiringan sekitar 5° – 15°. Selanjutnya untuk mencapai ke Desa Ngaringan tempat
Kali Lusi berada, topografinya cenderung datar. Vegetasi sekitarnya merupakan
hutan yang tidak terlalu rapat.
Kawasan Sungai Lusi termasuk dalam wilayah penjelajah komunitas
penghuni Gua Kidang untuk mengumpulkan makanan. Sehingga ada kemungkinan,
jelajah hingga sejauh 8 km ini termasuk dalam upaya mencari konsumsi hewan
buruan yang cenderung berukuran besar. Mereka juga melakukan penyusuran
aliran sungai yang mengalir dari kawasan Kedungwungu yang bermuara di Sungai
Lusi untuk mencari hewan. Pengambilan berbagai jenis moluska dengan bentuk
yang berbeda kemungkinan besar merupakan sumber bahan baku yang diambil
ketika juga tengah berburu dan mengumpulkan bahan pangan.
Keberadaan jenis moluska dengan habitat darat seperti siput dan keong-
keong merupakan indikator kondisi lingkungan lokal karena jenis gastropoda ini
tidak dapat berpindah dalam jarak yang ekstrem. Ditambah lagi kemungkinan untuk
mengkonsumsi jenis siput yang lebih kecil sangat jarang sehingga bias yang terjadi
dalam rekonstruksi lingkungan-purba dapat berkurang. (Peacock & Gerber, 2008:
128).
83
Dari habitat temuan moluska yang telah dianalisis dapat dilihat bahwa
kondisi lingkungan karst Rembang pada masa hunian Gua Kidang merupakan
lingkungan pada Kala Holosen Awal yang stabil. Dari berbagai jenis moluska yang
ditemukan di Gua Kidang dengan variasi habitatnya menunjukkan bahwa
lingkungan pada masa itu cenderung memperlihatkan keseimbangan alam yang
baik dan tidak ada polusi yang dapat menganggu perkembangan hidup fauna ini.
Berbagai jenis siput darat yang ditemukan di Gua Kidang, seperti jenis
Camaenidae, Helicarionidae dan Cyclophoridae merupakan jenis siput yang tidak
dapat melakukan perpindahan yang jauh. Ini berarti ketiga jenis tersebut dapat
merepresentasikan kondisi lingkungan dari gua hunian ini dengan baik. Sehingga
ketika Gua Kidang mulai dihuni, kondisi lingkungan pada masa itu tidak jauh
berbeda dengan masa kini yaitu Kala Holosen Awal.
Sementara itu dengan melihat pola konsumsi moluska dari grafik yang
ditampilkan pada bab sebelumnya ( Grafik 3.2), maka dengan penggunaan data dari
kotak T6S1 dan S1B6 ini bisa dilihat juga kronologi hunian komunitas penghuni Gua
Kidang. Grafik tersebut menunjukkan bahwa pola konsumsi Bivalvia meninggi pada
musim kering lalu kemudian digantikan oleh kuantitas Gastropoda yang dikonsumsi
pada musim penghujan. Grafik tidak menunjukkan pola konsumsi Bivalvia
meningkat kembali setelah grafik dari konsumsi Gastropoda menurun, berarti dapat
disimpulkan bahwa hunian di Gua Kidang berdasarkan pola konsumsi yang terlihat
dari grafik menunjukkan hunian selama dua musim saja.
Masa hunian di Gua Kidang berdasarkan konsumsi moluska yang ditemukan
di kotak T6S1 dan S1B6, menunjukkan masa hunian selama kurang lebih setahun
melihat dari musim yang dilewati, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Oleh
karena itu, meski musim kemarau datang kembali, komunitas penghuni Gua Kidang
84
tersebut tidak meneruskan untuk tinggal di kawasan ini melainkan bermigrasi
menuju tempat yang lebih ideal.
85
BAB V
KESIMPULAN
Kebudayaan suatu masyarakat dapat tercermin dari bagaimana suatu
kelompok masyarakat beradaptasi dengan lingkungannya, termasuk salah
satunya adalah dengan pengumpulan jenis makanan yang bisa didapatkan.
Pengambilan bahan makanan sangat terpengaruh oleh sumber daya alam yang
ada di lingkungan sekitar tempat komunitas penghuni situs tinggal. Ini berlaku
juga bagi komunitas penghuni Gua Kidang, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa
Tengah.
Wilayah penelitian Gua Kidang terletak di Kawasan Karst Blora. Daerah
ini merupakan bagian dari antiklin Rembang-Madura yang membentang dari
barat ke timur. Iklim di daerah ini termasuk tipe iklim tropik moonson. Wilayah
penelitian ini merupakan daerah yang cukup kering dan bercurah hujan sedang.
Fauna yang hidup di sekitar wilayah penelitian ini terdiri dari hewan-hewan
seperti sapi, rusa, sementara itu floranya merupakan tumbuhan berpohon luruh.
Sejauh ini, Gua Kidang merupakan satu-satunya gua hunian yang berada
di Kawasan Karst Blora di wilayah Todanan, karena kebanyakan gua-gua di
wilayah ini merupakan gua vertikal yang sulit diakses. Berdasarkan ekskavasi
yang dilakukan di Gua Kidang, ditemukan banyak sekali cangkang kerang.
Temuan ini mendominasi hampir setiap kotak yang digali. Cangkang moluska
merupakan salah satu temuan yang sangat penting. Microfauna ini memiliki
peran besar, terutama dalam kajian paleo-lingkungan. Moluska dapat bertahan
hidup dalam jangka waktu yang sangat lama. Hewan ini juga sangat sensitif
terhadap perubahan lingkungan. Artinya bahwa dengan mengetahui jenis-jenis
86
hewan ini maka dapat dilihat upaya adaptasi lingkungan suatu komunitas
manusia untuk menjelajah dan mengeksploitasi lingkungan sekitarnya.
Temuan Gua Kidang didominasi oleh jenis kerang air tawar (Unionidae)
dan siput yang hidup di daratan yang kebanyakan masuk dalam Klas
Gastropoda. Diperkirakan jenis inilah yang eksploitasi untuk dijadikan bahan
pangan. Pemecahan ujung (whorl) dari gastropoda merupakan salah satu cara
untuk memudahkan mengambil daging hewan tersebut. Sementara itu, untuk
kerang air tawar tidak banyak dilakukan pemecahan cangkang yang berarti
karena sifat kerang air tawar yang cenderung mudah untuk dibuka. Temuan
moluska yang memiliki tempat hidup di pesisir pantai sejauh ini hanya ditemukan
sejumlah tiga spesimen, yaitu dua jenis Gastropoda dan satu Bivalvia.
Dari hasil analisis tersebut maka bisa diperkirakan daya jelajah komunitas
penghuni Gua Kidang lebih banyak mengeksploitasi sungai-sungai di sekitar
tempat habitat sungai atau danau. Ada pula siput darat yang tinggal di pohon-
pohon. Tempat-tempat tersebut diindikasi menjadi tempat yang mereka
eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Ini berarti, manusia
pada masa itu mendapatkan moluska yang berada tak jauh dari situs hunian,
seperti di aliran Sungai Tinapan, Kedungwungu, cekungan air yang sekarang
berfungsi menjadi Waduk Bentolo dan Sungai Lusi. Moluska menjadi sumber
bahan pangan yang masuk dalam kategori low-risk yang artinya adalah pangan
ini merupakan jenis yang mudah didapatkan tanpa banyak kendala.
Temuan cangkang moluska laut dalam jumlah yang sangat sedikit di Gua
Kidang, menunjukkan bahwa kemungkinan daya jelajah komunitas ini tidak
sampai mencapai pantai. Jarak pantai utara Jawa dari situs gua kurang lebih
sekitar 28 – 30 km yang berarti jika ditempuh dengan berjalan kaki memakan
87
waktu berhari-hari, sementara hasil yang dibawa hanya sedikit. Hal tersebut tidak
relevan dengan waktu dan resiko yang mereka dapatkan untuk berburu jenis
hewan ini.
Terdapat lokasi yang memungkinkan untuk mendapatkan jenis cangkang
moluska laut tersebut meskipun komunitas penghuni Gua Kidang tidak
melakukan penjelajahan hingga pantai utara Jawa. Lokasi tersebut ada di
wilayah Bendungan Dumpil, Desa Ngaringan yang merupakan aliran dari Sungai
Lusi. Daerah ini merupakan bagian dari cekungan Randublatung yang sebelum
Kala Pleistosen - Holosen merupakan sebuah daerah laut tertutup. Proses
pengangkatan daratan Jawa, menyebabkan aliran Sungai Bengawan Solo
mengalir menyatu dengan aliran Sungai Lusi. Jenis-jenis moluska terbawa oleh
aliran sungai tersebut dan dapat ditemukan di dasar. Letak Bendungan Dumpil
ini hanya sekitar 5 – 8 km yang bisa dicapai dengan berjalan kaki satu hari.
Lokasi ini kemungkinan besar merupakan tempat yang dieksploitasi oleh
komunitas penghuni Gua Kidang untuk mencari moluska sebagai sumber bahan
baku.
Temuan berbagai cangkang moluska di Gua Kidang menunjukkan jenis
yang sama yang ditemukan di Sungai Kedungwungu, seperti jenis Pleuroceridae.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lingkungan pada masa hunian Gua
Kidang tidak jauh berbeda dengan masa kini, yaitu lingkungan pada Kala
Holosen yang telah stabil. Ini ditunjukkan melalui temuan cangkang moluska
yang cukup banyak, yang berkembang biak dengan baik di kawasan sekitar
hunian. Lingkungan yang stabil inilah yang membuat komunitas penghuni Gua
Kidang dapat beradaptasi sangat baik dengan lingkungan yang ada.
Ketersediaan moluska sebagai sumber daya baik untuk pangan maupun bahan
88
baku pembuatan alat membuat komunitas penghuni Gua Kidang dapat bertahan.
Analisis pada sampel yang digunakan pada dua kotak ekskavasi (T6S1 & S1B6)
penelitian ini memberikan gambaran tentang masa hunian selama dua musim,
yaitu selama musim kemarau dan penghujan.
Penelitan ini telah menjawab pertanyaan mendasar tentang bagaimana
strategi adaptasi lingkungan pada masa hunian manusia di Gua Kidang. Akan
tetapi lingkungan yang direkonstruksi masih dalam sebatas lingkungan lokal
(micro-environment) pada sekitar wilayah hunian saja dan bagaimana manusia
pada masa tersebut mencoba bertahan dengan lingkungan tersebut. Penelitian
lebih lanjut mengenai lingkungan yang lebih luas di Kawasan Karst Blora
diharapkan dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang lebih makro.
Kawasan Cekungan Randublatung yang berada dekat dengan situs Gua Kidang
masih menyimpan banyak pertanyaan untuk diungkapkan melalui kajian-kajian
data yang ditemukan dari penggalian di Gua Kidang.
Diharapkan penelitian mengenai moluska yang ada di Gua Kidang dapat
menambah khasanah pengetahuan mengenai jenis moluska air tawar maupun
Gastropoda darat. Selama ini penelitian moluska air tawar ataupun jenis yang
hidup di darat masih sangat minim. Padahal keberadaan jenis moluska ini tidak
kalah pentingnya dengan jenis moluska air laut. Berbeda dengan jenis kerang air
laut yang kemungkinan untuk berpindah sangat besar akibat gelombang perairan
laut lepas atau perubahan rupa bumi, seperti yang ditunjukkan pada penelitian
ini, jenis siput atau bekicot merupakan fakta solid mengenai lingkungan lokal
karena daya mobilitas mereka yang rendah.
89
DAFTAR PUSTAKA
Bahagiarti K, Sari. 2004. Mengenal Hidrogeologi Karst. Yogyakarta: Pusat Studi
Karst LPPM UPN “Veteran” Yogyakarta. Balai Arkeologi Yogyakarta, t.t. Laporan Ringkas Penelitian Pola Okupasi Gua
Kidang, Hunian Masa Prasejarah Kawasan Karst Todanan. Diperoleh dari www.arkeologijawa.com. Unduh Tanggal 18 Februari 2013 Pukul 10.02 WIB
Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama Bemmelen, R.W. Van. 1949. The Geology of Indonesia Vol IA. Holland: The
Hague Martinus Nijhoff Claassen, Cheryl. 1998. Shells. Cambridge: Cambridge University Press. Cristian, Anang. 2005. Adaptasi Manusia Penghuni Song Agung. Skripsi Sarjana.
Fakultas Ilmu budaya. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Dance, Peter. 1992. Shells. Australia: HarperCollins Publishers. Dharma, Bunjamin. 1988. Kerang dan Siput di Indonesia I (Indonesian Shells).
Jakarta: PT. Sarana Graha Dharma, Bunjamin. 1992. Kerang dan Siput di Indonesia (Indonesian Shells II).
Wiesbaden: Verlag Christa Hermmen. Distribusi Indonesia: PT. Sarana Graha Jakarta.
Gabbi, Giorgio. 1999. Shells: Guide to The Jewels of The Sea. Italy: Periplus
Editions(HK) Ltd Hadi, Panudju. 1989. Studi Daerah Banjir dan Kerugian Sektor Pertanian Daerah
Aliran Sungai Lusi Jawa Tengah. Tesis Pascasarjana. Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Luring (Luar Jaringan/Offline) 2012 Versis 1.1, aplikasi iPod.
Kuswanto, Gregorius D. 2007. Eksploitasi Sumber Daya Akuatik oleh Komunitas
Penghuni Song Jrebeng. Skripsi Sarjana. Fakultas Ilmu Budaya. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Leal, J.H.t.t. Bivalvia. The Bailey-Matthews Shell Museums. Diunduh pada
tanggal 24 November 2011 di website www.shellmuseum.org
91
Leal, J.H. t.t. Gastropods. The Bailey-Matthews Shell Museums. Diunduh pada tanggal 24 November 2011 di website www.shellmuseum.org
Listiawan, Andi dkk. 2008. Keanekaragaman Spesies Anggota Mollusca di
Kawasan Karst Gunung Kidul, DIY. Proceeding Indonesian Scientific Karst Forum. Yogyakarta: Goenoeng Sewoe Karst Forum.
Martias, Irsyad. 2009. Model Transformasi Sampah Cangkang Kerang di
Pemukiman Kawasan Pesisir Watukarung, Pacitan: Studi Etnoarkeologi. Skripsi Sarjana. Fakultas Ilmu Budaya. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Nurani, Indah. 2009. Gua Kidang: Hunian dan Karakter Budaya Kawasan Karst
Blora. Berita Penelitian Arkeologi No. 23. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.
Nurani, Indah dan Agus Tri Hascharyo . 2010. Pola Hidup Komunitas Gua
Hunian Prasejarah Kawasan Karst Blora. Berkala Arkeologi Thn XXX Mei 2010. Yogyakarata: Balai Arkeologi Yogyakarta.
Nurani, Indah dan Agust Tri Hascharyo. 2011. Laporan Penelitian Arkeologi: Pola
Okupasi Gua Hunian Prasejarah Kawasan Karst Blora Tahap V. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta. Tidak diterbitkan.
Nurani, Indah dan J.E.S Yuwono, 2009. Gua Kidang, Pilihan Manusia Prasejarah
di Kawasan Karst Blora. Berkala Arkeologi Tahun XXVIII Mei 2008.Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.
Pannekoek, A.J. 1949. Outline of The Geomorphology of Java. TAG Th 1949,
E.J. Brill, Leiden, Netherland. Peacock, Evan & Jochen Gerber. 2008. Using Land Snails and Freshwater
Mussels to Chart Human Transformation of The Landscape: An Example From North Missisipi USA Dalam Case Study in Environmental Archaeology 2nd Edition, Elisabeth J. Reitz dkk (Ed). New York: Springer Science + Business Media, LLC.
Pfleger, Václav. 1999. A Field Guide in Colour to Molluscs (English Edition).
Leicester: Blitz Edition. P4MI (Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi), Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Diperoleh dari pfi3.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=64itemImid=100
, Tanggal 2 Maret 2012. Pukul 11.36 WIB
Puslitarkenas. 2008. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.
92
Rachmanto, Pontjo. 2006. Kajian Debit Air Banjir Sungai Lusi Provinsi Jawa Tengah. Tesis. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Reitz, Elizabeth J. & Elizabeth S. Wing (2008). Zooarchaeology. Cambridge:
Cambridge University Press.
Renfrew, Colin & Paul Bahn. 1991. Archaeology Theories, Methods, and Practice. USA: Thames and Hudson Ltd.
Rosenberg, Gary. 2004. Conchology 101. Diperoleh dari http://coa.acnatsci.org/conchnet/c-101a.html. 2 Desember 2004.
Scheu, Lynn. 2004. What is A Shell?. Diperoleh dari
http://coa.acnatsci.org/conchnet/edushell.html. 2 Desember 2004 Setyowati, Ninik. 1993. Teknologi dan Fungsi Alat Kulit Kerang Situs Mulyorejo,
Cepu. Skripsi Sarjana. Yogkarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
Shackley, Myra. 1981. Environmental Archaeology. London: George Allen &
Unwin (Publisher) Ltd. Sharer dan Wendy Ashmore, 1993. Archaeology: Discovering Our Past.
California: Mayfield Publishing Company. Steward, Julian H. 1959. The Concept and Method of Cultural Ecology. Reading
In Anthropology Vol. II Readings in Cultural Anthropolgy. New York: Thomas Y. Crowell Company. Hlm 81 – 93
Suciati, Rahayu. 1992. Proses Terbentuknya Sampah Kerang Di Situs Rawa
Pening. Skripsi Sarjana. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada
Suhartono, Didik. 2000. Site Cathment Analysis pada Penghunian Gua Kawasan
Tuban. Skripsi Sarjana. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
Tanudirjo, Daud Aris. 1988-1989. Ragam Metoda Penelitian Arkeologi Dalam
Skripsi Karya Mahasiswa Arkeologi Universitas Gadjah Mada. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada.
Whitten, Tony dkk, 1999. Ekologi Jawa dan Bali. Alih Bahasa oleh S.N.
Kartikasari dkk. Jakarta: Prenhallindo Yuwono, J.S. Edy. 2005. Kawasan Karst Perbukitan Rembang dan Potensi
Arkeologisnya. Hasil penelitian tentang Pola Okupasi Gua-gua Hunian Prasejarah Kawasan Pegunungan Kendeng di Kab. Bloradan Rembang oleh Balai Arkeologi Yogyakarta, 5 – 15 Desember 2005.
93
DAFTAR ISTILAH
Antiklinorium : Punggung kulit bumi yang berlapis-lapis
Apex : Titik darimana pertumbuhan cangkang dimulai. Letaknya dipaling ujung
CaCo₃ : Kalsium Karbonat
Conchiolin : Rangkaian matrik organik dari protein hasil dari produksi mantle
Depresi : Cekungan dalam suatu bentang lahan akibat gerak bumi
Famili : Tataran dalam taksonomi yang ada di bawah klas dan diatas genus
Filum : Golongan besar dalam klasifikasi hewan dan tumbuhan yang
mempunyai persamaan sifat dasar tertentu, yang masih terbagi lagi menjadi subfilum, klas, ordo, famili, genus dan spesies
Genus : Tataran dalam taksonomi yang ada di bawah famili dan diatas
spesies
Klas : Tataran dalam taksonomi yang ada di bawah subfilum dan diatas famili
Ligament : Engsel elastis yang tidak terbuat dari zat kapur yan
menghubungkan 2 belah tangkup (valve) dari kerang Mantle : Bagian tubuh lunak yang berada di dalam cangkang dan
menghasilkan sel-sel untuk membentuk cangkang Order/Ordo : Tataran dalam taksonomi yang ada di bawah klas dan diatas
famili Pallial Sinus : Bagian cekungan yang berada dalam tangkup (valve) dari jenis
Bivalvia Spire : Bagian atas dari cangkang siput Gastropoda
Suture : Jahitan spiral yang mengelilingi cangkang Gastropoda
Taksonomi : Cabang ilmu biolog yang menelaah penamaan atau pengelompokan makhluk hidup berdasarkan persamaan dan perbedaan sifat dan ciri-ciri tertentunya
Whorl : Satu putaran lengkap dari bagian cangkang siput Gastropoda