Stagnasi South Asian Association For Regional Cooperation (SAARC) dalam Mengupayakan Kerjasama di Asia Selatan 1 STAGNASI SOUTH ASIAN ASSOCIATION FOR REGIONAL COOPERATION (SAARC) DALAM MENGUPAYAKAN KERJASAMA DI ASIA SELATAN Devi Ratri Mahanani 1 Septyanto Galan Prakoso, S.IP., M.Sc 2 Abstract South Asia is one of the regions that built up a regional organization as a coordination of cooperation between countries. The organization of cooperation is called as the South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC), founded in 1985. SAARC comprises eight member countries, namely India, Bangladesh, Pakistan, Sri Lanka, Bhutan, the Maldives, Nepal, and Afghanistan. The development of SAARC is considered as slow and tends to be stagnant. This condition is due to the cooperation is built upon the area of interstate conflict that is still rolling up to the present moment. Instability of the relationship of member states becomes its own challenges for the sustainability of the SAARC itself, especially in its goal to create integration in the region. The large number of troubled regional agenda also inhibits the progress in achieving the objectives of the cooperation. The economy in South Asia is dominated by India and the imbalance of economic capabilities has been aggravated by low participation from member countries of the SAARC, especially in intraregional trading post SAFTA establishment in 2006. This research is aimed to explain and analyze the stagnation of SAARC in maintaining cooperation in South Asia based on factors that are identified to be related to this condition. Meanhile, to explain the subject of this research, the author uses Regionalism approach that is supported by the concepts of Bandwagoning and the Shadow of the Future to analyze the dynamics of cooperation in South Asia within the framework of SAARC itself. The method used in this research is qualitative-explanative. As a result of this study, it is concluded that the stagnation experienced by SAARC in maintaining cooperation in South Asia is caused by the failure of the member states in coordinating to bring about a peaceful and conducive region. Therefore, economic development is running slow and insignificant, as well as the decrease of the optimism of the member states of SAARC in order to realize their goals through this regional cooperation. Keywords: SAARC, Stagnance, Regionalism, Bandwagoning, the Shadow of the Future 1 . Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional FISIP UNS, Sebagai penulis Pertama. 1 Dosen Prodi Hubungan Internasional FISIP UNS, Sebagai Penulis Kedua.
24
Embed
STAGNASI SOUTH ASIAN ASSOCIATION FOR REGIONAL COOPERATION (SAARC… · 2018-09-27 · Stagnasi South Asian Association For Regional Cooperation (SAARC) dalam Mengupayakan Kerjasama
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Stagnasi South Asian Association For Regional Cooperation (SAARC) dalam Mengupayakan
Kerjasama di Asia Selatan
1
STAGNASI SOUTH ASIAN ASSOCIATION FOR REGIONAL
COOPERATION (SAARC) DALAM MENGUPAYAKAN KERJASAMA DI
ASIA SELATAN
Devi Ratri Mahanani1
Septyanto Galan Prakoso, S.IP., M.Sc2
Abstract
South Asia is one of the regions that built up a regional organization as a coordination of cooperation between countries. The organization of cooperation is called as the South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC), founded in 1985. SAARC comprises eight member countries, namely India, Bangladesh, Pakistan, Sri Lanka, Bhutan, the Maldives, Nepal, and Afghanistan. The development of SAARC is considered as slow and tends to be stagnant. This condition is due to the cooperation is built upon the area of interstate conflict that is still rolling up to the present moment. Instability of the relationship of member states becomes its own challenges for the sustainability of the SAARC itself, especially in its goal to create integration in the region. The large number of troubled regional agenda also inhibits the progress in achieving the objectives of the cooperation. The economy in South Asia is dominated by India and the imbalance of economic capabilities has been aggravated by low participation from member countries of the SAARC, especially in intraregional trading post SAFTA establishment in 2006.
This research is aimed to explain and analyze the stagnation of SAARC in maintaining cooperation in South Asia based on factors that are identified to be related to this condition. Meanhile, to explain the subject of this research, the author uses Regionalism approach that is supported by the concepts of Bandwagoning and the Shadow of the Future to analyze the dynamics of cooperation in South Asia within the framework of SAARC itself. The method used in this research is qualitative-explanative. As a result of this study, it is concluded that the stagnation experienced by SAARC in maintaining cooperation in South Asia is caused by the failure of the member states in coordinating to bring about a peaceful and conducive region. Therefore, economic development is running slow and insignificant, as well as the decrease of the optimism of the member states of SAARC in order to realize their goals through this regional cooperation.
Keywords: SAARC, Stagnance, Regionalism, Bandwagoning, the Shadow of the Future
1. Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional FISIP UNS, Sebagai penulis Pertama. 1 Dosen Prodi Hubungan Internasional FISIP UNS, Sebagai Penulis Kedua.
Stagnasi South Asian Association For Regional Cooperation (SAARC) dalam Mengupayakan
Kerjasama di Asia Selatan
2
1. Pendahuluan
SAARC berdiri pada tahun 1985 dan terdiri dari delapan negara anggota,
yakni India, Bangladesh, Pakistan, Sri Lanka, Bhutan, Maladewa, Nepal, dan
Afghanistan. Sebagian besar negara-negara di kawasan Asia Selatan tersebut
masih dikategorikan sebagai negara-negara berkembang dengan kondisi
perekonomian dan stabilitas keamanan yang lemah. Oleh sebab itu, banyak
hambatan yang harus dilalui SAARC di dalam mengupayakan kerjasama di
kawasan tersebut. SAARC dinilai sebagai salah satu organisasi regional yang
mengalami perkembangan lambat, bahkan jika dibandingkan dengan organisasi
kerjasama regional di Asia lainnya, yakni Association of South East Asia Nation
(ASEAN). Misalnya dalam hal kerjasama ekonomi dengan Uni Eropa, ASEAN
mampu lebih jauh mendominasi dibandingkan dengan SAARC. Laporan
perdagangan Uni Eropa dengan SAARC dan ASEAN juga mencatat total
perdagangan dunia yang dilakukan oleh dua region tersebut. Pada tahun 2015,
SAARC tercatat hanya mampu mencapai total perdagangan sebesar € 731.211
juta1, sementara ASEAN sanggup menyentuh angka € 1.605.230 juta.2 Berbagai
faktor menjadi penyebab kondisi ini, namun yang paling utama adalah
instabilitas kawasan akibat konflik yang masih sering terjadi di antara sesama
anggota SAARC yang mengakibatkan aktivitas kerjasama yang tidak berjalan
harmonis.
Adanya konflik antara India dan Pakistan merupakan salah satu faktor
penyebab kerjasama di kawasan Asia Selatan mengalami berbagai hambatan
hingga saat ini. Sentimen antara kedua negara yang dilatarbelakangi perebutan
negara bagian Jammu Kashmir telah menyebabkan terjadinya perang antara
India dan Pakistan pada tahun 1947, 1965, 1971, dan 1999. Inti dari konflik
1 European Union, “European Union, Trade in goods with ASEAN (Association Of South-East Asian Nations),” diakses 06 April 2017, http://trade.ec.europa.eu/doclib/docs/2006/september/tradoc_111562.pdf. 2 European Union, “European Union, Trade in goods with SAARC (South Asian Association For Regional Cooperation),” diakses 06 April 2017, http://trade.ec.europa.eu/doclib/docs/2006/september/tradoc_113471.pdf.
Stagnasi South Asian Association For Regional Cooperation (SAARC) dalam Mengupayakan
Kerjasama di Asia Selatan
3
perebutan wilayah ini adalah keinginan penduduk Jammu Kashmir yang
mayoritas beragama Islam untuk bisa terlepas dari kekuasaan India yang
notabene merupakan nagara dengan mayoritas penduduk beragama Hindu.
Sementara itu, Pakistan menjadi negara yang paling menginginkan agar negara
bagian Jammu Kashmir tersebut masuk ke dalam administrasinya sebab
Pakistan merupakan negara dengan mayoritas penduduk Muslim. Terjadinya
empat perang besar tersebut tidak lantas menghasilkan titik temu untuk keluar
dari permasalahan yang ada hingga saat ini. Usaha PBB untuk menengahi
konflik inipun sia-sia sebab kedua pihak sejak awal telah melanggar amanat yang
sudah dituangkan di dalam dari Resolusi PBB 47 tahun 1948.3
Awal mula pembentukan SAARC diinisiasi oleh Presiden Bangladesh, Ziaur
Rahman, pada tahun 1980. Inisiatif Ziaur Rahman mendapatkan dukungan dari
Nepal, Sri Lanka, Maladewa, dan Bhutan, akan tetapi India dan Pakistan
memberikan sinyal ketidaksepahaman dengan ide tersebut. India menganggap
bahwa keinginan Bangladesh untuk membentuk organisasi ini dilatarbelakangi
maksud agar negara-negara kecil di Asia Selatan bisa membawa isu-isu bilateral
ke dalam level regional serta agar mereka bisa bersatu meredam dominasi
India.4 Sementara itu, Pakistan menganggap bahwa pembentukan organisasi
regional hanya akan dijadikan India sebagai kendaraan untuk bisa membentuk
pasar guna melanggengkan dominasi ekonomi India sendiri.5 Meskipun kedua
negara akhirnya sepakat untuk bergabung, namun ketidakpercayaan kedua
pihak terhadap kemanfaatan SAARC yang sudah muncul sejak pertama kali
terbentuk seolah masih melekat hingga sekarang.
Selama berdiri sebagai sebuah organisasi kerjasama regional sejak tahun
1985, SAARC telah banyak melewatkan agenda summit. Berdasarkan SAARC
Charter, pertemuan puncak yang dihadiri para kepala negara anggota ini
seharusnya diadakan sekali atau bahkan lebih setiap tahunnya. Akan tetapi,
selama 32 tahun berdiri, ketentuan yang sudah disepakati tersebut tidak bisa
3 United Nations, “UN Resolution 47,” diakses 06 April 2017, http://www.un.org/en/ga/search/view_doc.asp?symbol=S/RES/47(1948). 4 Muhammad Jamshed Iqbal, “SAARC: Origin, Growth, Potential and Achievements,” Pakistan Journal of History & Culture, Vol. XXVII No. 2 (2006), hal. 131, diakses 07 April 2017, http://www.nihcr.edu.pk/Latest_English_Journal/SAARC_Jamshed_Iqbal.pdf. 5 Ibid.,
Stagnasi South Asian Association For Regional Cooperation (SAARC) dalam Mengupayakan
Kerjasama di Asia Selatan
4
dipenuhi. Semenjak didirikan pertama kali Dhaka, hingga saat ini SAARC hanya
bisa menyelenggarakan 18 summit, yakni pada tahun 1985, 1986, 1987, 1988,
Pada September 2016, India, Bangladesh, Bhutan dan Afghanistan menolak
untuk menghadiri SAARC Summit ke-19 yang rencananya akan diadakan di
Islamabad, Pakistan pada bulan November 2016 lalu. Hingga saat ini, belum ada
keputusan pasti terkait kapan akan dilaksanakan pertemuan tersebut.
Penundaan pertemuan para kepala negara angota SAARC menjadi sebuah aksi
yang mengganjal kelancaran agenda regional. Semestinya, pertemuan para
kepala negara anggota SAARC bisa menjadi ajang untuk menyepakati tujuan-
tujuan baru pembangunan kawasan setiap tahunnya. Akan tetapi, melihat fakta
kondisi saat ini, komitmen SAARC untuk mewujudkan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Asia Selatan dan mendorong pertumbuhan ekonomi berdasarkan
rasa saling percaya di antara anggotanya belum mampu berjalan secara optimal.
Berdasarkan kondisi yang sudah dijelaskan di atas, peneliti tertarik untuk
menganalisis lebih lanjut mengenai stagnasi SAARC di dalam mengupayakan
kerjasama di Asia Selatan. Selain fakta relasi antarnegara anggota yang masih
sering mengalami konflik, analisis akan dilakukan secara mendalam terhadap
apa yang sebenarnya menjadi latar belakang pembentukan organisasi ini.
Melalui analisis tersebut, peneliti ingin mengetahui lebih jauh mengenai faktor-
faktor apa saja yang menjadi penghambat kerjasama di dalam SAARC. Adanya
konflik-konflik antarnegara yang belum terselesaikan, kerjasama ekonomi yang
cenderung stagnan dan dibayangi dominasi India, serta hambatan di dalam
pelaksanaan agenda-agenda rutin SAARC.
2. Metode
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui mengapa South Asian
Association for Regional Cooperation (SAARC) mengalami stagnasi dalam
mengupayakan kerjasama di Asia Selatan. Melalui metode eksplanatif-kualitatif,
penulis akan menggunakan pendekatan regionalisme untuk mengkaji bagaimana
6 SAARC, “SAARC Summits,” diakses 06 April 2017, http://saarc-sec.org/saarc-summits.
Stagnasi South Asian Association For Regional Cooperation (SAARC) dalam Mengupayakan
Kerjasama di Asia Selatan
5
evolusi SAARC, relasi antarnegara anggota yang konfliktual, stagnasi kerjasama
ekonomi, serta hambatan yang muncul terhadap pelaksanaan agenda SAARC itu
sendiri.7 Sementara itu, melalui konsep Bandwagoning, penelitian ini akan
mengkaji kecenderungan dependensi negara-negara kecil di Asia Selatan
terhadap negara yang lebih besar, seperti India.8 Terakhir, penelitian ini juga
menggunakan konsep the Shadow of the Future untuk melihat bagaimana
optimisme negara-negara anggota SAARC dalam menatap masa depan
organisasi regional tersebut, sehingga memengaruhi sikap-sikap mereka di masa
sekarang.9
3. Hasil dan Diskusi
3.1. Faktor-faktor Penghambat Peningkatan Kerjasama di Asia
Selatan
Kondisi kawasan yang masih konfliktual dianggap menjadi salah satu
hambatan paling besar dalam mengupayakan kerjasama di Asia Selatan ini.
Kondisi yang tidak stabil ini diperburuk dengan masih besarnya
ketimpangan dalam hal kemampuan ekonomi dan rendahnya
kesejahteraan di antara negara-negara anggota SAARC tersebut. Selain itu,
rendahnya intensitas kerjasama dianggap sebagai aspek yang
menunjukkan bahwa negara-negara Asia Selatan tidak lagi memandang
SAARC sebagai kerangka utama untuk membangun sebuah kerjasama
regional. Ketidakstabilan politik domestik di suatu negara juga bisa
mengganggu hubungannya dengan negara anggota SAARC yang lain.
Penjelasan mengenai faktor-faktor yang menghambat peningkatan
kerjasama di Asia Selatan dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kawasan Asia Selatan yang Konfliktual
Beberapa konflik yang masih sering terjadi di kawasan Asia
Selatan, baik bersenjata maupun sekadar kontravensi antarnegara.
Perselisihan antara India dan Pakistan dalam beberapa hal telah
menggoyahkan solidaritas regional di Asia Selatan itu sendiri. Konflik
7 Chandra D. Bhatta, “Regional Integration and Peace in South Asia: An Analysis,” Peace, Conflict and Development Journal, Issue 5 (2004), hal. 6, diakses 08 Mei 2017, http://www.bradford.ac.uk/social-sciences/peace-conflict-and-development/issue-5/RegionalIntegration.pdf. 8 Stephen M. Walt, The Origin of Alliances, (New York: Cornell University Press, 1987), hal. 112. 9 Ibid., hal. 12
Stagnasi South Asian Association For Regional Cooperation (SAARC) dalam Mengupayakan
Kerjasama di Asia Selatan
6
Kashmir menjadi peristiwa besar yang hingga saat ini belum benar-
benar dapat diselesaikan, meskipun sempat terjadi kesepakatan
gencatan senjata pada tahun 2003. Masih banyak kasus penambakan
yang menewaskan baik tentara Pakistan maupun India di kawasan
perbatasan kedua negara tersebut dan tentu saja mereka menuding
satu sama lain untuk bertanggung jawab. Kekerasan demi kekerasan
hingga aksi teror terus terjadi di kawasan tersebut. Panglima Militer
India, Jenderal Bipin Rawat, menyatakan bahwa angkatan bersenjata
India terus memberikan pengawasan khusus terhadap segala bentuk
aksi anti-India di Jammu-Kashmir. Bipin Rawat juga menuding bahwa
pemerintah Pakistan masih secara konsisten memberikan dukungan
bagi aksi terorisme di kawasan tersebut.10
Konflik-konflik yang terjadi di Asia Selatan didominasi oleh kasus
yang meliputi area batas antarnegara. Seperti yang terjadi antara India
dan Pakistan terkait sengekta Kashmir, atau antara Pakistan dan
Afghanistan terkait aktivitas Taliban. Hampir setiap negara anggota
memiliki keterkaitan dalam hal konflik yang terjadi di negara anggita
yang lain. Oleh sebab itu, cross-border cooperation seharusnya
menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan terutama dalam hal
keamanan, meskipun dalam rangka mewujudkannya SAARC memiliki
tantangan tersendiri.
Pengaruh etnis menjadi salah satu faktor di dalam konflik-konflik
yang terjadi di Asia Selatan, selain faktor politik atau motif kepentingan
nasional lain yang mungkin melatarbelakangi kondisi tersebut. Hal ini
terjadi karena di Asia Selatan terdapat kelompok etnis di suatu negara
yang memiliki hubungan dengan kelompok etnis yang sama di negara
lain. Kondisi ini menyebabkan terjadinya polarisasi etnis yang
kemudian bisa menjadi faktor penyebab konflik di Asia Selatan.
Militansi Tamil dan kekerasan etnis Sinhalese di Sri Lanka, aktivitas
terorisme di Kashmir, gerakan anti-Muhajir di Karachi, atau kekerasan
10 Ravi Krishnan Khajuria, “Seven Pakistani soldiers killed along LoC in retaliatory firing, says Indian Army,” Hindustan Times, 11 Januari 2018, diakses 15 Januari 2018.http://www.hindustantimes.com/world-news/pakistani-army-says-indian-fire-kills-4-soldiers-in-kashmir/story-HiNJkZoHsLPjWphTsfZlWO.html.
Stagnasi South Asian Association For Regional Cooperation (SAARC) dalam Mengupayakan
Kerjasama di Asia Selatan
7
komunal di India terkait isu agama yang juga menimbulkan reaksi
hingga ke Pakistan dan Bangladesh, telah memberikan efek buruk
terhadap hubungan antarnegara di Asia Selatan.11 Aktivitas insurgensi
Tamil, meskipun dinyatakan sudah berhasil dihentikan sejak tahun
2009, pada faktanya tetap menjadi bagian dari sejarah SAARC.
Pengaruh keberadaan kelompok tersebut sempat menjalar hingga ke
gerakan Khalistan di India yang bertujuan untuk menuntut berdirinya
negara bagian Sikh di Barat Laut India.12 Selain itu, Tamil juga
terindikasi pernah memberikan dukungan logistik kepada al-Mujahidin
yang merupakan kelompok yang berafiliasi al-Qaeda di Pakistan.13
Pengaruh etnis di dalam konflik-konflik di Asia Selatan bisa
dijelaskan kembali melalui beberapa permasalahan yang terjadi di
masyarakat. Masalah-masalah sosial-ekonomi bisa menjadi sebuah isu
sensitif yang kemudian menimbulkan reaksi terhadap suatu kelompok
tertentu, seperti ketika tingginya tingkat pengangguran yang
diakibatkan oleh lambatnya laju pertumbuhan perekonomian dan
ledakan jumlah penduduk dapat menimbulkan adanya rasa perbedaan
dalam hal besarnya kesempatan kerja antara kelompok tertentu dengan
kelompok lain.14 Faktor lain misalnya ketika pembangunan yang tidak
merata dapat memicu anggapan bahwa suatu kelompok telah
termarginalkan dari proses pembangunan dan tidak dapat ikut
menikmati keuntungan dari pertumbuhan ekonomi di negaranya.15
Faktor-faktor ini dapat dilihat pada fenomena gerakan nasionalisme
Tamil yang sempat memecah kestabilan keamanan Sri Lanka selama
bertahun-tahun lalu. Dominasi etnis Sinhalese di Sri Lanka
menimbulkan adanya sentimen antaretnis lain, baik terkait perlakuan
pemerintah atau dalam aspek kehidupan yang lain. Hal-hal ini dapat
menyebabkan menurunnya kredibilitas negara karena dianggap telah
11 Kishore C. Dash, Regionalism in South Asia: Negotiating Cooperation, Institutional Structures (New York: Routledge, 2008), hal. 51 12 “The history of the Tamil Tigers,” Al Jazeera, 28 Apr 2009, diakses 13 Januari 2018, www.aljazeera.com/focus/2008/11/2008112019115851343.html. 13 Ibid., 14 Kishore C. Dash, Loc., Cit., 15 Ibid.,
Stagnasi South Asian Association For Regional Cooperation (SAARC) dalam Mengupayakan
Kerjasama di Asia Selatan
8
mengesampingkan kepentingan kelompok etnis tertentu. Selain Sri
Lanka, isu etnis lain juga dialami oleh Pakistan. Empat provinsi di
Pakistan, masing-masing Punjab, Sindh, Baluchistan, dan Northwest
Frontier Province (NWFP) masing-masing dihuni oleh kelompok etnis
besar. Para Punjabis, yang tinggal di provinsi Punjab merupakan etnis
terbesar yang mendominasi militer, ekonomi, hingga pemerintahan
sipil di Pakistan.16 Sementara itu, kelompook etnis lain seperti Sindhis,
Pathans, Baluchis, dan Muhajirs (kelompok yang berasal dari partisi
India) menyimpan ketidaksukaan dengan dominasi yang dipegang oleh
para Punjabis tersebut.17 Fenomena-fenomena seperti inilah yang
dianggap berkontribusi dalam menyebabkan berbagai konflik dan
kekerasan yang terjadi di Asia Selatan hingga saat ini.
Suatu konflik yang melibatkan satu kelompok etnis di suatu
negara dapat memicu gejolak kelompok etnis yang sama di negara lain.
Hal inilah yang disebut mendorong munculnya subnasionalisme di Asia
Selatan.18 Subnasionalisme di sini lebih diartikan sebagai
kecenderungan orang-orang untuk merasa lebih terikat secara etnis
dibandingkan sebagai sebuah negara yang heterogen. Kondisi ini dinilai
mampu memicu munculnya separatisme dan terorisme, serta
destabilisasi di negara-negara Asia Selatan. Permasalahan ini dapat
dilihat ketika masing-masing negara saling menyalahkan atas tuduhan
pemberian asistensi terhadap gerakan separatisme, seperti protes India
terhadap dukungan Pakistan atas separatisme di Kashmir dan Punjab,
atau sebaliknya ketika Pakistan menyalahkan India karena diduga
mendukung separatisme di Provinsi Sindh. Hal serupa juga terjadi
ketika Sri Lanka menganggap India turut bertanggung jawab atas
tuntutan kemerdekaan dari kelompok Tamil. Adanya rasa saling tidak
percaya dan kecurigaan menjadi penghambat yang besar bagi SAARC
untuk mencapai tujuan dari kerjasama regional yang dibangun.
16 Ibid., hal 121 17 Ibid., 18 Ibid., hal 51
Stagnasi South Asian Association For Regional Cooperation (SAARC) dalam Mengupayakan
Kerjasama di Asia Selatan
9
Bhutan menjadi satu-satunya negara di Asia Selatan yang nyaris
tidak terdapat gejolak politik maupun keamanan di dalamnya. Tidak
heran jika Bhutan termasuk ke dalam salah satu negara paling damai di
dunia.19 Berbeda dengan beberapa negara Asia Selatan lainnya yang
masih diliputi tensi konflik yang cukup tinggi. Selain konflik internal,
terorisme lintas negara juga menjadi ancaman di Asia Selatan.
Kelompok teroris Al-Qaeda terus mendapat pengawasan terkait
upayanya yang diduga ingin memperluas jaringan di Asia Selatan,
yakni di Pakistan, Afghanistan, Bangladesh, bahkan India.20 Kondisi ini
juga memicu campur tangan negara lain, seperti Amerika Serikat, dan
dikhawatirkan hal ini bisa menimbulkan intervensi berlebihan
terhadap kedaulatan negara-negara di Asia Selatan.
2. Kerjasama Ekonomi Tidak Signifikan
Kenyataan bahwa phasil dari kerjasama dalam bidang ekonomi
yang tidak signifikan membuat kerjasama yang dijalankan hingga saat
ini belum mampu mencapai hasil yang maksimal. Meskipun memang
kondisi seperti ini wajar dan mungin bisa juga dialami oleh kerjasama
regional lain. Akan tetapi, kondisi di Asia Selatan cenderung lebih
kompleks dikarenakan adanya faktor besar lain, yakni keadaan wilayah
yang masih konfliktual serta ketimpangan kemampuan ekonomi yang
cukup mencolok. Artinya, SAARC masih memiliki tantangan dalam
memaksimalkan potensi negara-negara tersebut agar bisa bersaing
dengan negara yang lebih besar.
Perdagangan intraregional yang tergolong rendah juga menjadi
salah satu faktor yang menyebabkan perkembangan ekonomi SAARC
tidak signifikan. Perdagangan intraregional SAARC dinilai hanya
sebatas 3-5% dari volume total perdagangan mereka, yang mana itu
19 “The world‟s most peaceful countries-which nation has been number one for seven years?” The Telegraph, dikases 16 Januari 2018, http://www.telegraph.co.uk/travel/lists/most-peaceful-countries/bhutan/. 20 “Al Qaeda wants to create local leadership in South Asia, including India:US official,” India
Times, diakses 15 Januari 2018, https://economictimes.indiatimes.com/news/defence/al-qaeda-
Stagnasi South Asian Association For Regional Cooperation (SAARC) dalam Mengupayakan
Kerjasama di Asia Selatan
10
lebih rendah jika dibandingkan dengan blok perdagangan lain.21 Angka
ini sangat kecil jika dibandingkan dengan erdagangan di antara negara-
negara anggota ASEAN diperkirakan mencapai 25% dari total
perdagangan internasional mereka.22 Pada tahun 2015, perdagangan
intraregional SAARC diindikasikan hanya mencapai $28-30 milyar per
tahun, sementara itu ASEAN mampu mencapai $608.6 milyar pada
tahun 2014.23
Berkaca pada kondisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa SAARC
perlu untuk membentuk sebuah area kerjasama perdagangan yang
lebih efektif dan mampu membangun kepercayaan satu dengan yang
lain. Saat ini, negara anggota SAARC lebih memilih untuk saling
bekerjasama justru di luar kerangka SAARC. BIMSTEC dan SASEC
merupakan dua contoh alternatif organisasi kerjasama subregional
yang dipilih oleh mayoritas negara-negara anggota SAARC. Pada dua
organisasi ini, hanya India, Bangladesh, Nepal, Sri Lanka, Maladewa,
dan Bhutan saja yang terlibat sebagai anggota. Kecenderungan untuk
lebih aktif teribat dalam kerjasama subregional ini dapat dilihat sebagai
wujud strategi “SAARC minus one”.24 Arti dari strategi ini adalah
melewatkan Pakistan dari berbagai upaya kerjasama yang dilakukan
negara-negara seperti India, Bhutan, Bangladesh, Nepal, dan Sri Lanka
agar berjalan lebih kondusif dan efektif.25 Sebenarnya, strategi ini
dianggap penting untuk dilakukan demi tetap menjaga ikatan
meskipun di luar kerangka SAARC. Keberadaan kerjasama subregional
yang lebih kuat, jika benar bisa memberi manfaat, maka dapat
21 Khalid Aziz , “Social and Political Issues in South Asia,” Regional Institute of Policy Research and Training, diakses 12 Januari 2018, http://riport.org/wp-content/uploads/pdf%20downloads/publications/Mellinium%20Development%20Goals.pdf. 22 Parthapratim Pal, “Intra-BBIN Trade: Opportunities and Challenges,” Observer Research Foundation, Maret 2016, diakses 17 Januari 2018, https://www.orfonline.org/wp-content/uploads/2016/03/ORF-Issue-Brief_135.pdf. 23 Ibid.,
24 Manjari Chatterjee Miller & Bharath Gopalaswamy, “SAARC Is Dead; Long Live SAARC,” The
Diplomat, diakses 16 Januari 2018, https://thediplomat.com/2016/11/saarc-is-dead-long-live-saarc/. 25 Ibid.,
Stagnasi South Asian Association For Regional Cooperation (SAARC) dalam Mengupayakan
Kerjasama di Asia Selatan
12
pemilu dan terpilih menjadi Perdana Menteri, kondisi politik di India
sempat mengalami sedikit pergolakan. Kondisi ini dipicu beberapa
kontroversi yang menodai citra baik kepemimpinan Modi. Konfrontasi
dengan Pakistan dan China terkait isu perbatasan merupakan salah
satu permasalahan yang disorot. Selain itu, banyak juga anggapan
bahwa pemerintahan Modi masih gagal dalam menjamin keselamatan
perempuan dari berbagai aksi pelecehan dan kekerasan seksual.27
Gejolak serupa juga dialami Bangladesh ketika pada awal tahun 2014
terjadi konfrontasi antara pasukan keamanan dengan para oposisi.
Pemilu sempat diboikot oleh Partai Nasionalis Bangladesh yang
konservatif dan juga beraliansi dengan beberapa organisasi Islam dan
partai sayap kiri Awami League.28 Kondisi ini menjadi pemasalahan
genting bagi Bangladesh dan memberikan pengaruh yang cukup besar
terhadap kestabilan di Asia Selatan sendiri.
Sementara itu, gejolak politik di Pakistan masih meliputi isu-isu
insurgensi, gerakan para Islamis, separatisme, hingga kontravensi para
politisi dengan pihak militer. Salah satu konflik besar yang terjadi di
Pakistan saat itu adalah ketika pasukan militer Pakistan kembali
berhasil menguasai wilayah North Waziristan yang berbatasan dengann
Afghanistan, yang sebelumnya sempat jatuh ke tangan kelompok yang
berafiliasi dengan Al-Qaeda.29 Pada saat itu, kondisi ini dikhawatirkan
akan memicu adanya serangan teror di kedua negara tersebut.
Pengusiran militan di kawasan ini memakan waktu bertahun-tahun
hingga akhirnya kawasan ini bisa kembali ke dalam pengawasan
Pakistan. Saat ini, pemerintah Pakistan di bawah kepemimpinan
Perdana Menteri Shahid Khaqan Abbasi, juga tengah bersitegang
dengan angkatan bersenjata Pakistan. Kondisi ini sebenarnya telah
berlangsung sejak masa akhir pemerintahan Nawaz Sharif, hingga
pihak militer dianggap sebagai dalang dibalik lengesernya Nawaz Sharif
27 Jason Burke & Jon Boone, “A year of fast and furious politics in south Asia,” The Guardian, 31 Desember 2014, diakses 13 Januari 2018. https://www.theguardian.com/world/2014/dec/31/fast-furious-politics-south-asia 28 Ibid., 29 Ibid.,
Stagnasi South Asian Association For Regional Cooperation (SAARC) dalam Mengupayakan
Kerjasama di Asia Selatan
13
pada 2017 lalu. Pemrintah Pakistan menganggap bahwa ada petinggi-
petinggi militer yang berniat untuk merebut kursi pemerintahan.
Berbeda dengan India, Pakistan, atau Bangladesh, permasalahan
di Maladewa justru melanda pada keamanan di sektor pariwisata.
Beberapa kasus penculikan turis dan wartawan asing terjadi dalam
beberapa tahun terakhir. Peristiwa ini diduga sebagai kelalaian
pemerintah dalam mencegah aksi kelompok kejahatan. Sementara itu,
di Sri Lanka, demokrasi dinilai belum berjalan sebagaimana mestinya
karena kebebasan pers masih seringkali dikekang.30
Beberapa permasalahan domestik secara langsung menjadi
pemicu terjadinya ketidaksepahaman dengan negara anggota yang lain.
Isu-isu bilateral, terutama seperti ketegangan antara India dan
Pakistan yang masih terus bergulir memang memberikan pengaruh
yang cukup besar bagi dinamika kawasan. Contoh kejadian ini dapat
dilihat pada keputusan penundaan agenda summit yang ke-19 di
Islamabad pada tahun 2016 lalu. India menolak menghadiri acara
tersebut karena meningkatnya tensi di wilayah Kashmir. Alasan itu
juga didukung oleh negara-negara lain seperti Bangladesh, Bhutan, dan
Afghanistan.
3.2. Analisis Terhadap Pola Regionalisme di Asia Selatan
Pendekatan regionalisme yang digunakan dalam penelitian ini
ditujukan untuk menganalisis bagaimana pola kerjasama regional di
kawasan Asia Selatan dalam kerangka SAARC. Seperti yang sudah
dijelaskan pada bab pertama, regionalisme berarti sebagai sebuah
pandangan yang mendorong sekelompok negara dengan indikator
kedekatan geografis dan kesamaan kepentingan untuk membentuk sebuah
organisasi untuk mencapai suatu tujuan. Keinginan ini kemudian didukung
dengan perwujudan sebuah institusi untuk mewadahi kerjasama ini. Akan
tetapi, tidak semua kerjasama regional memiliki pola yang sama. Asia
Selatan sendiri, dalam hal ini SAARC, menjadi contoh kerjasama regional
30 Kishali Pinto-Jayawardena, “Challenges to media freedom in Sri Lanka; the „New‟ Government‟s performance,” The Sunday Times, diakses 15 Januari 2018, http://www.sundaytimes.lk/170409/sunday-times-2/challenges-to-media-freedom-in-sri-lanka-the-new-governments-performance-236313.html.
Stagnasi South Asian Association For Regional Cooperation (SAARC) dalam Mengupayakan
Kerjasama di Asia Selatan
14
dengan karakter mencolok, terutama berkaitan dengan konflik yang terus
terjadi meskipun peningkatan kerjasama juga tetap mereka upayakan
Salah satu pola yang bisa dilihat di dalam SAARC adalah adanya
kecenderungan negara-negara yang relatif lemah untuk menjalin kedekatan
khusus dengan negara yang memiliki kekuatan lebih besar, terutama dalam
bidang ekonomi. Kondisi ini dapat dijelaskan menggunakan konsep
Bandwagoning. Melalui konsep ini, penelitian ini bertujuan untuk melihat
dominasi India yang besar di Asia Selatan, termasuk dalam lingkup SAARC,
dan bagaimana negara-negara dengan kekuatan yang relatif lebih kecil
menyikapinya. Adanya istilah „Delhineation‟ juga secara garis besar
menjelaskan bahwa dalam rangka meraih perdamaian regional, keamanan,
dan stabilitas di Asia Selatan, India harus tetap menjadi yang paling
dominan dan mempertahankan superioritas, terutama dalam bidang
ekonomi dan kemiliteran.31
Bhutan merupakan negara yang dinilai memiliki dependensi yang
cukup besar terhadap India, terutama dalam bidang keamanan dan
ekonomi. Hal ini dikarenakan sejarah Bhutan yang dahulunya merupakan
protektorat British-India sebelum akhirnya merdeka pada tahun 1947.
Kerjasama India dan Bhutan semakin kuat setelah ditandatanganinya
Treaty of Friendship pada tahun 1949.32 India juga menjadi negara yang
memberikan dukungan besar bagi Bhutan dalam menghadapi sengketa
Tibet dengan China pada tahun 1950-an. Berdasarkan wawancara dengan
Dr. Santhosh Mathew, beliau juga menyepakati bahwa kawasan ini sebagai
layak disebut sebagai sebuah „Indo-centric region‟.33 Sementara itu,
mengenai SAARC, Dr. Santosh Mathew juga mengatakan bahwa, “... Trust
deficit among the member countries (have) already existed. Except
Bhutan, rest of them (have) already (been) the part(s) of China’s
31 Kishore C. Dash, Op., Cit., hal. 116. 32 Arif Hussain Malik & Nazir Ahmad Sheikh, “Changing Dynamics of Indo-Bhutan Relations: Implications for India,” International Journal of Political Science and Development, Vol. 4(2) (2016), hal. 45, DOI: 10.14662/IJPSD2016.002. 33 Dr. Santhosh Mathew (Assistant Professor in Centre for South Asian Studies, Pondicherry
Central University, India), email untuk penulis 19 Oktober 2017.
Stagnasi South Asian Association For Regional Cooperation (SAARC) dalam Mengupayakan
Kerjasama di Asia Selatan
15
surrounding India policy.”34 Artinya, pengaruh India yang cukup kuat
dapat memengaruhi beberapa negara lemah, salah satunya Bhutan untuk
menggantungkan kepentingan mereka secara lebih terhadap India.
Adanya karakteristik yang sama pada negara-negara anggota SAARC
dalam menghadapi permasalahan mengenai pemerintahan, seharusnya
mendorong mereka untuk juga bekerjasama guna membentuk sebuah upaya
kolektif yang menguntungkan dalam rangka menangani isu-isu nation-
building di Asia Selatan. Akan tetapi, banyak pemimpin negara yang justru
cenderung menjaga jarak antara satu dengan yang lainnya demi tetap
mewaspadai pengaruh dari dominasi India. Kondisi ini justru mendorong
mereka untuk mencari dukungan dari negara di luar Asia Selatan untuk
mengimbangi kekuatan India, dan salah satu negara sasaran mereka adalah
China.35 Rivalitas antara India dan Pakistan juga memberikan dampak yang
cukup besar bagi interkasi di dalam SAARC sendiri dan tidak dapat
dipungkiri, kondisi ini dapat memicu berbagai konsekuensi yang besar di
Asia Selatan.
Pada sebuah kerjasama regional, negara-negara dengan kekuatann
yang relatif kecil memang cenderung untuk menggunakan strategi
bandwagoning untuk mengakomodasi kepentingan mereka dalam hal
ekonomi hingga militer. Pada konteks Asia Selatan, dalam buku
Regionalism in South Asia: Negotiating Cooperation, Institutional
Structures disebutkan bahwa:
“In South Asia, all the states share a common border with India. Given the geographical proximity, great power disparity, and the potential for economic and security benefits from an alliance with India, it would seem that bandwagoning would be a preferred strategy for smaller South Asian countries.”36
Akan tetapi, strategi tersebut tidak lantas dijalankan oleh semua
negara, kecuali Bhutan dan Maladewa. Hal ini terjadi karena negara-negara
seperti Nepal, Sri Lanka, dan Bangladesh masih memiliki tensi etnis
dengan India dan juga adanya penolakan dari domestik masing-masing
Stagnasi South Asian Association For Regional Cooperation (SAARC) dalam Mengupayakan
Kerjasama di Asia Selatan
16
negara tersebut untuk menghindari intervensi dan mengurangi dominasi
dari India pada internal negara mereka. Hal ini berarti bahwa India
memang memiliki peran yang krusial, sehingga sangat penting bagi India
untuk memelihara kepercayaan dengan negara-negara kecil agar tercapai
tujuan dari kerjasama regional di semua bidang.37
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa faktor-faktor yang
menghambat kerjasama di Asia Selatan juga turut mengarahkan pola
regionalisme di kawasan tersebut. Negara-negara minor memiliki
ketakutan atas dominasi India, akan tetapi dalam beberapa hal mereka
masih melindungi kepentingannya dengan bernaung di bawah kekuatan
India. Saat ini, pengaruuh China memang mulai meluas di Asia Selatan,
akan tetapi lebih memiliki kecenderungan dalam bidang ekonomi.
Kehadiran China di Asia Selatan memang tidak lantas merubah arah
regionalisme secara total di Asia Selatan. Akan tetapi, inkonsistensi India
dalam menjalankan politik luar negerinya terhadap negara lain membuat
kepercayaan di antara mereka sangat lemah. Beberapa peristiwa yang
berakar dari sejarah masa lalu menunjukkan inkonsistensi tersebut.
Misalnya, ketika India membantu kemerdekaan Bangladesh pada tahun
1971, India gagal dalam mengawal kestabilan ekonomi dan politik
Bangladesh hingga terjadi kudeta militer pada tahun 1975.38 Contoh lain
adalah ketika India mencoba memediasi konflik sipil di Sri Lanka pada
tahun 1980-an, akan tetapi justru berakhir pada bencana politik dan militer
yang lebih besar. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa dalam beberapa
hal, India tidak mampu secara konsisten menjalankan strateginya, dan
tidak jarang justru terlibat konflik dengan negara tetangganya sendiri. Oleh
sebab itu, kehadiran China menjadi ketakutan tersendiri bagi India dan
justru bisa memberikan peluang bagi negara lain untuk menjalin kerjasama
secara lebih intensif dengan China.
3.3. Stagnasi SAARC dalam Meningkatkan Kerjasama di Asia Selatan
37 Khalid Ahmed, “Political Economy of SAARC and Regional Trade Integration: The Recent Ontogeny and Future Prospects,” (Makalah dipresentasikan dalam diskusi panel di Korea Institute for International Economic Policy, 29 April 2014). 38 Christian Wagner, “The Role of India and China in South Asia,” East West Center, 26 Juli 2017, diakses 22 Januari 2018, https://www.eastwestcenter.org/system/tdf/private/apb389.pdf?file=1&type=node&id=36203.
Stagnasi South Asian Association For Regional Cooperation (SAARC) dalam Mengupayakan
Kerjasama di Asia Selatan
17
Analisis pada bagian-bagian sebelumnya telah menunjukkan mengenai
faktor-faktor yang menghambat kerjasama di Asia Selatan dalam lingkup
SAARC, serta upaya yang dilakukan SAARC untuk meningkatkan
kerjasama di kawasan tersebut. Mayoritas dari penjabaran yang dituliskan
lebih banyak menjelaskan mengenai ketidakstabilan kawasan yang
diakibatkan oleh konflik antarnegara. Keadaan ini menjadi penyebab
utama stagnasi SAARC dalam mengupayakan kerjasama di Asia Selatan itu
sendiri. Selain itu, perbedaan kemampuan ekonomi juga menjadi faktor
tambahan yang membuat kerjasama ekonomi, terutama dalam hal
perdagangan, masih belum signifikan. Artinya, meskipun SAARC
merupakan kerjasama regional dan berisi 8 negara yang sama-sama saling
berkontribusi, akan tetapi kontribusi yang mereka berikan akan tetap
sesuai dengan kapasitas ekonomi yang mereka miliki masing-masing.
Alasan itulah yang membuat pertumbuhan ekonomi tetap ada, walaupun
tidak signifikan dan masih terdapat ketimpangan. Akan tetapi,
permasalahan yang dihadapi SAARC dirasa sebagai permasalahan yang
wajar dan bisa saja dialami oleh organisasi kerjasama regional yang lain.
Anggapan mengenai stagnasi yang dialami SAARC dalam
mengupayakan kerjasama di Asia Selatan lebih tepat ditujukan pada
masalah keamanan. Penjabaran mengenai kondisi kawasan yang masih
rawan konflik dan berbagai permasalahan domestik yang bisa meluas
menjadi konflik bilateral menjadi bukti bahwa kerjasama diijalankan di
atas kondisi yang sama sekali tidak kondusif. Hal inilah yang menyebabkan
SAARC dipandang sebagai sebuah organisasi yang belum mampu
memberikan manfaat bagi integrasi dan stabilitas Asia Selatan. Beberapa
data yang membandingkan mengenai perkembangan SAARC dan ASEAN
menunjukkan bahwa tingkat konflik di Asia Selatan memang telah jauh
menarik SAARC dari prestasi yang semestinya telah dapat tercapai sejak
berdiri pada tahun 1985.
Lambatnya perkembangan SAARC menimbulkan pertanyaan tentang
bagaimana masa depan dari organisasi ini, serta seberapa besar optimisme
negara anggota untuk tetap menjalankan kerjasama dalam kerangka
SAARC. Analisis mengenai pandangan ini dapat dijelaskan menggunakan
Stagnasi South Asian Association For Regional Cooperation (SAARC) dalam Mengupayakan
Kerjasama di Asia Selatan
18
konsep Shadow of the Future. Pada bab pertama telah dijelaskan bahwa
negara akan melakukan langkah-langkah tertentu untuk tetap melindungi
kepentingannya sesuai dengan bayangan dari masa depan kerjasama yang
menaunginya. India melihat SAARC sebagai sarana untuk tetap terikat
relasi dengan negara-negara yang lebih kecil demi mempertahankan status
quo di Asia Selatan. Meskipun demikian, tidak berarti India menaruh
optimisme yang besar terhadap SAARC dalam konteks ekonomi, sebab saat
ini, India memiliki visi yang lebih besar dengan memperkuat perannya
dalam ranah global dan membidik pasar internasional yang lebih luas.
Sejak awal pembentukan SAARC, politik luar negeri merupakan
motivasi tersirat yang melatarbelakangi masing-masing negara untuk
bergabung dengan SAARC. Bagi negara-negara kecil seperti Bhutan dan
Nepal, SAARC merupakan harapan yang besar. Kondisi geografis juga
mendorong mereka untuk bergantung kepada India, sebab mereka merasa
bahwa kepentingan India dalam hal keamanan bisa menjamin kepentingan
mereka dalam bidang ekonomi. Sementara itu, bagi Bangladesh, SAARC
bisa memberikan kesempatan untuk memperbaiki kondisi
perekonomiannya. Motif dari negara-negara kecil ini tidak lain adalah
pertimbangan bahwa SAARC akan memberikan wadah untuk menjalin
kerjasama regional yang memperluas interaksi negara-negara di Asia
Selatan, terutama sebagai penghuubung bagi negara-negara yang tidak
saling berbagi wilayah perbatasan.39 Bagi negara-negara kecil ini, SAARC
diyakini mampu memberikan manfaat dalam pembangunan regional,
melainkan juga posisi yang setara dengan India.40
Berdasarkan konsep Shadow of the Future, optimisme negara-negara
anggota SAARC bisa terjaga apabila SAARC dapat memperluas pandangan
mereka terhadap masa depan organisasi ini. Artinya, negara-negara
tersebut dapat melihat bahwa langkah SAARC untuk menuju tahapan-
tahapan integrasi ekonomi yang selanjutnya dapat berjalan dengan efisien.
Akan tetapi, sampai saat ini, perkembangan tersebut belum dapat dicapai.
Stagnasi dalam mengatasi masalah keamanan menjadi penghambat yang
39 Smruti S. Pattanaik, Op., Cit., hal. 142 40 Ibid.,
Stagnasi South Asian Association For Regional Cooperation (SAARC) dalam Mengupayakan
Kerjasama di Asia Selatan
19
besar. Pada sebuah organisasi kerjasama regional, terdapat penggambaran
yang menarik, yakni ketika terdapat sebuah konflik bilateral, semestinya
diperlukan negara ketiga yang menjadi pihak penengah dan dapat bersikap
netral. Akan tetapi, dalam konteks SAARC, sangat sulit untuk menemukan
negara yang netral karena masing-masing masih memiliki sentimen sosio-
kultural hingga politik, dan semua negara justru seolah menjadi bagian dari
masalah tersebut. Kondisi ini justru memberi celah bagi pihak lain di luar
kawasan untuk hadir sebagai dominasi baru, yakni China, yang mampu
menjadi sumber kekuatan baru bagi negara-negara lemah sekaligus
menawarkan kerjasama yang lebih netral dari konflik.
Saat ini tahap integrasi ekonomi SAARC masih berada pada level
perdagangan bebas atau free trade yang resmi berjalan sejak tahun 2006
lalu. Beberapa upaya dilakukan untuk terus mendorong perkembangan
perdagangan intraregional di kawasan Asia Selatan ini, akan tetapi selama
32 tahun berdiri potensi dalam bidang ekonomi belum dapat
dimaksimalkan. Demikian halnya dengan upaya menjaga hubungan
antarnegara juga masih terhambat oleh konflik-konflik bilateral, terorisme,
serta lemahnya kepercayaan antarnegara itu sendiri.
Meskipun demikian, masih terdapat harapan dari masing-masing
negara anggota SAARC terhadap masa depan organisasi ini. Harapan-
harapan ini disampaikan melaui surat terbuka yang dikiriman oleh menteri
luar negeri masing-masing negara untuk sekaligus memperingati hari jadi
SAARC yang ke-32 pada 8 Desember 2017. India, melalui Perdana Menteri
Narendra Modi menyatakan komitemennya dengan telah mewujudkan
visinya untuk SAARC, antara lain melalui peluncuran South Asia Sattelite,
pendirian Interim Unit of the SAARC Disaster Management Centre, serta
menjanjikan dukungan penuh bagi South Asian University demi
perkembangan SAARC.41 Komitmen-komitmen lain juga disampaikan oleh
negara anggota lainnya melalui pesan serupa. Sementara itu, Presiden Sri
Lanka, Maitripala Sirisena menyampaikan bahwa kekuatan SAARC
terdapat pada keberagamannya, akan tetapi, lebih penting lagi untuk
41 SAARC, “33rd SAARC Charter Day Messages: India,” diakses 18 Januari 2018, http://saarc-
Stagnasi South Asian Association For Regional Cooperation (SAARC) dalam Mengupayakan
Kerjasama di Asia Selatan
20
diketahui bahwa saat ini perkembangan SAARC masih berada jauh di
bawah potensi yang sebenarnya mereka miliki.42 Oleh sebab itu, perlu
kesadaran masing-masing negara untuk mendorong pembangunan di
kawasan Asia Selatan itu sendiri.
4. Kesimpulan
Berdasarkan pada penjelasan dalam bab-bab sebelumya, dapat
disimpulkan bahwa stagnasi yang dialami SAARC dalam mengupayakan
kerjasama di Asia Selatan disebabkan karena dinamika internal kawasan yang
tidak mendukung untuk terciptanya kerjasama regional yang optimal. Sehingga,
hal utama yang bisa dikonsiderasikan sebagai penyebab stagnasi SAARC adalah
kegagalan negara-negara anggota SAARC itu sendiri dalam berkoordinasi untuk
mewujudkan region yang damai dan kondusif tersebut. Kondisi yang tidak
kondusif ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kawasan Asia
Selatan dengan tingkat konflik yang masih tinggi, perdagangan intraregional
yang rendah, serta adanya ketidakstabilan politik di beberapa negara anggota
yang secara langsung berpengaruh terhadap dinamika SAARC itu sendiri.
Elaborasi kesimpulan dari penelitian ini ialah sebagai berikut:
1. Berbagai konflik yang terjadi di kawasan Asia Selatan, baik konflik domestik
di suatu negara maupun konflik bilateral, memberikan implikasi yang besar
terhadap stagnasi SAARC. Konflik-konflik ini menjadi penghambat utama
bagi SAARC untuk menyatukan kesamaan pandangan seluruh negara
anggotanya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan SAARC itu sendiri.
Konflik India-Pakistan terkait wilayah Jammu-Kashmir menjadi kasus
paling panjang yang hingga saat ini belum terselesaikan. Aksi-aksi kekerasan
hingga konflik bersenjata masih terus menelan korban jiwa di perbatasan
kedua negara tersebut. Selain itu, beberapa kasus terorisme yang diduga
kuat mendapat dukungan dari Pakistan menjadi ancaman lain bagi
keamanan dan kestabilan di kawasan Asia Selatan. Akibat dari kondisi
semacam ini, beberapa negara anggota lain menolak kooperatif dengan tidak
menghadiri SAARC Summit ke-19 yang seharusnya dilaksanakan di
42 SAARC, “33rd SAARC Charter Day Messages: Sri Lanka,” diakses 18 Januari 2018, http://saarc-sec.org/assets/responsive_filemanager/source/Charter%20Day%20Messages/2017/Sri%20Lanka.pdf.
Stagnasi South Asian Association For Regional Cooperation (SAARC) dalam Mengupayakan
Kerjasama di Asia Selatan
21
Islamabad pada tahun 2016 lalu. Hal ini mengakibatkan tertundanya pula
rencana program kerja yang seharusnya diperbaharui setiap tahun sebagai
agenda utama SAARC. Ketidakstabilan kawasan dan adanya mutual distrust
antarnegara menyebabkan kerjasama tidak berjalan kondusif dan tidak
dapat mencapai hasil maksimal. Banyak peristiwa yang menjadi bagian dari
latar belakang pendirian SAARC, hingga menimbulkan bias bahwa SAARC
tidak murni didirikan untuk bekerjasama dan mengupayakan integrasi
regional, melainkan untuk sekadar meredam konflik bilateral maupun
multilateral di kawasan Asia Selatan. Oleh sebab itu, intensitas kerjasama di
kawasan ini belum bisa mencapai tahap optimal seiring dengan
terganggunya pelaksanaan agenda-agenda primer yang semestinya menjadi
prioritas seluruh negara anggota.
2. Rendahnya partisipasi negara anggota di dalam kerjasama ekonomi SAARC
menyebabkan perkembangan yang tidak signifikan. Hal ini juga disebabkan
oleh ketimpangan dalam kemampuan ekonomi negara-negara anggota
SAARC sehigga kompetisi tidak berjalan seimbang. India menjadi negara
dominan yang sekaligus menjadi patron bagi negara-negara yang lebih kecil,
seperti Bhutan dan Maladewa. Dependensi yang besar dapat memicu
timbulnya bandwagoning di dalam SAARC, sehingga kemandirian sulit
terbentuk dan kompetisi intraregional tidak seimbang. Terkait dengan poin
sebelumnya, konflik antara India dan Pakistan juga memengaruhi dinamika
kerjasama ekonomi di dalam SAARC itu sendiri. Beberapa negara lebih
memilih untuk mengintensifkan kooperasi di dalam organisasi subregional
lain, seperti BIMSTEC dan SASEC yang tidak terdapat Pakistan di dalamnya.
Strategi „SAARC minus one‟ dilakukan oleh negara-negara anggota SAARC
itu sendiri. Pola ini mencakup seluruh negara anggota SAARC kecuali
Pakistan, karena adanya anggapan bahwa keberadaan India dan Pakistan di
dalam wadah yang sama menimbulkan kecenderungan untuk terjadinya
kontavensi dan membuat kerjasama tidak berjalan efektif. Hal ini menjadi
salah satu bukti masih minimnya optimisme negara-negara di kawasan Asia
Selatan terhadap perkembangan SAARC di masa sekarang dan di masa
depan. Meskipun demikian, bukan berarti kerjasama ekonomi SAARC tidak
mengalami perkembangan. Akan tetapi, apabila SAARC dan pemerintah
Stagnasi South Asian Association For Regional Cooperation (SAARC) dalam Mengupayakan
Kerjasama di Asia Selatan
22
negara-negara anggota masih belum menemukan langkah tepat untuk
mengatasi berbagai hambatan di dalam kerjasama tersebut, maka seterusnya
perkembangan SAARC akan tertahan dan sulit mencapai target-target yang
semestinya sudah diraih di dalam usia organisasi kerjasama regional yang
sudah cukup lama berdiri.
5. Referensi
Buku
Dash, Kishore C. Regionalism in South Asia: Negotiating Cooperation, Institutional Structures. New York: Routledge, 2008.
Walt, Stephen M. The Origin of Alliances. New York: Cornell University Press, 1987.
Jurnal
Bhatta, Chandra D. “Regional Integration and Peace in South Asia: An Analysis.” Peace, Conflict and Development Journal, Issue 5 (2004): 1-16. Diakses 08 Mei 2017. http://www.bradford.ac.uk/social-sciences/peace-conflict-and-development/issue-5/RegionalIntegration.pdf.
Iqbal, Muhammad Jamshed. “SAARC: Origin, Growth, Potential and Achievements.” Pakistan Journal of History & Culture, Vol.XXVII No. 2 (2006): 127-140. Diakses 07 April 2017. http://www.nihcr.edu.pk/Latest_English_Journal/SAARC_Jamshed_Iqbal.pdf.
Malik, Arif Hussain & Nazir Ahmad Sheikh. “Changing Dynamics of Indo-Bhutan Relations: Implications for India.” International Journal of Political Science and Development, Vol. 4(2) (2016): 44-53. DOI: 10.14662/IJPSD2016.002.
Pattanaik, Smruti S. “Making Sense of Regional Cooperation: SAARC at Twenty.” Strategic Analysis, Vol. 30, No. 1 (2006) : 139-160. Diakses 12 Januari 2018, https://idsa.in/system/files/strategicanalysis_spattanaik_0306.pdf.
Paper
Ahmed, Khalid. “Political Economy of SAARC and Regional Trade Integration: The Recent Ontogeny and Future Prospects.” (Makalah dipresentasikan dalam diskusi panel di Korea Institute for International Economic Policy, 29 April 2014.)
Stagnasi South Asian Association For Regional Cooperation (SAARC) dalam Mengupayakan
Kerjasama di Asia Selatan
23
Aziz, Khalid. “Social and Political Issues in South Asia.” Regional Institute of Policy Research and Training. Diakses 12 Januari 2018, http://riport.org/wp-content/uploads/pdf%20downloads/publications/Mellinium%20Development%20Goals.pdf.
Pal, Parthapratim. “Intra-BBIN Trade: Opportunities and Challenges.” Observer Research Foundation, Maret 2016. Diakses 17 Januari 2018. https://www.orfonline.org/wp-content/uploads/2016/03/ORF-Issue-Brief_135.pdf.
Artikel
“Al Qaeda wants to create local leadership in South Asia, including India:US official.” India Times. Diakses 15 Januari 2018. https://economictimes.indiatimes.com/news/defence/al-qaeda-wants-to-create-local-leadership-in-south-asia-including-indiaus-official/articleshow/57856036.cms.
Burke, Jason & Jon Boone. “A year of fast and furious politics in south Asia.” The Guardian, 31 Desember 2014. Diakses 13 Januari 2018. https://www.theguardian.com/world/2014/dec/31/fast-furious-politics-south-asia.
Khajuria, Ravi Krishnan. “Seven Pakistani soldiers killed along LoC in retaliatory firing, says Indian Army.” Hindustan Times, 11 Januari 2018. Diakses 15 Januari 2018. http://www.hindustantimes.com/world-news/pakistani-army-says-indian-fire-kills-4-soldiers-in-kashmir/story-HiNJkZoHsLPjWphTsfZlWO.html.
Miller, Manjari Chatterjee & Bharath Gopalaswamy. “SAARC Is Dead; Long Live SAARC.” The Diplomat. Diakses 16 Januari 2018, https://thediplomat.com/2016/11/saarc-is-dead-long-live-saarc/.
Pinto-Jayawardena, Kishali. “Challenges to media freedom in Sri Lanka; the „New‟ Government‟s performance.” The Sunday Times. Diakses 15 Januari 2018. http://www.sundaytimes.lk/170409/sunday-times-2/challenges-to-media-freedom-in-sri-lanka-the-new-governments-performance-236313.html.
“The history of the Tamil Tigers.” Al Jazeera, 28 Apr 2009. Diakses 13 Januari 2018. www.aljazeera.com/focus/2008/11/2008112019115851343.html.
“The world‟s most peaceful countries-which nation has been number one for seven years?” The Telegraph. Dikases 16 Januari 2018. http://www.telegraph.co.uk/travel/lists/most-peaceful-countries/bhutan/.
Wagner, Christian. “The Role of India and China in South Asia.” East West Center, 26 Juli 2017. Diakses 22 Januari 2018. https://www.eastwestcenter.org/system/tdf/private/apb389.pdf?file=1&type=node&id=36203.
Stagnasi South Asian Association For Regional Cooperation (SAARC) dalam Mengupayakan
Kerjasama di Asia Selatan
24
Laman Daring
European Union. “European Union, Trade in goods with ASEAN (Association Of South-East Asian Nations).” Diakses 06 April 2017. http://trade.ec.europa.eu/doclib/docs/2006/september/tradoc_111562.pdf.
European Union. “European Union, Trade in goods with SAARC (South Asian Association For Regional Cooperation).” Diakses 06 April 2017. http://trade.ec.europa.eu/doclib/docs/2006/september/tradoc_113471.pdf.
SAARC. “33rd SAARC Charter Day Messages: India.” Diakses 18 Januari 2018. http://saarc-sec.org/assets/responsive_filemanager/source/Charter%20Day%20Messages/2017/India.pdf.
SAARC. “33rd SAARC Charter Day Messages: Sri Lanka.” Diakses 18 Januari 2018. http://saarc-sec.org/assets/responsive_filemanager/source/Charter%20Day%20Messages/2017/Sri%20Lanka.pdf.
SAARC. “SAARC Summits.” Diakses 06 April 2017. http://saarc-sec.org/saarc-summits.
United Nations. “UN Resolution 47.” Diakses 06 April 2017. http://www.un.org/en/ga/search/view_doc.asp?symbol=S/RES/47(1948).
Interview
Dr. Santhosh Mathew (Assistant Professor in Centre for South Asian Studies,
Pondicherry Central University, India), email untuk penulis 19 Oktober