Seri Lembar Informasi | Pencemaran Udara | September 2018 #1
MENGENAL KERANGKA PENGATURAN PENCEMARAN UDARA DI INDONESIAOleh: Margaretha Quina, Annisa Erou
ICEL
3Indonesian Center for Environmental Law icel.or.id
Kerangka umum pengendalian pencemaran udara di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah
No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (PP 41/1999). PP ini sesungguhnya
merupakan penjabaran lebih lanjut dari UU No. 23 Tahun 1997 tentang Perlindungan Lingkungan
Hidup (UU 23/1997), yang sekarang telah diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009). Akan tetapi, selama PP yang baru tentang
pengendalian pencemaran udara yang dimandatkan UU 32/2009 belum dibuat dan disahkan, maka PP
41/1999 masih tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan isi UU 32/2009. Selain kerangka umum
dalam PP 41/1999 ini, terdapat juga beberapa Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang
mengatur hal-hal teknis/penjabaran yang dimandatkan PP 41/1999, termasuk baku mutu emisi, tata cara
pengendalian pencemaran udara, pemantauan kualitas udara, dan lain-lain.
Secara umum, PP 41/1999 mengatur pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak (kendaraan
bermotor) dan sumber tidak bergerak (industri). Sekalipun PP 41/1999 ini merupakan sumber hukum
yang mengatur pengendalian pencemaran udara secara umum, PP 41/1999 ini tidak berdiri sendiri.
Dalam paparan di bawah ini akan dijelaskan relevansi instrumen pengendalian pencemaran udara dalam
PP 41/1999 dan hubungannya dengan produk hukum lain, baik dalam bentuk Permen, Kepmen, hingga
Kepka Bapedal.
Dalam pengaturan pengendalian pencemaran udara, udara
bebas yang kita hirup disebut sebagai udara ambien. Baku mutu
udara ambien secara sederhana dapat diartikan sebagai batas
maksimum bahan pencemar (zat, senyawa) yang diperbolehkan ada di udara. Terdapat 13 (tiga belas)
parameter yang diatur dalam baku mutu udara ambien Indonesia yang berlaku secara nasional, yaitu
SO2 (Sulfur Dioksida), CO (Karbon Monoksida), NO2 (Nitrogen Dioksida), O3 (Oksida), HC (Hidrokarbon),
PM10 dan PM2,5 (Partikel), TSP (Debu), Pb (Timah Hitam), Dustfall (Debu Jatuh), Total Fluorides, Fluor
BAKU MUTU UDARA AMBIEN
Secara umum, PP 41/1999 mengatur pengendalian pencemaran udara dari
sumber bergerak (kendaraan bermotor) dan sumber tidak bergerak (industri).
4
MENGENAL KERANGKA PENGATURAN PENCEMARAN UDARA DI INDONESIA
Seri Lembar Informasi | Pencemaran Udara Oktober 2018 #1
Indeks, Khlorine dan Khlorine Dioksida, serta Sulphat Index. Baku mutu udara ambien ini (lihat: Lampiran
1) berlaku di seluruh wilayah NKRI (disebut dengan baku mutu udara ambien nasional), kecuali jika
Gubernur menetapkan baku mutu udara ambien yang lebih ketat dalam baku mutu udara ambien daerah.
Baku mutu udara ambien (baik yang berlaku secara nasional maupun daerah) inilah yang menjadi batas
hukum dinyatakan terjadinya suatu pencemaran. Baku mutu udara ambien yang telah ditetapkan dapat
ditinjau kembali setelah 5 tahun. Sayangnya, PP 41/1999 masih belum mengatur pencemar berbahaya dan
beracun di udara ambien secara komprehensif. PP 41/1999 dan peraturan turunannya juga belum secara
tegas memiliki instrumen untuk memastikan baku mutu ambien dapat dicapai dengan pengalokasian
beban pencemaran terhadap sumber emisi.
Status mutu udara ambien mencerminkan kondisi udara ambien
pada waktu dan tempat tertentu, yang dihasilkan dari inventarisasi 1mutu udara ambien, potensi sumber pencemar udara, kondisi
meteorologis dan geografis serta tata guna tanah. Inventarisasi tersebut dilakukan oleh instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan hidup daerah yakni Dinas Lingkungan
Hidup yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur. Setelah dilakukan inventarisasi,
maka akan diperoleh status mutu udara ambien. Status mutu udara ambien tersebut kemudian
ditetapkan dan diumumkan oleh Gubernur yakni cemar atau baik (tidak cemar). Manfaat penetapan
status mutu udara ambien ini adalah sebagai acuan dalam mengelola kualitas udara ambien sehingga
diharapkan program pengendalian pencemaran udara yang dilakukan lebih terfokus dan tepat sasaran
(Lampiran III PermenLH 12/2010).
Apabila status mutu udara ambien menunjukkan kondisi
cemar, maka Gubernur wajib melakukan penanggulangan
dan pemulihan mutu udara ambien. Agar program
pengendalian pencemaran udara yang dilakukan dapat
lebih terfokus dan tepat sasaran, sebagai bagian dari penanggulangan dan pemulihan mutu udara
ambien yang cemar perlu ditetapkan strategi dan rencana aksi. Rencana aksi memuat:
1. Target penurunan beban pencemaran untuk tiap jenis pencemar yang melampaui BMUA daerah
ataupun nasional dan dapat ditinjau ulang setiap 5 (lima) tahun.
2. Target waktu pemenuhan BMUA maksimal 5 (lima) tahun.
3. Upaya instansi terkait sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing agar mencapai target
yang telah ditetapkan.
4. Rencana pemantauan kemajuan kegiatan.
1 Lebih jelas mengenai inventarisasi, silakan rujuk Lembar Informasi “Mengenal Status Mutu Udara Ambien dan Pedoman Inventarisasi dalam Pengen-dalian Pencemaran Udara
STATUS MUTU UDARA AMBIEN
PENANGGULANGAN& PEMULIHAN MUTU
UDARA AMBIEN
5Indonesian Center for Environmental Law icel.or.id
Indeks adalah cara untuk mempermudah memahami
kualitas udara di suatu tempat pada waktu tertentu. Indeks
yang sekarang digunakan di Indonesia adalah ISPU, yang
menunjukkan kondisi udara ambien untuk parameter
pencemar tertentu di lokasi tertentu pada waktu tertentu. Dinyatakan
Apabila status mutu udara ambien menunjukkan kondisi
baik (tidak cemar), bukan berarti Gubernur tidak memiliki
kewajiban apapun terkait dengan mutu udara ambien,
melainkan Gubernur wajib mempertahankan dan
meningkatkan kualitas udara ambien. Gubernur melakukan
perkiraan kualitas udara masa depan berdasarkan perencanaan dan pembangunan kemudian dihitung
kembali apakah cemar atau tidak. Apabila status mutu udara cemar, perlu dihitung besar penurunan
emisi gas agar tidak melampaui BMUA. Muatan rencana aksi serta pelaksanaannya sama dengan strategi
dan rencana aksi status mutu udara cemar. Dengan demikian, Gubernur pada dasarnya tetap membuat
strategi dan rencana aksi, yang membedakan hanyalah targetnya yakni bila status mutu udara cemar,
maka strategi dan rencana aksi ditetapkan untuk menanggulangi dan memulihkan mutu udara ambien,
sedangkan bila status mutu udara baik (tidak cemar), maka strategi dan rencana aksi ditetapkan untuk
mempertahankan dan meningkatkan mutu udara ambien. Pedoman teknis mengenai Penentuan Status
Mutu Udara Daerah termuat dalam Lampiran III PermenLH 12/2010.
PEMELIHARAAN & PENINGKATAN
KUALITAS UDARA AMBIEN
INDEKS STANDAR
PENCEMAR UDARA (ISPU)
Inventarisasidilakukan oleh Dinas LH
Berdasarkan Pedoman Teknis
Penentuan Status Mutu Udara Daerah
Untuk Menentukan
Baik
*SRA *SRA
CemarBerdasarkan Pedoman
Teknis Inventarisasi
Status Mutu Udara
dibuat oleh Menteri LHK
dibuat oleh Menteri LHK
ditetapkan oleh Gubernur
dibuat oleh Gubernur
untuk tujuan
*SRA = Strategi dan Rencana Aksi
mempertahankan dan meningkatkan
mutu udara
menanggulangi dan memulihkan
mutu udara
6
MENGENAL KERANGKA PENGATURAN PENCEMARAN UDARA DI INDONESIA
Seri Lembar Informasi | Pencemaran Udara Oktober 2018 #1
dalam Keputusan Kepala Bapedal No. 107 Tahun 1997 tentang Perhitungan dan Pelaporan serta
Informasi Indeks Standar Pencemar Udara (Kepka Bapedal 107/1997), terdapat 5 (lima) parameter yang
diukur dalam ISPU, yaitu Partikulat (PM10), Sulfur Dioksida (SO2), Carbon Monoksida (CO), Ozon (O3) dan
Nitrogen Dioksida (NO2) (lihat: Lampiran 2). Adapun angka dan kategori ISPU yang menunjukkan kualitas
udara mulai dari baik hingga berbahaya ditetapkan juga dalam peraturan tersebut (lihat: Lampiran
3). Sama halnya seperti PP 41/1999, Kepka Bapedal 107/1997 juga merupakan turunan dari UU 23/1997
yang sekarang telah diganti dengan UU 32/2009. Meskipun demikian, oleh karena belum dibentuk
peraturan baru mengenai ISPU berdasarkan mandat Pasal 12 ayat (2) UU 32/2009, maka Kepka Bapedal
tersebut masih tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan isi UU 32/2009. ISPU diperoleh dari
pengoperasian stasiun pemantau kualitas udara ambien secara otomatis dan berkesinambungan dan
dapat dipergunakan untuk:
a. bahan informasi kepada masyarakat tentang kualitas udara ambien di lokasi tertentu dan pada
waktu tertentu;
b. bahan pertimbangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam melaksanakan
pengendalian pencemaran udara.
Sayangnya, indeks yang disampaikan dalam ISPU kepada masyarakat adalah hasil pengukuran 24 jam
sebelumnya (pukul 15.00 hari sebelumnya sampai dengan pukul 15.00 hari tersebut). Dengan demikian,
indeks yang disampaikan dalam ISPU bukanlah indeks hasil pengukuran real-time melainkan indeks
hasil pengukuran 24 jam ke belakang. Sebagai perbandingan, Kedutaan Besar Amerika Serikat juga
melakukan pemantauan udara yang hasilnya disebut dengan Air Quality Index (AQI) dan dapat diakses
melalui http://aqicn.org/. Pengukuran dalam AQI dilakukan perjam, sehingga indeks hasil pengukuran
yang disampaikan dalam AQI pukul 8.00 menunjukkan pengukuran yang dilakukan pukul 7.00 hingga
8.00.
PP 41/1999 mengatur pencemaran dari sumber bergerak
dan tidak bergerak. Dalam bahasa peraturan, industri,
pembangkit adalah contoh sumber tidak bergerak (STB);
sementara mobil dan alat transportasi adalah contoh
sumber bergerak (SB). Seharusnya, pengendalian pencemaran ini
dilakukan berdasarkan kebijakan di level nasional dan provinsi (lihat
bagian “penanggulangan dan pemulihan serta pemeliharaan pemeliharaan dan peningkatan mutu udara
ambien) – sekalipun hal ini jarang terjadi. Instrumen pencegahan digunakan baik bagi daerah yang
kualitas udaranya baik (attainment) maupun cemar (non-attainment). Sebagaimana dijelaskan di atas,
untuk status cemar, upaya pencegahan harus diimbangi dengan upaya penanggulangan dan pemulihan
kualitas udara.
1. Pencegahan. Pengendalian pencemaran udara bagi STB dilakukan dengan instrumen
PENGENDALIAN PENCEMARAN
UDARA DARI SUMBER TIDAK
BERGERAK
7Indonesian Center for Environmental Law icel.or.id
pencegahan yang mencakup baku mutu emisi STB, baku tingkat gangguan, dan ambang batas
emisi gas buang. Pelaku usaha dan/atau kegiatan wajib menaati BME, baku tingkat gangguan
serta baku mutu ambien.
2. Penanggulangan dan pemulihan. Penanggulangan pencemaran udara wajib dilakukan oleh
STB sebagai penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan apabila kegiatannya mengakibatkan
pencemaran udara. Penanggulangan dan pemulihan dilakukan berdasarkan pedoman teknis
penanggulangan dan pemulihan yang ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung
jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan yakni Menteri LHK. Meskipun demikian,
hingga saat ini pedoman teknis penanggulangan dan pemulihan belum ditetapkan.2 Hal
ini nantinya akan membawa dampak pada terhambatnya penanggulangan dan pemulihan
pencemaran udara itu sendiri, sehingga seharusnya Menteri LHK menetapkan pedoman
teknis penanggulangan dan pemulihan tersebut. Kemudian, dalam hal ISPU mencapai
lebih dari 300, maka Menteri LHK/Gubernur menetapkan dan mengumumkan keadaan
darurat pencemaran udara melalui media cetak dan/atau elektronik. Penanggulangan dan
pemulihan keadaan darurat pencemaran dilakukan Menteri LHK/Gubernur berdasarkan
pedoman teknis tata cara penanggulangan dan pemulihan keadaan darurat. Sayangnya,
sama seperti pedoman teknis penanggulangan dan pemulihan (secara umum bukan
dalam keadaan darurat) yang telah dijelaskan di atas, pedoman teknis tata cara
penanggulangan dan pemulihan keadaan darurat pencemaran juga belum ditetapkan3.
Padahal, seharusnya Menteri LHK/Gubernur menetapkan pedoman teknis penanggulangan
dan pemulihan keadaan darurat tersebut.
Pasal 9 ayat (2) PP 41/1999 memberikan tanggungjawab bagi Kepala Instansi yang bertanggung jawab
di bidang pengendalian dampak lingkungan, yakni Menteri LHK, untuk menetapkan pedoman teknis
pengendalian pencemaran udara STB. Pedoman teknis pengendalian pencemaran udara STB yang
telah ada adalah Keputusan Kepala Bapedal No. 205 Tahun 1996 tentang Pedoman Teknis Pengendalian
Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak (Kepka Bapedal 205/1996). Pedoman teknis tersebut
memuat pelaksanaan pemantauan kualitas udara, pengambilan contoh uji dan analisis, persyaratan
cerobong dan unit pengendalian pencemaran udara. Pedoman teknis “pengendalian” yang lebih rinci
2 PERMENLH 12/2010 dalam bagian lampirannya memuat Pedoman Teknis Penetapan Baku Mutu Udara Ambien Daerah, Pedoman Inventarisasi Data Mutu Udara Ambien dan Sumber Pencemar Udara, Pedoman Teknis Penentuan Status Mutu Udara Daerah, Pedoman Teknis Penetapan Baku Mutu Emisi Udara dari Sumber Tidak Bergerak, Pedoman Teknis Penetapan Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Lama, Pedoman Teknis Pemantauan Kualitas Udara Ambien, Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Pengendalian Pencemaran Udara dari Sumber Bergerak dan Pedoman Teknis Pengawasan Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak. Adapun mengenai pedoman teknis penanggulangan dan pemulihan belum diatur.
3 KebakaranHutandanLahan(karhutla)sebagaisalahsatusumbertidakbergerakspesifikdiaturdalamPeraturanMenteriLingkunganHidupNo.P.32/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (PermenLH P.32/2016) dan Peraturan Menteri Lingkun-gan Hidup No. P.9/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2018 tentang Kriteria Teknis Status Kesiagaan dan Darurat Kebakaran Hutan dan Lahan (PermenLH P.9/2018). Meskipun sudah berjudul Status Kesiagaan dan Darurat Karhutla, namun PermenLH P.9/2018 belum memuat pedoman teknis tata cara dan pemulihan keadaan darurat karhutla karena sejauh ini hanya memuat kriteria teknis status kesiagaan/darurat (Siaga 3, Siaga 2 dan Siaga 1) dan penetapanstatuskesiagaanataudarurat(apasajayangmenjadipertimbanganditetapkannyastatuskesiagaan/darurat).Seharusnyapedomantek-nis tata cara dan pemulihan keadaan darurat karhutla diatur juga di dalam PermenLH P.9/2018 mengingat karhutla adalah penyumbang pencema-ranudaradalambentuksumberbergeraktidakspesifik.
8
MENGENAL KERANGKA PENGATURAN PENCEMARAN UDARA DI INDONESIA
Seri Lembar Informasi | Pencemaran Udara Oktober 2018 #1
yang disyaratkan PP No. 41/1999 tertuang juga dalam PermenLH No. 12 Tahun 2010 yang mengatur
Norma, Standard, Prosedur dan Kriteria (NSPK) Pengendalian Pencemaran Udara di daerah. PermenLH
12/2010 ini tidak mencabut Kepka Bapedal 205/1996.
Instrumen ini merupakan bagian dari pencegahan, berupa standar
yang mengatur kualitas gas buang (kadar maksimum pencemar)
yang dilepaskan oleh STB, yang pada esensinya juga bertujuan untuk memastikan kumulasi berbagai
emisi tetap terkendali dan tidak melampaui baku mutu ambien yang disyaratkan. Menurut Pasal 8 ayat
(1) PP 41/1999, BME STB ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian
dampak lingkungan yakni Menteri LHK.
Sama seperti BME, baku tingkat gangguan juga merupakan bagian
dari pencegahan. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan dari STB yang mengeluarkan gangguan wajib menaati
ketentan baku tingkat gangguan. Baku tingkat gangguan adalah batas maksimum gangguan yang boleh
masuk ke udara dan/atau zat padat. Baku tingkat gangguan terdiri akan dijelaskan lebih lanjut dalam
lembar informasi lain, “Pengendalian Gangguan: Kebisingan, Getaran, Kebauan.”
Beberapa sumber pencemar tidak bergerak merupakan kegiatan
dan/atau usaha yang wajib AMDAL, dan dengan demikian juga
wajib Izin Lingkungan. Izin lingkungan adalah izin yang diberikan
kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
(usaha dan/atau kegiatan tersebut dinyatakan wajib Amdal/UKL-UPL) dan izin lingkungan tersebut
adalah prasyaratnya memperoleh izin usaha. Sayangnya, dalam PP 41/1999, kewajiban pengendalian
pencemaran udara belum dihubungkan dengan izin lingkungan, yang baru muncul pada tahun 2009
dalam UU 32/2009. Dengan demikian, tidak ada instrumen izin khusus untuk pengendalian pencemaran
udara dan emisi, dan instrumen utama dalam memeriksa kewajiban pelaku usaha dan/atau kegiatan
dalam pengendalian pencemaran udara hanyalah AMDAL/UKL-UPL dan Izin Usaha. Akan tetapi,
AMDAL merupakan salah satu instrumen yang memiliki mekanisme partisipasi masyarakat yang cukup
jelas, termasuk melalui pengumuman dan Komisi AMDAL. UKL-UPL, sekalipun lebih sederhana, juga
mensyaratkan adanya partisipasi publik. Mekanisme dan ketentuan lebih lanjut mengenai AMDAL/UKL-
UPL dan Izin Lingkungan diatur dalam PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (PP 27/2012).
BAKU TINGKAT
GANGGUAN
AMDAL/UKL-UPL DAN IZIN LINGKUNGAN
BAKU MUTU EMISI (BME)
9Indonesian Center for Environmental Law icel.or.id
PENGAWASAN Pengawasan perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat ketaatan
suatu usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan agar pengendalian
pencemaran udara dapat terlaksana dengan baik. Mengenai pengawasan terkait pengendalian
pencemaran udara dari STB dinyatakan dalam Pasal 12, 13 dan 14 PermenLH 12/2010. Gubernur melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap Bupati/Walikota dalam pelaksanaan pengendalian pencemaran
udara dari STB. Gubernur juga melakukan pengawasan penaatan STB yang lokasi dan/atau dampaknya
lintas kabupaten/kota terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran
udara, pengawasan tersebut dilakukan sesuai dengan pedoman teknis pengawasan pengendalian
pencemaran udara STB yang termuat dalam Lampiran VIII PermenLH 12/2010. Selain Gubernur, Bupati/
Walikota juga melakukan pengawasan penaatan STB. Meskipun demikian, berbeda dengan Gubernur,
Bupati/Walikota melakukan pengawasan penaatan STB yang lokasi dan/atau dampaknya skala
kabupaten/kota terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran udara,
yang mana pedoman teknis untuk pengawasan tersebut juga termuat dalam Lampiran VIII PermenLH
12/2010. Pedoman teknis pengawasan pengendalian pencemaran udara STB dalam Lampiran VIII
PermenLH 12/2010 mengatur mengenai:
a. syarat pengawas;
b. kewenangan pejabat pengawas;
c. tanggung jawab pejabat pengawas;
d. kegiatan persiapan pengawasan;
e. kegiatan pelaksanaan pengawasan; dan
f. kegiatan paska pengawasan.
GUBERNUR
WALIKOTA
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Bupati/Walikota dalam pelaksanaan PPU* dari STB
melakukan pengawasan penaatan STB yang lokasi dan/atau dampaknya lintas kab/kota terhadap peraturan perundang-undangan di bidang PPU*
melakukan pengawasan penaatan STB yang lokasi dan/atau dampaknya skala kab/kota terhadap peraturan peruuan di bidang PPU*
dilaksanakan sesuai pedoman teknis pengawasan PPU STB
*PPU = Pengendalian Pencemaran Udara
10
MENGENAL KERANGKA PENGATURAN PENCEMARAN UDARA DI INDONESIA
Seri Lembar Informasi | Pencemaran Udara Oktober 2018 #1
BIAYA PENGENDALIAN
PENCEMARAN UDARA
Mengenai biaya pengendalian pencemaran udara,
termasuk penanggulangan dan pemulihan, adalah beban
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. Selain
itu, dalam pengendalian, penanggungjawab usaha dan/
atau kegiatan juga berkewajiban memberikan informasi yang benar
dan akurat kepada masyarakat mengenai usaha pengendalian pencemaran dalam lingkup usahanya.
Terhadap kewajiban-kewajiban di atas, KLHK/BLHD melakukan pengawasan terhadap penaatan BME,
pemantauan emisi dan mutu udara ambien di sekitar lokasi kegiatan, dan pemeriksaan penaatan
terhadap ketentuan persyaratan teknis pengendalian pencemaran udara.
12
MENGENAL KERANGKA PENGATURAN PENCEMARAN UDARA DI INDONESIA
Seri Lembar Informasi | Pencemaran Udara Oktober 2018 #1
LAMPIRAN 1
Baku Mutu Udara Ambien Nasional berdasarkan Lampiran PP 41/1999
Catatan: (*) PM 2.5 mulai berlaku tahun 2002 Nomor 11 s.d. 13 hanya diberlakukan untuk daerah/kawasan industri kimia dasar. Misal: industri petrokimia/pembuatan asam sulfat.
No. Parameter WaktuPengukuran Baku Mutu Metode Analisis Peralatan
1. SO2 (Sulfur Dioksida)1 jam24 jam1 tahun
900 ug/Nm3365 ug/Nm360 ug/Nm3
Pararosanilin Spektrofotometer
2. CO (karbon Monoksida)1 jam24 jam1 tahun
30.000 ug/Nm310.000 ug/Nm3
NDIR NDIR Analyzer
3. NO2 (Nitrogen Dioksida)1 jam24 jam1 tahun
400 ug/Nm3150 ug/Nm3100 ug/Nm3
Saltzman Spektrofotometer
4. O3 (oksidan)1 jam1 tahun
235 ug/Nm350 ug/Nm3
Chemiluminescent Spektrofotometer
5. HC (Hidro Karbon)3 jam 160 ug/Nm3 Flamelonization Gas Chromatogarfi
6.
PM10 (Partikel < 10 um)
PM2.5 (*) (Partikel < 2m5 um)
24 jam
24 jam1 tahun
150 ug/Nm3
65 ug/Nm315 ug/Nm3
Gravimetric
GravimetricGravimetric
Hi-Vol
Hi-Vol
7. TSP (Debu)24 jam1 tahun
230 ug/Nm390 ug/Nm3
Gravimetric Hi-Vol
8. Pb (Timah Hitam)24 jam1 tahun
2 ug/Nm31 ug/Nm3
GravimetricEkstraktifPengabuan
AAS
9. Dustfall (Debu Jatuh)
30 hari 10 Ton/km3/bln(Pemukiman)20 Ton/km3/bln (Industri)
Gravimetric Cannister
10. Total Fluorides (as F)24 jam90 hari
3 ug/Nm30.5 ug/Nm3
Spesific IonElectode
Impinger atau CountinousAnalyzer
11. Fluor Indeks30 hari 40 ug/100 cm3
dari kertas-limed filter
Colourimetric Limed Filter Paper
12.Khlorine & KhlorineDioksida
24 jam 150 ug/Nm3 SpesificTon Electrode
Impinger atau CountinousAnalyzer
13. Sulphat Indeks30 hari 1 mg SO√100
cm3 dari LeadPeroksida
Colourimetric Lead Peroxida Candle
13Indonesian Center for Environmental Law icel.or.id
LAMPIRAN 2:
Parameter-Parameter Dasar ISPU berdasarkan Lampiran I Kepka Bapedal 107/1997
NO. PARAMETER WAKTU PENGUKURAN
1. Partikulat (PM10) 24 jam (Periode pengukuran rata-rata)
2. Sulfur Dioksida (SO2) 24 jam (Periode pengukuran rata-rata)
3. Carbon Monoksida (CO) 8 jam (Periode pengukuran rata-rata)
4. Ozon (O3) 1 jam (Periode pengukuran rata-rata)
5. Nitrogen Dioksida (NO2) 1 jam (Periode pengukuran rata-rata)
Catatan:
1. Hasil pengukuran untuk pengukuran kontinyu diambil harga rata-rata tertinggi waktu
pengukuran.
2. ISPU disampaikan kepada masyarakat setiap 24 jam dari rata-rata sebelumnya (24
sebelumnya).
3. Waktu terakhir pengambilan data dilakukan pada pukul 15.00 Waktu Indonesia Bagian Barat
(WIBB).
4. ISPU yang dilaporkan kepada masyarakat berlaku 24 jam ke depan ( pkl 15.00 tgl (n) sampai pkl
15.00 tgl (n+1) )
14
MENGENAL KERANGKA PENGATURAN PENCEMARAN UDARA DI INDONESIA
Seri Lembar Informasi | Pencemaran Udara Oktober 2018 #1
LAMPIRAN 3:
Angka dan Kategori ISPU berdasarkan Lampiran II Kepka Bapedal 107/1997
INDEKS KATEGORI
1 – 50 Baik
51 – 100 Sedang
101 – 199 Tidak Sehat
200 – 299 Sangat Tidak Sehat
300 – lebih Berbahaya