Top Banner
SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR BAWAHAN DALAM NOVEL GAJAH MADA: TAKHTA DAN ANGKARA KARYA LANGIT KRESNA HARIADI DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA KELAS XII Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) Oleh: Dessy Husnul Qotimah 1110013000028 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015
231

SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

Nov 13, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR

BAWAHAN DALAM NOVEL GAJAH MADA: TAKHTA

DAN ANGKARA KARYA LANGIT KRESNA HARIADI

DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN

BAHASA DAN SASTRA INDONESIA KELAS XII

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh:

Dessy Husnul Qotimah

1110013000028

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015

Page 2: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

LEMBAR PENGESA}IAN SKRIPSI

SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR BAWAHAN

DALAM NOVEL GAJAH MADA: TAKHTA DAN ANGKAR,4 KARYA

LANGIT KRESNA HARIADI DAN IMPLIKASINYA DALAM

PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA KELAS XII

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Saiah Satu SyaratMencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh

Dessy Husnul Qotimah

I 1 10013000028

JURUSAN PBNDIDIKAN BAIIASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKTILTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGBRI SYARIF HIDAYATULLAII

JAKARTA

z0t5

Bimbingan

ati, M.Hum.

NIP. 19771030 200801 2 009

Page 3: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

LEMBAR PENGESAIIA}I

Skripsi berjudul "Sarana Retorika pada Alur Utama dan Alur Bawahandalam Novel Gajah Mada: Takhta danAngltaral{arya Langit Kresna Hariadidan Implikasinya dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia KelasXU,, disusun oleh DESSY HUSN{.IL QOTIMAH, NIM 1110013000028,

diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam NegeriSyarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan LULUS dalam ujian munaqasahpada tanggal 06 Maret 2015 di hadapan dewan penguji. Oleh karena itu, penulis

berhak memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) dalam bidang PendidikanBahasa dan Sastra Indonesia.

JakartA06

Panitia Uj ian Munaqasah

Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi)

Dra.Ilindun. \t[. Pd.IYIP, 19701215 200912 2 00t

Sekretaris furusan

D_ona Aii Karunia Putra. M.A.N[IP. 19840409 201101 I 015

Penguji I

Prlis Nurmuiininssih. M. Hum.IYIP, 19630731 198803 2 002

Penguji 2

Dqa.. Hindun.l\{. Pd.niIP. 1970121s 2009t2 2 001

Tanggal

14n:!

Tanda

?a\h

las

2Apn\

, /p.i\ ?otl""1""'-"'

Page 4: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

KEMENTERIAN AGAMA

@, UIN JAKARTAtffiffiYmi FlrK-'-"---** Jl. lr. H. Juanda No 95 Ciputat 15412lndonesia

FORM (FR)

No. Dokumen : FITK-FR-AKD-089

Tgl. Terbit : 1 Maret 2010

No. Revisi: 01

Hal 111

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama

Tempat/Tgl.Lahir

NIM

Jurusan / Prodi

Judul Skripsi

Dessy Husnul Qotimah

Wonogri, 19 Desember 1992

1 I 10013000028

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Sarana Retorika pada Alur 'Utama dan

Dosen Pembimbing

Alur Bawahan dalam Novel Gajah Mada:

Takhta dan Angkara Karya Langit Kresna

Hariadi dan Implikasinya dalam Pembelajaran

Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XII: 1. Rosida Erowati, M.Hum.

dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya

sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.

l3 Februari 2015Jakarta,

tYDesslz Husnul Qotimah

1 1 10013000028

Page 5: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

i

ABSTRAK

Dessy Husnul Qotimah, NIM 1110013000028, “Sarana Retorika pada Alur Utama

dan Alur Bawahan dalam Novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara Karya Langit

Kresna Hariadi dan Implikasinya dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia Kelas XII”.

Penelitian ini dilakukan dengan dasar bahwa retorika tidak hanya diterapkan

pada keterampilan berbicara saja, tetapi juga pada keterampilan menulis. Sarana-

sarana yang digunakan dalam retorika tekstual adalah penyiasatan struktur, dan

pemajasan. Keduanya terdapat pada unsur intrinsik gaya bahasa dalam sebuah

prosa. Berbicara mengenai prosa, ada beberapa novel yang memiliki lebih dari

satu alur. Tentunya, tiap alur tersebut memiliki cara penyampaiannya tersendiri.

Perbedaan gaya penceritaan itu tergantung dari seberapa pentingkah alur tersebut

untuk disampaikan. Perbedaan gaya penceritaan tersebut bisa dilihat salah satunya

dari retorika tekstual yang digunakan oleh pengarang dalam menceritakan alur-

alur tersebut karena setiap sarana retorika tekstual memiliki efek tersendiri dalam

membangun suasana.

Penelitian yang menggunakan teori gaya bahasa milik Gorys Keraf ini

menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan penyajian deskriptif. Dalam

penelitian ini, peneliti menentukan alur apa saja yang ada dalam novel Gajah

Mada: Takhta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi. Setelah itu, peneliti

mendata sarana retorika apa saja yang digunakan pengarang dalam menyampaikan

alur-alur tersebut. Dari pendataan tersebut, dapat diketahui berapa banyak sarana

retorika beserta efeknya yang digunakan pada tiap alur.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pada tahapan alur

manakah yang paling sering menggunakan sarana retorika dan apa efeknya. Dari

hasil penelitian ini ditemukan bahwa tahapan alur yang paling banyak

menggunakan sarana retorika adalah tahapan klimaks pada semua alur dalam

novel ini, kecuali pada alur bawahan pertama yang justru terletak pada tahap

pengenalan.

Penggunaan sarana retorika dalam novel ini menimbulkan beberapa efek yang

dirasakan oleh pembaca. Efek-efek tersebut adalah 53 kali penekanan emosi, 33

kali penguatan imaji, 79 kali ketegangan, 45 kali penegasan makna, 85 kali

pemberian informasi, 3 kali penciptaan nama baik tokoh, 7 kali pemulihan

kebosanan, 19 kali pengenduran urat saraf, dan 9 kali penggiringan opini

pembaca.

Kata kunci: Retorika tekstual, Majas, Penyiasatan Struktur, Efek, Alur.

Page 6: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

ii

ABSTRACT

Dessy Husnul Qotimah, NIM 1110013000028, “The Means of Textual Rethoric

of Main Plot and Subordinate Plot in The Novel Gajah Mada: Takhta dan

Angkara Written by Langit Kresna Hariadi and The Implication Towards

Indonesian Language and Literature Learning in Students of 12th

Grade.”

This study was carried out to be based on the rhetoric that is not only

applied in speaking skill but also in writing. The means used in textual rhetoric

are figures of thought and figures of speech. Both are on the intrinsic elements of

language style in a prose. Talking about prose, there are some novels that have

more than one plot. Of course, each plot has its own way of delivery. Different

style of narrating depends on how important the plot is to be told. The different

style of narrating can be seen from textual rhetoric used by the author in telling

the plots because each mean of textual rhetoric has its own effect in creating the

atmosphere.

This study that used Gorys Keraf’s theory of language style used qualitative

research methodology with descriptive presentation. In this study, the researcher

determined what plots were there in the novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara

written by Langit Kresna Hariadi. Furthermore, the researcher collected the data

of the means of rhetoric used by the author in conveying the plots. From those

data, it could be seen how much means of rhetoric and their effects were used in

each plot.

The purpose of this study was to determine at what stage of plot was means

of rhetoric frequently used and what effects it has. The result of this study showed

that stage of plot that frequently used means of rhetoric was the climax stage on

all plots of this novel, except the first subordinate plot on the introduction stage.

The use of means of rhetoric in this novel caused some effects on readers.

Those effects are 53 times of the suppression of emotion, 33 times of the

strengthening of images, 79 times of tension, 45 times of the affirmation of

meaning, 85 times of the provision of information, 3 times of the creation of good

character’s name, 7 times of boredom recovery, 19 times of the relaxation of

nerves, and 9 times of convey of the reader’s opinion

Key words: Textual Rhetoric, Figures of Speech, Figures of Thought, Effect, Plot.

Page 7: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulilah wa syukurillah atas kemudahan dan nikmat Allah SWT yang

sangat melimpah sehingga penelitian yang menguras waktu, tenaga, pikiran,

emosi, dan tentu saja dana ini bisa selesai pada waktu yang tepat.

Seiring dengan selesainya penelitian ini, penulis ingin mengucapkan

terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah

dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dra. Hindun, M.Pd., selaku ketua jurusan PBSI yang telah memudahkan

segala urusan penulis selama menjadi mahasiswa tingkat akhir.

3. Dra. Mahmudah Fitriyah ZA, M.Pd., karena telah membuat perjalanan

skripsi ini mulus tanpa hambatan yang berarti.

4. Rosida Erowati, M. Hum., selaku dosen pembimbing yang tak pernah

sungkan mengeksplor pengetahuan demi mahasiswa bimbingannya yang

satu ini.

5. Kedua orangtua, Bapak Suwarno dan Ibu Suti Astuti, yang tak pernah

kehabisan kasih, sayang, dan cinta untuk selalu mendoakan anaknya agar

selalu seperti nama yang mereka sematkan, husnul khotimah, dalam setiap

langkah yang diambil.

6. Seluruh jajaran dosen PBSI yang telah menambah wawasan penulis

selama menjadi mahasiswa Strata 1.

7. Sahabat DDD−Nur Amalina, Sri Wahyuningsih, Amalia Utami Syahadah,

Ratna Agustina Pangestuti, Liza Amalia, Ayu Rizki Pramulyaningrum,

Nur Rafiqah, dan Astuti Nurasani−yang mampu membalikkan tiap duka

menjadi canda.

8. DM, seseorang yang telah berhasil membuat peneliti sedikit berguna di

akhir masa studi strata satu ini. DM, kita tak pernah sanggup mendikte

waktu, tapi terima kasih kuhambakan atas kesediaanmu kujelmakan dalam

kekataan, angan, dan kenangan.

Page 8: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

iv

9. Rekan sidang paling greget, Ade Fauziah, Fitri Khoiriani, dan Rifki Alim

Annur.

10. Sahabat PBSI A 2010 yang selalu membuat warna dalam tiap patahan

jalan. Sehitam apapun, itu tetap warna.

11. Sahabat PBSI B dan PBSI C 2010. Bangga rasanya ada di tengah kalian

sebagai saudara.

12. Keluarga besar HMJ PBSI, terutama divisi Bahasa dan Sastra Indonesia

periode 2013/2014, yang telah memberikan pengalaman berharga tentang

cita, cerita, dan tentu saja cinta.

13. Nayaga-nayaga Degung Sunda POSTAR yang sudah mengajariku menjadi

setengah Sunda.

14. Mbak Ziah yang selalu menyokong riset sejarah, my partner Kunia Dewi

Nurfadillah, Holida Hoirunnisa, Hanan, Anis, Uchi, Maya, Syifa, Ida, dan

Iroh yang saling setia mendukung untuk terus maju. Tak peduli

semenyakitkan apa jalan yang wajib kita taklukan nanti, kita akan sukses.

Catat itu!!!

15. Bang Dimas, Ka Unet, Dimas Albiyan, Miss Maret, Miss Nadia, Ozhi, dan

Hafiz yang selalu sabar dengan penodongan-penodongan pertanyaan

seputar agama Hindu, sastra, penerjemahan, hingga pengeditan skripsi ini

yang kerap kali diminta secara dadakan dan meminta hasilnya selekas

mungkin.

16. Kepala Sekolah SMK Farmasi Minasa Mulia dan Akademik Bimbel Gama

Jogja yang tak pernah kehabisan pemakluman untuk mengizinkan tenaga

pengajarnya ini “rehat” dari tugasnya sejenak.

17. Murid-murid SMK Farmasi Minasa Mulia dan Bimbel Gama Jogja Depok

karena selalu rajin bertanya kapan Ibu Gurunya ini wisuda. Pertanyaan

kalian doa bagi saya.

18. Pihak Pengelola Perpustakaan Riset UI yang telah menyediakan tempat

yang sangat kondusif bagi penulis selama pengerjaan skripsi ini.

19. Beberapa pihak informal, namun memegang salah satu posisi kunci dari

skripsi ini, pekerja fotokopian. Di mana pun kalian membuka gerai

Page 9: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

v

fotokopian, kalianlah pahlawan super berkepala dingin menghadapi

puluhan ilmu di depan kalian.

Semoga Allah berkenan melimpahkan balasan yang tiada terkira bagi

semua pihak yang telah memudahkan penulis menyelesaikan tugasnya ini.

Aamiin.

Penulis sangat menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih banyak

terdapat kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati,

penulis menanti sumbangan kritik dan saran yang membangun guna bahan

pelajaran penulis ke depannya.

Khatam kalam, semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi dunia pendidikan

dan tentu saja pembaca pada umumnya.

Depok, Februari 2015

Dessy Husnul Qotimah

Page 10: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ..................................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................... iii

DAFTAR ISI .................................................................................................. vi

BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah .......................................................................... 5

C. Pembatasan Masalah ......................................................................... 6

D. Perumusan Masalah .......................................................................... 6

E. Tujuan Penelitian .............................................................................. 7

F. Manfaat Penelitian ............................................................................ 7

G. Metodologi Penelitian ....................................................................... 8

BAB II : KAJIAN TEORI ....................................................................... 13

A. Retorika ............................................................................................... 13

1. Sarana-Sarana Retorika .............................................................. 17

a. Gaya Bahasa ........................................................................... 17

b. Penyiasatan Struktur Kalimat ................................................. 23

B. Novel ................................................................................................... 30

1. Hakikat Novel ............................................................................ 30

2. Sastra Sejarah ............................................. ............................... 32

3. Unsur Intrinsik ............................................................. ............. 35

C. Implikasi Pembelajaran Sastra ........................................................... 39

D. Penelitian Relevan ............................................................................... 42

BAB III : PEMBAHASAN .......................................................................... 44

A. Biografi Pengarang .............................................................................. 44

Page 11: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

vii

B. Analisis Unsur Intrinsik .............................................. ........................ 49

1. Tema………………………………………………………………. 49

2. Sudut Pandang …………………………………………………….. 50

3. Latar ……………………………………………………………… 52

4. Tokoh …………………………………………………………….. 57

5. Gaya Bahasa …………………………………………………….. .. 74

6. Alur ………………………………………………………………. 76

7. Amanat …………………………………………………………… 88

C. Analisis Penggunaan Sarana Retorika Dalam Alur ............................ 90

1. Analisis Penggunaan Sastra Retorika Alur Utama .................... 90

2. Analisis Penggunaan Sastra Retorika Tekstual Alur

Tambahan Pertama ......................................................................... 114

3. Analisis Penggunaan Sarana Retorika pada Alur

Tambahan kedua .............................................................................. 137

4. Analisis Penggunaan Sarana Retorika pada Alur

Tambahan Ketiga ............................................................................ 157

D. Ethos, Pathos, Logos ………………………………………... .......... 180

E. Implikasi Pembelajaran……………………………………… .......... 190

BAB IV : PENUTUP ..................................................................................... 192

A. Simpulan ............................................................................................. 192

B. Saran ………………………………………………………………. 197

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 199

LAMPIRAN

BIOGRAFI PENELITI

Page 12: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu tujuan utama dari sebuah komunikasi, baik verbal maupun non-

verbal, adalah tersampainya informasi dari seorang komunikator kepada seorang

atau lebih komunikan dengan baik tanpa ada satu pun yang tercecer dari pesan

tersebut. Namun, pada kenyataannya, untuk menyampaikan isi pesan dengan

utuh tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tanggung jawab seorang

komunikator tidak hanya sebatas menyampaikan pesan yang dibebankan di

pundaknya saja, tetapi juga bertanggung jawab untuk mempertahankan perhatian

si komunikan agar pesan yang hendak disampaikan terserap secara utuh oleh

komunikan. Di sinilah seorang komunikator unjuk kebolehan dalam kemampuan

olahbahasanya. Sebenarnya, unjuk kebolehan olahbahasa ini adalah sebuah

pertaruhan yang cukup prestisius bagi seorang komunikator. Jika ia berhasil

mengolah bahasanya sedemikian rupa, maka mendapatkan perhatian penuh para

komunikan adalah sebuah jaminan mutlak. Hal sebaliknya akan terjadi bila

komunikatornya adalah seseorang yang miskin dalam hal olahbahasa.

Kemampuan olahbahasa ini telah ada sejak zaman Yunani kuno yang lebih

dikenal dengan retorika. Keterampilan berbicara merupakan titik tolak retorika.

Secara umum, retorika dapat dikatakan sebagai seni berbicara untuk menarik

minat pendengar dengan menggunakan bahasa yang indah, menggugah, baik, dan

terstruktur. Dalam retorika, efek estetiklah yang diutamakan dalam proses

penyampaian pesan. Pengolahan bahasa yang tidak mudah ini dapat

menggunakan teknik pemilihan diksi, penguasaan kaidah-kaidah ketatabahasaan,

dan kaya akan gaya bahasa. Tak ayal seorang pembicara yang kreatif dan penuh

terisi dengan ide-ide cemerlang tentang bagaimana caranya membidani lahirnya

Page 13: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

2

sebuah tata bahasa yang komunikatif dan menghentak para pendengarnya akan

mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari pendengarnya.

Selama ini retorika dalam bahasa tulisan belum banyak diakui oleh

mayoritas pengguna bahasa. Kebanyakan orang menganggap bahwa retorika

hanya mutlak milik bahasa lisan saja. Namun kenyataannya tidak. Pada awalnya

retorika sampai beberapa abad lamanya berada dalam ranah bahasa lisan. Baru

pada saat retorika mengalami zaman kemunduran, lahirlah sebuah konsep

retorika modern yang mengubah haluan titik tekannya pada bahasa tulisan tanpa

harus membelakangi bahasa lisan.

Ada banyak hal yang bisa membuktikan bahwa keterampilan menulis,

retorika juga digunakan. Semua penikmat sastra−khususnya prosa−pastinya

pernah terperangah tatkala membaca sebuah prosa dan mengalami perasaan yang

begitu menegangkan saat membaca puncak masalah dari cerita tersebut dan

hendak segera menyelesaikan bacaannya karena ingin mengetahui akhir dari

cerita yang tengah dibacanya. Namun, tak jarang juga seorang pembaca begitu

membaca satu atau dua halaman sudah bosan dan tidak berminat lagi

menghabiskan bacaan tersebut. Pembaca, pengarang, hingga ide cerita bisa

menjad kambing hitam kalau hal tersebut terjadi.

Betapapun briliannya sebuah ide yang digarap oleh pengarang, jika

eksekusinya tidak menghentak pembacanya, tetap saja, kisah itu seperti kisah-

kisah yang dinafasi oleh ide yang biasa-biasa saja. Ada banyak cara untuk

menghadirkan eksekusi tersebut. Cara-cara tersebut sangat berguna membantu

pembaca mencapai sebuah perasaan katarsis.

Eksekusi yang dimaksud di sini adalah bagaimana cara pengarang

mengalihtransformasikan ide yang sederhana ke dalam sebuah tulisan dan

mampu merebut hati pembaca dengan tulisan tersebut dan bagaimana cara

pengarang membuat pembaca beranggapan bahwa apa yang ditulisnya adalah

sebuah kejadian nyata. Pada akhirnya semua usaha ini berujung pada bagaimana

cara pengarang membahasakan ide-ide sederhana yang bercokol di benaknya

Page 14: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

3

menjadi sebuah kisah luar biasa untuk dibaca. Tidak cukup hanya nyaman dibaca

saja, tetapi juga membawa pembaca ke dunia yang ia ciptakan dan secara tidak

langsung melibatkannya dalam kisahan tersebut.

Pengeksplorasian penggunaan bahasa semaksimal mungkin dapat

digunakan untuk mencapai eksekusi tersebut. Pengarang dituntut untuk

menggunakan pengolahan bahasa yang sama sekali baru dalam penulisan. Lagi-

lagi tidak hanya berhenti pada tatanan sintaksis dan morfologi saja, tetapi juga

memainkan peran semantik dan pragmatik dalam kalimat-kalimat yang menjadi

pembawa ceritanya. Ditambah dengan pemilihan diksi dan pemainan gaya

bahasa, niscaya, ide yang sederhana dapat disulap menjadi sebuah kisahan yang

luar biasa untuk dibaca.

Biasanya, dalam sebuah cerita yang disuguhkan dalam sebuah novel yang

memiliki jumlah halaman yang cukup tebal, pengarang tidak hanya

menyuguhkan pembaca dengan satu alur saja walaupun tidak semua novel

dengan volume halaman tebal akan seperti itu. Di dalam novel yang berhalaman

tebal itu akan memuat beberapa alur bawahan, di samping alur utama. Alur

utama, alur yang menjadi tema utama dalam novel itu, akan berjalan seiring

dengan alur-alur lainnya yang biasanya mengisahkan kehidupan atau pergolakan

batin tokoh lain yang bukan tokoh utama dalam novel tersebut.

Kehadiran alur bawahan bisa menunjang jalan cerita di alur utama, tapi

adakalanya kehadiran alur bawahan itu sama sekali tidak mempengaruhi jalan

cerita alur utama sama sekali. Jadi alur bawahan yang sifatnya seperti itu bisa

saja dihilangkan. Hadirnya alur bawahan, baik yang mendukung atau tidak jalan

cerita tersebut, dimanfaatkan oleh pengarang agar pembaca memiliki variasi

cerita agar tidak jenuh dengan alur utama. Alur-alur bawahan inilah juga yang

akan membantu pembaca memahami karakter atau situasi macam apa yang

tergambar dari novel ini secara keseluruhan.

Di sinilah peran retorika bermain. Terlepas dari sifat kehadiran alur

bawahan yang bisa mendukung atau tidak jalannya sebuah cerita utama di novel

Page 15: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

4

tersebut, mau tidak mau, harus diakui bahwa yang dapat mengaduk emosi

pembaca tidak hanya ide dan jalan cerita saja, tetapi juga bahasa yang digunakan

untuk menggambarkan peristiwa tersebut. Ide cerita yang sederhana tentunya

akan terlihat cemerlang dituangkan penggunaan bahasa yang memadai. Maksud

dari ‘memadai’ dalam hal ini adalah bahasa yang digunakan oleh pengarang

sudah dapat membawa pembaca ke dalam jalan cerita tersebut dan seolah-seolah

pembaca ada di dalam kisah tersebut.

Dalam sebuah kisahan, tentu ada bagian yang dipentingkan oleh

pengarang. Bagian yang dipentingkan tersebut tentunya dibedakan dari bagian

lainnya agar pembaca mudah mengenali bagian itu. Hal-hal fundamental ini yang

mengilhami peneliti untuk menganalisis keberadaan sekaligus kadar pemakaian

sebuah retorika tekstual yang ada dalam tiap klimaks di alur-alur yang digunakan

pengarang.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan novel Gajah Mada: Takhta dan

Angkara karya Langit Kresna Hariadi yang mengambil latar sejarah sebagai latar

waktu, tempat, alur, dan tokohnya. Novel sejarah menjadi alternatif lain dalam

memahami, atau sedikitnya untuk mengetahui sejarah, walaupun memang tidak

bisa dijadikan acuan dalam pembelajaran sejarah. Dalam novel ini,

pengarangnya, Langit Kresna Hariadi, berhasil menguasai kata-kata yang

memang digunakannya untuk memukau dan menjaga pembaca agar terus berada

di alur sejarah yang ia suguhkan. Di sinilah letak retorika modern bermain. Hal

ini memang diperlukan mengingat novel yang berlatarbelakangkan sejarah

mempunyai beban tersendiri yang tentunya lebih berat daripada novel fiksi.

Pengarang novel sejarah harus menjaga agar alur yang dikembangkannya tidak

melenceng jauh dari fakta sejarah. Juga, pengarang bertanggung jawab pada

bagaimana caranya pembaca bisa memasuki sisi sejarah yang utama dalam novel

itu.

Lebih dari itu, pengarang novel sejarah harus membuat pembacanya tidak

seperti didongengi tentang sejarah, seperti buku-buku sejarah yang melulu

Page 16: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

5

berkutat dengan tanggal, tempat, dan tahun. Pengarang novel sejarah haruslah

mampu menjadikan pembacanya salah satu dari tokoh tersebut atau minimal

pembaca merasakan bahwa ia sedang berada di tahun bersejarah itu dan ikut

menyaksikan apa yang terjadi di tempat tersebut. Dengan bantuan sarana retorika

inilah, pembaca akan merasakan efek tersebut.

Dengan berbagai pertimbangan yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis

memutuskan untuk menggunakan novel sejarah dalam analisis ini. Sebenarnya

novel fiksi bisa diangkat untuk dianalisis. Namun, novel sejarahlah yang paling

pas untuk mengetahui apakah retorika dalam bahasa tulisan sudah diterapkan

atau bahkan apakah retorika ini dapat mempengaruhi bahasa sejarah yang

terkesan monoton menjadi bahasa yang sangat nyaman untuk dibaca. Jika novel

fiksi terlebih novel teenlit sepenuhnya dapat mengandalkan imajinasi

pengarangnya yang akhirnya bebas menggunakan diksi apa saja dan gaya bahasa

apa saja serta tema-tema yang memang sudah mendarah daging pada remaja saat

ini, seperti percintaan dan persahabatan. Lain halnya dengan novel sejarah yang

tidak bisa menggunakan sembarang gaya bahasa karena salah menggambarkan

suasana dengan gaya bahasa, maka tafsiran pembaca akan tidak sesuai dengan

fakta sejarahnya. Selain itu, dengan mengangkat novel sejarah sebagai objek

penelitian ini, maka akan dengan mudah penulis berupaya membuktikan bahwa

retorika dalam bahasa tulisan perlu dikaji, khususnya dalam novel Gajah Mada:

Takhta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi.

B. Identifikasi Masalah

1. Pengetahuan bahwa retorika hanya ada di bahasa lisan saja.

2. Kurangnya pengetahuan bahwa retorika juga hadir dalam bahasa tulisan.

3. Penggunaan bahasa sebagai salah satu sarana untuk mengantarkan pembaca

ke jalan cerita.

4. Anggapan novel sejarah yang sama membosankannya dengan buku

pelajaran sejarah.

Page 17: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

6

5. Hadirnya lebih dari satu alur dalam sebuah novel menimbulkan masalah

penyajian alur.

6. Kurangnya perhatian kritikus pada pilihan-pilihan retorika.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dibuat di atas, maka peneliti

menitikberatkan penelitian ini pada penggunaan sarana retorika tekstual pada alur

utama dan alur bawahan novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara. Novel ini

memiliki satu alur utama dan tiga alur bawahan. Penggunaan sarana retorika

yang digunakan untuk menganalisis alur-alur tersebut juga dibatasi hanya pada

penggunaan gaya bahasa dan penyiasatan struktur kalimat. Pembatasan tersebut

dikarenakan kedua subbahasan itu lebih banyak berperan untuk menyajikan

cerita daripada kedua sarana retorika lainnya, yaitu diksi dan pencitraan. Subjek

yang digunakan untuk penelitian ini adalah novel Gajah Mada: Takhta dan

Angkara karya Langit Kresna Hariadi yang terbit pada tahun 2012.

D. Perumusan Masalah

1. Pada tahap alur manakah yang paling sering menggunakan sarana retorika di

alur utama dan tiap alur bawahan?

2. Bagaimana efek yang dihasilkan dari penggunaan sarana retorika tersebut?

3. Bagaimana implikasi pembahasan sarana retorika tektual pada tiap alur

dalam novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi

pada pembelajaran sastra di SMA?

Page 18: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

7

E. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui unsur alur mana yang paling sering menggunakan sarana

retorika tekstual di semua alur yang ada di novel Gajah Mada: Takhta dan

Angkara karya Langit Kresna Hariadi.

2. Untuk mengetahui efek yang dihasilkan dari penggunaan sarana retorika

dalam novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara karya Langit Kresna

Hariadi.

3. Untuk mengetahui implikasi penelitian ini pada pembelajaran Bahasa dan

Sastra Indonesia di kelas XII SMA.

F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

a. Mahasiswa: Mengembangkan wawasan mahasiswa bahwa retorika tidak

hanya muncul dalam bahasa lisan saja, tetapi juga dalam bahasa tulisan.

Selain itu, peneliti juga berharap agar penelitian ini dapat menginspirasi

mahasiswa untuk membuat karya sastra dengan menggunakan retorika

yang baik.

b. Guru: Guru mendapatkan ilmu baru tentang penggunaan retorika dalam

penulisan prosa dan dapat mengenalkannya pada siswa-siswanya.

2. Manfaat Praktis

a. Guru: Peneliti berharap bahwa penelitian ini dapat bermanfaat bagi

guru-guru mata pelajaranBahasa Indonesia sebagai bahanajar dalam

pembahasan unsur intrinsik dalam prosa.

b. Siswa: Siswa dapat mempraktikkannya ke dalam tugas-tugas harian

ataupun ujian praktik mata pelajaran Bahasa Indonesia.

c. Para penggiat sastra: Peneliti berharap bahwa penelitian ini bermanfaat

bagi para penggiat sastra, khususnya bagi para pemula (pemula dalam

hal menulis karya sastra dalam bentuk prosa). Retorika dalam bahasa

Page 19: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

8

tulisan ini bisa menjadi teknik dalam mengembangkan ide-ide yang

tersemat dalam pikiran para penulis.

G. Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu

sebuah metode penelitian yang menitikberatkan pada data deskriptif dalam

bentuk kata-kata tertulis atau lisan dan perilaku yang dapat diamati.1 Metode ini

yang cocok untuk melakukan penelitian ini karena penulis akan melakukan

pengkajian terhadap kalimat-kalimat yang digunakan untuk menyajikan alur

utama dan alur-alur bawahan yang ada dalam novel Gajah Mada: Takhta dan

Angkara karya Langit Kresna Hariadi. Penggunaan metodologi penelitian

kualitatif memungkinkan sebuah penelitian yang bertujuan untuk menganalisa

teks.2

Berdasarkan metodologi penelitian ini, peneliti berupaya menjawab

pertanyaan rumusan masalah penelitian dengan beberapa cara. Pertama, peneliti

membaca novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi

untuk menemukan alur utama dan alur bawahan. Kedua, setelah tahap membaca,

peneliti mendata sarana retorika apa saja yang digunakan pengarang untuk

mengisahkan cerita tersebut pada semua alur. Ketiga, peneliti menganalisis saana

retorika yang terdapat dalam semua alur yang digunakan. Terakhir, peneliti

menghitung penggunaan sarana retorika yang digunakan dalam setiap alur dan

menarik kesimpulan.

1S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 36.

2Muhammad, Metode Penelitian Bahasa, (Yogyakarta: Ar-Russ Media, 2011). h. 30.

Page 20: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

9

1. Fokus Penelitian

Subjek dari penelitian ini adalah novel Gajah Mada: Takhta dan

Angkara karya Langit Kresna Hariadi cetakan pertama yang terbit pada

tahun 2012 sebanyak 508 halaman. Objek penelitian ini adalah alur utama

dan ketiga alur bawahan yang ada dalam novel tersebut.

Alasan digunakannnya novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara karya

Langit Kresna Hariadi ini adalah karena ini adlaah judul pertama yang

dibaca peneliti pada seri Gajah Mada. Alasan lain, adanya lebih dari satu

alur. Dengan hadirnya banyak alur dalam novel ini akan memudahkan

peneliti membuktikan bahwa penggunaan sarana retorika sangat berpengaruh

pada gaya penceritaan tiap alurnya, meskipun berada dalam satu novel.

Alasan lain adalah banyaknya amanat yang dapat diambil dari tiap alur

sehingga nilai lebih dari novel ini tidak hanya karena mengangkat kisah

sejarah, tetapi juga bermanfaat bagi kehidupan saat ini.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan penulis adalah sebagai

berikut:

a. Peneliti membaca dengan cermat keseluruhan isi novel tersebut untuk

menentukan unsur intrinsiknya. Lewat unsur alurlah, penulis dapat

menemukan alur utama dan alur bawahan yang dihadirkan oleh

pengarang.

b. Peneliti mengklasifikasikan adegan apa masuk ke alur mana.

c. Peneliti membuat kartu data untuk mengklasifikasikan kalimat-kalimat

dari tiap alur yang terindikasi disajikan dengan sarana retorika.

d. Memasukkan data yang telah diperoleh tadi ke dalam kolom-kolom

unsur sarana retorika, yakni pegaya bahasaan dan penyiasatan struktur

kalimat.

Page 21: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

10

3. Teknik Analisis Data

a. Peneliti menganalisis unsur intrinsik novel Gajah Mada: Takhta dan

Angkara karya Langit Kresna Hariadi. Analisis ini sangat diperlukan

untuk penentuan alur utama dan alur bawahan dalam novel ini.

b. Setelah menganalisis alur, peneliti menemukan satu alur utama dan tiga

alur tambahan. Alur-alur tersebut adalah sebagai berikut:

1. Alur Utama : Kisah usaha perebutan kekuasaan Majapahit

oleh Rangsang Kumuda

2. Alur Bawahan 1 : Kisah cinta segitiga antara Raden Kudamerta

dengan kedua istrinya

3. Alur Bawahan 2 : Kisah perseteruan antara mantan Bhayangkara

Pradhabasu denganBhayangkara Gagak

Bongol

4. Alur Bawahan 3 : Kisah prajurit Ra Kembar yang sombong.

c. Dari keempat alur yang telah ditemukan, peneliti menentukan wacana

mana yang menceritakan alur-alur tersebut.

d. Peneliti mendata kalimat yang digunakan untuk menceritakan alur-alur

tersebut dengan menggunakan sarana retorika.

e. Kalimat-kalimat yang telah didata itu kemudian dimasukkan ke dalam

kolom gaya bahasa dan penyiasatan struktur.

f. Peneliti menganalisis kalimat-kalimat dalam kolom data tersebut

dengan teori gaya bahasa dan penyiasatan struktur.

g. Setelah menganalisis kalimat-kalimat tersebut dengan teori sarana

retorika tekstual, peneliti menganalisis efek apa yang dihasilkan oleh

penggunaan sarana retorika yang digunakan dalam kalimat tersebut.

h. Setelah selesai mendata dan menganalisis penggunaan sarana retorika

dan efek yang dihasilkannya pada satu alur, peneliti mendata berapa kali

Page 22: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

11

sarana retorika tersebut digunakan dan pada unsur alur manakah yang

paling sering menggunakan sarana retorika.

i. Setelah itu, peneliti membandingkan perolehan data penggunaan sarana

retorika yang terdapat dalam alur utama dengan ketiga alur bawahan.

j. Mengimplikasikan penelitian ini pada pembelajaran sastra di kelas XII

SMA semester ganjil dengan cara mencocokkan materi pelajaran sastra

di sekolah dengan teori yang digunakan dalam analisis ini.

4. Triangulasi Data

Secara garis besar, triangulasi data merupakan cara bagaimana seorang

peneliti mengecek ulang kebenaran data yang telah disajikan dalam

penelitian yang dilakukannya. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan sebuah

keabsahan yang dapat dipertangggungjawabkan keilmiahannya. Triangulasi

data dapat digunakan, terutama pada penelitian yang menggunakan

metodologi kualitatif agar terhindar dari hal-hal yang bersifat subjektif.

Ada beberapa cara yang digunakan untuk melakukan pengecekan

ulang data yang telah digunakan. Salah satu cara tersebut adalah dengan

membandingkan data yang telah ditemukan dengan teori yang digunakan

dalam kajian teori pada penelitian tersebut. Teori tersebut nantinya yang

akan dipakai untuk menganalisis hasil temuan tersebut.

Seperti yang telah dijelaskan pada teknik pengumpulan data, awalnya

peneliti mendata kalimat apa saja yang disinyalir mengandung gaya bahasa

dan atau struktur kalimat. Sebelum langsung menentukan kalimat yang

terindikasi mengandung gaya bahasa atau struktur kalimat, peneliti telah

membaca teori tentang gaya bahasa dan struktur kalimat. Untuk

memasukkannya ke dalam tabel gaya bahasa atau struktur kalimat, peneliti

Page 23: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

12

melakukan sebuah pengecekan ulang dengan teori gaya bahasa atau struktur

kalimat yang digunakan.

Cara yang dilakukan oleh peneliti untuk melakukan pengecekkan

tersebut adalah dengan menyamakan sebuah kalimat yang diduga

mengandung gaya bahasa atau struktur kalimat dengan pengertian dan

contoh kedua materi tersebut yang ada di dalam buku teori. Dari cara

pengecekkan ulang seperti ini, hampir seluruh kalimat yang awalnya diduga

oleh peneliti mengandung gaya bahasa dan atau struktur kalimat benar

adanya. Hanya ada beberapa kalimat yang sebenarnya mengandung sebuah

gaya bahasa, namun dalam buku teori yang digunakan gaya bahasa tersebut

tidak ada. Sebagai jalan keluar dari masalah ini, peneliti memutuskan untuk

tidak memasukkan kalimat tersebut ke dalam tabel gaya bahasa.

Peneliti juga melakukan penghitungan ulang penggunaan sarana

retorika pada tiap tahapan alurnya, baik pada alur utama maupun alur

bawahan. Hal ini sangat perlu dilakukan agar rumusan masalah yang

pertama bisa dijawab dengan benar.

Page 24: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

13

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Retorika

Dalam berbahasa, baik dalam bentuk berbicara maupun menulis,

komunikator dituntut mampu menyampaikan pesan yang dimilikinya dengan

utuh kepada komunikan. Sebuah pesan akan diterima dan dipahami dengan baik

oleh komunikan bila komunikator mampu menyampaikan pesan tersebut dengan

bahasa yang efektif. Tidak hanya itu, komunikator juga harus tahu betul

bagaimana menyusun kalimat dengan baik dan menarik minat agar lawan

bicaranya merasa yakin dengan apa yang dibicarakan. Strategi yang digunakan

komunikator itulah yang diharapkan akan mampu menarik minat komunikan

tanpa mengurangi pesan yang dimaksud. Hal-hal inilah yang diperhatikan oleh

retorika.

Menurut KBBI edisi keempat, retorika adalah “1. keterampilan berbahasa

secara efektif: 2. studi tentang pemakaian bahasa secara efektif dalam karang

mengarang: 3. seni berpidato yang muluk-muluk dan bombastis”.1 Dari

pengertian retorika tersebut, sedikit banyak dapat diketahui bahwa retorika

berada dalam ranah kemampuan berbicara, maka tidak berlebihan jika peneliti

menyebut bahwa titik tolak dari retorika adalah berbicara. Sumber lain juga

mengatakan bahwa retorika adalah “kesenian untuk berbicara baik (Kunzt, gut zu

redden atau Arts bene dicendi), yang dicapai berdasarkan bakat alam (talenta)

dan keterampilan teknis (ars, techne)”.2 Selain itu, dalam referensi lain retorika

juga diartikan sebagai “seni dan ilmu pemakaian bahasa untuk meyakinkan

1DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,

2008), h. 1171. 2Dori Wuwur Hendrikus, Retorika, (Yogyakarta: Kanisisus, 1991), h. 14.

Page 25: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

14

khalayak atas kebenaran gagasan yang dikemukakan”.3 Edward P.J Corbett

mengartikan retorika seperti yang ia tulis dalam bukunya, “What is rhetoric?

One definition is that rhetoric is the art of effective communication.”4 Retorika

adalah seni komuniksi yang efektif. Dalam bahasa Arab, “ilmu yang mempelajari

tentang penggunaan bahasa yang indah, estetis, memberikan makna yang sesuai

dengan keadaan, dan menghasilkan sebuah efek mendalam bagi pendengar atau

pembacanya disebut dengan ilmu balaghah”.5

Dari berbagai pengertian retorika yang dipaparkan tersebut, agaknya

retorika memang berawal dari keterampilan berbicara. Namun, zaman renaisans

turut menyumbang perkembangan retorika yang semula berada dalam ranah

berbicara menjadi turut digunakan dalam keterampilan tulis-menulis. Hal ini

diawali ketika ditemukannya mesin pencetak. Sejalan dengan hal ini, Gorys

mengatakan bahwa retorika adalah “suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni,

baik lisan maupun tertulis, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang

tersusun baik”.6

Dari beberapa pengertian yang telah dipaparkan, peneliti dapat mengambil

kesimpulan bahwa retorika adalah sebuah seni menggayakan kalimat semaksimal

mungkin untuk mempengaruhi orang lain. Selain mempengaruhi, pemaksimalan

penggunaan kalimat ini juga bertujuan untuk menyampaikan pesan agar pesan

tersebut bisa dirasakan benar oleh komunikannya dengan mempertimbangkan

aspek keindahannya.

Disiplin ilmu yang bertolak pada keterampilan berbicara ini bertumpu pada

bagaimana cara seorang komunikator meyakinkan para komunikannya dengan

berbagai cara. Aristoteles mengemukakan ada tiga cara yang dapat dijadikan cara

atau acuan dalam mempengaruhi para komunikan. Komunikator kaitannya dalam

3Abdul Rozak Zaidan, dkk.,Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 171.

4Edward P.J Corbett, The Little Rhetoric, (Canada: John Wiley & Sons, Inc, 1977), h. 1.

5Emsoe Abdurrahman dan Apriyanto Ranoedarsono, The Amazing Stories of Al-Qur’an;

Sejarah yang Harus Dibaca, (Bandung: Salamadani, 2009), h. 106. 6Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa; Komposisi Lanjutan I, (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2010), Cet. 20, h. 3.

Page 26: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

15

karya sastra adalah pengarang dan komunikannya adalah para pembaca karya

tersebut.

Ketiga cara tersebut yang dapat dilakukan oleh para pengarang untuk

mempengaruhi pembacanya adalah ethos, pathos, dan logos. Aspek ethos

berhubungan dengan komunikator atau pengarang. Dalam aspek ini dijelaskan

bahwa komunikator atau pengarang harus memiliki “pengetahuan yang luas,

kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat”.7 Ethos menuntut

pengarang untuk memiliki kredibilitas. Dengan memiliki hal itu, komunikan atau

pembaca akan mudah mempercayai apa yang akan disampaikan oleh

komunikator atau pengarang. Lebih jauh lagi, pengarang atau komunikator

dituntut menguasai bidang yang akan ia sampaikan.

Aspek pathos berkaitan dengan efek yang dihasilkan dari apa yang

disampaikan oleh pengarang atau komunikator. Efek tersebut akan dirasakan

oleh pembaca atau komunikan. Pengarang harus mampu menyentuh hati

pembacanya, seperti perasaan kasih sayang, benci, emosi, dan harapan”.8

Pembaca akan merasa dan berpikir bahwa apa yang disampaikan oleh pengarang

lewat karya sastranya itu memang sungguh terjadi. Dengan merasakan efek

tertentu, pembaca akan sampai pada tahap katarsis.

Aspek terakhir untuk mempengaruhi pembaca atau komunikan disebut

dengan logos. Logos adalah “bukti-bukti yang dapat diajukan oleh pengarang”.9

Dengan mengajukan bukti, pembaca akan benar-benar sepenuhnya dapat

mempercayai bahwa apa yang disampaikan oleh pengarang memang benar.

Ketiga aspek retorika yang berfungsi untuk mempengaruhi lawan bicara tersebut

dapat diaplikasikan dalam retorika tekstual.

7 Jalaluddin Rakhmat, Retorika Modern; Pendekatan Praktis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2008), h. 7. 8 Ibid.

9 Ibid.

Page 27: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

16

Retorika tekstual memiliki beberapa sarana yang bisa digunakan oleh

pengarang untuk menyampaikan gagasannya. Sarana-sarana inilah yang

kemudian akan menghasilkan efek yang bisa dirasakan oleh pembaca. Efek yang

dihasilkan dari sarana-sarana itu berupa efek “mempengaruhi atau meyakinkan

pembaca kalau apa yang disampaikan pengarang itu benar adanya”.10

Selain itu,

sarana retorika yang digunakan juga dimanfaatkan pengarang untuk

menghadirkan nilai estetis dari tulisan tersebut agar pembaca percaya dan tertarik

dengan gagasan yang disuguhkan.

Sarana retorika yang dimaksud adalah “figures of thought atau tropes dan

figures of speech, rethorical figures atau schemes”.11

Figures of thought adalah

penggunaan kalimat yang dimanfaatkan untuk menghasilkan penyimpangan

makna. Dengan kata lain, sarana retorika yang pertama ini lazim disebut dengan

gaya bahasa. Figures of speech adalah adalah penggunaan kalimat yang telah

disusun dengan konstruksi-konstruksi yang tidak biasa. Kalimat dalam sarana ini

dibuat sedemikian mungkin dengan memperhatikan fungsi-fungsi sintaksis.

Sarana ini lazim disebut dengan “penyiasatan struktur”.12

Pembagian prinsip-prinsip yang secara umum menyangkut ke arah ilmu

stilistika ini juga sejalan dengan empat elemen yang ada dalam sebuah sumber

berbahasa asing. Keempat elemen retorika itu salah satunya adalah “style or

expression of thoughts in the best possible language”.13

Penyiasatan struktur yang telah dijelaskan oleh Burhan Nurgiyantoro

dalam bukunya yang berjudul Teori Pengkajian Fiksi mengarah kepada teori

gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat milik Gorys Keraf dalam bukunya

yang berjudul Diksi dan Gaya Bahasa. Penyimpangan makna yang dijelaskan

10

Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 1985), h. 5. 11

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Jogjakarta: Gadjah Mada University Press,

2005), Cet. 5, h. 296. 12

Ibid. 13

Francis Connoly dan Gerald Levin, A Rethoric Case Book, (New York: Harcourt, Brace, &

World, Inc, 1969), Cet. 3, h. 4.

Page 28: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

17

dalam buku yang sama mengarah pada teori gaya bahasa berdasarkan langsung

tidaknya makna.

1. Sarana-Sarana Retorika

a. Gaya Bahasa Berdasarkan langsung Tidaknya Makna

Gaya bahasa yang didasarkan pada langsung tidaknya makna dapat

diketahui dari “apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna

denotasi atau sudah menggunakan makna konotasi”.14

Makna yang ada dalam

kalimat itu sudah melewati batas lazim atau belum. Melewati batas lazim yang

dimaksud di sini adalah sebuah kata atau kalimat digunakan untuk

menggambarkan sesuatu yang terkadang tidak sejalan atau sesuai dengan arti

kata itu sendiri secara harfiah. Terdapat unsur penyimpangan makna dari kata

sebenarnya yang dilakukan oleh pengarang untuk membantu tercapainya

pengertian yang diinginkan. Seringkali pengertian antara gaya bahasa dengan

majas disamakan. “Majas bertugas membantu gaya bahasa”.15

Dengan begitu,

dapat diketahui bahwa cakupan gaya bahasa lebih luas dari majas. Selain itu,

dengan menggunakan majas, pengarang mampu membantu pembaca lebih dapat

memahami makna yang sebenarnya ingin dicapai lewat majas yang digunakan.

Hal ini dikarenakan “majas lebih konkret menjelaskan sesuatu daripada

penggambaran tanpa menggunakan majas”.16

Sejalan dengan sarana retorika yang dikemukakan oleh Burhan, gaya

bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna menurut Gorys terbagi atas dua

kelompok besar, yakni retoris dan kiasan.17

14

Keraf, op., cit, h. 129. 15

Nyoman Kutha Ratna, Stilistika; Kajian Puitika, Bahasa, Sastra, dan Budaya, (Jogjakarta:

Pustaka Pelajar, 2009), h. 165. 16

Anton M. Moeliono, Kembara Bahasa, Kumpulan Karangan Tersebar, C. Ruddyanto (ed.).

(Jakarta: PT. Gramedia. 1980), h. 175 17

Keraf, op., cit, h. 129.

Page 29: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

18

1. Gaya Bahasa Retoris

Gaya bahasa retoris adalah gaya bahasa yang dibuat dengan memanfaatkan

penyimpangan konstruksi yang lazimnya digunakan agar dapat mencapai efek

yang diinginkan pengarang.18

Jenis gaya bahasa ini terdiri atas dua puluh satu

jenis yang masing-masing menghasilkan efek tersendiri. Kedua puluh satu gaya

bahasa itu adalah ”aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis, apostrof, asindenton,

polisindeton, kiasmus, ellipsis, eufimisme, litotes, histeron preteron, pleonasme

dan tautologi, perifrasis, prolepsis, erotesis atau pertanyaan retoris, silepsis dan

zeugma, koreksio, hiperbol, paradoks, dan oksimoron”.19

Namun, peneliti hanya

menjabarkan beberapa gaya bahasa yang ditemukan dalam penelitian ini saja.

Gaya bahasa yang terdapat dalam penelitian ini akan dijabarkan sebagai berikut.

a. Eufimisme

Gaya bahasa eufimisme atau eufemismus berarti “mempergunakan kata-kata

dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang baik”.20

Gaya bahasa ini

merupakan cara yang biasa digunakan oleh pengarang untuk menggantikan

kata-kata yang awalnya memiliki makna yang buruk dengan kata-kata lain

yang maknanya sedikit lebih halus maknanya. Tujuan penggunaan gaya bahasa

ini adalah untuk “menghindari kesan merugikan atau tidak menyenangkan dari

hal yang disebutkan”.21

b. Pleonasme dan Tautologi

Sebuah kata dapat dikatakan sebagai gaya bahasa pleonasme jika “kata yang

berlebihan dapat dihilangkan tanpa mengubah makna awal”.22

Gaya bahasa ini

digunakan pengarang untuk menimbulkan efek penegasan terhadap makna

18

Ibid. 19

Ibid. 20

Ibid, h. 132. 21

D. Damayanti, Buku Pintar Sastra Indonesia, (Yogyakarta: Araska, 2013), h. 57. 22

Keraf, op. cit., h. 133.

Page 30: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

19

yang akan disampaikan. Kata yang dapat dinamai tautologi adalah apabila

“kata yang berlebihan tersebut mengandung perulangan dari sebuah kata yang

lain”.23

Sama seperti pleonasme, tautologi membutuhkan dua kata yang

berfungsi untuk saling menegaskan. Namun, pada majas tautologi ini, kata

yang digunakan hanya bersifat mengulang saja dan jika memungkinkan, tidak

ada yang perlu dihilangkan dari penggunaan kata-kata tersebut.

c. Perifrasis

Perifrasis adalah “gaya bahasa yang menggunakan kata yang lebih banyak dari

yang diperlukan”.24

Hal yang perlu diperhatikan pada pleonasme, tautologi,

dan perifrasis perbedaan ketiga gaya tersebut terletak pada kata-kata yang

digunakan. Apabila dalam pleonasme, kata-kata yang digunakan cukup

dihilangkan salah satu dari kedua kata tersebut, lalu tautologi terletak pada kata

yang saling menjelaskan sehingga bila dimungkinkan tidak perlu ada yang

dihilangkan, maka pada perifrasis ini, kata-kata yang banyak itu bisa diganti

hanya dengan satu kata saja yang lebih konkret.

d. Erotesis atau pertanyaan retoris

Gaya bahasa yang satu ini berupa “pertanyaan yang dipergunakan dalam

pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam

dan penekanan yang wajar, dan tidak membutuhkan jawaban sama sekali”.25

Karena bentuk kalimat pertanyaan ini tidak memerlukan jawaban, maka yang

ingin dicapai dari penggunaan majas ini adalah sebuah bentuk penegasan untuk

lawan bicara.

23

Ibid, h. 134. 24

Ibid. 25

Ibid.

Page 31: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

20

e. Hiperbola

Hiperbola ini merupakan gaya bahasa yang “menggambarkan sesuatu dengan

cara yang berlebih-lebihan”.26

Efek yang ingin ditonjolkan dari penggunaan

gaya ini adalah untuk “meningkatkan kesan dan pengaruh kalimat tersebut

kepada pembaca”.27

f. Paradoks

Sebuah gaya yang mengandung “pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta

yang ada”.28

Paradoks digunakan pengarang dengan tujuan untuk

menimbulkan efek dramatis terhadap pembaca. Gaya bahasa ini juga berfungsi

untuk mengasah imajinasi pembaca terhadap dua hal atau situasi yang berbeda.

2. Gaya Bahasa Kiasan

Pokok dasar dalam membuat sebuah bahasa kiasan adalah perbandingan

atau persamaan.29

Gaya bahasa kiasan ini terdiri atas sembilan belas gaya.

Kesembilan belas gaya bahasa tersebut adalah simile, metafora, alegori, parabel,

fabel, personifikasi, alusi, eponim, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia,

hipalase, ironi, sinisme, sarkasme, innuendo, antifrasis, dan paronomasia.

Namun, di bawah ini peneliti hanya akan menjelaskan beberapa gaya bahasa saja

yang ditemukan dalam penelitian ini.

a. Simile atau Perbandingan

Gaya bahasa simile adalah “gaya bahasa perbandingan yang bersifat

eksplisit”.30

Maksud dari eksplisit adalah perbandingan yang langsung

26

Ibid, h. 135. 27

Tarigan, op. cit., h. 55. 28

Keraf, op. cit., h. 136. 29

Ibid. 30

Ibid, h. 138.

Page 32: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

21

menyatakan sesuatu sama dengan hal lain. Perbandingan ini mengunakan

“kata bandingan berupa seperti, sama, sebagai, layaknya, laksana, serupa,

ibarat, umpama, bak, dan bagai”.31

b. Metafora

Gaya bahasa ini merupakan “perbandingan semacam analogi yang

membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang

singkat”.32

Metafora ini sama halnya dengan simile, termasuk ke dalam majas

persamaan atau perbandingan. Bedanya, metafora tidak memerlukan kata

perumpamaan seperti halnya simile. Dalam membandingkan, metafora

langsung membandingkan benda yang ingin disamakan dengan benda lain

yang memiliki sifat yang sama. “Salah satu cara untuk membuat metafora

adalah dengan menggunakan gaya sinestesia”.33

Perbandingan sesuatu dengan

yang biasa dirasakan oleh indera manusia ini banyak digunakan untuk

menghasilkan sebuah makna yang mudah dimengerti oleh pembaca.

c. Personifikasi

Personifikasi adalah “gaya bahasa perbandingan yang mengggambarkan

benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah

memiliki sifat kemanusiaan”.34

Dalam gaya bahasa ini, benda mati diceritakan

mampu melakukan apa yang lazimnya dilakukan oleh makhluk hidup, baik itu

manusia maupun hewan. Dengan menggunakan personifikasi, “pembaca akan

mendapatkan efek berupa kejelasan pembeberan suatu kondisi dan imajinasi

yang jelas”.35

31

Damayanti, op. cit., h, 48. 32

Keraf, op. cit., h. 139. 33

Ibid, h. 99. 34

Keraf, op. cit., h. 140. 35

Damayanti, op. cit., h. 27.

Page 33: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

22

d. Sinekdoke

Gaya bahasa sinekdoke ini “berasal dari bahasa Yunani yang berarti menerima

bersama-sama”.36

Dalam pengertian lain, sinekdoke adalah “majas yang

menyebutkan nama sebagian sebagai nama pengganti barang sendiri”.37

Sinekdoke ini terbagi menjadi dua jenis, yakni totem pro parte dan pars

prototo. Totem pro parte adalah gaya bahasa yang menggambarkan

keseluruhan tapi yang dimaksud adalah sebagian. Pars prototo adalah

kebalikan dari totem proparte, yakni menyatakan sebagian tapi maknanya

adalah seluruhnya.

e. Metonimia

Gaya bahasa yang “menggunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal

lain karena memiliki pertalian yang sangat dekat”.38

Hal yang disebutkan itu

merujuk kepada manusia, benda, atau hal lain yang memiliki makna tertentu

yang ingin disampaikan secara khusus.

f. Antonomasia

“Sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah

epitet untuk menggunakan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk

menggantikan nama diri”.39

Gaya bahasa ini digunakan untuk menyebutkan

seseorang dengan panggilan lain. Tujuannya adalah untuk memberikan

pengetahuan lain kepada pembaca bahwa tokoh tersebut memiliki panggilan

lain yang kemungkinan besar berkaitan erat dengan jabatan atau kedudukan

yang ia miliki. Gaya bahasa ini sangat sering digunakan dalam novel-novel

yang berlatarbelakangkan kerajaan karena biasanya seorang raja memiliki

banyak gelar atau juga nama sapaan.

36

Keraf, op. cit., h. 142. 37

Ratna Susanti, Ejaan Yang Disempurnakan Terbaru, (Klaten: CV. Sahabat, 2012), h. 100. 38

Keraf, loc. cit. 39

Ibid.

Page 34: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

23

g. Ironi, Sinisme, Sarkasme

Ketiga gaya bahasa ini merupakan saya bahasa yang digunakan untuk

menyindir seseorang. Perbedaan dari ketiganya terletak pada seberapa

tajamkah atau parahkah sindiran yang dilontarkan. Gaya bahasa sindiran yang

paling ringan adalah ironi. Lalu meningkat ke sinisme dan sindiran yang

paling menyakitkan adalah sarkasme.

Ironi adalah “suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau

maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya”.40

Biasanya, bila seseorang akan mengatakan sesuatu yang buruk, maka ia akan

mengatakan hal yang baik untuk mengungkapkannya tentunya dengan

intonasi yang jauh berbeda dengan cara memuji.

Sinisme adalah suatu “sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung

ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati”.41

Sinisme memiliki tingkat

ketajaman satu tingkat lebih tinggi dari ironi.

Sarkasme adalah “suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan yang

getir”. Dibandingkan kedua sindiran yang sebelumnya, gaya bahasa ini

memang ditujukan untuk menyakiti lawan bicaranya. Tanpa sungkan lagi,

seseorang akan menggunakan gaya bahasa ini untuk memaki.

b. Penyiasatan Struktur

Kalimat yang baik karena mengikuti tata bahasa belum tentu merupakan

sebuah tulisan yang menarik perhatian. Kaidah kebahasaan memang dibuat

untuk mengatur penelitian agar sedap dan nyaman untuk dibaca. Namun,

adakalanya terlalu mengikuti kaidah yang ada hanya akan membuat pembaca

40

Ibid, h 143. 41

Ibid.

Page 35: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

24

bosan, apalagi bila semua kalimat yang disajikan menggunakan pola yang

sama, kalimat tersebut terkesan kaku. Untuk itu, ada tiga jenis struktur kalimat

yang perlu mendapat perhatian khusus, yakni kalimat periodik, kalimat

kendur, dan kalimat berimbang.42

Ketiga jenis struktur kalimat ini memiliki

tujuan penggunaannya masing-masing.

1. Kalimat Periodik

Kalimat periodik adalah “sebuah teknik penyajian kalimat yang

menempatkan inti atau gagasan utama kalimat tersebut di akhir kalimat”.43

Kalimat tersebut disusun berdasarkan konstruksi anak kalimat yang umumnya

tidak mengandung informasi penting kemudian diikuti oleh hadirnya induk

kalimat. Dalam penyusunan kalimat ini, sangat diperlukan pengetahuan

tentang fungsi kalimat dengan baik. Kalimat jenis ini juga sering disebut

dengan “kalimat berklimaks”.44

Susunan kalimat yang demikian disengaja

“untuk membentuk sebuah ketegangan saat pembaca membaca kalimat

tersebut”.45

Contoh:

Sebelum Anca pergi ke tanah rantau, ia masih sempat tersenyum

padaku, meski hanya seulas saja.

Pada kalimat tersebut, kalimat ini diawali oleh fungsi keterangan

waktu yang ditandai oleh konjungtor sebelum. Info penting yang ingin

disampaikan oleh kalimat ini adalah Anca sempat tersenyum kepada tokoh

aku.

42

Ibid, h. 124. 43

Keraf, loc., cit. 44

Zaenal Arifin dan Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi,

(Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa, 1988), Cet. 3, h. 108. 45

Ibid.

Page 36: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

25

2. Kalimat Kendur

Kalimat kendur adalah “sebuah susunan kalimat yang dibangun

dengan menempatkan bagian terpenting dari sebuah kalimat di awal dan

diikuti oleh bagian yang kurang penting”.46

Pada kalimat ini, induk kalimat

yang mengandung gagasan terpenting diletakkan di awal kalimat dan anak

kalimatnya diletakkan di belakangnya. Kalimat ini juga disebut dengan

struktur kalimat melepas.47

Makna yang dikandungi oleh struktur kalimat jenis

ini sudah bisa diketahui tanpa harus membaca lanjutannya. Kalimat yang

disajikan dengan jenis penyusunan ini biasanya mengandung makna yang

sangat penting dan untuk menjaga konsentrasi pembaca, pengarang

menempatkannya di awal terlebih dahulu. Ditakutkan, bila info penting

tersebut diletakkan di akhir kalimat, sebagaimana dengan konstruksi kalimat

periodik, pembaca tidak akan langsung menangkap makna kalimat tersebut.

Sama halnya dengan konstruksi kalimat periodik, untuk membuat kalimat ini

diperlukan kecermatan dalam menggunakan fungsi kalimat.

Misal:

Saya akan tidur saat rasa kantuk datang.

3. Kalimat Berimbang

Struktur kalimat jenis ini adalah “kalimat yang mengandung dua

bagian kalimat yang kedudukannya sama tinggi”.48

Biasanya kalimat ini

disusun dengan menggunakan dua klausa atau lebih. Dengan begitu, kalimat

ini dibangun oleh konstruksi kalimat majemuk.49

Kalimat majemuk dalam

bahasa Indonesia terdiri atas tiga jenis, yaitu kalimat majemuk setara, kalimat

46

Keraf, loc., cit. 47

Arifin,loc., cit. 48

Keraf.loc. cit. 49

Arifin dan Amran Tasai.loc. cit.

Page 37: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

26

majemuk berimbang, dan kalimat majemuk bertingkat. Ketiga kalimat

tersebut dibangun dengan cara yang berbeda.50

4. Kalimat Majemuk Setara

Kalimat majemuk setara adalah “konstruksi sebuah kalimat yang

dibangun dari gabungan beberapa kalimat tunggal yang unsur-unsurnya tidak

ada yang dihilangkan”.51

Maksud dari unsur-unsur yang tak dapat dihilangkan

adalah kalimat-kalimat tunggal yang kemudian digabungkan menjadi satu

kalimat tidak ada yang dihilangkan. Baik makna atau strukturnya, “kedua

klausa yang digunakan ini tidak saling bergantung sama lain”.52

Dengan kata

lain, bila salah satu di atara kedua klausa ini ada yang dihilangkan, makna

yang dikandungi tidak akan berubah. Kalimat majemuk setara ini memiliki

tiga jenis kalimat yang tergantung dari jenis hubungan antarkalimat yang

digabungkan tersebut. Ketiga kalimat tersebut yakni, kalimat majemuk setara

sejalan, kalimat majemuk setara berlawanan, dan kalimat majemuk setara

penunjukkan.

5. Kalimat Majemuk Setara Sejalan

Jenis kalimat majemuk ini memiliki arti yang sejalan dengan klausa

lainnya. Pada kalimat ini, semua klausa yang digunakan bisa digabungkan

tidak hanya dengan menggunakan konjungtor, tetapi juga dengan tanda baca

koma (,). Kalimat majemuk setara sejalan ini juga terbagi lagi menjadi tiga

jenis, yaitu KMS Sejalan Biasa, KMS Sejalan Mengatur, dan KMS Sejalan

Menguatkan.

50

Ida Bagus Putrayasa, AnalisisKalimat; Fungsi, Kategori, dan Peran, (Bandung: PT. Refika

Utama, 2007), h. 55-61. 51

Ibid, h. 55. 52

Dendy Sugono, Mahir Berbahasa Indonesia dengan Benar, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama, 2009), h. 158.

Page 38: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

27

6. Kalimat Majemuk Setara Berlawanan

Kalimat majemuk setara jenis ini memiliki makna yang bertentangan

dengan makna pada klausa lainnya. Biasanya, kedua klausa yang saling

bertentangan maknanya itu digabungkan dengan konjungtor pertentangan

seperti tetapi atau namun. Konjungtor inilah yang berfungsi untuk

mempertentangkan makna kedua klausa yang digunakan.

Jenis kalimat ini juga dibagi lagi menjadi tiga kalimat, yaitu KMS

Berlawanan Biasa, KMS Berlawanan Mengganti, dan KMS Berlawanan

Mewatasi. Semua jenis KMS berlawanan ini menggunakan konjungtor yang

berbeda fungsinya, sesuai dengan nama kalimat ini.

7. Kalimat Majemuk Setara Penunjukkan

Jenis kalimat ini mengarahkan pembaca untuk memperhatikan klausa

kedua yang ada dalam kalimat tersebut. Klausa pertama dalam kalimat jenis

ini menjadi penunjuk untuk klausa kedua. Biasanya, jenis kalimat ini juga

menggunakan konjungtor yang sesuai dengan makna penunjukkan yang

dimaksud. Kalimat penunjukkan ini juga terbagi ke dalam lima jenis, yaitu

KMS Penunjukkan Sebab-Akibat, KMS Penunjukkan Perlawanan, KMS

Penunjukkan Waktu, KMS Penunjukkan Tempat, dan KMS Penunjukkan

Syarat.

8. Kalimat Majemuk Rapatan

Kalimat majemuk rapatan adalah kalimat yang dibangun dari beberapa

klausa yang memiliki unsur yang sama kemudian unsur yang sama itu

dihilangkan atau dijadikan satu. Jenis kalimat majemuk rapatan ini tergantung

dari jenis unsur yang dihilangkan atau dirapatkan.Jenis-jenisnya adalah KMR

Subjek, KMR Predikat, KMR Objek, dan KMR Keterangan.

Page 39: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

28

9. Kalimat Majemuk Bertingkat

Kalimat majemuk ini dibangun oleh sisa dari klausa utama yang bisa

dibentuk sebuah kalimat baru. “Kalimat yang baru dibuat tersebut kemudian

digabungkan dengan klausa utama dengan menggunakan konjungtor ketika,

supaya, meskipun, jika, atau sehingga”.53

Dapat diperhatikan, bahwa dalam penyusunan sebuah kalimat

majemuk, apapun itu jenisnya, harus menggunakan konjungtor sesuai dengan

makna yang ingin dicapai. Hal ini dikarenakan “lewat konjungtorlah dua atau

lebih klausa dihubungkan dan pembaca bisa langsung mengetahui

maknanya”.54

Berdasarkan ketiga struktur kalimat yang kerap digunakan tersebut,

hadirlah bentuk-bentuk gaya bahasa yang bertolakbelakang dari teknis

penelitiannya. Gaya bahasa berdasarkan struktur yang dimaksud di sini adalah

“bagaimana tempat sebuah unsur kalimat yang penting ditempatkan karena

tempat sebuah unsur memengaruhi kepentingan informasi yang

disampaikan”.55

Beberapa gaya bahasa tersebut adalah sebagai berikut:

a. Klimaks

Gaya bahasa klimaks merupakan turunan dari kalimat yang bersifat periodik

atau kalimat berklimaks. Dengan begitu, pembaca diajak untuk merasakan

ketegangan dan bertanya-tanya tentang gagasan apa yang sebenarnya ingin

disampaikan oleh peneliti.

53

Sugono, op., cit, h. 173. 54

Abdul Chaer, Sintaksis Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses), (Jakarta: Rineka Cipta,

2009), h. 81. 55

Keraf, loc., cit.

Page 40: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

29

b. Antiklimaks

Gaya bahasa yang satu ini dihasilkan dari struktur kalimat melepas atau

kendur. Bagian terpenting dari kalimat yang mengandung gagasan inti justru

ditempatkan di awal kalimat.

c. Paralelisme

Gaya bahasa ini dihasilkan dari struktur kalimat berimbang. Kedua bagian

kalimat dari susunan ini dibangun oleh dua konstruksi yang memiliki

kesejajaran bentuk gramatikal. Paralelisme ini mengandung konsep

pengulangan, yakni “pengulangan struktur gramatikal atau pengulangan

struktur bentuk”.56

Kehadiran gaya paralelisme mudah kenali karena

digunakannya struktur gramatikal yang sama di awal kalimat. Jadi,

paralelisme ini adalah sebuah gaya bahasa yang mengulang bentuk gramatikal

kalimat dan terlihat sejajar karenanya.

d. Antitesis

Sama dengan gaya bahasa paralelisme, antitesis ini juga dihasilkan dari

struktur kalimat berimbang. Namun, gagasan yang dikandunginya

mengandung sebuah gagasan yang bertentangan dengan menggunakan

kelompok kata yang berlawanan.

e. Repetisi

Gaya bahasa ini mengulang bunyi, suku kata, kata bahkan bagian kalimat

apapun yang dianggap penting sebagai bentuk penekanan pada konteks

tertentu. Repetisi juga dihasilkan dari struktur kalimat berimbang. Selain itu,

dalam sumber lain dikatakan bahwa segala macam gaya bahasa yang

menggunakan bentuk pengulangan termasuk ke dalam gaya bahasa repetisi

56

Nurgiyantoro, op., cit, h. 252.

Page 41: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

30

karena gaya bahasa ini juga “mengulang frasa, klausa, kalimat, larik, bait,

alinea, dan tanda baca”.57

Gaya bahasa yang termasuk ke dalam repetisi adalah sebagai berikut:

1. Epizeuksis: Kalimat yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-

turut. Struktur kalimat ini bersifat repetisi langsung.

2. Tautotes: Repetisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam sebuah konstruksi.

3. Anafora: Repetisi yang berwujud pengulangan kata pertama pada tiap baris

atau kalimat berikutnya.

4. Epistrofa: Kebalikan dari anafora. Bentuk yang diulang terletak di akhir

kalimat atau baris.

5. Simploke: Unsur yang diulang berada di awal dan akhir kalimat atau baris.

6. Mesodiplosis: Unsur yang diulang terletak di tengah kalimat atau baris.

7. Epanalepsis: Unsur yang akan diulang di awal kalimat atau baris terletak

pada akhir kalimat atau baris sebelumnya.

8. Anadiplosis: Kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi

kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya.58

B. Novel

1. Hakikat Novel

Sebagai genre sastra, novel ternyata telah banyak menarik minat banyak

kalangan. Pertanyaan seputar apa yang dimaksud dengan novel mengundang

berbagai pandangan karena ia tidak hanya sulit dijawab, tetapi juga

problematik untuk didekati. Salah satu kesulitan yang dihadapi oleh banyak

kalangan adalah dalam hal pemberian definisi kepada unsur-unsur yang

membentuk istilah sekaligus menjadi pembeda novel dengan karya lainnya.

57

Ibid., h. 247-248. 58

Keraf, op., cit, h. 124-129.

Page 42: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

31

a. Novel dipandang sebagai salah satu “bentuk sastra yang menawarkan

sebuah gambaran kehidupan yang diidealkan, imajinatif, dan dibangun

oleh unsur-unsur yang disebut intrinsik seperti peristiwa, plot, tokoh,

latar, sudut pandang, yang sifatnya imajinatif”.59

b. “Jenis prosa yang dibangun berdasarkan unsur-unsur intrinsik dan

mengandung nilai-nilai kehidupan”.60

Dari berbagai pengertian yang telah diberikan, maka dapatlah diambil

kesimpulan bahwa novel adalah sebuah bentuk prosa rekaan yang kisahannya

tidak akan lepas dari kehidupan nyata meskipun terdapat unsur imajinasi di

dalamnya dengan menggunakan beberapa unsur intrinsik sebagai tubuh dan

unsur ekstrinsik sebagai jiwa yang akan menghidupi prosa rekaan tersebut.

Dalam berbagai sumber, “novel juga disebut dengan fiksi karena keidentikan

yang dimiliki oleh kedua kata tersebut”.61

Karakterisasi novel ini dilakukan sebagai upaya mempermudah para

peneliti dalam mengembangkan analisis mereka. Seringkali, sebuah novel

memiliki corak beragam dalam kisahannya sehingga cukup menyulitkan para

peneliti untuk mengkajinya menggunakan pendekatan apa.

Jenis novel yang telah berkembang saat ini dilihat dari isi cerita novel

tersebut. Jenis novel tersebut adalah “Picaresque, Epislatori, Sejarah,

Regional, Satir, Bildungrongsman, Tesis, Gotik, Roman-Fleuve, Roman

Feuileton, Fiksi Ilmiah, Novel Baru, Metafiksi”.62

Jenis-jenis novel tersebut

sudah ada sejak berabad-abad lalu.

59

Nurgiyantoro, op., cit, h. 4. 60

Zaidan, op.,cit, h. 136. 61

Nurgiyantoro, op.,cit, h. 9. 62

Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi; Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia

Indonesia, 2010), h. 22-31.

Page 43: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

32

2. Sastra Sejarah

Berbicara tentang sastra memang tidak akan bisa terlepas dari disiplin

ilmu lainnya. Sastra tidak bisa lahir begitu saja tanpa ada campur tangan dari

ilmu lain atau setidaknya kehidupan yang mendukungnya. Sastra yang sudah

terlahir dapat dikatakan sebagai cerminan dari kehidupan-kehidupan yang

secara tidak sengaja telah lahir dan hidup subur dan sengaja diamati oleh

penciptanya, yaitu pengarang.

Dewasa ini dunia kesusastraan dibanjiri oleh beragam disiplin ilmu yang

mentranformasikan wujudnya ke dalam karya sastra. Katakanlah sebuah novel

yang banyak menampung berbagai ide dan terbuka bagi semua disiplin ilmu.

Di dalamnya banyak dijumpai unsur-unsur ilmu alam yang mendominasi dan

menjadi alur, latar bahkan tokohnya pun terarah kepada keilmuan alam

tersebut. Tidak hanya ilmu alam saja yang kian menyerbu dunia kesusastraan,

ilmu sosiologi dan antropologi pun ikut menjamur dan ambil bagian dalam

pembuatan sebuah novel. Namun, ada satu disiplin ilmu yang menarik untuk

ditelaah lebih lanjut dalam dunia sastra, yakni sejarah.

Sejarah, pada hakikatnya adalah sebuah disiplin ilmu yang bertanggung

jawab penuh terhadap pewartaan tiap kejadian di masa lalu untuk dikaji di

masa kini dan diambil pelajaran yang terdapat dalam tiap kisahnya.

Seringkali, sejarah hanya dianggap sebuah bentuk penceritaan yang tidak bisa

diganggu gugat, seperti membaca sebuah kabar dari surat kabar hari ini.

Sebagai disiplin ilmu, sejarah berfungsi mengubah pengetahuan menjadi ilmu

pengetahuan yang posisinya layak disejajarkan dengan ilmu alam dan sosial

lainnya seperti geografi. Seperti disiplin ilmu lainnya, seorang sejarawan tidak

bertanggung jawab terhadap permasalahan bahasa, meskipun untuk

memberitakannya kepada khalayak luas, bahasa adalah satu-satunya media

yang tepat untuk itu. Mereka, para ilmuwan, sejarawan dan filsuf termasuk di

dalamnya, hanya memiliki tanggung jawab terhadap esensi isi dari sejarah

yang ia paparkan. Itulah yang menyebabkan seringnya teks sejarah menjadi

Page 44: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

33

sebuah teks yang membosankan dan merumitkan pembacanya karena belum

tentu seorang sejarawan atau arkeolog yang lihai menggali fakta-fakta sejarah

di masa lampau juga lihai dalam mengolah kata.

Pada posisi inilah sastrawan mendapat peran ganda yang tak semua

ilmuwan mendapatkannya. Seorang sastrawan, selain ia bertanggung jawab

terhadap penampilan sebuah cerminan masyarakat, juga terhadap

pengeksploitasian bahasa yang tepat untuk tujuan yang pertama tadi.

Keterkaitan antara sastra dengan sejarah bukanlah barang baru dalam

sejarah kesastraan. Tercatat bahwa Aristoteles pun pernah memperdebatkan

masalah sastra dengan sejarah. Pokok permasalahanya adalah bahasa sejarah

bermain dalam ranah lampau dan sastra berada di wilayah penceritaan yang

mungkin saja terjadi. Selain itu, “sejarah hanya menceritakan masa lalu tanpa

pernah bisa menceritakan masa yang akan datang, seperti halnya sastra yang

terkadang juga bisa menceritakan hal yang belum terjadi”.63

Sastra dan sejarah juga saling berkaitan jika ditinjau dari segi

etimologisnya. “Padanan kata sejarah dalam bahasa Inggris adalah history dan

sastra yang diwakili oleh kata cerita memiliki berpadanan dengan story dalam

bahasa yang sama”.64

Historia berarti cerita, sejarah, penelusuran fakta atau

peristiwa. Kira-kira sekitar tahun AD 1700, ilmu sejarah berkembang sebagai

ilmu pengetahuan tersendiri, khususnya berkembang dengan kritik dan data.

Akibatnya di dunia barat nampaknya sejarah dan sastra makin terlihat jelas

bedanya, yang satu menjelaskan fakta-fakta yang sungguh terjadi dan yang

satu lagi bermain dalam imajinasi walaupun juga terkadang digunakan fakta

sebagai bahan untuk menciptakan karya.65

Misalnya saja, kisah sejarah Gajah

Mada sendiri tentunya berbeda dengan Pentalogi Gajah Mada karangan Langit

Kresna Hariadi meskipun Langit sendiri untuk membuatnya memerlukan

63

Ibid, h. 331. 64

A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Dunia Pustaka

Jaya, 1984), h. 244. 65

Ibid.

Page 45: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

34

waktu yang tak sebentar dalam melakukan riset atas validitas data yang

hendak diolahnya. Dalam karya sejarah yang paling ilmiah pun masih terdapat

unsur subjektivitas pengarang yang tidak terhindar karena untuk kasus ini,

posisi sejarah sama dengan sastra yang multitafsir, meskipun sifatnya masih

tetap lebih besar kemultitafsiran sastra.

Sebagai hasil dari keterkaitan antara sejarah dengan sastra adalah

“hadirnya tiga aspek terpenting dalam sastra, yaitu sejarah sastra, sastra

sejarah dan novel sejarah”.66

Sejarah sastra berfungsi untuk mencatat

rangkaian peristiwa sastra sejak lahir hingga sekarang yang dengan sendirinya

tersusun secara kronologis. Sastra sejarah adalah karya sastra (hikayat) yang

mengandung unsur-unsur sejarah, seperti babad (Babad Buleleng, Babad

Tanah Jawi), hikayat (Sejarah Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Raja

Malaka). Sastra sejarah juga sering disebut teks historis atau teks genealogis.

Ia tumbuh subur pada masyarakat yang belum dapat membedakan secara jelas

antara rekaan dengan kenyataan yang sesungguhnya. Teks historis ini ada

hampir di seluruh tanah nusantara.

Konsep yang dihadirkan dalam sastra sejarah dengan novel sejarah

berbeda. Sebagai peninggalan kebudayaan masyarakat lampau, sastra sejarah

merupakan refleksi sekaligus sebagai dokumen yang memandang bahwa seni

dan ilmu memiliki tugas yang sama, menghibur sekaligus mendorong

perkembangan masyarakat. Dilihat dari bagaimana keduanya lahir juga

berbeda. Sastra sejarah lahir sebagai akibat dari adanya kearifan budaya

masyarakat setempat sedangkan novel sejarah lahir sebagai genre tradisi sastra

modern. Selain itu, sastra sejarah lebih bersifat dokumen atau prasasti yang

dianggap memiliki nilai magis dan bernilai sejarah yang tinggi sedangkan

novel sejarah tidak lebih dari bersifat fiksional.

66

Ratna, op., cit, h. 340.

Page 46: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

35

Lebih ringkas dijelaskan bahwa novel sejarah adalah “novel yang

memaparkan kejadian atau tokohnya dalam konteks sejarah yang jelas, dan ia

bisa pula memasukkan tokoh-tokoh rekaan dan nyata dalam rangkaian

ceritanya”.67

Dalam sumber lain, novel sejarah lebih mengutamakan

penceritaannya pada peristiwa atau tokoh sejarah tertentu. Sebagai karya fiksi,

semata-mata unsur itulah yang bersifat sebagai fakta sejarah, sedangkan

bagaimana unsur-unsur tersebut kemudian disusun menjadi sebuah cerita,

sepenuhnya merupakan imajinasi. Karya sastra berperan sebagai refleksi dari

sebuah kejadian yang di dalamnya terdapat periode sejarah tertentu, sesuai

dengan sejarah apa yang hendak diketengahkan oleh pengarangnya. Ciri-ciri

novel sejarah bukan semata-mata pada tokoh sejarah, tema, dan latar sebagai

penunjuk waktu tertentu, tetapi lebih kepada unsur-unsur psikologi dan sikap

sehingga peristiwa dan tokoh-tokoh merupakan representasi dari masa

tertentu. “Dialektika antara ciri-ciri dengan sikap pengarang inilah yang

menimbulkan kualitas estetis”.68

3. Unsur Intrinsik

a. Tema

Tema adalah “dasar cerita atau gagasan umum cerita dalam

sebuah karya”.69

Disebut gagasan umum dalam sebuah cerita karena

unsur inilah yang akan menggerakkan semua unsur intrinsik lainnya

untuk mendukung tema tersebut. Juga, dalam sumber berbahasa asing,

tema dikatakan sebagai “whatever general idea or insight the entire

story reveals”.70

Dari kedua pengertian tersebut, dapat diambil

67

Aziez, op., cit h. 22-31. 68

Ibid, h. 344. 69

Nurgiyantoro, op., cit, h. 70. 70

X.J. Kennedy, An Introduction to Fiction, (Canada: Little, Brown, and Company Limited,

1983), h. 103.

Page 47: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

36

kesimpulan bahwa tema adalah sebuah gagasan yang menjadi dasar dari

sebuah cerita yang disampaikan dari awal hingga akhir pengisahan.

b. Sudut Pandang

Unsur intrinsik yang kerap disebut dengan point of view ini

adalah “strategi, teknik, siasat, yang sengaja dipilih pengarang untuk

mengemukakan gagasan dan ceritanya”.71

Sudut pandang ini terbagi atas

dua macam, yakni “persona pertama dan persona ketiga”.72

Sudut pandang persona pertama biasanya juga disebut dengan

sudut pandang akuan. Penyebutan itu dikarenakan “dalam teknik

penceritaannya, digunakan kata ganti orang pertama aku atau saya”.73

Sudut pandang persona juga kerap disebut sebagai sudut

pandang diaan. “Jika pada sudut pandang akuan pencerita bertindak

sebagai salah seorang pelaku dalam cerita atau narrator acting,

pencerita dalam sudut pandang ini menjadi pengamat”.74

Pencerita yang

menjadi pengamat ini menggunakan kata ganti orang ketiga seperti dia,

ia, atau mereka.

c. Alur

Alur disebut juga dengan plot. Alur merupakan “konstruksi yang

dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logik

dan kronologik saling berkaitan dan yang diakibatkan atau yang dialami

oleh para pelaku”.75

Alur memiliki beberapa tahapan setiap tahapannya

memiliki pengaruh tersendiri bagi tahap selanjutnya. Tahapan tersebut

71

Nurgiyantoro, op., cit, h. 248. 72

Ibid., h. 249. 73

Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: Bumi

Aksara, 2010), h. 115. 74

Ibid., h. 115. 75

Jan Van Luxemburg, dkk., Pengantar Ilmu Sastra,Terj. dariInleiding in de

Literatuurwetenschap oleh Dick Hartono, (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), Cet. 3, h. 149.

Page 48: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

37

adalah “eksposisi atau pengenalan, komplikasi atau konflik, klimaks,

resolusi atau leraian, dan penyelesaian”.76

Hal yang perlu diperhatikan dalam alur tak melulu soal jenis alur

(maju, mundur, campuran), tetapi juga peristiwa-peristiwa apa saja yang

ada dalam cerita tersebut. Dalam setiap penceritaan, terutama novel

dengan jumlah halaman yang banyak, pasti memiliki peristiwa yang

dipentingkan. Peristiwa yang dipentingkan itu biasa disebut dengan

peristiwa utama atau lazimnya disebut dengen kernel. Sebaliknya, ada

peristiwa yang kurang dipentingkan dan sifatnya hanya sebagai

penambah keindahan saja disebut dengan satelit. “Satelit dihadirkan

pengarang untuk mengisi, mengelaborasi, melengkapi, dan

menghubungkan antarkernel”.77

d. Latar

Unsur yang satu ini “berkaitan erat dengan elemen-elemen yang

memberikan kesan abstrak tentang lingkungan, baik tempat maupun

waktu, di mana para pelaku menjalankan perannya”.78

Latar dalam

karya prosa tidak hanya terbatas pada penggunaan tempat atau sesuatu

yang sifatnya fisik saja, tetapi juga “menyangkut adat istiadat,

kepercayaan dan nilai-nilai yang ada dalam kisah tersebut”.79

Dengan

adanya pengetahuan tentang tempat dan waktu serta adat istiadat yang

diceritakan dalam novel tersebut, bisa diketahui suasana macam apa

yang timbul dalam adegan tersebut. Hadirnya unsur ini juga bertujuan

untuk mendukung tema yang diangkat oleh pengarangnya.

76

Priyatni, op., cit, h. 113. 77

Nurgiyantoro, op., cit, h. 120-121. 78

Aziez,op., cit, h. 74. 79

Nurgiyantoro, op.cit., h. 219.

Page 49: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

38

e. Penokohan

Tema dan amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang

dibawakan lewat perantara hadirnya para tokoh yang masing-masing

memiliki karakter yang berbeda. Lewat karakter yang berbeda itulah,

tema dapat berjalan dan amanat tersampaikan.

Tokoh-tokoh terbagi ke dalam tiga bagian, yakni dilihat dari segi

peranannya, fungsi tokoh, dan perwatakannya. Berdasarkan peranannya,

tokoh terdiri atas tokoh utama dan tokoh sampingan. Bila dilihat dari

segi fungsinya, tokoh terbagi menjadi tokoh protagonis dan tokoh

antagonis. Terakhir, tokoh dibagi menjadi tokoh dengan watak yang

datar dan tokoh berwatar bulat.

f. Gaya Bahasa

Hadirnya sebuah gaya bahasa sangat penting dalam posisi karya

sastra. Sekalipun cerita tersebut dibuat dengan menggunakan alur atau

tema yang sangat baik, namun dibungkus dengan bahasa yang tidak

dapat mewakili keindahan dan makna yang dinginkan oleh pengarang,

cerita tersebut tidak akan mampu menggugah perasaan pembaca.

“Tiap pengarang memiliki ciri khasnya masing-masing”.80

Contohnya, bila pengarang itu adalah seorang Jawa, maka karya

sastranya akan menggunakan sedikitnya kosa kata dalam bahasa Jawa

sebagai identitas. Tentu penggunaan kosakata daerah itu juga

disesuaikan dengan unsur intrinsik lainnya.

80

Nani Tuloli, Teori Fiksi, (Gorontalo: BMT “Nurul Jannah”, 2000), h. 60.

Page 50: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

39

g. Amanat

Amanat atau pesan adalah “suatu ajaran moral atau pesan yang

ingin disampaikan pengarang kepada pembaca”.81

Amanat akan sejalan

dengan tema yang diangkat oleh pengarang. Dengan begitu, amanat

merupakan “gagasan yang menjadi dasar bagi tulisan itu sendiri”.82

Pesan atau amanat bisa disampaikan lewat dua cara, yakni

langsung dan tak langsung.

a. Penyampaian langsung

Dalam teknik ini, pengarang menggurui pembaca secara

langsung memberikan nasihat dan petuahnya.

b. Penyampaian tak langsung

Teknik ini menggunakan bantuan unsur intrinsik lainnya

dalam menyampaikan amanat. Lewat permainan semua unsur

itulah, pembaca dituntut untuk mencari dan atau menafsirkan

sendiri amanat yang disampaikan pengarang. Jadi, “teknik ini tidak

bersifat menggurui pembaca sebagaimana yang terjadi pada teknik

penyampaian langsung”.83

4. Implikasi Pembelajaran

Bukan hal yang baru bila di dunia pendidikan, matapelajaran Bahasa dan

Sastra Indonesia seolah menjadi pelajaran yang kerap dianggap tidak sepenting

pelajaran eksakta. Di berbagai sekolah, banyak guru yang latar belakang

pendidikannya bukan berasal dari Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

mengampu matapelajaran ini. Tidak hanya itu, tak sedikit peserta didik yang

lebih memilih untuk mendalami matapelajaran lain, seperti bidang studi eksakta

dan sosial.

81

Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Jakarta: Pustaka jaya, 1988), h. 57. 82

Nurgiyantoro, op. cit., h. 321. 83

Nurgiyantoro, op., cit,h. 339.

Page 51: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

40

Berbagai perlakuan yang sering “menganaktirikan” matapelajaran Bahasa

dan Sastra Indonesia ini bisa sampai terjadi karena, baik bagi pengajar yang

berasal bukan dari bidang ini atau pun peserta didik, menganggap pelajaran ini

hanya formalitas saja yang bisa dipelajari sendiri. Anggapan seperti inilah yang

mengakibatkan bidang Bahasa dan Sastra Indonesia bukanlah pilihan yang

menarik bagi para calon mahasiswa. Mereka lebih tertarik untuk mengambil

jurusan eksakta atau sosial.

Sayangnya, tindakan sebelah mata ini tidak diiringi oleh kemampuan

mereka dalam berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Sampai hari ini,

kesalahan berbahasa Indonesia sering terjadi. Ironisnya, kesalahan-kesalahan

dalam berbahasa Indonesia terjadi atau dilakukan di ruang publik, seperti brosur,

pamflet, hingga media massa. Inilah bukti bahwa bidang Bahasa dan Sastra

Indonesia sangat penting dan segera diberi penanganan khusus dalam rangka

mengubah stigma peserta didik maupun pengampu matapelajaran ini.

Pelajaran Sastra Indonesia dalam pembelajaran juga tidak kalah penting

dari pelajaran Bahasa Indonesia itu sendiri. Jika dalam materi Bahasa Indonesia,

peserta didik akan mendapatkan pengetahuan tentang seluk beluk bahasa

Indonesia, seperti struktur satuan bahasa, struktur kalimat, jenis dan kelas kata,

hingga berbagai macam bentuk paragraf, dalam pembelajaran Sastra Indonesia,

peserta didik akan diajak untuk mempelajari kehidupan dalam bentuk teks.

Selama ini, masih banyak peserta didik yang menganggap pelajaran sastra

hanya berkisar pada pembacaan berbagai macam karya prosa, menentukan unsur

intrinsik, menunjukkan bukti kutipan, dan berakhir pada pembuatan salah satu

bentuk prosa. Padahal, pembelajaran yang bisa diambil dari materi sastra tidak

hanya pada permasalahan apakah peserta didik mengerti unsur-unsur yang

terdapat pada sebuah karya sastra dan bisa membuatnya sendiri, tetapi hal-hal

menarik yang tidak bisa didapatkan pada pelajaran lain yang terkandung di dalam

Page 52: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

41

karya tersebut. Hal-hal tersebut sangat bermanfaat bagi pengetahuan dan

kehidupan peserta didik.

Hal-hal menarik yang tak mungkin didapatkan pada matapelajaran lainnya

berupa pengetahuan tentang budaya, sejarah, agama, sosial, pendidikan,

psikologi, dan berbagai nilai yang biasanya terdapat pada unsur ekstrinsik sebuah

karya. Sejauh ini, materi tentang unsur ekstrinsik diajarkan oleh guru hanya

dengan cara menentukan mana kutipan yang mendukung unsur ekstrinsik

tersebut dan apa nilai yang terkandung dalam karya sastra tersebut.

Tentunya metode ini, tidak akan membuat peserta didik meresapi apa

maksud dan bagaimana menyikapi unsur ekstrinsik yang telah didapatkannya

tersebut. Hal ini akan membuat karya sastra hanya sebuah bacaan yang

membosankan dan peserta didik tidak akan mendapatkan manfaatnya. Tentunya,

keadaan ini tidak sejalan dengan fungsi sifat sastra menurut Horatius, dulce et

utile, sastra itu menghibur sekaligus bermanfaat.

Karya sastra, bukanlah hanya sebuah teks yang berisikan tentang sebuah

kisah yang dapat mengaduk emosi pembaca, tetapi juga “sebuah teks yang di

dalamnya menyimpan sesuatu dan tak jarang menyuguhkan banyak hal yang bila

dipahami dengan sungguh-sungguh dapat menambah pengetahuan

pembacanya”.84

Dengan metode yang tepat, karya sastra akan menjadi seperti

sebuah ensiklopedia yang menyimpan banyaksekali pengetahuan. Sebagai

contoh, ketika peserta didik ditugaskan untuk membaca novel Para Priyayi karya

Umar Kayam, mereka akan mengetahui bagaimana kehidupan sosial pada suku

Jawa, mulai dari pemberian nama tua bagi seseorang yang sudah dikatakan

dewasa, pengertian luas dari kehidupan priyayi, sampai latar waktu yang

tercermin dari novel tersebut. Pengetahuan ini akan sangat membantu menambah

pengetahuan siswa tentang salah satu budaya di Indonesia, terutama bagi peserta

84

B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 17.

Page 53: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

42

didik yang bukan berasal dari suku Jawa. Tentunya, pengetahuan tambahan yang

tidak ada pada matapelajaran lainnya ini akan terlaksana bila metode yang

digunakan tidak hanya mencari, mendata, dan membuktikan kutipannya.

5. Penelitian Relevan

Pentalogi novel Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi banyak diambil

untuk dijadikan penelitian. Sehubungan penelitian yang dilakukan oleh peneliti,

ada dua penelitian relevan yang juga menggunakan novel Gajah Mada: Takhta

dan Angkara.

Penelitian yang pertama berjudul Analisis Struktural Novel Gajah Mada:

Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara dan Perang Bubat Karya Langit

Kresna Hariadi. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Handoyo, mahasiswa

FKIP Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas Sebelas Maret pada tahun

2009 ini meneliti tentang unsur intrinsik dan ekstrinsik yang ada dalam novel

Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara dan Perang Bubat

Karya Langit Kresna Hariadi. Dalam penelitian perbandingan dua novel ini, hasil

yang didapatkan adalah kedua novel ini memiliki kesamaan tokoh utama, setting

alur, penggunaan sudut pandang, alur yang dipakai, dan juga sosail pengrang

budaya pengarangnya. Juga, letak perbedaan di antara kedua novel ini adalah

pada penokohan secara umum, setting suasana, tempat, dan waktu, amanat, tema,

dan gaya bahasa.

Penelitian tentang novel ini juga pernah dilakukan oleh Atik Fauziah,

mahasiswa di universitas yang sama jurusan Sastra Indonesia pada tahun 2007.

Judul penelitiannya adalah Kajian Intertekstualitas Novel Gajah Mada Karya

Langit Kresna Hariadi terhadap Kakawin Gajah Mada Gubahan Ida Cokorda

Ngurah. Hasil yang ditemukan oleh penelitian ini adalah terdapat perbedaan

antara asal usul Gajah Mada yang diceritakan dalam novel dengan Kakawin

Page 54: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

43

Gajah Mada gubahan Cokorda Ida Ngurah. Dalam novel diceritakan bahwa

Gajah Mada berasal dari rakyat biasa. Berkat kerja kerasnya, ia berhasil menjadi

patih di Majapahit. Dalam Kakawin, Gajah Mada adalah keturunan agung.

Berkat asal usulnya yang besar itulah, ia memiliki kewibawaan yang

membawanya menjadi seorang patih. Perbedaan ini dapat terjadi karena Langit

Kresna Hariadi, pengarang pentalogi novel ini, melakukan mitos pembebasan.

Persamaan penelitian yang dilakukan peneliti dengan kedua penelitian yang

dilakukan oleh dua mahasiswa Universitas Sebelas Maret ini adalah sama-sama

menjadikan novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara karya Langit Kresna

Hariadi sebagai objek penelitian. Namun, penelitian yang dilakukan peneliti

dengan dua penelitian lainnya ini juga memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut

adalah pada penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Sebelas Maret

ini berpusat pada kajian instrinsik dan penokohan, sedangkan titik tolak analisis

peneliti adalah bahasa yang digunakan untuk menyajikan alur-alur yang ada

dalam novel ini.

Dari penjabaran singkat hasil dua penelitian tentang novel Gajah Mada:

Takhta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi ini, peneliti dapat

menyimpulkan bahwa peneltian ini melengkapi dua penelitian yang telah ada

sebelumnya. Hal ini dikarenakan penelitian ini menitikberatkan kajian pada

unsur intrinsik pada aspek gaya bahasa. Dari sarana retorika yang digunakan

dalam penceritaan, dapat diketahui bahwa gaya bahasa dapat digunakan untuk

menunjukkan bagian mana yang lebih dipentingkan dalam sebuah cerita.

Page 55: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

44

BAB III

PEMBAHASAN

A. Biografi Pengarang

Nama Langit Kresna Hariadi menjadi buah bibir penikmat sastra ketika

novel Gajah Mada yang mengambil sejarah sebagai latar belakangnya muncul ke

jagad sastra Indonesia. Awalnya, pria kelahiran 24 Februari 55 tahun yang lalu

ini tidak menyangka bahwa “novel yang sebelumnya ditujukan untuk sebuah

naskah drama radio ini akan membawa namanya naik melambung”.1 Semula,

setelah ia memutuskan mengubah haluan naskah drama radio ini menjadi sebuah

naskah novel, ia menawarkan ke berbagai penerbit namun usahanya untuk

menerbitkan novel ini tak kunjung membuahkan hasil. Penolakan demi

penolakan dialaminya. Hingga akhirnya Penerbit Tiga Serangkai yang berkantor

di daerah Solo setuju menerbitkannya dan ia memutuskan menjual naskah

tersebut seharga lima juta rupiah. Namun, ia sempat pesimis kalau novelnya itu

akan menarik minat pembaca di pasaran lantaran oleh pihak Tiga Serangkai

judulnya diganti. “Semula novel itu berjudul Duaja Bhayangkara kemudian

diubah menjadi Gajah Mada”.2 Namun, nasib baik berpihak pada karyanya

tersebut. Di luar prediksinya, novel tersebut laku keras di pasaran. Belajar dari

pengalaman tersebut, ia tak lagi menjual naskah kepada penerbit setelah ia

diminta oleh Tiga Serangkai menyiapkan seri selanjutnya.

Dari Novel Gajah Mada ini, lahirlah novel-novel yang sengaja mengambil

latar belakang sejarah Indonesia yang selama ini hanya dikenal lewat buku-buku

1Bayu Putra, Lebih Dekat dengan Langit Kresna Hariadi Penulis Novel Sastra Sejarah

Nusantara, http://www.radarlampung.co.id/read/radar/berita-foto/70960-lebih-dekat-dengan-langit-

kresna-hariadi-penulis-novel-sastra-sejarah-nusantara. Diunduh pada Jumat, 22 Agustus 2014 pukul

14.35 WIB. 2Ibid.

Page 56: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

45

pelajaran sejarah dan dari perspektif yang bagi sebagian siswa membosankan.

Berikut daftar novel-novel LKH yang diterbitkan oleh berbagai penerbit:

a. Diterbitkan oleh Balai Pustaka

1. Balada Gimpul

b. Diterbitkan oleh Era Intermedia

1. Kiamat Para Dukun

c. Diterbitkan oleh Qalam Press

1. Libby 1

d. Diterbitkan oleh Tinta Yogyakarta

1. De Castaz

2. Alivia

3. Serong

4. Melibas Sekat Pembatas

5. Antologi Manusia Laminating

e. Diterbitkan oleh Gama Media

1. Kiamat Dukun Santet

f. Diterbitkan oleh Diva Press

1. Siapa yang Nyuri Bibirku? (nama samaran: Amurwa Pradnya Sang

Indraswari)

2. Jaka Tarup (nama samaran: Amurwa Pradnya Sang Indraswari)

g. Serial bersambung

1. Beliung dari Timur (Harian Umum ABRI)

2. Sang Ardhaneswari (harian Solopos)

3. Pentalogi Gajah Mada

1. Gajah Mada

2. Gajah Mada: Takhta dan Angkara

3. Gajah Mada: Hamukti Palapa

4. Gajah Mada: Perang Bubat

Page 57: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

46

5. Gajah Mada: Madakaripura Hamukti Moksa

4. Mengarang? Ah Gampang

5. Menak Jinggo, Sekar Kedaton

6. Amurwa Bhumi, episode Cleret Tahun, (penerbitan ulang berasal dari

judul Candi Murca terbitan Diterbitkan oleh Tiga Serangkai)

h. Diterbitkan oleh Langit Kresna Hariadi Production

1. Candi Murca

1. Candi Murca: Ken Arok Hantu Padang Karautan

2. Candi Murca: Air Terjung Seribu Angsa

3. Candi Murca: Murka Sri Kertajaya

4. Candi Murca: Ken Dedes Sang Ardhanareswari

2. Perang Paregrek

1. Perang Paregrek 1

2. Perang Paregrek 2

3. Cinta Bergeming

i. Penerbit Narasi

1. Narasi 1 Teror

2. Narasi 2 Balada Gimpul (Penerbitan Ulang dengan judul sama, semula

diterbitkan oleh Balai Pustaka)

3. Narasi 3. Selingkuh (Penerbitan ulang berasal dari judul Serong,

diterbitkan oleh Penerbit Tinta)3

Karya-karya tersebut memang tidak diterbitkan oleh hanya satu penerbit

saja. Mengenai penerbitan buku, LKH pernah berseteru dengan penerbit Tiga

Serangkai. Ketika ia tahu bahwa ia sudah memiliki tempat di pasaran, ia

memutuskan mendirikan sendiri penerbitan yang bernama LKH Productions.

3Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Langit_Kresna_Hariadi. Diunduh pada

Jumat, 22 Agustus 2014 pukul 14. 52 WIB.

Page 58: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

47

Namun, seiring dengan meledaknya novel Gajah Mada, banyak novelis-novelis

sejenis bermunculan. Hal inilah yang kemudian membuatnya harus mengalami

getirnya merugi sekitar 60 juta rupiah. Akhirnya, ia memutuskan kembali

bekerjasama dengan Tiga Serangkai untuk menerbitkan karya-karya selanjutnya.

LKH mengakui bahwa karyanya ini menginspirasi banyak penulis fiksi

lainnya. Namun, di balik kesuksesan ini, ia sadar untuk menulis novel yang

mengambil sejarah sebagai bahan bakunya tidak boleh sembarang.

Kesembronoan dalam mengolah fakta sejarah yang ada akan menimbulkan

masalah yang cukup berarti. Hal ini terjadi pada seri pertama Gajah Mada.

Dalam novel ini, terdapat banyak hal yang berbenturan dengan fakta sejarah. Tak

urung, hal ini mengundang kecaman dan kritik dari para sejarawan yang

dialamatkan padanya.

Kesalahan-kesalahan tersebut ialah penulisan lokasi penyelamatan

Jayanegara oleh Bhayangkara yang seharusnya di daerah Bedander, ia tulis

Kudadu. Tak hanya itu, rentang waktu antara pemberontakan Ra Kuti dengan

kematian Jayanegara juga tak lepas dari kritikan pembaca. Fakta sejarah

mengatakan bahwa ada rentang waktu sebanyak sembilan tahun antara kematian

Jayanegara dengan pemberontakan Ra Kuti, tapi dalam novel LKH justru

menuliskan bahwa Jayanegara meninggal bertepatan dengan meletusnya

pemberontakan tersebut. Juga, dalam novel tersebut, LKH menyebutkan bahwa

Lembu Anabrang masih hidup saat pemberontakan Ra Kuti padahal fakta sejarah

menyatakan bahwa Lembu Anabrang telah mati saat meredam pemberontakan

Ranggalawe di Tuban.4 Kekeliruan-kekeliruan itulah yang membuatnya semakin

serius lagi menggarap novelnya dengan cara melakukan riset lebih detil lagi. Tak

tanggung-tanggung, ia pernah menetap di Trowulan Mojokerto selama dua

4Langit Kresna Hariadi, Gajah Mada: Takhta dan Angkara, (Solo: Tiga Serangkai, 2012), h.

vii-viii.

Page 59: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

48

minggu untuk melakukan riset dan membaca beberapa buku akademik guna

memperbaiki kesalahannya.5

Diakuinya, penulis yang pernah mendapatkan penghargaan Satya Lencana

dari Presiden Megawati lantaran tercatat sebanyak 150 kali melakukan donor

darah ini, terinspirasi oleh M.H. Mintardja dan Herman Pratikno. Sejak kecil ia

telah akrab dengan cerita silat kedua penulis tersebut. Setelah selesai

membacanya, ia akan membacakan ulang untuk teman-teman sekolahnya.6

Namun, ia sadar bahwa sampai sekarang ia belum bisa menandingi sang pionir

sastra, M.H. Mintardja.7

5The Jakarta Post, Langit Kresna Hariadi Between Fact Fiction,

http://www.thejakartapost.com/news/2013/08/15/langit-kresna-hariadi-between-fact-

fiction.html. Diunduh pada 22 Agustus 2014 pukul 14.55 WIB.

6Ibid.

7Bayu Putra, Lebih Dekat dengan Langit Kresna Hariadi Penulis Novel Sastra Sejarah

Nusantara, http://www.radarlampung.co.id/read/radar/berita-foto/70960-lebih-dekat-dengan-langit-

kresna-hariadi-penulis-novel-sastra-sejarah-nusantara. Diunduh pada Jumat, 22 Agustus 2014 pukul

14.35 WIB.

Page 60: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

49

B. Analisis Unsur Intrinsik

1. Tema

Setiap tulisan, baik itu karya sastra ataupun sebuah karya ilmiah pasti

memiliki sebuah tema atau gagasan yang melandasi seluruh tulisannya.

Mustahil ada sebuah tulisan, apapun itu genrenya, ditulis tidak dilandasi

sebuah tema, sesederhana apa pun tema tersebut. Pun demikian halnya

dengan novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara ini. Kali ini LKH

menyuguhkan sebuah tema yang sebenarnya tidak jauh dari kehidupan pada

zaman kerajaan, yakni perebutan kekuasaan. Hal ini dibuktikan oleh

kutipan di bawah ini:

Sebagaimana layaknya sesuatu yang amat berharga dan

diperebutkan, untuk memperolehnya bahkan bila perlu dengan

menghalalkan segala cara, bahkan dengan cara membunuh

sekalipun. Sesuatu yang sungguh menggiurkan itu bernama

singgahsana, sebuah puncak kedudukan tanpa ada lagi yang

mengungguli.8

Novel yang mengambil latar belakang sejarah ini tak ubah laiknya

novel detektif yang menempatkan sang tokoh utama, yakni Gajah Mada

membongkar semua kasus pembunuhan yang terjadi di sekitar istana dan

melibatkan dua orang menantu Ratu Gayatri. Pembunuhan demi

pembunuhan yang terjadi di wilayah istana Majapahit memang ditujukan

untuk merebut kekuasaan Majapahit setelah Jayanegara wafat di tangan Ra

Tanca hanya dengan meninggalkan dua orang adik tirinya, yaitu Sri Gitarja

dan Dyah Wiyat. Melihat kondisi yang seperti itu, orang-orang di balik

suami masing-masing Sekar Kedaton mampu melihat peluang emas untuk

menjadikan tuannya sebagai orang nomor satu di tanah Wilwatikta. Untuk

mencapai hal tersebut, apapun tentu akan dilakukan. Tak peduli berapa

8Langit Kresna Hariadi, Gajah Mada: Tahkta dan Angkara, (Solo: Tiga Serangkai, 2012), h.

347.

Page 61: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

50

banyak darah yang harus tumpah demi mencapai singgahsana dan betapa

licik strategi untuk menyingkirkan lawan politiknya.

Intrik pembunuhan yang dilakukan inilah yang melatari hampir

semua bab yang ada dalam novel ini. Tercatat ada enam pembunuhan

dengan satu percobaan pembunuhan terhadap Raden Kudamerta yang di

balik semua pembunuhan tersebut adalah seseorang bernama Rangsang

Kumuda. Semua pembunuhan ini bermuara pada satu tujuan, yakni

menjadikan menantu kedua Gayatri sebagai raja Majapahit. Semua

pembunuhan maupun usaha pembunuhan yang gagal pasti melibatkan ular

sebagai alat membunuh, entah itu bisa ular yang dilumurkan pada keris

maupun ular hidup yang sengaja diletakkan oleh pembunuh ke objek yang ia

bunuh.

Menariknya, dari sekian banyak usaha perebutan kekuasaan yang

digencarkan oleh pendukungnya masing-masing, baik Raden Kudamerta

ataupun Raden Cakradara tidak berminat menjadi raja Majapahit. Memang

benar jika pernah terbersit di benak mereka bayangan akan seorang raja, tapi

itu pun karena mereka selalu mendapat tekanan dari pendukungnya. Pada

akhirnya apa yang selama ini dilakukan oleh Panji Wiradapa dan Pakering

Suramurda sia-sia karena tidak mendapat dukungan penuh dari orang yang

mereka jagokan.

2. Sudut Pandang

Untuk menceritakan rangkaian peristiwa yang terjadi dalam novel ini,

LKH mengambil sudut pandang orang ketiga maha tahu dan diambil dari

sudut pandang seorang pujangga kenamaan di zaman Majapahit yang sampai

sekarang masih kita rasakan hasilnya, yakni kitab Negarakertagama karya

Mpu Prapanca. Di dalam novel, Mpu Prapanca disebut Pancaksara.

Page 62: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

51

Pilihan menggunakan Pancaksara sebagai pencerita LKH lakukan

agar semua kisah yang akan ia sampaikan tidak hanya tergambarkan dari

sudut pandang yang subjektif dari tokoh utamanya saja. Misalnya, jika LKH

menggunakan sudut pandang pertama pelaku pertamanya Gajah Mada, maka

pembaca akan disuguhkan sebuah sajian kisah dari pikiran Gajah Mada saja,

sedangkan yang diinginkan oleh pengarang adalah menyajikan gambaran

kisah yang utuh kepada pembaca agar tidak dipengaruhi subjektivitas dari

manapun. Hal ini dipandang sangat perlu diperhatikan lebih mendalam oleh

pengarangnya mengingat novel yang ia karang adalah sebuah kisah yang

berlatarbelakang sejarah yang pada adegan tertentu harus sangat hati-hati

menulisnya karena jika tidak akan menimbulkan sentimen pada hal-hal

tertentu, seperti yang ada dalam seri Gajah Mada: Perang Bubat.

Juga, alasan mengapa LKH memilih menuliskan cerita ini lewat

penuturan seorang Pancaksara adalah karena ia dalang sekaligus penulis

Kitab Negarakertagama, sebuah kitab yang berisikan tentang kehidupan

kerajaan Majapahit dari sisi istananya. Dengan begitu, LKH menempatkan

novelnya kali ini seolah-olah seluruh hasil pengamatan Pancaksara pada

zaman dahulu untuk kemudian ditulisnya dalam Negarakertagama. Lewat

cara inilah nilai historis yang ditampilkan oleh novel ini lebih kental,

mendukung latar waktu dan tempat yang digunakan pengarang.

Pancaksara memulainya dengan mengulang kisah wafatnya Raden

Wijaya, raja pertama Majapahit. Bukti kutipannya adalah sebagai berikut:

Ada banyak hal yang dicatat Pancaksara, banyak

sekali.Kesedihan kali ini bagai pengulangan peristiwa sembilan belas

tahun yang lalu, yang ditulisnya berdasar kisah yang dituturkan

ayahnya, Samenaka, karena peristiwa itu terjadi Pancaksara masih

belum bisa dibilang dewasa.9

9Ibid., h. 3.

Page 63: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

52

Lewat kutipan tersebut pembaca bisa mengetahui bahwa apa yang

tengah dilakukan oleh Pancaksara adalah sebuah lemparan kenangan ke

masa lalu sedangkan ia berada di waktu sekarang, saat kabar tentang

Jayanegara masih simpang siur. Pancaksara dalam cerita ini disebut sebagai

orang ketiga dan sudut pandang yang digunakan LKH adalah maha tahu.

Selain itu, di beberapa adegan, cerita ini mengambil pola cerita berbingkai.

3. Latar

Novel pentalogi seri kedua ini mengambil latar waktu abad XIV-XV

masehi. Dengan begitu, baik dari segi latar tempat yang digunakan

disesuaikan dengan latar waktu yang digunakan. Penggunaan latar ini

berkaitan erat dengan muatan sejarah yang LKH ambil sebagai tema.

3.1. Latar Tempat

Latar tempat yang ia gunakan secara umum adalah di sebuah

wilayah Jawa Timur yang bernama Trowulan, yang sekarang lebih

dikenal dengan nama Mojokerto. Beberapa adegan di kisah ini

mengambil latar di wilayah Jawa Timur lainnya seperti Ujung Galuh

yang sekarang bernama Surabaya, Padas Payung, dan Karang Watu.

Penggunaan wilayah-wilayah yang sekarang tercangkup dalam daerah

Jawa Timur ini dikarenakan pusat kebudayaan dan kerajaan Majapahit

pada zaman itu terletak di wilayah timur Pulau Jawa dan saat itu

Majapahit dihadapkan pada masa peralihan kekuasaan setelah wafatnya

Sang Prabu dan siapa penggantinya. Juga, pada abad empat belas,

Majapahit disibukkan dengan usaha memadamkan makar yang kerap

terjadi di masa Jayanegara dan juga sedang tidak melancarkan ekspansi

ke daerah mana pun.

Page 64: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

53

Selain wilayah-wilayah sekitar Jawa Timur, novel ini juga

mengambil beberapa latar tempat yang berada di dalam dan sekitar

istana Majapahit.

3.1.1. Istana Sekar Kedaton Dyah Wiyat

Bukti kutipan:

Hanya berdua di dalam bilik dibantu Dyah Menur,

Maharajasa berdandan menyamarkan diri.10

3.1.2. Istana Sekar Kedaton Kiri

Bukti Kutipan:

Istana yang kini menjadi kediaman

Tribuanatunggadewi Jayawisnuwardhani atau Sri

Gitarja tak kalah megah dari istana utama.11

3.1.3. Antawulan

Bukti Kutipan:

Tua, muda, laki-laki, dan perempuan terpanggil

menjadikan makam Antawulan tumplek blek berjejal-

jejal seperti tidak memberi ruang yang cukup.12

3.1.4. Alun-alun Istana Majapahit

Bukti Kutipan:

Bergetar alun-alun itu karena Patih Daha Gajah Mada

berbicara langsung pada pokok permasalahan.13

3.1.5. Balai Prajurit

Bukti Kutipan:

10

Ibid., h. 472. 11

Ibid., h. 227. 12

Ibid., h. 356. 13

Ibid., h. 20.

Page 65: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

54

Balai Prajurit mendadak dibersihkan dan dengan

mendadak dipersiapkan untuk sebuah acara

penghormatan menggunakan tata cara keprajuritan.14

3.1.5. Bale Shakuntala

Bukti Kutipan:

Adakah ruangnya yang murung atau para ratu sedang

murung menyebabkan ruang Bale Shakuntala tampak

berbeda dari biasanya, terlihat ikut suram.15

3.1.6. Padas Payung

Bukti Kutipan:

Padas Payung, dinamai demikian karena tebing yang

memayungi jalan.16

3.1.7. Karang Watu

Bukti Kutipan:

Tebing bebatuan Karang Watu menjulang tinggi dan

sangat terjal.17

3.2. Latar Waktu

Untuk mendukung dan memperkuat penceritaan, waktu yang

digunakan pun juga diperhatikan sedemikian rupa oleh penulis.

Disesuaikan dengan masalah yang diangkat, siapa yang harus dijadikan

penguasa Majapahit, novel ini menggunakan latar waktu tahun 1328,

tahun di mana Majapahit sempat diguncang oleh kematian rajanya dan

puncak kepemimpinan diambil alih oleh ratu kembar setelah

sebelumnya dipimpin oleh seorang biksuni, yakni Gayatri.

14

Ibid., h. 130. 15

Ibid., h. 383. 16

Ibid., h. 345. 17

Ibid., h. 447.

Page 66: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

55

LKH menceritakan semua permasalahan mulai dari matinya

Jayanegara di tangan Ra Tanca, terbunuhnya beberapa pendukung

Raden Kudamerta satu per satu oleh Rangsang Kumuda, terbongkarnya

rahasia Kudamerta, pemberontakan di Karang Watu, hingga

terbongkarnya semua permasalahan ini hanya dalam hitungan hari. Hal

ini dibuat untuklebih menonjolkan sisi cekatan Gajah Mada beserta

pasukan Bhayangkaranya yang terkenal sigap.

3.3. Latar Suasana

Latar suasana digunakan oleh penulis untuk mengaduk emosi

pembaca dan untuk membuat pembaca lebih percaya bahwa kejadian ini

mengambarkan suasana Majapahit pada masa tersebut yang dipenuhi

kekacauan.

3.3.1. Kalut

Hal ini dibuktikan oleh kutipan di bawah ini:

Akan tetapi, jerit itu hanya menggema dalam

hati.Dyah Menur tidak mungkin berteriak atau

memanggil namanya, tidak mungkin berlari

menghambur mendekat, bahkan tidak mungkin lagi

berharap Raden Kudamerta tetap suaminya.18

3.3.2. Sedih

Hal ini dibuktikan oleh kutipan di bawah ini:

Bukan atas nama kematian kakaknya, Sri Jayanegara,

tetapi atas nama kemelut yang bersumber dari hatinya

sendiri, Dyah Wiyat menangis. Semua orangmengira

ia menangisi kakaknya, padahal tangisnya bersumber

dari alasan lain.19

18

Ibid., h. 368. 19

Ibid., h. 157.

Page 67: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

56

3.3.3. Tegang

Hal ini dibuktikan oleh kutipan di bawah ini:

Wajah Gagak Bongol dan Gajah Enggon menegang.20

3.3.4. Haru

Hal ini dibuktikan oleh kutipan di bawah ini:

Dyah Menur memandang Dyah Wiyat dengan tatapan

mata berkaca-kaca. Ia sama sekali tidak menyangka

Dyah Wiyat akan mampu bersikap seperti itu. Dugaan

dan penilaian yang terbentuk seketika ambruk. Sekar

Kedaton ternyata tidak seburuk yang ia sangka.

Dengan lengan bajunya, Dyah Menur membasuh air

matanya.21

3.3.5. Kecewa

Hal ini dibuktikan oleh kutipan di bawah ini:

“…. Bila perbuatan Paman terbongkar, Paman yang

harus menanggung semua akibatnya sendiri.Jangan

seret aku.”

Pakering Suramurda tidak menjawab, namun menelan

kata-kata keponakannya yang tearasa amat pahit di

tenggorokan.22

3.3.6. Semangat

Hal ini dibuktikan oleh kutipan di bawah ini:

“Baiklah,” ucap Ra Kembar. “Aku sangat menghargai

keterangan yang kamu jual kepadaku. Sebagaimana

saranmu, aku akan bertindak cepat. Akan aku kumpulkan

teman-temanku. Cukup hanya dengan mereka dan para anak

buahku, tempat yang kausebut itu akan bosah-baseh. Tak

perlu menunggu besok, malam ini juga akan kugempur

mereka yang berani coba-coba berniat makar itu. Akan

20

Ibid., h. 94. 21

Ibid., h. 505. 22

Ibid., h. 281.

Page 68: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

57

kulihat bagaimana raut Gajah Mada setelah melihat sepak

terjangku”.23

4. Tokoh

Tokoh-tokoh yang digunakan oleh LKH tidak lain adalah tokoh-

tokoh yang sebagian memang pelaku sejarah Majapahit. Para tokoh fakta

sejarah tersebut ialah Jayanegara, keempat Ibu Ratu, kedua Sekar Kedaton,

suami para Sekar Kedaton, Arya Tadah selaku patih kerajaan Majapahit,

Prapanca atau Pancaksara, Gajah Mada, Ra Tanca, Ra Kembar, Gajah

Enggon, Nambi, Ranggalawe, para Darmaputra Winehsuka, dan Mahapati.

Semua ini LKH cantumkan tanpa mengubah nama asli. Alasannya adalah

bahwa ini sebuah novel yang mengambil fakta sebagai jalan cerita yang

untuk kemudian penulis bumbui dengan fiksi di setiap sisinya dan ingin

memberi efek nyata bagi para pembacanya.

Masih membahas tentang nama yang digunakan LKH, yang perlu

digarisbawahi adalah tidak semua tokoh yang dihadirkan dalam novel ini,

betapapun pentingnya peran tokoh itu, merupakan tokoh nyata yang ada

dalam catatan sejarah. Para tokoh fiktif tersebut adalah para anggota pasukan

Bhayangkara yang dalam novel ini sangat dielu-elukan, yakni Gagak

Bongol, Mahisa Kingkin, Macan Liwung, Riung Samudra, Wraha Kunjana,

Klabang Gendis, Lembang Laut, Arya Surapati, Kinasten, dan Dlapa Welah.

Jika diperhatikan, nama-nama yang digunakan pada tokoh-tokoh prajurit

tersebut adalah nama binatang yang sesuai dengan zaman tersebut, yakni

menggunakan nama binatang untuk menamai manusia. Penamaan manusia

dengan nama hewan ini membuktikan bahwa pada zaman dahulu, hewan

sangat dihormati. Hal ini dikarenakan hewan-hewan yang digunakan

23

Ibid., h. 377.

Page 69: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

58

Sebagai nama manusia itu adalah hewan-hewan yang dianggap istimewa,

seperti lembu atau sapi menjadi tunggangan dewa dalam agama hindu.24

4.1. Tokoh Menurut Fungsinya

4.1.1. Utama: Gajah Mada

4.1.2. Figuran:Ibu Ratu Pradnya Paramita, Ibu Ratu Tribhuaneswari, Ibu

Ratu Narendraduhita, Arya Tadah, pasangan Gemuk Trutung,

Bramantya, Karpa, Murti, Banjar, Wilang, Dwarastha, Prabarasmi,

Sang Prajaka, Senopati Suryo Manduro, Senopati Panji Manduro,

para lurah pengikut Pakering Sumamurda, Rubaya, Arya Surapati,

Kinasten, dan Ki Sambi.

4.2. Tokoh Menurut Konflik yang Dibangun

4.2.1. Protagonis

Tokoh dalam novel ini yang termasuk ke dalam tokoh protagonis

adalah Gajah Mada.

4.2.2. Antagonis

Tokoh-tokoh yang termasuk ke dalam tokoh antagonis dalam

novel ini adalah Rangsang Kumuda, Pakering Suramurda, Nyai Ra

Tanca, Ra Kembar, dan Pradabhasu.

4.2.3. Tritagonis

Di dalam novel ini, yang termasuk ke dalam tokoh tritagonis

adalah Gayatri, Sri Gitarja, Dyah Wiyat, Raden Cakradara, Raden

Kudamerta, Gagak Bongol, Gajah Enggon, Macan Liwung,

24

Yusandi, Makna Nama Satwa pada Orang Tempo Doeloe,

http://www.wacananusantara.org/makna-nama-satwa-pada-orang-tempo-doeloe/. Diunduh pada

Kamis, 22 Januari 2015 pukul 17.35 WIB.

Page 70: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

59

Jayabaya, dan Riung Samudra adalah tokoh-tokoh yang tergolong

ke dalam tokoh tritagonis dalam novel ini.

Hal yang menarik dari penggambaran tokoh menurut konflik

yang dibangun oleh tiap tokoh yang terlibat di sini adalah pada

tokoh antagonis yang terdiri dari lima tokoh, yakni Rangsang

Kumuda, Pakering Suramurda, Nyai Ra Tanca, Ra Kembar, dan

Pradabhasu. Kelimanya memiliki tujuan dan dasar pemikiran yang

bertolak belakang dan berusaha mencegah Gajah Mada untuk

melakukan usahanya tersebut. Namun, kelimanya memiliki motif

yang berbeda antara satu dengan yang lain.

4.3. Tokoh Menurut Wataknya

4.3.1. Bulat

Dalam novel sejarah ini, yang tergolong ke dalam tokoh bulat

adalah Ibu Ratu Gayatri, Dyah Menur, dan Dyah Wiyat.

4.3.2. Datar

Tokoh-tokoh yang termasuk ke dalam tokoh datar adalah Raden

Kudamerta dan Raden Cakradara.

4.4. Ulasan Tokoh-Tokoh Dalam Novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara Karya

Langit Kresna Hariadi.

4.4.1. Gajah Mada

Mendengar nama Gajah Mada adalah sebuah jaminan untuk bayangan

kekuatan negara dan kebesaran wibawa yang dimiliki oleh seorang tokoh.

Tokoh yang satu inilah yang mampu mempersatukan Nusantara untuk

pertama kalinya. Tidak hanya itu, ia adalah seseorang yang pendapatnya

selalu dipertimbangkan oleh raja–raja yang pernah menjadikan dirinya patih

ataupun orang kepercayaan. Bukanlah tanpa alasan menjadikan Gajah Mada

sebagai orang kepercayaan.

Page 71: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

60

Awalnya, pemuda yang berbadan kekar penuh otot-otot ini25

hanyalah

seorang prajurit dengan pangkat bekel. Bekel dalam KBBI berarti pamong

desa pada zaman dahulu (setingkat di bawah lurah), pengurus sawah milik

bangsawan pada saat raja-raja masih memerintah pulau Jawa. Namun, jika

dikaitkan dengan posisinya sebagai salah satu prajurit dari kesatuan

Bhayangkara, maka bekel di sini memiliki makna sebagai kepala pasukan

pengawal raja masa Majapahit. Kariernya dimulai saat kerajaannya diguncang

prahara oleh rombongan Ra Kuti yang melakukan makar dan membuatnya

harus pontang-panting menyelamatkan Jayanegara ke Badender. Di sanalah

pengabdiannya sangat tinggi dan dinilai oleh para keluarga kerajaan sebagai

seorang prajurit yang mengabdi tanpa pamrih. Oleh pihak kerajaan, ia

dianugerahi jabatan sebagai patih yang mendampingi Sri Gitarja mengurus

daerah Kahuripan dan tidak lama setelah itu ia juga ditugasi untuk menjadi

patih di Daha menemani Dyah Wiyat.

Diceritakan dalam novel ini, Gajah Mada merupakan seorang prajurit

gagah perkasa yang tidak ada tandingannya, baik dari segi fisik maupun cara

berpikirnya. Ia adalah seorang revolusioner di masanya. Ia mampu berpikir

jauh ke depan tanpa ada seorang pun yang tahu apa yang akan

direncanakannya sebelumnya. Matanya yang tajam menandakan bahwa

pikirannya sangat brilian dan cemerlang.26

Pemuda yang tanpa pamrih

mengabdikan dirinya untuk negara ini adalah seorang nasionalis terpuji, sama

dengan Pradhabasu yang tetap berbuat yang terbaik semampunya meskipun di

masa silam negaranya telah mengecewakannya.

Kembali ke Gajah Mada, prajurit ini memiliki kemantapan hati yang

kuat. Cara berbicaranya yang selalu to the point menjadi ciri khas yang

membuat ia dimaklumi oleh para keluarga kerajaan. Hal ini disebabkan

25

Ibid, h. 38 26

Diceritakan pada seri novel selanjutnya bahwa kekuasaan yang ia miliki bahkan melebihi

kekuasaan yang dimiliki oleh rajanya. Hal ini tercermin pada tragedi berdarah, perang Bubat, titik

kemunduran kejayaan Gajah Mada.

Page 72: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

61

banyaknya jasa kepada negara yang ia sumbangkan dengan cuma-cuma dan

tentunya semua ucapannya masuk akal dan selalu menjadi solusi di kala

kemelut datang tanpa sebuah pemecahan.

Pun saat para Ibu Ratu sedang berunding untuk memutuskan siapa yang

pantas menggantikan Jayanegara, ia memaksa masuk untuk memberikan

pendapatnya dan dengan nada yang sangat percaya diri ia mengatakan, “Aku

wajib memberikan sumbang saranku, Paman.”27

. Ia patut mengajukan

permintaan untuk bisa hadir dalam rapat terbatas tersebut karena ia merasa

bahwa apapun yang akan terjadi di kerajaan tercintanya itu pada akhirnya

akan menjadi tanggung jawab berat pada dirinya.

“Dulu ketika makar yang dilakukan Ra Kuti, suaraku amat

didengar.Manakala urusannya ada hubungan dengan

perebutan kekuasaan, suaraku amat didengar. Dan

sekarang, di luar sana titik api dalam bara sekam itu

kembali menyala, bau perebutan kekuasaan dimulai lagi.

Adakah paman masih akan menghalangi aku menghadap

Para Ratu untuk menyampaikan pendapatku? Selama ini

tugasku hanya sebagai pemadam kebakaran, orang lain

yang bermain api tapi akulah yang bertugas memadamkan

kebakaran yang terjadi. Tak bisakah kali ini dibalik,

suaraku didengar sebelum kebakaran yang sebenarnya

terjadi?”28

Keluhan Gajah Mada tersebut memberi tahu pembaca bahwa dia adalah

seorang sosok yang dipercaya untuk memadamkan semua kekisruhan ataupun

kekacauan dan selalu saja apa yang ia padamkan adalah sesuatu yang belum

mampu dicegah dan beruntungnya mampu dihadapi dan ditumpasnya dengan

kecerdasan strategi yang digunakannya. Dengan pengalamannya yang telah

berkali-kali berhasil menuntaskan kekacauan di kerajaannya, ia merasa bahwa

untuk kali ini ia wajib diikutsertakan dalam diskusi siapa pengganti raja yang

telah mangkat tersebut. Hal ini dikarenakan ia merasakan ada sesuatu yang

27

Hariadi, Op. Cit., h. 70. 28

Ibid, h. 71

Page 73: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

62

buruk akan terjadi setelah wafatnya raja mereka dan dibuktikannya dengan

ditemukannya pembunuhan di lingkungan istana setelah Jayanegara wafat. Ia

mencurigai berbarengannya kematian tersebut.

Peristiwa ini membuktikan bahwa pengaruh dan wibawa yang dimiliki

oleh Gajah Mada sangat besar hingga Arya Tadah, patih Majapahit, pun

tunduk dan ikut memberikan kekuasaan penuh terhadap Gajah Mada untuk

menyelesaikan semua permasalahan yang menimpa Majapahit sepeninggal

rajanya. Namun, posisi Gajah Mada laiknya seorang mandor yang hanya

memberikan arahan dan perintah serta tak luput dari penilaiannya yang

merendahkan orang. Memang, setelah mendapat samir dan lencana dari Ratu

sementara dan Patih Majapahit, secara langsung ia tak ubah laiknya Gayatri

dan Arya Tadah yang tiap titahnya harus dipatuhi. Namun yang terjadi adalah

ketika semuanya sudah terselesaikan, tercipta sebuah pandangan subjektif

bahwa yang berhasil menyelesaikannya adalah anak buahnya. Seperti halnya

kasus pembunuhan yang terjadi setelah Jayanegara wafat, ia hanya berprolog

dan menyerahkan semua tugas kepada Gajah Enggonuntuk membongkar

kasus tewasnya Panji Wiradapa.

“Aku serahkan penelusurannya padamu,” jawab Gajah

Mada. “Berpikirlah dengan rasa penasaran, Gajah Enggon.

Bahwa pada malam ini Tuanku Baginda Jayanegara tewas

terbunuh, ternyata pada malam yang sama, di dalam

lingkungan istana, terjadi sebuah pembunuhan yang lain.

Seseorang mati melalui pembunuhan pula. Masalahnya

yang mati adalah Ki Panji Wiradapa yang jejak jati dirinya

baru kita temukan belum sebulan yang lalu. Kesamaan

hari kematian itu, adakah hanya sebuah kebetulan atau ada

kaitannya, apabila kecurigaan itu bisa mengganggu para

Tuan Putri Ratu dalam sidang menentukan siapa yang

bakal ditunjuk menjadi raja menggantikan Tuanku

Baginda. Jangan sampai para Tuan Putri Ratu mengambil

pilihan yang salah. Sekali lagi, bukan anak-anaknya, yang

Page 74: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

63

layak dipersoalkan, namun para calon suami mereka yang

harus dipelototi dengan teliti.”29

Sisi keras lain yang dimiliki oleh Gajah Mada adalah ia kerap kali

meremehkan bawahannya. Hal ini sering terjadi saat bawahannya tidak

memberikan jawaban sesuai harapannya dan atau ketika pola pikir

bawahannya tidak seperti dirinya sehingga ia harus menjabarkan maksud yang

ia inginkan agar bisa dipahami oleh bawahannya. Seperti yang ia lakukan

kepada Wraha Kunjana, seorang prajurit dengan pangkat paling rendah di

pasukan Majapahit.30

Ini menandakan betapa Gajah Mada merasa bahwa

dirinya lebih superior dari lainnya, dengan bukti tambahan ia merasa perlu

didengarkan pendapatnya saat sidang para Ibu Ratu. Sikap dan sifatnya yang

sombong ini disebabkan karena ia sadar betapa berpotensi dirinya serta

memang terbukti berhasil mengatasi semua permasalahan yang menimpa

kerajaannya. Tidak hanya kepada prajurit dengan pangkat yang paling rendah,

sikap meremehkan juga ia tunjukkan kepada Gajah Enggon, pimpinan

Bayangkara.31

4.4.2. Rangsang Kumuda

Rangsang Kumuda adalah nama lain dari Panji Wiradapa alias Ki

Brama Ratbumi Rajasa. Ia adalah seorang kaki tangan dari seorang

pengkhianat negara yang paling berbahaya selama kepemimpinan Jayanegara,

yakni Ramapati atau Mahapati. Orang ini memiliki hati yang sangat culas,

sama dengan pimpinannya. Ketika Mahapati dihukum mati oleh Jayanegara,

ia menghilang tanpa jejak.

“… kelak apabila semua mimpi telah tergapai, aku tidak

akan pernah melupakanmu. Apabila aku menjadi seorang

29

Ibid, h. 93-94 30

Ibid, h. 90 31

Ibid., h. 94.

Page 75: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

64

patih dan itu merupakan batu lompatanku untuk bisa

menjadi seorang raja, akan aku bawa kau untuk selalu

berada di belakangku. Kau akan kuberi wilayah sehingga

kau bisa menjadi raja kecil di tempat itu.”32

Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa jika ia menjadi patih di

Wilwatikta, ia akan menggulingkan rajanya, yakni Raden Kudamerta, untuk

kemudian ia yang menduduki dampar itu. Hal yang sama bukan tidak

mungkin akan dilakukannya jika Mahapati atau Ramapati berhasil menjadi

penguasa Majapahit. Hal ini bisa dilihat dari melenyapnya sosok Ratbumi saat

pimpinannya dihukum mati. Jika ia adalah seorang abdi yang setia dan tidak

memiliki ambisi pribadi yang sama dengan Mahapati, ia akan berbelapati atas

matinya Mahapati di tangan Majapahit.

Panji Wiradapa yang kerap dipanggil dengan sebutan paman oleh Raden

Kudamerta juga tidak segan membunuh orang-orang yang ikut membantunya

mendapatkan takhta. Ia membunuh Rubaya, seorang kaki tangan yang sangat

ia andalkan untuk mencelakai Raden Kudamerta dengan tujuan menghasut

Raden Cakradara. Alasannya adalah jika Rubaya sampai tertangkap hidup-

hidup oleh Majapahit, identitas yang selama ini iasembunyikan akan

terungkap. Semua orang yang ia libatkan dalam rangkaian pembunuhan ini

akan ia lenyapkan demi menjaga siapa dirinya yang sesungguhnya. Untuk

menjaga rahasia ini tetap terjaga, ia telah membunuh tiga orang yang telah

membantunya. Ketiga orang itu ialah Lembang Laut, Arya Surapati, dan

Rubaya.

Kekejaman yang ia miliki tidak hanya berhenti pada orang-orang yang

secara tidak langsung membawanya ke puncak impian, tetapi juga kepada

lawannya, yaitu Pakering Suramurda. Paman kandung Raden Cakradara itu ia

bunuh dengan menancapkan anak panah tepat di dadanya saat ia akan

32

Ibid., h. 112.

Page 76: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

65

membuka rahasia siapa orang yang bertanggung jawab atas matinya semua

pendukung Raden Kudamerta.

4.4.3. Pakering Suramurda

Pakering Suramurda adalah sesosok lelaki setengah baya yang memiliki

keinginan yang sama dengan Rangsang Kumuda. Jika Rangsang Kumuda

yang juga bernama Panji Wiradapa ini ingin kekuasaan sebagai raja diemban

oleh Raden Kudamerta, maka Pakering Suramurda ingin takhta kekuasaan

tertinggi jatuh kepada keponakan kandungnya, Raden Cakradara.

Pakering Suramurda tidaklah secermat Rangsang Kumuda dalam

menyiapkan strateginya. Itu karena ia memang yakin bahwa tahkta akan jatuh

ke tangan kemenakannya. Segala rencana jahat yang ia siapkan hanya untuk

berjaga-jaga bila kemungkinan terburuk terjadi.

Selain itu, dalam hal kecermatan dalam bertindak, tingkat kewaspadaan

dan tingkat penalaran akibat darisemua yang ia lakukan masih jauh di bawah

Rangsang Kumuda. Ia merencanakan tidak akan segan-segan menghabisi

nyawa pendukung bahkan nyawa Raden Kudamerta sekalipun. Hal ini

tentunya akan membuat seluruh mata istana tertuju pada Cakradara.

Permainan licik yang dilakoni pamannya itu langsung membuat Raden

Cakradara kecewa.

Jika dibandingkan dengan Rangsang Kumuda, apa yang dilakukan oleh

Pakering Suramurda untuk mendudukkan kemenakannya di kursi raja dapat

dipahami sebagai sebuah usaha yang dilakukan oleh orangtua untuk anaknya,

untuk kebahagiaan anaknya, bukan atas dasar nama ambisi pribadi. Orangtua

manapun akan melakukan hal terbaik dan sesulit apa pun untuk mendudukkan

anaknya di tempat yang terhormat.

Page 77: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

66

4.4.4. Ra Kembar

Sebagai salah satu dari kelompok yang menentang kekuasaan raja, ia

pun memiliki bibit-bibit pemberontakan dalam dirinya meski kadarnya tidak

menggelegak seperti para Rakrian lainnya. Ia hanya berambisi mengalahkan

posisi serta peranan Gajah Mada dalam kerajaan. Dalam novel ini pula

diceritakan bahwa Ra Kembar meragukan kesetiaan Gajah Mada dalam hal

loyalitasnya terhadap negara. Anggapan tersebut dibuktikan pada kutipan d

bawah ini:

“Gajah Mada bisanya hanya menyalahkan orang lain,”

kata hati Ra Kembar. “Saat Ra Tanca membunuh Sang

Prabu di biliknya, bukankah ia berada di ruangan itu. Ia

yang mengawasi Ra Tanca memberikan pengobatan.

Artinya, ia harus bertanggung jawab terhadap keselamatan

rajanya, mengapa orang lain yang tidak bersalah harus

menanggung akibatnya. Lucu Gajah Mada.”33

Ra Kembar adalah representasi seorang prajurit yang haus pujian serta

jabatan. Ia ingin dihargai dan dihormati sebagaimana yang ia mimpikan, yakni

sebagai pembesar negara, bukan sebagai prajurit dengan pangkat rendah

seperti lurah. Apa pun yang ia lakukan adalah untuk mendapatkan pujian,

jabatan serta memulihkan nama baiknya.

Ra Kembar adalah salah satu dari Darmaputra, sama seperti Ra Kuti, Ra

Tanca, Ra Wedeng, Ra Banyak, Ra Yuyu, dan Ra Pangsa yang melakukan

makar pada 1319. Saat itu, Ra Kembar sedang ditugaskan ke luar kota

sehingga ia tidak ikut serta dalam pemberontakan yang menewaskan semua

anggota Rakrian kecuali Ra Tanca yang memilih bertobat. Dengan matinya

semua Rakrian yang ada tidak membuat orang lain menganggap bahwa Ra

Kembar tidak ada sangkutan apapun dan dinilai bersih dari segala macam

perbuatan buruk yang dilakukan oleh Rakrian lainnya. Ia tetap saja teman

pemberontak yang juga memiliki sifat dan sikap tidak jauh dari Rakrian

33

Ibid., h. 135.

Page 78: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

67

lainnya meskipun memang ia tidak pernah terlibat langsung dalam

pemberontakan tersebut. Hal inilah yang membuatnya selalu dianggap remeh

oleh orang lain, selain karena ia memang memiliki perangai buruk.

“Aku mengenal dengan baik siapa kamu, Adi Kembar,”

kata Singa Darba. “Aku tahu ada yang kausembunyikan.

Omong kosong soal telik sandi ceritamu itu. Jangan kau

anggap seolah aku tidak mengenalmu.”34

Kutipan di atas merupakan salah satu pandangan orang lain yang

berseberangan dengan Ra Kembar. Bahkan, orang yang berada dalam satu

jalan dengannya, Nyai Ra Tanca, meremehkan kemampuan Ra Kembar. Hal

tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:

“… Sungguh, yang tidak aku mengerti, mengapa Gajah

Mada mengirim orang yang tidak memadai. Menugasi

Rakrian Kembar menyerbu Karang Watu, apa yang bisa

dilakukan Ra Kembar?”35

Semua anggapan remeh dan sebelah mata itulah yang membuat Ra

Kembar rendah diri dan mengincar sebuah jabatan agar nama baiknya kembali

dihargai oleh orang lain. Namun, usaha untuk mendapatkan nama baik tidak

disertai dengan perhitungan yang cermat selayaknya seorang prajurit yang

seharusnya terbiasa untuk berpikir jauh ke depan. Ra Kembar melewati satu

fase berpikir, yakni ia langsung memikirkan hasil indah yang akan ia

songsong jika hasil kerjanya membuahkan hasil sebaik yang ia angankan. Ia

terbuai dengan hasil yang akan ia dapatkan, yakni mendapat pujian dari para

Ibu Ratu dan kenaikan jabatan. Tanpa pikir panjang, ia mengajak kawan lurah

sesamanya untuk melancarkan serbuan tersebut tanpa terlebih dahulu

mempelajari berapa banyak kekuatan musuh dan medan yang akan dia hadapi.

Semua sifat buruk yang ia miliki diperparah dengan sikap pengecutnya yang

34

Ibid., h. 441. 35

Ibid., h. 454.

Page 79: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

68

ia tunjukkan secara nyata kepada anak buahnya. Adegan tersebut terekam

pada kutipan di bawah ini:

Ra Kembar kebingungan.Nyalinya entah lenyap ke mana.

“Sembunyi,” perintah Ra Kembar kepada anak

buahnya.36

Sesaat sebelum Ra Kembar menyuruh anak buahnya bersembunyi, ia

diperintahkan oleh Lembu Pulung untuk menyelesaikan pekerjaan yang telah

Bhayangkara lainnya setengah selesaikan bersama atasannya, Haryo Teleng

dan Panji Suryo Manduro. Namun, ia malah menjatuhkan perintah kepada

anak buahnya untuk bersembunyi. Sikap kepengecutan itulah yang

membuatnya kelak di kemudian hari tak berani menampakkan wajahnya di

hadapan Gajah Mada saat Rangsang Kumuda tertangkap.

Di sisi lain, di balik semua sikap dan sifat buruk yang dimilikinya,

tetaplah ia seorang prajurit yang menyadari bahwa semua perbuatannya itu

salah dan ia menyesalinya. Ia kecewa dengan dirinya sendiri yang tidak

berpikir panjang dalam ambisinya untuk mengalahkan Gajah Mada.

4.4.5. Pradhabasu

Pradhabasu adalah seorang mantan prajurit Bhayangkara yang sangat

lihai dalam hal telik sandi. Ia juga prajurit yang dekat dan dipercaya oleh

Gajah Mada. Pun ketika ia sudah tidak lagi berada dalam lingkungan istana

karena mengundurkan diri dari pasukan Bhayangkara atas nama balas dendam

dan rasa sakit terhadap putusan Jayanegara, ia tetap menjadi orang

kepercayaan Gajah Mada dengan cara tetap memberikan laporan mengenai

kehidupan dan keadaan di luar istana.

Tokoh ini menjadi salah satu tokoh antagonis dalam novel ini. Namun,

terdapat perbedaan antara Pradhabasu dengan tokoh antagonis lainnya.

36

Ibid., h. 465.

Page 80: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

69

Kutipan dialog Gajah Mada di bawah ini mendorong Pradhabasu mengambil

sikap tersebut.

“… Apa yang sebaiknya aku lakukan terhadap perempuan

itu? Aku ingin ia pergi sejauh-jauhnya dari Raden

Kudamerta dan jangan pernah muncul lagi. Aku tidak

ingin ketenangan rumah tangga Rajadewi Maharajasa

terganggu.”37

Pernyataan yang dilontarkan oleh Gajah Mada itulah yang membuatnya

kali ini harus mengambil sikap berseberangan dengan mantan bekel ini. Gajah

Mada berpendapat bahwa kehadiran istri pertama Raden Kudamerta hanya

akan menjadikan malapetaka selanjutnya. Untuk itulah Gajah Mada menyuruh

Pradhabasu menyingkirkan kehadiran Dyah Menur. Kekhawatiran Gajah

Mada diperkuat sebuah peristiwa yakni ketika Dyah Wyat mendapatkan

sebuah kiriman berupa sekeranjang buah mangga yang di dalamnya

disembunyikan tiga ekor ular yang mematikan dari seorang wanita yang

menyamar menjadi lelaki. Kecurigaan Dyah Wyat dan Patih Daha pun

langsung menuju ke istri pertama Raden Kudamerta.

Namun, Pradhabasu memiliki pandangan lain mengenai hal itu. Dengan

membunuh Dyah Menur, masalah perebutan takhta kelak tidak akan

terselesaikan begitu saja. Memang benar jika Dyah Menur lenyap maka tidak

ada penghalang atau perusak keturunan wangsa Rajasa sebagai pemegang trah

kekuasaan. Namun, matinya Dyah Menur dalam rangka menjaga takhta akan

berdampak pada hal lain. Raden Kudamerta bisa saja tidak terima tindakan

Gajah Mada melenyapkan istri yang sangat dicintainya itu lalu menyimpan

dendam dan menuntut balas. Jika benar, maka pertumpahan darah tidak akan

pernah terselesaikan seperti tragedi kerajaan Singasari. Selain itu, alasan lain

mengapa ia tidak melaksanakan tugas yang diberikan oleh Gajah Mada adalah

37

Ibid., h. 366.

Page 81: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

70

karena ia tahu betapa sakitnya kehilangan orang yang disayangi dan tidak

bersalah atas situasi yang terjadi.

Pradhabasu merasa tidak perlu melakukan perintah yang ditugaskan

kepada dirinya karena ia tahu jalan terbaik untuk menyelesaikan kemelut kecil

ini. Suatu hari nanti, ia akan menikahi wanita beranak satu itu sebagai kedok

untuk melindungi orang yang tidak bersalah serta memberikan kasih sayang

seorang ibu bagi kemenakannya yang cacat, Prajaka.38

4.4.6. Gayatri

Gayatri adalah seorang bangsawan wanita (anak raja dan istri raja) yang

tentunya sejak kecil bergelimang harta. Menjelang usia tuanya, ia bertekad

mengabdikan sisa hidupnya menjadi seorang biksuni. Menjadi seorang

biksuni tentunya harus siap melepas semua kehidupan duniawinya termasuk

harta, jabatan, dan segala apapun yang berkaitan dengan duniawi dan ia siap

dengan keputusannya. Membabat habis rambut hitam panjangnya hingga tak

bersisa adalah salah satu langkah yang ia siapkan untuk menjadi seorang

biksuni seutuhnya. Semua jalan pikiran dan emosi pun sudah ia tata

sedemikian rupa menyerupai para biksuni lainnya, yakni memandang semua

yang terjadi pada hidup ini sudah digariskan oleh takdir dan tidak terlalu larut

pada perasaan macam apa pun.

4.4.7. Dyah Wiyat

Dyah Wiyat atau Rajadewi Maharajasa adalah anak bungsu Gayatri

dengan Raden Wijaya. Ia memiliki kemauan yang keras, namun seketika

kemauannya mampu berubah karena hal-hal mendasar yang akan menyangkut

harga dirinya. Awalnya ia tidak mengincar kedudukan sebagai ratu karena ia

mafhum bila Sri Gitarja sebagai anak pertama yang akan diutamakan menjadi

38

Lihat Gajah Mada seri keempat

Page 82: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

71

seorang ratu betapapun dirinya lebih berpotensi ketimbang kakaknya itu.

Ketika ia tahu bahwa suaminya ternyata memiliki istri lain dan ia tahu ia

dinikahi hanya untuk dijadikan alat mencapai kekuasaan oleh suaminya, ia

malah bertekad akan menjadi ratu untuk menunjukkan kepada suami dan para

pendukungnya bahwa ia mampu menjadi ratu tunggal tanpa sedikitpun

memberi ruang kepada suaminya untuk menumpang kejayaan. Dalam

pandangan Raden Kudamerta dan para pendukungnya, dengan menikahi

seorang calon ratu, maka dengan sendirinya suami tersebut akan menjadi raja

sedangkan kekuatan raja berada jauh di atas ratu atau dengan kata lain

kedudukan ratu tak ubah laiknya seorang permaisuri.39

Namun, dengan

menjadi ratu Majapahit, ia akan bertindak selaku Ratu Shima yang mampu

berdiri seorang diri tanpa seorang pendamping. Ia akan menjadi ratu yang

tegas dan tidak akan membagi kekuasaannya dengan siapapun termasuk

suaminya sendiri.

Hal yang perlu dicermati di sini adalah ambisi Dyah Wiyat menjadi ratu

memang didasari oleh rasa kecewanya karena diremehkan dan dilecehkan

oleh suaminya dengan menempatkannya menjadi istri kedua. Namun, Dyah

Wiyat bukanlah seorang tuan putri yang tidak mampu berdiri sendiri dan

menunjukkan kemampuan dirinya. Ia yakin dapat menjadi ratu hebat karena ia

sadar dengan kemampuannya yang berada di atas kakaknya. Juga ia mampu

berdiri sendiri dan bertindak tegas ketimbang kakaknya yang kurang mandiri.

Berbicara mengenai tingginya tingkat ketergantungan Sri Gitarja, ini juga

yang menjadi pokok pertimbangan Dyah Wiyat. Jika Sri Gitarja yang menjadi

ratu, maka ditakutkan beban dan tampuk kekuasaan akan diserahkan ke

suaminya dan dengan segera para pendukung Cakradara akan meraja di istana.

Hal yang tidak baik bagi para pendukung Kudamerta.

39

Terdapat perbedaan pengertian yang mendasar tentang arti kata ratu dengan permaisuri.

Ratu menurut KBBI tahun 2008 edisi keempat halaman 1147 berarti raja perempuan

Permaisuri menurut KBBI tahun 2008 edisi keempat halaman 1060 berarti istri raja

Page 83: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

72

Dengan alasan semacam itulah, ia mengubah pendiriannya untuk menjadi

ratu.

Juga, keputusannya menerima Dyah Menur hidup seatap dengannya.

Jauh di lubuk hatinya, ia tidak menginginkan suaminya memiliki istri lain

selain dirinya meskipun ia tidak mencintai Kudamerta. Namun, ia begitu tahu

persis rasanya menjadi orang yang terpisah dari orang yang dicintai karena

keadaan. Ia memilih menerima Dyah Menur mendampingi Kumaderta di

istana tanpa syarat apa pun dan tanpa sedikit pun rasa takut pada takhta, kasih

sayang, dan cinta suaminya. Sama seperti Pradhabasu, ia tidak ingin

dilingkupi oleh lingkaran dendam dalam hidupnya.

4.4.8. Raden Kudamerta

Raden Kudamerta atau Abiseka Sri Wijaya Rajasa Sang Apanji

Wahninghyun alias Bre Wengker Wijata Rajasa Hyang Parameswara adalah

seorang bangsawan yang mewarisi wilayah Pamotan. Ia adalah seorang

pemuda yang gagah perkasa, tampan, dan pandai dalam adu berlari. Lelaki

yang juga suami dari Dyah Menur dan telah menjadi seorang ayah dari

seorang anak lelaki ini sebenarnya tidak menginginkan takhta Majapahit

sebagaimana yang sangat diinginkan oleh pendukungnya. Tak ada sedikitpun

keinginan untuk menjadi orang nomor satu di kerajaan besar tersebut.

Baginya, yang terpenting adalah keutuhan rumah tangganya dengan Dyah

Menur, istri yang sangat ia cintai, yang hancur lebur karena impian dari

pendukungnya itu.

Raden Kudamerta dalam hal ini telah secara langsung menjadi alat bagi

Ratbumi, seorang tangan kanan Mahapati yang dihukum mati oleh Jayanegara

karena telah berusaha merebut takhta dari pemiliknya yang sah. Seperti yang

telah dijelaskan sebelumnya, yang memiliki ambisi untuk menjadi seorang

raja adalah Panji Wiradapa alias Rangsang Kumuda. Salah satu cara agar

impiannya berhasil adalah dengan memisahkan pasangan suami istri tersebut

Page 84: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

73

untuk melanggengkan pernikahan yang terjalin antara Dyah Wiyat dengan

Raden Kudamerta.

“Aku minta maaf, Dyah Wiyat. Aku tak berniat

menyembunyikan hal itu. Aku bahkan ingin meluruskan

hal ini sejak awal, tetapi aku tidak punya pilihan,” jawab

Raden Kudamerta.40

Hal yang perlu diperhatikan dalam kutipan di atas adalah pernyataan

Raden Kudamerta, “tetapi aku tak punya pilihan lain”. Di sini dapat dilihat

bahwa sebenarnya Kudamerta adalah seorang lelaki yang berada di bawah

tekanan sehingga ia tak punya kuasa untuk menolaknya. Keadaan ini

diperparah oleh ketidakmampuannya menyatakan sikap secara jantan untuk

memilih nasibnya sendiri sepahit apapun hasilnya. Ia bisa saja menolak

perjodohan tersebut dan menyelamatkan perkawinan pertamanya apapun

rintangannya. Memang benar ia tidak silau oleh kekuasaan yang sebentar lagi

mungkin akan digenggamnya, tetap saja ia tak punya kekuatan hati untuk

memberontak sesuatu yang salah disekitarnya. Jelas ia tahu apa yang

direncanakan oleh pendukungnya, Panji Wiradapa, namun ia dengan sengaja

juga membiarkan dirinya masuk ke dalam lingkaran tersebut yang bisa jadi

akan menempatkan dirinya sebagai tersangka.

Bukti kuat untuk menunjukkan bahwa ia seorang lelaki pengecut adalah

ketika ia ditanya oleh Gayatri mengenai keadaannya yang telah beristri

sebelum dinikahkan oleh anak bungsunya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan

di bawah ini:

“Hamba belum pernah mengawini siapa pun Tuan Putri,”

jawab Kudamerta dengan suara amat tegas.41

40

Ibid., h. 206. 41

Ibid., h. 498.

Page 85: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

74

5. Gaya Bahasa

5.1. Gaya bahasa

Bukan tanpa alasan LKH banyak menggunakan gaya bahasa. Jika

diperhatikan, dalam novel ini banyak menggunakan gaya bahasa personifikasi.

Penggunaan gaya bahasa perbandingan yang satu ini banyak dipakai pada

bagian narasi, bukan pada bagian dialog tokoh. Alasannya adalah tokoh-tokoh

yang bermain dalam novel ini bukanlah para tokoh yang senang pada gaya

bicara yang indah dan berbunga-bunga. Latar tempat dan sosial dalam novel

ini sangat menuntut kelugasan, kejelasan, serta keefektifan tiap kalimat yang

diucapkan oleh semua tokoh. Gaya bahasa yang berbunga-bunga penuh

pengandaian atau penuh pembandingan dengan hal lain dalam tiap ucapannya

tidaklah tepat digunakan mengingat hampir semua yang berperan di dalam

novel ini adalah para tokoh militer dan pejabat negara, termasuk kedua Sekar

Kedaton.

Kalimat-kalimat yang diucapkan oleh para tokoh dalam novel ini adalah

kalimat efektif. Tidak ada multitafsir dalam tiap dialognya. Bayangkan jika

dialog yang diucapkan oleh Gajah Mada, misalnya, mengandung makna yang

multitafsir. Bisa jadi semua perintah-perintah yang diucapkan oleh Patih Daha

itu akan diterjemahkan berbeda-beda oleh bawahannya. Kalau pun ada, gaya

bahasa yang digunakan LKH dalam dialog-dialog para tokohnya hanyalah

gaya bahasa retoris dan antonomasia saja. Retoris bisa digunakan dalam

dialog sebagai penekanan maksud si pembicara kepada lawan bicaranya,

seperti pada kalimat, “Rupanya benar peringatan yang kauberikan, Gajah

Mada?” ucap Gayatri.42

Konteks kalimat retoris ini diucapkan oleh Gayatri

setelah sebelumnya Gajah Mada memberikan peringatan kepada ratu

sementara Majapahit itu untuk tidak memberikan sambutan saat pembakaran

jenazah Jayanegara karena takut terjadi hal yang tidak diinginkan dan benar

42

Ibid., h. 167.

Page 86: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

75

adanya. Kudamerta menjadi sasaran bidik pisau terbang oleh Rubaya. Maksud

kalimat retoris ini adalah membenarkan peringatan Gajah Mada sekaligus

berterima kasih telah diperingatkan.

Juga, dalam dialog banyak terdapat gaya bahasa antonomasia yang

umumnya digunakan saat seseorang menghadap keluarga raja, seperti yang

terdapat dalam kalimat, “Sembah dan bakti hamba, Tuan Putri Biksuni,”

jawab Pradhabasu.43

Kalimat ini digunakan saat seseorang yang derajatnya

lebih rendah berbicara dengan sang Ratu. Alih-alih menyebut nama asli sang

ratu, Ratu Gayatri, Pradhabasu memanggilnya dengan sapaan lain. Gaya

bahasa antonomasia yang juga terdapat pada narasi ini digunakan oleh LKH

sebagai variasi yang bertujuan untuk menambah wawasan pembaca juga

meminimalisir kebosanan yang kerap dialami pembaca.

5.2. Diksi

LKH yang juga berdarah Jawa banyak menggunakan campur kode baik dalam

narasi maupun dialog. Hal ini disebabkan oleh latar tempat yang digunakan

pengarang adalah sebuah kerajaan Majapahit yang kita tahu berpusat di wilayah Jawa

Timur. Penggunaan bahasa Jawa Kuno dalam novel ini untuk mendukung latar waktu

yang digunakan, yakni pada zaman Majapahit. Namun, pembaca tidak akan

dipusingkan dengan istilah-istilah jawa yang digunakan, terlebih pembaca di luar

suku jawa karena LKH memberikan arti kata dari bahasa Jawa itu di dalam catatan

kaki (daftar diksi dalam bahasa Jawa terlampir).

43

Ibid., h. 168.

Page 87: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

76

6. Alur

Secara umum, novel ini menggunakan alur maju. LKH, lewat Pancaksara

sebagai penceritanya memulai kisah ini pada situasi menegangkan saat

Jayanegara diracun Ra Tanca. Adapun skema alur dari novel ini adalah sebagai

berikut:

6.1. Pengenalan

Kisah ini dimulai dengan cerita bahwa sang raja Majapahit

kedua, Jayanegara sakit. Dikabarkan bahwa ia menderita sakit yang

terlampau parah. Ada yang mengatakan hanya sakit bisul dan

sebagainya. Intinya bukan jenis penyakit yang membahayakan jiwa sang

Prabu.

Untuk menyembuhkan penyakit Kalagemet itu, pihak kerajaan

memanggil Ra Tanca, seorang pemberontak yang pernah melakukan

makar bersama para rakrian lainnya, untuk mengobati sang raja karena

keahliannya di bidang pengobatan.

Kematian Jayanegara dengan tiba-tiba dan tidak meninggalkan

pewaris takhta kecuali dua orang saudari tirinya itu kontan

menimbulkan pertanyaan mendasar, siapa yang akan menjadi

penggantinya. Di belakang kedua Sekar Kedaton terdapat calon suami

masing-masing yang tentunya diboncengi oleh pendukungnya yang haus

kekuasaan dan saling menempatkan Raden Cakradara dan Raden

Kudamerta di dampar kekuasaan.

6.2. Konflik

Ketegangan kisah ini diawali dengan terbunuhnya Jayanegara

oleh Ra Tanca menggunakan racun sekali teguk. Selama ini Jayanegara

bagai memiliki banyak nyawa karena telah berhasil selamat dari

berbagai upaya makar, seperti Makar Ra Kuti, Makar Nambi, dan

Page 88: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

77

Mahapati. Namun, kali ini hanya sekali teguk, Ra Tanca berhasil

menuntaskan dendam lama Ra Kuti bahkan di jarak terdekat dengan

Gajah Mada sekali pun. Pembalasan dendam itu tentu harus dibayar

dengan harga setimpal, yaitu nyawanya sendiri.

Pertanyaan tersebut disusul oleh sebuah kenyataan telak, bahwa

para pendukung Raden Kudamerta satu persatu dibasmi oleh pihak yang

belum dikenal hingga akhirnya Raden Kudamerta sendiri menjadi titik

sasaran selanjutnya. Semua pembunuhan dan percobaan pembunuhan

terhadap suami Dyah Wiyat itu kontan saja menempatkan Raden

Cakradara sebagai tertuduh tunggal. Seperti yang telah diketahui, Raden

Cakradara merupakan saingan berat bagi Raden Kudamerta.

6.3. Klimaks

Puncak kekacauan kisah ini adalah ketika senjata tajam berani

menyentuh anggota keluarga raja secara terang-terangan di depan

umum. Adalah Raden Kudamerta yang terkena lemparan pisau dari

jarak jauh yang dilemparkan oleh Rubaya atas suruhan Rangsang

Kumuda. Dada Raden Kudamerta berdarah dan beruntung tidak sampai

merenggut nyawanya. Hal ini tentu saja merupakan percobaan

pembunuhan setelah sebelumnya banyak pendukung Kudamerta yang

berjatuhan nyawanya.

Pembunuhan demi pembunuhan yang terjadi atas para

pendukung Raden Kudamerta mengantarkan Gajah Mada berhadapan

langsung dengan Rangsang Kumuda, otak di balik semua pembunuhan

dan usaha penjarahan takhta ini. Rangsang Kumuda yang disinyalir

sebagai paman Raden Cakradara atau Pakering Suramurda ini awalnya

sedang mencegat seorang wanita yang tak lain adalah istri pertama

Raden Kudamerta yang hendak melarikan diri ke kotaraja di sebuah

ladang jagung. Kalau sampai wanita itu sampai di kotaraja, maka semua

Page 89: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

78

usahanya sia-sia. Namun, informasi itu langsung didengar oleh Gajah

Mada. Oleh karena sebuah kesalahan kecil, suara kentut anak buah

Rangsang Kumuda, terjadi pertempuran tak terelakkan. Dalam

pertempuran itu Rangsang Kumuda berhasil lolos setelah sebelumnya

dengan sukses membuat pingsan pimpinan Bhayangkara, Gajah Enggon.

6.4. Leraian

Ketegangan cerita ini sedikit menurun kadarnya saat Pakering

Suramurda yang dicurigai oleh Gajah Mada sebagai dalang semua

kerusuhan di lingkungan istana ini terbunuh. Pakering Suramurda yang

tak lain adalah paman kandung dari Raden Cakradara ini terbunuh oleh

panahan seseorang yang tak diketahui jati dirinya ketika sedang

melakukan perbincangan dengan kemenakannya.

Gajah Mada yang sementara menggantikan posisi Gajah Enggon

mendapat surat kaleng dari seseorang berjubah putih dan berkuda putih

dengan nama samaran Bagaskara Manjer Kawuryan. Dalam surat itu, si

misterius memberitahu bahwa di Padas Payung akan terjadi pertemuan

antara Raden Cakradara dengan Pakering Suramurda.

Lewat pertemuan itu, Gajah Mada dan Raden Kudamerta yang

begitu kecewa sejak percobaan pembunuhan terhadap dirinya dan

beberapa pendukungnya itu menemui sedikit titik terang. Raden

Cakradara tidak terlibat dalam pembunuhan itu dan ia sendiri menentang

tindakan keji tanpa perhitungan yang dilakukan pamannya. Namun

ternyata, pamannya mengaku bahwa semua pembunuhan yang terjadi itu

bukanlah prakarsanya. Tentu saja Cakradara tidak percaya dan berniat

membunuhnya ketika harga dirinya diinjak-injak oleh paman

kandungnya itu. Namun, niat Cakradara tidak terwujud karena

pamannya dibunuh terlebih dahulu oleh seseorang tak dikenal dengan

memanah tepat di jantungnya.

Page 90: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

79

6.5. Penyelesaian

Gajah Mada menganggap Rangsang Kumuda telah mati karena

dia tak lain adalah Pakering Suramurda. Namun, sebuah percobaan

pembunuhan terhadap Dyah Menur dipasar, membuat Gajah Mada harus

terbelalak. Pradhabasu dan Bagaskara Manjer Kawuryan berhasil

membekuk pelaku percobaan pembunuhan itu dan menghadapkannya di

depan Gajah Mada. Tak disangka oleh siapa pun, Rangsang Kumuda,

otak semua pembunuhan terhadap pendukung Raden Kudamerta dan

percobaan pembunuhan terhadap Raden Kudamerta itu adalah Panji

Wiradapa alias Ratbumi, tangan kanan Mahapati. Tentu saja Raden

Kudamerta sangat terkejut karena beberapa hari yang lalu, ia mendapati

tubuh pamannya itu hangus dibakar orang lain.

Ternyata, semua ini adalah intrik untuk menjatuhkan nama baik

Raden Cakradara dengan cara memfitnahnya dan usaha Rangsang

Kumuda berhasil membuat Gajah Mada berpikir ke arah sana. Hal ini

dibuktikan ketika Gajah Mada mendatangi suami Sri Gitarja untuk

diinterogasi.

Selain alur utama dalam novel ini, terdapat juga tiga alur

bawahan lain yang turut menyemarakkan cerita ini. Ada beberapa

sekuen yang saling berhubungan dengan tali simpul lain.

a. Alur Utama

Alur utama yang disajikan LKH ini bercerita tentang perebutan

kekuasaan yang dilakukan oleh Panji Wiradapa. Panji Wiradapa yang

kemudian berganti nama menjadi Rangsang Kumuda ini adalah seorang

penjahat besar yang sempat membuat onar di Majapahit dengan kasus

yang sama. Kini ia kembali lagi dengan nama baru untuk merebut takhta

Majapahit dan menjadi raja di Wilwatikta lewat tangan Raden

Kudamerta.

Page 91: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

80

Berikut disajikan skema alur utama yang secara garis besar

menggunakan alur maju.

1. Pengenalan: Jayanegara sakit

1.1. Ra Tanca diminta untuk mengobati Jayanegara yang sedang sakit.

1.2. Alih-alih membuat racikan obat untuk sang raja, Ra Tanca malah

meracik racun.

1.3. Jayanegara meminum racun buatan Ra Tanca yang disangkanya obat.

2. Konflik: Jayanegara terbunuh

2.1. Ra Tanca dibunuh oleh Gajah Mada setelah kedapatan meracun raja.

2.2. Pihak istana bingung siapa yang akan naik menjadi raja.

2.3. Panji Wiradapa menghasut Raden Kudamerta agar mau mengusahakan

takhta kerajaan bisa jatuh ke tangannya. Di saat yang sama, Pakering

Suramurda juga menyiapkan Raden Cakradara untuk menjadi raja

karena raden inilah yang memiliki peluang besar menjadi raja dengan

menikahi anak pertama mendiang Raden Wijaya.

2.4. Rangsang Kumuda membunuh seorang prajurit Raden Kudamerta dan

membunuh seorang Bhayangkara untuk memulai aksinya.

2.5. Pakering Suramurda atau Panji Wiradapa “membunuh” dirinya sendiri

untuk memulai fitnahnya kepada Raden Cakradara.

3. Klimaks: Dada Raden Kudamerta dilempar pisau oleh Rubaya

3.1. Rangsang Kumuda menyandera istri pertama Raden Kudamerta

3.2. Terjadi kontak fisik antara pasukan Bhayangkara yang dipimpin oleh

Gajah Mada dengan pasukan Rangsang Kumuda secara tidak senagaja.

3.3. Gajah Enggon, yang mendampingi Gajah Mada saat penyerangan

terkena lemparan batu dari Rangsang Kumuda dan akhirnya pingsan

berkepanjangan.

4. Antiklimaks: Pakering Suramurda terbunuh

4.1. Gajah Mada mengira bhwa Rangsang Kumuda adalah Pakering

Suramurda yang terbunuh itu.

Page 92: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

81

4.2. Gajah Enggon yang telah sadar dari pingsannya membantu Pradhabasu

membongkar semua kekacauan ini.

5. Penyelesaian: Rangsang Kumuda berhasil diringkus oleh Pradhabasu

dan Gajah Enggon.

Novel ini tidak hanya memiliki alur utama yang berkisah tentang

pengungkapan pembunuhan yang dilakukan oleh Rangsang Kumuda,

tapi juga berisikan tentang kisah-kisah yang berada di luar jalur

perebutan takhta sama sekali. Dalam novel setebal 506 halaman ini, titik

skema tiap alurnya saling bertemu satu sama lain.

Alur bawahan yang pertama adalah kisah cinta segitiga antara

Raden Kudamerta dengan kedua istrinya, yakni Dyah Wiyat dengan

Dyah Menur. Alur bawahan kedua adalah kisah perseteruan antara

Gagak Bongol dengan Pradhabasu. Terakhir, alur bawahan tentang

kecemburuan seorang prajurit yang bernama Ra Kembar terhadap Gajah

Mada.

Ketiga cerita yang berhubungan langsung ini akan mempengaruhi

jalannya cerita utama bila ketiganya dihilangkan begitu saja. Namun,

cerita ini akan bermuara pada tahap penyelesaian yang sama atau

dengan kata lain, ketiga cerita sampingan ini akan terselesaikan seiring

dengan selesainya cerita utama novel ini.

Alur bawahan antara Raden Kudamerta dengan kedua istrinya

1. Pengenalan: Dyah Wiyat dan Kudamerta tidak berbahagia dengan

pernikahan yang mereka jalani.

1.1. Kudamerta dipergoki oleh Gajah Mada yang sedang melakukan

penelusuran tentang kira-kira siapa yang membunuh Panji Wiradapa

ketika ia baru pulang mencari istri pertamanya, Dyah Menur.

Page 93: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

82

1.2. Setelah menjelaskan apa hubungan yang terjadi antara dirinya dengan

Panji Wiradapa, terpaksa ia juga harus mengakui bahwa ini telah

memiliki istri sebelum dinikahkan dengan Dyah Wiyat.

2. Konflik: Dyah Wiyat tahu bahwa suaminya telah beristri sebelum

mereka menikah.

2.1. Dyah Wiyat marah besar setelah tahu bahwa ia dimadu.

2.2. Dyah Wiyat yang kesal terhadap suaminya memutuskan mengajukan

diri kepada Gayetri untuk menjadi raja Majapahit.

2.3. Dyah Wiyat bertambah kesal dan cemburu ketika ia menerima kiriman

ular yang dapat membunuhnya dan mengira kiriman tersebut berasal

dari istri pertama Kudamerta. Padahal, ular itu kiriman dari istri Ra

Tanca yang cemburu terhadap dirinya.

2.4. Dyah Menur yang dilindungi keberadaannya oleh Pradhabasu dititipkan

kepada seorang emban di istana Dyah Wiyat. Maka jadilah istri pertama

Kudamerta itu menyamar menjadi seeorang emban di sana dengan

mengunakan nama samaran Sekar Tanjung.

2.5. Dyah Wiyat menyukai Sekar Tanjung.

3. Klimaks:Kudamerta menentukan sikap dengan berkata bahwa ia belum

pernah menikah sebelumnya.

3.1. Dyah Wiyat kaget mendengar pernyataan itu.

3.2. Dyah Menur yang tahu sikap macam apa yang diambil suaminya

memutuskan untuk pergi dari istana dan melupakannya.

3.3. Dyah Wiyat tahu jati diri emban yang dia sukai itu.

3.4. Setelah mengetahui sifat baik yang dimiliki Dyah Menur, Dyah Wiyat

memutuskan untuk menerima madunya tersebut dalam istana.

4. Antiklimaks: Dyah Wiyat menahan Dyah Menur pergi dari istana.

4.1. Dyah Wiyat mengatakan bahwa ia tidak keberatan berbagi suami

dengan Menur.

Page 94: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

83

4.2. Dyah Menur terharu atas sikap Wiyat.

4.3. Dyah Menur tetap pada pendiriannya.

5. Penyelesaian: Dyah Menur memutuskan untuk pergi meninggalkan

istana bersama Pradhabasu.

Alur utama dengan alur bawahan yang pertama ini bertemu di titik

sekuen saat Gajah Mada melakukan interogasi kepada Kudamerta

tentang pembunuhan Panji Wiradapa. Dalam alur utama, terdapat

sekuen yang menceritakan Gajah Mada mulai mengadakan interogasi

terhadap Kudamerta untuk mengetahui simpul hubungan antara suami

Dyah Wyat itu dengan Panji Wiradapa juga untuk mengetahui siapa di

balik penyerangan terhadap Raden Kudamerta.

Pertemuan kedua alur ini juga terjadi pada titik sekuen ketika Gajah

Enggon berhasil mengungkap siapa sebenarnya Rangsang Kumuda.

Setelah Kudamerta dibuat terkejut dengan kenyataan bahwa biang

keladi semua kekacauan di Majapahit setelah matinya Jayanegara adalah

Panji Wiradapa, ia dibuat kaget dengan pertanyaan yang dilontarkan

oleh Gayatri mengenai isu pernikahannya sebelum menikah dengan

Dyah Wiyat. Dengan terungkapnya siapa sebenarnya Rangsang

Kumuda, selesai pula drama cinta segitiga Raden Kudamerta.

Alur bawahan antara Gagak Bongol dengan Pradhabasu

1. Pengenalan: Pradhabasu menolak tawaran Gayatri untuk kembali ke

pasukan Bhayangkara.

1.1. Pradhabasu tidak bisa melupakan rasa sakit hatinya kepada Gagak

Bongol.

1.2. Kesalahan Gagak Bongol telah menyebabkan perkembangan mental

Prajaka, keponakan Pradhabasu tidak normal.

1.3. Gagak Bongol meminta diadili kembali karena merasa bersalah.

Page 95: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

84

2. Konflik: Pradhabasu meminta Gagak Bongol mengasuh Prajaka sebagai

tuntutannya.

2.1. Gagak Bongol terkejut dengan tuntutan tersebut.

2.2. Prajaka diajak masuk ke ruangan oleh Pradhabasu.

2.3. Seluruh orang di ruangan itu tahu keadaan Prajaka yang sebenarnya.

2.4. Gagak Bongol menyetujui tuntutan tersebut.

3. Klimaks: Pradhabasu langsung meninggalkan Prajaka di tangan Gagak

Bongol.

3.1. Pradhabasu melanjutkan tugasnya untuk mengungkap semua kekacauan

di istana saat itu.

3.2. Pradhabasu merindukan Sang Prajaka saat melihat kedekatan antara

Gagak Bongol dengan keponakannya itu.

3.3. Pradhabasu telah menyelesaikan tugasnya.

4. Antiklimaks: Pradhabasu mengambil kembali hak asuh Prajaka dan

pergi dari istana bersama Dyah Menur.

4.1. Gagak Bongol merasa kehilangan Prajaka.

5. Penyelesaian: Pradhabasu telah memaafkan Gagak Bongol.

Pertemuan alur utama dengan alur bawahan kedua ini terjadi pada

titik klimaks di alur utama yang menceritakan tentang upaya

pembunuhan terhadap Raden Kudamerta. Jadi, dengan kata lain, sekuen

awal menuju skema pengenalan di alur bawahan ini merupakan klimaks

bagi alur utama kisahan itu. Hal ini tentu saja membuktikan bahwa

betapa plot yang dibangun oleh LKH sangat kompleks sehingga antara

sekuen satu dengan sekuen lainnya, bahkan antara sekuen dengan

tahapan di alur lain saling berkaitan.

Tidak hanya itu, tahapan antiklimaks pada alur bawahan kedua ini

beriringan dengan tahap penyelesaian pada alur bawahan yang pertama,

Page 96: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

85

yakni ketika Dyah Menur memutuskan pergi dari istana bersama dengan

Pradhabasu.

Alur bawahan ketiga tentang kecemburuan Ra Kembar

1. Pengenalan: Ra Kembar merasa Gajah Mada terlalu cepat menyalahkan

orang lain.

1.1. Ra Kembar yang juga kawan dari Ra Tanca memendam kecemburuan

kepada Gajah Mada.

1.2. Kembar ingin menyaingi Gajah Mada.

2. Konflik: Ra Kembar mendapat informasi bahwa di Karang Watu

terdapat rencana makar.

2.1. Ra Kembar merasa inilah waktu yang tepat untuk menyaingi Gajah

Mada.

2.2. Ra Kembar mengumpulkan pasukan.

2.3. Ra Kembar mengajak Ajar Langse dan Singa Darba untuk berkomplot.

2.4. Singa Darba menolak ikut dan Ajar Langse yang setuju bergabung

berusaha membunuh Gajah Enggon untuk memuluskan niat Ra Kembar

mencapai tujuannya.

3. Klimaks: Ra Kembar menyerang Karang Watu tanpa ada izin dari

atasannya.

3.1. Ra Kembar terbuai dengan khayalan kemenangan yang akan diraihnya.

3.2. Ra Kembar kurang perhitungan.

4. Antiklimaks: Pasukan Ra Kembar tertangkap oleh pasukan makar.

4.1. Ra Kembar ditertawakan oleh Panji Rukmamurti, pimpinan makar itu.

4.2. Panji Rukmamurti menyadarkan bahwa Ra Kembar bukanlah tandingan

memadai bagi Gajah Mada.

5. Penyelesaian:Ra Kembar mengakui kekalahannya.

Page 97: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

86

Pada alur bawahan ketiga ini, tidak terjadi pertemuan dengan alur

lain seperti yang terjadi pada alur-alur lainnya. Bahkan, yang terjadi

pada alur bawahan ketiga ini hanyalah persinggungan dengan alur

utama. Sebagai contoh kasus, sekuen pertama pada alur ini

bersinggungan dengan kejadian Jayanegara mati yang merupakan

konflik dalam alur utama. Juga, sekuen ketujuh di alur ini

bersinggungan dengan sekuen yang menceritakan pingsannya Gajah

Enggon di alur utama. Hal ini bisa terjadi karena cerita pada alur

bawahan ini tidak berkaitan erat dengan alur bawahan lainnya sehingga

apabila alur tentang kecemburuan Ra Kembar terhadap Gajah Mada ini

dihilangkan begitu saja, tidak akan mempengaruhi jalan cerita di alur

utama. Berbeda sekali dengan kedua alur bawahan lainnya yang menjadi

sebab akibat pada alur utama.

Meskipun hadirnya alur tentang Ra kembar ini tidak begitu penting,

lewat Ra Kembarlah kita bisa mengetahui bahwa tidak semua prajurit

memiliki kekaguman terhadap Gajah Mada. Ra Kembar pulalah yang

mengantarkan pembaca kepada sebuah pendapat beberapa sejarawan

yang mengatakan bahwa sebenarnya Gajah Madalah yang

merencanakan kematian Jayanegara (lihat analisis intrinsik bagian

penokohan). Secara implisit, LKH menempatkan Ra Kembar sebagai

alat bagi pengarang untuk mengantarkan sudut pandang sejarawan.

Ketiga alur bawahan ini saling bertemu, baik dengan alur bawahan

lainnya maupun dengan alur utama (meskipun yang tejadi pada alur

bawahan yang ketiga hanyalah sebuah persinggungan). Skema-skema

alur, baik alur utama maupun alur bawahan, saling terkait meskipun

keempatnya memiliki sajian alurnya masing-masing. Menariknya,

meskipun ketiga alur bawahan dimulai dari titik skema alur, ketiganya

mengakhiri ceritanya tepat pada titik penyelesesaian alur utama.

Page 98: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

87

Bahkan, titik penyelesaian alur bawahan kisah cinta segitiga Raden

Kudamerta dan alur bawahan Pradhabasu berhenti pada titik yang sama.

Meskipun keempat alur yang ada dalam novel ini menceritakan hal

yang berbeda, pada kenyataannya keempatnya disatukan dalam satu

tema besar, yakni perebutan kekuasaan. Pada alur bawahan pertama,

masalah rumah tangga Raden Kudamerta dengan kedua istrinya dipicu

oleh keserakahan Rangsang Kumuda untuk mendapatkan takhta. Demi

tujuan itulah, ikatan pernikahan yang seharusnya dijalani dengan syahdu

dan menjadi sebuah fase kehidupan yang membahagiakan berubah

menjadi neraka. Pelecehan terhadap anak raja pun tak terhidarkan, Dyah

Wiyat ditempatkan menjadi istri kedua.

Hal yang sama juga terjadi pada kedua alur bawahan lainnya. Alur

bawahan yang menceritakan tentang Pradhabasu dengan Gagak Bongol

juga dibangun atas dasar tema besar ini. Keduanya dipertemukan pada

saat genting, yakni Raden Kudamerta diserang dengan pisau lempar

yang pelempar pisau tersebut diringkus oleh Pradhabasu. Dari peristiwa

itulah, kedua sahabat yang pernah terluka karena masa lalu akhirnya

mengungkapkan perasaan masing-masing.

Alur bawahan terakhir yang agak berbeda dari lainnya. Seperti yang

telah dijelaskan sebelumnya, hadir atau tidaknya alur ini tidak

berpengaruh terhadap jalannya ketiga alur lainnya. Hanya saja, tema

besar perebutan kekuasaan disampaikan pengarang dengan cara lain

pada alur ini. Dalam novel diceritakan bahwa Ra Kembar sangat ingin

menjadi patih Majapahit sedangkan posisi tersebut sudah direncanakan

akan diduduki oleh Gajah Mada. Untuk keperluan itulah, Ra Kembar

memutuskan untuk menyerbu pemberontakan di Karang Watu meskipun

tanpa memperhitungkan akibatnya. Keinginannya untuk menjadi patih

itulah yang menyebabkannya menjadi prajurit yang gelap mata dan tidak

sadar akan kemampuan dirinya.

Page 99: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

88

7. Amanat

Pesan fundamental yang ingin disampaikan oleh LKH adalah jangan sampai

kekuasaan, yang ternyata menyimpan banyak beban, menggelapkan mata hati.

Tak pandang kawan, saudara, bahkan lawan, orang yang sudah mabuk oleh

kekuasaan akan mampu melakukan apapun untuk mendapatkan kekuasaan itu.

Hal ini disimbolkan dengan baik oleh dua orang di balik masing-masing suami

sekar kedaton, Panji Wiradapa dan Pakering Suramurda. Keduanya adalah

interpretasi dari banyak golongan atau pihak yang menganggap kedudukan dan

harta adalah segalanya. Mereka menghalalkan segala cara bahkan menghilangkan

nyawa orang adalah jalan tercepat untuk menuju takhta.

Orang-orang yang haus kekuasaan harusnya bisa berpikir bahwa semakin

tinggi jabatan yang dipegang akan semakin besar pula amanatnya, bukan hanya

sekedar takhta, harta, dan kehormatan saja yang akan diterima. Hanya orang-

orang yang memiliki kecakapan luar biasa yang mampu mengemban tugas

sebagai pemimpin. Gayatri, seorang biksuni yang memiliki ketajaman hati dan

mampu memimpin negara pun sebenarnya enggan menjadi penguasa karena ia

tahu pasti risiko serta tanggungan berat yang mutlak menjadi milik sang

penguasa.

Lebih dari itu, ketegangan antarelite politik selalu saja menimbulkan korban.

Korban tidak hanya timbul dari kalangan mereka, tetapi juga dari rakyat biaya

yang tidak tahu menahu soal politik. Dalam novel ini, yang menjadi korban tidak

langsung dari politik adalah anak dan istri pertama Raden Kudamerta. Keduanya

dijadikan sandera oleh Rangsang Kumuda agar Raden Kudamerta dapat dengan

mudah menjadi raja Majapahit.

Lebih jauh lagi, jangan takut untuk mengambil sikap sepahit apapun

risikonya. Hal ini dicerminkan oleh Raden Kudamerta yang terlalu takut

mengambil sikap saat ia tahu dirinya akan dijodohkan dengan Sekar Kedaton.

Kalau saja ia dulu berani menolak perjodohan itu, ia tak akan kehilangan istri dan

anak yang sangat ia cintai. Namun, di saat-saat genting yang akan menentukan

Page 100: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

89

arah hidup Dyah Menur, Dyah Wiyat, dan dirinya sendiri, ia mampu bersikap. Ia

memilih hidup sebagai suami Sekar Kedaton dengan banyak pertimbangan.

Page 101: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

90

C. Analisis Penggunaan Sarana Retorika dalam Alur

1. Analisis Penggunaan Sarana Retorika Alur Utama

Dalam sebuah novel yang memiliki jumlah halaman yang cukup banyak, dapat

dipastikan akan selalu terdapat lebih dari satu alur. Namun, yang paling diutamakan

dalam sebuah cerita adalah alur utama atau kernel. Kernel inilah yang akan membawa

pembaca kepada tema dan amanat utama yang ingin disampaikan pengarang. Di sisi

lain, kehadiran alur bawahan atau satelit hanya digunakan untuk menambah variasi

cerita saja. Tentunya, dalam sebuah penyajian hal penting dengan hal yang biasa saja

tidak akan sama. Hal ini dikarenakan agar pembaca dapat menyerap maknanya

dengan lebih mudah.

1.1. Pengenalan

Berita itu masih simpang siur karena belum ada keterangan

resmi yang diberikan pihak istana. Semua masih kabur. Kawula

yang berkerumun di alun-alun, mereka yang berteduh di bawah

rindangnya pohon bramastana, pohon tanjung, dan kesara yang

berjajar di sepanjang jalan, atau yang sambil duduk di sudut alun-

alun sibuk menduga dan dengan sabar tetap menunggu bagaimana

kabar terakhir raja mereka.

Awalnya tersebar berita Kalagemet Sri Jayanegara jatuh sakit,

dengan jenis sakit yang tidak luar biasa. Kasak-kusuk yang

berkembang, sakit yang diderita Jayanegara hanya berupa bisul.

Namun, bisul itu mengeram di pantat Sang Prabu sehingga sangat

menganggu duduk dan tidurnya.1

1Langit Kresna Hariadi, Gajah Mada: Takhta dan Angkara, (Solo: Tiga Serangkai,

2012), h. 8-9.

Page 102: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

91

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa

1 Namun, bisul itu mengeram di pantat Sang Prabu sehingga

sangat mengganggu duduk dan tidurnya.

Antonomasia

2 Namun, bisul itu mengeram di pantat Sang Prabu sehingga

sangat mengganggu duduk dan tidurnya.

Personifikasi

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat

1 Berita itu masing simpang siur karena belum ada keterangan

resmi yang diberikan istana.

Kendur

2 Awalnya tersebar berita Kalagemet Sri Jayanegara jatuh sakit,

dengan jenis sakit yang tidak luar biasa.

Klimaks

3

Kasak-kusuk yang berkembang, sakit yang diderita

Jayanegara hanya berupa bisul.

4 Namun, bisul itu mengeram di pantat Sang Prabu sehingga

sangat menganggu duduk dan tidurnya.

1.2. Konflik

Perhatian segenap yang hadir di ruangan itu segera beralih

kepada Jayanegara. Racun yang diminum mulai menjalar. Gajah

Mada layak merasa cemas karena ia mengenal dengan baik siapa

Rakrian Tanca, bagaimana kemampuan yang dimiliki tabib berusia

amat muda itu. Rakrian Tanca gemar bermain-main dengan racun

paling mematikan, racun warangan yang dibalurkan ke keris dan

ujung tombak maupun trisula, yang setiap goresan dijamin akan

menjadi pembuka pintu gerbang kematian. Ra Tanca juga gemar

bermain-main dengan racun berbagai jenis ular mematikan, mulai

dari jenis bandotan sampai weling. Ra Tanca sendiri kebal terhadap

racun-racun itu karena selalu menelan empedunya, sebaliknya tidak

dengan Jayanegara.

Page 103: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

92

Racun yang diminumkan kepada Raja Majapahit itu tentu

merupakan jaminan, korban tak mungkin selamat. Namun, Gajah

Mada tak mau menyerah. Meski tak seperti Ra Tanca yang amat

menguasai ilmu pegobatan, walau sedikit Gajah Mada memahami

bagian-bagian paling sederhana, seperti tindakan apa yang harus

dilakukan untuk menawarkan racun yang terlanjur masuk ke tubuh.

Perintah diberikan kepada seorang prajurit untuk segera mencari

kelapa muda dari jenis degan ijo yang diyakini mampu

menawarkan berbagai jenis racun dengan menyerapnya.

Mayat Ra Tanca yang digotong itulah yang dengan segera

mengagetkan para kawula yang melakukan pepe di alun-alun.

Sejak petang hingga petang ratusan orang berkumpul, bersama-

sama mendoakan agar raja muda anak Raden Wijaya itu segera

sembuh. Akan tetapi, yang tidak terduga terjadi. Arah angin

mendadak berubah.

“Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya seorang prajurit yang belum

mengetahui duduk persoalannya.

“Ra Tanca diminta mengobati Baginda, tetapi Ra Tanca malah

meracun Sang Prabu,” jawab prajurit yang lain.

“Ha?” beberapa prajurit yang menggerombol terkejut.

Mayat Ra Tanca yang digotong keluar memang menimbulkan

kecemasan, yang tak ubahnya penyakit lalu menular, menular, dan

menular, menulari siapa saja, menular dari prajurit ke prajurit,

menular ke para abdi dalem istana, menular ke beberapa orang

yang bergerombol tak jauh dari Purawaktra dan dengan segera

berubah menjadi ledakan yang mata menggelisahkan siapa pun.

Berita mengejutkan itu dengan segera menjalar ke sudut-sudut

kotaraja. Nyaris semua kawula yang tinggal di balik dinding batas

kotaraja terhenyak. Kawula yang tinggal di luar dinding batas

kotaraja ada juga yang mnedengar berita itu.2

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa

1 Racun yang diminum mulai menjalar. Personifikasi

2 Ra Tanca gemar bermain-main dengan racun paling

mematikan,

Metafora

2Ibid., h. 11-12.

Page 104: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

93

3 Racun warangan yang dibalurkan ke keris dan ujung tombak

maupun trisula,

Metonimia

4 Yang setiap goresan dijamin akan menjadi pembuka pintu

gerbang kematian.

Personifikasi

5 Racun yang diminumkan kepada Raja Majapahit itu tentu

merupakan jaminan,

Antonomasia

6 Korban tak mungkin selamat. Pleonasme

7 Arah angin mendadak berubah. Metafora

8 Tanya seorang prajurit yang belum mengetahui duduk

persoalannya.

Pleonasme

9 Ra Tanca diminta mengobati Baginda, tetapi Ra Tanca malah

meracuni Sang Prabu.

Antonomasia

10 Berita mengejutkan itu dengan segera menjalar ke sudut-sudut

kotaraja.

Personifikasi

11 Berita mengejutkan itu dengan segera menjalar ke sudut-sudut

kotaraja.

Pars pro toto

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat

1 Mayat Ra Tanca yang digotong keluar memang menimbulkan

kecemasan, yang tak ubahnya penyakit lalu menular, menular

dan menular, menulari siapa saja, menular dari prajurit ke

prajurit, menular ke para abdi dalem istana, menular ke

beberapa orang yang bergerombol tak jauh dari Purawaktra

dan dengan segera berubah menjadi ledakan yang mata

menggelisahkan siapa pun.

Epizeuksis

Page 105: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

94

2 Gajah Mada layak merasa cemas karena ia mengenal dengan

baik siapa Rakrian Tanca.

Kendur

3 Ra Tanca sendiri kebal terhadap racun-racun itu karena selalu

menelan empedunya.

Kendur

4 Meski tak seperti Ra Tanca yang amat menguasai ilmu

pengobatan, walau sedikit Gajah Mada memahami bagian-

bagian paling sederhana, seperti tindakan apa yang harus

dilakukan untuk menawarkan racun yang terlanjur masuk ke

tubuh.

Periodik

5 Sejak petang hingga petang ratusan orang berkumpul,

bersama-sama mendoakan agar raja muda anak Raden Wijaya

itu segera sembuh.

Periodik

1.3. Sekuen Klimaks

Mengombak wajah Raden Kudamerta memerhatikan mayat

yang masih bisa dikenalinya dari sisa pakaian dan pahatan timang

yang dikenakan orang yang tubuhnya terbakar hangus. Mayat itu

juga bisa dikenali dari terompah kaki yang melekat. Raden

Kudamerta yang tangannya menggenggam terasa dingin, namun

panas di dadanya apabila menyambar daun-daun kering maka akan

terbakar hangus daun-daun kering itu. Andai telur mentah berada di

dalam genggaman tangannya maka akan matang mengeras telur itu.

“Siapa yang melakukan perbuatan ini, Paman Panji

Wiradapa?” gumamnya. Isi dadanya membuncah menggelegak dan

amat butuh penyaluran.

Namun, Panji Wiradapa telah terlanjur beku menjadi mayat.

Panji Wiradapa tak mungkin menjawab pertanyaan itu. Sekujur

tubuhnya yang menjadi sumber bau daging terbakar merangsang

keinginan ingin muntah.

Raden Kudamerta Breng Pamotan yang baru saja mendapat

anugerah gelar Bre Wengker Wijaya Rajasa Hyang Parameswara

mengedarkan pandangan matanya ke arah semua orang yang

menggerombol melingkar mengelilingi mayat pamannya, seolah

bertanya apa yang telah terjadi. Perapian yang porak-poranda dan

keadaan mayat yang hangus dengan lugas bercerita betapa kejam

Page 106: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

95

orang yang melakukan pembunuhan itu. Panji Wiradapa dilempar

ke dalam api yang berkobar dalam keadaan masih hidup. Panji

Wiradapa yang meronta kesakitan menyebabkan perapian porak-

poranda. Api benar-benar telah menghanguskan tubuhnya

menyebabkan seorang prajurit benar-benar muntah. Raden

Kudamerta melirik prajurit itu yang dengan segera bergegas

menjauh.3

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa

1 Mengombak wajah Raden Kudamerta memerhatikan mayat

yang masih bisa dikenalinya dari sisa pakaian dan pahatan

timang yang dikenakan orang yang tubuhnya terbakar

hangus.

Hiperbola

2 Raden Kudamerta yang tangannya menggenggam terasa

dingin, namun panas di dadanya apabila menyambar daun-

daun kering maka akan terbakar hangus daun-daun kering

itu.

Hiperbola

3 Raden Kudamerta yang tangannya menggenggam terasa

dingin, namun panas di dadanya apabila menyambar daun-

daun kering maka akan terbakar hangus daun-daun kering

itu.

Paradoks

4 Andai telur mentah berada di dalam genggaman tangannya

maka akan matang mengeras telur itu.

Hiperbola

5 Isi dadanya membuncah menggelegak dan amat butuh

penyaluran.

Hiperbola

6 Namun, Panji Wiradapa telah terlanjur beku menjadi mayat. Metafora

7 Namun, Panji Wiradapa telah terlanjur beku menjadi mayat. Pleonasme

8 Raden Kudamerta Breng Pamotan yang baru saja mendapat Simile

3Ibid., h. 85-86

Page 107: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

96

anugerah gelar Bre Wengker Wijaya Rajasa Hyang

Parameswara mengedarkan pandangan matanya ke arah

semua orang yang menggerombol melingkar mengelilingi

mayat pamannya, seolah bertanya apa yang telah terjadi.

9 Perapian yang porak-poranda dan keadaan mayat yang

hangus dengan lugas bercerita betapa kejam orang yang

melakukan pembunuhan itu.

Personifikasi

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat

1 Mengombak wajah Raden Kudamerta memerhatikan mayat

yang masih bisa dikenalinya dari sisa pakaian dan pahatan

timang yang dikenakan orang yang tubuhnya terbakar

hangus.

Inversi

1.4.Klimaks

Pada saat yang demikian itulah, Rubaya merasa telah tiba

waktunya. Rubaya beringsut dengan tidak menyolok untuk

mencapai jarak yang cukup dengan sasarannya. Sebagaimana

perintah yang diterima dari Rangsang Kumuda, ia harus bisa

menenggelamkan pisau terbangnya ke dada Raden Kudamerta. Di

latihan yang dilakukannya tiap hari, Rubaya tak pernah meleset.

Apabila dada yang dijadikan sasaran maka dadanya pasti kena.

Demikian pula apabila tenggorokan yang dijadikan sasaran maka

tenggorokannya pasti bisa digapai. Namun, untuk memastikan

sasaran kali ini tidak akan meleset Rubaya merasa perlu bergerak

lebih dekat.

“Aku lempar pisauku dan secepatnya aku membuat kekacauan

supaya bisa lolos dari tempat ini,” kata hati Rubaya atas nama

rencana yang akan dilakukan.

Macan Liwung yang bertanggung jawab atas keselamatan

Raden Kudamerta dan istrinya mulai merasakan bau bahaya yang

akan mendekat. Karenanya Bhayangkara Macan Liwung berada

Page 108: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

97

pada puncak kewaspadaannya. Demikian pula dengan Gajah

Geneng, matanya melotot nyaris sejengkal. Pesan yang diberikan

Gajah Mada yang disalurkan melalui Senopati Gajah Enggon

dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Akan tetapi, rupanya ada pihak yang ikut bermain-main pula.

Pihak yang merasa harus bertindak atas nama panggilan jiwa.

Dengan penampilan yang sederhana, orang itu tak ubahnya orang

kebanyakan. Padahal, ia mempunyai peran dan jasa yang besar

ketika Majapahit diguncang huru-hara sembilan tahun yang silam.

Orang yang amat terluka hatinya itu memilih mengundurkan diri

dari kehidupan pengamanan istana. Di sebuah rumah sederhana di

luar dinding kotaraja ia bertani. Kini, karena sebuah alasan

menyebabkan orang itu harus ikut campur. Dengan tak menarik

perhatian, orang itu terus berjalan yang ada kalanya harus melawan

arus.

Pusat perhatian tertuju pada api yang makin berkobar dan kian

menjadi, melalap tubuh Sri Jayanegara. Ledakan-ledakan terjadi

karena di antara kayu yang digunakan terdapat ruas bambu kering.

Panas menyebabkan udara dalam batang bambu mekar yang ketika

makin memuai berkesanggupan memecahkan batang bambu itu

dengan ledakan yang cukup keras. Manakala ledakan keras itu

pertama kali terjadi memang mengagetkan siapa pun, namun

ledakan-ledakan berikutnya justru ditunggu-tunggu kehadirannya.

Saat semua perhatian sedang terpusat macam itulah Rubaya

merasa telah tiba waktunya. Dengan memutar pergelangan

tangannya, pisau yang semula tersimpan di balik lengan bajunya

melorot turun dengan gagang menempatkan diri di telapak tangan.

Rubaya mencari kesempatan. Dan, saat ledakan batang bambu yang

terbakar terulang kembali, dengan perhitungan cermat ia

mempersiapkan diri mengayunkan pisaunya.

Dengan ayunan kuat ia melempar. Namun, pada saat yang

bersamaan, orang tak dikenal, orang yang merasa terpanggil

hatinya karena kata hati nurani, orang itu yang terus menempel

segera melompat dan menerjang. Dengan hantaman tangannya ia

berusaha mencegah ayunan pisau, tetapi orang itu sedikit terlambat.

Pisau itu telah terlanjur melesat.

Raden Kudamerta yang menjadi sasaran bidik terhenyak

manakala merasakan sakit yang datang dengan tiba-tiba. Perih yang

bukan kepalang terasa di dada kirinya, yang ketika dengan cermat

ia perhatikan berasal dari sebilah pisau yang tertancap di dadanya.

Terduduk Raden Kudamerta menahan nyeri, menyebabkan

Dyah Wiyat terkejut dan mendekapnya dengan segala

kebingungan. Dengan trengginas Macan Liwung yang merasa

Page 109: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

98

kecolongan mencari-cari dari mana asal pisau yang melesat itu.

Bhayangkara Macan Liwung segera meloncat ke sumber

kegaduhan yang terjadi di arah kanan.4

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa

1 Sebagaimana perintah yang diterima dari Rangsang

Kumuda, ia harus bisa menenggelamkan pisau terbangnya

ke dada Raden Kudamerta.

Paradoks

2 Macan Liwung yang bertanggung jawab atas keselamatan

Raden Kudamerta dan istrinya mulai merasakan bau bahaya

yang akan mendekat.

Metafora

3 Demikian pula dengan Gajah Geneng, matanya melotot

nyaris sejengkal.

Hiperbola

4 Akan tetapi, rupanya ada pihak yang ikut bermain-main

pula.

Eufimisme

5 Orang yang amat terluka hatinya itu memilih mengundurkan

diri dari kehidupan pengaman istana.

Hiperbola

6 Orang yang amat terluka hatinya itu memilih mengundurkan

diri dari kehidupan pengaman istana.

Eufimisme

7 Pusat perhatian tertuju pada api yang makin berkobar dan

kian menjadi, melalap tubuh Sri Jayanegara.

Personifikasi

8 Perih yang bukan kepalang terasa di dada kirinya, yang

ketika dengan cermat ia perhatikan berasal dari sebilah pisau

yang tertancap di dadanya.

Hiperbola

4Ibid., h. 158-159.

Page 110: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

99

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat

1 Pada saat yang demikian itulah, Rubaya merasa telah tiba

waktunya.

Periodik

2 Rubaya beringsut dengan tidak menyolok untuk mencapai

jarak yang cukup dengan sasarannya.

Kendur

3 Sebagaimana perintah yang diterima dari Rangsang

Kumuda, ia harus bisa menenggelamkan pisau terbangnya

ke dada Raden Kudamerta.

Periodik

4 Di latihan yang dilakukannya tiap hari, Rubaya tak pernah

meleset.

Periodik

5 Apabila dada yang dijadikan sasaran maka dadanya pasti

kena.

Periodik

6 Demikian pula apabila tenggorokan yang dijadikan sasaran

maka tenggorokannya pasti bisa digapai.

Periodik

7 Namun, untuk memastikan sasaran kali ini tidak akan

meleset Rubaya merasa pelu bergerak lebih dekat.

Periodik

8 Padahal, ia mempunyai peran dan jasa yang besar ketika

Majapahit diguncang huru-hara sembilan tahun yang silam.

Berimbang

9 Dengan tak menarik perhatian, orang itu terus berjalan yang

ada kalanya harus melawan arus.

Periodik

10 Ledakan-ledakan terjadi karena di antara kayu yang

digunakan terdapat ruas bambu kering.

Kendur

11 Manakala ledakan keras itu pertama kali terjadi memang

mengagetkan siapa pun, namun ledakan-ledakan berikutnya

justru ditunggu-tunggu kehadirannya.

Berimbang

12 Saat semua perhatian sedang terpusat macam itulah Rubaya Periodik

Page 111: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

100

merasa telah tiba waktunya.

13 Dengan memutar pergelangan tangannya, pisau yang

semula tersimpan di balik lengan bajunya melorot turun

dengan gagang menempatkan diri di telapak tangan.

Periodik

14 Dan, saat ledakan batang bambu yang terbakar terulang

kembali, dengan perhitungan cermat ia mempersiapkan diri

mengayunkan pisaunya.

Periodik

15 Dengan hantaman tangannya ia berusaha mencegah ayunan

pisau, tetapi orang itu sedikit terlambat. Pisau itu telah

terlanjur melesat.

Berimbang

16 Raden Kudamerta yang menjadi sasaran bidik terhenyak

manakala merasakan sakit yang datang dengan tiba-tiba.

Kendur

17 Perih yang bukan kepalang terasa di dada kirinya, yang

ketika dengan cermat ia perhatikan berasal dari sebilah

pisau yang tertancap di dadanya.

Periodik

18 Terduduk Raden Kudamerta menahan nyeri, menyebabkan

Dyah Wiyat terkejut dan mendekapnya dengan segala

kebingungan.

Invers

19 Terduduk Raden Kudamerta menahan nyeri, menyebabkan

Dyah Wiyat terkejut dan mendekapnya dengan segala

kebingungan.

Berimbang

20 Dengan ayunan kuat ia melempar. Periodik

1.5. Sekuen Leraian

“Silakan bertanya, aku akan menjawab sejauh yang aku tahu.”

Gajah Mada dan Gajah Enggon saling melirik.

“Sejak kapan Raden berhubungan dengan Brama Ratbumi?’

amat langsung Gajah Mada menohok dengan pertanyaannya.

Page 112: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

101

Dengan cermat dan saksama Gajah Mada berusaha menebak

perubahan wajah Raden Kudamerta. Gajah Mada berharap

pertanyaan itu akan menyebabkan menantu Ratu Gayatri itu

terkejut dan langsung berubah pucat. Akan tetapi, keinginan Patih

Daha itu tidak menjadi kenyataan. Raden Kudamerta memang

kaget, tetapi perubahan raut wajah mewakili rasa herannya karena

nama itu belum pernah dikenalnya.

“Siapa?” balas Raden Kudamerta.

“Brama Ratbumi, Raden,” Gajah Enggon membantu

memberinya tekanan.

“Kalian pikir aku mengenal nama itu?” balas Raden

Kudamerta. “Aku tidak tahu siapa nama yang kalian maksud.”

Gajah Mada menarik kesimpulan, agaknya Raden Kudamerta

tidak mengenal nama Brama Ratbumi Rajasa. Bila yang diajukan

adalah nama lain yang digunakan Ratbumi, mungkin Raden

Kudamerta langsung mengerti siapa yang dimaksud.

“Kalian datang menemuiku untuk menanyakan nama yang

belum aku kenal. Siapa Brama Ratbumi?”

“Brama Ratbumi Rajasa adalah nama lain dari orang yang

amat Raden kenal. Ia mempunyai nama lain Panji Wiradapa,”

Gajah Mada mempertegas.

Kali ini Raden Kudamerta benar-benar kaget. Perubahan raut

mukanya terlihat jelas kalau ia terkejut. Tentu nama Panji

Wiradapa dikenalnya dengan baik. Kematian Panji Wiradapa itu

bahkan memunculkan dendam yang tidak tahu ke mana ia harus

menyalurkan. Belum lagi satu masalah itu terurai, tiba-tiba Gajah

Mada datang dengan membawa keterangan yang belum dipahami

sepenuhnya. Orang yang ditempatkannya sebagai paman itu

ternyata memiliki nama Brama Ratbumi.

“Paman Panji menyembunyikan mana itu?” Raden Kudamerta

bertanya.

“Ya, nama aslinya Brama Ratbumi,” jawab Gajah Mada.

Raden Kudamerta merasa membutuhkan waktu beberapa saat

lamanya untuk memahami kenyataan yang mengagetkan itu.

“Lalu, apa pula yang disembunyikan Paman Panji di balik

nama itu?” tambah Raden Kudamerta.

“Jadi, Raden Kudamerta belum pernah mendengarnya?” Gajah

Mada kembali menegas.

Raden Kudamerta menggeleng pendek, namun tegas.

“Raden masih ingat sepak terjang Mahapati?“

“Ramapati atau Mahapati, semua orang tak mungkin

melupakan. Ia mengadu domba mulai dari Tuban hingga

Lumajang, menjadi penyebab jatuhnya korban Ranggalawe, Sora

Page 113: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

102

sampai Nambi. Mulut Mahapati sangat beracun. Itu yang aku ingat

dari sosok Mahapati. Sedemikian parah racunnya sampai

berkemampuan menimbulkan perang,“ jawab Raden Kudamerta.

Sebenarnya layak apabila Raden Kudamera tidak pernah

mendengar sepak terjang Mahapati atau Ramapati karena Raden

Kudamerta datang ke Majapahit belum terlalu lama sementara

perang yang terjadi antara Majapahit dengan Lumajang sudah

berjalan lama. Bahkan, telah berada di wilayah belasan tahun yang

lalu. Akan tetapi, ternyata Raden Kudamerta memiliki pemahaman

yang baik terhadap peristiwa itu. Maka terasa sangat aneh bila

Raden Kudamerta tidak sadar sedang berimpitan pada jarak yang

amat dekat dengan salah satu pelaku yang mendorong terjadinya

perang antara Majapahit dan Lumajang itu. Demikian dekatnya

karena Panji Wirapada adalah Ratbumi.

“Apa kaitan Mahapati dengan Ratbumi?” Raden Kudameta

menekan.

“Panji Wiradapa adalah Brama Ratbumi, sedang Brama

Ratbumi adalah tangan kanan Mahapati, orang kedua setelah

Mahapati atau Ramapati yang paling dicari karena sepak terjangnya

yang tak bisa diampuni,” Gajah Enggon menjawab.5

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa

1 Akan tetapi, keinginan Patih Daha itu tidak menjadi

kenyataan.

Antonomasia

2 “Kalian pikir aku mengenal nama itu?” balas Raden

Kudamerta.

Retoris

3 Mulut Mahapati sangat beracun. Metafora

5Ibid., h. 255-257.

Page 114: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

103

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat

1 Raden Kudamerta memang kaget, tetapi perubahan raut

wajah mewakili rasa herannya karena nama itu belum

pernah dikenalnya.

Berimbang

2 Bila yang diajukan adalah nama lain yang digunakan

Ratbumi, mungkin Raden Kudamerta langsung mengerti

siapa yang dimaksud.

Periodik

3 Belum lagi satu masalah itu terurai, tiba-tiba Gajah Mada

datang dengan membawa keterangan yang belum dipahami

sepenuhnya.

Periodik

4 “Ramapati atau Mahapati, semua orang tak mungkin

melupakan.

Klimaks

5 Ia mengadu domba mulai dari Tuban hingga Lumajang,

menjadi penyebab jatuhnya korban Ranggalawe, Sora

sampai Nambi.

6 Mulut Mahapati sangat beracun.

7 Itu yang aku ingat dari sosok Mahapati.

8 Sedemikian parah racunnya sampai berkemampuan

menimbulkan perang,“ jawab Raden Kudamerta.

9 “Panji Wiradapa adalah Brama Ratbumi, sedang Brama

Ratbumi adalah tangan kanan Mahapati, orang kedua

setelah Mahapati atau Ramapati yang paling dicari karena

sepak terjangnya yang tak bisa diampuni,” Gajah Enggon

menjawab.

Berimbang

Page 115: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

104

1.6. Leraian

“Kamu sudah tua, Ki Pakering,” kata Gajah Mada datar.

“Pikirkan dahulu sebelum memutuskan melarikan diri. Bertanyalah

kepada nafasmu, apakah masih punya kemampuan untuk

mendukung niatmu.”

Apa yang dikatakan Gajah Mada benar, Pakering Suramurda

tak mungkin bisa meloloskan diri. Menyerah mungkin pilihan

terpahit yang harus diambil ketika tidak punya pilihan lain, atau

jika pilihan lain itu ada adalah menelan pilis racun warangan yang

disimpan diikat pinggang. Satu butir pilis berisi warangan itu

ditelan maka akan membebaskannya dari Gajah Mada. Akan tetapi,

dengan pasti mengantarkan dirinya ke pintu gerbang kematian.

Namun, Pakering Suramurda tak perlu mengambil pilihan itu.

Suramurda tiba-tiba terhenyak dan sedikit terlambat menyadari apa

yang menimpanya. Ketika tangan Pakering Suramura meraba

dadanya, ada gagang anak panah menancap tepat di belahan

dadanya.6

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa

1 Bertanyalah kepada nafasmu, apakah masih punya

kemampuan untuk mendukung niatmu.”

Retoris

2 Bertanyalah kepada nafasmu, apakah masih punya

kemampuan untuk mendukung niatmu.”

Personifikasi

3 Bertanyalah kepada nafasmu, apakah masih punya

kemampuan untuk mendukung niatmu.”

Sinisme

4 Menyerah mungkin pilihan terpahit yang harus diambil. Hiperbola

5 Satu butir pilis berisi warangan itu ditelan maka akan

membebaskannya dari Gajah Mada.

Personifikasi

6 Akan tetapi, dengan pasti mengantarkan dirinya ke pintu

gerbang kematian.

Personifikasi

7 Ketika tangan Pakering Suramurda meraba dadanya, ada Perifrasis

6Ibid., h. 443.

Page 116: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

105

gagang anak panah menancap tepat di belahan dadanya.

8 Akan tetapi, dengan pasti mengantarkan dirinya ke pintu

gerbang kematian.

Perifrasis

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat

1 “Pikirkan dahulu sebelum memutuskan melarikan diri.” Kendur

2 Apa yang dikatakan Gajah Mada benar, Pakering

Suramurda tak mungkin bisa meloloskan diri.

Berimbang

3 Menyerah mungkin pilihan terpahit yang harus diambil

ketika tidak punya pilihan lain.

Kendur

Berimbang

4 Menyerah mungkin pilihan terpahit yang harus diambil

ketika tidak punya pilihan lain, atau jika pilihan lain itu ada

adalah menelan pilis racun warangan yang disimpan di ikat

pinggang.

5 Ketika tangan Pakering Suramurda meraba dadanya, ada

gagang anak panah menancap tepat di belahan dadanya.

Periodik

1.7. Penyelesaian

Gajah Enggon menyembah.

“Hamba, Tuan Putri,” jawab Gajah Enggon. “Orang ini

menggunakan nama Panji Wiradapa yang bukan nama sebenarnya.

Karena di balik nama Panji Wiradapa ada nama Brama Ratbumi

yang lenyap lebih dari sepuluh tahun bersamaan sejak Mahapati

dihukum mati. Panji Wiradapa juga menggunakan nama lain

Rangsang Kumuda. Ini orangnya, dalang semua kekacauan itu.”

Meski merupakan jawaban, namun jawaban itu masih

menyisakan pertanyaan yang sulit untuk dipahami.

“Jika Panji Wiradapa adalah pendukung Raden Kudamerta,”

kali ini Mapatih Arya Tadah yang bangkit memecah keheningan,

“mengapa ia mematikan diri sendiri, mengapa ia membunuhi

Page 117: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

106

pendukung Raden Kudamerta, bahkan merencanakan membunuh

Raden Kudamerta melalui lemparan pisau itu.”

Pertanyaan Mahapatih Mangkubumi Arya Tadah itulah

sebenarnya yang akan dilontarkan Raden Kudamerta. Sungguh ulah

pamannya itu tak bisa dinalar dan sulit diterima akal. Raden

Kudamerta meraba dada kirinya yang masih terasa nyeri.

“Kenapa, Paman?” Raden Kudamerta menekan. “Kenapa

Paman melakukan semua itu? Kenapa paman bahkan

merencanakan pembunuhan atas diriku? Untuk apa Paman

melakukan semua itu?”

Panji Wiradapa tidak menjawab dan tidak berniat menjawab.

Adalah Raden Cakradara yang berdiri bersebelahan dengan isrinya

merasa ulu hatinya nyeri sekali. Kini terbukti bukan pamannya

yang bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan itu. Meski

Pakering Suramurda memang menyimpan rencana jahat, agaknya

semua rencana itu belum sempat dilaksanakan. Nasib buruk justru

menimpa Pakering Suramurda, malam sebelumnya ia mati dihajar

anak panah. Siapa orang yang melepas anak panah it?

Sangat terganggu oleh pertanyaan itu, Raden Cakradara

melepas genggaman tangan istrinya dan bergerak ke depan untuk

bisa melihat lebih dekat wujud penjahat yang merupakan tangan

kanan Ramapati itu.

“Kau bisa menjelaskan, Gajah Enggon?” tanya Gajah Mada.

“Kuwakili Panji Wiradapa untuk menjawab pertanyaan itu,”

Gajah Enggon menjawab. “Apa yang dilakukan Panji Wiradapa

adalah sebuah fitnah untuk merusak nama Raden Cakradara. Satu

per satu orang-orang Raden Kudamerta dibunuh. Orang pertama

yang dimatikan adalah dirinya sendiri. Panji Wiradapa mati adalah

rekayasa dengan mengorbankan orng lain. Orang itu didandani

tidak ubahnya Panji Wiradapa, lalu dibunuh. Disusul oleh kematian

berikutnya dan berikutnya yang semua adalah orang-orang Raden

Kudamerta. Dengan pembunuhan-pembunuhan itu maka semua

orang akan mengarahkan pandangan ke Raden Cakradara, orang ini

berharap terbuka peluang bagi Raden Kudamerta menjadi raja, ia

berharap ia yang akan duduk di dampar kepatihan.”

Raden Kudamerta merasa dadanya sesak, sementara Raden

Cakradara merasa ulu hatinya makin perih. Menjadi korban fitnah

sungguh menyakitkan.

“Tetapi, kenapa Paman Panji Wiradapa berencana

membunuhku?” Raden Kudamerta bertanya langsung kepada Panji

Wiradapa dengan amat kecewa.

Page 118: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

107

Pertanyaan itu rupanya mengusik Panji Wiradapa. Orang itu

berusaha bangkit untuk memberikan jawaban. Gajah Mada

menolong Panji Wiradapa untuk berdiri.

“Aku tidak menyuruh Rubaya untuk membunuhmu, Raden,”

jawabnya. “Aku yakin Rubaya mampu melukaimu tanpa

membunuhmu. Tugas itu yang aku berikan kepada Rubaya. Rubaya

mempunyai kemampuan bidik yang luar biasa. Jika aku minta

untuk hanya melukai dan jangan sampai mengenai jantung, itulah

yang dilakukan. Ia telah melaksanakan tugasnya dengan baik,

hanya sayang ia tertangkap. Agar Rubaya tak banyak bicara,

kubunuh dia.”

Raden Kudamerta remuk. Kegilaan Panji Wiradapa ternyata

bergerak terlalu jauh. Sebaliknya, betapa mendidih isi dada Raden

Cakradara. Dengan napas tersengal Raden Cakradara menempatkan

diri berdiri di depan Panji Wiradapa.

“Dan, kaukah yang semalam membunuh Paman Pakering

Suramurda?”

Pembunuhan yang terjadi atas Pakering Suramurda di Padas

Payung memang membuat Gajah Mada bertanya-tanya, siapa

pelakunya. Gajah Mada ikut menunggu lelaki tua itu menjawab.

Panji Wiradapa tiba-tiba tertawa terkekeh.

“Apa beda antara aku, Panji Wiradapa, dengan Pakering

Suramurda, Raden?” jawab Panji Wiradapa. “Di belakang Raden

Kudamerta ada aku yang berusaha keras menempatkan Raden

Kudamerta untuk mencapai gegayuhannya. Lalu, di belakangmu

ada Pakering Suramurda yang menyimpan cita-cita yang sama

seperti aku. Apa akan kausembunyikan rencana-rencana pamanmu

seolah tak pernah terjadi?”

Raden Cakradara terhenyak. Apa yang disampaikan Panji

Wiradapa itu benar adanya dan tidak mungkin dibantah. Semalam

di Padas Payung, Gajah Mada bahkan telah menyadap pembicaraan

antara dirinya dengan pamannya dengan utuh dan langsung. Patih

Daha telah tahu semuanya.7

7Ibid., h. 49-493.

Page 119: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

108

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa

1 “Hamba, Tuan Putri.” Antonomasia

2 “….. Dalang semua kekacauan itu.” Metafora

3 Kali ini Mapatih Arya Tadah yang bangkit memecah

keheningan

Hiperbola

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat

1 Meski merupakan jawaban, namun jawaban itu masih

menyisakan pertanyaan yang sulit untuk dipahami.

Periodik

2 “Mengapa ia mematikan diri sendiri, mengapa ia

membunuhi pendukung Raden Kudamerta, bahkan

merencanakan membunuh Raden Kudamerta melalui

lemparan pisau itu.”

Klimaks

3 Jika aku minta untuk hanya melukai dan jangan sampai

mengenai jantung, itulah yang dilakukan.

Periodik

4 Meski Pakering Suramurda memang menyimpan rencana

jahat, agaknya semua rencana itu belum sempat

dilaksanakan.

Periodik

5 Nasib buruk justru menimpa Pakering Suramurda, malam

sebelumnya ia mati dihajar anak panah.

Berimbang

6 Apa yang dilakukan Panji Wiradapa adalah sebuah fitnah

untuk merusak nama Raden Cakradara.

Klimaks

7 Satu per satu oang-orang Raden Kudamerta dibunuh.

8 Orang pertama yang dimatikan adalah dirinya sendiri.

Panji Wiradapa mati adalah rekayasa dengan

Page 120: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

109

mengorbankan orang lain.

9 Orang itu didandani tidak ubahnya Panji Wiradapa, lalu

dibunuh.

10 Disusul oleh kematian berikutnya dan berikutnya yang

semua adalah orang-orang Raden Kudamerta.

11 Dengan pembunuhan-pembunuhan itu maka semua orang

akan mengarahkan pandangan ke Raden Cakradara, orang

ini berharap terbuka peluang bagi Raden Kudamerta

menjadi raja, ia berharap ia yang akan duduk di dampar

kepatihan.”

12

Raden Kudamerta merasa dadanya sesak, sementara

Raden Cakradara merasa ulu hatinya makin perih.

Berimbang

13 Ia telah melaksanakan tugasnya dengan baik, hanya

sayang ia tertangkap.

Berimbang

14 “Agar Rubaya tak banyak bicara, kubunuh dia.” Periodik

15 Semalam di Padas Payung, Gajah Mada bahkan telah

menyadap pembicaraan antara dirinya dengan pamannya

dengan utuh dan langsung.

Periodik

Dari pendataan retorika tekstual berupa gaya bahasa dan struktur

kalimat yang ditemukan pada alur utama novel Gajah Mada; Takhta dan

Angkara karya Langit Kresna Hariadi dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut:

1. Tahap Pengenalan

a. Gaya bahasa : 2 kali

b. Struktur Kalimat : 4 kali

Total : 6 kali penggunaan retorika tektual

2. Tahap Konflik

Page 121: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

110

a. Gaya bahasa : 11 kali

b. Struktur Kalimat : 5 kali

Total :16 kali penggunaan retorika tekstual

3. Sekuen Klimaks

a. Gaya bahasa : 9 kali

b. Struktur Kalimat : 1 kali

Total : 10 kali penggunaan retorika tekstual

4. Klimaks

a. Gaya bahasa : 8 kali

b. Struktur kalimat : 20 kali

Total : 28 kali penggunaan retorika tekstual

5. Sekuen Leraian

a. Gaya bahasa : 3 kali

b. Struktur Kalimat : 9 kali

Total : 12 kali penggunaan retorika tekstual

6. Leraian

a. Gaya bahasa : 8 kali

b. Struktur Kalimat : 5 kali

Total : 13 kali penggunaan retorika tekstual

7. Penyelesaian

a. Gaya bahasa : 3 kali

b. Kalimat : 15 kali

Total : 18 kali penggunaan retorika tekstual

Dari perolehan data tersebut dapat diketahui bahwa adegan yang

menggunakan sarana retorika tekstual terbanyak adalah adegan klimaks,

yakni sebesar 28 kali. Lalu disusul oleh adegan penyelesaian dan terbanyak

ketiga adalah bagian konflik.

Page 122: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

111

Seringnya pengarang menggunakan sarana retorika tekstual dalam

adegan ini menunjukkan bahwa adegan klimaks dalam novel ini

membutuhkan gaya penceritaan yang harus berbeda dengan gaya penceritaan

pada adegan lainnya. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan klimaks

merupakan adegan terpenting dalam sebuah kisahan. Seperti yang telah

diketahui bersama, klimaks merupakan titik didih atau titik rumitan yang

ditunggu pembaca lebih dari sekedar menunggu adegan penyelesaian.

Banyak kisahan yang tidak memiliki penyelesaian atau alur yang

menggantung. Hal ini tidak menganggu pembaca, bahkan dengan tidak

hadirnya adegan itu sebuah karya dinilai semakin bagus karena berhasil

membuat pembaca mengembangkan imajinasinya senidri untuk

menghadirkan adegan penyelesaian yang pastinya akan berbeda dengan

pembaca lainnya. Keranekaragaman adegan penyelesaian inilah yang secara

tidak langsung menempatkan pembaca ke dalam sebuah bagian dalam karya

yang tidak bisa dilepaskan, memikirkan bagaimana akhir cerita tersebut.

Namun, bayangkan bila sebuah kisahan tidak memiliki adegan

klimaks. Kisahan tersebut tentu hanya akan diawali oleh adegan pengenalan

dan diakhiri oleh adegan konflik. Tidak ada adegan leraian juga adegan

penyelesaian karena memang tidak ada yang bisa diselesaikan. Tidak ada

kisahan yang tidak memiliki klimaks. Sesederhana apapun kisahan tersebut,

pasti di dalamnya terdapat klimaks sebagai sesuatu yang harus diselesaikan.

Hal ini dikarenakan dengan utuhnya tahapan alur dalam sebuah kisah,

amanat akan dapat diambil oleh pembaca.

Berbicara masalah amanat, tidak hanya cukup pada lengkap atau

tidaknya tahapan alur, tetapi juga akan pada permasalahan bagaimana

adegan-adegan itu disampaikan oleh pengarang dengan tidak mengurangi

maknanya sedikitpun. Proses penulisan inilah yang harus mendapatkan

perhatian lebih dari pengarangnya karena tiap tahap harusnya ditulis dengan

gaya bahasa yang sesuai, khususnya klimaks.

Page 123: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

112

Penulisan adegan klimaks memerlukan banyak keterampilan agar

apa yang ingin disampaikan oleh pengarang bisa dengan mudah dimengerti

oleh pembaca. Jika pada tahap klimaks ini pembaca kehilangan ide atau

tidak bisa menangkap peristiwa apa yang sebenarnya sedang terjadi, maka

pembaca tidak akan bisa menikmati lagi adegan-adegan selanjutnya.

Dalam novel yang berlatarbelakangkan sejarah ini, LKH dengan apik

mengemas klimaks dengan cara menggunakan 28 kali sarana retoika tekstual

yang terdiri atas 8 kali penggunaan gaya bahasa dan 20 kali penggunaan

struktur kalimat yang berbeda-beda.

Gaya bahasa yang digunakan dalam tahap ini adalah gaya bahasa

kiasan yang terdiri atas gaya bahasa metafora, personifikasi dan gaya bahasa

retoris yang terdiri atas gaya bahasa hiperbola, eufimisme, dan paradoks.

LKH mencampurkan penggunaan kedua jenis gaya bahasa ini tentu dengan

alasan. Penggunaan dua gaya bahasa dari jenis kiasan dimaksudkan untuk

membantu pemahaman pembaca terhadap peristiwa yang digambarkan

pengarang. Hal ini dilakukan mengingat peristiwa yang dihadirkan ini

bukanlah sebuah pemandangan yang biasa dilihat pembaca di zaman

sekarang. Personifikasi digunakan untuk menceritakan peristiwa pembakaran

mayat Jayanegara. Tentunya pembakaran jenazah seorang raja berbeda

dengan pembakaran jenazah yang kerap disebut ngaben yang ada di Bali.

dengan bantuan personifikasi inilah, pembaca dapat membayangkan bahwa

peristiwa pembakaran jenazah itu menggunakan api yang cukup besar

melebihi api yang biasa digunakan untuk upacara ngaben pada umumnya.

Juga, penggunakan gaya bahasa metafora dalam konteks cerita kesiagaan

Macan Liwung sebagai pengawal Raden Kudamerta dan Dyah Wiyat

membantu pembaca membayangkan betapa siaganya sikap dan tindakan

prajurit tersebut. Bayangan kesigapan dan kesiagaan Macan Liwung

tentunya akan berbeda dengan membayangkan Paspampres yang juga

bertugas mengawal keluarga presiden. Semua penggunaan gaya bahasa ini

Page 124: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

113

dimaksudkan untuk membantu pembaca membayangkan gambaran umum

mengingat latar belakang novel ini adalah sejarah kerajaan Majapahit yang

masih jauh dari kata modern. Efek penyimpangan makna yang terdapat

dalam gaya bahasa kiasan ini tidak untuk mengaburkan apa yang ingin

dimaksud pengarang, tetapi justru membantu pembaca memahami apa yang

sebenarnya terjadi karena tanpa menggunakan gaya bahasa, cerita yang akan

disampaikan akan terkesan bertele-tele dan berpotensi menimbulkan

kebosanan saat membaca.

Begitu pula penggunaan gaya bahasa lain yang berasal dari jenis

retoris. Gaya bahasa jenis ini digunakan dalam beberapa kalimat dalam

adegan ini untuk menghasilkan efek yang berbeda bila dibandingkan dengan

menggunakan konstruksi biasa. Seperti penggunaan hiperbola dalam konteks

cerita kesiagaan Gajah Geneng yang digambarkan dengan mata yang nyaris

melotot sejengkal. Dari kalimat tersebut penggunaan frasa melotot sejengkal

memberikan efek pemahaman, Gajah Geneng berada pada kondisi kesiagaan

tertinggi dan semua yang ada dalam tempat itu tidak akan luput dari

penglihatannya. Efek yang dihasilkan tidak akan sama bila hanya

menggunakan kalimat biasa, seperti Gajah Geneng sedang sangat siaga. Inti

yang hendak disampaikan memang sama, namun, penggambaran dan kesan

yang dihasilkan dari kedua kalimat tersebut akan jauh berbeda.

Pada intinya, penggunaan kedua jenis gaya bahasa ini ditujukan

untuk menghasilkan efek dan kesan mendalam terhadap peristiwa ini.

Dengan kesan mendalam yang didapatkan pembaca, mereka dengan mudah

menyerap dan mengikuti adegan selanjutnya. Hal yang sama juga terjadi

pada penggunaan struktur kalimat yang beraneka ragam dalam adegan ini.

Tercatat sebanyak lima struktur kalimat yang digunakan LKH dalam

adegan ini. Kelima struktur kalimat tersebut ialah kalimat periodik, kendur,

inversi, kalimat majemuk setara berlawanan biasa, dan kalimat majemuk

Page 125: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

114

bertingkat. Tujuan utama digunakannya kelima jenis kalimat dalam tahap ini

adalah untuk mempertahankan konsentrasi pembaca.

Kalimat inversi digunakan dalam salah satu kalimat pada adegan ini

sebagai upaya menyegarkan pembaca. Peletakkan fungsi predikat yang

mendahului subjek dapat menghilangkan kejenuhan pembaca setelah

membaca struktur kalimat yang hampir senada sebelumnya.

Kalimat periodik ini bertujuan untuk membuat pembaca penasaran

dengan peristiwa yang terjadi. Dengan diletakkannya anak kalimat di awal

kalimat, mampu membuat pembaca penasaran tentang apa yang sebentar lagi

akan terjadi. Begitu pula dengan penggunaan kalimat kendur, meskipun

tidak bertujuan untuk menghadirkan efek ketegangan dan penasaran, kalimat

jenis ini bertujuan untuk membuat pembaca mudah menangkap apa yang

dimaksud pengarang karena bila kalimat ini ditulis dengan konstruksi

periodik, makna yang ingin disampaikan tidak akan tersampaikan dengan

utuh mengingat informasi yang dikandungi oleh kalimat kendur ini cukup

penting bila dibandingkan dengan info dalam kalimat periodik.

Kekayaan penggunaan retorika tekstual yang digunakan untuk

menceritakan adegan klimaks ini sangat membantu pembaca dalam

memahami kisah yang disampaikan. Dengan banyaknya sarana retorika yang

digunakan dalam tahapan ini, pembaca akan merasakan banyak emosi di

dalamnya.

2. Analisa Penggunaan Sarana Retorika Tekstual Alur Tambahan Pertama

Meskipun novel yang mengambil latar belakang sejarah harus mengikuti pakem-

pakem sejarah yang sudah ada, tetap saja masih memberikan celah kepada pengarang

untuk mengembangkan imajinasinya. Begitu pun yang terjadi pada novel sejarah

Gajah Mada; Takhta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi ini. Dalam novel ini,

terdapat tiga alur bawahan yang semuanya rekaan pengarang. Ketiga alur tambahan

Page 126: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

115

ini ditujukan untuk membuat pembaca merasakan ketegangan lain selain pada alur

utama dan juga memberikan sedikit ruang untuk bernafas setelah mengikuti alur

utama. Namun, alur bawahan yang disajikan pengarang juga tak kalah esensinya bila

dibandingkan dengan alur utama. Tetap ada pelajaran yang dapat diambil oleh

pembaca.

Seperti halnya alur bawahan pertama yang menceritakan tentang cinta segitiga

antara Raden Kudamerta dengan kedua istrinya ini. Meskipun ini bukanlah inti cerita

dari novel sejarah ini, tetap saja penyajiannya tidak kalah menarik dari penyajian alur

utama.

1.1. Pengenalan

Dyah Wiyat kaget ketika tangan emban tua itu menyentuh

lengannya. Seketika lenyap terampas segenap lamunannya. Dyah

Wiyat merasa kakinya sangat ringan dan melayang ketika emban

tua itu membawanya melangkah. Bayangan wajah Raden

Kudamerta dan Raden Cakradara bergoyang ketika Dyah Wiyat

melintasinya, tanah tempat kakinya berpijak bergelombang tidak

rata. Emban tua itu terkejut ketika Dyah Wiyat sedikit terhuyung,

tetapi dengan segera menguasai diri.

Apa yang terjadi tidak luput dari pandangan para Ibu Ratu dan

memaksa Ratu Biksuni Gayatri mencuatkan sebelah alisnya,

bahkan Gajah Mada dan Mahapatih Arya Tadah mampu

menangkap kejadian itu dan memerhatikan lebih cermat. Raden

Cakradara yang juga melihat itu berusaha tidak menelusuri lebih

jauh, sementara Raden Kudamerta kebetulan sedang menunduk

lebih jauh sehingga tidak melihat apa yang terjadi. Para Ratu

memerhatikan sikap Dyah Wiyat dengan lebih cermat dan memang

terlihat perbedaan yang tegas antara kakak dan adiknya itu. Sri

Gitarja menampakkan rasa gembiranya dengan jelas, rasa

bahagianya terbaca dengan sangat lugas. Sebaliknya, Dyah Wiyat

berbalikan dengan sikap kakaknya.

Manakala sungkem itu dilakukan di hadapan Ibu Ratu

Tribhuaneswari, Dyah Wiyat tidak mengeluarkan secuil pun kata-

kata, juga tak ada basah air mata. Gadis itu hanya menunduk dan

dengan sangat santun merapatkan dua telapak tangannya dalam

Page 127: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

116

sikap menyembah. Ibu Tribhuaneswari meraih dan memeluknya,

diciumnya kening Sekar Kedaton itu.

“Jalanilah hidupmu,” kata Ibu Ratu tertua. “Jadilah seorang

ratu yang baik untuk rumah tanggamu, semoga Hyang Widdi

memberimu keturunan yang berbakti dan berguna untuk negeri

ini.”

Dyah Wiyat nyaris tidak mengangguk.

“Terima kasih Ibu Ratu,” jawabnya lirih, nyaris tanpa tenaga.

Emban tua yang bertugas menuntun Dyah Wiyat menjalani

acara itu merasa heran. Namun, disimpannya rasa penasaran itu

dalam hati. Bahwa dalam dada Dyah Wiyat sedang ada gumpalan

sesak yang membuncah menggelegak makin terbaca dari sikap

Dyah Wiyat yang hanya diam tak berbicara apa-apa manakala

melakukan sungkem di hadapan Ibu Ratu Narendraduhita dan Ibu

Ratu Pradnya Paramita. Dari raut mukanya terbaca jelas, Dyah

Wiyat sangat tidak senang menjalani perkawinan itu.

Raut muka Dyah Wiyat juga tidak luput dari perhatian Ibu

Ratu Biksuni Rajapatni Gayatri. Bagaimanapun juga ratu termuda

janda mendiang Raden Wijaya itu adalah perempuan yang

melahirkannya, memberikan air susu, melengkapi rasa kasih

sayang yang dilimpahkannya, yang merasa cemas ketika anak itu

sakit dan selalu berharap semoga ketika dewasa kelak akan

menemukan kebahagiaannya. Sebagai ibu, dengan sendirinya Ratu

Gayatri amat mengenali bahasa wajah ataupun bahasa sikap

anaknya. Raut muka Dyah Wiyat yang pucat dan terbebani

merupakan isyarat anaknya sedang menyimpan gumpalan masalah,

hal yang tidak akan luput dari perhatiannya.

Namun, Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa memang tidak

punya pilihan lain dan sebagian diantaranya memang merupakan

kesalahannya sendiri. Mestinya Dyah Wiyat menolak ketika ikatan

perjodohan itu dulu dirancang. Buah dari sikapnya yang demikian

itu kini harus dipetik, perkawinan itu harus dijalani sampai tuntas.

Walau kakinya bagai kehilangan tenaga untuk menopang tegak

tubuhnya, walau mulutnya terkunci kehilangan kekuatan untuk

bicara mengucapkan ikrarnya, Dyah Wiyat tidak mempunyai

pilihan lain selain kecuali harus menerima apa yang disodorkannya

itu.8

8 Ibid., h. 102-103.

Page 128: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

117

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa

1 Seketika lenyap terampas segenap lamunannya. Pleonasme

2 Dyah Wiyat merasa kakinya sangat ringan dan melayang

ketika emban tua itu membawanya melangkah.

Pleonasme

3 Bayangan wajah Raden Kudamerta dan Raden Cakradara

bergoyang ketika Dyah Wiyat melintasinya, tanah tempat

kakinya berpijak bergelombang tidak rata.

Pleonasme

4

Para Ratu memerhatikan sikap Dyah Wiyat dengan lebih

cermat dan memang terlihat perbedaan yang tegas antara

kakak dan adiknya itu

Antomonasia

5 Sri Gitarja menampakkan rasa gembiranya dengan jelas,

rasa bahagianya terbaca dengan sangat lugas.

Tautologi

6 Manakala sungkem itu dilakukan di hadapan Ibu Ratu

Tribhuaneswari, Dyah Wiyat tidak mengeluarkan secuil

pun kata-kata, juga tak ada basah air mata.

Perifrasis

7 Ibu Tribhuaneswari meraih dan memeluknya, diciumnya

kening Sekar Kedaton itu.

Antonomasia

8 “Jadilah seorang ratu yang baik untuk rumah tanggamu” Metafora

9 “Semoga Hyang Widdi memberimu keturunan yang

berbakti dan berguna untuk negeri ini.”

Antonomasia

10 Bahwa dalam dada Dyah Wiyat sedang ada gumpalan

sesak yang membuncah menggelegak makin terbaca dari

sikap Dyah Wiyat yang hanya diam tak berbicara apa-apa

manakala melakukan sungkem di hadapan Ibu Ratu

Narendraduhita dan Ibu Ratu Pradnya Paramita.

Hiperbola

Page 129: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

118

11 Bahwa dalam dada Dyah Wiyat sedang ada gumpalan

sesak yang membuncah menggelegak makin terbaca dari

sikap Dyah Wiyat yang hanya diam tak berbicara apa-apa

manakala melakukan sungkem di hadapan Ibu Ratu

Narendraduhita dan Ibu Ratu Pradnya Paramita.

Pleonasme

12 Raut muka Dyah Wiyat yang pucat dan terbebani

merupakan isyarat anaknya sedang menyimpan gumpalan

masalah, hal yang tidak akan luput dari perhatiaannya.

Hiperbola

13 Buah dari sikapnya yang demikian itu kini harus dipetik,

perkawinan itu harus dijalani sampai tuntas.

Metafora

14 Walau kakinya bagai kehilangan tenaga untuk menopang

tegak tubuhnya,

Simile

15 Walau kakinya bagai kehilangan tenaga untuk menopang

tegak tubuhnya, walau mulutnya terkunci kehilangan

kekuatan untuk bicara mengucapkan ikrarnya, Dyah

Wiyat tidak mempunyai pilihan lain selain kecuali harus

menerima apa yang disodorkannya itu.

Perifrasis

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat

1 Apa yang terjadi tidak luput dari pandangan para Ibu Ratu

dan memaksa Ratu Biksuni Gayatri mencuatkan sebelah

alisnya, bahkan Gajah Mada dan Mahapatih Arya Tadah

mampu menangkap kejadian itu dan memerhatikan lebih

cermat.

Berimbang

2 Raden Cakradara yang juga melihat itu berusaha tidak

menelusuri lebih jauh, sementara Raden Kudamerta

Berimbang

Page 130: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

119

kebetulan sedang menunduk lebih jauh sehingga tidak

melihat apa yang terjadi.

3 Manakala sungkem itu dilakukan di hadapan Ibu Ratu

Tribhuaneswari, Dyah Wiyat tidak mengeluarkan secuil

pun kata-kata, juga tak ada basah air mata.

Periodik

4 Dari raut mukanya terbaca jelas, Dyah Wiyat sangat tidak

senang menjalani perkawinan itu.

Periodik

5 Bagaimanapun juga ratu termuda janda mendiang Raden

Wijaya itu adalah perempuan yang melahirkannya,

memberikan air susu, melengkapi rasa kasih sayang yang

dilimpahkannya, yang merasa cemas ketika anak itu sakit

dan selalu berharap semoga ketika dewasa kelak akan

menemukan kebahagiaannya.

Berimbang

6 Buah dari sikapnya yang demikian itu kini harus dipetik,

perkawinan itu harus dijalani sampai tuntas.

Paralelisme

7 Walau kakinya bagai kehilangan tenaga untuk menopang

tegak tubuhnya, walau mulutnya terkunci kehilangan

kekuatan untuk bicara mengucapkan ikrarnya, Dyah

Wiyat tidak mempunyai pilihan lain selain kecuali harus

menerima apa yang disodorkannya itu.

Anafora

1.2.Konflik

“Boleh tahu siapa nama istrimu itu, Kakang?” tanya Dyah

Wiyat.

Raden Kudamerta sungguh bingung, tak tahu bagaimana cara

menjawab.

“Atau, akan kausembunyikan istrimu itu selamanya dariku?”

Raden Kudamerta menyeringai. Darah yang keluar dari

lukanya itu menyebabkan pakaian yang dikenakannya menjadi

merah, padahal lembaran kain yang dikenakan berwarna putih.

Akan tetapi, Dyah Wiyat tak merasa iba. Dyah Wiyat tidak merasa

Page 131: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

120

terpanggil untuk segera memberikan pertolongan. Rahasia yang

disembunyikan laki-laki itu, rahasia yang kini bukan rahasia lagi,

bahwa ia telah beristri saat mengawininya, sungguh merupakan

pelecehan yang tak terampunkan.

“Aku anak raja,” kata Dyah Wiyat. “Aku bahkan bisa menjadi

ratu di negeri yang besar ini, yang kebesarannya jauh melebihi

kebesaran Pamotan. Aku bisa seperti Ratu Shima yang sanggup

memenggal tangan adiknya yang bersalah. Aku juga bisa

menjatuhkan hukuman mati kepada suamiku sendiri. Aku anak

raja. Aku dikawini oleh seorang lelaki yang telah beristri. Adakah

pelecehan yang melebihi seperti yang aku alami kali ini, Raden

Kudamerta?”

“Aku minta maaf, Dyah Wiyat. Aku tak berniat

menyembunyikan hal itu. Aku bahkan ingin meluruskan

perkawinan ini sejak awal, tetapi aku tak punya pilihan lain,” jawab

Raden Kudamerta.

“Siapa nama perempuan itu?” Dyah Wiyat mengejar.

“Dyah Menur Hardiningsih,” jawab Raden Kudamerta.

Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa memejamkan mata untuk

menghayati lebih cermat warna perasaan macam apa yang sedang

ia rasakan. Sungguh sama sekali tak ada perasaan marah sebagai

bias rasa cemburu. Yang ada hanya perasaan tersinggung karena

dikawini oleh orang yang menyembunyikan belang karena ternyata

memiliki istri bahkan seorang anak.

Amat sinis senyum yang mencuat di bibir Dyah Wiyat,

menempatkan Raden Kudamerta mengalami kebingungan tak

mampu menerjemahkan apa artinya. Dyah Wiyat yang kembali

menengadah mengarahkan pandangan matanya pada bintang di

sudut langit yang memiliki warna kemerahan. Betapa gelisah Dyah

Wiyat karena tak berhasil menemukannya meski mencari-cari di

mana bintang itu berada. Padahal, ia telah terlanjur beranggapan

bintang itu peralihan roh Ra Tanca.

Dyah Wiyat membalikkan tubuh dan dengan langkah perlahan

naik ke undak-undakan yang membawanya ke ruang tengah

istananya. Langkah yang semula perlahan itu berubah menjadi

bergegas. Dengan mata yakin Dyah Wiyat meninggalkan Raden

Kudamerta termangu sendiri di halaman. Raden Kudamerta jatuh

terduduk. Ia tak lagi peduli andaikata rahasia yang terbongkar itu

akan membawanya ke gantungan. Ia juga tak peduli meski dari

lukanya darah mengalir deras.9

9Ibid., h. 266-267.

Page 132: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

121

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa

1 “Atau, akan kausembunyikan istrimu itu selamanya

dariku?”

Retoris

2 Aku anak raja. Sinisme

3 Aku dikawini oleh seorang lelaki yang telah beristri.

4 Adakah pelecehan yang melebihi seperti yang aku

alami kali ini, Raden Kudamerta?”

Retoris

5 Ia tak lagi peduli andaikata rahasia yang terbongkar itu

akan membawanya ke gantungan.

Metafora

6 Ia juga tak peduli meski dari lukanya darah mengalir

deras.

Hiperbola

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat

1 Rahasia yang disembunyikan laki-laki itu, rahasia yang

kini bukan rahasia lagi, bahwa ia telah beristri saat

mengawininya, sungguh merupakan pelecehan yang tak

terampunkan.

Antitesis

2 Yang ada hanya perasaan tersinggung karena dikawini

oleh orang yang menyembunyikan belang karena

ternyata memiliki istri bahkan seorang anak.

Kendur

3 Ia tak lagi peduli andaikata rahasia yang terbongkar itu

akan membawanya ke gantungan.

Antiklimaks

4 Ia juga tak peduli meski dari lukanya darah mengalir

deras.

5 “Aku anak raja,” kata Dyah Wiyat. Anafora

Page 133: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

122

6 “Aku bahkan bisa menjadi ratu di negeri yang besar ini,

yang kebesarannya jauh melebihi kebesaran Pamotan.

7 Aku bisa seperti Ratu Shima yang sanggup memenggal

tangan adiknya yang bersalah.

8 Aku juga bisa menjatuhkan hukuman mati kepada

suamiku sendiri.

9 Aku anak raja.

10 Aku dikawini oleh seorang lelaki yang telah beristri.

1.3.Sekuen Klimaks

Akan tetapi ternyata masih belum bagi Ibu Ratu yang

terganggu dengan pertanyaan yang mengganjal hatinya. Persoalan

itu telah menjadi desas-desus pembicaraan orang. Mumpung rakyat

banyak sedang berkumpul di Balai Prajurit, Ratu Gayatri

memanfaatkan kesempatan itu untuk melontarkan pertanyaan.

Ratu Gayatri Rajapatni menyebar pandangan matanya

menyapu wajah semua orang yang hadir di pendapa dan halaman

Balai Prajurit. Semua orang terpancing rasa ingin tahunya,

persoalan apa kira-kira yang akan disampaikan Ratu Gayatri.

Setelah menjelajah semua wajah, perhatian Ratu ternyata hinggap

di wajah Raden Kudamerta.

“Raden Kudamerta,” kata Gayatri. “Mumpung rakyat banyak

saat ini sedang berkumpul dan untuk meredam jangan sampai

muncul desas-desus yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, aku

ingin bertanya kepadamu, Raden, apakah benar ketika kukawinkan

kau dengan Dyah Wiyat, kau telah beristri, yang demikian telah

kautempatkan Sekar Kedaton sebagai istri kedua?”

Pertanyaan yang diajukan dengan tidak terduga-duga itu

menyebabkan Raden Kudamerta pucat pasi. Raden Kudameta yang

gugup menyempatkan memejamkan mata untuk meredam gejolak

yang terpancing mendadak itu. Pertanyaan itu tidak hanya

mengagetkan Raden Kudamerta, semua yang hadir di Balai Prajurit

tanpa terkecuali terkejut. Mereka yang sudah mendengar desas-

Page 134: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

123

desus terpancing rasa ingin tahunya apalagi mereka yang baru

mendengar tak kalah kaget.10

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa

1 Akan tetapi ternyata masih belum bagi Ibu Ratu yang

terganggu dengan pertanyaan yang mengganjal hatinya.

Antonomasia

2 Ratu Gayatri Rajapatni menyebar pandangan matanya

menyapu wajah semua orang yang hadir di pendapa dan

halaman Balai Prajurit

Metafora

3 Setelah menjelajah semua wajah, perhatian Ratu ternyata

hinggap di wajah Raden Kudamerta.

Antonomasia

4 Apakah benar ketika kukawinkan kau dengan Dyah

Wiyat, kau telah beristri, yang demikian telah

kautempatkan Sekar Kedaton sebagai istri kedua?”

Antonomasia

5 Raden Kudameta yang gugup menyempatkan

memejamkan mata untuk meredam gejolak yang

terpancing mendadak itu.

Hiperbola

6 Pertanyaan itu tidak hanya mengagetkan Raden

Kudamerta, semua yang hadir di Balai Prajurit tanpa

terkecuali terkejut.

Pleonasme

B. Struktur Kalimat

10

Ibid., h. 497-498.

Page 135: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

124

No Kalimat Struktur Kalimat

1 Mumpung rakyat banyak sedang berkumpul di Balai

Prajurit, Ratu Gayatri memanfaatkan kesempatan itu

untuk melontarkan pertanyaan.

Periodik

2 Setelah menjelajah semua wajah, perhatian Ratu ternyata

hinggap di wajah Raden Kudamerta.

Periodik

3 “Mumpung rakyat banyak saat ini sedang berkumpul dan

untuk meredam jangan sampai muncul desas-desus yang

tidak bisa dipertanggungjawabkan, aku ingin bertanya

kepadamu, Raden, apakah benar ketika kukawinkan kau

dengan Dyah Wiyat, kau telah beristri, yang demikian

telah kautempatkan Sekar Kedaton sebagai istri kedua?”

Berimbang

4 Pertanyaan itu tidak hanya mengagetkan Raden

Kudamerta, semua yang hadir di Balai Prajurit tanpa

terkecuali terkejut.

Periodik

1.4. Klimaks

Raden Kudamerta yang gelisah menengadah. Raden

Kudamerta tidak dengan segera menjawab pertanyaan itu. Tidak

bisa dihindari, semua pandangan mata sedang tertujupadanya.

Namun, yang paling menusuk adalah pandangan mata Dyah Wiyat.

Tanpa setahu Raden Kudamerta, Dyah Wiyat ikut menunggu

jawaban apa yang akan diberikannya. Mendadak Dyah Menur

mersa, jawaban itu sungguh sangat penting. Jawaban yang sedang

ditunggu yang nantinya akan menjadi salah satu dari banyak

pertimbangan dalam mengambil keputusan. Dyah Menur amat

ingin tahu, apakah Raden Kudamerta benar-benar sosok yang layak

dibanggakan atau bukan.

”Hamba belum pernah mengawini siapa pun, Tuan Putri,”

jawab Raden Kudamerta dengan suara amat tegas.

Page 136: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

125

Jawaban itu menyentakkan Sekar Kedaton Dyah Wiyat

Rajadewi Maharajasa. Jelas Raden Kudamerta menyampaikan hal

yang sama sekali tidak benar. Gajah Mada juga terkejut karena

Raden Kudamerta memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan

kenyataan.

Namun, rupanya jawaban itu sudah cukup bagi Ibu Ratu yang

tidak merasa perlu mengejar dengan pertanyaan lain. Patih Daha

Gajah Mada yang berpikir keras kemudian tersenyum. Tiba-tiba

saja Gajah Mada sadar bahwa tak penting bagi Ibu Ratu, apakah

Raden Kudamerta berbicara jujur atau tidak. Yang paling penting

rupanya bagaimana Raden Kudamerta bersikap. Dengan jawaban

itu berarti Raden Kudamerta harus menempatkan Maharajasa

sebagai satu-satunya istri, tanpa ada perempuan lain sebagai istri

yang lain. Jika istri pertama itu ada berarti ia harus disingkirkan.11

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa

1 Raden Kudamerta yang gelisah menengadah Asonansi

2 Tidak bisa dihindari, semua pandangn mata sedang

tertuju padanya.

Pleonasme

3 Namun, yang paling menusuk adalah pandangan mata

Dyah Wiyat.

Hiperbola

4 Namun, yang paling menusuk adalah pandangan mata

Dyah Wiyat.

Pleonasme

5 ”Hamba belum pernah mengawini siapa pun, Tuan Putri Antonomasia

6 Jawaban itu menyentakkan Sekar Kedaton Dyah Wiyat

Rajadewi Maharajasa

Antonomasia

7 Namun, rupanya jawaban itu sudah cukup bagi Ibu Ratu

yang tidak merasa perlu mengejar dengan pertanyaan

lain.

Antonomasia

11

Ibid., h. 498-499.

Page 137: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

126

8 Patih Daha Gajah Mada yang berpikir keras kemudian

tersenyum.

Hiperbola

9 Tiba-tiba saja Gajah Mada sadar bahwa tak penting bagi

Ibu Ratu, apakah Raden Kudamerta berbicara jujur atau

tidak.

Antonomasia

10 Dengan jawaban itu berarti Raden Kudamerta harus

menempatkan Maharajasa sebagai satu-satunya istri,

tanpa ada perempuan lain sebagai istri yang lain.

Antonomasia

11 Dengan jawaban itu berarti Raden Kudamerta harus

menempatkan Maharajasa sebagai satu-satunya istri,

tanpa ada perempuan lain sebagai istri yang lain.

Pleonasme

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat

1 Tanpa setahu Raden Kudamerta, Dyah Wiyat ikut

menunggu jawaban apa yang akan diberikannya.

Periodik

2 Mendadak Dyah Menur merasa, jawaban itu sungguh

sangat penting.

Invers

3 Gajah Mada juga terkejut karena Raden Kudamerta

memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan

kenyataan.

Kendur

4 Tiba-tiba saja Gajah Mada sadar bahwa tak penting bagi

Ibu Ratu, apakah Raden Kudamerta berbicara jujur atau

tidak. Yang paling penting rupanya bagaimana Raden

Kudamerta bersikap.

Periodik

5 Jika istri pertama itu ada berarti ia harus disingkirkan. Periodik

Page 138: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

127

1.5. Sekuen Leraian

Bagi Dyah Menur Sekar Tanjung, jawaban suaminya telah

membimbingnya ke mana harus melangkah. Setidaknya untuk

waktu yang panjang, Dyah Menur telah berusaha mengendapkan

hati, melihat tak sekadar menggunakan matanya, tetapi juga

mencoba menggunakan cara pandang lain, tentang bagaimana cara

pandang Raden Kudamerta. Menggunakan cara pandang itu, Dyah

Menur merasa amat maklum ketika Raden Kudamerta mengaku

belum beristri.

Dyah Menur Sekar Tanjung telah siap untuk mengalah dan

itulah yang akan dilakukan karena Raden Kudamerta hanya punya

satu pilihan, menempatkan Sekar Kedaton sebagai istrinya.

Artinya, itu sama halnya dengan tak mungkin menempatkan nama

Dyah Menur Sekar Tanjung sebagai istri pertama. Bahkan, Raden

Kudamerta harus menganggap nama Dyah Menur Hardiningsih itu

tidak pernah ada.

Dyah Wiyat yang membalikkan badan kebingungan. Ke mana

pun ia mencari, bayangan Sekar Tanjung tidak ditemukan.12

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa

1 Bagi Dyah Menur Sekar Tanjung, jawaban suaminya telah

membimbingnya ke mana harus melangkah.

Personifikasi

2 Setidaknya untuk waktu yang panjang, Dyah Menur telah

berusaha mengendapkan hati,

Metafora

3 Dyah Menur Sekar Tanjung telah siap untuk mengalah

dan itulah yang akan dilakukan karena Raden Kudamerta

hanya punya satu pilihan, menempatkan Sekar Kedaton

sebagai istrinya.

Antonomasia

12

Ibid., h. 498.

Page 139: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

128

4 Ke mana pun ia mencari, bayangan Sekar Tanjung tidak

ditemukan.

Totem Proparte

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat

1 Bagi Dyah Menur Sekar Tanjung, jawaban suaminya

telah membimbingnya ke mana harus melangkah.

Periodik

2 Setidaknya untuk waktu yang panjang, Dyah Menur telah

berusaha mengendapkan hati, melihat tak sekadar

menggunakan matanya, tetapi juga mencoba

menggunakan cara pandang lain, tentang bagaimana cara

pandang Raden Kudamerta.

Periodik

Berimbang

3 Menggunakan cara pandang itu, Dyah Menur merasa

amat maklum ketika Raden Kudamerta mengaku belum

beristri.

Kendur

4 Dyah Menur Sekar Tanjung telah siap untuk mengalah

dan itulah yang akan dilakukan karena Raden Kudamerta

hanya punya satu pilihan, menempatkan Sekar Kedaton

sebagai istrinya.

Kendur

5 Artinya, itu sama halnya dengan tak mungkin

menempatkan nama Dyah Menur Sekar Tanjung sebagai

istri pertama.

Klimaks

6 Bahkan, Raden Kudamerta harus menganggap nama

Page 140: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

129

Dyah Menur Hardiningsih itu tidak pernah ada.

7 Ke mana pun ia mencari, bayangan Sekar Tanjung tidak

ditemukan.

Periodik

1.6. Leraian

“Kamu akan ke mana?” bertanya Dyah Wiyat.

Dyah Menur Sekar Tanjung tidak tahu bagaimana cara

menjawab pertanyaan itu, mulutnya terkunci. Apabila Dyah Menur

mengira Sekar Kedaton akan marah ternyata dugaan itu salah.

Maharajasa mendekat sambil memerhatikan bayi dalam pelukan

Dyah Menur.

“Ini anakmu?”

Dyah Menur mengangguk, “Hamba, Tuan Putri,”

Dyah Wiyat memandang Dyah Menur dan Pradhabasu

bergantian. Perhatian selanjutnya kemudian lebih banyak ditujukan

kepada Dyah Menur. Pradhabasu yang memerhatikan wajah Dyah

Wiyat mampu menandai sikap damai tanpa permusuhan. Meskipun

kini telah mengetahui adanya hubungan khusus antara suaminya

dengan perempuan itu, hal itu tidak menjadi penyebab Sekar

Kedaton murka.

“Mengapa harus pergi?” Dyah Wiyat mengeluh.

Dyah Menur dan Pradhabasu saling pandang. Dyah Menur

masih terbungkam belum bisa memberi jawaban.

“Kembalilah ke istana,” ucap Rajadewi, “Marilah kita hidup

bersama-sama untuk saling melengkapi. Kau mempunyai hak

sebagai istri tua dan aku tidak akan merampas hak yang kaumiliki.”

Dyah Menur memandang Dyah Wiyat dengan tatapan mata

berkaca-kaca. Ia sama sekali tidak menyangka Dyah Wiyat akan

mampu bersikap seperti itu. Dugaan dan penilaian yang terbentuk

seketika ambruk. Sekar Kedaton ternyata tidak seburuk yang ia

sangka. Dengan lengan bajunya, Dyah Menur membasuh air

matanya.

Page 141: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

130

Dyah Wiyat mendekat dan menyentuh tangan Dyah Menur

ketika perempuan itu menitikkan air mata.

“Hamba tidak paham dengan apa yang Tuan Putri katakan,”

ucapnya lirih.

Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa bergegas memeluk. Dyah

Wiyat ternyata mampu menitikkan air mata. Sikap yang tidak

diduga itu menyebabkan Pradhabasu bingung.

“Apa yang aku inginkan sudah jelas, Sekar Tanjung,” kata

Dyah Wiyat. “Aku sama sekali tidak keberatan suamiku memiliki

istri lain selain diriku. Kembalilah ke istana dan marilah untuk

selalu berdekatan denganku.”13

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa

1 Mulutnya terkunci. Metafora

2 Apabila Dyah menur mengira Sekar Kedaton akan marah

ternyata dugaan itu salah.

Antonomasia

3 Maharajasa mendekat sambil memerhatikan bayi dalam

pelukan Dyah Menur.

Antonomasia

4 Dyah Menur mengangguk, “Hamba, Tuan Putri,” Antonomasia

5 Pradhabasu yang memerhatikan wajah Dyah Wiyat

mampu menandai sikap damai tanpa permusuhan.

Pleonasme

6 Hal itu tidak menjadi penyebab Sekar Kedaton murka. Antonomasia

7 “Mengapa harus pergi?” Dyah Wiyat mengeluh. Retoris

8 Dyah Menur masih terbungkam belum bisa memberi

jawaban.

Perifrasis

9 Dugaan dan penilaian yang terbentuk seketika

ambruk.

Hiperbola

13

Ibid., h.504-505.

Page 142: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

131

10 “Hamba tidak paham dengan apa yang Tuan Putri

katakan,” ucapnya lirih.

Antonomasia

11 Dyah Wiyat ternyata mampu menitikkan air mata. Perifrasis

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat

1 Meskipun kini telah mengetahui adanya hubungan

khusus antara suaminya dengan perempuan itu, hal itu

tidak menjadi penyebab Sekar Kedaton murka.

Periodik

2 Dyah Wiyat mendekat dan menyentuh tangan Dyah

Menur ketika perempuan itu menitikkan air mata.

Berimbang

3 Dengan lengan bajunya, Dyah Menur membasuh air

matanya.

Periodik

2.6. Penyelesaian

Tawaran itu sungguh menggoda. Namun, Dyah Menur

bergeming bersikukuh dengan keputusannya.

Adalah Raden Kudamerta yang datang menyusul terheran-

heran melihat dua orang perempuan yang masing-masing adalah

istrinya itu saling berpelukan begitu kuat. Dyah Menur menangis

sesegukan di pelukan Maharajasa yang juga menangis sesegukan.

Dua perempuan itu membutuhkan waktu lebih lama untuk saling

berbagi.

Bagaikan tercekik leher Sri Wijaya Rajasa Sang Panji

Wahyuninghyun. Raden Kudamerta tidak mampu berbicara ketika

melihat dua perempuan itu akhirnya saling melepas pelukan. Meski

Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa telah meminta, Dyah Menur

Hardiningsih memiliki alasan untuk bersikukuh dengan keputusan

yang diambilnya. Dyah Menur sebenarnya punya kesempatan

untuk melihat wajah kekasih hatinya yang dicintai, namun tidak

diraihnya kesempatan itu.

Dyah Menur berbalik dengan memejamkan mata. Dyah Menur

Hardiningsih yang menggendong anaknya dan Pradhabasu yang

Page 143: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

132

juga menggendong anaknya, berjalan makin jauh dan makin jauh

ke arah surya di langit barat. Dan sang waktu sebagaimana

kodratnya akan mengantarkan ke mana pun mereka melangkah.

Sang waktu pula yang menggilas semua peristiwa menjadi

masa lalu.14

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa

1 Tawaran itu sungguh menggoda. Personifikasi

2 Namun, Dyah Menur bergeming bersikukuh dengan

keputusannya

Pleonasme

3 Dyah Menur menangis sesegukan di pelukan Maharajasa

yang juga menangis sesegukan.

Antonomasia

4 Dan sang waktu sebagaimana kodratnya akan

mengantarkan ke mana pun mereka melangkah.

Personifikasi

5 Sang waktu pula yang menggilas semua peristiwa

menjadi masa lalu.

Personifikasi

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Gaya bahasa

1 Dyah Menur menangis sesegukan di pelukan Maharajasa

yang juga menangis sesegukan.

Tautotes

2 Raden Kudamerta tidak mampu berbicara ketika melihat

dua perempuan itu akhirnya saling melepas pelukan

Berimbang

3 Meski Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa telah meminta,

Dyah Menur Hardiningsih memiliki alasan untuk

bersikukuh dengan keputusan yang diambilnya.

Periodik

14

Ibid., h. 505-506.

Page 144: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

133

4 Dyah Menur sebenarnya punya kesempatan untuk melihat

wajah kekasih hatinya yang dicintai, namun tidak

diraihnya kesempatan itu.

Berimbang

5 Dyah Menur Hardiningsih yang menggendong anaknya

dan Pradhabasu yang juga menggendong anaknya,

berjalan makin jauh dan makin jauh ke arah surya di

langit barat.

Berimbang

Dari hasil pendataan penggunaan sarana retorika berupa gaya bahasa

dan penyiasatan struktur kalimat pada alur bawahan yang menceritakan

tentang kisah segitiga antara Raden Kudamerta dan kedua istrinya ini,

dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Tahap Pengenalan

a. Gaya bahasa : 15 kali

b. Struktur Kalimat : 7 kali

Total : 22 kali penggunaan retorika tekstual

2. Tahap Konflik

a. Gaya bahasa : 6 kali

b. Struktur Kalimat : 10 kali

Total : 16 kali penggunaan Retorika tekstual

3. Sekuen Klimaks

a. Gaya bahasa : 6 kali

b. Struktur Kalimat : 4 kali

Total : 10 kali penggunaan retorika tekstual

4. Klimaks

a. Gaya bahasa : 11 kali

b. Struktur kalimat : 5 kali

Page 145: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

134

Total : 16 kali penggunaan retorika tekstual

5. Sekuen Leraian

a. Gaya bahasa : 4 kali

b. Struktur Kalimat : 7 kali

Total : 11 kali penggunaan retorika tekstual

6. Leraian

a. Gaya bahasa : 11 kali

b. Struktur Kalimat : 3 kali

Total : 14 kali penggunaan retorika tekstual

7. Penyelesaian

a. Gaya bahasa : 5 kali

b. Struktur Kalimat : 5 kali

Total : 10 kali penggunaan retorika tekstual

Dari perolehan di atas dapat diketahui bahwa adegan paling sering

menggunakan sarana retorika dalam penyajiannya adalah adegan perkenalan,

yakni sebanyak 22 kali. Kemudian, urutan kedua pada adegan konflik dan

klimaks yang masing-masing menggunakan sarana retorika tekstual

sebanyak 16 kali dan pada urutan ketiga pada adegan leraian sebanyak 14

kali.

Adegan pengenalan menjadi adegan yang paling sering menggunakan

sarana retorika dalam alur bawahan yang pertama ini. Hal ini menunjukkan

perbedaan kepentingan yang ingin disampaikan oleh pengarangnya. Jika

pada alur utama peristiwa yang ingin ditekankan adalah adegan percobaan

pembunuhan terhadap Raden Kudamerta, yang mana ini adalah adegan

klimaks, maka yang ingin ditonjolkan dalam alur bawahan pertama ini

adalah justru pada adegan perkenalannya.

Peristiwa yang diceritakan pada adegan perkenalan adalah ketika

Dyah Wiyat terpaksa menjalani pernikahannya dengan Raden Kudamerta.

Page 146: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

135

Hal yang ingin disampaikan oleh pengarang lewat seringnya penggunaan

sarana retorika dalam adegan ini adalah ingin menunjukkan betapa tokoh

seorang putri kerajaan tidaklah selamanya bisa bahagia dengan

kedudukannya. Masih banyak masyarakat awam yang mengira bahwa

kehidupan sebagai seorang anggota keluarga kerajaan sangat

membahagiakan. Namun, lewat adegan ini, pendapat seperti itu

terbantahkan. Bahwa Dyah Wiyat yang seharusnya bisa mengeluarkan

pendapat sebagai manusia pada umumnya, pada kisah ini terpaksa

mengendapkan isi hatinya karena terganjal status yang disandangnya. Ia tak

mampu mengatakan dengan jujur bahwa ia mencintai Ra Tanca karena tak

mungkin baginya dapat bersanding dengan seorang pengkhianat kerajaan.

Tak juga ia mampu menolak perjodohan itu karena sebagai putri kerajaan ia

tak benarkan untuk berbuat seperti itu.

Dapat dilihat, untuk mengungkapkan apa yang dialami oleh Dyah

Wiyat pada adegan ini, pengarang banyak menggunakan gaya bahasa

penegasan, seperti pleonasme, tautologi, dan perifrasis. Semua gaya bahasa

penegasan ini bertujuan untuk membuat pembaca percaya bahwa Dyah

Wiyat benar-benar tidak menyukai apa yang diperbuat keluarganya terhadap

dirinya. Selain itu, pengarang juga beberapa kali tercatat menggunakan gaya

bahasa hiperbola yang fungsinya untuk memberikan efek luar biasa dahsyat

terhadap suasana yang ingin digambarkan kepada pembaca. Tidak hanya itu,

metafora yang juga hadir mewarnai adegan ini memudahkan pembaca untuk

memaknai peristiwa ini.

Kompleksnya penggunaan sarana retorika pada adegan pengenalan di

alut tambahan ini memiliki beberapa tujuan. Tujuan yang pertama adalah

untuk menarik perhatian pembaca yang dari awal membaca novel ini

disuguhkan dengan adegan-adegan pembunuhan dan ketegangan khas

politik. Lewat pengenalan alur ini, pengarang ingin menghadirkan sebuah

kisah yang tak kalah menegangkan, tapi dalam kemasan yang berbeda.

Page 147: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

136

Pembaca akan tetap diajak untuk menikmati suasana tegang namun dengan

cerita yang lebih familiar, kisah percintaan. Bila pada alur utama bisa

mengaduk emosi pembaca, maka kisah cinta yang memang tak biasa ini

tentunya juga harus membuat perasaan pembaca hanyut.

Tujuan kedua adalah untuk mengantarkan pembaca kepada adegan-

adegan selanjutnya. Lewat penekanan-penekanan tentang perasaan Dyah

Wiyat, pembaca dibebaskan untuk menerka terlebih dahulu akan seperti

apakah rumah tangga mereka. Rupanya, cara ini cukup berhasil karena pada

adegan konflik, asumsi pembaca tentang keretakan rumah tangga mereka

terbukti karena Raden Kudamerta kedapatan memiliki istri lain dan ia pasrah

bila harus dihukum mati. Pada adegan inilah, pembaca bisa langsung

menebak bahwa rumah tangga mereka akan hancur. Kemudian, pada adegan

klimaks, pembaca akan dikagetkan karena tebakan mereka salah. Klimaks

yang menjadi titik emosi pembaca yang teraduk juga disajikan dengan

sarana retorika yang cukup banyak.

Adegan pengenalan ini disajikan dengan menggunakan tujuh kalimat

berimbang. Penggunaan kalimat berimbang ini secara garis besar berfungsi

untuk menginformasikan kepada pembaca bahwa ada dua hal penting yang

ingin disampaikan oleh pengarang. Ketika membaca kalimat yang disajikan

dengan konstruksi kalimat berimbang, apapun jenis kalimat majemuknya,

pembaca seolah akan dihadapkan pada dua gambaran yang sama-sama

sedang terjadi pada saat yang sama. Efek penggambaran yang seperti itulah

yang akan membuat pembaca merasa seperti masuk ke dalam cerita.

Penggunaan kalimat jenis periodik juga turut memiliki andil yang cukup

besar dalam pembangunan emosi pembaca. Dengan kalimat ini, pembaca

akan merasakan sensasi ketegangan dan penasaran.

Dengan seringnya penggunaan sarana retorika dalam adegan

pengenalan, pembaca merasa nyaman dan tetap terus mengikuti jalannya

cerita alur bawahan ini tanpa melepaskan konsentrasi pada alur utama.

Page 148: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

137

3. Analisis Penggunaan Sarana Retorika pada Alur Tambahan Kedua

3.1. Pengenalan

“Pradhabasu,” kata Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri.

“Hamba, Tuan Putri,” jawab Pradhabasu sigap.

“Aku mempunyai sebuah pertanyaan untukmu,” Ibu Ratu

Biksuni berbicara. “Apakah kamu masih akan membiarkan dirimu

terseret ke mata rantai sakit hati dan dendam? Waktu telah lama

berlalu, apakah sebagai ungkapan rasa tidak sependapat kau masih

akan tetap berada di luar sana? Sebagai ganti sementara Anakmas

Sri Jayanegara yang telah kembali ke Swargaloka sebelum nanti

diputuskan siapa raja yang baru, aku ingin menawarkan kepadamu

untuk kembali. Pintu Bhayangkara masih terbuka untukmu.

Bukankah demikian, Gajah Enggon?”

Gajah Enggon yang tidak menduga akan mendapatkan

limpahan pertanyaan yang mendadak berbelok ke dirinya itu segera

merapatkan dua telapak tangannya dalam sikap menyembah.

“Hamba, Tuan Putri,” jawab Gajah Enggon. “Hamba

sependapat dengan Tuan Putri Ratu. Pada saat terakhir walaupun

Adi Pradhabasu berada di luar Bhayangkara, kembali ia telah

membuat jasa. Kalau tidak karena kesigapannya, barangkali pisau

itu telah menancap di bagian yang berbahya di dada Raden

Kudamerta. Mungkin bisa terkena jantungnya. Sebagaimana Tuan

Putri Ratu Rajapatni Biksuni, hamba juga amat berharap Adi

Pradhabasu akan kembali menjadi bagian dari Bhayangkara.”

Senyap merayap. Dalam waktu sedikit lama Bhayangkara

Pradhabasu meletakkan dua telapak tangannya di dada dan dengan

amat perlahan membawanya ke ujung hidung. Dengan segera

Pradhabasu teringat peristiwa sembilan tahun yang lalu, waktu

yang sebenarnya cukup lama, namun serasa terjadi masih kemarin

petang. Apa yang menimpa sahabat kentalnya, yang sangat kental

hubungan persaudaraan itu, tertebas kepalanya oleh fitnah yang

dilakukan Bango Lumayang atau Singa Parepen. Gagak Bongol

yang tidak berpikir ulang setelah melihat remah jagung pakan

burung merpati yang diduga sebagai alat pengirim berita ke

Majapahit langsung menebas kepalanya dari belakang. Apa yang

dilakukan Gagak Bogol itu terjadi tepat di depan matanya.15

15

Ibid., h. 173-174.

Page 149: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

138

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa

1 “Pradhabasu,” kata Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri. Antonomasia

2 “Hamba, Tuan Putri,” jawab Pradhabasu sigap. Antonomasia

3 “Aku mempunyai sebuah pertanyaan untukmu,” Ibu Ratu

Biksuni berbicara.

Antonomasia

4 “Apakah kamu masih akan membiarkan dirimu terseret

ke mata rantai sakit hati dan dendam?

Perifrasis

5 Waktu telah lama berlalu, apakah sebagai ungkapan rasa

tidak sependapat kau masih akan tetap berada di luar

sana?

Retoris

6 Sebagai ganti sementara Anakmas Sri Jayanegara yang

telah kembali ke Swargaloka sebelum nanti diputuskan

siapa raja yang baru, aku ingin menawarkan kepadamu

untuk kembali.

Metafora

7 Bukankah demikian, Gajah Enggon?” Retoris

8 Gajah Enggon yang tidak menduga akan mendapatkan

limpahan pertanyaan

Hiperbola

9 “Hamba, Tuan Putri,” jawab Gajah Enggon. “Hamba

sependapat dengan Tuan Putri Ratu.

Antonomasia

10 Sebagaimana Tuan Putri Ratu Rajapatni Biksuni, hamba

juga amat berharap Adi Pradhabasu akan kembali

menjadi bagian dari Bhayangkara.”

Antonomasia

11 Senyap merayap. Personifikasi

12 Senyap merayap. Asonansi

Page 150: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

139

13 Apa yang menimpa sahabat kentalnya, yang sangat kental

hubungan persaudaraan itu, tertebas kepalanya oleh fitnah

yang dilakukan Bango Lumayang atau Singa Parepen.

Personifikasi

14 Apa yang dilakukan Gagak Bogol itu terjadi tepat di

depan matanya.

Pleonasme

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat

1 Sebagai ganti sementara Anakmas Sri Jayanegara yang

telah kembali ke Swargaloka sebelum nanti diputuskan

siapa raja yang baru, aku ingin menawarkan kepadamu

untuk kembali.

Periodik

2 Pada saat terakhir walaupun Adi Pradhabasu berada di

luar Bhayangkara, kembali ia telah membuat jasa.

Periodik

3 Kalau tidak karena kesigapannya, barangkali pisau itu

telah menancap di bagian yang berbahya di dada Raden

Kudamerta.

Periodik

4 Sebagaimana Tuan Putri Ratu Rajapatni Biksuni, hamba

juga amat berharap Adi Pradhabasu akan kembali

menjadi bagian dari Bhayangkara.”

Periodik

3.2. Konflik

“Pradhabasu,” Ratu Gayatri berkata dengan suara lirih.

Pradhabasu sangat sibuk dengan dirinya sendiri. itu sebabnya,

Pradhabasu tidak mendengar panggilan itu. Barulah ketika

Pradhabasu menengadah, ia terkejut melihat pandangan Ratu

Rajapatni Biksuni Gayatri tertuju kepadanya. Tidak hanya

pandangan Ratu Gayatri, tetapi juga pandangan Arya Tadah.

Page 151: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

140

Pradhabasu tersadar ada yang terlewat dari perhatiannya. Bergegas

Pradhabasu menyembah.

“Kau telah mendengar apa yang dikatakan Gagak Bongol.”

Pradhabasu masih dalam sikap menyembah dan tidak

menurunkan tangannya.

“Hamba, Tuan Putri,” jawabnya.

“Aku ingin mendengar apa tuntutannmu?” tanya Gayatri.

Pradhabasu membalas tatapan mata Ratu Rajapatni Biksuni

Gayatri dengan tidak berkedip. Pandangan ini kemudian dialihkan

ke permukaan wajah Mapatih Arya Tadah serta dengan perlahan

Pradhabasu mengarahkan pandangan matanya kepada Gajah Mada.

Setelah kembali menyembah, Pradhabasu beringsut agar bisa

bertatapan mata dengan Gagak Bongol. Setelah sekian lama

meninggalkan Bhayangkara, inilah saatnya Pradhabasu berjumpa

kembali dengan Gagak Bongol.

“Katakan apa tuntutanmu, Pradhabasu,” berkata Ratu Gayatri.

“Apabila kau kauwakili anak Mahisa Kingkin, tuntutan apakah

yang kauajukan terhadap kecerobohan Gagak Bongol yang menjadi

penyebab kematian ayahnya?”

Pradhabasu memandang Gagak Bongol. Sebaliknya, Gagak

Bongol tak merasa segan untuk membalas tatapan mata itu. Jauh di

dalam hati Gagak Bongol terpendam kerinduan kepada sahabatnya,

rindu bisa bergaul sebagaimana dulu pernah bersama. Canda dan

gurau itu tak mungkin terjadi karena munculnya ganjalan yang

membelah di antara mereka.

“Mohon izin untuk berbicara blak-blakan, Tuan Putri Ratu,”

kata Pradhabasu.

“Jika itu yang kau kehendaki, kau tidak perlu merasa sungkan!

Dan, sejak awal kau sudah kuminta berbicara blak-blakan,” jawab

Ratu Rajapatni Gayatri dengan suara amat tenang.

Pradhabasu mengangguk.

“Hamba tidak akan menempatkan diri mewakili keponakan

hamba menuntut agar dijatuhkan hukuman kepada Kakang Gagak

Bongol. Apabila bocah itu menuntut balas mungkin hamba yakin

keponakan hamba tak mungkin bisa melakukan. Dalam kesempatan

ini hamba hanya ingin mengajukan permohonan agar Kakang

Gagak Bongol membantu mengasuh bocah itu, syukur-syukur

kalau Kakang Bongol mau mengambilnya sebagai anak. Itu

permohonan hamba.”16

16

Ibid., h. 188-189.

Page 152: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

141

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa

1 Barulah ketika Pradhabasu menengadah, ia terkejut

melihat pandangan Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri tertuju

kepadanya.

Antonomasia

2 “Hamba, Tuan Putri,” jawabnya. Antonomasia

3 Pradhabasu membalas tatapan mata Ratu Rajapatni

Biksuni Gayatri dengan tidak berkedip

Antonomasia

4 Pradhabasu membalas tatapan mata Ratu Rajapatni

Biksuni Gayatri dengan tidak berkedip

Pleonasme

5 Jauh di dalam hati Gagak Bongol terpendam kerinduan

kepada sahabatnya, rindu bisa bergaul sebagaimana dulu

pernah bersama.

Hiperbola

6 Canda dan gurau itu tak mungkin terjadi karena

munculnya ganjalan yang membelah di antara mereka.

Metafora

7 “Mohon izin untuk berbicara blak-blakan, Tuan Putri

Ratu,” kata Pradhabasu.

Antonomasia

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat

1 Barulah ketika Pradhabasu menengadah, ia terkejut

melihat pandangan Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri tertuju

kepadanya.

Periodik

2 Bergegas Pradhabasu menyembah. Inversi

3 Tidak hanya pandangan Ratu Gayatri, tetapi juga

pandangan Arya Tadah.

Berimbang

Page 153: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

142

4 Setelah kembali menyembah, Pradhabasu beringsut agar

bisa bertatapan mata dengan Gagak Bongol.

Periodik

5 Setelah sekian lama meninggalkan Bhayangkara, inilah

saatnya Pradhabasu berjumpa kembali dengan Gagak

Bongol.

Periodik

6 “Apabila kau kauwakili anak Mahisa Kingkin, tuntutan

apakah yang kauajukan terhadap kecerobohan Gagak

Bongol yang menjadi penyebab kematian ayahnya?”

Periodik

7 Canda dan gurau itu tak mungkin terjadi karena

munculnya ganjalan yang membelah di antara mereka.

Kendur

8 “Jika itu yang kau kehendaki, kau tidak perlu merasa

sungkan!

Periodik

9 Apabila bocah itu menuntut balas mungkin hamba yakin

keponakan hamba tak mungkin bisa melakukan.

Periodik

10 Dalam kesempatan ini hamba hanya ingin mengajukan

permohonan agar Kakang Gagak Bongol membantu

mengasuh bocah itu, syukur-syukur kalau Kakang Bongol

mau mengambilnya sebagai anak. Itu permohonan

hamba.”

Berimbang

3.3.Sekuen Klimaks

“Bagaimana, Gagak Bongol? Kalimat balasan macam apa yang

kausiapkan menjawab tuntutan yang diajukan Pradhabasu? Kalau

kau merasa tak mampu, dengan senang hati aku akan mewakilimu

memungut bocah ini sebagai anakku.”

Gugup Gagak Bongol menyembah.

“Hamba, Tuan Putri,” jawab Gagak Bongol. “Apa yang

menjadi permintaan Adi Pradhabasu menurut hamba bukan sebuah

hukuman, tetapi merupakan anugerah tiada tara. Dengan senang

hati hamba akan menganggap Prajaka sebagai anak hamba. Hamba

akan mengasihi Prajaka dengan sepenuh hati.”

“Meski keadaan bocah itu seperti itu?” balas Ratu Gayatri.

Page 154: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

143

“Hamba, Tuan Putri,” jawab Gagak Bongol mantap.

Senyum Ratu Gayatri berlepotan teka-teki.

“Mengasuh Sang Prajaka jauh lebih sulit daripada bertarung

melawan musuh, dan Pradhabasu telah berhasil melaksanakan

tugas itu dengan amat baik. Kelak kita akan melihat apakah Gagak

Bongol akan bisa melaksanakan tugasnya sebagai seorang ayah dan

ibu sekaligus, atau gagal.”

Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri tersenyum, dan ia satu-satunya

yang berhasil tersenyum di ruangan itu. Arya Tadah tidak mampu

mengalihkan pandangannya dari wajah Sang Prajaka sambil

berusaha keras menemukan keyakinan, benarkah Gagak Bongol

menganggap hal itu sebagai anugerah. Bukan pekerjaan yang

gampang untuk mengasuh bocah yang memiliki cacat jiwa

semacam itu.

Padahal, Gagak Bongol benar-benar menganggapnya sebagai

anugerah. Sekian tahun Gagak Bonol dibayangi rasa bersalah, kali

ini tiba-tiba mendapat kesempatan untuk menebus kesalahan itu

dengan memungut keturunan Mahisa Kingkin sebagai anak meski

keadaan bocah itu tidak waras, cacat pada jiwanya.

Bhayangkara Gagak Bongol beringsut mendekat dan

memerhatikan keadaan Sang Prajaka dengan lebih cermat. Yang

tampak di matanya tak hanya wujud bocah itu yang memang

menyedihkan, namun lebih jauh terlihat jelas betapa berat beban

yang disangga Pradhabasu dalam mengasuhnya, mengerjakan

sebuah tugas yang mestinya bukan tugasnya karena orang yang

memiliki kewajiban mengerjakan tugas itu telah tumpas dirapas

hidupnya. Gemetar Bhayangkara Gagak Bongol beringsut semakin

mendekat sambil menjulurkan tangannya. Gagak Bongol

bermaksud berakrab-akrab dengan bocah itu. Namun, yang tak

diduga oleh Gagak Bongol adalah apa yang dilakukan Sang

Prajaka, yang tiba-tiba mengayunkan tangannya mencakar

wajahnya. Gagak Bongol terhenyak amat kaget.

“Gila,” Gagak Bongol meletupkan umpatannya dalam hati.

Gajah Mada terkejut. Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri

tersentak, demikian pula dengan Mahapatih Arya Tadah. Senopati

Gajah Enggon terhenyak kaku, terperangah oleh kejadian yang tak

terduga itu. Gagak Bongol yang tidak menyangkahal itu akan

terjadi merasakan perih di kulit wajahnya. Di antara rasa kaget dari

semua yang hadir, hanya Pradhabasu yang tak kaget. Pradhabasu

seorang yang tersenyum, amat lugas senyum ia umbar tanpa

tendheng aling-aling, Pradhabasu yang amat mengenal bagaimana

Page 155: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

144

perilaku keponakannya tidak kaget lagi bocah itu sanggup

melakukan hal itu.17

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa

1 ”Kalimat balasan macam apa yang kausiapkan menjawab

tuntutan yang diajukan Pradhabasu?”

Perifrasis

2 “Hamba, Tuan Putri,” jawab Gagak Bongol. Antonomasia

3 “Apa yang menjadi permintaan Adi Pradhabasu menurut

hamba bukan sebuah hukuman, tetapi merupakan

anugerah tiada tara.

Hiperbola

4 ”Hamba akan mengasihi Prajaka dengan sepenuh hati.” Hiperbola

5 “Hamba, Tuan Putri,” jawab Gagak Bongol mantap. Antonomasia

6 Senyum Ratu Gayatri berlepotan teka-teki. Metafora

7 Bukan pekerjaan yang gampang untuk mengasuh bocah

yang memiliki cacat jiwa semacam itu.

Perifrasis

8 Yang tampak di matanya tak hanya wujud bocah itu yang

memang menyedihkan, namun lebih jauh terlihat jelas

betapa berat beban yang disangga Pradhabasu dalam

mengasuhnya.

Hiperbola

9

Pradhabasu seorang yang tersenyum, amat lugas senyum

ia umbar tanpa tendheng aling-aling,

Pleonasme

17

Ibid., h. 193-194.

Page 156: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

145

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat

1 “Kalau kau merasa tak mampu, dengan senang hati aku

akan mewakilimu memungut bocah ini sebagai anakku.”

Periodik

2 Dengan senang hati hamba akan menganggap Prajaka

sebagai anak hamba.

Periodik

3 “Apa yang menjadi permintaan Adi Pradhabasu menurut

hamba bukan sebuah hukuman, tetapi merupakan

anugerah tiada tara.”

Berimbang

4 “Mengasuh Sang Prajaka jauh lebih sulit daripada

bertarung melawan musuh dan Pradhabasu telah berhasil

melaksanakan tugas itu dengan amat baik.

Berimbang

5 Kelak kita akan melihat apakah Gagak Bongol akan bisa

melaksanakan tugasnya sebagai seorang ayah dan ibu

sekaligus, atau gagal.”

Berimbang

6 Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri tersenyum, dan ia satu-

satunya yang berhasil tersenyum di ruangan itu.

Berimbang

7 Yang tampak di matanya tak hanya wujud bocah itu yang

memang menyedihkan, namun lebih jauh terlihat jelas

betapa berat beban yang disangga Pradhabasu dalam

mengasuhnya,

Berimbang

3.4. Klimaks

“Tuan Putri,” Pradhabasu memecah keheningan sambil

merapatkan masing-masing telapak tangannya dalam sikap

menyembah.

Ratu Rajapatni Biksuni yang kembali duduk memberinya

kesempatan unuk berbicara melalui isyarat tanganya.

Page 157: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

146

“Hamba merasa keperluan hamba menghadap kali ini telah

terwadahi. Oleh karena itu hamba mohon izin meninggalkan

pertemuan ini,” berkata Pradhabasu.

Dari tempat duduknya, Patih Daha Gajah Mada merasa desir

tajam merayapi permukaan jantungnya. Patih Daha Gajah Mada

benar-benar tidak mengira Pradhabasu bersungguh-sungguh

dengan niatnya menyerahkan Prajaka kepada Gagak Bongol.

Demikian juga Mahapatih Amangkubumi Arya Tadah, menyimpan

perasaan serupa dengan Gajah Mada. Untuk beberapa saat Ratu

Biksuni Gayatri terdiam tak berbicara. Dengan berpamitan seperti

itu, Pradhabasu benar-benar mengabaikan tawaran yang ia berikan

utnuk kembali bergabung dan mengabdi menjadibagian dari

pasukan yang pernah ditinggalkannya, Bhayangkara.

Di tempat duduknya, Gagak Bongol kebingungan dalam

upayanya menerka, bagaimana warna hati Pradhabasu sebenarnya.

Ketika semua yang hadir di ruangan itu merasa persoalan yang

diajukan Gagak Bongol masih belum tuntas, sikap Ratu Gayatri

takkalah mengagetkan. Ratu Gayatri malah tersenyum dan

mengangguk.

“Silakan, Pradhabasu, aku izinkan kau meninggalkan tempat

ini,” jawab Ratu Gayatri.

Arya Tadah, Patih Daha Gajah Mada, Senopati Gajah Enggon

dan Bhayangkara Gagak Bongol sendiri, semua dilibas pesona sihir

saat sebelum beringsut meninggalkan ruang pertemuan itu

Pradhabasu sempat menyempatkan memeluk Sang Prajaka.

Dipeluknya bocah itu dengan erat, dibusainya kepala Prajaka

dengan penuh penghayatan dan perasaan. Terlihat sangat lugas

betapa sebenarnya Pradabhasu mengalami kesulitan berpisah dari

keponakannya.

Merinding Gajah Mada melihat bocah remaja bernama Prajaka

itu kebingungan dan agaknya dililit cemas yang luar biasa bakal

berpisah dari orang yang selama ini memberikan cinta dan

perlindungan kepadanya.

Akhirnya, Pradhabasu merasa telah tiba wakunya melepas

pelukan Prajaka. Tanpa banyak bicara dan dengan wajah yang

membeku Pradhabasu beringsut mundur menuju pintu. Setelah

menyembah diarahkan kepada Ratu Gayatri, Pradhabasu berdiri

dan membuka pintu. Ketika Pradhabasu telah berada di luar adalah

bersamaan dengan suara meraung yang amat dikenali. Seperti

binatang, Prajakan melolong meneriakkan kecemasannya. Sang

Prajaka yang tiba-tiba mampu berpikir, sebuah pintu yang tebal

yang ia tidak tahu bagaimana cara membukanya.

Page 158: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

147

Namun, Pradhabasu memang telah bulat dengan rencana yang

telah dirancang. Untuk sebuah tugas yang ia bebankan di pundak

sendiri, Pradhabasu membutuhkan keleluasaan gerak sambil

memberi pelajaran kepada Gagak Bongol. Menghadapi musuh di

medan pertarungan memang jauh lebih mudah daripada

menghadapi Sang Prajaka. Pradhabasu yakin Gagak Bongol tidak

mampu menghadapi bocah itu.18

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa

1 “Tuan Putri,” Pradhabasu memecah keheningan Antonomasia

2 Pradhabasu memecah keheningan Metafora

3 Dari tempat duduknya, Patih Daha Gajah Mada merasa

desir tajam merayapi permukaan jantungnya.

Personifikasi

4 Dari tempat duduknya, Patih Daha Gajah Mada merasa

desir tajam merayapi permukaan jantungnya.

Hiperbola

5 Untuk beberapa saat Ratu Biksuni Gayatri terdiam tak

berbicara

Pleonasme

6 Dengan berpamitan seperti itu, Pradhabasu benar-benar

mengabaikan tawaran yang ia berikan utnuk kembali

bergabung dan mengabdi menjadi bagian dari pasukan

yang pernah ditinggalkannya, Bhayangkara.

Perifrasis

7 Di tempat duduknya, Gagak Bongol kebingungan dalam

upayanya menerka, bagaimana warna hati Pradhabasu

sebenarnya.

Metafora

8 Arya Tadah, Patih Daha Gajah Mada, Senopati Gajah

Enggon dan Bhayangkara Gagak Bongol sendiri, semua

dilibas pesona sihir saat sebelum beringsut meninggalkan

Hiperbola

18

Ibid., h. 195-197.

Page 159: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

148

ruang pertemuan itu Pradhabasu sempat menyempatkan

memeluk Sang Prajaka.

9 Merinding Gajah Mada melihat bocah remaja bernama

Prajaka itu kebingungan agaknya dililit cemas yang luar

biasa bakal berpisah

Personifikasi

10 Merinding Gajah Mada melihat bocah remaja bernama

Prajaka itu kebingungan agaknya dililit cemas yang luar

biasa bakal berpisah

Hiperbola

11 Tanpa banyak bicara dan dengan wajah yang membeku

Pradhabasu beringsut mundur menuju pintu.

Metafora

12 Seperti binatang, Prajakan melolong meneriakkan

kecemasannya.

Simile

13 Namun, Pradhabasu memang telah bulat dengan rencana

yang telah dirancang.

Hiperbola

14 Pradhabasu membutuhkan keleluasaan gerak sambil

memberi pelajaran kepada Gagak Bongol.

Metafora

15 Untuk sebuah tugas yang ia bebankan di pundak sendiri. Pars Prototo

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat

1 “Hamba merasa keperluan hamba menghadap kali ini

telah terwadahi.

Berimbang

2 Oleh karena itu hamba mohon izin meninggalkan

pertemuan ini,”

3 Dari tempat duduknya, Patih Daha Gajah Mada merasa

desir tajam merayapi permukaan jantungnya.

Periodik

Page 160: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

149

4 Dengan berpamitan seperti itu, Pradhabasu benar-benar

mengabaikan tawaran yang ia berikan utnuk kembali

bergabung dan mengabdi menjadi bagian dari pasukan

yang pernah ditinggalkannya, Bhayangkara.

Periodik

5 Di tempat duduknya, Gagak Bongol kebingungan dalam

upayanya menerka, bagaimana warna hati Pradhabasu

sebenarnya.

Periodik

6 Ketika semua yang hadir di ruangan itu merasa persoalan

yang diajukan Gagak Bongol masih belum tuntas, sikap

Ratu Gayatri tak kalah mengagetkan.

Periodik

7

Dipeluknya bocah itu dengan erat, dibusainya kepala

Prajaka dengan penuh penghayatan dan perasaan.

Klimaks

8 Terlihat sangat lugas betapa sebenarnya Pradbahasu

mengalami kesulitan berpisah dari keponakannya.

9 Merinding Gajah Mada melihat bocah remaja bernama

Prajaka itu kebingungan

Invers

10 Tanpa banyak bicara dan dengan wajah yang membeku

Pradhabasu beringsut mundur menuju pintu.

Periodik

11 Setelah menyembah diarahkan kepada Ratu Gayatri,

Pradhabasu berdiri dan membuka pintu.

Periodik

12

Ketika Pradhabasu telah berada di luar adalah bersamaan

dengan suara meraung yang amat dikenali. Seperti

binatang, Prajakan melolong meneriakkan kecemasannya.

Periodik

13 Untuk sebuah tugas yang ia bebankan di pundak sendiri,

Pradhabasu membutuhkan keleluasaan gerak sambil

memberi pelajaran kepada Gagak Bongol.

Periodik

Page 161: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

150

3.5. Sekuen Leraian

Meski Pradhabasu telah berhadapan dengan Gajah Mada,

perhatian bekas prajurit Bhayangkara itu tertuju ke arah lain. Di

arah yang menjadi perhatiannya, seorang bocah sedang sibuk

dengan dirinya sendiri. Hanya dua hari Pradhabasu berpisah dari

bocah itu, namun rasanya waktu berlalu setahun lamanya. Rasa

kangen membelit hatinya.

“Gagak Bogol berhasil mengendalikannya,” kata Gajah Mada.

Pradhabasu mengangguk.

“Bagaimana rasanya berpisah dari Sang Prajaka dalam dua hari

ini?” tanya Gajah Mada.

Pradhabasu tersenyum lebar, “Seperti setahun lamanya.”19

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa

1 Rasa kangen membelit hatinya. Personifikasi

2 Pradhabasu tersenyum lebar, “Seperti setahun lamanya.” Hiperbola

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat

1 Meski Pradhabasu telah berhadapan dengan Gajah Mada,

perhatian bekas prajurit Bhayangkara itu tertuju ke arah

lain.

Periodik

2 Hanya dua hari Pradhabasu berpisah dari bocah itu,

namun rasanya waktu berlalu setahun lamanya.

Berimbang

19

Ibid., h. 361.

Page 162: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

151

3.6.Leraian

Boleh dikata kepanikan Gagak Bongol dan kepanikan Dyah

Wiyat di siang bolong itu jelas berbeda. Gagak Bongol mencari-

cari dengan mata melotot hampir lepas dari kelopaknya, namun

yang cari tidak ditemukan. Gagak Bongol layak khawatir. Jika

Sang Prajaka sampai hilang, Pradhabasu pasti tidak akan

memaafkannya.

“Kamu lihat Prajaka?” Gagak Bongol bertanya kepada salah

seorang laki-laki yang ikut menyaksika kesibukan yang terjadi di

Balai Prajurit.

Orang itu menggeleng, Gagak Bongol yang panik berlarian

mencari, namun yang dicari lenyap bagai dibawa hantu. Gagak

Bongol berputar-putar sambil menyapu dengan tatapan matanya,

namun Prajaka lenyap. Benar-benar lenyap.

“Ke mana bocah itu? Atau, jangan-jangan ada yang

membawanya pergi dengan diam-diam. Kalau hilang bocah itu,

Pradhabasu benar-benar akan membunuhku.”

Balai Prajurit kembali sepi. Gagak Bongol seharusnya kembali

ke Antawulan untuk memimpin kerja besar yang dipercayakan

kepadanya. Namun, hilangnya bocah lasak Sang Prajaka yang kini

menjadi anak angkatnya menyebabkan Gagak Bongol harus

mendahulukan mencarinya. Beruntunglah Gagak Bongol karena

Senopati Gajah Enggon mendatanginya dengan langkah lebar.

“Kamu kebingungan mencari apa?” tanya Gajah Enggon.

Betapa cemas Gagak Bongol, terbaca dari wajahnya.

“Aku kehilangan Sang Prajaka,” jawabnya.

Melihat Gagak Enggon bingung karena kehilangan tidak

menyebabkan Gajah Enggon ikut bingung. Senyumnya malah

lebar. Gagak Bongol mengerutkan dahi.

“Pradhabasu menitipkan ini untukmu,” kata Gajah Enggon

sambil menyerahkan lembaran rontal yang dipegangnya.

Betapa tegang Gagak Bongol dalam membaca surat itu.20

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa

1 Gagak Bongol mencari-cari dengan mata melotot hampir

lepas dari kelopaknya, namun yang cari tidak ditemukan.

Hiperbola

20

Ibid., h. 500-501.

Page 163: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

152

2 Gagak Bongol yang panik berlarian mencari, namun yang

dicari lenyap bagai dibawa hantu.

Simile

3

Gagak Bongol berputar-putar sambil menyapu dengan

tatapan matanya, namun Prajaka lenyap.

Metafora

4 Gagak Bongol berputar-putar sambil menyapu dengan

tatapan matanya, namun Prajaka lenyap.

Pleonasme

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat

1 Gagak Bongol mencari-cari dengan mata melotot hampir

lepas dari kelopaknya, namun yang cari tidak ditemukan.

Berimbang

2 Jika Sang Prajaka sampai hilang, Pradhabasu pasti tidak

akan memaafkannya.

Periodik

3 Gagak Bongol yang panik berlarian mencari, namun yang

dicari lenyap bagai dibawa hantu.

Berimbang

4 Gagak Bongol berputar-putar sambil menyapu dengan

tatapan matanya, namun Prajaka lenyap.

Berimbang

5 Kalau hilang bocah itu, Pradhabasu benar-benar akan

membunuhku.

Periodik

6 Beruntunglah Gagak Bongol karena Senopati Gajah

Enggon mendatanginya dengan langkah lebar.

Kendur

3.7. Penyelesaian

“Aku sangat berterima kasih telah kaujaga anakku,”

Pradhabasu berkata di dalam suratnya. “Kini tiba saatnya aku

meminta kembali Sang Prajaka. Untuk selanjutnya, mari kita

lupakan apa yang terjadi di masa lalu.”

Page 164: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

153

Gagak bongol langsung lunglai. Udara yang dihirup bagai

belum mencukupi paru-parunya.

“Anak itu sudah diserahkan kepadaku dan aku mulai

menyukainya. Mengapa ia meminta kembali?” Gagak Bongol

meledakkan isi dadanya.

Gajah Mada yang mendekat tidak memberikan sumbangan

pendapat apa pun.

“Sudahlah,” kata Senopati Enggon. “Pradhabasu mungkin

hanya sedang memberi pelajaran kepadamu. Jika Pradhabasu

mengambil kembali anaknya, itu karena anak itu memang miliknya

maka wajar kalau ia meminta kembali.”

Gagak Bongol mengalami kesulitan untuk menerima keadaan

itu. Akan tetapi, bila Pradhabasu meminta kembali, mau apa?

Dengan hati yang tak lagi penuh karena sebagian telah berongga,

Gagak Bongol memacu kudanya kembali memimpin kerja besar

pencandian dan pendarmaan Sang Prabu Jayanegara. Kerja besar

yang butuh waktu beberapa hari itu harus dilanjutkan.21

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa

1 Udara yang dihirup bagai belum mencukupi paru-

parunya.

Simile

2 “Mengapa ia meminta kembali?” Gagak Bongol

meledakkan isi dadanya

Hiperbola

3 Pradhabasu mungkin hanya sedang memberi pelajaran

kepadamu.

Metafora

21

Ibid., h. 501.

Page 165: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

154

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat

1 “Anak itu sudah diserahkan kepadaku dan aku mulai

menyukainya.

Berimbang

2 Jika Pradhabasu mengambil kembali anaknya, itu karena

anak itu memang miliknya maka wajar kalau ia meminta

kembali.

Periodik

3 Dengan hati yang tak lagi penuh karena sebagian telah

berongga, Gagak Bongol memacu kudanya kembali

memimpin kerja besar pencandian dan pendarmaan Sang

Prabu Jayanegara.

Periodik

Dari hasil pendataan penggunaan sarana retorika berupa gaya bahasa

dan penyiasatan struktur kalimat terhadap alur tambahan kedua yang berkisah

tentang perseteruan antara Gagak Bongol dengan Pradhabasu, penulis dapat

mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Tahap Pengenalan

a. Gaya bahasa : 14 kali

b. Struktur Kalimat : 4 kali

Total :18 kali penggunaan retorika tekstual

2. Tahap Konflik

a. Gaya bahasa : 7 kali

b. Struktur Kalimat : 10 kali

Total : 17 kali penggunaan retorika tekstual

3. Sekuen Klimaks

a. Gaya bahasa : 9 kali

Page 166: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

155

b. Struktur Kalimat : 7 kali

Total : 16 kali penggunaan retorika tekstual

4. Klimaks

a. Gaya bahasa : 15 kali

b. Struktur kalimat : 13 kali

Total : 28 kali penggunaan retorika tekstual

5. Sekuen Leraian

a. Gaya bahasa : 2 kali

b. Struktur Kalimat : 2 kali

Total : 4 kali penggunaan retorika tekstual

6. Leraian

a. Gaya bahasa : 4 kali

b. Struktur Kalimat : 6 kali

Total : 10 kali penggunaan retorika tekstual

7. Penyelesaian

a. Gaya bahasa : 3 kali

b. Struktur Kalimat : 3 kali

Total : 6 kali penggunaan retorika tekstual

Dari hasil tersebut, dapat diketahui bahwa tahap yang paling sering

menggunakan sarana retorika dalam penyajiannya terdapat pada tahap klimaks,

yaitu sebanyak dua puluh delapan kali. Hal ini sama dengan apa yang terjadi

pada alur utama pada novel ini yang penggunaan sarana retorika tekstual

terbanyak terletak pada tahap klimaks.

Klimaks pada alur bawahan kedua ini bercerita tentang kebulatan hati

Pradhabasu yang ingin meninggalkan Prajaka di bawah asuhan Gagak Bongol.

Dengan seringnya digunakan sarana retorika dalam novel ini, dapat diketahui

bahwa klimaks dalam alur ini begitu penting untuk menghasilkan efek yang

dramatis. Semua tokoh yang terlibat dalam alur ini tidak menyangka bahwa

Page 167: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

156

Pradhabasu yang sangat menyayangi keponakannya itu akan bersungguh-

sungguh menyerahkan hak asuhnya kepada Gagak Bongol yang begitu ia benci.

Suasana kaget dan tidak percaya inilah yang hendak diwujudkan oleh

pengarang dengan seringnya penggunaan sarana retorika dalam penyajiannya.

Untuk mencapai efek tersebut, dalam penyajian tahap ini, pengarang

menggunakan gaya bahasa antonomasia, metafora, personifikasi, hiperbola,

pleonasme, perifrasis, simile dan pars prototo.

Penggunaan gaya bahasa penekanan, seperti pleonasme dan perifrasis,

dimanfaatkan untuk memberikan penekanaan pada makna yang hendak

disampaikan. Kedua gaya bahasa ini digunakan pada kalimat, “Untuk beberapa

saat Ratu Biksuni Gayatri terdiam tak berbicara” (pleonasme) dan “Dengan

berpamitan seperti itu, Pradhabasu benar-benar mengabaikan tawaran yang ia

berikan untuk kembali bergabung dan mengabdi menjadi bagian dari pasukan

yang pernah ditinggalkannya, Bhayangkara. (perifrasis)

Dari kalimat bergaya bahasa pleonasme tersebut, pengarang ingin agar

pembaca benar-benar yakin bahwa Gayatri benar-benar kehilangan kata-kata

untuk membalas pamit Pradhabasu. Begitu pula halnya dengan penggunaan

gaya bahasa perifrasis pada kalimat tersebut. Lewat kalimat ini, pembaca bisa

mendapatkan info bahwa sebelumnya, Pradhabasu pun menjadi prajurit di

Bhayangkara.

Penggunaan gaya bahasa kiasan yang berupa metafora, personifikasi,

simile, dan juga pars prototo juga menambah semarak efek yang dirasakan oleh

pembaca. Lewat gaya bahasa-gaya bahasa inilah, pembaca bisa mendapatkan

gambaran jelas tentang suasana yang disajikan. Dengan begitu, pembaca

dengan mudah memaknai amanat yang hendak disampaikan.

Tidak hanya itu, penggunaan struktur kalimat periodik pada tahap

klimaks ini menambahkan efek tegang dan penasaran sedangkan penggunaan

kalimat berimbang digunakan pengarang untuk membuat pembaca

mendapatkan informasi penting seputar adegan klimaks ini.

Page 168: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

157

4. Analisis Penggunaan Sarana Retorika pada Alur Tambahan Ketiga

4.1. Pengenalan

Ucapan Gajah Mada itu disimak dengan mata cermat. Tidak

seorang pun yang menanggapi. Satu-satunya orang yang berbeda

sikap, tetapi hanya menyimpan di dalam hati adalah Ra Kembar.

Ra Kembar meski menyandang gelar Rakrian, ia hanya seorang

lurah yang membawahi sekitar lima puluh prajurit. Ra Kembar

yang berasal dari kesatuan Sapu Bayu tesenyum sinis. Ra Kembar

punya alasan untuk tidak senang kepada Gajah Mada karena ia

bersahabat akrab dengan segenap Dharmaputra Winehsuka.

“Gajah Mada bisanya hanya menyalahkan orang lain,” kata

hati Ra Kembar. “Saat Ra Tanca membunuh Sang Prabu di

biliknya, bukankah ia berada di ruangan itu. Ia yang mengawasi Ra

Tanca melakukan pengobatan. Artinya, ia mestinya bertanggung

jawab terhadap keselamatan rajanya, mengapa orang lain yang

tidak bersalah harus menanggung akibatnya. Lucu Gajah Mada.”

Meski berpendapat demikian, Ra Kembar tidak melontarkan

pendapat itu. Ra Kembar menyimpan pendapat itu dalam hati.22

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa

1 Saat Ra Tanca membunuh Sang Prabu di biliknya, Antonomasia

2 Bukankah ia berada di ruangan itu. Retoris

3 Mengapa orang lain yang tidak bersalah harus

menanggung akibatnya.

Retoris

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat

22

Ibid., h. 135.

Page 169: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

158

1 Satu-satunya orang yang berbeda sikap, tetapi hanya

menyimpan di dalam hati adalah Ra Kembar.

Berimbang

2 Ra Kembar meski menyandang gelar Rakrian, ia hanya

seorang lurah yang membawahi sekitar lima puluh

prajurit.

Berimbang

3 Ra Kembar punya alasan untuk tidak senang kepada

Gajah Mada karera ia bersahabat akrab dengan segenap

Dharmaputra Winehsuka.

Kendur

4 Saat Ra Tanca membunuh Sang Prabu di biliknya,

bukankah ia berada di ruangan itu

Berimbang

5 Meski berpendapat demikian, Ra Kembar tidak

melontarkan pendapat itu

Berimbang

4.2. Konflik

“Ada sebuah kekuatan yang diam-diam mempersiapkan diri

melakukan makar di sebuah tempat bernama Karang Watu. Mereka

membangun kekuatan yang kelak akan digunakan untuk

memberontak. Menurut pembicaraan itu disimpulkan, kekuatan

makar itu ada hubungannya dengan pembunuhan-pembunuhan

yang terjadi kemarin. Kekuatan makar itu menggunakan lambang

buah maja yang dibelit ular, dipimpin oleh seorang pemuda

bernama Raden Panji Rukmamurti. Gajah Mada akan menyerbu

kekuatan itu, tetapi menurutku, kau mempunyai kesempatan untuk

mendahului. Jika kau berhasil mematahkan kekuatan

pemberontakan itu, artinya apa yang kaulakukan menyamai apa

yang dilakukan Gajah Mada ketika meradam Ra kuti. Tak menutup

kemungkinan pangkat dan jabatanmu akan melesat membelah

langit.”

Wajah Ra Kembar sangat berseri-seri. Kesempatan yang

diidam-idamkan kini telah berada di depannya. Tidak ada ruginya

ia menjalin persahabatan dengan Singajaya meskipun ia mata

duitan.

“Karang Watu”? tanya Ra Kembar.

Singajaya mengangguk.

Page 170: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

159

“Kautahu tempat itu?” balas Singajaya.

Ra Kembar meliukkan badan, melemaskan otot-otot.

“Ya Sebuah pedukuhan yang terlindung oleh tebing tinggi dan

sungai meliuk. Menurutku sangat masuk akal bila pedukuhan itu

dijadikan tempat kegiatan macam itu. Jika pintunya yang berbentuk

leher angsa dijaga ketat maka tak seorang pun yang akan tahu apa

kegiatan yang terjadi di sana.”

“Rupanya ada ada rencana makar di sana?” gumam Kembar.

“Itulah yang kudengar dari pembicaraan itu.”

“Baiklah,” ucap Ra Kembar. “Aku sangat menghargai

keterangan yang kamu jual kepadaku. Sebagaimana saranmu, aku

akan bertindak cepat. Akan aku kumpulkan teman-temanku. Cukup

hanya dengan mereka dan para anak buahku, tempat yang kausebut

itu akan bosah baseh. Tak perlu menunggu besok, tengah malam

ini juga akan aku gempur mereka yang berani coba-coba berniat

makar itu. Akan kulihat bagaimana raut wajah Gajah Mada setelah

melihat sepak terjangku.”23

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa

1 Tak menutup kemungkinan pangkat dan jabatanmu

akan melesat membelah langit.”

Hiperbola

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat

1 Menurut pembicaraan itu disimpulkan, kekuatan

makar itu ada hubungannya dengan pembunuhan-

pembunuhan yang terjadi kemarin.

Periodik

2 Gajah Mada akan menyerbu kekuatan itu, tetapi

menurutku, kau mempunyai kesempatan untuk

mendahului.

Berimbang

23

Ibid., h 376-377.

Page 171: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

160

3 Jika kau berhasil mematahkan kekuatan pemberontakan

itu, artinya apa yang kaulakukan menyamai apa yang

dilakukan Gajah Mada ketika meradam Ra kuti.

Periodik

4 Jika pintunya yang berbentuk leher angsa dijaga ketat

maka tak seorang pun yang akan tahu apa kegiatan yang

terjadi di sana.

Periodik

5 Sebagaimana saranmu, aku akan bertindak cepat. Periodik

6 Tak perlu menunggu besok, tengah malam ini juga akan

aku gempur mereka yang berani coba-coba berniat

makar itu.

Periodik

7 Akan kulihat bagaimana raut wajah Gajah Mada setelah

melihat sepak terjangku.

Berimbang

4.3. Sekuen Klimaks

“Bagaimana denganmu?” tanya Ra Kembar.

“Aku ikut.”

“Menurutmu, bagaimana kira-kira sikap Singa Darba?” tanya

Ra Kembar.

“Sikapnya sudah jelas,” jawab Ajar Langse.

“Aku menyesal terlalu terbuka dengan menceritakan melalui

cara bagimana aku memperoleh keterangan penting itu. Singa

Darba memang tak mungkin mengadu kepada Gajah Mada, namun

dapat dipastikan ia akan mengadu kepada Senopati Haryo Teleng,

pimpinannya.”

Sebagaimana Ra Kembar, pada dasarnya Ajar Langse juga

jenis prajurit yang kurang perhitungan. Usulannya bahkan bisa tak

masuk akal dan berlebihan.

“Soal Singa Darba serahkan saja kepadaku. Aku akan

berbicara lagi dengannya. Apabila ia berniat mengadu kepada

pimpinannya, aku akan membungkam mulutnya selamanya.

Tenang saja, aku bisa diandalkan untuk pekerjaan macam itu.”

Hening dan senyap mengalirkan udara di Bale Gringsing,

menemani Rakrian Kembar dalam berpikir. Wajah Senopati Gajah

Page 172: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

161

Enggon yang pucat seperti orang mati sungguh menarik

perhatiannya, menumbuhkan gagasan bengkok dari benaknya.

“Kalau kelak aku berhasil menapaki pangkat yang lebih tinggi

aku tidak akan melupakannmu. Itu sebabnya, aku berharap kita

selalu bersama. Keadaan apapun kita hadapi bersama tanpa harus

menyimpan rasa takut. Gabungan kekuatan kita pasti bisa dan

mampu dihadapkan dengan Gajah Mada. Kelak pada saatnya

semua orang akan tahu Ra Kembar dan Ajar Langse adalah

prajurit-prajurit yang tak bisa diremehkan. Sungguh tidak pantas

Ra Kembar menduduki jabatan sekarang, pantasnya Ra Kembar

sudah berpangkat senopati. Bahkan, menjadi panglima pun sudah

sangat pantas.”24

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa

1 Apabila ia berniat mengadu kepada pimpinannya, aku

akan membungkam mulutnya selamanya.

Perifrasis

2 Hening dan senyap mengalirkan udara di Bale

Gringsing.

Personifikasi

3 Wajah Senopati Gajah Enggon yang pucat seperti orang

mati sungguh menarik perhatiannya

Simile

4 menumbuhkan gagasan bengkok dari benaknya. Metafora

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat

1 Singa Darba memang tak mungkin mengadu kepada Berimbang

24

Ibid., h. 414-415.

Page 173: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

162

Gajah Mada, namun dapat dipastikan ia akan mengadu

kepada Senopati Haryo Teleng, pimpinannya.

2 Sebagaimana Ra Kembar, pada dasarnya Ajar Langse

juga jenis prajurit yang kurang perhitungan.

Periodik

3 “Kalau kelak aku berhasil menapaki pangkat yang lebih

tinggi aku tidak akan melupakannmu.

Klimaks

4 Itu sebabnya, aku berharap kita selalu bersama.

5 Keadaan apapun kita hadapi bersama tanpa harus

menyimpan rasa takut.

6 Gabungan kekuatan kita pasti bisa dan mampu

dihadapkan dengan Gajah Mada.

7 Kelak pada saatnya semua orang akan tahu Ra Kembar

dan Ajar Langse adalah prajurit-prajurit yang tak bisa

diremehkan.

8 Sungguh tidak pantas Ra Kembar menduduki jabatan

sekarang, pantasnya Ra Kembar sudah berpangkat

senopati.

9 Bahkan, menjadi panglima pun sudah sangat pantas.”

4.5.Klimaks Rakrian Kembar salah besar dalam mengukur kekuatan musuh.

Ra Kembar dengan lima puluh orang anak buahnya memandang ke

seberang sungai tempat Karang Watu berada dengan penuh

perhatian. Dalam siraman cahaya bulan yang mulai memanjat

langit dan cukup untuk melapangkan jarak pandang, dengan pacak

baris penuh keyakinan, Ra Kembar menyiapkan taklimat sebelum

penyerbuan.

Tepat lima puluh orang jumlah prajurit yang mendukung

penyerbuan itu. Tiap sepuluh orang prajurit dengan pangkat

rendahan berada di bawah pimpinan seorang prajurit yang

dituakan, masing-masing adalah Prajurit Bajang Laut, Prajurit

Page 174: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

163

Kenayan, Prajurit Sulung Baung, Prajurit Goda Pasa, dan Prajurit

Arya Pamgat Jiwa.

“Kita manfaatkan perahu yang ada untuk menyeberang, begitu

sampai di sana langsung mengendap. Kita serbu mereka dengan

serangan mendadak”

Ra Kembar benar-benar telah mempersiapkan mereka dengan

sebaik-baiknya. Juga membakar semangat melalui menebar janji-

janji, mereka yang berjasa pada negara akan mendapatkan

anugerah pangkat menjadi lurah prajurit semua. Ra Kembar

menjanjikan kepada pendukungnya untuk bersama-sama mukti

wiwaha, tidak sebaiknya hamukti lara lapa terus sepanjang waktu.

“Semua siap?” tanya Ra Kembar tegas.

“Tandya,” jawab para prajurit pendukungnya serentak.

Rakrian Kembar akhirnya memberi isyarat untuk naik ke atas

perahu yang telah tersedia di tempat itu tanpa rasa curiga sedikit

pun, mengapa ada banyak perahu bagai dengan sengaja disiapkan

untuk menyambut kedatangan mereka. Ra Kembar merasa

penyerbuan itu terlalu mudah. Lebar sungai yang setara separuh

lebar Tambak Segaran bisa menyulitkan bagi mereka yang tidak

bisa berenang. Namun, dengan tersedianya perahu-perahu,

penyeberangan ke Karang Watu terasa sangat mudah. Bahkan

untuk membekuk gerombolan para petualang pun sangatlah mudah.

Ra Kembar bahkan sangat tidak sabar untuk bisa sampai ke

seberang. Itulah sebabnya, Ra Kembar menempatkan diri

bergabung dengan perahu paling depan yang bisa diisi oleh sepuluh

orang. Disusul perahu berikutnya yang menampung sejumlah itu

pula. Disusul lagi oleh perahu berikutnya dan perahu berikutnya.25

A. Gaya Bahasa

25

Ibid., h. 449-450.

Page 175: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

164

No Kalimat Gaya bahasa

1 Dalam siraman cahaya bulan yang mulai memanjat

langit dan cukup untuk melapangkan jarak pandang,

dengan pacak baris penuh keyakinan, Ra Kembar

menyiapkan taklimat sebelum penyerbuan.

Personifikasi

2 Juga membakar semangat melalui menebar janji-janji,

mereka yang berjasa pada negara akan mendapatkan

anugerah pangkat menjadi lurah prajurit semua.

Hiperbola

3 Bahkan untuk membekuk gerombolan para petualang

pun sangatlah mudah.

Eufimisme

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat

1 Dalam siraman cahaya bulan yang mulai memanjat

langit dan cukup untuk melapangkan jarak pandang,

dengan pacak baris penuh keyakinan, Ra Kembar

menyiapkan taklimat sebelum penyerbuan.

Periodik

2 Juga membakar semangat melalui menebar janji-janji,

mereka yang berjasa pada negara akan mendapatkan

anugerah pangkat menjadi lurah prajurit semua.

Periodik

3 Lebar sungai yang setara separuh lebar Tambak Segaran

bisa menyulitkan bagi mereka yang tidak bisa berenang.

Berimbang

4 Namun, dengan tersedianya perahu-perahu,

penyeberangan ke Karang Watu terasa sangat mudah.

5 Disusul perahu berikutnya yang menampung sejumlah

itu pula.

Repetisi

Page 176: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

165

6 Disusul lagi oleh perahu berikutnya dan perahu

berikutnya.

7 Ra Kembar dengan lima puluh orang anak buahnya

memandang ke seberang sungai tempat Karang Watu

berada dengan penuh perhatian.

Kendur

8 Kita manfaatkan perahu yang ada untuk menyeberang,

begitu sampai di sana langsung mengendap.

Klimaks

9 Kita serbu mereka dengan serangan mendadak.

10 Ra Kembar menjanjikan kepada pendukungnya untuk

bersama-sama mukti wiwaha, tidak sebaiknya hamukti

lara lapa terus sepanjang waktu.

Berimbang

11 Rakrian Kembar akhirnya memberi isyarat untuk naik ke

atas perahu yang telah tersedia di tempat itu tanpa rasa

curiga sedikit pun, mengapa ada banyak perahu bagai

dengan sengaja disiapkan untuk menyambut kedatangan

mereka.

Periodik

5. Sekuen Leraian

Tak seorang pun dari mereka yang menyadari bahaya sedang

mengintai. Sungai yang dalam mengalir tenang dengan air serasa

tidak bergerak, tetapi di bagian bawah ada arus yang tidak wajar,

itulah arus bawah yang sulit ditebak ke mana geraknya. Apalagi,

yang berada di arus bawah itu bukanlah keadaan yang wajar tentu,

karena ada puluhan orang yang berenang di kedalaman. Mereka

bisa bertahan di bawah air karena menggunakan ruas bambu

seruling untuk bernapas.

Betapa terperanjat Ra Kembar yang hampir sampai di seberang

itu ketika tiba-tba perahu yang ditumpanginya bergoyang dengan

keras. Demikian kuat goyangan itu menyebabkan perahu itu

terbalik dan penumpangya tercebur berhamburan. Tidak bisa

ditolak kemalangan yang datang karena pisau-pisau dari bawah air

menawarkan tikaman yang mematikan.

Page 177: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

166

“Gila, apa ini?” Ra Kembar berteriak.

Apa yang terjadi tidak hanya menimpa perahu Ra Kembar,

tetapi juga perahu-perahu di belakangnya yang jungkir balik

menumpahkan semua penumpang. Serangan yang datang dengan

cara tidak terduga-duga itu mengisap habis kekuatan yang dibawa

Ra Kembar. Kekuatan itu yang dipikir cukup untuk menggilas

Karang Watu itu langsung larut memberi warna merah, itulah darah

dari luka-luka. Seorang prajurit mengalami kesulitan luar biasa

setelah tercebur dalam air karena tidak bisa berenang. Air yang

bagai tanpa dasar menyulitkannya, tetapi ayunan pisau yang

menghujam perutnya menyebabkan prajurit itu dengan sekuat

tenaga membayangkan raut wajah adiknya. Adik perempuan satu-

satunya yang sedang sangat membutuhkannya setelah kedua

orangtuanya meninggal. Kecemasan yang luar biasa dihadapi

prajurit itu. Tidak sekedar takut terhadap datangnya kematian,

tetapi lebih karena cemas memikirkan Sri Widati, siapa yang nanti

yang akan melindunginya setelah ia juga pergi untuk selamanya.

“Mati aku, mati aku,” prajurit itu mengalami kesakitan dan

kebingungan luar biasa.26

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa

1 Tak seorang pun dari mereka yang menyadari bahaya

sedang mengintai.

Personifikasi

2 Tidak bisa ditolak kemalangan yang datang karena

pisau-pisau dari bawah air menawarkan tikaman yang

mematikan.

Personifikasi

3 Air yang bagai tanpa dasar menyulitkannya Simile

B. Struktur Kalimat

26

Ibid., 450-451.

Page 178: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

167

No Kalimat Struktur Kalimat

1 Sungai yang dalam mengalir tenang dengan air serasa

tidak bergerak, tetapi di bagian bawah ada arus yang

tidak wajar, itulah arus bawah yang sulit ditebak ke

mana geraknya.

Berimbang

2 Mereka bisa bertahan di bawah air karena menggunakan

ruas bambu seruling untuk bernapas.

Kendur

3 Betapa terperanjat Ra Kembar yang hampir sampai di

seberang itu ketika tiba-tiba perahu yang ditumpanginya

bergoyang dengan keras.

Berimbang

4 Seorang prajurit mengalami kesulitan luar biasa setelah

tercebur dalam air karena tidak bisa berenang.

Kendur

5 Air yang bagai tanpa dasar menyulitkannya, tetapi

ayunan pisau yang menghujam perutnya menyebabkan

prajurit itu dengan sekuat tenaga membayangkan raut

wajah adiknya

Berimbang

6 Tidak sekedar takut terhadap datangnya kematian, tetapi

lebih karena cemas memikirkan Sri Widati, siapa yang

nanti yang akan melindunginya setelah ia juga pergi

untuk selamanya.

Berimbang

4.6. Leraian

Namun, tidak ada kalimat yang bisa dituntaskan dalam

teriakkan karena arus bawah menyeretnya untuk masuk ke pintu

gerbang kematian yang terbuka lebar.

Ra Kembar memanfaatkan kesempatan yang dimiliki untuk

melesat berenang sekuat-kuatnya. Namun, Ra Kembar hanya

menahan napas ketika sampai ke seberang disambut ujung tombak

yang terarah ke mukanya. Senyap tanpa ada kegaduhan menjadi

Page 179: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

168

pertanda, serangan yang digelar itu langsung selesai. Yang ada

tinggal kegiatan mengikat sisa penyerbu yang menyerah dan

membiarkan mereka yang terajur menjadi mayat ikut hanyut

bersama aliran sungai.

Rakrian Kembar merasa jantungnya akan lepas. Ra Kembar

yang dipaksa meletakkan tangan di atas kepala menyempatkan

memerhatikan bagaimana nasib segenap anak buahnya dan

merenungkan bagaimana cara mempertanggungjawabkan peristiwa

yang terjadi itu di depan Senopati Panji Suryo Manduro, bahkan di

depan Gajah Mada, orang yang tak disukainya itu.

Ra Kembar kembali terjengkang ketika seseorang menendang

dadanya. Apa yang dialami Rakrian Kembar meleset jauh dari apa

yang dibayangkan. Seorang laki-laki dengan wajah dihitamkan

jelaga menggelandangnya, menyebabkan Ra Kembar jatuh bangun.

Ra Kembar melihat tidak hanya dirinya yang mengalami nasib

seperti itu, tetapi sisa-sisa anak buahnya yang selamat. Pertempuran

yang dibayangkan akan berlangsung seru, angan-angan menangkap

pemimpin orang-orang Karang Watu tidak terwujud. Sebaliknya,

dalam kurun waktu yang sangat singkat, Ra Kembar harus

meletakkan tangan di belakang dan diikat menggunakan tali

janget.27

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa

1 Tidak ada kalimat yang bisa dituntaskan dalam

teriakkan karena arus bawah menyeretnya untuk masuk

ke pintu gerbang kematian yang terbuka lebar.

Metafora

2 Senyap tanpa ada kegaduhan menjadi pertanda,

serangan yang digelar itu langsung selesai.

Pleonasme

3 Yang ada tinggal kegiatan mengikat sisa penyerbu yang

menyerah dan membiarkan mereka yang terajur menjadi

mayat ikut hanyut bersama aliran sungai.

Sinisme

4 Rakrian Kembar merasa jantungnya akan lepas. Hiperbola

27

Ibid., h. 451-452.

Page 180: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

169

5 Ra Kembar yang dipaksa meletakkan tangan di atas

kepala

Perifrasis

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat

1 Ra Kembar memanfaatkan kesempatan yang dimiliki

untuk melesat berenang sekuat-kuatnya.

Berimbang

2 Namun, Ra Kembar hanya menahan napas ketika sampai

ke seberang disambut ujung tombak yang terarah ke

mukanya.

3 Ra Kembar yang dipaksa meletakkan tangan di atas

kepala menyempatkan memerhatikan bagaimana nasib

segenap anak buahnya dan merenungkan bagaimana

cara mempertanggungjawabkan peristiwa yang terjadi

itu di depan Senopati Panji Suryo Manduro,

Berimbang

4.7. Penyelesaian

“Ini dia pahlawan yang ditunggu-tunggu kepulangannya itu.”

Rakrian Kembar semula tidak mengenali siapa saja orang-

orang yang berdiri di hadapannya karena semua wajah dihitamkan

menggunakan jelaga. Namun, Kembar masih bisa mengenali

suaranya. Orang yang baru berbicara itu adalah Bhayangkara Riung

Samudra.

“Bagaimana, Ra Kembar? Upayamu menggulung Karang

Watu berhasil?”

Ra Kembar merasa lebih baik bila dikelupas wajahnya.

Setidaknya memang ada penyesalan dalam hatinya, namun apa

mau dikata, nasi telah menjadi bubur. Apa yang terjadi telah

terlanjur dengan hasil berupa kotoran yang berlepotan di wajahnya.

Akan tetap, orang-orang yang dikenalinya sebagai

Bhayangkara Jayabaya, Riung Samudra, Panjang Sumprit, tidak

memberikan perhatian kepadanya terlalu lama. Bhayangkara

Jayabaya bertindak cekatan denga membebaskan Rakrian Kembar

Page 181: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

170

dari ikatan talinya, demikian juga dengan sepuluh anak buahnya

yang tersisa.

“Berapa orang yang kaubawa?” tiba-tiba terdengar bertanya

dari arah belakang.

Ra Kembar berbalik.

“Lima puluh orang,” jawab Ra Kembar dengan lidah kelu.

Sulit membaca bagaimana isi hati di balik wajah Bhayangkara

Lembu Pulung yang telah dihitamkan itu. Lembu Pulung menebar

pandang memerhatikan keadaan dengan saksama, menyusur tebing

tinggi di belakang bangungan induk, menggerataki bangungan

induk berbentuk pendapa dan bangsal panjang yang juga beratap

rumbia. Lembu Pulung akhirnya menjatuhkan pandangan matanya

ke halaman luas yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan apa saja.

Dengan luas dua kali lipat Tambak Segaran atau lebih, Karang

Watu sanggup menampung prajurit sebesar Jalapati sekalipun. Ke

depan Karang Watu bisa menjadi tempat yang berbahaya.

Beruntunglah sepak terjang orang-orang Karang Watu itu keburu

kemanungsan.

“Apa yang kita lakukan sekarang?” tanya Riung Samudra yang

mendekat.

“Kita tinggalkan, pekerjaan sisanya biarlah dituntaskan oleh

Ra Kembar yang akan dibantu Haryo Teleng dan Suryo Manduro,”

Lembu Pulung menjawab.

Jawaban itu mengagetkan Ra Kembar yang makin merasa

tidak nyaman. Ra Kembar membayangkan ke depan akan

mengalami kesulitan besar, tak tahu apa yang harus dilakukan

untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada

pimpinannya. Melangkah tanpa minta izin pimpinan, hal itu

merupakan kesalahan yang berat, apalagi kini terbukti terlalu

banyak korban jiwa yang jatuh sebagai akibat kecerobohan yang

diperbuatnya. Ke depan pula namanya akan menjadi buah bibir.

Siapa pun akan menertawakannya. Para gadis tak lagi

mengaguminya, mereka akan menjadikannya sebagai bahan

guyonan.28

A. Gaya Bahasa

28

Ibid., h. 462-464.

Page 182: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

171

No Kalimat Gaya bahasa

1 “Ini dia pahlawan yang ditunggu-tunggu kepulangannya

itu.”

Sinisme

2 “Bagaimana, Ra Kembar? Upayamu menggulung

Karang Watu berhasil?”

Retoris

3 Ra Kembar merasa lebih baik bila dikelupas wajahnya Metafora

4 Apa yang terjadi telah terlanjur dengan hasil berupa

kotoran yang berlepotan di wajahnya.

Metafora

5 Ke depan pula namanya akan menjadi buah bibir. Metafora

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat

1 Rakrian Kembar semula tidak mengenali siapa saja

orang-orang yang berdiri di hadapannya karena semua

wajah dihitamkan menggunakan jelaga.

Kendur

2 Namun, Kembar masih bisa mengenali suaranya. Berimbang

3 Lembu Pulung yang telah dihitamkan itu. Lembu Pulung

menebar pandang memerhatikan keadaan dengan

saksama, menyusur tebing tinggi di belakang bangungan

induk, menggerataki bangungan induk berbentuk

pendapa dan bangsal panjang yang juga beratap rumbia.

Paralelisme

Dari hasil pendataan mengenai pemakaian sarana retorika berupa gaya

bahasa dan penyiasatan struktur pada alur ketiga ini, penulis mendapat

kesimpulan seperti di bawah ini:

1. Tahap Pengenalan

Page 183: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

172

a. Gaya bahasa : 3 kali

b. Struktur Kalimat : 5 kali

Total : 8 kali penggunaan retorika tektual

2. Tahap Konflik

a. Gaya bahasa : 1 kali

b. Struktur Kalimat : 7 kali

Total : 8 kali penggunaan retorika tekstual

3. Sekuen Klimaks

a. Gaya bahasa : 4 kali

b. Struktur Kalimat : 9 kali

Total : 13 kali penggunaan retorika tekstual

4. Klimaks

a. Gaya bahasa : 3 kali

b. Struktur kalimat : 11 kali

Total : 14 kali penggunaan retorika tekstual

5. Sekuen Leraian

a. Gaya bahasa : 3 kali

b. Struktur Kalimat : 6 kali

Total : 9 kali penggunaan retorika tekstual

6. Leraian

a. Gaya bahasa : 5 kali

b. Struktur Kalimat : 3 kali

Total : 8 kali penggunaan retorika tekstual

7. Penyelesaian

a. Gaya bahasa : 5 kali

b. Kalimat : 3 kali

Total : 8 kali penggunaan retorika tekstual

Page 184: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

173

Dari hasil temuan tersebut, dapat diketahui bahwa tahap yang paling

sering menggunakan sarana retorika adalah tahap klimaks, yakni sebanyak 14

kali. Lalu, disusul oleh tahap sekuen pertama yang menggunakan 13 kali sarana

retorika dan tahap sekuen kedua sebanyak 9 kali dalam penyajian adegannya.

Dengan banyaknya sarana retorika yang digunakan dalam tahap

klimaks, terbukti bahwa dalam sebuah cerita adegan yang dipentingkan adalah

tahap klimaks. Dalam tahap ini, pembaca akan merasakan titik puncak dari

emosi yang telah terbangun dari tahap awal. Akan sangat mengecewakan bila

dari awal penceritaan penyajian yang diberikan menggunakan banyak sekali

sarana retorika, tetapi di adegan klimaks, pembaca disuguhi adegan dengan

penyajian yang biasa saja. Tidak ada alasan untuk menyajikan adegan klimaks

dengan cara yang biasa saja karena betapapun menariknya sebuah adegan tapi

tidak disajikan dengan cara yang menarik, pembaca tidak akan mampu

merasakan daya tarik dari adegan tersebut. Malah pembaca tidak akan

menyadari bahwa ia sebenarnya telah membaca adegan klimaks tersebut.

Dengan menggunakan sarana retorika pada tahap klimaks, pembaca

akan semakin dimudahkan untuk memahami maksudnya dan akan pula semakin

teraduk emosinya. Dengan hadirnya perasaan semacam itu, pembaca akan

merasakan kepuasan yang sangat indah bila berhasil menyelesaikan cerita

tersebut.

Juga, dalam tahapan ini, lebih banyak digunakan struktur kalimat

daripada penggunaan gaya bahasa. Penyiasatan struktur dalam tahap ini

digunakan sebanyak 10 kali sedangkan gaya bahasa hanya 3 kali. Hal ini bisa

terjadi karena adegan yang diceritakan ada tahap ini adalah adegan penyerbuan

ala militer yang tentunya harus meminimalisir penggunaan kalimat bergaya

bahasa demi keefektifan penceritaan adegan penyerangan. Namun, untuk

mempertahankan pembaca, pengarang menyajikannya dengan struktur kalimat

periodik yang berfungsi untuk menimbulkan efek tegang dan penasaran,

kalimat berimbang yang bertujuan untuk memberikan banyak info penting dari

Page 185: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

174

satu kalimat, gaya bahasa klimaks yang digunakan untuk menghasilkan efek

ketegangan yang memuncak, dan kalimat kendur yang dimanfaatkan pengarang

untuk menyampaikan informasi penting sejak awal pembacaan kalimat.

Bila dicermati lebih dalam, penggunaan sarana retorika dalam tahapan

alur bawahan ketiga ini jauh lebih sedikit bila dibandingkan pada tahapan alur

utama dan kedua alur bawahan lainnya. Hal ini disebabkan dari tingkat

kepentingan dan juga keterkaitan alur bawahan terhadap alur utama. Pada alur

bawahan pertama dan kedua masih memiliki beberapa keterkaitan terhadap alur

utama. Namun, alur bawahan terakhir ini sama sekali tidak memiliki

keterkaitan dengan alur utama, pun juga dengan kedua alur bawahan lainnya.

Kehadian alur ketiga ini hanya sebagai refleksi terhadap pembaca

mengenai keadaan manusia yang semakin hari semakin melupakan kapasitas

dirinya sendiri. Hal ini dicerminkan dari Ra Kembar yang memiliki sifat

sombong dan juga haus untuk membuktikan diri sendiri tanpa mengukur siapa

lawan dan siapa dirinya sendiri. Lewat alur ini, pengarang memberitahu

pembaca bahwa segala sesuatu yang dilakukan dengan mengedepankan nafsu

tidak akan membuahkan hasil kecuali kegagalan.

Dari hasil pendataan semua alur yang ada dalam novel ini, dapat

diketahui bahwa alur yang paling banyak menggunakan sarana retorika adalah

alur utama sebanyak 103 kali penggunaan. Lalu, posisi kedua ditempati oleh

alur bawahan pertama dan kedua, yakni masing-masing sebanyak sebanyak 99

kali dan di posisi terakhir oleh alur bawahan ketiga menggunakan 68 kali

sarana retorika.

Dengan seringnya pengunaan sarana retorika dalam alur utama dapat

dibuktikan bahwa alur atau cerita yang paling penting dalam sebuah novel

disajikan dengan cara yang paling menarik daripada alur lainnya. Hal ini

dikarenakan ada amanat utama yang ingin disampaikan oleh pengarang lewat

alur utama tersebut. Dibandingkan ketiga alur bawahan, alur utama ini memiliki

Page 186: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

175

tingkat kepentingan yang paling tinggi mengingat yang dikisahkan adalah

upaya untuk mendapatkan sesuatu dengan cara yang tidak baik.

Nilai moral yang ingin disampaikan lewat alur utama ini adalah sesuatu

yang dilakukan dengan cara yang tidak baik maka akan berdampak buruk

kepada pelakunya. Secara umum, pesan ini begitu sederhana dan terkesan

monoton, tetapi pesan ini sangat berpengaruh dan memiliki keterkaitan yang

erat dengan kehidupan saat ini. Karena terjepit masalah ekonomi yang tak

kunjung menemukan titik solusinya, banyak orang yang rela melakukan apapun

untuk bisa mengikuti perkembangan zaman. Mereka tidak lagi peduli

bagaimana cara mendapatkannya dan apa akibat yang akan diterima karena

dalam benak mereka hanya bagaimana cara memenuhi hawa nafsu saja. Contoh

nyata yang tak bisa dielakkan lagi, kasus korupsi. Dengan seringnya sarana

retorika yang digunakan untuk menyajikan cerita ini, pembaca bisa lebih mudah

menangkap maksud pengarang.

Sama halnya dengan alur bawahan lainnya. Peringkat pertama terdapat

pada alur bawahan kedua yang bercerita tentang Pradhabasu dan Gagak

Bongol. Pesan yang ingin disampaikan pengarang lewat alur bawahan ini lebih

penting dan mendesak untuk disampaikan. Amanat yang terkandung dalam alur

bawahan kedua adalah maafkanlah kesalahan masa lalu. Dengan apik

pengarang mengemas pesan tersebut sehingga pembaca tidak merasai digurui

oleh pengarang. Hanya terpaut empat angka saja dengan alur utama,

menjadikan alur bawahan ini memiliki nilai tersendiri bagi pembaca. Selain itu,

dalam alur ini, pembaca juga diberitahu pengarang perihal sikap kecintaan

terhadap tanah air. Hal ini tercermin dari apa yang dilakukan oleh Pradhabasu.

Ia menitipkan Prajaka ke Gagak Bongol tidak hanya untuk menimbulkan efek

jera, tetapi juga agar ia bisa bergerak dengan bebas menyelidiki kerusuhan

macam apa yang terjadi di Majapahit.

Setiap alur dalam novel ini memiliki amanat tersendiri yang relevan

dengan kehidupan saat ini. Begitu juga dengan alur bawahan pertama yang

Page 187: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

176

menggunakan sarana retorika sebanyak 99 kali. Dengan adanya alur ini,

pembaca tidak melulu disuguhi cerita-cerita kepahlawanan, tetapi juga kisah

percintaan yang tidak lazim khas kerajaan. Bila ketiga alur lainnya berfungsi

untuk memberikan amanat kehidupan kepada pembaca, maka alur ini berfungsi

untuk menghibur pembaca dan sedikit mengendurkan syaraf tegang setelah

berkali-kali dihadapkan oleh adegan-adegan pembunuhan dan lain-lain. Untuk

menyajikan kisah cinta inilah, pengarang menuliskannnya juga dengan

menggunakan cukup banyak sarana retorika yang ampuh untuk membuat

pembaca terperangah dengan sikap Dyah Wiyat yang mampu beralih

sepenuhnya hanya dalam waktu beberapa hari saja. Juga pembaca akan

merasakan betapa ikhlas dan hati seorang Dyah Menur dalam menghadapi

kekandasan rumah tangganya. Pembaca juga bisa merasakan perubahan sikap

dari Raden Kudamerta yang semula adalah lelaki yang tidak bisa mengambil

keputusan, ketika ia dihadapkan oleh sebuah pilihan, ia akhirnya bisa

menjatuhkan pilihan. Semua itu bisa dirasakan oleh pembaca lewat penggunaan

gaya bahasa maupun penyiasatan kalimat. Selain dapat merasakan efek yang

luar biasa, pembaca juga bisa mengambil kesimpulan, bahwa hidup memang

harus berani mengambil keputusan, sepahit apapun akibatnya. Hal ini telah

ditunjukkan oleh Raden Kudamerta. Alur ini menjadi alternatif bagi pembaca

yang kurang menyukai cerita sejarah atau adegan-adegan kekerasan lainnya.

Begitu pula pada alur bawahan yang terakhir. Sedikitnya perolehan

angka penggunaan sarana retorika pada alur ini dikarenakan cerita yang ada

dalam alur bawahan ini sama sekali tidak ada kaitannya denga alur utama

ataupun alur bawahan lannya. Kalau pun alur ini dihilangkan tidak akan

mengubah jalan cerita semua alur yang ada. Namun, dari cerita ini, pengarang

ingin menyampaikan bahwa sesuatu yang dilakukan hanya demi menuruti hawa

nafsu saja tidak akan membuahkan hasil yang baik. Pesan ini juga diterima

dengan baik oleh pembaca karena penyajian cerita yang tidak menggurui.

Page 188: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

177

Terlepas dari amanat yang disampaikan dalam setiap alurnya, Langit

Kresna Hariadi memiliki ciri khas yang ditampilkan dalam setiap kalimat yang

digunakannya. Ciri khas LKH akan lebih terlihat pada bentuk kalimat yang

menggunakan gaya bahasa dan kalimat yang dibangun menggunakan struktur

kalimat yang telah dijelaskan pada kajian teori.

LKH dalam novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara yang terbit pada

tahun 2012 ini banyak menggunakan kalimat kompleks. Seperti yang telah

diketahui, kalimat komplek merupakan kalimat yang di dalamnya terdapat

setidaknya dua klausa yang digabungkan dengan menggunakan berbagai jenis

konjungsi. Dalam tabel, kalimat kompleks yang digunakan oleh LKH dibangun

dengan menggunakan susunan kalimat periodik, berimbang, hingga kendur.

Ketiga jenis kalimat itu memiliki cara tersendiri untuk menyusunnya.

Penggunakan ketiga jenis kalimat tersebut menandakan mana informasi utama

dalam kalimat tersebut. Selain itu, penggunaan berbagai macam jenis kalimat

dalam novel ini juga berfungsi untuk memberikan variasi kalimat sehingga

pembaca tidak jenuh. Hal ini terlihat dari beberapa kalimat yang menggunakan

jenis kalimat inversi.

LKH juga mampu mengaduk emosi pembaca lewat digunakannya

struktur kalimat klimaks. Kalimat-kalimat yang dibuat untuk menceritakan

sebuah peristiwa itulah yang akan semakin membuat pembaca penasaran dan

ketika sudah sampai pada akhir kalimat, pembaca akan merasakan sebuah

pelepasan emosi yang kerap disebut dengan katarsis. Hal inilah yang akan

membuat pembaca tidak merasa jenuh membaca novel yang berjumlah 508

halaman ini.

Lebih jauh lagi, LKH pun memiliki ciri khas dari penggunaan gaya

bahasa pada novel ini. Gaya bahasa yang paling sering digunakan dalam novel

ini adalah gaya bahasa antonomasia. Seperti yang telah dibuktikan dalam tabel,

penggunaan gaya bahasa antonomasia ini ditujukan untuk memberitahu

pembaca gelar atau nama lain dari anggota keluarga kerajaan Majapahit. Inilah

Page 189: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

178

yang menjadi ciri khas karya sastra yang berhaluan sejarah karangan LKH.

Dengan menggunakan gaya bahasa ini, LKH bisa menggunakan lebih dari satu

gelar untuk menyebut satu tokoh dalam peristiwa yang berbeda.

Hal ini bisa ditunjukkan pada penggambaran tokoh Gayatri. Dalam

sebuah adegan yang menggambarkan pernikahan kedua anaknya dengan

menantu pilihan keluarga, tokoh ini dipanggil sebagai Ibu Ratu Biksuni

Rajapatni Gayatri.29

Pada adegan pembakaran jenazah Jayanegara, Gajah Mada

memanggil tokoh ini dengan Tuan Putri Ratu.30

Perbedaan sapaan juga terjadi

saat tokoh ini sedang berbicara dari hati ke hati sebagai sepasang anak dan ibu

dengan Dyah Wiyat, putri bungsunya. Kala itu, Gayatri diberi sapaan Ibu

Ratu.31

Perbedaan tersebut disinyalir terjadi karena perbedaan situasi saat

adegan tersebut terjadi.

Gaya bahasa hiperbola juga turut ambil andil dalam mengisahkan cerita

ini. Gaya bahasa berlebih-lebihan ini bertujuan untuk menghidupkan emosi

pembaca. Dengan gaya bahasa ini, pengarang bisa membuat pembaca

merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh atau membayangkan bagaimana

peristiwa itu terjadi.

Selain antonomasia dan hiperbola, gaya bahasa yang menjadi ciri khas

LKH dalam novel ini adalah metafora. Gaya bahasa kiasan ini membantu

pembaca memiliki gambaran yang tepat mengenai sebuah peristiwa yang

sedang dijelaskan. Dengan begitu, pembaca akan lebih mudah memaknai

peristiwa yang sedang terjadi. Amanat yang hendak disampaikan oleh LKH pun

akan langsung dapat dimengerti oleh pembaca.

Penggunaan gaya bahasa pleonasme pun juga menjadi ciri khas lain dari

novel ini. Lewat penggunaan gaya bahasa ini, LKH bisa menceritakan peristiwa

yang terjadi dengan cara menegaskan, seperti pada kalimat “Panji Wiradapa

29

h. 103. 30

h. 154. 31

h. 242.

Page 190: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

179

terlanjur beku menjadi mayat”. Dari kalimat tersebut, pembaca dapat

mengetahui bahwa tokoh tersebut memang sudah mati. Nilai rasa yang

dihadirkan oleh penggunaan gaya bahasa tersebut pun akan sama sekali berbeda

bila seandainya pengarang hanya menuliskannya seperti “Panji Wiradapa mati”.

Sekilas, novel ini terlihat disampaikan dengan menggunakan kalimat-

kalimat yang panjang atau kalimat kompleks. Penggunaan kalimat panjang

tersebut sekilas akan terlihat terlalu bertele-tele. Namun, di balik penggunaan

kalimat jenis itu, LKH ingin benar-benar membuat pembaca bisa menghayati

penggambaran yang sedang dilakukan oleh pengarang lewat kalimat-kalimat

tersebut. LKH tidak hanya ingin pembaca novel ini hanya sekedar mengetahui,

tetapi juga mampu membayangkan bagaimana peristiwa itu terjadi. Lewat

kalimat-kalimat yang panjang yang juga seringkali berupa pengulangan itulah

LKH membantu pembaca mengikuti alur yang telah disediakan. Hal ini untuk

mengantisipasi hal yang dapat membingungkan pembacanya lantaran ada empat

kisah yang disajikan dalam satu novel.

Ciri lain yang menjadi kekhasan LKH dalam novel ini adalah

penggunaan diksi dalam bahasa Jawa dan bahasa Sanskerta. Hal ini digunakan

untuk mendukung latar tempat dan juga latar waktu yang digunaka dalam novel

Gajah Mada: Takhta dan Angkara. Penggunaan diksi dalam bahasa Jawa yang

memang dikuasai oleh LKH ini akan menambah suasana yang dirasakan oleh

pembaca.

Penggunaan berbagai macam gaya bahasa serta jenis kalimat yang ada

di dalam novel ini bertujuan untuk menghasilkan efek tertentu yang harus

dirasakan oleh pembaca. Efek tertentu itulah yang akan membawa pembaca

kepada sebuah pengalaman masa lalu. Setidaknya, novel ini dapat dijadikan

referensi sejarah dengan cara yang tidak biasa untuk mengetahui kehidupan

masa lalu.

Page 191: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

180

C. Ethos, Pathos, dan Logos

Ethos, pathos, dan logos merupakan aspek yang sangat dipentingkan

dalam bidang retorika. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ethos

merupakan kredibilitas pengarang, pathos adalah efek yang dirasakan oleh

pembaca setelah membaca tulisan tersebut, dan logos adalah bukti yang dapat

diajukan oleh pengarang agar pembaca bisa mempercayai apa yang

disampaikan olehnya.

Ethos dalam kaitannya dengan novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara

yang terbit pada tahun 2012 ini mengarah ke pengarang novel ini, yakni Langit

Kresna Hariadi. Awalnya, LKH adalah seorang penyiar radio. Cikal bakal novel

ini merupakan naskah yang ia siapkan untuk drama di radio tempat ia bekerja.

Namun, ia mengubahnya dan menjadikannya sebuah naskah novel yang ia

terbitkan di Tiga Serangkai Solo.

LKH sadar bahwa novel yang ia tulis ini merupakan novel yang

berhaluan sejarah. Ia sadar betul dirinya tidak bisa menulis novel ini tanpa riset

dahulu. Hal ini ia pelajari sejak novel Gajah Mada yang pertama menuai kritik

dan protes dari berbagai pihak. Hal ini sampai terjadi karena ia salah

mengatakan latar tempat di mana Jayanegara diselamatkan oleh Bhayangkara.

Sesuai fakta sejarah, tempat Jayanegara diselamatkan oleh Bhayangkara adalah

di Bedander, tetapi di dalam novel ia menulisnya di Kudadu. Tidak hanya

berhenti sampai di situ, sejarah mencatat bahwa ada rentang waktu sebanyak

sembilan tahun antara kematian Jayanegara dengan pemberontakan Ra Kuti.

Namun, LKH justru menuliskan bahwa Jayanegara meninggal bertepatan

dengan meletusnya pemberontakan tersebut. Masih di novel yang sama, LKH

menyebutkan bahwa Lembu Anabrang masih hidup saat pemberontakan Ra

Kuti, padahal fakta sejarah menyatakan bahwa Lembu Anabrang telah mati saat

meredam pemberontakan Ranggalawe di Tuban.32

32

Ibid, h. vii-viii.

Page 192: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

181

Hal inilah yang membuat LKH banyak berbenah dalam menggarap

naskah novel selanjutnya. Ia sadar bahwa fakta sejarah yang ia tulis dengan

keliru dalam novelnya dapat mengakibatkan pembohongan sejarah terhadap

publik dan menyesatkan anak bangsa. Oleh karena itu, belajar dari kesalahan

yang telah lalu, sebelum ia meneruskan menggarap lanjutannya, ia melakukan

riset sejarah dengan lebih serius agar kesalahan serupa tidak lagi terjadi pada

novel selanjutnya.

Berbicara mengenai latar belakang, menulis memang merupakan hobi

yang ia jadikan sebagai sandaran hidup. Sejak dulu ia memang menggemari

dunia tulis menulis. Dalam sebuah artikel yang dikeluarkan oleh Jawa Post, ia

menuturkan bahwa menulis merupakan wadah untuk melampiaskan emosinya.

Ia mengaku bahwa ia adalah seseorang yang mampu berkhayal tinggi bahkan

khayalannya tersebut bisa dikatakan sebagai khayalan yang ekstrem. Namun,

berkat hobi menulisnya itu, ia arahkan khayalannya yang bisa membahayakan

dirinya sendiri ke dalam sebuah karya. Ia mengelola khayalannya tersebut

untuk dijadikan bahan dalam setiap karyanya.

Dari tangan dinginnya, ia telah berhasil menerbitkan banyak cerita yang

memang bercitarasa sejarah. Meskipun ia bukan berasal dari kalangan

sejarawan, demi menciptakan sebuah karya sastra yang dapat

dipertanggungjawabkan keilmiahannya, ia rela melakukan riset yang cukup

mendalam untuk mendapatkan bahan cerita tersebut.

Pathos dalam kaitannya dengan penelitian ini mengacu pada efek apa

yang dirasakan oleh pembaca novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara. Dari

novel ini, selain pembaca bisa mengetahui sedikit banyak tentang sejarah

kerajaan Majapahit, pembaca bisa merasakan efek-efek tertentu yang

membantu penghayatan terhadap novel ini.

Setelah membaca novel ini, pembaca akan merasakan sebuah penekanan

emosi, ketegangan, dan pengenduran urat saraf. Dari efek ini, pembaca bisa

merasakan sebuah emosi yang berkecamuk mengikuti peristiwa yang sedang

Page 193: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

182

disuguhkan. Dari efek-efek inilah, pembaca bisa merasa yakin bahwa kejadian

yang ada di dalam novel memang benar adanya. Lebih dari itu, lewat efek-efek

tersebut, secara tidak langsung pembaca bisa mengambil amanat yang hendak

disampaikan oleh LKH. Hal inilah yang menjadikan LKH tidak terkesan

menggurui pembaca atas moral kehidupan yang hendak ia kedepankan.

Selain memainkan emosi pembaca, LKH juga menginginkan agar

pembacanya bisa menangkap informasi dalam tiap kalimat yang digunakannya

untuk menceritakan kisahan ini. Melalui gaya bahasa antonomasia, pembaca

bisa mengetahui nama lain atau gelar anggota kaluarga raja. Hal ini dapat

membantu pembaca memahami silsilah keluarga raja tanpa harus mempelajari

buku sejarah secara langsung. Tidak hanya sebatas informasi mengenai gelar

kerajaan yang digunakan oleh para tokoh kerajaan yang ada dalam novel ini,

LKH juga memberitahu pembaca mengenai beragam jenis racun yang

mematikan dan umum digunakan untuk membunuh manusia pada zaman

tersebut.

Beberapa kalimat dalam novel ini juga bertujuan untuk menguatkan

imajinasi dan penegasan makna yang berhasil didapatkan oleh pembaca ketika

membaca novel ini. Penguatan imajinasi dan penegasan makna dilakukan LKH

untuk menjaga konsentrasi pembaca dalam mengikuti kisah ini. Ketika sudah

memiliki gambaran mengenai adegan yang sedang berlangsung, pembaca akan

mampu mengikuti adegan demi adegan dengan mudah dan tentu saja

merasakan sebuah penekanan emosi dan ketegangan.

LKH dalam novel ini juga berusaha menciptakan nama baik pada tokoh

yang ia ciptakan. Tokoh yang dimaksud ini adalah Pradhabasu. Hal ini ia

lakukan agar pembaca tidak menilai negatif atas apa yang telah dilakukan oleh

tokoh yang satu ini. Dalam novel diceritakan bahwa Pradhabasu melakukan

protes terhadap keputusan Jayanegara yang ia anggap salah dengan cara

memutuskan keluar dari kesatuan Bhayangkara. LKH mengantisipasi pembaca

yang bisa jadi menilai Pradhabasu sebagai tokoh yang tidak setia terhadap

Page 194: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

183

kerajaannya dan juga bukan prajurit yang profesional terhadap pekerjaannya

dengan cara menggunakan gaya bahasa eufimisme dalam kalimat yang

menggambarakan Pradhabasu. Kalimat “Orang yang amat terluka hatinya itu

memilih mengundurkan diri dari kehidupan pengamanan istana”

mengindikasikan bahwa kalimat ini mengandung gaya bahasa eufimisme. Frasa

mengundurkan diri dinilai lebih baik ketimbang menggunakan kata keluar.

Kata keluar dinilai memiliki pengertian yang buruk meskipun maknanya sama

saja dengan mengundurkan diri. Tindakan mengundurkan diri masih merupakan

tindakan yang dilakukan dengan kesopanan dan penuh rasa hormat, tapi kata

keluar merupakan tindakan yang mencerminkan sebuah sikap frontal dan tidak

lagi mengidahkan kesopanan. Lagi-lagi untuk menjaga citra baik Pradhabasu,

LKH sengaja menggunakan frasa mengundurkan diri.

Dalam novel ini, LKH tidak hanya lihai menguasai emosi pembaca,

tetapi juga mampu mempengaruhi opini pembaca. Cara yang digunakan oleh

LKH untuk menjalani maksud tersebut adalah dengan mengajukan beberapa

pertanyaan yang sifatnya tidak memerlukan jawaban. Pertanyaan ini

menggunakan gaya bahasa retoris. Dari pertanyaan tersebut, pembaca seolah

“dipaksa” untuk menyetujui apa yang disampaikan LKH lewat dialog yang

diucapkan tokohnya. Kalimat “Adakah pelecehan yang melebihi seperti yang

aku alami kali ini, Raden Kudamerta?” mengindikasikan bahwa Dyah Wiyat

menyadari bahwa ia telah dilecehkan dan pembaca bisa merasakan bahwa harga

diri seorang anak raja yang selama ini kuat dan memiliki pemikiran yang sangat

brilian terinjak-injak oleh bangsawan yang kedudukannya lebih rendah dari

dirinya. Lewat kalimat ini pula, pembaca bisa merasakan betapa kecewanya

tokoh Dyah Wiyat.

LKH sadar bahwa karya miliknya berpotensi besar akan membuat

pembacanya cepat bosan karena jumlah halaman yang cukup tebal yakni 508

halaman. Rasa bosan yang akan mungkin akan timbul di pertengahan jalan

cerita akan membuat pembaca tidak bisa lagi menikmati novel ini secara utuh.

Page 195: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

184

Untuk mengantisipasi hal ini, LKH menyajikan kalimatnya dengan susunan

kalimat inversi dan gaya bahasa asonansi. Dengan kedua cara itulah, pembaca

akan merasakan sebuah penyegaran.

Semua efek-efek yang dirasakan oleh pembaca tersebut dihasilkan oleh

penggunaan gaya bahasa dan struktur kalimat yang digunakan LKH dalam

kalimatnya. Mengingat novel ini merupakan novel yang berhaluan sejarah,

maka ada beberapa hal yang bisa dibuktikan dalam bentuk fakta sejarah. Bukti-

bukti tersebut dapat menambah kepercayaan pembaca terhadap novel ini dan

juga terhadap kepiawaian LKH selaku pengarangnya.

Berikut daftar sejarah dalam novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara

karya Langit Kresna Hariadi yang dibuktikan dengan menggunakan buku

sejarah berjudul Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan

Semenanjung Malaysia karya Paul Michel Munoz.

1. Kutipan di dalam novel:

1319, didorong nafsunya untuk menjadi orang paling utama di

Majapahit, Ra Kuti memimpin anak buahnya mengangkat senjata

menyebabkan Raja harus terusir ke Bedander. (Hlm. 7)

Kutipan dalam sumber sejarah:

Setelah pencaplokan kembali ini, kerajaan mengalami sebuah

periode ketenangan sejenak dan digemparkan lagi pada 1319 oleh

pemberontakan istana oleh seorang bangsawan muda bernama Kuti.

Kuti merupakan anak angkat dari Jayanagara; anak-anak angkat

seperti itu dinamakan sebagai dharmaputra dan umumnya

diposisikan sebagai penjaga istana (Panasala) sebagai pasukan elit.

Permasalahan yang dibuat oleh Ra Kuti begitu besar hingga

Raja terpaksa mundur dari Ibukota hanya dikawal oleh 15 orang

yang berada di bawah komandan seorang pejabat bernama

Gajahmada. Jayanagara mengungsi ke Desa Betander (Hlm. 385-

386).

Page 196: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

185

Kedua kutipan tersebut menjelaskan pada pembaca bahwa pada tahun

1319 Ra Kuti melakukan pemberontakan terhadap penyelenggaraan

pemerintahan yang dipimpin oleh Jayanegara. Kedua kutipan tersebut juga

menginformasikan bahwa akibat pemberontakan tersebut Jayanegara

(Jayanagara) mengungsi ke Desa Bedander yang dalam sumber sejarah

dituliskan Betander. Perbedaan nama desa ini hanya masalah penulisannya saja,

sama seperti penulisan Jayanegara yang di dalam buku sumber sejarah karangan

Paul Michel Munoz ditulis menjadi Jayanagara.

2. Kutipan dalam novel:

“Aku mendengar pertama kali dari Ra Tanca, ia mengeluh

kepadaku karena istrinya diganggu Sang Prabu,” jawab Gajah Mada

dengan cara membelok dan mengagetkan. (Hlm. 7)

Kutipan dalam sumber sejarah:

Salah satu buruan paling favorit dari Jayanagara adalah istri

seorang tabib istana yang bernama Tansha. (Hlm. 389)

Kedua kutipan tersebut menginformasikan kepada pembaca bahwa

Jayanegara memiliki perilaku yang menyimpang, yakni menggoda istri orang

lain. Dalam novel diceritakan bahwa raja kedua Majapahit ini kerap menganggu

Nyai Ra Tanca, istri dari Ra Tanca. Ra Tanca sendiri di dalam novel diceritakan

sebagai seseorang yang paling ahli dalam pengobatan. Hal ini reevan dengan

sumber sejarah. Kutipan dalam buku sejaah tersebut menceritakan bahwa

buruan paling favorit dari Jayanagara adalah istri dari tabib kerajaan, Tansha.

Tansha adalah seorang tabib kerajaan, dalam hal ini Tansha adalah Ra

Tanca yang merupakan seorang ahli ilmu pengobatan. Kesamaan ini tidak

hanya bisa dilihat dari kemiripan nama yang digunakan, tetapi juga jalan cerita

dalam novel dan dalam sumber sejarah. Hal ini akan dijelaskan pada bagian

selanjutnya.

Page 197: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

186

Akan tetapi, Ra Tanca, orang yang dianggap paling mumpuni dalam

bidang pengobatan memanfaatkan kesempatan yang diberikan

kepadanya. Oleh sebuah alasan rakrian Tanca sangat membenci

Jayanegara. Maka ketika ia diundang ke istana diminta mengobati Raja,

digunakan kesempatan itu untuk mendendangkan tembang kematian.

Bukan ramuan obat yang diminumkan kepada Sri Jayanegara, tetapi

racun yang amat mematikan. (Hlm. 9)

Kutipan dalam sumber sejarah:

Pada 1328 M, Tansha dipanggil Jayanagara untuk mengoperasi

suatu infeksi yang membengkak. Mengambil posisi Sang Raja yang

sedang lemah, dia membunuhnya dan tak lama kemudian dia pun

dieksekusi. (Hlm. 389)

Kedua kutipan tersebut membuktikan bahwa Tansha dengan Ra Tanca

merupakan tokoh yang sama. Hal ini bisa terjadi karena perbedaan ejaan. Kesamaan

tokoh tersebut tidak hanya bisa dibuktikan dengan kejadian yang sama, tetapi juga

pada tahun yang ada dalam sumber sejarah yang tercatat sebagai tahun kematian

Jayanegara. Di dalam novel, tahun kematian Kalagemet juga ditulis pada tahun 1328.

3. Kutipan dalam novel:

Kasak-kusuk yang berkembang, sakit yang diderita Jayanegara

hanya berupa bisul. Namun, bisul itu mengeram di pantat Sang Prabu

sehingga sangat mengganggu duduk dan tidurnya.

Rakrian Tanca yang diampuni, Rakrian yang sembilan tahun terakhir

menekuk wajah amat dalam, kepadanya dipercayakan tugas

mengobati Sang Prabu, membebaskannya dari penderitaan yang

mengganggu ketenangan duduknya, membebaskan dari sakit yang

berkepanjangan.

Page 198: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

187

4. Kutipan di dalam novel:

Soal Tuanku akan mengawini Tuan Putri?”

Pertanyaan itu menyebabkan Gajah Mada meradang. Ia

tersinggung.

Kalau kamu punya adik, apakah kamu akan mengawini adikmu?

Kalau kamu punya anak, apakah kamu akan mengawini anakmu? Bila

kamu lakukan hal itu maka kamu adalah binatang.”

Dada Gajah Mada sedikit mengombak.

“Sang Prabu itu raja, ia contoh, ia bukan jenis binatang yang tak

bisa membedakan mana saudara yang tidak pantas diinginkan dan mana

yang boleh dan patut,” lanjut Gajah Mada. (Hlm. 38)

Kutipan dalam sumber sejarah:

Menurut epik-epik, Jayanagara telah memiliki segala yang

diinginkannya, namun sayangnya dan memiliki sebuah obsesi

menyimpang terhadap dua saudari perempuannya, Bhre Kahuripan dan

Bhre Gaha, yang merupakan putri Rajapatni Gayatri. (Hlm. 388)

Kedua kutipan tersebut menginformasikan kepada pembaca tentang sisi negatif

Jayanegara lainnya, yakni kehendak untuk menikahi adik tirinya. Namun, di dalam

novel, LKH terkesan memberikan bantahan terhadap hal itu lewat dialog yang

diucapkan Gajah Mada yang berupa pembelaan. Jadi, kutipan dalam novel itu secara

tidak langsung akan mengajak pembaca untuk melakukan pembuktian dengan

menggunakan buku sumber sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan

keilmiahannya.

5. Kutipan dalam novel:

Sembilan tahun yang lalu, ketika terjadi pemberontakan yang

dilakukan oleh Ra Kuti, Gajah Mada masih berpangkat bekel ketika

memimpin pasukan Bhayangkara melakukan penyelamatan atas Sri

Jayanegara melalui pengawalan luar biasa dengan menempuh perjalanan

amat jauh menusuk ke pegunungan Kapur Utara. Karena jasa-jasa yang

Page 199: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

188

luar biasa itulah Gajah Mada dibebaskan dari tugas memimpin

Bhayangkara dan kepadanya dianugerahkan jabatan sebagai patih di

Jiwana mendampingi Sri Gitarja sebagai pemangku wilayah Kahuripan.

Terakhir Gajah Mada menduduki jabatan patih di Daha mendampingi

Breh Daha atau Dyah Wiyat yang menjadi pemangku atas wilayah itu.

(Hlm. 16-17)

Kutipan dalam sumber sejarah:

Setelah beberapa hari, Gajahmada kembali ke Trowulan dan dengan

bantuan beberapa pejabat yang setia membentuk serangan balasan. Kuti

terbunuh dalam penyerangan itu. Sebagai hadiahnya, Jayanagara

mengangkat Gajahmada sebagai perdana menteri Kahuripan. Dia berada

dalam posisi ini selama dua tahun dan kemudian dipromosikan ke kota

yang paling prestisius, Daha (Kediri). (Hlm. 386)

Dari kedua kutipan tersebut pembaca dapat mengetahui bahwa Gajah Mada bisa

mendapatkan jabatan yang lebih tinggi dari sebelumnya, pimpinan pasukan

Bhayangkara, adalah karena mendapatkan hadiah atas perjuangannya menyelamatkan

Jayanegara dari pemberontakan Ra Kuti. Dalam sumber sejarah disebutkan bahwa

awalnya Gajah Mada menjadi perdana menteri di daerah Kahuripan dan selanjutnya

ditempatkan di Daha. Dalam novel, jabatan yang dimiliki oleh Gajah Mada adalah

seorang patih di kedua tempat tersebut. Bila dilihat dari arti kata patih di dalam KBBI

edisi keempat halaman 1030, patih adalah mangkubumi, sedangkan mangkubumi

memiliki pengertian perdana mentari. Hal ini menunjukkan adanya sebuah kesamaan

jabatan yang dimiliki oleh Gajah Mada semasa pemerintahan Jayanegara.

6. Kutipan dalam novel:

Kepada anakku Sri Gitarja, atas nama negara aku anugerahkan gelar

sebagai Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani, sedang kepada

anakku Dyah Wiyat, aku beri gelar Rajadewi Maharajasa. Padamu

Cakradara, mulai saat searang melekat gelar Cakreswara Sri Kerta

Wardhana Prabu Singhasari, sedang padamu Kudamerta Breng

Pamotan, aku anugerahkan abiseka Sri Wijaya Rajasa Sang Apanji

Page 200: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

189

Wahninghyun. Gunakan nama itu sesuai tempat dan waktunya,

sedangkan nama gelar yang oleh negara anugerahkan kepadamu adalah

Bre Wengker Wijaya Rajasa Hyang Parameswara. (Hlm. 78)

Kutipan dalam sumber sejarah:

Brhe Kahuripan, Tribhuvana menikah dengan seorang bangsawan

bernama Cakradhara. Setelah pernikahan kerajaan, dia diganti nama

menjadi Kertavardhana dan diposisikan sebagai pangeran Singosari.

Brhe Daha, yang nama personalnya adalah Rajadevi, menikah dengan

Raden Kudamrta, pangeran Wengker, yang diberi gelar Sri Vijayarajasa.

(Hlm. 390)

Informasi yang dapat diambil oleh pembaca dari kedua kutipan tersebut adalah

pernikahan kedua anak Gayatri dengan bangsawan dan juga gelar yang digunakan

oleh anak dan menantu Gayatri setelah menikah. Perbedaan yang terletak pada kedua

kutipan tersebut hanya terletak pada ejaan yang digunakan. Huruf v dalam bahasa

Sanskerta akan berganti mejadi huruf w dalam bahasa Indonesia.

Beberapa kisah dalam novel yang dapat dibuktikan kebenarannya dalam buku

sejarah yang lebih dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya tersebut menambah

nilai positif pada novel ini dari segi keilmuan. Dengan begitu, pembaca dapat

diyakinkan oleh LKH bahwa kisah ini memang benar terjadi sekalipun imajinasi

pengarangnya sendiri turut mengambil bagian dalam kisahan ini. Adanya beberapa

bukti yang dapat dipertanggungjawabkan seperti ini, pembaca secara tidak langsung

juga dapat menelusuri jejak sejarah kerajaan Majapahit.

Ethos, pathos, dan logos yang mampu ditampilkan dengan baik oleh LKH

merupakan sebuah jaminan yang tidak bisa diragukan lagi kualitas novel ini sebagai

karya sastra yang bercitarasa sejarah.

Page 201: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

190

D. Implikasi

Secara umum, teori yang digunakan untuk menganalisis masalah yang muncul

oleh penulis adalah teori gaya bahasa. Dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia kelas XII semester ganjil juga terdapat materi gaya bahasa. Namun, materi

yang diajarkan di jenjang tersebut tidak seluas teori yang ada dalam kajian teoretis

bab II skripsi ini.

Materi yang diajarkan pada jenjang ini adalah gaya bahasa dalam pengertian

gaya bahasa. Padahal, dalam pengertian gaya bahasa sangatlah luas, tidak hanya gaya

bahasa saja. Gaya bahasa hanya salah satu dari pembagian gaya bahasa. Dalam materi

ini, guru mengajarkan kepada siswa bahwa gaya bahasa dibedakan menjadi empat

bagian, yakni gaya bahasa perbandingan, sindiran, penegasan, dan pertentangan.

Pembagian ini mengambil teori yang dikemukakan oleh JS. Badudu. Pembagian ini

berbeda dengan teori yang ada dalam skripsi ini karena penulis berpijak pada teori

yang dikemukakan oleh Gorys Keraf.

Dari pembelajaran gaya bahasa di tingkat ini, siswa bisa memahami

bagaimana cara menandai sebuah kalimat yang disusun dengan gaya bahasa maupun

tidak. Tidak hanya itu, siswa juga dituntut untuk menafsirkan maknanya untuk

kemudian bisa membuatnya sendiri dengan memperhatikan diksi. Penelitian ini juga

bisa digunakan oleh para guru Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai salah satu acuan

belajar bahwa gaya bahasa tidak serta merta gaya bahasa itu sendiri, tetapi gaya

bahasa adalah salah satu bagian dari gaya bahasa.

Dalam pembelajaran ini, guru dapat menggunakan banyak media untuk

mengenalkan gaya bahasa kepada siswa. Guru dapat mengunakan cuplikan teks

cerpen atau novel, puisi, atau bahkan lirik lagu. Dari media-media tersebut, guru bisa

memberikan contoh kepada siswa kalimat yang seperti apa yang mengandung gaya

bahasa. Setelah diberi arahan, siswa dibiarkan menentukan sendiri mana kalimat yang

mengandung gaya bahasa.

Penelitian ini bisa digunakan baik guru maupun siswa sebagai contoh

bagaimana menganalisis kalimat yang terindikasi mengandung gaya bahasa.

Page 202: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

191

Keduanya bisa melihat bagaimana cara menganalisis dan cara mengartikan maksud

dari gaya bahasa tersebut. Tidak hanya itu, dari penelitian ini juga bisa ditemukan

efek apa yang sekiranya akan dihasilkan dari penggunaan gaya bahasa tersebut.

Untuk menjembatani perbedaan pembagian jenis gaya bahasa peneliti

mengusulkan pada pembahasan gaya bahasa menggunakan teori Gorys Keraf. Hal

ditujukan untuk memperjelas perbedaan antara gaya bahasa dengan gaya bahasa yang

selama ini sering dianggap sama oleh peserta didik.

Page 203: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

192

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, penggunaan sarana retorika dalam

novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi paling banyak

digunakan pada tahapan klimaks. Hal ini dikarenakan tahap klimaks merupakan tahap

yang paling penting dalam sebuah cerita untuk menghadirkan emosi bagi para

pembaca. Hasil ini terdapat dalam semua alur kecuali alur bawahan pertama yang

justru terletak pada tahap pengenalan.

Pada alur bawahan pertama justru yang paling banyak mengunakan sarana retorika

adalah tahap pengenalan. Hal ini dilakukan untuk membuat pembaca nyaman dengan

kisah baru yang ceritanya memang agak sedikit melenceng dari tema besar. Alur ini

hadir sebagai cerita romantika di tengah kisah perebutan takhta yang tentunya

melibatkan para punggawa kerajaan yang hanya dititikberatkan pada penceritaan

sekitar perebutan takhta tersebut, seperti peperangan dan pembunuhuan. Rapatnya

adegan klimaks dengan adegan setelahnya juga turut mempengaruhi jumlah sarana

retorika yang digunakan. Hadirnya alur bawahan pertama ini dimaksudkan agar

pembaca tidak melulu disuguhi kisah-kisah yang menegangkan. Diketahuinya tahap

klimaks yang paling banyak menggunakan sarana retorika sudah menjawab

pertanyaan pada rumusan penelitian yang pertama.

Kedua, sarana retorika dalam novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara karya

Langit Kresna Hariadi ini menimbulkan beberapa efek yang dirasakan oleh pembaca.

Efek yang dirasakan oleh pembaca dihasilkan dari bermacam-macam gaya bahasa

dan berbagai jenis struktur kalimat.

Page 204: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

193

Efek penguatan imajinasi pembaca tentang sebuah adegan dihadirkan lewat

penggunaan gaya bahasa simile sebanyak 7 kali dan metafora sebanyak 26 kali.

Lewat gaya bahasa inilah, pembaca bisa membayangkan apa yang sedang terjadi pada

saat itu dengan lebih baik sehingga suasana peristiwa tersebut dapat dengan mudah

dihayati.

Efek penekanan emosi pembaca dihadirkan oleh gaya bahasa hiperbola sebanyak

31 kali dan gaya bahasa personifikasi sebanyak 22 kali. Kedua gaya bahasa ini dapat

memberikan keyakinan kepada pembaca terhadap sebuah gambaran situasi atau

adegan yang sedang dikisahkan oleh pengarang.

Pembaca juga akan diajak pengarang untuk merasakan ketegangan pada adegan-

adegan tertentu. Pembaca akan merasakan ketegangan tersebut lewat kalimat-kalimat

yang dibangun menggunakan struktur kalimat periodik dan klimaks. Dalam novel ini,

struktur kalimat jenis ini digunakan sebanyak 70 kali sedangkan struktur kalimat

klimaks digunakan sebanyak 9 kali. Pembaca tidak hanya akan merasakan

ketegangan saja saat membaca kalimat yang dibangun dengan struktur kalimat

periodik ini, tetapi juga akan penasaran tentang apa yang selanjutnya akan terjadi.

Pada kalimat klimaks, pembaca akan merasakan sebuah ketegangan yang disengaja

oleh pengarang dengan cara menyiapkan pembaca menuju ke inti permasalahan yang

memuncak.

Setelah merasakan ketegangan, pembaca juga diajak untuk mengundurkan urat

syarafnya lewat penggunaan penyiasatan struktur kalimat kendur. Jenis kalimat yang

digunakan sebanyak 19 kali ini berfungsi untuk meredakan ketegangan pembaca

sebelum berlanjut pada ketegangan lainnya.

Efek terakhir juga dihadirkan oleh penggunaan sarana retorika dalam novel Gajah

Mada: Takhta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi adalah penegasan makna.

Efek ini dapat dicapai dengan mengunakan dua jenis sarana retorika, yakni gaya

bahasa dan penyiasatan struktur kalimat. Untuk sarana retorika penyiasatan struktur,

Page 205: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

194

kalimat yang biasa digunakan adalah kalimat yang di dalamnya terdapat kata yang

diulang lebih dari satu kali. Penyiasatan struktur kalimat yang digunakan pada

keempat alur dalam novel ini adalah anafora, epizeuksis, dan tautotes. Anafora

digunakan sebanyak 2 kali dan kedua struktur kalimat lainnya masing-masing

digunakan sebanyak satu kali.

Efek penegasan yang dihasilkan oleh pemakaian gaya bahasa berbeda dengan

penyiasatan struktur, tidak ada pengulangan dalam kalimat tersebut. Gaya bahasa

yang digunakan untuk menghasilkan efek ini adalah gaya bahasa pleonasme,

tautologi, perifrasis, paradoks, antitesis, dan sinisme. Gaya bahasa pleonasme

digunakan sebanyak 19 kali, gaya bahasa tautologi digunakan sebanyak 1 kali, gaya

bahasa perifrasis digunakan sebanyak 12 kali, paradoks digunakan sebanyak 2 kali,

antitesis digunakan sebanyak 1 kali, dan gaya bahasa sinisme digunakan sebanyak 4

kali.

Hal yang perlu diperhatikan dalam pengunaan gaya bahasa yang menghasilkan

efek penegasan makna tersebut adalah gaya bahasa-gaya bahasa yang digunakan. Ada

tiga gaya bahasa yang memang tergolong ke dalam gaya bahasa penegasan, yakni

gaya bahasa pleonasme, tautologi, dan paralelisme sedangkan tiga gaya bahasa

lainnya, yakni paradoks, antitesis, dan sinisme tidak termasuk ke dalam gaya bahasa

penegasan. Gaya bahasa paradoks dan antitesis digunakan pengarang untuk

menegaskan makna dengan cara membandingkan satu suasana dengan suasana

lainnya yang bertolak belakang. Dengan begitu, pembaca akan lebih merasa yakin

tentang adegan atau suasana yang sedang dikisahkan. Lain lagi dengan gaya bahasa

sinisme. Gaya bahasa yang biasanya digunakan untuk menyindir seseorang ini oleh

pengarang digunakan untuk menegaskan sebuah adegan seperti yang terlihat pada

adegan Gajah Mada yang menangkap basah Pakering Suramurda yang ingin

melarikan diri. Dari adegan tersebut dapat dilihat bahwa Gajah Mada ingin

menyadarkan Pakering bahwa ia sudah tua dan tidak bisa berlari cepat dengan cara

menyindir.

Page 206: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

195

Selain efek yang dihasilkan untuk membangun penghayatan pembaca, ada pula

sarana retorika yang digunakan pengarang untuk memberikan informasi kepada

pembaca. Lewat pengunaan gaya bahasa antonomasia yang digunakan sebanyak 35

kali ini pembaca dapat mengetahui nama lain dari para tokoh yang ada dalam novel

ini. Gaya bahasa ini memberitahu pembaca bahwa nama lain dari Gayatri adalah Ibu

Ratu Biksuni, nama lain dari Jayanegara adalah Kalagemet. Nama lain para tokoh

tersebut adalah sebuah gelar kerajaan berdasarkan kedudukannya dalam sistem

kerajaan.

Selain memberikan informasi seputar nama lain dari para tokoh, dalam novel ini

juga digunakan sarana retorika yang berfungsi untuk memberikan informasi kepada

pembaca tentang jenis-jenis racun yang sering digunakan dalam tindak pembunuhan.

Informasi tersebut disampaikan dengan menggunakan gaya bahasa metonimia

sebanyak 1 kali. Dengan digunakannya gaya bahasa ini untuk kepentingan tersebut,

apa yang dikatakan Horatius tentang sifat karya sastra, dulce et utile, memang benar

adanya. Dari novel ini, pembaca tidak hanya disuguhkan nilai moral yang terkandung

dalam amanat dan nilai sejarah yang terkandung dalam alur utama, tetapi juga

pengetahuan tentang beberapa ular yang mengandung racun berbahaya.

Selain info berupa nama lain dari para tokoh, pengarang juga dapat memberikan

dua info sekaligus dengan menggunakan struktur kalimat berimbang sebanyak 49

kali. Dari struktur kalimat ini, pembaca bisa mengetahui dua informasi sekaligus

dalam satu kalimat saja.

Sarana retorika juga digunakan untuk memunculkan nama baik seorang tokoh. Hal

ini terjadi pada tokoh Pradhabasu. Secara umum, tokoh ini digambarkan sebagai

tokoh yang memiliki kecintaan yang tinggi kepada kerajaannya namun ia memilih

keluar dari kesatuan pengamanan kerajaan karena sakit hati. Ia pun belum bisa

melupakan sakit hatinya itu. Untuk menggambarkan bahwa tokoh ini adalah tokoh

yang berjiwa ksatria, pengarang menggambarkan tindakan tokoh ini dengan sedikit

Page 207: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

196

diperhalus menggunakan gaya bahasa eufimisme. Gaya bahasa ini digunakan

sebanyak 3 kali.

Efek pemulihan dari kebosanan pembaca juga ditampilkan dalam penggunaan dua

sarana retorika, yakni gaya bahasa asonansi dan penyiasatan struktur kalimat invers.

Pada gaya bahasa asonansi, pembaca akan merasa disegarkan kembali melalui

keindahan bunyi yang tampil sebanyak 2 kali. Memulihkan pembaca dari kebosanan

yang bisa saja terjadi juga dilakukan dengan menggunakan struktur kalimat invers

yang hadir sebanyak 5 kali.

Tidak hanya efek yang dirasakan lewat perasaan saja, pengarang novel ini juga

mampu menggiring opini pembaca atau bahkan menyesatkan pemikiran pembaca

lewat digunakannya sarana retorika berupa gaya bahasa retoris. Lewat pertanyaan-

pertanyaan yang kerap dilontarkan para tokoh dalam novel ini, pemikiran pembaca

diarahkan seperti pemikiran tokoh yang sedang berdialog tersebut. Untuk

mempengaruhi pola pikir pembaca, gaya bahasa retoris ini digunakan sebanyak 9

kali.

Implikasi novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi

dalam pembelajaran sastra adalah peserta didik dapat memahami bahasa dalam unsur

intrinsik sub gaya bahasa yang dikaji tidak hanya berkisar pada gaya bahasa saja,

tetapi juga penyiasatan struktur kalimat. Juga, tidak hanya berhenti pada proses

penentuan sarana-sarana tersebut, peserta didik juga diharapkan mampu menggali

makna yang terkandung pada pemakaian sarana-sarana tersebut serta mencari efek

yang dihasilkan dari penggunaan tersebut.

Nilai tambah penelitian ini bagi pembelajaran gaya bahasa kelas XII adalah

peserta didik dapat mengetahui efek apa saja yang terkandung dari gaya bahasa-gaya

bahasa yang telah mereka pelajari. Dengan begitu,mereka bisa lebih mahir lagi

memaknai maksud dari kalimat yang bergaya bahasa tersebut. Jika hal itu sudah

mereka lakukan, peserta didik akan lebih mendalami lagi unsur intrinsik lainnya

Page 208: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

197

karena dalam penelitian ini, unsur intrinsik bagian gaya bahasa ini dikaitkan dengan

unsur intrinsik lainnya.

Sayangnya, dalam praktik pembelajaran di kelas, pembahasan gaya bahasa hanya

membahas tentang pembagian gaya bahasa, yang sama sekali berbeda dengan

pembagian gaya bahasa dalam penelitian ini. Tidak hanya itu, tidak disinggung

sedikit pun tentang efek yang dihasilkan dari gaya bahasa-gaya bahasa tersebut.

Pembelajaran di kelas hanya menitikberatkan pada bagaimana peserta didik tahu apa

yang dimaksud dengan gaya bahasa dan pembagiannya, serta mengetahui kalimat

seperti apa yang mengandung gaya bahasa. Walaupun gaya bahasa termasuk salah

satu materi yang kerap dijadikan soal pada Ujian Nasional, pertanyaan yang keluar

seputar gaya bahasa pun hanya berkisar pada nama gaya bahasa dari larik puisi atau

pun kalimat dalam kutipan cerpen atau novel.

Begitu pun dengan pembagian gaya bahasa yang ada dalam penelitian ini berbeda

dengan materi gaya bahasa pada pembelajaran di sekolah. Meskipun memiliki

pengertian yang sama, tetap saja peserta didik akan mengalami kebingungan jika

mengikuti pembagian gaya bahasa yang ada dalam penelitian ini. Selain itu, peserta

juga akan semakin bingung dengan perbedaan antara majas dengan gaya bahasa

karena selama ini mereka menyamakan antara gaya bahasa dengan majas, padahal

gaya bahasa adalah salah satu bagian dari gaya bahasa. Dari perbedaan tersebut,

peneliti merekomendasikan untuk pembelajaran materi gaya bahasa sebaiknya

menggunakan pembagian gaya bahasa yang dilakukan oleh Gorys Keraf .

A. Saran

Dari hasil penelitian mengenai sarana retorika yang digunakan dalam novel Gajah

Mada: Takhta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi, peneliti menyarankan

beberapa hal berikut:

Untuk para pengarang, demi menghasilkan sebuah karya yang bercita rasa tinggi

agar dapat menarik minat pembaca, disarankan untuk memanfaatkan sarana-sarana

Page 209: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

198

retorika semaksimal mungkin. Hal ini disebabkan, penggunaan gaya bahasa sangat

berpengaruh untuk membentuk sebuah emosi yang dapat membantu pembaca

memahami makna cerita tersebut.

Selain itu, peneliti juga menyarankan untuk mencoba genre novel sejarah sebagai

alternatif lain dalam menciptakan karya sastra. Hal ini dapat membantu melestarikan

sejarah bangsa. Tentunya, untuk menciptakan sebuah karya sastra yang berhaluan

sejarah diperlukan proses yang lebih lama untuk melakukan riset agar tidak bertolak

belakang antara karya sastra dengan fakta sejarahnya

Bagi para guru matapelajaran Bahasa Indonesia diharapkan dapat meningkatkan

pengajaran subbahasan gaya bahasa pada materi unsur intrinsik. Pengajaran materi ini

diharapkan tidak hanya pada kisaran memberitahu pembagian, arti, dan bentuk

kalimatnya saja, tetapi juga bagaimana cara menganalisis kalimat bergaya bahasa dan

mencari tahu apa efek yang dihasilkan dari gaya bahasa tersebut. Juga, pendidik

diharapakan mampu mengaitkan gaya bahasa tersebut dengan unsur intrinsik lainnya.

Page 210: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

199

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Emsoe dan Apriyanto Ranoedarsono. The Amazing Stories of

Al-Qur’an; Sejarah yang Harus Dibaca. Bandung: Salamadani. 2009.

Adi, Ganug Nugroho. “Langit Kresna Hariadi: Between Fact and Fiction”,

http://www.thejakartapost.com/news/2013/08/15/langit-kresna-hariadi-

between-fact-fiction.html, 22 Agustus 2014.

Arifin, Zaenal dan Amran Tasai. Cermat Berbahasa Indonesia untuk

Perguruan Tinggi. Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa. 1988.

Aziez, Furqonul dan Abdul Hasim. Menganalisis Fiksi; Sebuah Pengantar.

Bogor: Ghalia Indonesia. 2010.

Chaer, Abdul. Sintaksis Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses). Jakarta:

Rineka Cipta. 2009.

Connoly, Francis dan Gerald Levin. A Rethoric Case Book. New York:

Harcourt, Brace, & World, Inc. 1969.

Corbett, Edward P.J. The Little Rhetoric. Canada: John Wiley & Sons, Inc.

1977.

Damayanti, D. Buku Pintar Sastra Indonesia. Yogyakarta: Araska. 2013.

DEPDIKNAS. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama. 2008.

Fauziah, Atik. Kajian Intertekstualitas Novel Gajah Mada Karya Langit

Kresna Hariadi terhadap Kakawin Gajah Mada Gubahan Ida

Cokorda Ngurah. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. 2007.

Handoyo. Analisis Struktural Novel Gajah Mada : Bergelut dalam Kemelut

Takhta dan Angkara dan Perang Bubat Karya Langit Kresna Hariadi.

Surakarta: Universitas Sebelas Maret. 2009.

Hendrikus, Dori Wuwur. Retorika. Yogyakarta: Kanisisus. 1991.

Page 211: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

200

Kennedy, X.J. An Introduction to Fiction. Canada: Little, Brown, and

Company Limited. 1983.

Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama. 2010.

Luxemburg, Jan Van, dkk., Pengantar Ilmu Sastra,Terj. dari Inleiding in de

Literatuurwetenschap oleh Dick Hartono. Jakarta: PT. Gramedia.

1989.

Margono, S. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

2007.

Moeliono, Anton M. Kembara Bahasa, Kumpulan Karangan Tersebar. C.

Ruddyanto (ed.). Jakarta: PT. Gramedia. 1980.

Muhammad. Metode Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Arr-Russ Media. 2011

Munoz, Paul Michel. Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan

Semenanjung Malaysia. Jogjakarta: Mitra Abadi. 2009.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Jogjakarta: Gadjah Mada

University Press. Cet. 5. 2005.

Priyatni, Endah Tri. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis.

Jakarta: Bumi Aksara. 2010.

Putra, Bayu. “Lebih dekat dengan Langit Kresna Hariadi, Penulis Novel

Sastra Sejarah Nusantara”

http://www.radarlampung.co.id/read/radar/berita-foto/70960-lebih-

dekat-dengan- langit-kresna-hariadi-penulis-novel-sastra-sejarah-

nusantara. 22 Agustus 2014.

Putrayasa, Ida Bagus. Analisis Kalimat; Fungsi, Kategori, dan Peran.

Bandung: PT. Refika Utama. 2007.

Ratna, Nyoman Kutha. Stilistika; Kajian Puitika, Bahasa, Sastra, dan

Budaya. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. 2009.

Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Jogjakarta: Kanisius. 1988.

Page 212: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

201

Rakhmat, Jalaluddin. Retorika Modern; Pendekatan Praktis. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya. 2008

Sudjiman, Panuti. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. 1988.

Sugono, Dendy. Mahir Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama. 2009.

Susanti, Ratna. Ejaan Yang Disempurnakan Terbaru. Klaten: CV. Sahabat.

2012.

Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa.

1985.

Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT.

Dunia Pustaka Jaya. 1984.

Tuloli, Nani. Teori Fiksi. Gorontalo: BMT “Nurul Jannah”. 2000.

Wikipedia.”Langit Kresna Hariadi”,

http://id.wikipedia.org/wiki/Langit_Kresna_Hariadi. 22 Agustus 2014.

Yusandi. “Makna Nama Satwa pada Orang tempo Doeloe”,

http://www.wacananusantara.org/makna-nama-satwa-pada-orang-

tempo-doeloe/. 22 Januari 2015.

Yustinah dan Ahmad Iskak. Bahasa Indonesia Tataran Unggul kelas XII

SMK. Jakarta: Erlangga. 2008.

Zaidan, Abdul Rozak dkk. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.

2007.

Page 213: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

Nama

NIM

Jurusan

Judul

LEMBAR UJI REFERBNSI

Dessy Husnul Qotimah

1 1 10013000028

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Sarana Retorika pada Alur Utama dan Alur Bawahan dalam Novel

Gajah Mada: Takhta dan AngkhraKaryalangit Kresna Hariadi

dan Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

Kelas XII

No Daftar Referensi ParafPen(6-ihbine

1 Abdurrahman, Emsoe dan Apriyanto Ranoedarsono. The

Amazin g St o r i e s o { Al - Qur' an ; S e iar ah y an g Har us D ib a c a.

Bandung: Salamadani. 2009.

2 Arifin, Zaenal dan Amran Tasai. Cermat Berbahasa Indonesia

untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Mediyatama Sarana

Perkasa. 1988.

e An

aJ Aziez, Furqonul dan Abdul Hasim. Menganalisis Fiksi;

Sebuah Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia. 2010. C A4 Chaer, Abdul. Sintaksis Bahasa Indonesia (Pendekatan

Proses). Jakarta: Rineka Cipta. 2009. 4 A5 Connoly, Francis dan Gerald Levrn.A Rethoric Case Book.

New York: Harcourt, Brace, & World, Inc. 1969. C 4a-\

6 Corbett, Edward P.J. The Little Rhetoric. Canada: John Wiley

& Sons, Inc. 7977. aA,/l<

7 Damayanti,D. Buku Pintar Sastra Indonesia. Yogyakarta:

Araska. 2013. 4t8 DEPDIKNAS. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama. 2008.

Page 214: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

9 Fauziah, Atlk. Kajian Intertekstualitas Novel Gajah Mada

Karya Langit Kresna Horiadi terhadap Kakawin Gajah Mada

Gubahan lda Cokorda Ngurah. Surakarta: Universitas

Sebelas Maret. 2007.

10 Handoyo. Analisis Struktural Novel Gaiah Mada : Bergelut

dalam Kemelut Takhta dan Angkara dan Perang Bubat Karya

Langit Kresna Hariadi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

2009.

11 Hendrikus, Dori Wuwur. Retoriko. Yogyakarta: Kanisisus.

t991. C Aa

t2 Kennedy, X.J. An Introduction to Fiction Canada: Little,

Brown, and Company Limited. 1983. o A13 Keraf, Gorys. Diksi don Gaya llahasa. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama. 2010. aAr\

\4 Luxemburg, Jan Van, dl<k., Pengantar llmu Sastra,Tetj. dari

Inleiding in de Literatuurwetenschap oleh Dick

Hafiono. Jakatia: PT. Gramedia. 1989.

I

qAn

15 Margono, S. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakatta:Rineka Cipta. 2007. o A

t6 Muhammad. Metode Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Arr-Russ Media.20ll. C A

l7 Munoz, Paul Michel. Kerajaan-Keraiaan Awal Kepulauan

Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Jogiakarta: Mitra

Abadi. 2009.( Ar\

18 Nurgiyantoro, Burhan- Teori Pengkajian Fiksi. Jogjakarta:

Gadjah Mada University Press. Cet. 5. 2005. I At9 Priyatni, Endah Tri. Membaca Sastra dengan Ancangan

Literasi Kritis. Jakarta: Bumi Aksara. 2010. 420 Putrayasa, Ida Bagus. Analisis Kalimat; Fungsi, Kategori, dan

(_ 4

Page 215: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

Peran. Bandung: PT. Refika Utama. 2001.I

21 Ratna, Nyoman Kutha. Stilistika; Kajian Puitika, Bahasa,

Sastra, dan Budaya. JogSakarta: Pustaka Pelajar. 2009.1d A

22. Rahmanto, B. Metode Pengajarctn Sastra. Jogjakarla:

Kanisius. 1988. 4A23 Moeliono, Anton M. Kembara Bahasa, Kumpulan Karangan

Tersebar. C. Ruddyanto (ed.). Jakarta: PT. Gramedia. 1980. T\r\

24 Sudjiman, Panuti. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka

Jaya. 1988. #25 Sugono, Dendy. Mahir Berbahasa Indonesia dengan Benar.

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2009. H26 Susanti, Ratna. Ejaan Yang Disempurnakan Terbaru. Klaten:

CV. Sahabat.2012. J//n

27 Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung:

Angkasa.1985. s28 Teeuw, A. Sastra dan llmu Sastra; Pengantar Teori Sastra.

Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. 7984. A29 Tuloli, Nani. Teori Fiksl. Gorontalo: BMT "Nutul Jannah".

2000. #30 Yustinah dan Ahmad Iskak. Bahasa Indonesia Tatqran

Unggul kelas XII SMK. Jakarta: Erlangga. 2008. C Ar\31 Zaidan, Abdul Rozak dl<7<. Kamus Istiloh Sastra. Jakarla: Balai

Pustaka, 2007. a AJZ Putra, Bayu. "Lebih dekat dengan Langit Kresna Hariadi,

Penulis Novel Sastra Sejarah Nusantara",

http : //www. radarlampung. co. id/re adh adar lberrta-foto I 7 09 60 -

lebih-dekat-dengan- langit-kresna-hariadi-penulis-novel-

sastra-sej arah-nusantar a, 22 Agustus 20 1 4.

Page 216: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

JJ Wikipedia. "Langit Kresna

http : //id.wikipedia. org I wrkilLangit_Kresna_H anadi,

Agustus 2014.

Hariadi",

22C

I

)t(lt\

34 Yusandi. "Makna Nama Satwa pada Orang tempo Doeloe"http ://www.wacananus antar a.or gl makna-nama-satwa-pada-orans- temoo-doeloel . 22 Januari 201 5.

t

35 Adi, Ganug Nugroho. !'Langit Kresna Hariadi: Between Fact

and Fiction",

http : //www.thej akartapo st. com/news/2 0 1 3 /0 8 I 1 5 I langit-

kresna-hariadi-between-fact-fi ction.html, 22 Agustus 20 I 4. $Jakafta,

NrP. 19771030 200801 2009

Page 217: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

KEMENTERIAN AGAMAUIN JAKARTAFITKJl. k. H. Juanda No 95 Cigutat 15412 lndoo$ia

FORM (FR)

No Dokumen : FITK-FR-AKD-081

Tgl. Terbit : 1 Maret 2010

No. Revisi: : 01

Hal 1t1

SURAT BIMBINGAN SKRIPSI

Nomor : Un.0 I /F. 1,{KM.01.3 /...........12013Lamp. : -Hal : Bimbingan Skripsi

Nama

NIM

Jurusan

Semester

Judul Skripsi

Tembusan:l. Dekan FITK2. Mahasiswa ybs.

Ciputat, 3 Desember 2013

Kepada Yth.

Ibu Rosida Erowati, M.Hum.Pembimbing SkripsiFakultas Ilmu Tarbiyah dan KeguruanUIN Syarif HidayatullahJakarta.

As s alamu' al aikum w r.w b.

Dengan ini diharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi pembimbing l/II(materi/teknis) penulisan skripsi mahasiswa:

Dessy Husnul Qotimah

l I 10013000028

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Tujuh

Retorika dalam Novel Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut

Takhta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi dan Implikasinya dalam pembelajaran

Bahasa dan Sastra Indonesia kelas XII semester I

Judul tersebut telah disetujui oleh Jurusan yang bersangkutan padatanggal 26 November 2013,abstraksiloutline terlampir. Saudara dapat melakukan perubahan redaksional pada judul tersebut.Apabila perubahan substansial dianggap perlu, mohon pembimbing menghubungi Jurusan

terlebih dahulu.Bimbingan skripsi ini diharapkan selesai dalam waktu 6 (enam) bulan, dan dapat diperpanjangselama 6 (enam) bulan berikutnyatanpa surat perpanjangan.

Atas perhatian dan kerja sama Saudara, kami ucapkan terima kasih.

Was s al amu' al aikum wrw b.

a.n. DekanKajul Sastra Indonesia

Dra. yah ZA, M.PdNIP. 1 121997$ 2{nl

Page 218: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

Lampiran 1

Sinopsis Novel Gajah Mada; Takhta dan Angkara karya Langit Kresna

Hariadi

Majapahit kembali ditimpa duka lantaran Jayanegara tewas dibunuh oleh

pengkhianat negara, Rakrian Tanca dengan menggunakan racun ular. Kematian

raja kedua di tangan seseorang yang diam-diam dicintai oleh Sekar Kedaton

Dyah Wiyat itu mengantarkan Wilwatikta ke masa perebutan takhta. Dua orang

calon suami Sri Gitarja dan Dyah Wiyat terlibat di dalamnya. Adalah Panji

Wiradapa, orang kepercayaan Raden Kudamerta, menjadi dalang kekacauan

dan pembunuhan orang-orang Kudamerta. Tujuannya adalah menjadikan

Kudamerta orang nomor satu di kerajaan itu dengan cara memfitnah Raden

Cakradara, calon suami Sri Gitarja. Semua usaha itu tak diketahui oleh pihak

istana, pun oleh calon suami Dyah Wiyat, Raden Kudamerta karena Panji

Wiradapa menggunakan nama lain, yakni Rangsang Kumuda.

Korban mati dari pihak Raden Kudamerta pun berjatuhan di tangan

Rangsang Kumuda. Pertama, usaha mematikan dirinya sebagai kamuflase, para

prajurit pengawal Kudamerta hingga Kudamerta sendiri yang menjadi sasaran

bidik pisau lempar yang sengaja didesain hanya untuk melukai. Semua ini

menyudutkan posisi Cakradara yang dianggap menjadi batu sandungan

Kudamerta.

Sebenarnya, baik Kudamerta maupun Cakradara sama sekali tidak

berminat menduduki kursi raja. Namun, orang yang ada di balik mereka itulah

yang menyimpan hasrat seperti itu. Paman Cakradara, Pakering Suramurda

juga memiliki rencana jahat untuk menjadikan kemenakannya itu raja

Majapahit.

Di tengah-tengah kekacauan itu, hadirlah seorang misterius yang mengaku

bernama Bagaskara Manjer Kawuryan. Keruan saja, Gajah Mada yang saat itu

diserahi mandat penuh oleh Gayatri dan Patih Majapahit untuk menyelesaikan

Page 219: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

semua masalah ini terkejut. Prajurit pilih tanding itu tahu betul bahwa nama

sandi itu milik Rakrian Tanca yang telah tewas di tangannya tak lama setelah

Jayanegara tewas. Untungnya, sosok misterius yang selalu menggunakan kuda

dan jubah putih itu berada di pihak Gajah Mada. Ia membantu Patih Daha

memecahkan masalah serius ini hingga tuntas.

Lampiran 2

Kartu Data Diksi dalam Bahasa Jawa

No Diksi Arti Hal

1 Gering Sakit, biasanya sebutan ini ditujukan untuk

raja atau kerabat inti

3

2 Rontal Berasal dari dua kata, yaitu ron dan tal yang

berarti daun, merupakan lembaran daunt al

yang digunakan sebagai alat mencatat,

fungsinya sama dengan kertas sekarang

6

3 Pepe Unjuk rasa 6

4 Kumararaja Putra mahkota atau pangeran pati. Putra raja

yang dipastikan akan menggantikan raja

sebelumnya bila berhalangan atau mangkat.

7

5 Nglangut Sedih, menyedihkan 7

6 Tumpes tapis Ditumpas tanpa sisa 8

7 Dampar kencana Kursi emas, tempat duduk raja 8

8 Nawa surya Sembilan tahun matahari 8

9 Bramastana Nama lain pohon beringin 8

10 Bagaskara

Manjer Kawuryan

Matahari terang benderang 10

11 Warangan Arsenikum 10

Page 220: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

12 Degan Ijo Kelapa muda hijau yang secara ilmiah

mampu meredam racun yang terlanjur masuk

ke tubuh

11

13 Timpuh Duduk bersimpuh 12

14 Duh Gusti kang

Maha Agung,

mugi paring

kawelasan

dhumateng

sinuwun rajaning

nagari, paringana

panjang

yuswanira,

linuputna saking

dedosan

Ya Tuhan yang Mahabesar, berilah belas asih

kepada raja negeri, berilah panjang usianya,

bebaskan dari dosa-dosa

13

15 Pepesthen Takdir 14

16 Gelung keeling Rambut yang diikat (digelung) melingkar d

atas kepala. Zaman Majapahit lelaki terbiasa

berambut panjang yang digelung di atas

kepala. Sisa kebiasaan ini masih terlihat di

pedesaan pulau Lombok.

14

17 Maru Perempuan lain yang diperistri suami, dimadu 15

18 Tandya Jawaban isyarat atas perintah pada pasukan

yang berarti siap.

17

19 Blandong Orang yang pekerjaannya menebang kayu di

hutan, di zaman modern berarti pencuri kayu.

18

20 Sinuhun Panggilan untuk raja 18

Page 221: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

21 Para wadyabala

sumadya, tandya

Pasukan siap, gerak. 19

22 Sesorah Pidato 19

23 Pralaya Kematian 21

24 Cihna Lambang negara 21

25 Gringsing lobhe

lewih laka

Pola gringsing merah 21

26 Makantar-kantar Keadaan ketika lidah api sampai menjilat-jilat 21

27 Sekar Kedaton Kembang istana 24

28 Sabda pandita

ratu

Sabda raja yang bermuatan hukum. 25

29 Cangkring Dahan bambu 27

30 Ameng-ameng

nyawa

Bermain-main dengan nyawa 33

31 Gemah ripah

lohjinawi kerta

tata lan raharja

Hidup makmur aman tentram 34

32 Pralaya Mati terbunuh 37

33 Pahoman Perapian pemujaan 40

34 Pakunjaran Penjara 40

35 Dahana Api 41

36 Ngembat watang Membidik anak panah 43

37 Ilmu kanuragan Ilmu kesaktian atau ilmu bela diri 43

38 Pasewakan Sidang atau pertemuan besar 45

39 Panangkilan Menghadap 45

40 Mandapa Tempat memelihara burung 46

Page 222: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

41 Seba Menghadap 46

42 Panangkil Menghadap 48

43 Hanyepuhi Menjadi sesepuh atau yang mengatur 48

44 Sri Naranata Raja 48

45 Punggawa

parentah kraton

Identik dengan pegawai pemerintah atau

pegawai negeri

49

46 Sentanaraja Sanak saudara raja, kerabat istana, nma aini

hingga sekarang masih ada dan berubah

menjad nama sebuah daerah

49

47 Gegayuhan Cita-cita atau impian 52

48 Nggarapsari Menstruasi 53

49 Maleman Pasar malam 57

50 Disuyuti Dihormati (ditakuti banyak orang) 58

51 Pekatik Orang yang pekerjaannya merawat dan

mengurusi orang

58

52 Gamel Orang yang pekerjaannya mengurusi kandang

kuda

58

53 Ngapurancang Sikap hormat dengan kedua tangan saling

menggenggam di perut

58

54 Kewahyon Orang yang memperoleh anugerah wahyu 59

55 Asoka Nama lain bunga kamboja atau bunga yang

ditanam di kuburan

60

56 Kampil Kantung tempat menyimpan uang 61

57 Ular sendok Kobra 61

58 Sepenginang Waktu yang digunakan untuk makan sirih,

maksudnya tidak terlampau lama

62

59 Benik Kancing baju 64

Page 223: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

60 Gua garba Rahim atau kandungan 66

61 Brenggala Cermin 69

62 Ngemban Memangku 72

63 Priprayangan Segala makhluk halus 72

64 Timang Pengait ikat pinggang 85

65 Pangrantunan Penantian, alam lain setelah kematian 98

66 Ampak-ampak

pendhut

Barisan kabut tebal 108

67 Kamanungsan Ketahuan jati dirinya 108

68 Hyang Bagaskara Matahari 110

69 Warastra Anak panah 110

70 Golek Boneka 114

71 Panggrahita Ketajaman mata hati atau indera keenam 116

72 Daradasih Salah satu jenis mimpi menurut primbon

Jawa yang berarti mempi menjadi kenyataan

118

73 Plinteng Katapel 131

74 Diradameta,

Cakrabyuha,

Supit Urang

Nama-nama siasat perang berskala besar,

awalanya istilah-istilah perng itu berasal dari

Mahabrata terutama episode Baratayuda

131

75 Pacak baris Berbaris 133

76 Bregada Bisa diidentikkan dengan satuan berkekuatan

satu korps, satu korps sendiri merupakan

gabungan dari divisi-divisi

133

77 Rata Pralaya Kereta kematian atau kereta pengangkut

jenazah

146

78 Gabah den interi Perumpamaan kondisi kacau-balau 160

Page 224: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

79 Paring dawuh Berbicara 180

80 Kemaki Umpatan Jawa, tak tahu diri 203

81 Garu Alat untuk meratakan tanah setelah dibajak 204

82 Singkal Alat untuk membajak tanah 204

83 Nyrampang Melempar dengan senjata 205

84 Gung Binatara Raja besar berwibawa 237

85 Kriwikan dadi

grojokan

Peribahasa Jawa, persoalan kecil apabila

dibiarkan bisa membesar dan menyulitkan

249

86 Maruta Angin 286

87 Berbudi bawa

leksana, ambek

adil paramarta

Berbudi luhur dan adil 309

88 Bakiak Sandal kayu 318

89 Nggegirisi Luar biasa 359

90 Laying

kekancingan

Surat keputusan raja 409

91 Tumbak cucukan Peribahasa, tukang mengadu 413

92 Sanggar pamujan Tempat khusus untuk bersemadi 428

93 Doro muluk Nama isyarat kentongan dengan nada tertentu

sebagai tanda keadaan aman

447

94 Tulup Semacam anak panah 462

95 Daksina Selatan 477

Page 225: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

Lampiran 4

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Satuan Pendidikan : SMK

Kelas/Semester : XII/1

Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia dan Sastra

Indonesia

Topik : Gaya Bahasa

Jumlah Pertemuan : 2 x Pertemuan (pertemuan

pertama)

A. Standar Kompetensi

Berkomunikasi dengan bahasa Indonesia secara tingkat unggul

B. Kompetensi Dasar

Menyimak untuk memahami secara kreatif teks seni berbahasa dan teks

ilmiah sederhana.

C. Indikator

1. Mampu memahami pengertian gaya bahasa dan pembagiannya dalam

karya sastra

2. Mampu memahami maknanya

3. Mampu membuat sendiri kalimat bergaya bahasa

D. Tujuan

1. Siswa dapat memahami pengertian dan pembagian gaya bahasa

2. Siswa dapat makna gaya bahasa

3. Siswa dapat membuat sendiri kalimat bergaya bahasa

Page 226: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

E. Materi Pembelajaran

1. Pengertian gaya bahasa dan pembagiannya. Gaya bahasa terbagi atas

empat bagian, yakni perbandingan, pertentangan, sindiran, dan

penegasan.

2. a. Gaya bahasa perbandingan terdiri atas metafora, personifikasi,

asosiasi, alegori, simbolik, tropen, metonimia, litotes, sinekdoke,

eponim, hiperbola, eufimisme, alusio, antonomasia, dan perifrasis.

b. Gaya bahasa penegasan terdiri atas pleonasme, repetisi, paralelisme,

tautologi, klimaks, antiklimaks, inversi, ellipsis, retoris, koreksio,

asindeton, polisindeton, interupsi, eksklamasio, enumerasio, dan

preterito

c. Gaya bahasa sindiran berupa ironi, sarkasme, dan sinisme.

d. Gaya bahasa pertentangan berupa paradoks, antitesis, kontradiksio

in terminis, dan anakronisme.

F. Metode Pembelajaran

Metode inkuiri, tanya jawab, pemodelan, dan presentasi

G. Alokasi Waktu

2 x 40 menit

H. Kegiatan Pembelajaran

a. Kegiatan Pendahuluan (15 menit)

1. Guru memberikan salam dan siswa menjawabnya

2. Guru mengabsen siswa dengan urutan acak

3. Guru membacakan materi apa yang akan dipelajari bersama beserta

tujuannya

4. Untuk menarik minat siswa, guru memutarkan lagu yang berjudul

Usah Kau Lara Sendiri yang dinyanyikan oleh Ruth Sahanaya dan

Katon Bagaskara.

5. Guru memberikan fotokopian teks lagu tersebut

Page 227: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

b. Kegiatan Inti (50 menit)

Eksplorasi

1. Siswa dipancing untuk menyebutkan lirik-lirik lagu yang indah

dari lagu itu.

2. Guru menanyakan kepada siswa apa makna lirik itu.

3. Guru menjelaskan apa yang dimaksud dengan gaya bahasa dan

pembagiannya.

Elaborasi

4. Guru menyuruh siswa menentukan majas apa saja yang ada dalam

lagu tersebut.

5. Guru meminta siswa untuk menafsirkan maknanya.

Konfirmasi

6. Guru memberikan apresiasi kepada siswa yang aktif selama

pembelajaran.

7. Guru mempersilakan siswa yang belum mengerti tentang materi ini

untuk bertanya.

8. Guru menjawab pertanyaan siswa yang diajukan oleh siswa yang

belum memahami materi ini.

9. Guru memberikan tugas untuk pertemuan selanjutnya, yakni siswa

dibagi ke dalam empat kelompok dan tiap kelompok harus mencari

empat pembagian majas dalam beberapa buah lagu.

c. Kegiatan Penutupan (15 menit)

1. Guru bertanya kepada siswa tentang materi apa yang telah

dipelajari hari ini.

2. Guru dan siswa bersama-sama menyimpulkan pelajaran hari ini.

Page 228: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

3. Guru dan murid menyannyikan lagu yang tadi diputar bersama-

sama.

I. Penilaian Proses dan Hasil Belajar

No Aspek yang

dinilai

Teknik

Penilaian

Waktu

Penilaian

Instrumen

penilaian

Keterangan

1 Cermat Pengamatan

dan

Pengujian

Proses Lembar

Pengamatan

Hasil

pengamatan

sikap akan

menjadi

bahan

pertimbangan

saat rapat

kenaikan

kelas

2 Kritis

3 Demokratis

4 Komunikatif

5 Teliti

6 Keberanian

J. Sumber Belajar

Yustinah dan Ahmad Iskak. Bahasa Indonesia Tataran Unggul Kelas XII

SMK. Jakarta: Erlangga. 2008

Page 229: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

K. Media Belajar

1. Lagu Usah Kau Lara Sendiri

2. Teks lirik lagu.

3. In Focus

4. Speaker Active

Mengetahui,

Kepala SMK Farmasi Minasa Mulia Guru Bahasa Indonesia

Muhammad Imron. M.Si. Dessy Husnul Qotimah, S.Pd

Page 230: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

Lampiran:

Teks lagu Usah Kau Lara Sendiri

Kulihat mendung membayangi pancaran wajahmu

Tak terbiasa kudapati terdiam mendura

Apa gerangan bergemuruh di ruang beriakmu

Sekilas galau mata ingin berbagi cerita

Kudatang sahabat bagi jiwa saat batin merintih

Usah kau lara sendiri

Masih ada asa tersisa

Letakkanlah tanganmu di atas bahuku

Biar terbagi beban itu

Dan tegar dirimu

Di depan sana cahya kecil tuk memandu

Tak hilang arah kita berjalan menghadapinya

Sekali sempat kau mengeluh kuatkan bertahan

Satu per satu jalinan kawan beranjak menjauh

Page 231: SARANA RETORIKA PADA ALUR UTAMA DAN ALUR …

Biografi Peneliti

Peneliti yang lahir dengan nama lengkap Dessy

Husnul Qotimah, 19 Desember 1992 ini merupakan anak

pertama dari tiga bersaudara pasangan suami istri, Suwarno

dan Suti Astuti. Pendidikan yang pernah ditempuh peneliti

dimulai dari TK Aisiyah Depok, SD Muhammadiyah 03

Depok yang lulus pada tahun 2004, SMPN 98 Jakarta yang

lulus pada tahun 2007, MAN 13 Jakarta yang lulus pada

tahun 2010. Pada tahun yang sama, peneliti melanjutkan

studinya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pendidikan

Strata 1 pada jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, sebuah

disiplin ilmu yang sudah sejak dulu ia sukai.

Berbagai kesempatan berkarier di dunia bahasa sudah peneliti rasakan. Peneliti

memulai pengalaman di dunia tulis-menulis dengan menjadi salah satu wartawan Jurnal

Wisudawan, anggota tim penulis Ensiklopedia Pemuka Agama Nusantara (proyek

Departemen Agama RI), hingga menjadi anggota tim penulis Testimoni Penerima

Beasiswa Chinkung pada tahun 2014. Tidak hanya itu, Wakil Ketua Divisi Bahasa dan

Sastra Indonesia HMJ PBSI periode 2013/2014 ini juga pernah menjadi editor lepas di

Mata Pena Writer pada tahun 2013.

Peneliti tidak hanya mengasah kemampuannya pada bidang tulis-menulis, tetapi

juga mengabdikan dirinya pada dunia pendidikan. Debut mengajarnya peneliti mulai sejak

masih duduk di semester tiga dengan menjadi pengajar privat di Lembaga Bimbingan

Belajar A n B Bintaro dan juga tutor Bahasa Indonesia di Lembaga Bimbingan Belajar

BTA 8 Depok. Saat ini, peneliti tercatat sebagai guru bidang studi Bahasa Indonesia di

SMK Farmasi Minasa Mulia Ciputat dan tutor pada matapelajaran yang sama di Lembaga

Bimbingan Belajar Gama Jogja Nusantara Depok, LBB SSC Cipete, dan LBB Privat RFA.

“Hasil selalu berbanding lurus dengan usaha”