ROBBY BUKU #3 JULI 2015 Existence. Well, what does it matter? I exist on the best terms I can
Jul 22, 2016
ROBBY
BUKU #3 JULI 2015
Existence. Well, what does it matter? I exist on the best terms I can
Robby fanzine #3 adalah rahmawati nur azizah, dibantu kekuatan ghaib diluar
sana dan juga teman teman: Angga Wiradiputra (retorika piring cantik dan gelas
berwarna)kalian bisa membaca tulisan2 menarik dr kak wenky di
anggawiradiputra.blogspot.com || terimakasih telah menghidupkan robby dengan
membacanya. Jika ingin menyapa dan berbagi kisah dan tulisan, boleh kirimkan ke
surel: [email protected] :) || Front cover: gambar sendiri,back cover:
kutipan drama jean paul Sartre’s No Exit. || Silahkan baca: Bumi Manusia
(Pramoedya Ananta Toer), No Exit (Sartre) dengar: Balada Joni dan Susi
(melancholic bitch) tonton: Spirited Away, synecdoche new York. Dari sanalah
ide ide muncul sehinggal terbitlah robby fanzine :)
“ Everything is more complicated than you think. You only see a tenth of what is true. There are a million little strings attached to every choice you make; you can destroy your life every time you choose. But maybe you won't know for twenty years. And you may never ever trace it to its source. And you only get one chance to play it out. Just try and figure out your own divorce. And they say there is no fate, but there is: it's what you create. And even though the world goes on for eons and eons, you are only here for a fraction of a fraction of a second. Most of your time is spent being dead or not yet born. But while alive, you wait in vain, wasting years, for a phone call or a letter or a look from someone or something to make it all right. And it never comes or it seems to but it doesn't really. And so you spend your time in vague regret or vaguer hope that something good will come along. Something to make you feel connected, something to make you feel whole, some-thing to make you feel loved. And the truth is I feel so an-gry, and the truth is I feel so fucking sad, and the truth is I've felt so fucking hurt for so fucking long and for just as long I've been pretending I'm OK, just to get along, just for, I don't know why, maybe because no one wants to hear about my misery, because they have their own. Well, fuck everybody. Amen.“ ~ Synecdoche New York
Aku menemukan secarik kertas, terselip dalam tumpukan buku-buku
berdebu di kamar tokoh imajinasiku, robby. Ia menulis surat sebelum kematiannya tahun lalu. Aku membuka kertas itu, kotor berdebu. Lalu
membacanya.
Dear Friend,
My name’s Robby and I’m alone and so lonely,
And sad and unhappy.
It’s deep and dark september. I’ve been thinking a lot about
dying, lately. Well, regardless of how this particular thing
works itself out, I’m about to die and so will you, and so
will everyone. We are all hurtling toward death, yet here we
are for the moment alive, each of us knowing we’re gonna die.
Each of us secretly believes that we won’t. But while alive,
we wait in vain, wasting years for existence, for the look of
people to make you feel better. I wish I was nick drake,
writing song then die in peace at his young age, Or the Silk-
screen of Andy Warhol, hanging on the wall, watch people do-
ing silly thing in front of him, then laughing.
I’m tired, I want to go to bed, and then just leave me alone.
I want you to know that deep inside my heart I will feel so
happy to go. I don’t want to wake anymore. There is another
world await, a better world. 20 years I’m alive, 20 years I’m
living with dread. It haunts me every day, 20 years I live
with silent and cried. My parents won’t stop fighting when I
was a child, until now, when I’m a bigger child, they still
doing the same thing over and over again. I don’t wanna be my
parents, they’re too pathetic. I don’t wanna be normal peo-
ple, they are all silly. I don’t wanna be me; I’m not normal
3
and fearfully awful. I don’t need friends, or other human re-
lation, friendship causes pain. I wanna be a rock, or the is-
land. The rock feels no pain, and island never cry.
Well, today I’m so grey. I just realize that I’m only nothing
in a big dark deep down nothingness. And it’s so pathetic. I
don’t know. I recently realize that I’m too afraid of this
life. I’m afraid of my future. I’m not impulsive person, but
I have a feeling that there will be nothing good in my fu-
ture. It’s just worse, full of sadness. It’s so scared, you
know. Have to deal with something unknown, with unknown per-
son, with no guidance. Well, I’m so done. Life has killed me
now. It’s tragic. Yes, life is tragic!
I don’t know where else I can go, oh.. But the world has the
same scars anyway. I can’t go, all these things surround just
like before, it sinks me to the deepest abyss of sadness, and
self deprecating. Oh I wish it’s not a joke, dear almighty
god. And I know it’s all over. I’m so done. It’s very lonely,
lonesome and only left desire to die. I can feel the soil
softly falling over my head, in this empty bed. Oh, I think I
need a help. Do you think you can help me? No, you’re the
reader and I’m the loser.
Prostrated with grief,
Robby
4
Tapi tunggu dulu..
Kali ini Robby hidup kembali
setelah sekian lama terpen-
dam dalam ingatan ingatan
yang terbuang dan terlu-
pakan. Ia datang saat seorang
teman menanyakan
keadaannya:
“apa kabar robby?”
Dengannya robby ingin hidup
kembali, namun tak
se-ngoyo Chairil yang ingin
hidup 1000 tahun lagi, robby
hanya ingin hidup hingga
orang-orang mau duduk
mendengarkan dan peduli.
5
July 2015:
Untuk Annelies Sang Primadona di Bumi Manusia.
Hei Ann, aku baru tahu kalau ada seorang yang begitu rapuh selain aku.
Kau membuat aku sadar, aku tak pernah sendirian. Kita sama-sama
tokoh imajiner sang penulis. Kau ada karena sabda, begitupun aku. Kita
hidup di benak-benak manusia yang membaca kita Ann, mereka yang
memikirkan kita. Dengan mereka kita banyak berhutang, tuhan kita
adalah pembaca dan penulis Ann, mereka bak dwitunggal. Tapi bukan
karena itu aku membikin surat ini untukmu, aku ingin mengutarakan se-
suatu. Meskipun berujung pada kesia-siaan. Sangat sia sia, Ann. Aku
hidup di zaman yang orang bilang modern ini, dan kau hidup di setting
kolonial, ketika, bahkan, kata modern itu sendiri baru menjadi istilah
baru yang tidak semua orang tahu. Tapi Minke, Ann, kekasihmu yang
sungguh pandai dan kharismatik itu mampu menjelaskannya untukmu,
meski dengan pendapat guru jagoannya, Juffrouw Magda Peters yang
membuatmu cemburu itu. Minke bilang bahwa modern adalah; nama
untuk semangat, sikap, pandangan yang mengutamakan syarat keil-
muan, estetika dan effisiensi. Namun sekarang, ketika modernism men-
jadi selayaknya kacang goreng, yang laris manis dibicarakan, yang se-
mua pasti pernah saja memakainya dalam percakapan sehari harinya,
definisi itu tak pernah sejalan dengan pengharapan Minke itu. Tak ada
semangat semangatnya, Anneliesku. Orang orang lebih senang ber-
malas malasan, bermain gadget masing masing dan melupakan ke-
hidupan aslinya, mereka lebih mementingkan eksistensi semu di dunia
maya. Modernism sekarang bukanlah sesuatu yang adiluhung, tak
sepadan dengan harapan orang orang mu di zamanmu itu. Bilang pada
mereka, Ann, tak perlu lah mengagung-agungkannya. Bangsa kita terlalu
senang merayakan kedatangan modernism itu, sampai sampai membuang
buang uang hanya untuk membeli produk produk yang sebenarnya tidak
mereka butuhkan. Kau tahu Ann, sekarang ini modernism selalu berjabat
tangan dengan globalisasi, mungkin kau dan Minke tak pernah mende-
garnya. Ketika modernism dan globalisasi mulau bekerja sama, Ann, pasar
pasar dunia bersaing, teknologi berkembang pesat, produk dari Negara
manapun dapat dipasarkan dimana saja Ann, tanpa batasan. Siapa saja
boleh beli. Tapi banyak yang tidak bijaksana dalam memanfaatkan
keadaan ini. Maka bukan efisiensi lagi jadinya, hanya pemborosan dan
penghamburan uang saja Ann, yang mereka lakukan. Yaa beginilah era ini
kuceritakan padamu. Aku hanya berkeluh saja, karena hanya engkau
mungkin yang dapat memahaminya. Kita sama sama khayalan yang
(semoga) hidup dalam angan angan, barangkali pembaca tak pernah tahu
bagaimana lubuk hati kita. Sebenarnya aku tak mau diletakkan pada
posisiku, kenapa namaku robby, kenapa aku selalu kesepian dan depresi.
Semua ini gara gara pengarangku Ann. Kau seharusnya juga menggugat
Mbah Pram, kenapa hatimu tak dijadikan sekuat dan setabah Midah, ke-
napa kau dijadikan sangat rapuh dan manja dan lembut, tapi kau juga ha-
rus berterimakasih juga sama Mbah yang telah menciptakanmu dengan ke-
cantikkan luar biasa. Sayang Mbah Pram sudah meninggal. Sebaiknya tak
usah kau dengarkan saranku untuk menggugatnya, biarkan dia tenang.
Doakan saja supaya mbah Pram tak kesepian lagi di alam sana.
Tabik,
Robby
6
sepadan dengan harapan orang orang mu di zamanmu itu. Bilang pada
mereka, Ann, tak perlu lah mengagung-agungkannya. Bangsa kita terlalu
senang merayakan kedatangan modernism itu, sampai sampai membuang
buang uang hanya untuk membeli produk produk yang sebenarnya tidak
mereka butuhkan. Kau tahu Ann, sekarang ini modernism selalu berjabat
tangan dengan globalisasi, mungkin kau dan Minke tak pernah mende-
garnya. Ketika modernism dan globalisasi mulau bekerja sama, Ann, pasar
pasar dunia bersaing, teknologi berkembang pesat, produk dari Negara
manapun dapat dipasarkan dimana saja Ann, tanpa batasan. Siapa saja
boleh beli. Tapi banyak yang tidak bijaksana dalam memanfaatkan
keadaan ini. Maka bukan efisiensi lagi jadinya, hanya pemborosan dan
penghamburan uang saja Ann, yang mereka lakukan. Yaa beginilah era ini
kuceritakan padamu. Aku hanya berkeluh saja, karena hanya engkau
mungkin yang dapat memahaminya. Kita sama sama khayalan yang
(semoga) hidup dalam angan angan, barangkali pembaca tak pernah tahu
bagaimana lubuk hati kita. Sebenarnya aku tak mau diletakkan pada
posisiku, kenapa namaku robby, kenapa aku selalu kesepian dan depresi.
Semua ini gara gara pengarangku Ann. Kau seharusnya juga menggugat
Mbah Pram, kenapa hatimu tak dijadikan sekuat dan setabah Midah, ke-
napa kau dijadikan sangat rapuh dan manja dan lembut, tapi kau juga ha-
rus berterimakasih juga sama Mbah yang telah menciptakanmu dengan ke-
cantikkan luar biasa. Sayang Mbah Pram sudah meninggal. Sebaiknya tak
usah kau dengarkan saranku untuk menggugatnya, biarkan dia tenang.
Doakan saja supaya mbah Pram tak kesepian lagi di alam sana.
Tabik,
Robby
7
DINDING PROPAGANDA Joni tak gila ketika didengarnya dinding berbisik, pelan berbisik: ‘Curilah roti.
Jangan biarkan Susi mati ” – dinding propaganda (melbi)
Seorang dokter dengan jas putih dan celana panjang hitam tiba tiba memasuki kamar Joni.
Wajahnya terlihat aneh dengan kumis tebal dan kepala botak itu. Entah kenapa ia selalu
tersenyum kepada Joni.
”Selamat pagi Joni, masih menyendiri lagi? Tak mau keluar untuk bermain dengan
yang lain?” sambil membuka tirai jendela, ia mendekati Joni. Menarik kursi dan duduk di
samping tempat tidur Joni, yang kala itu sedang duduk bersandar di ranjang tempat tidur dan
menerawang ke atap ruangan, ia selalu bergumam.
”Kau tahu,” dengan pandangan kosong ia masih menatap dinding dinding di depannya.
”Orang tidak akan pernah lagi mempercayaimu karena kau berteman denganku. Menjauhlah
dariku karena mereka pikir aku gila. Tidak! aku tidak gila! Mungkin mereka saja yang tuli yang
tidak dapat mendengar teman temanku berbicara panjang lebar tentang kasus pencurian roti di
supermarket beberapa meter dari kontrakanku yang dulu itu” belum sempat dokter tersebut
membalasnya, Joni terus berbicara tak henti hentinya.
”Dan apa yang mereka pikirkan belum tentu benar, kan? Maksudku aku ini berusaha
berteman dengan mereka, tapi aku tidak pernah bisa bertingkah baik, maksudku aku tidak
pernah bisa memposisikan diriku layaknya seorang teman. Bahkan mereka takut padaku” ia
berhenti, nafasnya terengah engah, ia pandangi seisi ruangan dengan pandangan gusar dan ragu,
ditengah derasnya rus pahit realita, masih saja ia merasakan keraguan juga keterasingan.
Dokter yang duduk di samping tempat tidurnya tak berkedip saat ia bercerita, jendela
dibelakangnya terbuka dan angin dan cahaya matahari yang belum terlalu tua masuk melalui
sela sela ruang bebas di jendela. Dinding dinding kamarnya masih sama, masih seperti dahulu,
seperti seminggu yang lalu, atau sebulan, atau beberapa bulan. Ia bahkan tidak ingat kapan ia
datang disini untuk pertamakali.
***
Joni terbangun pagi itu, matahari masih belum tampak benar semburatnya, namun ia
8
harus bagun untuk siap siap menuju tempat kerjanya, pekerjaan sebagai wartawan membuatnya
harus bergerak cepat, bangun pagi benar, mengantri bus menuju kantor, siang berkeliaran
dijalan, kembali ke kantor, menulis lalu pulang hingga larut malam. Baru baru dia sadar, sudah
seminggu lalu ia dipecat karena alasan yang tidak jelas dari atasannya. Ia dulu adalah wartawan
di salah satu surat kabar di sebuah kota yang orang menyebut kota itu dengan kota pelajar,
namun meskipun ‘terpelajar’ banyak saja kasus kasus kurang ajar berserakan sana sini di kota
tersebut. Ia biasa menulis di rubrik kriminal, tentang pencurian, pencopetan, bahkan
pembunuhan. Biasanya, kontrakan ini adalah awal dan akhir cerita hari harinya, sisa sisa waktu
itu ia habiskan bersama Susi, istri yang baru ia nikahi sebulan yang lalu.
Di sampingnya, mata Susi masih memejam, namun ia seperti menyimpan banyak
sekali tekanan. Wajahnya tampak pucat, dan mulai menggumam tidak jelas. Joni mencoba
mendekatkan diri ke Susi, ia tempelkan tanganya ke dahi istri nya yang terkulai lemas itu. Susi
demam, Joni sangat panik! Badan Susi panas dan keringat dingin mengucur deras. Tidak seperti
biasanya, seperti hari hari yang mereka lalui setahun lalu sejak mereka pertamakali bertemu,
tidak pernah ia lihat Susi sekalipun sakit. Sekarang demam mulai meracaukan pikirannya. Ia
mulai dari sejangkauan tangannya, dimeja tulis itu ia menaruh dompet, ia nampak tipis dan
kusam, barangkali tak ada isinya. Lalu mulai mencari kemeja, berharap menemukan kantong
berisikan sesuatu yang bisa menebus obat untuk badan Susi yang semakin basah, tak ada. Tak
ada sepeserpun uang ia punya. Joni gusar, tangannya terkepal.
Tak lama, Susi pun membuka mata. Mata yang sayu, tampak kesedihan di mata itu.
”Apa kemarin kau sudah sakit, kenapa tak bilang padaku semalam?” Joni gusar dan
mencoba membantu Susi menata letak duduknya.
”Aku tidak apa apa, Jon” Susi masih sangat nampak lemas.
”Jangan berbohong, kau demam Susi. Maafkan aku” Joni hampir menangis, matanya
memanas dan berkaca kaca. Sambil menunduk ia memeluk istrinya.
Dalam hati ia mengutuk dirinya sendiri, didalam hati ia bersumpah serapah pada
Tuhan, pencipta takdir, meskipun ia tak pernah percaya dengan takdir. Ia menyesal telah
meninggalkan bangku kuliah dan lari dari rumah bersama Susi. Seharusnya ia lulus tahun ini
dan mendapatkan pekerjaan yang tetap, dan Susi lulus tahun depan, namun keduanya terpaksa
melarikan diri dari orangtua mereka yang tak pernah tahu betapa hebat cinta mereka itu,lalu
menikah ditempat yang entah lalu tinggal di sini, di kota ini.
Joni memejamkan mata, setelahnya Susi merasakan baju dipundaknya terasa basah,
9
dan semakin basah saja bercampur keringat dinginnya. Joni kecewa dengan garis nasib yang
Tuhan berikan untuknya, untuk kesedihan yang datang bertubi-tubi, untuk kemiskinan yang
selalu menghantui dirinya sejak ia kecil, dan sekarang mereka masih membuntuti.
”Ayo kita ke dokter, Susi!” ia menatap mata Susi, tubuhnya gemetar.
”Bukankah Kita tak punya cukup uang untuk pergi ke dokter? Lagipula aku sudah tak
kuat untuk berjalan lebih jauh.” dengan lemah Susi menjawab, tatapannya kosong kearah wajah
Joni.
”Maafkan aku, seharusnya aku bisa membuatmu bahagia, jika kau sakit seharusnya
aku bisa mengantarmu ke dokter dan menyuapimu makan. Maaf Susi” Joni sangat sedih dengan
keadaan ini.
”Tak apa, Jon.” kemudian keheningan sesaat datang. ”Oiya aku lapar. Apa kau masih
punya cukup uang untuk membeli roti? Aku ingin roti yang dulu biasa kau beli setelah pulang
kerja itu” matanya yang sayu menatap Joni, berharap ia bisa memberikan sepotong roti untuk
sarapan nanti.
Joni terdiam beberapa saat, menatap wajah pucat istrinya. Tak tega ia melihatnya
menderita seperti itu. ”Baik, iya Susi. Aku akan beli sekarang.” Joni berbohong, jelas bahwa ia
sama sekali tak punya uang. Namun apapun akan dia lakukan, kalau perlu mengemispun ia tak
akan malu, untuk mendapat roti itu.
”Terimakasih.” ucap susi lemah, bahkan tak keluar sepotong suara itu. mereka saling
bertatapan, dan tersenyum.
Tak lama, Joni sudah sampai di pelataran supermarket 24jam, pukul 8 pagi dan lahan
parkiran yang ia lewati sudah disesakki motor dan mobil pembeli. Supermarket yang aneh,
hanya ini supermarket yang buka 24 jam, biasanya hanya minimarket di pinggir jalan yang
seperti ini. Bagaimana pekerja disini bisa tahan? Dan hanya di supermarket ini yang begitu
sesak dijejali kendaraan di waktu sepagi ini. Benar benar supermarket yang sangat aneh. Begitu
pikir Joni, lantas ia sadar kalau itu bukan sama sekali urusannya.
Ia berjalan ke depan, menyusuri lahan parkir motor dan mulai melihat pintu masuk
otomatis supermarket itu. Ia tampak ragu ragu dengan keputusannya untuk masuk kedalam,
dalam kepalanya segala kemarahan bercampur sedih berkecamuk. Apa yang akan dia lakukan
kalau ia tak punya uang sama sekali? Ia mulai masuk sambil menaikkan resleting jaket parasut
yang ia kenakan, pintu itu terbuka lebar untuk siapa saja, cahaya lampu yang terang langsung
menyeruak menyapanya, menggiringnya masuk lebih dalam.
10
Dilihatnya kerumunan orang orang didepannya. Mereka seperti kerumunan yang lupa,
bahwa disetiap bungkus makanan yang mereka ambil, terkurung dalam tanggal tanggal
kadaluarsa yang tak pernah mereka kira dan sadari. Mereka sering lupa, bahkan tidak tau dan
peduli dengan semua itu. Lantas ketika tanggal kadaluarsa tersebut sudah lewat, maka dengan
mudahnya mereka memindahkan makanan itu ke keranjang sampah.
Joni berjalan melewati kerumunan itu, disana ia melihat deretan rak yang didalamnya
tersusun rapi makanan dan kebutuhan sehari hari. Hatinya semakin gusar, tak tau akan
bagaimana ia agar bisa mendapatkan sebungkus roti untuk Susi. Dinding dinding yang
menyelimuti ruangan pun seakan menatap gerak gerik Joni. Mereka memperhatikan setiap kaki
yang ia langkahkan. Mata mata itu seakan nyata. Sekarang ia sudah sampai di deretan roti, bau
bau kue dan roti yang harum dan menggoda. Ia masih gemetaran, miskin tidak akan
membuatnya putus asa, ia akan mencoba segala cara untuk mendapatkan itu, tapi lapar
membuat ia gila, merasa tak berdaya.
Sesaat setelah ia mendekati deretan itu, suara suara asing dari kejauhan itu muncul.
Mereka seperti berbisik, membisikkan kata samar samar yang tidak Joni pahami. Semakin lama
suara suara itu semakin menggema dan menyebar, ia terkesiap dan waspada mencari darimana
datangnya suara suara tersebut. ia curiga ada seseorang yang mengawasinya sejak masuk tadi.
Lantas suara itu semakin jelas berbisik, pelan namun terdengar jelas berbisik.
”Joni, curilah roti. Hei hei Joni, Curilah roti itu. Kau tak sedih melihat istrimu
kelaparan Joni? Ha? Kau tak kasihan melihat ia sengsara?” dan ternyata ia sadar, dinding
dinding itulah yang membisiki nya, menghasutnya untuk melakukan kejahatan. “Jangan biarkan
susi mati” dengung itu masih terdengar. Joni semakin gusar, badannya gemetaran, melebihi
getaran istrinya yang sedang demam tadi. Kepalanya berputar putar dan tidak tahu harus
berbuat apa. Ia tak sedang gila ketika mendengar dinding itu berbicara.
”Tidak! Tidak! Aku tidak boleh mencuri. Aku wartawan, aku selalu berusaha
melakukan kebenaran, aku selalu menulis berita pencurian. Bagaimana mungkin aku... ” ia
kehilangan keseimbangan berpikir, kebingungannya tengah memuncak.
”Ayolah Joni, curilah. Curilah roti itu” dinding dinding itu terus menggema, dan
menghasut.
Demi Susi, dan aku tak akan melakukan ini lagi. Sekali ini saja. Sekali ini saja aku tak
akan melakukannya lagi. Begitu pikir Joni.
Akhirnya ia mulai membuka jaketnya pelan, pelan sampai ia pastikan bahwa di lorong
11
tersebut tidak ada yang melihat gerak geriknya, kecuali dinding dinding yang terus saja
menghasut itu. Ia mengambil bungkusan roti ukuran sedang kesukaan Susi. Ia masukkan ke
saku dalam di jaketnya. Lalu perlahan, ia naikkan lagi resleting dan berpura pura bahwa
semuanya baik baik saja. Seakan tak ada yang terjadi kala itu. Sambil berjalan ia menaikkan
resleting itu, saat sampai di dekat kasir, dan resletingnya belum sampai di ujung atas, tiba tiba
ada seorang dibelakangnya yang tak sengaja menabrak Joni. Ia ketakutan dan roti itu jatuh di
lantai. Dan keranjang apel bawaan lelaki yang menabraknya itu jatuh berserakkan. Semua mata
tertuju pada Joni, seakan waktu berputar lambat dan Joni tidak bisa lepas dari hujan tatapan
mata pisau yang diarahkan deras pada dirinya. Ia tak bisa apa apa dan hanya menelan ludah. Ia
ketahuan mencuri, sebuah roti jatuh dari dalam jaketnya.
”Aku.. hanya diperintah.. dinding dinding itu, kau dengar? Mereka menghasutku!
Benar aku tak berbohong” orang orang disekelilingnya tampak bingung dengan ini semua,
mereka masih saja mengerumuninya, menatapnya tajam hingga Joni gemetaran dan keringat
dingin bercucuran. Tak lama, petugas keamanan pun datang dengan wajah wajah yang
menyebalkan yang tidak akan pernah Joni lupakan. Lalu ia terngiang kata susi, kata kata yang
dikatakanyya saat pertamakali mereka bertemu; kau tak perlu takut akan sesuatu Joni, lihatlah
ke mataku dan temukanlah matamu. Kutatap kematamu dan kutemukan mataku. Kita akan baik
baik saja, selama mata ini selalu bertemu. Mata joni bergerilya, mencoba menemukan mata
susi, namun sia sia, susi, istrinya yang terkulai lemah itu, tak pernah ada.
***
” Hei, untuk apa kau terus terus menjejaliku dengan pertanyaan tidak masuk akal itu.
Sudah kubilang aku tidak gila!” Joni membentak bentak sendiri, pada dinding dinding kamar itu
ia meluapkan segala kekesalannya. Matahari disampingnya mulai meninggi, jam di dindingya
sudah mulai menunjukkan pukul 07.30 pagi.
Seorang wanita tiba tiba datang dengan jas putih dan celana kain gelap, awalnya Joni
tidak terlalu memperhatikan wanita itu. Sampai ketika wanita itu masuk dalam ruangan. Joni
terlihat gusar saat bercengkrama dengan dinding itu, raut mukanya terlihat marah. Lantas ia
mulai berpaling ke dokter yang datang tadi. Wajah cantiknya seperti pernah ia kenal
sebelumnya, sangat familiar.
”Selamat pagi Joni” dokter itu tersenyum, senyum itu sangat ia kenal. Seperti Senyum
yang ia lihat setiap hari di suatu tempat yang ia lupa dimana itu.
”Selamat pagi...”Joni masih menerka nerka siapa sosok familiar itu. Ia tatap mata
12
dokter perempuan itu, dan ia menemukan keteduhan disana.
”Masih berhalusinasi dan mengobrol dengan teman teman dinding? Mengapa kau tak
keluar bersama teman teman sungguhan yang lain, ayolah mereka sudah berada di taman,
mereka menunggumu sekarang” dengan wajah berseri seri dokter tersebut mulai merapikan
kamar Joni, melipat selimut dan menata ulang bantal dan guling pada posisi posisinya.
” Perkenalknan, namaku Susi, dokter Susi, kau pasti sering melihatku dari jendela ini
bukan? Aku sering melihatmu menatap kosong taman lewat jendela itu, aku sadar kalau kau
terus terusan mengamatiku dari sini.”
Mereka bertatapan, dan Joni hanya bisa diam ”Ayo kita ke taman, tidak baik terus
mengurung diri di kamar seperti ini Jon.” mereka berdua tersenyum dan Joni akhirnya
mengikuti dokter Susi keluar. Ia melewati deretan kamar kamar lainnya, bersekat sekat seperti
kamarnya lalu ia melihat sebuah ruangan luas dan banyak orang orang berkerumun. Sebelum
sampai pada taman, Joni harus masuk kedalam ruangan tersebut untuk mendapatkan snack
sebelum sarapan yang dimulai dimulai pukul 08.00 nanti. Dari kejauhan ruangan itu terlihat,
terdapat beberapa kursi mengitari Televisi, yang diposisikan menempel pada dinding jendela
kaca. Sebagian besar ruangan tersebut adalah jendela, tak ada tembok, semua terbuat dari kaca.
Baru sampai di bibir pintu, seseorang yang tak ia kenal menyapanya.
”Hai Joni, selamat pagi.” namun tak ia gubris. Matanya tertuju pada sebuah papan
yang tergantung di sebelah pintu masuk itu, ia menatapnya dalam dalam. Papan itu bertuliskan
”Ruang Istirahat Pasien Skizofrenia.”
Post scriptum:
Skizofrenia merupakan suatu gangguan kejiwaan kompleks di mana seseorang mengalami
kesulitan dalam proses berpikir sehingga menimbulkan halusinasi, delusi, gangguan berpikir
dan bicara atau perilaku yang tidak biasa (dikenal sebagai gejala psikotik). Karena gejala ini,
orang dengan skizofrenia dapat mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan orang lain
dan mungkin menarik diri dari aktivitas sehari-hari dan dunia luar
Cerita ini adalah repro dari lagu melancholic bitch berjudul yang sama, dinding propaganda.
13
RETORIKA PIRING CANTIK DAN TERMOS
BERWARNA
Memaksakan masturbasi tanpa suguhan ilusi bintang televisi.
Harakiri yang tak sampai titik putus nadi.
Seperti retorika yang hanya suguhan tanpa isi.
Apa kenyang hanya memandang gambar mie instan?
Bahkan secangkir kopi pahit tidak lebih hambar dari ucapan
mantan pacar di hari lebaran.
Udahlah nyet lo udah punya orang.
Kecuali sepiring kari ayam kamu suguhkan.
Sebenarnya aku ini murahan selama perut masih bisa
kenyang.
Setidaknya aku butuh alasan untuk mengantuk.
Jika saja aku terjaga dan lapar, aku takut jadi berang.
Kebayang ga kalo aku jadi berang dan ingin jadi presiden?
Seperti cerita di negeri seberang. Semua berawal dari cinta
yang tak karuan.
Memangnya enak dikebiri, begitu katanya. Begini kataku.
~ Angga Wiradiputra
18
with it… (((NO EXIT)))
Di jepang langit berwarna biru toska
Dan laut berwarna hijau kebiru biruan
Juga makhluk tanpa wajah mengendap ngendap berkelebatan
Memburu seorang gadis yang gelisah akan masa depan;
Sepasang babi yang tak lama berubah menjadi makanan
Makhluk tanpa wajah ikut gelisah
Si gadis berkata: “pulanglah kerumah!”
Ia menjawab: “aku tak puya rumah, aku kesepian”
Begitupula ketika sajak ini dibuat,
Namun, langit di jepang masih sama biru toska-nya.
The site to go ..
Lytmedia.com
liat liat foto, baca baca juga boleh, apalagi kirim tulisan
disana. hehe
Kavling10.com
media kampus underrated dan tidak keren, tapi silahkan sih kalo
mau berkunjung :)
Whiteboardjournal.com
media berbahasa inggris nomor wahid kalo menurut saya ini,
kerena sekali .
Ardiwilda.com
mas awe ini idola dari dulu,tulisannya saya suka
sekali.
17
Nothing was left to chance. This room was all set for us
19
INEZ: Well, what are you waiting for? Do as you're told.
What a lovely scene: coward Garcin holding baby-killer
Estelle in his manly arms! Make your stakes, everyone.
Will coward Garcin kiss the lady, or won't he dare? What's
the betting? I'm watching you, everybody's watching, I'm a
crowd all by myself. Do you hear the crowd? Do you hear
them muttering, Garcin? "Coward!Coward!" ---that's what
they're saying...It's no use trying to escape, I'll never
let you go. What do you hope to get from her silly lips?
Forgetfulness? But I shan't forget you, not I! "It's I you
must convince." So come to me. I'm waiting. Come along,
now...Look how obedient he is, like a well-trained dog who
comes when his mistress calls. You can't hold him, and you
never will. GARCIN: Will night never come? INEZ: Never.
GARCIN: You will always see me? INEZ: Always.. GARCIN:
This bronze. Yes, now's the moment; I'm looking at this
thing on the mantelpiece, and I understand that I'm in
hell. I tell you, everything's been thought out before-
hand. They knew I'd stand at the fireplace stroking this
thing of bronze, with all those eyes intent on me. Devour-
ing me. What? Only two of you? I thought there were more;
many more. So this is hell. I'd never have believed it.
You remember all we were told about the torture-chambers,
the fire and brimstone, the "burning marl." Old wives'
tales! There’s no need for red-hot pokers. HELL IS--OTHER
PEOPLE! ESTELLE: My darling! Please- GARCIN: No, let me
be. She is between us. I cannot love you when she's watch-
ing. ESTELLE: Right! In that case, I'll stop her watching.
(She picks up the PAPER knife and stabs Inez several
times.) INEZ: But, you crazy creature, what do you think
you're doing? You know quite well I'm dead.. ESTELLE:
Dead? INEZ: Dead! Dead! Dead! Knives, poison, ropes--
useless. It has happened already, do you understand? Once
and for all. SO here we are, forever. ESTELLE: Forever. My
God, how funny! Forever. GARCIN: For ever, and ever, and
ever.(A long silence.) GARCIN: Well, well, let's get on