I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Epidural hematoma (EDH) didefinisikan sebagai perdarahan ke
dalam ruang potensial antara dura, yang tidak dapat dipisahkan dari
periosteum tengkorak, dan tulang yang berdekatan. EDH dapat terjadi
intrakranial atau intraspinal dan dapat menyebabkan morbiditas yang
signifikan secara klinis dan atau kematian jika tidak segera
didiagnosis dan diobati.1
Gambar 1.1 Epidural Hematoma
Dikutip dari kepustakaan 2
Hematom epidural adalah akumulasi darah di atas dura mater.
Hematom epidural terjadi secara akut dan biasanya disebabkan oleh
perdarahan arteri yang mengancam jiwa.3
Hematoma epidural merupakan kasus darurat dalam bidang bedah
saraf yang umumnya disebabkan oleh trauma kepala. Kasus ini cukup
sering terjadi dengan meningkatnya angka kecelakaan dari tahun ke
tahun, dengan insidens 0,2-6% dari seluruh kejadian trauma kepala,
dan dapat meningkatkan angka kematian hingga 47%. Namun pasien
dengan hematoma epidural dapat memberikan keluaran yang sangat baik
jika ditangani segera melalui pemeriksaan klinis, radiologi dan
tindakan operatif yang cepat dan tepat.4
I.2. Etiologi
Epidural hematoma merupakan perdarahan yang terjadi di ruang
epidural akibat pukulan langsung ke kepala dapat mengakibatkan
hematoma epidural. Sumber perdarahan dapat berupa arteri, vena,
atau keduanya. Dalam kompartemen supratentorial, perdarahan timbul
50% pada arteri meningeal media, 33% pada vena meningeal media, 10%
pada sinus vena dural, dan sumber-sumber perdarahan lainnya,
termasuk 7% dari perdarahan garis fraktur. Hematoma yang paling
epidural di fossa posterior adalah karena perdarahan sinus vena
dural. Hematoma epidural terletak di daerah temporal (biasanya di
bawah squamous fraktur tulang temporal) dalam 70 persen kasus, 15%
pada daerah frontal, 10% pada daerah parieto-oksipital, dan 5% pada
parasagital atau di fossa posterior. Epidural hematoma disebakan
oleh cedera kepala traumatis, biasanya terkait denganpatah tulang
tengkorakdan laserasi arteri.4,5
Pada kerusakan vascular otak dapat terjadi perdarahan pada ruang
ekstradural atau epidural (antara dura endosteal dan tulang
tengkorak), ruang subdural (antara dura meningeal dan araknoid),
ruang subaraknoid (antara araknoid dan piamater), atau di bawah
piamater ke dalam otak sendiri. Pada tabula interna tulang
tengkorak terdapat alur-alur tempat arteri meningia anterior,
media, dan posterior. Garis fraktur yang melintasi salah satu alur
tersebut dapat merusak arteri yang melekat di dalamnya dan ini
merupakan penyebab tersering hematoma ekstradural atau epidural.
Pukulan keras pada daerah parietotemporal kepala menyebabkan cedera
arteri meningea media, yang merupakan penyebab tersering hematoma
ekstradural.6
Perdarahan epidural (ekstradural) disebabkan oleh cedera pada
arteri atau vena meningea. Pars anterior arteri meningea media
adalah arteri yang paling sering mengalami kerusakan. Suatu
benturan yang relatif ringan di sisi kepala menyebabkan fraktur
pada tengkorak di daerah anteroinferior os parietale dan dapat
merusak arteri ini. Cedera arteri atau vena terjadi terutama jika
pembuluh-pembuluh masuk ke dalam canalis tulang di daerah ini;
menimbulkan perdarahan dan terlepasnya lapisan meningeal duramater
dari permukaan dalam tengkorak. Tekanan intracranial meningkat dan
bekuan darah yang membesar menimbulkan tekanan setempat pada daerah
gyrus precentralis dbawahnya ( area motorik). Darah juga dapat
keluar ke lateral melalui garis fraktur dan membentuk benjolan
lunak pada sisi kepala.7
Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama
arteri meningea media yang masuk didalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara duramater dan tulang di permukaan dalam
os temporal. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematoma epidural.
Desakan oleh hematoma akan melepaskan duramater lebih lanjut dari
tulang kepala sehingga hematoma bertambah besar. Hematoma epiduaral
tanpa cedera lain biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea
media.8
I.3. Epidemiologi
Menurut Official Journal of The Indonesia Neurosurgery Society,
selama periode penelitian dari juli 2004 sampai januari 2005
diobservasi sebanyak 83 kasus hematoma epidural dari total
keseluruhan 227 kasus emergensi yang masuk di Departemen Bedah
Saraf (45%). Berdasarkan jenis kelamin didapatkan penderita
laki-laki dibanding perempuan adalah 3:1, hampir sama dengan
penemuan dengan beberapa peneliti lain yaitu 2,5:1. Hampir 59% dari
semua kasus hematoma epidural terjadi pada usia dewasa muda,
sedangkan pada anak-anak sebanyak 25% dan orang tua 6%. Jarang
terjadi pada anak usia dibawah 2 tahun (8,4%), dengan usia pasien
termuda adalah 7 bulan.4
Gambaran klinis hematoma epidural sangat bervariasi, semua
subjek mempunyai lebih dari satu tanda dan gejala klinis, yaitu
mayoritas (93,75%) menunjukkan peninggian tekanan intrakranial yang
ditandai dengan kesadaran menurun, sakit kepala hebat, muntah, dan
refleks Cushing. Penurunan kesadaran didapatkan pada 87,5% subjek,
peneliti lain mencatat sebanyak 50% kasus, sakit kepala ditemui
pada 36,1% subjek, sedangkan penulis lain mendapatkan sebanyak 50%.
Demikian pula kejang dan muntah didapatkan pada 79,4% subjek,
sedangkan peneliti lain menemukan gejala ini sekitar 30-50% kasus.
Sebanyak 45% subjek ditemukan tanda lateralisasi, penelitian lain
sebanyak 25%; sedangkan interval lucid ditemukan sebanyak 20%,
peneliti lain mendapat 30%.4
Lokasi pendarahan terbanyak ditemukan pada lobus temporal dan
frontal (34% dan 23%), diikuti selanjutnya pada daerah
frontoparietal, parietal, oksipital dan infratentorial.4
II. ANATOMI FISIOLOGI
II.1. Anatomi
Gambar 2.1 Anatomi Kepala
Dikutip dari kepustakaan 10
Menurut ATLS terdiri dari 5 lapisan yaitu:9
1. Skin atau kulit.
2. Connective Tissue atau jaringan penyambung.
3. Aponeurosis atau galea aponeurotika jaringan ikat berhubungan
langsung dengan tengkorak.
4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar.
Merupakan tempat terjadinya perdarahan subgaleal (hematom
subgaleal).
5. Perikranium.
Gambar 2.2 Penampang koronal bagian atas kepala
Dikutip dari kepustakaan 7
Otak diliputi oleh tiga membran atau meninges yaitu dura mater,
arachnoidea mater, dan pia mater.7
II.1.1. Duramater
Secara konvensional, duramater otak digambarkan terdiri dari dua
lapis, yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Lapisan
tersebut bersatu erat, kecuali pada garis garis tertentu, tempat
mereka berpisah untuk membentuk sinus venosus.7
Gambar 2.3 tengkorak bagian dalam
Dikutip dari kepustakaan 7
Lapisan endosteal merupakan periosteum yang menutupi permukaan
dalam tulang tengkorak. Pada foramen magnum, lapisan ini tidak
bersambung duramater medulla spinalis. Di sekitar pinggir semua
semua foramina di dalam tengkorak, lapisan ini menyambung dengan
periosteum pada permukaan luar tengkorak. Pada sutura sutura,
lapisan endosteal berlanjut dengan ligamentum sutura. Lapisan
endosteal melekat paling kuat pada tulang tulang di atas basis
cranii.7
Gambar 2.4 Penampang posterior tengkorak setelah os occipital
dan os parietalis diangkat
Dikutip dari kepustakaan 7
Lapisan meningeal adalah lapisan duramater yang sebenarnya;
merupakan membran fibrosa yang kuat dan padat meliputi otak dan
serta bersambung dengan duramater medulla spinalis melalui foramen
magnum. Lapisan meningeal ini membentuk selubung tubular untuk
saraf cranial saat saraf cranial tersebut melintasi foramina di
tengkorak. Di luar cranium, selubung ini menyatu dengan epineurium
saraf.7
Gambar 2.5 falx cerebri dan tentorium cerebelli
Dikutip dari kepustakaan 7
Falx serebri adalah lipatan duramater yang berbentuk bulan sabit
yang terletak di garis tengah di antara kedua hemispherium cerebri.
Ujung anteriornya yang sempit melekat pada crista frontalis interna
dan crista galli. Bagian posteriornya yang lebar bergabung di garis
tengah dengan permukaan atas tentorium cerebella. Sinus sagittalis
superior berjalan pada pinggir atasnya yang terfiksasi, sinus
sagitalis inferior berjalan pada pinggir bawah yang bebas dan
berbentuk konkaf, serta sinus rectus berjalan di sepanjang
perlekatannya dengan tentorium cerebelli.7
a. Tentorium Cerebelii
Gambar 2.6 penampang superior diaphragma sellae dan tentorium
cerebelli
Dikutip dari kepustkaan 7
Tentorium cerebelli adalah lipatan duramater yang berbentuk
bulan sabit yang membentuk atap di atas fossa cranii posterior.
Tentorium menutupi pemukaan atas cerebellum dan menyokong lobus
occipitalis hemispherium cerebri. Pada pinggir anterior terdapat
suatu celah incisura tentorii untuk tempat lewatnya mensecephalon
yang membentuk pinggir bagian dalam yang bebas dan pinggir bagian
luar yang terfiksasi. Pinggir yang terfiksasi melekat pada
processus clinoideus posterior, batas superior os petrosus, dan
tepi-tepi sulcus sinus transversi os occipitale. Pinggir bebas
berjalan ke depan pada kedua ujungnya, menyilang dipinggir yang
terfiksasi, dan melekat pada processus clonoideus anterior
masing-masing sisi. Pada titik persilangan kedua jenis pinggir ini,
nervus cranialis III dan IV berjalan di depan untuk memasuki
dinding lateral sinus cavernosus. Di dekat apex pars petrosus os
temporale, lapisan bawah tentorium membentuk kantung ke arah depan
di bawah sinus petrosus superior dan membentuk sebuah recessus
nervus trigeminus dan ganglion trigeminus. 7
Secara berturut-turut, falx cerebri dan falx cerebelli melekat
pada permukaan atas atau bawah tentorium. Sinus rectus berjalan di
sepanjang perlekatannya dengan falx cerebri, sinus petrosus
superior, sepanjang tempat perlekatannya dengan os petrosus; dan
sinus transversus di sepanjang tempat perlekatannya dengan os
occipitale.7
Gambar 2.7 sisi kanan kepala
Dikutip dari kepustakaan 7
Falx cerebelli lipatan duramater kecil yang berbentuk sabit
melekat pada krista occipitalis interna dan menonjol ke depan di
antara kedua hemispherium cerebelli. Pinggir posteriornya yang
terfiksasi berisi sinus occipitalis.7
Diaphragma sellae adalah lipatan duramater kecil dan berbentuk
sirkular, yang membentuk atap sella turcica. Sebuah lubang kecil
dibagian tengahnya memungkinkan untuk dilalui oleh tangkai
hypophysis cerebri.7
b. Persarafan duramater
Cabang-cabang nervus trigeminus, nervus vagus, dan tiga nervus
cervicalis bagian atas serta cabang-cabang truncus sympathicus
berjalan menuju duramater.7
Duramater memiliki banyak ujung-ujung saraf sensorik yang peka
terhadap regangan yang menimbulkan sensasi nyeri kepala. Stimulasi
ujung-ujung sensorik nervus trigeminus di atas tingkat tentorium
cerebelli menimbulkan nyeri alih ke daerah kulit kepala sisi yang
sama. Stimulasi ujung-ujung saraf sensorik duramater di bawah
tingkat tentorium menimbulkan nyeri alih ke arah tengkuk dan
belakang kulit kepala di sepanjang persarafan nervus occipitalis
major.7
c. Vaskularisasi duramater
Berbagai arteri memperdarahi duramater, yaitu arteri carotis
interna, arteri maxillaris, arteri pharingea ascendens, arteri
occipitalis, dan arteri vertebralis. Dari sudut pandang klinis,
arteri yang paling penting adalah arteri meningea media yang dapat
mengalami kerusakan akibat cedera kepala.7
Gambar 2.8 potongan koronal melalui ossis sphenoidalis
Dikutip dari kepustkaan 7
Arteri meningea media berasal dari arteri maxillaris di dalam
fossa infratemporalis. Arteri ini masuk rongga tengkorak melalui
foramen spinosum, dan terletak diantara lapisan meningeal dan
lapisan endosteal duramater. Selanjutnya arteri ini berjalan ke
depan dan lateral di dalam sebuah sulcus, pada permukaan atas pars
squamosa temporale. Ramus anterior terletak di dalam sulcus atau
saluran pada angulus anterior-inferior os pariatale, dan
perjalanannya di anggap sesuai dengan jalur gyrus precentralis otak
yang ada dibawahnya. Ramus posterior melengkung ke belakang dan
mempersarafi bagian posterior duramater.7
Vena-vena meningea terletak di dalam lapisan endosteal
duramater. Vena meningea media mengikuti cabang-cabang arteri
meningea media dan bermuara ke dalam plexus venosus pterygoideus
atau sinus sphenoparietalis. Vena-vena terletak di lateral
arteri.7
d. Sinus venosus duramater
Sinus venosus cavum cranii terletak di antara lapisan-lapisan
duramater. Fungsi utamanya adalah menerima darah dari otak melalui
vena-vena cerebri dan cairan serebrospinal dari ruang subarakhnoid
melalui villi arachnoidales. Darah dari sinus-sinus duramater
akhirnya mengalir ke dalam vena jugularis interna di daerah leher.
Sinus-sinus dura dilapisi oleh endotelium, dindingnya tebal tetapi
tidak mempunyai jaringan otot. Sinus tersebut tidak memiliki katup.
Vena-vena emissaria yang juga tidak mempunyai katup menghubungkan
sinus venosus dura dengan vena-vena diploica cranii dan dengan
vena-vena di kulit kepala.7
Sinus sagittalis superior menempati pinggir atas falx cerebri
yang terfiksasi. Sinus ini dimulai di anterior pada foramen caecum
dan kadang-kadang di tempat ini bermuara vena dari rongga hidung.
Selanjutnya, sinus berjalan ke posterior membuat lekukan pada
tengkorak dan membelok ke salah satu sisi (biasanya ke kanan) di
protuberantia occipitalis interna kemudian bersambung dengan sinus
transversus pada sisi yang sama. Sinus berhubungan melalui
lubang-lubang kecil dengan dua atau tiga buah lacuna venosa yang
berbentuk ireguler pada masing-masing sisi. Banyak filli dan
granulationes arachnoidea menonjol ke dalam lakuna yang menerima
vena diploica dan vena meningealis.7
Gambar 2.9 penampang superior kepala
Dikutip dari kepustakaan 7
Dalam perjalanannya, sinus sagittalis superior menerima vena
superiores cerebri. Pada protuberantia occipitalis interna, sinus
melebar untuk membentuk confluens sinuum. Di sini sinus sagitalis
superior biasanya bersambung dengan sinus transversus kanan,
berhubungan dengan sinus transversus sisi kontralateral dan
merupakan tempat bermuaranya sinus occipitalis.7
Sinus sagitalis inferior menempati pinggir bawah falx cerebri
yang bebas. Sinus ini berjalan ke belakang dan bergabung dengan
vena magna cerebri pada pinggir bebas tentorium cerebelli untu
membentuk sinus rectus. Sinus ini menerima beberapa vena cerebri
dari permukaan medial hemispherium cerebri.7
Sinus rectus menempati garis pertemuan antara falx cerebri
dengan tentorium cerebelli. Sinus ini dibentuk dari gabungan antara
sinus sagittalis inferior dengan vena magna cerebri, berakhir
dengan berbelok ke kiri (kadang kadang ke kanan) untuk membentuk
sinus transversus.7
Sinus transversus merupakan struktur berpasangan dan di mulai
protuberantia occipitalis interna. Sinus transversus kanan biasanya
bersambung dengan sagitalis superior. Sedangkan sinus transversus
kiri bersambung dengan sinus rectus. Masing-masing sinus menempati
pinggir tentorium cerebelli yang terfiksasi serta membentuk alur
pada os occipatale dan angulus posteroinferior os parietale.
Sinus-sinus tersebut menerima sinus petrosus superior, vena
inferiores cerebri, dan vena cerebellaris, serta vena-vena
diploica. Sinus transversus berakhir dengan membelok ke bawah
sebagai sinus sigmoideus.7
Sinus sigmoideus merupakan lanjutan langsung dari sinus
transversus. Masing-masing sinus berbelok ke bawah dan ke medial
serta membentuk alur pada pars mastoidea os temporale. Di daerah
ini, sinus terletak di posterior antrum mastoidea. Lalu sinus
berbelok ke depan, dan kemudian ke inferior melalui posterior
foramen jugulare, untuk bersambung dengan bulbus superior vena
jugularis interna.7
Sinus occipitalis adalah sinus kecil yang terdapat pada tepi
falx cerebelli yang terfiksasi. Sinus ini dimulai di dekat foramen
magnum, dan berhubungan dengan vena-vena vertebralis di daerah ini
serta bermuara ke dalam confluens sinuum7.
Sinus cavernosus terletak di dalam fossa cranii media di setiap
sisi corpus os sphenoidale. Beberapa trabeculae menyilang di
dalamnya, memberi bentuk seperti pons sesuai dengan namanya.
Masing-masing sinus terbentang dari fissura orbitalis superior di
bagian depan hingga ke apex pars petrosus os temporale di bagian
belakang.7
Nervus cranialis III dan IV, serta divisi opthalmica dan divisi
maxillaris nervi trigemini berjalan ke depan di dalam dinding
lateral sinus. Saraf-saraf ini terletak di antara lapisan endotel
dan duramater. Vena opthalmica cerebri, sinus sphenoparietalis, dan
vena centralis retinae bermuara ke dalam sinus cavernosus ini.
Selanjutnya, sinus mengalir ke posterior ke dalam sinus peutrosus
superior dan inferior, serta ke inferior ke dalam plexus venosus
pterygoideus.7
Kedua sinus berhubungan satu dengan yang lainnya melalui sinus
intercavernosus anterior dan posterior, yang berjalan di dalam
diaphragma sellae anterior dan posterior menuju tangkai hypophysis
cerebri. Masing-masing sinus memiliki hubungan penting dengan vena
facialis melalui vena opthalmica superior, (infeksi dari kulit
wajah dapat berjalan menuju sinus cavernosus melalui rute
ini).7
Sinus petrosus superior dan inferior adalah sinus kecil yang
terletak di pinggir superior dan inferior pars petrosa os temporale
pada masing-masing sisi tengkorak. Masing-masing sinus petrosus
superior mengalirkan sinus cavernosus ke dalam sinus transversus
dan setiap sinus petrosus inferior mengalirkan sinus cavernosus ke
dalam vena jugularis interna.7
II.1.2. Arachnoidea mater
Arachnoidea mater merupakan membran yang halus dan bersifat
impermeabel, yang menutupi otak dan terletak diantara piamater
dibagian dalamnya dan duramater dibagian luar. Arachnoidea mater
dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial (ruang subdural)
yang terisih oleh selapis cairan, dipisahkan dari piamater oleh
ruang subarakhnoid yang berisi cairan serebrospinal. Permukaan luar
dan dalam arakhnoid dilapisi oleh sel-sel mesotelial yang
gepeng.7
Arakhnoid menjembatani antar sulcus pada permukaan otak, serta
pada tempat-tempat tertentu arakhnoid dan pia terpisah agak lebar
untuk membentuk cisternae subarachnoidea. Cisterna
cerebellomedullaris terletak diantara permukaan inferioer
cerebellum dan atap ventriculus quartus. Cisterna interpeduncularis
terletak diantara keduan pedunculus cerebri. Semua cisterna
berhubungan bebas antara satu dengan yang lain dan dengan ruang
subarakhnoid lainnya.7
Di daerah tertentu, arakhnoid menonjol ke dalam sinus venosus
untuk membentuk villi arachnoidea. Villi arachnoidea paling banyak
terdapat di sepanjang sinus sagittalis superior. Kumpulan villi
arachnoidea disebut granulationes arachnoidea. Villi arachnoidea
berfungsi sebagai tempat difusi cairan serebrospinal ke dalam
aliran darah.7
Arachnoid dihubungkan dengan piamater dan melintas ruang
subarakhnoid yang berisi cairan dengan bantuan benang-benang halus
jaringan fibrosa.7
Struktur-struktur yang berjalan menuju dan dari otak ke kranium
atau foraminannya yang harus melalui ruang subarakhnoid. Seluruh
arteri serebri dan venanya terletak di dalam ruang subarachnoid,
demikian pula dengan saraf-saraf cranial. Arakhnoid menyatu dengan
epinerium saraf di tempat keluar dari saraf tersebut dari rongga
tengkorak. Pada nervus opticus, arakhnoid membentuk selubung saraf
ini, yang membentang ke dalam rongga orbita melalui canalis opticus
dan menyatu dengan sklera bola mata. Dengan demikian, ruang
subarkhnoid terbentang di sekitar nervus opticus hingga ke bola
mata. Cairan serebrospinal dihasilkan oleh plexus choroideus di
dalam ventriculus lateralis, ventriculus tertius, dan ventriculus
quartus. Cairan ini keluar dari system ventricular atau melalui
tiga buah foramina di atap ventriculus quartus, lalu masuk ke dalam
ruang subarachnoid. Selanjutnya, cairan ini mengalir ke atas di
atas permukaan hemispherium cerebri dan ke bawah di sekitar medulla
spinalis. Ruang subarachnoid spinal membentang ke bawah sampai
sejauh vertebrae sacralis II. Akhirnya, cairan serebrospinal masuk
ke dalam aliran darah melalui villi arachnoidales dan berdifusi
melalui dindingnya.7
Selain berfungsi mengeluarkan produk sisa hasil aktivitas
neuron, cairan serebrospinal merupakan suatu medium cair tempat
otak mengapung di dalamnya. Mekanisme ini melindungi otak dari
trauma secara efektif. Selain itu, saat ini cairan serebrospinal
juga dianggap berperan di dalam transportasi hormon.7
II.1.3. Piamater
Piamater adalah membrane vascular yang diliputi oleh sel-sel
mesotelial yang gepeng. Struktur ini melekat erat pada otak,
menutupi gyrus-gyrus, dan turun hingga mencapai bagian sulcus yang
mencapai bagian sulcus yang paling dalam. Lapisan ini meluas keluar
hingga mencapai saraf cranial dan menyatu dengan epineriumnya.
Arteri cerebri masuk ke dalam jaringan otak setelah di bungkus oleh
piamater.7
Piamater membentuk tela choroidea di atap ventriculus tertius
dan quartus, dan bergabung dengan ependyma untuk membentuk plexus
choroideus di ventriculus lateralis, tertius, dan quartus di dalam
otak.7
II.2. Fisiologi
a. Meninges
Meninges adalah membrane tipis yang mebungkus otak. Terdapat
tiga meninges: duramater (thick mother) di bagian luar, araknoid
(seperti laba laba) sebagai lapisan tengah, dan pia mater (little
mother) yang terdapat tepat di atas otak. Ruang antara lapisan
lapisan tersebut diisi cairan serebrospinal (CSS).3
Ruangan di atas duramater disebut epidural, dan ruangan di bawah
duramater, tetapi di atas araknoid disebut subdural. Ruang epidural
dan subdural berisi banyak pembuluh darah kecil. Kerusakan pada
pembuluh darah tersebut menyebabkan penimbunan darah di ruang
epidural atau subdural. CSS bersirkulasi di ruang subaraknoid (di
bawah araknoid, di atas pia mater).3
b. Cairan Serebrospinal dan Ventrikel
Cairan serebrospinal (CSS) adalah cairan jernih yang
mengelilingi otak. CSS bersirkulasi di ruang subaraknoid, dan
memberikan perlindungan kepada otak terhadap getaran fisik. Antara
CSS dan jaringan saraf terjadi beberapa pertukaran zat gizi dan
produk zat sisa. Walaupun CSS dibentuk dari plasma yang mengalir
melalui otak, konsentrasi elektrolit dan glukosanya berbeda dari
konsentrasi plasma.3
Cairan serebrospinal dibentuk sebagai hasil filtrasi, difusi,
dan transport aktif yang melintasi kapiler khusus ke dalam
ventrikel (rongga) otak, terutama ventrikel lateral. Jaringan
kapiler yang berperan dalam pembentukan CSS disebut pleksus
koroideus. Saat berada di dalam ventrikel, CSS mengalir ke arah
batang otak. Melalui lubang kecil di batang otak, CSS bersirkulasi
ke permukaan otak dan medulla spinalis. Di permukaan otak, CSS
masuk terus menerus mengalami resirkulasi melalui dan pada system
saraf pusat. Apabila jalur konduksi ventrikel untuk CSS mengalami
sumbatan, dapat terjadi penimbunan cairan, yang mengakibatkan
terjadinya peningkatan tekanan di dalam dan di permukaan otak.3
c. Doktrin Monro Kellie
Doktrin Monro-Kellie merupakan suatu konsep sederhana tetapi
penting untuk memahami dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa
volume intrakranial harus selalu konstan, karena rongga cranium
pada dasarnya merupakan rongga yang kaku, tidak mungkin mekar.
Darah didalam vena dan cairan serebrospinal dapat dikeluarkan/
dipindahkan dari rongga tengkorak, sehingga tekanan intrakranial
tetap normal (gambar 6-3 dan 6-4). Sehingga segera setelah cedera
otak suatu massa seperti perdarahan dapat terus bertambah dengan
TIK masih tetap normal. Namun, sewaktu batas pemindahan/
pengeluaran CSS dan darah intravaskuler tadi terlewati maka TIK
secara sangat cepat akan meningkat.9
Gambar 2.10 kurva volume
Dikutip dari kepustakaan 9
Tekanan isi intrakranial pada awalnya dapat mengkompensasi suatu
massa intrakranial yang baru seperti perdarahan epidensial atau
subdential. Sekali volume perdarahan ini melebihi batas kompensasi
maka tekanan intrakranial akan meningkat dengan cepat, yang akan
menyebabkan pengurangan atau penghentian aliran darah otak.9
Gambar 2.11 Doktrin Monro Kellie
Dikutip dari kepustakaan 9
Doktrin Monro Kellie tentang kompensasi intrakranial terhadap
penambahan massa volume intrakranial selalu normal. Bila ada
penambahan volume seperti perdarahan akan menyebabkan pengeluaran
LCS dan darah vena sehingga tekanan intrakranial tetap normal akan
tetapi, ketika mekanisme kompensasi ini terlewati maka akan terjadi
peningkatan tekanan tekanan intrakranial dengan cepat walaupun
penambahan perdarahan sedikit lagi saja.9
d. Aliran Darah Otak dan Metabolisme Otak
Otak menerima sekitar 15 % curah jantung. Tingginya kecepatan
alian darah ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan otak yang terus
menerus tinggi akan glukosa dan oksigen.3
Otak bersifat unik karena otak biasanya hanya menggunakan
glukosa sebagai sumber untuk fosforilasi oksidatif dan produksi
adenosine trifosfat (ATP). Tidak seperti sel yang lain, sel otak
tidak menyimpan glukosa sebagai glikogen, dengan demikian, otak
harus secara terus-menerus menerima oksigen dan glukosa melalui
aliran darah otak. Deprivasi oksigen selama 5 menit, atau deprivasi
glukosa selama 15 menit, dapat menyebabkan kerusakan otak yang
signifikan. Fungsi otak sangat bergantung pada aliran darah,
sehingga mungkin untuk mengidentifikasi bagian otak mana yang
melakukan tugas apa dengan mengukur aliran darah otak selama
aktivitas otak yang spesifik.3
Penelitian memperlihatkan bahwa ketika melakukan banyak kerja
mental, otak mula mula memproduksi ATP melalui glikolisis anaerob,
bukan melalui fosforilasi oksidatif. Glikolisis anaerob bergantung
pada glukosa, tetapi tidak memerlukan oksigen. Otak tetap melakukan
hal ini walaupun tersedia oksigen. Akibatnya adalah pemakaian dan
deplesi glukosa cepat, disertai peningkatan kadar oksigen secara
bersamaan. Dalam waktu singkat, otak mulai melakukan fosforilasi
oksidatif.3
Nilai normal aliran darah otak (ADO) berkisar 55-60 ml/100gram
jaringan otak/menit. Pada massa kelabu alirannya kira kira 75
mL/110 gram jaringan otak/menit, sedangkan massa putih hanya 45
ml/100gram jaringan otak/menit. Aliran ini cukup untuk memenuhi
kebutuhan metabolik otak. Yang paling berperan dalam menentukan
aliran darah otak adalah tekanan perfusi otak (TPO), yang merupakan
tekanan darah untuk masuk ke dalam otak. Tekanan perfusi merupakan
selisih antara tekanan arteri rata rata (MAP) dengan tekanan
intracranial. Tekanan arteri rata rata adalah hasil dari dua
pertiga nilai tekanan diastolik ditambah sepertiga tekanan
sistolik. Kenaikan tekanan intracranial (TIK) cenderung menyebabkan
penurunan TPO. 11
Dalam keadaan fisiologis ada tiga faktor utama yang berperan
pada pengaturan aliran darah otak, yaitu tekanan darah sistemik,
karbondioksida, dan kadar ion H+ dalam darah arteri. Kemampuan
untuk memelihara tingkat aliran darah ke dalam otak pada nilai yang
konstan di dalam rentang tekanan arteri rata rata yang cukup lebar,
yaitu disebut sebagai mekanisme otoregulasi. Bila tekanan arteri
rata rata rendah, arteriol serebral akan mengalami dilatasi untuk
membuat ADO yang adekuat pada tekanan yang rendah sebaliknya pada
tekanan darah sistemik yang tinggi, arteriol akan mengalami
konstriksi sehingga ADO akan tetap terpelihara dalam keadaan
fisiologis. ADO tidak selalu dapat diatur. Bila tekanan arteri rata
rata menurun sampai di bawah 90 mmHg seperti pada keadaan presyok
atau syok, perfusi otak menjadi tidak adekuat. Bila tekanan arteri
rata rata melebihi 150 mmHg, otoregulasi juga tidak berjalan.
Terjadi peningkatan ADO secara pasif sebanding dengan peningkatan
tekanan sistemik, pada keadaan yang ekstrim dapat terjadi eksudasi
dari system vaskuler ke ruang intertisial dan akhirnya terbentuk
edema, edema semacam ini yang disebut edema vasogenik. Peristiwa
semacam ini dapat terjadi pada kasus kasus hipertensi
ensefalopati.11
Kadar karbondioksida dalam darah merupakan faktor paling
potensial untuk menyebabkan dilatasi vaskuler otak. Peningkatan
PCO2 dalam darah dari 15 80 mmHg akan meningkatkan aliran darah
otak secara bertahap. Hiperventilasi (menurunkan CO2 darah) akan
menurunkan aliran darah dan volume darah otak. Akan tetapi, bila
PCO2 dalam darah kurang dari 15 mmHg atau lebih dari 80 mmHg maka
yang terjadi adalah kelumpuhan pembuluh darah atau disebut
vasoparalisa.11
III. INITIAL ASESSMENT
Pengelolaan penderita yang terluka parah memerlukan penilaian
yang cepat dan pengelolaan yang tepat guna menghindari kematian.
Pada penderita trauma, waktu sangat penting, karena itu diperlukan
adanya suatu cara yang mudah dilaksanakan. Proses ini dikenal
sebagai initial assessment (penilaian awal).9
Baik primary survey maupun secondary survey dilakukan berulang
kali agar dapat mengenali penurunan keadaan penderita, dan memberi
terapi bila diperlukan. Urutan kejadian di atas diterapkan
seolah-olah berurutan (sekuensial), Unamun dalam praktek
sehari-hari dapat berlangsung bersama-sama (simultan).9
A. PERSIAPAN
1. Fase Pre-Rumah Sakit
Pada fase pra-rumah sakit titik berat diberikan pada penjagaan
airway, kontrol perdarahan dan syok, imobilisasi penderita dan
segera ke rumah sakit terdekat yang fasilitas cocok, dan sebaiknya
ke suatu pusat trauma yang diakui.9
2. Fase Rumah Sakit
Harus direncanakan sebelum penderita tiba. Sebaiknya ada
ruangan/daerah khusus untuk resusitasi. Untuk pasien trauma.
Perlengkapan airway (laringoskop, endotracheal tube dsb) sudah
dipersiapkan, dicoba, dan diletakkan di tempat yang mudah
terjangkau. Cairan kristaloid (misalnya Ringers lactate) yang sudah
dihangatkan disiapkan dan diletakkan pada tempat yang mudah
dicapai. Perlengkapan monitoring yang diperlukan sudah
dipersiapkan. Suatu sistem pemanggilan tenaga medik tambahan sudah
harus ada, demikian juga tenaga laboratorium dan radiologi.9
B. TRIASE
Triase adalah cara penilaian penderita berdasarkan kebutuhan
terapi dan sumber daya yang tersedia. Terapi didasarkan pada
prioritas ABC (Airway dengan kontrol vertebra servikal, Breathing,
dan Circulation) dengan kontrol perdarahan.9
Dua jenis keadaan triase dapat terjadi :9
1. Multiple Casualities
Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya perlukaan
tidak melampaui kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini penderita
dengan masalah yang mengancam jiwa dan multitrauma akan dilayani
terlebih dahulu.
2. Masss Casualities
Musibah massal dengan jumla penderita dan beratnya luka
melampaui kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini yang akan
dilayani terlebih dahulu adalah penderita dengan kemungkinan
survival yang terbesar, serta membutuhkan waktu, perlengkapan dan
tenaga paling sedikit.
Di institusi kecil, pra RS, atau bencana, sumber daya dan tenaga
tidak memadai hingga berpengaruh pada sistem triase. Tujuan triase
berubah menjadi bagaimana memaksimalkan jumlah pasien yang bisa
diselamatkan sesuai dengan kondisi. Proses ini berakibat pasien
cedera serius harus diabaikan hingga pasien yang kurang kritis
distabilkan. Triase dalam keterbatasan sumber daya sulit
dilaksanakan dengan baik.12
Saat ini tidak ada standard nasional baku untuk triase. Metode
triase yang dianjurkan bisa secara METTAG (Triage tagging system)
atau sistim triase Penuntun Lapangan START (Simple Triage And Rapid
Transportation). Terbatasnya tenaga dan sarana transportasi saat
bencana mengakibatkan kombinasi keduanya lebih layak
digunakan.12
Tag (label berwarna dengan form data pasien) yang dipakai oleh
petugas triase untuk mengindentifikasi dan mencatat kondisi dan
tindakan medik terhadap korban.12
1. Triase dan pengelompokan berdasar Tagging12
Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas
dan tidak mungkin diresusitasi.
Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan
penilaian cepat serta tindakan medik dan transport segera untuk
tetap hidup (misal : gagal nafas, cedera torako-abdominal, cedera
kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau perdarahan berat, luka
bakar berat).
Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien memerlukan bantuan, namun
dengan cedera yang kurang berat dan dipastikan tidak akan mengalami
ancaman jiwa dalam waktu dekat. Pasien mungkin mengalami cedera
dalam jenis cakupan yang luas (misal : cedera abdomen tanpa shock,
cedera dada tanpa gangguan respirasi, fraktura mayor tanpa shok,
cedera kepala atau tulang belakang leher tidak berat, serta luka
bakar ringan).
Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak
membutuhkan stabilisasi segera, memerlukan bantuan pertama
sederhana namun memerlukan penilaian ulang berkala (cedera jaringan
lunak, fraktura dan dislokasi ekstremitas, cedera maksilo-fasial
tanpa gangguan jalan nafas, serta gawat darurat psikologis).
Sebagian protokol yang kurang praktis membedakakan prioritas 0
sebagai Prioritas Keempat (Biru) yaitu kelompok korban dengan
cedera atau penyaki kritis dan berpotensi fatal yang berarti tidak
memerlukan tindakan dan transportasi, dan Prioritas Kelima
(Putih)yaitu kelompok yang sudah pasti tewas.Bila pada Retriase
ditemukan perubahan kelas, ganti tag / label yang sesuai dan
pindahkan kekelompok sesuai.
2. Triase Sistim METTAG12
Pendekatan yang dianjurkan untuk memprioritasikan tindakan atas
korban. Resusitasi ditempat.
3. Triase Sistem Penuntun Lapangan START12
Berupa penilaian pasien 60 detik dengan mengamati ventilasi,
perfusi, dan status mental (RPM : R= status Respirasi ; P = status
Perfusi ; M = status Mental) untuk memastikan kelompok korban
(lazimnya juga dengan tagging) yang memerlukan transport segera
atau tidak, atau yang tidak mungkin diselamatkan atau mati. Ini
memungkinkan penolong secara cepat mengidentifikasikan korban yang
dengan risiko besar akan kematian segera atau apakah tidak
memerlukan transport segera. Resusitasi diambulans.
4. Triase Sistem Kombinasi METTAG dan START12
Sistim METTAG atau sistim tagging dengan kode warna yang sejenis
bisa digunakan sebagai bagian dari Penuntun Lapangan START.
Resusitasi di ambulans atau di Area Tindakan Utama sesuai
keadaan.
5. Penilaian Ditempat dan Prioritas Triase12
Bila jumlah korban serta parahnya cedera tidak melebihi
kemampuan pusat pelayanan, pasien dengan masalah mengancam jiwa dan
cedera sistem berganda ditindak lebih dulu. Bila jumlah korban
serta parahnya cedera melebihi kemampuan) dst dibawah algoritma
6. Algoritma Sistem START :12
Gambar 3.1 Algoritma Sistem START
Dikutip dari kepustakaan 12
Hitam = Deceased (Tewas) ; Merah = Immediate (Segera), Kuning =
Delayed (Tunda) ; Hijau = Minor. Semua korban diluar algoritma
diatas : Kuning. Disini tidak ada resusitasi dan C-spine control.
Satu pasien maks. 60 detik. Segera pindah ke pasien berikut setelah
tagging.12
C. PERIKSA KESADARAN
Tingkat kesadaran penderita dapat dinilai dengan cara yang biasa
dipakai (komposmentis, apatis, delirium, somnolen, sopor, semi
coma, coma) atau menggunakan :13
Evaluasi dengan menggunakan metode AVPU, yaitu : 9
1) A : Alert, sadar
2) V : Vocal, adanya respon terhadap rangsangan vokal
3) P : Painful, adanya respon hanya pada rangsang nyeri
4) U: Unresponsive, tidak ada respon sama sekali.
Evaluasi dengan Skala Koma Glasgow (GCS)13
Membuka Mata (eye)
Spontan
Terhadap bicara (suruh pasien membuka mata)
Dengan rangsang nyeri (tekan pada saraf supraorbita atau kuku
jari)
Tidak ada reaksi (dengan rangsang nyeri pasien tidak membuka
mata)
Nilai
4
3
2
1
Respon Bicara (verbal)
Baik dan tidak disorientasi (dapat menjawab dengan kalimat yang
tidak baik dan tahu dimana ia berada, tahu waktu, hari, bulan)
Kacau (confused) (dapat bicara dalam kalimat, namun ada
disorientasi waktu dan tempat)
Tidak tepat (dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak berupa
kalimat dan tidak tepat)
Mengerang (tidak menggunakan kata, hanya suara mengerang)
Tidak ada jawaban
5
4
3
2
1
Respon Gerakan (motoric)
Menurut perintah
(misalnya, suruh: angkat tangan!)
Mengetahui lokasi nyeri (berikan rangsang nyeri, misalnya
menekan dengan jari pada supraorbita. Bila oleh rasa nyeri pasien
mengangkat tangannya sampai melewati dagu untuk maksud menapis
rangsangan tersebut berarti ia dapat mengetahui lokasi nyeri)
Reaksi menghindar
Reaksi flexi (dekortikasi)
(berikan rangsang nyeri, misalkan menekan dengan objek keras,
seperti ballpoint, pada jari kuku. Bila sebagai jawaban siku flexi
terhadap nyeri (flexi pada pergelangan tangan mungkin ada atau
tidak )
Reaksi ekstensi (deserbrasi)
(dengan rangsang nyeri tersebut di atas terjadi ekstensi pada
siku. Ini selalu disertai flexi spastik pada pergelangan
tangan)
Tidak ada reaksi
(sebelum memutuskan bahwa rangsang nyeri memang cukup adekuat
diberikan)
6
5
4
3
2
1
Interpretasi : 13
Nilai tertinggi: E + M + V = 13 - 15 (responsiveness)
Nilai sedang : E + M + V = 9 - 12
Nilai terendah : E + M + V = 3 - 8 (coma)
III.1. PRIMARY SURVEY
Penilaian keadaan penderita dan prioritas tetapi dilakukan
bedasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital, dan mekanisme
trauma. Pada penderita yang terluka parah tetapi diberikan
berdasarkan prioritas. Tanda vital penderita harus dinilai secara
cepat dan efisien. Proses ini berusaha mengenali keadaan yang
mengancam nyawa terlebih dahulu dengan berpatokan pada Airway,
Breathing, Circulation (ABC). Bila ditemukan keadaan yang mengancam
jiwa, maka harus diresusitasi saat itu juga.9
III.1.1. Airway
a. Anatomi Fisiologi Sistem Respirasi
Saluran Napas Bagian Atas
Hidung memiliki peranan yang sangat penting pada saluran napas
bagian atas. Ketika udara masuk melalui hidung, partikel-partikel
debu dan kotoran akan difiltrasi. Membran mukosa nasofaring
selanjutnya akan menyaring udara tersebut, menghangatkan, dan
melembabkannya.8
Gambar 3.2 Anatomi Sistem Respirasi
Dikutip dari kepustakaan 14
Udara inspirasi akan turun melalui orofaring ke laringofaring
kemudian melewati faring di mana plica vocalis berada. Laring
terletak di atas trakea. Ketika seseorang menghirup udara, plica
vocalis terbuka, memungkinkan udara untuk melewati trakea dengan
bebas.8
Trakea berakhir pada percabangan bronkus utama kiri dan kanan
yang masuk ke paru-paru. Tiap-tiap bronkus masuk melalui hilus
(tempat di mana pembuluh darah, nervus, dan lain-lain keluar masuk
organ). Bronkus kanan lebih pendek, lebih lebar, dan lebih vertical
daripada bronkus kiri.8
Gambar 3.3 Saluran Nafas Bagian Atas
Dikutip dari kepustakaan 15
Pernafasan secara harfiah berarti pergerakan Oksigen (O2) dari
atmosfer menuju ke sel dan keluarnya karbondioksida (CO2) dari sel
ke udara bebas.6
Proses Pernafasan terdiri dari beberapa langkah dan di dalamnya
terdapat peranan yang sangat penting dari sistem pernafasan, sistem
saraf pusat, dan sistem kardiovaskular. Pada dasarnya, sistem
pernafasan terdiri suatu rangkaian saluran udara yang mengantarkan
udara luar agar bersentuhan dengan membran kapiler alveoli, yaitu
pemisah antara sistem pernafasan dan sistem kardiovasular.
Pergerakan udara masuk dan keluar dari saluran udara disebut
ventilasi atau bernafas. Sistem saraf pusat memberikan dorongan
ritmik dari dalam untuk bernafas, dan secara reflex merangsang
thoraks dan otot-otot diafragma, yang akan memberikan tenaga
pendorong gerakan udara. Difusi O2 dan CO2 membran kapiler alveoli
sering dianggap sebagai pernafasan eksternal. Sistem kardiovaskular
menyediakan pompa, jaringan pembuluh darah dan darah yang
diperlukan untuk mengangkut gas-gas antara paru dan sel-sel tubuh.
Hb yang berfungsi baik dalam jumlah cukup diperlukan untuk
mengangkut gas-gas tersebut. Fase terakhir pengangkutan gas ini
adalah proses difusi O2 dan CO2 antara kapiler-kapiler dan sel-sel
tubuh. Pernafasan internal adalah reaksi kimia intra selular saat
O2 dan CO2 dihasilkan, bersamaan dengan metabolisme karbohidrat dan
zat-zat lain untuk membangkitkan adenosine trifosfat (ATP) dan
pelepasan energi. 6
Fungsi yang cukup baik dari semua sistem ini penting untuk
respirasi sel. Malfungsi dari setiap komponen dapat mengganggu
pertukaran dan pengangkutan gas, dan dapat membahayakan
proses-proses kehidupan. Perlu pemahaman prose pernafasan untuk
memeriksa dan mengobati penderita gangguan pernafasan. 6
Proses fisiologis pernafasan yaitu proses O2 dipindahkan dari
udara ke dalam jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan ke udara
ekspirasi, dan dapat dibagi menjadi 3 stadium. Stadium pertama
adalah ventilasi, yaitu masuknya campuran gas-gas ke dalam dan ke
luar paru. Stadium kedua, transportasi, yang harus ditinjau dari
beberapa aspek: (1) difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru
(sistem eksternal) dan antara darah sistemik dan sel-sel jaringan;
(2) distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya
dengan distribusi udara dalam alveolus-alveolus, dan (3) rekasi
kimia dan fisik dari O2 dan CO2 dengan darah. Respirasi sel atau
respirasi interna adalah stadium akhir respirasi, yaitu saat
zat-zat dioksidasi untuk mendapatkan energi dan CO2 terbentuk
sebagai sampah proses metabolisme dan dikeluarkan oleh paru. 6
b. Pemeriksaan
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas. Ini
meliputi pemeriksaan adanya sumbatan jalan napas yang dapat
disebabkan benda asing, adanya fraktur mandibula atau kerusakan
trakea/larings. Harus diperhatikan pula secara cermat mengenai
kelainan yang mungkin terdapat pada vertebra servikalis dan apabila
ditemukan kelainan, harus dicegah gerakan yang berlebihan pada
tempat ini dan diberikan alat bantu. Pada penderita yang dapat
berbicara, dapat dianggap jalan napas bersih, walaupun demikian
penilaian ulang terhadap airway harus tetap dilakukan.9
Look, listen, and feel diawali dengan mendekatkan telinga ke
mulut dan hidung penderita sambil menjaga jalan napas tetap
terbuka. Kemudian pada saat yang sama mengamati dada
penderita.9
1. Lihat (Look). Apakah penderita mengalami agitasi atau
kesadarannya menurun. Sianosis menunjukkan hipoksemia yang
disebabkan oleh kekurangan oksigenasi dan dapat dilihat dengan
melihat pada kuku dan kulit sekitar mulut. Lihat adanya retraksi
dan penggunaan otot-otot napas tambahan yang apabila ada merupakan
bukti tambahan adanya gangguan airway.9
2. Dengar (listen). Adanya suara-suara abnormal. Pernapasan yang
berbunyi (napas tambahan) adalah pernapasan yang tersumbat. Suara
mendengkur (snoring), berkumur (gurgling) dan bersiul (crowing
sound, stridor) mungkin berhubungan dengan sumbatan parsial pada
faring atau laring. Penderita yang melawan dan berkata-kata kasar
(gaduh gelisah) mungkin mengalami hipoksia dan tidak boleh dianggap
karena keracunan/mabuk.9
3. Rasakan (feel). Lokasi trakea dan dengan cepat menentukan
apakah trakea ada ditengah. Juga merasakan adanya atau tidaknya
hembusan nafas penderita.9
Gambar3.4 Look, Listen and Feel
Dikutip dari kepustakaan 16
c. Permasalahan
Adanya suara nafas tambahan (noisy breathing) menunjukkan suatu
sumbatan airway parsial yang mendadak dapat berubah menjadi total.
Tidak adannya pernafasan menunjukkan bahwa sumbatan total telah
terjadi. Apabila tingkat kesadaran menurun, deteksi sumbatan airway
menjadi lebih sulit. Adanya dispnea mungkin hanya satu-satunya
bukti adanya sumbatan airway atau cedera trakheobronkhial.9
Obstruksi jalan nafas merupakan pembunuh tercepat, lebih cepat
dibandingkan gangguan breathing dan circulation. Lagipula perbaikan
breathing tidak mungkin dilakukan bila tidak ada airway yang paten.
Obstruksi jalan nafas dapat berupa obstruksi total atau
parsial.12
Pada obstruksi total mungkin ditemukan penderita masih sadar
atau dalam keadaan tidak sadar. Pada obstruksi total yang akut,
biasanya disebabkan tertelannya benda asing yang lalu menyangkut
dan menyumbat di pangkal laring. Bila obstruksi total timbul
perlahan maka akan berawal dari obstruksi parsial yang kemudian
menjadi total.12
1) Bila Penderita masih Sadar12
Penderita akan memegang leher dalam keadaan sangat gelisah.
Sianosis mungkin ditemukan dan mungkin ada kesan masih bernafas
(walaupun tidak ada ventilasi). Penenganannya adalah chest thrust
atau abdominal thrust menggunakan Heimlich Manouvere. Tindakan
Heimlich dapat dilakukan dengan merangkul korban dari belakang dan
meletakkan kepalan tinju pada ulu hati korban (abdominal thrust)
atau pada dada (chest thrust), kemudian dengan tangan lainnya
menekan tinju tersebut kearah superior dan posterior.
Kontraindikasi abdominal thrust adalah kehamilan tua dan bayi serta
dewasa gemuk.jika penderita adalah bayi /dewasa gemuk maka untuk
mengeluarkan benda asing tersebut dilakukan chest thrust, back
slaps, atau back blow. Pada ibu hamil sebaiknya menggunakan back
blow atau back slap yaitu dengan menepuk atau memukul punggung pada
pertengahan daerah diantara kedua scapula.
2) Bila Penderita ditemukan Tidak Sadar12
Tidak ada gejala apa-apa mungkin hanya sianosis saja. Pada saat
melakukan pernapasan buatan mungkin ditemukan resistensi (tahanan)
terhadap ventilasi. Dalam keadaan ini harus ditentukan dengan cepat
adanya obstruksi total dengan sapuan jari ke dalam faring sampai di
belakang epiglottis. Apabila tidak berhasil mengeluarkan dengan
Finger Sweep dan tidak ada perlengkapan sesuai maka terpaksa
dilakukan Abdominal Thrust atau chest thrust dalam keadaan
penderita berbaring. Tindakannya berupa menekan diafragma atau dada
kea rah superior dan posterior secara berulang-ulang sehingga
menghasilkan batuk buatan/ sumbatan keluar.
Pada obstruksi parsial dapat disebabkan berbagai hal. Biasanya
penderitanya masih bisa bernafas sehingga timbul berbagai macam
suara, tergantung penyebabnya:12
1) Cairan (Darah, secret, aspirasi lambung dsb.)
Timbul suara gurgling, suara bernafas bercampur suara cairan.
Dalam keadaan ini harus dilakukan penghisapan. Atau bisa melakukan
finger sweep yaitu menyapu cairan dalam rongga mulut menggunakan
jari tangan yang dilapisi dengan bahan yang dapat menyerap (contoh:
kain, kasa), tapi tidak boleh menggunakan bahan yang mudah hancur
bila basah dan dapat mnyebabkan sumbatan baru (contoh: tissue,
kapas)
2) Lidah yang jatuh ke belakang
Keadaan ini bisa terjadi karena keadaan tidak sadar atau
patahnya rahang bilateral. Timbul suara mengorok (Snoring) yang
harus diatasi dengan perbaikan Airway, secara manual bisa dengan
head tilt dan chin lift, atau bisa dengan menggunakan alat seperti
orofaringeal tube (guedel)
3) Penyempitan di Laring atau Trachea
Dapat disebabkan udema karena berbagai hal (luka bakar, radang,
dsb.) ataupun desakan neoplasma. Timbul suara crowing atau stridor
respiratori. Keadaan ini hanya dapat diatasi dengan perbaikan
Airway distal dari sumbatan, misalnya dengan Trakheostomi.
d. Penanganan
1) Penanganan tanpa Alat
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dengan dalam posisi
terlentang dan horizontal, kecuali pada pembersihan jalan napas
dimana bahu dan kepala pasien harus direndahkan dengan posisi
semilateral untuk memudahkan drainase lendir, cairan muntah atau
benda asing.9
Keluarkan semua benda asing yang terlihat atau muntahan dari
mulut, keluarkan cairan dari mulut dengan memakai jari-jari yang
dibungkus dengan sarung tangan atau dibungkus selembar kain.9
Gambar3.5 Finger sweep
Dikutip dari kepustakaan 17
Ada 3 manuver yang dianjurkan untuk dilakukan jika didapatkan
benda asing pada jalan napas tersebut, yaitu:9
a) Tepuk pada punggung (back blows)
untuk mengeluarkan benda asing pada bayi/dewasa gemuk maka
dilakukan chest thrust, back slaps, atau back blow. Pada ibu hamil
sebaiknya menggunakan back blow atau back slap yaitu dengan menepuk
atau memukul punggung pada pertengahan daerah diantara kedua
scapula.12
Gambar 3.6 Back blows
Dikutip dari kepustakaan 17
b) Tekanan pada dada (chest thrust)
untuk mengeluarkan benda asing pada bayi/dewasa gemuk maka
dilakukan chest thrust, back slaps, atau back blow. Tindakan
Heimlich dapat dilakukan dengan merangkul korban dari belakang dan
meletakkan kepalan tinju pada dada (chest thrust), kemudian dengan
tangan lainnya menekan tinju tersebut kearah superior dan
posterior.12
Gambar 3.7 Chest thurst
Dikutip dari kepustakaan 18
c) Tekanan pada abdomen (abdominal thrust)
Tindakan Heimlich dapat dilakukan dengan merangkul korban dari
belakang dan meletakkan kepalan tinju pada dada (chest thrust),
kemudian dengan tangan lainnya menekan tinju tersebut kearah
superior dan posterior. Kontraindikasi abdominal thrust adalah
kehamilan tua dan bayi serta dewasa gemuk.12
Gambar3.8 Abdominal thurst
Dikutip dari kepustakaan 18
Ada dua cara untuk membebaskan obstruksi jalan napas:
1. Head Tilt-Chin Lift
Teknik ini hanya dapat digunakan pada korban tanpa cedera
kepala, leher, dan tulang belakang. Tahap-tahap untuk melakukan
tehnik ini adalah :16
a. Letakkan tangan pada dahi korban (gunakan tangan yang paling
dekat dengan dahi korban).
b. Pelan-pelan tengadahkan kepala pasien dengan mendorong dahi
kearah belakang.
c. Letakkan ujung-ujung jari tangan yang satunya pada bagian
tulang dari dagu korban. Jika korban anak-anak, gunakan hanya jari
telunjuk dan diletakkan dibawah dagu.
d. Angkat dagu bersamaan dengan menengadahkan kepala. Jangan
sampai mulut korban tertutup. Jika korban anak-anak, jangan terlalu
menengadahkan kepala.
e. Pertahankan posisi ini.
Gambar3.9 Head tilt- Chin lift
Dikutip dari kepustakaan 17
2. Jaw Thrust
Jaw thrust dilakukan dengan cara memagang sudut rahang bawah
(angulus mandibula) kiri dan kanan dan mendorong rahang bawah ke
depan. Bila cara ini dilakukan sambil menggunakan masker dari alat
bag-valve dapat dicapai kerapatan yang baik dan ventilasi yang
adequat. Hal ini harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah
ekstensi kepala.9
Gambar 3.10 Jaw Thrust
Dikutip dari kepustakaan 17
Indikasi jaw thrust: pasien trauma responsif dengan cedera
tulang belakang dicurigai tidak mampu mempertahankan jalan napas
paten. Sedangkan kontraindikasinya: trauma pasien responsif yang
mulutnya tidak dapat dibuka.19
2) Penanganan dengan Menggunakan Alat
Pipa nasofaringeal
Alat ini berfungsi untuk menjaga jalan napas agar tetap bebas
dari sumbatan. Alat ini lebih baik daripada oropharingeal airway
pada penderita sadar karena tidak akan menyebabkan muntah dan lebih
ditolerir penderita. Bila pada pemasangan ditemui hambatan,
berhenti dan pindah ke lubang hidung yang lain.12
Gambar 3.11 Pipa Nasofaringeal
Dikutip dari kepustakaan 20
Tahap tahap menggunakan alat ini:9
a. Lumasi pipa nasofaringeal sebelum disisipkan
b. Nasofaringeal disisipkan pada salah satu lubang hidung yang
tampak tidak tertutup
c. Lewatkan dengan hati-hati di orofaring posterior.
d. Bila hambatan dirasakn sebelum pemasangan airway hentikan dan
coba melalui lubang hidung satunya.
e. Bila ujung pipa nasofaring tampak di orofaring posterior alat
ini dapat menjadi saran yang nyaman untuk memasang pipa nasogastric
tube pada penderita dengan fraktur tulang wajah.
f. Pada penderita yang masih memberi respon nasofaringeal lebih
baik karena tidak merangsang muntah dibanding bila menggunakan pipa
orofaringeal.
Pipa orofaringeal
Alat ini berfungsi untuk menjaga jalan napas agar tetap bebas
dari sumbatan. Alat ini tidak boleh mendorong lidah ke belakang
karena akan menyumbat faring. Alat ini juga tidak boleh dipakai
pada penderita sadar karena akan menyebabkan muntah dan kemudian
aspirasi.12
Gambar 3.12 Pipa Orofaringeal
Dikutip dari kepustakaan 20
Tahap tahap menggunakan alat ini:9
a. Pipa orofaringeal disisipkan ke dalam mulut dibalik lidah
b. Gunakan spatula lidah untuk menekan lidah dan sisipkan airway
tersebut ke belakang. Alat ini tidak boleh mendorong lidah ke
belakang karena akan menyumbat airway.
c. Teknik dengan menyisipkan orofaringeal secara terbalik
sehingga bagian cekung menghadap ke arah cranial sampai di daerah
palatum molle.
d. Pada titik ini alat di putar 180 derajat, bagian cekung
menghadap ke arah kaudal, alat diselipkan ke tempatnya di atas
lidah.
e. Cara ini tidak boleh dilakukan pada anak-anak karena rotasi
alat ini dapat merusak mulut dan faring.
Pipa Endotracheal
Gambar 3.13 Pipa Endotracheal
Dikutip dari kepustakaan 20
Cricothyroidotomy
Jika seluruh cara pembebasan jalan napas sudah dilakukan tetapi
tidak menunjukkan keberhasilan (masih ada obstruksi airway), maka
dilakukan Cricothyroidotomi, yaitu dengan melakukan insisi pada
membran cricothyroid yang terletak di antara cartilago thyroid dan
cricoids lalu memasukkan benda yang berongga.12
III.1.2 Breathing
a. Anatomi Fisiologi Sistem Respirasi
Saluran Napas Bagian Bawah
Segera setelah memasuki paru-paru kiri dan kanan, bronkus
bercabang menjadi
bagian-bagian yang kecil atau bronkus sekunder yang memasuki
masing-masing lobus ( tiga lobus di kanan dan dua lobus di
kiri).8
Gambar 3.14 Saluran Nafas Bagian Bawah
Dikutip dari kepustakaan 8
Bronkus sekunder ini kemudian bercabang lagi menjadi bagian yang
lebih kecil atau bronkiolus. Secara structural, bronkus sangat
mirip dengan trakea. Dindingnya memiliki cincin-cincin kartilago
dan dilapisi membran mukosa bersilia.8
Gambar 3.15 Pertukaran O2 dan CO2 di alveoli
Dikutip dari kepustakaan 8
Paru-paru merupakan organ pernapasan sebenarnya di mana gas-gas
dalam darah dan udara bertukar. Paru-paru kanan memiliki tiga lobus
dan paru-paru kiri memilki dua lobus. Setiap lobus kemudian terbagi
lagi menjadi lobulus. Lobulus memiliki bentuk dan ukuran yang
ireguler, tapi lobulus mendapat suplay udara dari bronkiolus.8
Gambar 3.16 Anatomi Sistem Respirasi
Dikutip dari kepustakaan 14
Ketika memasuki lobulus, bronkiolus bercabang-cabang menjadi
bagian yang sangat kecil yang disebut bronkiolus terminal yang
selanjutnya mencapai unit fungsional paru-paru yaitu alveolus. Di
sinilah terjadi pertukaran oksigen dan karbondioksida.8
Pernafasan secara harfiah berarti pergerakan Oksigen (O2) dari
atmosfer menuju ke sel dan keluarnya karbondioksida (CO2) dari sel
ke udara bebas.6
Proses Pernafasan terdiri dari beberapa langkah dan di dalamnya
terdapat peranan yang sangat penting dari sistem pernafasan, sistem
saraf pusat, dan sistem kardiovaskular. Pada dasarnya, sistem
pernafasan terdiri suatu rangkaian saluran udara yang mengantarkan
udara luar agar bersentuhan dengan membran kapiler alveoli, yaitu
pemisah antara sistem pernafasan dan sistem kardiovasular.
Pergerakan udara masuk dan keluar dari saluran udara disebut
ventilasi atau bernafas. Sistem saraf pusat memberikan dorongan
ritmik dari dalam untuk bernafas, dan secara reflex merangsang
thoraks dan otot-otot diafragma, yang akan memberikan tenaga
pendorong gerakan udara. Difusi O2 dan CO2 membran kapiler alveoli
sering dianggap sebagai pernafasan eksternal. Sistem kardiovaskular
menyediakan pompa, jaringan pembuluh darah dan darah yang
diperlukan untuk mengangkut gas-gas antara paru dan sel-sel tubuh.
Hb yang berfungsi baik dalam jumlah cukup diperlukan untuk
mengangkut gas-gas tersebut. Fase terakhir pengangkutan gas ini
adalah proses difusi O2 dan CO2 antara kapiler-kapiler dan sel-sel
tubuh. Pernafasan internal adalah reaksi kimia intra selular saat
O2 dan CO2 dihasilkan, bersamaan dengan metabolisme karbohidrat dan
zat-zat lain untuk membangkitkan adenosine trifosfat (ATP) dan
pelepasan energi. 6
Fungsi yang cukup baik dari semua sistem ini penting untuk
respirasi sel. Malfungsi dari setiap komponen dapat mengganggu
pertukaran dan pengangkutan gas, dan dapat membahayakan
proses-proses kehidupan. Perlu pemahaman proses pernafasan untuk
memeriksa dan mengobati penderita gangguan pernafasan. 6
Proses fisiologis pernafasan yaitu proses O2 dipindahkan dari
udara ke dalam jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan ke udara
ekspirasi, dan dapat dibagi menjadi 3 stadium. Stadium pertama
adalah ventilasi, yaitu masuknya campuran gas-gas ke dalam dan ke
luar paru. Stadium kedua, transportasi, yang harus ditinjau dari
beberapa aspek: (1) difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru
(sistem eksternal) dan antara darah sistemik dan sel-sel jaringan;
(2) distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya
dengan distribusi udara dalam alveolus-alveolus, dan (3) rekasi
kimia dan fisik dari O2 dan CO2 dengan darah. Respirasi sel atau
respirasi interna adalah stadium akhir respirasi, yaitu saat
zat-zat dioksidasi untuk mendapatkan energi dan CO2 terbentuk
sebagai sampah proses metabolisme dan dikeluarkan oleh paru. 6
b. Pemeriksaan
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas. Ini
meliputi pemeriksaan adanya sumbatan jalan napas yang dapat
disebabkan benda asing, adanya fraktur mandibula atau kerusakan
trakea/larings. Harus diperhatikan pula secara cermat mengenai
kelainan yang mungkin terdapat pada vertebra servikalis dan apabila
ditemukan kelainan, harus dicegah gerakan yang berlebihan pada
tempat ini dan diberikan alat bantu. Pada penderita yang dapat
berbicara, dapat dianggap jalan napas bersih, walaupun demikian
penilaian ulang terhadap airway harus tetap dilakukan.9
Look, listen, and feel diawali dengan mendekatkan telinga ke
mulut dan hidung penderita sambil menjaga jalan napas tetap
terbuka. Kemudian pada saat yang sama mengamati dada
penderita.9
1. Lihat (Look). Apakah penderita mengalami agitasi atau
kesadarannya menurun. Agitasi memberi kesan adanya hipoksia dan
penurunan kesadaran memberi kesan adanya hiperkarbia. Sianosis
menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh kekurangan oksigenasi
dan dapat dilihat dengan melihat pada kuku dan kulit sekitar mulut.
Lihat adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas tambahan yang
apabila ada merupakan bukti tambahan adanya gangguan airway.9
2. Dengar (listen). Adanya suara-suara abnormal. Pernapasan yang
berbunyi (napas tambahan) adalah pernapasan yang tersumbat. Suara
mendengkur (snoring), berkumur (gurgling) dan bersiul (crowing
sound, stridor) mungkin berhubungan dengan sumbatan parsial pada
faring atau laring. Penderita yang melawan dan berkata-kata kasar
(gaduh gelisah) mungkin mengalami hipoksia dan tidak boleh dianggap
karena keracunan/mabuk.9
3. Rasakan (feel). Lokasi trakea dan dengan cepat menentukan
apakah trakea ada ditengah.Juga merasakan adanya atau tidaknya
hembusan nafas penderita.9
Gambar 3.17 look, listen, and feel
Dikutip dari kepustakaan 16
c. Permasalahan17
1) Tidak ada tanda-tanda pernapasan
2) Tidak ada gerakan dada
3) Tidak ada suara napas
4) Tidak dirasakanhembusan napas
5) Sesak napas:
a) Penderita mengeluh sesak
b) Bernafas cepat (takipneu)
c) Pernafasan cuping hidung
d) Pemakaian otot pernafasan tambahan dapat berupa retraksi
suprasternal, retraksi intercostalis, retraksi sternum, maupun
retraksi infrasternal.
d. Penanganan
1) Tanpa alat
Teknik mulut ke mulut (mouth to mouth) ini adalah teknik yang
cepat dan efektif untuk memberikan oksigen pada seorang
korban.18
a. Mulut ke mulut :
Gambar 3.18 mouth to mouth
Dikutip dari kepustakaan 17
1. Pasien terlentang
2. Bebaskan jalan nafasnya
3. Buka mulut penolong lebar-lebar, tarik nafas dalam-dalam
4. Katupkan mulut ke mulut pasien, tutup hidung pasien, tiupkan
hawa ke mulut pasien.
5. Perhatikan dada pasien mengembang.
6. Bila pasien hanya perlu nafas buatan saja, lakukan nafas
buatan
tersebut dengan frekwensi 10 12 x/menit ( dewasa), 20 x/menit
(anak dan bayi).
b. Mulut ke hidung :
Gambar3.19 mouth to nose
Dikutip dari kepustakaan 17
Pada saat meniupkan hawa ke lubang hidung tutup mulut pasien
rapat rapat.18
2) Dengan Menggunakan Alat
Memberikan pernafasan buatan dengan alat ambu bag (self
inflating bag). Pada alat tersebut dapat pula ditambahkan oksigen.
Pernapasan buatan dapat pula di berikan dengan menggunakan
ventilator mekanik ( ventilator/ respirator).18
a. Mulut ke sungkup :
Gambar 3.20 mouth to mask
Dikutip dari kepustakaan 17
Hembuskan udara ekshalasi penolong melalui sungkupyang cocok
menutup lubang hidung dan mulut pasienmemberikan konsentrasi
O2,16%.18
b. Bag Valve Mask Ventilation (Ambu Bag)
Gambar 3.21 Bag Valve Mask Ventilation
Dikutip dari kepustakaan 21
Merupakan cara pemberian napas buatan dengan menggunakan alat.
Dipakai alat yang ada bag dan mask dengan di antaranya ada katup.
Konsentrasi oksigen tergantung dari adanya suplementasi oksigen.
Untuk mendapatkan penutupan masker yang baik maka sebaiknya masker
di pegang satu petugas sedangkan petugas lain memompa.12
c. Oxygen Tabung (Oxycan)
Gambar 3.22 Oxycan
Dikutip dari kepustakaan 22
Merupakan oxygen dalam tabung kecil yang berisi O2. Cara
menggunakannya: penutup tabung dibuka lalu dihubungkan dengan
penyemprotan. Penutup tabung ini berfungsi sebagai mask. Sambil
menyemprotkan oxygen, penderita disuruh menarik napas
panjang.12
d. Kanul hidung (Nasale canule)
Kanal hidung lebih dapat ditolerir oleh anak anak, face mask
akan ditolak karena merasa dicekik. Orang dewasa juga kadang kadang
menolak face mask karena dianggap mencekik. Kekurangan kanul hidung
adalah dalam konsentrasi oksigen yang dihasilkannya. Pemberian
oksigen melalui kanul hidung tidak bias lebih dari 6 liter/menit
karena tidak berguna untuk meningkat konsentrasi oksigen dan
iritatif untuk penderita.12
e. Face mask (Breathing Mask)
Masker dengan lubang pada sisinya. Pemakaian dengan face mask
dalam pemberian oksigen lebih baik dibandingkan kanul hidung karena
konsentrasi oksigen yangdihasilkannya lebih tinggi.12
f. Non Breathing Mask
Pada face mask dipasang reservoir oksigen yang mempunyai katup.
Bila diinginkan konsentrasi oksigen yang tinggi maka non breathing
mask paling baik.12
Konsentrasi oksigen menurut cara pemberian: Udara bebas 21%
1) Kanul hidung dengan O2 2 liter/menit: 24%
2) Kanul hidung dengan O2 6 liter/menit: 44%
3) Face mask (rebreathing 6 10 liter/menit):35 60%
4) Non rebreathing mask (8 12 liter/menit): 80 90%
III.1.3 Circulation
a. Anatomi dan Fisiologi Sistem Sirkulasi
Sistem cardiovaskuler merupakan sistem transpor pada tubuh yang
membawa makanan, oksigen, air dan semua zat esensial lain ke
sel-sel jaringan dan membawah kembali produk sisanya. Sistem ini
terdiri dari.23
1. Cor (jantung) yang memompa darah
2. Vaskular (pembuluh darah) yang merupakan saluran yang
menghubungkan antara jantung dan jaringan.
Jantung adalah organ berongga dan berotot seukuran kepalan.
Organ ini terletak di rongga toraks (dada) sekitar garis tengah
antara sternum (tulang dada) di sebelah anterior dan vertebra
(belakang) di posterior. Jantung memiliki dasar lebar diatas dan
meruncing membentuk titik diujungnya, apeks, dibagian bawah.
Jantung terletak menyudut dibawah sternum sedemikian sehingga
dasarnya terutama terletak di kanan dan apeks di kiri
sternum.24
Gambar 3.22 anatomi system cardiovaskuler
Dikutip dari kepustakaan 25
Jantung terbagi menjadi 4 ruang, yakni dua di sebelah kanan dan
dua di sebelah kiri. Ruang paling atas dikenal sebagai atrium
(berdinding tipis, namun lebih luas), sedangkan ruang yang ada
dibawah disebut dengan ventrikel (dinding lebih tebal). Empat ruang
tersebut pun dikenal sebagai atrium kanan, ventrikel kanan, atrium
kiri dan ventrikel kiri. Darah mengalir ke Jantung melalui atria,
yakni ruang yang lebih kecil dan dipompa keluar melalui ruang yang
lebih besar yakni ventrikel. Setiap ventrikel memompa darah pada
jalur peredaran darah yang berbeda. Pada peredaran darah kecil
(pulmonari), ventrikel kanan memompa darah yang miskin oksigen ke
paru-paru lalu membawa oksigen dari paru-paru kembali ke atrium
kiri. Pada peredaran darah besar (sistemik), ventrikel kiri memompa
darah yang kaya oksigen ke seluruh tubuh dan kembali ke atrium
kanan.26,27
Gambar 3.23 sirkulasi darah
Dikutip dari kepustakaan 25
Darah yang mengirimkan zat gizi dan oksigen mengalir kembali ke
jantung melalui pembuluh darah vena dan masuk melalui sisi kanan
jantung. Darah yang butuh oksigen ini (yang disebut dengan darah
terdeoksigenasi) dikirimkan ke paru-paru untuk mengambil oksigen
dan membuang karbon dioksida. Darah memompa sepanjang hari untuk
mensirkulasi darah di seluruh tubuh. Rata-rata, sirkulasi sel darah
merah akan melalui jantung setiap 45 detik. Pada saat melakukan
aktivitas, jantung akan mulai memompa lebih cepat untuk memenuhi
otot pekerja yang meningkat kinerjanya dengan sejumlah oksigen dan
nutrisi yang otot-otot itu butuhkan. Jantung adalah otot yang mampu
untuk memompa secara efektif dan jantung mempunyai persediaan darah
sendiri yang membawa oksigen buat dirinya sendiri.23
Pada saat jantung berdenyut, berlangsung 3 tahapan yaitu :27
1. Relaksasi dan kembali mengisi
Otot-otot jantung pada dinding di atas atrium dan sisi bawah
ventrikel berelaksasi. Darah mengalir dalam tekanan rendah ke
atrium kanan dari tubuh, dan ke atrium kiri dari paru-paru.
2. Kontraksi atrium
Sinyal elektrik dari pacu jantung alami menyebar melalui dinding
kanan dan kiri atrium, menyebabkan mereka berkontraksi pada saat
bersamaan. Hal tersebut mendorong darah melalui katup trikuspidalis
dan bikuspidalis ke ventrikel.
3. Kontraksi ventrikel
Sinyal elektrik yang melalui dinding ventrikel menyebabkan
ventrikel berkontraksi. Darah didorong melalui katup aorta dan
arteri pulmonis, serta katup trikuspidalis dan bikuspidalus menutup
untuk mencegah aliran darah balik ke atrium. Penutupan katup-katup
menghasilkan suara pada denyut jantung.
b. Pemeriksaan
Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca-trauma yang
mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah
sakit. Suatu keadaan hipotensi pada pasien trauma harus dianggap
disebabkan oleh hipovolemia, sampai terbukti sebaliknya. Dengan
demikian diperlukan penilaian yang cepat dari status
hemodinamik.9
Pemeriksaan pada circulation adalah :
1. Dapat mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal9
Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka.
2. Mengetahui sumber perdarahan internal9
Sumber perdarahan internal (tidak terlihat) adalah perdarahan
rongga toraks, abdomen, sekitar fraktur tulang, retro-peritoneal
atau fraktur pelvis.
3. Tingkat kesadaran9
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang
akan mengakibatkan penurunan kesadaran (jangan dibalik; pasien yang
sadar belum tentu normo-volemik)
4. Nadi 9,28
Pemeriksaan sistem sirkulasi darah (Circulation) dilakukan
dengan menilai adanya pulsasi arteri femoralis atau arteri karotis
(kiri-kanan). pemeriksaan ini maksimal dilakukan selama 5 detik.
Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda
dipelukannya resusitasi segera untuk memperbaiki volume dan cardiac
output.
5. Warna kulit28
Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Pasien trauma
yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas,
jarang yang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya wajah pucat
keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan tanda
hipovolemia.
c. Permasalahan
Harus berhati-hati pada kelompok umur muda, tua, atlit dan
pemakaian obat-obatan tertentu, karena penderita tidak bereaksi
secara normal.9
1. Orang tua walaupun dalam keadaan sehat, sulit untuk
meningkatkan denyut jantung dalam keadaan hipovolemia. Akibatnya
adalah bahwa takikardia mungkin tidak terlihat pada orang tua
walaupun sudah hipovolemia. Pada oran tua sering tidak ada hubungan
antara tekanan darah dengan curah jantung.
2. Anak kecil mempunyai cadangan fisiologis yang besar. Bila
jatuh dalam keadaan syok, akan berlangsung tiba-tiba dan
katastrofik
3. Atlit juga mempunyai cadangan fisiologis yang besar, lagipula
biasanya dalam keadaan bradikardia dan mungkin tidak ditemukan
takikardia walaupun sudah hipovolemia.
4. Kerapkali anamnesis yang meliputi AMPLE (dibicarakan dalam
survay sekunder) tidak dilakukan sehingga tim trauma tidak sadar
akan pemakaian obat-obatan tertentu.
Harus selalu diwaspadai penderita dengan hemodinamik normal yang
belum tentu normal.9
d. Penanganan
Gangguan sirkulasi yang mengancam jiwa terutama bila terjadi
henti jantung dan shock. Diagnosis henti jantung ditegakkan dengan
tidak adanya denyut nadi karotis dalam 10 15 detik. Henti jantung
dapat disebabkan karena kelainan jantung (primer) dan kelainan
jantung di luar jantung (sekunder) yang harus segera
dikoreksi.18
Diagnosis shock secara cepat dapat ditegakkan dengan tidak
teraba atau melemahnya nadi radialis/nadi karotis, pasien tampak
pucat, perabaan pada ekstremitas mungkin teraba dingin, basah dan
memanjangnya waktu pengisian kapiler(capillary refill time > 2
detik).18
1.Pada henti jantung lakukan pijat jantung luar minimal 100
kali/menit.
2.Pada pasien shock, letakkan pasien dalam posisi shock yaitu
mengangkat kedua tungkai lebih tinggi dari jantung.
Bila pasien shock karena perdarahan, lakukan penghentian sumber
perdarahan yang tampak dari luar dengan melakukan penekanan, diatas
sumber perdarahan kemudian dilakukan pemasangan jalur intra vena
(iv access). Dan pemberian cairan infus kristaloid berupa ringer
lactat atau larutan garam faal (NaCl 0,9 %).19
Pada pasien dewasa pemasangan jalur intra vena dilakukan dengan
pilihan menggunakan jarum besar (>16 G) di daerah lengan atas
ante cubiti (lokasi lebih proximal). Sebaiknya dipasang 2 jalur
intra vena bila terdapat perdarahan masif.18
Jenis Jenis Shock
1. Shock Hipovolemik18
Penyebab :
a. Muntah, diare yang sering (frekuensi).
b. Dehidrasi karena berbagai sebab.
c. Luka bakar grade II III yang luas.
d. Trauma dengan perdarahan.
e. Perdarahan masif karena sebab lain.
Diagnosa :
a. Perubahan pada perfusi exstremitas : dingin, basah dan
pucat.
b. Takikardia.
c. Pada keadaan lanjut :
1) Takipnue.
2) Penurunan tekanan darah.
3) ;Penurunan produksi urine.
4) Tampak pucat, lemah, apatis.
Tindakan :
Pemasangan 2 jalur intravena dengan jarum besar dan diberikan
infus cairan kristaloid (jumlah lebih dari yang hilang). Untuk
perdarahan dengan shock kelas III IV selain diberikan infus
kristaloid sebaiknya disiapkan tranfusi darah segera setelah sumber
perdarahan dihentikan.
Klasifikasi shock dan cara-cara penanganan18
a.Syokhipovolemik karena dehidrasi ( muntah, diare )
Klasifikasi
Penemuan Klinis
Pengelolahan
Dehidrasi ringan :
Kehilangan cairan tubuh sekitar 5% BB
Selaput lendir kering, nadi normal atau nadi sedikit
meningkat
Penggantian Volume cairan yang hilang dengan cairan kristaloid (
NaCl 0,9% atau RL )
Dehidrasi sedang :
Kehilangan cairan tubuh sekitar 8% BB
Selaput lendir sangat kering, status mental tampak lesu, nadi
cepat, tekanan darah mulai menurun, oligoria.
Penggantian volume cairan yang hilang dengan cairan kristaloid(
NaCl 0,9% atau RL )
Dehidrasi Berat :
Kehilangan cairan tubuh >10% BB
Selaput lendir pecah-pecah, pasien mungkin tidak sadar, tekanan
darah turun, anuria
Penggantian volume cairan yang hilang dengan cairan kristaloid (
NaCl 0,9% atau RL )
b. Syok hipovolemik karena perdarahan
Prinsip : Penggantian volume yang hilang untuk mempertahankan
kecukupan oksigenasi jaringan . Trauma status ( menurut advanced
Trauma Live Support )
Kelas perdarahan*
I
II
III
IV
Darah yang hilang (ml)
2000
Darah yang hilang (%EBV)
30
20 - 30
5 - 15
Tak ada
Kesadaran
Agak gelisah
gelisah
Gelisah dan bingung
Bingung dan letargik
Cairan pengganti
kristaloid
kristaloid
Kristaloid + darah
Kristaloid + darah
a.Menilai respon pada penggantian volume adalah penting, bila
respons minimal kemungkinan adanya sumber perdarahan aktif harus
dihentikan, segera lakukan pemeriksaan golongan darah dan cross
matched, konsultasi dengan ahli bedah, hentikan perdarahan luar
yang tampak ( misalnya pada ekstremitas ).
b.Pemasangan monitor CVP di anjurkan ( bila memungkinkan , mampu
melakukan ) pada perdarahan hebat.
c.Penggantian darah dapat digunakan darah lengkap (whole blood)
atau komponen darah (packed red cell), yang harus diingat jangan
berikan transfusi darah yang dingin karena akan memperburuk keadaan
(hipotermi), bahkan bila mungkin untuk mencegah hipotermi berikan
kristaloid yang dihangatkan.Dan pada penggantian darah ini tidak
diperlukan penambahan kalsium (penambahan kalsium akan
membahayakan)
2. Shock Kardiogenik18
Penyebab :
Dapat terjadi pada keadaan keadaan antara lain :
a. Kontusio jantung.
b. Tamponade jantung.
c. Tension pneumothoraks.
Diagnosa :
a. Hipotensi disertai gangguan irama jantung.
b. Mungkin terdapat peninggian tekanan vena jugularis (JVP).
c. Lakukan pemeriksaan fisik pendukung pada tamponade jantung
(bunyi jantung menjauh / redup), pada tension pneumotoraks
(hipersonor dan pergeseran trakea).
Tindakan :
a. Pemasangan jalur intravena dan pemberian infus kristaloid
(hati hati dengan jumlah cairan).
b. Pada aritmia mungkin diperlukan obat obat inotropik.
c. Perikardiosentesis untuk tamponade jantung dengan monitoring
EKG.
d. Pemasangan jarum torakostomi pada ICS II untuk mengurangi
udara dalam rongga pleura.
Pada pembagian jenis shock ada pula yang membagi bahwa shock
kardiogenik hanya karena gangguan pada fungsi myokard (misal :
karena kontusio jantung) sedangkan tamponade jantung dan tension
pneumothoraks dikelompokkan dalam shock obstruktif (shock karena
obstruksi mekanik).
3. Shock Septik18
Penyebab :
Karena proses infeksi berlanjut.
Diagnosa :
a.Fase dini tanda klinis hangat, vasodilatasi.
b.Fase lanjut tanda klinis dingin, vasokontriksi.
Tindakan :
Ditujukan agar tekanan sistolik > 90 100 mmHg (Mean Arterial
Presssure 60 mmHg).
a. Tindakan awal.
Infus cairan kristaloid, pemberian antibiotik, membuang sumber
infeksi (pembedahan).
b. Tindakan lanjut.
Penggunaan cairan koloid lebih baik dengan diberikan vasopresor
(Dopamine atau kombinasi dengan Noradrenalin).
4. Shock Anafilaktik18
Penyebab :
Reaksi anafilaktik berat.
Diagnosa :
Tanda tanda shock (penurunan tekanan darah yang tiba tiba)
dengan riwayat adanya alergi (makanan atau hal hal lain) atau
setelah pemberian obat obatan.
Tindakan :
Resusitasi cairan dan pemberian epinefrin subkutan. Tak semua
kasus hipotensi adalah tanda tanda shock. Tetapi denyut nadi
abnormal, irama jantung abnormal dan bradikardia biasanya merupakan
tanda hipotensi.19
Terapi Cairan
Pada saat resusitasi sering diperlukan terapi cairan. Pemilihan
jenis cairan dapat dilakukan bila diketahui isi cairan yang
digunakan.30
Secara anatomis cairan tubuh terbagi atas :29
1. Cairan intraseluler = 40% BB
2. Cairan ekstraseluler = 20% BB, yang terdiri dari
a. Cairan interstitiel = 15%
b. Cairan intarvaskuler = 5%
3. Cairan transeluler = 2%
Untuk kasus kasus gawat darurat dapat dipilih :30
1. Cairan kristaloid (Ringer Laktat, NaCl 0,9 %).
a. Cairan ini baik untuk tujuan mengganti kehilangan volume
terutama kehilangan cairan intertisial.
b. Harganya murah, tak memberikan reaksi anafilaktik tetapi
tidak dapat bertahan lama di intravaskuler.
c. Pemberian berlebih dapat menyebabkan edema paru dan edema
perifer.
2.Cairan koloid (darah, albumin, fresh frozen plasma, dextran,
HES, Hemacel, dll).
a. Cairan ini baik untuk mengganti volume intravaskuler.
b. Harganya mahal, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik
mempunyai molekul besar dan menimbulkan tekanan onkotik.
c. Pemberian berlebih juga dapat menyebabkan edema paru tetapi
tak akan menyebabkan edema perifer.
Jenis-Jenis Cairan Resusitasi30
Cairan intaravena terdiri dari :
1. Cairan kristaloid (2-4 kali perdarahan)
Contoh : NaCl 0,9%, Ringer Laktat, Ringer Asetat (Asering),
Dextrose 5%
2. Dextrose 5%
Cairan koloid (sesuai jumlah perdarahan)
Contoh :
a. Alami : plasma, albumin
b. Buatan : gelatin, starch, dextran
Larutan kristaloid30
Keunggulan :
1. Lebih mudah tersedia dan murah
2. Bisa disimpan pada suhu kamr
3. Berdasarkan reaksi anafilaktik
4. Komplikasi minimal
5. Komplikasi serupa dengan plasma
Kerugian:
1. Edema bisa mengurangi ekspansibilitas dinding dada
2. Oksigenasi jaringan terganggu kerena bertambahnya jarak
kapiler dan sel
3. Memerlukan volume empat kali lebih banyak
a. Ringer Laktat
1) Paling sering digunakan
2) Dimetabolisme di hati
3) Kontraindikasi untuk penyakit-penyakit hati
4) Untuk anak lebih 2 tahun
b. NaCl
1) Tidak dimetabolisme, langsung digunakan oleh tubuh
2) Biasa digunakan pada penderita penyakit hati
c. Ringer Asetat (Asering)
1) Paling umum digunakan untuk anak kurang dari 6 bulan
2) Dimetabolisme di otot
3) Digunakan pada penderita penyakit hati
d. Dextrose 5%
Kelebihan Asering dibanding Ringer Laktat30
1. Asetat dimetabolisme di otot sedangkan laktat dimetabolisme
di hati menjadi bikarbonat. Oleh karena itu, pada pasien dengan
gangguan fungsi hati, konversi menjadi bikarbonat tidak
terganggu.
2. Laju metabolisme asetat adalah 250-400 mEq/jam, sedangkan
laktat 100 mEq/jam. Lebih cepat mengatasi asidosis yang menyertai
syok
3. Walaupun asetat dan laktat keduanya merupakan prekursor ion
bikarbonat, asetat juga dapat menetralkan metabolisme asam yang
berlebihan
Larutan koloid30
Keunggulan :
1. Ekspansi volume plasma tanpa ekspansi interstitiel
2. Ekspansi volume lebih besar
3. Durasi lebih lama
4. Oksigenasi jaringan lebih baik
5. Gradien oksigen alveolar arterial lebih sedikit
6. Insiden edema paru atau edema sistemik lebih rendah
Kerugian:
1. Dapat terjadi reaksi anafilaksis
2. Koagulopati
3. Albumin bia memperberat depresi miokard pada pasien syok
(mungkin dengan mengikat Ca sehingga mengurangi kadar ion Ca)
Cairan Koloid30
1. Dextran
Efek samping:
a. Hemostasis : pemanjangan waktu perdarahan
1) Berkurangnya faktor VIII
2) Berkurangnya faktor Von Willenbrand
3) Berkurangnya fibrin
b. Ginjal : gagal ginjal (oligouri-anuri) sindrom hipertonik
akut
c. Alergi : reaksi anafilaktik sering ditemukan (dibanding
substitusi plasma lainnya)
d. Karena efek samping yang merugikan dari dextran penggunaannya
secara klinis sangat banyak berkurang. Contoh sediaannya yang ada
di Indonesia, yaitu : detran 70 dan dextran 40
2. Gelatin
Efek samping:
a. Hemostatis
1) Perubahan pada tromboelastogram
2) Mengurangi kemampuan agregasi trombosit
b. Alergi : insident reaksi alergi lebih rendah dibandingkan
pada penggunaan dextran
HES (Hydroxy Ethyl Starch30
1. Merupakan modifikasi dari kanji (starch) alami
2. Starch alami mudah dihidrolisa oleh enzim amilase
3. Hidroksietil digunakan untuk menstabilkan larutan
Beberapa sediaan HES di Indonesia :
1. HES 6%-40 : Expafusin
2. HES 6%-200 : FimaHES 200, Haes-Steril 6%, Hemohes 6%,
Voluven
3. HES 10%-200 : Haes-Steril 10%, Hemohes 10%
Efek Merugikan Koloid:30
Gelatin
Kanji
Dekstran
Reaksi anafilaktik
Tidak bisa
Tidak bisa
Biasa dan parah
Efek pada koagulasi
Tidak
Ya(tergantung dosis)
Ya
Keracunan ginjal
Tidak
Ya
Tidak bisa (dosis tinggi)
Keracunan hati
Tidak
Mungkin
Tidak
Akumulasi jaringan
Tidak
Ya
Tidak
Pembatasan penggunaan pada gagal ginjal
Tidak
Ya
Tidak
Secara umum, keadaan-keadaan yang dapat memerlukan pemberian
cairan infus adalah:29
1. Kondisi jaur enteral (via oral) tidak memungkinkan, missal
pada pasien
penurunan kesadaran, kejang
2. Perdarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan tubuh dan
komponen darah)
3. Trauma abdomen (perut) berat (kehilangan cairan tubuh dan
komponen darah)
4. Fraktur (patah tulang), khususnya di pelvis (panggul) dan
femur (paha)
(kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)
5. Serangan panas (heat stroke) (kehilangan cairan tubuh pada
dehidrasi)
6. Diare dan demam (mengakibatkan dehidrasi)
7. Luka bakar luas (kehilangan banyak cairan tubuh)
8. Semua trauma kepala, dada, dan tulang punggung (kehilangan
cairan tubuh dan komponen darah)
Teknik Pemasangan Infus30
1. Alat dan Bahan
a. Cairan
1) Cairan isotonis (RL, Nacl 0,9%)
2) Cairan hipotonis (cairan DIAD, cairan DIAD, Dextrose 5%)
3) Cairan hipertonis (Dextrose 10%, aminoleban)
4) Infuse set (macrodrips = 20 tetes/mL / microdrips = 60
tetes/mL)
5) Kateter intravena (missal: Abbocath,dll)
6) Kapas alcohol, plester, betadine, pembendung (torniket)
b. Prosedur Kerja
Dalam pemasangan infus ada tiga hal yang perlu diketahui:
1) Anatomi vena
2) Teknik pembendungan vena:
a) Torniket (manset, slang karet, kateter foley)
b) Tangan (tidak dianjurkan)
c) Bentuk dan ukuran jarum
d) Ukuran disesuaikan dengan besarnya vena
Cara memasang infus:30
1. Siapkan cairan yang telah dipasangi infus set
2. Alirkan cairan melalui selang infuse set untuk mencegah
adanya udara
3. Cara vena yang akan ditusuk
a. Cari vena yang tidak bercabang
b. Cari vena sedistal mungkin
c. Cari vena dibagian dorsal
4. Desinfeksi daerah yang akan ditusuk dengan kapas alcohol
5. Tusukkan kateter intravena tepat didalam vena dengan
cara:
a. Secara sentral (tegak lurus memasuki vena)
b. Secara paravena (menyusuri alur vena), merupakan cara
terbaik
6. Cabut mandrin, lalu sambungkan kanula dengan selang infus
set
7. Alirkan cairan
8. Fiksasi kanula dan selang infus dengan plester, kalo perlu
berikan kapas betadine sebelum diplester. Bentuk fiksasi seperti
huruf V dan selang infus tidak perlu dibengkokkan.
Beberapa keadaan yang dapat mengakibatkan kegagalan dalam
memberikan cairan perinfus antara lain:
1. Jarum infus tidak masuk vena. Darah mengalir ke pangkal jarum
sebagai parameter
2. Pipa infus terlipat atau tersumbat
3. Pipa penyalur udara tidak berfungsi
4. Jarum infus atau vena terjepit karena posisi lengan tempat
masuknya jarum dalam keadaan fleksi.
Cara Menghitung Tetesan Infus31
1 cc = 20 tetes makro = 60 tetes mikro
Rumus = kebutuhan cairan x tetesan infuse per cc/waktu
penghitungan kebutuhan cairan (dalam jam) x 60 menit
Resusitasi Jantung Paru (RJP)
3. RJP untuk Dewasa8,25,32
a. Letakkan tangan di thorax ketika melakukan kompaan thorax
untuk masase jantung. Pangkal tangan diletakkan pada 1/3 caudal
sternum
b. Peredaran darah : tindakan circulation
c. Letak dan sikap kedua tangan di sternum bagian 1/3 caudal
dengan jari mengarah ke kiri, jari tidak boleh menekan dada
d. Tempat dan sikap penolong. Lengan tegak lurus dengan sendi
siku tetap dalam ekstensi
Gambar 3.21 RKP untuk dewasa
Dikutip dari kepustakaan 8
e. Letak tangan di thorax ketika melakukan kompaan thorax untuk
masase jantung. Pangkal tangan di letakkan pada 1/3 caudal tulang
sternum
f. Jika ada dua penyelamat :
Buka jalan nafas. Insuflasi dilakukan oleh penyelamat pertama,
sedangkan masase jantung (sirkulasi) dilakukan oleh orang ke dua,
berturut-turut dilakukan 30 kompaan thorax dan 2 insuflasi paru
dengan kecepatan 100 X /menit dengan kedelaman 4-5 cm, memberikan
kesempatan jantung mengembang (pengisian ventrikel) waktu kompresi
dan relaksasi sama, minimalkan terputusnya kompresi dada, dan rasio
kompresi dan ventilasi 30:2.
Gambar RKP 3.22 A. 2 Penolong B. 1 Penolong
Dikutip dari kepustakaan 8
4. RJP untuk Anak
Pada dasarnya resusitasi pada anak dilakukan seperti pada orang
dewasa. Pembebasan jalan nafas diusahakan dengan ekstensi kepala
dan mengangkat rahang bawah pada dagu, kemudian ditentukan ada
tidaknya pernafasan, denyut nadi dicari di leher dengan satu atau
dua jari yang digeser dari garis tengah rawan tiroid sampai ke
lateral laring tempat denyut arteri carotis atau dicari di arteri
brahialis.8,28
Gambar 3.33 RKP untuk Anak
Dikutip dari kepustakaan 8
RJP dilakukan dengan cara mendorong 1/2 sampai 1/3 kedalaman
dada anak (sekitar 2 inci).Penolong dapat menggunakan satu tangan,
bukan dua saat melakukan penekanan.Penolong dapat menggunakan kedua
tangan untuk menjaga jalan napas terbuka untuk memungkinkan
ventilasi potensial induksi RKP dan menstabilkan anak dari bergerak
selama kompresi jika penolong inginkan.32
Gambar 3.34 RKP untuk Anak
Dikutip dari kepustakaan 32
5. RJP untuk Bayi
Gambar 3.35 RKP untuk Bayi
Dikutip dari kepustakaan 8
Masase jantung dilakukan dengan ibu jari pada sternum yang
ditekan sedalam satu setengah sampai dua setengah sentimeter
tergantung pada usia dan besarnya bayi. Karena hanya ada satu
tempat untuk satu penyelamat. Harus dilakukan sekali insuflasi
setelah lima kompaan thorax. Penekanan harus dilakukan secara
berbeda untuk bayi daripada mereka akan lebih besar untuk anak-anak
dan orang dewasa karena ukurannya lebih kecil.8,28,32
2010 CPR Guidelines Overview33
Tingkat kompresi (Dewasa, Bayi, & Children):
Setidaknya 100 kompresi per menit.
Kedalaman kompresi (Dewasa & Anak):
2 inci / 5 sentimeter.
Kedalaman kompresi (Bayi):
1/3 kedalaman dada.
Rasio kompresi untuk napas (Dewasa):
30 kompresi untuk 2 penyelamatan napas.
Rasio kompresi untuk napas (Anak / Bayi):
30 kompresi untuk 2 penyelamatan napas.(Kesehatan Non atau
Recuer Single)
Rasio kompresi untuk napas (Anak / Bayi):
15 kompresi untuk 2 penyelamatan napas.(Kesehatan di Tim
Penyelamat)
III.2. SECONDARY SURVEY
Secondary survey diilakukan setelah primary survey selesai.
Prinsipnya adalah melakukan pemeriksaan ulang dari kepala sampai
kaki (head to toe examination) dan tanda vital. Peluang untuk
membuat kesalahan yang cukup besar sehingga diperlukan pemeriksaan
teliti yang menyeluruh.9
Pada survey sekunder dilakukan pemeriksaan neurologi lengkap,
termasuk mencatat GCS bila belum dilakukan pada survey primer. Pada
survey sekunder ini dilakukan anamnesa singkat dengan metode
AMPLE.9
A: Alergi
M: Medical (obat yang diminum saat ini)
P: Past illness (penyakit penyerta) atau pregnancy
L: Last Meal
E: Event atau Environment (lingkungan) yang berhubungan dengan
kejadian perlukaan.
Mekanisme perlukaan sangat menentukan keadaan penderita. Petugas
harus melaporkan mekanisme perlukaan. Jenis perlukaan dapat
diramalkan dari mekanisme perlukaan tersebut.9
III.3. INDIKASI PENGAKHIRAN RESUSITASI
a. Resusitasi yang Berhasil
Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang
efektif. 13
b. Resusitasi yang Tidak Berhasil
Semua tenaga kesehatan dituntut untuk memulai RKP segera setelah
diagnosis henti nafas atau henti nafas atau henti jantung dibuat,
tetapi dokter pribadi korban hendaknya lebih dulu diminta
nasehatnya sebelum upaya resusitasi dihentikan. Tidak sadar ada
pernapasan spontan dan refleks muntah dan dilatasi pupil yang
menetap selama 15 sampai 30 menit atau lebih merupakan petunjuk
kematian otak kecuali pasien hipotermi atau dibawa efek barbiturate
atau dalam anastesia umum. Akan tetapi tidak adanya tanggapan
jantung terhadap tindakan resusitasi. Tidak adanya aktivitas
listrik jantung selama paling sedikit 30 menit walaupun dilakukan
upaya RJP dan terapi obat yang optimal menandakan mati
jantung.13
III.4. ALGORITMA INITIAL ASSESMENT
Gambar3.36 Initial Assessment
Dikutip dari kepustakaan 33
Gambar 3.37 Algoritma Cedera Kepala
Dikutip dari kepustakaan 9
Gambar 3.38 Algoritma Cedera Kepala
Dikutip dari kepustakaan 9
Gambar 3.39 Algoritma Cedera Kepala
Dikutip dari kepustakaan 9, 34
IV. DIAGNOSIS/ TERAPI/ PENANGANAN
IV.1. Gambaran Klinis
Epidural hematoma pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau
tanda. Baru setelah hematoma bertambah besar akan terlihat tanda
pendesakan dan peningkatan tekanan intracranial. Penderita akan
mengalami sakit kepala, mual, dan muntah diikuti dengan penurunan
kesadaran. Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata
anisokor, yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalanannya,
pelebaran pupil akan mencapai maksimal d