Top Banner
PRESENTASI KASUS PTERIGIUM Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti Program Pendidikan Profesi Kedokteran Bagian Ilmu Kesehatan Mata Diajukan kepada: dr. M. Faisal Lutfi, Sp.M Disusun oleh: Yulianti S Arey 20090310141 BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA BADAN RUMAH SAKIT DAERAH WONOSOBO FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
34

Presus Pteregium

Jan 18, 2016

Download

Documents

Julie Arey
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Presus Pteregium

PRESENTASI KASUS

PTERIGIUM

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti Program Pendidikan Profesi Kedokteran Bagian Ilmu Kesehatan Mata

Diajukan kepada:

dr. M. Faisal Lutfi, Sp.M

Disusun oleh:

Yulianti S Arey

20090310141

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA

BADAN RUMAH SAKIT DAERAH WONOSOBO

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2015

Page 2: Presus Pteregium

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

PTERIGIUM

Disetujui Oleh :

Dokter Pembimbing Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Mata

RSUD Setjonegoro Wonosobo

dr. M. Faisal Lutfi, Sp.M

Page 3: Presus Pteregium

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum, Wr.Wb

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan nikmat, petunjuk dan kemudahan yang telah diberikan. Sehingga penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus Kalazion.

Presentasi kasus ini terwujud atas bimbingan serta pengarahan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih yang tak ternilai kepada :

1. dr. M. Faisal Lutfi, Sp.M selaku dosen pembimbing Ilmu Kesehatan mata RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo yang telah mengarahkan dan membimbing dalam menjalani stase Ilmu Kesehatan Mata serta dalam penyusunan kasus ini.

2. Petugas Poli Mata RSUD Setjonegoro Wonosobo.

Dalam penyusunan presentasi kasus ini masih banyak kekurangan, untuk itu penyusun mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan penyusunan presentasi kasus di masa yang akan datang.

Wassalamualaikum, Wr.Wb

Wonosobo, 13 Februari 2015

Yulianti S Arey

Page 4: Presus Pteregium

BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identitas Nama : Ny. Parmisih

Usia : 45 tahun

No RM : 61 64 88

Status : Menikah

Agama : Islam

Pekerjaan : Pedagang

Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia

Alamat : Ngadirejo Wetan, Beran, Kepil

B. AnamnesisDilakukan autoanamnesis dan pemeriksaan fisik pada tanggal 7 Februari

2015 di Poliklinik Mata RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo.

1. Keluhan Utama

Pasien mengeluh mata kanan terasa gatal dan berair.

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Poli Mata RSUD Wonosobo diantar keluarga, dengan keluhan

gatal pada mata kanan yang dirasakan sejak dua minggu yang lalu,. Pasien

mengatakan keluhan muncul tiba-tiba dan hilang timbul. Mata terasa pegal,

kadang perih dan sering berair. Jika sakit mata ini timbul, mata menjadi merah..

Keluhan berkurang jika diberi obat tetes mata, dan bertambah saat terkena sinar

matahari yang lama, debu dan angin. Pasien mengaku masih dapat membaca pada

jarak 5 meter, namu penglihatan terkadang remang-remang. Keluhan pusing,

sakit kepala, mual, muntah disangkal oleh pasien.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

1 bulan yang lalu pasien pernah mengalami keluhan serupa dan sudah

dilakukan operasi.

Page 5: Presus Pteregium

Pasien menyangkal memiliki penyakit hipertensi, DM, asma, alergi, dan

penyakit mata.

4. Riwayat Keluarga

Keluarga tidak ada yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien

Kelurga menyangkal memiliki penyakit kronis ( HT, DM, Asma, jantung,

dll ).

C. Pemeriksaan Fisik

Status Generalis :

Keadaan : umum baik

Kesadaran : compos mentis

Tanda Vital :

Tekanan darah :120/80 mmHg

Nadi : 86 x/menit

Pernapasan : 20x/menit

Suhu badan : 36,5 °C.

Pemeriksaan Subyektif

Pemeriksaan OD OS

Inspeksi Berair (+), sekret kental

(-), kotoran mata (-) ,

terdapat selaput di mata

kanan

Berair (-), sekret kental

(-), kotoran mata (-)

Visus jauh 5/5 5/5

Refraksi - -

Koreksi - -

Visus dekat - -

Proyeksi sinar Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Persepsi warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Pemeriksaan Objektif

Page 6: Presus Pteregium

Pemeriksaan OD OSSekitar Mata Supercilia dan cilia

Simetris, distribusi merata

Simetris, distribusi merata

Palpebra Gerakan Margo superior dan

inferior

Normalmerah(-), nyeri tekan (-), tanda radang (-)Pada balik palpebra inferior terdapat massa bulat warna kuning

NormalEdema (-), massa (-)

Gerakan Bola Mata Normal NormalKonjungtiva Palpebra superior Palpebra inferior Bulbi

Cobblestone (-)Cobblestone (-)Hiperemis (+)Pterigium (+)

Cobblestone (-)Cobblestone (-)Hiperemis (-)

Sklera Warna Putih Putih

Kornea Kejernihan Sikatrik

JernihTidak ada

JernihTidak ada

COA Jernih JernihPupil Bulat, d : 3 mm, RC (+) Bulat, d : 3 mm, RC

(+)Iris Normal NormalLensa Jernih JernihTekanan Bola Mata (digital)

Normal Normal

Tes Lapang Pandang : tidak dilakukan

Pemeriksaan Laboratorium : tidak dilakukan

D. Diagnosa Banding

1. Pterigium

2. Pseudopterigium

3. Penguekula

E. Diagnosis Kerja

Pterigium Oculus Dextra Grade II

F. Penatalaksanaan

Page 7: Presus Pteregium

- Tindakan Operatif eksisi pterigium

- Cendo Tobroson eye drop 6 x 2 tetes OD

- Cendo Mycos eye zalp 1 x OD

G. Prognosis

Quo ad vitam : ad bonam

Quo ad functionam : Dubia ad bonam

Quo ad sanasionam : Dubia ad bonam

Page 8: Presus Pteregium

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Mata1. Bola Mata

Bola mata orang dewasa normal hampir mendekati bulat, dengan diameter

anteroposterior sekitar 24,5 mm.

2. Konjungtiva

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang

membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis)dan

permukaan anterior sclera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan

dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel

kornea di limbus. Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak

mata dan melekat erat ke tarsus. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum

orbitale di fornices dan melipat berkali-kali. Pelipatan ini memungkinkan bola

mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik.

3. Kornea

Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya sebanding

dengan Kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea ini disisipkan ke sclera di limbus.

Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,54 mm di tengah, sekitar 0,65 mm di

tepi, dan diameternya sekitar 11,5 mm. Dari anterior ke posterior, kornea

mempunyai lima lapisan yang berbeda-beda.

a. Lapisan epitel

b. Lapisan Bowman

c. Stroma

d. Membrane Descemet

e. Lapisan endotel

Page 9: Presus Pteregium

Sumber-sumber nutrisi untuk kornea adalah pembuluh-pembuluh darah

limbus, humor aqueus, dan air mata. Kornea superfisialis juga mendapatkan

oksigen sebagian besar dari atmosfer. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari

percabangan pertama (oftalmika) dari nervus kranialis V (trigrminus).

Transparansi kornea disebabkan oleh strukturnya yang seragam, avaskularitasnya,

dan deturgensinya.

B. Definisi

Pterigium adalah suatu pertumbuhan fibrovaskular berbentuk segitiga yang

tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah interpalpebra.

Pterygium tumbuh berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi. Asal kata pterigium

dari bahasa yunani, yaitu pteron yang artinya sayap.

Page 10: Presus Pteregium

C. Epidemiologi

Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim

panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor

yang sering mempengaruhi adalah dekat ekuator, yakni daerah yang terletak

kurang 37 ;intang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22% di

daerah dekat ekuator dan kurang dari 2% pada daerah yang terletak di atas 40*

Lintang. Insiden pterigium cukup tinggi di indonesia yang terletak di daerah

ekuator, yaitu 13,1%.

Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium. Prevalensi

pterigium meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari

kehidupan. Insiden tinggi pada umur 20 dan 49. Kejadian berulang (rekuren) lebih

sering pada umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih beresiko dari

perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah, riwayat

terpapar lingkungan di luar rumah.

D. Faktor resiko

Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni

radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan

faktor heriditer.

1. Radiasi ultarviolet

Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya

pterigium adalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi

kornea dan konjungitva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi

sel. Letak lintang, waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi

juga merupakan faktor penting.

2. Faktor genetik

Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan

pterigium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan

riwayat keluarga dengan pterigium, kemungkina diturunkan autosom

dominan.

Page 11: Presus Pteregium

3. Faktor lain

Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer

kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan

terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru

patogenesis dan pterigium. Wong juga menunjukkan adanya pterygium

angiogenesis factor dan penggunaan pharmacotherapy

antiangiogenesis sebagai terapi. Debu, kelembaban yang rendah, dan

trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye dan virus papilloma

juga penyebab dan pterigium.

E. Patagonesis

Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini lebih

sering pada orangy ang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena itu gambaran

yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor

lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering,

inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan

lokal korne dan konjungtiva yang disebabkan oleh kelainan tear film

menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru merupakan salah satu teori.

Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim kering mendukung teori

ini.

Ultaviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal

basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi

dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel

bermigrasi dan angiogenesis. Akibatanya terjadi perubahan degenerasi kolagen

dan terlihat jaringan subepitelial fibroovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi

degenerasi elastoik proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan kemudian

menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran

bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan

inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjasi displasia.

Page 12: Presus Pteregium

Limbal stem cell adalah sumber regenarasi epitel kornea. Pada keadaan

defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada

permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungitva

ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan mebran basement dan

pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan

karena itu banyak penilitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan

manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat

sinar ultraviolet terjadi kerusakn limbal stem cell di daerah intrapalpebra.

Pemisahan fibroblas dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan

phenotype, pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum

dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal.

Lapisan fibroblast pada bagian pterigium menunjukkan matrix metalloproteinase,

dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyembuhan

luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa pterygium cenderung terus

tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi.

Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan

ploriferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium,

Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan

basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat

dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan elastic yang

sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.

Secara histopalogis ditemukan epitel konjungtiva irrekuler kadang-kadang

berubah menjadi gepeng. Pada puncak pteregyum, epitel kornea menarik dan pada

daerah ini membran bauman menghilang. Terdapat degenerasi stauma yang

berfoliferasi sebagai jaringan granulasi yang penuh pembulih darah. Degenerasi

ini menekan kedalam kornea serta merusak membran bauman dan stoma kornea

bagian atas.

Page 13: Presus Pteregium

F. Manifestasi klinis

Pterygium lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar rumah.

Bisa unilateral atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal. Pterygium

yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan walaupun

pterygium di daerah temporal jarang ditemukan. Kedua mata sering terlibat, tetapi

jarang simetris. Perluasan pterygium dapat sampai ke medial dan lateral limbus

sehingga menutupi sumbu penglihatan, menyebabkan penglihatan kabur.

Secara klinis pterygium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada

konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya

pada bagian nasal tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal. Deposit besi

dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterygium (stoker's

line).

G. Klasifikasi

Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu : body, apex (head) dan cap.

Bagian segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya kearah kantus

disebut body, sedangkan bagian atasnya disebut apex dan ke belakang disebut cap.

A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas

pinggir pterygium. Pembagian pterygium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi

atas 2 tipe, yaitu :

1. Progresif pterygium : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di

depan kepala pterygium (disebut cap pterygium).

2. Regresif pterygium : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi

membentuk membran tetapi tidak pernah hilang.

Pada fase awal pterygium tanpa gejala, hanya keluhan kosmetik. Gangguan

terjadi ketika pterygium mencapai daerah pupil atau menyebabkan astigatisme

karena pertumbuhan fibrosis pada tahap regresi. Kadang terjadi diplopia sehingga

menyebabkan terbatasnya pergerakan mata.

Page 14: Presus Pteregium

Pembagian lain pterygium yaitu :

1. Tipe I : meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau deposit besi

dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterygium. Lesi sering

asimptomatis meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien

dengan pemakaian lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.

2. Type II : menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren

setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan

astigmatisma.

3. Type III : mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual.

Lesi yang luas terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan

fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke fornik dan biasanya

menyebabkan gangguan pergerakan bola mata.10

Pterygium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu :

1. Grade I : Jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.

2. Grade II : Jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak

lebih dari 2 mm melewati kornea.

3. Grade III : Sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi

pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam

keadaan normal sekitar 3 – 4 mm)

4. Grade IV : Pertumbuhan pterygium melewati pupil sehingga

mengganggu penglihatan.

H. Diagnosa Banding

Secara klinis pterygium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang sama

yaitu pinguekula dan pseudopterygium. Bentuknya kecil, meninggi, masa

kekuningan berbatasan dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura

interpalpebra dan kadang-kadang mengalami inflamasi. Tindakan eksisi tidak

diindikasikan. Prevalensi dan insiden meningkat dengan meningkatnya umur.

Page 15: Presus Pteregium

Pinguekula sering pada iklim sedang dan iklim tropis dan angka kejadian sama

pada laki-laki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko

penyebab pinguekula.

Pertumbuhan yang mirip dengan pterygium, pertumbuhannya membentuk

sudut miring seperti pseudopterygium atau Terrien's marginal degeneration.

Pseudopterygium mirip dengan pterygium, dimana adanya jaringan parut

fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva bulbi menuju kornea. Berbeda dengan

pterygium, pseudopterygium adalah akibat inflamasi permukaan okular

sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah

atau ulkus perifer kornea. Untuk mengidentifikasi pseudopterygium, cirinya tidak

melekat pada limbus kornea. Probing dengan muscle hook dapat dengan mudah

melewati bagian bawah pseudopterygium pada limbus, dimana hal ini tidak dapat

dilakukan pada pterygium. Pada pseudopterygium tidak dapat dibedakan antara

head, cap dan body dan pseudopterygium cenderung keluar dari ruang fissura

interpalpebra yang berbeda dengan true pterygium.

I. Penatalaksanaan

Pterygium sering bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda.

Bila pterygium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata

dekongestan. Pengobatan pterygium adalah dengan sikap konservatif atau

dilakukan pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya

astigmatisme ireguler atau pterygium yang telah menutupi media penglihatan.

Lindungi mata dengan pterygium dari sinar matahari, debu dan udara

kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang berikan air mata

buatan dan bila perlu dapat diberi steroid. Bila terdapat delen (lekukan kornea)

beri air mata buatan dalam bentuk salep. Bila diberi vasokontriktor maka perlu

kontrol 2 minggu dan bila terdapat perbaikkan maka pengobatan dihentikan.

Keluhan fotofobia dan mata merah dari pterygium ringan sering ditangani

dengan menghindari asap dan debu. Beberapa obat topikal seperti lubrikans,

vasokonstriktor dan kortikosteroid digunakan untuk menghilangkan gejala

Page 16: Presus Pteregium

terutama pada derajat 1 dan derajat 2. Untuk mencegah progresifitas, beberapa

peneliti menganjurkan penggunaan kacamata pelindung ultraviolet.

Indikasi eksisi pterygium sangat bervariasi. Eksisi dilakukan pada

kondisi adanya ketidaknyamanan yang menetap, gangguan penglihatan bila

ukuran 3-4 mm dan pertumbuhan yang progresif ke tengah kornea atau aksis

visual, adanya gangguan pergerakan bola mata.1

Eksisi pterygium bertujuan untuk mencapai gambaran permukaan mata

yang licin. Suatu tehnik yang sering digunakan untuk mengangkat pterygium

dengan menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterygium kearah

limbus. Memisahkan pterygium kearah bawah pada limbus lebih disukai, kadang-

kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma jaringan sekitar otot. Setelah

eksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan.

Jenis-jenis operasi pterigium telah mulai dilakukan sejak awal tahun 1960-

an, termasuk :

a. Bare sclera : tidak ada jahitan atau jahitan, benang absorbable digunakan

untuk melekatkan konjungtiva ke sklera di depan insersi tendon rektus.

Meninggalkan suatu daerah sklera yang terbuka.

b. Simple closure : tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika

hanya defek konjungtiva sangat kecil).

c. Sliding flaps : suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap

konjungtiva digeser untuk menutupi defek.

d. Rotational flap : insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk

lidah konjungtiva yang dirotasi pada tempatnya.

e. Conjunctival graft : suatu free graft biasanya dari konjungtiva superior,

dieksisi sesuai dengan besar luka dan kemudian dipindahkan dan dijahit.

f. Amnion membrane transplantation : mengurangi frekuensi rekuren

pterygium, mengurangi fibrosis atau skar pada permukaan bola mata dan

penelitian baru mengungkapkan menekan TGF-β pada konjungtiva dan

fibroblast pterygium. Pemberian mytomicin C dan beta irradiation dapat

diberikan untuk mengurangi rekuren tetapi jarang digunakan.

Page 17: Presus Pteregium

g. Lamellar keratoplasty, excimer laser phototherapeutic keratectomy dan terapi baru dengan menggunakan gabungan angiostatik dan steroid.

J. Komplikasi

Komplikasi pterygium termasuk; merah, iritasi, skar kronis pada

konjungtiva dan kornea, pada pasien yang belum eksisi, distorsi dan penglihatan

sentral berkurang, skar pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan diplopia.

Komplikasi yang jarang adalah malignan degenerasi pada jaringan epitel di atas

pterygium yang ada.

Komplikasi sewaktu operasi antara lain perforasi korneosklera, graft

oedem, graft hemorrhage, graft retraksi, jahitan longgar, korneoskleral dellen,

granuloma konjungtiva, epithelial inclusion cysts, skar konjungtiva, skar kornea

dan astigmatisma, disinsersi otot rektus. Komplikasi yang terbanyak adalah

rekuren pterygium post operasi.

Page 18: Presus Pteregium

K. Prognosis

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak

nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien

setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas kembali.

Rekurensi pterygium setelah operasi masih merupakan suatu masalah sehingga

untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan

antimetabolit atau antineoplasia ataupun transplantasi dengan konjungtiva. Pasien

dengan rekuren pterygium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan

konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi

terjadi pada 3 – 6 bulan pertama setelah operasi.

Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga atau

karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock

dan mengurangi terpapar sinar matahari.

Page 19: Presus Pteregium

BAB III

PEMBAHASAN

Diagnosis pada pasien ditegakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan

oftalmologis. Dari anamnesis pada pasien didapatkan keluhan adanya selaput pada

mata kanan, desertai dengan rasa nyeri dan gatal. Keluhan berupa mata kanan

sering berair, tidak ada gangguan penglihatan namun pasien mengaku mata kanan

terasa ada yang mengganjal. Keadaan ini sesuai dengan kepustakaan yang

menyatakan bahwa Pteregium berupa adanya pertumbuhan selaput fibrovaskular

berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura

interpalpebra yang biasanya tanpa gejala atau bisa juga disertai dengan gejala

seperti mata merah, perih, gatal dan sering berair kadang disertai dengan

penurunan penglihatan.

Pada pemeriksaan oftalmologis didapatkan selaput tipis berbentuk segitiga

dari bagian temporal dan nasal dengan puncak mengarah ke kornea. Mata kanan

tampak sedikit hiperemis, dan berair,

Penyebab pasti pterigium sendiri masih belum diketahui, namun penyakit

ini lebih sering terjadi pada orang dengan factor resiko terkenan paparan matahari

(ultraviolet). Factor genetic juga berpengaruh pada pasien dengan keluarga yang

mememiliki riwayat keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan

autosom dominan. Factor lain yang dapat mencetuskan pterigium adalah adanya

iritasi atau inflamasi pada mata. Debu, kelembabab yang rendah, dan trauma dari

bahan partikel kecil tertentu juga bisa menjadi penyebab dari pteregium.

Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan tindakan Eksisi Pterygium yaitu

mengangkat pterigium dengan pisau datar. Operasi dengan menggunakan

mikrosokop dilakukan dibawah anestesi local, terlebih dahulu mata ditetes dengan

anestesi topikal pantokain. Dilakukan disinfeksi kemudian dipasang eye

speculum. Disuntikkan lidokain 0,5 ml dibawah badan pterigium dengan spuit 1

cc. Eksisi dimulai dari puncak pterigium pada korena dari bagian lateral dan juga

bagian medial pada kornea sampai pinggir limbus. Kemudian pterigium

diektirpasi bersama dengan jaringan tenon dibawahnya dengan menggunakan

Page 20: Presus Pteregium

gunting, setelah itu pteregium dari arah temporal dan dan nasal dijahit atau

disatukan dengan benang. Mata dibersihkan dengan larutan fisiologis, spkelumum

mata dilepas dan diberi salap mata. .

Pengobatan pterigium sesuai kepustakaan yaitu dengan memberikan

kortikosteroid untuk mengatasi peradangan yang sudah terjadi, lubrikans,

vasokontriktor deberikan untuk mengurangi gejala. bila terdapat delen (lekukan

kornea) dapat diberi ari mata buatan dalam bentuk salap. Terapi konservatif yaitu

dengan menghindari mata dari paparan langsung sinar matahari, debu dan udara

kering dengan cara memakai kaca mata pelindung.

Komplikasi pada pterigium berupa mata merah, iritasi, skar pada kornea

dan konjungtiva, pada pasien yang belum dieksisi dapat terjadi penurunan

penglihatan. Skar pada otot rektus medial dapat menyebabkan diplopia.

Komplikasi yang terbanyak adalah rekuren pterigium post operasi.

Prognosis pada pterigium adalah baik, kadang dapat menimbulkan rasa

tidak nyaman pada hari pertama post operasi. Pasien denga rekurensi dapat

dilakukan eksisi ulang dan graft. Umumnya rekurensi terjadi pada 3-6 bulan

pertama setelah operasi.

Page 21: Presus Pteregium

BAB IV

KESIMPULAN

Pasien perempuan 45 tahun dengan keluhan mata perih, gatal dan berair,

kadang mata terasa mengganjal, tidak ada gangguan pada penglihatan, keluhan

muncul sejak 3 minggu lalu. Diagnosis pterigium pada pasien ditegakkan

berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan oftalmologis.

Penatalaksanaan pada pasien ini yaitu dilakukan tindakan operatif berupa

eksisi pterigium.

Page 22: Presus Pteregium

DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. Dalam : Anatomi dan Embriologi Mata.

Oftamologi Umum. Edisi 14.

2. Lang Gerhart K. Conjunctiva. Ophthamology – A Short Text Book. Thieme 2000;

69-70.

3. Junqueira, L Carlos. 1998. Histologi Dasar. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC.

4. Coroneo MT, Di Girolamo N, Wakefield D: The Pathogenesis of Pterygium. Curr

Opin Ophthalmol 1999 Aug; 10(4): 282-8 [Medline].

5. Whitcher J.P., Pterygium, 2007, http://www.emedicine.com/EMERG/topic284.htm

6. Ferrer F.J.G., Schwab I.R., Shetlar D.J., 2000. Vaughan & Asbury’s General

Ophthalmology (16th edition), Mc Graw-Hill Companies, Inc., United States

7. Ilyas S., 2005, Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia

8. Misbach J., 1999. Neuro-Oftalmologi Pemeriksaan Klinis dan Interpretasi. Jakarta :

Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

9. Hartono, 2005. Ringkasan Anatomi dan Fisiologi Mata. Jogjakarta. Fakultas

Kedokteran Universitas Gadjah Mada.

10. Rocha, G. Surgical Management of Pterygium. Techniques in Ophthamology 2003;

1(1):22-28.