PRESENTASI KASUS DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER (DHF) Diajukan kepada Yth: dr. Ma’Mun, Sp. PD Disusun oleh : Libra Hendra Pranata G4A014104 Andrian Novatmiko G4A014107
PRESENTASI KASUS
DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER (DHF)
Diajukan kepada Yth:
dr. Ma’Mun, Sp. PD
Disusun oleh :
Libra Hendra Pranata G4A014104
Andrian Novatmiko G4A014107
SMF ILMU PENYAKIT DALAMRSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO
2015
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER (DHF)
Disusun Oleh :
Libra Hendra Pranata G4A014104
Andrian Novatmiko G4A014107
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di
bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Telah disetujui dan dipresentasikan
Pada tanggal : Mei 2015
Dokter Pembimbing :
dr. Ma’Mun, Sp. PD
STATUS PENDERITA
A. Identitas Pasien
Nama : Sdr. K
Umur : 25 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status perkawinan : Belum menikah
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh pabrik
Alamat : Perum Kalibagor
Autoanamnesis : Tanggal 20 April 2015
B. Anamnesa
Keluhan Utama : Demam
Keluhan Tambahan : Pusing dan mual
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke ke IGD RSMS dengan keluhan demam sejak 5 hari sebelum
masuk rumah sakit. Demam dirasakan mendadak dan terus menerus tidak turun.
Selain panas pasien juga mengeluhkan pusing dan mual akan tetapi tidak sampai
menyebabkan muntah. Pasien belum meminum obat penurun panas. Pasien
mengaku bahwa tetangga disekitar rumahnya ada yang sakit seperti pasien
berjumlah 9 orang.
Riwayat Penyakit dahulu :
Riwayat penyakit tekanan darah tinggi disangkal
Riwayat penyakit DM disangkal
Riwayat penyakit asma disangkal
Riwayat alergi disangkal
Riwayat penyakit Keluarga :
Riwayat penyakit tekanan darah tinggi disangkal
Riwayat penyakit kencing manis disangkal
Riwayat penyakit asma disangkal
Riwayat alergi disangkal
Riwayat sosial dan ekonomi
- Community :
Pasien mengaku terdaapat tetangganya yang mengalami penyakit yang
diderita oleh pasien saat ini.
- Home :
Daerah tempat pasien tinggal sering dilakukan fogging tetapi saat ini
belum di fogging lagi karena belum ada bantuan dari pemerintah.
C. Pemeriksaan Fisik
KU/Kes : Baik/Compos mentis
Vital Sign : T : 100/70 mmHg R : 20 x/menit
N : 80 x/menit S : 36,5 °C
Status Generalis
Kepala : Venektasi temporal (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-)
Mulut : Bibir sianosis (-), Lidah sianosis (-)
Leher : Deviasi trakea (-), JVP 5+2 cmH2O
Status Lokalis
PULMO
Inspeksi : Dinding dada simetris, Ketinggalan gerak (-)
Palpasi : Vokal fremitus lobus superior dextra = sinistra
Vokal fremitus lobus inferior dextra = sinistra
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Batas paru hepar di SIC V LMCD
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+, wheezing (-/-)
ronkhi basah halus (-/-), ronkhi basah kasar (-/-)
COR
Inspeksi : IC terlihat di SIC V 2 jari medial LMCS
Pulsasi Parasternal (-), Pulsasi Epigastrium (-)
Palpasi : IC teraba di SIC V 2 jari medial LMCS
Perkusi : Kanan atas di SIC II LPSD
Kiri atas di SIC II LPSS
Kanan bawah di SIC IV LPSD
Kiri bawah di SIC V 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1 > S2, reguler, murmur (-), gallop (-)
ABDOMEN
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) Normal
Palpasi : Supel, Nyeri tekan epigastrium (-),
Undulasi (-)
Perkusi : Timpani, Shifting dullness (-)
HEPAR : tidak teraba
LIEN : tidak teraba
EKSTREMITAS
Superior : Edema (-/-), akral hangat (+/+), sianosis (-/-)
Inferior : Edema (-/-), akral hangat (+/+), sianosis (-/-)
D. Pemeriksaan Laboratorium
Laboratorium tanggal 19 April 2015
• Hb : 13,6 gr/dl ↓ Normal : 14 - 18 gr/dl
• Leukosit : 5020/ml N Normal : 4.800 – 10.800/ml
• Hematokrit : 40 % ↓ Normal : 42%-52%
• Eritrosit : 5,6 juta/ml N Normal : 4,7-6,1 juta/ml
• Trombosit : 141.000/ml ↓ Normal : 150.000– 450.000/ml
• MCV : 71,8 fL ↓ Normal : 79 -99fL
• MCH : 24,5 pg ↓ Normal : 27-31 pg
• MCHC : 34,1 gr/dl N Normal : 33– 37gr/dl
• RDW : 14.6% ↑ Normal : 11,5-14.5
• MPV : 9,7 fL N Normal : 7,2-11,1
• Hitung Jenis
– Eosinofil : 0,2 % ↓ Normal : 2 – 4 %
– Basofil : 0,4 % N Normal : 0 – 1 %
– Batang : 0,00 % ↓ Normal : 2 – 5 %
– Segmen : 78,1 % ↑ Normal : 40 – 70%
– Limfosit : 13,9 % ↓ Normal : 25-40%
– Monosit : 7,4 % N Normal : 2 – 8%
• SGOT : 78 U/L ↑ Normal : 15 - 37 U/L
• SGPT : 29 U/L ↓ Normal : 30 – 65 U/L
• Ureum : 17,1 mg/dl N Normal : 14,98 – 38,52 mg/dl
• Kreatinin : 0,80 mg/dl N Normal : 0,6-1,0 mg/dl
• GDS : 77 mg/dl N Normal : <= 200 mg/dl
• IgG anti DHF Non reaktif Normal : Non reaktif
• IgM anti DHF Non reaktif Normal : Non reaktif
Laboratorium tanggal 20 April 2015
• Hb : 13,5 gr/dl ↓ Normal : 14 - 18 gr/dl
• Leukosit : 2460/ml ↓ Normal : 4.800 – 10.800/ml
• Hematokrit : 40 % ↓ Normal : 42%-52%
• Eritrosit : 5,5 juta/ml N Normal : 4,7-6,1 juta/ml
• Trombosit : 97.000/ml ↓ Normal : 150.000– 450.000/ml
Laboratorium tanggal 21 April 2015
• Hb : 13,2 gr/dl ↓ Normal : 14 - 18 gr/dl
• Leukosit : 3930/ml ↓ Normal : 4.800 – 10.800/ml
• Hematokrit : 39 % ↓ Normal : 42%-52%
• Eritrosit : 5,3 juta/ml N Normal : 4,7-6,1 juta/ml
• Trombosit : 85.000/ml ↓ Normal : 150.000– 450.000/ml
Laboratorium tanggal 22 April 2015
• Hb : 13,5 gr/dl ↓ Normal : 14 - 18 gr/dl
• Leukosit : 5760/ml N Normal : 4.800 – 10.800/ml
• Hematokrit : 40 % ↓ Normal : 42%-52%
• Eritrosit : 5,5 juta/ml N Normal : 4,2-6,1 juta/ml
• Trombosit : 105.000/ml ↓ Normal : 150.000– 450.000/ml
E. DIAGNOSA BANDING
Demam Typhoid
Campak
F. DIAGNOSIS
Dengeu Fever
G. TERAPI
1. Farmakologi :
- IVFD RL 20 tetes per menit
- Inj Omeprazole 1x1 amp
- P.O. Paracetamol 3x1 500mg
2. Non farmakologi :
- Bed rest
3. Rencana monitoring
a. Pengukuran hb, ht, leukosit, trombosit setiap 24 jam
b. Pemantauan vital sign
H. PROGNOSIS
Ad fungsional : dubia ad bonam
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopictus yang ditandai dengan demam mendadak 2 sampai 7 hari
tanpa penyebab yang jelas, lemah atau lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai
tanda perdarahan di kulit berupa bintik perdarahan (petechie), lebam
(echymosis), atau ruam (purpura), kadang-kadang mimisan, berak darah,
muntah darah, kesadaran menurun atau renjatan (shock) (Indrawan, 2001).
Demam berdarah dengue (Dengue Haemoragick Frever/DHF) ditandai
dengan empat gejala klinis utama: demam tinggi, fenomena hemoragi, sering
dengan hepatomegali dan pada kasus berat disertai tanda – tanda kegagalan
sirkulasi. Pasien ini dapat mengalami syok yang diakibatkanoleh kebocoran
plasma. Syok ini disebut sindrom syock dengue (DSS) dan sering
menyebabkan fatal (WHO, 1999)
B. Etiologi
Virus dengue merupakan bagian dari famili Flaviviridae. Keempat
serotype virus dengue yang disebut DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4
dapat dibedakan dengan metodologi serologi. Infeksi pada manusia oleh salah
satu serotype menghasilkan imunitas sepanjang hidup terhadap infeksi ulang
oleh serotype yang sama, tetapi hanya menjadi perlindungan sementara dan
parsial terhadap serotype yang lain. Virus-virus dengue menunjukkan banyak
karakteristik yang sama dengan flavivirus lain, mempunyai genom RNA
rantai tunggal yang dikelilingi oleh nukleotida ikosahedral dan terbungkus
oleh selaput lipid. virionnya mempunyai panjang kira-kira 11 kb (kilobases),
dan urutan genom lengkap dikenal untuk mengisolasi keempat serotype,
mengkode nukleokapsid atau protein inti (C), protein yang berkaitan dengan
membrane (M), dan protein pembungkus (E) dan tujuh gen protein
nonstruktural (NS). Domain-domain bertanggung jawab untuk netralisasi,
fusi, dan interaksi dengan reseptor virus berpengaruh dengan protein
pembungkus. (WHO, 1999; Sumarmo, 2005; Soegeng, 2003).
C. Epidemiologi
Meskipun wabah awal DHF terjadi tiba-tiba di Filipina dan Thailand,
studi retrospektif menunjukkan wabah terjadi didahului dengan masa di mana
kasus terjadi tetapi tidak diketahui. Di Thailand, wabah pertama terjadi di
Bangkok dalam pola siklus 2 tahun, kemudian selanjutnya dalam siklus yang
tidak teratur ke area penyebaran penyakit di seluruh negeri. DHF kemudian
menjadi endemik di banyak kota besar di Thailand dan akhirnya menyebar ke
kota kecil dan desa – desa selama periode epidemik. Pola serupa terlihat di
Indonesia, Myanmar dan Vietnam (WHO, 1999).
Selama pengalaman 40 tahun dengan dengue di wilayah Pasifik Barat
dan Asia Tenggara, dua pola epidemiologik telah ditemukan. Pertama
DHF/DSS telah timbul paling sering di area di mana terdapat endemik
serotype dengue multiple. Pola umum adalah bahwa kasus sporadic atau
wabah kecil di area perkotaan yang ukurannya meningkat dengan tetap
sampai terjadi wabah besar yang membuat penyakit menjadi perhatian pejabat
kesehatan masyarakat.
Penyakit tersebut biasanya membentuk pola aktivitas epidemik setiap 2-
5 tahun. Selain itu DHF/DSS secara khas menyerang pada anak-anak, dengan
usia saat dirawat 4-6 tahun. Pola kedua terlihat di area endemisitas rendah.
Serotype dengue multiple dapat ditularkan pada laju infeksi yang secara
relative rendah (di bawah 5% populasi pertahun). Pada area ini, orang dewasa
yang sebelumnya terinfeksi rentan terhadap infeksi dengue, dan anak-anak
serta dewasa muda, dengan usia 6-8 tahun juga mudah terkena (WHO, 1999;
Sumarmo, 2005; Soegeng, 2003).
D. Patogenesis
Demam berdarah dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue. Virus
merupakan salah satu mikroorganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel
hidup. Oleh karena itu, virus bersaing dengan sel manusia sebagai pejamu
(host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan
tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik
maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan
rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat
menimbulkan kematian (Suhendro, 2006).
Teori mengenai patogenesis DBD masih menjadi masalah yang
kontroversial. Teori yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder
(teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement.
Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang
mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang
heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD
berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus
lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen
antibodi. Setelah itu, terjadi ikatan dengan Fc reseptor dari membran sel
leokosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak
dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam
sel makrofag. Antibodi dependent enhancement (ADE) merupakan suatu
proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam
sel mononuklear sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi
mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok
(Suhendro, 2006).
Akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada
seorang pasien adalah respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam
waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan ransformasi limfosit
dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu,
replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi
dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan
mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi yang
selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a
dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular
ke ruang ekstravaskular. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya,
peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya
cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites) (Suhendro, 2006).
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue dapat mengalami
perubahan genetik akibat tekanan saat virus mengadakan replikasi baik pada
tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari
perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan
replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi
untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunyai
kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar (Suhendro, 2006).
Gambar 1. Patogenesis DHF
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi kilnis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau
dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah
dengue atau sindrom syok dengue (DSS). Pada umumnya pasien mengalami
fase demam selama 2-7 hari yang diikuti fase kritis selama 2-3 hari. Pada
waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai resiko
untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan tidak adekuat
(Suhendro dkk, 2006)
F. Penegakan Diagnosis
Infeksi virus dengue dapat asimptomatis atau dapat menimbulkan
demam undifferentiated, demam dengue (DF) atau demam berdarah dengue
(DHF). Dengan rembesan plama yang dapat menimbulkan syok (sindrom
syok dengue, DSS) (WHO, 1999; Sumarmo, 2005; Soegeng, 2003).
Secondary heterologous dengue infection
replikasi virus amnestic antibody response
kompleks virus – antibodi
aktivasi komplemen
anafilatoksin(C3a, C5a)
a) Demam dengue
Gambaran klinis dari DF sering tergantung pada usia pasien. Bayi
dan anak kecil dapat mengalami penyakit demam undifferentiated, sering
dengan ruam maklopapuler. Anak yang lebih besar dan orang dewasa
dapat mengalami baik sindrom demam atau penyakit klasik yang
melemahkan dengan mendadak demam tinggi, kadang-kadang dengan 2
puncak (punggung sadel), sakit kepala berat, nyeri di belakang mata,
nyeri otot dan tulang atau sendi, mual dan muntah, dan ruam. Perdarahan
kulit (petekie) tidak umum terjadi. Biasanya ditemukan leukopenia dan
mungkin tampak trombositopenia. Pemulihan mungkin berpengaruh
dengan keletihan dan depresi lama, khususnya pada orang dewasa. Pada
beberapa epidemik, DF dapat disertai dengan komplikasi perdarahan,
seperti epitaksis, perdarahan gusi, perdarahan gastrointestinal, hematuria,
dan menoragia. Selama wabah infeksi DEN-1 di Taiwan, Cina, studi
telah menunjukkan bahwa perdarahan gastrointestinal berat dapat terjadi
pada orang dengan penyakit ulkus peptikum yang ada sebelumnya.
Biasanya perdarahan berat dapat menyebabkan kematian pada kasus ini.
Namun demikian, angka fatalitas kasus DF adalah kurang dari 1%. Akan
penting artinya untuk membedakan kasus DF dengan perdarahan tak
lazim dari kasus-kasus DF dengan peningkatan permeabilitas vaskular,
yang terakhir ditandai dengan hemokonsentrasi. Pada banyak area
endemis, DF harus dibedakan dari demam chikungunya, penyakit virus
lain yang ditularkan oleh Vektor epidemiologi serupa (WHO, 1999;
Sumarmo, 2005; Soegeng, 2003).
b) Demam Berdarah Dengue
Kasus khas DHF ditandai oleh empat manifestasi klinis mayor:
demam tinggi, fenomena hemoragis, dan sering hepatomegali dan
kegagalan sirkulasi. Trombositopenia sedang sampai nyata dengan
hemokonsentrasi secara bersamaan, adalah temuan laboratorium klinis
khusus dari DHF. Perubahan patofisiologis utama yang menentukan
keparahan penyakit pada DHF dan yang membedakannya dengan DF
adalah rembesan plasma seperti dimanifestasikan oleh peningkatan
hematokrit (hematokonsentrasi, efusi serosa atau hipoprotemia). Anak-
anak dengan DHF umumnya menunjukkan peningkatan suhu tiba-tiba
yang disertai kemerahan wajah dan gejala konstituional non spesifik yang
menyerupai DF, seperti anoreksia, muntah, sakit kepala, dan nyeri otot,
atau tulang dan sendi. Beberapa pasien mengeluh sakit tenggorok, dan
nyeri faring sering ditemukan pada pemeriksaan, tetapi rhinitis dan batuk
jarang ditemukan. Nyeri konjungtiva mungkin terjadi. Ketidaknyamanan
epigastrik, nyeri tekan pada margin kosta kanan, dan nyeri abdominal
generalisata umum terjadi. Suhu biasanya tinggi (>39C) dan menetap
selama 2-7 hari. Kadang suhu mungkin setinggi 40-41 C; konfulsi virus
debris dapat terjadi terutama pada bayi (WHO, 1999; Sumarmo, 2005;
Soegeng, 2003).
Fenomena perdarahan paling umum adalah test tourniket positif,
mudah memar dan perdarahan pada sisi fungsi vena. Tampak pada
kebanyakan kasus adalah petekie halus meneyebar pada ekstremitas,
aksila, wajah dan platum lunak, yang biasanya terlihat selama fase
demam awal. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang terjadi; perdarahan
gastrointestinal ringan dapat terlihat selama periode demam. Hepar
biasanya dapat diraba pada awal fase demam dan bervariasi dalam
ukuran hanya teraba sampai 2-4 cm dibawah margin kostal. Meskipun
ukuran hepar tidak berpengaruh dengan keparahan penyakit, pembesaran
hepar terjadi lebih sering pada kasus-kasus syok daripada kasus nonsyok.
Hepar nyeri tekan, tetapi ikretik tidak selalu terlihat. Splenomegali jarang
ditemukan pada bayi; namun, limpa dapat tampak menonjol pada
pemeriksaan roentgen. Tahap kritis dari perjalanan penyakit dicapai pada
akhirfase demam. Setelah 2-7 hari demam, penurunan suhu cepat sering
disertai dengan tanda gangguan sirkulasi yang beratnya bervariasi. Pasien
dapat berkeringat, gelisah, ekstremitas dingin dan menunjukkan suatu
perubahan pada frekuensi nadi dan tekanan darah. Pada kasus kurang
berat, perubahan ini minimal dan tersembunyi, menunjukkan derajat
ringan dari rembesan plasma. Banyak pasien sembuh secara spontan, atau
setelah periode singkat terapi cairan dan elektrolit. Pada kasus yang lebih
berat, bila kehilangan plasma sangat banyak, terjadi syok dan dapat
berkembang dengan cepat menjadi syok hebat dan kematian bila tidak
diatasi dengan tepat. Keparahan penyakit dapat diubah dengan
mendiagnosis awal dan mengganti kehilangan plasma. Trombositopenia
dan hemokonsentrasi biasanya dapat terdeteksi sebelum demam
menghilang (WHO, 1999; Sumarmo, 2005; Soegeng, 2003).
Hingga kini diagnosis Demam berdarah masih berdasarkan atas
patokan yang telah dirumuskan oleh WHO pada tahun 1975 yang terdiri
dari 4 kriteria klinik dan 2 kriteria laboratorik dengan syarat bila kriteria
laboratorik terpenuhi ditambah minimal 2 kriteria klinik (satu
diantaranya ialah panas), dengan menggunakan kriteria WHO diatas
maka ketepatan diagnosis berkisar 70 – 90%. (Rempengan, 1997).
A. 4 Kriteria Klinik
1. Demam tinggi dengan mendadak dan terus-menerus selama
2-7 hari.
2. Manifestasi perdarahan, termasuk setidak-tidaknya uji
tournikuet positif dan salah satu bentuk lain (petekia,
purpura, ekimosis, epistaksis dan perdarahan gusi),
hematemesis dan atau melena.
3. Pembesaran hati
4. Renjatan yang ditandai oleh nadi lemah, cepat disertai
tekanan nadi menurun (menjadi 20mmHg atau kurang),
tekanan darah menurun (tekanan sistol menurun sampai
80mmHg atau kurang) disertai kulit teraba dingin dan
lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, penderita
menjadi gelisah, timbul sianosis di sekitar mulut.
B. Kriteria Laboratorik
Pemeriksaan laboratotium didapatkan trombositopenia
(100.000/mm3 atau kurang) dan hemokonsentrasi yang dapat
dilihat dari meningginya nilai hematokrit sebanyak 20% atau
lebih dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa
konvalesen (Rempengan, 1997; Staf Pengajar Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007).
c) Dengue Syock Sindrom (DSS)
Kondisi Pasien yang berkembang kearah syok tiba-tba
menyimpang setelah demam selama 2-7 hari. Penyimpanagan ini terjadi
pada waktu segera setelah penurunan suhu antara hari ketiga dan ketujuh
sakit. Terjadi tanda khas dari kegagalan sirkulasi: kulit menjadi dingin,
bintul-bintul, dan kongesti; sinosis sirkumoral sering terjadi; nadi
menjadi cepat. Pasien pada awal dapat mengalami letargi, kemudian
menjadi gelisah dan dengan cepat memasuki tahap kritis dan syok. Nyeri
abdominal akut adalah keluhan sering segera sebelum syok. DSS
biasanya ditandai dengan nadi cepat, lemah dengan penyempitan tekanan
nadi (<20 mm Hg), tanpa meperhatikan tingkat tekanan, misal 100/90
mm Hg atau hipotensi dengan kulit dingin dan lembab dan gelisah.
Pasien yag syok dalam bahaya kematian bila pengobatan yang tepat tidak
segera diberikan. Pasien dapat melewati tahap syok berat, dengan
tekanan darah atau nadi menjadi tidak terbaca. Namun, kebanyakan
pasien tetap sadar hampir pada tahap terminal. Durasi syok adalah
pendek: secara khas pasien meninggal 12-24 jam, atau sembuh dengan
cepat setelah terapi pengantian volume yang tepat. Efusi pleural dan
asites dapat terdeteksi melalui pemeriksaan fisik atau radiografi. Syok
yang tidak teratasi dapat menimbulkan perjalanan penyakit
terkomplikasi, dengan terjadinya asidosis metabolis, perdarahan hebat
dari saluran gastrointestinal dan organ lain, dan prognosisnya buruk.
Pasien dengan hemoragi intrakranial dapat mengalami konvulsi dan
koma. Esefalopati, yang dilaporkan kadang, dapat terjadi dalam
pengaruhnya dengan gangguan metabolis dan elektrolit atau perdarahan
intrakranial. Pemulihan pada pasien dengan DSS teratasi adalah singkat
dan tidak rumit. Bahkan pada kasus syok berat, jika tealah teratasi, pasien
yang dapat bertahan akan membaik dalam 2-3 hari, meskipun efusi
pleural dan asites masih tampak. Tanda prognosis yang baik adalah
keluaran urine adekuat dan kembali mempunyai nafsu makan. Temuan
umum selama masa penyembuhan DHF adalah bradikardia sinus atau
aritmia dan karakteristik ruam petekial konfluen dengan area bulat kecil
bagian kulit normal. Ruam makulopapular atau tipe rubella kurang umum
pada DHF disbanding DF dan mungkin terlihat baik pada awal atau tahap
lanjut penyakit. Perjalanan DHF kira-kira 7-10 hati. Umumnya tidak
terdapat keletihan lama (Depkes RI, 1995)
G. Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat
kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah
bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang
perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.
Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya
terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7
proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang
interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara
bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian
cairan sudah cukup atau kurang pemantauan terhadap kemungkinan
terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang
masif perlu selalu diwaspadai.
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandung-an gizi
yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi
saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa
parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia.
Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari
karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas
(lambung/duodenum). Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama
penatalaksanaan DBD dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol
WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut : (Chen,
Herdiman, Sinto, 2009).
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok
Gambar 2. Guideline rawat inap suspek DBD tanpa syok
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
Gambar 3. Pemberian cairan pasa suspek DBD
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%
Gambar 4. Penatalaksanaan DBD dengan Ht >20%
4. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa
Gambar 5. Penatalaksanan syok dengue pada orang dewasa
H. Komplikasi
1. Gangguan keseimbangan elektrolit meliputi hiponatremia, hipokalsemia,
dan hipokalemia.
2. Overhidrasi
3. Ensefalopati atau ensefalitis
4. Hepatik ensefalopati
5. Gagal hepar
6. Gagal ginjal yang dapat disebabkan karena syok lama, hepatorenal
sindrom dan hemoglobinuria
7. Gangguan metabolisme seperti hipoglikemia
8. Infeksi penyerta antara lain
a. Infeksi gastrointestinal
b. Infeksi saluran napas misalnya pneumonia
c. Infeksi saluran kemih
d. Infeksi kulit dan jaringan lunak (Rampengan, 2007).
I. Prognosis
Apabila hanya didapatkan DHF tanpa disertai syok, dalam 24-36 jam
biasanya prognosis akan menjadi baik. Jika lebih dari 36 jsm belum ada
tanda-tanda perbaikan, kemungkinan sembuh kecil dan prognosis menjadi
buruk. Penyebab kematian pada DHF atau DSS adalah syok yang lama,
overhidrasi, perdarahan masif, serta DHF dan DSS dengan manifestasi klinis
yang tidak lazim (Rampengan, 2007).
J. Pencegahan
Upaya pemberantasan DBD dititikberatkan pada pemberantasan
nyamuk penularnya (Aedes aegypti). Pemberantasan nyamuk dilakukan
dengan menyemprotkan insektisida. Namun selama jentiknya masih dibiarkan
hidup, maka akan timbul lagi nyamuk yang baru yang selanjutnya dapat
menularkan penyakit ini kembali. Oleh karena itu, dalam program P2 DBD
penyemprotan insektisida dilakukan terbatas dilokasi yang mempunyai
potensi untuk berjangkit kejadian luar biasa. Pemberantasan DBD yang
penting adalah upaya membasmi jentik nyamuk penular ditempat perundukan
dengan melakukan "3M" yaitu :
1. Menguras tempat-tempat penampungan air secara teratur sekurang-
kurangnya seminggu sekali atau menaburkan bubuk abate kedalamnya.
2. Menutup rapat tempat penampungan air.
3. Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat
menampung air hujan seperti kaleng-kaleng bekas, plastik dan lain-lain.
Strategi program pemberantasan meliputi :
1. Kewaspadaan dini DBD, guna mencegah dan membatasi terjangkitnya
kejadian luar biasa (KLB)
2. Pemberantasan intensif di daerah endemis, melalui pelaksanaan:
a. Penyemprotan massal sebelum musim penularan disertai abatisasi
selektif
b. Penggerakkan masyarakat dalam PSN DBD melalui penyuluhan
dan motivasi dengan memanfaatkan berbagai jalur komunikasi dan
informasi yang ada, Kegiatan Pokok Pemberantasan Penyakit
Demam Berdarah Dengue.
Kegiatan pelaksanaan program P2 Demam Berdarah Dengue meliputi :
1. Penemuan dan pengobatan program cepat kasus DBD di seluruh
wilayah.
2. Melaksanakan pemberantasan insentif di kecamatan endemis berdasarkan
stratifikasi endemisitas desa.
Penyuluhan dan penggerakkan masyarakat dalam PSN DBD dilaksanakan
melalui kerja sama lintas sektor dan program, termasuk LSM yang terkait
penyuluhan, bimbingan dan motivasi kepada masyarakat. Hal ini dilakukan
dalam rangka untuk mewujudkan kemandirian masyarakat dalarn mencegah
DBD melalui PSN, termasuk penyediaan abate yang dapat dibeli bebas,
terutama di wilayah yang penyediaan air bersihnya terbatas, baik secara
perorangan maupun kelompok, misalnya melalui dana sehat (Siregar, 2004;
Widoyono, 2011).
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. 1995. Petunjuk Teknis Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah. Direktorat Jenderal. PPM & PLP, Buku Paket B. Jakarta.
Indrawan. 2001. Mengenal dan Mencegah Demam Berdarah. Bandung: Pioner Jaya.
Rampengan, T.H. 2007. Penyakit Infeksi Tropis pada Anak. Edisi 2. Jakarta : EGC.
Siregar, Faziah A. 2004. Epidemiologi dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia. Sumatera Utara: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas.
Soegeng, S. 2003. Demam Berdarah Dengue. Surabaya : Arilangga University Press.
Sumarmo. 2005. Demam Berdarah (Dengue) pada Anak. Jakarta : UI Press.
Suhendro, Leonard Nainggolan, Khie Chen, Herdiman T. Pohan. 2006. Demam berdarah Dengue dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI
World Health Organisation. 1999. Demam Berdarah Dengue, Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan, dan Pengendalian. Alih Bahasa oleh Monica Ester. Ed.2. Jakarta : EGC.
Widoyono, 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan Dan Pemberantasannya. Edisi 2. Jakarta: Erlangga.