Top Banner
BAB III TINJAUAN PUSTAKA III.1. DIABETES MELLITUS TIPE 2 III.1.1. Definisi Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang mengganggu metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein karena defisiensi sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (Masharani dan Michael, 2007). Selan itu, DM juga merupakan kumpulan masalah anatomi dan kimiawi akibat dari banyak faktor. Hal ini mengakibatkan defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin (Gustaviani, 2006). Pada kasus DM tipe 2 dapat terjadi dominan resistensi insulin relatif disertai defisiensi insulin relatif sampai dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin (Perkeni, 2011). III.1.2. Faktor Resiko Faktor risiko pada DM ada yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi (Perkeni, 2011), yaitu : Faktor risiko tidak bisa dimodifikasi : Ras dan Etnik
36

Prescil Dr Suharno Dm

Aug 05, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Prescil Dr Suharno Dm

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1. DIABETES MELLITUS TIPE 2

III.1.1.Definisi

Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia yang mengganggu metabolisme karbohidrat,

lipid, dan protein karena defisiensi sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya

(Masharani dan Michael, 2007). Selan itu, DM juga merupakan kumpulan

masalah anatomi dan kimiawi akibat dari banyak faktor. Hal ini mengakibatkan

defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin (Gustaviani,

2006). Pada kasus DM tipe 2 dapat terjadi dominan resistensi insulin relatif

disertai defisiensi insulin relatif sampai dominan defek sekresi insulin disertai

resistensi insulin (Perkeni, 2011).

III.1.2.Faktor Resiko

Faktor risiko pada DM ada yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat

dimodifikasi (Perkeni, 2011), yaitu :

Faktor risiko tidak bisa dimodifikasi :

Ras dan Etnik

Usia lebih dari 40 tahun

Riwayat keluargan dengan DM

Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram atau riwayat

pernah menderita DM gestasional

Faktor risiko yang bisa dimodifikasi :

Berat badan lebih (IMT > 23)

Hipertensi (140/90 mmHg)

Dislipidemia

Page 2: Prescil Dr Suharno Dm

Diet yang tidak sehat (diet tinggi gula dan rendah serat)

Kurang aktivitas fisik

III.1.3.Patofisiologi

Permasalahan utama pada DM tipe 2 bukan karena kekurangan insulin,

tetapi pada sensitivitas dari sel target yang berkurang terhadap insulin atau disebut

dengan resistensi insulin (Sherwood, 2010). Resistensi insulin menyebabkan

hiperglikemia karena terjadi gangguan penggunaan glukosa pada sel dan

peningkatan output glukosa hepar (Powers, 2005). Ada banyak spekulasi yang

menyebabkan terjadinya resistensi insulin. Salah satu teori yang dikemukakan

adalah penurunan reseptor insulin dan aktivitas tirosin kinase. Tetapi, hal ini

bukan penyebab primer dari resistensi insulin, karena penurunan tersebut

merupakan dampak dari hiperinsulinemia. Defek pada post reseptor diyakini

sebagai penyebab primer dari resistensi insulin, yaitu defek sinyal PI-3 kinase

yang menyebabkan translokasi GLUT-4 pada membran plasma berkurang

(Powers, 2005). Teori lainnya menyebutkan bahwa obesitas dapat menyebabkan

resistensi insulin. Adiposit yang berlebih akan mensekresi sitokin TNF- , yang

berperan untuk menghambat lipogenesis dan meningkatkan aktivitas lipolisis

sehingga kadar asam lemak bebas atau free fatty acid (FFA) meningkat. TNF-

akan mengganggu sinyalisasi insulin dalam proses fosforilasi reseptor insulin dan

mengurangi ekspresi GLUT-4 (Kahn dan Jeffrey 2000). Hal ini akan menggangu

konsumsi glukosa oleh otot rangka, menstimulus produksi glukosa hepar dan

menggangu fungsi sel beta sehingga terjadi hiperglikemia (Powers, 2005).

Page 3: Prescil Dr Suharno Dm

Gambar 1. Mekanisme Kerja Insulin (Powers, 2005).

III.1.4.Gejala

Gejala khas atau klasik dari DM, yaitu : poliuria, polidipsia, polifagia, dan

penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Sedangkan gejala

tidak khasnya berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, difungsi ereksi

pada pria, pruritus vulvae pada wanita (Perkeni, 2011).

III.1.5.Diagnosis

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui berbagai cara, diantaranya adalah

sebagai berikut (Perkeni, 2011) :

Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl dengan keluhan klasik

Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dl dengan keluhan klasik

Tes toleransi glukosa oral (TTGO) 200 mg/dl, dengan menggunakan

beban glukosa setara dengan 75 gr glukosa yang dilarutkan ke dalam air.

Pemeriksaan HbA1C 6,5 % dengan gejala klasik

Sedangkan untuk kelompok tanpa keluhan khas, yang mendapatkan hasil

pemeriksaan kadar glukosa darah pertama kali abnormal, diagnosis DM belum

cukup kuat untuk ditegakkan. Diperlukan pemeriksaan lebih lanjut dengan

melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah sekali lagi, jika hasil pemeriksaan

glukosa darah masih menunjukkan hasil yang abnormal, diagnosis DM dapat

ditegakkan (Gustaviani, 2006).

III.1.6.Penatalaksanaan

Penatalaksanaan DM secara umum adalah untuk meningkatkan kualitas

hidup penderita DM (Perkeni, 2011). Tujuan penatalaksanaan DM, yaitu:

Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan

rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.

Page 4: Prescil Dr Suharno Dm

Jangka panjang : mencegah dan terhambat progresivitas penyulit berupa

mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.

Tujuan akhir pengelolaan DM adalah menurunkan angka morbiditas

dan mortalitas dini DM.

Pengelolaan DM dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan jasmani

selama beberapa waktu (2 - 4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum

mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik

oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera

diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan

dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis berat, stres berat, berat

badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera

diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tanda dan gejala

hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan pada pasien, sedangkan

pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah

mendapat pelatihan khusus (Perkeni, 2011).

1. Edukasi

Edukasi yang diberikan kepada pasien DM meliputi pemahaman tentang :

perjalanan penyakit DM, makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM,

penyulit DM dan risikonya, intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta

target perawatan, interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat

hipoglikemik oral atau insulin serta obat-obatan lain, cara pemantauan glukosa

darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin mandiri, mengatasi sementara

keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau hipoglikemia, pentingnya latihan

jasmani yang teratur, masalah khusus yang dihadapi (contoh: DM pada

kehamilan), serta pentingnya perawatan diri.

2. Terapi gizi medis (TGM)

Pada penderita DM perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam

hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang

menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin (Perkeni, 2011).

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :

Page 5: Prescil Dr Suharno Dm

a. Karbohidrat

Dianjurkan sebesar 45-65 % total asupan energi

Sukrosa tidak boleh lebih dari 10% total asupan energi

Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak

melebihi batas aman konsumsi harian.

Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat per hari

b. Lemak

Dianjurkan sekitar 20 – 25% kebutuhan kalori. Lemak jenuh < 7%

kebutuhan kalori dan Lemak tidak jenuh ganda < 10 % kebuthan kalori.

Membatasi makanan yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak

trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole milk)

Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal

dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA / Mono Unsaturated Fatty

Acid), membatasi PUFA (Poly Unsaturated Acid) dan asam lemak jenuh

c. Protein

Dibutuhkan sebesar 15 – 20% total asupan

energi

Sumber protein yang baik adalah ikan,

seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak,

kacang-kacangan, tahu dan tempe

Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan

asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB/hari atau 10% dari kebutuhan energi

dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi

d. Garam

Tidak > 3000 mg atau sama dengan 6 – 7 g (1

sendok teh) garam dapur

Pembatasan natrium sampai 2400 mg atau sama dengan 6g/hari terutama

pada penderita hipertensi

e. Serat

Page 6: Prescil Dr Suharno Dm

Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari,

diutamakan serat larut

f. Pemanis

Batasi penggunaan pemanis bergizi

Fruktosa tidak dianjurkan karena efek

samping pada lipid plasma

Pemanis aman digunakan sepanjang tidak

melebihi batas aman

3. Latihan jasmani

Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama + 30 menit

yang sifatnya CRIPE, yaitu:

Continous Latihan berkesinambungan, terus-menerus tanpa henti.

Rytmical Latihan olah raga harus dipilih yang berirama agar otot-otot

berkontraksi dan berelaksasi secara teratur.

Interval Latihan dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat.

Contoh : jalan cepat diselingi dengan jalan lambat.

Progressive Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari

intensitas ringan.

Endurance Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan

kardiorespirasi, seperti jalan (jalan santai/cepat, sesuai umur), jogging,

berenang dan bersepeda.

Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan jasmani ini adalah jangan sampai

memulai olah raga sebelum makan.

4. Terapi Farmakologis

a. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

Intervesi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum

tercapai dengan TGM dan latihan jasmani (Perkeni, 2011). Berdasarkan cara

kerjanya, Obat Hipoglikemik Oral (OHO) dibagi menjadi 5 golongan, yaitu :

Page 7: Prescil Dr Suharno Dm

Pemicu sekresi insulin (insuline secretagogue): sulfonilurea dan

glinid

Penambah sensitifitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion

Penghambat glukoneogenesis : metformin

Pengambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase α

DPP IV inhibitor

Cara pemberian OHO terdiri dari :

Dimulai dengan dosis kecil, ditingkatkan

secara bertahap sesuai respon kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai

dosis hampir maksimal

Sulfonilurea generasi I & II : 15 – 30

menit sebelum makan

Glimepiride, Repaglinid, Nateglinid :

sebelum / sesaat sebelum makan

Metformin : sebelum / pada saat / sesudah

makan karbohidrat

Tiazolidindion : tidak bergantung pada

jadwal makan

Acarbose : bersama suapan pertama

makan

DPP – IV inhibitor : bersamaan dengan

makan dan atau sebelum makan

Tabel 1. Perbandingan Golongan OHO

Golongan Cara KerjaEfek

SampingPenurunan A1C

SulfonilureaMeningkatkan sekresi insulin

BB naik, hipoglikemia

1 – 2 %

GlinidMeningkatkan sekresi insulin

BB naik, hipoglikemia

0,5 – 1,5 %

Metformin Menekan produksi glukosa hati &

Diare, dyspepsia,

1 – 2 %

Page 8: Prescil Dr Suharno Dm

menambah sensitifitas terhadap insulin

asidosis laktat

Penghambat glukosidase α

Menghambat absorpsi glukosa

Flatulens, tinja lembek

0,5 – 0,8 %

Tiazolidindion

Menambah sensitifitas terhadap insulin

Edema 0,5 – 1,4 %

DPP – IV Inhibitor

Meningkatkan sekresi insulin, menghambat sekresi glukagon

Sebah, muntah 0,5 – 0,8 %

Sumber : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011

b. Suntikan

Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan : penurunan berat badan yang cepat,

hiperglikemia berat yang disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia

hiperosmolar nonketotik, hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan

kombinasi OHO dosis hampir maksimal, stres berat (infeksi sistemik, operasi

besar, IMA, stroke), DM gestasional yang tidak terkendali dengan TGM,

gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat, serta kontraindikasi dan atau alergi

terhadap OHO. Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yaitu :

Insulin kerja cepat ( rapid acting insulin )

Insulin kerja pendek ( short acting insulin )

Insulin kerja menengah ( intermediate acting

insulin )

Insulin kerja panjang ( long acting insulin )

Insuln campuran tetap ( premixed insulin )

Efek samping terapi insulin yang utama adalah terjadinya hipoglikemia. Selain

itu, efek samping yang lain berupa reaksi imun terhadap insulin yang dapat

menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin

Agonis GLP-1/Incretin Mimetic

Page 9: Prescil Dr Suharno Dm

Pengobatan baru untuk pengobatan DM adalah Agonis GLP-1/Incretin

Mimetic. Agonis GLP-1 bekerja sebagai perangsang pelepasan insulin yang tidak

menimbulkan hipoglikemia atau peningkatan berat badan yang biasanya terjadi

pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan

mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah

menghambat pelepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses

glukoneogenensis. Efek samping yang timbul adalah sebah dan muntah.

Tabel 2. Perbandingan Obat Hipoglikemia Suntikan

Golongan Cara KerjaEfek

SampingPenurunan

A1C

InsulinMenekan produksi glukosa hati, stimulasi pemanfaatan glukosa

Sebah, muntah 1,5 – 3,5 %

DPP – IV Inhibitor

Meningkatkan sekresi insulin, menghambat sekresi glukagon

Hipoglikemi, BB naik

0,5 – 1 %

Tabel 3. Jenis – Jenis Insulin

Nama Lama Kerja Kemasan

Insulin Short Acting

Reguler (Actrapid, Humulin-R) 3 – 5 jam Vial, pen/cartridge

Insulin Analog Rapid Acting

Insulin Lispro (Humalog) 3 – 5 jam Pen/cartridge

Insulin Glulisine (Apidra) 3 – 5 jam Pen

Insulin Aspart (Novorapid) 3 – 5 jam Pen, vial

Insulin Intermediate Action

NPH (Insulatard, Humulin N) 10 - 16jam Vial, pen/cartridge

Page 10: Prescil Dr Suharno Dm

Insulin Long Acting

Insulin glargine (Lantus) 18 – 26 jam Pen

Insulin Detemir (Levemir) 22 – 24 jam Pen

c. Terapi Kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk

kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah.

Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat

dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi. Terapi OHO dengan

kombinasi harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai

mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat

pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi

OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai alasan klinik dimana insulin tidak

memungkinkan untuk dipakai, dipilih terapi kombinasi dengan tiga OHO. Untuk

kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi

OHO dan insulin basal (insulin kerja sedang/panjang) yang diberikan pada malam

hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat

diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil.

Dosis awal insulin kerja menengah/panjang adalah 10 unit yang diberikan sekitar

jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar

glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar

glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka obat hpoglikemik oral

dihentikan dan diberikan insulin. (PERKENI, 2011)

III.1.7.Komplikasi

Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut maupun

menahun, diantaranya adalah :

1. Penyulit akut

Penyulit akut DM sampai saat ini masih merupakan kegawatan yang harus

ditangani dengan tepat dan benar karena hanya dengan cara itulah angka

kematiannya dapat ditekan serendah mungkin.

Page 11: Prescil Dr Suharno Dm

Ketoasidosis diabetik

Hiperosmolar nonketotik

Hipoglikemia

2. Penyulit menahun

Makroangiopati, yang melibatkan :

Pembuluh darah jantung

Pembuluh darah tepi

Pembuluh darah otak

Mikroangiopati:

Retinopati diabetik

Nefropati diabetik

Neuropati

III.2. GAGAL GINJAL KRONIK

III.2.1.Definisi

Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama

lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal

seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal diagnosis penyakit ginjal

kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60

ml/menit/1,73m². 1.2

Pada pasien dengan penyakit GGK, klasifikasi stadium ditentukan oleh

nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai

laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit

ginjal kronik dalam lima stadium, yaitu :

Tabel 4. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan LFG.1,3

Derajat PenjelasanLFG

(mL/menit/1,73m2)

1Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑

≥ 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89

Page 12: Prescil Dr Suharno Dm

3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-59

4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29

5 Gagal ginjal <15 atau dialisis

III.2.2.Etiologi1,3,4

Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal

Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak

sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%)

dan ginjal polikistik (10%).

1. Glomerulonefritis

Glomerulonefritis akut merupakan penyakit ginjal dimana mekanisme imun

memicu peradangan dan proliferasi jaringan glomerular yang mengakibatkan

kerusakan pada membran basal, mesangium atau endotelium kapiler. Hippocrates

awalnya menggambarkan manifestasi nyeri punggung dan hematuria, lalu juga

oliguria atau anuria. Dengan berkembangnya mikroskop, Langhans mampu

menggambarkan perubahan pathophysiologic glomerular ini. Sebagian besar

penelitian asli berfokus pada pasien pasca-streptococcus.. Glomerulonefritis akut

didefinisikan sebagai serangan yang tiba-tiba menunjukkan adanya hematuria,

proteinuria, dan silinder sel darah merah. Gambaran klinis ini sering disertai

dengan hipertensi, edema, dan fungsi ginjal terganggu.2

Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan

primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal

dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal

terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus

sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis. Kebanyakan kasus terjadi

pada pasien berusia 5-15 tahun. Hanya 10% terjadi pada pasien yang lebih tua dari

40 tahun. Gejala glomerulonefritis akut yaitu dapat terjadi hematurim oligouri,

edema preorbital yang biasanya pada pagi hari, hipertensi, sesak napas, dan nyeri

pinggang karena peregangan kapsul ginjal.2

2. Diabetes Melitus (DM)

Page 13: Prescil Dr Suharno Dm

Menurut American Diabetes Association (2003) diabetes melitus merupakan

suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang

terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua duanya. DM sering

disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua

organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. DM dapat timbul secara

perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti

minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat

badan yang menurun. Terjadinya DM ditandai dengan gangguan metabolisme dan

hemodinamik yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, meningkatkan

tekanan darah sistemik, dan mengubah pengaturan tekanan intrakapiler. Di ginjal,

perubahan ini mungkin menyebabkan munculnya protein dalam urin. Kehadiran

protein urin tidak hanya tanda awal penyakit ginjal diabetes, tetapi dapat

menyebabkan kerusakan dan tubulointerstitial glomerular yang pada akhirnya

mengarah ke glomerulosclerosis diabetes. Hubungan yang kuat antara proteinuria

dan komplikasi diabetes lainnya mendukung pandangan bahwa peningkatan

ekskresi protein urin mencerminkan gangguan vaskular umum yang

mempengaruhi banyak organ, termasuk mata, jantung, dan sistem saraf .2,4

3. Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah

diastolik ≥ 90 mmHg pada seseorang yang tidak makan obat anti hipertensi.

Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu

hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau

idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal.5,6

Tabel 5. Klasifikasi tekanan darah sistolik, diastolik, modifikasi gaya hidup,

serta terapi obat berdasarkan Joint National Committee (JNC) VII:5,6

Klasifikasi Tekanan

Darah

Sistolik (mmHg)

Diastolik (mmHg)

Modifikasi Gaya Hidup

Terapi

Normal < 120 < 80 Edukasi Tidak perlu obat antihipertensiPrehipertensi 120 – 139 80 – 89 Ya

Stage 1 HT 140 – 159 90 – 99 Ya Thiazid tipe diuretik.

Page 14: Prescil Dr Suharno Dm

Dapat juga ACEI, ARB, BB, CCB/kombinasi

Stage 2 HT > 160 > 100 Ya

Kombinasi 2 jenis obat (misalnya thiazid tipe diuretik dan ACEI/ARB/BB/ CCB)

Target tekanan darah pada pasien dengan CKD atau DM adah <130/80 mmHg.

III.2.3 Epidemiologi

Di Amerika Serikat menyatakan insidens penyakit GGK diperkitakan 100

juta kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap

tahunnya. Di Malaysia diperkirakan terdapat 1800 kasus baru GGK pertahunnya.

Di Negara berkembang lainnya, insidens ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus

perjuta penduduk per tahun. Penyebab GGK yang menjalani hemodialisis di

Indonesia tahun 2000:1,7

Glomerulonefritis (46,39%)

Diabetes Mellitus (18,65%)

Obstruksi dan infeksi (12,85%)

Hipertensi (8,46%)

Sebab lain (13,65%)

Penyakit GGK lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Insidennya

pun lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit putih.2

III.2.4.Faktor risiko

Faktor risiko GGK, yaitu pada pasien dengan DM atau hipertensi, penyakit

autoimun, batu ginjal, sembuh dari gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, berat

badan lahir rendah, dan faktor sosial dan lingkungan seperti obesitas atau

perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit DM,

hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga, berpendidikan rendah, dan

terekspos dengan bahan kimia dan lingkungan tertentu.3

III.2.5.Patofisiologi

Page 15: Prescil Dr Suharno Dm

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada

penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang

terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi

struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nefron) sebagai

upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan

growth factors. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan

tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini berlangsung

singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa skelrosis nefron yang

masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang

progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.1,2

Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron

intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis,

dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-

aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth

factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya

progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,

dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan

fibrosis glomerolus maupun interstitial.1

Perjalanan umum GGK dapat dibagi menjadi empat stadium. Stadium

ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum

dan kadar BUN normal dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal

mungkin hanya dapat diketahui dengan memberi beban kerja yang berat pada

ginjal tersebut, seperti test pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan

test LFG yang teliti.1

Stadium sedang perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, dimana

lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari

normal). Pada tahap ini kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal.

Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung dari kadar protein

dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai meningkat

melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila penderita misalnya

mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada stadium

Page 16: Prescil Dr Suharno Dm

insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh

kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala ini timbul sebagai respons

terhadap stress dan perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba.1

Stadium berat dan stadium terminal GGK disebut gagal ginjal stadium

akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar 90% dari

massa nefron telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih

utuh. Nilai LFG hanya 10% dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin

sebesar 5-10 ml per menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatinin serum dan

kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok sebagai respons terhadap

penurunan LFG. Pada stadium akhir, penderita mulai merasakan gejala-gejala

yang cukup parah, karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis

cairan dan elektrolit dalam tubuh. Kemih menjadi isoosmotis dengan plasma pada

berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya menjadi oligourik

(pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus.

Kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik

mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal,

penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia mendapat pengobatan dalam

bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.1

III.2.6.Gambaran Klinik

Gambaran klinik GGK berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks,

meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: 1,2,7

1. Kelainan hemopoeisis

Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering

ditemukan pada pasien GGK. Anemia terutama disebabkan oleh defisiensi

eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah

defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa

hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,

penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun

kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau

hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum /

Page 17: Prescil Dr Suharno Dm

serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin

serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya

hemolisis dan sebagainya. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab

utamanya, di samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin

(EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal

kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan

yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat mengakibatkan

kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran

hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL.1,7

2. Kelainan saluran cerna

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien

GGK terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum

jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga

terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan

mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera

mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.2

3. Kelainan mata

Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil

pasien GGK. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat

pengobatan GGK yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata

menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina

(retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai

pada pasien GGK. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva

menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi.

Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien GGK akibat penyulit

hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.

4. Kelainan kulit

Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan

diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan

Page 18: Prescil Dr Suharno Dm

segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan

bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan

dinamakan urea frost.1,3

5. Kelainan neuropsikiatri

Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan

depresi sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental berat seperti konfusi,

dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai. Kelainan

mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa

hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya.

6. Kelainan kardiovaskular

Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada GGK sangat kompleks.

Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem

vaskular, sering dijumpai pada pasien GGK terutama pada stadium terminal dan

dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.

III.2.7.Pendekatan Diagnosis

Pendekatan diagnosis GGK dilihat dari anamnesis, pemeriksaan fisik,

gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaharan histopatologis.1,6

Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)

Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi

Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)

Menentukan strategi terapi rasional

Meramalkan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan

pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik

diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Page 19: Prescil Dr Suharno Dm

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang

berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK,

perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal

(LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan

laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan

tergantung dari derajat penurunan faal ginjal. Gambaran klinis pasien penyakit

ginjal kronik meliputi :

Sesuai dengan penyakit yang mendasari;

Sindrom uremia yang terdiri dari : lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah,

nokturia, kelebihan cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritusm

uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma;

Gejala komplikasinya antara lain : hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,

payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit

(sodium, kalium, chlorida).1

2. Pemeriksaan laboratorium

Gambaran laboratorium penyakit GGK sesuai dengan penyakit yang

mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin

serum, dan penurunan LFG yang dapat dihitung mempergunakan rumus

Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah lainnya, seperti penurunan kadar

hemoglobin, hiper atau hipokalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia. Kelainan

urinanalisi meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, dan silinder.1

3. Pemeriksaan penunjang diagnosis

Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:1

Foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak

Pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras sering

tidak bisa melewati filter glomerolus, selain itu dikhawatirkan terjadi

pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami

kerusakan

Pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi

Page 20: Prescil Dr Suharno Dm

Ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,

korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, mass

Pemeriksaan renografi dikerjakan bila ada indikasi.

III.2.8.Penatalaksanaan1,2,3,7

1. Terapi konservatif

Tujuan terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara

progresif, meringankan keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki

metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.

Peranan diet Diet rendah protein menguntungkan untuk mencegah atau

mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan

terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.

Kebutuhan jumlah kalori Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk

GGK harus adekuat agar dapat mempertahankan keseimbangan positif

nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.

Kebutuhan cairan Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus

adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.

Kebutuhan elektrolit dan mineral Kebutuhan jumlah mineral dan

elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyebab dasar

penyakit ginjal tersebut (underlying renal disease).

2. Terapi simptomatik

Asidosis metabolik Asidosis metabolik harus dikoreksi karena

meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan

mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali (sodium

bicarbonat) yang harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau

serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.

Anemia Dapat diberikan eritropoetin pada pasien GGK. Dosis inisial 50

u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis

pemberian menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg dan

tidak lebih dari tiga kali dalam seminggu.8 Transfusi darah misalnya Paked

Page 21: Prescil Dr Suharno Dm

Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan

efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat

menyebabkan kematian mendadak. Sasaran hemoglobin adal 11-12 gr/dL.

Keluhan gastrointestinal Anoreksi, cegukan, mual dan muntah,

merupakan keluhan utama yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan lain

adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus

dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.

Kelainan kulit Tindakan yang diberikan tergantung jenis keluhan di kulit.

Kelainan neuromuskular Terapi yang dilakukan adalah hemodialisis

reguler yang adekuat, medikamentosa / operasi subtotal paratiroidektomi.

Hipertensi Pemberian obat anti hipertensi terutama penghambat Enzym

Konverting Angiotensin (ACE inhibitor). Melalui berbagai studi terbukti

dapat memperlambat proses pemburukan antihipertensi dan antiproteinuria.

Kelainan sistem kardiovaskular Pencegahan dan terapi terhadap penyakit

kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-50% kematian pada

penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Tindakan

yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita,

termasuk pengendalian DM, hipertensi, dislipidemia, hiperfosfatemia, dan

terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbanagan elektrolit.

3. Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit GGK stadium 5, yaitu pada

LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis

peritoneal, dan transplantasi ginjal.

Hemodialisis Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk

mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak

boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan

memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu

indikasi absolut, yaitu : perikarditis, ensefalopati atau neuropati azotemik,

bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik,

hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) >

Page 22: Prescil Dr Suharno Dm

120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Serta indikasi elektif, yaitu LFG : antara

5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat.

Dialisis peritoneal (DP) Akhir-akhir ini sudah populer Continuous

Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di

Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua

(umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit

sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami

perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting,

pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual

urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan

co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat

intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang

jauh dari pusat ginjal.

Transplantasi ginjal

III.2.9.Prognosis

Pasien dengan GGK umumnya akan menuju stadium terminal atau

stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari,

keberhasilan terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani

dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien

dengan gagal ginjal stadium akhir yang menjalani transpantasi ginjal akan hidup

lebih lama daripada yang menjalani dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah

karena kegagalan jantung (45%), infeksi (14%), kelainan pembuluh darah otak

(6%), dan keganasan (4%).

Page 23: Prescil Dr Suharno Dm

DAFTAR PUSTAKA

1. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A,

Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. hlm 570-3.

2. Editorial. GGK. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article

/238798-overview , 05 Februari 2011.

3. Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney

Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. Diunduh dari:

http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm GGK, 05

Februari 2011.

4. Editorial. Glomerulonefritis. Diunduh dari:

http://emedicine.medscape.com/ article/777272-overview , 22 Agustus 2010.

5. Editorial. Tekanan Darah Tinggi. Diunduh dari:

http://id.wikipedia.org/wiki /Tekanan_darah_tinggi , 05 Februari 2011.

6. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Hipertensi. Azis

R, Sidartawam S, Anna YZ, Ika PW, Nafriadi, Arif M, editor. Panduan

Pelayanan Medik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.

hlm 168-70.

7. Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Ofxord

Handbook of Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University; 2007.

294-97.

8. Editorial. Obat Hemopoetic. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Ed. 8.

Jakarta: CMP Medica Asia Pte Ltd; 2008. Hlm. 114.