PERUBAHAN WUJUD FISIK RUMAH TRADISIONAL BANGSAWAN MAKASSAR DESA CIKOANG KABUPATEN TAKALAR CHANGES IN THE PHYSICAL APPERANCE OF TRADITIONAL ARISTOCRITIC HOUSE IN MAKASSAR Mayyadah Syuaib, Slamet Trisutomo, Ria Wikantari Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin, Makassar Alamat Korespondensi: Mayyadah Syuaib Sungguminasa HP: 081 355 369 777 Email: [email protected]
16
Embed
PERUBAHAN WUJUD FISIK RUMAH TRADISIONAL …pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/19be0a301c46ab517f67dbacc35f740f.pdf · Masuknya agama islam di desa Cikoang melahirkan stratifikasi sosial
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PERUBAHAN WUJUD FISIK RUMAH TRADISIONAL BANGSAWAN MAKASSAR DESA CIKOANG
KABUPATEN TAKALAR
CHANGES IN THE PHYSICAL APPERANCE OF TRADITIONAL ARISTOCRITIC HOUSE IN MAKASSAR
Mayyadah Syuaib, Slamet Trisutomo, Ria Wikantari
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin, Makassar
Abstrak Masuknya agama islam di desa Cikoang melahirkan stratifikasi sosial baru yakni golongan Sayyid sebagai strata teratas, hal ini diikuti dengan munculnya aturan adat tradisi baru dalam membangun rumah tradisionalnya. Penelitian ini bertujuan merumuskan aturan adat tradisi rumah tradisional bangsawan Cikoang berdasarkan penjelasan panrita balla, serta memverifikasi mengenai perubahan wujud fisik rumah tradisional bangsawan Makassar di Desa Cikoang Takalar. Jenis penelitian ini kualitatif, untuk mengetahui aturan adat tradisi membangun rumah tradisional khususnya kaum bangsawan, dilakukan wawancara dengan 2 panrita balla yang senantiasa dipercayakan dalam membangun rumah bangsawan yakni daeng Buang dan daeng Maling sebagai informan/narasumber. Untuk mengetahui perubahannya, eksisting rumah tradisional bangsawan Makassar di desa Cikoang saat ini dibandingkan dengan penjelasan dari panrita balla setempat mengenai aturan tradisi membangun rumah tradisional bangsawan Cikoang. Hasil penelitian menunjukkan desa Cikoang memiliki aturan adat tradisi tersendiri dalam membangun rumahnya yang memiliki perbedaan dengan suku Makassar di daerah lainnya yaitu; a). Ukuran atap dan badan rumah, b). Bentuk sambulayang, c).Jumlah dan posisi perletakan benteng tangnga d). Pola ruang tamu e).Cara mengukur tinggi siring, f). Cara pemasangan pasu (cacat kayu). Terjadi perubahan pada wujud fisik rumah tradisional bangsawan (masyarakat strata teratas) di Desa Cikoang Takalar terhadap aturan adat tradisi membangun rumah tradisionalnya. Kata kunci: wujud fisik, sayyid, rumah tradisional
Abstract Inclusion of the religion of moslem in the village Cikoang spawned a new social stratification that class as the top level is Sayyid, this gives discrete costumary law tradition traditional house building. The aims of research were to formulate the rules of costumary aristocratic tradition traditional hose base on the explanation of panrita balla of Cikoang, to asses changes in the physical appearance of traditional aristocratic house and the factors that influence it, and to know the rules of the tradition of building traditional house of the nobles in particular. Interview was conducted with 2 panrita balla who believed in building a manor houses namely daeng buang dan daeng maling as a resource person. To determine change of existing village traditional house of nobleman Cikoang, compared to the explanation of the rules panrita balla of local building tradition, and traditional aristocratic house of Cikoang. The result of the research indicated that Cikoang village has it own custom rules in building houses,s distinctif to others Makassar tribes in other regions. That distinction are; the size of the roof and the body of the house, sambulayang shape, number and position of benteng tangnga, the pattern of the living room, how to measure the hight of siring, wood decay. A change in the physical appearance of a traditional house in the village of nobleman cikoang is againstthe rules of traditional house building customs. Keywords: Physical appearance, tradisional house, Sayyid
PENDAHULUAN
Menurut Mabaco (2012) tantangan berupa pergeseran gaya hidup, pengaruh
politik serta agama sangat berdampak pada degradasi identitas dalam nilai-nilai
kearifan lokal dan pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Harimu (2003)
bahwa arsitektur tradisional yang memiliki unsur identitas budaya akan segera punah,
akibat dari perubahan nilai-nilai tradisional. Maka dikhawatirkan hal tersebut akan
membawa sejumlah perubahan, perubahan yang dapat berdampak pada
terpinggirkannya kearifan lokal pada wujud fisik kebudayaan yakni karya arsitektur.
Arsitektur tradisional tidaklah lahir begitu saja, namun sarat dengan
philosophi- philosophi antara lain, konsistensi hidup mereka terhadap nilai-nilai
tradisi, dan bersandar kepada kepercayaan yang dianut (Idawari, 2011). Rumah
tradisional di Indonesia seringkali dipengaruhi oleh adanya strata sosial penghuninya,
demikian pula halnya dengan rumah tradisional Makassar. Desa Cikoang dihuni oleh
penduduk asli suku Makassar dimana sistem pelapisan sosial masih sangat kental di
dalamnya. Kebangsawanan masyarakat Cikoang merupakan keturunan dari Kerajaan
Laikang. Sesuai dengan ungkapan Wardani (2007) bahwa perubahan sosial
disebabkan oleh adanya pemikiran baru yang mendobrak pemikiran lama dan
menyebabkan penyesuaian di segala bidang kehidupan, masuknya agama Islam yang
dibawa oleh Sayyid Jalaluddin pada tahun 1962 memunculkan pelapisan sosial baru
yakni golongan sayyid (Saransi, 2003), kemudian hingga saat ini masyarakat Cikoang
mengenal tiga stata sosial yakni, sayyid yang juga Karaeng, sayyid yang berasal dari
masyarakat biasa dan golongan umum. Aturan adat tradisi dalam membangun rumah
tradisional desa Cikoang pun pada akhirnya mengikuti perubahan tingkatan strata
sosial dimana hal ini memberi ciri khas tersendiri yang berbeda dengan aturan
membangun rumah tradisional suku Makassar pada umumnya.
Penelitian ini bertujuan mengetahui aturan adat tradisi membangun rumah
tradisional desa cikoang dan mengetahui perubahan wujud fisik rumah tradisional
bangsawan Cikoang serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
BAHAN DAN METODE
Lokasi, Desain Penelitian, Populasi dan Studi Kasus
Merupakan penelitian kualitatif naturalistik, berlokasi di permukiman Desa
Cikoang, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Studi
kasus ditentukan secara purposive, dari tabulasi rumah tradisional bangsawan
Cikoang, karena seluruh bangsawan merupakan keturunan sayyid maka dipilih
berdasar pada rumah bangsawan yang masih mengaplikasi bentuk rumah tradisional
(elevated house). Kemudian ditentukan beberapa faktor yang diduga mempengaruhi
terjadinya perubahan wujud fisik rumah tradisional bangsawan Cikoang antara lain
faktor budaya, sosial, ekonomi, lingkungan, kemajuan teknologi serta faktor
fungsi/pemanfaatan, sesuai dengan ungkapan Hasan (2002) bahwa salah satu faktor
penting pewujud bentuk dalam arsitektur adalah fungsi.
Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Studi kepustakaan yang relevan dengan topik penelitian bersumber dari
kantor desa, kecamatan, lontara dan lain-lain. Obsevasi lapangan, membuat
dokumentasi dalam bentuk foto. Teknik wawancara, dari nara sumber tokoh-tokoh
masyarakat, kelurahan, ahli bangunan (panrita balla), dan pemilik rumah.
Teknik Analisis Data
Diawali wawancara dengan 2 panrita balla yang senantiasa dipercayakan
dalam membangun rumah bangsawan sebagai narasumber, untuk merumuskan aturan
adat tradisi membangun rumah tradisional khususnya kaum bangsawan. Setelah
mengetahui aturan adat tradisi membangun rumah tradisional bangsawan, digunakan
teknik analisis komparatif membandingkan antara eksisting rumah tradisional
bangsawan Makassar di desa Cikoang saat ini dengan penjelasan dari panrita balla
setempat, mengenai aturan adat tradisi membangun rumah tradisional bangsawan
Cikoang untuk mengetahui perubahan wujud fisik rumah tradisional bangsawan
Cikoang. melalui teknik analisis deskriptif mejelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya perubahan wujud fisik pada rumah tradisional bangsawan
berdasarkan hasil wawancara dengan pemilik rumah. Kemudian melalui teknik
komparatif membandingkan elemen-elemen wujud fisik yang paling cenderung
berubah dan yang tidak, kemudian faktor non fisik yang paling kuat dan yang tidak
kuat mempengaruhi perubahan wujud fisik rumah tradisional bangsawan Cikoang.
HASIL PENELITIAN
Aturan Adat Tradisi Membangun Rumah tradisional bangsawan Cikoang
Pammakkang (atap rumah)
Aturan mengenai bentuk atap rumah tradisional Cikoang adalah berbentuk
segitiga sama kaki atau pelana (tabel 1a), pannimbong (tinggi atap) diukur
berdasarkan: setengah lebar badan rumah dibagi 2 ditambah ukuran sisingkulu dan
silama’ jo’jo (ukuran kepala keluarga) (tabel 1b). Jenis pakkakasa padongko
(material atap) menggunakan daun lontar, juga sebagai penutup sambulayang
(singkap atap) dan penutup atap tangga (tabel 1c), material plafond (pammakkang)
berupa kayu yang berbentuk papan seperti lantai rumah (tabel 1d). Sambulayang
berbentuk polos (tanpa singkap) diperuntukkan bagi keturunan karaeng yang juga
seorang sayyid (daun Lontar dipasang tidak bertrap). tappi atau ornamen pada atap
yang diperuntukkan bagi golongan bangsawan adalah berbentuk sulur. (tabel 2a)
Badan Rumah (kale balla)
Bentuk dan Material
Sejalan dengan teori filosofi hidup Bugis Makassar yang disebut sulapa
appa’, aturan adat tradisi membangun rumah tradisional Cikoang juga mengacu pada
prinsip sulapa appa’ yang membagi badan rumah secara horizontal menjadi 3
padaserang demikian juga dengan bentuk jendela yang berbentuk persegi dengan 2
penutup jendela (jendela dua sayap). Dalam menentukan panjang rumah berdasar
pada ukuran suami yakni: meyesuaikan panjang kayu ditambah seukuran sirappa
Tujuh dari 8 kasus menggunakan bahan kayu dan 1 rumah menggunakan
bahan beton. Perubahan dalam pemilihan material tangga ini dipengaruhi oleh faktor
budaya, kemajuan teknologi, dan faktor lingkungan (iklim). Dalam perletakan
orientasi tangga tidak ada perubahan, seluruh rumah masih mengikuti aturan tradisi
yakni searah orientasi rumah yang menyesuaikan fungsi tangga sebagai jalur sirkulasi
untuk masuk ke dalam rumah.
Analisis Jumlah dan ukuran tukak dan tinggi siring (kolong rumah)
Dua dari 8 rumah memakai 3 tiang utama pada tangga dan untuk anak tangga
seluruh rumah memiliki anak tangga berjumlah ganjil yakni 11-13 anak tangga,
terdapat 1 rumah dengan jumlah anak tangga 7 baringang. Tidak terjadi perubahan
dalam aplikasi jumlah anak tangga. Melihat kondisi eksisting pada tinggi siring
seluruh kasus tidak satupun tinggi rumah yang sesuai dengan aturan tradisi, tinggi
rata-rata siring berkisar 170-220 cm. Perubahan ini dipengaruhi oleh faktor budaya
kemajuan teknologi dan faktor fungsi/pemanfaatan.
PEMBAHASAN
Berdasarkan pada analisis diatas ditemukan bahwa faktor yang paling kuat
mempengaruhi perubahan pada rumah tradisional bangsawan desa Cikoang adalah
faktor budaya. Sesuai yang di lontarkan Sardjono (2011) Arsitektur sebagai wujud nyata
kebudayaan dapat dipastikan akan ikut terimbas mana kala kebudayaan sebagai suatu sistem
keseluruhan mengalami perubahan, bahkan sebagai bentuk kebudayaan yang kedudukannya
paling luar, arsitektur merupakan bentuk kebudayaan yang paling rentan berubah. Faktor
budaya dalam penelitian ini terdiri atas beberapa bagian yaitu: religi, struktur
keluarga, persepsi pemilik rumah dan gaya hidup, dari semua hal tersebut persepsi
pemilik rumah merupakan alasan yang paling dominan mempengaruhi perubahan,
terutama pada bentuk atap, tinggi atap, ornamen pada bubungan atap, dan tinggi
kolong rumah. Selain itu perubahan gaya hidup yang merupakan bagian dari faktor
budaya juga cukup berpengaruh, seperti tidak tersedianya jambang pada seluruh
objek penelitian yang diganti dengan ruang makan tamu, hal ini mengikuti terjadinya
perubahan gaya hidup pemilik rumah dalam menerima tamu. Selain faktor budaya,
kemajuan teknologi dan faktor lingkungan (iklim) adalah hal yang cukup berpengaruh
terhadap pemilihan material. Dari ketiga variabel yakni pammakkang (atap), kale
balla (badan rumah), siring (kolong rumah), elemen wujud fisik yang paling
cenderung berubah adalah pada pammakkang (atap), perubahan terjadi pada semua
elemen pamakkang yakni pada bentuk, pannimbong (tinggi atap), material, jumlah
sambulayang sampai pada bentuk ornamen.
Prijotomo (2003) menjelaskan bahwa tulisan-tulisan yang terkelompokkan ke
dalam Kawruh Kalang menekankan pada petunjuk bagi para tukang dalam membuat
komponen-komponen struktural bangunan Jawa, mulai dari sakaguru hingga
reng dan sirap penutup atap. Sementara itu, tulisan yang terkelompokkan ke dalam
Kawruh Griya menekankan pada petunjuk dalam menyiapkan rancangan bangunan
Jawa. Hal ini sejalan dengan aturan adat tradisi membangun rumah tradisional desa
Cikoang yang tertuang dalam lontara mulai dari petunjuk pemilihan hari yang baik
untuk membangun rumah sampai pada upacara sebelum dan sesudah membangun.
Menurut Parwata (2011) Dimensi bangunan menggunakan ukuran anggota
tubuh dari pemilik bangunan tersebut seperti: tangan, lengan dan kaki dengan maksud
agar si pemilik dengan bangunannya secara psikologis menjadi satu dan akrab,
kesesuaian rasa ruang, menghindari ketakutan pada skala ruang yang kebesaran. Di
desa Cikoang sendiri ukuran bangunan berdasarkan anggota tubuh lebih banyak
menggunakan ukuran jengkal/jari dan lengan.
Hasil penelitian Harimu (2003) mengenai rumah tradisional minahasa di desa
Tonsealama (Kota Tondano) dan di desa Rurukan (Kota Tomohon) yang dibangun
tahun 1897-1945 menunjukkan perubahan terbesar adalah sesudah tahun 1900, pada
pola dan fungsi ruang, perubahan material dan konstruksi. Perubahan pada wujud
fisik rumah tradisional bangsawan di desa Cikoang dimulai sejak tahun1970-an dan
perubahan terbesar terjadi pada awal tahun 2000
Dalam penelitian Umar (2003). Keberadaan bentuk rumah tradisional
Makassar berdasarkan strata tidak lepas dari keberadaan sistem pemerintahan
kerajaan peletak dasar stratifikasi sosial dalam masyarakat suku Makassar. Berbeda
halnya di desa Cikoang, strata tertinggi tidak hanya karena seseorang adalah
keturunan Kerajaan Laikang tetapi juga karena mereka adalah keturunan Nabi
Muhammad yang bergelar Sayyid.
KESIMPULAN DAN SARAN
Desa Cikoang memiliki aturan adat tradisi tersendiri dalam membangun
rumahnya yang memiliki perbedaan dengan suku Makassar di daerah lainnya terdiri
atas; a). Ukuran atap dan badan rumah, b). Bentuk sambulayang, c).Jumlah dan posisi
perletakan benteng tangnga d). Pola ruang tamu e).Cara menukur tinggi siring, f).
Cara pemasangan pasu (cacat kayu). Terjadi perubahan pada wujud fisik rumah
tradisional bangsawan (karaeng) di Desa Cikoang Takalar terhadap aturan adat tradisi
membangun rumah tradisionalnya. Dari seluruh populasi rumah bangsawan di desa
Cikoang 8 diantaranya terjadi perubahan pada beberapa bagian elemen-elemennya,
dan 10 diantaranya berubah menjadi rumah dalam bentuk modern.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pada wujud fisik rumah
tradisional bangsawan adalah faktor budaya, kemajuan teknologi, faktor ekonomi,
faktor lingkungan, faktor fungsi/pemanfaatan dan faktor sosial. Dari ketiga variabel
yakni pammakkang (atap), kale balla (badan rumah), siring (kolong rumah), elemen-
elemen wujud fisik yang paling cenderung berubah adalah pada pammakkang (atap);
perubahan terjadi pada semua elemen pamakkang yakni pada bentuk, pannimbong
(tinggi atap), material, jumlah sambulayang sampai pada bentuk ornamen. Faktor
yang paling kuat mempengaruhi perubahan pada rumah tradisional bangsawan desa
Cikoang adalah faktor budaya yakni persepsi/selera pemilik rumah dan gaya hidup.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam membangun rumah
tradisional sesuai aturan tradisi. Sehingga keunikan rumah tradisional Cikoang
khususnya kaum bangsawan yang memiliki perbedaan dengan rumah tradisional
Makassar pada umumnya dapat dipertahankan.
DAFTAR PUSTAKA Harimu, Debbie A.J., (2003) Shirly Wunas. Perubahan Wujud Fisik Rumah Tradisional
Minahasa di Kota Tomohon Dan Tondano Provinsi Sulawesi Utara ( Desa Tonsoleama dan Desa Rurukan). Kata kunci: Bentuk fisik, rumah tradisional dan budaya masyarakat.
Hasan, Rasiq., dkk., (2003) Perubahan Bentuk dan Fungsi Arsitektur Tradisional Bugis di Kawasan Pesisir Kamal Muara, Jakarta Utara Dipresentasikan dalam International Symposium ‘Building Research and the Sustainability of the Built Environment in the Tropics’ pada tanggal 14-15-16 Oktober yang dilaksanakan oleh Universitas Taruma Negara bekerja sama dengan Oxford Brookes University-United Kingdom
Idawari (2011) Penentuan arah dan letak permukiman rumah tinggal kaitannya dengan kosmologi (studi kasus, kampung Kanarea, kecamatan Bajeng, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan) Jurnal Local Wisdom, Volume: III, Nomor:1 Volume: III, Nomor: 1, Halaman: 09 - 18, Februari 20 11.
Mabaco Kaimuddin 2012, Kearifan budaya local.Indonesia press Jakarta Parwata, I Wayan (2011), Rumah Tinggal Tradisional Bali Dari Aspek Budaya dan
Antropometri. MUDRA Jurnal Seni Budaya, Volume 26 No.1 Januari 2011 Prijotomo, Josef (2003), Situasi Pengetahuan Bangunan/Arsitektur Jawa Di abad 20:
Telusuran Atas Kawruh Kalang Dan Kawruh Griya, Jurnal Arsitektur NALARs, Vol 2 No 2 Juli 2003. Available from: http://arsumj.files.wordpress.com
Saransi, Ahmad. (2003). Tradisi Masyarakat Islam di Sulawesi Selatan, Makassar: Lamacca Press.
Sardjono, Agung budi (2011), Arsitektur Dalam Perubahan Kebudayaan, Jurnal online. Available from: www.undip.ac.id.
Umar. (2003). Arsitektur Rumah Tradisional Berdasarkan Strata Sosial Kelompok Etnis Makassar di Kabupaten Gowa. Tesis tidak diterbitkan. Makassar: Program Pasca Sarjana UNHAS.
Wardani, (2007) Perubahan desain rumah tinggal menjadi ruang publik terbatas (Dari Rumah Bangsawan ke Hunian Publik). Jurnal online. Kata kunci: Perubahan, rumah jawa, ruang publik.
Tabel 1: Gambar rumah berdasarkan aturan adat tradisi membangun rumah tradisional bangsawanDesa Cikoang