PENGGAMBARAN PEREMPUAN ARAB SAUDI OLEH MEDIA DARING (Analisis Wacana Kritis Fairclough pada Media Al-Jazirah Online dan Al- Madina) Tesis Disusun Oleh: Rifa’atul Mahmudah NIM : 16201010016 TESIS Diajukan kepada Program Studi Magister Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Magister Humaniora YOGYAKARTA 2019
56
Embed
PENGGAMBARAN PEREMPUAN ARAB SAUDI OLEH ...digilib.uin-suka.ac.id/36964/1/16201010016_BAB-I_V...PENGGAMBARAN PEREMPUAN ARAB SAUDI OLEH MEDIA DARING (Analisis Wacana Kritis Fairclough
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENGGAMBARAN PEREMPUAN ARAB SAUDI OLEH MEDIA DARING
(Analisis Wacana Kritis Fairclough pada Media Al-Jazirah Online dan Al-
Madina)
Tesis
Disusun Oleh:
Rifa’atul Mahmudah
NIM : 16201010016
TESIS
Diajukan kepada Program Studi Magister Bahasa dan Sastra Arab
Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Magister Humaniora
YOGYAKARTA
2019
iii
iv
vi
MOTO
لكلّ مقام مقال و لكلّ مقال مقام
The more that you read, the more things that you’ll know
The more that you learn, the more place that you’ll go
(Dr Seuss)
vii
ABSTRAK
KSA (Kingdom of Saudi Arabia) adalah salah satu negara Arab dengan sistem
kerajaannya yang otoriter. Bahkan, banyak kebijakan yang timpang antara laki-
laki dan perempuan. Perempuan Saudi banyak tidak mendapatkan hak-hak mereka
layaknya perempuan-perempuan di beberapa negara lain. Tesis ini mengangkat
wacana transformasi perkembangan perempuan Arab seiring dengan proses
realisasi visi 2030 kerajaan pada berbagai ranah, yaitu ekonomi, politik, budaya,
sosial, dan pendidikan, pada berita yang terdapat di media daring Al-Jazirah
Online. Untuk mengetahui hal tersebut digunakan pisau teori analisis wacana
kritis Norman Fairclough, dengan tiga kerangka kerjanya, yaitu analisis tekstual,
praktik wacana, dan praktik sosiokultural. Rumusan masalah pada penelitian ini
adalah (1) bagaimana media menggambarkan perempuan Arab dalam pilihan kata
yang digunakan? (2) bagaimana proses praktik wacana perempuan Arab dalam
media? (3) Praktik sosiokultural seperti apa yang ada di dalam media yang terkait
dengan perempuan Arab?
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Data
dianalisis menggunakan teknik analisis wacana kritis menurut Fairclough, yakni
CURRICULUM VITAE ................................................................................ 148
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa sebagai alat komunikasi membantu pemahaman pesan dalam komunikasi
antar manusia, dengan bahasa pula manusia bisa menjalin kehidupan sosial dengan
sesamanya.1 Bahasa menjadi sarana krusial ketika difungsikan sebagai transmisi pesan
manusia dalam bermasyarakat.2 Hal ini senada dengan pengertian bahasa yang telah diusung
oleh Ibnu Jinni dalam al-Khashais-nya: اللغة أصوات يعبر بها كل قوم عن أغراضهم (bahasa adalah
bunyi-bunyi yang diungkapkan oleh suatu bangsa untuk tujuan-tujuan mereka).3
Peran bahasa sebagai transmisi pesan menjadikan bahasa sebagai sarana yang
signifikan, tidak terkecuali di ranah media massa baik daring (online) maupun cetak. Tugas
pokok sebuah media adalah mengkonstruksi realitas menjadi teks berita. Dalam proses
konstruksi tersebut, bahasa menjadi instrumen utama. Bahasa dimanfaatkan oleh berita untuk
menyampaikan maksud atau informasinya ke publik. Bahkan, selain sebagai transmisi pesan,
bahasa dalam hal ini juga sebagai transfer ideologi pemilik media. 4
Oleh karena itu, berita yang ada di media tidak bisa dimaknai dengan apa adanya,
melainkan harus dimaknai secara kritis.5 Perspektif kritis memandang bahasa sebagai
1 A. Chaedar Alwasilah, Linguistik Suatu Pengantar (Bandung: Angkasa, 2011), hlm. 92-93. 2 Kealan, Filsafat Bahasa: Realitas Bahasa, Logika Bahasa, Hermeneutika dan Postmodernisme
(Yogyakarta: Pradigma, 2002), hlm. 289. 3 Muhammad Muhammad Dawud & Uril Bahru al-Din, al-Arabiyah wa ‘Ilm al-Lughah al-Hadi>ts
(Malang: Lisan Arabi, 2018), hlm. 27. 4 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Teks Media (Yogyakarta: LkiS, 2009), hlm. 6. 5 Alif Hasanah & Hari Bakti Mardikantoro, “Konstruksi Realitas Seratus Hari Pertama Pemerintahan
Jokowi-Jusuf Kalla di Media Online: Analisis Wacana Kritis Model Norman Fairclough”, SELOKA, Vol. 6, No.
3 (2017), hlm. 234.
2
representasi yang berperan membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun
strategi-strategi di dalamnya.6
Penggunaan bahasa dalam suatu media yang berbeda, maka akan merefleksikan
fenomena sosial maupun budaya yang berbeda pula, karena pada dasarnya tidak ada bahasa
yang vakum konteks, bahasa tidak diartikan sebagai sebuah simbol ujaran. Bahasa perlu
diartikan lebih dalam, bahasa memiliki “agenda tersembunyi” )hidden agenda) sehingga
perlu dilihat kritis dan mempertanyakan penggunaan bentuk lingual tertentu.7
Di dalam masyarakat modern, media memainkan peran penting untuk perkembangan
politik masyarakatnya. Media tidak dianggap sebagai “alat komunikasi” yang netral dan
kosong. Fakta peristiwa umumnya disajikan lewat bahasa berita dan bahasa berita bukanlah
sesuatu yang bebas nilai. Karena itu, bahasa media terkadang menjadi bias terhadap beberapa
pihak.8
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Berger dan Luckman yang mengatakan bahwa
“bahasa adalah mekanisme utama dalam proses konstruksi sosial.”9 Bahasa tidak bersifat
netral, tetapi bias dan memihak ideologi dan kekuasaan tertentu sehingga berakibat bahwa
realitas yang dikonstruksi oleh bahasa tidak dipandang sebagai realitas yang sebenarnya
melainkan realitas yang dikonstruksi (the constructed reality).10 Pendekatan untuk
mengungkap apa di balik bahasa di atas adalah pendekatan kritis, melalui pendekatan ini akan
diketahui pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana memberikan pencerahan”, sedikit
melengkapi apa yang ada pada pendekatan deskriptif yaitu menjawab “apa” dan
“bagaimana.”11
6 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Teks Media (Yogyakarta: LkiS, 2009), hlm. 6. 7 Anang Santoso, Studi Bahasa Kritis: Menguak Bahasa Membongkar Kuasa (Bandung: Mandar Maju,
2012), hlm. 16. 8 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan
Analisis Framing (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 32-35. 9 Anang Santoso, Studi Bahasa Kritis, hlm. 105. 10 Elya Munfarida, “Analisis Wacana Kritis dalam Perspektif Norman Fairclough,” KOMUNIKA, Vol.
8, No. 1 (Januari-Juni 2014), hlm. 3. 11 Anang Santoso, Studi Bahasa Kritis, hlm. 101.
3
Dengan demikian, linguistik kritis bertujuan mengungkap relasi kuasa tersembunyi
(hidden power) serta proses-proses idiologis yang muncul dalam teks lisan maupun tulis.12
Oleh karena itu, tercapainya kemelekan media yang kritis adalah sumber penting bagi
individu maupun masyarakat dalam belajar bertahan dalam lingkungan budaya media.
Budaya bermedia telah menjadikan banyak orang untuk membangun naluri tentang kelas,
etnis dan ras, kebangsaan, dan tentang “kita” dan “mereka.” Budaya media telah membentuk
sebuah pengetahuan umum. Selain itu, pertunjukan budaya media ini juga mempertontonkan
siapa yang berkuasa dan sebaliknya.13
DeFluer menegaskan bahwa dalam media massa, keberadaan bahasa bukan hanya
sebagai alat untuk menggambarkan realitas, melainkan juga menentukan makna citra
terhadap suatu realitas yang akan muncul di benak khalayak. Oleh sebab persoalan citra
tersebut, maka penggunaan bahasa berpengaruh terhadap konstruksi realitas, terutama dalam
hal konstruksi citra.14
Citra yang dikonstruk oleh media tidak terlepas dengan ideologi (metanarasi) sebuah
media. Fairclough menyatakan bahwa ideologi sangat lekat dengan kekuasaan (power),
terutama pada masyarakat modern yang praktik kekuasaan semakin meningkat dengan
dicapai melalui ideologi, dan secara khusus bahasa menjadi transmisinya. Oleh sebab itu,
ideologi juga sangat lekat dengan bahasa dikarenakan penggunaan bahasa adalah bentuk
perilaku sosial paling umum (the commonest form of social behaviour).15 Fairclough juga
menekankan bahwa ideologi itu konkret. Modalitas kekuasaan adalah dengan ideologi,
12 Anang Santoso, Studi Bahasa Kritis, hlm. 101. 13 Douglas Kelner, Media Culture: Culture Studies, Identity and Politics between the Modern and
Postmodern, terj. Galih Bondan Rambatan (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hlm. 1-2. 14 Aris Badara, Analisis Wacana: Teori, Metode, dan penerapannya pada Wacana Media (Jakarta:
Kencana, 2012), hlm. 9. 15 Norman Fairclough, Language and Power (London: Longman, 1989), hlm. 2.
4
modalitas yang membentuk hubungan-hubungan kekuasaan yang menghasilkan persetujuan
melalui sebuah kekuatan.16
Ideologi konkret tersebut juga dibawa oleh setiap media massa, yang
mengimplikasikan adanya konstruksi sosial. Fariclough menyatakan bahwa ideologi tertanam
pada setiap wacana, yang diciptakan dan berperan untuk mempertahankan atau mengubah
relasi kuasa di masyarakat. Sebagai dampak dari adanya relasi kuasa tersebut, maka
sebenarnya kontruksi ideologi yang dibawa oleh media menuju pada terciptanya hegemoni
dan stereotip-stereotip di masyarakat.17
Pemberitaan media –khususnya yang berkaitan dengan peristiwa yang melibatkan
pihak dominan– selalu disertai penggambaran timpang terhadap pihak yang tidak dominan.
Karena itu, tidak aneh apabila gambaran perempuan, kaum buruh, dan pihak tidak dominan
lain digambarkan dengan konotasi yang negatif.18
Ketimpangan tersebut tampak pada kondisi perempuan-perempuan di Arab Saudi.
Posisi perempuan Arab SAudi seringkali digambarkan secara sepihak. Perempuan di Arab
Saudi sering dianggap kurang memiliki hak-hak sipil dan memiliki keterbatasan untuk aktif
di ruang publik. Selama dua puluh tahun terakhir, akses perempuan Arab Saudi terhadap
pendidikan telah meningkat tajam, berbeda dengan negara-negara Arab lainnya yang lebih
progresif. Kendati demikian, semakin banyak perempuan Saudi lulus dari perguruan tinggi,
mereka belum mendapatkan pekerjaan yang aman atau melakukan kegiatan yang
menghasilkan pendapatan.19
16 Norman Fairclough, “Critical Discourse Analysis”, dalam J. Haryatmoko, “Kondisi Ideologis dan
Derajat Keteramalan Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough”, DISKURSUS, Volume 14, Nomor 2,
(Oktober 2015), Hlm. 158. 17 Farieda Ilhami Zulaikha, Tesis: “Wacana Perempuan pada Koran Feminis dan Non Feminis di
Amerika )Analisis Wacana Kritis(” (Yogyakarta: UGM, 2017), hlm. 1-2. 18 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan
Analisis Framing (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 36. 19 Joas Wagemakers, Mariwan Kanie, & Annemarie van Geel, Saudi Arabia Between Conservatism,
Accommodation and Reform )Netherlands: Netherlands Institute of International Relations ‘Clingendael’, 2012(,
hlm. 9.
5
Sehubungan dengan hal tersebut, pada April 2016, Putra Mahkota Mohammad bin
Salman meluncurkan visi 2030. Putra Mahkota mencatat, “visi kami adalah kuat, Arab Saudi
yang berkembang dan stabil memberikan peluang bagi semua. Visi kami adalah menjadi
negara toleran dengan Islam sebagai konstitusi dan moderasi sebagai metodenya.” Visi 2030
menguraikan 24 tujuan khusus untuk dicapai kerajaan dalam bidang ekonomi, perkembangan
politik dan sosial. Visi 2030 lebih lanjut mengartikulasikan 18 komitmen untuk mencapai
tujuan ini - dengan inisiatif khusus dalam energi terbarukan, manufaktur, pendidikan, tata
kelola elektronik, hiburan dan budaya.20
Di sisi lain, ada sebuah tantangan tersendiri bagi pemerintah, ketika sebagian
perempuan-perempuan Saudi mengamini apa yang mereka yakini sebagai kodrat perempuan,
seperti halnya perempuan berada di ruang domestik, sedangkan laki-laki memiliki tanggung
jawab untuk bekerja di ranah publik karena ideologi yang telah melekat.21 Terlepas dari hal
itu, perempuan Saudi adalah aset besar yang dimiliki oleh negara, 50% lulusan universitas
adalah perempuan. Oleh karenanya, pemerintah akan berinvestasi dengan mengembangkan
bakat sehingga memungkinkan mereka dapat memperkuat masa depan mereka dan
berkontribusi terhadap pengembangan masyarakat dan ekonomi negara.22
Dengan demikian, visi 2030 kerajaan memiliki dampak yang signifikan terhadap
kesejahteraan perempuan Arab Saudi. Namun, untuk mengetahui beberapa hal tersebut
termasuk wacana sekarang terhadap perempuan Arab, maka dalam penelitian ini akan dikaji
bagaimana media mengkonstruk wacana tentang perempuan. Memahami representasi
20 Report, Saudi Arabia and Political, Economic & Social Development (Saudi Araia: Ministry of
relasi kuasa di balik teks dan bagaimana kekuasaan idiologis diartikulasikan secara
tekstual.28
AWK mengkonsepsikan bahasa sebagai suatu bentuk praktik sosial dan berusaha
membuat masyarakat sadar akan pengaruh timbal-balik antara bahasa dan struktur sosial
yang biasanya tidak mereka sadari.29 Dari hubungan yang kompleks antara bahasa dan fakta
sosial, bisa diketahui efek ideologis yang seringkali tidak jelas dan tersembunyi dalam
penggunaan bahasa maupun pengaruh relasi kekuasaan.30 Objek AWK menurut Fairclough
adalah semua teks yang merupakan sumber data, bisa berupa dokumen, kertas diskusi, film,
televisi, pidato, kartun, foto, koran, risalah politik, pamflet, artefacts budaya seperti gambar,
bangunan, dan musik.31
Bagi Fairclough, studi bahasa kritis (pendekatan kritis) telah berperan dalam
mengembangkan kesadaran khusus mereka yang didominasi dengan cara-cara linguistik, hal
ini dikarenakan ilmu-ilmu sosial tidaklah netral, ilmu ini memiliki hubungan khusus dengan
kelompok atau kekuatan dominan atau yang didominasi. Selain itu, pendekatan ini juga
menunjukkan bagaimana masyarakat dan wacana saling membentuk (wacana dibentuk oleh
masyarakat dan masyarakat dibentuk oleh wacana).32
Fowler menekanankan sesuatu yang amat fundamental dalam pandangan Fairclough
adalah adanya fungsi relasi antara konstruksi tekstual dengan kondisi-kondisi sosial,
institusional, dan ideologis dalam proses-proses produksi serta resepsinya. Struktur-struktur
linguistik digunakan untuk mensistematisasikan dan mentransformasikan realitas. Oleh
28 Elya Munfarida, Analisis Wacana Kritis dalam Perspektif Norman Fairclough, hlm, 3. 29 Stefan Titscher, dkk, Metode Analisis Teks & Wacana, Terj. Gazali, dkk (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009), hlm., 239. 30 Stefan Titscher, dkk, Metode Analisis Teks & Wacana, hlm., 241. 31 Norman Fairclough, “Critical Discourse Analysis” )1995( dalam J. Haryatmoko, “Kondisi Ideologis
dan Derajat Keteramalan Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough”, DISKURSUS, Volume 14, Nomor 2,
(Oktober 2015), hlm. 166. 32 Norman Fairclough, Critical Language Awarness, Terj. Hartoyo (Semarang: IKIP Semarang Press,
1995), hlm., 11.
14
karena itu, dimensi kesejarahan, struktur sosial, dan ideologi adalah sumber utama
pengetahuan dan hipotesis dalam kerangka kerja kritisisme linguistik.33
Fairclough memanfaatkan teori-teori dari Anthonio Gramsci dan Louis Althuser,
Fairclough berusaha membuktikan adanya potensi transformasi sosial dalam diskursus.
Selain itu, Fairclough mengkombinasikan teori sosial (wacana) dengan linguistik yang
kemudian melahirkan linguistik kritis. Jalinan relasi ini pada gilirannya sangat berperan
untuk melihat bagaimana relasi kuasa di balik teks dan bagaimana kekuasaan ideologis
diartikulasikan secara tekstual. Signifikansi inilah yang menjadikan elaborasi terhadap kajian
media terkait dengan teori analisis wacana kritis Norman Fairclough menjadi penting.34
2. Kerangka Tiga-Dimensi Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough
Wacana menurut Fairclough memiliki tiga dimensi: merupakan teks bahasa lisan atau
tulis; suatu interaksi antar orang (deskripsi dari teks), yang melibatkan proses produksi dan
interpretasi teks (interpretasi dari proses interaksi); dan bagian dari tindak sosial (penjelasan
bagaimana proses interaksi berhubungan dengan tindak sosial).35 Analisis Fairclough telah
melampaui "apa" dari deskripsi teks ke arah "bagaimana" dan "mengapa" dari interpretasi
dan penjelasan (eksplanasi) teks.36 Model tiga dimensi Fairclough (teks, praktik kewacanaan,
dan praktik sosial) dibedakan sebagai tiga tataran yang bisa dipisahkan secara analitis.37
Secara umum, tujuan dari tiga dimensi itu adalah sebagai kerangka analisis dalam
analisis wacana. Selain itu, penggunanan tiga dimensi tersebut juga disandarkan pada asumsi
bahwa teks tidak pernah bisa dipahami atau dianalisis secara terpisah, dalam arti hanya bisa
33 Umar Fauzan, “Analisis Wacana Kritis dari Model Fairclough hingga Mills”, Jurnal PENDIDIK,
Vol. 6, No. 1 (2014), hlm. 2. 34 Elya Munfarida, Analisis Wacana Kritis dalam Perspektif Norman Fairclough, hlm, 3. 35 Norman Fairclough, Critical Language Awarness, hlm., 11-12. 36 Forough Rahimi & Mohammad Javad Riasati, Critical Discourse Analysis: Scrutinizing
Ideologically-Driven Discourse. International Journal of Humanities and Social Science Vol. 1 No. 16
(November 2011) hlm. 109. 37 Marianne W. Jorgensen & Louise J. Phillips, Analisis Wacana: Teori dan Metode (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 149.
15
dipahami dalam kaitannya dengan jaring-jaring teks lain dan hubungannya dengan konteks
sosial.38 Ketiga dimensi tersebut bisa dilihat pada gambar di bawah ini:39
a. Analisis Tekstual
Tahap pertama dalam kerangka analisis tiga dimensi AWK Fairclough adalah analisis
tekstual, tahapan ini disebut juga sebagai tahapan deskriptif teks. Analisis tekstual
memperhatikan pada pemilihan kata dan klausa. Hal yang akan diungkap adalah apa yang
ada ‘yang terkatakan’ di dalam teks )what is ‘in’ text).40 Menurut Fairclough, ada empat hal
38 Marianne W. Jorgensen & Louise J. Phillips, Analisis Wacana: Teori dan Metode, hlm. 130. 39 Norman Fairclough, Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language (New York:
Rouledge, 2010), hlm. 133. 40 Abdul Aziz, Tesis: “Representasi Aktor dan Peristiwa Sosial dalam Krisis Politik di Suriah oleh Al-
Jazeera Arabic dan Al-Jazeera English (Tinjauan Analisis Wacana Kritis)”, (Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada, 2017), hlm. 14.
Descri
ption (text
analysis)
Text
Sociocultural practice
Process of
production
Interp
retation
(Processing
analvsis) Expla
nation (social
analysis)
Process of
interpretation Disco
urse
practice/interac
tion (Situational;
institutional; societal)
16
yang dapat dianalisis yaitu kosakata (vocabulary), tata bahasa (grammar), kohesi, dan
struktur teks. Kosakata berhubungan dengan kata per kata itu sendiri, tata bahasa
berhubungan dengan kombinasi-kombinasi di dalam klausa dan kalimat, kohesi berhubungan
dengan bagaimana klausa dan kalimat dihubungkan dengan yang lain secara bersamaan, dan
struktur teks berhubungan dengan kekayaan penyusun teks.41 Dalam penelitian ini hanya
diambil tiga bagian saja; kosakata (vocabulary), tata bahasa (grammar), dan kohesi.
Baik analisis kosakata (vocabulary) maupun tata bahasa (grammar) memiliki empat
nilai-nilai yang sama, yaitu experiential, relational, expressive, dan connective.42 Pertama,
nilai eksperiental yang menunjuk pada jejak ideologis yang digunakan oleh produser teks
dalam merepresentasikan dunia natural atau sosial. Nilai eksperiental penting untuk
mengungakap ideologi yang ada dalam teks. Kedua, nilai relasional yang merupakan jejak
tentang relasi sosial yang ditampilkan dalam teks. Nilai ini memfokuskan pada bagaimana
pilihan penggunaan kata dalam teks berperan dan berkontribusi pada penciptaan relasi sosial
di antara para partisipan. Ketiga, nilai ekspresif yang bermakna jejak tentang evaluasi
produser teks tentang realitas yang terkait. Nilai ekspresif ini biasanya berhubungan dengan
subjek dan identitas sosial. Nilai konektif yang menghubungkan bagian-bagian dalam teks.
Selain menghubungkan bagian-bagian internal teks, nilai konektif juga terkait dengan
hubungan teks dengan konteks situasional teks tersebut. Dalam lingkup tata bahasa, koneksi
internal teks bisa dilihat dari penggunaan konektor (kata penghubung), referensi (kalimat
yang dirujuk oleh kalimat setelahnya), dan kohesi di antara kalimat satu dengan kalimat yang
lain.43
41 Norman Fairclough, Discourse and Social Change (Cambridge: Polity Press, 1992), hlm. 75. 42 Norman Fairclough, Language and Power (New York: Reuledge, 2001), Hlm. 92-93. 43 Elya Munfarida, Analisis Wacana Kritis dalam Perspektif Norman Fairclough, hlm, 9-10.
17
a. Kosakata (vocabulary)
Perbendaharaan kata meliputi makna kata. Satu kata bisa mempunyai banyak makna
dan makna berbeda tergantung dari konteksnya.44 Analisis ini memfokuskan pada pilihan
kata yang digunakan (wording) dan signifikansi politik dan ideologis.45 Pada bagian ini,
penulis hanya mengambil dua yang akan dikemukakan untuk menganalisis kosakata yang
digunakan, yaitu wording dan overwording. Wording adalah pengungkapan kembali kata
yang merujuk pada realitas tertentu.46 Sedangkan overwording adalah penyebutan referent
tertentu dengan berbagai leksis yang berlainan namun memiliki unsur sinonim atau semi
sinonim sehingga mencerminkan penekanan kepada aspek realitas tertentu.47
Fairclough menyatakan bahwa overwording (atau disebut juga dengan
overlexicalization)48 seringkali melibatkan kata-kata yang bersinonim. Overwording
menunjukkan beberapa aspek realitas, yang mengindikasikan adanya perjuangan ideologis
tertentu. Misalkan pada sebuah contoh terdapat kata-kata yang memiliki hubungan makna
dengan growth dan development diantaranya, increase, boost, develop, cultivate, build,
widen, enrich.49
Overwording merupakan fitur tekstual yang termasuk ke dalam nilai eksperiental,
sehingga dengan mengetahui overwording akan diketahui ideologi tertentu yang merupakan
representasi dari realitas.
44 J. Haryatmoko, “Kondisi Ideologis dan Derajat Keteramalan Analisis Wacana Kritis Norman
Fairclough”, DISKURSUS, Volume 14, Nomor 2, (Oktober 2015), Hlm. 181. 45 Norman Fairclough, Discourse and Social Change, hlm. 77. 46 Abdul Aziz, Tesis: “Representasi Aktor dan Peristiwa Sosial dalam Krisis Politik di Suriah oleh Al-
Jazeera Arabic dan Al-Jazeera English (Tinjauan Analisis Wacana Kritis)”, hlm. 16. 47 Ibid, hlm. 51. 48 Norman Fairclough, Language and Power, hlm. 116. 49 Ibid, hlm. 96.
18
b. Tata Bahasa
Tingkatan tata bahasa oleh Fairclouch dipusatkan pada transitivitas, voice (aktif dan
pasif), nominalisasi, dan tema.50 Penelitian ini hanya membatasi aspek tata bahasa pada aspek
voice (aktif dan pasif) atau bentuk partisipan, yaitu melihat bagaimana aktor-aktor
ditampilkan sebagai pelaku (subjek) atau objek dalam pemberitaan. Sebagai subjek
ditampilkan dalam bentuk kalimat aktif, seorang aktor ditampilkan melakukan suatu tindakan
yang menyebabkan sesuatu pada objek. Sebagai objek menunjuk pada sesuatu yang
disebabkan oleh orang lain. Strategi yang digunakan dengan menggunakan kalimat pasif.
Kalimat pasif hanya menampilkan objek, sedangkan pelaku tidak tidak ditampilkan.51
b. Analisis Praktik Wacana (Discourse Practice)
Tahap ini oleh Fairclough dinamakan dengan tahap interpretasi. Tahap ini berkaitan
dengan proses produksi teks dan interpretasi teks.52 Analisis ini termanifestasi dalam bentuk-
bentuk linguistik, yang kemudian oleh Fairclough ditegaskan lagi bahwa yang dimaksud
adalah teks, baik tertulis maupun lisan.53
Teks dibentuk lewat suatu praktik diskursus, yang akan menentukan bagaimana teks
tersebut diproduksi.54 Analisis praktik wacana mencakup unsur produksi teks artikel yang
tidak dapat terlepas dari unsur teks dan wacana lain (intertekstualitas dan interdiskursivitas),
yang dipengaruhi oleh gagasan intertekstual Julia Kristeva. Dengan kata lain, teks tidak hadir
dengan sendirinya, teks sebenarnya dikonstruksi oleh teks lain yang sudah ada sebelumnya,
baik berupa teks fisik maupun berupa pengetahuan yang sudah ada.55 Bahkan, jika ada suatu
teks dari sebuah peristiwa baru, teks tersebut disusun oleh media melalui interdiskursivitas
50 Norman Fairclough, Discourse and Social Change, hlm. 179. 51 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, hlm. 293. 52 Norman Fairclough, Language and power, hlm. 118. 53 Norman Fairclough, Discourse and Social Change, hlm. 71. 54 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, hlm. 316. 55 Bernardinus Realinus Suryo Baskoro, Disetasi: “Berita Korupsi di Media Indonesia dan Perancis:
Analisis Wacana Kritis” (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2015), hlm. 38.
19
atau intertekstualitas dari “teks” lain atau peristiwa itu sendiri, pengetahuan media atas
peristiwa itu, hasil studi pustakanya, dan lain sebagainya.56
Wodak dan Weiss menyatakan bahwa teks dan wacana itu tidak terisolasi dalam
ruang. Teks satu selalu berhubungan dengan teks sebelumnya atau bahkan teks yang akan
datang. Hal ini dapat dicirikan sebagai "intertekstualitas".57 Intertekstualitas adalah
kehadiran unsur-unsur dari teks lain, bisa berupa kutipan, acuan, dan isi.58 Wacana
berperilaku dengan cara yang sama: Wacana juga tumpang tindih dan saling berhubungan.
Hal ini dikenal sebagai "interdiscursivity".59
Bagi Fairclough proses produksi teks dalam media disebut rantai peristiwa
komunikatif, dalam arti bahwa teks sebelumnya ada (wawancara, pidato politik, dokumen-
dokumen, dan lain sebagainya) di dalam teks setelahnya dan membentuk banyak lapisan yang
direkontekstualisasikan. Fairclough mengatakan, “The production of media texts can thus be
seen as a series of transformations across what I earlier called a chain of communicative
events which links source events in the public domain to the private domain consumption of
media texts.”60
c. Analisis Praktik Sosiokultural (Sociocultural Practice)
Analisis praktik sosiokultural oleh Fairclough disebut dengan eksplanasi. Praktik
sosiokultural bisa dilihat pada tingkat situasi langsung (the immediate situation),
lembaga/institusi/organisasi yang lebih luas, dan pada tingkat masyarakat. Misalnya,
seseorang dapat membaca interaksi antara pasangan suami istri dalam hal hubungan khusus
56 Ibid, hlm. 113. 57 Umar Fauzan, “Analisis Wacana Kritis Model Fairclough”, hlm. 4.
dan Penerapan (Jakarta: Rajawali Pers, 2017), hlm. 11. 59 Umar Fauzan, “Analisis Wacana Kritis Model Fairclough”, hlm. 4. 60 Norman Fairclough, Media Discourse (London: Edward Arnold, 1995), Hlm. 48-49.
20
mereka (mikro/lebih dekat), hubungan antar mitra dalam keluarga sebagai institusi, atau
gender hubungan dalam masyarakat yang lebih besar (makro).61
a. Situasi
Teks dihasilkan tidak dalam ruang hampa, melainkan teks dihasilkan dalam suatu
kondisi dan atau susasana yang khas. Jika wacana dipahami sebagai suatu tindakan, maka
tindakan itu adalah upaya untuk merespon situasi atau konteks sosial tertentu.62
b. Institusional
Level ini melihat bagaimana pengaruh institusi terhadap produksi teks. Institusi yang
berhubungan dengan media bisa berupa ekonomi media maupun politik. Pengaruh ekonomi
terhadap media sangat penting, seperti halnya pengiklan akan sangat menentukan
keberlangsungan media. Selain ekonomi media, pengaruh institusi lain adalah politik.
Institusi politik bisa mempengaruhi kebijakan yang dilakukan media, seperti halnya di
negara dengan pemerintah mempunyai wewewang untuk melakukan kontrol dan
pengendalian, maka wacana yang muncul di media menjadi lain. Negara yang otoriter, yang
ditandai dengan represi dan pembredelan, akan berpengaruh dengan kebijakan di ruang
redaksi (news room). Politik yang menjadikan media sebagai sarananya, di samping media
partisan yang secara sengaja dibuat untuk tujuan politik, juga kontrol terhadap pikiran
masyarakat.63
c. Sosial
Perbedaan level sosial dengan situasi terletak pada cakupannya, sebagaimana telah
dijelaskan oleh Fairclough di atas. Aspek situasional lebih mengarah pada waktu atau
suasana yang mikro (konteks peristiwa saat peristiwa dibuat), sedangkan aspek sosial lebih
luas, lebih melihat pada aspek makro seperti sistem politik, ekonomi, atau budaya
masyarakat secara keseluruhan. Sistem-sistem tersebut pada akhirnya akan menentukan 61 Norman Fairclough, Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language, hlm. 132. 62 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, hlm. 322. 63 Ibid, hlm. 322-325.
21
siapa yang berkuasa, nilai-nilai apa yang dominan di masyarakat, dan bagaimana sistem dan
nilai tersebut mempengaruhi dan menentukan media. Masyarakat yang berideologi patriarkal
yang melihat perempuan kelas dua di bawah laki-laki, nilai-nilai tersebut akan
mempengaruhi isi pemberitaan. Demikian juga dengan teks yang diberitakan oleh seseorang
dari sistem politik otoriter tentu saja berbeda dengan teks yang dihasilkan dalam politik
liberal.64
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dalam pelaksanaannya.
Pendekatan deskriptif menurut Sudaryanto yaitu penelitian yang hanya dilakukan semata-
mata hanya berdasarkan fakta-fakta yang ada atau fenomena yang secara empiris hidup pada
penuturnya sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa perian bahasa yang biasa
dikatakan sifatnya seperti potret atau paparan seperti apa adanya.65 Deskriptif diartikan
sebagai memberikan deskripsi (pemerian) dan analisis bahasa. Bahasa diterangkan bagaimana
kerja dan penggunaannya oleh para penuturnya pada kurun waktu tertentu, bisa disebut juga
sebagai deskriptif sinkronik.66
Selain itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan kritis, Foss dan Littlejhon
dalam Setiawan menyebutkan bahwa aspek yang esensial dalam pandangan kritis yaitu upaya
pemahaman atas kondisi sosial yang tertindas (under represented groups) dan bertindak
(advokasi) mengatasi kekuatan yang menindas, dalam rangka memperjuangkan emansipasi
wanita dan partisipasi masyarakat secara luas.67
64 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, hlm. 325-326. 65 Muhammad, Metode Penelitian Bahasa (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hlm. 192. 66 A. Chaedar Alwasilah, Linguistik Suatu Pengantar, hlm. 100. 67 Yulianto Budi Setiawan, Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Kekerasan Berbasis Gender di Surat