Page 1
PENGARUH TEAT SPRAY MENGGUNAKAN
DEKOK DAUN SIRIH HIJAU (Piper betle L.)
TERHADAP JUMLAH BAKTERI BERDASARKAN
UJI REDUKTASE DAN PRODUKSI SUSU
PADA SAPI PFH
SKRIPSI
Oleh:
Nur Fitria Rohmah
NIM. 135050100111074
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
Page 2
PENGARUH TEAT SPRAY MENGGUNAKAN
DEKOK DAUN SIRIH HIJAU (Piper betle L.)
TERHADAP JUMLAH BAKTERI BERDASARKAN
UJI REDUKTASE DAN PRODUKSI SUSU
PADA SAPI PFH
SKRIPSI
Oleh:
Nur Fitria Rohmah
NIM. 135050100111074
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
Page 4
IDENTITAS TIM PENGUJI
Penguji 1 : Prof. Dr. Drh. Pratiwi Trisunuwati, MS
NIP : 19480615197702 2 001
Penguji 2 : Dr. Ir. Irfan H. Djunaidi, M.Sc
NIP : 19650627199002 1 001
Penguji 3 : Dr. Siti Azizah, S.Pt., M.Sos., M.Commun
NIP : 19750612199803 2 001
Page 5
i
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Nur Fitria Rohmah dilahirkan di
Madiun pada tanggal 4 Maret 1995 sebagai anak tunggal dari
pasangan Bapak Singgih Karjanto dan Ibu Wiwik Sariati.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh adalah pendidikan
Taman kanak-kanak di TK RA Masyitoh (2000-2001), sekolah
dasar di SDN 02 Mojorejo Madiun (2001-2007), sekolah
menengah pertama di SMPN 1 Madiun (2007-2010), sekolah
menengah atas di SMAN 1 Madiun (2010-2013), selanjutnya
penulis diterima di Program Studi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang melalui program
Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN)
pada tahun 2013.
Selama menjadi mahasiswa di Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya, penulis aktif menjadi anggota UKM
Unitantri Universitas Brawijaya. Penulis juga telah
melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) pada bulan Juli-
Agustus 2016 di PT. Charoen Pokphand Indonesia, Sidoarjo,
Jawa Timur dengan judul “Proses Produksi dan Kontrol
Kualitas Pakan Unggas di PT. Charoen Pokphand Indonesia,
Tbk Sidoarjo, Jawa Timur.”
Page 6
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini
dari awal hingga akhir. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada yang terhormat:
1. Bapak Singgih Karjanto dan Ibu Wiwik Sariati, orang
tua atas doa dan dukungannya baik secara moril
maupun materiil.
2. Ir. Endang Setyowati, MS selaku Pembimbing Utama
dan Dr. Ir. Tri Eko Susilorini, MP selaku Pembimbing
Pendamping yang telah meluangkan waktunya untuk
memberikan nasehat dan bimbingan selama proses
penulisan skripsi ini.
3. Prof. Dr. Sc. Agr. Ir. Suyadi, MS, Dekan Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya.
4. Dr. Agus Susilo, S.Pt, MP, Ketua Program Studi
Peternakan Universitas Brawijaya.
5. Prof.Dr.drh.Pratiwi Trisunuwati, MS, Dr.Ir.Irfan
H.Djunaidi, M.Sc., dan Dr. Siti Azizah, S.Pt.,
M.Sos.,M.Commun., selaku penguji atas masukan dan
saran selama Ujian Sarjana.
6. Bapak Suloso beserta staff dan karyawan KUD
Argopuro Kecamatan Krucil Kabupaten Probolinggo
atas ijin dan bantuannya selama penelitian.
7. Peternak Desa Bermi atas semua bantuannya ketika
penelitian.
8. Teman-teman tim penelitian “Puncak Krucil” : Asza,
Enjang, Yayuk, Widya dan Sebvyn atas bantuan dan
kerjasamanya selama penelitian.
Page 7
9. Teman-teman kelas B angkatan 2013 atas bantuan dan
dukungannya.
10. Seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung
selama proses penyusunan skripsi ini yang tidak dapat
disebutkan satu per satu.
Malang, Agustus 2017
Penulis
Page 8
PENGARUH TEAT SPRAY MENGGUNALAN DEKOK
DAUN SIRIH HIJAU(Piper betle L.) TERHADAP
JUMLAH BAKTERI BERDASARKAN UJI
REDUKTASE DAN PRODUKSI SUSU PADA SAPI PFH
Nur Fitria Rohmah1) Endang Setyowati2) dan Tri Eko
Susilorini2)
1Mahasiswa Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya,
Malang 2Dosen Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang
Email : [email protected]
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh teat spray menggunakan dekok daun sirih hijau (Piper betle L.) terhadap jumlah bakteri berdasarkan uji reduktase dan produksi susu. Metode penelitian dilakukan dengan metode
RCBD (Rancangan Acak Kelompok Lengkap), 3 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah iodip (P0) sebagai kontrol, P1 (daun sirih hijau 125 gram + 500 ml air) dan P2 (daun sirih hijau 250 gram + 500 ml air). Materi penelitian yang digunakan adalah 15 ekor sapi perah bulan laktasi 4,5 dan 6. Data dianalisis dengan menggunakan Analisis Varians (ANOVA) dan Analisis Kovarian
(ANCOVA) kemudian dilanjutkan dengan Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan teat spray tidak berpengaruh nyata (P> 0,05) dalam menurunkan jumlah bakteri, dekok daun sirih hijau 250 gram+ 500 ml air memiliki kemampuan terbaik. Rata-rata waktu uji reduktase adalah 322,3 ± 57,2 menit dibandingkan dengan iodips 296,6 ± 49,8 menit. Keduanya bisa
mempertahankan produksi susu.
Page 9
Kata kunci: teat spray, daun sirih hijau, uji reduktase, produksi susu
Page 10
THE EFFECT OF TEAT SPRAY USING GREEN
BETEL LEAVES (Piper betle L.) ON BACTERIAL
NUMBER BASED ON REDUCTASE TEST AND MILK
PRODUCTION IN DAIRY CATTLE.
Nur Fitria Rohmah1) Endang Setyowati2) and Tri Eko
Susilorini2)
1Student of Animal Husbandry Faculty, Brawijaya University, Malang
2Lecturer of Animal Husbandry Faculty, Brawijaya University,
Malang Email : [email protected]
ABSTRACT
The purpose of this research was to find out the effect of teat spray with green betel leaves extract (Piper betle L.) toward on bacterial number based on reductase test and milk
production. The research method was experiment with RCBD (Randomized Completely Block Design), 3 treatments and 5 replications. The treatment were iodips (P0) as a control, P1 (125 gram green betel leaves + 500 ml water) and P2 (250 gram green betel leaves + 500 ml water). The material used in this research 15 dairy cattles in 4,5 and 6 month of lactation. The data were analyzed using Analysis of Variance (ANOVA)
and Analysis of Covariance (ANCOVA) after that analyzed using Duncan Multiple Range Test (DMRT). The results showed that teat spray treatment has not different effect (P>0,05) in decreased the number of bacteria, which 250 gram green betel leaves+500 ml water has the best ability. The average time of reductase test was 322.3±57.2 minutes compared with iodips 296.6±49.8 minutes. Both of them could
maintain the milk production.
Page 11
Keywords: teat spray, green betel leaves, reductase test, milk production
Page 12
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang
Maha Kuasa, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi dengan judul “Pengaruh Teat Spray Menggunakan
Dekok Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) terhadap Jumlah
Bakteri Berdasarkan Uji Reduktase dan Produksi Susu pada
Sapi PFH” dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Strata satu (S-1) Sarjana
Peternakan pada Fakultas Peternakan
Terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini
dari awal hingga akhir. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada yang terhormat:
1. Bapak Singgih Karjanto dan Ibu Wiwik Sariati, orang
tua atas doa dan dukungannya baik secara moril
maupun materiil.
2. Ir. Endang Setyowati, MS selaku Pembimbing Utama
dan Dr. Ir. Tri Eko Susilorini, MP selaku Pembimbing
Pendamping yang telah meluangkan waktunya untuk
memberikan nasehat dan bimbingan selama proses
penulisan skripsi ini.
3. Prof. Dr. Sc. Agr. Ir. Suyadi, MS, Dekan Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya.
4. Dr. Agus Susilo, S.Pt, MP, Ketua Program Studi
Peternakan Universitas Brawijaya.
5. Prof.Dr.drh.Pratiwi Trisunuwati, MS, Dr.Ir.Irfan
H.Djunaidi, M.Sc., dan Dr. Siti Azizah, S.Pt.,
M.Sos.,M.Commun., selaku penguji atas masukan dan
saran selama Ujian Sarjana.
Page 13
iv
6. Bapak Suloso beserta staff dan karyawan KUD
Argopuro Kecamatan Krucil Kabupaten Probolinggo
atas ijin dan bantuannya selama penelitian.
7. Peternak Desa Bermi atas semua bantuannya ketika
penelitian.
8. Teman-teman tim penelitian “Puncak Krucil” : Asza,
Enjang, Yayuk, Widya dan Sebvyn atas bantuan dan
kerjasamanya selama penelitian.
9. Teman-teman kelas B angkatan 2013 atas bantuan dan
dukungannya.
10. Seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung
selama proses penyusunan skripsi ini yang tidak dapat
disebutkan satu per satu.
Malang, Agustus 2017
Penulis
Page 14
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka pikir penelitian 7
2. Rataan produksi susu berbagai bulan laktasi 14
3. Daun sirih hijau (Piper betle L.) 18
4. Rata-rata waktu reduktase setiap minggu
pengamatan 41
5. Rataan waktu reduktase masing-masing
perlakuan pada minggu terakhir dan estimasi
jumlah bakteri 43
6. Rata-rata produksi susu pada minggu terakhir 47
7. Rata-rata produksi susu setiap sebelum dan
sesudah perlakuan 48
Page 15
ix
DAFTAR ISI
Isi Halaman
RIWAYAT HIDUP i
KATA PENGANTAR iii
ABSTRACT v
RINGKASAN vii
DAFTAR ISI vix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR SINGKATAN xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan Penelitian 4
1.4 Kegunaan Penelitian 4 1.5 Kerangka Pikir 5
1.6 Hipotesis 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein 9
2.2 Susu 10
2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu 12
2.3.1 Faktor Genetik (Internal) 12
2.3.2 Bulan Laktasi dan Persistensi 13 2.3.3 Manajemen Pemerahan 15
2.4 Daun Sirih 17
2.4.1 Deskripsi Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) 17
2.4.2 Manfaat dan Kandungan Kimia Daun
Sirih Hijau 19
2.5 Teat Spray 22 2.6 Uji California Mastitis Test (CMT) 23
2.7 Uji Reduktase 25
Page 16
x
BAB III MATERI DAN METODE
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 29 3.2 Materi Penelitian 29
3.3 Metode Penelitian 29
3.4 Tahapan Penelitian 30 3.4.1 Persiapan Penelitian 30
3.4.2 Koleksi Data 30
3.4.3 Proses Pembuatan Iodips 2% 31 3.4.4 Proses Pembuatan Dekok Daun Sirih 31
3.4.5 Pelaksanaan Teat Spray 32
3.4.6 Prosedur Uji Reduktase 32
3.5 Variabel Penelitian 32 3.6 Analisis Data 33
3.6 Batasan Istilah 33
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian 35
4.2 Proses Pemerahan 36 4.3 Pengaruh Teat Spray terhadap Waktu
Reduktase Susu 37
4.4 Pengaruh Teat Spray dengan Dekok Daun
Sirih Hijau (Piper betle L.) terhadap Produksi Susu Sapi PFH 45
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 51
5.2 Saran 51
DAFTAR PUSTAKA 53
LAMPIRAN 65
Page 17
xi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Syarat mutu susu segar berdasarkan SNI 01-
3141-1998 : Susu Segar 11
2. Nilai rerata total fenol oleoresin daun sirih hiaju
dari masing-masing kombinasi perlakuan 20
3. Kandungan lemak/minyak atsiri 21
4. Perbandingan teat spray dan teat dipping 23
5. Interpretasi dan skor mastitis berdasarkan CMT 25
6. Kualitas susu berdasarkan waktu reduktase 27
7. Rata-rata waktu (menit) reduktase dan estimasi
jumlah bakteri (105/ml) setiap minggu 38
8. Perubahan waktu reduktase dari minggu ke
minggu untuk melihat efektivitas larutan teat
spray 40
9. Rata-rata produksi susu (liter) sebelum dan
sesudah diberi perlakuan teat spray 45
Page 18
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Susu adalah bahan pangan yang berasal dari sekresi
kelenjar ambing pada hewan mamalia (sapi, kambing, kerbau,
dan kuda). Susu memiliki kandungan gizi yang tinggi dan
merupakan bahan makanan sempurna, karena mengandung
hampir semua zat gizi yang diperlukan tubuh manusia dalam
jumlah yang cukup dan seimbang. Oleh karena itu, susu dapat
dijadikan pilihan pertama untuk dikonsumsi bagi penderita
gizi buruk. Ketersediaan susu perlu diperhatikan untuk
memenuhi angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Susu
merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan bakteri
dan dapat menjadi sarana bagi penyebaran bakteri yang
membahayakan kesehatan manusia. Susu akan mudah
tercemar mikroorganisme bila penanganannya tidak
memperhatikan aspek kebersihan. Upaya memenuhi
ketersediaan susu harus disertai dengan peningkatan kualitas
dan keamanan produk susu, karena seberapa pun tinggi nilai
gizi suatu bahan pangan akan menjadi tidak berarti bila bahan
pangan tersebut berbahaya bagi kesehatan. Dikatakan oleh
Gustiani (2009) bahwa pada umumnya bakteri merupakan
penyebab utama penyakit yang ditularkan dari ternak ke
manusia melalui pangan. Bakteri yang menyerang ternak saat
dikandang dapat menular ke manusia karena pemeliharaan dan
proses panen yang tidak higienis. Pemerahan susu yang tidak
sesuai anjuran dapat menyebabkan susu tercemar
mikroorganisme dari lingkungan sekitar sehingga kualitas susu
menurun.
Page 19
2
Pemakaian antiseptik sangat diperlukan untuk
pencegahan infeksi baru setelah pemerahan, sehingga setelah
pemerahan tidak dilakukan teat spray maka akan
meningkatkan resiko kejadian mastitis (Budiarto, 2010).
Mastitis adalah peradangan kelenjar susu ditandai dengan
perubahan fisik, kimia, bakteriologis dan sitologis dalam susu.
Perubahan patologis di jaringan kelenjar ambing dan efek pada
kualitas dan kuantitas susu setelah diamati (Idriss, Foltys,
Tancin, Kirchnerov, Tancinova, dan Zeujec, 2014). Tanda-
tanda mastitis bervariasi seperti timbulnya secara bertahap
jaringan-jaringan pada ambing sehingga susu akan rusak,
terdapat sel/jaringan darah dan bahkan nanah, susu menjadi
encer/mencair dan mengandung banyak gumpalan (Murti,
2013).
KUD Argopuro merupakan Koperasi Unit Desa yang
terletak di Desa Kertosuko Kecamatan Krucil Kabupaten
Probolinggo. KUD Argopuro membawahi peternak-petenak
dengan jumlah populasi 7.628 ekor pada tahun 2011.
Berdasarkan laporan screening sebelumnya kasus mastitis
terbanyak adalah subklinis, karena kebiasaan peternak yang
tidak memperhatikan manajemen pemerahan sehingga sapi
perah yang terkena mastitis subklinis maka akan berkembang
menjadi klinis (Prawesthirini, Ferianto dan Supranianondo,
2012)
Penelitian konsentrasi daun sirih yang dilakukan
Saraswati (2011) terhadap bakteri Escherichia coli
menunjukkan bahwa penggunaan dekok daun sirih pada
konsentrasi 50,75 dan 100 % dapat menghambat bakteri
Escherichia coli atau dikatakan sensitif (peka). Hamidah,
Kumalaningsih, dan Dewi (2014) menambahkan bahwa
terhadap suhu dan waktu ekstraksi daun sirih hijau
Page 20
3
menunjukkan bahwa hasil rerata analisis total fenol tertinggi
pada suhu 60°C dan lama waktu ekstraksi 2 jam sebesar
45,7306 mg GAE (Gallic Acid Equivalent)/g.
Kualitas susu dapat dilihat dengan uji reduktase yang
memberikan gambaran mengenai higienis susu. Penelitian
Nababan, Suada dan Swacita (2014) menyatakan bahwa waktu
reduktase susu segar pada proses penyimpanan ini sangat lama
dibuktikan lama waktu reduktase dengan total rata-rata 7,937
jam diperkirakan jumlah bakterinya sebanyak 1.000.000 -
4.000.000 per ml, sedangkan waktu reduktase susu yang
normal adalah dua sampai lima jam. Semakin lama terjadi
perubahan warna methylene blue pada susu segar menjadi
putih kembali, menunjukkan bahwa jumlah bakteri dalam susu
semakin sedikit.
Berdasarkan uraian diatas, maka akan dilakukan
penelitian untuk mengetahui efektivitas teat spray dengan
menggunakan dekok daun sirih hijau (Piper betle L.) sebagai
alternatif penggunaan antiseptik kimia untuk mencegah
mastitis. Teat spray dilakukan dengan menyemprotkan dekok
pada puting sapi PFH dengan dekok daun sirih hijau (Piper
betle L.) setelah pemerahan. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui apakah pemberian dekok daun sirih hijau 125
gram+500 ml air sebagai P1 dan 250 gram+500 ml air sebagai
P2 dapat menurunkan jumlah bakteri sehingga diharapkan
diikuti dengan naiknya produksi susu.
Page 21
4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, diketahui
rumusan masalah yaitu :
1. Bagaimana pengaruh teat spray menggunakan
dekok daun sirih hijau terhadap jumlah bakteri
berdasarkan uji reduktase dan produksi susu ?
2. Berapa konsentrasi terbaik dekok daun sirih hijau
yang menghasilkan jumlah bakteri paling kecil ?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu :
1. Mengetahui pengaruh teat spray menggunakan
dekok daun sirih hijau terhadap jumlah bakteri
berdasarkan uji reduktase dan produksi susu.
2. Mengetahui berapa konsentrasi dekok daun sirih
hijau yang menghasilkan jumlah bakteri paling
kecil.
1.4 Kegunaan Penelitian
1. Memberikan pengetahuan kepada peternak
tentang pentingnya teat spray yang dilakukan
setelah pemerahan guna meningkatkan kualitas
dan produksi susu.
2. Memberikan alternatif pilihan dengan
mengimplementasikan dekok daun sirih hijau
untuk teat spray sebagai pengganti antiseptik
kimia jika harga larutan kimia mahal atau sulit di
dapat.
3. Sebagai bahan informasi bagi pihak peneliti
selanjutnya, khususnya yang akan membahas
Page 22
5
tentang penggunaan dekok daun sirih hijau
sebagai alternatif larutan teat spray.
1.5 Kerangka Pikir
Susu merupakan salah satu pangan asal ternak yang
memiliki kandungan gizi yang yang tinggi seperti protein,
lemak, mineral dan beberapa vitamin. Kandungan protein,
glukosa, lipida, mineral dan vitamin yang cukup tinggi maka
bakteri mudah tumbuh dan berkembang (Suwito dan Andriani,
2012).
Kualitas susu merupakan faktor yang sangat penting
apakah susu tersebut layak dikonsumsi atau tidak. Hal ini
karena nilai pH susu antara 6,5 sampai 6,6 merupakan kondisi
yang sangat menguntungkan bagi mikroorganisme karena pH
mendekati netral (pH 6,5-7,5) paling baik untuk pertumbuhan
bakteri sehingga susu akan mudah rusak. Kerusakan susu
sebagian besar disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme.
Mikroorganisme yang dapat mencemari susu terbagi menjadi
dua golongan, yaitu mikroorganisme patogen dan
mikroorganisme pembusuk (Cahyono, Padaga, dan Sawitri,
2013).
Bakteri merupakan penyebab utama penyakit yang
dapat ditularkan dari ternak ke manusia melalui pangan.
Bakteri yang menyerang ternak saat dikandang dapat menular
ke manusia karena pemeliharaan dan proses panen yang tidak
higienis. Teat spray yang tidak sesuai anjuran dapat
menyebabkan susu tercemar mikroorganisme dari lingkungan
sekitar sehingga kualitas susu menurun (Gustiani, 2009).
Kualitas susu dapat dilihat dengan uji reduktase yang
memberikan gambaran mengenai higienis susu. Penelitian
Nababan, dkk., (2014) menyatakan bahwa waktu reduktase
Page 23
6
susu segar pada proses penyimpanan ini sangat lama
dibuktikan lama waktu reduktase dengan total rata-rata 7,937
jam diperkirakan jumlah bakterinya sebanyak 1.000.000 -
4.000.000 per ml, sedangkan waktu reduktase susu yang
normal adalah dua sampai lima jam. Semakin lama terjadi
perubahan warna methylene blue pada susu segar menjadi
putih kembali, menunjukkan bahwa jumlah bakteri dalam susu
semakin sedikit.
Menurut Lutviandhitarani, Harjanti, dan Wahyono
(2015), bahwa daun sirih mengandung fenol, yang memiliki
peran sebagai racun bagi mikroba dengan menghambat
aktivitas enzimnya. Katekol, pirogalol, quinon, eugenol,
flavon dan flavonoid merupakan termasuk golongan fenol dan
mempunyai kemampuan sebagian bahan antimikroba.
Menurut penelitian Poeloengan, Susan dan Andriani
(2005), dekok daun sirih pada konsentrasi 12,5, 25 dan 50%
yang digunakan untuk perlakuan pencelupan puting sapi
penderita mastitis dapat menurunkan jumlah bakteri yang
terkandung dalam susu. Dekok daun sirih mempunyai
kemampuan yang setara untuk menurunkan jumlah bakteri
susu Jika dibandingkan dengan perlakuan pencelupan puting
dengan antiseptik. Saraswati (2011) menyatakan bahwa
pemberian dekok daun sirih pada konsentrasi 50, 75 dan
100% dapat menghambat bakteri Escherichia coli atau
dikatakan sensitif (peka). Perlu diadakan penelitian lapang
tentang penggunaan dekok daun sirih hijau dalam penurunan
jumlah bakteri dan peningkatan produksi susu, sehingga
peternak diharapkan memiliki pengetahuan tentang pentingnya
teat spray setelah pemerahan dengan alternatif pemanfaatan
dekok daun sirih hijau sebagai pengganti antiseptik kimia
(Gambar 1).
Page 24
7
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian
Pemeliharaan Sapi
PFH
Prosedur
Pemerahan
Teat Spray
Penurunan tingkat kejadian mastitis dan jumlah bakteri
Dekok daun sirih telah memberikan efek pada
konsentrasi 10%, semakin tinggi konsentrasi
maka efek yang diberikan semakin besar
(Yuniarni, Lukmayani, dan Fitriani, 2014)
Penggunaan dekok daun sirih pada
konsentrasi 50,75 dan 100 % dapat
menghambat bakteri Escherichia coli atau
dikatakan sensitif (peka) (Saraswati, 2011)
Manajemen pemerahan dibagi
menjadi tiga tahap yaitu tahap
persiapan, tahap pelaksanaan
pemerahan dilakukan dengan
cara whole hand. Tahap
pengakhiran dalam kegiatan
pemerahan adalah mencuci
ambing dan melakukan teat
dipping (Surjowardojo, 2011)
Uji bakteri dengan reduktase
Kandungan zat antibakteri yang terdapat
dalam daun sirih sangat efektif digunakan
dalam menghambat pertumbuhan bakteri
(Lutviandhitarani, dkk., 2015 )
Iodip Dekok daun sirih hijau
Peningkatan produksi susu
Page 25
8
1.6 Hipotesis
Dekok daun sirih hijau sebagai larutan teat spray
berpengaruh terhadap penurunan jumlah bakteri dan
menstabilkan produksi susu.
Page 26
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein
Sapi perah merupakan jenis sapi yang meghasilkan
susu melebihi kebutuhan untuk anaknya. Produksi susu sapi
perah dipengaruhi oleh faktor antara lain: bangsa dan individu,
tingkat laktasi, kecepatan sekresi susu, pemerahan, umur,
siklus birahi, periode kering, pakan, lingkungan serta penyakit
(Surjowardojo, Suyadi, Hakim, dan Aulani’am, 2008).
Sapi PFH merupakan hasil persilangan antara sapi FH
dengan sapi lokal yang ada di Indonesia (Mukhtar, 2006).
Menurut Soetarno (2003) sejak tersebarnya sapi FH di
beberapa daerah di Indonesia, khususnya pulau Jawa, telah
terjadi perkawinan secara tidak terencana antara sapi FH
dengan sapi lokal dan menghasilkan keturunan yang disebut
PFH. Hasil persilangan ini lebih terkenal dengan nama sapi
grati (Sunarko, Sutrasno, Siwi, Kumalajati, Supriadi, Marsudi
dan Budiningsih, 2009). Sapi PFH mewarisi sifat bobot badan
cukup tinggi dan mudah beradaptasi dengan lingkungan tropis
dengan produksi susu yang relatif tinggi. Namun buruknya
manajemen reproduksi sapi perah menyebabkan produktifitas
susu relatif rendah, sehingga tidak dapat mencukupi
kebutuhan susu dalam negeri (Zainudin, Ihsan dan Suyadi,
2014).
Ciri-ciri fisik dari sapi PFH menyerupai sapi FH,
namun produksinya relatif lebih rendah (Sunarko, dkk., 2009).
Ciri-ciri fisiknya antara lain yaitu memiliki kepala agak
panjang, mulut lebar, lubang hidung terbuka luas, ukuran
tubuh besar, pinggang sedang, dan telinga sedang.
Page 27
10
2.2 Susu
Susu sapi perah merupakan salah satu bahan pangan
yang sangat penting dalam mencukupi kebutuhan gizi
masyarakat, karena susu bernilai gizi tinggi dan mempunyai
komposisi zat gizi lengkap dengan perbandingan gizi yang
sempurna, sehingga mempunyai nilai yang sangat startegis.
Susu sebagai salah satu sumber protein hewani yang
dibutuhkan oleh generasi muda terutama usia sekolah (Utomo
dan Miranti, 2010). Susu mempunyai nilai gizi yang tinggi,
karena mengandung unsur-unsur kimia yang dibutuhkan
oleh tubuh seperti protein dan lemak yang tinggi. Syarat
mutu susu segar menurut SNI 01-3141-1998 yaitu BJ 1,028,
kadar lemak minimum 3%, kadar bahan kering tanpa lemak
minimum 8% dan kadar protein minimum 2,7%. Syarat mutu
susu berdasarkan SNI disajikan dalam Tabel 1.
Page 28
11
Tabel 1. Syarat mutu susu segar berdasarkan SNI 01-3141-
1998 : Susu Segar.
Karakteristik Syarat
Berat jenis (pada suhu 27,5°C) minimum 1,0280
Kadar lemak minimum 3,0 %
Kadar BK tanpa lemak minimum 8,0%
Kadar protein minimum 2,7%
Warna, bau, rasa dan kekentalan Tidak ada
perubahan
Derajat asam 6-7° SH
Uji alkohol (70%) Negatif
Uji katalase maksimum 3 (cc)
Angka refraksi 36-38
Angka reduktase 2-5 (jam)
Cemaran mikroba maksimum
a. Total kuman
b. Salmonella
c. S.colt (patogen)
d. Caliform
e. Streptococcus Group B
f. Staphylococcus aureus
1 x 106 CFU/ml
Negatif
Negatif
20/ml
Negatif
1 x 102 / ml
Jumlah sel somatik 4 x 105 / ml
Cemaran logam berbahaya maksimum
a. Timbal (Pb)
b. Seng (Zn)
c. Merkuri (Hg)
d. Arsen (As)
0,3 ppm
0,5 ppm
0,5 ppm
0,5 ppm
Sumber : Badan Standar Nasional SNI 01-3141-1998 : Susu
Segar.
Page 29
12
Menurut Suwito (2010), susu merupakan salah satu
bahan pangan yang kaya akan zat gizi. Kandungan protein,
glukosa, lipida, garam mineral, dan vitamin dengan pH sekitar
6,80 menyebabkan mikroorganisme mudah tumbuh dalam
susu. Secara alami, susu mengandung mikroorganisme kurang
dari 5 x 103 per ml jika diperah dengan cara yang benar dan
berasal dari sapi yang sehat. Susu sapi yang berasal dari sapi
yang sehat dapat tercemar mikroba non patogen yang khas
segera setelah diperah. Pencemaran juga dapat berasal dari
sapi, peralatan pemerahan, ruang penyimpanan yang kurang
bersih, debu, udara, lalat dan penanganan oleh manusia.
Pertumbuhan mikroba dalam susu dapat menurunkan mutu
dan keamanan pangan susu, yang ditandai oleh perubahan
rasa, aroma, warna, konsistensi, dan tampilan. Mutu
mikrobiologik susu ditentukan oleh jumlah dan jenis mikroba
yang ada dalam susu, yang secara langsung akan
mempengaruhi daya simpan dan kelayakan produk untuk
dikonsumsi (Handayani dan Purwanti, 2010). Penilaian mutu
dan produksi susu yang sering digunakan sebagai tolak
ukurnya adalah berdasarkan uji kualitas susu terhadap
komposisi susu dan keadaan fisik susu. Uji kualitas susu salah
satunya dapat ditinjau dari uji reduktase yang merupakan
pemeriksaan terhadap keadaan susu yang berguna untuk
mengestimasi jumlah bakteri dalam susu.(Nababan, Suada,
dan Swacita, 2015).
1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu
1.3.1 Faktor Genetik (Internal)
Produksi susu yang dihasilkan seekor sapi perah
laktasi sangat bervariasi. Variasi tersebut dapat disebabkan
oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi
Page 30
13
produksi susu yaitu faktor genetik. Faktor genetik terhadap
komposisi dan produksi susu berkisar antara 25 – 30 %.
Faktor-faktor genetik tersebut antara lain bangsa sapi,
individu, keturunan, lama laktasi, hormonal, lama bunting,
umur dan ukuran badan (Mukhtar, 2006). Bangsa sapi perah
FH merupakan sapi perah yang produksi susunya tertinggi,
dibandingkan bangsa-bangsa sapi perah lainya yaitu 7.245
kg/laktasi dengan persentase lemak sebesar 3,5%. Bangsa sapi
perah yang tubuhnya seperti Holstein dan Bronwiss memiliki
jumlah produksi susu yang lebih tinggi dibandingkan bangsa
sapi perah lainnya. Faktor individu merupakan pembeda setiap
individu di dalam kelompok jenis yang sama dilihat dari
jumlah produksi susu yang dihasilkan per masa laktasi. Variasi
individual dalam satu bangsa sapi yang sama, sebagian besar
disebabkan oleh faktor lketurunan dan faktor lingkungan
(Abdillah, Hartono dan Siswanto, 2015).
Menurut Anggraeni (2007) seiring dengan berjalannya
waktu produksi, sejumlah faktor lain dapat pula memberi
pengaruh pada kemampuan produksi susu ternak yang umum
ditemukan pada peternakan rakyat, seperti rendahnya sumber
daya genetik ternak itu sendiri, penurunan standar manajemen
pemeliharaan dan berkurangnya aktivitas seleksi pada
replacement stock. Dinyatakan pula, kondisi tersebut
merupakan suatu fenomena yang umum ditemukan pada
adopsi budidaya sapi perah subtropis di daerah tropis.
2.3.2 Bulan Laktasi dan Persistensi
Selama laktasi, pola kurva produksi susu mengalami
perubahan yang terlihat tidak tetap. Setelah beranak, produksi
susu agak rendah, kemudian meningkat sampai mencapai
puncaknya sekitar bulan kedua laktasi. Setelah itu, secara
Page 31
14
perlahan mengalami penurunan dan mencapai titik terendah
pada bulan laktasi kedelapan sampai kesepuluh. Produksi susu
berkaitan erat dengan kondisi tubuh. Puncak produksi susu
dicapai saat masa laktasi 31-100 hari (Sukandar, Purwanto,
dan Anggraeni, 2009). Suharyono, Farida, Kurniawati, dan
Adiarto (2010) menyatakan bahwa periode awal laktasi
merupakan masa yang paling menentukan terhadap tingkat
produksi dan reproduksi sapi perah. Rataan produksi susu
sepanjang laktasi seluruh periode laktasi ditampilkan pada
Gambar 2.
Gambar 2. Rataan produksi susu berbagai bulan laktasi
(Sukandar dkk., 2009).
Penurunan produksi susu setelah puncak produksi
susu menunjukkan persistensi. Persistensi produksi adalah
kemampuan ternak dalam menjaga tingginya produksi susu
selama laktasi. (Suharyono, Farida, Kurniawati dan Adiarto,
Page 32
15
2010). Lamanya produksi puncak bertahan selama 60 hari
yaitu pada bulan laktasi kedua sampai bulan laktasi ketiga
yang kemudian diikuti dengan masa penurunan produksi susu
sampai akhir masa laktasi. Salah satu parameter kurva laktasi
yang sangat penting adalah persistensi. Sapi yang lebih
persisten, lebih resisten terhadap stress pada puncak produksi
dan lebih menguntungkan secara ekonomis. Sapi harus mampu
menunjukkan kemampuan untuk mempertahankan tingkat
produksi yang tinggi sepanjang masa laktasi untuk
menghasilkan produksi yang tinggi. Persistensi yang baik
berkisar antara 94-96%. Selain itu, persistensi juga merupakan
satu sifat yang mempunyai nilai ekonomis langsung, karena
erat terkait dengan kemampuan reproduksi (Tiesnamurti,
Inounu, Subandriyo dan Martojo, 2003).
2.3.3 Manajemen Pemerahan
Salah satu faktor yang menentukan produksi susu
adalah manajemen pemerahan. Manajemen pemerahan yang
kurang tepat akan meningkatkan kejadian mastitis pada sapi
perah dan mempengaruhi produksi susu yang dihasilkan.
Manajemen pemerahan dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap
persiapan, tahap pelaksanaan pemerahan dan tahap. Tahap
persiapan pemerahan meliputi memandikan sapi,
membersihkan ambing dengan air hangat yang dibasuhkan
dengan handuk dan mengeringkan ambing dengan handuk
kering. Tahap pelaksanaan pemerahan dilakukan dengan cara
whole hand. Tahap yang terakhir dalam kegiatan pemerahan
adalah mencuci ambing dan melakukan teat dipping
(Surjowardojo, 2011). Teat spray adalah penyemprotan puting
dengan antiseptik segera setelah pemerahan, sehingga apabila
tidak dilakukan teat spray maka akan meningkatkan resiko
Page 33
16
kejadian mastitis (Budiarto, 2010). Menurut Prihutomo,
Setiani dan Harjanti (2015) menyatakan bahwa usaha
membersihkan kandang dan bagian-bagian tubuh sapi yang
dapat mengotori hasil pemerahan bisa dilakukan menggunakan
langkah- langkah seperti mencuci lantai kandang dengan
menyemprotkan air bertekanan tinggi, mencuci lipatan paha,
ambing dan puting pada sapi sembari dipijat secara perlahan
menggunakan air hangat, mengeringkan puting dengan kain
bersih dan membuang susu pada pancaran pertama.
Manajemen pemerahan yang kurang tepat dapat
menimbulkan masalah kesehatan pada sapi perah, salah satu
penyakit yang menyerang sapi perah karena kurang tepatnya
manajemen pemerahan yaitu mastitis subklinis. Mastitis
adalah peradangan kelenjar susu ditandai dengan perubahan
fisik, kimia, bakteriologis dan sitologis dalam susu. Perubahan
patologis di jaringan kelenjar ambing dan efek pada kualitas
dan kuantitas susu setelah diamati (Idris et al., 2014). Tanda-
tanda mastitis bervariasi seperti timbulnya secara bertahap
jaringan-jaringan pada ambing sehingga susu akan rusak,
terdapat sel/jaringan darah dan bahkan nanah, susu menjadi
encer/mencair dan mengandung banyak gumpalan (Murti,
2013). Penyakit tersebut disebabkan oleh berbagai jenis
mikroba patogen yang masuk dalam ambing susu melalui
saluran susu pada puting. Disamping faktor patogen, faktor
penularan mastitis non mikroba patogen dapat terjadi dari satu
puting ke puting yang lain pada saat pemerahan susu, seperti
faktor lingkungan dan sanitasi. Proses penularan agen
penyebab mastitis dapat terjadi pada saat pemerahan susu
secara manual, melalui tangan pemerah, air yang dipakai
mencuci ambing, kain lap atau peralatan lain yang dipakai
pada saat pemerahan susu. Kerugian ekonomi yang
Page 34
17
disebabkan oleh penyakit mastitis subklinis berupa penurunan
produksi susu, masa laktasi yang lebih pendek, dan
bertambahnya biaya pengobatan (Supar dan Aryanti, 2008)
2.4 Daun Sirih
Sirih (Piper betle L.) merupakan tumbuhan obat yang
sangat besar manfaatnya, mengandung zat antiseptik pada
seluruh bagiannya. Daunnya banyak digunakan sebagai bahan
obat tradisional. Khasiat daun sirih sudah banyak dikenal dan
telah teruji (Saraswati, 2011). Selanjutnya menurut Priyono
dan Praptiwi (2009) menyatakan bahwa daun sirih muda
mempunyai kadar minyak atsiri lebih tinggi dari daun tua. Hal
tersebut juga didukung oleh pendapat Pradhan, Suri, Pradhan
dan Biswasroy (2013) bahwa daun sirih muda yang segar
mengandung enzim diastase dan minyak atsiri jauh lebih
banyak dibandingkan daun yang tua.
Foo, Salleh dan Mamat (2015), menyatakan bahwa
aroma khas dari daun sirih hijau dihasilkan oleh minyak atsiri
dalam daun dan daun sirih muda lebih banyak menghasilkan
minyak atsiri. Menurut Hamidah, dkk., (2014), sirih
merupakan tanaman terna atau sejenis tanaman rempah yang
bersifat antifungi, antimikroba dan antioksidan. Hal ini
disebabkan karena di dalam dekok daun sirih mengandung
minyak atsiri diantaranya adalah senyawa kavikol dan eugenol
sehingga dapat dijadikan alternatif pengawet alami.
2.4.1 Deskripsi Daun Sirih Hijau (Piper betle L.)
Sirih termasuk dalam famili Piperaceae, merupakan
jenis tumbuhan merambat dan bersandar pada batang pohon
lain, yang tingginya 5-15 meter. Sirih memiliki daun tunggal
letaknya berseling dengan bentuk bervariasi mulai dari bundar
Page 35
18
telur atau bundar telur lonjong, pangkal berbentuk jantung atau
agak bundar berlekuk sedikit, ujung daun runcing, pinggir
daun rata agak menggulung ke bawah, panjang 5-18 cm, lebar
3-12 cm. Daun berwarna hijau, permukaan atas rata, licin agak
mengkilat, tulang daun agak tenggelam, permukaan bawah
agak kasar, kusam, tulang daun menonjol, bau aromatiknya
khas, rasanya pedas. Sedangkan batang tanaman berbentuk
bulat dan lunak berwarna hijau agak kecoklatan dan
permukaan kulitnya kasar serta berkerut-kerut (Dwivedi and
Tripathi, 2014)
Klasifikasi ilmiah tanaman daun sirih hijau adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Division : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Piperales
Family : Piperaceae
Genus : Piper
Species : Piper betle linn
Gambar 3. Daun sirih hijau (Piper betle L.)
Sumber : www.google.com
Page 36
19
2.4.2 Manfaat dan Kandungan Kimia Daun Sirih
Hijau
Daun sirih (Piper betle L.) secara umum telah dikenal
masyarakat sebagai bahan obat tradisional. Seperti halnya
dengan antibiotika, komponen aktif yang terdapat dalam daun
sirih dapat berfungsi sebagai antioksidan dan antimikrobia.
Kandungan beberapa senyawa yang ada didalam daun sirih
hijau membuktikan bahwa daun sirih hijau mempunyai sifat
antimikroba yaitu kandungan fenol yang dapat menghambat
aktifitas bakteri (Hamidah, dkk., 2014).
Daun sirih mengandung fenol, yang memiliki peran
sebagai racun bagi mikroba dengan menghambat aktivitas
enzimnya. Katekol, pirogalol, quinon, eugenol, flavon dan
flavonoid merupakan termasuk golongan fenol dan
mempunyai kemampuan sebagai bahan antimikroba. Saponin
dan tannin pada daun sirih bersifat sebagai antiseptik pada
luka permukaan, bekerja sebagai bakteriostatik yang biasanya
digunakan untuk infeksi pada kulit, mukosa dan melawan
infeksi pada luka serta flavanoid selain berfungsi sebagai
bakteriostatik juga berfungsi sebagai anti inflamasi
(Lutviandhitarani, dkk., 2015 ).
Menurut hasil penelitian Hamidah, dkk., (2014) total
fenol dengan menggunakan suhu ekstraksi berturut-turut 30,
40, 50 dan 60°C menunjukkan hasil total fenol yang diperoleh
dari proses ekstraksi mengalami peningkatan, hal ini
disebabkan karena dengan semakin tingginya suhu ekstraksi
yang digunakan menyebabkan total fenol yang dihasilkan
semakin meningkat. Hal ini diduga karena semakin tinggi suhu
ekstraksi maka senyawa yang bersentuhan dengan pelarut akan
meningkat dan menyebabkan senyawa fenol banyak yang
terekstrak. Hasil rerata analisis total fenol tertinggi pada suhu
Page 37
20
60°C dan lama waktu ekstraksi 2 jam sebesar 45,7306 mg
GAE/g, sedangkan hasil terendah pada suhu 30°C dan lama
waktu ekstraksi 2 jam sebesar 30,3290 mg GAE/g.
Tabel 2. Nilai rerata total fenol oleoresin daun sirih hijau dari
masing-masing kombinasi perlakuan
Perlakuan
Rerata Total Fenol (mg
GAE/g) Suhu (°C)
Waktu ekstraksi
dengan etanol
(jam)
30
40
50
60
1
32,0623
33, 3804
36, 9222
40, 4075
30
40
50
60
2
30, 3290
36, 0021
43, 9549
45,7306
Sumber : Hamidah, dkk., (2014)
Kandungan zat antibakteri yang terdapat dalam daun
sirih sangat efektif digunakan dalam menghambat
pertumbuhan bakteri. Daun sirih memiliki minyak atsiri,
minyak atsiri mengandung sitral dan eugenol yang berfungsi
sebagai anastetik antiseptik (Lutviandhitarani, dkk., 2015 ).
Berdasarkan hasil penelitian Nisa, Nugroho dan
Hendrwan (2014), kadar minyak atsiri terendah yaitu 1,87%
dihasilkan pada waktu 3 menit dengan suhu 50°C, sedangkan
hasil minyak tertinggi yaitu 5,23% pada waktu 1,5 menit
dengan suhu 40°C. Hasil kadar minyak atsiri disajikan dalam
Tabel 3.
Page 38
21
Tabel 3. Kandungan lemak/minyak atsiri
Perlakuan Kadar lemak
Waktu
ekstraksi
dengan
etanol
(menit)
Suhu
(°C)
Lemak
(%)
ml/ml
larutan
g/100 g
daun
sirih
hijau
1
40
4,18 9,2 ml 4,18 g
1,5 5,23 15,7 ml 5,23 g
2 2,54 6,9 ml 2,54 g
2,5 2,12 4,5 ml 2,12 g
3 2,07 5,8 ml 2,07 g
1
50
2,53 3,3 ml 2,53 g
1,5 2,51 3,8 ml 2,51 g
2 3,28 4,1 ml 3,28 g
2,5 2,55 3,9 ml 2,55 g
3 1,87 0,7 ml 1,87 g
Sumber : Nisa, Nugroho dan Hendrawan (2014)
Saraswati (2011) berpendapat bahwa dekok daun sirih
konsentrasi 25% memiliki rata-rata daya hambat terhadap
Escherichia coli sebesar 13,14 mm dan konsentrasi daya
hambat konsentrasi 50% sebesar 15,1 mm, artinya semakin
tinggi konsentrasi daun sirih maka semakin besar pula daya
hambatnya. Hal tersebut juga didukung oleh Yuniarni, dkk.,
(2014) bahwa dekok daun sirih dengan konsentrasi 10, 20,
30% masing-masing memiliki aktivitas antibakteri yang
berbeda. Dekok daun sirih telah memberikan efek pada
konsentrasi 10%, semakin tinggi konsentrasi maka efek yang
diberikan semakin besar. Candrasari, Romas, Hasbi dan Astuti
Page 39
22
(2012) menyatakan bahwa penggunakan dekok daun sirih
dengan konstentrasi 2,5% dan 5% tidak menunjukkan efek
antibakteri terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus.
Biakan Staphylococcus aureus mulai terbentuk zona hambat
pada konsentrasi dekok sebesar 10% dan semakin meningkat
seiring dengan meningkatnya kadar konsentrasi dekok.
2.5 Teat Spray
Setelah selesai proses pemerahan saluran air susu pada
puting beberapa saat masih terbuka sehingga kuman atau
bakteri lebih mudah masuk ke dalam ambing. Oleh karena itu
puting perlu segera disucihamakan dengan menggunakan
antiseptik agar dapat mencegah masuknya bibit penyakit yang
dapat menyebabkan mastitis atau peradangan pada ambing.
(Kurniawan, Sarwiyono dan Surjowardojo, 2013).
Pemakaian antiseptik sangat diperlukan untuk
pencegahan infeksi baru setelah pemerahan. Teat spray adalah
penyemprotan puting dengan antiseptik segera setelah
pemerahan, sehingga apabila tidak dilakukan teat spray maka
akan meningkatkan resiko kejadian mastitis (Budiarto, 2010).
Menurut Jones (2006) bahwa teat spray akan lebih
efektif apabila dilakukan dengan cara mengarahkan semprotan
secara vetikal serta horizontal. Hal ini diharapkan seluruh
bagian puting terkena semprot antiseptik. Berbeda dengan
pendapat Williamson and Malcolm (2012) bahwa aplikasi
penyemprotan puting lebih mudah dan cepat dalam
mensucihamakan puting. Penerapan teat spray bisa seefektif
teat dipping apabila dilakukan dengan benar. Posisi nozel
semprot harus diposisikan berada dibawah puting dengan
gerakan melingkar agar antiseptik yang disemprot mengenai
lubang puting. Semprotan nozel yang mengarahkan semprotan
Page 40
23
secara vertikal mencapai cakupan puting jauh lebih baik
daripada mengarahkan semprotan secara horizontal.
Tabel 4. Perbandingan teat spray dan teat dipping
Sistem Kelebihan Kekurangan
Penyemprotan
tangan
Murah, bisa
dibawa kemana
saja
Harus isi ulang,
rawan*
Penyemprotan
tekanan
Cepat, tidak
terlalu sering
mengisi
antiseptik
Lebih mahal,
rawan*
Teat dipping
Cakupan
antiseptik terkena
puting merata
Aplikasi cukup
lama, harus diisi
ulang, resiko
terjadinya
penyebaran
mikroba dari
puting satu ke
puting lain.
*Efektivitas aplikator semprot harus diperhatikan untuk
memastikan nozel semprot memancar benar
Sumber : Annonimous (2003)
2.6 Uji California Mastitis Test (CMT)
California Mastitis Test (CMT), juga dikenal sebagai
metode tidak langsung, yang prinsipnya adalah pemanfaatan
reagen yang bertindak pada membran eksternal sel (lipoprotein
membran), memperlihatkan DNA seperti gel, semakin tinggi
konsistensi maka semakin tinggi akan jumlah sel somatik
(SCC), dikenal sebagai metode langsung, dimana perangkat
elektronik, melalui sistem filter optik dan inframerah,
menentukan kuantitas sel somatik dan komponen lain dalam
Page 41
24
susu, serta agen penyebab mastitis (Pradiee, et al., 2011).
Menurut Riyanto, dkk., (2016), nilai CMT berhubungan
dengan total jumlah bakteri pada susu, sehingga dengan
penurunan nilai CMT maka tingkat infeksi bakteri penyebab
mastitis juga mengalami penurunan. Reaksi reagen CMT
sensitif terhadap susu yang terinfeksi Staphylococcus aureus,
Streptococcus sp., E. Coli dan bakteri lain penyebab mastitis.
CMT ditentukan dengan cara mereaksikan 2 ml susu
dengan 2 ml reagen CMT yang mengandung arylsulfonate di
dalam paddle. Kemudian campuran tersebut digoyang-goyang
membentuk lingkaran horizontal selama 10 detik. Reaksi ini
ditandai dengan ada tidaknya perubahan pada kekentalan susu,
kemudian ditentukan berdasarkan skoring CMT yaitu (-) tidak
ada pengendapan pada susu, (+) terdapat sedikit pengendapan
pada susu, (++) terdapat pengendapan yang jelas namun jel
belum terbentuk, (+++) campuran menebal dan mulai
terbentuk jel, serta (++++) jel yang terbentuk menyebabkan
permukaan menjadi cembung. Untuk memudahkan
perhitungan statistik maka lambang-lambang tersebut diberi
nilai masing-masing, untuk lambang (-) nilainya 0, (+)
nilainya 1, (++) nilainya 2, (+++) nilainya 3 dan (++++)
nilainya 4 untuk tiap puting susu. (Adriani, 2010).
Page 42
25
Tabel 5. Interpretasi dan skor mastitis berdasarkan CMT.
Skor
CMT Interpretasi
Jumlah sel
somatik Deskripsi
Tingkat
mastitis
N (Negatif)
Puting sehat 0-200.000
Tidak
terjadi
pengentalan
0
T Trace 200.000-
400.000
Sedikit
pengentalan 1
1 Positif
lemah
400.000-
1.200.000
Pengentalan
berbeda,
belum
terbentuk
gel dan
menghilang
dalam 20
detik
2
2 Positif
sedang
1.200.000-
5.000.000
Mengental
dan
membentuk
gel di dasar
paddle
3
3 Positif kuat >5.000.000 Terbentuk
gel
diseluruh
sampel
4
Sumber : Mellenberger (2000)
2.7 Uji Reduktase
Uji reduktase bertujuan untuk menentukan kualitas
susu berdasarkan perkiraan jumlah mikroba dalam susu.
Menurut Sari, Swacita dan Agustina (2013), bahwa dalam uji
waktu reduktase menunjukkan bahwa adanya perubahan
warna methylene blue menjadi tidak berwarna disebabkan di
dalam susu terdapat enzim reduktase yang dibentuk oleh
Page 43
26
kuman-kuman yang mereduksi zat warna methylene blue
menjadi tidak berwarna. Perubahan warna methylene blue
tergantung kemampuan tumbuh bakteri, bahan-bahan
penyusun susu serta jenis susu (kolostrum, susu dari kambing
penderita mastitis) yang pada umumnya memiliki waktu
reduktase yang lebih pendek.
Menurut Saragih, Suarda dan Sampurna (2013)
menyatakan bahwa prinsip dari uji waktu reduktase adalah
dalam susu terdapat enzim reduktase yang dibentuk oleh
kuman-kuman, maka enzim ini akan mereduksi methylene
blue menjadi larutan tidak berwarna. Semakin tinggi jumlah
kuman di dalam susu, semakin cepat terjadi perubahan warna
maka dilakukan uji reduksi methylene blue yang dapat
memberikan gambaran perkiraan jumlah kuman yang terdapat
di dalam susu, kemudian diamati waktu yang dibutuhkan
oleh kuman untuk melakukan aktifitas yang dapat
menyebabkan perubahan warna dari zat warna methylene blue.
Susu yang baik akan mereduksi methylene blue
menjadi warna putih lebih dari 5,5 jam, sedangkan air susu
yang jelek bakteri dalam susu akan mereduksi methylene blue
pada waktu kurang dari 5 jam (Habibah dan Kadhafi, 2011).
Menurut penelitian yang dilakukan Utami, Radiati dan
Surjowardojo (2014) di KAN Jabung, Malang, bahwa syarat
waktu reduksi susu yang diterima di KAN Jabung yaitu >5
jam. Sebagian besar sampel susu termasuk pada kategori grade
1 karena memiliki lama waktu reduksi >5 jam dan perkiraan
bakteri dalam susu yaitu 500.000 sel/ml. Hal tersebut juga
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suhartati dan
Aryani (2014) di peternakan X kawasan Cisurupan Garut
bahwa uji reduktase pada susu sapi segar pada peternakan X di
kawasan Cisurupan Garut dengan menggunakan methylene
Page 44
27
blue konsentrasi 0,0075% dapat diklasifikasikan dapat
diterima sebesar 80% dan sedang sampai baik sebesar 20%.
Hal tersebut juga sesuai dengan SNI 01-3141-1998 : Susu
Segar, bahwa syarat mutu susu segar memiliki angka
reduktase 2-5 jam. Dijelaskan pula oleh Hadiwiyoto (1994)
bahwa berdasar uji reduktase, kualitas susu dapat
diklasifikasikan seperti pada Tabel 6.
Tabel 6. Kualitas susu berdasarkan waktu reduktase.
Mutu susu
Lamanya warna
biru hilang
(jam)
Perkiraan jumlah
bakteri
(105/ ml)
Baik
Cukup baik
Kurang baik
Rendah
> 8
6-8
2-6
< 2
< 5
10 – 40
40-200
>200
Sumber : Hadiwiyoto (1994)
Page 45
29
BAB III
MATERI DAN METODE
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di peternakan rakyat yang
berada di wilayah kerja KUD Argopuro Desa Bermi
Kecamatan Krucil Kabupaten Probolinggo selama 6 minggu
mulai tanggal 9 Januari 2017 sampai 24 Februari 2017.
3.2 Materi Penelitian
Materi penelitian yang digunakan adalah sebagai
berikut :
3.2.1 Ternak sapi perah PFH sebanyak 15 ekor yang
dibagi menjadi 5 kelompok berdasarkan bulan
laktasi, yaitu bulan laktasi 4, 5 dan 6.
3.2.2 Daun sirih hijau (Piper betle L.) yang
digunakan untuk P1 (125 gram+500 ml air)
dan P2 (250 gram+500 ml air) yang diperoleh
dari pekarangan rumah warga sekitar Desa
Bermi Kecamatan Krucil dan pasar
tradisional Krucil serta antiseptik kimia (iodip)
sebagai perlakuan kontrol. Alat yang
digunakan untuk pembuatan dekok antara lain
kompor, panci, timbangan, beaker glass, dan
termometer.
3.3 Metode Penelitian
Metode penelitian adalah metode percobaan dan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 perlakuan dan 5
ulangan. Pengelompokan berdasarkan bulan laktasinya.
Page 46
30
Perlakuan yang digunakan :
a. Perlakuan P0 : Teat spray menggunakan
antiseptik kimia (iodip) konsentasi 2%
b. Perlakuan P1 : Teat spray menggunakan
dekok daun sirih hijau 125 gram+500 ml
air
c. Perlakuan P2 : Teat spray menggunakan
dekok daun sirih hijau 250 gram+500 ml
air
Teat spray dilakukan setiap hari pada pagi dan sore
hari di akhir pemerahan dan uji reduktase dilakukan seminggu
sekali.
1.4 Tahapan Penelitian
1.4.1 Persiapan penelitian
Tahapan-tahapan persiapan penelitian adalah
sebagai berikut :
a. Survey lokasi penelitian
b. Menentukan sampel 15 ekor sapi perah
PFH dengan uji CMT
c. Mempersiapkan alat dan bahan
d. Mengoleksi data sebelum perlakuan
1.4.2 Koleksi Data
Koleksi data pada penelitian ini adalah
sebagai berikut :
a. Produksi susu diukur setiap pagi dan sore
setiap satu minggu sekali
b. Sampel susu diuji reduktase setiap satu
minggu sekali.
Page 47
31
1.4.3 Proses pembuatan iodip 2%
1. Siapkan iodine kristal dan aquades.
2. Timbang iodine kristal sebanyak 20 gram .
3. Larutkan ke dalam 1 liter aquades.
4. Iodine siap digunakan untuk teat spray.
1.4.4 Proses pembuatan dekok daun sirih hijau
(Piper betle L.)
1. Daun sirih yang sudah dipersiapkan, dicuci
hingga bersih dan ditiriskan hingga bebas air.
2. Daun sirih yang sudah ditiriskan kemudian
diremas.
3. Dimasukkan remasan daun sirih ke dalam
beaker glass. Perbandingan daun sirih dan air
pada P1= 125 gram + 500 ml air dan P2 = 250
gram daun + 500 ml air.
4. Masukkan air 2 liter ke dalam panci dan 500
ml air ke dalam beaker glass, rebus hingga
mencapai suhu 60°C.
5. Jika suhu di dalam beaker glass naik,
tambahkan air di dalam panci sampai suhu
turun hingga 60°C dan lakukan secara berkala
setiap suhu mulai naik.
6. Ukur suhu air agar tetap konstan 60°C.
7. Rebus daun sirih selama 2 jam (Hamidah,
Kumalaningsih dan Dewi, 2014)
8. Rebusan tersebut didinginkan dan disimpan
dalam suhu ruang (27°) selama proses
pendinginan.
Page 48
32
9. Setelah dingin, dekok daun sirih hijau
dimasukkan ke dalam botol spray dan dapat
digunakan untuk teat spray.
10. Dekok daun sirih hijau selalu diganti setiap
harinya.
3.4.5 Pelaksanaan teat spray
1. Iodip serta dekok daun sirih hijau dimasukkan
ke dalam botol spray yang berbeda sesuai
dengan konsentrasi.
2. Setelah proses pemerahan selesai, ambing
dicuci dengan air bersih.
3. Puting di spray secara merata hingga basah
dengan dekok daun sirih hijau dan iodip
3.4.6 Prosedur Uji Reduktase
Menurut Hadiwiyoto (1994) prosedur penentuan
kualitas susu menggunakan uji reduktase antara lain :
1. Sediakan susu sebanyak 10 ml di dalam tabung reaksi
2. Tambahkan 1 ml larutan 1 % methylene blue
3. Tabung yang telah ditutup dipanaskan menggunakan
waterbath dengan suhu 37° C
4. Amati dengan seksama perubahan warna biru menjadi
putih dan catat waktunya (menit)
3.5 Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Estimasi jumlah bakteri berdasarkan uji
reduktase.
2. Produksi susu.
Page 49
33
3.6 Analisis Data
Data yang telah terkumpul akan dianalisis dengan
Analysis of Variance (ANOVA) untuk uji reduktase dan
Analysis of Covariance (ANCOVA) untuk produksi susu.
Apabila diperoleh data yang berbeda, maka dilanjutkan Uji
Jarak Berganda Duncan (UJBD) untuk mengetahui seberapa
besar perbedaannya. Model matematika RAK sebagai berikut :
Yij = Pengamatan pada perlakuan ke i kelompok ke j
µ = Nilai rataan
Ti = Pengaruh perlakuan ke i
βj = pengaruh kelompok ke j
Ԑij = galat percobaan pada perlakuan ke i, kelompok ke j
i = 1,2,……t perlakuan
j = 1,2,……r kelompok
3.7 Batasan Istilah
1. Teat spray adalah penyemprotan puting menggunakan
larutan antiseptik untuk mencegah bakteri masuk ke
dalam lubang puting.
2. Iodip adalah antiseptik untuk teat spray.
3. Antiseptik adalah senyawa kimia yang digunakan untuk
membunuh atau menghambat pertumbuhan
mikroorganisme pada jaringan yang hidup seperti pada
kulit dan membran mukosa.
4. Antimikroba adalah suatu bahan yang dapat
mengganggu pertumbuhan dan metabolisme
mikroorganisme.
5. Mastitis adalah penyakit radang kelenjar ambing yang
disebabkan oleh mikroorganisme pada ternak perah.
Yij = µ + Ti + βj + Ԑij
Page 50
34
6. Dekok adalah perebusan dengan pelarut air pada
temperatur titik didih air selama waktu tertentu.
7. Waktu reduktase adalah waktu yang dibutuhkan bakteri
dalam mereduksi warna biru menjadi putih. Semakin
lama perubahan warna biru menjadi putih, maka
kualitas susu semakin baik.
Page 51
35
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di peternakan rakyat yang
berada di wilayah kerja KUD Argopuro, Desa Bermi
Kecamatan Krucil Kabupaten Probolinggo selama 6 minggu
mulai tanggal 9 Januari 2017 sampai 24 Februari 2017.
Wilayah kerja KUD Argopuro meliputi Kecamatan Krucil
yang terdiri dari 6 desa, yaitu: Desa Krucil, Desa Bermi, Desa
Tambelang, Desa Kalianan, Desa Watupanjang dan Desa
Kertosuko. Total populasi sapi perah hingga bulan Januari
2017 di wilayah kerja KUD Argopuro mencapai 4177 ekor.
Lokasi kandang tempat penelitian berada di Desa
Bermi Kecamatan Krucil Kabupaten Probolinggo yang
memiliki jumlah populasi sapi perah mencapai 238 ekor. Jarak
lokasi penelitian dengan KUD Argopuro ±2,7 km dan ±3 km
dari kantor Kecamatan Krucil. Ketinggian lokasi penelitian
±500-2800 m diatas permukaan laut dengan suhu berkisar
antara 18-23°C.
Pakan yang diberikan berupa hijauan dan pakan
tambahan. Pakan tambahan berupa konsentrat dan singkong.
Konsentrat berasal dari KUD Argopuro. Pemberian pakan
tambahan diberikan 2 kali sehari, yaitu pada pagi dan sore.
Pemberian konsentrat sebanyak 0,6 kg/pemberian untuk
menghasilkan 1 liter susu yang diberikan sebelum sapi
diperah, pemberian pagi pukul 05.30 dan sore pukul 15.30.
Hijauan yang digunakan sebagai pakan adalah rumput gajah
(Pennisetum purpureum) yang telah di chopper. Pemberian
hijauan dilakukan sebanyak 2 kali, pemberian pagi pukul
06.00 dan sore pukul 16.00. Pemberian hijauan dilakukan
Page 52
36
setelah pemberian konsentrat sebanyak 35,5
kg/ekor/pemberian, sedangkan pemberian air minum secara ad
libitum (tidak terbatas). Pemberian ransum sebaiknya
disesuaikan dengan frekuensi pemerahan. Pemberian
konsentrat dilakukan sebelum diperah dan pemberian hijauan
sesudah selesai pemerahan. Air minum yang diberikan
haruslah bersih dan selalu cukup tersedia sepanjang hari.
1.2 Proses Pemerahan
Proses pemerahan yang dilakukan di lokasi penelitian
masih dilakukan secara manual atau menggunakan tangan (full
hand). Cara ini adalah baik karena dapat mengurangi luka
pada puting pada saat pemerahan berlangsung. Pemerahan
yang kasar akan mengakibatkan luka pada puting, sehingga
mudah tercemar mikroorganisme penyebab mastitis
(Surjowardojo, 2011). Proses pemerahan di lokasi penelitian
ada tiga tahapan, yaitu tahap persiapan pemerahan, tahap
pemerahan dan tahan setelah pemerahan. Prosedur pemerahan
yang dilakukan saat penelitan yaitu sebagai berikut :
1. Memberi pakan
2. Membersihkan lantai kandang
3. Memandikan sapi dengan mengikat ekor di kaki
belakang
4. Mempersiapkan peralatan pemerahan
5. Membersihkan ambing dengan air kran dan di lap
hingga kering
6. Mencuci tangan peternak
7. Diperah dan susu langsung dimasukkan ke dalam milk
can
8. Setelah selesai pemerahan dilakukan teat spray
dengan antiseptik (P0), dekok daun sirih 125
Page 53
37
gram+500 ml air (P1), dan dekok daun sirih 250
gram+500 ml air (P2).
Kebersihan kandang dan tubuh sapi berkaitan erat
dengan kualitas susu. Usaha membersihkan kandang dan
bagian-bagian tubuh sapi yang dapat mengotori hasil
pemerahan bisa dilakukan menggunakan langkah- langkah
sebagai berikut: 1) Mencuci lantai kandang dengan
menyemprotkan air bertekanan tinggi. 2) Mencuci lipatan
paha, ambing dan puting pada sapi sembari dipijat secara
perlahan menggunakan air hangat. 3) Mengeringkan puting
dengan kain bersih. 4) Membuang susu pada pancaran pertama
(Prihutomo, Setiani dan Harjanti, 2015).
Pemerahan di lokasi penelitian dilakukan pukul 05.30
pada pagi hari dan pukul 16.00 pada sore hari. Sebelum
dilakukan pemerahan, ambing dibersihkan dengan air dan
dilap hingga kering, ekor ditali di kaki belakang. Pengakhiran
pemerahan dilakukan dengan mencuci ambing dan disertai
dengan teat dipping menggunakan iodip 2%. Setelah selesai
proses pemerahan saluran air susu pada puting beberapa saat
masih terbuka sehingga kuman atau bakteri lebih mudah
masuk ke dalam ambing. Oleh karena itu perlu dilakukan
pencelupan puting menggunakan antiseptik agar dapat
mencegah masuknya bibit penyakit yang dapat menyebabkan
mastitis atau peradangan pada ambing. (Kurniawan, dkk.,
2013)
4.3 Pengaruh teat spray terhadap waktu reduktase susu
Uji angka reduktase dapat digunakan untuk
mendapatkan gambaran tentang jumlah mikroorganisme dalam
air susu secara kasar. Waktu reduktase yang pendek
menunjukkan bahwa kandungan mikroorganisme dalam air
Page 54
38
susu cukup tinggi, terutama mikroorganisme yang dalam
kehidupannya memerlukan oksigen (Afrila dan Windari,
2010).
Hasil analisis statistik pengaruh teat spray setelah
pemerahan terhadap waktu yang digunakan uji reduktase
terdapat pada Lampiran 3, rata-rata uji reduktase semua
perlakuan terdapat pada Tabel 7.
Tabel 7. Rata-rata waktu (menit) reduktase dan estimasi
jumlah bakteri (105/ml) setiap minggu
Waktu reduktase
minggu ke-
(menit)
Perlakuan
P0 P1 P2
0 246±44,5 258±45,5 264±25,1
1 267±38,8 282±45,5 264±90,4
2 279±41,9 291±67,6 345±42,4
3 306±57,7 330±38,2 342±35,8
4 324±56,7 330±75,7 339±39,1
5 324±31,1 333±19,6 342±38,8
6 330±15,0 318±24,6 360±26,0
Rataan 296,6±49,8 306±52,4 322,3±57,2
Estimasi jumlah bakteri (105/ml) 40-200 40-200 40-200
Berdasarkan Tabel 7, minggu ke-1 P1 memiliki rataan
waktu reduktase paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan
lainnya yaitu sebesar 282 menit atau setara 4,7 jam, hal ini
menunjukkan aktivitas bakteri pada perlakuan P1 lebih rendah
daripada perlakuan lainnya. Rataan P1 pada minggu ke-6
mengalami peningkatan dari 282 menit atau setara 4,7 jam
Page 55
39
dengan estimasi bakterinya sebanyak 4.000.000-20.000.000
menjadi 318 menit atau setara 5,3 jam dengan estimasi
bakterinya sebanyak 4.000.000-20.000.000, hal tersebut
menunjukkan semakin baik kualitas susu dikarenakan aktivitas
bakteri semakin menurun. Perlakuan P2 pada saat minggu ke-1
memiliki rataan waktu reduktase paling rendah dari perlakuan
lainnya yaitu sebesar 264 menit atau setara 4,4 jam dengan
estimasi bakterinya sebanyak 4.000.000-20.000.000 dan pada
minggu ke-6 mengalami peningkatan sebesar 96 menit
menjadi 360 menit atau setara dengan 6 jam dengan estimasi
bakteri sebanyak 1.000.000-4.000.000. Perlakuan P0 pada
minggu ke-1 memiliki rataan sebesar 267 menit atau setara
4,45 jam dengan estimasi bakterinya sebanyak 4.000.000-
20.000.000 dan mengalami peningkatan pada akhir tes
menjadi 330 menit yang setara dengan 5,5 jam dengan
estimasi bakterinya sebanyak 4.000.000-20.000.000.
Berdasarkan Tabel 4. rataan waktu reduktase P1 dan P2
mengalami kenaikan dan penurunan. Hal ini disebabkan
karena pasokan daun sirih hijau yang digunakan untuk
penelitian berasal dari dua tempat yang berbeda sehingga
perbedaan kualitas tanah juga mempengaruhi senyawa aktif
yang terkandung dalam daun sirih hijau. Hal tersebut sesuai
dengan Supriyadi (2008) bahwa peningkatan hasil dan kualitas
tanaman disebabkan karena tiga mekanisme seperti
peningkatan kapasitas air tersedia, suplai unsur hara, dan
struktur tanah.
Page 56
40
Tabel 8. Perubahan waktu reduktase dari minggu ke minggu
untuk melihat efektivitas larutan teat spray
Selisih rataan
waktu reduktase
minggu ke-
(menit)
Perlakuan
P0 P1 P2
1 21±14,8 24±17,0 0
2 12±8,5 9±6,4 81±57,3
3 27±19,1 39±27,6 -3±2,1
4 18±12,7 0 -3±2,1
5 0 3±2,1 3±2,1
6 6±4,2 15±8,5 18±12,7
Berdasarkan Tabel 8 di atas, selisih rata-rata waktu uji
reduktase tertinggi untuk P0 terjadi pada minggu ke-3 dengan
selisih waktu 27 menit, dan selisih waktu reduktase terendah
terjadi pada minggu ke-5, pada minggu ke-5 tidak terjadi
peningkatan waktu reduktase dari minggu sebelumnya, P1
memiliki selisih rata-rata waktu reduktase tertinggi pada
minggu ke-3 yaitu sebesar 39 menit dan selisih rata-rata waktu
terendah terjadi pada minggu ke-4, pada minggu ke-4 tidak
terjadi peningkatan rata-rata waktu reduktase dari minggu
sebelumnya. P2 memiliki selisih rata-rata waktu reduktase
tertinggi pada minggu ke-2 yaitu sebesar 81 menit atau setara
1,35 jam dan selisih rata-rata waktu terendah terjadi pada
minggu ke-3 dan minggu ke-4, pada minggu tersebut terjadi
penurunan waktu reduktase sebesar 3 menit. Berdasarkan tabel
selisih rataan waktu reduktase di atas, respon penggunaan
dekok daun sirih hijau cenderung lebih cepat dalam
menghambat mikroorganisme meskipun secara statistik tidak
Page 57
41
berbeda nyata sehingga teat spray setelah pemerahan dapat
meningkatkan waktu reduktase dan menurunkan aktivitas
mikroorganisme. Lebih jelasnya perkembangan uji reduktase
dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Rata-rata waktu reduktase setiap minggu
pengamatan
Grafik diatas menunjukkan peningkatan waktu
reduktase dalam susu, apabila semakin tinggi konsentrasi
dekok daun sirih hijau, maka semakin banyak pula zat
antimikroba sehingga dapat menurunkan jumlah bakteri.
Penurunan jumlah bakteri ditandai dengan meningkatnya
waktu reduktase susu, semakin lama waktu yang dibutuhkan
dalam mengubah warna biru menjadi putih maka kualitas susu
semakin baik. Perlakuan P2 memiliki rataan waktu reduktase
paling tinggi dan sudah menunjukkan kenaikan waktu
reduktase pada minggu ke-2, P0 dan P1 menunjukkan
0
50
100
150
200
250
300
350
400
M0 M1 M2 M3 M4 M5 M6Rat
a-r
ata
wak
tu r
ed
ukt
ase
(men
it)
Minggu
P0
P1
P2
Page 58
42
kenaikan pada minggu ke-3. Hal tersebut sesuai dengan
penelitian Saraswati (2011) bahwa dekok daun sirih
konsentrasi 25% memiliki rata-rata daya hambat terhadap
Escherichia coli sebesar 13,14 mm dan konsentrasi daya
hambat konsentrasi 50% sebesar 15,1 mm, artinya semakin
tinggi konsentrasi daun sirih maka semakin besar pula daya
hambatnya. Hal tersebut juga didukung oleh Yuniarni, dkk.,
(2014) bahwa dekok daun sirih dengan konsentrasi 10, 20,
30% masing-masing memiliki aktivitas antibakteri yang
berbeda. Dekok daun sirih telah memberikan efek pada
konsentrasi 10%, semakin tinggi konsentrasi maka efek yang
diberikan semakin besar. Candrasari, Romas, Hasbi dan Astuti
(2012) menyatakan bahwa penggunakan dekok daun sirih
dengan konstentrasi 2,5% dan 5% tidak menunjukkan efek
antibakteri terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus.
Biakan Staphylococcus aureus mulai terbentuk zona hambat
pada konsentrasi dekok sebesar 10% dan semakin meningkat
seiring dengan meningkatnya kadar konsentrasi dekok.
Nababan, Suada dan Swacita (2014) menyatakan bahwa
semakin lama terjadi perubahan warna methylene blue pada
susu segar menjadi putih kembali, menunjukkan bahwa jumlah
bakteri dalam susu semakin sedikit. Semakin tinggi jumlah
kuman di dalam susu, semakin cepat terjadi perubahan warna,
maka dilakukan uji reduksi methylene blue yang dapat
memberikan gambaran perkiraan jumlah kuman yang terdapat
di dalam susu, kemudian diamati waktu yang dibutuhkan oleh
kuman untuk melakukan aktifitas yang dapat menyebabkan
perubahan warna dari zat warna methylene blue (Suardana dan
Swacita, 2004). Gambaran rataan setiap perlakuan pada awal
dan akhir penelitian akan disajikan pada Gambar 5.
Page 59
43
Gambar 5. Rataan waktu reduktase masing-masing perlakuan
pada minggu terakhir dan estimasi jumlah bakteri.
Grafik di atas menunjukkan rataan setiap perlakuan
teat spray pada akhir tes (minggu terakhir). P0 (iodip 2%)
memiliki rataan waktu sebesar 330±15,0 menit atau setara 5,5
jam dengan estimasi jumlah bakterinya sebanyak 4.000.000-
20.000.000, P1 (125 gram+500 ml air) memiliki rataan sebesar
318±24,6 menit atau setara 5,3 jam dengan estimasi bakterinya
sebanyak 4.000.000-20.000.000 dan P2 (250 gram+500 ml air)
memiliki rataan yang paling tinggi diantara perlakuan lainnya
yaitu sebesar 360±26,0 menit atau setara 6 jam dengan
estimasi jumlah bakterinya sebanyak 1.000.000-4.000.000.
Utami, Radiati, dan Surjowardojo (2014) menyatakan bahwa
grade susu ditentukan berdasarkan waktu reduksi (jam) dengan
uji reduktase dan memperkirakan jumlah bakteri dalam susu.
Grade 1 ditentukan jika waktu reduksi lebih dari 5 jam dengan
perkiraan 500.000 sel/ml. Grade 2 ditentukan jika waktu
290
300
310
320
330
340
350
360
370
0
500000
1000000
1500000
2000000
2500000
3000000
3500000
4000000
4500000
P0 P1 P2
Wak
tu r
edu
kta
se (
men
it)
Est
ima
si j
um
lah
ba
kte
ri
Perlakuan
Estimasi
Rataan
Page 60
44
reduksi > 2 – 5 jam dengan perkiraan 500.000-4.000.000
sel/ml. Sedangkan grade 3 ditentukan jika waktu reduksi < 2
jam, dengan perkiraan 4.000.000-20.000.000 sel/ml. Jadi hasil
uji reduktase pada P0, P1, dan P2 tergolong baik karena waktu
reduktase lebih dari 5 jam dan masuk pada grade 1 dengan
estimasi jumlah bakteri 4.000.000-20.000.000.
Namun, hasil analisis statistik (Lampiran 3)
menunjukkan bahwa teat spray menggunakan dekok daun
sirih hijau (Piper betle L.) tidak berpengaruh nyata terhadap
waktu reduktase susu (P>0,05). Hal tersebut disebabkan oleh
rusaknya kandungan senyawa aktif pada daun sirih hijau
akibat perebusan selama 2 jam. Berdasarkan penelitian
Hamidah, Kumalaningsih, dan Dewi (2014) terhadap suhu dan
waktu ekstraksi daun sirih hijau menunjukkan bahwa hasil
rerata analisis total fenol tertinggi terjadi pada suhu 60°C
dengan waktu ekstraksi terbaik yaitu selama 2 jam. Menurut
Hayat et al., (2009), menduga bahwa tingginya kadar fenol
selama perebusan 2 jam seiring meningkatnya lamanya
perebusan, karena semakin lama pelarut menembus dinding
sel maka kerusakan jaringan bahan semakin optimal dan
akhirnya senyawa fenol yang terlarut lebih banyak. Namun hal
tersebut tidak sesuai dengan penelitian Trissanthi dan Susanto
(2016), total fenol pada perebusan selama 1 jam cenderung
mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan senyawa fenol
tidak stabil dalam panas. Senyawa fenol merupakan senyawa
yang bersifat antioksidan dan sifat antioksidan tersebut akan
teroksidasi dengan adanya cahaya, panas dan oksigen.
Masduqi, Izzati dan Prihastanti (2014) menjelaskan bahwa
senyawa fenol memiliki sifat mudah teroksidasi dan sensitif
terhadap perlakuan panas. Suhu optimum pengeringan untuk
mendapat kadar total fenol maksimum adalah 60°C, pada suhu
Page 61
45
60°C setelah 4 menit maka fenol akan rusak dan kadarnya
cenderung akan menurun. Vatai, Skerget dan Knez (2009)
menyatakan bahwa kandungan senyawa fenolik sangat
sensitif, tidak stabil dan sangat rentan terhadap degradasi.
Degradator paling utama adalah temperatur, kandungan
oksigen dan cahaya.
4.4 Pengaruh teat spray dengan dekok daun sirih hijau
(Piper betle L.) terhadap produksi susu sapi PFH
Produksi susu sapi PFH meningkat maupun menurun
dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti mastitis
subklinis, manajemen pakan, dan tingkat laktasi. Hasil analisis
statistik menunjukkan ada perbedaan yang sangat nyata
(P<0,01) konsentrasi dekok daun sirih hijau terhadap produksi
susu sapi PFH. Berdasarkan data pada Lampiran 4, rata-rata
produksi susu sebelum dan sesudah perlakuan seperti yang
tertera di Tabel 9. Data analisis ragam selengkapnya dapat
dilihat di Lampiran 5.
Tabel 9. Rata-rata produksi susu (liter) sebelum dan sesudah
diberi perlakuan teat spray
Perlakuan Rata-rata (liter/ekor/hari)
Sebelum Sesudah
P0 11,72±1,26 11,4±1,14a
P1 15,42±2,5 14,6±3,0b
P2 16,86±1,82 16,38±2,1b
Keterangan: Superskrip yang berbeda (a-b) pada kolom yang
sama menunjukan perbedaan yang sangat nyata
(P<0,01).
Page 62
46
Tabel 9 menujukkan hasil rataan produksi susu
sebelum dan sesudah perlakuan teat spray. Berdasarkan Uji
Jarak Berganda Duncan (UJBD) bahwa P1 dan P2
memberikan pengaruh lebih tinggi dibandingkan P0 terhadap
produksi susu. Kurniawan, dkk., (2013) menyatakan bahwa
larutan herbal mengandung senyawa flavanoid, tanin, dan
saponin. Senyawa tersebut mencegah dan membunuh bakteri
penyebab mastitis sehingga sapi perah mampu memproduksi
susu secara optimal. Teat spray menggunakan dekok daun
sirih hijau yang mengandung senyawa flavanoid, tanin, dan
saponin tersebut menyebabkan lisis pada sel mikroba. Setelah
di dalam sel, fenol akan merusak sistem kerja sel mikroba.
Senyawa fenol dapat menyebabkan inaktivasi enzim esensial
dalam sel mikroba (Ariyanti, Jahuddin dan Yunus, 2012).
Larutan herbal terefektif dalam menurunkan tingkat kejadian
mastitis yang berdampak positif pada naiknya produksi susu.
Berdasarkan Tabel 9, penurunan produksi susu setelah
perlakuan teat spray diduga karena perbedaan kandungan
senyawa kimia yang terkandung dalam daun sirih hijau,
sehingga memiliki tingkat keefektifan yang berbeda sebagai
antiseptik untuk produksi susu. Hal ini disebabkan karena
daun sirih hijau yang digunakan untuk penelitian berasal dari
tempat yang berbeda sehingga perbedaan kualitas tanah juga
mempengaruhi senyawa aktif yang terkandung dalam daun
sirih hijau. Hal tersebut sesuai dengan Supriyadi (2008) bahwa
peningkatan hasil dan kualitas tanaman disebabkan karena tiga
mekanisme seperti peningkatan kapasitas air tersedia, suplai
unsur hara, dan struktur tanah. Mutu tanaman pada setiap
tempat akan berbeda menurut daerah atau jenisnya. Hal ini
masing-masing dipengaruhi oleh subur tidaknya tanah, kaya
tidaknya unsur hara yang terdapat di dalamnya. Kesuburan
Page 63
47
tanah adalah potensi tanah untuk menyediakan unsur hara
dalam jumlah yang cukup dalam bentuk yang tersedia dan
seimbang untuk menjamin pertumbuhan tanaman yang
maksimum (Yamani, 2010).
Gambar 6.Rata-rata produksi susu pada minggu terakhir
Grafik diatas menunjukkan rataan produksi susu
masing-masing ulangan, sampel yang digunakan berada pada
kelompok bulan laktasi tengah yaitu bulan laktasi 4,5, dan 6
sehingga pada bulan laktasi tersebut produksi susu cenderung
mengalami penurunan sesuai dengan kurva laktasi. Total
produksi susu sangat bervariasi tergantung pada bulan laktasi
dan kemampuan produksi masing-masing ternak. Klopcic
(2011) menjelaskan bahwa produksi susu sapi perah setelah
melewati bulan ketiga atau puncak produksi, produksi susu
akan mulai menurun sampai masa kering. Surjowardojo
(2011) menjelaskan bahwa produksi susu sapi perah setiap
harinya berangsur-angsur meningkat sampai puncak dalam
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
M1 M2 M3 M4 M5 M6
Pro
du
ksi s
usu
/har
i (lit
er)
Ulangan
P0
P1
P2
Page 64
48
waktu kurang lebih dua bulan setelah beranak, kemudian
konstan sampai bulan laktasi ketiga dan berangsur-angsur
turun sampai akhir laktasi. Berdasarkan penelitian Pratiwi,
Sudewo dan Santosa (2013), produksi susu sapi pada bulan
laktasi ke-4, 5 dan 6 secara berturut-turut adalah 14 liter/hari,
12 liter/hari dan 10 liter/hari.
Gambar 7. Rata-rata produksi susu sebelum dan sesudah
perlakuan
Berdasarkan pada Gambar 7. dapat diketahui bahwa
teat spray dengan dekok daun sirih hijau memiliki
kemampuan dalam mempertahankan produksi susu sapi perah
mastitis subklinis. Hal ini dibuktikan dari total produksi susu
yang sangat bervariasi tergantung pada bulan laktasi dan
kemampuan produksi dari masing-masing ternak. Sapi perah
yang digunakan sebagai sampel penelitian cenderung
mengalami penurunan produksi sesuai kurva laktasi karena
Page 65
49
telah mencapai bulan laktasi ke 4,5, dan 6. Suharyono, dkk.,
(2010) menyatakan bahwa periode awal laktasi merupakan
masa yang paling menentukan terhadap tingkat produksi dan
reproduksi sapi perah. Produksi susu naik dengan cepat sampai
mencapai puncak produksi dan berangsur angsur turun setelah
mencapai puncak produksi, puncak produksi susu dicapai saat
masa laktasi 31 – 100 hari (Sukandar, dkk., 2009)
Penurunan produksi susu setelah puncak produksi
menunjukkan persistensi. Persistensi produksi adalah
kemampuan ternak dalam menjaga tingginya produksi susu
selama laktasi. (Suharyono, Farida, Kurniawati, dan Adiarto,
2010). Persistensi produksi menurut Blakely dan Bade (1998)
adalah kemampuan sapi induk untuk mempertahankan
produksi susu tinggi selama masa laktasi. Persistensi adalah
bentuk penurunan (slope) kurva laktasi setelah puncak
produksi susu. Induk sapi yang mengalami penurunan
produksi yang cepat setelah puncak produksi berarti
mempunyai persistensi yang rendah. Lamanya produksi
puncak bertahan selama 60 hari yaitu pada bulan laktasi kedua
sampai bulan laktasi ketiga yang kemudian diikuti dengan
masa penurunan produksi susu sampai akhir masa laktasi. Hal
ini menunjukkan bahwa teat spray dengan dekok daun sirih
hijau dapat mempertahankan laju produksi susu karena
penurunan produksi susu sesuai dengan persistensinya
berdasarkan kemampuan ternak dalam memproduksi susu dan
bulan laktasinya.
Konsentrasi dekok daun sirih hijau memberikan
pengaruh yang sangat nyata. Berdasarkan Uji Jarak Berganda
Duncan (UJBD) menunjukkan bahwa makin tinggi konsentrasi
dekok daun sirih hijau memberikan hasil yang lebih baik.
Perlakuan teat spray menggunakan dekok daun sirih hijau
Page 66
50
pada sapi perah dapat mengendalikan mastitis subklinis
sehingga dapat mempertahankan produksi susu.
Page 67
51
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian teat spray menggunakan
dekok daun sirih hijau (Piper betle L.), dapat disimpulkan
bahwa :
1. Teat spray menggunakan dekok daun sirih hijau (Piper
betle L.) menurunkan tingkat kejadian mastitis dan
jumlah bakteri sehingga dapat menstabilkan produksi
susu.
2. Dekok daun sirih hijau (250 gram+500 ml air) memiliki
kemampuan tertinggi dalam menurunkan jumlah bakteri
dengan waktu relatif cepat dan menstabilkan produksi
susu.
5.2 Saran
Sebaiknya dilakukan teat spray setelah pemerahan
menggunakan dekok daun sirih hijau (250 gram+500 ml
air) untuk mendapatkan kualitas dan kuantitas susu yang
baik.
Page 68
53
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, F., M. Hartono dan Siswanto. 2015. Conception
Rate pada Sapi Perah Laktasi di Balai Besar
Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan
Ternak Baturraden Purwokerto Jawa Tengah.
Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. 3(1) : 98-105.
Adriani. 2010. Penggunaan Somatik Cell Count (SCC), Jumlah
Bakteri dan California Mastitis Test (CMT) untuk
Deteksi Mastitis pada Kambing. Jurnal Ilmiah
Ilmu-Ilmu Peternakan. 8(5) : 229-234.
Afrila, A dan W. Windari. 2010. Pengaruh Bahan Pengemas
dan Lama Pendinginan terhadap Keasaman dan
Angka Reduktase Susu Pasteurisasi. Buana Sains.
10(2) : 175-180.
Anggraeni, A. 2007. Pengaruh Umur, Musim dan Tahun
Beranak terhadap Produksi Susu Sapi Friesian
Holstein pada Pemeliharaan Intensif dan Semi-
Intensif di Kabupaten Banyumas. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
2007 : 156-166.
Annonimous. 2003. Teat Disinfection Systems. National Milk
Harvesting Center, Versi 1: 1-3
Ariyanti, EL., R.Jahuddin., M.Yunus. 2012. Potensi Ekstrak
Daun Sirih (Piper betle linn) sebagai
Biofungisida Penyakit Busuk Buah Stroberi
Page 69
54
(Colletotrichum fragariae brooks) Secara In-
Vitro. Jurnal Agroteknos. 2(3) : 174-179.
Aziz, A. S., P. Surjowardojo dan Sarwiyono. 2013. Hubungan
Bahan dan Tingkat Kebersihan Lantai Kandang
terhadap Kejadian Mastitis Melalui Uji California
Mastitis Test (CMT) di Kecamatan Tutur
Kabupaten Pasuruan. Jurnal Ternak Tropika.
14(2) : 72-81.
Badan Standar Nasional. SNI 01-3141-1998 : Susu Segar.
Blakely, J. and D. H. Bade. 1998. Ilmu Peternakan Edisi ke
Empat. Penerjemah: Srigandono, B. Gadjah Mada
University Press : Yogyakarta.
Budiarto. 2010. Path Analysis Mastitis pada Sapi Perah
Koperasi di Kabupaten Pasuruan - Jawa Timur.
Veterinaria Medika. 3(1) : 45-48.
Candrasari, A., M.A. Romas., M.Hasbi dan O.R. Astutui.
2012. Uji Daya Antimikroba Ekstrak Etanol Daun
Sirih Merah (Piper Crocatum Ruiz & Pav.)
Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus
ATCC 6538, Eschericia coli ATCC 11229 dan
Candida albicans ATCC 10231 Secara In Vitro.
Jurnal Biomedika. 4(1) : 9-16.
Cahyono, D., M.C. Padaga dan M.E. Sawitri. 2013. Kajian
Kualitas Mikrobiologis (Total Plate Count (TPC),
Enterobacteriaceae dan Staphylococcus aureus)
Page 70
55
Susu Sapi Segar di Kecamatan Krucil Kabupaten
Probolinggo. Jurnal Ilmu Teknologi Hasil Ternak.
8(1) : 1-8.
Dwivedi, V. and S. Tripathi. 2014. Review Study On Potential
Activity of Piper betle. Jurnal of Pharmacognosy
and Phytochemistry. 3(4) : 93-98.
Foo, L.W., E. Salleh dan S.N.H. Mamat. 2015. Extraction and
Qualitative Analysis of Piper Betle Leaves for
Antimicrobial Activities. International Journal of
Engineering Technology Science and Research. 2
: 1-8.
Gustiani, E. 2009. Pengendalian Cemaran Mikroba pada
Bahan Pangan Asal Ternak (Daging dan Susu)
Mulai dari Peternakan Sampai Dihidangkan.
Jurnal Litbang Pertanian. 28(3) : 96-100.
Habibah dan M. Khadafi. 2011. Pertumbuhan Mikroorganisme
Selama Penyimpanan Susu Pasteurisasi pada
Suhu Rendah. Jurnal Agroscientiae. 18(3) : 51-
56.
Hadiwiyoto. 1994. Teori dan Prosedur Pengujian Mutu Susu
dan Hasil Olahannya. Liberty : Jakarta
Hamidah, T., S.Kumalaningsih dan I.A.Dewi. 2014.
Pembuatan Ekstrak Oleoresin Daun Sirih Hijau
(Piper betle L.) sebagai Pengawet Alami (Kajian
Suhu dan Lama Waktu Ekstraksi). Jurusan
Page 71
56
Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi
Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
Handayani, K.S dan M.Purwanti. 2010. Kesehatan Ambing
dan Higiene Pemerahan di Peternakan Sapi Perah
Desa Pasir Buncir Kecamatan Caringin. Jurnal
Penyuluhan Pertanian. 5(1) : 47-54.
Hayat K. et al. 2009. Optimized Microwave Assisted
Extraction of Phenolic Acids from Citrus
Mandarin Peels and Evaluation of Antioxidant
Activity in Vitro. Sepation and Purification
Technology :63-70.
Idriss, SH.E., V.Foltys., V.Tancin., K.Kirchnerova.,
D.Tancinova and K.Zeujec. 2014. Mastitis
Pathogenes and Their Resistance Againts
Antimicrobial Agents in Dairy Cow in Nitra,
Slovakia. Slovak J. Anim. Sci. 47(1) : 33-38.
Jones, G.M. 2006. Milking Practices Recommended to Assure
Milk Quality and Prevent Mastitis. Virginia
Cooperative Extension, Dairy Science : 404-227.
Klopcic, M., A.Hamoen and J.Bawely. 2011. Body Condition
Scoring of Dairy Cows. Domzale : Biotechnical
Faculty. Departement of Animal Science. ISBN
978-961-6204-54-5.
Kurniawan, Sarwiyono dan P.Surjowardojo. 2013. Pengaruh
Teat Dipping Menggunakan Dekok Daun Kersen
Page 72
57
(Muntinga calabura L.) terhadap Tingkat
Kejadian Mastitis. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan.
23 (3) : 27-31.
Lutviandhitarani, G., D.W.Harjanti dan F.Wahyono. 2015.
Green Antibiotic Daun Sirih (Piper betle L.)
Sebagai Pengganti Antibiotik Komersial untuk
Penanganan Mastitis. Jurnal Agripet. 15(1) : 28-
32
Masduqi, A.F., M.Izzati dan E. Prihastanti. 2014. Efek Metode
Pengeringan terhadap Kandungan Bahan Kimia
dalam Rumput Laut Sargassumpolycystum.
Buletin Anatomi dan Fisiologis. 22(1) : 1-9.
Mellenberger, R. 2000. California Mastitis Test (CMT). Dept
of Animal Sciences, Michigan State University.
Mukhtar, A. 2006. Ilmu Produksi Ternak Perah Cetakan I.
Lembaga Pengembangan Profesi dan Universitas
Sebelas Maret Press : Surakarta.
Murti, T.W. 2013. Ilmu Manajemen dan Industri Ternak
Perah. Pustaka Reka Cipta : Bandung.
Nababan, L.A., Suada I.K dan Swacita I.B.N. 2014. Ketahanan
Susu Segar pada Penyimpanan Suhu Ruang
Ditinjau dari Uji Tingkat Keasaman, Didih, dan
Waktu Reduktase. Indonesia Medicus Veterinus.
3(4) : 274-282.
Page 73
58
Nisa, G.K., W.A. Nugroho dan Y.Hendrawan. 2014. Ekstraksi
Daun Sirih Merah (Piper crocatum) dengan
Metode Microwave Assisted Extraction (MAE).
Jurnal Bioproses Komoditas Tropis. 2(1) : 72-78.
Poeloengan, M., M.N. Susan dan Andriani. 2005. Efektivitas
Ekstrak Daun Sirih (Piper betle Linn) terhadap
Mastitis Subklinis. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner : 1015-1019.
Pradhan, D., K.A.Suri., D.K.Pradhan and P.Biswasroy. 2013.
Golden Heart of the Nature : Piper betle L.
Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry.
1(6) : 147-167.
Pradiee, J et al. 2012. Somatic Cell Count and California
Mastitis Test as a Diagnostic Tool for Subclinical
Mastitis in Ewes. Acta Scientiae Veterinariae.
40(2) : 1-7.
Prastyowati, A., L.M.E.Purwijantinigsih dan F.S.Pranata.2014.
Kualitas Kimia dan Mikrobiologi Permen Keras
Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) sebagai Pakan
Ternak Tambahan. Jurnal Sain Veteriner. 32(2) :
191-198.
Pratiwi, N., A.T.A. Sudewo dan S.A. Santosa. 2013.
Penggunaan Taksiran Produksi Susu dengan Test
Interval Method (TIM) pada Evaluasi Mutu
Genetik Sapi Perah Baturraden. Jurnal Ilmiah
Peternakan. 1(1) : 267-275.
Page 74
59
Prawesthirini, S., A.Ferianto dan K. Supranianondo. 2012.
Pola Resistensi Staphylococcus aureus yang
Diisolasi dari Mastitis pada Sapi Perah di
Wilayah Kerja KUD Argopuro Krucil
Probolinggo terhadap Antibiotika. Jurnal
Veterinaria Medika. 5(3) : 181-186.
Prihutomo, S., B.E.Setiani dan D.W.Harjanti. 2015. Screening
Sumber Cemaran Bakteri Pada Kegiatan
Pemerahan Susu di Peternakan Sapi Perah Rakyat
Kabupaten Semarang. Jurnal Ilmu-Ilmu
Peternakan. 25(1) : 66-71.
Primadani, A.H., Sarwiyono dan P.Surjowardojo. 2014.
Pengaruh Teat Dipping Menggunakan Dekok
Daun Kersen (Muntingia calabura L.) Terhadap
Hasil Uji Reduktase dan Uji Berat Jenis Susu
Sapi FH Laktasi. Fakultas Peternakan.
Universitas Brawijaya, Malang.
Priyono, S.H dan Praptiwi. 2009. Identifikasi Senyawa Kimia
dan Aktivitas Antibakteri Ekstrak Piper Sp. Asal
Papua. Jurnal Teknik Lingkungan. 10(3) : 271-
276.
Putra, S.D., P.Surjowardojo dan Sarwiyono. 2013. Pengaruh
Teat Dipping Menggunakan Dekok Daun Kersen
(Muntinga calabura L.) terhadap Tingkat
Kejadian Mastitis Subklinis dan Produksi Susu
Page 75
60
Sapi Perah. Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya. Malang.
Riyanto., J. Sunarto., B.S. Hertanto., M.Cahyadi., Hidayah dan
W.Sejati. 2016. Produksi dan Kualitas Susu Sapi
Perah Penderita Mastitis yang Mendapat
Pengobatan Antibiotik. Sains Peternakan. 14(2) :
30-41.
Saragih,C.I., I.K.Suada dan I.P.Sampurna. 2013. Ketahanan
Susu Kuda Sumbawa Ditinjau dari Waktu
Reduktase, Angka Katalase, Berat Jenis, dan Uji
Kekentalan. Indonesia Medicus Veterinus. 2(5) :
553-561.
Saraswati, D. 2011. Pengaruh Konsentrasi Daun Sirih terhadap
Daya Hambat Escherichia coli. Jurnal Health and
Sport. 3(2) : 285-362.
Sari, M,.I.B.N.Swacita dan K.K.Agustina. 2013. Kualitas Susu
Kambing Peranakan Etawah Post-Thawing
Ditinjau dari Waktu Reduktase dan Angka
Katalase. Indonesia Medicus Veterinus. 2(2) :
202-207.
Soetarno, T. 2003. Manajemen Budidaya Sapi Perah.
Laboratorium Ternak Perah Fakultas Peternakan
UGM, Yogyakarta.
Page 76
61
Suardana, I.W dan Swacita, I.B.N. 2004. Food Hygiene.
Petunjuk Laboratorium Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Udayana, Denpasar.
Suhartati, R dan D.I. Aryani. 2014. Kategori Kualitas Susu
Sapi Segar secara Mikrobiologi di Peternakan
“X” Cisurupan-Garut. Jurnal Kesehatan Bakti
Tunas Husada. 12(1) : 106-111.
Suharyono., L.Farida., A.Kurniawati dan Adiarto. 2010. Efek
Suplemen Pakan terhadap Puncak Produksi Susu
Sapi Perah pada Laktasi Pertama. Semiloka
Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju
Perdagangan Bebas : 52-56.
Sukandar, A., B.P.Purwanto dan A.Anggraeni. 2009.
Keragaan Body Condition Score dan Produksi
Susu Sapi Perah Friesian-Holstein di Peternakan
Rakyat KPSBU Lembang, Bandung. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner :
86-99.
Sunarko, C., Sutrasno, B., Siwi, T.H., Kumalajati, A.,
Supriadi, H., Marsudi, A dan
Budiningsih. 2009. Petunjuk Pemeliharaan Bibit
Sapi Perah. Departemen Pertanian Direktorat
Jendral Peternakan BBPTU Baturraden :
Purwokerto.
Supar dan T. Ariyanti. 2008. Kajian Pengendalian Mastitis
Subklinis Pada Sapi Perah. Semiloka Nasional
Page 77
62
Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan
Bebas 2020 : 360-366.
Supriyadi, S. 2008. Kandungan Bahan Organik sebagai Dasar
Pengelolaan Tanah di Lahan Kering Madura.
Jurnal Embryo. 5(2) : 176-183.
Surjowardojo, P., Suyadi, L.Hakim dan Aulani’am. 2008.
Ekspresi Produksi Susu pada Sapi Perah Mastitis.
Jurnal Ternak Tropika. 9(2) : 1-11.
Surjowardojo, P. 2011. Tingkat Kejadian Mastitis dengan
Whiteside Test dan Produksi Susu Sapi Perah
Friesien Holstein. Jurnal Ternak Tropika. 12(1) :
46-55.
Suwito, W. 2010. Bakteri yang Sering Mencemari Susu:
Deteksi, Patogenesis, Epidemiologi, dan Cara
Pengendaliannya. Jurnal Litbang Pertanian. 29(3)
: 96-100
Suwito, W dan Andriani. 2012. Teknologi Penanganan Susu
yang Baik dengan Mencermati Profil Mikroba
Susu Sapi di Berbagai Daerah. Jurnal
Pascapanen. 9(1) : 35-44.
Tiesnamurti, B., I.Inounu., Subandriyo dan H. Martojo. 2003.
Kapasitas Produksi Susu Domba Priangan Peridi :
II. Kurva Laktasi. JITV. 8(1) : 17-25.
Page 78
63
Utami, K.B., L.E.Radiati dan P.Surjowardojo. 2014. Kajian
kualitas susu sapi perah PFH (studi kasus pada
anggota Koperasi Agro Niaga di Kecamatan
Jabung Kabupaten Malang). Jurnal Ilmu-ilmu
Peternakan. 24(2) : 58-66.
Utomo, B dan D.P.Miranti. 2010. Tampilan Produksi Susu
Sapi Perah yang Mendapat Perbaikan Manajemen
Pemeliharaan. Jurnal Caraka Tani XXV: 21-25.
Vatai, T., M. Skerget and Z. Knez. 2009. Extraction of
Phenolic Compounds from Elder Berry and
Different Grape Marc Varieties Using Organic
Solvents and/or Supercritical Carbondioxide. J.
Food Eng. 8(6) : 574-578.
Williamson, J. and Molcolm. 2012. Smart Approach to Post-
milking Teat Desinfection. Proceeding of the
New Zealand Milk Quality Conference : 1-22.
Yamani, A. 2010. Kajian Tingkat Kesuburan Tanah pada
Hutan Lindung Gunung Sebatung di Kabupaten
Kotabaru Kalimantan Selatan. Jurnal Hutan
Tropis. 11(29) : 32-37.
Yuniarni, U., Y. Lukmayani dan A.Fitriyani. 2014. Pengaruh
Dekok Daun Beluntas, Jawer Kotok, dan Sirih
serta Kombinasinya sebagai Obat Antikeputihan
terhadap Candida Albicans. Jurnal Sains,
Teknologi, dan Kesehatan. 4 (1) : 111-116.
Page 79
64
Zainudin, M., Ihsan, M.N dan Suyadi. 2014. Efisiensi
Reproduksi Sapi Perah PFH pada Berbagai Umur
di CV. Milkindo Berka Abadi Desa Tegalsari
Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang. Jurnal
Ilmu-Ilmu Peternakan. 24 (3) : 32-37.