PEMBELAJARAN REMIDIAL DENGAN MENGGUNAKAN STRATEGI KONFLIK KOGNITIF UNTUK MEREDUKSI MISKONSEPSI SISWA KELAS VIII SMPN 02 SUKANAGARA PADA MATERI KLASIFIKASI BENDA TESIS diajukan untuk memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan IPA oleh Vidya Setyaningrum NIM 1302723 PROGRAM STUDI ILMU PENGETAHUAN ALAM
36
Embed
PEMBELAJARAN REMIDIAL DENGAN MENGGUNAKAN STRATEGI KONFLIK KOGNITIF UNTUK MEREDUKSI MISKONSEPSI SISWA KELAS VIII SMPN 02 SUKANAGARA
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PEMBELAJARAN REMIDIAL DENGAN MENGGUNAKAN
STRATEGI KONFLIK KOGNITIF UNTUK MEREDUKSI
MISKONSEPSI SISWA KELAS VIII SMPN 02 SUKANAGARA
PADA MATERI KLASIFIKASI BENDA
TESIS
diajukan untuk memenuhi sebagian syarat untuk
memperoleh gelar Magister Pendidikan IPA
oleh
Vidya Setyaningrum
NIM 1302723
PROGRAM STUDI ILMU PENGETAHUAN ALAM
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2014
PEMBELAJARAN REMIDIAL DENGAN MENGGUNAKAN
STRATEGI KONFLIK KOGNITIF UNTUK MEREDUKSI
MISKONSEPSI SISWA KELAS VIII SMPN 02 SUKANAGARA
PADA MATERI KLASIFIKASI BENDA
BAB IA. Latar Belakang
Dalam beberapa dekade ini, para pengajar sains
setuju bahwa siswa memiliki konsepsi tersendiri sebelum
memuliai pelajaran sains. Konsepsi ini umumnya
dikembangkan oleh siswa sendiri berdasarkan fenomena
yang mereka temui dalam kehidupan sehari-hari. Konsepsi
ini disebut prakonsepsi, dan dapat berupa konsepsi
ilmiah, konsepsi alternatif, maupun miskonsepsi. Banyak
penelitian yang menyatakan bahwa konsepsi alternatif
terjadi di semua tingkatan pendidikan misalnya sekolah
dasar (Hobson et al., 2010; Berrenwinkel et al., 2010),
sekolah menengah pertama (Potvin et al., 2012; Cetin et
al., 2009; Calik et al., 2010), dan sekolah menengah
atas (Lombardi et al., 2013; Lee and Byun, 2012).
Hewson (1992; dalam Cetin et al., 2009) menyatakan
bahwa pembelajaran mencakup perubahan suatu konsepsi
dan penambahan pengetahuan yang baru terhadap
pengetahuan yang telah ada. Belajar melibatkan
interaksi antara konsepsi yang baru dengan konsepsi
yang telah ada, sehingga konsepsi awal siswa baik
ilmiah ataupun tidak akan mempengaruhi siswa untuk
mempelajari konsep baru dalam proses pembelajaran;
dalam Cetin et al., 2009). Namun, banyak prakonsepsi
terkenal sulit untuk diubah dan dapat menjadi
penghalang untuk mempelajari teori-teori ilmiah (Chi,
2005; dalam Lombardi et al., 2013). Ada 2 pandangan
untuk mengatasi miskonsepsi pada siswa: (1)
mengidentifikasi miskonsepsi siswa dan (2)
mengembangkan strategi perubahan konsep untuk
memperbaiki konsepsi alternatif mereka. Banyak
literature yang menyarankan untuk lebih memperhatikan
konsepsi alternatif siswa atau menggunakan pendekatan
perubahan konsep (misalnya Duit dan Treagust, 1998;
Tytler, 2002; Widodo et al. 2002; Calik et al., 2010).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Afriyanti
(2013) menunjukkan bahwa strategi konflik kognitif
dapat mereduksi miskonsepsi pada materi kelarutan dan
hasil kali kelarutan yakni pada sub konsep kelarutan
dari 44,53% menjadi 7,03%. Penelitian oleh Susilawati
(2013) juga menunjukkan bahwa strategi konflik kognitif
mampu mereduksi lebih banyak miskonsepsi pada materi
suhu dan kalor yakni sebanyak 11%.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini
difokuskan pada konsep konsep yang menimbulkan
miskonsepsi, penyebab dan upaya mereduksi miskonsepsi
yang terjadi. Untuk dapat mereduksi miskonsepsi yang
terjadi pada materi klasifikasi benda, akan dilakukan
pembelajaran remedial dengan menggunakan strategi
konflik kognitif.
Adapun pertanyaan penelitian dapat dirincikan sebagai
berikut:
1. Miskonsepsi apa saja yang dialami siswa pada
materi klasifikasi benda?
2. Bagaimana pengaruh pembelajaran remedial dengan
strategi konflik kognitif terhadap reduksi
miskonsepsi siswa?
3. Apa saja penyebab terjadinya miskonsepsi siswa?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka
tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui miskonsepsi apa saja yang dialami oleh
siswa pada materi klasifikasi benda.
2. Mengetahui pengaruh pembelajaran remedial dengan
strategi konflik kognitif terhadap reduksi
miskonsepsi siswa.
3. Mengetahui penyebab miskonsepsi siswa.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat untuk berbagai kalangan, antara lain:
1. Bagi peneliti:
a. Sebagai bahan rujukan dan inovasi pengembangan
bagi penelitian lain yang relevan.
b. Sebagai sumber informasi dan referensi untuk
menangani miskonsepsi siswa pada materi
klasifikasi benda.
2. Bagi siswa.
a. Membantu siswa mengurangi miskonsepsi yang terjadi
pada dirinya.
b. Menciptakan suasana belajar yang menyenangkan
untuk meningkatkan motivasi belajar siswa.
3. Bagi guru.
a. Sebagai bahan kajian untuk mengantisipasi peluang
terjadinya miskonsepsi pada siswa.
b. Membantu guru dalam merancang pembelajaran yang
sesuai dengan miskonsepsi siswa.
4. Bagi institusi.
Sebagai landasan dalam pembuatan kebijakan untuk
meningkatkan hasil belajar dan mengurangi miskonsepsi
siswa.
E. Definisi Operasional
1. Pembelajaran Remidial
Pembelajaran remedial adalah kegiatan yang ditujukan
untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam
menguasai materi pelajaran. Sesuai dengan
pengertiannya, tujuan pembelajaran remedial ialah
membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran yang
telah ditetapkan dalam kurikulum yang berlaku.
2. Strategi konflik kognitif
Sugiyatna (2008) menyatakan strategi konflik kognitif
adalah seperangkat kegiatan pembelajaran dengan
mengkomunikasikan dua atau lebih rangsangan berupa
sesuatu yang berlawanan atau berbeda kepada peserta
didik agar terjadi proses internal yang intensif
dalam rangka mencapai keseimbangan ilmu pengetahuan
yang lebih tinggi.
3. Miskonsepsi
Suparno (2005) menyatakan miskonsepsi adalah suatu
konsep yang tidak sesuai dengan konsep yang diakui
oleh para ahli. Biasanya miskonsepsi ini menyangkut
kesalahan siswa dalam memahami hubungan antar konsep.
Para peneliti juga menggunakan istilah-istilah
berbeda dalam bahasa Inggris seperti alternative
frameworks, alternative conceptions, atau children theories. Ketiga
istilah ini digunakan untuk menghindari label salah
dan menunjukkan bahwa miskonsepsi siswa seringkali
merupakan bagian dari suatu teori siswa yang dengan
sendirinya cukup logis dan lumayan konsisten,
walaupun tidak cocok dengan pendapat ilmuwan dan
peristiwa-peristiwa fisika (Berg, 1991). Dalam
penenlitian ini, miskonsepsi siswa dianalisis dengan
menggunakan CRI (Certainty Response Index)
4. Motivasi
Schunk et al (2008, dalam Schunk 2012) medefinisikan
motivasi sebagai proses mendorong dan mempertahankan
tujuan dengan mengarahkan perilaku.
BAB II
A. Miskonsepsi
Suparno (2005) menyatakan miskonsepsi adalah suatu
konsep yang tidak sesuai dengan konsep yang diakui oleh
para ahli. Miskonsepsi dapat berbentuk konsep awal,
kesalahan hubungan yang tidak benar antara konsep-
konsep, gagasan intuitif atau pandangan yang salah.
Berdasarkan literature ada banyak istilah yang
digunakan oleh peneliti sebagai padanan kata
miskonsepsi, seperti alternative conception, preconception,
alternative framework, inaccurate prior knowledge, intuitive science,
nonscientific ideas, dan children’s science (Tippet, 2004).
Penggunaan istilah-istilah ini menurut Berg (1991)
dimaksudkan digunakan untuk menghindari label salah dan
menunjukkan bahwa miskonsepsi siswa seringkali
merupakan bagian dari suatu teori siswa yang dengan
sendirinya cukup logis dan lumayan konsisten, walaupun
tidak cocok dengan pendapat ilmuwan dan peristiwa-
peristiwa fisika.
Miskonsepsi memiliki beberapa ciri-ciri yang diringkas
oleh Berg (1991) sebagai berikut:
1. Miskonsepsi sulit sekali diperbaiki.
2. Seringkali “sisa’ miskonsepsi terus menerus
mengganggu. Soal-soal yang sederhana dapat
dikerjakan, tetapi dengan soal yang sedikit lebih
sulit, miskonsepsi muncul lagi.
3. Sering kali terjadi regresi, yaitu (maha)siswa yang
sudah pernah mengatasi miskonsepsi, beberapa bulan
kemudian salah lagi.
4. Miskonsepsi tidak dapat dihilangkan atau dihindari
hanya dengan metode ceramah yang baik.
5. Siswa, mahasiswa, guru, dosen, maupun peneliti dapat
mengalami miskonsepsi baik yang pandai maupun tidak.
6. Guru dan dosen umumnya tidak mengetahui miskonsepsi
yang lazim antara (maha)siswanya dan tidak
menyesuaikan proses belajar-mengajar dengan
miskonsepsi (maha)siswanya.
Sejalan dengan itu, Wandersee et al., (1994, dalam
Tippet 2004) memberikan beberapa penegasan yang muncul
mengenai konsepsi alternatif berdasarkan penelitiannya.
1. Siswa memiliki beragam konsepsi alternatif terkait
dengan objek dan pertistiwa di sekelilingnya.
2. Semua siswa semua siswa dapat memiliki konsepsi
alternatif terlepas dari usia, kemampuan, jenis
kelamin, dan budaya.
3. Konsepsi alternatif sulit diubah.
4. Konsepsi alternatif sering kali menyerupai
penjelasan historis dari suatu fenomena alami.
5. Konsepsi alternatif didasarkan pada pengalaman
pribadi, observasi, dan interpretasi suatu kejadian,
penjelasan, dan pengajaran.
6. Guru mungkin saja memiliki konsepsi alternatif yang
mirip dengan siswanya.
7. Pengetahuan awal berinteraksi dengan informasi yang
disajikan selama pembelajaran dan dapat menghasilkan
pembelajaran yang tidak akuray dan tidak diinginkan.
8. Strategi pembelajaran dapat secara efektif mendorong
terjadinya perubahan konsep.
Ada banyak hal yang menyebabkan miskonsepsi, antara
lain:
Sebab Utama Sebab KhususSiswa Prakonsepsi
Pemikiran asosiatif Pemikiran humanistic Reasoning yang tidak lengkap atau salah Intuisi yang salah Tahap perkembangan kognitif Kemampuan Minat belajar
Guru /Pengajar
Tidak menguasai bahan Tidak kompeten Bukan lulusan bidangnya Tidak membiarkan siswa mengungkapkangagasan/ ide
Relasi guru-siswa tidak baikBuku Teks Penjelasan keliru
Salah tulis, terutama dalam rumus Tingkat penulisan buku terlalu tinggibagi siswa
Siswa tidak tahu membaca buku teks Buku fiksi sains kadang-kadang
konsepnya menyimpang demi menarikpembaca
Kartun sering memuat miskonsepsi.Konteks Pengalaman siswa
Bahasa sehari-hari berbeda Teman diskusi yang salah Agama dan keyakinan Penjelasan orang tua / orang lain yangkeliru
Konteks hidup siswa (TV, radio, filmyang keliru)
Perasaan senang/tidak senang, bebasatau tetekan
CaraMengajar
Hanya berisi ceramah dan menulis Langsung ke dalam bentuk matematika Tidak mengungkapkan miskonsepsi siswa Tidak mengoreksi PR yang salah Model analogi Model praktikum Model diskusi Model deminstrasi yang sempit Non-multiple itelligences
Miskonsepsi berbeda dengan kekurangan pengetahuan atau
konsep. Dimana kekurangan konsep dapat diperbaiki
dengan pembelajaran dan pembelajaran berkelanjutan,
sedangkan miskonsepsi dipercaya tanpa disadari
menghambat penerimaan dan integrasi yang sesuai dari
konsep atau keterampilan baru (Hasan, 1999).
Identifikasi dan membedakan miskonsepsi dengan
kekurangan konsep sangat penting dilakukan, salah
satunya adalah dengan menggunakan Certainty Response Index
(CRI). CRI biasanya digunakan dalam social sciences, khususnya
dalam survey, dimana responden diminta untuk menuliskan
derajat keyakinan yang ia miliki dalam kemampuannya
dalam memilih dan menggunakan pengetahuan, konsep atau
hukum yang kuat untuk memilih jawaban. CRI biasanya
berdasarkan beberapa skala untuk menentukan miskonsepsi
siswa., misalnya CRI dengan skala enam point yang
dikemukakan oleh Hasan (1999) sebagai berikut:
0 Totally guessed answer
1 Almost a guess
2 Not sure
3 Sure
4 Almost certain
5 Certain
B. Pembelajaran Remidial
Istilah remediasi berasal dari bahasa Inggris yaitu
remediation yang berakar dari kata ”to remedy”, yang
bermakna ”menyembuhkan”. Jadi remediasi ditekankan pada
proses penyembuhan. Kata remedial merupakan kata sifat,
sehingga didalam bahasa Indonesia, kata remedial
disandingkan dengan kata kegiatan atau pembelajaran.
Pembelajaran remedial adalah kegiatan yang ditujukan
untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam
menguasai materi pelajaran. Pembelajaran remedial ini
merupakan layanan pendidikan yang diberikan kepada
siswa untuk memperbaiki prestasi belajarnya sehingga
mencapai kriteria ketuntasan yang ditetapkan.
1. Pengertian
2. Perbedaan dengan pembelajaran biasa
3. Fungsi
Tujuan dari pembelajaran remedial adalah untuk membantu
siswa mencapai tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan dalam kurikulum yang berlaku. Dalam proses
pembelajaran, kegiatan remedial memiliki beberapa
fungsi sebagai berikut:
1. Memperbaiki cara belajar siswa dan cara mengajar
guru (Fungsi Korektif) Fungsi korektif ini
dilaksanakan guru berdasarkan hasil analisis
kesulitan belajar siswa yang diketemukan. Bertolak
dari hasil analisis tersebut, guru memperbaiki
berbagai aspek proses pembelajaran, mulai dari
rumusan indikator hasil belajar, materi ajar,
pengalaman belajar, penilaian dan evaluasi, serta
tindak lanjut pembelajaran. Rumusan kompetensi dan
indikator hasil belajar untuk remediasi dibuat
berdasarkan kesulitan belajar yang dialami siswa.
Selanjutnya guru mengorganisasi dan mengembangkan
materi pembelajaran sesuai dengan taraf kemampuan
siswa, memilih dan menerapkan alat dan berbagai media
serta sumber belajar untuk memudahkan siswa belajar,
memilih dan menetapkan pengalaman belajar yang
sesuai. Berikut contoh kegiatan dalam pembelajaran
remedial yang dapat dilakukan guru. Jika guru
menemukan bahwa penyebab kesulitan belajar siswa
karena pengalaman belajar tidak konkrit, maka
kegiatan remedial yang harus dirancang guru adalah
membelajarkan siswa dengan kegiatan belajar yang
mengkonkritkan pengalaman belajar. Jika misalnya
disebabkan oleh siswa kurang sungguh-sungguh
mengerjakan tugas, maka siswa perlu dilatih untuk
mengerjakan tugas secara lebih sungguh-sungguh.
2. Meningkatkan pemahaman guru dan siswa terhadap
kelebihan dan kekurangan dirinya (Fungsi Pemahaman)
Kegiatan remedial memberikan pemahaman lebih baik
kepada siswa maupun guru. Bagi seorang guru yang akan
melaksanakan kegiatan remedial terlebih dulu harus
memahami kelebihan dan kelemahan kegiatan
pembelajaran yang dilakukannya. Untuk kepentingan
itu maka guru terlebih dulu mengevaluasi kegiatan
pembelajaran yang telah dilaksanakannya baik dari
segi strategi, metode, alat, pengalaman belajar
sesuai dengan tingkat pemahaman siswa dan lain lain.
Dari hasil evaluasi inil guru memperbaiki proses
pembelajarannya. Pemahaman yang diharapkan terbentuk
pada diri siswa dari kegiatan remedial adalah siswa
memahami kelebihan dan kelemahan cara belajarnya.
Dari pemahaman akan kelemahan dan kelebihan dirinya
ini siswa akan dengan kesadaran sendiri memperbaiki
sikap dan cara belajarnya sehingga dapat mencapai
hasil belajar yang lebih baik.
3. Menyesuaikan pembelajaran dengan karakteristik
siswa (Fungsi Penyesuaian)
Fungsi penyesuaian dalam kegiatan remedial adalah
penyesuaian guru terhadap karakteristik siswa. Untuk
menentukan hasil belajar siswa dan materi
pembelajaran disesuaikan dengan kesulitan yang
dihadapi siswa. Kegiatan pembelajaran guru harus
menerapkan kekuatan yang dimiliki individu siswa
melalui penggunaan berbagai metode dan alat/media
pembelajaran.
4. Mempercepat penguasaan siswa terhadap materi
pelajaran (Fungsi Akselerasi) Melalui penambahan
waktu, kegiatan remedial dapat mempercepat penguasaan
terhadap materi pembelajaran.
5. Memperkaya pemahaman siswa tentang materi
pembelajaran (Fungsi Pengayaan)
Pada kegiatan remedial dapat digunakan sumber
belajar, metode pembelajaran, dan alat bantu
pembelajaran yang bervariasi dibandingkan
pembelajaran biasa yang disesuikan dengan
permasalahan yang dihadapi oleh siswa dan
karakteristik siswa itu sendiri. Komponen-komponen
ini merupakan penggayaan dalam proses pembelajaran.
6. Membantu mengatasi kesulitan siswa dalam aspek
sosial-pribadi (Fungsi Terapeutik).
Siswa yang mengalami kesulitan belajar yang
berkeenaan dengan aspek sosial pribadi siswa. Daengan
kegiatan remedial, guru dapat membantu mencapai
prestasi belajarnya yang kemudian dapat membuat siswa
menjadi lebih percaya diri dalam bergaul dengan
teman-temannya.
C. Strategi Konflik Kognitif
Konflik Kognitif
Dalam pandangan pendidikan sains klasik mengenai
perubahan konsep, membuat siswa sadar akan konsepsi
mereka secara praktis disadari sebagai langkah penting
dalam pembelajaran (Macbeth, 2000; Nussbaum dan Novick
1982; dalam Potvin et al., 2012). Posner et al (1982;
dalam Cetin et al., 2009) mengajukan empat kondisi yang
dibutuhkan untuk munculnya perubahan konsep dalam
pemahaman individu:
1. Ada ketidakpuasan terhadap konsep yang sudah ada
sehingga mengakomodasi konsepsi yang baru akan
lebih mudah.
2. Konsep yang baru haruslah intelegible, maksudnya
konsep ini masuk mudah dipahami, membangun
reperesentasi konsep baru dan bermakna bagi siswa.
3. Konsep baru ini haruslah masuk akal dimana dapat
menyelesaikan masalah dan sesuai dengan pengalaman
siswa di masa lampau ataupun pengetahuan dan teori
lainnya.
4. Konsepsi yang baru harus menyarankan program
penelitian yang bermanfaat, yang dapat
dikembangkan ke area inkuiri lainnya dan harus
memiliki kekuatan teknologis dan/atau
eksplanatoris untuk menyelesaikan masalah.
Faktor yang dapat mempengaruhi perubahan konsep dikenal
sebagai ketidakseimbangan, ketidakpuasan, atau konflik kognitif.
Persepsi yang tidak sesuai dengan kognisi seseorang
akan menimbulkan ketidaknyamanan psikologis (disebut
ketidaksesuaian kognitif) dan keadaan yang bertentangan
ini akan mendorong seseorang untuk berusaha
menyelesaikan ketidaksesuaian ini. Ketidaksesuaian
kognitif sama dengan konflik kognitif yang menurut
banyak peneliti dibutuhkan dalam perubahan konsep.
Konflik kognitif telah diterjemahkan secara bebas
sebagai : sebuah “kesadaran terhadap ketidakseimbangan
sementara” dari sebuah skema sistem (Mischel, 1971;
dalam Lee & Byun, 2012); ketidakseimbangan kognitif
atau konflik kognitif didorong oleh kesadaran atas
ketidaksesuaian informasi yang berbeda-beda (Bodrakova,
1988; dalam Lee & Byun, 2012); sebuah kondisi yang
terjadi ketika harapan dan prediksi seseorang,
berdasarkan penalaran saat ini, tidak terkonfirmasi,
menciptakan ketidakseimbangan (Wadsworth, 1996; dalam
Lee & Byun, 2012); konfilk antara struktur kognitif
(yaitu struktur pengetahuan yang telah tersusun di
dalam otak) dan lingkungan (misalnya praktikum,
peragaan, pendapat sesama ataupun buku); atau konflik
antara konsepsi dalam struktur kognitif (Kwon, 1989;
dalam Lee & Byun, 2012), dimana maksud dari struktur
kognitif, seperti yang dideskripsikan oleh Langfield-
Smith (1994; dalam Lee & Byun, 2012), adalah
representasi mental yang digunakan untuk menyusun
pengetahuan, kepercayaan, nilai, ataupun data lain baik
secara hipotetis maupun neurologis. Kognitif konflik
dapat dibedakan menjadi sebuah kondisi perseptual yang
berbeda antara model mental seseorang dan informasi
ekternal yang dihadapi (konflik ekternal-internal),
atau perbedaan antara model mental dalam struktur
kognitif seseorang (konflik internal) (Lee & Byun,
2012).
Berdasarkan kajian literature dan studi kasus, Lee et
al. (2003 dalam Lee & Byun, 2012) mengusulkan model
proses konflik kognitif (Lihat gambar). Berdasarkan
model ini, konflik kognitif mengharuskan siswa memiliki
prakonsepsi dan percaya bahwa mereka sedang menghadapi
situasi yang tidak wajar. Jika prakonsepsi maupun
situasi yang tidak wajarnya kurang maka tidak akan
muncul konflik kognitif. Dalam model ini konflik
kognitif dinyatakan sebagai keadaan psikologis yamg
muncul ketika siswa dihadapkan pada situasi yang tidak
wajar. Pada fase ini, siswa (1) menyadari situasi yang
tidak wajar, (2) menunjukkan ketertarikan dan/atau
kecemasan dalam menyelesaikan konflik kognitif, dan (3)
terlibat dalam penilaian ulang secara kognitif dari
situasi tersebut untuk menyelesaikan konflik ini. Jadi,
model ini mengasumsikan empat konstruksi psikologis
dalan konflik kognitif: pengenalan terhadap situasi yang tidak
wajar, ketertarikan, kecemasan, dan penilaian ulang secara kognitif.
Gambar. Model Proses Konflik Kognitif (Lee et al. 2003
dalam Lee & Byun, 2012)
Sesuai dengan fase yang telah disebutkan, penelitian
yang dilakukan oleh Patrice Potvin et al. (2012) dengan
menggunakan “brainstorming publik” (yang disebut dengan
“classroom explicitation of initial concepts atau disingkat CEIC),
dimana siswa menyebutkan dengan keras di depan kelas
konsepsi pribadinya mengenai fenomena yang diberikan.
Ini akan mendorong terjadinya konflik kognitif pada
siswa yang akhirnya akan menghasilkan perubahan konsep.
Hasil penelitian juga mendukung pendapat bahwa konflik
kognitif yang diinduksi oleh sesama siswa dapat
menghasilkan efek positif dalam pembelajaran, khususnya
pada siswa perempuan dan bahkan dalam kasus dimana
pengajaran tidak secara eksplisit menargetkan
“miskonsepsi”, tetapi juga menyediakan dukungan
tambahan pada penelitian awal yang menduga, berdasarkan
kewenangan pendapat yang mungkin berguna.
Strategi Konflik Kognitif
Pertanyaan bagaimana melibatkan siswa dalam proses
perubahan konsep terjawab dengan strategi konflik
kognitif. Sugiyatna (2008) menyatakan strategi konflik
kognitif adalah seperangkat kegiatan pembelajaran
dengan mengkomunikasikan dua atau lebih rangsangan
berupa sesuatu yang berlawanan atau berbeda kepada
peserta didik agar terjadi proses internal yang
intensif dalam rangka mencapai keseimbangan ilmu
pengetahuan yang lebih tinggi.
Menurut Driver dan Oldham dalam Suparno (1997), proses
pembelajaran yang menerapkan strategi konflik kognitif
berorientasi pada aktivitas kerja skema yang
dilaksanakan dalam sintaks sebagai berikut:
1. Fase Orientasi. Pada fase ini siswa diberikan
kesempatan untuk mengembangkan motivasinya dalam
mepelajari suatu topic. Siswa diberiakn kesempatan
untuk mengaitkan topic yang akan dibahas dengan
pengalaman mereka sehari-hari.
2. Fase Elicitasi. Pada fase ini siswa diberikan
kesempatan untuk mengmukakan pendapat atau ide
tentang topic yang sedang dibahas berdasarkan
pemahaman atau konsep yang dimilikinya.
3. Fase Restrukturisasi Ide. Pada fase ini siswa didorong
untuk mengajukan prediksi dan diajak menguji prediksi
tersebut melalui serangkaian percobaan yang telah
dipersiapkan sebelumnya oleh guru. Dari hasil
percobaan ini diharapkan terjadi konflik kognitif
terhadap prediksi yang mereka ajukan.
4. Fase Penerapan Konsep. Pada fase ini siswa diberi
kesempatan untuk mengaplikasikan apa-apa yang telah
didapatkan dari pembelajaran yang teah dilakukan.
5. Fase Review. Pada fase ini siswa diberi kesempatan
untuk meninjau kembali prediksi yang telah diajukan
dan konsep apa yang telah dipelajari. Siswa perlu
merevisi prediksinya dengan menambah suatu keterangan
atau mungkin mengubahnya menjadi lebih lengkap.
D. Materi Klasifikasi Benda
Ada dua cara dalam menggolongkan materi, yaitu secara
fisik dan secara kimia. Penggolongan secara fisik lebih
menekankan pada wujud materi, seperti padat, cair dan
gas, sedangkan penggolongan secara kimia lebih
menekankan terhadap komposisi dan struktur materi
seperti zat tunggal dan campuran.
1. Penggolongan secara fisika
Umumnya, berbagai jenis materi yang terdapat di alam
berbeda bentuk fisik karena perbedaan keadaan.
Contohnya air, terdapat sebagai es (padat), sebagai
cairan, dan sebagai uap air (gas). Perbedaan dari
sifat padat cair dan gas disajikan pada tabel
berikut:
Padat Cair GasMempunyai bentukdan volumetertentu.
Mempunyai volumetertentu, tetapitidak mempunyaibentuk yang tetap,bergantung padamedia yangdigunakan.