Top Banner
MAKALAH STRATEGI PEMBELAJARAN “STRATEGI PEMBELARAN AFEKTIF” Disusun Oleh : Kelompok IX : 1. Lenora E. Ralahalu (2014 – 43 – 095) 2. Lianda M. Tanikwele (2014 – 43 – 059) 3. Cisilya Manuhutu (2014 – 43 – 131) 4. Olsya I. Timisela (2014 – 43 – 021) 5. Suryadi Wael (2014 – 43 – 042) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA JURUSAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
34

Makalah Strategi Pembelajaran Afektif

Jul 08, 2016

Download

Documents

Leno Ralahalu

Makalah Strategi Pembelajaran Afektif
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Makalah Strategi Pembelajaran Afektif

MAKALAHSTRATEGI PEMBELAJARAN

“STRATEGI PEMBELARAN AFEKTIF”

Disusun Oleh :

Kelompok IX : 1. Lenora E. Ralahalu (2014 – 43 – 095)2. Lianda M. Tanikwele (2014 – 43 – 059)3. Cisilya Manuhutu (2014 – 43 – 131)4. Olsya I. Timisela (2014 – 43 – 021)5. Suryadi Wael (2014 – 43 – 042)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKAJURUSAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKANUNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON2016

Page 2: Makalah Strategi Pembelajaran Afektif

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

penyertaan dan perlindunganNya, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan

makalah ini dengan baik. Adapun makalah yang kami buat ini dengan judul “Strategi

Pembelajaran Afektif”.

Pada kesempatan ini, kami menyampaikan banyak terima kasih kepada Dosen

Mata Kuliah Strategi Pembelajaran, yang telah memberikan materi pada kami, guna

menambah wawasan untuk menyelesaikan penulisan makalah ini. Tak lupa kami,

menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam

penulisan makalah ini, baik bantuan secara moral maupun material.

Kami menyadari sungguh bahwa makalah ini masih sangat jauh dari

kesempurnaan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami

harapkan dari para pembaca sekalian demi penyempurnaan makalah ini.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita sekalian, terutama

yang membutuhkan materi tentang strategi pembelajaran afektif.

Sekian dan Terima Kasih.

Ambon, April 2016

Tim Penulis

ii

Page 3: Makalah Strategi Pembelajaran Afektif

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ........................................................................................................... i

Kata Pengantar .......................................................................................................... ii

Daftar Isi .................................................................................................................... iii

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 2

1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................. 2

BAB II. PEMBAHASAN MASALAH

2.1. Pengertian Strategi Pembelajaran Afektif ............................................ 3

2.2. Hakikat Pengembangan Nilai dan Sikap .............................................. 3

2.3. Proses Pembentukan Sikap .................................................................. 6

2.4. Model Strategi Pembelajaran Sikap ..................................................... 7

2.5. Kesulitan dalam Pembelajaran Afektif ................................................ 13

BAB III. PENUTUP

3.1. Kesimpulan .......................................................................................... 16

3.2. Saran .................................................................................................... 17

Daftar Pustaka ........................................................................................................... 18

iii

Page 4: Makalah Strategi Pembelajaran Afektif

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Pasal 3 dijelaskan bahwa Pendidikan

Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,

bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,

cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung

jawab.

Ada orang yang beranggapan bahwa sikap bukan untuk diajarkan, seperti halnya

matematika, fisika, ilmu sosial, dan lain sebagainya, akan tetapi untuk dibentuk. Oleh

karena itu, yang lebih tepat untuk bidang afektif bukanlah istilah pengajaran, namun

pendidikan. Namun, oleh karena strategi pembelajaran yang dibicarakan dalam naskah

ini diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang bukan hanya dimensi kognitif

tetapi juga dimensi yang lainnya, yaitu sikap dan keterampilan, melalui proses

pembelajaran yang menekankan kepada aktivitas siswa sebagai subjek belajar, maka

selanjutnya penulis menggunakan istilah strategi pembelajaran afektif, walaupun dalam

bahasan selanjutnya kedua istilah itu akan digunakan secara bergantian.

Afektif berhubungan dengan nilai (value), yang sulit diukur, oleh karena

menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Dalam batas tertentu

memang afeksi dapat muncul dalam kejadian behavioral, akan tetapi penilaiannya untuk

sampai pada kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan membutuhkan ketelitian dan

observasi yang terus-menerus, dan hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan, apalagi

menilai perubahan sikap sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru di

sekolah.

1

Page 5: Makalah Strategi Pembelajaran Afektif

1.2. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini, permasalahan yang kita bahas adalah sebagai berikut :

1. Apakah yang dimaksud dengan strategi pembelajaran afektif ?

2. Bagaimanakah konsep hakikat pendidikan nilai dan sikap ?

3. Bagaimanakah proses pembentukan sikap ?

4. Bagaimanakah model strategi pembelajaran sikap ?

5. Bagaimanakah kesulitan dalam pembelajaran efektif ?

1.3. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah yang kami buat ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Dosen Mata Kuliah Strategi

Pembelajaran.

2. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan strategi pembelajaran afektif.

3. Untuk mengetahui konsep hakikat pendidikan nilai dan sikap.

4. Untuk mengetahui model strategi pembelajaran afektif.

5. Untuk mengetahui proses pembentukan sikap.

6. Untuk mengetahui kesulitan dalam pembelajaran afektif.

2

Page 6: Makalah Strategi Pembelajaran Afektif

BAB II

PEMBAHASAN MASALAH

2.1. Pengertian Strategi Pembelajaran Afektif

Strategi Pembelajaran afektif adalah strategi pembelajaran yang bukan hanya

bertujuan untuk mencapai pendidikan kognitif saja, akan tetapi juga bertujuan untuk

mencapai dimensi yang lainnya. Yaitu sikap dan keterampilan afektif berhubungan

dengan volume yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh

dari dalam, afeksi juga dapat muncul dalam kejadian behavioral yang diakibat dari

proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru.

2.2. Hakikat Pendidikan Nilai dan Sikap

Sikap (afektif) erat kaitannya dengan nilai yang dimiliki oleh seseorang. Sikap

merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki. Oleh karenanya, pendidikan sikap pada

dasarnya adalah pendidikan nilai.

Nilai, adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya

tersembunyi, tidak berada di dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan

pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, layak dan tidak

layak, adil dan tidak adil, dan lain sebagainya. Pandangan seseorang tentang semua itu

tidak bisa diraba, kita hanya dapat mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan.

Oleh karena itulah, nilai pada dasarnya standar perilaku, ukuran yang menentukan atau

kriteria seseorang tentang baik dan tidak baik, indah dan tidak indah, layak dan tidak

layak, dan dan lain sebagainya, sehingga standar itu yang akan mewarnai perilaku

seseorang. Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya proses penanaman nilai

kepada peserta didik yang diharapkan oleh karenanya siswa dapat berperilaku sesuai

dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma

yang berlaku.

3

Page 7: Makalah Strategi Pembelajaran Afektif

Douglas Graham (Gulo, 2002) melihat empat faktor yang merupakan dasar

kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu, yaitu :

a. Normativist. Biasanya kepatuhan pada norma-norma hukum. Selanjutnya

dikatakan bahwa kepatuhan ini terdapat dalam tiga bentuk, yaitu: (1) kepatuhan

pada nilai atau norma itu sendiri; (2) kepatuhan pada proses tanpa memedulikan

normanya sendiri; dan (3) kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang

diharapkannya dari peraturan itu.

b. Integralist, yaitu kapatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan

pertimbangan-pertimbangan yang rasional.

c. Fenomenalist, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekadar basa-basi.

d. Henodist, yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.

Dari ke-empat faktor yang menjadi dasar kepatuhan setiap individual tentu saja

yang kita harapkan adalah kapatuhan yang bersifat normativist, sebab kapatuhan

semacam itu adalah kepatuhan yang didasari kesadaran akan nilai, tanpa memedulikan

apakah perilaku itu menguntungkan untuk dirinya atau tidak.

Selanjutnya dalam sumber yang sama dijelaskan, dari empat faktor ini terdapat

lima tipe kepatuhan, yaitu :

a. Otoritarian. Suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang ikut-ikutan.

b. Comformist. Kepatuhan tipe ini mempunyai tiga bentuk, yaitu: (1) conformist

directed, yaitu penyesuaian diri terhadap masyarakat atau orang lain;

(2) conformist hedonist, yakni kepatuhan yang berorientasi pada “untung-rugi”,

dan (3) conformist integral, adalah kepatuhan yang menyesuaikan kepentingan

diri sendiri dengan kepentingan masyarakat.

c. Compulsive deviant. Kepatuhan yang tidak konsisten.

d. Hedonik psikopatik, yaitu kepatuhan pada kenyataan tanpa memperhitungkan

kepentingan orang lain.

e. Supramoralist. Kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap nilai-nilai

moral.

4

Page 8: Makalah Strategi Pembelajaran Afektif

Dalam masyarakat yang cepat berubah seperti dewasa ini, pendidikan nilai bagi

anak merupakan hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan pada era global dewasa ini,

anak akan dihadapkan pada banyak pilihan tentang nilai yang mungkin dianggapnya

baik. Pertukaran dan pengikisan nilia-nilai suatu masyarakat dewasa ini akan mungkin

terjadi secara terbuka.

Nilai bagi seseorang tidaklah statis, akan tetapi selalu berubah. Setiap orang akan

menganggap sesuatu itu baik sesuai dengan pandangannya pada saat itu. Oleh sebab itu,

maka sistem nilai yang dimiliki seseorang itu bisa dibina dan diarahkan. Apabila

seseorang menganggap nilai agama adalah di atas segalanya, maka nilai-nilai yang lain

akan bergantung pada nilai agama itu. Dengan demikian, sikap seseorang sangat

tergantung pada sistem nilai yang dianggap paling benar, dan kemudian sikap itu yang

akan mengendalikan perilaku orang tersebut.

Komitmen seseorang terhadap suatu nilai tertentu terjadi melalui pembentukan

sikap, yakni kecenderungan seseorang terhadap suatu objek. Gulo (2005)

menyimpulkan tentang nilai, sebagai berikut :

Nilai tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya.

Pengembangan domain afektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif

dan psikomotorik.

Masalah nilai adalah masalah emosional dan karena itu dapat berubah,

berkembang, sehingga bisa dibina.

Perkembangan nilai atau moral tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap

tertentu.

Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak suatu objek

berdasarkan nilai yang dianggapnya baik atau tidak baik. Dengan demikian, belajar

sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu objek;

berdasarkan penilaian terhadap objek itu sebagai hal yang berguna/berharga (sikap

positif) dan tidak berharga/berguna (sikap negatif). Sikap merupakan suatu kemampuan

internal yang berperan sekali dalam mengambil tindakan (action), lebih-lebih apabila

terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak atau tersedia beberapa alternatif

(Winkel, 2004).

5

Page 9: Makalah Strategi Pembelajaran Afektif

2.3. Proses Pembemtukan Sikap

1. Pola Pembiasaan

Perhatikan percobaan yang dilakukan seorang psikolog yang bernama

Watson.

Pada suatu hari Watson melihat ada anak yang senang dengan tikus berbulu

putih. Ke mana pun anak itu pergi ia selalu membawa tikus putih yang sangat

disenanginya. Watson ingin mengubah sikap senang anak terhadap tikus putih

benjadi benci atau tidak senang. Maka ketika anak hendak memegang tikus itu,

Watson memberi kejutan dengan suara keras, hingga anak itu terkajut. Terus-

menerus hal itu dilakukan. Ketika anak mendekati dan hendak membawa tikus itu,

dimunculkanlah suara keras; anak semakin terkejut dan lama-kelamaan anak

benar-benar menjadi takut dengan tikus itu. Jangankan ia mau memegang atau

membawanya, melihat saja ia menangis dan ketakutan. Mengapa anak berubah

sikapnya dari sikap positif terhadap tikus menjadi sikap negatif? Hal ini

disebabkan kebiasaan (conditioning). Cara belajar sikap demikian menjadi dasar

penanaman sikap tertentu terhadap suatu objek.

Dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara disadari maupun tidak,

guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan.

Belajar membentuk sikap melalui pembiasaan itu juga dilakukan oleh

Skinner melalui teorinya operant conditioning. Proses pembentukan sikap melalui

pembiasaan yang dilakukan Watson berbeda dengan proses pembiasaan sikap

yang dilakukan oleh Skinner. Pembentukan sikap yang dilakukan oleh Skinner

menekankan pada proses peneguhan respons anak. Setiap kali anak menunjukkan

prestasi yang baik diberikan penguatan (reinforcement) dengan cara memberikan

hadiah atau perilaku yang menyenangkan. Lama-kelamaan, anak berusaha

meningkatkan sikap positifnya.

6

Page 10: Makalah Strategi Pembelajaran Afektif

2. Modeling

Salah satu karakteristik anak didik yang sedang berkembang adalah

keinginannya untuk melakukan peniruan (imitasi). Hal yang ditiru itu adalah

perilaku-perilaku yang diperagakan atau didemonstrasikan oleh orang yang

menjadi idolanya. Prinsip peniruan ini yang dimaksud dengan modeling. Modeling

adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang

yang dihormatinya.

Pemodelan biasanya dimulai dengan rasa kagum. Anak kagum terhadap

kepintaran orang lain, misalnya terhadap guru yang dianggapnya bisa melakukan

segala sesuatu yang tidak bisa dilakukannya. Secara perlahan perasaan kagum

akan memengaruhi emosinya dan secara perlahan itu pula anak akan meniru

perilaku yang dilakukan oleh idolanya itu. Misalnya, jika idolanya (guru atau

siapa saja) menunjukkan perilaku tertentu terhadap suatu objek, maka anak

cenderung akan berperilaku sama seperti apa yang dilakukan oleh idolanya itu.

Contohnya, jika guru idola seorang murid selalu berpakaian rapi dan bersih, maka

murid itu juga akan berperilaku seperti itu.

2.4. Model Strategi Pembelajaran Sikap

Dibawah ini disajikan beberapa model strategi pembelajaran pembentukan sikap

yaitu, diantaranya :

1. Model Konsiderasi

Model konsiderasi (the consideration model) dikembangkan oleh Mc. Paul,

seorang humanis. Paul menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama

dengan pengebangan kognitif yang rasional. Pembelajaran moral siswa

menurutnya adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual.

Tujuannya adalah agar siswa menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap

orang lain. Kebutuhan yang fundamental pada manusia adalah bergaul secara

harmonis dengan orang lain, saling memberi dan menerima dengan penuh cinta

dan kasih sayang.

Implementasi model konsiderasi guru dapat mengikuti tahap-tahap

pembelajaran seperti dibawah ini.

7

Page 11: Makalah Strategi Pembelajaran Afektif

a. Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang

terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

b. Menyuruh siswa untuk menganalisis situasi masalah dengan melihat bukan

hanya yang tampak, tetapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut,

misalnya perasaan, kebutuhan, dan kepentingan orang lain.

c. Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan

yang dihadapi. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat menelaah perasaannya

sendiri sebelum ia mendengar respons orang lain untuk dibandingkan.

d. Mengajak siswa untuk menganalisis respons orang lain serta membuat

kategori dari setiap respons yang diberikan siswa.

e. Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan

sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri. Guru

hendaknya tidak menilai benar atau salah atas pilihan siswa. Yang

diperlukan adalah guru dapat membimbing mereka menentukan pilihan

yang lebih matang sesuai dengan pertimbangannya sendiri.

2. Model Pengembangan Kognitif

Model pengembangan kognitif (the cognitive development model)

dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Model ini banyak diilhami oleh

pemikiran John Dewey dan Jean Piaget yang berpendapat bahwa perkembangan

manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung

secara berangsur-angsur menurut urutan tertentu. Menurut Kohlberg, moral

manusia itu berkembang melalui 3 tingkat, dan setiap tingkat terdiri dari 2 tahap,

diantaranya adalah :

a. Tingkat Prakonvensional

Pada tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan

kepentingannya sendiri. Artinya, pertimbangan moral didasarkan pada

pandangannya secara individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan

yang dibuat oleh masyarakat. Pada tingkat prakonvensional ini terdiri atas

dua tahap, yaitu :

8

Page 12: Makalah Strategi Pembelajaran Afektif

Tahap 1. Orientasi Hukuman dan Kepatuhan

Pada tahap ini perilaku anak didasarkan kepada konsekuensi fisik

yang akan terjadi. Artinya, anak hanya berfikir bahwa perilaku yang benar

itu adalah perilaku yang tidak akan mengakibatkan hukuman. Dengan

demikian, setiap peraturan harus dipatuhi agar tidak menimbulkan

konsukuensi negatif.

Tahap 2. Orientasi Instrumental-Relatif

Pada tahap ini perilaku anak didasarkan pada rasa “adil” berdasarkan

aturan permainan yang telah disepakati. Dikatakan adil manakala orang

membalas perilaku kita yang dianggap baik. Dengan demikian perilaku itu

didasarkan kepada saling menolong dan saling memberi.

b. Tingkat Konvensional

Pada tahap ini anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan

individu-masyarakat. Kesadaran dalam diri anak mulai tumbuh bahwa

perilaku itu harus sesuai dengan norma-norma dan aturan yang berlaku di

masyarakat. Pada tingkat konvensional itu mempunyai 2 tahap sebagai

kelanjutan dari tahap yang ada pada tingkat prakonvensional, yaitu tahap

keselarasan interpersonal serta tahap sistem sosial dan kata hati.

Tahap 3. Keselarasan Interpersonal

Pada tahap ini ditandai dengan setiap perilaku yang ditampilakn

individu didorong oleh keinginan untuk memnuhi harapan orang lain.

Kesadaran individu mulai tumbuh bahwa ada orang lain diluar dirinya untuk

berperilaku sesuai dengan harapannya. Artinya, anak sadar bahwa ada

hubungan antara dirinya dengan orang lain. Dan, hubungan itu tidak boleh

dirusak.

9

Page 13: Makalah Strategi Pembelajaran Afektif

Tahap 4. Sistem Sosial dan Kata Hati

Pada tahap ini perilaku individu bukan didasarkan pada dorongan

untuk memenuhi harapan orang lain yang dihormatinya, akan tetapi

didasarkan pada tuntutan dan harapan masyarakat. Ini berarti telah terjadi

pergeseran dari kesadaran individu kepada kesadaran sosial. Artinya, anak

sudah mulai menerima adanya sistem sosial yang mengatur perilaku

individu.

c. Tingkat Postkonvesional

Pada tingkat ini perilaku bukan hanya didasarkan pada kepatuhan

terhadap norma-norma masyarakat yang berlaku, akan tetapi didasari oleh

adanya kesadaran sesuai dengan nilai-nilai yang dimilikinya secara individu.

Seperti pada tingkat sebelumnya, pada tingkat ini juga terdiri dari dua tahap,

yaitu :

Tahap 5. Kontrak Sosial

Pada tahap ini perilaku individu didasarkan pada kebenaran-kebenaran

yang di akui oleh masyarakat. Kesadaran individu untuk berperilaku tumbuh

karena kesadaran untuk menerapkan prinsip-prinsip sosial. Dengan

demikian, kewajiban moral dipandang sebagai kontrak sosial yang harus

diparuhi, bukan sekedar pemenuhan sistem nilai.

Tahap 6. Prinsip Etis yang Universal

Pada tahap terakhir, perilaku manusia didasarkan pada prinsip-prinsip

universal. Segala macam tindakan bukan hanya didasarkan sebagai kontrak

sosial yang harus dipatuhi, akan tetapi didasarkan pada suatu kewajiban

sebagai manusia. Setiap individu wajib menolong orang lain, apakah orang

itu adalah orang yang kita benci ataupun tidak, apakah orang itu adalah

orang yang kita suka atau tidak. Pertolongan yang diberikan bukan

didasarkan pada alasan subjektif, akan tetapi didasarkan pada kesadaran

yang bersifat universal.

10

Page 14: Makalah Strategi Pembelajaran Afektif

Sesuai dengan prinsip bahwa moral terjadi secara bertahap, maka strategi

pembelajaran model Kohlberg diarahkan untuk membantu agar setiap individu

meningkat dalam perkembangan moralnya.

3. Teknik Mengklarifikasi Nilai

Teknik mengklarifikasi nilai (value clarification technique) atau sering

disingkat VCT dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa

dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi

suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam

dalam diri siswa.

Salah satu karakteristik VCT sebagai suatu model dalam strategi

pembelajaran sikap adalah proses penanaman nilai dilakukan melalui proses

analisis nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri siswa, kemudian

menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru yang hendak ditanamkan. VCT sebagai

suatu model dalam strategi pembelajaran moral VCT bertujuan :

a. Untuk mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu

nilai.

b. Membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik

tingkatannya maupun sifatnya (positif dan negatifnya) untuk kemudian

dibina ke arah peningkatan dan pembetulannya.

c. Untuk menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siswa melalui cara yang

rasional dan diterima siswa, sehingga pada akhirnya nilai tersebut akan

menjadi milik siswa.

d. Melatih siswa bagaimana cara menilai, menerima, serta mengambil

keputusan terhadap sesuatu persoalan dalam hubungannya dengan

kehidupan sehari-hari di masyarakat.

11

Page 15: Makalah Strategi Pembelajaran Afektif

John Jarolimek (1974) menjelaskan langkah pembelajaran dengan VCT

dalam 7 tahap yang dibagi ke dalam 3 tingkat. Tahapan-tahapan tersebut

diantaranya adalah :

I. Kebebasan Memilih

Pada tingkat ini terdapat 3 tahap, yaitu :

a. Memilih secara bebas, artinya kesempatan untuk menentukan pilihan

yang menurutnya baik. Nilai yang dipaksakan tidak akan menjadi

miliknya secara penuh.

b. Memilih dari beberapa alternatif. Artinya, untuk menentukan pilihan

dari beberapa alternatif pilihan secara bebas.

c. Memilih setelah dilakukan analisis pertimbangan konsekuensi yang

akan timbul sebagai akibat pilihannya.

II. Menghargai

Terdiri atas 2 tahap pembelajaran, yaitu :

d. Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi

pilihannya, sehingga nilai tersebut akan menjadi bagian integral dari

dirinya.

e. Menegaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya di

depan umum. Artinya, bila kita menganggap nilai itu suatu pilihan,

maka kita akan berani dengan penuh kesadaran untuk

menunjukkannya di depan orang lain.

III. Berbuat

Pada tahap ini terdapat 2 tahap, yaitu :

f. Kemauan dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya.

g. Mengulangi perilaku sesuai dengan nilai pilihannya. Artinya, nilai

yang menjadi pilihan itu harus tercermin dalam kehidupannya sehari-

hari.

12

Page 16: Makalah Strategi Pembelajaran Afektif

VCT menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai yang

menurut anggapannya baik, yang pada gilirannya nilai-nilai tersebut akan

mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Beberapa hal

yang harus diperhatika guru dalam mengimplementasikan VCT melalui proses

dialog :

Hindari penyampaian pesan melalui proses pemberian nasihat, yaitu

memberikan pesan-pesan moral yang menurut guru dianggap baik.

Jangan memaksa siswa untuk memberi respons tertentu apabila memang

siswa tidak menghendakinya.

Usahakan dialog dilaksanakan secara bebas dan terbuka, sehingga siswa

akan mengungkapkan perasaannya secara jujur dan apa adanya.

Dialog dilaksanakan kepada individu, bukan kepada kelompok kelas.

Hindari respons yang dapat menyebabkan siswa terpojok, sehingga ia

menjadi defensif.

Tidak mendesak siswa pada pendirian tertentu.

Jangan mengorek alasan siswa lebih dalam.

2.5. Kesulitan dalam Pembelajaran Afektif

Di samping aspek pembentukan kemampuan intelektual untuk membentuk

kecerdasan peserta didik dan pembentukan keterampilan untuk mengembangkan

kompetensi agar peserta didik memiliki kemampuan motorik, maka pembentukan sikap

peserta didik merupakan aspek yang tidak kalah pentingnya. Proses pendidikan bukan

hanya membentuk kecerdasan dan/atau memberikan keterampilan tertentu saja, akan

tetapi juga membentuk dan mengembangkan sikap agar anak berperilaku sesuai dengan

norma-norma yang berlaku di masyarakat. Namun demikian, dalamm proses pendidikan

di sekolah proses pembelajaran sikap kadang-kadang terabaikan. Hal ini disebabkan

proses pembelajaran dan pembentukan akhlak memiliki beberapa kesulitan.

Pertama, selama ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku

cenderung diarahkan untuk pembentukan intelektual. Akibatnya, upaya yang dilakukan

setiap guru diarahkan kepada bagaimana agar anak dapat menguasai sejumlah

pengetahuan sesuai dengan standar kurikulum yang berlaku, oleh karena kemampuan

13

Page 17: Makalah Strategi Pembelajaran Afektif

intelektual identik dengan penguasaan materi pelajaran. Hal ini dapat dilihat dari

berbagai macam bentuk evaluasi yang dilakukan baik evaluasi tingkat sekolah, tingkat

wilayah, maupun evaluasi nasional diarahkan kepada kemampuan anak menguasai

materi pelajaran. Pendidikan agama atau pendidikan kewarganegaraan misalnya yang

semestinya diarahkan untuk pembentukan sikap dan moral, oleh karena keberhasilannya

diukur dari kemampuan intelektual, maka evaluasi pun lebih banyak mengukur

kemampuan penguasaan materi pelajaran dalam bentuk kognitif.

Kedua, sulitnya melakukan kontrol karena banyaknya faktor yang dapat

memengaruhi perkembangan sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap baik

melalui proses pembiasaan maupun modeling bukan hanya ditentukan oleh faktor guru,

akan tetapi juga faktor-faktor lain terutama faktor lingkungan. Misalnya, ketika anak

diajarkan tentang keharusan bersikap jujur dan disiplin, maka sikap tersebut akan sulit

diinternalisasi manakala di lingkungan luar sekolah anak banyak melihat perilaku-

perilaku ketidakjujuran dan ketidakdisiplinan. Walaupun guru di sekolah begitu keras

menekankan pentingnya sikap tertib berlalu lintas, maka sikap tersebut akan sulit

diadopsi oleh anak manakala ia melihat begitu banyak orang yang melanggar rambu-

rambu lalu lintas. Demikian juga, walaupun di sekolah guru-guru menekankan perlunya

bagi anak untuk berkata sopan dan halus disertai contoh perilaku guru, akan tetapi sikap

itu akan sulit diterima oleh anak manakala di luar sekolah begitu banyak manusia yang

berkata kasar dan tidak sopan.

Ketiga, keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera.

Berbeda dengan pembentukan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya

dapat diketahui setelah proses pembelajaran berakhir, maka keberhasilan dari

pembentukan sikap baru dapat dilihat pada rentang waktu yang cukup panjang. Hal ini

disebabkan sikap berhubungan dengan internalisasi nilai yang memerlukan proses yang

lama.

Keempat, pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang

menyuguhkan aneka pilihan program acara, berdampak pada pembentukan karakter

anak. Tak bisa dipungkiri, program-program televisi, misalnya yang banyak

menayangkan program acara produksi luar yang memiliki latar belakang budaya yang

berbeda, kebutuhan pendidikan yang berbeda, dan banyak ditonton anak-anak, sangat

14

Page 18: Makalah Strategi Pembelajaran Afektif

berpengaruh dalam pembentukan sikap dan mental anak. Secara perlahan tapi pasti,

budaya asing yang belum tentu cocok dengan budaya lokal merembes dalam setiap

relung kehidupan, menggeser nilai-nilai lokal sebagai nilai luhur yang mestinya

ditumbuhkembangkan, sehingga pada akhirnya membentuk karakter baru yang mungkin

tidak sesuai dengan nilai dan norma masyarakat yang berlaku. Misalnya, secara

perlahan tapi pasti telah terjadi perubahan pandangan anak remaja kita terhadap nilai

gotong royong, nilai-nilai seks, dan lain sebagainya.

15

Page 19: Makalah Strategi Pembelajaran Afektif

BAB III

PENUTUP

III.1. Kesimpulan

Strategi pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk

mencapai pendidikan kognitif saja, akan tetapi juga bertujuan untuk mencapai dimensi

yang lainnya.

Sikap (afektif) erat kaitannya dengan nilai yang dimiliki oleh seseorang. Sikap

merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki. Oleh karenanya, pendidikan sikap pada

dasarnya adalah pendidikan nilai.

Nilai, adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya

tersembunyi, tidak berada dalam dunia yang empiris.

Keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera. Berbeda

dengan pembentukan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat

diketahui setelah proses pembelajaran berakhir, maka keberhasilan dari pembentukan

sikap baru dapat dilihat pada rentang waktu yang cukup panjang. Hal ini disebabkan

sikap berhubungan dengan internalisasi nilai yang memerlukan proses yang lama.

Pengaruh kemajuan teknologi, berdampak pada pembentukan karakter anak. Tak

bisa dipungkiri program-program televisi yang menayangkan acara produksi luar yang

memiliki latar belakang yang berbeda. Maka dari itu, secara perlahan tapi pasti budaya

asing yang belum cocok dengan budaya lokal merembes dalam setiap relung kehidupan.

16

Page 20: Makalah Strategi Pembelajaran Afektif

III.2. Saran

Rumusan tujuan pendidikan, sarat dengan pembentukan sikap. Dengan demikian,

tidaklah lengkap manakala dalam strategi pembelajaran tidak membahas strategi

pembelajaran yang berhubungan dengna pembentukan sikap dan nilai. Oleh karena itu,

tuntutan akan kemampuan guru untuk memilih dan memilah metode, yang sesuai

dengan tujuan dan materi pelajaran merupakan harapan akan keberhasilan pencapaian

prestasi belajar siswa dalam pelajaran Agama. Tuntutan tersebut mutlak dilakukan oleh

seorang guru agama apabila melaksanakan transfer pendidikan Agama. Hal tersebut

juga sejalan dengan tuntutan kurikulum saat ini yang sangat memperhatikan pentingnya

metode pembelajaran yang akan digunakan oleh seorang guru.

Hal tersebut sesuai juga dengan tingkat perkembangan siswa SMP yang masih

berada dalam masa transisi dan konkrit ke formal. Untuk mencapai tujuan tersebut tidak

lepas dari peran guru Agama. Bagi guru Agama, dalam upaya peningkatan penguasaan

materi pelajaran dan kemampuan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari,

diperlukan strategi dan metode dalam penyampaian (transfer knowledge) pelajaran

Agama tersebut.

17

Page 21: Makalah Strategi Pembelajaran Afektif

DAFTAR PUSTAKA

Wina Sanjaya. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.

Jakarta: Kencana.

http://edi-macammacamartikel.blogspot.co.id/2011/12/strategi-pembelajaran-

afektif.html (diakses pada tanggal 18 April 2016).

http://fuadhasansuccen.blogspot.co.id/2012/01/strategi-pembelajaran-afektif.html

(diakses pada tanggal 18 April 2016).

http://www.idsejarah.net/2014/11/strategi-pembelajaran-afektif.html (diakses pada

tanggal 18 April 2016).

18