BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan terkait kesehatan mata di Indonesia cukup banyak dimulai dari kelainan kongenital pada mata, infeksi/peradangan pada mata hingga tingginya angka kebutaan di Indonesia. Keratitis atau peradangan pada kornea adalah permasalahan mata yang cukup sering dijumpai mengingat lapisan kornea merupakan lapisan yang berhubungan langsung dengan lingkungan luar sehingga rentan terjadinya trauma ataupun infeksi. Hampir seluruh kasus keratitis akan mengganggu kemampuan penglihatan seseorang yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup seseorang. Karena itu penting sebagai dokter umum untuk dapat mengenali dan menanggulangi kasus keratitis (sejauh kemampuan dokter umum) yang terjadi di masyarakat baik sebagai dokter keluarga ataupun dokter yang bekerja di strata pelayanan primer. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis membuat pembahasan kasus referat ini mengenai keratitis khusunya yang disebabkan oleh bakteri, virus dan jamur. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana anatomi serta histology kornea? 2. Bagaimana fisiologi kornea? 3. Apa definisi keratitis? 4. Bagaimana epidemiologi keratitis? 5. Apa saja klasifikasi keratitis? Page 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Permasalahan terkait kesehatan mata di Indonesia cukup banyak dimulai dari
kelainan kongenital pada mata, infeksi/peradangan pada mata hingga tingginya angka
kebutaan di Indonesia. Keratitis atau peradangan pada kornea adalah permasalahan mata
yang cukup sering dijumpai mengingat lapisan kornea merupakan lapisan yang
berhubungan langsung dengan lingkungan luar sehingga rentan terjadinya trauma
ataupun infeksi. Hampir seluruh kasus keratitis akan mengganggu kemampuan
penglihatan seseorang yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup seseorang.
Karena itu penting sebagai dokter umum untuk dapat mengenali dan menanggulangi
kasus keratitis (sejauh kemampuan dokter umum) yang terjadi di masyarakat baik
sebagai dokter keluarga ataupun dokter yang bekerja di strata pelayanan primer. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini, penulis membuat pembahasan kasus referat ini
mengenai keratitis khusunya yang disebabkan oleh bakteri, virus dan jamur.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi serta histology kornea?
2. Bagaimana fisiologi kornea?
3. Apa definisi keratitis?
4. Bagaimana epidemiologi keratitis?
5. Apa saja klasifikasi keratitis?
6. Bagaimana patofisiologi keratitis?
7. Bagaimana prognose keratitis?
8. Bagaimana gambaran klinis, diagnosa serta penatalaksanaan keratitis?
9. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan keratitis?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui anatomi dan histology kornea
2. Mengetahui fisiologi kornea
3. Menegtahui epidemiologi keratitis
4. Menegtahui prognose keratitis
5. Mengetahui klasifikasi keratitis
6. Mengetahui patofisiologi keratitis
Page 1
7. Mengetahui gambaran klinis, diagnose serta penatalaksanaan keratitis bakteri
8. Mengetahui tentang asuhan keperawatan pasien dengen keratitis.
1.4 Manfaat
1. Menambah wawasan mengenai keperawatan medical bedah pada umumnya, dan
ilmu penyakit mata pada khususnya.
2. Sebagai proses pembelajaran bagi mahasiswa
Page 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI DAN HISTOLOGI KORNEA
Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran 11-12 mm
horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea
memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60
kekuatan dioptri mata manusia. Kornea juga merupakan sumber astigmatisme pada
sistem optik. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus
humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai tambahan, kornea
perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah salah satu organ tubuh yang
memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika
dibandingkan dengan konjungtiva. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris
terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus
yang berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran
Bowman melepas selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada
kedua lapis terdepan. Sensasi dingin oleh Bulbus Krause ditemukan pada daerah limbus
(Ilyas, 2005).
Kornea dalam bahasa latin “cornum” artinya seperti tanduk, merupakan selaput
bening mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan lapis dari
jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas :
1. Epitel
Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel
epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng.
Tebal lapisan epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea.
Epitel dan film air mata merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal
berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya
melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air,
elektrolit dan glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal
yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan
Page 3
erosi rekuren. Sedangkan epitel berasal dari ektoderem permukaan. Epitel
memiliki daya regenerasi (Ilyas, 2005).
2. Membran bowman
Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal dari
epitel. Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan
berasal dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya
generasi (Ilyas, 2005).
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan
lapisan tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen
dengan lebar sekitar 1 µm yang saling menjalin yang hampir mencakup seluruh
diameter kornea, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian
perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan
waktu lama, dan kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea
yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga
keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio
atau sesudah trauma (Ilyas, 2005).
4. Membran Descemet
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea yang dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang
tampak amorf pada pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini berkembang
terus seumur hidup dan mempunyai tebal + 40 mm. Lebih kompak dan elastis
daripada membran Bowman. Juga lebih resisten terhadap trauma dan proses
patologik lainnya dibandingkan dengan bagian-bagian kornea yang lain (Ilyas,
2005).
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal,
tebal antara 20-40 mm melekat erat pada membran descemet melalui taut.
Endotel dari kornea ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda
dengan lapisan epitel karena tidak mempunyai daya regenerasi, sebaliknya
endotel mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh
endotel dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi
dapat menjaga keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem pompa
endotel, stroma bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan kemudian
Page 4
hilangnya transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari kornea
ditentukan oleh epitel dan endotel yang merupakan membrane semipermeabel,
kedua lapisan ini mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika terdapat
kerusakan pada lapisan ini maka akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada
kornea (Ilyas, 2005).
2.2 FISIOLOGI KORNEA
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui berkas
cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang
uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif jaringan
kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar
epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih penting daripada
epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak jauh lebih parah
daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea
Page 5
dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, kerusakan pada epitel hanya menyebabkan
edema stroma kornea lokal sesaat yang akan meghilang bila sel-sel epitel telah
beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas
ringan lapisan air mata tersebut, yang mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air
dari stroma kornea superfisial dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi
(Vaughan, 2009).
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat melalui
epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh. Karenanya agar dapat
melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus. Epitel adalah sawar
yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea. Namun sekali kornea
ini cedera, stroma yang avaskular dan membran bowman mudah terkena infeksi oleh
berbagai macam organisme, seperti bakteri, virus, amuba, dan jamur (Vaughan, 2009).
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, dalam
perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan
seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi di
permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea, segera
mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan
sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat terutama
bila letaknya di daerah pupil (Vaughan, 2009).
2.3 RESPON IMUN KORNEA
Imunitas Permukaan Kornea Lokal
Imunitas kornea lokal bergantung pada IgM, komplemen C1, dan sel Langerhans
(LC) yang seluruhnya ditemukan pada kornea perifer. IgG berdifusi ke dalam stroma dari
daerah limbus dan akan mencapai konsentrasi sebesar 50% dari konsentrasi serum.
Inflamasi kornea dapat merangsang migrasi LC sentripetal.
Makrofag dapat diubah menjadi antigen-presenting cells (APCs) oleh interleukin-1
(IL-1) yang dihasilkan dari sel epitel kornea. Peristiwa ini akan merangsang ekspresi
molekul MHC kelas II pada permukaan kornea. APCs selanjutnya akan memproses
peptida antigenik agar membentuk kompleks biner dengan molekul MHC kelas II.
Makrofag juga mampu mencerna antigen yang berbentuk partikel, termasuk bakteri utuh
seperti stafilokokus dan amuba seperti Acanthamoeba, namun makrofag lebih efektif
dalam mencerna antigen terlarut seperti protein A dari Staphylococcus aureus yang akan
dimasukkan ke dalam kantung endositik. Ini berbeda dengan sel Langerhans yang hanya
dapat mencerna antigen terlarut. Limfosit T berfungsi mensekresikan sitokin di dalam
Page 6
jaringan yang bekerja langsung terhadap sel target. Interferon (IFN-g) menstimulasi
ekspresi molekul MHC kelas II di dalam keratinosit, sel epitel, sel endotel, dan fibroblas
yang semuanya dapat bertindak sebagai APCs yang memproses dan menyajikan peptida
imunofenik yang bergabung sebagai kompleks dengan molekul MHC kelas II. Sel-sel
tersebut memiliki kemampuan stimulasi sinyal yang berbeda-beda dan tidak dapat
menstimulasi sel T yang tidak aktif karena sel T tersebut membutuhkan aktivasi oleh IL-
2
2.4 DEFINISI
Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima lapisan kornea. Peradangan
tersebut dapat terjadi di epitel, membran Bowman, stroma, membran Descemet, ataupun
endotel. Peradangan juga dapat melibatkan lebih dari satu lapisan kornea.
Pola keratitis dapat dibagi menurut distribusi, kedalaman, lokasi, dan bentuk.
Berdasarkan distribusinya, keratitis dibagi menjadi keratitis difus, fokal, atau multifokal.
Berdasarkan kedalamannya, keratitis dibagi menjadi epitelial, subepitelialm stromal, atau
endotelial. Lokasi keratitis dapat berada di bagian sentral atau perifer kornea, sedangkan
berdasarkan bentuknya terdapat keratitis dendritik, disciform, dan bentuk lainnya.
Keratitis mikrobial atau infektif disebabkan oleh proliferasi mikroorganisme, yaitu
bakteri, jamur, virus dan parasit, yang menimbulkan inflamasi dan destruksi jaringan
kornea. Kondisi ini sangat mengancam tajam penglihatan dan merupakan
kegawatdaruratan di bidang oftalmologi. Pada satu penelitian, keratitis merupakan
penyebab kedua terbanyak (24,5%) untuk tindakan keratoplasti setelah edema kornea
(24,8%). Membedakan etiologi keratitis infektif sulit dilakukan secara klinis dan
membutuhkan pemeriksaan diagnosis penunjang.
Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada kornea yang
akan mengakibatkan kornea menjadi keruh.
Keratitis adalah inflamasi pada kornea oleh bakteri, virus, hespes simplek, alergi,
kekurangan vititamin A . Keratitis adalah peradangan pada kornea, keratitis
disebabkan oleh mikrobial dan pemajanan. Keratitis Mikrobial adalah infeksi pada
kornea yang disebabkan oleh berbagai organisme bakteri, virus, jamur/parasit. serta
abrasi yang sangat bisa menjadi pintu masuk bakteri. Keratitis Pemajanan adalah
infeksi pada kornea yang terjadi akibat kornea tidak dilembabkan secara memadai
dan dilindungi oleh kelopak mata kekeringan mata dapat terjadi dan kemudian diikuti
ulserasi dan infeksi sekunder. (Brunner dan Suddarth, 2001).
Page 7
Keratitis adalah peradangan pada kornea, membran transparan yang menyelimuti
bagian berwarna dari mata (iris) dan pupil. Keratitis dapat terjadi pada anak-anak
maupun dewasa. Bakteri pada umumnya tidak dapat menyerang kornea yang sehat,
namun beberapa kondisi dapat menyebabkan infeksi bakteri terjadi. Contohnya, luka
atau trauma pada mata dapat menyebabkan kornea terinfeksi. Mata yang sangat
kering juga dapat menurunkan mekanisme pertahanan kornea. (Kaiser, 2005).
2.5 EPIDEMIOLOGI
Menurut Murillo Lopez (2006), sekitar 25.000 orang Amerika Serikat terkena keratitis
bakteri per tahun. Kejadian keratitis bakteri bervariasi, dengan lebih sedikit pada negara-
negara industri yang secara signifikan lebih sedikit memiliki jumlah pengguna lensa
kontak. Insiden keratitis jamurbervariasi sesuai dengan lokasi geografis dan berkisar dari
2 % dari kasus keratitis jamur di New York untuk 35 % di Florida. Spesies Fusarium
merupakan penyebab paling umum infeksi jamur kornea di Amerika Serikat bagian
selatan (45-76 % dari keratitis jamur), sedangkan spesies candida dan Aspergillus lebih
umum di negara-negara utara secara signifikan lebih sedikit yang berkaitan dengan
infeksi lensa kontak.
2.6 ETIOLOGI
Arif Mansjoer (2000), mengemukakan penyebab sehingga terjadinya keratitis, antara
lain:
1. Bakteri, seperti: Staphylococcus, streptococcus, pseudomonas dan pneumococcus
2. Virus, seperti: Virus herpes simpleks tipe I ( paling sering) dan virus herpes zoster
3. Jamur, seperti: Candida dan aspergillus
4. Hipersensitif: toksin/allergen
5. Gangguan hervus trigeminus
6. Idiopatik
7. Kekeringan pada mata
8. Pajanan terhadap cahaya yang sangat terang
9. Benda asing yang masuk ke mata, reaksi alergi atau mata yang terlalu sensitif
terhadap kosmestik mata, debu, polusi atau bahan iritatif lain
10. Kekurangan vitamin A dan penggunaan lensa kontak yang kurang baik.
(Mansjoer, 2001).
2.7 PROGNOSIS
Keratitis Bakteri
Page 8
Prognosis visual tergantung pada beberapa faktor, seperti diuraikan di bawah ini, dan
dapat mengakibatkan penurunan visus derajat ringan sampai berat.
Virulensi organisme yang bertanggung jawab atas keratitis
Luas dan lokasi ulkus kornea
Hasil vaskularisasi dan / atau deposisi kolagen
Keratitis Virus
Prognosis akhirnya baik karena tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada kornea. Bila
tidak diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun dengan meninggalkan gejala sisa.
2.8 KLASIFIKASI
Diagnosis Morfologik Lesi Kornea
A. Keratitis Epitelial
Page 9
Epitel kornea terlibat pada sebagian besat konjungtivitis dan keratitis. Perubahan-
perubahan epithelial bervariasi dari edema sederhana dan vakuolisasi, hingga erosi,
formasi filament dan keratinisasi parsial. Lesinya pun berbeda-beda dari tiap kornea.
Variasi ini memiliki signifikasi diagnostik yang penting.
B. Keratitis Subepitelial
Keratitis subepitelial biasanya disebabkan secara sekunder oleh keratitis epitelial
C. Keratitis Stromal
Pada keratitis stroma, terdapat respon stroma kornea terhadap penyakit yang
ditunjukkan dengan akumulasi dari sel radang, edema yang menyebabkan penebalan
kornea, opaksifikasi atau parut, nekrosis dan vaskularisasi. Pola dari respon pada
keratitis stroma ini tidak spesifik untuk setiap penyebabnya sehingga diperlukan
informasi klinis lainnya untuk mengidentifikasi secara jelas.
D. Keratitis Endotelial
Terjadi disfungsi dari endotel kornea yang menyebabkan edema kornea mengenai
stroma terlebih dahulu dan kemudian epitel. Penemuan sel radang berupa persipitat
keratic pada endothelium tidak selalu merupakan indikasi dari penyakit endoteliat
akrena manifestasi dari dari anterior uveitis tidak sellaui diikuti oleh keratitis stroma.
Page 10
Gambar 2. Tipe Epitelial Keratitis (sesuai dengan frekuensi tersering)
Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal. Berdasarkan lapisan yang
terkena, keratitis dibagi menjadi :
1. Keratitis Pungtata ( Keratitis Pungtata Superfisialis dan Keratitis Pungtata Sub
Epitel)
2. Keratitis Marginal
3. Keratitis Interstitial
Page 11
Berdasarkan penyebabnya, keratitis diklasifikasikan menjadi :
1. Keratitis Bakteri
2. Keratitis Jamur
3. Keratitis Virus
4. Keratitis Herpetika
a. Keratitis Infeksi Herpes Zoster Disiformis
Keratitis herpetik disebabkan oleh herpkes simpleks dan herpeks zoster. Yang
disebabkan oleh herpeks simpleks dibagi dalam dua bentuk yaitu epitelial dan
stomal. Pada yang epitelial kerusakan terjadi akibat pembelahan virus di
dalam sel epitel, yang akan mengakibatkan kerusakan sel dan membentuk
tukak kornea superfisial. Stromal diakibatkan reaksi imunologik tubuh pasien
sendiri terhadap virus yang menyerang.
b. Keratitis Infeksi Herpes Simplek : keratitis dendritik dan keratitis disiformis
Keratitis dendritik
Merupakan keratitis superfisial yang membentuk garis infiltrat pada
permukaan kornea yang kemudian membentuk cabang. Disebabkan oleh virus
herpeks simpleks yang biasanya bermanifestasi dalam bentuk keratitis dengan
gejala ringan seperti fotofobia, kelilipan, tajam penglihatan menurun,
konjungtiva hiperemia disertai dengan sensibilitas kornea yang hipestesia.
Keratitis disiformis
Adalah keratitis yang membentuk kekeruhan infiltrat yang bulat atau lonjong
di dalam jaringan kornea. Biasanya merupakan keratitis profunda superfisial
yang terjadi akibat infeksi virus herpeks simpleks. Sering diduga keratitis
disiformis merupakan reaksi alergi ataupun imunologik terhadap infeksi virus
herpeks simpleks pada permukaan kornea.
5. Keratitis Alergia
a. Keratokonjungtivitis flikten
Keratokonjungtivitis flikten merupakan radang kornea dan konjungtiva yang
merupakan reaksi imun yang mungkin sel mediated pada jaringan yang sudah
sensitif terhadap antigen. Dahulu diduga disebabkan alergi terhadap
tuberkuloprotein. Sekarang diduga juga alergi terhadap jenis kuman lain.
Untuk mengetahui penyebabnya sebaiknya dicari penyebab alerginya.
b. Keratokonjungtivitis epidemi
Page 12
Adalah keratitis yang terbentuk pada keratokonjungtivitis epidemi adalah
akibat reaksi peradangan kornea dan konjungtiva yang disebabkan oleh reaksi
alergi terhadap adenovirus 8. Biasanya unilateral, penyakit ini dapat timbul
sebagai suatu epidemi. Umumnya pasien demam, merasa seperti ada benda
asing, kadang-kadan disertai nyeri periorbita. Akibat keratitis penglihatan akan
menurun.
c. Tukak atau ulkus flinektular
d. Keratitis fasikularis
Adalah keratitis dengan pembentukan pita pembuluh darah yang menjalar dari
limbus kearah kornea, biasanya berupa tukak kornea akibat flikten yang
menjalar ke daerah sentral disertai fasikulus pembuluh darah. Dapat berbentuk
flikten multipel di sekitar limbus ataupun ulkus cincin yang merupakan
gabungan dari ulkus cincin tersebut.
e. Keratokunjungtivitis vernal
Merupakan penyakit rekuren dengan peradangan tarsus dan konjungtivita
bilateral. Penyebabnya tidak diketahui dengan pasti, akan tetapi didapatkan
terutama pada musim panas.
Berdasarkan bentuk klinisnya, keratitis diklasifikasikan menjadi :
1. Keratitis Flikten
2. Keratitis Sika
Adalah suatu keadaan keringnya permukaan kornea dan konjungtiva. Pasien
dengan konjungtivitis sika akan mengeluh mata gatal, mata seperti berpasir, silau
dan penglihatan kabur. Pada mata didapatkan sekresi mukus yang berlebihan,
sukar menggerakan kelopak mata, dan mata kering dengan erosi kornea.
3. Keratitis Neuroparalitik
Merupakan keratitis akibat kelainan saraf trigeminus, sehingga terdapat kekeruhan
kornea yang tidak sensitif disertai kekeringan kornea. Gangguan persarafan ke v
ini dapat terjadi akibat herpeks zoster, tumor fosa posterior kranium dan keadaan
lain sehingga akan mengakibatkan terbentuknya tukak kornea.
4. Keratitis Numuralis
Adalah kelainan yang ditemukan pada keratitis dimmer sama dengan pada
keratitis numular. Keratitis numularis ditemukannya infiltrat yang bundar
berkelompok dan di tepinya berbatas tegas.
Page 13
Klasifikasi keratitis berdasarkan lapisan kornea yang terkena yaitu :
A. Keratitis Pungtata
Keratitis yang terkumpul didaerah bowman, dengan infiltrat yang berbentuk bercak-
bercak halus. Keratitis pungtata superfisial memberikan gambaran seperti infiltrat
halus bertitik-titik pada permukaan kornea. Merupakan cacat halus kornea
superfisial dan hijau bila diwarnai fluoresein. Sedangkan keratitis pungtata sub
epitel adalah keratitis yang terkumpul di daerah membran Bowman.
Gambar 1. Keratitis Pungtata
B. Keratitis Marginal
Merupakan infiltrat yang tertimbun di tepi kornea sejajar dengan limbus. Penyakit
infeksi lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis kataral atau keratitis
marginal ini. Keratitis marginal kataral biasanya terdapat pada pasien setengah
umur dengan blefarokonjungtivitis.
Page 14
Gambar 2. Keratitis Marginal dan Keratitis Interstitial
C. Keratitis Interstitial
Keratitis Interstitial adalah kondisi serius dimana masuknya pembulih darah ke
dalam kornea dan dapat menyebabkan hilangya transparasi kornea. Keratitis
interstitial dapat berlanjut menjadi kebutaan. Sifilis adalah penyebab paling sering
dari keratitis interstitial.
Klasifikasi keratitis berdasarkan penyebabnya, yaitu :
A. Keratitis Bakteri
Faktor Risiko
Setiap faktor atau agen yang menciptakan kerusakan pada epitel kornea adalah
potensi penyebabnya atau faktor risiko bakteri keratitis, beberapa faktor risiko
terjadinya keratitis bakteri diantaranya :
a. Penggunaan lensa kontak
b. Trauma
c. Kontaminasi pengobatan mata
d. Riwayat keratitis bakteri sebelumnya
e. Riwayat operasi mata sebelumnya
f. Gangguan defense mechanism
g. Perubahan struktur permukaan kornea
Etiologi
Page 15
Manifestasi klinis
Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada mata yang
terinfeksi, penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan menjadi kabur. Pada
pemeriksaan bola mata eksternal ditemukan hiperemis perikornea, blefarospasme,
edema kornea, infiltrasi kornea
Gambar Keratitis ulseratif supuratif yang disebabkan oleh P.aeruginosa Pemeriksaan Laboratorium
a Pemeriksaan kultur bakteri dilakukan menggores ulkus kornea dan bagian
tepinya dengan menggunakan spatula steril kemudian ditanam di media
coklat,darah dan agar Saboraud, kemudian dilakukan pengecatan dengan
Gram
b Biposi Korneadilakukan jika kultur negatif dan tidak ada perbaikan secara
klinis dengan menggunakan blade kornea bila ditemukan infiltrat dalam di
stroma.
Terapi
Page 16
Dapat diberikan inisial antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil kultur
bakteri. Berikut tabel pengobatan inisial antibiotik yang dapat diberikan :
B. Keratitis Jamur
Etiologi
a. Jamur berfilamen (filamentous fungi) : bersifat multiseluler dengan cabang-
cabang hifa.
a Jamur bersepta : Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp,