Top Banner
BAB I PENDAHULUAN Demam berdarah dengue (DBD) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam mendadak disertai gejala perdarahan dengan atau tanpa syok. Penyakit ini merupakan penyakit infeksi dengan penyebaran terpesat di dunia, dengan peningkatan insiden 30 kali lipat dalam 50 tahun terakhir. Penyakit infeksi ini mengancam sekitar 20 juta orang setiap tahunya pada negara tropis dan subtropis seperti Indonesia. Pada tahun 2007 telah ditemukan 150.000 kasus di Indonesia. Pada awal tahun 2016 Indonesia mengalami kejadian luar biasa (KLB) dengan ditemukanya 8487 orang penderita DBD dalam periode Januari-Februari 2016, dengan Provinsi Bali ditemukan sebagai salah satu wilayah KLB (WHO, 2009; Rajapakse, 2011; Kemenkes, 2016). Penyakit DBD memungkinkan terjadinya dengue shock syndrome (DSS) dan kegagalan multi organ hingga menyebabkan kematian. Angka kematian DBD ditemukan berkisar antara 1 hingga 2 persen dalam satu tahun. Infeksi virus dengue memiliki spektrum manifestasi yang luas mulai dari tak bergejala, timbulnya trombositopeni, kebocoran pembuluh darah (plasma leakage), hingga sindroma syok yang berat dan kegagalan multiorgan. Kegagalan multi organ meliputi kerusakan hepar, rhabdomyolysis, depresi otot jantung, serta kegagalan dari sistem neurologi dan optalmologi. 1
42

Lapsus Ped Dhf Grade i

Jul 07, 2016

Download

Documents

z
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Lapsus Ped Dhf Grade i

BAB I

PENDAHULUAN

Demam berdarah dengue (DBD) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus

dengue dengan manifestasi klinis demam mendadak disertai gejala perdarahan dengan atau tanpa

syok. Penyakit ini merupakan penyakit infeksi dengan penyebaran terpesat di dunia, dengan

peningkatan insiden 30 kali lipat dalam 50 tahun terakhir. Penyakit infeksi ini mengancam

sekitar 20 juta orang setiap tahunya pada negara tropis dan subtropis seperti Indonesia. Pada

tahun 2007 telah ditemukan 150.000 kasus di Indonesia. Pada awal tahun 2016 Indonesia

mengalami kejadian luar biasa (KLB) dengan ditemukanya 8487 orang penderita DBD dalam

periode Januari-Februari 2016, dengan Provinsi Bali ditemukan sebagai salah satu wilayah KLB

(WHO, 2009; Rajapakse, 2011; Kemenkes, 2016).

Penyakit DBD memungkinkan terjadinya dengue shock syndrome (DSS) dan kegagalan

multi organ hingga menyebabkan kematian. Angka kematian DBD ditemukan berkisar antara 1

hingga 2 persen dalam satu tahun. Infeksi virus dengue memiliki spektrum manifestasi yang luas

mulai dari tak bergejala, timbulnya trombositopeni, kebocoran pembuluh darah (plasma

leakage), hingga sindroma syok yang berat dan kegagalan multiorgan. Kegagalan multi organ

meliputi kerusakan hepar, rhabdomyolysis, depresi otot jantung, serta kegagalan dari sistem

neurologi dan optalmologi. Diperlukan penanganan yang tepat untuk mencegah perburukan dari

penyakit DBD. (WHO, 2009; Soegijanto & Chilvia, 2013)

DBD sesungguhnya dapat ditangani dengan prinsip pengobatan yang sederhana dan

efektif menolong pasien, bila tenaga kesehatan jeli dalam mengenali dan memahami problem

klinis dalam setiap fase perjalanan penyakit ini. Tenaga kesehatan dalam pelayanan kesehatan

primer dan sekunder seperti seorang dokter memiliki peran dalam melakukan hal tersebut. Oleh

karena itu penting dilakukan pembahasan mengenai kasus DBD yang terjadi pada tanggal 22

Juni 2016 di RSUD Sanjiwani Gianyar. Dengan pembahasan mengenai kasus ini, diharapkan

pemahaman dokter muda mengenai epidemiologi, faktor risiko, pathogenesis, dan penanganan

klinis DBD semakin baik.

1

Page 2: Lapsus Ped Dhf Grade i

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi dan Epidemiologi DBD

Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dan

mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi (gambar 3.1) dari asimtomatik,

demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai renjatan atau dengue shock

syndrome (DSS). Penyakit infeksi ini ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus

yang terinfeksi. Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk

ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3

dan Den-4, dengan Den-2 dan Den-3 sebagai serotype dominan. Penderitanya DBD sebagian

besar ditemukan pada wilayah tropis dan subtropis, seperti Asia Tenggara, Amerika Tengah,

Amerika dan Karibia.

2

Page 3: Lapsus Ped Dhf Grade i

Gambar 3.1. Spektrum gejala infeksi virus dengue

Indonesia digolongkan sebagai negara dengan epidemi infeksi dengue oleh karena nyamuk

Aedes aegypti tersebar secara luas di daerah kota maupun pedesaan, serta peredaran serotipe

virus di wilayah tersebut menyebabkan kesakitan dan kematian pada anak. Negara dengan zona

iklim kering dan basah yang berganti dengan serotipe virus DEN beredar secara bebas,

menyebabkan siklus epidemi meningkat. Fenomena epidemi tersebut telah terjadi di wilayah

Gianyar, Bali hingga pada bulan Mei 2016.

Pengaruh status sosial dan lingkungan pada kasus juga mempengaruhi terjadinya DBD.

Infeksi dengue terjadi pada seluruh lapisan masyarakat dengan kecendrungan terjadi pada

masyarakat miskin yang hidup dengan keterbatasan cairan, pengelolaan sampah yang buruk,

yang membuat perkembangan vector penyakit dapat berkembang dengan pesat (Soegijanto &

Chilvia, 2013).

1.2 Pathogenesis DBD

Mekanisme manifestasi berat dari infeki virus dengue (DENV) masih belum diketahui secara

jelas, namun diperkirakan terjadi secara mulifaktorial (gambar 3.2). Selain faktor virulensi dari

virus, terdapat pengaruh genetik yang dapat memperparah infeksi dengue. Setelah inokulasi virus

pada lapisan dermis, keratinosit dan sel langerhans terinfeksi pertama kali. Penyebaran virus

terjadi melalui darah (viremia primer) dan menginfeksi makrofag jaringan terutama makrofag

pada lien. Jumlah viral load ditentukan oleh efisiensi replikasi DENV pada sel dendrit, monosit

dan makrofag sama dengan endotel, sel hati, sumsum tulang, dan sel stromal.

3

Page 4: Lapsus Ped Dhf Grade i

Gambar 3.2. patogenensis dari DF, DHF, dan DSS. Panah hitam menunjukan hubungan

penyebab, kotak dengan warna putih pada bagian tengah menggambarkan kondisi

patologis yang terjadi. Setiap pristiwa yang terjadi secara keseluruhan memengaruhi sel

endotel atau system hemostasis (panah merah) (WHO,2009).

Terdapat dua teori yang mendasari mekanisme terjadinya gejala infeksi dengue yakni teori

Infeksi primer (teori virulensi) dan teori infeksi sekunder. Teori infeksi primer menyebutkan

bahwa munculnya manifestasi klinis disebabkan adanya mutasi virus Dengue menjadi lebih

virulen. Sedangkan teori infeksi sekunder menyatakan bahwa munculnya manifestasi klinis berat

bila terjadi infeksi ulangan oleh virus Dengue yang serotipenya berbeda dengan infeksi

sebelumnya sehingga terjadi reaksi silang (cross-reaction). Reaksi silang terjadi ketika IgM

menyerang sel endotel, platelet, dan plasmin yang diproduksi, sehingga terjadi peningkatan

4

Page 5: Lapsus Ped Dhf Grade i

permeabilitas (menyebabkan kebocoran plasma) dan koagulopati yang menjadi karakteristik dari

DSS.

1.3 Faktor risiko terjadinya DBD

Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk perkotaan yang cepat,

mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan prasarana transportasi dan terganggu atau

melemahnya pengendalian populasi sehingga memungkin terjadinya KLB. Faktor risiko lainnya

adalah kemiskinan yang mengakibatkan orang tidak mempunyai kemampuan untuk

menyediakan rumah yang layak dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah yang

benar. Tetapi di lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk yang lebih makmur terutama

yang biasa bepergian. Diketahui faktor yang berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah

pendidikan dan pekerjaan masyarakat, jarak antar rumah, keberadaan tempat penampungan air,

keberadaan tanaman hias dan pekarangan serta mobilisai penduduk; sedangkan tata letak rumah

dan keberadaan jentik tidak menjadi faktor risiko.

Faktor risiko yang menyebabkan munculnya antibodi IgM anti dengue yang merupakan

reaksi infesksi primer, berdasarkan hasil penelitian di wilayah Amazon Brasil adalah jenis

kelamin laki-laki, kemiskinan, dan migrasi. Sedangkan faktor risiko terjadinya infeksi sekunder

yang menyebabkan DBD adalah jenis kelamin laki- laki, riwayat pernah terkena DBD pada

periode sebelumnya serta migrasi ke daerah perkotaan (Rajapakse, 2011; Huy et al, 2013).

1.4 Manifestasi Klinis DBD

Manifestasi klinik infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau dapat berupa demam

yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom syok dengue. Pada

umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis selama 2-

3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai resiko untuk

terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan yang adekuat.10

Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase kritis dan fase

pemulihan. Pada fase febris, Biasanya demam mendadak tinggi 2 – 7 hari, disertai muka

kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Pada beberapa

kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi farings dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah.

5

Page 6: Lapsus Ped Dhf Grade i

Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa,

walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal.

Fase kritis, terjadi pada hari 3 – 7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai

kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang biasanya berlangsung

selama 24 – 48 jam. Kebocoran plasma sering didahului oleh lekopeni progresif disertai

penurunan hitung trombosit. Pada fase ini dapat terjadi syok.

Fase pemulihan, bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari

ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72 jam setelahnya. Keadaan umum

penderita membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik stabil dan diuresis membaik

1.5 Diagnosis DBD

Diagnosis demam berdarah dengue ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO

tahun 1997 yang terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. Hal ini dimaksudkan untuk

mengurangi diagnosis yang berlebihan (overdiagnosis). Kriteria klinis demam dengue adalah

demam akut selama 2-7 hari ditandai dengan dua atau lebih manifestasi klinis seperti nyeri

kepala, nyeri retro-orbital, mialgia/artralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan (petekie atau uji

bendung positif), leukopenia dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien

demam dengue atau demam berdarah dengue yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu

yang sama.

Kriteria Klinis :

1. Demam akut mendadak 2-7 hari, bersifat bifasik

2. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan :

- Uji tourniket positif

- Petekie, ekimosis, purpura

- Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi

- Hematemesis dan melena

Kriteria Laboratoris:

- Trombositopenia (100.000/ mm3 atau kurang)

6

Page 7: Lapsus Ped Dhf Grade i

- Terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma sebagai berikut:

- Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis

kelamin.

- Penurunan hemtokrit >20% setelah mendapatkan terapi cairan, dibandingkan dengan

nilai hematokrit sebelumnya.

- Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.

Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia atau peningkatan hematokrit,

cukup untuk menegakkan diagnosis klinis demam berdarah dengue. Efusi pleura dan atau

hipoalbumin, dapat memperkuat diagnosis terutama pada pasien anemia dan atau terjadi

perdarahan. Pada kasus syok, peningkatan hematokrit dan adanya trombositopenia, mendukung

diagnosa demam berdarah dengue.

WHO (2009) membagi demam berdarah dengue menjadi 4 derajat berdasarkan tingkat

keparahan, yaitu :

Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan

adalah uji torniquet.

Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdarahan lain.

Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi

menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin

dan lembab, tampak gelisah.

Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

1.6 Pengelolaan klinis dan penangananan pada pelayanan klinis

Infeksi dengue merupakan penyakit sistemik dan dinamis. Penyakit ini memiliki manifestasi

yang luas berupa severe dan non severe. Setelah masa inkubasi akan terjadi manifestasi penyakit

yang mendadak dan terbagi dalam 3 fase yaitu fase Febris, kritis, dan penyembuhan. Penyakit ini

dapat ditangani dengan prinsip pengobatan yang sederhana dan efektif menolong, bila tenaga

kesehatan (dalam pelayanan kesehatan primer dan sekunder) jeli dalam mengenali dan

memahami problem klinis dalam setiap fase (gambar 3.3) (WHO, 2009; Soegijanto & Chilvia,

2013).

7

Page 8: Lapsus Ped Dhf Grade i

Gambar 3.3. perjalanan dari penyakit dengue (WHO, 2009)

1.6.1 Fase Febris

Demam terjadi dalam 2-7 hari diikuti dengan wajah merah, kulit merah, nyeri

diseluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, mual-muntah, penurunan nafsu makan, dan

sakit kepala. Gejala yang jarang berupa nyeri tenggorokan, kemerahan pada faring

dan kemerahan pada konjungtiva. Uji tourniquet positif dapat digunakan untuk

memperkuat dugaan demam dengue. Keseluruhan gejala tersebut dapat terjadi pada

severe dengue dan non-severe dengue, sehingga pemantauan warning sign (gambar

3.4) dan parameter klinis lain sangat diperlukan.

8

Page 9: Lapsus Ped Dhf Grade i

Gambar 3.4. Klasifikasi dengue yang disaranakan berdasarkan tingkat keparahan

(WHO, 2009)

Manifestasi perdarahan yang sering seperti petechiae dan perdarahan mukosa

(mimisan dan perdarahan gusi). Perdarahan abdomen atau pervaginam lebih jarang

ditemukan. Pembesaran hepar disertai rasa nyeri dapat terjadi beberapa hari setelah

demam. Hasil darah lengkap dengan penurunan nilai total white blood cell (WBC)

dapat menjadi pertanda yang dominan dari infeksi dengue. Sejumlah gejala tersebut

telah dialami oleh pasien dalam kasus, namun belum ada tanda yang memperkuat

diagnosa infeksi dengue, yaitu belum dilakukanya uji tourniquet dan tidak adanya

penurunan WBC.

1.6.2 Fase Kritis.

Marker dalam fase ini adalah demam menurun berkisar pada suhu 37,5-38 oC atau

lebih rendah, yang terjadi dalam hari ke 3-7, diikuti dengan peningkatan

permeabilitas kapiler yang parallel dengan peningkatan hematokrit. Kebocoran

plasma secara signifikan terjadi dalam 24-48 jam, dengan tanda awal berupa

Leukompenia progresif dan trombositopenia. Ketiga marker tersebut terdapat pada

kasus, sehingga dapat ditegakan pasien berada dalam fase kritis.

9

Page 10: Lapsus Ped Dhf Grade i

Kebocoran plasma masif (kehilangan cairan dalam jumlah besar) hanya terjadi

pada pasien dengan peningkatan permeabilitas kapiler, sebaliknya pasien mengalami

kesembuhan bila permeabilitas kapiler tidak meningkat pada fase ini. Keadaan pasien

yang semakin buruk pada kasus menandakan peningkatan permeabilitas kapiler telah

terjadi pada awal fase kritis.

Tanda kebocoran plasma seperti ascites dan efusi pleura dapat dideteksi melalui

pemeriksaan fisik, atau pemeriksaan radiologi. Tanda lain berupa pengkatan

hematokrit dalam pemeriksaan darah lengkap. Tanda kebocoran plasma yang

didapatkan pada kasus adalah peningkatan hematokrit.

Shock terjadi bila kehilangan plasma darah dalam jumlah besar, diawali dengan

warning sign. Dalam keadaan ini suhu tubuh akan mencapai titik subnormal. Bila tak

tertangani, syok berkepanjangan akan menyebabkan hipoperfusi pada organ yang

berdampak pada gagal organ (hepatitis, ensefalitis, myokarditis), asidosis metabolic

dan DIC. Hematokrit dapat menurun pada kasus DIC oleh karena terjadinya

perdarahan yang massif; biasanya diikuti dengan peningkatan WBC. Olehkarenanya

pasien dalam kasus telah berada dalam fase menjelang syok, karena terdapat warning

sign, dan suhu tubuh subnormal.

Beberapa pasien dapat mengalami fase kritis tanpa diawali dengan penurunan

suhu tubuh, sehingga pemeriksaan darah lengkap dapat digunakan dalam menentukan

onset fase ini. Tanda perburukan pada fase ini bermanifestasi pada warning sign,

yangmana dapat membaik dengan rehidrasi intravena. Meski demikian, dalam

beberapa kasus dapat memburuk menjadi severe dengue (syok hipovolemik atau

akumulasi cairan ekstravaskuler karena kebocoran plasma).

1.6.3 Fase Penyembuhan

Bila pasien dapat bertahan 24-48 jam dalam fase kritis, tubuh akan kembali menyerap

cairan yang terakumulasi pada ruang ekstravaskuler dalam 48-72 jam. Pada fase ini

pasien akan merasa sembuh, nafsu makan kembali normal, gejala gastrointestinal

mereda, hemodinamik yang stabil diikuti dengan diuresis. Beberapa pasien akan

mengalami tanda pada kulit berupa isles of white in the sea of red. Pada fase ini,

10

Page 11: Lapsus Ped Dhf Grade i

hematokrit berada pada ambang normal atau menurun karena efek dilusi dari cairan

yang diserap. Peningkatan WBC terjadi segera setelah demam mereda, namun

perbaikan platelet terjadi setelah peningkatan WBC.

1.7 Pemeriksaan Laboratorium dan uji diagnostik

Manifestasi gejala infeksi dengue sangat bervariasi mulai dari gejala yang tak spesifik

hingga severe dengue. Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk mengkonfirmasi

diagnosi klinis, karena pendekatan klinis yang hanya berpatokan pada gejala saja.

Dengan bantuan pemeriksana laboratorium, penanganan dapat dilakukan dengan segera,

mengingat perburukan penyakit infeksi dengue dapat terjadi dalam periode yang singkat.

Meskipun demikian, metode diagnostic belum dilakukan dalam kasus. Dalam tabel 3.1

terdapat simpulan dari beberapa metode diagnostik infeksi dengue beserta biayanya.

Table 3.2. Simpulan karakteristik penggunaan dan perbandingan harga dari metode

diagnostik infeksi dengue

1.7.1 Penapisan diagnosa banding

Infeksi dengue sulit dibandingkan dengan infeksi non dengue, terutama pada daerah

non endemis, kaitan tempat tinggal daerah geografis pasien, etiologi seperti flavavirus

non-dengue harus disingkirkan. Diantaranya yellow fever, Japanese Encephalitis, St

Louis ensefalitis, Zika, dan West Nile, alphavirus (seperti chikungunya), dan

11

Page 12: Lapsus Ped Dhf Grade i

penyebab lain dari demam seperti malaria, leptospirosis, tifus, penyakit Rickettsial

(prowazeki Rickettsia, R. mooseri, R. conori, R. rickettsi, Orientia tsutsugamushi,

Coxiella burnetii, dll), campak, enterovirus, influenza dan influenza seperti penyakit,

demam berdarah (Arenaviridae: Junin, dll .; Filoviridae: Marburg, Ebola;

Bunyaviridae: hantaviruses, Crimean -Congo haemorrhagic fever, dll). Kombinasi

identifikasi RNA virus/antigen dan deteksi responantibodi disarankan untuk

mengkonfirmasi diagnosa infeksi dengue (table 3.2). Teknik diagnostic tes ideal

bersifat cepat, dini, dan terjangkau dalam segala system kesehatan, mudah

dilaksanakan dan hasil yang akurat, hingga saat ini belum ditemukan.

Tabel 3.2 Interpretasi uji diagnostik dengue diadaptasi dari Dengue and Control

(DENCO) study

1.8 Rekomendasi Pengobatan

Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif yaitu mengatasi kehilangan cairan

plasma sebagai peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien

DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi

pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Untuk dapat merawat

pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan perawat yang terampil, sarana

laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dan koloid serta bank darah yang

senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera

dirawat bila terdapat tanda syok merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka

kematian. Di pihak lain perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang waktu

12

Page 13: Lapsus Ped Dhf Grade i

masuk keadaan umumnya tampak baik dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak

tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/DSS terletak pada ketrampilan para

dokter untuk mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase

kritis, fase syok) dengan baik.

Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga

kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling

penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama

cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan

suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara

bermakna. Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan sesuai rumus berikut 1500

+ {20x(BB dalam kg – 20)}, transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD

dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit <100.000/mm3.

Penanganan emergensi dan perujukan darurat dilakukan pada dengue dengan fase kritis

dengan: (i) kebocoran plasma yang berat yang mengakibatkan syok dan/atau akumulasi

carian dengan distress pernafasan; (ii) perdarahan berat; dan (iii) kegagalan organ yang

berat (WHO, 2009).

Pada saat periode kebocoran plasma terjadi, resusitasi cairan intravena dianjurkan

dengan pilihan cairan kristaloid isotonic, atau cairan koloid pada keadaan syok

hipotensif. Kadar hematrokrit sebelum dan sesudah resusitasi sebaiknya tetap terpantau.

Penggantian cairan dilakukan untuk menjaga efektifitas sirkulasi selama 24-48 jam. Pada

pasien obesitas, berat badan ideal.

Pemberian cairan dengan volume besar (10-20 ml bolus) dilakukan dalam waktu

yang terbatas dengan pengawasan yang ketat untuk pencegahan terjadinya edem paru.

Dalam periode syok, input cairan harus lebih besar dari output. Tujuan dari resusitasi

cairan adalah memperbaiki sirkulasi sentral dan perifer (menurunkan takikardi,

memperbaiki tekanan darah, volume pulsasi, ekstremitas hangat dan merah, waktu isi

kapiler < 2 detik) dan memperbaiki perfusi organ ditandai dengan kesadaran yang stabil

dan output urin ≥ 0.5 ml/kg/jam, dan penurunan asidosis metabolik. Algoritma

penanganan pasien syok terkompensasi adalah sebagai berikut (gambar 4).

13

Page 14: Lapsus Ped Dhf Grade i

Gambar 3.5 Algoritma tatalaksana cairan pada syok terkompensasi (WHO, 2009)

1. Mulai resusitasid dengan cairan isotonic kristaloid dengan 5-10 ml/kg/jam dalam

beberapa jam. Periksa ulang kondisi pasien (vital sign, CRT, hematokrit, output urin).

Langkah selanjutnya bergantung situasi

2. Bila keadaan pasien membaik, cairan intravena diturunkan secara perlahan mulai 5-7

ml/kg/jam dalam 1-2 jam, kemudian menjadi 3-5 ml/kg/jam dalam 2-4 jam, dan 2-3

ml/kg/jam dan bergantung pada status hemodinamik selanjutnya, yangmana dapat

dipertahankan dalam 24-48 jam.

3. Bila vital sign masih belum stabil, cek hematokrit dalam bolus pertama. Bila

hematokrit meningkat atau tetap tinggi (>50%), ulangi pemberian bolus kedua dari

cairan kristaloid pada 10-20 ml/kg/jam dalam satu jam. Setelah bolus kedua, bila

membai turunkan laju cairan menjadi 7-10 ml/kg/jam dalam 1-2 jam, dan dilanjutkan

14

Page 15: Lapsus Ped Dhf Grade i

seperti langkah nomor 2. Bila hematokrit menurun dibandingkan nilai sebelumnya

(<40% pada anak perempuan, <45 pada anak laki-laki), mengindikasikan terjadinya

perdarahan sehingga perlu dilakukan cross-match dan transfuse darah sesegera

mungkin.

4. Bolus larutan kristaloid atau koloid diberikan dalam 24-48 jam selanjutnya.

5. Waspada dalam penggunaan larutan Ringer Lactat (RL) pada infeksi dengue, karena

dapat memperparah penyakit.

6. Indikator tidak menggunakan RL apabila telah terjadi peningkatan enzim hepar, AST

dan ALT lebih dari 100-200 U/L yang menandakan kerusakan hepar.

7. Pilihlah cairan pengganti seperti Ringer Acetat atau larutan garam fisiologis.

8. Menggunakan Ringer Acetatsebagai terapi cairan infeksi dengue lebih baik untuk

mencegah terjadinya kerusakan hepar dibandingkan RL

Bila syok hipotensif telah terjadi, maka terapi yang dilakukan mengikuti gambar 5 karena

terapi yang dilakukan harus lebih agresif.

Penanganan resusitasi cairan dalam kasus telah sesuai dengan alur tatalaksana cairan

syok terkompensasi dan syok hipotensif dalam pustaka WHO (2009). Terapi cairan

dalam kasus adalah loading cairan 20cc/kg/secepatnya dengan larutan isotonis RL,

dengan didapatkan jumlah input cairan intravena sebanyak 380 ml. Namun pemantauan

AST dan ALT belum dilakukan pada kasus, mengingat RL memiliki risiko dalam

memperparah penyakit dengue.

15

Page 16: Lapsus Ped Dhf Grade i

Gambar 3.6. Algoritma tatalaksana cairan pada syok hipotensif (WHO, 2009)

16

Page 17: Lapsus Ped Dhf Grade i

BAB III

LAPORAN KASUS

Nama : NWSP

No CM : 569984

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 13 Tahun

Alamat : Br. Tojan Kanginan, Pering, Blahbatuh

Agama : Hindu

Suku/Bangsa : Bali/Indonesia

Ruang Rawat : Abimanyu

Tanggal MRS : 22 Juni 2016

Keluhan Utama : Demam

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke IGD RSUD Sanjiwani dengan keluhan demam sejak 4 hari yang lalu

(19/06/2016, pk 19.00) demam mendadak tinggi diseluruh badan, panas naik-turun dimana panas

turun sejak siang hari. Sejak sakit pasien merasa lemas hingga tidak mampu beraktivitas. Sejak

kemarin, pasien sudah sempat muntah-muntah sebanyak 2 kali. Keluhan muntah muncul setiap

kali makan. Nyeri perut (+) juga dirasakan pasien sejak tadi pagi pada region umbilical, nyeri

perut dirasakan seperti tertusuk-tusuk. Keluhan lainnya seperti mual (+) muntah (+) setiap

makan, Pusing (+) mimisan (-), gusi berdarah (-), mengigil (-), kejang (-), batuk (-), pilek (-).

Napsu makan dan minum dikatakan menurun sejak pasien sakit. BAB (+) biasa terakhir kemarin

dan BAK (+) normal terakhir 22 Juni 2016 18.30 WITA.

Riwayat Penyakit Sebelumnya : Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.

17

Page 18: Lapsus Ped Dhf Grade i

Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa seperti

pasien.

Riwayat Penggunaan Obat : Paracetamol

Riwayat Alergi : Tidak terdapat riwayat alergi

Riwayat Persalinan : Lahir spontan, UK cukup bulan, ditolong oleh dokter, BBL/PB lupa/lupa.

Segera menangis setelah lahir.

Riwayat Imunisasi: Pasien dikatakan telah mendapat imunisasi lengkap di Puskesmas sesuai

dengan umur

Riwayat Penyakit Kronis (-)

Riwayat Pribadi/Lingkungan/Sosial :Pasien merupakan anak kedua. Lingkungan pasien

dikatakan cukup bersih. Sejak 2 bulan terakhir tetangga dilingkungan rumah banyak yang

menderita DBD.

Status Nutrisi:

• ASI : 0 hari – 6 bulan

• Susu Formula : Lupa

• Bubur : Lupa

• Nasi tim : Lupa

• Makanan Dewasa : 1 tahun – sekarang

Riwayat Tumbuh Kembang :

Menegakkan kepala : Lupa

Membalik badan : Lupa

Duduk : Lupa

Merangkak : Lupa

Berdiri : Lupa

Berjalan : 13 bulan

Bicara : Lupa

18

Page 19: Lapsus Ped Dhf Grade i

Status Antopometri:

Berat Badan : 35 Kg

Tinggi Badan : 150 cm

Berat Badan Ideal : 40,5 Kg

BMI : 15,5 (normal)

Status Gizi berdasarkan CDC :

o BB/U : Z score (0) – 3s (sesuai)

o TB/U : Z score (-2) - 2 (sesuai)

o BB / TB : Z score (0) – (1) (sesuai)

o Status Gizi menurut Water Low : 110% (baik)

Pengkajian Pasien :

2. Airway: Suara nafas: Normal

3. Breathing: Bunyi nafas: vesikuler, 22 x/menit

4. Circulation: Akral: dingin; CRT: > 2

Level Kesadaran (GCS) : E4, V5, M6

Status Present :

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan Darah : 110/80 mmHg

Nadi : 92x/menit, isi cukup, reguler, kuat angkat

Respirasi : 22 x/menit, reguler

Temp. Axilla : 36oC

Status Psikologis : Tenang

Status Generalis :

Kepala : normocephali

19

Page 20: Lapsus Ped Dhf Grade i

Mata : konjungtiva pucat (-), ikterus (-), RP (+/+ isokor)

THT:

o Telinga : sekret (-), membran timpani intak

o Hidung : sekret (-)

o Tenggorok : faring hiperemis (-), T1/T1 hiperemis (-)

Thoraks:

o Jantung:

Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V MCL Sinistra,

Perkusi : Batas atas : ICS 2 sternal line sinistra

Batas kanan : ICS 4 parasternal line dekstra

Batas kiri : ICS 5 mid klavikular line sinistra

Auskultasi : S1S2 normal, reguler, murmur (-)

o Paru:

Inspeksi : simetris (+) saat statis dan dinamis,

Perkusi : sonor (+/+)

Palpasi : gerakan dada simetris

Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen:

o Inspeksi : Distensi (-)

o Auskultasi : BU (+) normal,

o Palpasi : hepar-lien tidak teraba, NT (+) region umbilical

o Perkusi : Timpani

Ekstremitas : hangat (+) dikeempat ekstremitas CRT <2 detik

Rumple Leed : (+)

Pemeriksaan Darah Lengkap Serial :

20

Page 21: Lapsus Ped Dhf Grade i

Parameter Normal 22/6/16 (18.15) 23/6/16 (11.01) 24/6/16 (09.09)

WBC 4,0 – 10,0 4,9 5,9 11,5

Lym% 20,0 – 40,0 50 45,3 50,3

Gran% 50,0 – 70,0 55,2 36,6 33,5

RBC 4.0 – 5. 50 5,43 5,05 4,67

HB 10,0 – 16,0 15,5 13,1 12,1

HCT

MCV

MCH

37,0 - 54,0

82 - 95

27 – 31

38,0

82,3

28,5

39,8

78,8

25,9

37,0

79,2

25,9

PLT 150 – 450 71 79 98

Diagnosis : Febris hari ke IV s/d pukul 19.00 e.c susp. DHF grade I dd DF

Terapi/Tindakan :

MRS

IVFD RL Maintenance 1800 ml/hari~25tpm (makro)

Paracetamol flash 10 mg/kgBB/x~350mg/x~35cc/x dapat diulang bila tax ≥ 38oC @4jamo Monitoring keluhan, tanda vital, tanda perdarahan, balance cairan

Catatan Perkembangan Pasien Rawat Inap Terintegrasi

23 Juni 2016 (06.00 Wita)

S : Nyeri perut (+), demam (-), mual (-) muntah (-) BAB (+) BAK (+)

O: TD : 110/80 mmHg Rr : 24x/mnt

N : 88x/mnt cukup Tax : 35,9 C

21

Page 22: Lapsus Ped Dhf Grade i

Akral hangat : (+) di keempat ekstremitas

A : Febris hari ke V s/d pukul 19.00 e.c Susp DHF gr I dd DF

P : Kebutuhan cairan RL1800ml/hari~25 tpm (makro)

Paracetamol flash 10 mg/kgBB/x~350mg/x~35cc/x dapat diulang bila tax ≥ 38oC @4jam

Monitoring keluhan, tanda vital, tanda perdarahan, balance cairan

24 Juni 2016 (06.00 Wita)

S : Nyeri perut (+), demam (-), mual (-) muntah (-) BAB (+) BAK (+)

O: TD : 110/80 mmHg Rr : 22x/mnt

N : 80x/mnt cukup Tax : 36,4 C

Akral hangat : (+) di keempat ekstremitas

A : Febris hari ke VI s/d pukul 19.00 e.c Susp DHF gr I dd DF

P : Kebutuhan cairan RL1800ml/hari~25 tpm (makro)

Paracetamol flash 10 mg/kgBB/x~350mg/x~35cc/x dapat diulang bila tax ≥ 38oC @4jam

Monitoring keluhan, tanda vital, tanda perdarahan, balance cairan

25 Juni 2016 06.00 Wita

S : Nyeri perut (-), demam (-), mual (-) muntah (-) BAB (+) BAK (+), ma/mi (+/+)

O: TD : 110/80 mmHg Rr : 22x/mnt

N : 80x/mnt cukup Tax : 36,4 C

Akral hangat : (+) di keempat ekstremitas

A : Febris hari ke VII s/d pukul 19.00 e.c Susp DHF gr I dd DF

P : Kebutuhan cairan RL1800ml/hari~25 tpm (makro)

Paracetamol flash 10 mg/kgBB/x~350mg/x~35cc/x dapat diulang bila tax ≥ 38oC @4jam

Monitoring keluhan, tanda vital, tanda perdarahan, balance cairan

22

Page 23: Lapsus Ped Dhf Grade i

Darah Lengkap Tanggal 25/6/2016 Pukul 09.00

Parameter Normal Hasil

WBC 4,0 – 10,0 11,8

Lym% 20,0 – 40,0 50,5

Gran% 50,0 – 70,0 33,5

RBC 4.0 – 5. 50 4,7

HB 10,0 – 16,0 11,5

HCT

MCV

MCH

37,0 - 54,0

82 - 95

27 – 31

37,5

74,6

27,1

PLT 150 – 450 101

23

Page 24: Lapsus Ped Dhf Grade i

BAB IV

PEMBAHASAN

Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue

dan mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi dari asimtomatik, demam

dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai renjatan atau dengue shock syndrome

(DSS). Indonesia digolongkan sebagai negara dengan epidemi infeksi dengue oleh karena

nyamuk Aedes aegypti tersebar secara luas di daerah kota maupun pedesaan, serta peredaran

serotipe virus di wilayah tersebut menyebabkan kesakitan dan kematian pada anak. Negara

dengan zona iklim kering dan basah yang berganti dengan serotipe virus DEN beredar secara

bebas, menyebabkan siklus epidemi meningkat. Fenomena epidemi tersebut telah terjadi di

wilayah Gianyar, Bali hingga pada bulan Mei 2016. Pada pasien ini sesuai dengan teori karena

terdapat kesesuaian antara teori dan kasus.

24

Page 25: Lapsus Ped Dhf Grade i

Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk perkotaan yang cepat,

mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan prasarana transportasi dan terganggu atau

melemahnya pengendalian populasi sehingga memungkin terjadinya KLB. Faktor risiko lainnya

adalah kemiskinan yang mengakibatkan orang tidak mempunyai kemampuan untuk

menyediakan rumah yang layak dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah yang

benar. Tetapi di lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk yang lebih makmur terutama

yang biasa bepergian. Diketahui faktor yang berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah

pendidikan dan pekerjaan masyarakat, jarak antar rumah, keberadaan tempat penampungan air,

keberadaan tanaman hias dan pekarangan serta mobilisai penduduk; sedangkan tata letak rumah

dan keberadaan jentik tidak menjadi faktor risiko. Pada pasien ini sesuai dengan teori karena

terdapat kesesuaian antara teori dan kasus yaitu di tetangga pasien banyak yang terkena DBD.

Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase kritis dan fase

pemulihan. Pada fase febris, Biasanya demam mendadak tinggi 3 – 7 hari, disertai muka

kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Pada beberapa

kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi farings dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah.

Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa,

walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal. Pada

kasus ini ditemukan beberapa manifestasi klinis yang sesuai dengan teori yaitu demam

mendadak tinggi 3-7 hari, mual dan muntah, pusing.

Diagnosis demam berdarah dengue ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut

WHO tahun 1997 yang terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. Kriteria klinis demam dengue

adalah demam akut selama 3-7 hari ditandai dengan dua atau lebih manifestasi klinis seperti

nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia/artralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan (petekie

atau uji bendung positif), leukopenia, trombositopenia, Hematokrit yang meningkat dan

pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien demam dengue atau demam berdarah

dengue yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama. Pada kasus ini ditemukan

kriteria klinis dan laboratoris yang sesuai dengan tinjauan pustaka yaitu demam 3-7 hari ditandai

dengan 2 atau lebih manifestasi klinis, trombositopenia (PLT: 71), dan Rumple leed test positif

(+).

25

Page 26: Lapsus Ped Dhf Grade i

Berdasarkan WHO (2009) membagi demam berdarah dengue menjadi 4 derajat

berdasarkan tingkat keparahan, yaitu Derajat 1; Demam disertai gejala tidak khas dan satu-

satunya manifestasi perdarahan adalah uji torniquet, Derajat 2; Seperti derajat 1, disertai

perdarahan spontan di kulit dan perdarahan lain. Derajat 3; Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu

nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di

sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah. Derajat 4; Syok berat, nadi tidak dapat

diraba dan tekanan darah tidak terukur. Pada kasus ini telah sesuai dengan tinjauan pustaka yaitu

pada derajat 1 demam disertai gejala tidak khas dan uji torniquet positif.

Berdasarkan Penatalaksanaan pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif yaitu

mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai

akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang

perawatan biasa. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga

kurang dari 1%. Pemberian volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting

dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral.

Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan

melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna. Volume

cairan kristaloid per hari yang diperlukan sesuai rumus berikut 1500 + {20x(BB dalam kg –

20)}, transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan

masif dengan jumlah trombosit <100.000/mm3. Pada kasus ini diberikan terapi cairan IVFD RL

Maintenance 1800 ml/hari~25tpm (makro), Paracetamol flash 10 mg/kgBB/x~350mg/x~35cc/x

dapat diulang bila tax ≥ 38oC @4jam. Antara pustaka dan kasus telah ditemukan kesesuaian.

26

Page 27: Lapsus Ped Dhf Grade i

BAB V

SIMPULAN

1. Penting untuk memahami epidemiologi dan karakteristik identitas pasien infeksi dengue,

terutama untuk dapat menggolongkan secara dini penderita dengan risiko tinggi

mengalami Demam Berdarah Dengue dan Dengue Shock Syndrome (DSS). Dalam kasus,

ditemukan beberapa faktor yang memungkinkan terjadinya DBD Grade I.

2. Diagnosa DBD pada kasus telah tepat ditegakan, dengan ditemukanya Demam 2-7 hari

disertai 2 manifestasi klinis atau lebih, Rumple Leed Test Positif, dan Trombositopenia.

3. Penanganan yang dilakukan pada kasus secara keseluruhan telah sesuai dengan pustaka.

4. Pada DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DF bersifat simptomatik dan

suportif  yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak

dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah, atau nyeri perut yang berlebihan,

maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan,

27

Page 28: Lapsus Ped Dhf Grade i

tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada

DBD. Pasien juga sebaiknya diberikan makan-makanan lunak dengan tinggi kalori dan

tinggi protein

Daftar Pustaka

Anders KL, Nguyet NM, Van Vinh Chau N, et al. Epidemiological Factors Associated with

Dengue Shock Syndrome and Mortality in Hospitalized Dengue Patients in Ho Chi Minh

City, Vietnam. The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene. 2011;84(1):127-

134. doi:10.4269/ajtmh.2011.10-0476.

Huy NT, GIang TV, Thuy DHD, et al. 2013. Factors Associated with Dengue Shock Syndrome:

A Systematic Review and Meta-Analysis. PLOS Neglected Tropical Disease. 10(1). 1371-

82

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2016 Wilayah KLB DBD ada di 11 Provinsi. 7

Maret 2016. [cited 20 Mei 2016] Available from

28

Page 29: Lapsus Ped Dhf Grade i

http://www.depkes.go.id/article/print/16030700001/wilayah-klb-dbd-ada-di-11-

provinsi.html

Lam PK, Tam DTH, Diet TV, et al. 2013. Clinical Characteristics of Dengue Shock Syndrome in

Vietnamese Children: A 10-Year Prospective Study in a Single Hospital. Clinical

Infectious Diseases: An Official Publication of the Infectious Diseases Society of America.

2013;57(11):1577-1586. doi:10.1093/cid/cit594.

Pruitt AW. Dalam: Behrman RE, Kleigman RM, penyunting. 2011. Nelson Textbook of

Pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: WB.Saunders Company. h.1147-9.

Rajapakse S. 2011. Dengue shock. Journal of Emergencies, Trauma and Shock; 4(1):120-127.

doi:10.4103/0974-2700.76835.

Soegijanto S, Chilvia E. 2013. Update Management Dengue Shock Syndrome Pediatric Case.

Indonesian Journal of Tropical and Infection Disease; 4(4). 9-22

World Health Organization. 2009. Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. Fact sheet 117,

2009 [cited 20 Mei 2016] Available from: www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/

29