Top Banner
1 KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI Oleh: Abdul Hakim * ABSTRACT There should be a common understanding that corruption is a disgraceful deed which harms community, no matter what form of corruption and level of implementer is. Any forms of bureaucratic actions which tend to lead and/or strengthen the attitude and behavior of corruption may not happen. Bureaucratic corruption must be abolished using multi-discipline and comprehensive approaches comprising the approaches of economy, culture, ethic or moral, and law. All state components must be involved in the efforts to abolish corruption in accordance with their own capacities. The accountability of corruption abolishing must be shared responsibility, it should be neither the responsibility of an individual nor a certain institute or agency. PENDAHULUAN Secara historis, Indonesia merupakan negara pertama di Asia yang mengeluarkan suatu peraturan khusus tentang pemberantasan korupsi. Hal ini dapat dibaca dari Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 No.Prt/Peperpu/C13/1958, dan kemudian diikuti oleh Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.1/1/7 tanggal 17 April 1958. Peraturan tersebut dikeluarkan karena Kepala Staf Angkatan Darat saat itu sudah melihat adanya gejala korupsi di lingkungan pemerintahan. Dalam peraturan tersebut terdapat sistem pendaftaran harta benda pejabat oleh Badan Penilik Harta Benda dan peraturan tentang pengajuan gugutan perdata berdasarkan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) bagi orang yang mempunyai harta benda yang tidak seimbang dengan pendapatannya, tetapi tidak dapat dibuktikan secara pidana. Menurut Hamzah (2005), substansi peraturan tersebut memiliki keistimewaan karena gugutan perdata terhadap orang yang diduga memiliki kekayaan jauh di atas pendapatannya itu dapat diajukan langsung ke pengadilan tinggi, tanpa harus melewati pengadilan negeri terlebih dahulu. Peraturan Penguasa Perang Pusat tersebut secara substansial lebih lengkap dalam hal pemberantasan korupsi melalui jalur tuntutan pidana maupun gugatan perdata, * Dosen Fakultas Ilmu Administrasi dan Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang.
25

KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana

Jan 30, 2018

Download

Documents

vohanh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana

1

KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI

Oleh: Abdul Hakim

*

ABSTRACT

There should be a common understanding that corruption is a disgraceful deed which harms community, no matter what form of corruption and level of implementer is. Any forms of bureaucratic actions which tend to lead and/or strengthen the attitude and behavior of corruption may not happen. Bureaucratic corruption must be abolished using multi-discipline and comprehensive approaches comprising the approaches of economy, culture, ethic or moral, and law. All state components must be involved in the efforts to abolish corruption in accordance with their own capacities. The accountability of corruption abolishing must be shared responsibility, it should be neither the responsibility of an individual nor a certain institute or agency.

PENDAHULUAN

Secara historis, Indonesia merupakan negara pertama di Asia yang

mengeluarkan suatu peraturan khusus tentang pemberantasan korupsi. Hal ini

dapat dibaca dari Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan

Darat tanggal 16 April 1958 No.Prt/Peperpu/C13/1958, dan kemudian diikuti oleh

Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.1/1/7

tanggal 17 April 1958. Peraturan tersebut dikeluarkan karena Kepala Staf

Angkatan Darat saat itu sudah melihat adanya gejala korupsi di lingkungan

pemerintahan. Dalam peraturan tersebut terdapat sistem pendaftaran harta

benda pejabat oleh Badan Penilik Harta Benda dan peraturan tentang pengajuan

gugutan perdata berdasarkan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad)

bagi orang yang mempunyai harta benda yang tidak seimbang dengan

pendapatannya, tetapi tidak dapat dibuktikan secara pidana.

Menurut Hamzah (2005), substansi peraturan tersebut memiliki

keistimewaan karena gugutan perdata terhadap orang yang diduga memiliki

kekayaan jauh di atas pendapatannya itu dapat diajukan langsung ke pengadilan

tinggi, tanpa harus melewati pengadilan negeri terlebih dahulu. Peraturan

Penguasa Perang Pusat tersebut secara substansial lebih lengkap dalam hal

pemberantasan korupsi melalui jalur tuntutan pidana maupun gugatan perdata,

* Dosen Fakultas Ilmu Administrasi dan Program Pascasarjana Universitas Brawijaya

Malang.

Page 2: KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana

2

dan juga disertai dengan sistem preventif, yaitu pendaftaran harta benda pejabat.

Hal ini tidak dijumpai dalam undang-undang yang keluar berikutnya, yaitu: UU

No.24 (Prp) Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan

Tindak Pidana Korupsi; UU No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi;

dan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Saat

ini pendaftaran harta kekayaan hanya berlaku bagi seseorang yang akan

menduduki jabatan tertentu pada level tertentu pula. Padahal pendaftaran harta

kekayaan itu dipandang sebagai salah satu jalur preventif yang efektif dalam

upaya pemberantasan korupsi, yang seharusnya diberlakukan untuk semua

pejabat pada tingkatan terendah sekalipun, apalagi jika dalam jabatan tersebut

terbuka kemungkinan untuk melakukan korupsi.

Sejarah telah membuktikan bahwa hilangnya jalur preventif dan gugutan

perdata dalam UU No.24 (Prp) Tahun 1960 dan UU No.3 Tahun 1971, telah

menyebabkan implementasi undang-undang tersebut dalam pemberantasan

korupsi tidak efektif, baik pada pasa Orde Lama (1960-1966) maupun Orde Baru

(1966-1998). Karena itu, menyadari hal ini, dalam UU No. 28 Tahun 1999

tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi

dan Nepotisme, dalam Pasal 5 (angka 3), disebutkan sebagai berikut: “Setiap

penyelenggara negara berkewajiban untuk melaporkan dan mengumumkan

kekayaan sebelum dan setelah menjabat”. Namun demikian, undang-undang

saja tentu tidak cukup, karena implementasi isi undang-undang amatlah

tergantung pada kemauan politik (political will) yang kuat dari para

implementatornya, khususnya mereka yang sedang memegang kekuasaan

dalam pemerintahan. Sebagaimana yang dikatakan oleh mantan Ketua Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK), Taufiequrachman Ruki sebagai berikut: “Tak

perlu revolusi untuk memberantas korupsi … dalam konteks kepemimpinan,

pemberantasan korupsi di Indonessia bergantung kepada dua orang, yaitu

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Mahkamah Agung (MA)

Bagir Manan (Jawa Pos, 22/04/07, h.16, “Kunci di Tangan Presiden dan MA”).

Jika Jenderal Nasution sudah “mencium aroma” korupsi sejak tahun 1958,

dan kita asumsikan bahwa hal itu terjadi terus selama pemerintahan Orde Baru

(1966-1998), yang dipimpin Jenderal Soeharto, maka negara kita (Indonesia)

telah terbenam dalam pemerintahan korup kurang lebih 50 tahun, atau satu

generasi. Jika kita gunakan kategorisasi tahap korupsi dari Alatas (1982), maka

Page 3: KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana

3

Indonesia dapat digolongkan pada tahap kedua, atau bahkan tahap ketiga.

Alatas, membedakan korupsi dalam tiga tahap, yaitu: (1) tahap dimana korupsi

relatif terbatas, tanpa mempengaruhi wilayah kehidupan sosial yang luas; (2)

tahap dimana korupsi telah merajalela dan menembus segala segi kehidupan,

sehingga hampir tidak ada yang dapat dilakukan seseorang tanpa memberi suap;

dan (3) korupsi yang terjadi telah sedemikian rupa sehingga menghancurkan

kehidupan masyarakat, termasuk koruptornya. Pada tahapan ketiga ini, korupsi

yang terjadi menjadi faktor pendorong bagi terjadinya korupsi yang lebih besar,

sehingga sampai pada tahap yang membinasakan kehidupan bermasyarakat.

Saat ini, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan

Jusuf Kalla (JK) dipandang memiliki komitmen dan kemauan politik yang sangat

tinggi dalam upaya pemberantasan korupsi. Karena itu banyak kalangan menilai

bahwa upaya pemberantasan korupsi di era pemerintahan SBY-JK menuai hasil

yang sangat signifikan dibandingkan dengan era pemerintahan sebelumnya.

Menurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil

bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana saat ini.

Konkrit dalam arti benar-benar diadili dan dipenjarakan tanpa pandang bulu.

Intensif dalam arti hampir setiap hari ada saja tersangka baru” (Jawa Pos,

10/03/08, h.1, ”Paradoks Semangat Pemberantasan Korupsi”). Walaupun

demikian, kita akui bahwa keberhasilan ini juga karena ditopang oleh adanya

dorongan publik dan lembaga swadaya masyarakat antikorupsi yang sangat kuat,

serta peran lembaga Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sangat signifikan.

Secara statistik, keberhasilan upaya pemberantasan korupsi dapat dilihat

dari posisi Indonesia sebagai negara korup terus membaik, dalam arti tidak lagi

menjadi negara paling korup. Menurut hasil survei lembaga pemeringkat yang

berbasis di Hongkong, Political and Economic Risk Consultancy (PERC), dalam

persepsi pengusaha ekspatriat di Asia, Indonesia tidak lagi dianggap sebagai

negara terkorup di Asia. Survei tersebut dilakukan terhadap 1.500 pengusaha

ekspatriat, dan menempatkan Indonesia di urutan kedua bersama Thailand.

Sedangkan predikat negara terkorup di Asia, menurut responden survei, adalah

Filipina. Bagi Indonesia, posisi ini lebih baik dari hasil survei sebelumnya (2006)

yang berada di urutan pertama atau sebagai negara paling korup di Asia (Jawa

Pos, 14/03/07, h.1., ”Indonesia Tak Lagi Terkorup di Asia”). Menurut PERC,

Indonesia mencatat kemajuan yang berarti dalam penindakan terhadap pelaku

Page 4: KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana

4

korupsi. Ada niat kuat dari pemerintah Indonesia untuk memberantas korupsi,

meskipun hasilnya masih belum maksimal. Apa yang dilakukan oleh pemerintah

Indonesia, dalam pandangan PERC, dinilai lebih baik oleh responden survei,

dibandingkan dengan yang dilakukan oleh pemerintah Filipina dan Thailand.

Dalam publikasi yang dirilis PERC tahun 2008, peringkat Indonesia lebih

baik dari tahun 2007. Nilai Indonesia menyamai Tiongkok dan berada di posisi 10,

walaupun masih berada di bawah Vietnam, dan masih jauh di bawah Malaysia

dan Singapura. Penilaian ini didasarkan atas hasil survei terhadap 1.400

pengusaha asing di 13 negara Asia yang dipilih. Responden diminta memberikan

pandangan atas korupsi yang terjadi di negara tempat mereka menamkan modal.

Bandingannya adalah negara asal masing-masing responden tersebut. Adapun

ranking pemberantasan korupsi pada 13 negara Asia yang dipilih adalah

sebagaimana disajikan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1. Ranking Pemberantasan Korupsi Hasil Survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC)

No. Negara Nilai 2008 2007

1. Singapura 1,13 1,20 2. Hongkong 1,80 1,87 3. Jepang 2,25 2,10 4. Makau 3,30 5,18 5. Korea Selatan 5,65 6,30 6. Malaysia 6,37 6,25 7. Taiwan 6,55 6,23 8. India 7,25 6,67 9. Vietnam 7,75 7,54 10. Tiongkok 7,98 6,29 11. Indonesia 7,98 8,03 12. Thailand 8,00 8,03 13. Filipina 9,00 9,40

Keterangan: Nilai 1-10, mulai dari paling bersih sampai paling korup. Sumber: PERC, dikutip dari Jawa Pos, 11/03/08, h.16. “Berantas Korupsi, RI

Selevel Tiongkok”. Dalam rilisnya, PERC menyebutkan bahwa Indonesia mencapai banyak

kemajuan dalam upaya pemberantasan korupsi di bawah pemerintahan SBY-JK.

Namun demikian, menurut konsultan PERC, korupsi tetap menjadi masalah

serius di Indonesia. Hal ini juga diakui oleh Koordinator Bidang Hukum dan

Monitoring Peradilan, Indonesia Corruption Watch (ICW), yang menyatakan

Page 5: KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana

5

bahwa sebagian koruptor memang sudah diadili tetapi pungutan liar (pungli)

masih tetap terjadi dan hal itu telah membuat investor merasa tidak nyaman.

Dalam bahasa yang lain, Kwik Kian Gie, menyatakan bahwa jika pungutan liar

(pungli) dianggap sebagai korupsi, maka korupsi masih belum berkurang, karena

pelayanan apa pun oleh birokrasi selalu disertai permintaan pembayaran ekstra

di luar biaya resmi.

Mengapa korupsi masih tetap terjadi, walaupun kegiatan pemberantasan

korupsi sangat giat dilakukan? Ini bukanlah pertanyaan sederhana, dan karena

itu penulis tidak punya pretensi untuk memberikan jawaban tuntas. Tulisan ini

mencoba mendekati dari faktro-faktor penyebabnya, dan kemudian

mengaitkannya dengan reformasi birokrasi sebagai upaya alternatif untuk

meminimalisir praktek korupsi. Tulisan ini membatasi diri pada praktek korupsi

birokrasi atau korupsi birokratis (bureaucratic corruption), yang dalam definisi

Alatas (1982), dinyatakan sebagai berikut: jika seorang pegawai negeri

menerima pemberian, apa pun bentuknya, yang diberikan oleh seorang swasta

dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa

(privileges) pada kepentingan si pemberi, maka tindakan itu disebut korupsi.

Singkatnya, korupsi biroratis adalah korupsi yang dilakukan oleh aparatur

pelaksana pelayanan publik. Menurut UU No.20/2001, beberapa bentuk tindakan

pegawai negeri yang tergolong korupsi, antara lain adalah: (1) menerima suap

(Ps.5, ayat 2); (2) menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya

(Ps.11); (3) menggelapkan uang atau membiarkan terjadinya penggelapan (Ps.8);

(5) memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi (Ps.9); (6) merusak

barang bukti (Ps.10 huruf a); (7) membiarkan orang lain merusak barang bukti

(Ps.10 huruf b); (8) membantu orang lain merusak barang bukti (Ps.10 huruf c);

(9) melakukan pemerasan (Ps.12 huruf e); (10) menyerobot tanah negara

sehingga merugikan orang lain (Ps.12 huruf h); (11) turut serta dalam pengadaan

barang dan jasa yang diurusnya (Ps.12 huruf i); dan (12) menerima gratifikasi

dan tidak melaporkan kepada KPK (Ps.12 B).

DINAMIKA KORUPSI

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa Indonesia telah

terbenam selama lima puluh tahun dalam korupsi, dan hampir tidak terdengar

upaya pemberantasan yang memadai untuk memberantasnya. Kecenderungan

Page 6: KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana

6

yang terjadi adalah membiarkan hal tersebut sehingga menjadi sebuah gunung

es yang hanya terlihat puncaknya, dan upaya pemberantasan hanya mengikis

puncak dari gunung es tersebut. Hasilnya adalah tampilnya pemimpin Orde Baru,

Jenderal HM Soeharto sebagai salah satu dari sepuluh besar pemimpin dunia

paling korup, dengan dugaan dana yang digelapkan antara 15-35 milliar dollar

AS. Dalam konferensi Kelompok Negara bagi Konvensi PBB Antikorupsi

(UNCAC, United Nations Convention Against Corruption) yang diselenggarakan

di Bali, dirilis nama sepuluh besar pemimpin dunia yang paling korup, dan HM

Soeharto menempati posisi nomor wahid sebagai pemimpin dunia terkorup.

Tabel 2. Sepuluh Besar Pemimpin Terkorup di Dunia No. Presiden Negara Tahun

Berkuasa

Dugaan dana yang digelapkan (dollar AS)

1. HM Soeharto Indonesia 1967-1998 15-35 milliar 2. Ferdinand E.Marcos Filipina 1972-1986 5-10 milliar 3. Mobutu Sese Seko RD Kongo 1965-1997 5 milliar 4. Sani Abacha Nigeria 1993-1998 2-5 milliar 5. Slobodan Milosevic Serbia 1993-1998 1 milliar 6. Jean-Claude Duvalier Haiti 1971-1986 300-800 juta 7. Alberto Fujimori Peru 1990-2000 600 juta 8. Pavlo Lazarenko Ukraina 1996-1997 144-200 juta 9. Arnoldo Aleman Nikaragua 1997-2002 100 juta 10. Joseph Estrada Filipina 1998-2001 78-80 juta

Sumber: Kompas, 30/01/08, h.8., ”Bank Dunia Sediakan Tenaga: Negara Berkembang Dibantu Mengembalikan Dana-dana Hasil Korupsi”.

Walaupun konferensi UNCAC melahirkan inisiatif yang disebut

Mengembalikan Aset yang Dicuri (StAR Initiative: The Stolen Asset Recovery

Initiative), namun HM Soeharto tidak pernah benar-benar tampil di persidangan

apalagi dipenjara, sampai akhirnya meninggal. Sampai saat ini, belum ada

tindakan konkret apa pun sehubungan dengan implementasi inisiatif tersebut,

dan entah dimana uang negara tersebut berada. Nigeria memerlukan waktu

selama 4-5 tahun untuk menarik aset yang dilarikan ke luar negeri. Filipina

bahkan memerlukan waktu 18 tahun untuk mengembalikan aset mantan

Presiden Ferdinand Marcos yang ada di luar negeri. Kendala pengembalian aset

yang dilarikan ke luar negeri karena korupsi banyak terkendala oleh biaya yang

sangat mahal. Indonesia mengeluarkan dana milliaran rupiah hanya untuk

menarik dana jutaan dollar AS yang dilarikan ke bank di Guernsey, Inggris.

Page 7: KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana

7

Temuan ICW (Indonesia Corruption Watch) yang dirilis pada bulan

Januari 2007 (Jawa Pos, 25/01/07, h.2., ”Tren Korupsi 2004-2006”)

memperlihatkan kecenderungan kerugian negara yang terus meningkat

jumlahnya selama periode 2004-2006. Jika tahun 2004, kerugian negara

diperkirakan mencapai 4,3 triliun rupiah (dari 153 kasus yang terungkap), maka

pada tahun 2006 jumlahnya mencapai 14,4 triliun rupiah (dari 161 kasus yang

terungkap), atau terjadi peningkatan sebanyak 10,1 triliun atau hampir 235

persen selama dua tahun berjalan. Jika dilihat dari sektor, menunjukkan bahwa

sektor pemerintahan menduduki peringkat pertama, disusul sektor perhubungan,

transportasi, dan perumahan atau pertanahan. Korupsi birokrasi terutama terjadi

pada pengelolaan anggaran pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Fakta ini menunjukkan bahwa birokrasi pemerintahan di Indonesia sangat rawan

akan praktek korupsi, terutama pada pemerintah pusat. Temuan ICW

menunjukkan bahwa pemerintah pusat berada pada ranking teratas, kemudian

disusul oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Barat, Provinsi

Jawa Timur, dan Provinsi Aceh.

Dalam periode tahun 2005-2006, angka yang mengejutkan diungkapkan

oleh Ketua BPK Anwar Nasution, yang menyatakan bahwa dalam periode tahun

tersebut negara mengalami kerugian akibat korupsi sebanyak lebih dari 30 triliun,

dengan rincian tahun 2005 sebanyak 13,8 triliun rupiah (dari 3.054 kasus yang

terungkap), dan tahun 2006 sebanyak 19 triliun rupiah (dari 1.721 kasus yang

terungkap). Dari keseluruhan kerugian tersebut hanya sekitar 3 triliun rupiah saja

yang berhasil dikembalikan (Jawa Pos Radar Malang, 15/03/07, h.37., ”Rp30

Triliun Uang Negara Raib”). Fakta ini menunjukkan kenaikan yang sangat

fantastik dibandingkan dengan temuan ICW dua tahun sebelumnya.

Tahun 2007, kepala daerah merupakan aktor paling banyak sebagai

pelaku korupsi. Dari sebanyak 143 kasus korupsi yang dicatat oleh Pusat Kajian

Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), sebanyak 69 kepala daerah

terkait dengan kasus korupsi, baik dalam status saksi, tersangka, terdakwa, atau

terpidana (Jawa Pos, 29/12/2007, h.3., ”Kepala Daerah Aktor Korupsi

Terbanyak”). Mayoritas korupsi kepada daerah menggunakan dua modus, yaitu

penggelembungan (mark-up) dan penyalahgunaan dana APBD dalam

pengadaan barang dan jasa serta pengerjaan proyek APBD.

Page 8: KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana

8

Temuan Pukat UGM, tidak berbeda jauh dengan temuan ICW. Sepanjang

tahun 1998-2007, menurut ICW, kasus korupsi lebih banyak terjadi di daerah. Di

antara 82 kasus yang telah ditangani penegak hukum dan tersangkanya telah

ditetapkan, sebanyak 68,3 persen dilakukan oleh instansi di daerah, yaitu pada

pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, pemerintah kota, DPRD, dan BUMD.

Total kerugian negara sebagai akibat korupsi di daerah mencapai 548,53 milliar

rupiah, dengan modus: mark-up, mark-down, kegiatan fiktif, penggelapan,

pemerasan, penyalahgunaan izin atau kewenangan, penyalahgunaan kredit, dan

penyuapan. Dua modus dengan kerugian terbesar adalah mark-up dan

penyalahgunaan anggaran (Jawa Pos, 11/02/08, h.10., ”Korupsi, Kampanye

Hitam Otda”). Andaikan KPK memiliki ”cabang” di tingkat provinsi dan kabupaten/

kota, mungkin kasus korupsi di daerah akan lebih banyak yang dapat diungkap,

tidak hanya menyangkut eksekutif, tetapi juga legislatif dan yudikatif di daerah.

Mitra kerja KPK di daerah (kepolisian daerah dan kejaksaan daerah) dinilai masih

lemah dalam penanganan kasus korupsi di daerah, karena itu sering terjadi unjuk

rasa akibat kelemahan tersebut. Oleh karena itu, beberapa kasus dugaan korupsi

yang menjadi perhatian publik di daerah diambil-alih oleh KPK. Beberapa contoh

kasus yang diambil-alih dan melibatkan kepala daerah adalah: Bupati Kutai

Kertanegara, Kaltim; Bupati Garut, Jabar; Bupati Palalawan, Riau; Bupati Kendal,

Jateng; dan Bupati Sleman, DIJ.

Memasuki tahun 2008, terdapat dua kasus korupsi besar yang menyita

perhatian bagian terbesar rakyat Indonesia, dan menjadi berita besar di berbagai

media, baik elektronik maupun majalah dan surat khabar. Kedua kasus ini justru

tidak terjadi di sektor pemerintahan, tetapi di sektor legislatif dan yudikatif. Kasus

pertama, adalah terbongkarnya kasus suap yang melibatkan seorang anggota

DPR, Al Amin Nur Nasution, saat bertransaksi dengan Sekretaris Daerah (Setda)

Kabupaten Bintan Kepulauan Riau, Azirwan, di kawasan Hotel Ritz Carlton,

Mega Kuningan Jakarta. Al Amin diduga menerima suap sebesar 3 milliar rupiah,

sebagai kompensasi telah mempermulus pengalihan fungsi hutan lindung

menjadi kawasan industri dan ibukota Kabupaten Bintan (Jawa Pos, 10/04/08,

h.1., ”KPK Bongkar Suap Rp 3 M”). Kasus kedua, adalah terbongkarnya kasus

suap yang dilakukan oleh Artalyta Suryani alias Ayin terhadap jaksa yang

menanangani penyelesaian kasus BLBI (khususnya yang melibatkan Sjamsul

Nursalim, pemilik BDNI), Urip Tri Gunawan, yang menerima suap sebesar 6

Page 9: KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana

9

milliar rupiah (Jawa Pos, 18/03/08, h.1. ”Pejabat Gedung Bundar Disapu”).

Sampai saat ini kasus yang terakhir terus menjadi berita hangat, karena

beberapa pejabat kejaksaan yang diduga tersangkut kasus tersebut ikut

diperiksa oleh KPK, di samping pemeriksaan internal yang dilakukan oleh

Kejaksaan Agung.

Mengapa korupsi terus terjadi dan bahkan dalam skala yang lebih besar?

Pertanyaan ini menjadi menarik karena upaya pemberantasan korupsi sudah

menuai hasil signifikan, dengan banyaknya kasus yang terungkap dan relatif

banyak pejabat maupun bukan pejabat yang terpenjara karena kasus korupsi.

Apakah sanksi yang diberikan tidak efektif menimbulkan efek jera? Banyak

analisis yang dilakukan berkenaan dengan hal itu. Salah satunya yang menarik

penulis adalah tulisan Emerson Yuntho (2007) yang mengingatkan kita agar

jangan pernah kalah melawan koruptor. Yuntho, anggota Badan Pekerja ICW,

mencatat fenomena menurunnya political will pemerintahan SBY, yang

diindikasikan dengan semakin kurangnya intensitas pernyataan SBY tentang

pemberantasan korupsi, yang dicatat oleh ICW selama periode tiga tahun

terakhir (20 Oktober 2004–20 Oktober 2007). Pada tahun I (20 Oktober 2004 –

20 Oktober 2005), tercatat 35 pernyataan SBY mengenai pemberantasan korupsi.

Berdasarkan catatan tersebut, rata-rata sebanyak tiga kali sebulan SBY

mengeluarkan pernyataan atau berkomentar tentang pemberantasan korupsi.

Tahun II (20 Oktober 2005-20 Oktober 2006), terjadi penurunan menjadi hanya

19 kali. Bahkan ada tiga bulan (Juli, September, dan Oktober) SBY tidak

memberikan komentar apa pun yang berkenaan dengan korupsi. Pada tahun III

(20 Oktober 2006-20 Oktober 2007), tercatat hanya 14 kali SBY mengeluarkan

pernyataan yang dilansir media massa soal isu korupsi. ICW mencatat, ada

enam bulan dimana SBY tidak memberikan komnetar apa pun tentang isu

korupsi (Oktober 2006, Januari, Maret, Juni, Juli, dan September 2007).

Dinamika ini menurut Yuntho, menunjukkan melemahnya semangat

pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Akibatnya, menurut hasil

survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI), tingkat kepuasan

publik terhadap pemerintahan SBY terus menurun, dari lebih dari 80 persen pada

tahun 2004, turun menjadi 35,3 persen pada September 2007. Walaupun, faktor

di atas bukan satu-satunya penyebab terjadinya degradasi kepuasan publik,

Page 10: KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana

10

namun tidak dapat disangkal bahwa selama ini program pemberantasan korupsi

telah menjadi daya tarik utama pemerintahan SBY.

KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI

Dari beberapa referensi yang menulis tentang sebab-sebab terjadinya

korupsi , penulis memetakan ke dalam beberapa perspekstif untuk memudahkan

pembahasan. Perspektif tersebut adalah: ekonomi, budaya, moral atau etika, dan

hukum. Kalaupun ada kategorisasi perspektif lain, hal itu tidak menjadi lingkup

pembahasan dalam tulisan ini. Jadi, kita mulai dengan melihat sebab-sebab

korupsi dari berbagai perspektif, dan kemudian reformasi birokrasi macam apa

yang ditawarkan sebagai solusi pemecahannya.

Perspektif Ekonomi. Menurut penganut perspektif ini, korupsi terjadi

disebabkan oleh ketidakmampuan relatif seseorang dalam bidang ekonomi.

Kemiskinan dan rendahnya tingkat pendapatan menjadi pendorong utama

terjadinya korupsi. Tingkat pendapatan sekarang dirasakan tidak mencukupi

untuk memenuhi kebutuhan pada tingkatan yang diharapkan. Mungkin

kebutuhan primer tercukupi, tetapi belum cukup untuk kebutuhan sekunder

dan/atau tersier. Karena itu setiap peluang yang ada untuk memperoleh

tambahan pendapatan akan dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Pada mulanya, peluang itu terbuka karena adanya pemberian uang dan

atau barang secara sukarela dari pengguna jasa layanan kepada pejabat publik

yang melayani, sebagai bentuk ”ucapan terima kasih” atas layanan yang telah

diberikan. Penerimaan seperti ini karena terjadi sewaktu-waktu, dan bahkan

mungkin setiap hari, tidaklah dianggap sebagai korupsi, tetapi dimaknai sebagai

suatu bentuk hubungan saling membutuhkan atau bahkan

hubungan ”persahabatan” antara pengguna jasa layanan dengan pemberi

layanan (pejabat publik atau pagawai negeri). Pengguna jasa layanan

membutuhkan ”urusan cepat selesai”, dan merasa sudah sepantasnya

memberikan imbalan jasa, sedangkan pemberi layanan juga merasa sudah

seharusnya menerima imbalan karena jasa yang diberikan. Dalam

perkembangan berikutnya, hubungan yang tadinya ”bersahabat” berubah bentuk

menjadi hubungan ”dagang”, antara pembeli dan penjual. Masyarakat pengguna

jasa yang membutuhkan pelayanan harus ”membeli” kepada pejabat pemberi

layanan yang berubah fungsi menjadi ”penjual” jasa layanan. Dalam hubungan

Page 11: KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana

11

seperti ini, mereka yang memiliki uang dan penawaran lebih tinggi akan

memperoleh privileges dari pejabat publik. Sebaliknya yang tidak punya uang

harus rela antri agar memperoleh pelayanan, atau, menurut Kwik Kian Gie,

kalau ngotot tidak mau membayar akan menghadapi kesulitan yang dicari-cari

dan dibuat-buat. Korupsi dalam bentuk transaksi ekonomi seperti ini sudah

mendarah-daging (internalized) di dalam tubuh dan jiwa pejabat publik, dan

ironisnya masyarakat akan merasa aneh dan heran jika transaksi yang demikian

itu tidak ada. Korupsi telah meningkat menjadi suatu bentuk kleptokrasi

(cleptocracy), dimana masyarakat sudah tidak berdaya lagi menanggulangi

korupsi, bahkan mendukung korupsi melalui perilaku sehari-hari yang penuh

dengan kegiatan suap-menyuap, ketidakjujuran, penyembunyian fakta,

pemalsuan, dan penyelewengan dalam berbagai bentuknya.

Menurut Rose-Ackerman (1999), korupsi terjadi di perbatasan antara

sektor pemerintah dan sektor swasta. Apabila seorang pejabat pemerintah

memiliki kekuasaan penuh terhadap pendistribusian keuntungan atau biaya

kepada sektor swasta, maka terciptalah suatu insentif untuk penyuapan. Jadi

korupsi itu tergantung pada besarnya keuntungan dan biaya yang berada di

bawah pengendalian pejabat pemerintah. Pemerintah membeli dan menjual

barang dan jasa, membagi-bagikan bantuan, mengatur swastanisasi badan

usaha milik negara, dan memberikan konsesi. Para pejabat seringkali

memonopoli informasi yang penting. Pribadi atau perusahaan ingin membayar

sejumlah uang untuk mendapatkan keuntungan dari pemerintah dan menghindari

biaya. Seluruh kegiatan ini menciptakan peluang terjadinya korupsi. Banyak

proyek dalam berbagai sektor dikuasai oleh pemerintah, dan swasta yang

menginginkan proyek-proyek tersebut harus membayar sejumlah uang suap

untuk mendapatkannya, dan sekaligus menghindari biaya tinggi yang harus

dikeluarkan jika pribadi atau perusahaan tersebut harus mengikuti prosedur

administratif yang melelahkan. Sebuah studi tentang korupsi di Thailand

menunjukkan beberapa contoh dari korupsi birokrat dalam proyek infrastruktur,

konstruktruksi, dan bidang lainnya, dengan tingkat kebocoran mencapai 20

sampai 40 persen dari biaya total proyek. Begitu pula di Brasil, di bawah

Presiden Fernando Collor de Mello, kebocoran bahkan mencapai 50 persen. Di

Indonesia, korupsi di jawatan pabean (bea cukai) telah sedemikian meluas

sehingga Presiden telah menandatangani sebuah kontrak dengan sebuah

Page 12: KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana

12

perusahaan swasta di Swiss yang akan mengambil alih beberapa tugas

kepabeanan di Indonesia (Rose-Ackerman, 1999:47). Dalam bulan Juni 2008,

dalam penyelidikan mendadak, KPK menemukan suap lebih dari 500 juta rupiah

yang tersebar dalam ratusan amplop di kantor bea cukai.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa bagi penganut

perspekstif ekonomi tentang penyebab korupsi, semua itu terjadi karena

rendahnya tingkat upah atau gaji. Oleh karena itu kebijakan reformasi birokrasi

yang disarankan adalah melakukan remunerasi atau penyesuaian pendapatan

bagi pegawai pemerintah (remuneration policy). Asumsinya, gaji yang tinggi akan

mengurangi keinginan untuk melakukan korupsi. Perspektif ekonomi melihat

bahwa pendapatan berkorelasi signifikan dengan perilaku koruptif.

Kebijakan penyesuaian struktur penggajian dalam bentuk remunerasi

menjadi salah satu tuntutan para pejabat publik akhir-akhir ini, dan beberapa di

antaranya telah diimplementasikan, misalnya untuk jajaran Departemen

Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan, yang mengalami kenaikan gaji

signifikan. Struktur gaji menjadi salah satu masalah pelik dalam birokrasi di

Indonesia, dan telah menyentuh rasa ketidak-adilan dalam waktu yang lama.

Kerja tidak kerja gaji sama, asal golongan dan masa kerja sama. Tidak ada

pembedaan antara mereka yang bekerja giat dan berprestasi dengan mereka

yang malas. Gaji dan tunjangan seorang Presiden di negeri ini lebih kecil dari

Ketua DPR, dan gaji seorang Ketua DPR lebih kecil dari gaji Direksi BUMN,

sebagaimana disajikan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 3. Gaji Beberapa Pejabat Negara dan Direksi BUMN di Indonesia No. Nama Pejabat Gaji Pokok dan Tunjangan (Rp) 1. Presiden 62.497.800,oo 2. Wakil Presiden 42.548.670,oo 3. Ketua DPR 89.200.000,oo 4. Anggota DPR 49.400.000,oo 5. Ketua Mahkamah Agung 55.400.000,oo 6. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan 23.900.000,oo 7. Jaksa Agung 19.000.000,oo 8. Jaksa Agung Muda 7.000.000,oo 9. Direktur Utama Pertamina 150.000.000,oo 10. Direktur Pertamina 140.000.000,oo 11. Direktur Utama Bank Mandiri 118.000.000,oo

Sumber: Jawa Pos, 05/04/2008, h.1., “Gaji Para Petinggi Negeri Ini”.

Page 13: KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana

13

Lembaga negara ketiga tahun ini yang memperoleh tunjangan kinerja di

luar gaji dalam kerangka kebijakan remunerasi adalah Mahkamah Agung dan

badan peradilan di bawahnya. Kebijakan ini diatur melalui Perpres No.19 Tahun

2008 tentang Kinerja Hakim dan Pegawai Negeri di Lingkungan Mahkamah

Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya. Dalam Perpres tersebut, diatur 15

tingkatan besaran tunjangan khusus, mulai Rp4,2 juta (terendah untuk hakim PT

kelas II), sampai Rp31,1 juta untuk Ketua Mahkamah Agung. Kebijakan ini mulai

berlaku mundur sejak 1 September 2007, namun baru dibayarkan bulan Juli

2008 (Jawa Pos, 15/06/08, h.1., kolom, “Tunjangan MA“).

Kritik dan penentangan terhadap kebijakan remunerasi bukan tidak ada.

Wakil Presiden, Jusuf Kalla, saat membuka seminar Pencegahan Korupsi Melalui

Reformasi Birokrasi, di Hotel Four Seasons, 1 November 2007, menyatakan

bahwa proyeksi kenaikan gaji pegawai negeri dalam beberapa tahun mendatang

sangat membebani keuangan negara. Wapres menyatakan bahwa jika gaji

pegawai negeri terus naik tanpa diikuti pertumbuhan ekonomi, maka pada tahun

2011 akan terjadi stagnasi pembangunan, karena jumlah pengeluaran anggaran

belanja rutin jauh lebih besar daripada anggaran pembangunan (Jawa Pos,

02/11/07, h.3., “Kenaikan Gaji PNS Bikin Negara Kolaps”).

Kritikus lain, yang menentang kebijakan remunerasi, mempertanyakan

efektivitas kebijakan tersebut dalam upaya pemberantasan korupsi. Soedarno

(2008) menyatakan bahwa jumlah gaji yang tinggi tidak menjamin seseorang

untuk tidak melakukan perbuatan korup. Dia menunjukkan kasus-kasus korupsi

yang terjadi di Bulog, Pertamina, Bank Mandiri, dan Bank Indonesia, bukan

disebabkan karena rendahnya gaji, dan dengan demikian menurutnya, tidak

terdapat korelasi antara gaji yang tinggi dengan perbuatan korupsi. Hal yang

sama tersirat juga dari tulisan Taufiq (2008), bahwa kebijakan remunerasi tidak

menjamin suatu institusi bebas dari korupsi.

Kumorotomo ( 2006), menunjukkan bukti-bukti kasus, dimana gaji yang

tinggi tidak selalu berpengaruh siginifikan terhadap perilaku koruptif. Menurut

Kumorotomo, ketika Disky Iskandar Dinata dinyatakan sebagai otak korupsi

sebesar US$419,6 juta di Bank Duta pada tahun 1990, yang bersangkutan sudah

menduduki jabatan sebagai Direktur Bank Duta, dan dari segi materi sudah

sangat kaya. Begitu pula ketika Perdana Menteri Tanaka dari Jepang terbukti

Page 14: KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana

14

melakukan skandal korupsi yang melibatkan perusahaan Lockheed, kekayaan

dan kekuasaannya sudah lebih dari cukup. Tetapi orang-orang ini tetap saja

melakukan korupsi. Kenaikan gaji, tampaknya memang telah membuat korupsi

birokratis dapat sedikit dikendalikan, tetapi untuk jenjang birokrasi tertentu

pemberian kenaikan gaji tidak selalu efektif untuk meredam nafsu birokrat untuk

melakukan korupsi. Secara teoretis, hubungan antara gaji pegawai negeri

dengan tingkat korupsi birokratis masih bersifat mendua (ambiguous).

Perspektif Budaya. Korupsi disebabkan oleh kebiasaan yang telah

mentradisi, yang kemudian menjelma menjadi sikap dan perilaku korup. Dalam

perspektif ini, terdapat kebiasaan seseorang atau kelompok tertentu, atau

bahkan masyarakat yang kemudian menjadi dasar dari budaya korup. Di zaman

kerajaan ada kebiasaan untuk memberi upeti kepada raja, sebagai bentuk

ungkapan kesetiaan atau loyalitas. Salah satu strategi politik yang digunakan

Raja Mataram untuk mencegah para bupati melepaskan diri dari kekuasaan raja

adalah dengan mengharuskan para bupati agar menghadap raja minimal tiga kali

dalam setahun, yaitu pada hari besar kerajaan (Garebeg Maulud, Garebeg

Syawal, dan Garebeg Besar). Pada saat menghadap raja inilah para bupati

mempersembahkan upeti kepada raja sebagai bukti kesetiaan daerahnya

(Dwiyanto, et al., 2006:12).

M.T.Zen (2007), menyatakan bahwa sifat permisif merupakan dasar

terbentuknya budaya korup. Sikap seseorang atau masyarakat yang membiarkan

orang lain melakukan hal-hal yang tidak baik, maka akan menjadikan hal-hal

yang semula “tidak baik” tadi berubah menjadi sesuatu yang dipandang “baik”.

Pada masa revolusi, semua yang berbau Belanda, atau bahkan yang berbau

Barat dianggap jelek sehingga harus dibuang jauh-jauh. Hal yang terjadi

selanjutnya adalah, apa saja yang ditinggalkan Belanda, seperti perilaku rapi,

bersih, tepat waktu, taat aturan, menghormati sesama, dan menghormati orang

tua atau atasan, dianggap tidak penting lagi. Sebab, semua itu adalah aturan

Belanda. Jika seorang bawahan ditegur atasannya karena datang terlambat, dia

akan marah dan mengatakan: “kolonial”. Dalam contoh ini, sikap dan perilaku

“baik”, malah dianggap “buruk”, hanya karena berasosiasi dengan sesuatu yang

tidak disukai sebelumnya.

Page 15: KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana

15

Menurut Kumorotomo (2006:110), permasalahan pokok dalam

mengendalikan korupsi di suatu negara adalah apabila korupsi telah menjadi

bagian dari sejarah masyarakat yang bersangkutan. Di dalam sistem sosial yang

masih terpengaruh feodalisme, upeti menjadi sumber utama korupsi yang sangat

sulit diubah. Para penguasa feodal, zaman kerajaan, mempunyai hak istimewa

untuk menarik pajak tertentu dari penduduk. Pada zaman modern sekarang ini,

para pejabat publik, dengan pola tindakan tertentu yang disesuaikan dengan

situasi dan kondisinya, berusaha memperoleh berbagai keuntungan dengan

memanfaatkan kedudukan dan posisinya. Mereka, pada intinya, berusaha

mempertahankan sistem upeti untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.

Perdana Menteri Thailand, Sarif Thanarat, setelah kematiannya diketahui bahwa

dia telah menggunakan uang kas negara sebesar US$29 juta serta menguasai

saham pada 15 perusahaan besar yang diurus oleh keluarganya dengan komisi

istimewa dari pemerintah. Soeharto, sebagai penguasa rezim Orde Baru,

sebagaimana dilansir oleh majalah Time tahun 1997, diduga menguasai aset

yang sangat besar dan dikelola dengan nepotisme yang sangat kuat. Perbuatan

korup seperti ini, terjadi karena para pemimpin tersebut merasa dirinya telah

berjasa besar terhadap negara dan karena itu sudah sewajarnya memperoleh

hak-hak istimewa. Sedangkan masyarakat bersikap permisif terhadap perilaku

rezim tersebut, yang sebenarnya merupakan bentuk perilaku korup.

Kebiasaan dalam tubuh birokrasi yang cenderung berorientasi ke atas,

oleh Kumorotomo (2006), juga dianggap sebagai penyebab terjadinya

penyelewengan dan tendensi ke arah korupsi. Seorang pemimpin instansi tidak

berani menindak bawahannya sebelum ada perintah atau izin dari pejabat yang

lebih tinggi. Pada saat izin diberikan, tindakan disiplin biasanya sudah terlambat

karena penyelewengan tersebut sudah menular atau berganti rupa. Orientasi

birokrasi ke atas, juga tampak dalam kebiasaan pejabat yang melapor kepada

atasan dengan bertandang ke rumahnya, meminta petunjuk, dan menganggap

bahwa apa pun yang direncanakan atasan adalah baik bagi bawahan. Kebiasan-

kebiasan seperti ini tanpa disadari telah melemahkan disiplin personal, dan

menganggap perilaku negatif tersebut sebagai sesuatu yang sudah biasa, dan

seharusnya seperti itu.

Kebiasaan melakukan penerimaan pegawai dengan menerima uang suap

atau imbalan jasa dalam bentuk lain, juga dipercaya akan menghasilkan pegawai

Page 16: KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana

16

yang korup. Memperoleh promosi jabatan ke tingkat yang lebih tinggi melalui

pemberian sogokan juga dapat membentuk budaya korup di lingkungan kerja.

Demikian pula penggunaan money politics dalam proses pemilihan langsung

kepala daerah (pilkada) dapat menjadi dasar melakukan korupsi setelah

menjabat kelak. Semua bentuk kegiatan tersebut dapat menyuburkan sikap dan

perilaku korup di masyarakat. Banyak orang tua mencari orang-orang yang dapat

membantu memasukkan anaknya menjadi pegawai di suatu instansi. Tidak

sedikit orang yang menjadi korban penipuan dengan cara ini. Pegawai yang

diterima atau pegawai yang dipromosikan dan pejabat yang dipilih melalui

korupsi akan berupaya untuk mengembalikan ”modal”-nya, yang

telah ”diinvestasikan” dalam bentuk uang suap, pada saat dia bekerja atau

menduduki jabatan tertentu. Hal seperti ini dipandang sebagai suatu tindakan

yang absah saja dilakukannya, tanpa menyadari bahwa hal itu merupakan

perbuatan korup.

Oleh karena itu, mereformasi birokrasi bagi penganut perspektif budaya,

adalah mereformasi perilaku birokrasi. Mengubah budaya kerja yang feodalistik

menjadi budaya kerja berorientasi kinerja. Mengubah budaya kerja dari “dilayani”

menjadi “pelayan” masyarakat, bukan “abdi-dalem” atau “abdi-raja”, tetapi “abdi-

masyarakat”. Menurut perspektif budaya, pola pikir feodal yang masih mewarnai

perilaku para birokrat di Indonesia mengakibatkan terjadinya konflik loyalitas,

harus diubah. Para birokrat harus dapat mengidentifikasikan kedudukannya

sendiri sehingga dapat membedakan antara loyalitas kepada keluarga, golongan,

partai, dengan loyalitas kepada negara dan bangsa. Prinsip the right man on the

right place sebagai ciri birokrasi modern, harus diterapkan dalam setiap proses

penerimaan dan promosi pegawai.

Budaya birokrasi yang cenderung paternalistik dengan karakteristik

hubungan atasan-bawahan yang sangat pribadi, harus diubah menjadi hubungan

yang impersonal, dengan mengubah orientasi loyalitas dari “kepada atasan”

menjadi “kepada organisasi”. Orientasi kerja yang semula karena “taat pada

atasan” diubah menjadi karena “taat pada tujuan organisasi”. Hal ini bukanlah

berarti hubungan manusiawi antara atasan dengan bawahan dan antara sesama

rekan sekerja dihilangkan sama sekali, sehingga suasana kerja kehilangan

makna kemanusiaannya, tetapi hubungan kerja harus dibangun dalam suatu

kebersamaan untuk mencapai tujuan organisasi dan dengan demikian juga

Page 17: KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana

17

sekaligus pencapaian tujuan pribadi. Perasaan hormat terhadap atasan dan juga

menghormati sesama rekan sekerja harus tetap ada dan dikembangkan dalam

konteks yang lebih profesional. Artinya, yang berlaku adalah aturan organisasi,

dan oleh karena itu sikap permisif atas segala bentuk perilaku menyimpang tidak

boleh dibiarkan.

Para pengkritik teori budaya selalu beranggapan bahwa mengubah

budaya itu bukanlah hal yang mudah. Bahkan ada yang menyatakan bahwa

untuk suatu perubahan perilaku yang sudah internalized dibutuhkan waktu satu

atau bahkan dua generasi. Kesulitannya terletak pada ketiadaan kemauan

semua pihak untuk memulai menerapkan nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan, dan

profesionalitas dalam melaksanakan pekerjaan. Menurut Kumorotomo (1999),

apabila gejala-gejala administratif --- uang semir, salam tempel, uang pelicin,

uang rokok, dan berbagai macam istilah lain untuk menunjukkan pungutan liar

atas pelayanan publik --- meluas di dalam masyarakat dan membudaya dalam

pola-pola kegiatan adminsitrasi publik, maka korupsi menjelma menjadi suatu

sistem yang sulit diubah. Sistem uang rokok (bakshish system) berubah menjadi

pola umum dan bisa menjalar ke satuan kegiatan administratif lain yang

sebelumnya tidak tersentuh korupsi. Jika demikian, maka upaya perubahan akan

membutuhkan waktu yang lama dan lebih sulit dilakukan.

Budaya paternalitistik dalam pelayanan publik yang menjadi dasar

tumbuh suburnya budaya korup, sulit diubah karena posisi tawar pengguna jasa

layanan dalam pola peternalisme sangat lemah. Sebagaimana dikatakan

Dwiyanto, et.al, (2006), dalam pola paternalisme, masyarakat pengguna jasa

tidak dapat berbuat banyak saat berhadapan dengan pelayanan yang tidak

memuaskan mereka. Keluhan yang disampaikan kepada aparatur birokrasi

seringkali tidak mendapat respon yang positif. Hal ini dikarenakan masyarakat

pengguna jasa tidak memahami mekanisme pengaduan. Hal yang tidak kalah

pentingnya adalah adanya perasaan takut dari pengguna jasa layanan untuk

mengadukan aparatur birokrasi yang meminta imbalan, atau melakukan

perbuatan tercela lainnya. Kondisi seperti ini, menurut pengkritik perspektif

budaya, kurang diperhatikan oleh penganut perspektif budaya.

Perspektif Etika atau Moral. Menurut perspektif ini, korupsi terjadi bukan

karena faktor ekonomi, tetapi karena mentalitas pelakunya. Korupsi birokratis

Page 18: KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana

18

bersumber dari unsur manusia atau nilai-nilai moral yang dianut masyarakatnya.

Walaupun sistem pemerintahan sudah relatif baik, tetapi jika individu pelaksana

dari sistem tersebut tidak dijiwai oleh nilai-nilai integritas, kejujuran, dan harkat

kemanusiaan, maka sistem yang baik tersebut tidak akan efektif mencegah

perilaku korup. Pelaku dan penyebar korupsi menurut perspektif ini adalah homo

venalis, yaitu orang-orang yang berjiwa korup dan lebih sering menggunakan

cara-cara korup dalam kehidupannya. Dalam konteks perspektif ini, Kumorotomo

(1999) mendefiniskan korupsi sebagai kejahatan yang tidak mengandung

kekerasan (non-violence) dengan melibatkan unsur-unsur tipu muslihat (guile),

ketidakjujuran (deceit) dan menyembunyikan suatu kenyataan (concealment).

Korupsi merupakan sisi buruk dari perilaku manusia. Setia orang memiliki

kesadaran moral, betapun rendahnya, dan setiap orang pasti tahu bahwa pola

perilaku yang mengarah pada korupsi adalah bertentangan dengan kesadaran

moral tersebut. Namun demikian, masih cukup banyak orang yang lebih suka

menggunakan cara-cara korup daripada cara-cara yang lebih bermoral. Menurut

Kumorotomo (1999), akar dari tindakan korup adalah pada sifat appetitus

divitiarum infinitus, suatu keserakahan yang tidak pernah terpuaskan untuk

memperoleh kekayaan, kedudukan, atau kekuasaan.

Karena faktor penyebab korupsi menurut perspektif ini adalah berpusat

pada masalah moral, maka pendekatan yang disarankan dalam reformasi

birokrasi adalah sosialisasi nilai-nilai moral kepada para pejabat di seluruh

jenjang administrasi publik, terutama yang menyangkut pengendalian diri. Nilai-

nilai pengendalian diri ini menyangkut kesadaran bahwa setiap manusia harus

terpanggil hatinya untuk melakukan apa yang baik bagi orang lain dan

masyarakatnya. Pembentukan sikap dasar yang demikian ini sangat penting

untuk mewujudkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam

hubungan sosial antara manusia pribadi dengan masyarakatnya. Dalam konteks

ini, pengendalian diri amat diperlukan, sehingga manusia terhindar dari sikap

egois, sikap mementingkan diri sendiri, sikap merendahkan orang lain, dan

sebagainya. Sasaran akhir dari sikap hidup yang mampu mengendalikan diri

adalah lahirnya individu yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) mampu

meletakkan kepentingan pribadinya dalam kerangka kesadaran kewajibannya

sebagai makhluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara; dan (2)

Page 19: KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana

19

kewajiban terjadap bangsa dan negara dirasakan lebih utama dibandingkan

dengan kepentingan pribadinya.

Korupsi biasanya dimulai dari hal-hal kecil dan suap tersembunyi. Jika

pejabat tidak mampu mengendalikan diri dan imannya lemah maka dia akan

cenderung menerima berbabagi macam bentuk suap, dan secara tidak sadar

terperangkap dalam perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai moral. Konsep

pengendalian diri bukanlah konsep yang absurd dan utopis, karena konsep ini

didasari oleh kenyataan bahwa setiap manusia memiliki keinginan untuk hidup

berkelompok. Untuk memenuhi kebutuhannya manusia harus melakukan

interaksi dengan manusia lain, harus mau dan bisa bekerja sama dengan

manusia lain. Agar interaksi dan kerjasama tersebut dapat berjalan dengan baik

maka pengendalian diri sangat dibutuhkan.

Penganut perspektif ini juga menyarankan agar pembinaan agama di

lingkungan kerja terus diintensifkan dengan memperbanyak kegiatan ritual sesuai

dengan ajaran agama masing-masing. Para pemimpin didorong agar

memberikan teladan perilaku moral yang baik. Tempat-tempat ibadah di

lingkungan kerja harus tersedia, dengan fasilitas yang lengkap. Di samping itu

harus tersedia insentif bagi pegawai yang bekerja dengan rajin dan jujur. Karena,

sebagaimana dinyatakan oleh Marzoeki (2008), tinggi rendahnya moral

seseorang tidak terlepas dari etika kejujuran. Karena itu tes kepribadian untuk

mengetahui kecenderungan perilaku seorang calon pegawai, apakah dia adalah

seorang calon yang dapat dipercaya atau tidak, penting untuk dilakukan.

Bagi sebagian orang, pendekatan moral dalam upaya reformasi birokrasi

dinilai sulit untuk berhasil, bahkan dalam kasus Indonesia dikatakan gagal

menjadi pendekatan utama. Mereka menunjuk kasus-kasus korupsi yang terjadi

di lingkungan Departemen Agama, yang seharusnya menjadi contoh bagi

birokrasi pada lembaga negara yang lainnya. Penyelewengan dana umat yang

dikumpulkan dari kegiatan ibadah haji, adalah salah satu contoh kegagalan dari

sebuah lembaga yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Karena itu

para pengkritik menganjurkan agar masalah moral dan etika dijadikan kurikulum

tingkat dasar yang diwajibkan bagi siswa sekolah dasar dan menengah, selain

pendidikan agama. Dengan demikian masalah korupsi sudah dipahami sejak dini,

tidak menununggu seseorang menjadi pegawai atau pejabat.

Page 20: KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana

20

Makmur (2007), menulis sembilan pesan moral yang dapat dijadikan kiat

untuk menghindari korupsi, sebagai berikut: (1) jauhi perkara yang syubhat

(meragukan), jangan berusaha mencari-cari pembenaran untuk memiliki sesuatu

yang jelas-jelas bukan hak Anda; (2) catat semua transaksi dan perjanjian Anda,

jelaskan akad perjanjian Anda secara tertulis, hitam di atas putih; (3) jangan

biarkan diri Anda berjalan tanpa kontrol; (4) hindari lingkungan yang korup, jika

Anda tidak yakin dapat mengubahnya; (5) jauhi sikap ”aji mumpung”, sabar dan

yakin menerima rizki dari Allah; (6) selektif dan hati-hati dalam memenuhi

tuntutan sosial, hindari gengsi dan pamer; (7) jangan berlebihan memenuhi

keinginan keluarga (anak dan isteri); (8) jangan remehkan korupsi kecil, karena

itu akan menjadi pintu masuk bagi Anda untuk melakukan korupsi yang lebih

besar; dan (9) jangan pernah berniat untuk korupsi.

Perspektif Hukum. Menurut perspektif ini, korupsi adalah tindakan

melanggar norma-norma hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang

berakibat pada rusaknya tatanan yang sudah disepakati, baik tatanan hukum,

politik, administrasi, manajemen, sosial dan budaya serta berakibat pula

terhadap terampasnya hak-hak rakyat yang semestinya didapat (Fahrojih, et.al.,

2005). Dalam Pasal 2 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, disebutkan bahwa tindak pidana korupsi adalah ”Setiap orang

yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara, ...”. Dalam penjelasan pasal ini, disebutkan bahwa yang

dimaksud dengan ”secara melawan hukum” adalah segala perbuatan melawan

hukum, baik dalam arti formil maupun materiil, yakni meskipun perbuatan

tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila

perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan

atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut

dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata ”dapat merugikan ...”, menunjukkan

bahwa tindak pidaha korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana

korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah

dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

Bagi penganut perspektif hukum, keseriusan dari keinginan suatu negara

untuk memberantas korupsi dapat dinilai dari undang-undang yang

Page 21: KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana

21

ditetapkannya dan tindakan pemerintahnya dalam menerapkan undang-undang

tersebut (McWalters, 200). Dalam konteks ini, upaya pemberantasan korupsi

terdiri dari empat elemen, yaitu: (1) infrastruktur hukum antikorupsi domestik

yang efektif; (2) kerjasama internasional untuk saling membantu dalam bidang

hukum; (3) dukungan aktif dari rakyat; dan (4) kemauan politik untuk menjadikan

strategi antikorupsi dapat berjalan dengan baik.

Dilihat dari elemen infrastruktur hukum, Indonesia memiliki perangkat

hukum yang cukup memadai, yang dapat dilihat antara lain dari beberapa produk

hukum: (1) UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih

dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; (2) UU No.31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi j.o. UU No.20 Tahun 2001

tentang Perubahan Atas UU No.31 Tahun 1999; (3) Peraturan Pemerintah No.71

Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peranserta Masyarakat dan

Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi; (4) UU No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; (5)

UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; (6)

UU No.7 Tahun 200 tentang Pengesahan United Nations Convention Against

Corruption 2003; dan (7) Instruksi Presiden RI No.5 Tahun 2004 tentang

Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Dalam pespektif hukum, yang sering menjadi persoalan adalah pertama,

masih terdapatnya polemik yang berkaitan dengan kedudukan peradilan korupsi

yang diatur dalam UU No.30 Tahun 2002, yang diputuskan oleh Mahkamah

Konstitusi bahwa pengadilan korupsi yang diatur dalam undang-undang tersebut

menyalahi konstitusi (Santoso, 2007). Kedua, dalam membuat jurisprudensi, para

jaksa dan hakim seringkali dianggap kurang tegas. Misalnya berkenaan dengan

salah tafsir mengenai perbedaan antara hadiah (costomary gift) dan suap (bribe),

yang tidak hanya dialami oleh para pejabat yang berhubungan dengan

administrasi pemerintahan, tetapi juga oleh para penegak hukum (Kumorotomo,

2006). Jika salah tafsir tersebut dilakukan secara sengaja oleh para jaksa dan

atau hakim maka akan banyak terjadi koruptor yang divonis bebas atau divonis

dengan hukuman ringan. Ketiga, kurangnya teladan dari institusi penegak hukum

dalam hal kepeloporan pemberantasan korupsi. Misalnya, ketertupan institusi

Mahkamah Agung (MA) terhadap audit biaya perkara oleh Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK) (Diansyah, 2008). Di samping itu, aparatur penegak hukum itu

Page 22: KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana

22

sendiri juga menjadi bagian dari korupsi, misalnya kasus suap terhadap para

jaksa yang terjadi akhir-akhir ini. Keempat, belum adanya pembuktian terbalik,

yaitu beban pembuktian korupsi diserahkan kepada tersangka atau terdakwa,

untuk membuktikan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya bukan hasil tindak

pidana korupsi. Kelima, belum adanya undang-undang perlindungan saksi dan

pelapor. Keenam, belum ada batsan waktu untuk penyelidikan, dan penyidikan

sehingga penuntutan dan persidangan kasus korupsi sering berlarut-larut.

Sasaran utama reformasi birokrasi dalam perspektif hukum adalah

penegakan hukum, yaitu pemberian sanksi yang seberat-beratnya kepada

koruptor sehingga menimbulkan efek jera. Hal ini dapat terjadi jika aparatur

penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi (kepolisian, jaksa,

hakim tipikor, MA, KPK, dan aparatur dari instansi terkait lainnya) bersih dari

kasus-kasus korupsi dan memeiliki kompetensi memadai dalam menangani

perkara korupsi. Di lingkungan birokrasi, penegakan hukum dapat dilakukan

melalui pengetatan pengawasan oleh atasan langsung. Kewenangan atasan

langsung untuk memberikan hukuman kepada staf atau pegawai di bawahnya

harus diperbesar, sehingga mereka dapat memberikan sanksi indisipliner secara

langsung, misalnya dalam bentuk mutasi, pencabutan sertifikasi profesi,

pencabutan tunjangan, penurunan pangkat, dan sebagainya.

Walaupun penegakan hukum telah berjalan relatif baik, namun bagi

pengkritik perspektif hukum masih menilai bahwa hukum senantiasa terlambat

jika dibandingkan dengan metode dan strategi (modus operandi) yang digunakan

para koruptor dalam briokrasi pemerintahan. Para koruptor selalu dapat

menemukan celah hukum yang dapat dimanfaatkan untuk menghindar dari

tuntutan korupsi. Transaksi suap berlangsung secara sistematik dan dilakukan di

luar lingkungan kerja, pemalsuan laporan harta kekayaan, membuka rekening

atas nama anggota keluarga, dan sebagainya. Para pengkritik juga menyatakan

bahwa tidak mungkin koruptor menangkap koruptor, sebuh sinyalemen untuk

menunjukkan bahwa aparatur penegak hukum menjadi bagian dari korupsi itu

sendiri.

PENUTUP

Pemebtantasan korupsi harus dilakukan secara sistemik dan

komprehensif. Sistemik, artinya tidak dilakukan secara parsial, sepotong-

Page 23: KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana

23

sepotong, tetapi harus menyertakan seluruh bagian dari sistem yang ada.

Komprehensif, artinya melibatkan semua stakeholders dalam upaya

pemberantasannya dan menyangkut semua bentuk tindakan koruptif yang

dilakukan oleh semua pejabat dalam berbagai tingkatan, baik mereka yang ada

di eksekutif, legislatif, maupun yudukatif.

Pendekatan multi-disiplin harus digunakan dalam upaya pemberantasan

korupsi. Kebijakan remunerasi harus diterapkan secara menyeluruh, tidak boleh

terbatas pada instansi tertentu saja, yang dapat menimbulkan kecemburuan dari

aparatur instansi pemerintah yang lain. Sistem reward and punishment bagi para

aparatur birokrasi harus diterapkan secara konsisten. Kegiatan-kegiatan spesifik

yang dilakukan oleh aparatur harus memperoleh imbalan yang cukup, dan

mereka yang melakukan perbuatan korup harus diberi sanksi yang tegas.

Menayangkan para koruptor secara reality show, mengumumkan nama

mereka secara besar-besaran melalui media massa, dan juga pengumuman

dalam kegiatan upacara setiap hari Senen, serta berbagai bentuk kegiatan yang

sifatnya ”mempermalukan” para koruptor, harus diupayakan sebagai suatu

bentuk penegakan moral dan disiplin di lingkungan birokrasi pemerintahan.

Sedangkan dalam bidang hukum, selain memperberat hukum formal dan

memperbesar kewenangan atasan langsung, reformasi birokrasi harus juga

dilakukan untuk memperketat sistem rekrutmen pegawai dengan

mengoptimalkan penerimaan pegawai berdasarkan kecakapan dan referensi

kejujuran. Hal ini dapat dilakukan melalui tes-tes integritas, memanfaatkan

jaminan atas kejujuran dari lembaga-lembaga lain di luar pemerintahan (ICW,

Masyarakat Transparansi Indonesia, dsb.).

Selain upaya-upaya tersebut, reformasi birokrasi harus pula ditujukan

untuk mengurangi segala bentuk monopoli kekuasaan, seleksi ketat terhadap

pegawai yang terlibat dalam proses pengadaan barang dan jasa, dan

menciptakan sistem pertanggung jawaban yang transparan. Pembatasan

kewenangan dalam rangka mencegah monopoli kekuasaan, dapat dilakukan

antara lain melalui: (1) perumusan mekanisme dan prosedur pelaksanaan

pekerjaan yang lebih jelas dan tegas; (2) para pelaksana harus bekerja dalam

kelompok dan diawasi menurut hierarki; (3) membatasi pengaruh pelaksana

dalam keputusan penting, dengan maksud untuk membatasi wewenang dan

meningkatkan akuntabilitas; (4) menggunakan instrumen teknologi informasi

Page 24: KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana

24

yang dapat menangkal terjadinya korupsi; (5) pemanfaatan informasi dari

masyarakat dan pers sebagai instrumen pengawasan ekstra; dan (6) menyusun

kode etik yang lebih spesifik dan mudah dipahami untuk kasus-kasus praktis.

DAFTAR PUSTAKA

Alatas, Syed Hussein, 1982. Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer. Jakarta: LP3ES.

Diansyah, Febri, 2008. “Korupsi di Balik Ketertutupan MA”. Dalam Jawa Pos, 10

Juni 2008, h.4. Dwiyanto, Agus, et al., 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press. Elliott, Kimberly Ann (ed.), 1999. Korupsi dan Ekonomi Dunia. Terjemahan A

Rahman Zainuddin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Fahrojih, Ikhwan, et al., 2005. Mengerti dan Melawan Korupsi. Jakarta: YAPPIKA

dan Malang Corruption Watch (MCW). Kumorotomo, Wahyudi, 1999. Etika Administrasi Negara. Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada. ---------------, 2006. ”Pelayanan yang Akuntabel dan Bebas dari Praktik KKN”.

Dalam Agus Dwiyanto, et al. (ed.), Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Makmur, Taufiq ST., 2007. Obat Anti Korupsi. Depok, Banten: Koekoesan. Malec, Kathryn L., 1993. ”Public Attitudes toward Corruption: Twenty-five Years

of Research”. Dalam H.George Frederickson, (ed.), Ethics and Public Administration. New York: M.E.Sharpe.

Marzoeki, Djohansjah, 2008. “Koruptor kok Minta Dibilang Bermoral”. Dalam

Jawa Pos, 18 Maret 2008, h.4. McWalters, Ian, 2006. Memerangi Korupsi: Sebuah Peta Jalan untuk Indonesia.

Surabaya: JPBooks. Nurbaya, Siti, 2008. “Perlunya Format Reformasi Birokrasi”. Dalam Jawa Pos, 5

Juni 2008, h.4. Rose-Ackerman, 1999. ”Ekonomi Politik Korupsi”. Dalam Kimberly Ann Elliott

(ed.), Korupsi dan Ekonomi Dunia. Terjemahan A Rahman Zainuddin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Page 25: KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana

25

Santoso, Topo, 2007. ”Polemik Peradilan Korupsi”. Dalam Jawa Pos, 13 Februari 2007, h.4.

Soedarno, Ernanto, 2008. ”Kenaikan Gaji Jaksa dan Korupsi”. Dalam Jawa Pos,

9 April 2008, h.4. Taufiq, Muhammad, 2008. ”Remunerasi Hakim Agung: Tidak Menjamin Bebas

Korupsi”. Dalam Jawa Pos, 10 April 2008, h.4. Wahidin, Samsul, 2008. “Modul Korupsi Wakil Rakyat”. Dalam Jawa Pos, 19 April

2008, h.4. Yuntho, Emerson, 2007. “Jangan Pernah Kalah Lawan Koruptor”. Dalam Jawa

Pos, 7 November 2007, h.4. Zen, M.T., 2007. “Sifat Permisif Dasar Budaya Korup”. Dalam Jawa Pos, 5 Maret

2007, h.4.