1 KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI Oleh: Abdul Hakim * ABSTRACT There should be a common understanding that corruption is a disgraceful deed which harms community, no matter what form of corruption and level of implementer is. Any forms of bureaucratic actions which tend to lead and/or strengthen the attitude and behavior of corruption may not happen. Bureaucratic corruption must be abolished using multi-discipline and comprehensive approaches comprising the approaches of economy, culture, ethic or moral, and law. All state components must be involved in the efforts to abolish corruption in accordance with their own capacities. The accountability of corruption abolishing must be shared responsibility, it should be neither the responsibility of an individual nor a certain institute or agency. PENDAHULUAN Secara historis, Indonesia merupakan negara pertama di Asia yang mengeluarkan suatu peraturan khusus tentang pemberantasan korupsi. Hal ini dapat dibaca dari Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 No.Prt/Peperpu/C13/1958, dan kemudian diikuti oleh Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.1/1/7 tanggal 17 April 1958. Peraturan tersebut dikeluarkan karena Kepala Staf Angkatan Darat saat itu sudah melihat adanya gejala korupsi di lingkungan pemerintahan. Dalam peraturan tersebut terdapat sistem pendaftaran harta benda pejabat oleh Badan Penilik Harta Benda dan peraturan tentang pengajuan gugutan perdata berdasarkan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) bagi orang yang mempunyai harta benda yang tidak seimbang dengan pendapatannya, tetapi tidak dapat dibuktikan secara pidana. Menurut Hamzah (2005), substansi peraturan tersebut memiliki keistimewaan karena gugutan perdata terhadap orang yang diduga memiliki kekayaan jauh di atas pendapatannya itu dapat diajukan langsung ke pengadilan tinggi, tanpa harus melewati pengadilan negeri terlebih dahulu. Peraturan Penguasa Perang Pusat tersebut secara substansial lebih lengkap dalam hal pemberantasan korupsi melalui jalur tuntutan pidana maupun gugatan perdata, * Dosen Fakultas Ilmu Administrasi dan Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang.
25
Embed
KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI
Oleh: Abdul Hakim
*
ABSTRACT
There should be a common understanding that corruption is a disgraceful deed which harms community, no matter what form of corruption and level of implementer is. Any forms of bureaucratic actions which tend to lead and/or strengthen the attitude and behavior of corruption may not happen. Bureaucratic corruption must be abolished using multi-discipline and comprehensive approaches comprising the approaches of economy, culture, ethic or moral, and law. All state components must be involved in the efforts to abolish corruption in accordance with their own capacities. The accountability of corruption abolishing must be shared responsibility, it should be neither the responsibility of an individual nor a certain institute or agency.
PENDAHULUAN
Secara historis, Indonesia merupakan negara pertama di Asia yang
mengeluarkan suatu peraturan khusus tentang pemberantasan korupsi. Hal ini
dapat dibaca dari Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan
Darat tanggal 16 April 1958 No.Prt/Peperpu/C13/1958, dan kemudian diikuti oleh
Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.1/1/7
tanggal 17 April 1958. Peraturan tersebut dikeluarkan karena Kepala Staf
Angkatan Darat saat itu sudah melihat adanya gejala korupsi di lingkungan
pemerintahan. Dalam peraturan tersebut terdapat sistem pendaftaran harta
benda pejabat oleh Badan Penilik Harta Benda dan peraturan tentang pengajuan
gugutan perdata berdasarkan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad)
bagi orang yang mempunyai harta benda yang tidak seimbang dengan
pendapatannya, tetapi tidak dapat dibuktikan secara pidana.
Menurut Hamzah (2005), substansi peraturan tersebut memiliki
keistimewaan karena gugutan perdata terhadap orang yang diduga memiliki
kekayaan jauh di atas pendapatannya itu dapat diajukan langsung ke pengadilan
tinggi, tanpa harus melewati pengadilan negeri terlebih dahulu. Peraturan
Penguasa Perang Pusat tersebut secara substansial lebih lengkap dalam hal
pemberantasan korupsi melalui jalur tuntutan pidana maupun gugatan perdata,
* Dosen Fakultas Ilmu Administrasi dan Program Pascasarjana Universitas Brawijaya
Malang.
2
dan juga disertai dengan sistem preventif, yaitu pendaftaran harta benda pejabat.
Hal ini tidak dijumpai dalam undang-undang yang keluar berikutnya, yaitu: UU
No.24 (Prp) Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan
Tindak Pidana Korupsi; UU No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi;
dan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Saat
ini pendaftaran harta kekayaan hanya berlaku bagi seseorang yang akan
menduduki jabatan tertentu pada level tertentu pula. Padahal pendaftaran harta
kekayaan itu dipandang sebagai salah satu jalur preventif yang efektif dalam
upaya pemberantasan korupsi, yang seharusnya diberlakukan untuk semua
pejabat pada tingkatan terendah sekalipun, apalagi jika dalam jabatan tersebut
terbuka kemungkinan untuk melakukan korupsi.
Sejarah telah membuktikan bahwa hilangnya jalur preventif dan gugutan
perdata dalam UU No.24 (Prp) Tahun 1960 dan UU No.3 Tahun 1971, telah
menyebabkan implementasi undang-undang tersebut dalam pemberantasan
korupsi tidak efektif, baik pada pasa Orde Lama (1960-1966) maupun Orde Baru
(1966-1998). Karena itu, menyadari hal ini, dalam UU No. 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme, dalam Pasal 5 (angka 3), disebutkan sebagai berikut: “Setiap
penyelenggara negara berkewajiban untuk melaporkan dan mengumumkan
kekayaan sebelum dan setelah menjabat”. Namun demikian, undang-undang
saja tentu tidak cukup, karena implementasi isi undang-undang amatlah
tergantung pada kemauan politik (political will) yang kuat dari para
implementatornya, khususnya mereka yang sedang memegang kekuasaan
dalam pemerintahan. Sebagaimana yang dikatakan oleh mantan Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Taufiequrachman Ruki sebagai berikut: “Tak
perlu revolusi untuk memberantas korupsi … dalam konteks kepemimpinan,
pemberantasan korupsi di Indonessia bergantung kepada dua orang, yaitu
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Mahkamah Agung (MA)
Bagir Manan (Jawa Pos, 22/04/07, h.16, “Kunci di Tangan Presiden dan MA”).
Jika Jenderal Nasution sudah “mencium aroma” korupsi sejak tahun 1958,
dan kita asumsikan bahwa hal itu terjadi terus selama pemerintahan Orde Baru
(1966-1998), yang dipimpin Jenderal Soeharto, maka negara kita (Indonesia)
telah terbenam dalam pemerintahan korup kurang lebih 50 tahun, atau satu
generasi. Jika kita gunakan kategorisasi tahap korupsi dari Alatas (1982), maka
3
Indonesia dapat digolongkan pada tahap kedua, atau bahkan tahap ketiga.
Alatas, membedakan korupsi dalam tiga tahap, yaitu: (1) tahap dimana korupsi
relatif terbatas, tanpa mempengaruhi wilayah kehidupan sosial yang luas; (2)
tahap dimana korupsi telah merajalela dan menembus segala segi kehidupan,
sehingga hampir tidak ada yang dapat dilakukan seseorang tanpa memberi suap;
dan (3) korupsi yang terjadi telah sedemikian rupa sehingga menghancurkan
kehidupan masyarakat, termasuk koruptornya. Pada tahapan ketiga ini, korupsi
yang terjadi menjadi faktor pendorong bagi terjadinya korupsi yang lebih besar,
sehingga sampai pada tahap yang membinasakan kehidupan bermasyarakat.
Saat ini, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan
Jusuf Kalla (JK) dipandang memiliki komitmen dan kemauan politik yang sangat
tinggi dalam upaya pemberantasan korupsi. Karena itu banyak kalangan menilai
bahwa upaya pemberantasan korupsi di era pemerintahan SBY-JK menuai hasil
yang sangat signifikan dibandingkan dengan era pemerintahan sebelumnya.
Menurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil
bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana saat ini.
Konkrit dalam arti benar-benar diadili dan dipenjarakan tanpa pandang bulu.
Intensif dalam arti hampir setiap hari ada saja tersangka baru” (Jawa Pos,
10/03/08, h.1, ”Paradoks Semangat Pemberantasan Korupsi”). Walaupun
demikian, kita akui bahwa keberhasilan ini juga karena ditopang oleh adanya
dorongan publik dan lembaga swadaya masyarakat antikorupsi yang sangat kuat,
serta peran lembaga Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sangat signifikan.
Secara statistik, keberhasilan upaya pemberantasan korupsi dapat dilihat
dari posisi Indonesia sebagai negara korup terus membaik, dalam arti tidak lagi
menjadi negara paling korup. Menurut hasil survei lembaga pemeringkat yang
berbasis di Hongkong, Political and Economic Risk Consultancy (PERC), dalam
persepsi pengusaha ekspatriat di Asia, Indonesia tidak lagi dianggap sebagai
negara terkorup di Asia. Survei tersebut dilakukan terhadap 1.500 pengusaha
ekspatriat, dan menempatkan Indonesia di urutan kedua bersama Thailand.
Sedangkan predikat negara terkorup di Asia, menurut responden survei, adalah
Filipina. Bagi Indonesia, posisi ini lebih baik dari hasil survei sebelumnya (2006)
yang berada di urutan pertama atau sebagai negara paling korup di Asia (Jawa
Pos, 14/03/07, h.1., ”Indonesia Tak Lagi Terkorup di Asia”). Menurut PERC,
Indonesia mencatat kemajuan yang berarti dalam penindakan terhadap pelaku
4
korupsi. Ada niat kuat dari pemerintah Indonesia untuk memberantas korupsi,
meskipun hasilnya masih belum maksimal. Apa yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia, dalam pandangan PERC, dinilai lebih baik oleh responden survei,
dibandingkan dengan yang dilakukan oleh pemerintah Filipina dan Thailand.
Dalam publikasi yang dirilis PERC tahun 2008, peringkat Indonesia lebih
baik dari tahun 2007. Nilai Indonesia menyamai Tiongkok dan berada di posisi 10,
walaupun masih berada di bawah Vietnam, dan masih jauh di bawah Malaysia
dan Singapura. Penilaian ini didasarkan atas hasil survei terhadap 1.400
pengusaha asing di 13 negara Asia yang dipilih. Responden diminta memberikan
pandangan atas korupsi yang terjadi di negara tempat mereka menamkan modal.
Bandingannya adalah negara asal masing-masing responden tersebut. Adapun
ranking pemberantasan korupsi pada 13 negara Asia yang dipilih adalah
sebagaimana disajikan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1. Ranking Pemberantasan Korupsi Hasil Survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC)
No. Negara Nilai 2008 2007
1. Singapura 1,13 1,20 2. Hongkong 1,80 1,87 3. Jepang 2,25 2,10 4. Makau 3,30 5,18 5. Korea Selatan 5,65 6,30 6. Malaysia 6,37 6,25 7. Taiwan 6,55 6,23 8. India 7,25 6,67 9. Vietnam 7,75 7,54 10. Tiongkok 7,98 6,29 11. Indonesia 7,98 8,03 12. Thailand 8,00 8,03 13. Filipina 9,00 9,40
Keterangan: Nilai 1-10, mulai dari paling bersih sampai paling korup. Sumber: PERC, dikutip dari Jawa Pos, 11/03/08, h.16. “Berantas Korupsi, RI
Selevel Tiongkok”. Dalam rilisnya, PERC menyebutkan bahwa Indonesia mencapai banyak
kemajuan dalam upaya pemberantasan korupsi di bawah pemerintahan SBY-JK.
Namun demikian, menurut konsultan PERC, korupsi tetap menjadi masalah
serius di Indonesia. Hal ini juga diakui oleh Koordinator Bidang Hukum dan
Monitoring Peradilan, Indonesia Corruption Watch (ICW), yang menyatakan
5
bahwa sebagian koruptor memang sudah diadili tetapi pungutan liar (pungli)
masih tetap terjadi dan hal itu telah membuat investor merasa tidak nyaman.
Dalam bahasa yang lain, Kwik Kian Gie, menyatakan bahwa jika pungutan liar
(pungli) dianggap sebagai korupsi, maka korupsi masih belum berkurang, karena
pelayanan apa pun oleh birokrasi selalu disertai permintaan pembayaran ekstra
di luar biaya resmi.
Mengapa korupsi masih tetap terjadi, walaupun kegiatan pemberantasan
korupsi sangat giat dilakukan? Ini bukanlah pertanyaan sederhana, dan karena
itu penulis tidak punya pretensi untuk memberikan jawaban tuntas. Tulisan ini
mencoba mendekati dari faktro-faktor penyebabnya, dan kemudian
mengaitkannya dengan reformasi birokrasi sebagai upaya alternatif untuk
meminimalisir praktek korupsi. Tulisan ini membatasi diri pada praktek korupsi
birokrasi atau korupsi birokratis (bureaucratic corruption), yang dalam definisi
Alatas (1982), dinyatakan sebagai berikut: jika seorang pegawai negeri
menerima pemberian, apa pun bentuknya, yang diberikan oleh seorang swasta
dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa
(privileges) pada kepentingan si pemberi, maka tindakan itu disebut korupsi.
Singkatnya, korupsi biroratis adalah korupsi yang dilakukan oleh aparatur
pelaksana pelayanan publik. Menurut UU No.20/2001, beberapa bentuk tindakan
pegawai negeri yang tergolong korupsi, antara lain adalah: (1) menerima suap
(Ps.5, ayat 2); (2) menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya
(Ps.11); (3) menggelapkan uang atau membiarkan terjadinya penggelapan (Ps.8);
(5) memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi (Ps.9); (6) merusak
barang bukti (Ps.10 huruf a); (7) membiarkan orang lain merusak barang bukti
(Ps.10 huruf b); (8) membantu orang lain merusak barang bukti (Ps.10 huruf c);
(9) melakukan pemerasan (Ps.12 huruf e); (10) menyerobot tanah negara
sehingga merugikan orang lain (Ps.12 huruf h); (11) turut serta dalam pengadaan
barang dan jasa yang diurusnya (Ps.12 huruf i); dan (12) menerima gratifikasi
dan tidak melaporkan kepada KPK (Ps.12 B).
DINAMIKA KORUPSI
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa Indonesia telah
terbenam selama lima puluh tahun dalam korupsi, dan hampir tidak terdengar
upaya pemberantasan yang memadai untuk memberantasnya. Kecenderungan
6
yang terjadi adalah membiarkan hal tersebut sehingga menjadi sebuah gunung
es yang hanya terlihat puncaknya, dan upaya pemberantasan hanya mengikis
puncak dari gunung es tersebut. Hasilnya adalah tampilnya pemimpin Orde Baru,
Jenderal HM Soeharto sebagai salah satu dari sepuluh besar pemimpin dunia
paling korup, dengan dugaan dana yang digelapkan antara 15-35 milliar dollar
AS. Dalam konferensi Kelompok Negara bagi Konvensi PBB Antikorupsi
(UNCAC, United Nations Convention Against Corruption) yang diselenggarakan
di Bali, dirilis nama sepuluh besar pemimpin dunia yang paling korup, dan HM
Soeharto menempati posisi nomor wahid sebagai pemimpin dunia terkorup.
Tabel 2. Sepuluh Besar Pemimpin Terkorup di Dunia No. Presiden Negara Tahun
Berkuasa
Dugaan dana yang digelapkan (dollar AS)
1. HM Soeharto Indonesia 1967-1998 15-35 milliar 2. Ferdinand E.Marcos Filipina 1972-1986 5-10 milliar 3. Mobutu Sese Seko RD Kongo 1965-1997 5 milliar 4. Sani Abacha Nigeria 1993-1998 2-5 milliar 5. Slobodan Milosevic Serbia 1993-1998 1 milliar 6. Jean-Claude Duvalier Haiti 1971-1986 300-800 juta 7. Alberto Fujimori Peru 1990-2000 600 juta 8. Pavlo Lazarenko Ukraina 1996-1997 144-200 juta 9. Arnoldo Aleman Nikaragua 1997-2002 100 juta 10. Joseph Estrada Filipina 1998-2001 78-80 juta
Sumber: Kompas, 30/01/08, h.8., ”Bank Dunia Sediakan Tenaga: Negara Berkembang Dibantu Mengembalikan Dana-dana Hasil Korupsi”.
Walaupun konferensi UNCAC melahirkan inisiatif yang disebut
Mengembalikan Aset yang Dicuri (StAR Initiative: The Stolen Asset Recovery
Initiative), namun HM Soeharto tidak pernah benar-benar tampil di persidangan
apalagi dipenjara, sampai akhirnya meninggal. Sampai saat ini, belum ada
tindakan konkret apa pun sehubungan dengan implementasi inisiatif tersebut,
dan entah dimana uang negara tersebut berada. Nigeria memerlukan waktu
selama 4-5 tahun untuk menarik aset yang dilarikan ke luar negeri. Filipina
bahkan memerlukan waktu 18 tahun untuk mengembalikan aset mantan
Presiden Ferdinand Marcos yang ada di luar negeri. Kendala pengembalian aset
yang dilarikan ke luar negeri karena korupsi banyak terkendala oleh biaya yang
sangat mahal. Indonesia mengeluarkan dana milliaran rupiah hanya untuk
menarik dana jutaan dollar AS yang dilarikan ke bank di Guernsey, Inggris.
7
Temuan ICW (Indonesia Corruption Watch) yang dirilis pada bulan
Januari 2007 (Jawa Pos, 25/01/07, h.2., ”Tren Korupsi 2004-2006”)
memperlihatkan kecenderungan kerugian negara yang terus meningkat
jumlahnya selama periode 2004-2006. Jika tahun 2004, kerugian negara
diperkirakan mencapai 4,3 triliun rupiah (dari 153 kasus yang terungkap), maka
pada tahun 2006 jumlahnya mencapai 14,4 triliun rupiah (dari 161 kasus yang
terungkap), atau terjadi peningkatan sebanyak 10,1 triliun atau hampir 235
persen selama dua tahun berjalan. Jika dilihat dari sektor, menunjukkan bahwa
sektor pemerintahan menduduki peringkat pertama, disusul sektor perhubungan,
transportasi, dan perumahan atau pertanahan. Korupsi birokrasi terutama terjadi
pada pengelolaan anggaran pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Fakta ini menunjukkan bahwa birokrasi pemerintahan di Indonesia sangat rawan
akan praktek korupsi, terutama pada pemerintah pusat. Temuan ICW
menunjukkan bahwa pemerintah pusat berada pada ranking teratas, kemudian
disusul oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Barat, Provinsi
Jawa Timur, dan Provinsi Aceh.
Dalam periode tahun 2005-2006, angka yang mengejutkan diungkapkan
oleh Ketua BPK Anwar Nasution, yang menyatakan bahwa dalam periode tahun
tersebut negara mengalami kerugian akibat korupsi sebanyak lebih dari 30 triliun,
dengan rincian tahun 2005 sebanyak 13,8 triliun rupiah (dari 3.054 kasus yang
terungkap), dan tahun 2006 sebanyak 19 triliun rupiah (dari 1.721 kasus yang
terungkap). Dari keseluruhan kerugian tersebut hanya sekitar 3 triliun rupiah saja
yang berhasil dikembalikan (Jawa Pos Radar Malang, 15/03/07, h.37., ”Rp30
Triliun Uang Negara Raib”). Fakta ini menunjukkan kenaikan yang sangat
fantastik dibandingkan dengan temuan ICW dua tahun sebelumnya.
Tahun 2007, kepala daerah merupakan aktor paling banyak sebagai
pelaku korupsi. Dari sebanyak 143 kasus korupsi yang dicatat oleh Pusat Kajian
Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), sebanyak 69 kepala daerah
terkait dengan kasus korupsi, baik dalam status saksi, tersangka, terdakwa, atau
terpidana (Jawa Pos, 29/12/2007, h.3., ”Kepala Daerah Aktor Korupsi
Terbanyak”). Mayoritas korupsi kepada daerah menggunakan dua modus, yaitu
penggelembungan (mark-up) dan penyalahgunaan dana APBD dalam
pengadaan barang dan jasa serta pengerjaan proyek APBD.
8
Temuan Pukat UGM, tidak berbeda jauh dengan temuan ICW. Sepanjang
tahun 1998-2007, menurut ICW, kasus korupsi lebih banyak terjadi di daerah. Di
antara 82 kasus yang telah ditangani penegak hukum dan tersangkanya telah
ditetapkan, sebanyak 68,3 persen dilakukan oleh instansi di daerah, yaitu pada
pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, pemerintah kota, DPRD, dan BUMD.
Total kerugian negara sebagai akibat korupsi di daerah mencapai 548,53 milliar
rupiah, dengan modus: mark-up, mark-down, kegiatan fiktif, penggelapan,
pemerasan, penyalahgunaan izin atau kewenangan, penyalahgunaan kredit, dan
penyuapan. Dua modus dengan kerugian terbesar adalah mark-up dan
Hitam Otda”). Andaikan KPK memiliki ”cabang” di tingkat provinsi dan kabupaten/
kota, mungkin kasus korupsi di daerah akan lebih banyak yang dapat diungkap,
tidak hanya menyangkut eksekutif, tetapi juga legislatif dan yudikatif di daerah.
Mitra kerja KPK di daerah (kepolisian daerah dan kejaksaan daerah) dinilai masih
lemah dalam penanganan kasus korupsi di daerah, karena itu sering terjadi unjuk
rasa akibat kelemahan tersebut. Oleh karena itu, beberapa kasus dugaan korupsi
yang menjadi perhatian publik di daerah diambil-alih oleh KPK. Beberapa contoh
kasus yang diambil-alih dan melibatkan kepala daerah adalah: Bupati Kutai
Kertanegara, Kaltim; Bupati Garut, Jabar; Bupati Palalawan, Riau; Bupati Kendal,
Jateng; dan Bupati Sleman, DIJ.
Memasuki tahun 2008, terdapat dua kasus korupsi besar yang menyita
perhatian bagian terbesar rakyat Indonesia, dan menjadi berita besar di berbagai
media, baik elektronik maupun majalah dan surat khabar. Kedua kasus ini justru
tidak terjadi di sektor pemerintahan, tetapi di sektor legislatif dan yudikatif. Kasus
pertama, adalah terbongkarnya kasus suap yang melibatkan seorang anggota
DPR, Al Amin Nur Nasution, saat bertransaksi dengan Sekretaris Daerah (Setda)
Kabupaten Bintan Kepulauan Riau, Azirwan, di kawasan Hotel Ritz Carlton,
Mega Kuningan Jakarta. Al Amin diduga menerima suap sebesar 3 milliar rupiah,
sebagai kompensasi telah mempermulus pengalihan fungsi hutan lindung
menjadi kawasan industri dan ibukota Kabupaten Bintan (Jawa Pos, 10/04/08,
h.1., ”KPK Bongkar Suap Rp 3 M”). Kasus kedua, adalah terbongkarnya kasus
suap yang dilakukan oleh Artalyta Suryani alias Ayin terhadap jaksa yang
menanangani penyelesaian kasus BLBI (khususnya yang melibatkan Sjamsul
Nursalim, pemilik BDNI), Urip Tri Gunawan, yang menerima suap sebesar 6
9
milliar rupiah (Jawa Pos, 18/03/08, h.1. ”Pejabat Gedung Bundar Disapu”).
Sampai saat ini kasus yang terakhir terus menjadi berita hangat, karena
beberapa pejabat kejaksaan yang diduga tersangkut kasus tersebut ikut
diperiksa oleh KPK, di samping pemeriksaan internal yang dilakukan oleh
Kejaksaan Agung.
Mengapa korupsi terus terjadi dan bahkan dalam skala yang lebih besar?
Pertanyaan ini menjadi menarik karena upaya pemberantasan korupsi sudah
menuai hasil signifikan, dengan banyaknya kasus yang terungkap dan relatif
banyak pejabat maupun bukan pejabat yang terpenjara karena kasus korupsi.
Apakah sanksi yang diberikan tidak efektif menimbulkan efek jera? Banyak
analisis yang dilakukan berkenaan dengan hal itu. Salah satunya yang menarik
penulis adalah tulisan Emerson Yuntho (2007) yang mengingatkan kita agar
jangan pernah kalah melawan koruptor. Yuntho, anggota Badan Pekerja ICW,
mencatat fenomena menurunnya political will pemerintahan SBY, yang
diindikasikan dengan semakin kurangnya intensitas pernyataan SBY tentang
pemberantasan korupsi, yang dicatat oleh ICW selama periode tiga tahun
terakhir (20 Oktober 2004–20 Oktober 2007). Pada tahun I (20 Oktober 2004 –
20 Oktober 2005), tercatat 35 pernyataan SBY mengenai pemberantasan korupsi.
Berdasarkan catatan tersebut, rata-rata sebanyak tiga kali sebulan SBY
mengeluarkan pernyataan atau berkomentar tentang pemberantasan korupsi.
Tahun II (20 Oktober 2005-20 Oktober 2006), terjadi penurunan menjadi hanya
19 kali. Bahkan ada tiga bulan (Juli, September, dan Oktober) SBY tidak
memberikan komentar apa pun yang berkenaan dengan korupsi. Pada tahun III
(20 Oktober 2006-20 Oktober 2007), tercatat hanya 14 kali SBY mengeluarkan
pernyataan yang dilansir media massa soal isu korupsi. ICW mencatat, ada
enam bulan dimana SBY tidak memberikan komnetar apa pun tentang isu
korupsi (Oktober 2006, Januari, Maret, Juni, Juli, dan September 2007).
Dinamika ini menurut Yuntho, menunjukkan melemahnya semangat
pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Akibatnya, menurut hasil
survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI), tingkat kepuasan
publik terhadap pemerintahan SBY terus menurun, dari lebih dari 80 persen pada
tahun 2004, turun menjadi 35,3 persen pada September 2007. Walaupun, faktor
di atas bukan satu-satunya penyebab terjadinya degradasi kepuasan publik,
10
namun tidak dapat disangkal bahwa selama ini program pemberantasan korupsi
telah menjadi daya tarik utama pemerintahan SBY.
KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI
Dari beberapa referensi yang menulis tentang sebab-sebab terjadinya
korupsi , penulis memetakan ke dalam beberapa perspekstif untuk memudahkan
pembahasan. Perspektif tersebut adalah: ekonomi, budaya, moral atau etika, dan
hukum. Kalaupun ada kategorisasi perspektif lain, hal itu tidak menjadi lingkup
pembahasan dalam tulisan ini. Jadi, kita mulai dengan melihat sebab-sebab
korupsi dari berbagai perspektif, dan kemudian reformasi birokrasi macam apa
yang ditawarkan sebagai solusi pemecahannya.
Perspektif Ekonomi. Menurut penganut perspektif ini, korupsi terjadi
disebabkan oleh ketidakmampuan relatif seseorang dalam bidang ekonomi.
Kemiskinan dan rendahnya tingkat pendapatan menjadi pendorong utama
terjadinya korupsi. Tingkat pendapatan sekarang dirasakan tidak mencukupi
untuk memenuhi kebutuhan pada tingkatan yang diharapkan. Mungkin
kebutuhan primer tercukupi, tetapi belum cukup untuk kebutuhan sekunder
dan/atau tersier. Karena itu setiap peluang yang ada untuk memperoleh
tambahan pendapatan akan dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Pada mulanya, peluang itu terbuka karena adanya pemberian uang dan
atau barang secara sukarela dari pengguna jasa layanan kepada pejabat publik
yang melayani, sebagai bentuk ”ucapan terima kasih” atas layanan yang telah
diberikan. Penerimaan seperti ini karena terjadi sewaktu-waktu, dan bahkan
mungkin setiap hari, tidaklah dianggap sebagai korupsi, tetapi dimaknai sebagai
suatu bentuk hubungan saling membutuhkan atau bahkan
hubungan ”persahabatan” antara pengguna jasa layanan dengan pemberi
layanan (pejabat publik atau pagawai negeri). Pengguna jasa layanan
membutuhkan ”urusan cepat selesai”, dan merasa sudah sepantasnya
memberikan imbalan jasa, sedangkan pemberi layanan juga merasa sudah
seharusnya menerima imbalan karena jasa yang diberikan. Dalam
perkembangan berikutnya, hubungan yang tadinya ”bersahabat” berubah bentuk
menjadi hubungan ”dagang”, antara pembeli dan penjual. Masyarakat pengguna
jasa yang membutuhkan pelayanan harus ”membeli” kepada pejabat pemberi
layanan yang berubah fungsi menjadi ”penjual” jasa layanan. Dalam hubungan
11
seperti ini, mereka yang memiliki uang dan penawaran lebih tinggi akan
memperoleh privileges dari pejabat publik. Sebaliknya yang tidak punya uang
harus rela antri agar memperoleh pelayanan, atau, menurut Kwik Kian Gie,
kalau ngotot tidak mau membayar akan menghadapi kesulitan yang dicari-cari
dan dibuat-buat. Korupsi dalam bentuk transaksi ekonomi seperti ini sudah
mendarah-daging (internalized) di dalam tubuh dan jiwa pejabat publik, dan
ironisnya masyarakat akan merasa aneh dan heran jika transaksi yang demikian
itu tidak ada. Korupsi telah meningkat menjadi suatu bentuk kleptokrasi
(cleptocracy), dimana masyarakat sudah tidak berdaya lagi menanggulangi
korupsi, bahkan mendukung korupsi melalui perilaku sehari-hari yang penuh
dengan kegiatan suap-menyuap, ketidakjujuran, penyembunyian fakta,
pemalsuan, dan penyelewengan dalam berbagai bentuknya.
Menurut Rose-Ackerman (1999), korupsi terjadi di perbatasan antara
sektor pemerintah dan sektor swasta. Apabila seorang pejabat pemerintah
memiliki kekuasaan penuh terhadap pendistribusian keuntungan atau biaya
kepada sektor swasta, maka terciptalah suatu insentif untuk penyuapan. Jadi
korupsi itu tergantung pada besarnya keuntungan dan biaya yang berada di
bawah pengendalian pejabat pemerintah. Pemerintah membeli dan menjual
barang dan jasa, membagi-bagikan bantuan, mengatur swastanisasi badan
usaha milik negara, dan memberikan konsesi. Para pejabat seringkali
memonopoli informasi yang penting. Pribadi atau perusahaan ingin membayar
sejumlah uang untuk mendapatkan keuntungan dari pemerintah dan menghindari
biaya. Seluruh kegiatan ini menciptakan peluang terjadinya korupsi. Banyak
proyek dalam berbagai sektor dikuasai oleh pemerintah, dan swasta yang
menginginkan proyek-proyek tersebut harus membayar sejumlah uang suap
untuk mendapatkannya, dan sekaligus menghindari biaya tinggi yang harus
dikeluarkan jika pribadi atau perusahaan tersebut harus mengikuti prosedur
administratif yang melelahkan. Sebuah studi tentang korupsi di Thailand
menunjukkan beberapa contoh dari korupsi birokrat dalam proyek infrastruktur,
konstruktruksi, dan bidang lainnya, dengan tingkat kebocoran mencapai 20
sampai 40 persen dari biaya total proyek. Begitu pula di Brasil, di bawah
Presiden Fernando Collor de Mello, kebocoran bahkan mencapai 50 persen. Di
Indonesia, korupsi di jawatan pabean (bea cukai) telah sedemikian meluas
sehingga Presiden telah menandatangani sebuah kontrak dengan sebuah
12
perusahaan swasta di Swiss yang akan mengambil alih beberapa tugas
kepabeanan di Indonesia (Rose-Ackerman, 1999:47). Dalam bulan Juni 2008,
dalam penyelidikan mendadak, KPK menemukan suap lebih dari 500 juta rupiah
yang tersebar dalam ratusan amplop di kantor bea cukai.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa bagi penganut
perspekstif ekonomi tentang penyebab korupsi, semua itu terjadi karena
rendahnya tingkat upah atau gaji. Oleh karena itu kebijakan reformasi birokrasi
yang disarankan adalah melakukan remunerasi atau penyesuaian pendapatan
bagi pegawai pemerintah (remuneration policy). Asumsinya, gaji yang tinggi akan
mengurangi keinginan untuk melakukan korupsi. Perspektif ekonomi melihat
bahwa pendapatan berkorelasi signifikan dengan perilaku koruptif.
Kebijakan penyesuaian struktur penggajian dalam bentuk remunerasi
menjadi salah satu tuntutan para pejabat publik akhir-akhir ini, dan beberapa di
antaranya telah diimplementasikan, misalnya untuk jajaran Departemen
Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan, yang mengalami kenaikan gaji
signifikan. Struktur gaji menjadi salah satu masalah pelik dalam birokrasi di
Indonesia, dan telah menyentuh rasa ketidak-adilan dalam waktu yang lama.
Kerja tidak kerja gaji sama, asal golongan dan masa kerja sama. Tidak ada
pembedaan antara mereka yang bekerja giat dan berprestasi dengan mereka
yang malas. Gaji dan tunjangan seorang Presiden di negeri ini lebih kecil dari
Ketua DPR, dan gaji seorang Ketua DPR lebih kecil dari gaji Direksi BUMN,
sebagaimana disajikan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 3. Gaji Beberapa Pejabat Negara dan Direksi BUMN di Indonesia No. Nama Pejabat Gaji Pokok dan Tunjangan (Rp) 1. Presiden 62.497.800,oo 2. Wakil Presiden 42.548.670,oo 3. Ketua DPR 89.200.000,oo 4. Anggota DPR 49.400.000,oo 5. Ketua Mahkamah Agung 55.400.000,oo 6. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan 23.900.000,oo 7. Jaksa Agung 19.000.000,oo 8. Jaksa Agung Muda 7.000.000,oo 9. Direktur Utama Pertamina 150.000.000,oo 10. Direktur Pertamina 140.000.000,oo 11. Direktur Utama Bank Mandiri 118.000.000,oo
Sumber: Jawa Pos, 05/04/2008, h.1., “Gaji Para Petinggi Negeri Ini”.
13
Lembaga negara ketiga tahun ini yang memperoleh tunjangan kinerja di
luar gaji dalam kerangka kebijakan remunerasi adalah Mahkamah Agung dan
badan peradilan di bawahnya. Kebijakan ini diatur melalui Perpres No.19 Tahun
2008 tentang Kinerja Hakim dan Pegawai Negeri di Lingkungan Mahkamah
Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya. Dalam Perpres tersebut, diatur 15
tingkatan besaran tunjangan khusus, mulai Rp4,2 juta (terendah untuk hakim PT
kelas II), sampai Rp31,1 juta untuk Ketua Mahkamah Agung. Kebijakan ini mulai
berlaku mundur sejak 1 September 2007, namun baru dibayarkan bulan Juli