-
1
Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia Ditinjau
Dari Pasal 33 UUD Tahun 1945 dan Implikasinya Terhadap Iklim
Investasi di Indonesia
Abstrak The land, the water, and the natural resources within
shall be under the powers of the State and shall be used to the
greatest benefit of the people. (The 1945 Constitution of the
Republic of Indonesia, Article 33 (3)). To regulate the management
of natural resources, especially coal and mineral resources in
1967, The Government established the Law of The Republic Indonesia
Number 1 of 1967 Concerning Foreign Capital Investment and Law of
Republic Indonesia Number 11 of 1967 Concerning Mining as the legal
basis regulating about investment and mining issues in Indonesia,
especially for foreign investors. The first collaboration engaged
in mining was collaboration between The Government of Republic of
Indonesia and PT. Freeport Indonesia. This collaboration was
established to perform the processing of copper mining in Papua.
Cooperation as outlined in the contract of work (COW) in 1967 was
renewed in 1991 with the expansion of the area from Ertsberg to
Grasberg in Papua. Since it was first established, the contract of
work has spawned many disputes as well as revenue to the state. Key
Words: Kontrak Karya (Contract of Work(COW)), PT. Freeport
Indonesia, Sengketa
Abstrak
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat 3 UUD 1945). Untuk mengatur
pengelolaan sumber daya alam tersebut terutama sumber daya mineral
dan batu bara maka pada tahun 1967 dibentuk Undang-Undang Penanaman
Modal Asing dan Undang-Undang Pertambangan sebagai dasar hukum
untuk melakukan penanaman modal dan pertambangan di Indonesia
terutama oleh pemodal asing. Kerjasama pertama setelah lahirnya
kedua undang-undang tersebut adalah kerjasama pemerintah dengan PT.
Freeport Indonesia untuk melakukan pengolahan pertambangan tembaga
di cdangan Ertsberg Papua. Kerjasama yang dituangkan dalam kontrak
karya (Contract of Work) tahun 1967 telah diperbaharui pada tahun
1991 dengan perluasan wilayah ke Grasberg Papua. Sejak kontrak
karya ini dibentuk telah melahirkan banyak sengketa disamping
pemasukan terhadap negara. Kata Kunci: Kontrak Karya, PT. Freepor
Indonesia, Sengketa
-
2
A. Latar Belakang Mineral dan batu bara merupakan salah satu
dari hasil kekayaan bumi yang tak terbarukan atau tidak dapat
diperbaharui selain minyak bumi dan gas. Oleh sebab itu, Pasal 33
ayat (2) UUD Tahun 1945 mengamanatkan Cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara dan selanjutnya pada ayat (3) Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Indonesia
merupakan negara yang sangat luas, yaitu 1,910,931.32 Km2.1 Dengan
bentangan wilayah yang sangat luas tersebut, Indonesia memiliki
potensi SDA yang sangat besar baik SDA hayati maupun non-hayati.
Apabila potensi kekayaan alam tersebut dapat dimanfaatkan dengan
maksimal, Indonesia dapat menjadi negara yang makmur, bahkan dapat
mengalahkan negara-negara Eropa dan Amerika. Akan tetapi hal
tersebut masih menjadi angan-angan (utopis) untuk saat ini. Hal
tersebut disebabkan sistem pengelolaan yang tidak tepat atau
faktor-faktor lain yang tidak lepas dari kondisi transisi politik
Indonesia tahun 1965 dari Orde Lama ke Orde Baru. Orde Baru yang
dipimpin oleh Presiden Soeharto ketika itu membuka pasar yang
seluas-luasnya bagi investor terutama investor asing untuk
menanamkan modalnya di Indonesia setelah sebelumnya pada masa Orde
Lama yang dipimpin Presiden Soekarno melakukan nasionalisasi aset
terhadap perusahaan asing yang ada di Indonesia.
Kebijakan liberalisasi ekonomi Orde Baru mulai terlihat sejak
pembentukan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang
diikuti dengan keluarnya UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan,
dan satu tahun setelah itu disusul dengan pengesahaan UU No. 6
Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Lahirnya paket
regulasi tersebut telah menarik minat investor pertambangan asal
Amerika Freeport Mining Inc., untuk menanamkan modalnya di daerah
dataran tinggi di Kabupaten Mimika Provinsi Papua untuk melakukan
eksploitasi tembaga. Karena kondisi Indonesia dalam masa transisi
yang katanya membutuhkan dukungan ekonomi dan juga dengan dalih
promosi investasi Indonesia ke luar negeri, maka Pemerintah
Indonesia akhirnya menerima tawaran investasi dari Freeport Mining
Inc. untuk melakukan kegiatan usahanya di Indonesia dengan
mendirikan PT. Freeport Indonesia (PTFI). Kerjasama Pemerintah dan
PTFI pun dituangkan dalam kontrak karya (KK) pertamanya pada tahun
1967 dengan lama operasi 30 tahun, dan pada tahun 1988 ditemukan
cadangan Grasberg akhirnya pada tahun 1991 dilakukan KK kedua
dengan durasi 30 tahun hingga tahun 2021 dengan alasan investasi
besar dan risiko tinggi.2 KK memuat beberapa poin kesepakatan
seperti wilayah pertambangan, royalti, hak-hak khusus pemerintah
dan beberapa kesepakatan lainnya. Keberadaan KK inilah yang
akhirnya membawa permasalahan di Indonesia terutama pasca Reformasi
1998. Terakhir KK PTFI tahun 1991 digugat oleh IHCS yang merupakan
salah satu organisasi non pemerintahan yang bergerak
1http://indonesiadata.co.id/main/index.php/provinsi, diakses pada
tanggal 21 September 2013.
2http://ptfi.co.id/id/media/facts-about-feeport-indonesia/facts-about-kontrak-karya,
diakses pada tanggal 25 September 2013.
-
3
dalam bidang advokasi hak asasi manusia. Alasan IHCS memasukkan
gugatan terhadap PTFI di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena
menganggap KK PTFI tahun 1991 yang memuat pembagian royalti kepada
pemerintah sebesar 1% sudah tidak sesuai dengan PP 9 Tahun 2012 Jo
PP No. 45 Tahun 2003 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang
mengharuskan tarif royalti emas sebesar 3,75%. Di samping itu IHCS
juga menyatakan penguasaan tambang oleh PTFI terbukti tidak untuk
sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat sebagaimana amanat UUD
Tahun 1945. Terhadap Gugatan IHCS ini pada mulanya dalam putusan
sela Majelis Hakim menolak Eksepsi PTFI, yang dalam eksepsinya
menyatakan IHCS tidak berhak untuk melakukan gugatan terhadap PTFI,
akan tetapi dalam putusan akhirnya Majelis Hakim mengabulkan
Eksepsi PTFI dan menolak gugatan IHCS.3
Di balik kejanggalan putusan Majelis Hakim tersebut, ada hal
yang menarik untuk diteliti lebih lanjut terutama dilihat dari
sejarah munculnya kontrak karya PTFI ini, apalagi kalau diamati
dalam KK PTFI tersebut tercantum klausula yang mengatakan PTFI
berhak untuk mengekspor seluruh hasil produksi mereka tanpa
pembatasan apapun atau pembebanan pajak.4 Lantas di mana peran
negara dalam hal ini, jika perusahaan seperti PTFI bisa begitu saja
melakukan ekspor atas hasil bumi Indonesia tanpa dibebani pajak
atau pembatasan ekspor. Sementara Pasal 33 Konstitusi sudah jelas
dan tegas mengatakan semua hasil bumi dan kekayaan alam itu
dikuasai negara untuk kesejahteraan rakyat. Hal tersebut jelas
merugikan Indonesia, tapi karena Pemerintah sudah terikat dengan
kontrak yang menganut pada dasarnya asas pacta sunt servanda mau
tidak mau, suka tidak suka kontrak tersebut tetap harus
dijalankan.
Di samping persoalan di atas, perlu juga dilihat apakah
persoalan pada KK PTFI tersebut akan berdampak terhadap iklim
investasi di Indonesia sebab bagaimanapun juga investasi merupakan
salah satu income yang sangat berperan dalam pembangunan Indonesia,
tentunya investasi yang menjunjung semangat Pasal 33
Konstitusi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut di atas, masalah penting yang menjadi
fokus kajian dalam makalah ini adalah mengenai perspektif Kontrak
Karya PT. Freeport Indonesia dilihat dari perspektif Pasal 33 UUD
Tahun 1945 dan dampaknya terhadap iklim investasi di Indonesia,
terutama pasca lahirnya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal dan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu
Bara yang menuntut penyesuaian semua kontrak karya yang sudah ada
sebelum UU tersebut lahir minimal 1 (satu) tahun pasca
diundangkan.
3http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50489b86bbae3/ihcs-minta-hakim-batalkan-kontrak-karya-freeport,
diakses pada tanggal 25 September 2013. 4http://ptfi.co.id/,
op.cit.
-
4
C. Kebijakan Investasi di Indonesia
Pembukaan UUD 1945 alinea keempat menyatakan bahwa tujuan
pembentukan negara Indonesia adalah untuk: melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan
kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan pada keadilan dan
perdamaian abadi.5 Untuk mengupayakan masyarakat adil dan makmur
seperti yang dicita-citakan dalam UUD 1945, maka salah satu upaya
yang ditempuh oleh pemerintah adalah dengan mengundang masuk modal
asing ke Indonesia. Dalam mengupayakan cita-cita masyarakat adil
dan makmur yang memenuhi rasa keadilan sosial, harusnya bangsa
Indonesia dan masyarakat Indonesia termasuk pemerintah harus
mengindahkan ketentuan-ketentuan Pasal 33 UUD 1945.6 Todung Mulya
Lubis menyatakan bahwa keadilan sosial tidak semata-mata diartikan
sebagai masyarakat yang cukup sandang, pangan, dan papan; tetapi
justru harus diartikan sebagai cara bersama untuk turut memutuskan
masa depan yang dicita-citakan dan turut secara bersama mewujudkan
masa depan itu. 7
Terkait penjelasan Pasal 33 UUD 1945 ini Prof. DR. Mr. Soepomo
sebagai arsitek UUD 1945 menulis dalam salah satu bukunya memberi
pengertian "dikuasai" sebagai berikut: "... termasuk pengertian
mengatur dan/atau menyelenggarakan terutama untuk memperbaiki dan
mempertimbangkan produksi ...".8 Sementara itu terkait frasa
dikuasai oleh negara Mahkamah Konstitusi mengartikan mencakup makna
penguasaan oleh negara dalam luas yang bersumber dan diturunkan
dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber
kekayaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh
kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud.9
Selanjutnya Mahkamah Konstitusi mengartikan Rakyat secara kolektif
itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara
untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan
(bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan
(beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuktujuan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Terkait pengelolaan (beheersdaad) Mahkamah Konstitusi lebih
lanjut menjelaskan pengelolaan dapat dilakukan melalui mekanisme
kepemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan
langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum
Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya Negara,
c.q. Pemerintah, mendayagunakan 5Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 alinea 4 6Pasal 33 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 1). Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.; 2).
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.; 3). Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 7Todung
Mulya Lubis (1992). Hukum dan Ekonomi. Pustaka Sinar Harapan.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992), hal. 27. 8Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia No. 002/PUU-I/2003, hal. 35. 9Ibid.,
hal. 208.
-
5
penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.10
Merujuk kepada tafsiran Mahkamah Konstitusi di atas, bisa
dikatakan tidak ada larangan bagi pemodal asing untuk menanamkan
modalnya di Indonesia khususnya dalam mengelola sektor-sektor
penting tersebut. Akan tetapi ada batasan mengenai komposisi saham
pemodal dari sektor swasta untuk menanamkan modalnya dalam bidang
usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak tersebut. Untuk
menentukan sektor usaha mana yang menyangkut hajat hidup orang
banyak Mahkamah Konstitusi memberikan kriteria sebagai berikut:
1) cabang-cabang produksi itu penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup
orang banyak; atau 2) penting bagi negara tetapi tidak menguasai
hajat hidup orang banyak; atau 3) tidak penting bagi negara tetapi
menguasai hajat hidup orang banyak.
Ketiganya harus dikuasai oleh negara dan digunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Untuk menentukan cabang-cabang produksi tersebut penting atau
tidak merupakan kewenangan Pemerintah dan DPR. Sehingga untuk
pemanfaatan modal untuk cabang produksi tersebut harus hati-hati
jangan sampai cabang produksi penting dikelola secara berlebihan
oleh swasta yang terlalu mementingkan prfit dirinya sendiri,
terutama modal yang bersumber dari asing.
Penggunaan modal asing ini pada dasarnya perlu dimanfaatkan
secara maksimal untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia
serta digunakan dalam bidang-bidang dan sektor-sektor yang dalam
waktu dekat belum atau tidak dapat dilaksanakan oleh modal
Indonesia sendiri. Akan tetapi, harapan untuk mendapatkan
keuntungan besar dari pemodal asing justru yang terjadi saat ini
banyak perusahaan-perusaan asing terlalu mendominasi bahkan di
dalam kenyataannya perusahaan penanaman modal asing yang masuk di
Indonesia kebanyakan sudah berbentuk Perusahaan Multi Nasional
(PMN) atau Multi Nasional Corporation (MNC).
Mengenai kepemilikan saham dan struktur permodalan sendiri,
Sumantoro menyatakan dikenal adanya berbagai ketentuan yang
menetapkan pemilikan saham asing minoritas, pemilikan saham asing
mayoritas, pemilikan saham asing 50/50, pemilikan saham asing
49/51, dan pemilikan saham asing 100%.11 Di dalam program
Indonesiasi, pemerintah telah menetapkan alternatif 49/51. Dalam
konteks ini belum dipertimbangkan aspek-aspek jenis saham,
pembagian laba dan penilaian atas asset serta hak menentukan
pengelolaan perusahaan.
Sementara jika dilihat kebelakang ekonomi Indonesia pasca
transisi politik tahun 1967 bergerak menuju ekonomi liberal. Hal
tersebut dipertegas dengan beberapa paket kebijakan ekonomi,
seperti UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU No.
11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, UU No. 10Ibid., hal. 209.
11Sumantoro, Bunga Rampai Permasalahan Penanaman Modal dan Pasar
Modal. (Bandung: Bina Cipta, 1985), Hal. 95-100.
-
6
6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, dan beberapa
kebijakan lainnya setelah itu. Di samping itu pada tahun 1968
pemerintah mengeluarkan kebijakan memberikan fasilitas tambahan
masa pembebasan pajak untuk perusahaan asing yang berbentuk
patungan. Mulai saat itu penanaman modal asing di Indonesia dapat
berbentuk penanaman modal langsung yang dimiliki asing atau
berbentuk usaha patungan.
Pada tahun 1974 sidang kabinet menetapkan kebijakan-kebijakan
dalam upaya menarik investor dengan memberikan kemudahan
memperkenankan pengelolaan perusahaan oleh personil asing, menjamin
transfer modal dan keuntungan sesuai dengan mata uang yang
dikehendaki, dan jaminan untuk tidak melakukan nasionalisasi.12
Sejak tahun 1974, pemerintah menerbitkan kebijakan baru yang
mensyaratkan semua penanaman modal asing berbentuk usaha patungan
yang selanjutnya persyaratan tersebut lebih ditegaskan lagi yaitu
bahwa pemilikan saham nasional menjadi mayoritas dalam waktu
sepuluh tahun. Namun ada pengecualian untuk sektor pertambangan,
minyak dan gas bumi dari ketentuan mayoritas kepemilikan saham
tersebut. Akan tetapi kebijakan tahun 1974 tersebut belum
ditetapkan dalam bentuk peraturan perundangan, dan pelaksanaannya
kurang efektif. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal, antara
lain:13
1) Dilihat dari segi kemampuan permodalan peserta nasional. 2)
Lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara dalam
peningkatan
kepemilikan saham nasional belum bekerja seperti diharapkan. 3)
Kebijakan tersebut belum dituangkan dalam bentuk peraturan
perundangan
sehingga dalam penerapannya menimbulkan berbagai penafsiran.
Kenyataan menunjukkan bahwa sampai tahun 1980 tidak ada
perusahaan
modal asing yang mengikuti kebijakan tersebut dengan menawarkan
sahamnya lebih dari 51% kepada pihak Indonesia. Bahkan Sumantoro
mensinyalir bahwa di Indonesia telah timbul aneka ragam aturan yang
mengatur sektor perekonomian yang acapkali ganti berganti dan
adakalanya saling bertentangan atau tidak mendukung satu sama lain
di antara berbagai subsektor, yang diakibatkan karena tidak
metakhirnya hukum dasar yang mengatur sektor ekonomi.14 Kebijakan
liberalisasi ekonomi tersebut memuncak dikisaran tahun 1988 hingga
tahun 1998, yang mengakibatkan kebablasan kebijakan ekonomi yang
berisiko terhadap kondisi ekonomi Indonesia, beberapa di antaranya
Bank Indonesia kehilangan kendali atas sistem moneter di Indonesia,
pihak swasta dan modalnya menggantikan peran negara sebagai
pengatur ekonomi mikro, beban utang negara besar sehingga
kejutan-kejutan sekecil apapun ataupun pelarian modal dapat
berakibat fatal, dan terakhir liberalisasi yang dilakukan
setengah-setengah hanya menguntungkan segelintir orang yang
mengontrol modal.15
12Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal, Jakarta: PT.
Raja Grafindo, 2007, hlm. 46. 13Anang Priyanto, Eni Kusdarini,
Candra Dewi Puspitasari, Kebijakan Pengaturan Divestasi Penanaman
Modal Asing Di Sektor Pertambangan. (Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta, 2006), hal. 12-13. 14Sumantoro, Op. Cit.,hal. 201-215.
15Ibid., hlm. 47.
-
7
Paket kebijakan liberalisasi ekonomi tersebut, bisa dikatakan
tidak merefleksikan semangat dari Pasal 33 UUD 1945 yang
mengamanatkan setiap pengelolaan sektor usaha strategis dikelola
oleh negara untuk kepentingan rakyat sebesar-besarnya. Justru
dengan kebijakan tersebut hanya menguntungkan segelintir orang yang
mengontrol modal. Jika belajar ke negara tetangga seperti Malaysia
pengelolaan pertambangan seperti minyak bumi tidak ada dikelola
oleh swasta, yang swasta adalah di Amerika Serikat, tetapi tidak
berarti itu benar, swasta di Amerika Serikat justru mereka
melakukan konservasi, tidak menyentuh sumber minyaknya, tidak
mengebor banyak-banyak, dia menggunakan yang dari luar.16
Pasca reformasi, liberalisasi ekonomi kembali menampakkan diri.
Hal itu tercermin dari diundangkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) yang baru. Undang-Undang ini
lebih buruk dari Undang-Undang sebelumnya dalam hal melindungi
masyarakat lokal atau komunitas, bahkan parahnya lagi dalam UUPM
ini mengatur sendiri mengenai masa pemberian hak guna usaha (HGU)
bagi perusahaan selama 95 tahun dan dapat diperpanjang di muka
sekaligus selama 60 tahun dan dapat diperbaharui selama 35 tahun.17
Berdasarkan hal tersebut pemerintah dinilai memberi privillege
kepada investor asing dan sudah jelas Pasal 22 tersebut tidak
berpihak kepada masyarakat. Disamping itu Pasal 22 tersebut juga
bertentangan dengan semangat UUD Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
Pasal 22 UUPM tersebut, merupakan bencana legislasi di
Indonesia, yang pada akhirnya dihapuskan berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi RI. Menurut keterangan ahli dari Universitas
Gajah Mada, Revrisond Baswir dalam sidang judicial review perkara
No. 21-22/PUU-V/2007 tentang UUPM tersebut menarik kesimpulan
paradigma warisan kolonial masih membayang-bayangi para pengambil
kebijakan hingga kini. Menurutnya, kebijakan ekonomi dalam UUPM
tidak sejalan dengan landasan ideologis dan latar belakang historis
pembentukan Pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 yang menjadi
bagian dari konsiderans UUPM justru bersemangat anti kolonialisme,
untuk bangkit sendiri secara ekonomi. Menurutnya, ketentuan
mengenai dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
dalam ketentuan itu berarti negara wajib membuat regulasi yang
memihak kepada kemakmuran rakyat dan melindungi kepentingan pemodal
dalam negeri.18
Dalam konteks pengelolaan sumber daya alam terutama sektor
pertambangan seringkali sarat dengan intervensi asing, dan
tampaknya pemerintah gagal mengintegrasikan fakta ekonomi itu ke
dalam prinsip keadilan, kepatutan
16Keterangan ahli Prof. Dr. Sri Edie Swasono, S.E. pada perkara
di Mahkamah Konstitusi RI No. 002/PUU-I/2003, hal. 84-85. 17Pasal
22 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 No. 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4724) sebelum Judicial
Review. 18Revrisond Baswir, Kontrak Karya Pertambangan, Tersedia di
http://muhammadbarli.blogspot.com/2009/06/kontrak-karya-pertambangan.html,
24 September 2013, 20. 45 WIB.
-
8
dan kemandirian yang dapat berdampak pada kegagalan pemerintah
dalam memenuhi hak rakyatnya untuk mendapatkan kemakmuran.
Berkaitan dengan masalah pertambangan, ketentuan Pasal 8
Undang-Undang Penanaman Modal Asing yang lama (Tahun 1967)
menyatakan bahwa penanaman modal asing di bidang pertambangan
didasarkan pada suatu kerjasama dengan pemerintah Indonesia atas
dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.19
Perlu diketahui bahwa pengelolaan bidang pertambangan seharusnya
melibatkan masyarakat setempat. Di samping itu, sudah semestinya
pengaturan penanaman modal asing bidang pertambangan diatur berbeda
dan agak ketat dengan pengaturan bidang-bidang usaha lain mengingat
sifat-sifat khusus dari usaha pertambangan itu sendiri. Sifat-sifat
khusus usaha pertambangan sebagaimana dikemukakan oleh G.
kartasapoetra dkk yakni:20
1) Usaha pertambangan adalah suatu kegiatan yang menggali,
memanfaatkan
dan mengurangi serta mengahbiskan sesuatu kekayaan nasional
berupa bahan galian yang tidak dapat ditumbuhkan kembali;
2) Usaha pertambangan pada umumnya memerlukan skill khusus dan
permodalan yang tidak sedikit, sedangkan resikonya sangat
besar;
3) Usaha-usaha pertambangan pada umumnya di samping mempunyai
aspek-aspek nasional seringkali pula menyangkut aspek-aspek
internasional, misalnya pengusahaan-pengusahaan bahan galian
strategis maupun vital seperti monyak bumi, mineral radioaktif,
nikel dan lain sebagainya;
4) Eksploitasi bahan galian secara besar-besaran hanya dapat
dibenarkan apabila secara nasional telah dapat pula digariskan
policy pencadangan bahan galian yang sehat dan seimbang.
Selanjutnya G. Kartasapoetra dkk melihat berdasarkan sifat-sifat
khusus
tersebut, maka pengikutsertaan modal asing di bidang usaha
pertambangan di Indonesia harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang
khusus pula. Hal ini tidak lain dengan maksud dan tujuan
pemanfaatan yang sebesar-besarnya dari kekayaan mineral kita,
termasuk di dalamnya segi-segi pengamanan kepentingan-kepentingan
nasional dalam arti luas.21
D. Perkembangan Kontrak Karya Di Indonesia.
Kontrak Karya (KK) merupakan terjemahan dari Contract of Work
(COW). Kontrak Karya (Contract of Work) juga diartikan sebagai
suatu perjanjian pengusahaan pertambangan antara pemerintah
Republik Indonesia dengan
19Indonesia, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2818), Pasal 8.
20G. Kartasaputra, dkk. Manajemen Penanaman Modal Asing. (Jakarta:
Bina Aksara, 1983), hal. 278-279. 21Ibid.,
-
9
perusahaan swasta asing, patungan perusahaan asing dengan
Indonesia dan perusahaan swasta nasional untuk melaksanakan usaha
pertambangan di luar minyak gas dan bumi. Ismail Sunny mengartikan
kontrak karya sebagai suatu kerja sama modal asing dalam bentuk
kontrak karya terjadi apabila penanaman modal asing membentuk satu
badan hukum Indonesia dan badan hukum ini mengadakan kerjasama
dengan satu badan hukum yang menggunakan modal nasional.22 Merujuk
kepada pendapat Ismail Sunny di atas, Made Ester Ida Oka Patty
menyebutkan kontrak karya tidak hanya mengatur kerjasama antara
badan hukum asing dengan badan hukum Indonesia, tapi mencakup
beberapa aspek seperti 1) adanya kontraktual; 2) adanya subjek
hukum; 3) adanya objek dan 4) adanya jangka waktu kontrak.23
Masih dalam konteks definisi KK ini, pemerintah melalui
Keputusan Direktur Jenderal Pertambangan Umum Nomor
150.K/20.01/DDJP/1998 tentang Tata Cara dalam Pasal 1 huruf a
memberikan definisi tentang Kontrak Karya, yaitu:
Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan
Perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk melaksanakan usaha
pertambangan bahan galian, tidak termasuk minyak bumi, gas alam,
panas bumi, radio aktif dan batu bara.
Dilihat dari definisi KK di atas, dapat disimpulkan KK
merupakan
kerjasama antara modal asing dalam bentuk perusahaan berbadan
hukum Indonesia dengan Pemerintah Indonesia untuk melakukan usaha
pertambangan mineral. Sehingga KK tidak dapat atau tidak mencakup
kepada wilayah pertambangan minyak bumi, gas alam, panas bumi,
radio aktif dan batu bara.
Berbicara KK, tidak berbicara sesuatu yang sifatnya tetap, sebab
ada kemungkinan dilakukan pembaharuan-pembaharuan terkait cakupan
kontrak karya, terlebih setiap kontrak terikat dengan
prinsip-prinsip perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320
KUHPerdata tentang sahnya perjanjian jo Pasal 1337 KUHPer yang
memungkinkan para pihak menyesuaikan isi kontrak berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak, selama tidak bertentangan dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam usaha pertambangan sendiri, tidak hanya mengenal KK,
selain itu juga ada Kuasa Pertambangan (KP), dan Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).24 KK sendiri sebagai
salah satu bentuk kerjasama dalam usaha pertambangan lebih menitik
beratkan kepada objek di luar
22Ismail Sunny dalam Salim H.S, Perkembangan Hukum Innominaat di
Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal.63. 23Made Ester Ida
Oka Patty, Pelaksanaan Kontrak karya Antara Pemerintah Republik
Indonesia Dengan PT. Avocet Bolang Mongondo, Universitas
Diponegoro: Tesis, 2008, hal. 69-70. 24Dahulu Undang-Undang
Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967 mengatur bahwa Bentuk Izin Usaha
Pertambangan meliputi Kontrak Karya (Pasal 10), Kuasa Pertambangan
(Pasal 15) dan terdapat juga Surat Izin Pertambangan Daerah dan
Surat Izin Usaha Pertambangan Rakyat sedangkan Undang-Undang
Pertambangan baru (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009) mengatur bahwa
Bentuk Ijin Usaha Pertambangan hanya terdapat mengenai Izin Usaha
Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK) (tidak lagi memasukkan konsep kontrak
karya).
-
10
minyak bumi dan gas bumi seperti emas, tembaga, ataupun batu
bara, hal ini bisa terlihat dari pengertian KK berdasarkan
keputusan Dirjen Pertambangan Tahun 1998 di atas.
Untuk melihat lebih jelas rezim KK, bisa kita kelompokkan
kedalam beberapa periode pertama, periode tahun 1967 atau periode
lahirnya KK. Pada periode ini ada beberapa prinsip yang terdapat
dalam KK di antaranya 1). Perusahaan kontraktor sebagai pemegang
kuasa pertambangan atas dasar ijin pemerintah; 2). Manajemen di
tangan kontraktor dan operasional di tanggung oleh kontraktor; 3).
Pembagian hasil dalam bentuk uang dalam jumlah bebas (tidak
ditentukan besarnya) untuk tahun ke-1 sampai dengan ke-3, dengan
ketentuan bahwa penghasil pemerintah untuk tahun ke-4 sampai dengan
ke-10 sebesar 35%; dan 4). Jangka waktu kontrak 30 (tigapuluh)
tahun dan dapat diperpanjang.
Kedua, periode 1968 1983, pada periode ini ada beberapa prinsip
pada KK yang diperbaharui dan masih ada beberapa hal yang sama di
antaranya 1). Memungkinkan bekerja sama dengan pihak lain yang
telah memegang kuasa pertambangan; 2). Manajemen di tangan
kontraktor dan operasional ditanggung oleh kontraktor. 3).
Pembagian hasil ditentukan berdasarkan tarif yang ditetapkan pada
setiap kontrak karya. Sedangkan terkait jangka waktu KK masih sama
dengan periode I.
Ketiga, periode 1983 1986, pada periode ini tidak terlalu banyak
perubahan di antaranya terkait perusahaan kontraktor sebagai
pemegang kuasa pertambangan atas dasar ijin pemerintah, dan terkait
pembagian hasil selanjutnya mengacu pada Peraturan Menteri Nomor
352 tahun 1971. Terkait beberapa aspek lainnya pada periode ini
masih tetap sama dengan dua periode sebelumnya. Keempat, periode
1986 1994, pada periode ke empat ini perubahan terjadi pada aspek
pembagian hasil, pada tahapan ini pembagian hasil sudah dibedakan
antara pembagian hasil emas dan perak, di mana pembagian hasil
terhadap emas sebesar 1% dari harga jika US$ 300/troi ons dan 2%
dari harga jika US$400/troi ons. Sedangkan untuk perak sebesar 1%
jika harga US$ 10/troi ons dan 2%/troi ons jika harga US$15/troi
ons.
Kelima, periode 1994 1996, pada tahapan ini KK masih menggunakan
beberapa prinsip pada periode pertama dan kedua, seperti manajemen
di tangan kontraktor dan operasional ditanggung oleh kontraktor
(sama dengan generasi II), tetapi ratio kewajaran utang (DER) 5: 1
untuk tidak kurang atau sama dengan $200 juta investasi dan 8 : 1
untuk lebih dari $200 juta. Selanjutnya pembagian hasil mengacu
pada Peraturan Menteri Nomor 1166.K/844/MPE/1992 tanggal 12
September 1992. Pada tahapan periode keenam, yaitu 1996 1998 bisa
dikatakan tidak ada suatu hal yang baru, KK yang ada pada masa itu
masih tetap mengacu kepada periode-periode sebelumnya. Perubahan
kembali terjadi pada periode ketujuh yaitu tahun 1998 2004. Pada
periode ketujuh ini ada perubahan atau penyesuaian dalam beberapa
aspek seperti dimungkinkan bekerjasama dengan pihak lain yang telah
memegang kuasa pertambangan. Di samping itu manajemen di tangan
kontraktor dan operasional di tanggung oleh kontraktor (sama dengan
generasi II ), tetapi ratio kewajaran utang (DER) 5 : 1 untuk tidak
kurang atau sama dengan $200 juta investasi dan 8 : 1 untuk lebih
dari $200 juta.
-
11
Terakhir yaitu KK generasi kedelapan atau generasi terakhir
hingga lahirnya beberapa produk hukum dalam penanaman modal dan
pertambangan. Periode ini mulai dari tahun 2004 sekarang. Pada
periode ini ada beberapa perubahan, hal tersebut sejalan dengan
perubahan perundang-undangan dalam bidang penanaman modal dan
pertambangan. Beberapa perubahan di antaranya: 1). Perusahaan
negara sebagai pemegang kuasa pertambangan sedangkan perusahaan
swasta bertindak sebagai kontraktor; 2). Manajemen di tangan
kontraktor dan resiko operasional di tanggung oleh kontraktor; 3).
Pembagian hasil dalam bentuk uang atas dasar perbandingan
pemerintah /perusahaan negara : kontraktor = 60% : 40% dengan
ketentuan bahwa penghasilan pemerintah tiap tahun tidak boleh
kurang dari 20% hasil kotor; 4). Jangka waktu kontrak 30 (tiga
puluh) tahun untuk daerah baru dan 20 tahun untuk daerah lama. 5).
Penyisihan wilayah dilakukan 2 (dua) atau 3 (tiga) kali setelah
jangka waktu tertentu.
Perubahan-perubahan dalam beberapa periode KK tersebut, tidak
lepas dari kondisi politik Indonesia ketika itu. Perubahan yang
sangat siginifikan terjadi pasca transisi era Orde Baru ke
Reformasi yang melahirkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, sebab pasca lahirnya UU Pemerintahan Daerah tersebut
menuntut pembagian royalti yang awalnya terfokus ke Pusat. Tapi
dengan lahirnya UU tersebut royalti juga harus diberikan kepada
pemerintah daerah di mana lokasi pertambangan tersebut berada.
Pasca transisi politik dari era orde baru ke reformasi, telah
melahirkan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, di mana UU
ini merupakan pengganti dari UU PMA dan UU PMDN. Sehingga mengenai
permodalan asing dan dalam negeri yang sebelumnya dipisah dalam dua
UU akhirnya digabung kedalam satu kesatuan yang selanjutnya menjadi
landasan berpijak dalam melakukan penanaman modal di Indoenesia.
Sedangkan mengenai keberadaan KK lebih khusus diatur dalam UU No. 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu-bara, yang tidak
lagi memasukkan kontrak karya kedalam bentuk kerjasama pengelolaan
pertambangan, namun dalam Peraturan Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) Nomor 12 Tahun 2009 Kontrak Karya ini
kembali disebut sebagai dasar untuk memperoleh Rencana Penggunaan
Tenaga Kerja Asing bagi perusahaan yang akan menggunakan Tenaga
Kerja Asing.
E. Tinjauan Umum Kontrak Karya
Kontrak karya merupakan perjanjian innominaat yaitu perjanjian
yang
pengaturannya tidak diatur dalam KUHPerdata. Karena kontrak
karya adalah perjanjian khusus yang ketentuannya merujuk pada Pasal
1338 KUHPerdata, yang terkenal dengan asas kebebasan berkontrak.25
Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang
membuatnya.26 Kontrak karya merupakan perjanjian yang bersifat
dinamis di mana terdapat butir-butir yang dapat dinegosiasi ulang
seperti: luas wilayah, tenaga kerja, royalti, masa kontrak, pajak,
25Salim H.S, Perkembangan Hukum Innominaat di Indonesia, Jakarta:
Sinar Grafika, 2003, hal.63. 26Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Burgerlijk Wetboek, diterjemahkan oleh Subekti Tjitrosudibio, Pasal
1338.
-
12
pengembangan wilayah usaha setempat, domestic market obligation,
dan kepemilikan saham.
Bentuk kontrak karya yang dibuat antara pemerintah Indonesia
dengan perusahaan penanaman modal asing atau patungan (joint
venture) antara perusahaan asing dengan perusahaan domestik adalah
bersifat tertulis. Substansi kontrak disiapkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia melalui Departemen ESDM ( Energi dan sumber Daya
Mineral ) dengan calon penanam modal. Substansi dari kontrak karya
antara lain meliputi:
1) Tanggal persetujuan dan tempat dibuatnya kontrak karya. 2)
Subjek hukum yaitu Pemerintah dan penanam modal. 3) Definisi, yaitu
Pengertian perusahaan affiliasi, perusahaan subsidair,
pengusahaan, individu asing, mata uang asing, mineral-mineral,
penyelidikan umum, eksplorasi, wilayah pertambangan, pemerintah,
menteri, rupiah, mineral ikutan, penambangan, pemanfaatan
lingkungan hidup, pencemaran, kotoran, dan wilayah proyek.
4) Penunjukan dan tanggung jawab perusahaan. 5) Modus Operandi,
yaitu memuat tentang kedudukan perusahaan, yurisdiksi
pengadilan, kewajiban perusahaan untuk menyusun program,
mengkontrakkan pekerjaan jasa-jasa teknis, manejemen dan
administrasi yang dinggap perlu.
6) Wilayah kontrak. 7) Periode penyelidikan umum. 8) Periode
eksplorasi. 9) Laporan dan deposito jaminan. 10) Periode studi
kelayakan. 11) Periode konstruksi. 12) Periode operasi. 13)
Pemasaran. 14) Fasilitas umum dan re-ekspor. 15) Pajak-pajak dan
lain-lain kewajiban keuangan perusahaan. 16) Pelaporan,inspeksi dan
rencana kerja. 17) Hak-hak khusus pemerintah. 18)
Ketentuan-ketentuan kemudahan. 19) Keadaan memaksa (force majure).
20) Kelalaian. 21) Penyelesaian sengketa. 22) Pengakhiran kontrak.
23) Kerja sama para pihak. 24) Promosi kepentingan nasional. 25)
Kerja sama daerah dalam pengadaan prasarana tambahan. 26)
Pengelolaan dan perlindungan lingkungan. 27) Pengembangan kegiatan
usaha setempat. 28) Ketentuan lain-lain. 29) Pengalihan hak. 30)
Pembiayaan. 31) Jangka waktu. 32) Pilihan hukum.
-
13
Akan tetapi aturan baru dalam pertambangan UU No. 4 Tahun 2009,
model Kontrak Karya tidak dikenal lagi. Mengacu pada aturan
peralihan UU No. 4 Tahun 2009, Kontrak Karya yang ditutup sebelum
berlakunya undang-undang tersebut wajib mengikuti ketentuan
mengenai Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebagaimana diatur dalam
Pasal 36 dan Pasal 39 UU No. 4 tahun 2009. Adapun Izin Usaha
Pertambangan (IUP) eksplorasi berdasar ketentuan Pasal 39 UU No. 4
Tahun 2009 wajib memuat ketentuan sekurang-kurangnya:27
1) nama perusahaan; 2) lokasi dan luas wilayah; 3) rencana umum
tata ruang; 4) jaminan kesungguhan; 5) modal investasi; 6)
perpanjangan waktu tahap kegiatan; 7) hak dan kewajiban pemegang
IUP; 8) jangka waktu berlakunya tahap kegiatan; 9) jenis usaha yang
diberikan; 10) rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di
sekitar wilayah
pertambangan; 11) perpajakan; 12) penyelesaian perselisihan; 13)
iuran tetap dan iuran eksplorasi; dan 14) Amdal.
Sedangkan dalam IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 36 ayat (1) huruf b wajib memuat kctentuan
sekurang-kurangnya:28 1) nama perusahaan; 2) luas wilayah; 3)
lokasi penambangan; 4) lokasi pengolahan dan pemurnian, 5)
pengangkutan dan penjualan; 6) modal investasi; 7) jangka waktu
berlakunya IUP; 8) jangka waktu tahap kegiatan; 9) penyelesaian
masalah pertanahan; 10) lingkungan hidup termasuk reklamasi dan
pasca tambang; 11) dana jaminan reklamasi dan pasca tambang; 12)
perpanjangan IUP; 13) hak dan kewajiban pemegang IUP; 14) rencana
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah
pertambangan;
27Indonesia. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4959), Pasal 39. 28Indonesia. Undang-undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4959), Pasal 36 ayat (1)
-
14
15) perpajakan; 16) penerimaan negara bukan pajak yang terdiri
atas iuran tetap dan iuran produksi; 17) penyelesaian perselisihan;
18) keselamatan dan kesehatan kerja; 19) konservasi mineral atau
batubara; 20) pemanfaatan barang, jasa, dan teknologi dalam negeri;
21) penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan pertambangan yang
baik; 22) pengembangan tenaga kerja Indonesia; 23) pengelolaan data
mineral atau batu bara; dan 24) penguasaan, pengembangan, dan
penerapan teknologi pertambangan mineral
atau batu bara
Berdasarkan perbandingan di atas, bahwa isi dari Izin Usaha
Pertambangan (IUP) tidak jauh berbeda dengan klausula minimal yang
harus ada pada kontrak karya. Hal ini tentunya membawa problematika
baru di dalam upaya penegakan hukum, misalnya jika terjadi
penyelesaian sengketa perizinan yang memungkinkan dibawa ke ranah
arbitrase.29 Hal ini merupakan kejanggalan atau keanehan mengingat
sengketa izin tidak masuk dalam sengketa perdagangan.30
Indonesia sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi
Konvensi UNIDROIT melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 59 Tahun 2008 tentang Pengesahan Statute of International
Institute for The Unification of Private Law (Statuta Lembaga
Internasional Untuk Unifikasi Hukum Perdata), mengakui adanya
konvensi tersebut dan bersedia menjalankan ketentuan-ketentuan
dalam konvensi tersebut. Berdasarkan prinsip UNIDROIT, terdapat
pula asas-asas/ prinsip-prinsip yang dapat dijadikan acuan dalam
suatu kontrak seperti Pertama, Prinsip kebebasan berkontrak,
dirumuskan secara tegas dalam Pasal 1 Prinsip UNIDROIT yang
menyatakan bahwa the parties aree free to enter into a contract and
determine its content.31 Kedua, Prinsip Pacta Sunt Servanda, di
mana kontrak yang dibuat secara sah mempunyai kekuatan mengikat
para pihak dalam kontrak tersebut, sehingga apabila akan dilakukan
perubahan atau pemutusan kontrak, harus berdasarkan persetujuan di
antara para pihak atau berdasarkan syarat kontrak yang disepakati
sebelumnya. 32 Ketiga Prinsip Itikad Baik dan Transasksi Jujur yang
mengandung arti para pihak dalam kontrak wajib menjunjung tinggi
prinsip itikad baik dan transaksi jujur dalam keseluruhan jalannya
kontrak mulai dari negosiasi, pembuatan, pelaksanaan, sampai
29Pasal 154 Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan
Setiap sengketa yang muncul dalam pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK
diselesaikan melalui pengadilan dan arbitrase dalam negeri sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan 30Faizal Kurniawan,
Aspek Kontraktual Pengelolaan Pertambangan Mineral Dan Batu Bara,
Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2009, Hal. 15.
31International Institute for The Unification of Private Law,
International Principles of Commercial Contracts, (Roma: 2010),
Article 1.1 (Freedom of Contract). 32A contract validly entered
into is binding upon the parties. It can only be modified or
terminated in accordance with its term or by agreement or as
otherwise provided in these Principles., International Institute
for The Unification of Private Law, International Principles of
Commercial Contracts, (Roma: 2010), Article 1.3 (Binding character
of Contract).
-
15
berakhirnya kontrak.33 Keempat Prinsip Gross Disparity di mana
prinsip ini memberikan kepada pihak dalam perjanjian untuk
mengajukan pembatalan kontrak apabila terjadi perbedaan yang
mencolok (gross disparity) yang menyebabkan salah satu pihak
mendapat keuntungan yang berlebihan.34 Kelima Prinsip Hardship yang
menyatakan bahwa apabila pelaksanaan kontrak menjadi lebih berat
bagi salah satu pihak, pihak tersebut tetap terikat melaksanakan
perjanjian dan menghormati kontrak.35 Dijelaskan pula dalam prinsip
ini, jika adanya kesulitan (hardship) yang mengandung perubahan
fundamental keseimbangan kontrak, maka pada tahap pertama pihak
yang dirugikan, berhak untuk meminta renegosiasi atas syarat
kontrak awal untuk disesuaikan dengan keadaan yang berubah.36
Prinsip ini sesuai dengan Prinsip Rebus sic Stantibus dalam Common
Law yang menyatakan bahwa apabila kondisi berubah maka kewajiban
dalam suatu perjanjian berakhir/ harus disesuaikan.
Berdasarkan prinsip di atas, maka Kontrak Karya Freeport dengan
Pemerintah Indonesia juga secara tidak langsung tunduk pada
prinsip-prinsip di atas. Terkait prinsip Rebus Sic Stantibus hal
ini pada dasarnya telah diadopsi dalam KUHPer Indonesia dalam Pasal
1339 yang menyatakan suatu kontrak tidak boleh bertentangan dengan
kepatutan, kebiasaan, maupun Undang-Undang.
Ada beberapa aspek yang perlu juga diperhatikan selain
ketentuan-ketentuan khusus di atas, yaitu mengenai syarat sahnya
kontrak. Merujuk kepada Pasal 1320 KUHPerdata ada beberapa hal
untuk melihat perjanjian atau kontrak itu bisa dikatakan sah atau
tidak, antara lain pertama, sepakat mereka yang telah mengikatkan
dirinya, terkait sepakat ini KUHPerdata tidak ada menjelaskan apa
yang dimaksud sepakat, akan tetapi justru sebaliknya menyebutkan
kondisi atau situasi yang tidak sepakat tersebut dalam beberapa
pasal-pasal dalam KUHPerdata. Pasal-pasal tersebut antara lain
1321, 1322, 1323, 1324, 1325, dan 1328.37
Kedua, kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Terkait cakap
atau tidak nya seseorang pada prinsipnya setiap orang cakap untuk
membuat perjanjian yang melahirkan perikatan sebagaimana dimaksud
Pasal 1329 KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap orang adalah
cakap untuk membuat perikatan kecuali oleh Undang-Undang dinyatakan
tidak cakap, Undang-Undang yang dimaksud adalah Pasal 1330
KUHPerdata, sebab Undang-Undang dalam hal ini diartikan sempit.38
Ketiga, mengenai suatu hal tertentu. Dalam hal tertentu atau objek
tertentu, KUHPerdata telah mengatur dalam Pasal 1332 yang
menyatakan bahwa hanya barang-barang yang diperdagangkan saja yang
dapat menjadi pokok kontrak. Pasal 1333 KUHPerdata (pokok barang
tersebut dapat ditentukan jenisnya dalam hal bahan galian/tambang),
sehingga dari uraian tersebut jelas 33International Institute for
The Unification of Private Law, Loc. Cit, Article 1.7 (Good faith
and fair dealing). 34Ibid, Article 3.2.7 35Ibid, Article 6.2.1
36Ibid, Article 6.2.3. 37Elly Erawati, Herlien Budiono, Penjelasan
Hukum tentang Kebatalan Perjanjian, Jakarta: NLRP, 2010, hal. 55.
38Pasal 1330 KUHPerdata menyatakan tidak cakap untuk membuat
persetujuan-persetujuan adalah 1)Orang yang belum dewasa, 2)Mereka
yang ditaruh di bawah pengampuan.
-
16
bahwa suatu hal tertentu tersebut adalah bahan galian (tambang),
yang belum tentu ada dan harus memerlukan penelitian lagi dengan
melalui penyelidikan umum. Dan keempat, suatu sebab yang halal.
Sebab yang halal adalah sebagaimana di atur dalam Pasal 1335
KUHPerdata, Pasal 1336 dan Pasal 1337 KUHPerdata.
Keempat syarat di atas sebagaimana dimaksud Pasal 1320 dapat
digolongkan menjadi dua bagian, yaitu syarat subjektif dan syarat
objektif. Dikatakan sebagai syarat subjektif dikarenakan berkenaan
dengan dingan person atau subjek yang melakukan perikatan, yang
termasuk syarat subjektif adalah kesepakatan dan kecakapan. Untuk
syarat objektif sendiri, merupakan syarat yang berkenaan dengan
objek dari perjanjian itu, yang termasuk syarat objektif adalah
mengenai suatu hal tertentu dan sebab yang halal. Perikatan yang
tidak memenuhi syarat sah kontrak sebagaimana dimaksud Pasal 1320
KUHPerdata di atas akan memiliki akibat hukum sebagai berikut:39 1)
non-eksistensi, apabila tidak ada kesepakatan maka tidak timbul
kontrak. 2) vernietigbaar atau dapat dibatalkan, apabila kontrak
tersebut lahir karena
adanya cacat kehendak (wilsgebreke) atau karena ketidakcakapan
(onbekwaamheid) - (syarat Pasal 1320 BW angka 1 dan 2), berarti hal
ini terkait dengan unsur subyektif, sehingga berakibat kontrak
tersebut dapat dibatalkan, dan
3) nietig atau batal demi hukum, apabila terdapat kontrak yang
tidak memenuhi syarat obyek tertentu atau tidak mempunyai causa
atau causanya tidak diperbolehkan (syarat Pasal 1320 BW angka 3 dan
4), berarti hal ini terkait dengan unsur subyektif, sehingga
berakibat kontrak tersebut batal demi hukum.
Sedang dalam kepustakaan common law keabsahan kontrak
diklasifikasikan ke dalam beberapa hal, meliputi:40 1) A valid
contract, di mana seluruh elemen terpenuhi dalam kontrak tersebut.
2) A voidable contract, apabila salah satu pihak memberikan sepakat
karena
adanya cacat kehendak (misrepresentation, duress or undue
influence). 3) An unenforceable contract, kontrak tersebut sah,
namun tidak dapat
dilaksanakan karena ada hal-hal tertentu yang tidak atau belum
dipenuhi, umumnya terkait dengan formalitas kontrak, misal tidak
adanya perijinan.
4) An illegal contract, merupakan kontrak dengan tujuan atau
obyeknya dilarang menurut hukum dilarang (illegal). Berkaitan
dengan tidak dipenuhinya persyaratan formal yang meliputi
persyaratan administratif dan teknis di dalam kontrak karya,
maka akibat hukum terhadap kontrak karya tersebut adalah tidak
dapat dilaksanakan (unenforceable). Oleh karenanya kontrak tersebut
tidak mempunyai daya berlaku sebelum terpenuhinya persyaratan
administrasi.41
39J.H. Niewenhuis, 1985, Hoofdstukken Verbintenissenrecht,
terjemahan D. Saragih, Surabaya, hal. 6 dalam Faizal Kurniawan, Op.
Cit. 40M.L. Barron, 1998, Fundamentals of Business Law, McGraw Hill
Book Co. Sydney, hal. 144-145 dalam Faizal Kurniawan, Ibid.,
41Ibid
-
17
Sehubungan dengan berakhirnya perjanjian/ kontrak, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata mengatur 10 (sepuluh cara untuk
berakhirnya suatu perjanjian, yakni:42
1) Karena Pembayaran; 2) Karena Penawaran pembayaran tunai,
diikuti dengan penyimpanan atau
kenitipan (konsignasi); 3) Karena pembaruan utang (novasi); 4)
Karena perjumpaan utang atau kompensasi; 5) Karena pencampuran
utang; 6) Karena pembebasan utang; 7) Karena musnahnya barang yang
terutang; 8) Karena kebatalan atau pembatalan; 9) Karena berlakunya
suatu syarat batal; 10) Karena lewat waktu (daluwarsa);
Dalam hal perjanjian berakhir karena pembayaran; pembayaran
tunai,diikuti dengan penyimpanan atau kenitipan (konsignasi);
pembaruan utang (novasi); perjumpaan utang atau kompensasi dan
pencampuran utang, maka kreditur tetap menerima prestasi dari
debitur. Dalam hal berakhir karena pembebasan utang, kreditur tidak
menerima prestasi karena kreditur secara sukarela melepaskan
prestasinya; Sedangkan dalam hal perjanjian batal karena musnahnya
barang yang terutang; kebatalan atau pembatalan; berlakunya suatu
syarat batal;dan karena lewat waktu (daluwarsa), maka kreditur
tidak menerima prestasi karena perikatan tersebut gugur atau telah
dianggap gugur.43
Pelaksanaan kontrak karya di Indonesia pada dasarnya mengacu
pada
dua hal yaitu: 1). Aturan hukum Indonesia yang dikorelasikan
dengan aturan hukum asing di mana perusahaan tambang asing tersebut
mendasarkan hukumnya sebagai pedoman dalam hal terjadi sengketa
perdata antara pihak Indonesia dengan perusahaan tambang asing
tersebut. 2). Model kontrak karya, di mana kontrak karya tersebut
memuat berbagai hal yang diperjanjikan antara Pemerintah Indonesia
dengan perusahaan tambang asing.44
F. Kebijakan Pemerintah Dalam Pengaturan Divestasi Penanaman
Modal
Asing
Divestasi saham adalah pelepasan, pembebasan, pengurangan modal.
Disebut juga divestment yaitu kebijakan terhadap perusahaan yang
seluruh sahamnya dimiliki investor asing untuk secara bertahap
tetapi pasti mengalihkan saham-sahamnya itu kepada mitra bisnis
lokal atau proses yang mengakibatkan
42R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (Jakarta: Pradnya Paramita, 2009), Pasal 1381. 43Mariam
Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan
Penjelasan. (Bandung: Alumni, 1996), hal. 156. 44Edo Chermando, Ery
Agus Priyono, F.X. Joko Priyono, Loc. Cit., hal.8.
-
18
pengalihan saham dari peserta asing ke peserta nasional Istilah
lain untuk kebijakan di Indonesia disebut Indonesiasi saham.
Perlunya menempuh langkah divestasi adalah terkait karena
alasan-alasan antara lain: (1) Aset yang dijual lebih tinggi
nilainya bagi pembeli, dalam arti pembeli bisa menggunakan secara
lebih efisien. (2) Divestasi bukan didorong nilai asset, tetapi
lebih ditekankan pada kemunculan kebutuhan mendesak atas dana tunai
oleh perusahaan yang melakukan divestasi. Hasil divestasi biasanya
digunakan untuk melunasi kewajibannya. (3) Alasan bahwa aset-aset
yang dijual tidak ada hubungannya dengan bisnis utama perusahaan
yang bersangkutan.
Kebijakan Pemerintah yang terkait dengan divestasi dalam rangka
penanaman modal dahulu telah diuraikan secara rinci dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam
Perusahaan yang didirikan dalam rangka Penanaman Modal Asing, yang
secara garis besar mengatur hal-hal sebagai berikut:45 1) Penanaman
modal asing dapat dilakukan dalam bentuk:
a. patungan antara modal asing dengan modal yang dimiliki warga
Negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia, atau
b. langsung, dalam arti seluruh modalnya dimiliki oleh warga
Negara dan/atau badan hukum asing;
2) Jumlah modal yang ditanamkan dalam rangka penanaman modal
asing ditetapkan sesuai dengan kelayakan ekonomi kegiatan
usahanya.
Saham peserta Indonesia dalam perusahaan yang didirikan dalam
bentuk patungan antara modal asing dengan modal yang dimiliki Warga
Negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia, sekurang-kurangnya
5% (lima perseratus) dari seluruh modal disetor perusahaan pada
waktu pendirian. Penjualan lebih lanjut saham perusahaan, jumlah
sekurang-kurangnya 5% dapat dilakukan kepada warga Negara Indonesia
atau badan hukum Indonesia yang modal sahamnya dimiliki warga
Negara Indonesia melalui pemilikan langsung sesuai kesepakatan para
pihak dan/atau pasar modal dalam negeri.
Perusahaan yang didirikan atas penanaman modal asing dalam
bentuk langsung, dalam jangka waktu paling lama lima belas tahun
sejak berproduksi komersial menjual sebagian sahamnya kepada warga
Negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia melalui pemilikan
langsung atau melalui pasar modal dalam negeri.
Pengalihan saham tersebut tidak mengubah status perusahaan. Di
samping melakukan penambahan modal saham dalam perusahaan sendiri,
perusahaan yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing yang
telah berproduksi komersial dapat pula:46
1) mendirikan perusahaan baru, dan/atau 2) membeli saham modal
dalam negeri dan/atau perusahaan yang didirikan bukan
dalam rangka berdiri, baik yang telah atau belum berproduksi
komersial melalui pasar modal dalam negeri.
45Anang Priyanto, Eni Kusdarini, Candra Dewi Puspitasari, Loc
Cit., hal. 20-21. 46Ibid, hal. 25.
-
19
Saham tersebut dapat juga dibeli oleh perusahaan yang didirikian
dalam bentuk patungan, melalui pemilikan langsung sesuai
kesepakatan para pihak. Pembelian saham tersebut tidak mengubah
status perusahaan. Pembelian saham sebagaimana dimaksud dalam a dan
b di atas dapat dilakukan sepanjang bidang usaha perusahaan
tersebut tetap terbuka bagi penanaman modal asing.
Dengan demikian segala kebijakan Pemerintah dalam pengaturan
divestasi penanaman modal asing dalam sektor pertambangan secara
yuridis tidaklah bertentangan dengan aturan dasarnya yaitu
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok
Pertambangan. Kedua aturan dasar tersebut memang dibuat hanyalah
berisi ketentuan pokok yang dalam pelaksanaannya di atur lebih
lanjut dengan peraturan-peraturan pelaksanaan, seperti Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri. Namun
demikian masih perlu dipertanyakan apakah kepemilikan saham PMA
dalam sektor pertambangan khususnya pertambangan umum sudah sesuai
dengan rasa keadilan masyarakat?47
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 hanya ada satu pasal
yang mengatur tentang divestasi saham yaitu Pasal 7. Ketentuan ini
berkaitan dengan kewenangan pemerintah untuk tidak akan melakukan
tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam
modal kecuali dengan Undang-Undang. Nasionalisasi adalah pemindahan
(cabang industri atau perdagangan yang penting) dari private
menjadi milik atau di bawah pengawasan negara. Pengambilalihan hak
kepemilikan penanam modal atau lazim disebut divestasi modal adalah
upaya untuk membeli modal yang dimiliki investor khususnya investor
asing.48
Pengaturan mengenai divestasi ini diatur kembali pada PP No. 24
tahun 2012 yang menyebutkan antara lain:49
1) Perusahaan asing yang menjadi pemegang izin pertambangan
setelah 5 (lima) tahun produksi wajib mendivestasi sahamnya secara
bertahap, sehingga pada tahun kesepuluh sahamnya paling sedikit 51%
dimiliki peserta Indonesia.
2) Tahapan divestasinya adalah 20% dari seluruh saham pada tahun
keenam produksi, kemudian 30% pada tahun ketujuh, 37% pada tahun
kedelapan, 44% pada tahun kesembilan, dan 51% pada tahun ke-10.
3) Peserta Indonesia yang dimaksud terdiri dari pemerintah,
pemerintah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota, BUMN,
BUMD, atau badan usaha swasta nasional.
4) Ketentuan itu juga menyebutkan bahwa bila proses divestasi
tersebut tidak tercapai, maka penawaran saham dilakukan pada tahun
berikutnya.
5) Selain itu, Pasal 98 di dalam peraturan itu menyebutkan,
dalam hal terjadi peningkatan jumlah modal perseroan, maka peserta
Indonesia sahamnya tidak boleh terdilusi menjadi lebih kecil dari
jumlah saham sesuai tahapan kewajiban divestasinya.
47Ibid 48H. Salim HS. Hukum Divestasi di indonesia. (Jakarta:
PT. Rajagrafindo Persada, 2013), hal. 124. 49Lihat Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral Dan Batubara
-
20
6) Tambang asing yang melanggar ketentuan divestasi akan
dikenakan sanksi administratif mulai dari peringatan tertulis,
penghentian sementara, hingga pencabutan izin.
7) Peraturan itu berlaku sejak diundangkan tanggal 21 Februari
2012 dan tidak berlaku surut. Aturan itu juga berlaku pada seluruh
kontrak yang mendapatkan perpanjangan.
Pada praktiknya, kewajiban divestasi Freeport Indonesia baru
diatur di dalam Pasal 24 Kontrak Karya perpanjangan 1991. Di dalam
pasal tersebut disebutkan kewajiban divestasi Freeport Indonesia
terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah melepas saham ke pihak
nasional sebesar 9,36 persen dalam 10 tahun pertama sejak 1991.
Kemudian kewajiban divestasi tahap kedua mulai 2001, perusahaan
harus melego sahamnya sebesar 2 persen per tahun sampai kepemilikan
nasional menjadi 51 persen.50
Untuk kewajiban divestasi tahap pertama, PTFI sudah
dilaksanakan. Pada tahun 1991, perusahaan emas dan tembaga asing
itu melepas 9,36 persen ke pihak nasional lewat PT Indocopper
Investama. Sayangnya, untuk kewajiban divestasi tahap kedua gugur
setelah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 1994. Di
dalam PP tersebut, kepemilikan saham asing pada anak perusahaannya
di Indonesia boleh sampai 100 persen. Dengan demikian, sampai
sekarang kepemilikan saham nasional di Freeport Indonesia masih
kecil. 51
Pada dasarnya divestasi merupakan upaya pemerintah dan DPR agar
perusahaan pertambangan asing seperti halnya PT. Freeport Indonesia
mampu membawa manfaat besar baik bagi pemeritah maupun masyarakat
Indonesia. Tetapi divestasi saham Freeport bukanlah perkara mudah
karena akan timbul masalah-masalah seperti perebutan masalah
pembelian saham yang didivestasi antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah ataupun adanya kemungkinan pemerintah daerah
hanya dijadikan boneka atau jalan masuk perusahaan swasta untuk
melakukan pembelian saham yang akan menghasilkan keuntungan yang
besar, selain itu kesulitan yang mungkin dihadapi oleh pemerintah
karena harus melakukan renegosiasi kontrak karya pertambangan
dengan PT. Freeport Indonesia.52
Ada dua alasan yuridis dan non yuridis yang mengemukakan
keharusan badan hukum asing melakukan divestasi saham. Alasan
yuridisnya yakni karena tuntutan Undang-Undang yang berimplikasi
kepada pengakhiran kontrak/ didefault apabila tidak melaksanakan.
Sedangkan alasan non yuridis antara lain karena: 1). Meningkatnya
pendapatan negara dan daerah. 2) meningkatnya
50Tri Wahono, Hatta Puji Renegosiasi Kontrak Karya Freeport,
Tersedia di
http://bola.kompas.com/read/2012/07/23/17563876/Hatta.Puji.Renegosiasi.Kontrak.Karya.Freeport,
27 September 2013, 10.30 WIB. 51Josie Susilo Hardianto, Freeport
Menolak Divestasi, Tersedia di
http://entertainment.kompas.com/read/2012/04/20/11462219/Freeport.Menolak.Divestasi,
27 September 2013, 10.35 WIB.
52http://nugroho-sbm.blogspot.com/2011/11/berbagai-masalah-dalam-divestasi.html
-
21
kesejahteraan masyarakat, dan 3). Mengurangi peran asing dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam tambang di
Indonesia.53
G. Sinkronisasi Pelaksanaan Pengaturan Divestasi Dalam
Sektor
Pertambangan Dengan Tujuan Dikeluarkannya Undang-Undang PMA Dan
Tujuan Dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Pertambangan
Pada dasarnya divestasi saham asing tidak hanya memberikan
dampak positif bagi pemerintah, tetapi juga memberikan dampak
positif bagi masyarakat. Dari dividen yang didapat pemerintah,
dividen tersebut dapat digunakan untuk pengembangan masyarakat
seperti kesehatan, pendidikan, pertanian dan sebagainya. Melalui
pengurangan peran badan hukum asing, maka pengelolaan sumber daya
alam tersebut dapat dinikmati bangsa Indonesia sebagai pemilik
sumber daya alam tambang.54
Bila mengkaitkan pelaksanaan pengaturan divestasi dalam sektor
pertambangan dengan tujuan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1967 Jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 dan Undang- Undang
nomor 11 Tahun 1967 Jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, maka yang
paling utama pengkajian mendalam dapat dicermati dari bagian
Penjelasan Umum masing-masing kedua undang-undang tersebut. Dengan
mencermati bagian Penjelasan Umum dari kedua undang-undang tersebut
akan dapat disimpulkan adanya sinkronisasi atau kesejalanan antara
pelaksanaan divestasi dalam sektor pertambangan dengan tujuan
dikeluarkannya kedua Undang-Undang tersebut.
Segala kebijakan pengaturan divestasi sektor pertambangan selalu
mendasarkan pada kedua undang-undang tersebut, hal ini sebagaimana
dicantumkan dalam bagian mengingat dari setiap kebijakan yang
dikeluarkan Pemerintah. Secara garis besar tujuan dikeluarkannya
kedua Undang-Undang tersebut antara lain: 1) Maksud dikeluarkannya
UU 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batu Bara Jo UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok
Pertambangan adalah untuk keselarasan dengan cita-cita dasar Negara
Republik Indonesia serta kepentingan nasional khususnya di bidang
pertambangan, serta adanya tuntutan masyarakat yang menghendaki
agar kepada pihak swasta lebih diberikan kesempatan melakukan
penambangan, sedangkan tugas Pemerintah ditekankan kepada usaha
pengaturan, bimbingan dan pengawasan pertambangan, ditambah lagi
dengan perkembangan politik dan pembaharuan kebijaksanaan landasan
ekonomi, keuangan dan pembangunan. Terkait hal tersebut, maka
dipandang perlu diatur beberapa pokok persoalan mengenai: a.
penguasaan bahan-bahan galian yang berada di dalam, di bawah dan
di
atas wilayah hukum pertambangan Indonesia. Dalam hal ini Negara
menguasai semua bahan-bahan galian dengan sepenuh- penuhnya untuk
kepentingan Negara serta kemakmuran rakyat, karena bahan- bahan
galian tersebut adalah merupakan kekayaan nasional.
53H. Salim HS, Op. Cit., hal. 136. 54Ibid., hal. 138-139.
-
22
b. pembagian bahan-bahan galian dalam beberapa golongan yang
didasarkan atas pentingnya bahan galian itu; Untuk bahan galian
yang strategis seperti minyak bumi, aspal, lilin bumi dan
sejenisnya serta semua jenis gas mudah terbakar dan bahan galian
yang radio aktif yang oleh karena sifatnya yang sangat khusus perlu
dibuat undang-undang tersendiri, sedangkan Undang-Undang
Pertambangan ini dianggap sebagai peraturan pokok, sehingga
pembuatan peraturan lanjutan harus memperhatikan dasar-dasar yang
termaksud dalam Undang-undang pertambangan ini.
c. sifat dari perusahaan pertambangan, yang pada dasarnya harus
dapat diusahakan oleh semua pihak yang berminat dan sanggup dengan
tetap memperhatikan segi keamanan Negara dan tetap berdasarkan
asas-asas kekeluargaan;55
Dalam hal ini dapat diambil cara-cara penguasaannya sebagai
berikut: 56 a. dikerjakan oleh suatu instansi Pemerintah b.
diusahakan oleh Perusahaan Negara; c. diusahakan dengan perusahaan
atas dasar modal bersama oleh pihak
Negara dan daerah; d. diusahakan oleh Perusahaan Daerah; e.
diusahakan oleh perusahaan yang modalnya adalah campuran oleh
Negara
dan pihak swasta, boleh pula modal campuran dengan perseorangan,
asal berkewarganegaraan Indonesia dan boleh pula dengan badan
swasta yang pengurusnya seluruhnya adalah warganegara
Indonesia;
f. diusahakan oleh pihak swasta boleh oleh perseorangan asal
berkewarganegaraan Indonesia, atau boleh badan swasta yang
seluruhnya berkewarganegaraan Indonesia terutama yang mempunyai
bentuk koperasi. d. peranan Pemerintah Daerah lebih diperkuat;
Pemerintah Daerah lebih diperkuat kedudukannya, terutama dalam
pengaturan bahan galian golongan c serta pembagian atas keuntungan
perusahaan pertambangan yang berusaha dalam sesuatu daerah, dan
dalam hal ini perlu kerjasama yang erat dengan pihak Pemerintah
Pusat. e. pengertian kuasa pertambangan tetap dipertahankan; f.
adanya peraturan peralihan untuk mencegah kekosongan dalam
menghadapi pelaksanaan undang-undang pertambangan.
2) Maksud dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal
Asing jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal dengan melihat masalah ekonomi yang diartikan sebagai suatu
masalah untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dengan menambah
produksi barang dan jasa, serta mengusahakan pembagian yang adil
dari barang dan jasa hasil produksi, serta peningkatan produksi
akan dapat tercapai melalui penanaman modal, penggunaan teknologi,
penambahan pengetahuan, peningkatan keterampilan, penambahan
kemampuan berorganisasi management, dan dalam hal ini penanaman
modal memegang peranan yang sangat penting.
55Anang Priyanto, Eni Kusdarini, Candra Dewi Puspitasari, Loc
Cit., hal. 27-28. 56Ibid ., hal. 28.
-
23
Di samping itu dalam rangka menghentikan kemerosotan ekonomi dan
melaksanakan pembangunan ekonomi, maka asas penting yang harus
dipegang teguh ialah bahwa segala usaha harus didasarkan kepada
kemampuan serta kesanggupan rakyat Indonesia sendiri. Namun begitu
asas ini tidak boleh menimbulkan keseganan untuk memanfaatkan
potensi- potensi modal teknologi dan skill yang tersedia dari luar
negeri selama segala sesuatu benar-benar diabdikan kepada
kepentingan ekonomi rakyat tanpa mengakibatkan ketergantungan
terhadap luar negeri. 57
Dominasi modal asing harus dicegah, dan perusahaan-perusahaan
vital yang menguasai hajat hidup orang banyak tetap tertutup bagi
modal asing. Dalam tiap izin penanaman modal asing ditentukan
jangka waktu berlakunya yang tidak lebih dari 30 tahun, kecuali itu
di dalam menentukan bidang- bidang usaha mana modal asing
diperbolehkan, Pemerintah sepenuhnya mengatur rencana-rencana
pembangunan yang akan disusun oleh Pemerintah, dan dalam hal ini
tidak boleh dilupakan bahwa tanah, kekayaan alam dan itikad baik
negara dan bangsa Indonesia juga dapat diperhitungkan sebagai modal
berharga.
Dengan demikian antara Undang-undang Penanaman Modal dengan
Undang-Undang Pertambangan pada kenyataan sudah sejalan satu sama
lain. Hal ini dapat dicermati dari Penjelasan Umum masing-masing
undang-undang tersebut yang lebih mengutamakan kepentingan nasional
dan kemakmuran rakyat. Secara yuridis normatif apa yang menjadi
tujuan dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal dan
Undang-Undang Pertambangan tidak ada pertentangan atau sudah
sejalan sesuai dengan kehendak tujuan nasional negara Republik
Indonesia.
Adapun dalam kenyataan muncul kasus-kasus yang kurang memberikan
keuntungan bagi bangsa Indonesia terutama kasus PT Freeport
Indonesia berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2004
dan 2005 bahwa dari hasil pemeriksaan dapat dikemukakan bahwa unsur
Sistem Pengendalian Intern atas pengelolaan PNBP telah dibuat,
melalui susunan organisasi yang telah memisahkan fungsi pencatatan,
penghitungan dan verifikasi; penerapan kebijakan mengenai penetapan
royalti dan iuran tetap serta pengenaan denda keterlambatan
pemenuhan kewajiban keuangan perusahaan; perencanaan penetapan
anggaran PNBP yang dilakukan berdasarkan pembahasan RKAB;
pelaksanaan prosedur pelaporan dan rekonsiliasi dengan instansi
terkait; penatausahaan dokumen dan bukti-bukti setoran PNBP; serta
adanya kegiatan pengawasan baik yang dilaksanakan oleh Direktorat
Pengusahaan Mineral dan Batubara (DPMB) maupun oleh Tim
Optimalisasi Penerimaan Negara (OPN), terdapat ketidak sesuaian
terhadap peraturan, prinsip akuntansi yang berlaku umum dan
ketentuan kontrak pada TA 2004 dan TA 2005 sebesar USD17,040.72
ribu (20.19%) dan Rp192.228,10 juta (52,69%) dari realisasi
anggaran yang diperiksa, sehingga menghilangkan potensi penerimaan
Negara pada tahun 2004 dan 2005 (Semester I) sebesar USD2,228.98
ribu, potensi penerimaan barang tambang ikutan berupa belerang
minimal sebesar USD14,442.25 ribu tidak dapat direalisasikan,
Penerimaan iuran royalti dan iuran tetap dari PTFI untuk bagian
Pemerintah Pusat
57Ibid
-
24
pada tahun 2004 sebesar Rp75.347,12 juta dan tahun 2005
(Semester I) sebesar Rp116.880,98 juta atau total sebesar
Rp192.228,10 juta belum dibukukan sebagai PNBP Dep. ESDM sehingga
Laporan Realisasi Anggaran Departemen belum menunjukkan realisasi
penerimaan yang sebenarnya, PT Freeport Indonesia kurang membayar
royalti tahun 2003 dan 2004 sebesar USD369.49 ribu, sehingga
royalti tersebut belum dapat digunakan untuk kepentingan Negara,
Penjualan konsentrat dari PTFI ke Perusahaan Glencore AG pada tahun
2004 di bawah harga pasar sehingga menghilangkan potensi penerimaan
pajak penghasilan sebesar USD5,914,42 ribu. 58 Belum lagi
berdasarkan hasil penelitian ICW bahwa ada dugaan PT. Freeport
Indonesia yang tidak melakukan pembayaran royalty sesuai
kesepakatan dengan Negara sehingga merugikan Negara senilai Rp.
1.519 Triliun59
Semua itu tidaklah terkait dengan isi normatif peraturan
perundang-undangan yang berlaku (UU Penanaman Modal dan
Undang-Undang Pertambangan). Namun demikian jika mengkaji isi
Undang-Undang Penanaman Modal dan Undang-Undang Pertambangan dari
sisi maksud dan tujuannya semestinya Undang-Undang ini juga harus
disesuaikan dengan kondisi ekonomi dan kondisi masyarakat saat ini
yang sesuai dengan era reformasi dan era globalisasi yang
menghendaki kejelasan dan kerincian sebuah peraturan perundangan.
Apalagi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan, yang dalam Pasal 6 ayat
(1) nya dinyatakan bahwa materi peraturan perundang-undangan harus
mengandung beberapa asas, yang beberapa diantaranya adalah asas
keseimbangan, keserasian dan keselarasan, yaitu asas bahwa setiap
materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan
individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
60
Demikian juga asas keadilan yaitu asas bahwa setiap materi
peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. Asas-asas ini
pada era Orde Baru tidak pernah dimunculkan dan yang lebih
ditekankan pada saat itu adalah kepentingan umum yang diutamakan
dari pada kepentingan pribadi atau golongan.61
Anggota Komisi VII DPR, Satya Yudha menuturkan, PP No. 24 Tahun
2012 harus diartikan sebagai kebangkitan industri pertambangan
nasional. Penanaman modal asing memberikan investasi besar dan
divestasi diberlakukan secara bertahap, karena selama ini
perusahaan tambang nasional tidak pernah mendapat kesempatan
investasi di pertambangan besar. Menurutnya, tidak pernah ada
kesempatan apabila harus dimulai sejak eksplorasi, karena biaya
cukup tinggi. Divestasi ini dapat berjalan, bila pemerintah
menyiapkan strategi portofolio BUMN telah siap. Ia berpendapat PT
Freeport Indonesia saat ini belum dapat
58Ibid., hal. 29. 59Indonesian Corruption Watch, Menimbang
Manfaat Freeport Bagi Indonesia, Terdapat di
http://antikorupsi.org/antikorupsi/q=content/20936/pemerintah-harus-renegosiasi-kontrak-freeport,
tanggal 26 September 2013, 20.45 WIB. 60Anang Priyanto, Eni
Kusdarini, Candra Dewi Puspitasari, Loc Cit., hal. 29 61Ibid.,
-
25
dimasukkan dalam aturan ini. Tapi, jika proses renegosiasi
dimasukkan aturan divestasi, Freeport wajib mendivestasi sahamnya
kepada mitra Indonesia tergantung tipe kontrak masing-masing.62
Namun, menurut Hikmahanto Juwana, meskipun kewajiban divestasi
51% pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 hanya ditujukan
bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Pasal 169 ayat b
Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu
Bara sebagai dasar PP tersebut menyatakan bahwa ketentuan yang
tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya
pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) harus disesuaikan dengan
UU Minerba selambat-lambatnya setahun sejak UU Minerba diterbitkan.
Pemegang kontrak karya pertambangan mineral yang belum memiliki
kewajiban divestasi ke nasional, seperti PT Freeport Indonesia,
anak usaha Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, dinilai harus
mengikuti kewajiban divestasi berdasarkan Peraturan Pemerintah No
24 tahun 2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batu Bara.63 Selain itu Hikmahanto Juwana juga
menyebutkan bahwa penerapan Pasal 169 huruf (b) bukan merupakan hal
aneh karena berdasarkan Pasal 1338 KUHPer ditentukan bahwa
Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan
kepatutan. Bila dilanggar akan menyebabkan batalnya perjanjian
tersebut. Oleh karenanya sangat perlu dilakukan negosiasi ulang
terhadap ketentuan Kontrak Karya yang bertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batu Bara.64
Lebih jauhnya, Hikmahanto Juwana menegaskan, dalam kaitannya
dengan proses renegosiasi kontrak, pemerintah harus tegas menolak
perpanjangan kontrak karya Freeport dengan alasan-alasan sebagai
berikut:65
1) Pasal 169 ayat (B) UU Mineral dan Batubara mengamanatkan,
kontrak karya akan tetap dihormati hingga masa berakhirnya. Amanah
itu harus dihormati karena UU Minerba merupakan pengejawantahan
kehendak dari masyarakat Indonesia. Yaitu, agar presiden mempunyai
kewajiban memegang teguh sesuai sumpahnya ketika dilantik.
2) Freeport sudah terlalu banyak menikmati kekayaan yang
seharusnya digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
Apalagi, Freeport hingga saat ini enggan untuk transparan berapa
keuntungan yang diperoleh.
3) Bila perpanjangan diluluskan oleh pemerintah atas desakan
pemerintah AS berarti negara Paman Sam tersebut telah menerapkan
politik adu domba. Yaitu, antara pemerintah RI dengan rakyatnya
sendiri. karena menurutnya saat ini masyarakat Indonesia tidak bisa
menerima
62Satya Yudha, Pro Kontra Kewajiban Divestasi Perusahaan Tambang
Dengan Terbitnya PP No.24/2012, Tersedia di
http://irmadevita.com/2013/pro-kontra-kewajiban-divestasi-perusahaan-tambang-dengan-terbitnya-pp-no-242012,
22 September 2013, 21.15 WIB. 63Hikmahanto Juwana, Kepastian Hukum
di Sektor Pertambangan Pasca disahkannya UU Minerba, Seminar Hukum
Online. Jakarta, 21 Januari 2009. 64Ibid. 65Hikmahanto Juwana,
Pengamat: Tolak Perpanjangan Kontrak Karya Freeport dalam
http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/12/09/03/m9s3oc-pengamat-tolak-perpanjangan-kontrak-karya-freeport,
25 September 2013, 21.55 WIB.
-
26
keberadaan Freeport yang terus menguras kekayaan sumber saya
mineral Indonesia.
Pada akhirnya Kontrak Karya yang digagas pada tahun 1967 itu
sebenarnya ikut memupuk kecemburuan sosial yang terjadi karena
proses-proses pemberian sumber daya alam Papua kepada PT. Freeport
Indonesia. Hal yang alih-alih memberdayakan masyarakat Papua,
tetapi makin meramaikan peta konflik dengan hadirnya wajah
baru66
Di sisi lain, perlu diketahui bahwa Kontrak Karya Pertambangan
yang memberikan hak kepada kontraktor untuk melaksanakan usahanya
sejak tahap survei, eksplorasi, eksplorasi, sampai dengan tahap
eksploitasi, pengolahan, sampai ke penjualan hasil usahanya dan
mengakibatkan tidak ada pemisahan antara tahap praproduksi dan
tahap operasi produksi, juga memuat ketentuan mengenai keuangan dan
perpajakan selama jangka waktu berlakunya kontrak. Pemerintah juga
memberikan lex spesialis pada Kontrak Karya Pertambangan yang
sebenarnya merupakan langkah untuk menciptakan iklim investasi baik
di Indonesia. Ketentuan ataupun kesepakatan yang telah tercantum
dalam kontrak tidak akan berubah karena berganti-gantinya peraturan
perundang-undangan yang berlaku umum. Hal ini menyebabkan Investor
merasa ada kepastian hukum bagi usahanya. Jaminan kepastian hukum
ini sebenarnya penting karena usaha pertambangan memerlukan modal
besar dan beresiko tinggi.
66Dalam catatan Ir. Alibasjah Inggriantara, SE, MMBAT ia
mengutip beberapa persoalan mendasar yang ia nilai amat
mengecewakan penduduk asli Papua mengenai keberadaan PT. Freeport
Indonesia, yaitu: Pertama, Tidak legalnya penyerahan kepada
Freeport, karena seharusnya menunggu pelaksanaan pleebisit 1969,
karena pada saat itu Papua belum diputuskan untuk menjadi wilayah
integral dari Indonesia. Hal ini diduga sebagai hadiah kepada
Amerika Serikat yang punya peran besar melengserkan orde lama di
Indonesia. Kedua, dari segi kultural, penandatanganan itu sama
sekali tidak melibatkan penduduk asli Papua. Oleh karenanya, banyak
adat-adat penduduk setempat yang dilanggar melalui pengerukan isi
perut bumi Papua, misalnya bagi Suku Amungme yang percaya bahwa di
beberapa gunung di wilayah Papua merupakan tempat bersemayam arwah
Jomun-Nerek, nenek moyang bagi orang Amungme. Ketiga, dari aspek
ekonomi, kontrak itu dinilai sangat merugikan penduduk Papua.
Melalui pola penguasaan saham, hasil yang didapatkan oleh Penduduk
asli maupun Pemerintah Indonesia sangatlah minim. Keempat, secara
geologis areal kontrak karya itu terlalu besar sehingga untuk harga
yang diberikan kepada PT Freeport, sangatlah murah, padahal PT.
Freeport menjadi perusahaan tambang terbesar ketiga di seluruh
dunia melalui penambangan di Papua tersebut. Kelima, aspek
kesejahteraan yang diberikan oleh PT. Freeport, terlalu kecil.
Dengan penghasilan yang luar biasa besarnya, selama 21 tahun
produksi (1973-1994), PT. Freeport hanya menyisihkan anggaran
sebesar 5,56% saja untuk program sosial. Walau setelah tahun 1994
meningkat, namun jumlahnya tetap saja tidak lebih dari 10%. Keenam,
PT. Freeport masih kurang menunjukkan perhatian yang baik terhadap
lingkungan hidup, sehingga sampah (tailings) yang ia buang
menyebabkan musnahnya 3.300 vegetasi hutan tropis, terjadinya
penyumbatan mulut sungai dan endapat mulut sungai yang meyebabkan
musnahnya banyak spesies ikan. Selain itu, terdapat juga aliran air
asam tambang akibat proses oksidasi tailings dan batuan limbah.
Lihat: Papua Dalam Konflik Berkepanjangan: Mencari Akar
Penyelesaian Masalah Konflik Papua, Pusat Studi Jepang Universitas
Indonesia, Januari 2004, hal: 15-16. Dalam
(http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/File%20Publikasi/KI_Papua.pdf),
25 September
2013, 21.50 WIB.
-
27
H. Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia dari Ertsberg ke
Grasberg
Lahirnya kontrak karya PT. Freeport Indonesia tidak lepas dari
peran Jacques Dozy yang menemukan cadangan Ertsberg pada tahun
1936, yang dilanjutkan dengan ekspedisi Forbes Eilson pada tahun
1960 untuk menemukan kembali Ertsberg.67 Hasil ekspedisi Forbes
Eilson tersebut baru ditindak lanjuti pasca lahir UU No. 1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 11 Tahun 1967 tentang
Pertambangan. Masih pada tahun 1967 tersebut selanjutnya Pemerintah
dengan PT. Freeport Indonesia (PTFI) sepakat untuk melakukan
kerjasama pengelolaan cadangan Ertsberg yang dituangkan dalam
kontrak karya pertama pada tahun 1967 dengan masa berlaku 30 tahun
terhitung sejak 1973. Setelah beroperasi beberapa tahun, pada tahun
1988 PTFI menemukan cadangan Grasberg, dengan investasi yang
berisiko tinggi dan jaminan investasi jangka panjang, maka pihak
PTFI mencoba menegosiasikan ulang kontrak karya yang sudah ada
untuk diperbarui, sehingga pada tahun 1991 lahirlah kontrak karya
kedua dengan jangka waktu investasi 30 tahun yang berakhir tahun
2021, dan dapat diperpanjang 2 x 10 tahun (sampai tahun
2041).68
Bentuk kontrak karya yang dibuat antara Pemerintah Indonesia
dengan perusahaan penanaman modal asing atau patungan antara
perusahaan asing dengan perusahaan domestik adalah bersifat
tertulis begitu juga dengan kontrak antara Pemerintah Indonesia
dengan PT. Freeport Indonesia sehingga dapat ditinjau menurut
aturan hukum mengenai perjanjian yang berlaku di Indonesia. Tujuan
dari kontrak antara perusahaan pertambangan PT. Freeport Indonesia
dengan Pemerintah pada dasarnya adalah untuk menambang bahan galian
(tambang) dan kesediaan Pemerintah untuk memberikan ijin dengan
imbalan uang atau pajak atau pendapatan guna menambah devisa
negara.
Mengacu kepada pembahasan sebelumnya, bahwa kontrak karya
menggunakan kontrak baku (standart contract). Walau menggunakan
kontrak baku, terkait syarat sahnya kontrak tetap mengacuk kepada
ketentuan perikatan yaitu Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam hal ini
mengenai syarat subjektif seperti kesepakatan, dalam kontrak baku
sepakat dilihat ketika pihak kedua menerima apa yang ditentukan
oleh pihak pertama, pihak pertama merupakan pihak yang memiliki
dominasi atau kekuatan yang lebih, sehingga dia mampu untuk
menentukan isi perikatan. Dominasi pihak pertama dalam kontrak baku
tidak berarti ada unsur paksaan dalam melakukan perikatan, sebab
dalam pelaksaan kontrak baku apabila pihak kedua tidak setuju
dengan isi perikatan ia tidak harus menandatangi isi dari perikatan
atau kontrak itu sendiri. Dalam hal ini para pihaknya adalah PTFI
sebagai pihak yang memiliki modal dan Pemerintah Indonesia sebagai
pihak pemegang wilayah.
Syarat subjektif selanjutnya adalah cakap, yang dikatakan cakap
adalah mereka yang sudah dewasa dan tidak berada dibawah
pengampuan. Dalam konteks ini PTFI sebagai subjek hukum recht
person tidak sedang berada di bawah pengampuan sehingga ia bisa
dikatakan cakap untuk melakukan perikatan,
67http://www.ptfi.co.id/id/media/facts-about-feeport-indonesia/facts-about-kontrak-karya
68Ibid.
-
28
dan negara sebagai subjek hukum memiliki hak juga untuk
melakukan perikatan. Dalam melakukan perikatan, negara sebagai
subjek hukum diwakili oleh organ dari negara tersebut. Perikatan
atau kontrak karya yang dilakukan antara PTFI dengan Pemerintah
Indonesia, pemerintah diwakili oleh Menteri Pertambangan dan
Perminyakan ketika itu.
Terkait syarat objektif dari kontrak karya antara PTFI dengan
Pemerintah Indonesia, pertama suatu pokok hal tertentu. Hal
tertentu dalam hal ini adalah adanya objek yang diperjanjikan.
Objek yang diperjanjikan dalam kontrak karya tersebut adalah
kawasan atau cadangan Ertsberg di Papua seluas 10.000 HA, yang pada
tahun 1991 diperbaharui dengan perluasan wilayah di cadangan
Grasberg seluas 202.950 HA. Sedangkan syarat objektif kedua adalah
sebab yang halal, sebab yang halal dalam hal ini tidak hanya
diartikan halal dalam artian fisik, tapi lebih mengacu apakah objek
yang diperjanjikan tersebut termasuk yang dilarang oleh
undang-undang atau tidak, seperti bahan-bahan narkotika yang
dilarang oleh undang-undang sudah tentu tidak memenuhi ketentuan
sebab yang halal sehingga perjanjian tersebut akan batal demi hukum
atau dengan batal dengan sendirinya. Terkait kontrak karya PTFI
dengan Pemerintah Indonesia, ketika kontrak pertama dan kedua
secara umum bisa dikatakan sudah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang ada ketika itu. Akan tetapi syarat objektif
yang kedua ini lah yang saat ini menjadi permasalahan kontrak karya
PTFI terutama pasca reformasi, lebih tepatnya lagi pasca lahirnya
UU No. 25 tahun 2007 dan UU No. 4 Tahun 2009.
Kontrak karya kedua atau hasil negosiasi pada tahun 1991,
mengenai royalti disepakati sebesar 1%, akan tetapi saat ini UU No.
4 Tahun 2009 mengatur sebaliknya minimal 3,75 % dan mengharuskan
dilakukannya penyesuaian kontrak karya yang sudah ada sebelumnya
dengan UU No. 4 Tahun 2009, dalam hal ini termasuk kontrak karya
PTFI.
Pada awalnya, terkait kontrak karya PTFI juga sudah memicu
konflik, pertama PTFI sempat menjadi konflik di Papua karena lokasi
penambangan tersebut berada di atas tanah ulayat dan perjanjian
tersebut tidak melibatkan unsur-unsur masyarakat adat di Papua.
Jika merujuk kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria (UUPA), yang mengakui dan
menjamin hak-hak ulayat, sudah sepantasnya ketika pembentukan
kontrak karya itu mempertimbangkan aspirasi masyarakat adat
setempat. Bahkan dalam salah satu klausul kontraknya disebutkan
bahwa PTFI berhak untuk memindahkan penduduk yang berada dalam area
kontrak karya mereka.69
Kontrak karya PTFI saat ini menimbulkan banyak pertentangan dari
beberapa kalangan. Terakhir digugatnya kontrak karya PTFI ini di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan oleh IHCS. Gugatan IHCS ini tidak
terlepas dari amanat UU No. 4 Tahun 2009 yang mengamanatkan setiap
kontrak karya yang sudah ada sebelum UU ini lahir harus
disesuaikan, sementara PTFI hingga saat ini belum melakukan
negoisasi ulang terhadap kontrak karya tahun 1991 tersebut. Terkait
gugatan dari IHCS tersebut, berdasarkan putusan Majelis Hakim PN.
Jakarta Selatan menolak gugatan IHCS karena tidak ada kewenangan
IHCS untuk
69Faizal Kurniawan, ibid.
-
29
melakukan gugatan atas kontrak karya tersebut. Pasca putusan
Majelis Hakim PN. Jakarta Selatan terkait gugatan kontrak karya
PTFI oleh IHCS, hingga saat ini kontrak karya PTFI belum
disesuaikan dengan tuntutan UU No. 4 Tahun 2009.
Implikasi hukum terhadap kontrak karya yang tidak memenuhi
persyaratan formal seiring dengan berlakunya UU No. 4 Tahun 2009
yang mana mengubah mekanisme hubungan kontraktual menjadi pemberian
izin tentunya berbeda. Akibat hukum tidak terpenuhinya persyaratan
formal yang meliputi persyaratan administratif, teknis,
persayaratan lingkungan dan persyaratan finansial di dalam
pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah berupa sanksi
administrasi dan sanksi pidana. Namun sanksi administrasi lebih
dikedepankan dalam penegakan hukum terhadap izin. Sanksi
administasi tersebut diatur dalam Pasal 151 ayat (1) UU 4 Tahun
2009, dan dapat berupa :70 1) Peringatan tertulis; 2) Penghentian
sementara sebagian/atau seluruh kegiatan eksplorasi atau
operasi
produksi; dan/atau 3) Pencabutan IUP.
Kelebihan dari penerapan sanksi administrasi, di mana pemberi
izin dapat langsung menerapkan sanksi administrasi tanpa perlu
penetapan pengadilan. Penerapan sanksi admini strasi ini tidak
dapat dilaksanakan dnegan serta merta, namun harus melalui
peringatan tertulis terlebih dahulu, tetapi bila pemegang izin
tetap tidak mengindahkan teguran tersebut, pemberi izin dapat
menerapkan sanksi administrasi tersebut. Dalam hal terjadi
pelanggaran adminstrastif terhadap IUP, maka menteri, gubernur,
bupati/walikota dapat menerapkan sanksi administratif tersebut
sesuai dengan kewenangannya.71
I. Kaitan Masalah Tenaga Kerja dan Royalti PT. Freeport
Dengan
Konsep Investasi
Perlu diketahui bahwa alasan-alasan tentang pentingnya modal
asing antara lain untuk penyediaan lapangan kerja, mengembangkan
industry subsitusi import untuk menghemat devisa, mendorong
berkembangnya industri barang-barang ekspor non migas untuk
mendapatkan devisa, pembangunan daerah-daerah tertinggal dan alih
teknologi.72 Dalam kaitannya dengan PT. Freeport Indonesia, PT.
Freeport Indonesia menggunakan sistem padat karya di mana sistem
ini membutuhkan banyak tenaga kerja, sehingga perusahaan yang
memproduksi tambang emas ini menggunakan 15.000 tenaga kerja. Namun
dari angka tenaga kerja ini, hanya 1500 orang yang merupakan tenaga
kerja dari masyarakat asli atau putera daerah Papua. Para tenaga
kerja ini dikontrak secara
70Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4959), Pasal 151 ayat (1). 71Faizal Kurniawan, Op.
Cit 72Erman Rajagukguk, Hukum Investasi dan Pasar Modal, (Jakarta:
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013), hal. 20-36.
-
30
tetap dengan jaminan hidup yang mencukupi kebutuhan sehari-hari.
73 Hal ini menyebabkan konsep penyediaan lapangan kerja yang
merupakan salah satu alasan pentingnya investasi tidak
terpenuhi.
Hal ini diperparah dengan adanya persoalan mogok kerja beberapa
bulan lalu sehingga menurut Menteri Koordinator Perekonomian Hatta
Rajasa kasus mogok kerja karyawan PT Freeport Indonesia, perusahaan
tambang emas dan tembaga di Grasberg, Papua jika berkepanjangan
karena akan memberikan citra negatif bagi iklim investasi di Tanah
Air. Menurutnya aksi unjuk rasa dengan mogok kerja itu dinilai
tidak baik, karena produksi kondensat dari tambang tersebut
terganggu dan memberikan iklim yang kurang bagus bagi sektor
pertambangan.74
Dalam kaitannya dengan masalah royalty dan investasi, PP 9 Tahun
2012 Jo PP 45 Tahun 2003 menjelaskan bahwa pada dasarnya royalty
yang diatur harus diberikan atas tembaga, emas dan perak
masing-masing adalah sebesar 4%, 3,75%, dan 3,25% dari harga jual
dari harga jual per kg, sedangkan dalam Kontrak Karya PT. Freport
Indonesia dengan Pemerintah Indonesia (Pasal 13) hanya mewajibkan
royalti sebesar 1,5% jika harga tembaga US$ 0,9/pound atau 3,5%
dari harga jual jika harga tembaga US$ 1,1/pound, sedangkan untuk
emas dan perak hanya 1% dari harga jual, hal ini jelas bertetangan
dengan PP 9 Tahun 2012 Jo PP 45 Tahun 2003 dan dapat dijadikan
dasar melakukan renegosiasi ulang kontrak karya. Pemerintah
Indonesia perlu untuk meninjau ulang kontrak karya PT. Fre