KAJIAN KOMUNITAS PADANG LAMUN SEBAGAI FUNGSI HABITAT IKAN DI PERAIRAN PANTAI MANOKWARI PAPUA BARAT HERRY KOPALIT SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
KAJIAN KOMUNITAS PADANG LAMUN SEBAGAI FUNGSI HABITAT IKAN DI PERAIRAN PANTAI MANOKWARI
PAPUA BARAT
HERRY KOPALIT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul“ Kajian Komunitas Padang Lamun Sebagai Fungsi Habitat Ikan Di Perairan Pantai Manokwari Papua Barat” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2010
Herry Kopalit
NRP C252080324
ABSTRACT
HERRY KOPALIT.
Analysis of Seagrass Beds As Fish Habitats Function in Manokwari Coastal Waters, West Papua Province. Under direction of MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL and ARIO DAMAR
Manokwari waters serve as one of the region in Indonesia that high in marine biodiversity including seagrass and fish which justify the urgent need to preserve these waters along with the resources that make up the whole system. However, research and information about marine resources in Manokwari in general about seagrass and fish in particular are still limited. This study aims are to assess the distribution, composition and community structure of seagrass and fish; and examine the difference in fish species associated with seagrass beds by comparing healthy and damaged beds. Based on the results of the research carried out in Rendani, Wosi and Lemon Island, eight species of seagrass were found: Cymodocea rotundata,Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia, Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides. As far as the assessment of cover percentage is concerned, the seagrass beds in Rendani were found healthy with a 60% cover, while the ones in Wosi and Lemon Island were less healthy (40% cover). A total number of 596 individual fishes from 33 species and 19 families were observed. In Rendani, Apogonidae family was found to be the most common with the highest number of individual fishes observed from three species (Apogon guamensis, Fowleria punctata and Siphamia sp). The family of Atherinidae was abundant in Wosi (i.e. Atherinomorus duodecimalis) with brackish water and sloping areas that make it a favorable habitat for this family. Highest day catches were observed with the juvenile stadia (65% of total catches), followed by pre-adult stadia and adult stadia (20% and 15% respectively). Rather similar trend was also noticeable for the evening catch: 44% juvenile, 30% adult, and 26% pre-adult.
Keywords : seagrass,
Rendani, Wosi and Lemon island, cover percentage, healthy
RINGKASAN
HERRY KOPALIT. Kajian komunitas padang lamun sebagai fungsi habitat ikan di perairan Manokwari Papua Barat. Dibawah bimbingan Mohammad Mukhlis Kamal dan Ario Damar selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing
Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan nutrien ke perairan sekitarnya, memiliki fungsi sebagai produsen primer, pendaur ulang zat hara, sebagai habitat biota, tempat memijah ikan, mencari makan berbagai biota laut, stabilisator dasar perairan, perangkap sedimen, penahan erosi dan dapat memproduksi 10 gr bahan kering daun per hari. Pada habitat padang lamun hidup berbagai macam spesies hewan, yang berasosiasi dengan padang lamun, sebagai contoh di perairan teluk Ambon ditemukan 48 famili dan 108 jenis ikan yang adalah sebagai penghuni lamun, di Teluk Banten ditemukan 360 spesies, Pulau Bintan 33 jenis ikan dari 22 famili dan 72 jenis dari 39 famili ikan yang berasosiasi dengan lamun di teluk Awur Jepara. Kondisi ekosistem padang lamun di perairan pesisir Indonesia telah mengalami kerusakan sekitar 30%-60%. Kerusakan padang lamun di Manokwari berada dalam status kurang kaya dan miskin dengan prosentase 14-45% tahun 2008 dan 1-16% tahun 2009. Perairan Manokwari yang memiliki jenis kekayaan laut yang tinggi seperti lamun dan ikan yang tersebar di sepanjang perairan laut yang perlu dilestarikan karena dapat memberikan kontribusi pada peningkatan hasil perikanan dan sektor pariwisata. Namun penelitian dan informasi mengenai ekosistem ini masih sangat terbatas. Mengingat pentingnya peranan lamun dan ikan yang hidup didalamnya bagi ekosistem perairan laut dan semakin banyaknya tekanan dari aktivitas manusia maupun secara alami, maka perlu diupayakan pengelolaan yang baik dan berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk 1. mengkaji sebaran dan komposisi serta struktur komunitas lamun, 2. Untuk mendapatkan gambaran komposisi spesies, distribusi dan kelimpahan spesies ikan, 3. Mengetahui perbedaan spesies ikan-ikan yang berasosiasi dengan padang lamun yang masih baik dan sudah rusak. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi data bagi pembangunan pesisir di Manokwari secara berkelanjutan.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2010 di lokasi Rendani, Wosi dan Pulau Lemon. Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel lamun yaitu metode acak terstruktur dengan menggunakan transek kuadrat karena berhubungan dengan analisa penelitian pemisahan lamun dari segi densitas dan identifikasi disuatu perairan Untuk memudahkan, pengambilan sampel dilakukan pada saat surut terendah dengan bantuan peralatan “snorkeling”. Pada setiap lokasi ditentukan 3 garis transek yang diletakkan tegak lurus garis pantai dan setiap garis transek ditempatkan 10 kuadran berukuran 50 x 50 cm. Ukuran ini adalah sangat efisien dalam jumlah yang besar dan sangat memadai untuk cakupan ukuran dan distribusi dari organisme.
Jenis-jenis lamun yang di temukan dan diidentifikasi selama penelitian sebanyak 8 jenis lamun yang termasuk dalam 2 suku yaitu Cymodocea (Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia dan Syringodium isoetifolium) dan Hydrocharitaceae (Halophila ovalis, Halodule uninervis, Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides). Total penutupan di 3 lokasi yang paling besar pada lokasi Rendani dengan tutupan 60%, diikuti oleh Wosi dan pulau Lemon yang masing-masing 40%. Nilai tutupan pada lokasi Rendani masuk dalam status padang lamun dengan kondisi Baik, sedangkan lokasi Wosi dan pulau Lemon adalah Kurang kaya/kurang sehat (Kepmen Negara LH No 200 Tahun 2004). Nilai INP tertinggi di setiap lokasi adalah beragam dimana T. hemprichii paling tinggi di lokasi Rendani dengan nilai 55.70 H. ovalis mendominasi di Lokasi Wosi dengan nilai INP 40.15 dan C. serrulata pada lokasi pulau Lemon dengan nilai 18.46. Penangkapan sampel ikan dilakukan pada siang dan malam hari. Penangkapan sampel ikan dilakukan dengan menggunakan dua jaring yaitu jaring kantong (fyke net) dan jaring insang (gill net). Penangkapan dengan kedua jaring dilakukan pada saat antara pasang dan surut sedalam 1-1.5 m. Jaring kantong biasanya terdiri dari dua buah sayap besar dan satu kantung dimana sebagian besar dari jaring ini bentuknya hampir menyerupai bentuk jaring pukat harimau (trawl). Dengan menggunakan jaring ukuran 1 mm dengan panjang 25 m dilakukan penangkapan dari arah laut ke darat secara menyapu dan dilakukan pengurungan. Sedangkan untuk jaring insang berukuran panjang 30 m lebar 1.3 m dan ukuran mata jaring 1 cm. Jaring insang diletakkan di daerah dengan kedalaman 1.5 m dan dibiarkan selama 2 jam.
Jumlah total ikan yang ditangkap selama penelitian berjumlah 596 individu ikan dari 33 spesies dan 19 famili. Famili Apogonidae merupakan famili paling banyak ditemukannya jumlah individu yaitu di Rendani dengan 3 jenis (Apogon guamensis Valenciennes, Fowleria punctata Tesch dan Siphamia species Weber) dengan jumlah 114 individu ikan dan pulau Lemon 1 jenis (Apogon guamensis Valenciennes) dari 166 individu ikan. Walaupun famili Apogonidae merupakan ikan malam (nokturnal nekton) namun pada siang hari famili ini mencari mangsa di padang lamun. Famili ini juga mendiami daerah yang dangkal 1-5 m. Pada lokasi Wosi yang paling banyak adalah famili Atherinidae yaitu Atherinomorus duodecimalis Valenciennes dengan jumlah 151 individu ikan. Famili Atherinidae khususnya spesies Atherinomorus guamensis merupakan spesies yang mendiami daerah air payau, didaerah yang dangkal dan sering bergerombol (schooling).
Jika dilihat dari kelimpahan famili yang paling banyak ikan hasil tangkapan adalah pada lokasi Rendani yaitu 10 famili pada siang hari dan 9 famili pada malam hari. Ini disebabkan oleh lokasi Rendani yang merupakan lokasi yang kompleks dimana terdiri akan terumbu karang, padang lamun dan mangrove. Kelimpahan ikan sering terjadi karena terdapat suatu komunitas yang kompleks yang terdiri akan terumbu karang, lamun dan mangrove.
Nilai Indeks keanekaragaman yang paling tinggi yaitu pada Lokasi Rendani siang hari. Walaupun dari hasil jumlah ikan sedikit tapi lokasi Rendani tangkapan siang hari keanekaragamannya tinggi yaitu 2,65 sehingga masuk dalam kriteria keanekaragaman jenis tinggi. Terlihat pada daerah ini lokasinya sangat
kompleks yang disenangi ikan. Sedangkan lokasi Wosi dan pulau Lemon masuk dalam kriteria keanekaragaman jenis sedang dan rendah.
Hasil nilai indeks keseragaman juga bervariasi pada siang dan malam hari untuk setiap lokasi. Rendani pada siang hari 0.76 mendekati nilai 1 dengan kriteria keseragamannya besar, berbeda dengan siang hari yang memiliki keseragaman sedang. Lokasi Wosi memiliki nilai keseragaman mendekati 1 pada malam hari yaitu 0.70 berbeda dengan siang hari yang masuk dalam kriteria keseragaman kecil. Pulau Lemon masuk dalam kriteria keseragaman besar untuk malam hari dengan nilai 0.91 dibanding siang hari 0.19 yaitu keseragaman kecil. Lokasi Wosi dan Rendani walaupun memiliki nilai indeks keanekaragaman lebih sedikit dibanding lokasi Rendani tetapi memiliki nilai dominansi yang tinggi yaitu 0.87 dan 0.89. Nilai dominansi ini mengartikan ada salah satu yang mendominansi. Untuk lokasi Wosi siang spesies yang mendominansi yaitu A. duodecimalis sedangkan lokasi pulau Lemon siang yaitu A. guamensis. Jika mengikuti kriteria Magurran 2004 lokasi Wosi siang dan pulau Lemon siang masuk dalam kriteria dominasi tinggi, sedangkan lokasi yang lain masuk dalam kriteria dominansi rendah.
Ukuran ikan yang tertangkap rata-rata berukuran juvenil. Tangkapan siang yang paling besar adalah stadia juvenil yaitu 65% diikuti oleh stadi pra-dewasa yaitu 20% dan stadia dewasa yaitu 15%. Untuk tangkapan malam yang paling banyak juga yaitu stadia juvenil yaitu 44% diikuti stadia dewasa yaitu 30% dan pra-dewasa yaitu 26%. Untuk analisis isi perut ikan-ikan dibeberapa lokasi yang paling banyak dimakan yaitu jenis ikan yaitu 65%, diikuti krustacea 16%, polychaeta 8%, detritus 5% dan insekta serta tumbuhan yang masing-masing 3%. Hasil ini menduga jika padang lamun berfungsi sebagai area mencari makan (feeding ground). Total penutupan di 3 lokasi yang paling besar pada lokasi Rendani dengan tutupan 60%, diikuti oleh Wosi dan pulau Lemon yang masing-masing 40%. Nilai tutupan pada lokasi Rendani masuk dalam status padang lamun dengan kondisi Baik, sedangkan lokasi Wosi dan pulau Lemon adalah Kurang kaya/kurang sehat. Alternatif pengelolaan adalah; (1) Meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam bentuk penyuluhan tentang peranan padang lamun dalam rangkah pengelolaan pesisir pantai Manokwari; (2) rehabilitasi lamun; (3) pelarangan pengrusakan lamun pada saat menangkap ikan; (4) melibatkan stakeholder; dan (6) efektivitas pengawasan
Kata kunci : lamun,
Rendani, Wosi, pulau Lemon, prosentase tutupan, kurang sehat
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya
tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAJIAN KOMUNITAS PADANG LAMUN SEBAGAI FUNGSI HABITAT IKAN DI PERAIRAN PANTAI MANOKWARI
PAPUA BARAT
HERRY KOPALIT
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc
Judul Penelitian : Kajian Komunitas Padang Lamun Sebagai Fungsi
Habitat Ikan Di Perairan Pantai Manokwari Papua Barat
Nama mahasiswa : Herry Kopalit
Nomor Pokok : C252080324
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Diketahui
Tanggal Ujian: 1 September 2010 Tanggal Lulus:
Ketua Komisi Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc
Anggota Komisi Dr. Ir. Ario Damar, M. Si
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas
penyertaan dan perlindungan-Nya sehingga laporan penelitian yang berjudul “Kajian Komunitas Padang Lamun Sebagai Fungsi Habitat Ikan Di Perairan Pantai Manokwari Papua Barat” dapat diselesaikan. Manfaat dari penelitian ini untuk memberikan informasi kepada pihak yang berkepentingan sehingga dampak dari pembangunan di kawasan padang lamun tidak memberikan pengaruh negatif terhadap keberadaan komunitas ikan di sekitarnya.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc dan Dr. Ir. Ario Damar, M.Si, selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membantu penulis dalam diskusi dan memberi masukkan dan saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB beserta staf, Rektor UNIPA beserta staf, Tim Pengelola COREMAP World Bank yang telah memberikan bantuan beasiswa. Juga kepada teman-teman yang telah membantu dalam penelitian di lapangan maupun di laboratorium, yaitu Rangga Namserna, S.Ik, Abraham Rumfabe, S.Pi, Frangkly Lahumeten, S.Pi., Sem Marin, S.Pi., Michael Tarukbua, S.Pi., Tumpak Sihite, S.Ik., serta kepada semua pihak lainnya yang sudah membantu dalam diskusi, saran dan doa sehingga penelitian ini selesai.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan karena itu masukan untuk melengkapi dan memperbaiki tulisan ini sangat diharapkan. Semoga tulisan penelitian ini bisa bermanfaat.
Bogor, September 2010
Herry Kopalit
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Manado, 8 November
1974 dari Ayah Gabriel Kopalit dan Ibu Henny Loho
(alm). Penulis merupakan putra keempat dari empat
bersaudara.
Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi
Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado dan
lulus tahun 2001. Penulis bekerja sebagai staf pengajar Jurusan Perikanan
Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua sejak
tahun 2005. Pada tahun 2008 diberi kesempatan mengikuti program magister
sains di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan dan juga
University of The Ryukyus (Japan) atas bantuan COREMAP World Bank.
xviii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL......................................................................................... xx
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xxi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xxii
1. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................................................. 2 1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 5 1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 5 1.5 Hipotesis .................................................................................................. 5
2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 7 2.1 Padang Lamun, Fungsi dan Manfaat ............................................... 7 2.2 Peran Padang Lamun Bagi Ikan ...................................................... 10 2.2.1 Sebagai Daerah Asuhan dan Perlindungan ............................. 10 2.2.2 Sebagai Makanan Ikan ........................................................... 11 2.2.3 Sebagai Tempat mencari Makan (feeding ground) ................. 12
3. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................... 13 3.1 Lokasi Penelitian ............................................................................... 13 3.2 Alat dan Bahan..................................................................................... 15 3.3 Metode Pengambilan Data ................................................................ 15 3.3.1 Kualitas Perairan ..................................................................... 15 3.3.2 Sampling Lamun ..................................................................... 16 3.3.2.1 Prosentase Penutupan Lamun ........................................ 3.3.2.2 Analisis Kerapatan dan Kerapatan Relatif Spesies Lamun ........................................................................... 17 3.3.2.3 Frekuensi dan Frekuensi Relatif Spesies Lamun ............ 18 3.3.2.4 Penutupan dan Penutupan Relatif Spesies Lamun .......... 18 3.3.2.5 Indeks Nilai Penting Spesies Lamun .............................. 19 3.3.2.6 Biomassa Lamun ........................................................... 19
3.3.2.7 Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (E) dan Dominansi Lamun (Cd) ........................................ 20
3.3.3 Pengambilan Sampel Ikan ....................................................... 21 3.3.3.1 Komposisi Jenis Ikan ................................................. 23
3.3.3.2 Frekuensi, Indeks Keanekargaman (H’), Indeks Keseragaman (E) dan Dominansi (Cd) Jenis Ikan .... 23
3.3.3.3 Analisis Kebiasaan Makan Ikan ................................. 25 3.3.3.4 Distribusi Spasial Antara Lokasi Penelitian Dengan Beberapa Variabel-Pengamatan Penelitian ................. 25 3.3.3.5 Keterkaitan Antara Padang Lamun Dengan Jumlah Famili Ikan ................................................................ 25
xix
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 27 4.1 Kondisi Habitat Lokasi Penelitian ...................................................... 27 4.2 Parameter Kualitas Perairan ............................................................... 27 4.2.1 Suhu ........................................................................................ 27 4.2.2 pH............................................................................................ 29 4.2.3 Oksigen Terlarut (DO) ............................................................. 29 4.2.4 Kecepatan Arus........................................................................ 30 4.2.5 Salinitas ................................................................................... 30 4.2.6 Kekeruhan (turbidity) ............................................................... 31 4.2.7 Total Fosfat.............................................................................. 32 4.2.8 Nitrat ....................................................................................... 32 4.2.9 Kedalam Air ............................................................................ 33 4.3 Struktur Komunitas Lamun ................................................................ 33 4.3.1 Komposisi Jenis dan Sebaran Lamun ....................................... 33 4.3.2 Kerapatan, Frekuensi, Penutupan dan INP Spesies Lamun ....... 34 4.3.3 Biomassa Lamun ..................................................................... 39 4.3.4 Indeks Keanekaragaman (H’) Keseragaman (E) dan Dominansi (Cd) Jenis Lamun.................................................................... 42 4.4 Struktur Komunitas Ikan .................................................................... 43 4.4.1 Komposisi Jenis ....................................................................... 43 4.4.2 Frekuensi, Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (Cd) ..................................................................... 47 4.4.3 Kebiasaan Makanan Ikan ......................................................... 48 4.5 Distribusi Spasial Antara Lokasi Penelitian Dengan Beberapa Variabel Pengamatan Penelitian ...................................................................... 49 4.6 Keterkaitan Antara Padang Lamun Dengan Jumlah Famili Ikan ........ 50 4.7 Implikasi Pengelolaan ........................................................................ 51
5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 53 5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 53 5.2 Saran ................................................................................................. 53
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 54
LAMPIRAN ................................................................................................. 63
xix
xx
DAFTAR TABEL Halaman
1. Sebaran geografis spesies lamun yang ada di Indonesia .......................... 8
2. Letak posisi geografis transek pada lokasi penelitian .............................. 13
3. Alat dan Bahan yang digunakan dalam penelitian ................................... 15
4. Status padang lamun menurut Kepmen Negara dan Lingkungan Hidup No 200 Tahun 2004 .............................................................................. 18
5. Hasil rerata pengukuran parameter fisika-kimia di Perairan Manokwari Dibandingkan dengan baku mutu air laut Kepmen Negara dan Lingkunan
HidupNo 51Tahun 2004 ......................................................................... 28 6. Jenis dan sebaran jenis lamun pada lokasi penelitian .............................. 34
7. Jumlah tegakan individu lamun .............................................................. 35
8. Frekuensi (%) jenis lamun ...................................................................... 36
9. Penutupan (%) Jenis Lamun ................................................................... 37
10. Biomassa lamun dalam berat basah dan berat kering .............................. 40
11. Nilai keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (Cd) lamun 42
12. Jenis dan famili ikan yang berasosiasi dengan padang lamun di berbagai lokasi penelitian (Supratomo 2000) ........................................................ 44
13. Kelimpahan, Jumlah famili, frekuensi keterdapatan, indeks Keanekaragaman H’), Indeks Keseragaman (E) dan Dominansi (Cd) ..... 46
xxi
DAFTAR GAMBAR Halaman
1. Diagram alir penelitian ........................................................................... 4
2. Morfologi lamun (Community Environment Network 2005) ................. 8
3. Peta lokasi penelitian ............................................................................. 14
4. Skematik sampling pengamatan lamun ................................................... 16
5. Jaring kantong (fyke net) ........................................................................ 22
6. Jaring insang (gill net) ............................................................................ 22
7. Kerapatan jenis lamun pada setiap lokasi ............................................... 35
8. Nilai INP jenis lamun di setiap lokasi ..................................................... 38
9. Prosentase selisih biomassa .................................................................... 41
10. Kelimpahan famili ikan hasil penelitian.................................................. 43
11. Prosentase spesies ikan berdasarkan ukuran panjang total ikan ............. 45
12. Prosentase makanan ikan di beberapa lokasi........................................... 47
13. Spesies Secutor rucorius yang memakan fraksi ikan.............................. 47
14. Distribusi spasial antara lokasi penelitian dengan variabel pengamtan penelitian dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (AKU)
(Principal Component Analisys/PCA) .................................................... 49 15. Hubungan antara kelimpahan ikan dengan tutupan lamun ...................... 48
xxii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Lokasi penelitian .................................................................................... 65
2. Beberapa substrat pada lokasi penelitian................................................. 66
3. Parameter kualitas perairan .................................................................... 67
4. Kedalaman air ........................................................................................ 68
5. Komposisi dan jumlah spesies ikan ........................................................ 69
6. Kelimpahan famili pada setiap lokasi ..................................................... 72
7. Kategori kelas ikan berdasarkan ukuran panjang .................................... 73
8. Beberapa variabel dalam analisis komponen utama (AKU) .................... 74
9. Analisis komponen utama (AKU)/Principal Component Analisys (PCA) 76
10. Hasil Anova/sidik ragam hubungan cover tutupan lamun dengan Jumlah individu ikan .............................................................................. 77
11. Jenis komposisi lamun ........................................................................... 78
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan
sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan
penyu, menyediakan nutrien ke perairan sekitarnya (Fortes 1990). Lebih jauh
Kiswara (1997); Kikuchi dan Peres (1977) menjelaskan ekosistem padang lamun
di daerah pesisir memiliki fungsi sebagai produsen primer, pendaur ulang zat hara,
sebagai habitat biota, tempat memijah ikan, mencari makan berbagai biota laut,
stabilisator dasar perairan, perangkap sedimen, penahan erosi, dan dapat
memproduksi 10 gr bahan kering daun per hari.
Padang lamun merupakan habitat bagi beberapa organisme laut sebagai
tempat perlindungan dan persembunyian dari predator dan arus yang tinggi.
Hewan yang hidup pada padang lamun ada yang sebagai penghuni tetap ada pula
yang bersifat sebagai penghuni tidak tetap. Hewan yang datang sebagai
penghuni tidak tetap biasanya untuk memijah atau mengasuh anaknya seperti
ikan. Selain itu, ada pula hewan yang datang mencari makan seperti duyung
(dugong-dugong) dan penyu (turtle) yang memakan lamun Syringodium
isoetifolium dan Thalassia hemprichii (Nontji 1987). Lamun sebagai sumber
bahan makanan baik daunnya maupun epifit atau detritus. Jenis-jenis polichaeta
dan hewan–hewan nekton juga banyak didapatkan pada padang lamun. Lamun
juga merupakan komunitas yang sangat produktif sehingga jenis-jenis ikan dan
fauna invertebrata melimpah di perairan ini. Lamun juga memproduksi sejumlah
besar bahan bahan organik sebagai substrat untuk algae, epifit, mikroflora dan
fauna.
Pada padang habitat lamun hidup berbagai macam spesies hewan, yang
berasosiasi dengan padang lamun, sebagai contoh menurut Nybakken (1988) di
perairan teluk Ambon ditemukan 48 famili dan 108 jenis ikan yang adalah sebagai
penghuni lamun, sedangkan di Kepulauan Seribu sebelah utara Jakarta di
temukan 78 jenis ikan yang berasosiasi dengan padang lamun. Menurut Dahuri
(2003) ditemukan 360 spesies di teluk Banten, sedangkan Nasution (2003b)
menemukan 33 jenis ikan dari 22 famili di Pulau Bintan; Merryanto (2000)
2
menemukan 72 jenis dari 39 famili ikan yang berasosiasi dengan lamun di teluk
Awur Jepara. Dalam Nybakken (1988) selain ikan, sapi laut dan penyu serta
banyak hewan invertebrata yang berasosiasi dengan padang lamun, seperti: Pinna
sp. beberapa Gastropoda, Lambis, Strombus, teripang, bintang laut, beberapa
jenis cacing laut dan udang (Penaeus doratum) yang ditemukan di Florida selatan
Perairan Manokwari merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki
jenis kekayaan laut yang tinggi seperti lamun dan ikan-ikan di laut yang tersebar di
sepanjang perairan laut Manokwari yang perlu di lestarikan karena dapat memberikan
kontribusi pada peningkatan hasil perikanan dan sektor pariwisata. Namun penelitian dan
informasi mengenai ekosistem ini masih sangat terbatas. Mengingat pentingnya peranan
lamun dan ikan-ikan yang hidup didalamnya bagi ekosistem perairan laut dan semakin
banyaknya tekanan dari aktivitas manusia maupun secara alami, maka perlu diupayakan
pengelolaan yang baik dan berkelanjutan.
1.2 Perumusan Masalah
Menurut Fortes (1990) mengatakan kondisi ekosistem padang lamun di
perairan pesisir Indonesia telah mengalami kerusakan sekitar 30-40%. Pada
pesisir Pulau Jawa kondisi ekosistem padang lamun telah mengalami gangguan
yang cukup serius akibat pembuangan limbah dan pertumbuhan penduduk dan
diperkirakan sekitar 60% padang lamun telah mengalami kerusakan. Di pesisir
Pulau Bali dan Pulau Lombok gangguan bersumber dari penggunaan potasium
sianida dan telah berdampak pada penurunan nilai penutupan dan kerapatan
spesies lamun
Sementara kerusakan padang lamun di beberapa lokasi di Manokwari
berada dalam status kurang kaya dan miskin dengan prosentase 14 - 45% (Levaan
2008), 1-16% (Lahumeten 2009). Selama ini banyak masyarakat yang
menganggap bahwa areal pesisir mutlak merupakan milik umum yang sangat luas
yang dapat mengakomodasi segala bentuk kepentingan termasuk kegiatan yang
berbahaya sekalipun.
Informasi dan pengetahuan tentang padang lamun pada masyarakat
Manokwari masih sangat rendah terlihat dengan adanya pembuangan sampah dari
beberapa masyarakat ke laut sehingga mencemari laut. Adanya pemanfaatan
3
padang lamun yang kurang bijaksana sehingga berakibat menurunnya kualitas
padang lamun seperti dijadikan areal budidaya tanpa memperhatikan
perkembangannya. Kegiatan yang bersifat merusak dapat merubah komunitas
lamun dan menghambat perkembangan padang lamun secara keseluruhan.
Tekanan terhadap padang lamun akibat aktivitas penduduk sudah mulai terlihat
seperti eksploitasi sumberdaya di padang lamun yang berlebihan, beberapa
spesies lamun mengalami kerusakan akibat reklamasi pantai baik untuk kegiatan
industri maupun pembangunan pelabuhan (Azkab 1994; Kiswara 1995; Kiswara
& Winardi 1999). Kegiatan-kegiatan ini telah mengurangi luasan padang lamun
seperti yang terjadi di perairan Manokwari, dimana adanya eksploitasi
penangkapan ikan dengan jaring yang merusak padang lamun.
Menyadari pentingnya nilai ekologis dari lamun dan ikan-ikan yang hidup
di dalamnya, maka perlu dilakukan penelitian komposisi dan struktur komunitas
lamun di perairan pesisir Manokwari yang dihubungkan dengan kelimpahan dan
sebaran ikan dan juga karakteristik parameter kualitas perairan. Setelah itu
melihat struktur komunitas lamun apakah masuk dalam kriteria sehat dan kurang
sehat. Diharapakan hasil dari penelitian ini bisa dipakai dalam pengelolaan pesisir
di Manokwari.
Dari uraian diatas, yang digambarkan dalam diagram alir (Gambar 1), ada
beberapa masalah mengenai aktifitas makan harian ikan-ikan di padang lamun
yang mungkin dapat didekati dengan mempelajari ekologinya, yaitu :
1. Bagaimana komposisi, keragaman dan penutupan lamun.
2. Bagaimana struktur komunitas, spesies ikan di padang lamun pada siang dan
malam hari.
3. Bagaimana aktifitas makan kebiasaan makan dan jenis makanan ikan di
padang lamun.
4. Bagaimana pengaruh faktor lingkungan seperti suhu, salinitas dan pasang surut
terhadap aktifitas makan harian ikan terumbu karang ke padang lamun.
4
Gambar 1 Diagram alir penelitian.
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengkaji struktur komunitas serta sebaran dan komposisi lamun.
2. Untuk mendapatkan gambaran komposisi spesies, distribusi dan kelimpahan
spesies ikan.
3. Mengetahui perbedaan spesies ikan-ikan yang berasosiasi dengan padang
lamun yang masih baik dan sudah rusak. Hasilnya dapat dipakai sebagai data
dasar peneliti dalam menunjang penelitian untuk pembuatan zonasi, manajemen
dan monitoring di daerah padang lamun.
Ekosistem Lamun
Padang Lamun Air Biota (Ikan)
• Suhu • Kecepatan Arus • Kekeruhan • pH • DO • Salinitas • Kedalaman • Nitrat • Fosfat
• Tegakkan • Kerapatan • Tutupan • Frekuensi • INP • Keanekaragaman • Keseragaman • Dominansi
• Komposisi Jenis • Kelimpahan • Panjang Total • Frekuensi • Keanekaragaman • Keseragaman • Dominansi
Kondisi Perairan Struktur Komunitas lamun Struktur Komunitas ikan
Kesehatan Ekosistem Lamun
Pengelolaan yang Berkelanjutan
5
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai acuan dalam pengambilan kebijakan pengelolaan ekosistem padang
lamun di perairan pesisir Manokwari berdasarkan pada kepentingan ekologi
sumberdaya alam dan kepentingan ekonomi dan sosial masyarakat nelayan.
2. Dasar pengembangan studi yang lebih mendalam dan luas terutama tentang
keterkaitan fungsi ekosistem padang lamun dengan ekosistem lain serta melakukan
verifikasi terhadap keberadaan padang lamun dalam kaitan dengan fungsinya
sebagai penunjang kehidupan ikan yang ada di lingkungan sekitarnya.
3. Memberikan informasi kepada pihak yang berkepentingan sehingga dampak
dari pembangunan di kawasan padang lamun tidak memberikan pengaruh
negatif terhadap keberadaan komunitas ikan di sekitarnya.
1.5 Hipotesis
a. Semakin baik struktur komunitas padang lamun semakin melimpah ikan yang
hidup didalamnya.
b. Dengan tersedianya berbagai jenis makanan ikan menyebabkan adanya
migrasi, rantai makanan, perbedaan kelimpahan dan komposisi jenis ikan
di padang lamun.
c. Keberadaan makanan ikan di padang lamun berhubungan erat dengan kondisi
lamun yang meliputi kepadatan dan keanekaragaman lamun serta kondisi
lingkunan perairan padang lamun.
d. Lamun akan lebih baik dalam hal kerapatan, tutupan dan keanekaragaman
di lokasi-lokasi yang parameter lebih baik.
e. Ada keterkaitan anatara famili ikan dengan jenis lamun tertentu.
1. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Padang Lamun, Fungsi dan Manfaat
Lamun tumbuh di perairan dangkal terlindung pada batu yang lunak dan
hidup pada habitat pantai seperti estuari. Istilah lamun pertama kali diperkenalkan
oleh Hutomo (1984) in Kiswara (1999) berdasarkan istilah yang dipakai oleh
nelayan dan masyarakat di pesisir Teluk Banten untuk seluruh jenis “seagrass” saja.
Lamun merupakan tumbuhan laut berbunga (angiospermae) yang memiliki daun,
rhizoma dan akar sejati yang hidup terendam dan bereproduksi di dalam lingkungan
laut (Nasution 2003a; Waycott et al. 2007). Berbeda dengan tumbuhan laut lainnya,
lamun berbunga, berbuah dan menghasilkan biji sehingga dapat mengkolonisasi
suatu daerah melalui penyebaran buah yang dihasilkan secara seksual. Penyerbukan
pada lamun terjadi di dalam air dengan bantuan arus dan gelombang (Bengen 2001;
Nontji 1987; Romimohtarto & Juwana, 2001). Jumlah jenis lamun di dunia adalah 58
jenis yang termasuk dalam 4 suku dan 12 marga. Seperti yang tersaji dalam Tabel 1,
di perairan Indonesia ditemukan 12 jenis lamun yang termasuk dalam 2 suku dan 7
marga (Kuo & McComb, 1989; Fortes 1990; Tomascik et al. 1997), serta
penyebarannya (den Hartog 1970).
Tumbuhan lamun mempunyai beberapa sifat yang memungkinkan dapat
berhasil hidup di laut, antara lain (den Hartog, 1970; Philips & Menez 1988): 1)
mampu hidup di media air asin, 2) mampu berfungsi normal di bawah permukaan air,
3) mempunyai sistem berkembang biak secara vegetatif dan generatif, 4) mampu
melaksanakan daur generatif dalam keadaan terbenam, 5) mampu bersaing
(berkompetisi) dengan organisme lain dibawah kondisi lingkungan media air asin.
Faktor biotik dan abiotik mempengaruhi kelimpahan lamun seperti
kedalaman, substrat sehingga akan membentuk pola zonasi lamun. Lamun umunya
hidup di daerah inner tidal dan upper subtidal antara daratan dan terumbu karang.
Disamping pantai berpasir sebagai tinggal lamun, ada juga sisi yang mengarah ke laut
8
dari daerah mangrove dan bagian dataran terumbu karang (coral reef flats) yang
berhadapan dengan daratan terumbu karang (Hutomo et al. 1993)
Tabel 1 Sebaran geografis spesies lamun yang terdapat di Indonesia
Famili Spesies Wilayah Sebaran
Potamogentonaceae
Halodule uninervis (Forsk.) Aschers. in Boissier 1 2 3 4 5
Halodule pinifolia (Miki) den Hartog + + + + +
Cymodocea rotundata Ehrenberg ex Hempr. ex Aschers.
+ + + + +
Cymodocea serrulata (R. Br.) Aschers. and Magnus + + - - +
Syringodium isoetifolium (Aschers.) Dandy + + + + +
Thalassodendrom ciliatum (Forsk.) den Hartog - - + + +
Hydrocharitaceae
Enhalus acoroides (L.F.) Royle + + + + +
Halophila decipiens Ostenfeld - + - - -
Halophila minor (Zoll.) den Hartog + + + + +
Halophila ovalis (R.Br.) Hook. F. + + + + +
Halophila spinulosa (R.Br.) Aschers. + + - - +
Halophila beccarii Greenway ? ? ? ? ?
Thalassia hemprichii (Ehrenb.) Aschers. + + + + +
Sumber : Hutomo et al. 1993 Keterangan : 1. = Sumatera + = ada 2. = Jawa, Bali dan Kalimantan - = tidak ada 3. = Sulawesi ? = kemungkinan ada 4. = Maluku dan Nusa Tenggara 5. = Papua
9
Kelimpahan yang tinggi dari organisme di padang lamun terjadi karena lamun
digunakan sebagai perlindungan dan persembunyian dari predator (Sabarini &
Kartawijaya 2008; Hossain 2005), kecepatan arus yang tinggi dan juga sebagai
sumber bahan makanan baik daunnya maupun epifit atau detritus (Adrim 2006; Smith
et al. 2008).
Gambar 2 Morfologi lamun (Community Environment Network 2005).
Apabila air sedang surut rendah sekali atau surut purnama, sebagian padang
lamun akan tersembul keluar dari air terutama bila komponen utamanya adalah
Enhalus acoroides, sehingga burung-burung berdatangan mencari makanan di padang
lamun ini (Nontji 1987).
Menurut Azkab (1988), lamun yang terdiri daun, batang dan akar (Gambar
2) merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang paling produktif. Di samping
itu ekosistem lamun mempunyai peranan penting dalam menunjang kehidupan dan
perkembangan jasad hidup di laut dangkal.
Secara ekologis, padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi
wilayah pulau-pulau kecil yaitu sebagai produsen bagi detritus dan penyedia unsur
hara; mengikat sedimen dan menstabilakan substrat yang lunak dengan sistem
perakaran yang padat dan saling menyilang; sebagai tempat berlindung, mencari
makan, tumbuh besar dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang
10
melewati masa dewasanya di lingkungan ini, serta sebagai tudung pelindung yang
melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari. Disamping itu juga,
padang lamun dapat dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan budidaya berbagai jenis
ikan, kerang-kerangan dan tiram, tempat rekreasi dan sumber pupuk hijau.
2.2 Peran Padang Lamun Bagi Ikan
Ikan merupakan salah satu organisme yang berasosiasi dengan padang lamun.
Banyak penelitian mengatakan pentingnya padang lamun sebagai habitat untuk ikan
(Sedberry & Carter 1993) di Samudra Hindia (Pinto & Punchiwa 1996) di samudra
Pasifik (Tzeng & Wang 1992) dan di Mozambique (Gullström & Mattis 2004)
Padang lamun umumnya memiliki keanekaragaman jumlah spesies yang besar
dibandingkan yang berdekatan dengan ekosistem tanpa padang lamun (Horinouchi
2006), ini terlihat karena banyak spesies ikan menggunakan padang lamun sebagai
naungan untuk bersembunyi dari predator dan juga sebagai prey spesies; untuk ikan
ukuran kecil seperti juvenile, memiliki habitat padang lamun untuk mengurangi
resiko dimangsa (Shervette et al. 2006). Peran lamun dalam kehidupan ikan dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu : sebagai daerah asuhan (nursery ground), sebagai tempat
pemijahan (spawning ground), dan sebagai tempat mencari makan (feeding ground).
2.2.1 Sebagai Daerah Asuhan dan Perlindungan
Peran ini merupakan peran tradisional padang lamun yang kaya akan detritus
organisme, dimana detritus merupakan makanan bagi ikan-ikan muda dan helaian
daun-daun lamun yang lebat dapat digunakan sebagai tempat perindungan ikan-ikan
muda dari ancaman predator (Baker & Sheppard 2006)
Beberapa penelitian tentang komunitas ikan padang lamun, mendapatkan
bahwa sebagian besar ikan di padang lamun adalah ikan-ikan muda (juvenile) dan
beberapa merupakan ikan dewasa yang termasuk dalam familia Pomadasyidae,
Lutjanidae, Scaridae (Springer & Mc Erlan 1962 in Hutomo 1985), Gobiidae,
Leiognathidae dan Teraponidae (Sudara et al. 1989). Sedangkan Hutomo et al.
(1993), dalam penelitian komunitas ikan padang lamun pulau Burung, gugus pulau
Pari, mendapatkan 78 spesies ikan diantaranya adalah ikan-ikan muda seperti Siganus
11
canaliculatus, Siganus virgatus, Siganus punctatus, Lethrimus sp, Mulloides
samoensis dan Upeneus tragula. Sedangkan menurut Shervette et al. (2006), di
daerah estuari di Florida terdapat 81 spesies ikan yang hidup pada daerah lamun dan
mangrove. Ikan-ikan muda tersebut, tampaknya mulai masuk ke padang lamun pada
masa plantonik hingga tumbuh menjadi ikan muda. Setelah ikan-ikan tumbu menjadi
dewasa, padang lamun menjadi kurang efektif untuk bersembunyi, sehingga mereka
bermigrasi ke tempat lain untuk menghabiskan sisa hidupnya.
Selain sebagai daerah asuhan, lamun juga sebagai tempat perlindungan, baik
dari faktor biologi yaitu predator maupun dari faktor fisik seperti suhu dan sengatan
matahari (Redjeki 1993). Hal ini berhubungan dengan kelimpahan dan distribusi
lamun.
Sedangkan Vergara (1989), dalam penelitian tentang icththyofauna padang
lamun Philipina, mendapatkan suatu korelasi yang negatif antara spesies lamun
dengan daun kecil, dengan kelimpahan ikan. Fenomena ini dikarenakan menurutnya
peran perlindungan lamun bagi ikan, dimana ikan tidak bisa bersembunyi di bawah
daun-daun lamun.
2.2.2 Sebagai Makanan Ikan
Dalam rantai makanan di laut, di daerah subtropis, hampir seluruh produksi
tumbuhan di daerah padang lamun digunakan oleh invertebrata sebagai sumber
energj, akan tetapi di daerah tropik aliran energi ini terletak pada ikan-ikan herbivora
(Ogden 1980; Peristiwady 1994; Polunin 1988 in Lepiten (1992), menyebutkan
dimana keberadaan ikan herbivora merupakan mata rantai penting dalam rantai
makanan pada komunitas padang lamun. Mereka berperan sebagai agen yang
menghubungkan energi dari produsen primer ke konsumen tingkat tinggi.
Diantara ikan-ikan pemakan lamun diantaranya (Hutomo 1985; Lepiten 1992;
Rendra 1996) adalah ikan kakatua dari familia Scaridae : Scarus sp, dan Sparisoma
sp; familia Siganidae: Siganus guttatus dan Siganus virgatus, Siganus cannaliculatus;
familia Hemimphridae, dimana semuanya termasuk dalam kelompok ikan terumbu
diurnal. Dalam penelitian Peristiwady (1994) di padang lamun pantai selatan
12
Lombok, didapatkan adanya potongan lamun dalam lambung ikan : Caranx sp,
Arothron immaculalus, Cheilio inermis, Stolephorus indicus dan Apogon chinensis.
2.2.3 Sebagai Tempat Mencari Makan (feeding ground)
Hubungan padang lamun sebagai tempat mencari makan di perairan tropis
dinyatakan melalui variasi fauna padang lamun dalam siklus harian (Robblee &
Zieman 1984). Dalam penelitian di Tague Bay, didapati 15 spesies (51% dari koleksi
ikan nokturnal) bergerak pindah dari tempat istirahat siang hari (diurnal resting sites)
untuk mencari makan di lamun pada waktu malam hari. Lebih dari 87% dari
pengunjung nokturnal (10 spesies) didominasi oleh ikan terumbu karang, dimana
79% dari ikan tersebut aktif mencari makan di padang lamun di waktu malam hari.
Hal ini menunjukkan padang lamun menyediakan area untuk mencari makan ikan-
ikan terumbu karang.
Sudara et al. (1991), melaporkan spesies yang umumnya juvenile dari
Halichorui cholopterus, Pomacentris tripuncatus dan Chelmon restrains merupakan
ikan terumbu karang yang terdapat di padang lamun Teluk Thailand. Mereka
bermigrasi ke padang lamun untuk mencari makan di siang hari. Kenworthy (1988) in
Dolar (1989), ikan terumbu karang juvenile juga bermigrasi ke padang lamun pada
malam hari untuk mencari makan.
Dolar (1989), menyebutkan bahwa adanya keanekaragaman dan kelimpahan
spesies ikan di padang lamun sebagai habitat biota seperti udang, juga menjadikan
padang lamun sebagai tempat mencari makan (feeding ground) bagi beberapa
predator. Coles et al. (1993), menyebutkan familia Ariidae, Carcharhinidae,
Haemulidae, Lethrinidae, Lutjanidae, Platycephalidae, Polynemidae, Sciaenidae,
Sparidae, dan Sphyraenidae merupakan predator penting bagi udang penaeid juvenile
di padang lamun. Selanjutnya Dolar (1989) mengatakan tingginya kelimpahan ikan di
padang lamun malam hari berhubungan dengan kelimpahan Crustacea di malam hari,
disebabkan migrasi malam hari (nokturnal migration) dari hewan-hewan tersebut ke
padang lamun dari habitat sekitarnya, seperti terumbu karang dan mangrove.
13
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di perairan Manokwari pada bulan Maret – Mei 2010
dan di lakukan pada lokasi dimana terdapat padang lamun. Populasi penelitian
adalah semua lokasi yang tersebar pada lokasi ekosisistem padang lamun di lokasi
penelitian (Gambar 3). Lokasi pertama yang di pilih pada pulau Lemon karena pada
daerah ini banyak lamun yang masih baik karena daerah ini jarang ada aktivitas
manusia. Jarak lokasi penelitian dengan perkampungan lokal di pulau Lemon
sekitar 2 km. Lokasi kedua pada daerah Pasar Wosi Manokwari, tujuannya melihat
lamun dan ikan di daerah tersebut apakah pengaruh terhadap padang lamun dan
ikan karena aktivitas pasar. Sedangkan lokasi ketiga di daerah Rendani karena
sedikit dekat dengan daerah mangrove, tujuannya melihat keeratan lamun, ikan dan
mangrove. Untuk lebih jelasnya setiap titik-titik lokasi pengambilan sampel
disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Letak posisi geografis transek pada lokasi penelitian
No Lokasi Transek Awal Akhir 1. Rendani I S 00 S 0 53' 46.4'' 0 52' 23.1''
E 1340 E 134 03' 07.4'' 0
03' 08.1''
II S 00 S 0 53' 47.8'' 0
53' 48.7''
E 1340 E 134 03' 06.5'' 0
03' 07.3''
III S 00 S 0 53'49.4" 0
53'50.0"
E 1340 E 134 03' 05.6" 0
2. 03' 06.5"
Wosi I S 00 S 0 52' 23.1'' 0 52' 23.2'' E 1340 E 134 02' 59.1'' 0
02' 00.8''
II S 00 S 0 52' 21.6'' 0
52' 22.1''
E 1340 E 134 02' 59.3'' 0
03' 01.9''
III S 00 S 0 52' 20.5'' 0
52' 20.0''
E 1340 E 134 03' 01.9'' 0
3. 02' 59.7''
Pulau Lemon I S 00 S 0 53'13.15'' 0 53' 11.51'' E 1340 E 134 04' 56.78'' 0
04' 57.51''
II S 00 S 0 53' 14.72'' 0
53' 12.97''
E 1340 E 134 04' 59.07'' 0
05' 00.27''
III S 00 S 0 53' 16.76'' 0
53' 14.73''
E 1340 E 134 05' 01.26'' 0 05' 02.49''
14
Gambar 3 Peta lokasi penelitian.
15
3.2 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian untuk mengukur kualitas
perairan berupa parameter fisika, kimia dan biologi untuk penghitungan lamun
disajikan dalam Tabel 3 :
Tabel 3 Alat dan bahan yang di gunakan dalam penelitian
Parameter Satuan Metode Peralatan Keterangan Fisika Suhu 0Kecepatan arus m/det Elektrometrik Current meter In situ
C Pemuaian Termometer In situ
Salinitas 0/00
Argentometrik Konduktivitimetrik/ Hand refractometer In situ
Kekeruhan NTU Nefelometer / Turbidimeter Lab. Turbidimetrik Kedalaman m Pengukuran Meteran roll In situ Kimia Oksigen terlarut ppm Elektrokimiawi DO meter In situ pH - Elektrokimiawi pH meter In situ NO3
-
PO ppm Elektrometrik Spektrometer Lab.
4- ppm Elektrometrik Spektrometer Lab.
Biologi Komposisi Jenis - Identifikasi Kuadran In situ Penutupan % Penghitungan Kuadran In situ Kepadatan tegakan/m2
Biomassa gram Penimbangan Timbangan, oven Lab.
Penghitungan Kuadran In situ
Posisi Lokasi sampling (Koordinat) Derajat (0) Navigasi Global Position System In situ
3.3 Metode Pengambilan Data 3.3.1 Kualitas Perairan Pengambilan data kualitas air (fisik-kimia-biologi) dilakukan dengan dua
cara yakni pengukuran langsung di lapangan (insitu) dan analisis di laboratorium.
Sampel air yang diambil dan diukur adalah air yang berada pada titik permukaan
di lokasi yang dianggap dapat mewakili karakteristik keseluruhan perairan (Tabel
1) Kualitas air yang merupakan parameter kunci seperti suhu, kecepatan arus,
kedalaman, salinitas, oksigen terlarut dan pH dilakukan di lapangan dengan
menggunakan alat pengukuran masing-masing parameter. Sedangkan nilai
kekeruhan (turbidity), NO3- dan PO4
- dilakukan dengan mengambil air sampel
16
di lapangan diletakkan dalam ‘coolbox’ yang dingin dan segera di bawah ke
laboratorium untuk di analisis.
3.3.2 Sampling lamun
3.3.2.1 Prosentase Penutupan Lamun Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel lamun yaitu metode
acak terstruktur dengan menggunakan transek kuadran karena berhubungan dengan
analisa penelitian pemisahan lamun dari segi densitas dan biomassa di suatu
perairan (Duarte et al. 2001; Pringle 1984 in Setyobudiandi et al. 2009). Untuk
memudahkan, pengambilan sampel dilakukan pada saat surut terendah dengan
bantuan peralatan “snorkeling”. Sebelum pengambilan data dilakukan terlebih
dahulu pengamatan awal di lapangan terhadap kondisi penyebaran spesies lamun
untuk menentukan lokasi penempatan garis transek.
Gambar 4 Skematik sampling pengamatan lamun.
Keterangan: Kuadran pengamatan padang lamun
Seperti yang tersaji dalam Gambar 4, pada setiap lokasi ditentukan 3 garis
transek yang diletakkan tegak lurus garis pantai dan pada setiap garis transek
ditempatkan 10 kuadran berukuran 50 x 50 cm. Ukuran ini sangat efisien dalam
jumlah yang besar dan sangat memadai untuk cakupan ukuran dan distribusi dari
organisme makrophytes (de Wreede 1985 in Setyobudiandi et al. 2009). Kuadrat
DDaarraatt
50 x 50 cm
50 meter 50 meter
17
pertama setiap transek diletakkan di daerah dekat daratan, diukur 5 m dari garis
pantai, dan kuadran terakhir diukur 10 m seterusnya dari kuadran pertama sampai
kuadran kesepuluh. Sedangkan titik transek selanjutnya diukur dari transek
pertama secara horisontal dengan jarak yang diinginkan agar satu daerah titik
pengambilan sampel terwakili. Jarak transek pada lokasi Rendani dan Wosi
adalah 50 m, sedangkan pada lokasi pulau Lemon adalah 30 m.
Penentuan jenis lamun dilakukan secara langsung dengan menggunakan
identifikasi lamun menurut Seagrass Watch Northern Fisheries Centre Ausralia,
Lanyon (1986); Kuo & den Hartog (2003) Community Environment Network
(2005); Mc Kenzie (2003); Mc Kenzie et al. (2003), Kepmen Negara dan
Lingkungan Hidup No. 200 tahun 2004. Selain itu juga dilakukan survei jelajah
untuk inventarisasi.
3.3.2.2 Analisis Kerapatan dan Kerapatan Relatif Spesies Lamun
Kerapatan spesies (Ki) memberikan gambaran jumlah jenis yang
menempati suatu ruang tertentu pada suatu ekosistem menurut Fonseca (1990),
formula yang digunakan adalah :
Kerapatan Relatif lamun (KR) adalah perbandingan kerapatan mutlak spesies ke-I
dan jumlah kerapatan seluruh spesies (English et al. 1994), sebagai berikut:
3.3.2.3 Frekuensi dan Frekuensi Relatif Spesies Lamun
Frekuensi spesies lamun adalah peluang ditemukannya spesies ke-i dalam
petak contoh dan dibandingkan dengan jumlah petak contoh yang diamati
(Setyobudiandi et al. 2009 ):
18
Frekuensi Relatif (KR) adalah perbandingan antara frekuensi jenis lamun ke-i dan
frekuensi seluruh jenis lamun (Cox, 2002) :
3.3.2.4 Penutupan dan Penutupan Relatif Spesies Lamun
Penutupan lamun (C) menyatakan luasan area yang tertutupi oleh lamun.
Perhitungan penutupan spesies lamun berdasarkan Setyobudianto et al. (2009)
dengan formula :
Dimana : C = penutupan jenis lamun ke-i(%)
Ci = persen penutupan lamun pada tiap plot
f = Jumlah plot transek di setiap sub stasiun
Penutupan Relatif (RCi) spesies lamun merupakan perbandingan luas tutupan
jenis ke-i dengan total tutupan semua jenis
Setelah didapatkan hasil prosentase penutupan lamun, kemudian
dibandingkan dengan kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan status
padang lamun oleh Kepmen Negara dan Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004.
Dari kriteria ini baku kerusakan dapat dilihat sehat tidaknya padang lamun
(Tabel 4).
Tabel 4 Status padang lamun menurut Kepmen Negara dan Lingkungan Hidup
No. 200 Tahun 2004
Kondisi Penutupan (%) Baik Kaya/ Sehat ≥ 60 %
Rusak Kurang kaya/kurang sehat 30 -59.9 Miskin ≤ 29.9
3.3.2.5 Indeks Nilai Penting Spesies Lamun
Indeks Nilai Penting digunakan untuk menghitung dan menduga peranan
spesies ke-i didalam suatu komunitas. Semakin tinggi Indeks Nilai Penting spesies
ke-i, maka semakin tinggi peranan spesies ke-i didalam komunitas demikian pula
19
sebaliknya semakin rendah Indeks Nilai Penting spesies ke-i, maka semakin
rendah peranan spesies ke-i didalam komunitas (Brower et al. 1990) :
INP = FR + KR + PR
Dimana : FR = frekuensi relatif
KR = kepadatan relatif
PR = penutupan relatif
3.3.2.6 Biomassa Lamun
Penentuan contoh biomassa ditentukan dengan mengambil semua plot
kuadran di tiap transek. Sampel contoh lamun diambil dengan menggunakan skop
kecil, dibersihkan dengan mengeluarkan pasir dan batu-batuan yang masih
menempel. Di laboratorium, setiap sampel lamun dibersihkan kemudian ditiriskan
dengan menggunakan kertas koran, dipisahkan bagian akar, batang dan daun
kemudian ditimbang untuk mengetahui berat basah lamun. Setelah penimbangan
berat basah, bagian-bagian tadi dimasukan dalam kertas aluminium foil dan
dimasukkan ke dalam oven pengeringan dengan suhu 600
Penentuan biomassa lamun dinyatakan dalam gram berat basah /m
C selama 24 jam
(Kiswara 1995; Duarte et al. 2001) dan dilakukan penimbangan kembali untuk
mengetahui berat kering dari lamun tersebut. 2 untuk
lamun yang basah (dipanen dan ditiriskan) dan gram berat kering /m2
3.3.2.7 Indeks Keanekargaman (H’), Indeks Keseragaman (E) dan Dominansi Lamun (Cd)
. Fortes
(1990) menambahkan bahwa besarnya biomassa lamun bukan hanya merupakan
fungsi dari ukuran tumbuhan, tetapi juga merupakan fungsi dari kerapatan.
Parameter ini meliputi keragaman padang lamun; semakin tinggi nilai
indeks keragaman/keanekaragaman semakin tinggi tingkat kekayaan ekosistem
padang lamun. Keragaman/keanekaragaman (H’) sangat penting untuk
mengetahui tingkat kestabilan suatu komunitas. Semakin tinggi indeks
keanekaragaman suatu habitat, maka semakin baik kestabilan habitat tersebut
terhadap tekanan dari luar (external pressure) semakin baik.
20
Nilai indeks padang lamun ditunjukkan pada indeks keanekaragaman Shannon-
Wiener dengan persamaan sebagai berikut :
H’ =
Dimana :
pi = Proporsi Penutupan padang lamun ke i
ni
N = Total Penutupan Bentuk pertumbuhan Padang lamun
= Nilai Penutupan Bentuk Pertumbuhan Padang Lamun ke i
H’ = Indeks Keanekaragaman Bentuk Pertumbuhan Padang Lamun
Dengan Kriteria sebagai Berikut (Magurran 2004).
Jika, H’ ≤ 2 : Keanekaragaman Rendah
Jika, 2 < H’ ≤ 3 : Keanekaragaman Sedang, dan
Jika, H’ > 3 : Keanekaragaman Tinggi.
Pada perhitungan nilai indeks keanekaragaman bentuk pertumbuhan
padang lamun menggunakan logaritma basis 2(log2
Indeks keseragaman (regularitas) yaitu dengan membandingkan nilai indeks
keanekaragaman dan nilai keanekaragaman maksimum.
) dengan pertimbangan bahwa
padang lamun merupakan biota sesile alami yang keberadaranya mulai terancam,
sehingga faktor probabilitasnya harus diperbesar.
Keseragaman Jenis Ikan (E) di hitung dengan rumus :
E = H’/H’
Dimana : H’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wienner maks
H’maks = log2
S = jumlah spesies
S
Menurut Romimohtarto & Juwana (2001) mengatakan nilai indeks ini
menggambarkan struktur penyebaran spesies yaitu merata atau tidak. Jika nilai
indeks tinggi, ini menggambarkan bahwa kandungan setiap spesies berbeda banyak.
Nilai indeks kemerataan berkisar antara 0 – 1, dengan kriteria sebagai berikut :
E<0.4 = keseragaman kecil
0.4≤E<0.6 = keseragaman sedang
E≥0.6 = keseragaman besar
21
Untuk mengetahui dominansi suatu jenis lamun dalam komunitasnya
menggunakan indeks dominansi mengacu pada Cox (2002), sebagai berikut :
Dimana : Cd = Indeks dominansi
ni
N = jumalah total individu seluruh jenis.
= jumlah spesies jenis ke-i
Nilai indeks dominansi berkisar 0 – 1. Jika indeks dominasi 0 berarti hampir
tidak ada jenis ikan yang mendominasi dan apabila nilai indeks dominasi mendekati
1 berarti ada salah satu jenis yang mendominasi di komunitas tersebut.
3.3.3 Pengambilan Sampel Ikan
Kegiatan metode ini dilakukan pada setiap transek lamun dengan luasan
5000 m2
Penangkapan sampel ikan dilakukan dengan menggunakan dua jaring
yaitu jaring kantong (fyke net) dan jaring insang (gill net). Penangkapan dengan
kedua jaring dilakukan pada saat antara pasang dan surut sedalam 1-1.5 m. Jaring
kantong biasanya terdiri dari dua buah sayap besar dan satu kantung dimana
sebagian besar dari jaring ini bentuknya hampir menyerupai bentuk jaring pukat
harimau (trawl) (Gambar 5) . Dengan menggunakan jaring ukuran 1 mm dengan
panjang 25 m dilakukan penangkapan dari arah laut ke darat secara menyapu dan
dilakukan pengurungan. Sedangkan untuk jarng insang berukuran panjang 30
meter lebar 1.3 m dan ukuran mata jaring 1 cm. Jaring insang diletakkan di daerah
dengan kedalaman 1.5 m dan dibiarkan selama 2 jam (Gambar 6). Sesudah itu
kelimpahan ikan tiap jenis (spesies) mulai diestimasi atau dihitung pada saat
sudah tertangkap, dipilah dan dikelompokan menurut spesies, besar dan kecil
ikan. Spesies ikan dihitung dan diidentifikasi dengan berpedoman pada FAO
; Penangkapan sampel ikan dilakukan pada siang dan malam hari.
Menurut Bell dan Pollard (1989) in Merryanto (2000), adanya perbedaan dalam
waktu penangkapan ini karena adanya kelimpahan relatif dari jenis tertentu,
adanya perbedaan ketersediaan mangsa pada siang dan malam hari, perubahan
dalam dalam mendapatkan mangsa, penghindaran dari kompetisi interspesifik atau
terjadi emigrasi dari lamun pada sebagian besar jenis ikan setelah gelap.
22
(1974); Kuiter dan Tonozuka (2001); Allen (2000); Allen (2001); Peristiwady
(2006); Kimura dan Matsuura (2000); Nelson (2006); Susetiono (2004);
www.fishbase.org. Selain itu dilakukan survey jelajah untuk ikan diluar transek dan
kuadrat pada lamun sebagai inventarisasi ikan.
Gambar 5 Jaring kantong (fyke net).
Gambar 6 Jaring insang (gill net).
23
3.3.3.1 Komposisi Jenis Ikan
Komposisi jenis diperoleh dari data jumlah ikan dan ukuran ikan yang
diperoleh dari stasiun yang ada.
3.3.3.2 Frekuensi, Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (E) Dan Dominasi (Cd) Jenis Ikan
Frekuensi keterdapatan (Fi) digunakan untuk menunujukan luasnya
penyebaran lokal jenis tertentu. Hal ini terlihat dari frekuensi (%) ikan yang
tertangkap dengan persamaa (Misra 1968 in Setyobudianto et al. (2009):
Untuk indeks keanekragaman; semakin tinggi nilai indeks
keragaman/keanekaragaman semakin tinggi tingkat kekayaan ekosistem ikan.
Keragaman/keanekaragaman (H’) sangat penting untuk mengetahui tingkat
kestabilan suatu komunitas. Semakin tinggi tinggi indeks keanekargaman suatu
habitat, maka semakin baik kestabilan habitat tersebut terhadap tekanan dari luar
(external pressure) semakin baik.Penentuan indeks keanekaragaman jenis pada
penelitian ini menggunkan indeks Shannon-Wiener berpedoman pada Brower dan
Zar (1990); Kawaroe et al. (2001); Setyobudiandi et al. (2009), dengan formula
sebagai berikut :
Dimana : H’ = indeks keanekaragaman jenis
pi = ni
n
/N
i
N = jumlah total individu seluruh jenis
= jumlah individu jenis ke i
Agar nilai indeks Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) dapat ditafsirkan maknanya
maka digunakan kriteria sebagai berikut :
Jika H’ < 1 : keanekargaman jenis rendah,
Jika 1 ≤ H’ < 3 : keanekaragaan jenis sedang
Jika H’ > 3 : Keanekaragaman jenis tinggi
24
Untuk mengetahui keseragaman suatu komunitas dan seberapa besar
kesamaan penyebaran jumlah individu tiap jenis ikan digunakan indeks
keseragaman (regularitas yaitu dengan membandingkan nilai indeks
keanekaragaman dan nilai keanekaragaman maksimum.
Keseragaman Jenis Ikan (E) di hitung dengan rumus :
E = H’/H’
Dimana : H’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wienner maks
H’maks = log2S
S = jumlah spesies
Nilai indeks kemerataan berkisar antara 0 – 1, dengan kriteria sebagai berikut :
E<0.4 = keseragaman kecil
0.4≤E<0.6 = keseragaman sedang
E≥0.6 = keseragaman besar
Bila indeks keseragaman mendekati 0, maka ekosistem tersebut mempunyai
kecenderungan didominansi oleh jenis tertentu dan bila indeks keseragaman
mendekati 1, maka ekosistem tersebut dalam kondisi relatif stabil (Erina 2006).
Sedangkan untuk mengetahui dominasi suatu jenis ikan dalam
komunitasnya menggunakan indeks dominasi Simpson (Legendre & Legendre
1983), sebagai berikut :
Dimana : Cd = Indeks dominansi
ni
N = jumlah total individu seluruh jenis.
= jumlah spesies jenis ke-i
Nilai indeks dominnsi berkisar 0 – 1. Jika indeks dominasi 0 berarti hampir
tidak ada jenis ikan yang mendominasi dan apabila nilai indeks dominasi mendekati
1 berarti ada salah satu jenis yang mendominasi di komunitas tersebut.
3.3.3.3 Analisis Kebiasaan Makan Ikan
Tujuannya ialah mengetahui kebiasaan makan ikan sehingga dapat dilihat
antar hubungan ekologi diantara organisme di perairan itu. Misalnya bentuk-
bentuk pemangsaan, saingan dan rantai makanan. Jadi makanan merupakan faktor
yang menentukan bagi populasi, pertumbuhan dan kondisi ikan.
25
Pengamatan kebiasaan makanan ikan dengan mengambil secara terpilih
beberapa spesies ikan di setiap lokasi dengan tujuan setiap spesies yang diambil
dianggap mewakili setiap lokasi. Pengamatan dilakukan dengan membedah dan
meneliti isi perut ikan sampel dengan melihat jenis makanan dan prosentase
kelimpahannya. Analisis ini dilakukan dengan melihat isi dan jumlah kandungan
isi perut ikan.
3.3.3.4 Distribusi Spasial Antara Lokasi Penelitian Dengan Beberapa Variabel Pengamatan Penelitian
Distribusi ini menggunakan beberapa variabel seperti parameter fisika-kimia
di perairan, famili ikan berdasarkan jumlah, golongan ikan target dan ikan mayor,
tutupan lamun, selisih biomassa lamun dan stadia berdasarkan ukuran ikan
(Lampiran 2). Mengkaji bebrapa variabel ini menggunakan analisis komponen
utama (Principal Component Analysis, PCA) (Legendre & Legendre 1983; Bengen
et al. 1992).
Principal Component Analysis atau analisis komponen utama merupakan
model statistik deskriptif yang bertujuan untuk menampilkan dalam bentuk grafik
model (model matematika) suatu informasi maksimum dari matriks data (Jongman
et al. 1995)
3.3.3.5 Keterkaitan Antara Padang Lamun Dengan Jumlah Famili Ikan
Untuk mengevaluasi keterkaitan antara padang lamun berdasarkan jumlah
tutupan dengan jumlah famili ikan digunakan regresi sederhana (Legendre &
Legendre 1983; Jongman et al. 1995).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Habitat Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian pertama di Rendani (Lampiran 1a) merupakan pantai yang
jauh dari pemukiman dan memiliki daerah terumbu yang landai. Daerah ini
merupakan daerah ekosistem yang kompleks karena terdapat ekosistem mangrove,
lamun dan terumbu karang. Daerah ini berdekatan dengan danau kecil air payau
yang perairannya relatif jernih. Tipe substrat pada lokasi ini terdiri atas pasir berbatu
dan pecahan karang (Lampiran 2)
Pada lokasi Wosi merupakan daerah yang cukup luas dan landai, terdapat
pada daerah teluk sehingga daerah ini agak terlindung (Lampiran 1b). Lokasi ini
berada pada pemukiman penduduk dan dekat dengan pasar. Perairannya keruh
karena dekat dengan muara sungai Wosi yang banyak masukan limbah dari pasar.
Sedimen pada daerah ini merupakan sedimen terrigenous (berasal dari daratan) yang
terdiri oleh lumpur dan lumpur berpasir.
Lokasi pulau Lemon merupakan daerah rataan terumbu dengan tipe substrat
karbonat (pasir dan pecahan karang). Lokasi ini dekat dengan pemukiman pulau
Lemon. Lokasi ini juga dekat dengan rataan terumbu bertipe sedimen karbonat yang
berasal dari hancuran karang. Padang lamun di daerah ini sering ditemukan dalam
pecahan karang dan terumbu karang, sedangkan pada lokasi Wosi didominansi oleh
lumpur dan lumpur berpasir dan lokasi pulau Lemon terdiri oleh pasir dan pecahan
karang (Lampiran 1c).
4.2 Parameter Kualitas Perairan
Kehidupan organisme perairan akan hidup dan bertumbuh denagn baik
apabila didukung oleh kualitas perairan yang baik. Nilai-nilai parameter kualitas
perairan pada 3 lokasi penelitian tersaji dalam Tabel 5 (Lampiran 3).
4.2.1 Suhu
Suhu merupakan faktor yang sangat penting dalam mengatur metabolisme
dan penyebaran organisme pada suatu ekosistem. Faktor intensitas penyinaran
cahaya matahari, kondisi atmosfir, cuaca maupun sirkulasi laut merupakan faktor
28
yang mempengaruhi distribusi suhu (Bowden 1980). Suhu air laut merupakan faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan lamun dan ikan. Beberapa peneliti melaporkan
adanya pengaruh nyata perubahan suhu terhadap kehidupan lamun, antara lain dapat
mempengaruhi metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun
(Bulthuis 1987).
Tabel 5 Hasil rerata pengukuran parameter fisika-kimia di perairan Manokwari
dibandingkan dengan baku mutu air laut Kepmen Negara dan Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004
Parameter Satuan Lokasi Baku mutu air
laut untuk biota laut Rendani Wosi P. Lemon
pH
7.81 7.83 7.90 7-8.5 DO (mg/l) 7.26 7.02 7.50 >5 Suhu (0 31.00 C) 30.47 34.63 28-30 Kec. Arus (m/det) 0.10 0.10 0.10 - Salinitas (0/00 29.33 ) 29.33 31.00 33-34 Turbidity (NTU) 4.08 5.95 1.64 <5 Total Fosfat (mg/l) 0.25 0.62 0.27 0.015 Nitrat (mg/l) 0.70 0.44 0.61 0.008 Kedalaman cm 59 55 42 -
Hasil pengukuran suhu pada ke 3 lokasi penelitian berkisar antara 30.00-
34.63 0C. pengukuran ini dilakukan saat siang hari. Hasil pengukuran ini masih
dalam kondisi yang sangat normal untuk pertumbuhan lamun karena menurut
Berwick (1983), kisaran optimum untuk fotosintesis lamun yaitu antara 25-35 0C
pada saat cahaya penuh. Perbedaan suhu ini sangat kecil fluktuasi suhunya dan tidak
mempengaruhi proses metabolisme pertumbuhan lamun. Sedangkan baku mutu air
laut untuk biota laut khususnya lamun oleh Kepmen Negara Lingkungan Hidup No.
51 Tahun 2004 yaitu 28-30 0
Walaupun pulau Lemon sedikit terlindung namun diduga ada sedikit
pengaruh pengadukan air dari samudera Pasifik (lihat Gambar 3) sehingga membuat
nilai suhu sedikit rendah. Sedangkan pada lokasi Wosi rendah disebabkan adanya
aliran air sungai Wosi yang masuk. Menurut Nybakken (1997) dinginnya air laut
juga dipengaruhi oleh aliran air sungai yang masuk ke laut.
C, dibandingkan dengan hasil pengukuran pada ke 3
lokasi adalah di luar ambang batas.
29
4.2.2 pH
pH atau derajat keasaman merupakan yang digunakan untuk menyatakan
tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. Ia didefinisikan
sebagai kologaritma aktivitas ion hidrogen (H+) yang terlarut. Koefisien aktivitas ion
hidrogen tidak dapat diukur secara eksperimental, sehingga nilainya didasarkan pada
perhitungan teoritis. Skala pH bukanlah skala absolut. Ia bersifat relatif terhadap
sekumpulan larutan standar yang pH-nya ditentukan berdasarkan persetujuan
internasional.
Nilai derajat keasaman (pH) selama penelitian menunjukkan kisaran yang
netral yaitu antara 7.8-7.9 (Tabel 5). Hasil pengukuran pH antar lokasi penelitian
tidak menunjukkan fluktuasi yang besar. Kepmen Negara dan Lingkungan Hidup
No. 51 tahun 2004 menetapkan nilai ambang batas pH untuk biota laut yaitu 7-
8.5±0.2 dan ke 3 lokasi masih berada dalam kisaran ini. Phillips dan Menez (1988)
mengatakan bahwa lamun dapat tumbuh dengan baik pada pH air laut yang normal
(7.8-8.5).
4.2.3 Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan senyawa kimia gas yang larut dalam air yang
mempunyai fungsi untuk keberlangsungan hidup dari biota aerobik yang hidup
dalam air. Oksigen ini berasal dari difusi dari udara (proses aerasi) dan fotosintesi
tumbuhan air di siang hari dan juga adanya oksidasi limbah (APHA 1989). Hasil
penelitian oksigen terlarut dari ke 3 lokasi penelitian berkisar 7.02-7.5 mg/l. Kisaran
yang diperoleh dari hasil pengukuran ini masih berada di atas baku mutu untuk biota
laut, yaitu >5 mg/l.
Oksigen terlarut adalah faktor pembatas untuk pernapasan ikan dan biota air
lain serta di perlukan dalam perombakan bahan organik. Terjadinya penurunan kadar
oksigen terlarut dalam air laut akan menurunkan kegiatan fisiologis makhluk hidup
didalamnya. Menurut Schmitz (1971) in Erina (2006) menggolongkan kualitas air di
perairan mengalir menjadi lima golongan berdasarkan kandungan oksigen terlarut
yaitu :
Sangat baik : kadar DO > 8 mg/l
Baik : kadar DO = 6 mg/l
30
Kritis : kadar DO = 4 mg/l
Buruk : kadar DO = 2 mg/l
Sangat buruk : kadar DO< 2 mg/l
Membandingkan dengan hasil pengukuran gas terlarut dalam penelitian masuk dalam
kategori sangat baik.
4.2.4 Kecepatan Arus
Kecepatan arus berhubungan sekali dengan aliran nutrien, distribusi suhu dan
memberi pengaruh terhadap pencampuran gas atmosfir ke dalam air sehingga
kandungan oksigen yang larut dalam air bertambah (Nybakken 1997). Hasil
pengukuran kecepatan arus ke 3 lokasi sangatlah rendah 0.10-0.11 m/detik.
Berdasarkan hasil pengukuran ini menggambarkan tidak ada perbedaan yang
mencolok masing-masing kecepatan arus di setiap lokasi. Hal ini menunjukkan
bahwa kecepatan arus yang terjadi lebih dipengaruhi oleh pasang-surut perairan
daripada pengaruh angin dan densitas.
Menurut Welch (1980) membedakan arus dalam 5 kategori yaitu arus sangat
cepat (>1 m/det), cepat (0.5-1 m/det, sedang (0.25-0.50 m/det), lambat (0.1-0.25
m/det) dan sangat lambat (<0.1m/det). Dari hasil pengkuran maka nilai kecepatan
arus dalam penelitian masuk dalam kategori lambat. Kecepatan arus di 3 lokasi
adalah sangat mendukung pertumbuhan lamun dan kehidupan ekosistem ikan.
Lamun dapat melakukan proses metabolisme dengan baik, ikan dapat melakukan
transportasi telur, larva dan ikan-ikan kecil dan juga dapat bermigrasi dan beruaya
dengan baik (Laevastu & Hayes 1981).
4.2.5 Salinitas
Salinitas menunjukkan kandungan garam yang ada dalam air laut, dan
perbandingannya dengan total jumlah padatan terlarut (DO) yang ada di air laut
dalam perbandingan berat. Salinitas air laut bervariasi sebanding dengan kedalaman
(Mukhtasor 2007). Nilai salinitas di perairan dipengaruhi oleh masuknya massa air
tawar ke perairan estuari, massa air laut karena pasang-surut, penguapan curah hujan
dan pola sirkulasi air. Salinitas umumnya mempengaruhi keseimbangan osmotik
antara protoplasma organisme air (lamun) dengan medium air di lingkungannya.
31
Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi antar jenis dan umur. Lamun
yang tua dapat menoleransi fluktuasi salinitas yang besar. Ditambahkan bahwa
Thalassia hemprichii ditemukan hidup dari salinitas 3.5-600/00, namun dengan waktu
toleransi yang singkat. Salinitas juga dapat berpengaruh terhadap biomassa,
produktivitas, kerapatan, lebar daun dan kecepatan pulih lamun. Pada jenis
Amphibolis antartica biomassa, produktivitas dan kecepatan pulih tertinggi
ditemukan pada salinitas 42.5°°/o
Dalam penelitian ini nilai salinitas paling tinggi pada lokasi pulau Lemon
(31
, sedangkan kerapatan semakin meningkat dengan
meningkatnya salinitas, namun jumlah cabang dan lebar daun semakin menurun
(Walker 1985).
0/00) , sedangkan pada lokasi Rendani dan Wosi adalah sama sebesar 290/00.
Salinitas padang lamun antara 15-400/00, tetapi puncak pertumbuhan dicapai pada
salinitas 300/00
4.2.6 Kekeruhan (turbidity)
, baik untuk komunitas Thalassia (Wibisono 2005). Nilai salinitas
yang rendah, pada lokasi Wosi diduga berhubungan dengan masuknya air sungai
sehingga membawa limbah organik dan keberadaan lapisan minyak pada permukaan
air. Nontji (1987) mengemukakan distribusi salinitas di laut salah satunya
dipengaruhi oleh aliran sungai. Begitu halnya dengan Rendani yang terdapat juga
sungai air payau dekat dengan daerah tersebut.
Menurut APHA (2004) merupakan deskripsi sifat yang optik suatu perairan
yang bergantung pada jumlah cahaya (sinar) yang dipancarkan dan diserap oleh
partikel-partikel dalam air. Faktor-faktor yang mempengaruhi kekeruhan antara lain
pasir, lumpur, bahan organik dan anorganik, plankton dan organisme mikroskopik.
Penyebaran kekeruhan di pengaruhi oleh faktor kimia, biologi dan fisik. Menurut
Kirby (1986), kekeruhan dipengaruhi juga oleh proses penyerapan, refleksi serta asal
materi suspensi dan interaksi yang ada didalamnya serta dinamika perairan.
Hasil pengukuran kekeruhan terlihat pulau Lemon memiliki nilai yang paling
kecil yaitu 1.64 NTU yang berarti perairan yang sangat jernih, karena perairan Pulau
Lemon jauh dari kota Manokwari. Pada lokasi Rendani dengan nilai kekeruhan 4.08
NTU karena di lokasi ini terdapat komunitas mangrove yang berperan pertama dalam
menahan sedimen dari darat. Sedangkan Wosi kekeruhan paling tinggi karena lokasi
32
bersubstrat lumpur dan diduga adanya masukan limbah organik dari sungai Wosi di
daerah pasar. Kepmen Negara dan Lingkungan Hidup No 51 Tahun2004 menetapkan
nilai ambang batas untuk kekeruhan untuk biota laut yaitu <5. Kisaran ini masih baik
untuk daerah Rendani dan Pulau Lemon, sedangkan Wosi berada di luar ambang
baku mutu ini.
4.2.7 Total Fosfat
Fosfat merupakan satu dari beberapa senyawa yang esential untuk
pertumbuhan lamun, karena senyawa ini dibutuhkan dalam mensintesa protoplasma.
Fosfat dalam perairan alami umumnya dalam bentuk ortofosfat dan polifosfat
(Irawan 2003). Hasil analisis kandungan fosfat di kolom air di semua lokasi
penelitian menunjukkan konsentrasi yang tinggi yaitu 0.22-0.62 mg/l. Konsentrasi ini
masih lebih tinggi dibandingkan dengan baku mutu biota air laut yang ditetapkan
oleh Kepmen Negara dan Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 yaitu sebesar 0.015
mg/l. Keberadaan fosfat yang tinggi disamping limbah antropogenik juga karena
ekosistem di lingkungannya (contohnya dari mangrove) yang berhubungan dengan
adanya pelepasan senyawa dari matrik karbonat karena kandungan karbonat yang
tinggi (Levaan 2008). Ini dapat dilihat pada ekosistem padang lamun Rendani dan
Pulau Lemon, sedangkan limbah antropogenik ada pada lokasi Wosi.
4.2.8 Nitrat
Nitrat adalah pusat aktivitas mikroba yang melakukan dekomposisi bagian
lamun yang mati (Moriarty & Boon 1989). Kandungan nitrat yang paling tinggi pada
lokasi Wosi diduga disebabkan bahan organik yang masuk melalui sungai Wosi
sehingga terjadi pengaruh antropogenik. Hal ini sesuai dengan pendapat Hutagalung
dan Rozak (1997) in Levaan (2008) bahwa peningkatan kandungan amoniak di laut
berkaitan erat dengan masuknya bahan organik yang mudah diurai. Selanjutnya
dikemukakan juga bahwa hasil reduksi nitrat dan nitrit oleh mikroorganisme itu
disebabkan oleh degradasi bahan organik.
Konsentrasi nitrat pada semua lokasi yaitu 0.44-0.70 mg/l adalah sangat
tinggi dibandingkan dengan baku mutu biota air laut sebesar 0.008 mg/l.
33
Tingginya konsentrasi nilai nitrat ini diduga telah terjadi eurotrifikasi pada lokasi
penelitian tersebut.
4.2.9 Kedalaman Air
Kedalaman air mempengaruhi pertumbuhan lamun dan kelimpahan ikan..
Menurut Beer dan Waisel (1982) in Short et al. (2001) pada organisme lamun,
kedalaman air tidak hanya mengurangi intensitas cahaya tetapi juga akan terjadi
penambahan tekanan hydrostatik organisme lamun, contohnya Halodule uninervis
yang akan menghasilkan terlalu banyaknya tekanan hydrostatik.
Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. Lamun
tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga mencapai kedalaman 30 m.
Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh Halophila
ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, Sedangkan Thalassodendron
ciliatum mendominasi zona intertidal bawah (Hutomo 1985).
Hasil pengukuran kedalaman air dilakukan pada saat surut terendah, diukur
dari ½ kedalaman saat berada pada ¼ surut (Burdick & Kendrick 2001). Hasil
pengukuran dengan nilai kedalaman berkisar 42-59 cm (Lampiran 4). Sebagian besar
jenis lamun pada kondisi kekeringan tidak bisa ditolerir untuk bertumbuh terutama
pada zona intertidal. Ada sebagian kecil jenis lamun yang bertahan hidup di antara
daun-daunnya saat surut terendah (Koch 2001). Syringodium isoetifolium (Bjork et
al. 1999) merupakan jenis yang tahan terhadap kekeringan dan bisa hidup
di daerah itu.
4.3 Struktur Komunitas Lamun
4.3.1 Komposisi Jenis dan Sebaran Lamun
Jenis-jenis lamun yang di temukan dan di identifikasi selama penelitian
sebanyak 8 jenis lamun yang termasuk dalam 2 suku yaitu Cymodocea (Cymodocea
rotundata, Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia dan Syringodium isoetifolium)
dan Hydrocharitaceae (Halophila ovalis, Halodule uninervis, Thalassia hemprichii
dan Enhalus acoroides). Dari ke-8 jenis lamun tersebut yang jenis Enhalus
acoroides di temukan di luar kuadran pada lokasi Wosi (Tabel 6). Sedikit berbeda
34
dengan penelitian sebelumnya ditemukan sama 8 jenis (Talakua 2007), 7 jenis
(Levaan 2008) dan 6 jenis (Lahumeten 2009).
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa hamparan lamun yang ditemukan
pada ketiga lokasi adalah tipe vegetasi campuran, dimana pada setiap kuadran
terdapat lebih dari 2 jenis lamun. Keberadaan padang lamun dengan tipe campuran
yang terdiri dari 8-11 spesies juga telah dilaporkan oleh Kiswara & Winardi (1994)
di perairan Laut Flores, Teluk Kuta dan Teluk Gerupuk. Tipe vegetasi ini juga bisa
ditemukan beberapa tempat di perairan di Indonesia (Erftemeijer & Middelburg
1993; Nasution 2003b).
Tabel 6 Jenis dan sebaran jenis lamun pada lokasi penelitian
Suku Jenis Lokasi
Pulau Lemon Rendani Wosi
Cymodoceaeceae
Cymodocea rotundata + + + Cymodocea serrulata + + + Halodule pinifolia + - + Syringodium isoetifolium - + -
Hydrocharitaceae
Halophila ovalis + + + Halodule uninervis + + + Thalassia hemprichii + + - Enhalus acoroides - - •
Total 6 6 6
Keterangan : + = ditemukan di transek pengamatan - = tidak di temukan • = ditemukan di luar transek pengamatan
Hal ini juga sesuai dengan pendapat Hemminga dan Duarte (2000) bahwa
karakteristik padang lamun daerah tropis dan sub tropis Indo-Pasifik memiliki
keanekaragaman yang tinggi dan bertipe vegetasi campuran (mixed vegetation).
4.3.2 Kerapatan, Frekuensi, Penutupan dan INP Spesies Lamun
Penyebaran lamun pada ketiga lokasi ini sangat beragam dimana pada lokasi
Rendani yang paling banyak adalah Thallassia hemprichii dengan jumlah tegakan
313 – 882/m2. Pada lokasi Wosi didominansi oleh Halodule uninervis dengan jumlah
35
tegakan 1506 – 4770/m2. Sedangkan pada daerah pulau Lemon adalah Halodule
pinifolia dengan jumlah tegakan 457 – 1555/m2
Dari 8 jenis lamun dan 7 yang diteliti terlihat bahwa Cymodocea rotundata,
Cymodocea serrulata, Halophila ovalis dan Halodule uninervis terdapat pada setiap
lokasi penelitian. Hal ini berarti ke empat jenis lamun tersebut mampu hidup dan
beradaptasi di 3 lokasi yang berbeda substratnya.
(Tabel 7).
Tabel 7 Jumlah tegakan individu lamun
Jenis Lamun. Rendani (m2
Wosi (m) 2
P. Lemon (m) 2)
Thalassia hemprichii 1967 0 1399 Halophila ovalis 233 196 132 Halodule uninervis 844 8029 243 Cymodocea rotundata 1377 550 1246 Cymodocea serrulata 114 1473 1138 Halodule pinifolia 0 3493 2790 Syringodium isoetifolium 152 0 0
Nilai kerapatan jenis lamun yang tinggi sangat beragam pada ketiga lokasi
seperti Thalassia hemprichii di Rendani yaitu 48.58 individu/m2, Halophila ovalis
57.78 individu/m2 dan Syringodium isoetifolium sebesar 39.12 individu/m2 yang
terdapat di lokasi pulau Lemon (Gambar 7). Hal ini menggambarkan bahwa jenis ini
memiliki kemampuan yang tinggi dari jenis lainnya dalam satu lokasi terhadap
adaptasi dan kompetisi dalam lingkungan yang terganggu. Halophila ovalis
mempunyai kerapatan yang tinggi karena hidup di lokasi Wosi yang bersubstrat
lumpur. Short et al. (2001) mengatakan jenis ini bertumbuh pada intensitas cahaya
yang kurang.
36
Gambar 7 Kerapatan jenis lamun pada setiap lokasi.
Dari ketiga lokasi untuk nilai frekuensinya hampir tersebar merata terlihat
dengan nilai tertinggi masing-masing lokasi hampir berdekatan seperti Thalassia
hemprichii di Rendani yaitu 17.08%, Halodule uninervis di Wosi yaitu 39.34% dan
Cymodocea serrulata yaitu 18.22%. (Tabel 8). Untuk beberapa jenis yang rendah
frekuensinya pada 2 lokasi diduga di sebakan jenis lamun tersebut kemampuan
adaptasi pada daerah pecahan karang yang kurang.
Tabel 8 Frekuensi (%) jenis lamun
Jenis Rendani (%) Wosi (%) Lemon (%) Thalassia hemprichii 17.08 0 16.03 Halophila ovalis 1.68 21.22 15.43 Halodule uninervis 6.16 39.34 8.52 Cymodocea rotundata 8.55 10.56 14.84 Cymodocea serrulata 0.80 18.74 18.22 Syringodium isoetifolium 1.80 0 9.49 Halodule pinifolia 0 10.14 0
Penutupan menggambarkan tingkat penaungan ruang oleh komunitas lamun.
Penaungan ini sering dimanfaatkan oleh ekosistem yang hidup di lamun. Penutupan
ini sangat penting untuk mengetahui kondisi ekositem serta sejauh mana komunitas
lamun mampu memanfaatkan luasan yang ada. Menurut Erina (2006) nilai
kerapatan jenis belum tentu menggambarkan tingkat penutupan suatu jenis
48,58
4,72
17,3323,79
3,34
57,78
3,59
25,9920,35 18,14 16,81
39,12
0,008,00
16,0024,0032,0040,0048,0056,00
Th Ho Hu Cr Cs Si Hp
Kera
pata
n la
mun
(%)
Jenis lamun
Rendani Wosi Lemon
37
karena nilai penutupannya selain dipengaruhi oleh kerapatan juga sangat erat
kaitannya dengan tipe morfologi.
Penutupan total komunitas lamun pada ketiga lokasi penelitian relatif rendah
dengan kisaran 0.49–24.65% dari keseluruhan areal yang potensial ditumbuhi
lamun.
Tabel 9 Penutupan (%) jenis lamun
Jenis Rendani (%) Wosi (%) Lemon (%) Thalassia hemprichii 24.65 0 8.14 Halophila ovalis 7.22 23.11 0.78 Halodule uninervis 8.76 0.49 1.45 Cymodocea rotundata 13.91 4.57 7.26 Cymodocea serrulata 2.80 1.44 6.72 Syringodium isoetifolium 2.67 0 0 Halodule pinifolia 0 10.40 15.65
Total 60 40 40
Penutupan tertinggi yaitu jenis Thalassia hemprichii sebesar 24.65% dan terendah
yaitu halodule uninervis sebesar 0.49 % yang terdapat pada lokasi Wosi (Tabel 9).
Lamun jenis T. hemprichii penutupannya lebih tinggi karena pada lokasi Rendani
kondisi substrat yang berpasir dan pecahan karang yang membuat proses flushing
atau pencucian pantai berlangsung baik sehingga proses sedimentasi berlangsung
lambat. Kondisi substrat seperti ini sangat cocok untuk kehidupan jenis lamun
Thalassia (den Hartog 1970). Hal ini juga dengan ukuran daun dan rhizome yang
kuat sehingga apabila terjadi hempasan ombak tidak meyebabkan kerusakan daun
dan patahnya rhizome. Sedangkan H. uninervis terendah di karenakan jenis ini hanya
berada pada daerah genangan air. Bjork et al. (1990) mengatakan bahwa H.
uninervis tidak tahan terhadap kekeringan dan ditemukan pada kolam-kolam dangkal
genangan air di daerah rataan terumbu. Selain itu, Terrados et al. (1999) mengatakan
bahwa kalau H. uninervis relatif peka terhadap gangguan (kekeruhan dan penutupan
sedimen).
Total penutupan di 3 lokasi yang paling besar pada lokasi Rendani dengan
tutupan 60%, diikuti oleh Wosi dan pulau Lemon yang masing-masing 40%. Nilai
tutupan pada lokasi Rendani masuk dalam status padang lamun dengan kondisi baik,
sedangkan lokasi Wosi dan pulau Lemon adalah kurang kaya/kurang sehat (Kepmen
Negara dan Lingkungan Hidup No 200 Tahun 2004).
38
Indeks Nilai Penting (INP) merupakan besaran yang digunakan untuk
menghitung dan menduga peranan suatu jenis lamun dalam komunitasnya. Hasil INP
dipengaruhi oleh nilai relatif dari kerapatan, frekuensi dan penutupan jenis lamun.
Semakin tinggi nilai INP suatu spesies terhadap spesies lamun yang lain, maka
semakin tinggi peranan spesies tersebut pada komunitas tersebut. Nilai INP ini
tergantung pada struktur nilai relatif kerapatan, frekuensi dan penutupan jenis lamun
yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan.
Nilai INP tertinggi di setiap lokasi adalah beragam dimana T. hemprichii
paling tinggi di lokasi Rendani dengan nilai 55.70 H. ovalis mendominasi di lokasi
Wosi dengan nilai INP 40.15 dan C. serrulata pada lokasi pulau Lemon dengan nilai
18.46 (Gambar 8). Nilai INP yang tinggi berhubungan dengan kemampuan jenis
lamun untuk beradaptasi terhadap fluktuasi kondisi perairan dan tipe substrat.
Gambar 8 Nilai INP jenis lamun disetiap lokasi.
Vermat et al. 1995 mengemukakan, walaupun T. hemprichii dan C. serrulata
relatif peka terhadap gangguan namun jika ditemukan dalam perairan yang jernih
dan jauh dari gangguan (Rendani dan pulau Lemon) maka akan bertumbuh baik. Hal
ini juga dikemukakan oleh Phillips dan Menez (1988) bahwa T. hemprichii dominan
di daerah substrat yang berpasir dan pecahan karang yang bersih.
55,70
22,11
26,37
40,15
21,5918,46
10,04
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
Th Ho Hu Cr Cs Si Hp
Nila
i IN
P
Jenis Lamun
Rendani Wosi Lemon
39
4.3.3 Biomassa Lamun
Pengamatan biomassa lamun dibagi atas tiga bagian, yaitu biomassa akar,
batang dan daun. Hasil pengamatan biomassa berat basah dan berat kering tersaji
dalam Tabel 10. Dari hasil pengamatan terlihat untuk berat basah pada 3 lokasi
masih didominasi oleh berat daun yaitu dengan rata-rata 560.87 gbb/m2 di Rendani,
340.98 gbb/m2 di Wosi dan 540.08 gbb/m2
Biomassa dan produksi dapat bervariasi secara spasial dan temporal yang
disebabkan oleh berbagai faktor, terutama oleh nutrien dan cahaya (Tomascik et al.
1987). Selain itu juga sangat tergantung pada spesies dan kondisi perairan lokal
lainnya seperti kecerahan air, sirkulasi air, kedalaman (Zieman 1987), panjang hari,
suhu dan angin (Mellor et al. 1993). Fortes (1990) menambahkan bahwa besarnya
biomassa lamun bukan hanya merupakan fungsi dari ukuran tumbuhan, tetapi juga
merupakan fungsi dari kerapatan. Biomassa batang juga relatif lebih berat karena
batang/rizoma merupakan gudang penyimpanan hasil fotosintesis dan unsur hara,
serta dapat digunakan kembali untuk regenerasi bagian yang putus atau mati.
di pulau Lemon. Ini menunjukkan
distribusi hasil fotosintesis lebih banyak disimpan dalam daun. Penelitian-penelitian
yang telah dilakukan menunjukkan bahwa biomassa lamun di bawah substrat lebih
besar dibanding di atas substrat. Namun sebaliknya, produksi lamun di atas substrat
lebih besar dibanding di bawah substrat (Brouns 1985). Nilai ini disebabkan oleh
adanya variasi cahaya, kedalaman, nutrien tipe sedimen, struktur komunitas mikroba,
turbulensi/pengadukan dalam air, suhu air, dan spesies lamun (Fonseca et al. 1990;
Pollard & Greenway 1993).
Biomassa berat basah dan berat kering dari 3 lokasi yang terendah ada pada
lokasi Wosi, berbeda dengan dua lokasi Rendani dan Pulau Lemon yang nilai
biomassanya relatif sama. Pada lokasi Wosi biomassanya relatif lebih rendah
dikarenakan lokasi yang bersubstrat lumpur. Keadaan ini terkait dengan kekeruhan
yang yang mempengaruhi intensitas cahaya. Daerah Wosi ini juga merupakan daerah
yang landai sehingga kedalaman perairan rendah, memungkinkan intensitas cahaya
relatif tinggi sehingga menyebabkan lamun kurang berfotosintesis secara optimal
yang mengakibatkan biomassanya rendah.
40
Menurut Erftemeijer (1993) mengatakan cahaya cenderung menghambat
pertumbuhan lamun jika intensitasnya begitu tinggi pada siang hari.
Tabel 10 Biomassa lamun dalam berat basah dan berat kering
Lokasi Berat Basah (gbb/m2) Berat Kering (gbk/m2) Akar Batang Daun Akar Batang Daun
Rendani 308.84 402.11 560.87 103.98 121.81 152.14 Wosi 204.46 260.52 340.98 72.06 90.39 107.30 P. Lemon 303.84 438.94 540.08 109.72 120.14 158.50 Total 817.14 1101.57 1441.93 285.76 332.34 417.94
Sementara untuk berat kering masih di dominansi oleh berat kering daun
yaitu 152 gbk/m2 di Rendani, 107.30 gbk/m2 di Wosi dan 158.50 gbk/m2 (Tabel 10)
Variasi biomassa dari lokasi penelitian berkaitan erat dengan dengan tipe sedimen
dan unsur haranya. Umumnya lamun menyukai tipe substrat karbonat seperti ada
pecahan karang. Di lokasi Wosi terlihat rendah karena tipe substrat berupa lumpur.
Berat kering juga masih dipengaruhi oleh nutrien yang diserap seperti nitrat dan
fosfat.
Kalau melihat hasil selisih biomassa pada Gambar 12 pada tiga lokasi terlihat
hasilnya hampir sama dan merata. Untuk selisih biomassa lamun tidaklah terlalu
berbeda jauh nilainya seperti akar (22-25%), batang (32-35%) dan daun (43-45%),
ini disebabkan karena masing-masing mengambil nutrien dari laut dan darat yang
sama, ini disebabkan karena masing-masing mengambil nutrien dari laut dan darat
yang sama. Daun dengan fotosintesis mendapatkan nutrien, juga melakukan respirasi
dalam air yaitu dengan mengambil karbon organik yang larut dalm air. Rizoma dan
akar juga mengambil karbon organik yang larut dalam air dan menyimpan nutrien
dari dalam substrat. Hal ini terbukt i dalam Gambar 9.
41
Keterangan : (a) Rendani, (b) Wosi, (c) P. Lemon).
4.3.4 Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (Cd) Jenis Lamun
Indeks keanekaragaman suatu komunitas dapat menggambarkan kelimpahan
dan kestabilan spesies pada suatu lokasi. Nilai indeks keanekaragaman berkaitan
dengan jumlah jenis dan jumlah individu setiap jenis yang diperoleh. Nilai
keseragaman menunjukkan keseimbangan populasi besar. Sedangkan nilai
dominansi merupakan nilai ada tidaknya spesies yang mendominasi dalam suatu
komunitas. Identifikasi dan analisis jumlah individu lamun masing-masing tersaji
dalam Tabel 11.
Nilai indeks keanekaragaman tertinggi berada pada dua lokasi yaitu Rendani
yaitu 2.17 dan Pulau Lemon 2.14. Pada lokasi Wosi yaitu 1.49. dengan mengikuti
kriteria Magurran (2004) maka nilai keanekaragaman masuk dalam kategori
keanekaragaman sedang, sedangkan pada Lokasi Wosi masih dalam nilai
keanekaragaman rendah. Nilai indeks ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
penelitian sebelumnya yaitu 0.644 (Levaan 2008) dan 1.252 (Lahumeten 2009). Ini
menggambarkan adanya perbaikan pertumbuhan lamun dari waktu ke waktu.
Tabel 11 Nilai keanekaragaman (H’), keseragaman(E) dan dominansi (Cd) lamun
Lokasi H’ E Cd Rendani 2.17 0.84 0.30 Wosi 1.49 0.64 0.42 P. Lemon 2.14 0.83 0.26
Seperti yang tersaji pada Tabel 11, nilai keseragaman pada ke-3 lokasi masuk
dalam nilai keseragaman besar mendekati 1. Ini berarti pada ke 3 lokasi tersebut
Gambar 9 Prosentase selisih biomassa
Akar 23%
Batang 32%
Daun45%
(a)
Akar 25%
Batang 32%
Daun43%
(b)
Akar 22%
Batang 35%
Daun43%
(c)
42
ekosistemnya dalam kondisi relatif stabil. Nilai dominansi pada ke 3 lokasi
menunjukkan nilai yang hampir sama yaitu Rendani 0.30, Wosi 0.42 dan Pulau
Lemon 0.26. Ini menggambarkan kalau tidak terdapat jenis tertentu yang melimpah
(mendominasi) dari jenis yang lain pada ke-3 lokasi tersebut. Nilai-nilai tersebut
mendekati 0 yang mengindikasikan tidak terjadi dominansi spesies dalam suatu
komunitas.
4.4 Struktur Komunitas Ikan 4.4.1 Komposisi Jenis Jumlah total ikan yang ditangkap selama penelitian berjumlah 596 individu
ikan dari 33 spesies dan 19 famili pada luasan tangkapan 5000 m2
Berdasarkan jumlah spesies yang paling banyak adalah famili Apogonidae,
Atherinidae, Leiognathidae, Mullidae dan Sphyraenidae yang masing-masing
memiliki 3 spesies; diikuti famili Lethrinidae, Ostraciidae dan Tetraodontidae yang
masing-masing memiliki 2 spesies. Jenis ikan yang termasuk dalam kelompok ikan
target atau ikan ekonomis ada 4 famili yaitu Acanthuridae, Lethrinidae, Mullidae dan
Siganidae, sedangkan untuk jenis ikan lain (ikan yang dijadikan ikan hias air laut)
ada 1 famili yaitu Apogonidae.
. Komposisi dan
jumlah spesies ikan pada lampiran 5, menunjukkan Apogonidae merupakan famili
paling banyak ditemukannya jumlah individu yaitu di Rendani dengan 3 jenis
(Apogon guamensis Valenciennes, Fowleria punctata Tesch dan Siphamia species
Weber) dengan jumlah 114 individu ikan dan Pulau Lemon 1 jenis (Apogon
guamensis Valenciennes) dari 166 individu ikan. Pada lokasi Wosi yang paling
banyak adalah famili Atherinidae yaitu Atherinomorus duodecimalis Valenciennes
dengan jumlah 151 individu ikan.
Kelimpahan ikan paling banyak adalah pada lokasi Rendani malam yaitu 188
individu ikan. Ini diduga adalah ikan yang menyenangi lamun dan mencari makan di
padang lamun yang yang kerapatan dan tutupan yang paling tinggi, sedangkan pada
siang hari tangkapanya sedikit yaitu 53 individu ikan dikarenakan hampir setiap hari
ada beberapa masyarakat nelayan melakukan penangkapan dengan menggunakan
jala lempar dan memancing. Berbeda dengan lokasi Wosi dan pulau Lemon yang
jumlah tangkapan siang lebih banyak dari tangkapan malam.
43
Jika dilihat dari kelimpahan famili ikan yang paling banyak adalah pada
lokasi Rendani yaitu 10 famili pada siang hari dan 9 famili pada malam hari. Ini
disebabkan oleh lokasi Rendani yang merupakan lokasi yang kompleks dimana
terdiri akan terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Menurut Smith et al.
(2008), kelimpahan ikan sering terjadi karena terdapat suatu komunitas yang
kompleks yang terdiri akan terumbu karang, lamun, dan mangrove. Berbeda dengan
lokasi Wosi yang bersubstrat lumpur dan pulau Lemon yang terdapat sedikit terumbu
karang.
Gambar 10 Kelimpahan famili ikan hasil penelitian.
Dari Gambar 10 juga menggambarkan 13 famili dan kelompok famili lain
(Faml) (Lampiran 6). Untuk famili Apogonidae (Apo) paling banyak di temukan
pada lokasi Pulau Lemon. Menurut Myers (1991) famili ini mendiami daerah yang
dangkal 1-5 m. Sementara menurut Vivien (1975) in Marnane dan Belwood (2002),
walaupun famili Apogonidae merupakan ikan malam (nokturnal nekton) namun pada
siang hari famili ini mencari mangsa di padang lamun. Sejumlah penelitian juga
mengatakan pola distribusi Apoginidae terjadi pada siang hari (sebagai contoh
Vivien 1975; Dale, 1978; Greenfield & Johnson 1960; Finn & Kingsford 1996
in Marnane & Belwood 2002). Untuk famili Atherinidae (Ath) adalah yang
paling banyak ditemukan terlebih khusus di Lokasi Wosi. Menurut Takemura et al.
114
35 39
146
151
13 7
166
7 21
21
41
61
81
101
121
141
161
Apo Ath Sig Hem Chan Faml
Jum
lah
indi
vidu
/m2
Famili ikan
Rendani Wosi P.Lemon
44
(2004) famili Atherinidae khususnya spesies Atherinomorus guamensis merupakan
spesies yang mendiami daerah air payau, di daerah yang dangkal dan sering
bergerombol (schooling). Melihat karakteristik habitat ikan ini, maka lokasi Wosi
masuk dalam semua kriteria ini. Tangkapan banyak diduga ditangkap saat ikan-ikan
bergerombol. Dibandingkan dengan penelitian asosiasi ikan di padang lamun, jumlah
spesies yang ditemukan selama penelitian di Manokwari termasuk sedikit, akan
tetapi ditinjau dari famili yang tertangkap termasuk banyak (Supratomo 2000)
(Tabel 12).
Tabel 12 Jenis dan famili ikan yang berasosiasi dengan padang lamun di berbagai lokasi penelitian (Supratomo 2000)
Lokasi Jenis Famili Peneliti Pulau Osi dan Marsegu 207 52 Peristiwady 1994 Pantai Selatan Lombok 85 47 Hutomo dan Parino 1994 Selat Malaka 49 29 Erfteimejer dan Allen 1993 Manokwari 33 19 Penelitian sekarang Aow Khung Krabanc, Thailand 21 18 Sudara et al. 1992 Teluk Baguala 61 10 Radjab et al. 1991 Peninsular, Malaysia 15 9 Rajuddin 1992
Ukuran ikan yang tertangkap rata-rata berukuran juvenile (Lampiran 7).
Seperti yang tersaji dalam gambar 11a (ikan tangkapan siang) dan 11b (ikan
tangkapan malam), tangkapan siang yang paling besar adalah stadia juvenil yaitu
65% diikuti oleh stadi pra-dewasa yaitu 20% dan stadia dewasa yaitu 15%. Untuk
tangkapan malam yang paling banyak juga yaitu stadia juvenil yaitu 44% diikuti
stadia dewasa yaitu 30% dan pra-dewasa yaitu 26%.
65%
20%
15%Juvenil
Pra-dewasa
Dewasa
44%
26%
30%Juvenil
Pra-dewasa
Dewasa
(a) (b) Gambar 11 Prosentase spesies ikan berdasarkan ukuran panjang total ikan.
Keterangan (a). Ikan tangkapan siang (b). Ikan tangkapan malam
45
Dari hasil gambar dapat disimpulkan fungsi padang lamun selama waktu
penelitian menjadi fungsi sebagai area asuhan (nursery ground) karena dilihat dari
hasil tangkapan yang paling banyak masih dalam stadia juvenil untuk tangkapan
siang dan tangkapan malam. Untuk pra-dewasa dan dewasa berbeda nilai prosentase
pada tangkapan siang dan malam karena diduga berhubungan dengan ikan-ikan
diurnal dan nokturnal pada saat pra-dewasa dan dewasa dalam hal mencari makan
dan memijah.
4.4.2 Frekuensi, Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (Cd)
Nilai frekuensi keterdapatan ikan pada semua lokasi penelitian memiliki nilai
yang beragam. Nilai paling tinggi terdapat pada lokasi Rendani Malam dengan nilai
0.39. Hal ini menggambarkan kalau lokasi Rendani paling di gemari ikan untuk
hidup dan tinggal karena lokasinya yang kompleks terdiri atas terumbu karang,
lamun, dan mangrove (Tabel 14).
Indeks keanekaragaman dipengaruhi oleh jumlah individu setiap jenis ikan
dan total individu seluruh jenis ikan. Nilai Indeks keanekaragaman yang paling
tinggi yaitu pada Lokasi Rendani siang hari. Walaupun dari hasil jumlah ikan sedikit
tapi lokasi Rendani tangkapan siang hari keanekaragamannya tinggi yaitu 2.65
sehingga masuk dalam kriteria keanekaragaman jenis tinggi. Terlihat pada daerah ini
lokasinya sangat kompleks yang disenangi ikan, sedangkan lokasi Wosi dan pulau
lemon masuk dalam kriteria keanekaragaman jenis sedang dan rendah.
Tabel 13 Kelimpahan, jumlah famili, frekuensi keterdapatan, indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E) dan dominansi (Cd)
Index Rendani Wosi Pulau Lemon
Siang Malam Siang Malam Siang Malam Kelimpahan ikan 53 188 160 15 176 4
Jumlah famili 10 9 4 6 4 3 Frekuensi Kerterdapatan 0.33 0.39 0.18 0.18 0.12 0.12
H' 2.65 1.82 0.50 1.63 0.38 1.81 E' 0.76 0.47 0.18 0.70 0.19 0.91 Cd 0.20 0.46 0.87 0.41 0.89 0.28
46
Indeks keseragaman atau regularitas menggambarkan struktur penyebaran
spesies yang merata atau tidak merata. Hasil nilai indeks keseragaman juga
bervariasi pada siang dan malam hari untuk setiap lokasi. Rendani pada siang hari
0.76 mendekati nilai 1 dengan kriteria keseragamannya besar, berbeda dengan siang
hari yang memiliki keseragaman sedang. Lokasi Wosi memiliki nilai keseragaman
mendekati 1 pada malam hari yaitu 0.70 berbeda dengan siang hari yang masuk
dalam kriteria keseragaman kecil. Pulau Lemon masuk dalam kriteria keseragaman
besar untuk malam hari dengan nilai 0.91 dibanding siang hari 0.19 yaitu
keseragaman kecil.
Lokasi Wosi dan pulau Lemon walaupun memiliki nilai indeks
keanekaragaman relatif kecil dibanding lokasi Rendani, tetapi memiliki nilai
dominansi yang tinggi yaitu 0.87 dan 0.89. Nilai dominansi ini mengartikan ada
salah satu yang mendominansi. Untuk lokasi Wosi siang spesies yang mendominansi
yaitu Atherinomorus duodecimalis sedangkan lokasi Pulau Lemon siang yaitu
Apogon guamensis. Jika mengikut i kriteria Magguran (2004) lokasi Wosi siang dan
Pulau Lemon siang masuk dalam kriteria dominasi tinggi, sedangkan lokasi yang
lain masuk dalam kriteria dominansi rendah.
4.4.3 Kebiasaan Makanan Ikan
Menurut Effendie (1979) metode perhitungan kebiasaan makananan dapat
juga dilakukan dengan metode perkiraan tumpukan dengan persen. Untuk sampel
ikan yang diamati dilakukan perwakilan dari beberapa lokasi seperti lokasi Rendani
malam dan Lemon siang (Atherinomorus lacunosus, Fowleria punctata dan Apogon
guamensis), sedangkan Rendani siang dan Wosi malam (Atherinomorus
duodecimalis). Setiap sampel spesies ikan di ambil 5 ekor. Tujuannya adalah
mengetahui makanan ikan dengan asumsi ikan-ikan di lamun salah satu aktivitasnya
mencari makan.
47
Gambar 12 Prosentase makanan ikan di beberapa lokasi.
Dari Gambar 12 diketahui dari keseluruhan isi perut ikan-ikan di beberapa
lokasi yang paling banyak dimakan yaitu jenis ikan yaitu 65%, diikuti krustacea
16%, polychaeta 8%, detritus 5% dan insekta serta tumbuhan yang masing-masing
3%. Seperti yang terlihat pada Gambar 13, tertangkap salah satu jenis Leiognathidae
sedang memakan fraksi ikan. Hasil ini memperkuat dugaan jika padang lamun
berfungsi sebagai area mencari makan (feeding ground).
Gambar 13 Spesies Secutor rucorius yang memakan fraksi ikan.
4.5 Distribusi Spasial Antara Lokasi Penelitian Dengan Beberapa Variabel Pengamatan Penelitian
Berdasarkan hasil korelasi variable fisika-kimia perairan (pH, suhu, salinitas,
kekeruhan, DO, kecepatan arus, kedalaman, nitrat, fosfat) ikan target, ikan mayor
dan stadia berdasarkan ukuran, famili ikan berdasarkan jumlah ikan, selisih biomassa
dan prosentase tutupan lamun (Lampiran 8) di masing-masing lokasi penelitian
menunjukan adanya penyebaran informasi pada setiap lokasi pengamatan. yang
65%
5%
16%3% 8% 3% ikan
Detritus
crustacea
fraksi tumbuhan
polychaeta
Insecta
48
masing-masing memberikan kontribusi dari ragam total yaitu : F1 sebesar 70.18%,
F2 sebesar 8.91% (Lampiran 8).
Untuk lokasi Lemon siang dan Lemon malam dicirikan dengan nitrat. Lokasi
Rendani siang dan malam dicirikan dengan kedalaman dan oksigen terlarut,
sedangkan Wosi siang dan Wosi malam dicirikan dengan fosfat dan kekeruhan
(Gambar 14).
Keterkaitan pada penggolongan ikan target dan ikan lain (ikan mayor) berada
pada lokasi Rendani siang dan Rendani malam. Ini menunjukkan ada kesamaan nilai
dalam hal jumlah individu pada setiap golongan ikan.
Pada Gambar 14 menjelaskan juga keterkaitan dengan famili ikan lokasi
Lemon siang dan Lemon malam dicirikan dengan famili ikan Acanthuridae dan
Apogonidae, lokasi Rendani malam dan Rendani siang dicirikan dengan
Holocentridae, Mullidae, Ostraciidae, Belonidae, Hemirhamphidae, Gobidae,
Centriscidae, Carangidae, Siganidae, Tetraodontidae, Lethrinidae, Sphyraenidae dan
famili yang tidak teridentifikasi, sedangkan untuk Wosi malam dan Wosi siang
dicirikan dengan Scombridae, Leiognathidae, Chandidae dan Atherinidae.
Penggolongan stadia berdasarkan panjang total ikan lokasi Pulau Lemon
siang dan Pulau Lemon malam dicirikan dengan stadia pra-dewasa. Pada lokasi
Rendani siang dan Rendani malam dicirikan dengan stadia dewasa dan stadia juvenil
pada lokasi Wosi siang.
Selisih biomassa lamun untuk batang, daun dan akar berada dalam lokasi
Rendani siang dan Rendani malam. Keterkaitan dengan prosentase penutupan lamun
yaitu pada lokasi Lemon siang dan malam dicirikan dengan H. ovalis. Lokasi
Rendani malam dan Rendani siang dicirikan dengan S. isoetifolium, C. rotundata dan
H. uninervis T. hemprichii yang tinggi, sedangkan untuk Wosi malam dicirikan
dengan C. serrulata, H. pinifolia yang rendah.
49
pH
DO
Temp
Ka
Sal
Dep
Tur
P
Ni
IkT
IkL
Juv
preD
De
AcaApo
Ath
BelCarCen
Cha
Gob Hem
Hol
Leio
Let
MulOst
Sco
SigSph
Tet
Tt
akbtg
dnTh
Ho
Hu
Cr
Cs
Si
Hp
-1
-0,75
-0,5
-0,25
0
0,25
0,5
0,75
1
-1 -0,75 -0,5 -0,25 0 0,25 0,5 0,75 1
F3 (8
.91
%)
F1 (70.18 %)
Wosi malam
Rendani siang
Rendani malam
Lemon malam
Lemon siang
Fig. 14 Spatial distribution between the location of the research study with the observed variables using Principal Component Analysis (PCA)
Biplot (axes F1 and F2: 79.09 %)
Wosi siang
50
Karakter pengelompokan beberapa variabel pengamatan ini menunjukkan
rendahnya famili Atherinidae dan Leiognathidae pada lokasi Wosi siang dan Wosi
malam seiring dengan menurunnya nilai kekeruhan, pH dan salinitas. Begitu juga
dengan lokasi Rendani siang dan Rendani malam yaitu Holocentridae, Mullidae,
Ostraciidae, Belonidae, Hemiramphidae, Gobiidae, Centriscidae, Carangidae,
Siganidae, Tetraodontidae, Lethrinidae, Sphyraenidae dan famili yang tidak
teridentifikasi yang rendah diikuti oleh Cymodocea rotundata dan Thalassia
hemprichii, Halodule uninervis dan Syringodium isoetifolium yang tinggi namun
rendah pada Halophila ovalis.
4.6 Keterkaitan Antara Padang Lamun Dengan Jumlah Famili Ikan
Hasil regresi sederhana ditunjukan dalam Gambar 16 menunjukan bahwa
kepadatan ikan memiliki pengaruh yang tinggi terhadap tutupan lamun dengan nilai
koefisien determinasi (R2
) sebesar 0.999. Pada hasil Gambar 16 membuktikan
adanya hubungan yang signifikan antara dua variabel tersebut.
Gambar 15 Hubungan antara kelimpahan ikan dengan tutupan lamun.
y = 1,922x + 5,439R² = 0,999
0
50
100
150
200
250
300
0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 140,00
Jum
lah
ikan
(Ind
ivid
u)
Prosentase tutupan lamun
51
Hasil analisis sidik ragam menggambarkan jika nilai F hitung lebih besar dari
Ftabel yaitu tolak H0
4.7 Implikasi Pengelolaan
atau berbeda nyata, artinya ada hubungan antar jumlah individu
ikan dengan cover tutupan lamun (Lampiran 10). Ini juga terbukti dengan adanya
prosentase tutupan yang tinggi pada lokasi Rendani dengan ikan yang melimpah.
Agar pemanfaatan sumberdaya alam di perairan pesisir Manokwari tetap
berkelanjutan (suistanable) maka direkomendasikan perlu dilakukan peraturan
daerah untuk tidak melakukan penangkapan jenis ikan seperti famili Apogonidae
pada lokasi Rendani dan Pulau Lemon di siang hari mengingat spesies ini merupakan
spesies ikan hias yang terancam dan dikuatirkan jika berkurang atau punah akan
terjadi pemutusan mata rantai beberapa spesies pada lokasi tersebut. Untuk famili
Atherinidae pada lokasi Wosi perlu dilakukan konservasi mengingat famili ikan
tersebut membuat suatu ekosistem padang lamun menjadi subur pada lokasi tersebut.
Sedangkan untuk perlindungan lamun perlu dilakukan desain kawasan konservasi
lamun karena banyaknya biota yang berasosiasi dengan lamun
Alternatif pengelolaan adalah; (1) Meningkatkan pengetahuan masyarakat
dalam bentuk penyuluhan tentang peranan padang lamun dalam rangka pengelolaan
pesisir pantai Manokwari; (2) rehabilitasi lamun; (3) pelarangan pengrusakan lamun
pada saat menangkap ikan; (4) melibatkan stakeholder; dan (6) efektivitas
pengawasan.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Jenis-jenis lamun yang ditemukan selama penelitian termasuk dalam 2 suku
Cymodocea (C. rotundata, C. serrulata, H. pinifolia dan S. isoetifolium) dan
Hydrocharitaceae (H. ovalis, H. uninervis, T. hemprichii dan E. acoroides).
2. Famili Apogonidae merupakan famili paling banyak ditemukannya jumlah
individu yaitu di Rendani dengan 3 jenis (Apogon guamensis Valenciennes,
Fowleria punctata Tesch dan Siphamia species Weber), lokasi Wosi dengan
famili Atherinidae (Atherinomorus duodecimalis Valenciennes) dan Pulau
Lemon 1 jenis (Apogon guamensis Valenciennes).
3. Nilai tutupan lamun pada lokasi Rendani masuk dalam status dengan kondisi
baik dengan spesies Apogon guamensis Valenciennes, Fowleria punctata
Tesch dan Siphamia species Weber sedangkan lokasi Wosi dengan spesies
Atherinomorus duodecimalis Valenciennes dan pulau Lemon dengan spesies
Apogon guamensis Valenciennes adalah kurang kaya/kurang sehat.
5.2 Saran
1. Besarnya kontribusi padang lamun terhadap keberadaan dan keanekaragaman
ikan dan aktivitas masyarakat (pemukiman, perikanan dan pariwisata), maka
perlu adanya penjagaan kelestarian dan pengelolaan sumberdaya ikan, lamun
dan pesisir secara umum dan konkrit.
2. Perlu adanya penelitian lanjut tentang seberapa besar kerusakan padang
lamun oleh pemangsaan ikan.
51
REFERENCES
Adrim M. 2006. Asosiasi Ikan di Padang Lamun. Oseana 31(4):1-7 Allen G. 2000. Marine fishes of South-East Asia. A field guide for Anglers and
Divers. Periplus. 292. Allen GR. 2001. Periplus nature guides tropical reef fishes of Indonesia.
Periplus. 66 pp. APHA (American Public Health Association). 2004. Standard Method for the
Examination of Water and Wastewater. APHA Inc. New York. Baker R, Sheppard R. 2006. Fisheries resources of Albatross bay, Gulf of
Carpentaria. Department Of Primary Industries And Fisheries. Queensland.
Bengen DG, Lim P, Belaud A. 1992. Structure and Fish Tipology of Three
Ancients Arms of The Garonne Rivers. Annals Lim. 28(1): 35-36. Bengen DG, Eidman M, Boer M. 2001. Strukutur komunitas Ikan di Pantai Utara
Kabupaten Subang, Jawa Barat. Jurnal Pesisir dan Lautan 3(3). Berwick NL. 1983. Guidelines for Analysis of Biophysical Impact Coastal Marine
Resources. The Bombay Natural History Society Centenery Seminar Conservation in Developing Countries, Problems and Propects, Bombay: 6-10 December 1983.
Bjork M, Uku J, Weil A, Beer S. 1999. Photosynthetic tolerance to dessiccation of
tropical intertidal seagrass. Mar Ecol Prog Ser 191: 121-218. Bownden KF. 1980. Physical oceanography of estuaries. Englewood Ld. pp :476 Brouns JJ. 1985. A preliminary study of the Thalassodendron ciliatum (Forskall)
den Hartog from Eastern Indonesia. Aquatic Botany 23:249-260. Brower JE, Zar JH, Von Ende C. 1990. General Ecology. Field and Laboratory
Methods. Dubugue Iowa. Wm. C. Brown Company Publish. Bultuis D. A. 1987. Effect of temperature on photosynthesis and growth of
seagrass. Aquatic Botany 27: 2-40. Burdick DM, Kendrick GA. 2001. Standards for seagrass collection, identification
and sampel design. In: Global Seagrass Research Methods. Elsevier. pp: 79-100.
52
Community Environment Network. (2005). Watching the seagrass grow – A guide for community seagrass monitoring in New South Wales ( Ed ke-2). The Community Environment Network, Ourimbah.
Cox GW. 2002. General ecology laboratory manual. Ed ke-8 New York: Mc
Graw-Hill Higher Education. Dahuri R. 2003. Keanekaragaman hayati laut: Aset pembangunan berkelanjutan
Indonesia. PT Gramedia Pustaka. Jakarta. den Hartog C. 1970. The seagrasses of the world. London. North-Holland
Publishing Company-Amsterdam. Dhewani N, Hermanto B, Susianti E. 2009. Panduan jenis-jenis ikan ekonomis di
terumbu karang. LIPI. 52 pp. Dolar MLL. 1991. A survey on the fish and crustacean fauna of the seagrass bed
in North Bais Bay, Negros Oriental, Philippines, pp. 367-337. In: A. C. Alcala. Living Resources In Coastal Areas Proceeding of The Regional Symposium. 30 Jan – 1 Peb 1989. Manila. Marine Science Institute, University of The Philippines. Quezon City. Philippines.
Duarte CM, Kirkman H. 2001. Methods for the measurement of seagrass
abundance and depth distribution. In: Global Seagrass Research Methods. Elsevier. pp 7: 141 -153.
Effendie MI. 1979. Metode biologi perikanan. Cetakan Pertama. Penerbit
Yayasan Dewi Sri. Bogor. Erftemeijer, PLA. 1993. Differences in nutrient concentration and resources
between seagrass communities on carbonates and terrigenous sediment in South Sulawesi, Indonesia. Bul Mar Scien. 54: 403-419.
Erftemeijer PLA, Middelburg JJ. 1993. Sediment nutrient interaction in tropical
seagrass bed: a comparison between a carbonate and terrigenous sedimentary environment in South Sulawesi (Indonesia). Mar Ecol Progress Series 102:187-198.
Erftemeijer PLA, Herman PMJ. 1994. Seasonal change in environmental variabel,
biomassa, production and content nutrient in two contrasting tropical intertidal seagrass bed in South Sulawesi (Indonesia). Oecologia. 99: 45-59.
Erina Y. 2006. Keterkaitan antara komposisi perifiton pada lamun Enhalus
acoroides (Linn.F) Royle Dengan Tipe Substrat Lumpur dan Pasir di teluk Banten. (Tesis). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
53
Gullström M, Dahlberg M. 2004. Fish community structure of seagrass meadows around inhaca island, southern mozambique. Arbetsgruppen för Tropisk Ekologi. Committee of Tropical Ecology Uppsala University, Sweden.
FAO. 1974. Species identification sheet for fishery purpose. USA. Fonseca MS, Thayer GW, Kenworthy WJ. 1990. Root/Shoot Ratios. In Phillips
RC, Mc Roy CP. editor. Seagrass Res Met. Paris: Unesco. pp 65-67. Fortes MD. 1990. Seagrasses: a Resource Unknown in the ASEAN Region.
ICLARM Education Series 6. Manila, Philippines: International Center for Living Aquatic Resources Management.
Horinouchi M. 2006. Distribution patterns of benthic juvenile gobies in and
around seagrass habitats: Effectiveness of seagrass shelter against predators. Environ Biol Fishes. 82:187-194.
Hossain Md. MK. 2005. An examination of seagrass monitoring protocol as
applied to two New South Wales estuarine setting. (Tesis). Australian Chatolic University. Research Service. Victoria-Australia).
http://www.fishbase.org/identification/specieslist.cfm?famcode=207&areacode=
&spines=&fins=&c_code= (20 Juni 2010). http://www.montereybayaquarium.org/cr/cr_seafoodwatch/sfw_gear.aspx (3 Maret
2010. Hutomo M. 1985. Telaah ekologik komunitas ikan di padang lamun (seagrass
anthopyta) di perairan Teluk Banten. (Disertasi). Bogor: Program Pascasarajana. Institut Pertanian Bogor.
Hutomo M, Kiswara W, Azkab MH. 1993. Status dan khasanah pengetahuan
ekosistem lamun di Indonesia. In: Hutomo M, Soemodihardjo, Penyunting. Prosiding lokakarya Nasional Penyusunan Program Penelitian Biologi Kelautan dan Proses Dinamika Pesisir; Semarang, 24-28 November 1992. Jakarta. LIPI dan Universitas Diponegoro. Hlm 93-114.
Irawan A. 2003. Asosiasi makrozoobentos berdasarkan letak padang lamun di
estuari Bontang Kuala Kota Bontang Kalimantan Timur. (Tesis). Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Jongman RHG, Ter Braak CJF, van Tongeren OFR. 1995. Data analysis in
community and landscape ecology. Cambridge. University Press. Kawaroe M, Indrajaya, Happy SI. 2005. Pemetaan bioekologi padang lamun
(seagrass) di Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Pesisir dan Lautan. 6:31-41.
54
Kepmen Negara LH No. 51 Tahun 2004. Tentang baku mutu air laut untuk biota laut.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004. Tentang kriteria
baku kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun. Kikuchi T, Peres JM. 1977. Consumer ecology of seagrass beds. In: Seagrass
Ecosystem. A Scientific Perspective. Mc.Roy PC. Helfferich, editor. New York: Mar Scien. 4:147-193.
Kimura S, Matsuura K. 2000. Fishes of Bitung. Northern Tip of Sulawesi,
Indonesia. Ocean Research Institute The University of Tokyo. Kirby R. 1986. Suspended fine cohesive sediment in the severn stuary and Innder
Bristal Channel. Departemen of Energy. Harwell. England. Kiswara W, Winardi. 1994. Keanekaragaman dan sebaran lamun di Teluk Kuta
dan Teluk Gerupuk, Lombok Selatan. In: Kiswara W, Moosa MK, Hutomo M, Penyunting. Struktur Komunitas Biologi Padang Lamun di pantai Selatan Lombok dan Kondisi Lingkungannya. Jakarta: Proyek Pengembangan Kelautan/MREP 1993-1994 Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. hlm 15-33.
Kiswara W. 1995. Kandungan hara dalam air antara dan air permukaan padang
lamun pulau Barang Lompo dan Gusung Talang, Sulawesi Selatan. In: Pemantapan Keterpaduan dan Pendayagunaan Potensi Sumberdaya Manusia, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan Kelembagaan Kelautan Nasional Menuju Kemandirian. Prosiding Seminar Kelautan Nasional 1995; Jakarta.
Kiswara W. 1997. Struktur komunitas padang lamun perairan Indonesia. In:
Kongres Biologi Indonesia XV di Universitas Indonesia. Inventarisasi dan Evaluasi Potensi laut Pesisir II Geologi, Kimia, Biologi dan Ekologi. Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan tentang Oseanologi LIPI. hlm 54-61.
Kiswara W. 1999. Struktur komunitas padang lamun di Sumatera Utara.
Proseding seminar Kelautan Regional Sumatera Kedua. Fakultas Perikanan Universitas Bung Hata. Padang.
Koch EW. 2001. Beyond light: Physical, geological and geochemical parameters as
possible submerge aquatic vegetation habitat requirments. Estuaries 24:1-17.
Kuiter RH, Takamasa T. 2001. Pictorial Guide To : Indonesian Reefs Fishes. Zoo
Netics.
55
Kuo JC, den Hartog C. 2003. Seagrass taxanomy and identification key. Short FT, Coles RG, Short CA. (editor) in : Global Seagrass Research Methods. Elsevier Science B.V. pp Chapter 2 : 31-58.
Lahumeten F. 2009. Struktur komunitas gastropoda pada ekosistem lamun di
pesisir kota Manokwari. Universitas Negeri Papua. Lanyon J. 1986. Guide to identification of seagrasses in the Great Barrier Reef
Region. Great Barrier Reef Marine Park Authority. Laevastu T, Hayes ML. 1981. Fisheries oceanography and ecology. Fishing News
Books Ltd., Farnham-Surrey-England. Legendre L, Legendre P. 1983. Numerical ecology. Elsevier Scientific Pub. Co. Levaan TP. 2008. kajian komunitas padang lamun di pesisir Manokwari. (Tesis).
Bogor. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical ecology a primer on methods
computing. A Wiley. Canada: Interscience Publication. John Wiley and Sons.
Magurran AE. 2004. Measuring Biological diversity. Blackwell Publishing. Marname JM, Belwood DR. 2002. Diet and nocturnal foraging in cardinalfish
(Apogonidae) at one tree reef, Great Barrier Reef, Australia. Mar Ecol Prog Ser. Published April 2002. 231:161-268.
McKenzie LJ, Cambell SJ, Roder CA. 2003. Seagrass Watch: Manual for mapping
and monitoring seagrass resources by community (Citizen) volunteers. Ed ke-2. Departmen of Primary Industries, Queensland Northern Fisheries Centre.
McKenzie LJ. 2003. Guidelines for the rapid assesment of seagrass habitat in the
Western Pacific. Department of Primary Industries Queensland, Northern Fisheries Centre. Mellors EH, Coles MRG. 1993. Intra-annual Change in Seagrass Standing Crop, Green Island, Northern Queensland. Ausa J Mar. Freshwater Research. 44 (1) : 19-31.
Merryanto, Y. 2000. Struktur komunitas ikan dan asosiasinya dengan padang
lamun di perairan Teluk Awur Jepara. (Tesis). Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Mukhtasor. 2007. Pencemaran pesisir dan laut. Pt Pradnya Paramita. Jakarta.
56
Myers RF. 1991. Micronesian reef fishes. Second Ed. Coral Graphics, Barrigada, Guam.298p.Ref1602.in:fishbase.org. http://www.discoverlife.org/mp/20q?search=Apogon+guamensis. (12 Agustus 2010).
Moriarty DJW, Boon PI. 1989. Interaction of seagrass with sediment and water.
In: Larkum AWW, Mc Comb AJ, Sheperd SA. Biology of Seagrass. Aquatic Plant Studies 2. Elsevier, New York. P 501-527.
Nasution IM. 2003a. Padang lamun di perairan pulau Bintan, Kabupaten Riau. In:
Burhanuddin S, Sulistiyo B, Supangat A. 2003. Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan. Pusat Riset Wilayah laut dan Sumber Non-Hayati. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelutan dan Perikanan.
Nasution IM. 2003b. Struktur komunitas ikan di padang lamun pulau Bintan,
kabupaten kepulauan Riau. In: Burhanuddin S, Sulistiyo B, Supangat A. 2003. Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan. Pusat Riset Wilayah laut dan Sumber Non-Hayati. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelutan dan Perikanan.
Nelson JS. 2006. Fishes of The World. Ed-4. John Wiley and Sons, Inc. Nybakken JW. 1997. Marine biology an ecologycal approach. Ed-4. An imprint
of Addison Wesley Longman, Inc. Onuf CP. 1994. Seagrasses, dredging and light in Laguna Madre, Texas, USA est.
Odum EP.1993. Dasar-dasar ekologi. Ed ke-3. Yogyakarta. Gajah Mada
University Press. Peristiwady T. 2006. Ikan-ikan laut ekonomis penting di Indonesia. Petunjuk
Identifikasi. LIPI. Phillips RC, Menez EG. 1988. Seagrass. Smithsonian contribution to the marine
science. No.34. Smithsonian Institution Press. Washington D. C. Pinto L, Punchihewa NN. 1996. Utilisation of mangroves and seagrass by fishes in
The Negombo estuary, Sri Lanka, Marine Biology. Pollard PC, Greenway M. 1993. Photynthesis characteristics of seagrass
(Cymodocea serrulata, Thalassia hemprichii and Zostera capricorni) in a low light environment, with a Comparison of Leaf Marking an Lacunal Gas Measurment of Productivity. Australian J Mar & Freswater Res. 44:127-139.
Romimohtarto K, Juwana S. 2001. Biologi laut: ilmu pengetahuan tentang biota
laut. Jakarta: Djambatan. Sabarini KE, Kartawijaya T. 2008. A comparison of fish in community seagrass
57
beds to coral reefs in Karimunjawa National Park. Wildlife Conservation Society Marine Program Indonesia.
Sedberry GR, Carter J. 1993. The fish community of shallow tropical lagoon in
Belize, Central America. Estuaries 16. Setyobudiandi I, Sulistiono, Yulianda F, Kusmana C, Hariyadi S, Damar A,
Sembiring A, Bahtiar. 2009. Sampling dan analisis data perikanan. Terapan metode pengambilan contoh di wilayah pesisir dan laut. Makaira-FPIK. IPB Bogor.
Shervette VR, Aquirre WE, Blacio E, Cevallos R, Gonzales M, Pozo F, Gelwick F.
2006. Fish communities of a disturbed mangrove wetland and an adjacent tivad rivers in Palmer, Ecuador. Est Coas and Shelf Science. Elsevier. 67:343-542.
Short FT, RG, Coles, Pergent-Martini C. 2001. Global seagrass distribution. In:
Global Seagrass Research Methods. Elsevier. pp: 5-30 Smith TM, Hindell JS, Jenkins GP, Connolly RM. 2008. Edge effects on fish
associated with seagrass and sand patches. Mar Ecol Prog Series. Vol. 359: 203-213.
Supratomo RT. 2000. Fungsi padang lamun sebagai area mencari makan ikan
dengan indikator migrasi ikan terumbu karang. (Tesis). Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Susetiono. 2004. Fauna padang lamun. Tanjung merah selat lembeh. Program
Coremap II.P2O LIPI. Jakarta. Takemura I, Sado T, Mackawa Y, Kimura S. 2004. Descriptive morphology of the
reared eggs, larvae and juveniles of the marine atherinid fish Atherinomorus duodecimalis. Ich Res 52(2):159-198 in http://www.fishbase.org/listbyletter/fbreferencest.htm (2 Agustus 2010).
Talakua S. 2007. Komunitas makroalga, lamun dan mangrove di pesisir pantai
Manokwari, Provinsi Irian Jaya Barat. (Tesis). Manado. Program Pascasarjana, Universitas Sam Ratulangi.
Terrados J, Duarte CM, Fortes MD, Borum J, Agawin NSR, Bach S, Thampanya
U, Kamp-Nielsen L, Kenworthy WJ. Greertz-hansen O, Vermaat J. 1997. Changes in community structure and biomass of seagrass communities along gradients of siltation in South East Asia. Estuarine, Coastal nd Shelf Science 46: 757-768.
Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK. 1997. The ecology of the Indonesian
seas. Part I and II.Singapore. Periplus Edition (HK) Ltd.
58
Vermaat JE, Fortes MD, Agawin N, Duarte CM, Marba N, Uri J. 1995. Meadow maintanance, growth, and productivity of a mixed Philippine seagrass bed. Mar Ecol Progress Series 124: 215-255.
Walker DI, Mc Comb AJ. 1985, Seagrass degradation in Australian coastal waters, Mar
Pollution Bulletin, 25: 191—195. Waycott MC, Collier K, Mc Mahon P, Ralph L, Mc Kenzie J, Udy, Grech A. 2007.
Vulnerability of seagrasses in the Great Barrier Reef to climate change. In: Climate change and the Great Barrier reef: a vulnerability assessment. Edited by Johnson JE, Marshall PA. Great Barrier Reef Marine Park Authority, Townsville, Australia and the Australian Greenhouse Office, in the Department of the Environment and Water Resources.
Welch EB, Lindell T. 1980. The ecological effect of wastewater. Cambrige,
London. Cambrige University Press. Wibisono MS.2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Grasindo. Jakarta. P: 211. Zieman JC. 1986. Gradients in carribean seagrass ecosystem. In Ogden JC,
Gladfelter EH, Editor. Carribean Coas Mar Productivity. Jamaica: Unesco Reports in Marine Science:25-29
Lampiran 1 Lokasi Penelitian
a. Rendani
b. Wosi
c. PulauLemon
Lampiran 2 Beberapa substrat pada lokasi penelitian Rendani
KUADRAT
Substrat
Line 1 Line 2 Line 2
1 Pasir berbatu Pasir berbatu Lumpur ,pecahan karang
2 Pasir
Pasir Pecahan karang, berlumpur
3 Pasir berbatu
Pasir Pecahan karang, berlumpur
4 Pasir berbatu (patahan karang) Pasir Berbatu
5 Pasir berbatu (patahan karang) Pasir berbatu (patahan karang) Berbatu
6 Pasir berlumpur batuan kecil Pasir berbatu (patahan karang) Berbatu
7 Pasir berlumpur Berbatu Berbatu
8 Lumpur berpasir Karang mati berpasir Karang mati berpasir
9 Lumpur berpasir patahan karang Karang mati berpasir Karang mati berpasir
10 Pasir halus, patahan karang Patahan karang, berpasir
Patahan karang, berpasir, lumpur
Wosi
KUADRAT Substrat
Line 1 Line 2 Line 2
1 Lumpur berpasir Lumpur Berpasir
2 Lumpur berpasir Lumpur Lumpur
3 Pasir lumpur berbatu Lumpur berpasir Pasir berlumpur
4 Lumpur berpasir Lumpur Pasir berlumpur
5 Lumpur Lumpur Pasir berlumpur
6 Lumpur berpasir Lumpur berpasir Pasir berlumpur
7 Lumpur berpasir Lumpur berpasir Pasir berlumpur
8 Pasir berlumpur Lumpur,batu, berpasir Pasir berlumpur
9 Pasir bertbatu Lumpur,batu, berpasir Lumpur berpasir
10 Lumpur berbatu Lumpur,batu, berpasir Lumpur berpasir
Pulau Lemon
KUADRAT Substrat
Line 1 Line 2 Line 2
1 Pasir Pasir Pasir berbatu
2 Pasir pasir pasir
3 Pasir, pecahan karang pasir pasir
4 Pasir, pecahan karang pasir, pecahan karang berbatu
5 pecahan karang pecahan karang pecahan karang
6 pecahan karang pecahan karang pasir, pecahan karang
7 berbatu pasir, pecahan karang pecahan karang
8 berbatu pecahan karang pecahan karang, berbatu
9 pecahan karang pasir, pecahan karang pecahan karang
10 pecahan karang berbatu pecahan karang
Lampiran 3 Parameter kualitas perairan
Stasiun ulangan
Parameter
pH DO (mg/l) Temperature (0C)
Current velocity (m/s)
Salinity (0/00)
Turbidity (NTU)
Phosphate (mg/L)
Nitrate NO3- (mg/L)
Lemon island I 7.94 8.22 34.6 0.1 31 1.22 0.29 0.6 II 7.88 7.67 34.6 0.1 31 2.03 0.27 0.64 III 7.87 6.62 34.7 0.1 31 1.66 0.24 0.6
ulangan 7.90 7.50 34.63 0.10 31.00 1.64 0.27 0.61
Rendani I 7.74 7.2 31 0.1 28 4.65 0.25 0.7 II 7.82 7.3 31 0.1 30 2.98 0.22 0.75 III 7.87 7.29 31 0.1 30 4.6 0.27 0.64
Ulangan 7.81 7.26 31.00 0.10 29.33 4.08 0.25 0.70
Wosi I 7.88 6.86 31 0.1 31 5.78 0.62 0.4 II 7.93 6.77 31.5 0.1 29 6.29 0.59 0.52 III 7.69 7.44 28.9 0.1 28 5.77 0.66 0.41
Ulangan 7.83 7.02 30.47 0.10 29.33 5.95 0.62 0.44
Lampiran 4 Kedalaman Air
Rendani (cm)
Wosi (cm)
Lemon island (cm)
L1 L2 L3
L1 L2 L3
L1 L2 L3
1 0 0 0
8 34 58
3 4 3
2 0 28 0
7 52 44
7 14 10
3 1 34 0
19 56 41
9 20 12
4 1 41 12
34 7 19
20 28 19
5 4 70 18
44 9 9
22 31 43
6 5 94 27
56 1o 6
50 56 55
7 9 99 38
73 11 41
80 84 76
8 11 130 43
97 44 30
116 112 100
9 12 154 54
102 68 23
120 122 122
10 12 170 87
122 83 10
133 145 159
Total 55 82 27.9
56.2 40.44 28.1
56 61.6 59.9 Rerata 54.97
41.58
59.17
Lampiran 5 Komposisi dan jumlah ikan
No
Famili No. Nama umum Spesies Panjang
Total (mm)
Panjang baku (mm)
Lokasi penelitian
Total
Rendani Wosi Lemon
siang malam siang malam siang malam
1 Acanthuridae 1 Striped britle-tooth Ctenochaetus striatus Quoy & Gamay 1825 152 100
2 2
2 Apogonidae 2 Guam Cardinalfish Apogon guamensis Valenciennes 1832 86.8 69.5
82
166 248
3
Pepperd Cardinalfish
Fowleria punctata Tesch 1903 53 41.7
31
31
4 Cardinalfish Siphamia species Weber 1909 25.2 18
1 1
3 Atherinidae 5 Tropical Silverside
Atherinomorus duodecimalis Valenciennes 1835 136.3 107.9333
18
149 2
169
6 Robust Hardyhead
Atherinomous lacunosus Forster 1801 59 46
17
17
7 Samoan Silverside
Hypoatherina temmincki Bleeker 1853 52.2 42.2
7 7
4 Belonidae 8 Reef Needlefish Strongylura incisa Valenciennes 1846
670 620
1 1
9 Baja California Keeltail
Platybelone argalus pterura Osburn & Nichols 1916 85.4 81.5
6 6
5 Carangidae 10 Giant Trevally Caranx ignobilis Forsskal 1775 175 129
1 1
6 Centriscidae 11 Coral Shrimpfish Aeoliscus strigatus Gonther 1861 121.4 90.3
6 6
7 Chandidaeae 12 Bleeker's Perchlet Ambassis urotaenia Bleeker 1852 55.05 40.85
4 9 13
8 Gobiidae 13 Twin- spot Sand-goby
Istigobius spence Smith 1974 29.9 25.6
1 1
Lampiran 5 (lanjutan)
No
Famili No. Nama umum Spesies Panjang
total (mm)
Panjang baku (mm)
Lokasi penelitian
Total
Rendani Wosi Lemon
siang malam siang malam siang malam
9 Hemiramphidae 14 Short Garfish Hemiramphus rasori Popta 1912 116.6 114.3
14 14
10 Holocentridae 15 Soldierfish Myripstis pralinia Cuvier 1829 190 166.55
1 1 2
11 Leiognatidae 16 Toothpony Gazza minuta Bloch 1795 52.87 34.45
1 1
2
17 Splendid Ponyfish
Leiognathus splendens Cuvier 1829 39.9 32.3
4
4
18 Pugnose Ponyfish
Secutor rucorius Hamilton-Buchanan 1822 31.3 21.5
1 1
12 Lethrinidae 19 Striped Large-eye Beam
Gnathodentex aurolneattusus Lacepede 1802 115.4 101.3
5
5
20 Spotcheek Emperor
Lethrinus rubrioperculatus Sato 1978 54.8 44.95
2 1 3
13 Mullidae 21 Square-spot Goatfish
Mulloidichthys flavolineatus Lacepede 1801
240 220
1 1
22 Yellow-spot Indicus
Parupebeus indicus Shaw 1803 106.3 83.5
4
4
23 Dash-dot Goatfish Parupeneus barberinus Lacepede 1801
207 161 1 1
Lampiran 5 (lanjutan)
No
Famili No. Nama umum Spesies Panjang
Total (mm)
Panjang baku (mm)
Lokasi penelitian
Total
Rendani Wosi Lemon
Siang malam siang malam siang malam
14 Ostraciidae 24 Long-horn Cowfish
Ostracion cornutus Linnaeus 1758 85.1 82.1
1 1
2
25 Yellow Boxfish Ostracion cubicus Linnaeus 1758 27 21.4
1 1
15 Scombridae 26 Indina Mackerel Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817 24.6.5 213.3
1 1
16 Siganidae 27 Scribbled Rabitfish
Siganus spinus Linnaeus 1758 94.7 83.4
39 39
17 Sphyraenidae 28 Great Barracuda Sphyraena barracuda Edwards 1771 31.5 31.4
1
1
29
Yellow-tail Barracuda
Sphyraena flavicauda Rupel 1838 134.55 118.65
3
1
4
30 Little Barracuda Sphyraena pinguis Gunter 1874 41.3 40.5
2 2
18 Tetraodontidae 31 Reticulated Puffer
Aratrhon leticularis Bloch & Schneider 1801 63.55 55.05
1 1
2
32 Stars & Stripes Puffer
Arothron hipidus Linnaeus 1875 130 101.7
2 2
19 Un identified 33 unidentified 56.4 40.4 1 1
2
Lampiran 6 Kelimpahan famili pada setiap lokasi
No Famili
Lokasi penelitian Total kode Rendani Wosi Lemon
1 Apogonidae Apo 114 166 280 2 Atherinidae Ath 35 151 7 193 3 Siganidae Sig 39 39 4 Hemiramphidae Hem 14 14 5 Chandidaeae Chan 13 13 6 Lethrinidae Leth 8 8 7 Belonidae Bel 6 1 7 8 Leiognathidae Leio 7 7 9 Sphyraenidae Sphy 6 1 7
10 Centriscidae Cent 6 6 11 Mullidae Mull 4 2 6 12 Tetraodontidae Tet 4 4 13 Famili lain Faml 2 2 2 6
Keterangan: famili lain (Ostraciidae, Hollocentridae, Acanthuridae, Scombridae,
Carangidae, Gobiidae 2, Tetraodontidae, Mullidae, Centriscidae,
Sphyraenidae, Leiognathidae, Belonidae, Lethrinida dan famili yang
tidak teridentifikasi
Lampiran 7 Kategori kelas ikan berdasarkan ukuran panjang
Spesies siang Panjang
Total (mm)
Panjang baku (mm)
Panjang maks (mm)
Panjang umum (mm) Kat.
Spesies malam Panjang
Total (mm)
Panjang baku (mm)
Panjang maks (mm)
Panjang umum (mm) Kat.
Apogon guamensis 50.2 40.5 100 70 p Strongylura incisa, 670 620 1000 600 d
Ostracion cubicus 27 21.4 450 0 j Myripstis pralinia 153 136 200 0 d
Ctenochaetus striatus 152 100 260 200 d Parupeneus barberinus 207 161 450 350 d
Hypoatherina temmincki 52.2 42.2 120 0 j Mulloidichthys flavolineatus 240 220 430 250 d
Atherinomorus duodecimalis 38.2 32.4 110 100 j Atherinomorus duodecimalis 79.8 60 100 110 p
Ambassis urotaenia 40.4 30.3 140 0 j Ambassis urotaenia 29.3 21.1 140 0 j
Gazza minuta 29.3 19.7 210 150 j Gazza minuta Bloch 38.22 29.5 210 150 j
Leiognathus splendens 39.9 32.3 170 150 j Rastrelliger kanagurta 24.6.5 213.3 350 250 j
Secutor rucorius 31.3 21.5 80 60 j Sphyraena flavicauda 100.5 89.15 600 400 p
Atherinomorus duodecimalis 54.9 46.6 100 110 p Apogon guamensis 73.2 58 100 0 d
Platybelone argalus pterura 85.4 81.5 400 300 p Fowleria punctata 53 41.7 70 0 d
Hemiramphus rasori 116.6 114.3 180 0 d Siphamia species 25.2 18 40 0 p
Caranx ignobilis 175 129 1700 1000 j Atherinomous lacunosus 59 46 250 0 j
Aeoliscus strigatus 121.4 90.3 150 0 d Myripstis pralinia Cuvier 74 61.1 200 0 j
Istigobius spence 29.9 25.6 90 70 p Gnathodentex aurolneattusus 115.4 101.3 300 200 p
Lethrinus rubrioperculatus 39.3 32.4 500 300 j Lethrinus rubrioperculatus 31 25.1 500 300 j
Ostracion cornutus 51 44.2 460 400 j Parupebeus indicus 106.3 83.5 450 350 p
Sphyraena pinguis 41.3 40.5 500 0 j Ostracion cornutus 68.2 60 460 400 j
Sphyraena barracuda 31.5 31.4 2000 1400 j Siganus spinus 94.7 83.4 280 180 p
Arathron reticularis 39.05 33.5 450 0 j Sphyraena flavicauda 68.1 59 600 400 j
Arothron hipidus 130 101.7 500 0 j
Aratrhon leticularis 49 38.3 450 0 j Ket. : Kat=kategori, j = juvenile, p = pra-dewasa, d = dewasa
Lampiran 8 Beberapa variable dalam Analisis Komponen Utama (AKU) /PCA
Lokasi Parameter Gol. ikan Stadia
pH DO Temp Ka Sal Dep Tur P Ni IkT IkL Juv preD De Lemon Siang 7.90 7.50 34.63 0.10 31.00 31.00 1.64 0.27 0.61 1 0 2 1 1 Lemon Malam 7.94 8.22 32.60 0.10 31.00 31.00 1.22 0.22 0.60 1 1 0 0 4 Rendani Siang 7.81 7.26 31.00 0.11 29.33 30.44 4.08 0.25 0.70 3 0 6 3 2 Rendani Malam 7.74 7.20 29.00 0.10 28.00 30.44 4.65 0.23 0.66 4 3 7 4 2 Wosi Siang 7.83 7.02 30.47 0.10 29.33 30.44 5.95 0.62 0.44 0 0 5 0 0 Wosi Malam 7.88 6.86 31.00 0.10 31.00 29.44 5.78 0.62 0.59 0 0 3 2 0
Keterangan: Temp=temperatur, Ka=kecepatan arus, Sal=salinitas, Dep=depth/kedalaman, Tur=turbidity/kekeruhan, IkT=ikan target, IkL= ikan lain, Juv=Juvenil, preD=pra-dewasa dan De=dewasa
Lokasi Jumlah famili ikan pada setiap lokasi
Aca Apo Ath Bel Car Cen Cha Gob Hem Hol Leio Let Mul Ost Sco Sig Sph Tet Tt Lemon Siang 2 166 7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 Lemon Malam 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 4 0 0 0 0 0 0 Rendani Siang 0 0 18 6 1 6 0 1 14 0 0 2 0 1 0 0 3 1 0 Rendani Malam 0 114 17 0 0 0 0 0 0 1 0 6 4 1 0 39 3 3 0 Wosi Siang 0 0 149 0 0 0 4 0 0 0 6 0 0 0 0 0 0 0 1 Wosi Malam 0 0 2 0 0 0 9 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 1
Keterangan: Aca=Acanthuridae, Ath=Atherinidae, Bel=Belonidae, Car=Carangidae, Cha=Chandidae, Gob=Gobidae 2, Hem=Hemiramphidae, Hol=Hollocentridae, Lei=Leiognathidae, Let=Lethrinidae, Mul=Mullidae, Ost=Ostraciidae, Scom=Scombridae, Sig=Siganidae, Sph=Sphyraenidae, Tet=Tetraodontisae, Tt=tidak teridentifikasi
Lampiran 8 (lanjutan)
Lokasi Selisih Biomass Persentase tutupan lamun
ak btg dn Th Ho Hu Cr Cs Hp Si
Lemon Siang 194.12 318.8 381.58 0.00 23.11 0.49 4.57 1.44 0.00 10.40
Lemon Malam 194.12 318.8 381.58 0.00 23.11 0.49 4.57 1.44 0.00 10.40
Rendani Siang 204.86 280.30 399.54 24.65 7.22 8.76 13.91 2.80 2.67 0
Rendani Malam 204.86 280.30 399.54
24.65 7.22 8.76 13.91 2.80 2.67 0
Wosi Siang 132.4 170.13 233.68 8.14 0.78 1.45 7.26 6.72 0.00 15.65
Wosi Malam 132.4 170.13 233.68 8.14 0.78 1.45 7.26 6.72 0.00 15.65
Keterangan : ak=akar, btg=batang, dn=daun, Th=Thallasia hempricii, Ho=Halophila ovalis, Hu=Halodule uninervis, Cr=Cymodocea rotundata, Cs=Cymodocea serrulata, Hp=Halodule pinifolia, Si=Siringodium isoetifolium
Lampiran 9 Principal Component Analisys (PCA)
Eigenvalues: F1 F2
Eigenvalue 8.040 1.615 Variability (%) 79.823 16.033 Cumulative % 79.823 95.857
Correlations between variables and factors:
F1 F2 F1 F2
F1 F2 Ath -0.659 0.271 ak 0.952 -0.200
pH -0.050 -0.217 Bel 0.218 -0.672 btg 0.958 -0.140
DO 0.581 -0.403 Car 0.177 -0.562 dn 0.959 -0.195
Temp 0.361 0.132 Cen 0.177 -0.562 Th 0.117 -0.178
Ka 0.177 -0.562 Cha -0.830 0.083 Ho 0.751 -0.031
Sal -0.066 -0.119 Gob 0.177 -0.562 Hu 0.329 -0.207
Dep 0.654 0.042 Hem 0.177 -0.562 Cr 0.162 -0.184
Tur -0.761 0.148 Hol 0.461 -0.233 Cs -0.958 0.140
P -0.958 0.229 Leio -0.806 0.263 Hp 0.424 -0.217
Ni 0.749 -0.333 Let 0.423 0.101 Si -0.689 0.233
IkT 0.661 -0.122 Mul 0.461 -0.233
IkL 0.439 0.094 Ost 0.749 0.263
Juv -0.089 0.172 Sco -0.526 -0.033
preD 0.346 0.006 Sig 0.359 0.287
De 0.655 -0.606 Sph 0.300 -0.237
Aca 0.469 0.627 Tet 0.423 0.101
Apo 0.654 0.753 Tt -0.971 0.182
Lampiran 10 Hasil Anova/sidik ragam hubungan cover tutupan lamun dengan jumlah individu ikan
SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Multiple R 0.999945065 R Square 0.999890133 Adjusted R Square 0.999780266 Standard Error 0.544715136 Observations 3
ANOVA df SS MS F Significance F
Regression 1 2700.369952 2700.37 9100.901 0.006673014 Residual 1 0.296714579 0.296715
Total 2 2700.666667
Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0% Intercept 5.439767283 2.049737943 2.653884 0.229408 -20.60462268 31.48415724 -20.6046227 31.48415724 X Variable 1 1.922655715 0.020153911 95.39864 0.006673 1.666575998 2.178735433 1.666576 2.178735433
Lampiran 11 Jenis dan Komposisi Lamun
Rendani kuadran
Spesies K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 TOTAL Transect
1 Thalassia hemprichii 133 383 254 26 14 72 882
Halophila ovalis 49 25 74
Halodule uninervis 231 103 92 164 29 19 638
Cymodocea rotundata 15 78 253 61 76 250 288 20 1041
Cymodocea serrulata 8 3 16 27
2662
Transect
2 Thalassia hemprichii 57 46 163 25 117 77 5 118 164 772
Halophila ovalis 49 12 31 46 14 152
Halodule uninervis 93 3 96
Cymodocea rotundata 142 42 46 13 16 259
Cymodocea serrulata 55 32 87
Syringodium isoetifolium 51 101 152
1518
Transect
3 Thalassia hemprichii 24 47 150 44 14 34 313
Halodule uninervis 7 7
Cymodocea rotundata 37 64 9 110
Cymodocea serrulata 74 3 77
507
Wosi Kuadran
Spesies K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 TOTAL Transect
1 Halodule pinifolia 91 98 193 201 109 4 106 18 820
Halodule uninervis 307 388 286 289 205 31 1506
Cymodocea rotundata 103 88 163 354
Cymodocea serrulata 6 84 7 74 59 57 287
2967 Transect
2 Halodule pinifolia 28 72 1242 1154 163 2659
Halodule uninervis 563 783 11 12 298 43 37 6 1753
Halophila ovalis 18 7 3 126 154
Cymodocea rotundata 188 260 230 6 2 686
Cymodocea serrulata 58 58
5310 Transect
3 Halodule pinifolia 14 14
Halodule uninervis 676 281 738 679 696 838 598 264 4770
Halophila ovalis 20 22 42
Cymodocea rotundata 104 371 25 500
5326
Pulau Lemon Kuadran
Spesies K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 TOTAL Transect
1 Thalassia hemprichii 413 52 85 550
Halophila ovalis 6 17 4 27
Halodule uninervis 31 31
Cymodocea rotundata 141 87 38 266
Cymodocea serrulata 48 48
Halodule pinifolia 431 1124 1555
2477 Transect
2 Thalassia hemprichii 207 18 56 281
Halophila ovalis 2 22 15 39
Halodule uninervis 89 89
Cymodocea rotundata 125 201 223 549
Cymodocea serrulata 146 112 106 103 81 40 41 629
Halodule pinifolia 362 416 778
2365 Transect
3 Thalassia hemprichii 289 58 115 59 22 25 568
Halophila ovalis 21 22 14 7 2 66
Halodule uninervis 112 11 123
Cymodocea rotundata 230 156 37 8 431
Cymodocea serrulata 377 22 62 461
Halodule pinifolia 91 366 457
2106