Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia 2015 ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia 2015
ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir
Editor : Dr.-Ing. Widodo S. Pranowo
Dr. Irsan S. Brodjonegoro
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
2015
Judul Buku : EKONOMI BIRU SUMBERDAYA PESISIR Editor :
Dr.-Ing. Widodo S. Pranowo Dr. Irsan S. Brodjonegoro
Desain sampul dan Penata isi :
Sari Novita, S.T
Korektor :
Agus Hermawan, S.Sos
Dani Saepuloh, A.Md
Sari Novita, S.T
Jumlah Halaman:
93 + v halaman romawi
Seri :
Pengetahuan Sumberdaya Laut dan Pesisir No.1
Edisi/ cetakan:
Cetakan 1, Desember 2015
Sumber foto sampul:
Suhelmi IR, et al. 2013. Garam Madura, Tradisi dan Potensi Usaha Garam Rakyat.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian
dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Penerbit : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Komplek Bina Samudera Jl. Pasir Putih II Lantai 4, Ancol Timur, Jakarta Utara 14430 – DKI Jakarta. www.p3sdlp.litbang.kkp.go.id Telp. : (021) 64700755 / Fax. : (021) 64711654, Email : [email protected]
ISBN : 978-602-9086-40-9
e- ISBN : 978-602-9086-41-6
Di cetak oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir @ 2015, hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Dilarang mengutip/memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit
iii
KATA SAMBUTAN
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, telah
melakukan kajian dan riset tentang penerapan konsep ekonomi biru dibidang
kelautan dan perikanan.
Ekonomi biru merupakan prinsip yang harus dipegang untuk kemudian
dioperasional-kan dalam industrialisasi kelautan dan perikanan. Pada
dasarnya konsep ekonomi biru ini mampu menciptakan industri kelautan dan
perikanan yang ramah lingkungan serta dapat meningkatkan pendapatan
perekonomian masyarakat sekitar. Ekonomi biru ini diharapkan mampu
meningkatkan sumber daya alam yang ada tanpa mengurangi fungsi dan
kualitas itu sendiri, khususnya di daerah pesisir.
Harapan kami adalah bahwa buku seri pengetahuan ini dapat
dipergunakan dan disempurnakan lagi sehingga dapat bermanfaat bagi
masyarakat umum.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
Dr. Budi Sulistiyo, M.Sc.
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala
berkat rahmat dan karunia Nya, sehingga Buku Ekonomi Biru Sumberdaya
Pesisir ini dapat diselesaikan.
Dalam buku ini tim penulis berusaha memberikan gambaran umum
mengenai penerapan prinsip ekonomi biru yang dapat memberikan inspirasi
bagi masyarakat sehingga pembangunan kelautan dan perikanan di Indonesia
dapat lebih terarah dan tepat sasaran.
Dijelaskan pula beberapa hasil penelitian diantaranya mengenai
pengelolaan sumberdaya kelautan secara maksimal dan menjadi lebih kreatif
di bidang industri masyarakat perikanan dan pesisir, seperti komoditi garam
dan tuna tongkol cakalang, sesuai prinsip ekonomi biru yang sedang gencar
diterapkan sejak tahun 2012. Selain itu dipaparkan juga pentingnya daya
dukung lingkungan perairan dalam menjaga keberlangsungan kegiatan
ekonomi biru. Pada edisi ini terdapat bab yang membahas tentang kualitas air
di Sungai Manggar dan Teluk Saleh, serta hasil penelitian kondisi ekologi
padang lamun dalam kapasitasnya untuk menyerap dan menyimpan karbon,
sebagai lanjutan dari studi Karbon Biru Kepulauan Derawan tahun.
Kami mengucapkan terima kasih kepada segenap pimpinan, dan
keluarga besar lingkup Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut
dan Pesisir, atas kontribusi yang diberikan dalam penyusunan buku ini.
Apresiasi dari pembaca sangat kami perlukan untuk penyempurnaaan
buku nomer berikutnya. Semoga buku ini memberikan manfaat bagi kita
semua.
Jakarta,14 Desember 2015
Tim Editor
v
Daftar Isi
Kata Sambutan ............................................................................. iii Kata Pengantar ............................................................................. iv Daftar Isi ........................................................................................ v
1. Kajian Pengelolaan Tambak Garam Rakyat Terpadu Rikha Bramawanto, Sophia L. Sagala, Ifan R. Suhelmi, Hariyanto Triwibowo ......................................................................... 1
2. Analisis Potensi Tuna Tongkol Cakalang (TTC) di Perairan Sumatera Barat dan Pengelolaannya Sesuai Prinsip Ekonomi Biru Studi Kasus: Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus Aida Heriati, Eva Mustikasari, Dini Purbani, Yulius,Hadiwijaya L. Salim ............................................................................................20
3. Pemurnian Garam Sistem Mekanis Untuk Menghasilkan Garam Konsumsi Sehat Ifan R. Suhelmi dan Hariyanto Triwibowo....................................... 32
4. Kualitas Air Sungai Manggar, Kota Manggar Kabupaten Belitung Timur. Perbandingan Di Musim Hujan Dan Kemarau. Agustin Rustam dan Fajar Yudi Prabawa ........................................ 43 40
5. Ekosistem Karbon Biru Lamun Di Pulau-Pulau Kecil, Kepulauan Derawan – Kalimantan Timur Terry L. Kepel, Restu Nur Afi Ati, Agustin Rustam, Syahrial Nur Amri, Andreas Hutahaean ........................................................ 61 44
6. Kualitas Air Di Perairan Teluk Saleh, Kabupaten Sumbawa Berdasarkan Baku Mutu Lingkungan Hidup Yulius, M. Ramdhan, H. L. Salim, Devi D. Suryono, D. Purbani, Dan A. Heriati ........................................................................................... 79
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
1
Kajian Pengelolaan Tambak Garam Rakyat Terpadu
Rikha Bramawanto, Sophia L. Sagala, Ifan R. Suhelmi, Hariyanto
Triwibowo Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang KP
Abstrak
Lahan milik rakyat untuk produksi garam yang tersebar di daerah umumnya
hanya seluas 0,5 - 5 Ha. Hal ini sering menjadi kendala bagi petambak dalam
mengoptimalkan pemanfaatan lahannya. Kemudian muncul ide untuk
menggabungkan tambak-tambak garam berukuran kecil yang berada dalam
satu hamparan untuk dikelola bersama. Setidaknya terdapat tiga konsep
pengelolaan lahan secara terpadu yang dapat diterapkan yaitu corporate
farming, collective farming dan cooperative farming. Penelitan ini bertujuan
untuk mengkaji konsep pengelolaan tambak garam rakyat secara terpadu
menggunakan analisis Strengths, Opportunities, Aspirations and Result
(SOAR). Pada penelitian ini dipilih dua konsep pengelolaan lahan terpadu:
corporate farming dan kombinasi collective-cooperative farming. Dua aspek
penting dalam analisis SOAR adalah strategic inquiry (strenght-opportunities)
dan appreciative intent (aspiration-result). Hasil analisis SOAR terhadap dua
konsep pengelolaan lahan terpadu menunjukkan bahwa strategic inquiry
konsep corporate farming memiliki ciri pengelolaan tambak yang
dikendalikan secara profesional oleh korporasi dan didukung akseptabilitas
pemilik untuk menerapkan teknologi intesif. Konsep collective-cooperative
farming lebih mengutamakan pemberdayaan petambak tradisonal secara
bergotong royong sebagai nilai kearifan lokal dengan membentuk kelompok
besar (formal/non formal) dalam mengelola tambak dan menerapkan
teknologi produksi garam yang sederhana dan berbiaya rendah. Appreciative
intent pada konsep corporate farming adalah pengelolaan produksi garam
secara profesional dalam menghasilkan garam berkualitas tinggi untuk
memenuhi kebutuhan industri. Sedangkan pada konsep collective-
cooperative farming tambak garam dikelola secara bergotong royong untuk
menghasilkan bahan baku garam konsumsi berkualitas. Maka, analisis SOAR
memperkuat justifikasi bahwa pengelolaan tambak garam terpadu
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
2
berpeluang untuk diterapkan di tambak-tambak garam rakyat dalam berbagai
alternatif.
Kata Kunci: pengelolaan tambak, garam, analisis SOAR
Pendahuluan
Proses produksi pembuatan garam yang dikenal di Indonesia adalah
sistem penguapan dengan sinar matahari (solar evaporation) menggunakan
metode kristalisasi total untuk garam rakyat dan kristalisasi bertingkat untuk
PT Garam. Beberapa daerah memproduksi garam dengan cara memasak
karena kondisi tanah yang porous seperti di provinsi Aceh dan Bali.
Produktivitas dan kualitas garam rakyat yang dihasilkan menggunakan
metode kristalisasi total masih rendah dengan kadar NaCl kurang dari 90%
dan banyak mengandung pengotor. Meskipun produksi garam nasional setiap
tahun telah mengalami peningkatan (kecuali tahun 2010 dan 2011), namun
garam tersebut hanya sesuai untuk memenuhi kebutuhan garam iodisasi
(industri garam beryodium) atau industri yang tidak membutuhkan kadar
NaCl yang cukup tinggi seperti pengasinan ikan, penyamakan kulit, dan
pembuatan es batu. Industri kimia maupun makanan dan minuman
membutuhkan kadar NaCl yang tinggi (impurities rendah). Jenis garam untuk
kebutuhan industri kimia makanan dan minuman sampai saat ini belum dapat
diproduksi di dalam negeri, sehingga seluruh pengadaannya dilakukan melalui
impor.
Produksi garam nasional tersebut diperoleh dari total luas lahan
produksi garam rakyat seluas 24.130,93 hektar. Berdasarkan hasil pemetaan
wilayah tambak yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan di 40
kabupaten/kota penghasil garam, sesungguhnya Indonesia memiliki lahan
potensial seluas 33,854.36 (KP3K, 2011). Lahan tersebut tersebar di sejumlah
daerah dengan kepemilikan lahan garam rakyat yang umumnya hanya
berkisar 0,5 - 5 hektar. Kecilnya luasan lahan tersebut menyulitkan petambak
garam dalam mengelola lahannya secara optimal. Sebagai perbandingan,
kolam-kolam peminihan untuk memproses penuaan brine di lahan milik PT
Garam luasnya berkisar antara 19 sampai 35 hektar. Luas lahan yang besar
memungkinkan PT Garam mengoptimalkan lahannya untuk menghasilkan
garam berkualitas.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
3
Oleh karenanya, pemerintah terus berupaya agar pembangunan
industri garam rakyat berdaya saing tinggi dan dikembangkan secara
berkesinambungan. Setiap faktor seperti ketersediaan lahan, produktivitas
dan kualitas berfungsi untuk mendorong percepatan pembangunan industri
garam nasional serta memacu pencapaian program swasembada garam
nasional atau setidaknya meminimalkan ketergantungan pada garam impor.
Kementerian Kelautan dan Perikanan mendorong pencapaian target tersebut
dengan menginisiasi penggabungan pengelolaan tambak garam rakyat
melalui program Korporatisasi Garam. Program tersebut telah coba dilakukan
oleh Asosiasi Petambak Garam NU di wilayah Lasem, Rembang (Pemkab.
Rembang, 2014).
Penggabungan pengelolaan tambak garam mungkin dapat menjadi
salah satu terobosan dalam mencapai swasembada garam nasional. Namun
secara teknis hal tersebut tidak mudah diimplementasikan mengingat
heterogennya karakter lahan dan petambak yang terlibat dalam proses
produksi garam di Indonesia. Kajian ini ditujukan untuk memberikan opsi
rekomendasi terkait strategi penggabungan pengelolaan tambak garam
rakyat berdasarkan pendekatan yang dipergunakan dan mekanisme
penerapannnya.
Analisis SOAR
Kajian ini merupakan penelitian eksploratif yang bertujuan untuk
mencari pendekatan model yang mungkin dapat diterapkan dalam
pengelolaan tambak garam rakyat terpadu untuk mencapai swasembada
garam. Analisis SOAR (strengths, opportunities, aspirations, results) dipilih
sebagai salah satu pendekatan model. Data dan informasi terkait kondisi
eksisting, potensi dan harapan pada industri garam rakyat yang diperoleh dari
hasil wawancara dan studi literatur, dimasukkan dalam matriks SOAR
analysis.
Rencana starategis penerapan pengelolaan tambak garam rakyat
terpadu dibuat berdasarkan analisis menggunakan kerangka kerja SOAR
(Gambar 1). Kerangka kerja tersebut dipergunakan untuk memandu
pemikiran strategis dan perencanaan dengan cara mendayagunakan
kekuatan, menghimpun peluang dan menentukan cita-cita yang hendak
dicapai, serta dipergunakan untuk meningkatkan kualitas tujuan akhir
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
4
pelaksanaan pembangunan berkelanjutan dari sudut pandang sistem secara
keseluruhan (Stavros et al.,2007 and Sprangel et al., 2010). Pendekatan
Appreciative Inquiry (AI) dalam SOAR analisis memberikan banyak manfaat
dibandingkan model tradisional (SWOT). Dimulai dari perencanaan strategis
yang bersifat results-oriented dan co-constructive pada saat yang bersamaan,
dimana pada proses tersebut model tradisional justru memberikan batasan
yang berbeda antara penilaian, perencanaan, pelaksanaan, dan tahapan
kontrol. Kerangka kerja SOAR memungkinkan partisipan untuk melakukan co-
create masa depan yang diinginkan di seluruh proses melalui penyelidikan,
imajinasi, inovasi, dan inspirasi. Penyelidikan juga memuat pertanyaan
tentang faktor utama yang mempengaruhi eksistensi orgasisasi dan harapan
di masa mendatang (Stavros et al., 2007)
Gambar 1. Kerangka Kerja Appreciative Inquiry dalam SOAR
(Sumber: http://positivepsychologynews.com)
Analisis SOAR menghasilkan perencanaan strategis melalui
pendekatan Appreciative Inquiry (AI). AI merupakan transformasi dari model
SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, threats) ke model SOAR
(strengths, opportunities, aspirations, results). Itu dilakukan agar lebih fokus
kepada hal-hal penting seperti masa depan masyarakat dan/atau organisasi.
Kemudian dibuat pertanyaan untuk menyelidiki arah proses perencanaan
strategis serta mengemukakan aspirasi dan hasil yang diharapkan. Strategi
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
5
pencapaiannya didasarkan pada kekuatan (strenghts) dan kesempatan
(opportunities) sebagai mana terlihat pada gambar 2. Hal tersebut
merupakan penyelidikan strategis (Strategic Inquiry) dengan sebuah
penghargan terhadap tujuan (Appreciative Intent).
Strategic
Inquiry
Strengths
What are our greatest
assets
Opportunities
What are the best possible
opportunities
Appreciative
Intent
Aspirations
What is our preferred
future
Results
What are the measurable
results
Gambar 2. Matriks Penyelidikan Strategis (Strategic Inquiry) dengan sebuah penghargaan terhadap tujuan (Appreciative Intent)
(Sumber: Stavros, Cooperrider, and Kelley, 2003)
Mengadopsi konsep usaha tani dalam bentuk pengelolaan lahan
terpadu, dipilih tiga konsep yang relevan dengan pengelolaan lahan garam
rakyat yaitu corporate farming, collective farming dan cooperative farming.
Ketiga konsep tersebut diuraikan perbedaan karakternya dan divisualisasikan
skenario penerapannya di lahan. Kemudian dilakukan analisis SOAR untuk
melihat kemungkinan strategi penerapan dan menentukan peran dari
masing-masing pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya.
Karakteristik Pengelolaan Lahan Garam di Pulau Jawa
Beberapa sentra penghasil garam terbesar di Jawa antara lain adalah
Kabupaten Indramayu dan Cirebon di Jawa Barat serta Pati dan Rembang di
Jawa Tengah. Beberapa Kabupaten tersebut dapat dianggap representasi dari
pola pengelolaan tambak garam rakyat secara umum, setidaknya pola
pengelolaan di Pulau Jawa. Gambar 3 menunjukkan karakter pengelolaan
tambak garam yang divisualisasikan secara sederhana yaitu membandingkan
data luas tambak garam di setiap kecamatan dengan jumlah penerima
program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat pada wilayah yang sama,
sehingga diperoleh rata-rata luas pengelolaan tambak garam dengan satuan
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
6
hektar/orang. Hasilnya, rata-rata luas pengelolaan tambak garam di
Kabupaten Indramayu berkisar antara 0,44 – 0,96 ha/orang, Kabupaten
Cirebon berkisar antara 0,36 – 0,96 ha/orang, Kabupaten Pati berkisar 0,3 –
0,6 ha/orang, dan Kabupaten Rembang berkisar antara 0,3 – 0,49 ha/orang.
Gambar 3. Peta Pengelolaan Tambak Garam Rakyat di Kabupaten
Indramayu, Cirebon, Pati dan Rembang
Tambak garam yang ideal memiliki kelengkapan sistem produksi
antara lain seperti, kolam penampungan/bozeem (reservoir), kolam
peminihan (condenser), dan meja kristalisasi (crystalizer). Pola kelengkapan
sistem tambak garam rakyat sangat bervariasi, mulai dari yang tidak memiliki
reservoir atau memiliki reservoir namun berukuran kecil sampai pada kolam-
kolam yang dipergunakan sebagai peminihan dan meja kristalisasi secara
bergantian. Pada puncak musim kemarau biasanya hampir seluruh lahan
telah menjadi meja kristal, sehingga kolam untuk menyediakan pasokan air
tua (brine) yang siap dikristalkan menjadi berkurang. Cara yang dilakukan
petambak untuk mengatasi hal tersebut antara lain dengan mempercepat
waktu pemanenan ataupun mamasukkan brine dengan densitas rendah ke
dalam meja kristalisasi yang masih terdapat air sisa produksi (bittern) di
dalamnya. Hal tersebut disebabkan karena terbatasnya lahan yang dikelola
oleh petambak.
Produksi garam nasional sebagian besar dipasok dari garam rakyat.
Saputro et.al. (2011) menyatakan pasokan garam rakyat untuk produksi
garam nasional rata-rata mencapai 70% per tahun yang diperoleh dari lahan
garam seluas sekitar 24.000 hektar, sedangkan 30% berasal dari tambak
garam milik PT Garam seluas sekitar 5.000 hektar. Dari data tersebut terlihat
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
7
bahwa rata-rata produktivitas lahan garam yang dikelola PT Garam lebih
tinggi dibandingkan yang dikelola rakyat, meskipun tambak yang dikelola PT
Garam maupun rakyat rata-rata produktivitasnya belum mencapai 100
ton/ha/musim. Tambak PT Garam merupakan lahan sehamparan yang
dikelola secara intensif dengan menerapkan proses pengolahan brine secara
bertingkat. Sedangkan, tambak garam rakyat umumnya merupakan lahan
berukuran kecil milik keluarga yang dikelola sendiri, dikelola bersama dengan
penggarap atau disewakan. Proses produksi garam oleh petambak garam
rakyat dilakukan dengan cara proses penguapan air laut secara total pada
meja-meja kristalisasi. Produktivitas lahan garam seperti ini sulit ditingkatkan
karena tidak dapat menerapkan sistem produksi garam standar. Olehnya,
diperlukan penyatuan beberapa lahan sehingga tataguna lahan untuk
memproduksi garam menjadi lebih optimal.
Pengelolaan kawasan pegaraman secara terpadu
Pengelolaan kawasan pegaraman secara terpadu, intensif dan
berskala besar membutuhkan lahan yang luas, terhadap tambak garam rakyat
yang umumnya memiliki luas lahan yang kecil, pengelolaan bersama perlu
dilakukan untuk mencapai nilai ekonomis. Mengadopsi model pengelolaan
usahatani, setidaknya terdapat tiga jenis pengelolaan secara bersama-sama
yaitu: corporate farming, collective farming dan cooperative farming.
Perbandingan dari masing-masing pola tersebut tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan model pengelolaan usahatani secara terpadu
Corporate farming Collective farming Cooperative farming
Sistem Pengelolaan
- Konsolidasi fisik lahan
untuk dikelola oleh
korporasi
- Konsolidasi seluruh
aspek pengusahaan
produksi hulu-hilir
mutlak dikendalikan
oleh korporasi
- Hanya petambak
pemilik lahan dan
- Konsolidasi lahan tidak
mutlak, pengelolaan
kolektif
- Konsolidasi pada aspek
sarana, penerapan
teknologi, pelaksanaan
produksi, pascapanen dan
pemasaran
- Petambak pemilik lahan,
pemilik penggarap dan
- Tanpa konsolidasi lahan,
pengelolaan mandiri
- Konsolidasi pada aspek
sarana, penerapan
teknologi, pelaksanaan
produksi, pascapanen dan
pemasaran
- Petambak pemilik lahan,
pemilik penggarap,
penyewa penggarap dan
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
8
pemilik penggarap yang
dapat bergabung
penyewa penggarap
dapat bergabung
buruh tambak dapat
bergabung
Fokus
- Penerapan usahatani
modern untuk
memperoleh
keuntungan yang tinggi,
berorientasi pasar
- Penerapan usahatani
berbasis komunitas yang
berdaya saing, efektif dan
efisien melalui
pengelolaan secara
ekonomis, kolektif dan
partisipatif
- Penerapan usahatani
terpadu untuk
memberdayakan petani
melalui pembangunan
sosial kapital (gotong-
royong)
Kelembagaan
- Korporasi sebagai
pemegang kendali
manajemen bisnis yang
profesional dan modern
- Petambak aktif secara
kolektif (cenderung non
formal/musyawarah)
- Petambak aktif
mengendalikan
manajemen organisasi
dengan struktur lengkap
Keterlibatan Stakeholder
- Swasta sebagai
korporasi penyedia
seluruh modal dan
pengendali manajemen
- Petambak hanya
sebagai penyedia lahan
- Pemerintah sebagai
penyedia infrastruktur
publik (irigasi,
aksesibiltas), fasilitator
pembinaan, pelatihan,
monitoring dan
evaluasi.
- Swasta dapat masuk
hanya jika hanya
diperlukan tambahan
modal.
- Petambak aktif secara
kolektif dalam proses
produksi
- Pemerintah membangun
infrastruktur primer-
tersier-sekunder,
fasilitator produksi hulu-
hilir.
- Swasta sebagai mitra
investasi dan membantu
pemasaran
- Petambak bertindak
sebagai anggota sekaligus
pengelola
- Pemerintah membangun
infrastruktur primer-
tersier-sekunder,
fasilitator produksi hulu-
hilir.
Pola kebijakan
- Cenderung topdown
dan sentralistik oleh
korporasi
- bersifat horizontal antar
sesama anggota
- cenderung Bottom up dari
anggota
(Sumber: Nuryanti (2005), Setiawan (2008), Shinta (2011), Gillbert (2014))
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
9
Masing-masing model pengelolaan usahatani tersebut memiliki
keunggulan dan kekurangan. Corporate farming menjamin tercapainya
efisiensi usaha, standarisasi mutu, dan efektivitas serta efisiensi manajemen
pemanfaatan sumber daya. Selain itu, corporate farming lebih
menguntungkan bagi sebagian pemilik tanah yang lahannya memang
disewakan untuk dikelola menjadi tambak garam. Kekurangannya adalah
pemilik tanah tidak memiliki keleluasaan dalam pengelolaan lahan garam
maupun keterlibatan langsung dalam prospek bisnisnya. Menurut Setiawan
(2008) Collective farming dianggap lebih mencerminkan budaya usahatani
sebagian masyarakat Indonesia, sebagai contoh adanya sistem sambatan dan
seredan yang merupakan sistem pengelolaan lahan secara bersama di Jawa
Barat, namun pengelolaannya masih belum terintegrasi dalam suatu sistem
manajemen. Sedangkan Cooperative farming merupakan model
pemberdayaan petani, diantaranya melalui penguatan kelembagaan,
pengembangan SDM, pengembangan akses permodalan, akses pasar dan
kesepakatan penerapan teknologi. Kekurangan cooperative farming ini adalah
lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kelembagaan, karena
pengendali manajemen berasal dari SDM kelompok itu sendiri yang tingkat
pengetahuannya kurang sehingga membutuhkan banyak pelatihan
manajemen dari pihak luar.
Terlepas dari keunggulan dan kekurangan dari masing-masing model,
pengelolaan secara bersama-sama diharapkan dapat merubah budaya
bertani secara tradisional dan individualis menjadi budaya pengusaha
(entepreneur) dan industrialis. Ketiga model tersebut juga menekankan
pentingnya menguasai sektor off farm (pra dan pascaproduksi), karena
selama ini ditenggarai petambak hanya menguasai sektor on farm (produksi)
semata. Penguasaan sektor off farm penting bagi petambak agar dapat
menjangkau akses permodalan dan akses pasar, sehingga dapat
meningkatkan pendapatan yang bermuara pada peningkatan kesajahteraan
petambak.
Sebagai contoh, Lokasi pada Gambar 4 merupakan hamparan tambak
garam di Losarang Indramayu. Tambak tersebut mempunyai ukuran yang
bervariasi antara 0,5 hingga 1,5 hektar. Setiap tambak terdiri dari
bozeem/reservoir berukuran kecil, kolam peminihan dan/atau meja kristal.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
10
Gambar 4. Hamparan Tambak di daerah Losarang Indramayu
Jika pendekatan yang diterapkan adalah corporate farming, maka
diperlukan konsolidasi lahan agar dapat dikelola secara profesional dan
memenuhi prinsip-prinsip usahatani modern. Tambak akan dibagi dalam 3
bagian besar yaitu reservoir/bozeem, peminihan dan meja kristal dengan
rasio luas 29% : 43% : 28% (1 : 1,5 : 1), diadopsi dari tambak teknik ulir filter
(TUF) sebagaimana dikemukakan Bramawanto et.al. (2015) dan dilakukan
penyesuaian terhadap proporsi luasan masing-masing jenis kolam, seperti
terlihat dalam Gambar 5. Hal ini sesuai dengan alternatif pemberdayaan
petani penggarap yang dikemukakan oleh Ihsannudin (2012) melalui integrasi
bozeem terpadu meskipun terdapat perbedaan dalam implementasinya, yaitu
menerapkan 27% lahan untuk membuat bozem yang dipakai bersama. Di
samping itu, meja kristal diletakkan dekat jalan yang dapat diakses oleh
kendaraan pengangkut.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
11
Gambar 5. Skenario pengelolaan tambak terpadu menggunakan pendekatan
corporate farming
Pada pendekatan corporate farming faktor kepemilikan tambak
garam rakyat sangat dimungkinkan akan menjadi faktor pembatas. Hasil
pengamatan di beberapa sentra garam menunjukkan bahwa sebagian besar
petambak hanyalah sebagai penyewa atau buruh dengan sistem bagi hasil
yang tidak memiliki hak penuh atas lahan garapannya. Selain itu faktor
kebiasaan atau budaya masyarakat setempat juga menentukan potensi
akseptabilitas/resistensi terhadap model pengelolaan.
Pendekatan yang mungkin dilakukan terhadap pengelolaan tambak
garam rakyat menggunakan sistem sewa atau bagi hasil adalah collective
farming. Pengelolaan bersama hanya sampai pada penyediaan brine di
reservoir, sehingga tidak merubah struktur tambak secara ekstrim, seperti
terlihat pada Gambar 6. Pengaliran brine dari reservoir ke condenser diatur
waktunya dan dikendalikan secara proporsional sehingga ketersediaan brine
untuk seluruh tambak dapat terjamin tanpa ada pihak yang merasa
kekurangan. Petakan berwarna biru pada gambar tersebut merupakan
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
12
reservoir yang saling terhubung satu dengan yang lainnya berdasarkan prinsip
bejana berhubungan. Jika memungkinkan, pengelolaan bersama dapat
dilanjutkan pada penyediaan brine yang siap dikristalisasi di condenser agar
memiliki kualitas yang sama sehingga garam yang dihasilkan diharapkan
relatif seragam kualitasnya.
Gambar 6. Skenario pengelolaan tambak terpadu menggunakan pendekatan
collective farming
Penerapan skenario pengelolaan tambak garam terpadu
menggunakan pendekatan corporate farming dan collective farming di atas
dapat berjalan selaras dengan konsep blue economy, seperti natural
resources efficiency, zero waste, social inclusiveness dan open-ended
innovation and adaptation. Natural resources efficiency hampir dipastikan
dapat tercapai melalui kedua pendekatan. Zero waste dapat dilakukan
melalui pemanenan deposit garam atau mineral-mineral selain NaCl dalam
brine dengan menerapkan proses pengolahan brine secara bertingkat. Pada
tingkat pertama CaCO3 dapat ditemui pada densitas 3,5 – 15 0Be dan CaSO4
pada densitas 13 - 25 0Be. Selanjutnya, NaCl sebagai produk utama diperoleh
pada densitas 25 – 30 0Be, sedangkan MgSO4, KCl dan MgCl2 terjadi pada
densitas lebih dari 30 0Be (Baert et. al. 2000). Dalam hal ini pendekatan
corporate farming lebih sesuai karena industri penggunanya spesifik,
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
13
sehingga hanya dapat diproduksi dan dipasarkan oleh korporasi tertentu.
Social inclusiveness lebih dapat diterapkan pada collective farming karena
memenuhi aspek self-sufficiency bagi petambak kecil, lebih banyak lapangan
kerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat miskin. Open-ended
innovation and adaptation yang mengedepankan prinsip hukum fisika dan
adaptasi alami dapat diiimplementasikan melalui penggabungan lahan
evaporasi, terutama pada pendekatan corporate farming, Berdasarkan
hukum fisika, laju evaporasi dapat ditingkatkan dengan cara memperluas
permukaan bidang evaporasi. Hal ini sekaligus menjamin ketersediaan brine
untuk dapat dipergunakan secara bersama-sama.
SOAR Analysis Untuk Penerapan Pengelolaan Tambak Garam Rakyat
Terpadu
Analisis SOAR dilakukan terhadap dua alternatif pengelolaan tambak
garam rakyat terpadu menggunakan pendekatan corporate farming maupun
kombinasi collective-cooperative farming. Gambar 7 menyajikan matriks
analisis SOAR terhadap pengelolaan tambak garam rakyat terpadu
menggunakan pendekatan corporate farming sedangkan gambar 8
menggunakan pendekatan kombinasi collective-cooperative farming.
Stra
tegi
c In
qu
iry
Strengths (Kekuatan)
- Ketersediaan lahan tambak
garam produktif (eksisting) dan
potensial
- Management produksi hulu-hilir
oleh korporasi profesional
- Pengendalian mutu produk yang
ketat
- Pekerja dikaryakan secara
profesional
- Memiliki target profit dan
berorientasi pada pasar
- Bahan baku air laut mudah
diperoleh
Opportunities (Peluang)
- Lahan produksi berada pada
hamparan-hamparan luas
- Akseptabilitas pemilik lahan dan
ketertarikan pemilik lahan sekitar
hamparan dalam hal konsolidasi
lahan
- Penerapan teknologi intensifikasi
- Segmen pasar penyerap produk
telah tersedia
- Percepatan peningkatan
produktivitas
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
14
Ap
pre
ciat
ive
Inte
nt Aspirations (Aspirasi)
- Pengelolaan produksi garam
secara profesional
- Kontribusi dalam mewujudkan
swasembada garam nasional
- Menjadi eksportir garam
Results (Hasil)
- Produktifitas lahan garam
meningkat menjadi di atas 100
ton/ha/musim
- Memproduksi garam memenuhi
kualitas bahan baku industri
dengan mutu seragam
Gambar 7. Analisis SOAR terhadap model pengelolaan tambak garam rakyat
terpadu menggunakan pendekatan corporate farming
Stra
tegi
c In
qu
iry
Strengths (Kekuatan)
- Ketersediaan lahan tambak
garam produktif (eksisting) dan
potensial
- Pengalaman (turun-temurun)
SDM pembuat garam
- Tata nilai sosial (gotong-royong)
- Bahan baku air laut mudah
diperoleh
Opportunities (Peluang)
- Lahan produksi berada pada
hamparan-hamparan luas
- Ketersediaan teknologi
intensifikasi sederhana berbiaya
murah.
- Penguatan organisasi melalui
kelompok-kelompok dalam
program PUGAR
- Adanya dukungan dari pemerintah
dan swasta
Ap
pre
ciat
ive
Inte
nt
Aspirations (Aspirasi)
- Pengelolaan produksi garam
secara terpadu
- Kontribusi dalam mewujudkan
swasembada garam nasional
- Menjadi eksportir garam
Results (Hasil)
- Produktifitas lahan garam
meningkat menjadi di atas 100
ton/ha/musim
- Memproduksi garam memenuhi
kualitas bahan baku konsumsi
Gambar 8. Analisis SOAR terhadap model pengelolaan tambak garam rakyat
terpadu menggunakan pendekatan collective-cooperative
farming
Pada aspek Strategic Inquiry ketersediaan lahan yang berada dalam
hamparan-hamparan luas menjadi kekuatan sekaligus peluang untuk dikelola
secara terpadu, intensif/semi-intensif dan berskala besar. Lahan dapat
dikelola secara profesional melalui pendekatan corporate farming maupun
secara bergotong-royong melalui kombinasi pendekatan collective-
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
15
cooperative farming. Kekuatan lain pada pendekatan corporate farming
adalah dilakukannya pengendalian mutu produk yang ketat, SDM
dipekerjakan secara profesional, memiliki target profit dan berorientasi pada
pasar. Sedangkan pada pendekatan collective-cooprative farming
kekuatannya terdapat pada SDM yang berpengalaman secara turun-temurun
dan lebih mengutamakan tata nilai sosial berupa gotong-royong dalam
mengelola lahan. Peluang pada pendekatan corporate farming antara lain
adalah akseptabilitas dan ketertarikan pemilik lahan sekitar hamparan untuk
mengkonsolidasikan lahannya, percepatan peningkatan produktivitas melalui
penerapan teknologi dan jaminan penyerapan produk. Sedangkan pada
pendekatan collective-cooperative farming peluangnya terletak pada
keberadaan teknologi intensifikasi yang mudah diterapkan dan berbiaya
murah bagi petambak kecil, serta pemanfaatan dari terbentuknya kelompok
usaha bersama (KUB) untuk mempermudah koordinasi dan pengorganisasian
antar kelompok.
Pada aspek Appreciative Intent terdapat sedikit perbedaan pada
aspirasi pengelolaan dan target hasil produksi. Aspirasi pada pendekatan
corporate farming, lahan dikelola secara profesional sedangkan pada
pendekatan collective-cooperative farming lahan dikelola secara bergotong-
royong. Hasil produksi yang diharapkan menggunakan pendekatan corporate
farming adalah kualitas untuk memenuhi kebutuhan industri dengan kualitas
seragam, sementara hasil produksi yang diharapkan menggunakan
pendekatan collective-cooprate farming adalah kualitas bahan baku konsumsi
rumah tangga.
Berdasarkan hasil analisis tersebut dibuat rekomendasi penguatan
peran dari setiap stakeholder untuk mendukung implementasi pengelolaan
tambak garam terpadu, baik dengan pendekatan corporate faming maupun
kombinasi collective-cooprative farming. Penguatan peran stakeholder
tersebut diharapkan mampu mencapai target swasembada garam nasional
yang meliputi kebutuhan konsumsi rumah tangga dan kebutuhan industri.
Adapun peran pemangku kepentingan dapat diperkuat melalui aksi-aksi
seperti yang tersaji dalam tabel 2 berikut ini:
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
16
Tabel 2. Peran dan aksi pemangku kepentingan dalam mendukung program
swasembada garam
Stakeholder Peran dan Aksi
Petambak - Pemiliki lahan bersedia mengkonsolidasiakan lahannya secara
utuh maupun sebagian.
- Aktif dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian
produksi sesuai kapasitas dan kapabilitas masing-masing
SDM.
- Membangun kelembagaan ekonomi berbasis komunitas yang
mengarah pada kemandirian.
- Terbuka terhadap inovasi teknologi dalam rangka intensifikasi
produksi dan peningkatan mutu produk.
Pemerintah - Sebagai fasilitator penyerapan produksi garam rakyat untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi dan industri nasional.
- KKP memfasilitasi interlink distribusi garam untuk kebutuhan
produk perikanan pascapanen seperti pengasinan ikan dan
produk olahan berbahan baku ikan.
- memberikan penyuluhan, bantuan dan insentif pada para
pemilik tambak dalam satu kawasan yang bersedia
menerapkan pengelolaan tambak secara berkelompok.
- Pemerintah daerah memonitor produksi, distribusi dan stok
garam di wilayahnya.
Univ/Lemlitbang - Sebagai sumber informasi ilmiah, baik bersifat kajian maupun
penerapan yang berkaitan dengan industri garam.
- Melakukan kajian terhadap efisiensi produktivitas SDM dan
tambak garam rakyat.
- Melakukan kajian pemetaan kebutuhan garam nasional dan
diversifikasi produk berdasarkan spesifikasi yang dibutuhkan.
- Menciptakan inovasi teknologi dalam rangka intensifikasi
lahan dan peningkatan mutu produk sesuai kebutuhan pasar.
- Membuat sistem informasi online terkait jumlah dan kualitas
produksi, luas lahan produksi, distribusi pemasaran, stok
garam nasional dan kondisi cuaca.
Swasta/BUMN - BUMN (PT Garam) hanya memproduksi garam berkualitas
dan fokus pada pemenuhan garam kebutuhan industri dan
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
17
garam konsumsi khusus (diet).
- BUMN atau BUMD sebagai penyangga pemasaran garam
untuk mengendalikan harga.
- BUMN dan swasta mendorong petambak untuk
memproduksi garam berkualitas dengan jaminan penyerapan
produk pascapanen.
- BUMN, Perusahaan swasta besar pengolah garam dan
industri pengguna garam dapat memberikan bantuan dalam
bentuk CSR kepada petambak.
Rekomendasi
Optimalisasi pengelolaan tambak garam menjadi penting dalam
rangka meningkatkan produktivitas (kuantitas/kualitas) garam rakyat. Salah
satu langkah yang dapat diambil untuk mengoptimalkan fungsi tambak garam
adalah dengan cara melakukan pengelolaan lahan secara terpadu.
Pengelolaan tambak garam terpadu selaras dengan prinsip-prinsip natural
resources efficiency, zero waste, social inclusiveness serta open-ended
innovation and adaptation yang merupakan konsep blue economy.
Karakteristik pengelolaan tambak garam yang tercermin dalam strenghts dan
opportunities serta harapan dan cita-cita yang diterjemahkan dalam
aspirations dan results mengunakan analisis SOAR memperkuat justifikasi
bahwa pengelolaan tambak garam terpadu sangat berpeluang untuk
diterapkan di tambak-tambak garam rakyat, didukung penguatan peran
seluruh stakeholder industri garam rakyat. Hambatan yang ada dapat diatasi
melalui penerapan alternatif solusi dengan memperhatikan pola pengelolaan
tambak garam, dan kondisi sosial, ekonomi, budaya masyarakat setempat.
Persantunan
Karya tulis ini adalah hasil penelitian ini dari Kajian Pengembangan
Klaster Industri Garam Rakyat pada Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Laut dan Pesisir Balitbang Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Kelautan dan Perikanan, yang didanai oleh APBN DIPA P3SDLP TA 2015.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. Budi Sulistiyo selaku Kepala
P3SDLP atas dorongannnya dalam penyelesaian tulisan ini.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
18
Daftar Pustaka Baert, P., T. Bosteels and P. Sorgeloos. 2000. Manual on the Production and
Use of Live Food for Aquaculture : 4.5. Pond Production. FAO Corporate
Document Repository. Laboratory of Aquaculture & Artemia Reference
Center University of Gent, Belgium
Bramawanto R., S.L. Sagala, I.R. Suhelmi, H. Prihatno. 2015. Struktur dan
Komposisi Tambak Teknologi Ulir Filter untuk Peningkatan Produksi
Garam Rakyat. J. Segara Vol. 11 No. 1 Agustus 2015: 1-11.
Gillbert F. 2014. Cooperative Farming. Frameworks for Farming Together. A
Greenhorns Guidebook. Northeast Sustainable Agriculture Research
and Education Publ. Pp 54.
Home A. 2010. SOAR–Workshop Review. http://positivepsychologynews.
com/ppnd_wp/wpcontent/uploads/ 2010/08/SOAR-picture.jpg, diakses
tanggal 2 Maret 2015.
Ihsannudin. 2012. Pemberdayaan Petani Penggarap Garam Melalui Kebijakan
Berbasis Pertanahan. ACTIVITA, Jurnal Pemberdayaan Mahasiswa dan
Masyarakat, LPPM Universitas Sebelas Maret Surakarta Vol. 2 No. 1
Edisi Februari 2012: 1-11.
Nuryanti S. 2005. Pemberdayaan Petani dengan model Cooperative Farming.
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 3 No. 2: 152-158.
Pemerintah Kabupaten Rembang. 2014. Mulai 2015 Pengelolaan Usaha
Garam Rakyat Dengan Sistem Korporatisasi
http://www.rembangkab.go.id/index.php/news/259-mulai-2015-
pengelolaan-usaha-garam-rakyat-dengan-sistem-korporatisasi, diakses
tanggal 13 Februari 2015.
Saputro G.B., S. Hartini, I.E. Setyawan, F.S.C. Rosaji, G. Adzan, W. Handayani,
F Nurhidayat, D.M. Yuwono. 2011. Informasi Geospasial Lahan Garam
Indonesia. Bakosurtanal. 91 halaman.
Sekretariat Pugar, 2011. Laporan Akhir Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat
Tahun 2012. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Setiawan I. 2008. Laporan Penelitian. Collective Farming Sebagai Alternatif
Strategi Pemberdayaan Petani (Suatu Kasus di Desa Rancakasumba
Kabupaten Bandung). Fakultas Pertanian UNPAD. 40 halaman.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
19
Shinta A., 2011. Ilmu Usahatani. Buku, cetakan pertama April 2011.
Universitas Brawijaya Press. 164 halaman.
Sprangel, J., Stavros, J., and Cole, M. 2010. Creating Sustainable Relationships
Using The Strengths, Opportunities, Aspirations and Results
Framework, Trust, And Environmentalism: A Research-Based Case
Study. International Journal of Training and Development. Vol. 15 Issue
1 March 2011: 39-57.
Stavros J.,D. Cooperrider and D.L. Kelley. 2003. Strategic inquiry appreciative
intent: inspiration to SOAR, a new framework for strategic planning. AI
Practitioner Volume, November, 2003
https://design.umn.edu/about/intranet/documents/Strategic_Inquiry_
Appreciative_Intent. pdf, diakses tanggal 20 Februari 2015.
Stavros J.,D. Cooperrider and D.L. Kelley. 2007, SOAR: A new Approach to
Strategic Planning ,in P. Holman, T. Devane and S. Cady (eds), The
Change Handbook: The Definitive Resource on Today’s Best Methods
for Engaging Whole Sistems, 2nd edition (San Francisco, CA: Berrett-
Koehler Publishers, Inc.), pp. 733.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
20
Analisis Potensi Tuna Tongkol Cakalang (TTC) Di Perairan
Sumatera Barat dan Pengelolaannya Sesuai Prinsip
Ekonomi Biru STUDI KASUS: PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA (PPS) BUNGUS
Aida Heriati, Eva Mustikasari, Dini Purbani, Yulius, Hadiwijaya L.
Salim Pusat Pengembangan dan Penelitian Sumber Daya Laut dan Pesisir, Balitbang KP
Abstrak
Merujuk pada pernyataan Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono pada tahun
2006 yang menetapkan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus sebagai
sentra ikan tuna di kawasan Indonesia bagian barat, maka perlu dikaji lebih
dalam penelitian tentang potensi sumber daya perikanan khususnya TTC
dilokasi tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui potensi dari
sumberdaya perikanan TTC dengan menggunakan metoda Location Quotient
(LQ) dan melakukan analisis deskriptif dalam pengelolaannya sesuai dengan
prinsip ekonomi biru di PPS Bungus. Hasil pengolahan data selama 5 tahun
pengamatan, potensi terbesar terjadi pada tahun 2010 dengan besar indeks
LQ 3.9 dan terendah di tahun 2009 dengan nilai indeks LQ sebesar 3.7. Nilai
indeks LQ lebih dari 3 menandakan tingginya potensi produksi TTC di
kawasan Indonesia bagian barat terhadap produksi ikan nasional.
Peningkatan teknologi dan inovasi sarana penangkapan, pemanfaatan
limbah, metoda penangkapan TTC, peningkatan pengetahuan serta
kemampuan para nelayan memicu aktifitas ekonomi di kota Padang. Aktifitas
ekonomi juga perlu didukung dengan adanya pengendalian dalam sistem
penangkapan melalui kebijakan penangkapan baby tuna, penertiban log book
kapal, pengaturan single set band radio/transmitter serta pemberdayaan
masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam industri perikanan. Prinsip
ekonomi biru yang diterapkan dalam pengelolaan PPS Bungus akan
menjadikan PPS Bungus sebagai sentra tuna terbaik di kawasan Indonesia
bagian barat dimasa mendatang.
Kata Kunci : Ekonomi biru, TTC, analisis deskriptif, PPS Bungus.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
21
Pendahuluan
Potensi sumberdaya alam yang dimiliki oleh negara kita sangat
berlimpah, namun pengelolaannya harus selalu diperhatikan agar
kelestariannya tetap terjaga. Prinsip ekonomi biru telah memberikan
dorongan kepada kita untuk lebih mengutamakan sistem keberlangsungan
hidup sejalan dengan pemanfaatan sumberdaya alam yang ada sesuai asas
Sustainable Development. Diharapkan dengan adanya prinsip
keberlangsungan ini, pemanfaatan sumberdaya yang ada dapat dilakukan
dengan bijak dimasa mendatang.
Pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan
ini telah menjadi salah satu grand strategy dalam usulan program kegiatan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Pesisir dan Laut (P3SDLP)
sebagai bentuk kepedulian akan kelestarian sumberdaya perikanan dan
kelautan yang dimiliki oleh negara kita. Program ini dilakukan dalam bentuk
kegiatan “Penerapan Kebijakan Ekonomi Biru dengan Pendekatan Daya
Dukung Perairan di Sumatera Barat sebagai Sentra Tuna”. Daerah sentra tuna
ini diusung berdasarkan pernyataan Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono
pada tahun 2006 yang menetapkan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS)
Bungus sebagai sentra ikan tuna di kawasan Indonesia bagian barat.
Kerangka kerja dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1 dimana
prinsip dari ekonomi biru yang diusung oleh Gunter Pauli dijadikan bahan
analisis untuk melihat potensi, strategi pengelolaan, regulasi serta penciri
ekonomi biru terkait dengan sumberdaya TTC di PPS Bungus. Makalah ini
dititikberatkan pada analisis produksi TTC dan pengelolaannya di PPS Bungus
disesuaikan dengan prinsip ekonomi biru yaitu zero waste, nature’s efficiency,
innovation and adaptation, social inclusiveness, multiple economic effects,
generation to generation, balancing production and consumption dapat
terpenuhi (Pauli, 2010).
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
22
Gambar 1. Kerangka Kerja Penelitian
Makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan di Indonesia dengan
menerapkan prinsip ekonomi biru dalam pengelolaannya khususnya di PPS
Bungus sebagai lokasi studi kasus penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui potensi sumberdaya perikanan TTC dengan menggunakan
metoda LQ dan melakukan analisis deskriptif dalam pengelolaannya sesuai
dengan prinsip ekonomi biru di PPS Bungus.
Analisis Location Quotient
Metode yang digunakan adalah metode LQ yang digunakan dalam
teori pertumbuhan kota. Pendekatan LQ dilakukan berdasarkan data yang
diperoleh dari hasil survei dan hasil dari perhitungan indeks LQ ini dapat
digunakan untuk menentukan potensi sumberdaya suatu daerah terhadap
kondisi ekonomi dalam skalanya yang lebih luas. Persamaan dari LQ ini adalah
sebagai berikut:
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
23
i
t
i
t
vv
LQV
V
dimana: LQ : indeks Location Quotient
vi : Produksi TTC kota Padang
vt : Total Produksi TTC kota Padang
Vi: Produksi TTC perikanan Nasional
Vt : Total Produksi TTC Nasional
Apabila hasil dari LQ adalah:
LQ > 1 : maka sektor tersebut memiliki potensi yang cukup besar sehingga
hasil sektor tersebut dapat diberikan untuk memenuhi kebutuhan
di daerah lain dan ikut mendukung perekonomian dalam tingkat
yang lebih tinggi.
LQ < 1 : maka daerah tersebut tidak memiliki potensi yang cukup dalam
sektor tersebut.
LQ = 1 : maka sektor tersebut hanya dapat memenuhi kebutuhan untuk
daerahnya sendiri.
Selain itu, metode deskriptif analisis dilakukan untuk membahas
pengelolaan PPS Bungus kaitannya dengan penerapan prinsip ekonomi biru.
Lokasi penelitian ini berada di Sumatera Barat tepatnya di PPS Bungus
Padang, penelitian dilakukan pada tahun anggaran kegiatan 2013. Penelitian
dilaksanakan dari bulan Maret hingga September 2013. Rincian aktifitas
kegiatan yaitu terdiri dari pelaksanaan Konsultasi Publik yang diadakan di
Loka Penelitian Sumberdaya dan Kerentanan Pesisir (LPSDKP) Bungus Tanjung
Kabung Kota Padang yang diadakan pada tanggal 27 Mei 2013 dengan
menghadirkan para pakar dari instansi PPS Bungus, Dinas Kelautan dan
Perikanan Kota Padang, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera
Barat, Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD), serta tokoh
nelayan. Dalam acara temu pakar membahas masalah yang terjadi dalam
aktivitas pengelolaan perikanan tangkap dan mengatasi solusi sehingga
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
24
tercipta mekanisme penangkapan ikan yang kondusif. Dari hasil survei
diperoleh data-data seperti terlihat pada Tabel 1. Sebagai berikut.
Tabel 1. Tabel Pengumpulan Data
Kegiatan
Pengumpulan Data Informasi yang diperoleh
Badan Pusat Statistik
Kota Padang
Data ikan untuk jenis ikan Tuna, Cakalang dan Tongkol
pada tahun 2007-2011.
Wawancara dengan
pihak terkait
(Pemerintah Propinsi,
Pemerintah Kota dan
tokoh nelayan)
Informasi mengenai kondisi sebenarnya di lapangan dalam
hal produksi, sarana prasarana dan pengelolaan
sumberdaya tuna di daerah kajian.
Studi Literatur
- Buku Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011 yang
diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
- Publikasi penelitian dan kondisi yang ada di daerah kajian
terkait dengan ekonomi biru.
Observasi Lapangan Kondisi terkini dan sebenarnya di lapangan dalam hal
pengelolaan sarana dan prasarana pemberdayaan TTC
Analisa Potensi TTC di PPS Bungus
Hasil perhitungan diperoleh nilai indeks LQ lebih dari 3 untuk setiap
tahun pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa potensi sektor perikanan
dalam hal ini ikan yang berjenis TTC memiliki potensi yang sangat baik di kota
Padang. Hasil ini secara tidak langsung dapat membantu kondisi
perekonomian dalam skala nasional, sehingga program pengembangan
sentra tuna yang akan dilakukan di PPS Bungus ini memiliki potensi yang baik
dan menjanjikan dimasa mendatang.
Dari hasil pengolahan data selama 5 tahun pengamatan, potensi
terbesar terjadi pada tahun 2010 dengan besar indeks LQ 3.9 dan terendah di
tahun 2009 dengan nilai indeks LQ sebesar 3.7. Nilai indeks LQ selama waktu
pengamatan dapat dilihat pada tabel Tabel 2 dan grafik pada Gambar 2
sebagai berikut.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
25
Tabel 2. Tabel Indeks LQ Produksi Ikan TTC di Kota Padang
Tahun Indeks LQ
2007 3.860 2008 3.833
2009 3.701
2010 3.895
2011 3.817
(Sumber: Pengolahan Data, 2013)
Gambar 2. Grafik Indeks Location Quotient Produksi Ikan TCT di Kota Padang
2007-2011 (Sumber: Pengolahan Data, 2013)
Analisa Pengelolaan PPS Bungus dan TPI Muara Anai
Dari hasil diskusi dengan pihak-pihak terkait baik dari pemerintah
setempat maupun tokoh nelayan yang ada di kota Padang diperoleh
gambaran mengenai pengelolaan yang telah dilakukan selama ini.
Berdasarkan pemaparan Prof. Dr. Tridoyo Kusumastanto yang disampaikan
dalam rapat kerja Balitbang-KKP tahun 2013 di Manado dan hasil wawancara
serta observasi lapangan yang dilakukan maka skema dari Pengembangan
ekomoni biru sektor perikanan di PPS Bungus dapat dilihat pada Gambar 3
dibawah.
Indeks LQ
3.6
3.65
3.7
3.75
3.8
3.85
3.9
3.95
2007 2008 2009 2010 2011
Tahun
Ind
eks L
Q
Indeks LQ
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
26
Gambar 3. Skema Ekonomi Biru Sektor Perikanan PPS Bungus (Sumber:
Pengolahan Data, 2013)
Keterangan Gambar:
= Variabel-variabel yang mempengaruhi hasil tangkapan ikan (memerlukan teknologi dan inovasi)
= Situasi yang belum ada dan perlu untuk dikembangkan
= Variabel utama
= Kegiatan yang sudah ada sekarang
= Kondisi sebenarnya dan kendala yang dihadapi
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
27
Skema pengembangan Ekonomi Biru sektor perikanan di PPS Bungus
ini menggambarkan beberapa variabel yang memerlukan perhatian khusus
dari para pihak terkait agar prinsip dari ekonomi biru dapat diterapkan.
Variabel-variabel yang perlu diperhatikan disini adalah variabel yang
mempengaruhi hasil tangkapan ikan (kotak hijau), variabel yang belum ada
dan perlu dikembangkan (kotak biru), kondisi yang ada saat ini dan kendala
yang dihadapi (kotak abu-abu).
Dari hasil observasi lapangan Variabel yang mempengaruhi
tangkapan ikan diantaranya adalah ketersediaan umpan, sarana
penangkapan, lingkungan, dan regulasi. Umpan yang digunakan saat ini
terdiri dari dua jenis yaitu umpan imitasi yang terbuat dari bulu-bulu plastik
dan umpan hidup dari ikan bandeng. Sarana yang tersedia saat ini
diantaranya armada, alat tangkap dan cold storage. Disamping umpan dan
sarana penangkapan, faktor lingkungan seperti kondisi cuaca, sumberdaya
ikan dan kondisi perairan berpengaruh besar terhadap hasil tangkapan, oleh
karena itu pengetahuan para nelayan mengenai kondisi cuaca, kondisi
perairan dan sumberdaya ikan yang adapun perlu dimiliki agar proses
penangkapan ikan dapat dilakukan dengan maksimal. Berdasarkan hal
tersebut maka, sumber daya manusia yang ada perlu dibekali dengan ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Dalam hal regulasi, perlu
adanya kebijakan yang mengatur pelestarian baby tuna, apabila para nelayan
dibiarkan untuk terus menangkap baby tuna maka akan mengancam
kelangsungan hidup ikan tuna dimasa mendatang, karena baby tuna
berpotensi untuk terus berkembang menjadi tuna besar dan memiliki nilai
ekonomis yang lebih.
Para nelayan dalam pengoperasian penangkapan ikan tuna diwajibkan
mencatat lokasi tangkapan di log book. Dalam pelaksanaan dimana para
nelayan kadang mengabaikan penulisan di log book kapal, sehingga perlu
ditertibkan pencatatan log book kapal karena mengingat pentingnya data
mengenai produksi ikan untuk bahan penelitian dalam rangka peningkatan
produksi ikan, sehingga perlu diberikan sanksi kepada kapal yang tidak
melakukan pendataan dengan baik. Agar peraturan tersebut dapat berjalan
perlu kiranya dilakukan kebijakan yang mengatur hal tersebut.
Kebijakan lain yang perlu diperhatikan dalam hal penggunaan single
set band radio/transmitter akan lebih baik dilakukan untuk mempermudah
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
28
komunikasi antar kapal dibeberapa lokasi dalam melakukan aktifitas
pengawasan tangkapan. Penggunaan single band diperlukan sebagai sarana
komunikasi antar nelayan dengan syahbandar di PPS Bungus maupun ke
antar penangkapan ikan untuk memberikan laporan terkait aktivitas kapal
selama di pelayaran seperti posisi kapal, kondisi cuaca, banyaknya hasil
tangkapan berikut jenis tangkapan. Namun saat ini mengalami kendala,
karena penggunaan komunikasi single band masa aktif sudah ada yang habis
ada yang masih aktif. Untuk yang sudah habis masa aktif perlu diperpanjang,
dimana pengurusan perpanjangan tidak lagi diurus dalam kelompok tapi
perorangan.
Teknologi dan inovasi dari seluruh variabel yang mempengaruhi
tangkapan tersebut dikembangkan untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan
menuju pengelolaan yang lebih baik. Pengembangan teknologi salah satunya
dapat diusung dengan mengangkat prinsip zero waste dari ekonomi biru,
seperti penggunaan kapal yang menggunakan Bahan Bakar Motor (BBM)
harus dikurangi penggunaannya agar asas ramah lingkungan dapat tercapai,
untuk itu teknologi dalam hal penggunaan kapal ber-BBM perlu adanya
pengkajian lebih lanjut misalnya dengan penggunaan kapal hybrid yang
menggunakan sumberdaya laut (gelombang dan arus) sebagai daya
penggerak kapal. Dalam hal inovasi pengelolaan produk olahan ikan serta
limbah sirip tuna yang selama ini belum termanfaatkan akan lebih baik bila
mulai dikaji pengolahannya seperti pemanfaatan limbah ikan untuk dijadikan
bahan umpan sehingga prinsip zero waste dari ekonomi biru dapat terpenuhi.
Teknologi dan inovasi dari variable-variabel tersebut di atas sangat
mempengaruhi mutu hasil tangkapan. Selain teknologi dan inovasi, kondisi
lingkungan juga sangat berpengaruh. Salah satu cara menjaga mutu hasil
tangkapan dengan memperhatikan kondisi lingkungan adalah melakukan
pendaratan dan pembongkaran muatan pada dini hari setelah pendaratan
ikan yang biasa dilakukan jam 02.00 WIB karena mutu ikan dapat terjaga.
Karena ikan tuna dengan bobot diatas 35 kg akan dieksport ke Jepang dalam
keadaan segar, sehingga harus dilakukan dini hari. Sebelum dieksport ke
Jepang ikan tuna hasil tangkapan diperiksa oleh petugas yang disebut sebagai
‘checker’ dimana penentuan mutu ini didasarkan pada kondisi ikan tuna
tersebut. Ikan yang bermutu baik kondisinya akan langsung dikemas dan
diekspor ke Jepang dan dikategorikan sebagai mutu 1, sedangkan mutu 2
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
29
adalah ikan tuna olahan yang diolah menjadi berbagai bentuk produk tuna
seperti loin, nugget, steak dan lain sebagainya yang dieksport ke Florida.
Sedangkan kategori mutu 3 adalah ikan tuna yang langsung dijual ke pasar
lokal. Penentuan mutu berdasarkan berat ikan dimana mutu 1 berat diatas 35
kg, mutu 2 berat antara 30-35 kg dan mutu 3 berat dibawah 30 kg. Penentuan
mutu ikan bersifat lokal belum ada ketentuan resmi mutu ikan, hal ini perlu
diperhatikan mengingat pentingnya kategori mutu ini untuk meningkatkan
nilai ekonomi ikan tuna.
Walaupun perairan barat ini ditetapkan sebagai sentra tuna namun
upaya pemerintah daerah dalam meningkatkan hasil tangkapan serta nilai
jual tuna belum maksimal, masih banyak kendala. Budaya yang sudah
mengakar kuat merupakan salah satu kemungkinan penyebab kendala ini,
seperti kurangnya minat para nelayan untuk melakukan pelayaran yang
memerlukan waktu yang lebih dari 1 minggu. Umumnya para nelayan
tradisional melaut bersifat one day trip.
Perusahaan pengolahan ikan tuna PT Dempo yang ada di PPS Bungus
Tanjung Kabung kota Padang memiliki kendala kurangnya minat masyakarat
asli untuk bekerja sebagai buruh pabrik, umumnya buruh berasal dari luar
Pulau Sumatera. Hal ini disebabkan budaya masyarakat Minang tidak
berminat menjadi buruh mereka lebih suka sebagai pemilik. Dalam
mengantisipasi perlu dilakukan peningkatan sumberdaya manusia dan
penguatan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya ikut
berpartisipasi untuk memiliki usaha di bidang kelautan dan perikanan
mengingat potensi perikanan yang besar yang dimiliki oleh perairan Sumatera
Barat. Disamping peningkatan sumberdaya manusia juga peningkatan sarana
seperti ketersediaan air, BBM, listrik dan cold storage sarana tersebut
dibutuhkan keberadaannya di setiap pelabuhan. Dalam pengoperasin PPS
Bungus diperlukan BBM 600 liter, kondisi sekarang 154 liter, listrik yang ideal
200 kpa, keadaan di lokasi 66 kpa, kebutuhan air 7500 m3/ltr keadaan di
lokasi 40 m3/ltr. Memperhatikan keadaan tersebut perlu adanya perbaikan
sarana pelabuhan. Disamping sarana tersebut perlu juga dilengkapi dengan
dry ice, cold storage dan docking.
Secara keseluruhan dengan melihat proses pengelolaan di PPS
Bungus, maka prinsip ekonomi biru sudah dapat ditetapkan di lokasi
tersebut. Inovasi dan adaptasi sangat kita perlukan untuk mendukung
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
30
variabel-variabel yang mempengaruhi hasil tangkapan TTC. Pemberdayaan
masyarakat dan peningkatan pemahaman masyarakat akan industri
perikanan yang memiliki potensi yang besar dapat meningkatkan kondisi
ekonomi didaerah tersebut sesuai dengan prinsip ekonomi biru dalam hal
social inclusiveness. Peningkatan industri perikanan yang pada akhirnya dapat
menambah aktifitas perekonomian di kota Padang dan pada akhirnya dapat
meningkatkan kondisi ekonomi baik secara lokal maupun nasional memiliki
multiple economic effects. Dengan adanya pengelolaan yang baik di wilayah
sentra tuna PPS Bungus diharapkan kegiatan pengelolaan dapat dilakukan
secara berkesinambungan agar terjadi keseimbangan dalam hal produksi dan
pemanfaatannya (generation to generation serta balancing production and
consumption).
Rekomendasi
Sumberdaya perikanan khususnya ikan TTC di Sumatera Barat
memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan dilihat dari indeks LQ hasil
perhitungan yang menunjukkan nilai lebih dari 3. Hasil dari produksi
perikanan di kota Padang khususnya untuk jenis TTC memberikan kontribusi
yang lebih bagi sektor perikanan dalam skala nasional, karena itu
pengembangan industri/bisnis di sektor perikanan di kota Padang harus
dilakukan untuk menambah aktifitas ekonomi baik skala regional maupun
nasional.
Peningkatan teknologi dan inovasi dalam hal penggunaan umpan,
armada kapal, alat pancing, pemanfaatan limbah, metode penangkapan tuna
dan peningkatan pengetahuan serta kemampuan para nelayan sangat
penting dilakukan untuk meningkatkan hasil tangkapan TTC. Pemanfaatan
sumberdaya perikanan harus sejalan dengan pengelolaan serta perlu adanya
sistem kendali dalam sistem penangkapannya. Sistem kendali dilakukan
dengan adanya kebijakan penangkapan jenis ikan tuna khususnya baby tuna,
penertiban log book kapal dan pengaturan single set band radio/transmitter.
Pemberdayaan masyarakat sekitar dapat dilakukan dengan mengajak
masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam industri perikanan sehingga
memicu aktifitas ekonomi di kota Padang. Prinsip ekonomi biru yang
diterapkan dalam pengelolaan PPS Bungus akan menjadikan PPS Bungus
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
31
sebagai sentra tuna yang baik untuk bagian Barat Indonesia dimasa
mendatang.
Persantunan
Penulis mengucapkan banyak terima kasih pihak-pihak yang telah
banyak membantu dalam penulisan karya tulis ini seperti PPS Bungus, Dinas
Kelautan dan Perikanan Kota Padang serta Provinsi Sumatera Barat, Bapak Edi
Pono, Bapak Enjang dan Bapak Awaludin sebagai wakil dari tokoh nelayan.
Pembiayaan data lapangan diperoleh dari DIPA tahun 2013 kegiatan Pusat
Pengembangan dan Penelitian Sumber Daya Laut dan Pesisir (P3SDLP)-
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Daftar Pustaka
Anonim, 2012, “Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2011”, Direktorat
Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Jakarta.
Pauli, 2010, “The Blue Economy 10 Years 100 Innovations 100 million Jobs”,
Paradigm Publications Taos New Mexico, USA.
Padang dalam Angka 2007-2010, Badan Pusat Statistik, Kota Padang
Wiyadi, Trisnawati, R., 2002, “Analisis Potensi Daerah untuk Mengembangkan
Wilayah di Eks-Karesidenan Surakarta Menggunakan Teori Pusat
Pertumbuhan”, Fakultas Ekonomi Universitas Muh. Surakarta.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
32
Pemurnian Garam Sistem Mekanis untuk Menghasilkan
Garam Konsumsi Sehat
Ifan R. Suhelmi dan Hariyanto Triwibowo Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang KP
Abstrak
Alat pemurnian garam telah diterapkan sejak tahun 2009 sebagai IPTEK
untuk Masyarakat atau lebih dikenal sebagai IPTEKMAS Garam di 18 (delapan
belas) lokasi kelompok penerima tersebar di Indramayu, Cirebon, Pati,
Rembang, Tuban, Lamongan, Tuban, Gresik, Surabaya, Sampang, Pamekasan
dan Sumenep. Pada tahun 2012 paket teknologi telah mengalami
penyempurnaan. Paket yang diterapkan tidak hanya proses pemurnian,
namun juga telah dilengkapi dengan peralatan iodisasi dan pengemasan.
Proses pencucian garam dimulai dengan unit proses pencucian dan
pelembutan, proses pencucian menggunakan air cuci dengan kadar
kepekatan tertentu. Pelembutan menggunakan mesin pelembut berjenis
diskmill. Proses pencucian dan pelembutan ini berjalan secara simultan.
Setelah dicuci dan dilembutkan, proses selanjutnya adalah proses penirisan
(Spinner). Proses ini bertujuan untuk menghilangkan kandungan air yang
masih cukup banyak terkandung di dalam garam. Prinsip kerja dari unit
proses ini adalah dengan memanfaatkan gaya sentrifugal sehingga air yang
terjebak di dalam padatan garam dapat terlepas. Air yang dapat dipisahkan
tersebut merupakan air tua (brine) dan dikembalikan ke bak pencuci.
Selanjutnya dikeringkan dalam Unit Proses Pengeringan. Unit proses ini
bertujuan untuk mengeringkan garam jadi sehingga kandungan air (moisture
content) di dalam garam menjadi turun sesuai standar. Unit proses ini
menggunakan alat rotary dryer dan aspek neraca energi sangat ditekankan
disini karena unit ini mengonsumsi bahan bakar. Media pemanas yang
digunakan adalah burner dengan bahan bakar berupa LPG. Kemampuan
produksi rata-rata dapat mencapai 2 ton per hari dan menyerap 3 hingga 5
tenaga kerja.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
33
Inovasi sederhana dalam pengolahan garam krosok yang disiapkan menjadi
garam konsumsi rumah tangga telah berhasil memberikan nilai tambah 200 –
1000 rupiah per kilonya.
Kata kunci : Pemurni garam sistem mekanis, iptekmas, garam krosok, garam
halus
Pendahuluan
Garam merupakan salah satu komoditas yang dihasilkan dari
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Indonesia sebagai negara
kepulauan memiliki garis pantai yang sangat panjang dan beberapa lokasi
diantaranya sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi lahan tambak
garam. Garam Kebutuhan akan garam kian hari makin meningkat seiring
bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya berbagai industri, baik
di dalam maupun luar negeri. Kebutuhan garam khususnya untuk industri
masih disupai dari garam impor. Sedangkan untuk garam konsumsi telah
dapat dipenuhi seluruhnya dari hasil produksi garam rakyat sejak tahun 2012
(KP3K, 2013). Pemerintah mentargetkan terpenuhi seluruh kebutuhan garam,
baik untuk konsumsi dan industri pada tahun 2017.
Amerika Serikat dan Cina merupakan dua produsen garam terbesar
dunia dengan gabungan produksi sebesar 40% dari total produksi tahunan
dunia yang sebesar seperempat miliar ton garam, seperti terlihat pada
Gambar 1 (P3SDLP, 2010)
Gambar 1. Produsen garam dunia (dalam juta ton). (Sumber: Salt Institute)
0
10
20
30
40
50
60
70
China United
States
Germany India Canada Australia Mexico Brazil France United
Kingdom
All Other
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
34
Pemanfaatan garam untuk kebutuhan selain konsumsi sangat beragam, mulai
dari industri farmasi, CAP, perminyakan sampai dengan industri kaca.
Pemanfaatan garam untuk kebutuhan industri seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. kelas-kelas ukuran butir garam dan penggunaannya untuk industri
No. Grade Penggunaan
1 Pure Salt Textile / Hosiery Dying / Pharma Industries/Medicines / Paints
/ Destemper / Dyes And Chemical Inustries / U V Fluids.
2 Crystaline Textile / Hosiery Dying / Paints Destemper/ Dyes And
Chemical Inustries
3 Medium Textile / Hosiery Dying Paints Destemper/ Dyes And Chemical
Inustries / Sea Food Aand Frozen Food Etc.
4 30 Mesh Detergent and Washinf Powder
5 Super Fine Soaps / Detergent and Washinf Powder / Edible / Foods /
Dyes / Chemicals
6 Over Size Explossives / Chemicals
Sedangkan garam konsumsi didefinisikan sebagai garam dengan kadar
Natrium Chlorida minimum 94,7% atas dasar berat kering (dry basis), dengan
kandungan impuritis Sulfat, Magnesium dan Kalsium maksimum 2 % dan
sisanya adalah kotoran/insoluble matter (lumpur, pasir). Kadar air maksimal
7% (BSN, 2014)
Pembuatan garam rakyat umumnya dibuat dengan cara menimba air
laut, kemudian dimasukkan ke dalam ladang penguapan sehingga langsung
dihasilkan kristal garam. Pada usaha garam rakyat (tradisional) yang
memanfaatkan model terasering bertingkat kadar garam tertinggi yang dapat
dihasilkan relatif jarang mencapai 90 %, sehingga diperlukan perlakuan-
perlakuan khusus agar dihasilkan garam dengan kualitas tinggi. Penelitian
yang sudah pernah dilakukan untuk meningkatkan mutu garam rakyat
dilakukan dengan system pencucian. Sistem pencucian garam hasil usaha
pegaraman rakyat dihasilkan garam dengan NaCl 97%, kebasahan <2%,
kotoran < 1%, dengan kelas butiran medium dan superfine yang dapat
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
35
digunakan sebagai bahan pendukung proses produksi atau bahan baku
industri.
Untuk meningkatkan kadar NaCl dalam garam yang dihasilkan oleh
rakyat, perlu dilakukan proses pencucian untuk memurnikan kadar NaCl
dalam garam. Diharapkan melalui penerapan hasil penelitian dan
pengembangan berupa teknologi sederhana proses pemurnian garam sistim
mekanis ini diperoleh garam dengan kadar NaCl yang tinggi sehingga
memberikan nilai tambah kepada petani garam.
Proses pemurnian garam melalui 5 langkah tahapan. Langkah pertama
untuk memurnikan kadar NaCl dalam garam krosok adalah dengan
melakukan pelembutan. Proses pelembutan ini dilakukan untuk memecahkan
butiran garam sehingga rongga-rongga yang ada hancur dan butiran garam
menjadi halus. Proses pelembutan ini sekaligus dilakukan proses pencucian.
Setelah proses pencucian dan penggilingan, dilakukan proses pematusan
untuk mempercepat proses pengeringan, hal ini dilakukan untuk
menghasilkan garam dengan kadar air yang rendah. Hasil garam proses
pematusan, dilakukan proses pengeringan. Setelah garam dikeringkan,
selanjutnya garam diberikan Iodium dan dikemas dalam ukuran tertentu.
Proses pengolahan garam krosok
Lokasi pelaksanaan iptekmas terdapat di 18 (delapan belas) titik.
Adapun perincian lokasi per kabupaten sebagai berikut, 1 (satu) titik lokasi di
Kabupaten Indramayu, 2 (dua) titik lokasi di Kabupaten Cirebon, 2 (dua) titik
lokasi di Kabupaten Pati, 1 (satu) titik di Kabupaten Rembang, 3 (tiga) titik di
Kabupaten Tuban, 1 (satu) di Kabupaten Lamongan, 2 (dua) di Kabupaten
Gresik, 1 (satu) di Kota Surabaya, 1 (satu) di Kabupaten Sampang, 3 (tiga) di
Kabupaten Pamekasan dan 1 (satu) di Kabupaten Sumenep. Kesemua lokasi
ada di sentra garam nasional.
Kajian dimulai dengan penyusunan desain teknis, perakitan dan
implementasi. Desain teknis peralatan. Perancangan pabrik pencucian garam
baik dasar proses pengolahan garam hingga pemilihan material menggunakan
pedoman yang disusun oleh Dale. W. Kaufmann (1960). Sedangkan untuk
detail kalkulasi spesifikasi alat, referensi yang digunakan ialah “Perry’s
Chemical Engineers’ Handbook” yang disusun oleh Don, dkk (2008).
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
36
Perhitungan panas yang digunakan untuk proses pengeringan berdasarkan
perhitungan dalam www.theengineeringtollbox.com
Paket teknologi ini terdiri dari 5 sub-sistem utama, yakni (a)
penghancuran butiran garam krosok, (b) pencucian, (c) pengeringan, (d)
penambahan unsur yodium dan (e) pengemasan menjadi garam meja seperti
terlihat pada Gambar 2. Pegolahan garam dengan teknologi pemurnian
garam dimulai dengan penghancuran butiran-butiran garam krosok menjadi
garam lembut dengan ukuran partikel 2 mm. Butiran-butiran ini selanjutnya
dicuci dengan air yang telah dituakan pada 20 oBe. Proses pencucian ini pada
intinya memisahkan kotoran ikutan garam krosok melalui pencucian dan
penyaringan.
Gambar 2. Tahapan proses pemurnian
Proses pengeringan hasil cucian dilakukan dengan mesin peniris,
sebuah alat yang bekerja secara berputar sentrifugal. Garam cucian diputar
dengan alat ini untuk mengurangi kandungan air, sebelum diproses lebih
lanjut dengan mesin pengering. Butiran garam kering selanjutnya diproses
dalam mesin penyemprot yodium. Proses iodinisasi ini menjadi salah satu
syarat produk garam olahan menjadi garam meja untuk keperluan masak.
Tahapan akhir pengolahan garam adalah pengemasan. Garam meja dikemas
dalam bungkusan 200 gr yang siap didisutribusikan ke pasar.
Paket teknologi pemurnian garam merupakan salah satu langkah awal
mempersiapkan langkah industrialisasi garam rakyat, mengolah garam krosok
Pengeringan
Iodisasi dan pengemasan
Garam krosok
Garam halus beryodium
Penghalusan dan pencucian
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
37
menjadi garam meja. Pengolahan ini membuka kesempatan baru bagi para
petambak garam yang semula mengandalkan produksi garam krosok dengan
harga yang rendah untuk memperoleh nilai tambah dengan mengolah
garamnya menjadi garam meja. Diharapkan ke depan peningkatan kualitas
garam lebih tinggi lagi sehingga mampu mencapai kualitas garam industri.
Nilai tambah yang diperoleh berarti pula peningkatan kesejahteraan bagi
petambak garam.
Gambar 3. Proses pencucian garam sistem mekanis model 1
Gambar 4. Proses pencucian garam sistem mekanis model 2
Pengembangan alat pencuci garam sistem mekanis dimulai pada tahun
2009, hingga dengan tahun 2013 terdapat 2 (dua) model proses pencucian.
Pembeda model pencucian 1 dan model pencucian 2 terdapat pada beberapa
alat yang digunakan, namun secara garis besar tahapan yang dilalui sama.
Pada gambar 3 dan Gambar 4 menunjukkan alur proses pencucian garam
sistem mekanis.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
38
Perbedaaan antara model 1 dan model 2 terletak pada titik pematusan
dan proses pengeringan. Pada model 1 penggunaan alat pematusan (spinner)
menggunakan model spinner vertikal sedangkan model 2 menggunakan
spinner horizontal. Berdasarkan hasil pengamatan, spinner vertikal memiliki
beberapa kelemahan antara lain masalah kapasitas, pemeliharaan dan
penggunaan. Dengan menggunakan spinner horizontal, kapasitas dapat
ditingkatkan karena motor yang digunakan mampu menggerakkan 2 (dua)
alat pematus secara simultan dengan motor penggerak yang ada.
Perbedaan kedua terletak pada alat pengeringan, pada model 1
menggunakan rotary drier dan pada model 2 menggunakan sistem oven.
Perbedaan alat ini disesuaikan dengan produk akhir yang dihasilkan. Untuk
pengering dengan rotary drier ditujukan untuk menghasilkan garam curah
dan garam kemasan dalam bentuk butiran. Sedangkan pengering berbentuk
oven digunakan untuk menghasilkan garam dalam bentuk briket.
Berdasarkan hasil pengamatan, paket teknologi ini mampu
meningkatkan kandungan NaCl yang terdapat pada garam krosok dengan
kisaran nilai 88%, diolah menjadi garam halus dengan tingkat kelembutan
butiran garam 2 mm serta kandungan NaCl lebih dari 94%. Kemampuan
produksi peralatan ini dapat mencapai 2 ton per hari. Kelompok pengolah
garam yang mengoperasikan peralatan ini dapat menyerap 3 – 5 tenaga kerja
dan mendapatkan nilai tambah 200 – 1.000 rupiah per kilogramnya.
Kegiatan Iptekmas garam telah berlangsung sejak tahun 2009, hingga
saat ini telah tersebar pada 18 (delapan belas) titik lokasi Iptekmas Garam.
Penerima Iptekmas sangat beragam seperti koperasi wanita, LSM sampai
Sekolah Menengah Kejuruan seperti terlihat pada Tabel 2. Masing-masing
lokasi telah memproduksi garam kemasan 250 gram dengan merek tersendiri
dengan kapasitas produksi 1 – 2 ton per hari.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
39
Table 2. Nama dan Lokasi Penerima Iptekmas
NO Nama Kelompok Alamat Merek Dagang
1 2 3 4
1 Sumber Hasil Ds. Karang Anyar, Kalianget,
Sumenep Segoro Madu
2 Puspa Marina Ds. Padelegan, Pademawu,
Pamekasan Nusantara
3 Cempaka Ds. Lembung, Galis, Pamekasan Nifana
4 IKM Biru Laut Ds. Padelegan, Pademawu,
Pamekasan Sari Madura
5 Kel. Tani Alhidayah Ds. Ragung, Pengarengan,
Sampang Taman Garam
6 Buran Ds. Dukuh, Pakal, Surabaya Suramadu
7 LSM Semar Ds. Banyu Urip, Panceng, Gresik Salinita
8 KUB Redjodadi Ds. Campurejo, Panceng, Gresik GR
9 SMK Sundra Ds. Banjarwati, Paciran, Lamongan Samudera
10 KUB Garuk 1 Ds. Ketambul, Palang, Tuban Raja Beruang
11 Kopwan Ibu Pertiwi Ds. Leran Kulon, Palang, Tuban Pertiwi
12 Kugar Ronggolawe V Ds. Dasin, Tambakboyo, Tuban Penyu
13 Apel Merah Ds. Purworejo, Kaliori, Rembang Apel Merah
14 Mutiara Laut
Mandiri Ds. Ketintang Wetan, Pati MLM
15 Srikandi Mangun
Sejahtera Ds. Mangunan , Pati Srikandi
16 KUB Dhuha Angger
Sejahtera
Ds. Pengarengan, Pangenan,
Cirebon PAS
17 KSU Bina Usaha Ds. Pengarengan, Pangenan,
Cirebon Keong Mas
18 Kop Segoro Madu Ds. Santing, Losarang, Indramayu Bintang Timur
Para penerima paket teknologi telah menyiapkan merk dagang dari
garam yang dihasilkan. Namun untuk melengkapi aspek legal dalam usaha
garam ini masih diperlukan dukungan pengurusan perijinan. Perijinan
beragam, mulai dari perijinan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah
seperti ijin usaha, ijin gangguan, ijin mendirikan bangunan. Juga perijinan
yang dikeluarkan oleh institusi vertikal seperti paten merk dari Kementerian
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
40
Hukum dan HAM, sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia, sertifikat SNI
dari Badan Pengawas Obat dan Makanan, sertifikat keamanan pangan dari
Kementerian Kesehatan. Permasalahan perijinan tersebut menjadi
permasalahan yang mengakibatkan pemasaran produk menjadi terkendala.
Untuk memenuhi seluruh perijinan tersebut memerlukan dukungan sumber
dana yang tidak sedikit, sehingga dukungan dari pemerintah yang
berhubungan dengan semua proses menjadi penting.
Untuk mendukung keberhasilan program iptek untuk masyarakat
diperlukan pendampingan yang kontinyu. Pendampingan tidak hanya dalam
proses produksi, namun juga dalam proses pemasaran dan kelembagaan.
Pembentukan lembaga sebagai wadah dalam kelompok perlu ditingkatkan
statusnya. Pendampingan pemasaran juga meliputi permasalahan perijinan
yang telah diungkapkan diatas.
Gambar 5. Berbagai merek dagang yang telah dimiliki oleh penerima
Iptekmas
Meskipun merek dagang sudah didesain oleh masing-masing kelompok
seperti terlihat pada Gambar 5, namun secara legal formal belum semua
lokasi didaftarkan sebagai paten merk. Yang lebih memprihatinkan lagi,
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
41
hingga saat ini semua lokasi penerima Iptekmas belum ada merek dagang
yang dilengkapi dengan SNI dan BPOM. Untuk memenuhi persyaratan
produksi dan distribusi garam kemasan sangat diperlukan penguatan
pendampingan teknis dan bisnis agar aspek legal dalam memproduksi dan
menjual garam dapat dipenuhi. Untuk memperoleh hasil yang maksimal,
perlu dilakukan pendampingan berupa dorongan untuk mendaftarkan merek
dan memperoleh semua perijinan pengolahan garam.
Rekomendasi
Berdasarkan kajian diatas dapat direkomendasikan beberapa hal sebagai
berikut:
1. Paket teknologi pengolah garam yang dikembangkan oleh Puslitbang
Sumberdaya Laut dan Pesisir mampu meningkatkan kadar kandungan
NaCL sebesar 10% dengan butiran kecil dengan ukuran seragam,
berwarna putih dan tingkat kekeringan dibawah 3%.
2. Salah satu permasalahan yang harus segera dipecahkan agar usaha
pengolahan garam dapat berjalan adalah dengan melengkapi seluruh
perijinan yang diperlukan. Untuk memenuhi hal tersebut diperlukan
dukungan secara nyata dari pemerintah.
Persantunan
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kelautan dan Perikanan atas dukungan dalam kajian ini dan
kepada Tim Universitas Hang Tuah Surabaya yang telah bayak membantu
terlaksananya kegiatan paket teknologi pengolah garam.
Daftar Pustaka
Badan Standarisasi Nasional. 2014. Standar Nasional Garam Konsumsi. SNI
01-3556-2000/Rev.9
Dale W. Kaufmann (ed). 1960. Sodium Chloride. The Production and
Properties of Salt and Brine. Hardcover – January 1, 1960
Don W. Green, Robert H. Perry. 2008. Perry's Chemical Engineers' Handbook,
Eighth Edition. McGraw-Hill: New York, Chicago, San Francisco,
Lisbon, London, Madrid, Mexico City, Milan, New Delhi, San Juan,
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
42
Seoul, Singapore, Sydney, Toronto ISBN: 9780071422949.
http://accessengineeringlibrary.com/browse/perrys-chemical-
engineers-handbook-eighth-edition [diakses 25 Agustus 2014]
KP3K, 2013, Laporan Akhir Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR)
Tahun 2013, Sekretariat PUGAR, Direktorat Jenderal Kelautan,
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
P3SDLP (Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir).
2010. Laporan Kegiatan IPTEKMAS 2010. Puslitbang SDLP, Balitbang
KP KKP. Jakarta
TheEngineeringToolBox.com. Gross heating and net heating value for some
common gases as hydrogen, methane and more , 2013,
http://www.engineeringtoolbox.com/gross-net-heating-values-
d_420.html [diakses 20 Agustus 2014]
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
43
Kualitas Air Sungai Manggar, Kota Manggar Kabupaten
Belitung Timur. Perbandingan di Musim Hujan dan
Kemarau.
Agustin Rustam dan Fajar Yudi Prabawa Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang KP
Abstrak
Sungai Manggar terletak di Kota Manggar, ibukota Kabupaten Belitung Timur
yang sedang giatnya meengembangkan diri untuk membangun, untuk itu
dibutuhkan perencanaan ruang dan program pengisinya. Tim melakukan riset
identifikasi perairan Sungai Manggar, bertepatan misi dengan program
Pemerintah Daerah yang berencana memanfaatkan Sungai Manggar untuk
budidaya ikan KJA, terlebih adanya calon investor asing.
Hasil pengukuran parameter dipilah menjadi aspek fisika dan kimia
berupa: pH, DO, Salinitas, Sigma t, Konduktifitas, Densitas, TDS dan
Temperatur. Pengukuran dilakukan bulan Maret saat musim hujan dan pada
bulan Oktober telah berlangsung lama musim kemarau untuk mendapatkan
data kemudian dibandingkan kondisi parameter airnya. Penentuan waktu
menurut musim ini Tim tentukan dari hasil pengukuran awal pada bulan
Maret dimana kondisi air sungainya beranomali cukup parah. Umumnya pH di
90% area sungai hulu hingga muara sebesar 4-6 dan rerata salinitas rendah.
Hipotesa Tim: ini disebabkan faktor kondisi eksisting lokasi yang dikelilingi
tambang timah dan kaolin sebagai sumber kontaminan yang pengaruhi
kondisi air sungai dan musim hujan sebagai media transportnya ke sungai.
Kata kunci: kualitas air, Sungai Manggar, Geologi Lingkungan, penelitian dua
musim.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
44
Pendahuluan
Kabupaten Belitung Timur dikelilingi zona pesisir, secara geografis terletak
antara 107o45’ BT sampai 108o18’ BT dan 02o30’ LS sampai 03o15’ LS
ditambah jejaring sungai memenuhi sebagian wilayahnya dengan akses akhir
beberapa muara sungai besar di pesisir. Kota Manggar adalah ibukota
kabupaten, terletak di pesisir sekaligus muara Sungai Manggar. Masih sedikit
data karena belum banyak kegiatan riset di lokasi ini, Tim melakukan
identifikasi lingkungan alam area sungai dan muara sungai Manggar dengan
aspek: pengukuran parameter fisik air sungai dan perairan darat. Ini karena
lokasi Belitung yang dikenal sebagai “Pulau Logam” penuh dengan kegiatan
penambangan sehingga tentu amat mempengaruhi kualitas air sungainya.
Gambar 1. Peta Geologi Lingkungan Pulau Belitung dan Zonasi Sungai di
Belitung Tmur
Secara Geologi Lingkungan, genesa terjadinya Pulau Belitung adalah pulau vulkanik, wilayahnya didominasi batuan asal aktifitas gunung berapi di masa lampau. Saat ini gunung sudah mati, dan isinya yang kaya akan bahan tambang logam terus tererosi memenuhi ruang sekitar hingga tertransport ke
Manggar Pulau Belitung
Manggar
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
45
laut dan tersebar oleh arus laut. Membahas kualitas dan kandungan isi sungai
tak lepas dari sumbernya yaitu daratan. Oleh sebab itu maka perlunya
dilakukan pendataan dan sampling air di kawasan yang diduga sebagai
sumber terdekatnya.
Lokasi khususnya diduga kuat mengandung logam berat skala besar
karena sepanjang hulu sungai dikelilingi tambang timah dan kaolin dapat
dilihat dari hasil pengukuran air pada lokasi tambang di sekitar hulu dan
pinggiran sungai Manggar yang ekstrim anomalinya. Sejak jaman penjajahan
Belanda adalah sumber tambang Timah, disamping mempunyai pula
cadangan besi (Fe) serta logam lain yang berasosiasi dengannya seperti
Tembaga Cu), Seng (Zc), Timbal (Pb) dsb. Kandungan air sungai amat terkait
kandungan dari darat, kemudian kandungan logam berat di darat jauh lebih
banyak tertransport air hujan ke sungai dibanding di musim kemarau.
Principal Component Analysis Data-data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data-data sebagai
berikut:
1. Data spasial
Data spasial yang dikumpulkan untuk mendukung penelitian ini adalah:
Citra Satelit Landsat, peta RTRW Kota Manggar
Peta Geologi Lingkungan Skala 1:25.000 / 1:50.000 (Puslitbang Geologi
Lingkungan)
Peta Geologi Regional Skala 1 : 100.000 / 1 :250.000 (Puslitbang
Geologi)
2. Data Sekunder
Data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi BLHD,
Balitbang KKP
3. Data Lapangan
Data Lapangan merupakan data primer , yang langsung diambil di
lokasi penelitian meliputi pengukuran parameter air dan
pengambilan sampel air sungai, danau di perairan darat dan
sampel biota.
Metode pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling yang
diharapkan dapat mewakili lokasi penelitian yang berdasarkan data hasil
wawancara dengan penangkap kepiting merupakan lokasi tempat
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
46
penangkapan kepiting (kode lokasi S), lokasi dengan kualitas air bagus (kode
lokasi K), gradasi salinitas dari hulu ke hilir (kode lokasi H) serta aktifitas yang
ada di sungai. Lokasi penelitian dilakukan di Pantai kawasan mangrove
Manggar (Gambar 1). Pengukuran kualitas perairan yang dilakukan dengan
menggunakan alat multiparameter sejauh kurang lebih 10 km menyusuri
sungai dari hulu ke hilir Sungai Manggar serta percabangan dari sungai
Manggar di kawasan mangrove Manggar.
Deskripsi stasiun pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa untuk stasiun
yang dimulai dari hulu sungai kearah hilir sampai ke laut dikodekan dengan
H1 sampai dengan H18, kemudian kode stasiun, sedangkan daerah yang
merupakan rencana adanya suatu usaha budidaya keramba jaring apung
disimbolkan dengan huruf K1 sampai dengan K9.
Parameter yang terukur dengan alat multiparameter (Gambar 2) ini
berjumlah 7 parameter. Parameter tersebut adalah pH, DO (Dissolved
Oxygen), konduktivitas, turbiditas, temperatur, salinitas dan sigma-t yang
diukur pada kedalaman permukaan yaitu 0,2 -0,8 meter. Parameter ini akan
dibagi menjadi parameter fisika (suhu, konduktivitas dan turbiditas) dan
parameter kimia (pH, salinitas, sigma-t dan DO).
Analisis data secara umum dilakukan secara deskriptif dengan MS
Excell 2007 untuk dapat menggambarkan kondisi eksisting kualitas perairan.
Untuk menentukan variasi parameter fisika-kimia dan biologi perairan antar
stasiun penelitian digunakan pendekatan analisis statistik peubah ganda yang
didasarkan pada Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis,
PCA) (Legendre dan Legendre, 1983; Ludwig dan Reynolds, 1988; Digby dan
Kempton, 1988). Analisis Komponen Utama (AKU) merupakan metode
statistik deskriptif yang bertujuan untuk menampilkan data dalam bentuk
grafik dan informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data.
Matriks data terdiri dari stasiun penelitian sebagai individu statistik (baris)
dan parameter lingkungan (fisik-kimia perairan) yang kuantitatif (kolom).
Analisis ini juga digunakan untuk mereduksi suatu gugus parameter yang
berukuran besar dan saling berkorelasi, menguji kesamaan tempat dalam
ruang jenis dan parameter lingkungan dengan cara menentukan aksis
ortogonal melalui pemaksimalan keragaman.
Data parameter fisika-kimia perairan yang diperoleh tidak memiliki
unit pengukuran yang sama, maka sebelum dilakukan AKU, data tersebut
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
47
perlu dinormalisasikan terlebih dahulu melalui pemusatan dan pereduksian.
Jadi, apabila Xij adalah nilai data awal dan X.j adalah rata-rata, serta Sj adalah
simpangan baku, maka pemusatan dari Xij ke Yij dapat diperoleh dari
hubungan : Yij = (Xij - X.j), dan pereduksian dari Xij ke Yij ditrasformasikan
dengan rumus Yij = (Xij - X.j)/Sj. Dengan demikian setiap parameter
mempunyai unit keragaman. Dari nilai pemusatan dan pereduksian akan
terbentuk matriks baru ASxN yang merupakan pembentukan dari komponen-
komponen aij. Untuk menentukan hubungan antara dua parameter
digunakan pendekatan matriks korelasi yang dihitung dari indeks sintetik
(Ludwig dan Reynolds, 1988), yaitu :
RSxS = ASxN AtNxS
sedangkan,
RSxS = matriks korelasi rij
ASxN = matriks indeks sintetik Yij
AtSxN = matriks transpose(pertukaran baris dan kolom) dari matriks A
Korelasi linier antara dua parameter yang dihitung dari indeks
sintetiknya merupakan peragam dari dua parameter tersebut yang telah
dinormalisasikan. Tahapan ini sebenarnya merupakan suatu usaha untuk
mentransformasikan p parameter kuantitatif awal (inisial), yang kurang lebih
saling berkorelasi, ke dalam p parameter kuantitatif baru yang disebut
komponen utama. Dengan demikian hasil dari analisis ini tidak berasal dari
parameter-parameter awal (inisial) tetapi dari indeks sintetik yang diperoleh
dari kombinasi linier parameter-parameter asal. Di antara semua indeks
sintetik yang mungkin, analisis ini mencari terlebih dahulu indeks yang
menunjukkan ragam individu yang maksimum. Indeks ini disebut komponen
utama ke-1 atau sumbu (axis) utama ke-1, yaitu suatu proporsi tertentu dari
ragam total stasiun/lokasi yang dijelaskan oleh komponen utama ini.
Selanjutnya dicari komponen utama ke-2 dengan syarat berkorelasi linier nihil
dengan yang pertama dan memiliki ragam individu terbesar. Komponen
utama ke-2 ini memberikan informasi terbesar sebagai pelengkap komponen
utama pertama. Proses ini berlanjut terus sehingga diperoleh komponen
utama ke-p, dimana bagian informasi yang dapat dijelaskan semakin kecil.
Analisis statitik ini dilakukan dengan menggunakan XLStat 2012 (evaluation).
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
48
Litologi kawasan Belitung Timur yang mengandung pasir timah (Sr),
kandungan Hg, pasir besi (Fe), tembaga (Cu) dan kaolin (Ca) pengaruhi
kandungan pada substrat tanah. Kandungan logam ini mempengaruhi
perairan darat sekitar dan juga tertransport ke sungai. Ini menjadi potensi
kontaminasi logam berat yang patut diwaspadai. Maka diadakanlah riset
untuk antisipasi dampak pada masyarakat
Gambar 2. Peta Plotting Stasiun Pengukuran Parameter Air Sungai Manggar,
2013
Variabel data tersebut dipilih karena perannya penting dalam
mengidentifikasi berbagai parameter air sungai, dan biota di dalamnya. Serta
dalam penentuan titik sampling berdasar jenis litologi di daratan sumber dan
kesesuaian lahan.
Stasiun K
Stasiun H
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
49
Kualitas Perairan Sungai Manggar Musim Barat dan Musim Timur
Hasil pemantauan kualitas air sungai yang dilakukan Kantor
Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kabupaten Belitung Timur pada Sungai
Manggar tahun 2012 menunjukkan parameter DO pada pengambilan musim
peralihan dari musim barat ke musim timur menunjukkan nilai Do untuk
seluruh bagian sungai dari hulu ke hilir dibawah buku mutu 4 mg/L yaitu
sebesar 3 mg/L. Penelitian mengenai kondisi eksisting (kualitas perairan)
kawasan Sungai Manggar perlu dilakukan. Selain itu keberadaan biota di
perairan sungai dan muara serta kandungan proksimat terkait erat dengan
bioakumulasi biota terhadap suatu unsur seperti logam berat perlu dianalisa.
Kemudian ditindaklanjuti dengan daya dukung perairan tersebut dalam
mengakomodir kegiatan yang berbasis ekosistem berkelanjutan yang akan
dilakukan serta terkait erat dengan kesehatan masyarakat.
Pengukuran Parameter Fisik Air Sungai Manggar ( survei Maret 2013)
Tabel 1. Hasil statistik deskriptif Sungai Manggar bulan Maret 2013 (data in
situ)
Parameter Minimum Maksimum Rata-rata Standart deviasi
pH 4.57 8.093333 5.737056 1.147558
DO (mg/L) 3.883333 6.57 5.295556 0.565403
Konduktifitas (mS/m) 0.102 38.76667 9.817398 11.77315
Turbiditas (NTU) 0 24.63333 11.44407 5.796755
Temperatur (⁰C) 26.6 30.6 27.87963 1.179517
Salinitas (PSU) 0 28.86667 5.002778 9.401311
Sigma-t 0 16.93333 2.268519 5.566032
TDS (g/L) 0 0 0 0
Klorofil-a (µg/L) 0 0.6 0.035185 0.141177
Kecerahan 0.2 1.2 0.523333 0.265159
Kedalaman 1 5.5 2.538462 1.298421
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
50
Pengukuran Parameter Fisik Air Sungai Manggar (survei Oktober
2013).
Tabel 2. Hasil analisa statistik deskriptif Sungai Manggar Oktober 2013 (data
in situ)
Parameter Minimum Maksimum Rerata Standar deviasi
pH
7 7,5 7,072609 0,099919
DO (mg/L)
4,64 6,99 5,818261 0,60911
Konduktifitas (mS/m)
3,48 22,7 5,183043 3,826389
Turbiditas (NTU)
7 18,3 10,06957 2,767742
Temperatur ( C)
30 32 31,07391 0,544574
Salinitas (PSU)
0,1 32 27,83913 6,508019
Sigma t
0 17,8 16,20435 3,833285
Tabel 1 dan 2 memperlihatkan sebaran nilai secara deskriftif rerata
dari 23 stasiun pengamatan. Nilai parameter yang terukur umumnya memiliki
nilai standar deviasi yang bervariasi dikarenakan dua waktu pengambilan
yang berbeda yaitu musim peralihan I yaitu dari musim barat ke musim timur
(Maret 2013) dan musim peralihan II yaitu dari musim timur ke musim barat
(Oktober 2013).
Nilai standar deviasi yang cukup signifikan terlihat memiliki nilai besar
pada parameter konduktivitas bulan Maret. Ini menunjukkan ada nilai
pengukuran pada satu atau beberapa stasiun yang yang berbeda atau tidak
seragam (pencilan), dapat dilihat rentangan nilai yang cukup jauh antara nilai
minimum dan nilai maksimum dari parameter tersebut.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
51
Gambar 3. Peta plot titik survei sungai Manggar 2013 dan perairan darat sekitar serta arah aliran dari sumber material pengisi Sungai manggar dan sekitar
Area Tambang
Area Muara/ Estuari
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
52
Pengukuran Parameter Fisik Air Sungai Manggar Kompilasi Hasil Ukur
pada bulan Maret dan Oktober 2013.
Kualitas perairan fisika
Kualitas perairan fisika yang terukur dijelaskan satu persatu sebagai
berikut :
Temperatur
Suhu merupakan salah satu faktor pembatas bagi ekosistem dan biota laut,
perubahan suhu dapat mempengaruhi proses fisika, kimia dan biologi di
badan air. Peningkatan suhu perairan dari suhu alami dapat menyebabkan
penurunan kelarutan gas dalam air seperti O2 dan terjadi peningkatan
kelarutan untuk gas CO2, N2 dan CH4 (Sanusi, 2006).
Maret 2013.
Suhu alami perairan pada lokasi penelitian di kawasan mangrove Manggar
berkisar antara 26.6 – 33.9 ˚C dengan rata-rata pada semua 37 sampel dibagi:
untuk spot kepiting 30.344±1.88˚C, Lokasi budidaya 30.807±0.55˚C dan suhu
permukaan dari mulai hulu sungai Manggar sampai ke laut rata-rata
27.880±1.18˚C.
Gambar 4. Sebaran temperatur di stasiun pengamatan bulan Maret
2013 (panel kiri) dan Oktober 2013 (panel kanan)
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
53
Oktober 2015.
Secara keseluruhan temperatur pada bulan Oktober 2013 berkisar antara 30 –
32⁰C dengan rerata 31,074±0,549 ⁰C. Sebaran temperatur perstasiun pada
bulan Oktober 2013 dapat dilihat pada Gambar 4 bagian kanan.
Gambar 5. Peta Sebaran Temperatur Air Sungai Manggar bulan Maret (kiri)
dan bulan Oktober (kanan)
Turbiditas
Maret 2013.
Nilai kekeruhan atau turbiditas yang terukur pada lokasi penelitian berkisar 0
(nol) di stasiun K2 hingga 25 pada titik survei S5. Pada Gambar 6 terlihat lokasi
tertinggi tingkat kekeruhan ini terletak di sekitar pelabuhan Kaolin. Hipotesa
kami penyebabnya karena larutan sedimen lepas Kaolin dan kandungan
sedimen darat yang tertransport air hujan lalu bercampur di lokasi ini. Lokasi
memang pertemuan beberapa sungai.
Oktober 2013.
Nilai kecerahan yang terukur pada lokasi penelitian dapat dilihat pada
Gambar 6, pada bulan Oktober titik terendah angka Turbiditas: 7 pd stasiun
H7 dan tertinggi 18 pada stasiun K7. Nilai kecerahan suatu perairan terkait
erat dengan faktor intensitas cahaya yang masuk dan banyak sedikitnya
partikel/padatan tersuspensi (TSS) yang berada di badan air. Kecerahan
perairan berhubungan erat dengan kemampuan produsen di perairan seperti
fitoplankton, ataupun tumbuhan makro yang berada di kolom air seperti
makro alga dan lamun untuk melakukan fotosintesis.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
54
Gambar 6. Grafik Turbiditas air
Kualitas perairan kimia
Kualitas perairan kimia yang terukur adalah pH, salinitas, DO dan
sigma t. Penjelasan nilai parameter kimia terkait erat dengan kondisi eksisting
dan kualiats air sungai tersebut dijelaskan satu persatu di bawah ini.
Derajat keasaman (pH)
Kualitas air kolong secara fisika dan kimia. Pengukuran pH dilakukan pada
beberapa aliran asam tambang dari tambang aktif, yang mempengaruhi pH
air beberapa kolong. Pada Gambar 7 ditampilkan hasil pengelompokan kolong
dan aliran asam tambang (Acid Mine Drainage (AMD)) berdasarkan pH
menggunakan analisis statistik Principle Component Analyses (PCA). Hasil
pengukuran, aliran asam tambang yang merupakan air buangan tambang
mempunyai kisaran pH 2–3, terutama pada area yang didominasi oleh
mineral pirit. Kolong muda di area yang didominasi oleh mineral pirit/mineral
sulfida lainnya mempunyai air dengan nilai pH sangat rendah (2–3), sedang
kolong muda di area yang didominasi oleh mineral kaolin nilai pH lebih tinggi
(4,5 – 6).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tidak semua kolong muda
mempunyai pH < 4 dan tidak semua kolong tua mempunyai pH >5. Namun
demikian, persentase kolong tua dengan pH>5 tetap lebih besar dibandingkan
kolong-kolong baru.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
55
Gambar 7. Grafik pH titik air
Kolong-kolong yang diteliti pada penelitian ini umumnya mempunyai kisaran
pH 5 – 6 terutama untuk kolong yang sudah berumur >10 tahun. Kolong yang
mempunyai pH < 5 umumnya kolong muda dan sebagian kecil dari kolong
yang sudah tua (> 20 tahun).
Diketahui bahwa tipe mineral dominan area penambangan
merupakan salah satu faktor penentu pH air buangan tambang atau air danau
bekas tambang. Berdasarkan hasil survei hampir semua area mempunyai tipe
tanah dasar pasir yang dominan bercampur dengan mineral ikutan. Mineral
dominan seperti pirit (FeS2).
Gambar 8. Peta Sebaran PH Air Sungai Manggar bulan Maret (kiri) dan bulan
Oktober (kanan)
Kelas 1, 2,
3 dan 4
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
56
Salinitas
Salinitas air sungai Manggar pada bulan Oktober relatif stabil dan reratanya
tidak ekstrim, pada kisaran 30 dengan nilai terendah 22 dan tertinggi 32.
Gambar 9. Grafik Salinitas air
Pada bulan Maret salinitas di stasiun pengamatan amat bervariasi, mulai
mayoritas 0 hingga 29, sementara pada bulan Oktober stabil pada kisaran 22-
33. Ini dimungkinkan oleh musim hujan pada bulan Maret yang menurunkan
kadar garam air sungai Manggar.
Gambar 10. Peta Sebaran Salinitas Air Sungai Manggar bulan Maret(kiri) dan
bulan Oktober(kanan)
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
57
Dissolved Oxygen (DO)
Gambar 11. Grafik DO titik air
Oksigen terlarut atau DO adalah berapa besar gas oksigen yang
terlarut dalam badan air. Sanusi (2006) mengatakan bahwa gas-gas yang
masuk ke dalam air laut secara difusi berdasarkan perbedaan tekanan parsial
gas terbagi atas dua kelompok, yaitu kelompok gas-gas yang bersifat reaktif
atau non konservatif dan kelompok gas-gas yang bersifat non reaktif atau
konservatif. Gas oksigen (O2) merupakan kelompok gas-gas reaktif bersama
dengan gas CO2, N2, CH4, H2S dan NH3. Gas-gas reaktif utama yang terlibat
dalam proses biologi maupun siklus biogeokimia ada tiga yaitu O2, CO2 dan N2.
Kualitas perairan dengan logam terlarut
Logam terlarut yang dianalisa di laboratorium adalah merkuri (Hg),
Arsen (As), tembaga (Cu) dan Timbal (Pb). Keberadaan logam berat ini dalam
perairan di lokasi penelitian Sungai Manggar konsentrasinya memiliki nilai
ambang batas untuk biota yang hidup di dalamnya sesuai dengan Kepmenneg
LH no 82 tahun 2001. Logam berat dari lima jenis di atas adalah termasuk
golongan logam inorganik yang keberadaannya secara alami sangat rendah
(trace metal). Dimana terbagi atas kelompok logam berat yang bersifat
esensial (yang dibutuhkan biota) yaitu Cu dan non esensial Hg, As, Cd dan Pb.
Elemen esensial maupun non esensial dalam perairan perlu diketahui karena
jika terjadi peningkatan konsentrasinya dalam perairan dapat bersifat toksin
bagi biota bahkan manusia.
Kelas 2 Kelas 1
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
58
Rekomendasi
1. Terdapat perbedaan signifikan pada parameter air sampel dari estuari
Sungai Manggar yang diambil pada musim hujan (Maret) terutama
Salinitas mulai mayoritas 0 hingga 29 pada musim hujan bulan Maret,
sementara pada bulan Oktober stabil pada kisaran 22-33, (diduga
rendahnya salinitas ini karena malam sebelum dilakukan sampling turun
hujan lebat) dan parameter PH air pada musim hujan Maret 4-5,5 dan
stabil rerata normal dan stabil PH 7 pada sampel musim hujan Oktober.
2. Air hujan sebagai faktor utama pelarut dan pentransport material
kandungan darat ke sungai. Limpasan air hujan di darat membawa
kandungan logam daratan menuju alur sungai lalu masuk ke tubuh sungai
induk menuju muara sebelum di transport ke laut. Ditambah
penambangan kaolin dan pasir Kuarsa semua ini turut memperbesar nilai
kandungan kontaminan dalam air di daratan maupun di sungai yang tentu
berdampak luas terhadap biotanya dan manusia yang tinggal dan hidup
memanfaatkan air tersebut.
3. Diperlukan suatu monitoring temperatur secara time series dengan
memasang alat pengukur temperatur di beberapa lokasi yang terindikasi
temperatur tinggi atau beberapa lokasi yang diduga sebagai sumber bahan
tercemar seperti ‘kolong’ tambang. Manfaat pemasangan alat temperatur
secara time series dapat diketahui temperatur alami dari perairan rata-
rata perbulan dan pertahun. Pentingnya pengamatan temperatur karena
temperatur rmerupakan salah satu faktor pembatas bagi ekosistem dan
biota, dimana perubahan temperatur dapat mempengaruhi proses fisika,
kimia dan biologi di badan air. Adanya peningkatan temperatur perairan
dari kisaran temperatur alami dapat menyebabkan penurunan kelarutan
gas dalam air seperti O2 dan terjadi peningkatan kelarutan untuk gas CO2,
N2 dan CH4 (Sanusi, 2006).
Daftar Pustaka
Affan, J.M. 2012. Identifikasi lokasi untuk pengembangan budidaya keramba
jaring apung (KJA) berdasarkan faktor lingkungan dan kualitas air di
perairan pantai timur Bangka Tengah. Depik, 1(1):78-85. April 2012.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
59
DIM, PT Dazya Ina Mandiri. 2012. Laporan pelingkupan KLHS dalam
penyusunan RPJMD Kep. Bangka Belitung Tahun 2012 – 2017. ESP.
Danida.
Digby, P.G.N and R.A. Kempton, 1988. Multivariate analysis of ecological
communities. Chapman and Hall. New York.
E. Rochyatun, Edward dan A. Rozak. Kandungan Logam Berat Pb, Cd, Cu, Zn,
Ni, Cr, Mn & Fe dalam Air Laut dan Sedimen di Perairan Kalimantan
Timur, Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 2003 No. 35 : 51 – 71.
G. Alaa, M. Osman and W. Kloas. Water Quality and Heavy Metal Monitoring
in Water, Sediments, and Tissues of the African Catfish Clarias
gariepinus (Burchell, 1822) from the River Nile, Egypt. Journal of
Environmental Protection, 2010, 1, 389-400.
http://www.googleearth.com. 2012 , diakses tanggal 17 November 2012.
http://belitungtimurkab.go.id/ . 2012. Profil daerah Belitung Timur , diakses
tanggal 17 November 2012.
Legendre, L and P. Legendre 1983. Numerical Ecology. Elsevier Science. 1998.
Ludwig, John A. and James F. Reynolds. 1988. Statistical ecology: a primer of
methods and computing. Wiley Press, New York, New York.
Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar. UI-Presss, Jakarta.
Maramis, A.A., A. Ign. Kristijanto, dan S. Notosoedarmo. 2006. Sebaran Logam
Berat dan Hubungannya dengan Faktor Fisika-Kimiawi di Sungai Kreo,
Dekat Buangan Air Lindi TPA Jatibarang, Kota Semarang. Akta Kimindo
Vol. 1 No. 2: 93-98.
Palar H. 2004. Pencemaran & toksikologi logam berat. Rineka Cipta. Jakarta.
Pagoray H. 2001. Kandungan Merkuri dan Kadmium Sepanjang Kali Donan
Kawasan Indutri Cilacap. Frontir. 33:1-9.
P.J. Puri, M.K.N. Yenkie, S. P. Sangal, N.V. Gandhare and G. B. Sarote. Study
Regarding Lake Water Pollution with Heavy Metals in Nagpur City
(India). International Journal of Chemical, Environmental and
Pharmaceutical Research [ijCEPr], 2011, Vol. 2, No.1, 34-39.
Radiarta, I.N., T.H. Prihadi, A. Saputra, J. Hariyadi, O. Johan. 2006. Penentuan
lokasi budidaya ikan KJA menggunakan analisis multikriteria dengan
SIG di Teluk Kapontori, Sulawesi Tenggara. Jurnal Riset Akuakultur, 1
(3): 303-318.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
60
R. Dako. Tumpang Sari: Pengembangan Tambak yang Ramah Lingkungan.
Warta Teluk Tomini, Program Teluk Tomini (SUSCLAM), 2010, 8 hal.
R. C. Kay and J. Arder. Coastal Planning and Management, Spon Press.
Melbourne, Victoria Australia. 1999, pp 375.
Sanusi, Harpasis. 2006. Kimia Laut, Proses Fisik Kimia dan Interaksinya dengan
Lingkungan. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Storelli MM, Storelli A, D’ddabbo R, Marano C, Bruno R, Marcotrigiano GO
(2005). Trace elements in loggerhead turtles (Caretta caretta) from the
eastern Mediterranean Sea: Overview and evaluation. Environ. Pollut.
135: 163-170.
Widianingsih.,Retno Hartati., Asikin Djamali dan Sugestiningsih. 2007.
Kelimpahan dan sebaran horizontal fitoplankton di perairan pantai
timur Pulau Belitung. Ilmu Kelautan Maret 2007. Vol 12 (1): 6 -11.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
61
EKOSISTEM KARBON BIRU LAMUN DI PULAU-PULAU KECIL, KEPULAUAN DERAWAN - KALIMANTAN TIMUR
Terry L. Kepel, Restu Nur Afi Ati, Agustin Rustam, Syahrial Nur Amri
dan Andreas Hutahaean Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang KP
Abstrak
Sebagai bagian dari Studi Karbon Biru di Kepulauan Derawan tahun 2012,
kami melakukan studi kondisi ekologi padang lamun dan kapasitasnya untuk
menyerap dan menyimpan karbon. Terdapat 12 stasiun di 4 pulau yaitu Pulau
Panjang, Pulau Samama, Pulau Derawan dan Pulau Maratua. Stasiun
pengambilan data ditentukan dengan menggunakan citra satelit. Citra satelit
ini juga digunakan untuk menghitung area total tutupan ekosistem setelah
verifikasi lapangan. Di setiap stasiun, transek garis diletakkan tegak lurus
terhadap garis pantai dan pengambilan sampel biomas dilakukan dengan
menggunakan tabung akrilik berdiameter 8,5 cm. Sampel disimpan untuk
analisis biomas dan karbon. Alat analisis CHNS digunakan untuk menghitung
kandungan karbon di biomass. Total luasan padang lamun diestimasi sebesar
5959 ha. Terdapat 7 jenis lamun yang ditemukan, yaitu Cymodocea serrulata
(Cs), Cymodocea rotundata (Cr), Halophila ovalis (Ho), Halophila minor (Hm),
Halodule uninervis (Hu), Syringodium isoetifolium (Si) dan Thalassia
hemprichii (Th). Kisaran rata-rata dari berat bawah biomas lebih tinggi
dibandingkan dengan bagian atas. Berat biomas bagian bawah berkisar antara
11.75 – 120.78 g BK m-2 dengan kisaran rata-rata sebesar 29.97 – 99.18 g BK
m-2, sedangkan biomas bagian atas sebesar 7.05 – 53.78 g BK m-2 dan rata-
rata 10.29 – 34.16 g BK m-2. Karbon stok di bagian bawah dan atas adalah
sebesar 3.42 – 40.46 g C m-2 dan 2.29 – 17.47 g C m-2. Karbon stok paling
tinggi di bagian atas dan bawah ditemukan di Pulau Panjang dan Thallasia
hemprichii menyumbangkan biomas dan karbon stok yang paling tinggi di
lokasi penelitian ini.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
62
Pendahuluan
Studi ini adalah bagian dari penelitian Karbon Biru di kepulauan
Derawan pada tahun 2012. “Karbon Biru” didefinisikan sebagai karbon yang
diserap oleh makhluk hidup yang ada di pesisir dan laut dengan proses
fotosintesis. Beberapa komponen pantai dan laut yang mempunyai fungsi
sebagai penyerap karbon adalah mangrove, lamun, rumput laut dan
fitoplankton (klorofil) karena mampu memanfaatkan gas CO2 yang ada di
atmosfir maupun di air untuk proses fotosintesis. Dari keempat komponen
tadi, mangrove dan lamun membentuk suatu ekosistem yang penting di
pantai.
Penelitian ini didasarkan pada beberapa fakta dan kesenjangan (gap)
tentang kondisi padang lamun secara global serta kaitannya sebagai
ekosistem karbon biru. Setidaknya ada tiga fakta menonjol tentang padang
lamun di dunia. Pertama, ekosistem lamun tersebar luas mulai dari daerah
tropis sampai ke daerah beriklim dingin (temperate). Indonesia memiliki luas
lamun sebesar 30.000 km2 yang dihuni oleh 12 spesies lamun.
Fakta kedua, lamun mempunyai fungsi ekologis dan ekonomi. Secara
ekologis, lamun berfungsi sebagai tempat tinggal berbagai biota laut, tempat
berlindung, tempat memijah, serta tempat mencari makan. Selain itu, lamun
memberikan manfaat ekonomi. Secara global, ekosistem pesisir (mangrove,
lamun dan terumbu karang) memiliki nilai ekonomi sebesar 29,8 milyar dollar
(Cesar et al, 2003), sedangkan Brander et al (2006) mengatakan nilai rata-
rata per tahun sebesar 2.800 dollar per hektar. Di kawasan Asia Tenggara,
ekosistem pesisir menyumbang nilai ekonomi yang signifikan dari kegiatan-
kegiatan yang ada di pesisir seperti penangkapan ikan, pariwisata, rekreasi,
dan sebagainya. Nilai ekonomi diperkirakan berkisar antara 23.100 – 270.000
dolar per km-2 (Burke et al, 2002).
Fakta ketiga, padang lamun berperan penting dalam mitigasi
perubahan iklim. Proses fotosintesis lamun menyerap CO2 di perairan
sekitarnya. Secara global, lamun dapat menyimpan karbon organik sejumlah
19,9 Pg (Fourqurean et al, 2012).
Dari sejumlah fakta di atas, terjadi masih ada kesenjangan atau gap
yang ada terkait dengan ekosistem lamun ini. Fourqurean et al (2012) dan Oei
et al (2011) melaporkan bahwa data/informasi lamun di daerah tropis Indo-
Pasific masih sangat kurang. Selain itu, minimnya informasi tentang
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
63
kemampuan ekosistem lamun dalam menyimpan karbon. Selain itu, lamun
juga mengalami ancaman karena laju degradasi yang cukup tinggi 29% per
tahun sehingga menyebabkan pelepasan karbon sebesar 299 Tg karbon per
tahun (Fourqurean et al, 2012)
Kepulauan Derwan merupakan kepulauan yang terkenal sebagai salah
satu daerah tujuan wisata dengan keindahan dan keanekaragaman alam
pesisir dan lautnya. Salah satu keanekaragamannya yang terkenal kepulauan
Derawan merupakan tempat berkumpulnya penyu seperti penyu hijau.
Diketahui makanan penyu adalah lamun, mengingat itu semua tujuan
penelitian ini adalah untuk memetakan kembali ekosistem lamun, analisa
kondisi ekologis dan kemampuan padang lamun dalam menyimpan karbon di
kepulauan Derawan.
Profil Kepulauan Derawan
Gambar 1. Kawasan Konservasi Laut Berau.(Sumber: SK Bupati Kab. Berau
No. 31 Tahun 2005)
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
64
Lokasi penelitian terletak di Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau,
Provinsi Kalimantan Timur. Berdasarkan SK Bupati Kabupaten Berau No.31
tahun 2005, Kepulauan Derawan ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut
Berau dengan luas sebesar 1,2 juta hektar. Kawasan ini terletak dari Pulau
Panjang di bagian utara sampai di Biduk-Biduk di bagian selatan, meliputi 8
kecamatan pesisir dan 27 desa nelayan (Gambar 1).
Lokasi pengambilan data dilakukan di daerah bagian utara yang
mencakup 4 pulau dari 6 pulau kecil yang ada, yaitu Pulau Panjang, Pulau
Derawan, Pulau Samama dan Pulau Maratua serta perairan yang berada di
sekelilingnya. Survei ekosistem lamun dilakukan pada 12 stasiun (Tabel 1,
Gambar 2). Pada tahap persiapan, titik stasiun ditentukan berdasarkan peta
hasil interpretasi citra yang lokasi dan jumlahnya dianggap dapat mewakili
ekosistem yang ada. Selanjutnya titik stasiun disesuaikan berdasarkan kondisi
di lapangan.
Tabel 1. Lokasi Survei
Stasiun Koordinat Lokasi
Lamun
1 118o12’13,32” BT / 2o23’20,4” LU Pulau Panjang
2 118o13’45,12” BT / 2o20’49,2” LU Pulau Panjang
3 118o14’30,11” BT / 2o18’50,4” LU Pulau Panjang
4 118o 15’ 50,4” BT / 2o16’30” LU Pulau Samama
5 118o20’12,11” BT / 2o7’51,6” LU Pulau Samama
6 118o 11’ 52,8” BT / 2o21’50,4” LU Pulau Panjang
7 118o15’36,35”BT / 2o15’21,6” LU Gusung Kulimis
8 118o 14’ 44,8” BT / 2o17’31,2” LU Pulau Derawan
9 118o12’13,32” BT / 2o23’20,4” LU Pulau Derawan
10 118o 14’ 49,2” BT / 2o16’58,8” LU Pulau Derawan
11 118o35’33,51” BT / 2o11’38,4” LU Pulau Maratua (Payung-
Payung)
12 118o38’45,6” BT / 2o12’57,6” LU Pulau Maratua (Laguna)
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
65
Gambar 2. Peta stasiun penelitian
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
66
Proses pengambilan biomass
Metode yang diterapkan di ekosistem lamun mengikuti McKenzie et al
(2001) dan Short et al (2006). Setelah lokasi stasiun ditandai dengan GPS,
transek garis (line transect) ditarik sepanjang 50 m tegak lurus garis pantai.
Selanjutnya untuk melihat tutupan lamun, frame kuadrat ukuran 50x50 cm
(0,25 m2) diletakkan pada transek garis dengan jarak setiap 10 meter (Gambar
3). Pengambilan biomass dilakukan di dalam kuadrat dengan menggunakan
tabung silinder berdiameter 8,5 cm (0,0057 m2).
Gambar 3. Pengukuran dan pengambilan sampel di ekosistem lamun
Lamun yang ada dalam tabung tersebut kemudian dengan hati-hati
diangkat sampai ke akar dan sebisa mungkin dibersihkan dari sedimen yang
masih menempel. Sampel untuk biomass ini kemudian disimpan di kantong
plastik, diberi label untuk selanjutnya ditimbang. Sebelum ditimbang, sampel
yang ada dibersihkan lagi dengan teliti dari sedimen yang mungkin masih ada
supaya tidak ada bagian lamun yang terbuang. Pembersihan juga dilakukan
pada daun lamun untuk mengeluarkan epifit. Lamun kemudian dipisahkan
berdasarkan spesies dan setiap spesies dipisah menjadi dua bagian yaitu
bagian atas (daun, batang) dan bagian bawah (rhizome, akar). Tiap bagian
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
67
ditimbang secara terpisah. Sampel lamun ini kemudian disimpan di dalam
freezer. Untuk analisa jumlah karbon, digunakan Vario EIII CHNOS Elemental
Analyzer.
Analisis
Untuk melihat struktur komunitas lamun, dilakukan perhitungan Indeks
menurut Shannon-Weaver (Odum dalam Kuriandewa, 1997).
1. Indeks Keragaman
H = - ∑ (ni/N) ln (ni/N)
H : indeks keragaman ni : jumlah prosentasi tutupan tiap jenis N : jumlah total prosentasi tutupan tiap
jenis
2. Indeks Dominansi
D = ∑ (ni/N)2
D : indeks dominansi ni : jumlah prosentasi tutupan tiap jenis N : jumlah total prosentasi tutupan tiap
jenis
3. Indeks Kemerataan
e = H/log S
e : indeks kemerataan ni : jumlah prosentasi tutupan tiap jenis N : jumlah total prosentasi tutupan tiap
jenis S : jumlah jenis dalam lokasi
Kondisi Ekosistem Lamun
Secara umum, ditemukan 7 jenis lamun di kepulauan Derawan, yaitu
Cymodocea rotundata (CR), Cymodocea serrulata (CS), Halophila ovalis (HO),
Halophila minor (HM), Halodule uninervis (HU), Syringodium isoetifolium (SI)
dan Thalassi hemprichii (TH) (Tabel 3). Komposisi jenis yang dijumpai pada
penelitian ini memiliki jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan hasil
penelitian LIPI-TNC (Saputro et al, 2005) dan Kuriandewa (1997). Dari 7 jenis
ini, H. ovalis adalah jenis yang paling sering teridentifikasi yaitu pada 10 dari
12 lokasi pengamatan. Dengan kata lain, jenis ini terdapat di semua pulau
yang ada di kepulauan Derawan. Jenis H. uninervis teridentifikasi di 7 lokasi, T.
hemprichii teridentifikasi di 5 stasiun di Pulau Panjang, Derawan dan Maratua.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
68
Sedangkan H. minor hanya teridentifikasi di 2 stasiun yang ada di pulau
Panjang (L1, L2).
Dua spesies berbeda yang tidak tercatat pada penelitian saat ini tapi
ditemukan oleh Kuriandewa (1997) dan LIPI-TNC adalah H. pinifolia dan E.
acoroides. Sedangkan Halophila ovata hanya ditemukan oleh Saputro dkk
(2005). Selanjutnya, LIPI-TNC tidak menemukan jenis C. serrulata. Sebenarnya
pada penelitian saat ini, ditemukan satu tegakan E. acoroides di stasiun L1
yang berada di Pulau Samama tapi tegakan ini berada di luar transek
pengamatan. Melihat kondisi ini, seharusnya jenis ini masih hidup di wilayah
kepulauan Derawan seperti yang dilaporkan oleh peneliti-peneliti sebelumnya
namun mungkin daerah tutupannya sangat kecil. Kemungkinan lainnya adalah
adanya perubahan atau gangguan pada kondisi ekosistem lamun di kepulauan
ini sehingga menyebabkan jenis E. acoroides berkurang digantikan oleh jenis
lain yang bersifat pioner. Menurut keterangan nelayan di pulau Maratua,
pada kisaran tahun 1990-an banyak terdapat lamun yang jenis tinggi dan
besar yang kemungkinannya adalah Enhalus. Hal ini sesuai dengan penelitian
Kuriandewa (1997) yang menemukan adanya jenis ini di pulau Maratua.
Tabel 3. Jenis lamun yang ditemukan di setiap stasiun
Jenis Stasiun
L1 L2 L3 L4 L5 L6 L7 L8 L9 L10 L11 L12
Cymodocea
rotundata (CR)
* * * * * *
Cymodocea
serrulata (CS)
* * * *
Halophila ovalis
(HO)
* * * * * * * * * *
Halophila minor
(HM)
* *
Halodule uninervis
(HU)
* * * * * * *
Syringodium
isoetifolium (SI)
* * * * * *
Thalassia
hemprichii (TH)
* * * * *
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
69
Hampir semua stasiun pengamatan memiliki jenis lamun yang bersifat
pionir. Lamun pionir dari jenis Halodule dan Halophila. Kedua jenis ini cepat
berkembang pada suatu daerah terutama yang memiliki substrat yang tidak
stabil karena mereka memiliki kemampuan untuk cepat berkembang dan
punya toleransi yang tinggi pada kondisi terdedah. Semua stasiun
pengamatan memiliki substrat berupa pasir, karang, karang mati ataupun
substrat campuran dari ketiganya (Tabel 4). Pada saat kondisi surut terendah,
hampir semua stasiun masih berada di bawah permukaan air dengan
ketinggian air terendah lebih dari 30 cm. Satu-satunya lokasi yang terdedah
saat surut terendah adalah di stasiun 4 di Pulau Samama. Di pulau ini,
hamparan pantai terdedah pada pasang terendah mencapai lebih dari 500
meter dari pantai (Gambar 4).
Gambar 4. a. Kondisi pasang terendah di Pulau Samama, b. Pulau Samama
sebagai suaka margasatwa
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
70
Tabel 4. Sebaran dan Prosentase Tutupan Jenis Lamun di Tiap Stasiun
Stasiun
Lokasi Substrat Kisaran
Tutupan (%)
Rata-Rata
Tutupan
(%)
Jenis Lamun
L1 P. Panjang Pasir,
karang &
karang
mati
5 – 50 14,17 C. rotundata, H. ovalis, H.
minor, S. Isoetifolium
L2 P. Panjang Pasir,
karang
mati & alga
2 – 65 17,83 C. rotundata, H. ovalis, H.
minor,H. uninervis, S.
Isoetifolium
L3 P. Panjang Pasir &
alga
20 – 50 16,67 C. serrulata, S. Isoetifolium
L4 P. Samama Karang,
pasir &
alga
30 – 60 44,17 C. rotundata, H. Ovalis
L5 P. Samama Pasir,
karangn
2 – 30 13,67 H. ovalis
L6 P. Panjang Pasir 10 – 70 34,17 H. ovalis, T. Hemprichii,
L7 Gusung
Kulimis
(P.
Samama)
Pasir 21 – 80 42,83 C. serrulata, C. rotundata, H.
ovalis, H. uninervis, S.
isoetifolium, T. hemprichii
L8 P.
Derawan
Pasir 30 – 80 48,33 C. rotundata, H. ovalis, H.
uninervis, S. Isoetifolium
L9 P.
Derawan
Pasir 15 – 25 18,33 H. uninervis
L10 P. Maratua Pasir,
karang
20 – 78 45,5 C. serrulata, C. rotundata, H.
ovalis, H. uninervis, S.
isoetifolium, T. hemprichii
L11 P. Maratua Pasir,
karang
1-10 34,17 H. ovalis, H. uninervis, T.
hemprichii
L12 P. Maratua Pasir,
karang
5 – 25 14 C. serrulata, H. ovalis, H.
uninervis, T. hemprichii
Stasiun L5 dan L9 adalah habitat monospesifik yang hanya ditumbuhi
oleh satu jenis lamun. H. ovalis tumbuh dominan di stasiun L5 sedangkan di
stasiun L9 hanya terdapat H. uninervis. Walaupun terdapat 2 stasiun yang
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
71
monospesifik, namun kecenderungan tipe habitat di kepulauan ini adalah
multispesifik dimana beberapa jenis tumbuh bersama-sama. Stasiun L7 dan
L10 mempunyai jumlah jenis yang paling tinggi yaitu sebanyak 6 jenis. Di
samping itu kedua stasiun ini juga memiliki komposisi jenis yang sama. Hal ini
dapat dilihat juga dari indeks keragaman pada struktur komunitas.
Gambar 5. a)Tipe vegetasi tunggal Halophila ovalis di L5, P. Semama dengan
substrat pasir karang dan alga; b) Dominasi Thalassia hemprichii di
L6, P. Panjang bersubstrat berpasir dan c) vegetasi campuran
Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis, Halodule uninervis dan
Thalassia hemprichii di L7, Gusung Kulimis
Dari nilai struktur komunitas, terlihat bahwa rata-rata memiliki nilai
keragaman dari rendah (H<1) sampai keragaman sedang (H=1-3) (Tabel 5)
dengan nilai indeks berkisar antara 0 – 1,33, masing-masing di stasiun L5 dan
L9 untuk yang terendah dan stasiun L7 untuk yang tertinggi yang masuk
kategori keragaman sedang. Selain stasiun L7, ada 3 stasiun lain yang masuk
kategori sedang yaitu L1, L2 dan L10. Nilai keragaman ini berpengaruh pada
nilai dominasi yang menunjukan semakin rendah keragaman, semakin tinggi
dominansi suatu jenis.
Prosentase tutupan lamun bervariasi dari yang terendah 2% sampai
80% tertinggi (Tabel 4). Prosentasi tutupan yang rendah (<10%) ditemukan di
beberapa lokasi di Pulau Panjang, Maratua maupun Samama.Sedangkan rata-
rata tutupan yang tinggi ada di gusung Kulimis, satu stasiun di pulau Panjang
dan dua stasiun di Pulau Derawan yang dapat mencapai 70 – 80 %. Apabila
dibandingkan dengan hasil penelitian LIPI-TNC dalam Saputro et al (2005),
tutupan tertinggi justru ada di Pulau Maratua (sampai dengan 80%)
sedangkan di lokasi yang lain, maksimum hanya mencapai 50%.
a b c
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
72
Tabel 5. Struktur komunitas Lamun di Kepulauan Derawan
Stasiun H D e
L1 1,32 0,28 2,19
L2 1,31 0,32 1,87
L3 0,50 0,68 1,66
L4 0,04 0,96 0,13
L5 0,00 1,00
L6 0,02 0,98 0,07
L7 0,58 0,32 0,75
L8 0,30 0,67 0,50
L9 0,00 1,00
L10 0,48 0,42 0,69
L11 0,23 0,72 0,48
L12 0,51 0,51 0,85
Biomassa dan Kandungan Karbon
Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui proses
fotosintesis atau jumlah keseluruhan benda hidup dalam suatu wilayah.
Menurut Sutaryo (2009), biomassa tumbuhan adalah total berat atau volume
organisme dalam suatu area atau volume tertentu. Satuan biomassa
dinyatakan dalam gram berat kering atau berat basah/m2 yaitu berat dari
semua material yang hidup pada suatu satuan luas tertentu, baik yang berada
di atas maupun di bawah substrat.
Pengukuran biomassa dapat memberikan informasi tentang nutrisi
dan persediaan karbon dalam vegetasi secara keseluruhan atau jumlah bagian
tertentu (Hairiah et al, 2001). Produksi yang dihasilkan merupakan peran
kunci dari vegetasi karena bisa menghasilkan biomassa, serasah dan tegakan-
tegakan yang mempunyai banyak manfaat baik secara ekologis maupun
ekonomis (Supriyadi et al, 2012).
Hasil biomassa menunjukkan adanya perbedaan biomassa lamun
menurut lokasi dan letaknya terhadap substrat baik diatas substrat (above
ground biomass (abg)) maupun dibawah substrat (below ground biomass (blg)
(Gambar 7). Total biomassa lamun di Pulau Panjang sebesar 136,65 g BK m-2
(abg) dan 252,72 g BK m-2 (blg) dengan biomassa tertinggi pada T.hemprichii.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
73
Gambar 6. Nilai biomassa di atas substrat dan di bawah substrat pada
setiap lokasi
Secara rata-rata, nilai biomassa tersebut menurun sebesar >60% bila
dibandingkan dengan Kuriandewa (1997). Berdasarkan hasil pengamatan
dapat dikatakan bahwa Pulau Panjang memiliki kerapatan serta biomassa
lamun yang cukup besar setelah Pulau Maratua, yang berpotensi memiliki laju
produksi atau produktivitas yang besar pula.
Nilai biomass yang didapatkan di Pulau Derawan hanya diperoleh dari
dua jenis lamun yaitu H. uninervis dan H. ovalis, masing-masing sebesar 1,76 g
BK m-2 – 11,46 g BK m-2 (abg) dan 0,88 g BK m-2 – 44,96 g BK m-2 (blg). Nilai
total biomassa lamun yang diperoleh adalah 30,86 g BK m-2 (abg) dan 119,01
g BK m-2 (blg). Biomassa jenis H.uninervis di pulau ini masih lebih tinggi 30%
Pulau Panjang
Pulau Derawan
Gusung Kulimis
Pulau Samama
Pulau Maratua
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
74
dibandingkan dengan hasil penelitian Kuriandewa (1997) yang sebesar 15,23
g BK m-2.
Nilai biomassa lamun yang ada di gusung Kulimis berkisar antara 2,64
g BK m-2 – 16,75 g BK m-2 (abg) dan 5,29 g BK m-2 – 36,4 g BK m-2 (blg) dengan
total biomassa sebesar 9,16 g BK m-2 (abg) – 21,85 g BK m-2 (blg). Biomassa
lamun di Pulau Samama relatif rendah antara 1,18 – 9,99 g BK m-2 (abg) dan
1,76 – 12,93 g BK m-2 (blg) dengan total biomass sebesar 22,33 g BK m-2 (abg)
dan 24,68 g BK m-2 (blg). Pulau Maratua merupakan lokasi paling subur akan
vegetasi lamun jika dibandingkan dengan seluruh lokasi penelitian di
Kepulauan Derawan. Pulau ini memiliki kisaran biomassa sebesar 4,41 – 37,91
g BK m-2 (abg) dan 77,58 – 120,78 g BK m-2 (blg). Nilai total biomassa lamun
yang dimiliki hingga mencapai 56,42 g BK m-2 (abg) dan 198,36 g BK m-2 (blg).
Berdasarkan konversi antara biomassa dan hasil analisis karbon
lamun maka diperoleh nilai karbon lamun baik di atas substrat (abg) dan di
bawah substrat (blg) dengan satuan gC m-2. Pembagian karbon stok pada
ekosistem lamun yang dianalisis berdasarkan spesies nilai tertinggi adalah
jenis T. hemprichii (TH) di pulau Panjang dan di pulau Maratua (Tabel 8).
Tabel 8. Nilai total berat karbon pada masing-masing jenis lamun
Jenis
Total Carbon (gC m-2)
Pulau
Panjang
Pulau
Derawan
Gusung
Kulimis
Pulau
Semama
Pulau
Maratua
abg blg Abg blg abg Blg abg blg abg blg
CS 0.39 1.35
CR
HO 9.12 9.72 0.59 0.30 0.89 1.77 4.21 4.43 1.48
HM
HU 10.58 20.03 9.75 39.57 0.63 0.63 4.73 25.99
SI 3.71 6.64 5.61 7.97 2.11 2.11
TH 20.41 38.79 2.66 12.11 0.39 12.70 40.46
Tingginya nilai biomassa TH lebih disebabkan lamun jenis ini termasuk
lamun berukuran besar dengan struktur biomassa yang terbentuk lebih padat
dibandingkan jenis lainnya. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan jenis
yang sama di Tanjung Lesung, Banten sebesar 3,91 gC m-2 (Rustam et al, 2014)
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
75
dan di Ratatotok, Minahasa Tenggara sebesar 10,11 gC m-2 (Rustam et al,
2014).
Tabel 9. Nilai total karbon pada setiap lokasi pengamatan
Lokasi
Stasiun
Total
Biomass (g DW m-2)
Total
Carbon (g C m-2)
abg Blg abg blg
P.Panjang 1 43.49 51.72 13.81 15.83
2 23.51 74.05 7.54 21.36
3 15.87 15.87 5.38 5.30
6 53.78 111.08 17.47 34.05
Total 136.65 252.72 44.20 76.52
Mean 34.16 63.18 11.05 19.13
P. Derawan 8 11.46 39.67 3.84 13.29
9 7.05 44.96 2.36 15.06
10 12.34 34.38 4.13 11.52
Total 30.86 119.01 10.34 39.87
Mean 10.29 39.67 3.45 13.29
Gusung Kulimis 7 27.33 65.24 9.16 21.85
P. Samama 4 12.34 11.75 3.98 3.75
5 9.99 12.93 3.37 3.42
Total 22.33 24.68 7.35 7.17
Mean 16.55 29.97 5.50 9.68
P. Maratua 11 14.11 77.58 4.73 25.99
12 42.32 120.78 14.18 40.46
Total 56.42 198.36 18.90 66.45
Mean 28.21 99.18 9.45 33.22
Thalassia hemprichii memiliki simpanan karbon di atas substrat dan di
bawah substrat paling tinggi dibandingkan jenis lamun lainnya di Kepulauan
Derawan. Nilainya berkisar antara 20,41 gC m-2 (abg) dan 38,79 gC m-2 (blg)
yang berada di Pulau Panjang dan Thalassia hemprichii yang berada di Pulau
Maratua memiliki simpanan karbon sebesar 12,70 gC m-2 (abg) dan 40,46 gC
m-2 (blg) (Tabel 9). Tingginya biomass dan kandungan karbon di spesies
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
76
T. hemprichii ini disebabkan oleh morfologi spesies ini yang lebih besar
dibandingkan dengan spesies-spesies lain yang diidentifikasi di lokasi ini.
Pulau Panjang memiliki total karbon tertinggi yang diperoleh dari
empat stasiun yaitu berkisar 44,20 gC m-2 (abg) dan 76,52 gC m-2 (blg). Pulau
Maratua juga memiliki nilai total karbon yang relatif tinggi sebesar 18,90 gC
m-2 (abg) dan 66,45 gC m-2 (blg) yang diperoleh dari dua stasiun. Nilai
biomassa dan karbon di Pulau Maratua masih sangat mungkin bertambah
besar karena bila dilihat dari biomassa di bawah substrat merupakan nilai
tertinggi yang didapati di Kepulauan Derawan.
Rekomendasi
1. Luasan padang lamun di pulau-pulau kecil di Kepulauan Derawan adalah
sebesar 5959 ha.
2. Secara keseluruhan berdasarkan hasil penelitian biomassa ekosistem
lamun menunjukkan bahwa nilai total biomassa lamun dibawah substrat
(below ground biomass) lebih tinggi dibandingkan dengan diatas substrat
(above ground biomass) dengan kandungan karbon per biomass kering
antara 28,29 – 37,43 %. Rata-rata biomass bagian bawah berkisar : 11.75
– 120.78 g DW m-2 dan bagian atas 7.05 – 53.78 g DW m-2
3. Karbon stok di bagian bawah dan atas berturut-turut : 3.42 – 40.46 g C m-
2dan 2.29 – 17.47 g C m-2.
4. T. hemprichii memiliki biomass dan karbon stok yang paling tinggi. Hal ini
disebabkan oleh morfologi T. hemprichii yang lebih besar dibandingkan
dengan spesies lain yang ditemukan.
5. Pulau Panjang dan Pulau Maratua memiliki biomassa dan karbon lamun
yang cukup besar sehingga berpotensi memiliki laju produksi atau
produktivitas yang besar pula.
Daftar Pustaka
Brander, L.M., Florax, R.J.G.M. and Vermaat, J.E. 2006. The empirics of
wetland valuation: A comprehensive summary and a meta-analysis of
the literature. Environmental and Resource Economics 33: 223–250.
Online at: http://www. environmentalexpert.com/Files%5C6063%
5Carticles%5C9162%5C1.pdf
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
77
Burke, L., Selig, E. and Spalding, M. 2002. Reefs at Risk in Southeast Asia.
World Resources Institute (WRI), Washington, DC. Online at:
http://www.wri.org/ publication/reefs-risk-southeast-asia
Cesar, H.J.S., Burke, L., and Pet-Soede, L. 2003. The Economics of Worldwide
Coral Reef Degradation. Cesar Environmental Economics
Consulting, Arnhem, and WWF-Netherlands, Zeist, The
Netherlands. 23pp. Online at: http://assets.panda.org/downloads/
cesardegradationreport100203.pdf
Fourqurean, J.W., C. M. Duarte., H. Kennedy., N. Marba., M. Holmer., M. A.
Mateo., E. T. Apostolaki., G. A. Kendrick., D. K. Jensen., K. J.
McGlathery and O. Serrano. 2012. Seagrass ecosystems as a
globally significant carbon stock. Nature Geoscience 5, 505–509.
doi:10.1038/ngeo1477
Fortes,M.D. 1990. Seagrasses: A resource Unknown in The ASEAN Region,
ICLARM, Manila Philippines. 46 hal
Hairiah, K. S.M, Sitompul., M.V. Noordwijk dan Cheryl.P. 2001. Metthods for
Sampling Carbon Carbon Stocks Above and Below Ground.
International Center for Research in Agroforestry
Hairiah, K. dan Rahayu, S. 2007. Pengukuran ‘Karbon Tersimpan’ di Berbagai
Macam Penggunaan Lahan. World Agroforestry Centre. ICRAF, SEA
Regional Office, University of Brawijaya, Indonesia.
Kuriandewa, T. E. 1997. Distribusi dan Zonasi Lamun di Daerah Padang Lamun
Wilayah Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur. Prosiding Seminar
Kelautan LIPI – Unhas Ke-1. ISBN : 979-95178-1-8. Hal: 59 – 70.
McKenzie, L. J., Campbell, S. J., & Roder, C. A. 2001. Seagrass-watch: Manual
for Mapping and Monitoring Seagrass Resources by Community
(Citizen) Volunteers. (QFS NFC, Cairns). 100 pp.
Oei JLS, Kendrick GA, van Niel KP, Affendi YA. 2011. Knowledge gaps in
tropical Southeast Asian seagrass systems. East Coast Shelf Sci
92(1):118-131
Rustam, A., T.L, Kepel., R.N.A.Ati., H.L, Salim., M.A Kusumaningtyas., A.
Daulat., P. Mangindaan., N. Sudirman., Y.Puspitaningsih R.,
D.Dwiyanti.S., A Hutahaean. 2014. Peran Ekosistem Lamun sebagai
Blue Carbon dalam Mitigasi Perubahan Iklim, Studi Kasus Tanjung
Lesung, Banten. J segara Vol 10 No 2 Desember 2014: 107-117.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
78
Rustam, A., T.L, Kepel., M.A Kusumaningtyas., R.N.A.Ati A. Daulat., A
Hutahaean., P. Mangindaan. 2014. Potensi Blue Carbon Lamun di
Teluk Ratatotok, Minahasa tenggara, Sulawesi Utara. Proses
review.
Saputro, G. B.,A.B. S.M. Arsjad, D. M. Yuwono, D. Suhendra, S. Hartini. 2005.
Inventarisasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Pesisir dan
Laut Kepulauan Derawan. Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut
Bakosurtanal. Penyunting : Suwahyuono.
Short, F.T., McKenzie, L.J., Coles, R.G., Vidler, K.P., Gaeckle, J.L. 2006.
SeagrassNet Manual for Scientific Monitoring of Seagrass Habitat,
Worldwide edition. University of New Hampshire Publication. 75
pp.
Supriyadi, I. H. 2012. Pemetaan Padang Lamun di Perairan Teluk Toli-Toli dan
Pulau Sekitarnya, Sulawesi Barat. Oseanologi dan Limnologi di
Indonesia 36 (2): 147-164. ISSN 0125-9830.
Sutaryo, D. 2009. Penghitungan Biomassa Sebagai Pengantar untuk Studi
Karbon dan Perdagangan Karbon. Wetlands International
Indonesia Programme.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
79
Kualitas Air di Perairan Teluk Saleh, Kabupaten Sumbawa
Berdasarkan Baku Mutu Lingkungan Hidup
Yulius, M. Ramdhan, H. L. Salim, Devi D. Suryono, D. Purbani, dan A. Heriati Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang KP
Abstrak
Teluk mempunyai peranan yang sangat penting baik ditinjau dari segi ekologis
maupun ekonomis. Ketersediaan informasi mengenai karakteristik suatu
perairan sangatlah diperlukan dalam hal pengelolaan daerah teluk secara
komprehensif. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 13 – 19 April 2014 di
perairan Teluk Saleh, Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas air Teluk Saleh
berdasarkan baku mutu lingkungan hidup. Pengambilan sampel kualitas air
dilakukan di 20 stasiun pengamatan yang ditetapkan secara purposive.
Parameter yang diukur yaitu kekeruhan, salinitas, DO, pH, amoniak (NH3),
nitrat (NO3-), nitrit (NO2
-), dan fosfat (PO43-). Pengukuran parameter in-situ
kekeruhan, suhu, salinitas, DO, pH menggunakan alat multiparamater WQC-
24 TOA-DKK, sedangkan untuk parameter amoniak (NH3), nitrat (NO3-), nitrit
(NO2-), dan fosfat (PO4
3-) sampel air dibawa untuk dianalisis di laboratorium.
Selanjutnya analisis data semua parameter dilakukan secara deskriptif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi parameter kualitas air yang
diamati masih memenuhi baku mutu yang ditetapkan berdasarkan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 Lampiran III,
kecuali nilai konsentrasi parameter nitrat dan fosfat yaitu rata-rata sebesar
2,615 mg/L dan 0.20 mg/L yang berada di atas baku mutu yaitu Nitrat 0,008
mg/L dan fosfat 0,015mg/L.
Kata Kunci : Kualitas air, Teluk Saleh, baku mutu lingkungan hidup
Pendahuluan Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah
peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya
alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Sebagai wilayah peralihan
darat dan laut yang memiliki keunikan ekosistem, dunia memiliki kepedulian
terhadap wilayah ini khususnya di bidang lingkungan dalam konteks
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
80
pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Satu hal yang lebih
memprihatinkan adalah, bahwa kecenderungan kerusakan lingkungan pesisir
dan lautan lebih disebabkan paradigma dan praktek pembangunan yang
selama ini diterapkan belum sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) (Bengen, 2001).
Kabupaten Sumbawa sebagai salah satu daerah dari sepuluh
kabupaten/kota yang berada di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat,
terletak pada posisi 116° 42' sampai dengan 118° 22' Bujur Timur (BT) dan 8°
8' sampai dengan 9° 7' Lintang Selatan (LS) serta memiliki luas wilayah
10.475,7 Km2 meliputi luas daratan 6.643,98 Km2 dan luas perairan laut
3.831,72 Km2 (kewenangan kabupaten) dengan panjang pantai ± 982 Km dan
luas perairan laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 74.000 Km2.
Kabupaten Sumbawa memiliki 24 Kecamatan terdiri 158 desa (575 dusun)
dan 8 kelurahan dengan jumlah kecamatan yang memiliki wilayah pesisir
yaitu berjumlah 18 kecamatan dan terdiri dari 63 desa pesisir (Anonim, 2013).
Kabupaten yang lebih dikenal dengan moto Sabalong Samalewa ini
memiliki batasan wilayah sebagai berikut :
Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kabupaten Sumbawa Barat
Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kabupaten Dompu
Sebelah Utara : Berbatasan dengan Laut Flores
Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Samudera Indonesia
Teluk adalah estuaria tertutup yang memiliki peran strategis sebagai
salah satu sumberdaya ekologi dan layanan lingkungan. Pemantauan
parameter fisika-kimia air laut di daerah teluk diperlukan untuk memantau
kondisi lingkungannya. Teluk Saleh terletak di Pulau Sumbawa di antara
Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Dompu, Propinsi Nusa Tenggara Barat
(NTB), pada posisi 117° - 118° BT dan 8,8° - 8,1° LS, merupakan perairan semi
tertutup dan berhubungan langsung dengan laut flores. Perairan ini
merupakan fishing ground bagi nelayan tradisional yang bermukim di
Sumbawa Besar dan sekitarnya serta berfungsi sebagai lahan budidaya
rumput laut dan kerang mutiara (Anonim, 2004b).
Perairan Teluk Saleh, NTB, memiliki sumberdaya alam pesisir dan laut
yang beraneka ragam, sehingga untuk masa yang akan datang merupakan
sumber ekonomi baru bagi pertumbuhan pembangunan di propinsi NTB
(Radjawane, 2006). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
81
kualitas air teluk Saleh berdasarkan baku mutu lingkungan hidup yang
ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51
Tahun 2004 Lampiran III.
Pengukuran kualitas perairan
Metode penelitian yang digunakan dalam mengumpulkan data dan
informasi terkait dengan kegiatan penelitian ini adalah metode survei, yaitu
metode pengumpulan data dan informasi dari lapangan dengan
menggunakan metode tertentu yang spesifik sesuai karakteristik objek survei
itu sendiri (effendi, 2003).
Metode pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling
yang diharapkan dapat mewakili lokasi penelitian. Pengukuran yang dilakukan
meliputi pengukuran kualitas perairan secara in situ dengan alat
multiparameter WQC-24. Ada 20 titik stasiun pengukuran kualitas perairan di
lokasi studi. Data yang di dapat dianalisa secara deskriptif dan analisa dengan
menggunakan software MS Excel.
Gambar 1. Lokasi penelitian Teluk Saleh
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
82
Gambar 1 menunjukkan bahwa total terdapat 20 titik stasiun
pengukuran kualitas perairan. Parameter yang terukur dengan alat
multiparameter ini berjumlah 4 parameter. Parameter tersebut adalah pH,
turbiditas atau kekeruhan, salinitas dan dissolved oxygen (DO), yang diukur
pada kedalaman permukaan yaitu 0.2 -0.8 meter. Analisis data dilakukan
secara deskriptif dengan MS Excell 2007 untuk dapat menggambarkan kondisi
eksisting kualitas perairan (Rustam et.al, 2014). Parameter kualitas perairan
yang diamati dalam survei lapangan terdiri dari : fisik perairan; turbiditas dan
salinitas. Kimia Perairan; pH air, DO, Nitrat, Nitrit, Fosfat dan Amoniak.
Data kualitas air dapat dijadikan sebagai data pendukung yang dapat
merefleksikan keadaan suatu ekosistem, memberikan informasi tentang
adanya jenis atau sumber polutan. Adapun cara kerja di lapangan bagi
pengambilan sampel air untuk pengukuran senyawa nitrit, nitrat, fosfat dan
amoniak menggunakan wadah yang terbuat dari bahan poliethilen, sedangkan
untuk oksigen digunakan wadah gelas. Alat yang digunakan untuk
pengambilan sampel parameter/senyawa tertentu dirangkum dalam Tabel 1
berikut ini.
Tabel 1. Parameter Lingkungan Perairan dan Peralatan
Parameter Alat Ukur dan Alat yang Digunakan
Kekeruhan (turbiditas) multiparameter WQC-24
Salinitas Refraktometer
pH pH Meter
dissolved oxygen (DO) DO Meter
Nitrat, Nitrit, Fosfat, Amoniak Poliethilen
Hasil statistik deskriptif yang dilakukan pada Teluk Saleh Kabupaten
Sumbawa, NTB dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
83
Tabel 2. Hasil statistik deskriptif yang dilakukan pada Teluk Saleh
Kabupaten Sumbawa, NTB bulan April 2014 (data in situ
dan laboratorium)
a.
NO2-
NO3 PO4-P NH3
-
Nitrit Nitrat Fosfat Amoniak
SL1 16 April 2014/ 14.28 5.79 0 30.4 8.17 <0.001 2.4 0.24 0.08 S. Labu Tunu
SL2 16 April 2014/ 14.10 6.07 0.5 30.4 8.19 0.001 4.9 0.65 0.14 S. Bera
SL3 16 April 2014/ 13.30 5.9 0.6 30.3 8.2 <0.001 2.5 0.09 0.09 S. Nangagali
SL4 16 April 2014/ 13.52 5.96 0.6 30.3 8.17 <0.001 2.3 0.16 0.08 S. Bera
SL5 16 April 2014/ 13.10 5.84 0.9 30.2 8.17 0.022 2.4 0.24 0.12 S. Kecil (tidak diketahui)
SL7 15 April 2014/ 14.19 5.88 0 30.3 8.35 0.003 2.3 0.11 0.13 S. Peturin Jarang
SL8 15 April 2014/ 13.38 5.97 9.4 30.2 8.31 <0.001 2.7 0.15 0.12 S. Nyarinying
SL9 15 April 2014/ 13.16 5.85 5 30.1 8.28 <0.001 2.6 0.07 0.09 S. Labuan Bontong / Garam
SL10 15 April 2014/ 12.05 5.22 0.8 29.7 8.28 <0.001 2.3 0.13 0.1 S. Nangaloang
SL11 15 April 2014/ 15.16 6.13 0 30.2 8.32 <0.001 3.8 0.29 0.09 Laut
SL12 15 April 2014/ 14.40 6.03 0 30.2 8.27 <0.001 2.6 0.61 0.11 Laut
SL13 16 April 2014/ 12.47 5.86 0 30.4 8.19 <0.001 2.1 0.21 0.08 Laut
SL14 16 April 2014/ 14.54 5.92 0 30.4 8.19 0.003 2.1 0.27 0.03 Laut
SL15 16 April 2014/ 15.14 5.92 0 30.4 8.22 20,001 2 0.18 0.15 Laut
SL16 16 April 2014/ 12.05 5.83 0 30.4 8.21 <0.001 2.1 0.34 0.1 Laut
SL17 16 April 2014/ 10.45 5.97 0 30.2 8.21 <0.001 1.1 0.09 0.05 Laut
SL18 16 April 2014/ 11.32 5.92 0 30.4 8.19 0.003 3.1 0.05 0.09 Laut
SL20 15 April 2014/ 11.40 6.18 0 29.7 8.3 0.002 3 0.03 0.08 Muara S. Tanong
SL21 15 April 2014/ 12.10 6.22 0 30.2 8.28 0.003 3.4 0.07 0.06 Laut
SL22 16 April 2014/ 09.44 5.88 0 30.2 8.31 <0.001 2.6 0.04 0.07 S. Maja
SalinitasKekeruhanDOStasiun KeteranganTanggal/Jam pH
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
84
Kualitas perairan fisika
Parameter kualitas perairan fisika meliputi 2 paremeter yaitu
turbiditas dan salinitas.
Kekeruhan (Turbiditas)
Hasil pengukuran kekeruhan (Turbiditas) di lokasi penelitian berkisar
antara 0-9,4 NTU (Gambar 2), pada umumnya masih memenuhi baku mutu
yang ditetapkan yaitu <5 NTU (Anonim, 2004a), kecuali di stasiun SL8 dan SL9.
Kekeruhan tertinggi terdapat di stasiun SL8 dengan nilai kekeruhan 9,4 NTU.
Kekeruhan suatu perairan berpengaruh pada kemampuan meneruskan sinar
matahari yang berperan dalam proses fotosintesis di perairan. Semakin
banyak material tersuspensi yang menimbulkan kekeruhan, maka akan
mengurangi kemampuan untuk meneruskan cahaya matahari yang berakibat
pada terganggunya proses fotosintesis di suatu perairan.
Gambar 2. Distribusi turbiditas (NTU) di perairan Teluk Saleh,
NTB bulan April 2014
Salinitas
Nilai salinitas menggambarkan kadar garam yang terlarut dalam air
laut. Hasil pengukuran salinitas di lokasi penelitian berkisar antara 29,7-
30,4‰ (Gambar 3). Nilai ini lebih rendah dari yang di dapatkan Anonim
(2004b) rata-rata 32,77 ‰. Nilai salinitas terendah terdapat di stasiun SL10
dan SL20 yang merupakan muara sungai, sehingga nilainya lebih rendah dari
stasiun lainnya. Nilai salinitas di muara sungai sangat dipengaruhi oleh
masukan dari wilayah darat yang terbawa oleh aliran sungai dan pola arus.
0
2
4
6
8
10
NIL
AI
(NTU
)
LOKASI
TURBIDITY
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
85
Gambar 3. Distribusi salinitas (‰) di perairan Teluk Saleh, NTB bulan April
2014
Kualitas perairan kimia
Parameter kualitas perairan kimia meliputi 6 paremeter yaitu DO, pH,
Amoniak, Nitrat, Nitrit, dan Fosfat.
Oksigen terlarut atau dissolved oxygen (DO)
Oksigen terlarut atau dissolved oxygen (DO) sangat dibutuhkan oleh
organisme di perairan baik untuk proses metabolisme maupun proses
respirasi. Nilai konsentrasi DO hasil pengukuran di lokasi penelitian berkisar
antara 5,22-6,22 mg/l (Gambar 4), dan nilai ini masih berada di kisaran baku
mutu yang ditetapkan yang dapat menunjang kehidupan biota laut, yaitu
lebih dari 5 mg/l (Anonim, 2004a).
Gambar 4. Distribusi DO (mg/L) di perairan Teluk Saleh, NTB bulan April 2014
29
29.5
30
30.5
SL1
A
SL3
A
SL5
A
SL7
A
SL9
A
SL1
1A
SL1
3A
SL1
5A
SL1
7A
SL1
9
SL2
1A
NIL
AI
LOKASI
SALINITAS
0
2
4
6
8
SL1
A
SL3
A
SL5
A
SL7
A
SL9
A
SL1
1A
SL1
3A
SL1
5A
SL1
7A
SL1
9
SL2
1A
KO
NSE
NTR
ASI
(M
G/L
)
LOKASI
KONSENTRASI DO
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
86
Derajat keasaman (pH)
Anonim (2004b) menyatakan nilai pH umumnya di kawasan Teluk
Saleh rata-rata 8.0. Nilai pH masih sangat baik, nilai pH menggambarkan
derajat keasaman perairan. Hasil pengukuran pH di lokasi penelitian berkisar
antara 8,17-8,35 (Gambar 5), nilai ini masih berada di kisaran baku mutu yang
ditetapkan yang menunjang kehidupan biota laut yaitu 7-8,5 (Anonim.
2004a). Nilai pH tertinggi berada di lokasi stasiun SL7.
Gambar 5. Distribusi pH di perairan Teluk Saleh, NTB bulan April 2014
NH3 (Amonia)
Berdasarkan hasil analisis kualitas air, konsentrasi parameter amonia
(NH3) berfluktuatif, namun pada umumnya konsentrasi di semua lokasi
pengamatan masih di bawah baku mutu yang ditetapkan berdasarkan
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 yaitu 0,3 mg/l
(Anonim, 2004a). Hasil pengukuran NH3 di lokasi penelitian berkisar antara
0,03 mg/l - 0,15 mg/l (Gambar 6). Konsentrasi NH3 tertinggi terdapat di
stasiun SL15 dengan konsentrasi 0,15 mg/l, dan konsentrasi terendah
terdapat di stasiun SL14 dengan nilai konsentrasi 0,03 mg/l. Amonia di
perairan bersumber dari proses dekomposisi bahan organik yang terdapat di
perairan tersebut, selain itu ikan juga menghasilkan NH3 dari proses
metabolismenya.
8.05
8.1
8.15
8.2
8.25
8.3
8.35
NIL
AI
LOKASI
pH
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
87
Gambar 6. Distribusi NH3 (mg/L) di perairan Teluk Saleh, NTB bulan April
2014
NO3- (Nitrat)
Hasil pengukuran NO3- di lokasi penelitian berkisar antara 1,1 mg/l -
4,9 mg/l (Gambar 7). Konsentrasi NO3- di semua lokasi pengamatan pada
umumnya telah melampaui baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,008 mg/l
(Anonim, 2004a). Konsentrasi tertinggi di stasiun SL2 dengan konsentrasi
sebesar 4,9 mg/l, sedangkan konsentrasi terendah terdapat di stasiun SL17
dengan nilai konsentrasi 1,1 mg/l. Tingginya konsentrasi NO3- dapat
disebabkan karena aktivitas di sekitar perairan di lokasi penelitian, seperti
kegiatan permukiman penduduk, industri, pertanian, dan lain-lain. Nitrat
adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien
utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat sangat mudah larut
dalam air dan bersifat stabil. Kadar nitrat lebih dari 5 mg/liter
menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal dari
aktivitas manusia dan feses hewan. Kadar nitrat yang melebihi 0,2 mg/liter
dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi, yang selanjutnya dapat
menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming).
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3K
ON
SEN
TRA
SI
LOKASI
KONSENTRASI NH3
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
88
Gambar 7. Distribusi NO3
- (mg/L) di perairan Teluk Saleh, NTB bulan April
2014
NO2- (Nitrit)
Konsentrasi nitrit (NO2-) di lokasi penelitian berkisar antara <0,001-
20,001 mg/l (Gambar 8). Konsentrasi tertinggi terdapat di stasiun SL15
dengan nilai konsentrasi 20,001 mg/l. Nitrit merupakan ion yang tidak stabil
dan merupakan bentuk peralihan NH3 dan NO3-. Tingginya konsentrasi NO2
-
pada stasiun SL15 dapat disebabkan karena rendahnya konsentrasi oksigen di
sekitar perairan tersebut, sehingga reaksi yang terjadi adalah reaksi
denitrifikasi. Rendahnya konsentrasi oksigen mengindikasikan terjadinya
penurunan kualitas perairan di sekitar wilayah tersebut. Konsentrasi
parameter NO3-, NO2
-, dan NH3 sangat berhubungan dan sangat ditentukan
oleh konsentrasi oksigen. Pada konsentrasi oksigen rendah, maka akan terjadi
reaksi denitrifikasi, sedangkan pada konsentrasi oksigen yang cukup yang
terjadi adalah reaksi nitrifikasi.
N organik + O2 NH3-N + O2 NO2-N + O2 NO3-N
amonifikasi nitrifikasi
00.5
11.5
22.5
33.5
44.5
5K
ON
SEN
TRA
SI (
MG
/L)
LOKASI
KONSENTRASI NO3-
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
89
Gambar 8. Distribusi NO2
- (mg/L) di perairan Teluk Saleh, NTB bulan April
2014
PO43- (Fosfat)
Senyawa fosfat dalam perairan berasal daari sumber alami seperti
erosi tanah, buangan dari hewan dan pelapukan tumbuhan, dan dari laut
sendiri. Peningkatan kadar fosfat dalam air laut, akan menyebabkan
terjadinya ledakan populasi (blooming) fitoplankton yang akhirnya dapat
menyebabkan kematian ikan secara massal. Batas optimum fosfat untuk
pertumbuhan plankton adalah 0,27 – 5,51 mg/L (Hutagalung et al, 1997).
Hasil pengukuran PO43- di lokasi penelitian berkisar antara 0,03 mg/l - 0,65
mg/l (Gambar 9). Konsentrasi fosfat (PO43-) di semua lokasi penelitian pada
umumnya telah melampaui baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,015 mg/l
(Anonim, 2004a). Konsentrasi tertinggi terdapat di stasiun SL2 dengan nilai
konsentrasi 0,65 mg/l, sedangkan konsentrasi terendah terdapat di stasiun
SL20 dengan nilai konsentrasi 0,03 mg/l. Tingginya konsentrasi PO43- dapat
disebabkan karena proses dekomposisi bahan organik di perairan sebagai
sumber alami, dan dapat bersumber dari limbah industri dan domestik
sebagai sumber antropogenik. Limpasan dari daerah pertanian yang
menggunakan pupuk juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi
keberadaan PO43-.
0
5000
10000
15000
20000
25000K
ON
SEN
TRA
SI (
MG
/L)
LOKASI
KONSENTRASI NO2-
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
90
Gambar 9. Distribusi PO4
3- (mg/L) di perairan Teluk Saleh, NTB bulan April
2014
Rekomendasi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi parameter kualitas
air yang diamati masih memenuhi baku mutu yang ditetapkan berdasarkan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 Lampiran III,
kecuali nilai konsentrasi parameter; (a) konsentrasi fosfat (PO43-) di semua
lokasi penelitian pada umumnya telah melampaui baku mutu yang
ditetapkan yaitu 0,015mg/L, konsentrasi tertinggi terdapat di stasiun SL2
dengan nilai konsentrasi 0,65 mg/l, sedangkan konsentrasi terendah terdapat
di stasiun SL20 dengan nilai konsentrasi 0,03 mg/l dan (b) konsentrasi nitrat
NO3- di semua lokasi pengamatan pada umumnya telah melampaui baku
mutu yang ditetapkan yaitu 0,008 mg/L, konsentrasi tertinggi di stasiun SL2
dengan konsentrasi sebesar 4,9 mg/l, sedangkan konsentrasi terendah
terdapat di stasiun SL17 dengan nilai konsentrasi 1,1 mg/l.
Daftar Pustaka
Anonim. 2013. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
Kabupaten Sumbawa. Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Direktorat
Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta.
Anonim. 2004a. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51
Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut.
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7K
ON
SEN
TRA
SI (
MG
/L)
LOKASI
KONSENTRASI PO43-
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
91
http://hukum.unsrat.ac.id/men/menlh_51_2004.pdf, diakses tanggal
02 Juli 2014.
Anonim. 2004b. Daya Dukung Kelautan dan Perikanan Selat Sunda, Teluk
Tomini, Teluk Saleh dan Teluk Ekas. Badan Riset Kelautan dan
Perikanan. Jakarta. 122 hlm.
Bengen, D.G. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu,
Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Makalah pada Sosialisasi
Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat. Bogor, 21-22
September 2001.
Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air, Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan, Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Hutagalung, Horas P, Deddy S., dan Hadi R., 1997. Metode Analisis Air Laut,
Sedimen, dan Biota. Jakarta : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Radjawane, I.M, 2006. Sirkulasi Arus Vertikal Di Perairan Teluk Saleh
Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Segara, Vol 2 (1): 10-15.
Ramdhan, M. 2012. Kriteria Penentuan Teluk Menurut United Nation
Conventions on the LAW of the SEA – Studi Kasus Wilayah Bungus Teluk
Kabung Kota Padang. Jurnal Ilmiah Geomatika: 18(2):37-46.
Rustam A., Yulius, M. Ramdhan, Salim H. L., Purbani, D., dan Arifin T., 2014.
Analisis Kualitas Perairan Kaitannya Dengan Keberlanjutan Ekosistem
Untuk Kawasan budidaya perikanan Di Kawasan Pulau Wangi-Wangi,
Kabupaten Wakatobi. Prosiding PIT ISOI-X, Ikatan Sarjana Oseanologi
Indonesia. Jakarta. 91-104.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
92
Lampiran 1
Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
93
Catatan:
1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang
digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan)
2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang
telah ada, baik internasional maupun nasional.
3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat
(siang, malam dan musim).
4. Pengamatan oleh manusia (visual ).
5. Pengamatan oleh manusia (visual ). Lapisan minyak yang diacu
adalah lapisan tipis (thin layer ) dengan ketebalan 0,01mm
6. Tidak bloom adalah tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang
dapat menyebabkan eutrofikasi. Pertumbuhan plankton yang
berlebihan dipengaruhi oleh nutrien, cahaya, suhu, kecepatan arus,
dan kestabilan plankton itu sendiri.
7. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal
a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10%
kedalaman euphotic
b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10%
konsentrasi rata2 musiman
c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2oC dari suhu
alami
d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH
e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas
rata-rata musiman
f. Berbagai jenis pestisida seperti: DDT, Endrin, Endosulfan dan
Heptachlor
g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10%
konsentrasi rata-rata musiman
Ringkasan Buku Ekonomi Biru Sumberdaya Laut dan Pesisir ini merupakan edisi perdana dari buku Seri Pengetahuan Sumberdaya Laut dan Pesisir yang ditulis oleh tim kelompok peneliti dari Pusat Penelitian Sumberdaya Laut dan Pesisir (P3SDLP), Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Dalam usahanya menerapkan prinsip ekonomi biru dibidang kelautan dan perikanan, P3SLDP berusaha memberikan gambaran umum yang dapat memberikan inspirasi bagi masyarakat sehingga pembangunan kelautan dan perikanan di Indonesia dapat lebih terarah dan tepat sasaran.
Dalam buku ini dijelaskan beberapa hasil penelitian diantaranya mengenai pengelolaan sumberdaya kelautan secara maksimal dan menjadi lebih kreatif di bidang industri sesuai prinsip ekonomi biru yang sedang gencar diterapkan sejak tahun 2012. Dan hasil penelitian kondisi ekologi padang lamun dalam kapasitasnya untuk menyerap dan menyimpan karbon, sebagai lanjutan dari studi Karbon Biru Kepulauan Derawan tahun 2012.
Di bidang industri, secara detail dijelaskan mengenai teknologi pemurnian garam tradisional menjadi garam meja sesuai standar Indonesia oleh Ifan, dkk. Adapula penjelasan cara pengelolaan ikan tuna, tongkol dan cakalang yang berpotensi dikembangkan secara kreatif untuk meningkatkan daya jual tinggi disampaikan oleh Aida, dkk.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Komplek Bina Samudera Jl. Pasir Putih II Lantai 4, Ancol Timur, Jakarta Utara 14430 – DKI Jakarta. www.p3sdlp.litbang.kkp.go.id Telp. : (021) 64700755 / Fax. : (021) 64711654, Email : [email protected]
ISBN 978-602-9086-40-9
e-ISBN 978-602-9086-41-6