HUBUNGAN EARLY CHILDHOOD CARIES (ECC) DENGAN ASUPAN MAKANAN DAN STATUS GIZI ANAK USIA 3-5 TAHUN RELATIONSHIP OF EARLY CHILDHOOD CARIES (ECC) AND FOOD INTAKE AND NUTRITION STATUS OF 3 – 5 YEARS OLD CHILDREN Asrianti 1 , Burhanuddin Bahar 2 , A. Zulkifli Abdullah 2 1 Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Enrekang, Enrekang 2 Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar Alamat Korespondensi: Asrianti Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Enrekang Enrekang, 91762 HP: 085255502626 Email: [email protected]
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
HUBUNGAN EARLY CHILDHOOD CARIES (ECC) DENGAN ASUPAN MAKANAN DAN STATUS GIZI ANAK USIA 3-5 TAHUN
RELATIONSHIP OF EARLY CHILDHOOD CARIES (ECC) AND FOOD INTAKE AND NUTRITION STATUS OF 3 – 5 YEARS OLD CHILDREN
Asrianti1, Burhanuddin Bahar2, A. Zulkifli Abdullah2
1Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Enrekang, Enrekang 2Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar
Alamat Korespondensi:
Asrianti Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Enrekang Enrekang, 91762 HP: 085255502626 Email: [email protected]
Abstrak
Karies gigi merupakan masalah utama kesehatan gigi dan mulut di dunia karena merupakan sumber fokal infeksi sehingga menyebabkan keluhan rasa sakit yang dapat mempengaruhi asupan gizi sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan mempengaruhi status gizi anak yang berimplikasi pada kualitas sumber daya. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya hubungan ECC dengan asupan makanan dan status gizi anak usia 3-5 tahun. Penelitian ini menggunakan metode observasional analitik dengan desain cross sectional. Sampel yang diambil adalah anak yang berusia 3-5 tahun sebanyak 191 orang yang memenuhi kriteria inklusi. Pengambilan sampel dilakukan secara cluster random. Pengumpulan data dilakukan melalui pemeriksaan gigi, pengukuran berat badan dan tinggi badan anak dan wawancara langsung dengan responden menggunakan kuesioner dan FFQ semi kuantitatif. Data dianalisis dengan analisis statistik melalui tabulasi silang dilanjutkan dengan uji chi square dan uji t independent Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan signifikan antara karies dengan asupan energi (p=0,112, p>0,05), ada hubungan signifikan antara karies dengan asupan protein (p=0,042, p<0,05), ada hubungan signifikan antara karies dengan status gizi (p=0,000, p<0,05), dan ada hubungan signifikan antara asupan energi dan protein dengan status gizi (p=0,000, p=0,000, p<0,05). Disimpulkan bahwa terdapat hubungan ECC dengan asupan makanan dan status gizi anak usia 3-5 tahun. Perlu adanya upaya kesehatan gigi di posyandu dan edukasi gizi baik pada balita maupun orang tuanya dalam rangka peningkatan derajat kesehatan anak balita.
Kata kunci: ECC, Status gizi, Asupan makanan
Abstract Dental caries is the main problem of oral health in the world because it is a source of focal infection causing pain complaints that may affect nutrition intake, resulting growth interference and affects the nutrition status of children has implications for the quality of the resources. The research aimed at proving the existence of the relationship of ECC and the food intake and nutrition status of 3-5 years old children. The research was conducted on 191 samples of 3-5 years old children who fulfilled the inclusive criterion. The research used an analytic observational method with the cross sectional design. The samples were taken by the cluster random sampling technique. Data collection was carried out by the children’s teeth examination, body weight and height measurement, and direct interview with the respondents using a questionnaire and semi-quantitative FFQ. The data were analysed using a statistic analysis through a crosstabulation, it was then continued with the Chi-quare test and t-independent test. The research result indicate that there is no significant relationship between the caries and energy intake (p=0.112, p>0.05), there is the significant relationship between the caries and the protein intake (p=0.042, p<0.05), there is the significant relationship between the caries and the nutrition status (p=0.000, p<0.05), and there is the significant relationship between the energy intake, protein and the nutrition status (p=0.000, p=0.000, p<0,05). Concluded that there is the relationship between the ECC and the food intake and the nutrition status of 3-5 years old children. Need for efforts in the dental health and nutrition education at Posyandu both children and their parents in order to improve the health status of children under five.
Keywords: ECC, nutrition status, food intake.
PENDAHULUAN
Masalah gizi disebabkan oleh banyak faktor yang saling terkait baik secara langsung
maupun tidak langsung. Secara langsung dipengaruhi oleh penyakit infeksi dan tidak cukupnya
asupan gizi secara kuantitas maupun kualitas, sedangkan secara tidak langsung dipengaruhi oleh
jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan, pola asuh anak yang kurang memadai, kurang
baiknya kondisi sanitasi lingkungan serta rendahnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga
(Azwar, 2004).
Karies pada gigi sulung atau Early childhood caries (ECC) adalah suatu penyakit
kronis pada anak yang paling umum, menggambarkan masalah kesehatan masyarakat yang
mempengaruhi bayi dan anak-anak prasekolah di seluruh dunia terutama masyarakat yang
kurang beruntung baik di negara berkembang dan negara industri ( Al-Haddad et al., 2006;
Feldens, 2010; Ruhaya et al., 2012; Mohammadi et al., 2012). Karies gigi dapat mengenai siapa
saja tanpa memandang usia dan jika dibiarkan berlanjut akan merupakan sumber fokal infeksi di
dalam mulut sehingga menyebabkan keluhan rasa sakit. Kondisi ini tentu saja akan
mempengaruhi asupan gizi sehingga dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan yang pada
gilirannya akan mempengaruhi status gizi anak yang berimplikasi pada kualitas sumber daya
(Siagian, 2008).
Sebanyak 28% anak-anak usia 2-6 tahun di Amerika Serikat mengalami karies dan
prevalensinya meningkat 15% selama dekade terakhir (Hong et al., 2008). Prevalensi karies
gigi terus-menerus meningkat dengan perubahan kebiasaan diet masyarakat dan meningkatnya
konsumsi gula (Khan et al., 2008; Saini et al., 2003). Insiden karies gigi meningkat meskipun
telah dilakukan upaya terbaik oleh para profesional kesehatan gigi untuk mengurangi kejadian
karies gigi (Gokhale et al.,2010). Menurut data Riskesdas 2007, Prevalensi nasional karies aktif
sebesar 43,4%. Indeks DMF-T secara nasional sebesar 4,85, ini berarti rata-rata kerusakan gigi
pada penduduk Indonesia lima buah gigi per orang (Depkes RI, 2008). Menurut hasil penelitian
Thioritz (2010), Prevalensi karies gigi pada murid TK di Kecamatan Rappocini Kota Makassar
sebesar 100%. Besarnya dan keparahan karies gigi pada gigi sulung dan permanen menjadi
masalah utama dan harus mendapat perhatian khusus (Bagramian et al., 2009).
Hasil Penelitian sebelumnya telah menunjukkan terdapat kontroversi mengenai
hubungan negatif antara karies gigi dan status gizi (Al-Haddad et al., 2006). Terdapat perbedaan
hubungan antara status karies dan overweight pada anak-anak dengan kelompok usia yang
berbeda. Satu penelitian menemukan anak-anak overweight lebih berisiko karies pada gigi
sulung dibanding anak-anak dengan berat badan normal (Marshall et al., 2007). Sebaliknya,
penelitian oleh NHANES III pada anak-anak muda menunjukkan status overweight terkait
dengan penurunan laju karies pada anak usia 12-18 tahun (Kopyka-Kedzierawski et al, 2007;
Narksawat et al.,2009). Hasil penelitian di Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar
menunjukkan status gizi terkait dengan keparahan karies gigi, anak-anak dengan karies berat
mempunyai asupan energi yang lebih rendah (Junaidi dkk., 2007).
ECC bukan hanya mempengaruhi gigi, tetapi konsekuensi penyakit ini juga dapat
menyebabkan masalah kesehatan yang lebih luas. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Kawashita (2011), menemukan bahwa bayi yang mengalami ECC pertumbuhannya lebih lambat
dibandingkan dengaan bayi yang bebas karies. Anak-anak dengan ECC dapat menjadi sangat
kurus karena terkait dengan rasa nyeri dan keterbatasan untuk makan (Kawashita, 2011). Studi
populasi yang meneliti hubungan karies gigi dengan asupan makanan dan status gizi belum
pernah dilakukan di Kabupaten Enrekang. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti
hubungan ECC dengan asupan makanan dan status gizi pada anak usia 3-5 tahun di
Kabupaten Enrekang. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya hubungan ECC
dengan asupan makanan dan status gizi Anak usia 3-5 tahun di Kabupaten Enrekang.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Posyandu yang ada di wilayah kerja Puskesmas Kota
Kecamatan Enrekang, Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan. Pemilihan lokasi penelitian
dengan pertimbangan kecamatan Enrekang merupakan salah satu wilayah pedesaan dimana
prevalensi ECC diperkirakan cukup tinggi dan akses peneliti ke daerah tersebut lebih mudah.
Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan desain cross sectional.
Populasi dan sampel
Populasi adalah semua anak usia 3-5 tahun yang bertempat tinggal di wilayah
Kecamatan Enrekang Kabupaten Enrekang. Responden adalah ibu dari anak yang menjadi
sampel. Pengambilan sampel dilakukan secara cluster random sebanyak 191 anak yang
memenuhi kriteria inklusi yaitu berumur 3-5 tahun, Ibu memberi izin anaknya untuk diperiksa,
tidak menderita sakit seperti demam atau diare dalam tiga bulan terakhir dan ibu bersedia
diwawancarai dan mengisi kuisioner dengan menandatangani informed consent. Prosedur
penelitian telah disetujui oleh Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Metode pengumpulan data
ECC ditetapkan melalui pemeriksaan gigi anak oleh dokter gigi menggunakan kaca mulut
datar dan bantuan senter. Tingkat keparahan karies dinilai dengan skor indeks def-t menurut
WHO (Pine, 1997). Pengumpulan data dilakukan oleh petugas puskesmas terlatih dan
menggunakan kuesioner yang telah diujicobakan sebelumnya. Umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan orang tua, riwayat kunjungan ke dokter gigi, kebiasaan menyikat gigi, dan riwayat
pemberian ASI diperoleh melalui wawancara dengan responden. Status gizi ditetapkan melalui
pengukuran tinggi badan dan berat badan anak. Berat badan diukur dengan menggunakan
timbangan injak dengan ketelitian 0,1 kg, tinggi badan diukur dengan microtoise dengan
ketelitian 0,1 cm. Hasil pengukuran tersebut nantinya akan dikonversikan terhadap standar WHO
2005 (Kemenkes RI, 2011).
Asupan makanan diperoleh dengan metode food frequency Quetionaire (FFQ) semi
kuantitatif (Nabella, 2011). Wawancara dilakukan pada responden menggunakan kuesioner yang
berisi daftar makanan yang telah diujicobakan sebelumnya dan alat bantu berupa foto gambar
makanan beserta ukuran porsi standar.
Analisis data
Data asupan makanan dikonversi ke dalam jumlah asupan energi dan protein
menggunakan program nutrisurvey selanjutnya dibandingkan dengan angka kecukupan energi
dan protein rata-rata yang dianjurkan untuk masing-masing subyek. Data yang terkumpul
selanjutnya dilakukan editing, koding, dan entry data, kemudian dilakukan analisis data dengan
menggunakan analisis statistik melalui tabulasi silang dilanjutkan dengan uji chi square dan uji t
independent. Nilai p dianggap bermakna apabila p < 0,05 dengan interval kepercayaan 95%.
HASIL
Karakteristik sampel
Tabel 1 menunjukkan bahwa usia sampel lebih banyak pada usia 48-60 bulan (61,3%)
dibanding usia 36-47 bulan (38,7%), menurut jenis kelamin, sampel lebih banyak perempuan
(54,5%) dibandingkan laki-laki (45,5%). Tingkat pendidikan ayah terbanyak pada tingkat
SMP/SMU (57,6%) dan terendah pada tingkat SD (13,6%), demikian juga tingkat pendidikan
ibu terbanyak pada tingkat SMP/SMU (56,0%) dan terendah pada tingkat SD (14,7%). Anak
yang dibawa memeriksakan giginya ke dokter gigi lebih dari enam bulan yang lalu lebih banyak
(94,8%) dibanding yang dibawa memeriksakan gigi kurang dari enam bulan yang lalu (5,2%).
Berdasarkan riwayat frekuensi menyikat gigi, sebagian besar balita menyikat giginya sama atau
lebih dari dua kali dalam sehari (95,3%) dan hanya sebahagian kecil yang menyikat gigi kurang
dari dua kali dalam sehari (4,7%). Berdasarkan Riwayat ASI, lebih banyak balita yang mendapat
ASI eksklusive (54,5%) dibanding yang tidak mendapat ASI eksklusive (45,5%) dan lamanya
pemberian ASI terbanyak pada enam bulan sampai satu tahun (33,0%) dan terendah pada lebih
dari dua tahun (5.8%)
Analisis Bivariate
Tabel 2 menunjukkan bahwa pada tingkat keparahan karies tinggi, lebih banyak anak
dengan asupan energi kurang (31,0%) dibanding pada tingkat keparahan karies rendah (20,9%),
namun dari hasil uji chi square menunjukkan tidak signifikan (p>0,05).
Tabel 3 menunjukkan bahwa pada tingkat keparahan karies tinggi, lebih banyak anak
yang memiliki asupan protein kurang (16,6%) dibanding pada tingkat keparahan karies rendah
(6,6%). Hasil uji chi square menunjukkan hubungan signifikan (p<0,05).
Tabel 4 menunjukkan bahwa pada tingkat keparahan karies tinggi, lebih banyak anak
yang kurus (30,0%) dibanding pada tingkat keparahan karies rendah (3,3%). Hasil uji chi square
menunjukkan hubungan signifikan (p<0,05). Selanjutnya pada tabel 5 menunjukkan bahwa rerata
IMT pada tingkat keparahan karies rendah lebih tinggi dibanding rerata IMT pada tingkat
keparahan karies tinggi (masing-masing 15,2498 kg/m2 dan 14,4191 kg/m2), hasil uji t
independent menunjukkan hubungan signifikan (p<0,05).
PEMBAHASAN
Penelitian ini menemukan adanya hubungan signifikan antara ECC dengan status gizi.
Hubungan ini tampaknya terkait dengan hubungan antara ECC dengan asupan makan. Anak
dengan tingkat keparahan karies tinggi cenderung mempunyai asupan energi dan protein kurang
dari 80% angka kecukupan gizi yang dianjurkan dan hal ini mempengaruhi status gizi.
Kurangnya konsumsi energi dan protein pada anak dengan tingkat keparahan karies
tinggi sangat mungkin berkaitan dengan penurunan kemampuan daya kunyah anak yang
mengalami karies karena bagian gigi yang berfungsi untuk memotong dan menggiling makanan
telah berkurang, sehingga menurunkan kemampuan oklusi (Junaidi dkk., 2007). Menurut
Setiawan (2003), Proses penghancuran makanan membutuhkan kekuatan atau daya kunyah
tertentu sesuai dengan bentuk dan jenis makanan. Seseorang dengan alat pengunyahan yang
tidak baik akan memilih makanan sesuai dengan kekuatan kunyahnya sehingga anak yang
mengalami karies gigi tidak dapat mengonsumsi beraneka ragam makanan .
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Benzian et al.
(2011), hasil survey menunjukkan hubungan signifikan antara karies dan IMT khususnya
hubungan antara infeksi gigi dan IMT di bawah normal. Jika karies tidak dirawat, akan berlanjut
ke dalam pulpa gigi dan ada tiga kemungkinan jalur utama untuk hubungan ini: 1) rasa nyeri dan
ketidaknyamanan menyebabkan berkurangnya asupan makanan; 2) menurunnya kualitas hidup
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak melalui terbatasnya aktifitas, kurang
tidur, menurunnya konsentrasi dan lain-lain; dan 3) Infeksi gigi akan menyebabkan pelepasan
cytokine yang dapat mempengaruhi pertumbuhan (Benzian et al., 2011).
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan pendapat Clarke et al. (2006), bayi dengan ECC
memiliki tahap pertumbuhan yang lebih rendah dibanding bayi bebas karies. Anak-anak dengan
ECC dapat menjadi sangat underweight karena kaitannya dengan rasa nyeri dan kesulitan makan.
Selain itu ECC juga terkait dengan defisiensi zat besi.
Hal yang sama juga menurut hasil penelitian oleh Ruhaya et al. (2012) di Kelantan
Malaysia, Penelitian tentang hubungan antara status gizi dan ECC pada anak prasekolah
menemukan bahwa indeks massa tubuh yang rendah terkait dengan karies. Karies gigi dapat
menimbulkan kesulitan makan pada anak karena karies gigi menyebabkan penurunan fungsi gigi
sebagai alat cerna. Seperti yang diungkapkan oleh Widyaningsih dalam Junaidi (2007),
kesulitan makan pada anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu : faktor nutrisi, penyakit
dan psikologis. Faktor penyakit antara lain adanya kelainan pada gigi geligi dan rongga mulut
seperti karies gigi, stomatitis dan gingivitis.
Berbeda dengan hasil penelitian ini, Costa et al. (2013) yang meneliti ECC dan indeks
massa tubuh pada anak-anak di Brazil menemukan tidak ada hubungan antara IMT dengan karies
gigi, penghasilan keluarga yang lebih tinggi terkait dengan rendahnya pengalaman karies pada
anak-anak.
Hasil yang berbeda juga dilaporkan oleh Chen et al. dalam Ruhaya et al. (2012), tidak
ada hubungan yang signifikan dalam skor dmf anak usia tiga tahun dengan BMI mereka.
Kemungkinan bahwa anak-anak usia tiga tahun belum memiliki cukup waktu untuk
perkembangan karies secara penuh sebagaimana dibandingkan dengan anak-anak usia enam
tahun. Harus dicatat bahwa karies adalah penyakit yang berkembang secara lambat dan
membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk berkembang dari white spot awal menjadi lubang
pada gigi yang mempengaruhi dentin.
Demikian pula dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gokhale (2010) di Nellore
India, yang meneliti hubungan antara IMT dan ECC pada 100 sampel anak-anak menemukan
bahwa IMT tidak berkorelasi dengan dmft, bahkan setelah disesuaikan dengan faktor
confounding. Banyak faktor lain yang berperan dalam proses karies dan dibutuhkan studi
longitudinal dengan sampel yang lebih besar untuk mengkonfirmasi hubungan ini.
Pada penelitian ini, karies lebih banyak pada kelompok anak usia 48-60 bulan dibanding
kelompok 36-47 bulan. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Suwelo (1992)
bahwa sejalan dengan pertambahan usia seseorang, jumlah karies pun akan bertambah. Hal ini
jelas, karena faktor risiko terjadinya karies akan lebih lama berpengaruh terhadap gigi. (Suwelo,
1992). Pada usia 5 tahun keatas anak mulai memakan makanan yang dilarang dan pada masa
tersebut anak paling banyak menderita karies gigi kemungkinan karena pola makan yang
kurang teratur dan ketidaktahuan menjaga kesehatan gigi sehingga dapat menyebabkan
terjadinya karies gigi (Ghofar, 2012).
Pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa karies lebih banyak pada anak perempuan
dibanding anak laki-laki. Hal ini sesuai dengan pendapat Suwelo (1992) bahwa prevalensi karies
gigi susu anak perempuan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki, karena gigi
anak perempuan berada lebih lama dalam mulut. Akibatnya gigi anak perempuan akan lebih
lama berhubungan dengan faktor resiko terjadinya karies.
Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi status kesehatan seseorang, karena semakin
tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin tinggi pula tingkat pengetahuan dan kesadaran
untuk menjaga kesehatan (Suwelo, 1992). Tingkat pendidikan orang tua telah menunjukkan
berkorelasi dengan kejadian dan keparahan ECC pada anak-anaknya (Zafar, 2009).
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat untuk memeriksakan
gigi anaknya ke dokter gigi minimal enam bulan sekali masih kurang namun sebagian besar anak
telah memiliki frekuensi menyikat gigi sama atau lebih dari dua kali sehari. Memeriksakan gigi
anak secara rutin minimal dua kali dalam setahun dan menjaga kebersihan mulut sangat penting
untuk mencegah terjadinya karies gigi (Chu, 2005; Hale et al., 2008; Kawashita et al., 2011).
Memberikan ASI pada bayi memiliki banyak keuntungan, diantaranya memberikan gizi
yang optimal bagi bayi, perlindungan imunologi dan meminimalkan dampak ekonomi untuk
keluarga. Meskipun praktek yang baik, ada bukti yang bertentangan mengenai menyusui dalam
hal kesehatan gigi. Rupanya menyusui berkepanjangan membawa risiko perkembangan karies
gigi atau Nursing caries (Bowen et al., 2005). Beberapa penelitian epidemiologis tentang
manfaat menyusui bagi kesehatan, menyusui terkait dengan tingkat karies gigi yang lebih
rendah. Oleh karena itu Organisasi kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan bahwa anak-anak
disusui sampai usia 24 bulan (Zafar et al., 2009).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kami menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara early childhood caries (ECC)
dengan asupan makanan dan status gizi anak usia 3-5 tahun. Oleh karena itu perlu dilakukan
upaya kesehatan gigi di Posyandu dan edukasi gizi baik pada anak maupun orang tuanya dalam
rangka meningkatkan derajat kesehatan anak.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Haddad A.M., Bin Gouth A.S. and Hassan H.S. (2006). Distribution of Dental Caries among Primary School Children in Al-Mukalla Area, Yemen. Journal of Dentistry, Tehran University of Medical Sciences. 3(4): 195-8.
Azwar A. (2004). Kecenderungan Masalah Gizi dan Tantangan di Masa Depan. http://gizi.depkes.go.id. Diakses Pada 30 Januari 2013.
Bagramian R.A., Franklin G.G. and Volpe A.R. (2009). The Global Increase in Dental caries. A pending Public Health Crisis. American Journal Of Dentistry. 21(1):3-8
Benzian H., Monse B., Heinrich-Weltzien R., Hobdell M., Mulder J. et al. (2011). Untreated Severe Dental Decay: A Neglected Determinant of Low Body Mass Index in 12 year- Old Filipino Children BMC Public Health. 11 : 558.
Bowen W.H. and Lawrence R.A. (2005). Comparison of the Cariogenicity of Cola, Honey, Cow Milk, Human Milk, and Sucrose. Pediatrics. 116: 921-926.
Chu S. (2006). Review - Early childhood caries: risk and prevention in underserved populations. Jyi. 18: 1-8.
Clarke M., Locker D., Berall G., Pencharz P., Kenny D.J, and Judd P. (2006). Malnourishment in a population of young children with severe early childhood caries. Pediatric Dentistry. 28 (3): 254–259.
Costa L.R.., Daher A and Queiroz M.G. (2013). Early Childhood Caries and Body Mass Index in Young Children from Low Income Families. Int. J. Environ. Res. Public Health 10: 867-878.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Laporan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Jakarta.
Feldens C.A., Giugliani E.R.J., Duncan B.B., Drachler M.L., Vı´tolo M.R., et al. (2010). Long-term Effectiveness of A Nutritional Program in Reducing Early Chilhood Caries: A Randomized Trial. Community Dentistry and Oral Epidemiology, 38(4):324-332.
Ghofar A. dan Firmansyah A. (2012). Hubungan Gigi Karies Terhadap Status Gizi Anak Tk Muslimat 7 Peterongan Jombang. Jurnal Edu Health. September 2(2): 1-7.
Gokhale N., Sivakumar N., Nirmala S.V.S.G., and Abinash M. (2010). Dental Caries and Body Mass Index in Children of Nellore. J Orofac Sci. 2:2.
Hale K.J., Weiss P.A., Czerepak C.S., Thomas H.F., Keels, M ann, et al. (2008). Policy Statement. Preventive Oral Health Intervention For Pediatricians. American Academy Of Pediatrics. Section On Pediatric Dentistry And Oral Health. 122 (6): 1397.
Hong L., Ahmed A., McCunniff M., Overman P., Mathew M. (2008). Obesity and Dental Caries in Children aged 2- 6 Years in the United States- National Health and Nutrition Examination Survey 1999-2002. J Public Health Dent. 4:227-33.
Junaidi, Julia M. dan Hendratini J. (2007). Hubungan Keparahan Karies Gigi dengan Konsumsi Zat Gizi dan Status Gizi Anak Sekolah Dasar di Kecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Gizi Klinik Indonesia. 4(2): 92-96.
Kawashita Y., Kitamura M. and Saito T. (2011). Early Childhood Caries. International Journal of Dentistry. 2011: 7
Kementerian Kesehatan RI. (2011). Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1995/Menkes/SK/XII/2010 Tentang Standar Antropometri penilaian status gizi anak. Direktorat Bina Gizi. Jakarta.
Khan A.A, Jain S.K. and Shrivastay A. (2008). Prevalence Of Dental Caries Among The Population Of Gwalior (India) In Relation Of Different Associated Factors. European Journal of Dentistry . 2: 81-5.
Kopycka-Kedzierawski D.T., Auinger P., Billings R.J. and Weitzman M. (2007). Caries status and overweight in 2- to 18- year-old US children: findings from national surveys. Community Dent Oral Epidemiol. 36: 157-67.
Marshall T.A., Eichenberger-Gilmore J.M., Broffitt B.A., Warren J.J. and Levy S.M. (2007). Dental caries and childhood obesity: roles of diet and socioeconomic status. Community Dent Oral Epidemiol.
Mohammadi T.M., Hossienian Z. and Bakhteyar M. (2012). The Association of Body Mass Index With Dental Caries In An Iranian Sample of Children. J Oral Health Oral Epidemiol. 1(1): 29-35.
Nabella H. (2011). Hubungan Asupan protein dengan kadar ureum dan kreatinin pada Bodybuilder (Artikel penelitian) Semarang: Universitas Diponegoro.
Narksawat K., Tonmukayakul U. and Boonthum A. (2009). Association Between Nutritional Status And Dental Caries In Permanent Dentition Among Primary Schoolchildren Aged 12-14 Years, Thailand. Southeast Asian J Trop Med Public Health, 40(2):338-44.
Pine C.M. (1997). Community Oral Health. Great Britain. Wright. Ruhaya H., Jaafar N., Jamaluddin M., Ismail A.R., Ismail N.M. et.al. (2012). Nutritional status
and early childhood caries among preschool children in Pasir Mas, Kelantan, Malaysia. Arch Orofac Sci . 7(2): 7 pages.
Saini S., Aparna, Gupta N., Mahajan A. and Arora D.R. (2003). Microbial flora in orodental infections. Indian J Med Microbiol. 21:111-114.
Setiawan B. (2003). Pengaruh sudut tonjol gigi artifisial posterior terhadap perubahan partikel makanan (Tesis). Yogyakarta: UGM.
Siagian A. (2008). Hubungan Kebiasaan Makan dan Pemeliharaan Kesehatan Gigi dengan Karies Gigi Pada Anak SD 060935 di Jalan Pintu Air II Simpang Gudang Kota Medan. Info Kesehatan Masyarakat. XII (2): 106-185.
Suwelo IS. (1992).Karies gigi pada anak dengan pelbagai faktor etiologi, Jakarta: EGC. Thioritz, E. (2010). Pengaruh Faktor Sosial-Ekonomi Terhadap Status Karies Pada murid taman
kanak-kanak Kecamatan Rappocini. Media Kesehatan Gigi. Ed. 1. Zafar S., Harnekar S.Y. and Siddiqi A. (2009). Early Childhood Caries: Etiology, Clinical
Considerations, Consequences and Management. International Dentistry Sa. 11(4): 24-36.
Tabel 1. Distribusi karakteristik sampel berdasarkan umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan orang tua dan riwayat ASI
Variabel n %
Umur 36-47 bln 48-60 bln
74 117
38,7 61,3
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
87 104
45,5 54,5
Pendidikan Ayah SD SMP/SMU Perguruan Tinggi
26 110 55
13,6 57,6 28,8
Pendidikan Ibu SD SMP/SMU Perguruan Tinggi
28 107 56
14,7 56,0 29,3
Riwayat Kunjungan ke drg ≤ 6 bulan yang lalu ˃ 6bulan yang lalu
10 181
5,2
94,8 Frekuensi Menyikat gigi ≥ 2 kali sehari < 2 kali sehari
182 9
95,3 4,7
Riwayat ASI Eksklusive Ya Tidak
104 87
54,5 45,5
Lamanya pemberian ASI < 6 bulan 6 bulan – 1 Tahun ˃ 1 Tahun – 2 Tahun ˃ 2 Tahun
61 63 56 11
31,9 33,0 29,3 5,8
Total 191 100,0
Tabel 2. Hubungan karies dengan asupan energi
Tingkat keparahan Karies
Kategori Asupan Energi Total p Kurang Cukup n % n % n %
0,112 Tinggi 31 31,0 69 69,0 100 100,0 Rendah 19 20,9 72 79,1 91 100,0 Total 50 26,2 141 73,8 191 100,0
Tabel 3. Hubungan karies dengan asupan protein
Tingkat keparahan Karies
Kategori Asupan Protein Total p
Kurang Cukup n % n % n %
0,042 Tinggi 16 16,0 84 84,0 100 100,0 Rendah 6 6,6 85 93,4 91 100,0 Total 22 11,5 169 88,5 191 100,0
Tabel 4. Hubungan karies dengan status gizi
Tingkat keparahan Karies
Kategori Status Gizi Total p Kurus Normal n % n % n %
0,000 Tinggi 30 30,0 70 70,0 100 100,0 Rendah 3 3,3 88 96,7 91 100,0 Total 33 17,3 158 82,7 191 100,0
Tabel 5. Perbedaan rerata IMT berdasarkan tingkat keparahan karies