Page 1
Etika Profesi Kedokteran
Febryn Prisiliya Paliyama / 10.2009.242
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jln. Terusan Arjuna no. 6, Jakarta 11510
Email : [email protected]
Pendahuluan
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya suatu sikap
dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian baik-
buruk dan benar-salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang
cukup banyak jumlahnya. Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa: “seorang dokter
harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi
tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya
sebagai seorang profesi dokter harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum dan
agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa
mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakan
dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia.
Masalah yang paling sering menjadi pokok sengketa adalah kelemahan komunikasi antara
dokter dengan pasien atau antara rumah sakit dengan pasien, baik dalam bentuk
komunikasi sehari-hari yang diharapkan mempererat hubungan antar manusia maupun
dalam bentuk pemberian informasi sebelum dilakukannya tindakan dan sesudah terjadinya
risiko atau komplikasi. Para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur dan standar
pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum. Pelanggaran standar profesi dapat
dinilai sebagai pelanggaran terhadap etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum. Oleh
sebab itu, setiap dokter diharapkan untuk dapat menjalankan pelayanannya dengan
berpedoman pada prinsip etik kedokteran dan ketentuan hukum yang berlaku.
Skenario kasus
Seorang pasien bayi dibawa orang tuanya datang ke tempat praktek dokter A,seorang
dokter anak.ibu pasien bercerita bahwa ia adalah pasien seorang dokter obygn B sewaktu
melahirkan dan anaknya dirawat oleh dokter anak C. baik dokter B maupun C tidak pernah
Page 2
mengatakan bahwa anaknya menderita penyakit atau cedera sewaktu lahir dan dirawat
disana.10 hari pasca lahir orangtua bayi menemukan benjolan di pundak kanan bayi.
Setelah diperiksa oleh dokter anak A dan pemeriksaan radiologi sebagai
penunjangnya,pasien dnyatakan menderita fraktur klavikula kanan yang sudah berebntuk
kalus.kepada dokter A mereka meminta kepastian apakah benar terjadi patah tulan
klavikula,dan kapan kira kira terjadinya,bila benar patah tulang tersebut terjadi sewaktu
kelahiran maka akan menuntut dokter B karena telah mengakibatkan patah tulang dan
dokter C karena lali tidak dapat mediagnosisinya.mereka juga menduga bahwa dokter C
kurang kompeten sehingga sebaiknya ia merwat anaknya kedokter A saja.dokter A
berpikir apa yang sebaiknya ia katakan.
Prinsip Prinsip Etika Kedokteran
Bioetik atau Biomedicalethics adalah etik yang berhubungan dengan praktek kedokteran
dan atau penelitian di bidang biomedis. Beberapa contoh pertanyaan di dalam bioetika
adalah :
- Apakah seorang dokter berkewajiban secara moral untuk memberitahukan kepada
seorang yang berada dalam stadium terminal bahwa ia sedang sekarat?
- Apakah membuka rahasia kedokteran dapat dibenarkan secara moral?
- Apakah aborsi ataupun euthanasia dapat dibenarkan secara moral?
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu
sikap dan perbuatan seseorang atau institusi dilihat dari moralnya. Penilaian baik buruknya
dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang cukup banyak
jumlahnya. Terdapat 2 teori etika yang paling banyak dianut orang adalah teori
deontoloogi dan teleologi. Deontologi mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan
harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri. Sedangkan teleologi mengajarkan untuk
menilai baik buruknya tindakan dengan melihat hasil atau akibatnya. Deontologi lebih
mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi dan budaya. Sedangkan teleologi mendasarkan
pada penalaran dan pembenaran kepada azas manfaat.1
Empat kaidah dasar moral untuk mencapai suatu keputusan etik :
a. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang
ditunjukan kepada kebaikan pasien. Dokter harus mengusahakan agar pasien yang
2Etika Profesi Kedokteran
Page 3
dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya. Pengertian berbuat baik di sini adalah
bersikap ramah atau menolong, lebih dari sekedar memenuhi kewajibannya.1
Tindakan konkrit dari beneficience meliputi:
Mengutamakan altruisme (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk
kepentingan orang lain)
Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
Memandang pasien/keluarga/sesuatu tidak hanya sejauh menguntungkan dokter
Mengusahakan agar kebaikan/manfaatnya lebih banyak dibandingkan dengan
keburukannya
Paternalisme bertanggung jawab/berkasih sayang
Menjamin kehidupan baik
Pembatasan “goal based”
Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan / preferensi pasien
Minimalisasi akibat buruk
Kewajiban menolong pasien gawat darurat
Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
Tidak menarik honorarium di luar kepantasan
Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan
Mengembangkan profesi secara terus-menerus
Memberikan obat berkhasiat namun murah
Menerapkan Golden Rule Principle, dimana kita harus memperlakukan orang lain
seperti kita ingin diperlakukan oleh orang lain
b. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai ‘primum non nocere’ atau
‘do no harm’. Tindakan konkrit dari non-maleficence meliputi:1
Menolong pasien emergensi
Kondisi untuk menggambarkan criteria ini adalah:
Mengobati pasien yang luka
Tidak membunuh pasien (tidak melakukan euthanasia)
Tidak menghina/mencaci maki/memanfaatkan pasien
Tidak memandang pasien hanya sebagai objek
Mengobati secara tidak proporsional
Mencegah pasien dari bahaya
Menghindari misinterpretasi dari pasien
3Etika Profesi Kedokteran
Page 4
Tidak membahayakan kehidupan pasien karena kelalaian
Memberiksan semangat hidup
Melindungi pasien dari serangan
Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan/ kerumah-sakitan
yang merugikan pihak pasien/ keluarganya
c. Prinsip autonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien (the rights
to self determinations). Maksudnya tiap individu harus diperlakukan sebagai makhluk
hidup yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasibnya sendiri).1
Tindakan konkrit dari autonomi meliputi:
Menghargai hak menentukan nasibnya sendiri
Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (pada kondisi elektif)
Berterus terang
Menghargai privasi
Menjaga rahasi pasien
Menghargai rasionalitas pasien
Melaksanakan informed consent
Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri
Tidak mengintervensi atau menghalangi autonomi pasien
Mencegah pihak lain ,emgintervensi pasien dalam membuat keputusan, termasuk
keluarga pasien sendiri
Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non emergensi
Tidak berbohong kepada pasien meskipun demi kebaikan pasien
Menjaga hubungan
d. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
mendistribusikan sumber daya (distributive justice). Maksudnya adalah
memperlakukan semua pasien sama dalam kondisi yang sama.1
Tindakan konkrit yang termasuk justice meliputi:
Memberlakukan segala sesuatu secara universal
Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan
Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama
Menghargai hak sehat pasien (affordability, equality, accessibility, availability,
quality)
Menghargai hak hukum pasien
Menghargai hak orang lain
4Etika Profesi Kedokteran
Page 5
Menjaga kelompok yang rentan (yang paling merugikan)
Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status social, dll
Tidak melakukan penyalahgunaan
Memberikan kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien
Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya
Kewajiban mendistribusi keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi) secara
adil
Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten
Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alasan sah/tepat
Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan kesehatan
Bijak dalam makroalokasi
Etika Klinis
Jonsen, Siegler dan Winslade (2002) mengembangkan teori etik yang menggunakan 4
topik yang esensial dalam pelayanan klinik, yaitu :
1. Medical Indication
Dalam topik medical indication dimasukkan semua prosedur diagnostik dan terapi
yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. Penilaian
aspek indikasi medis ini ditinjau dari sisi etiknya, terutama menggunakan kaidah
beneficence dan nonmaleficence. Pertanyaan etika pada topik ini adalah serupa
dengan seluruh informasi yang selayaknya disampaikan kepada pasien pada
doktrin informed consent2.
2. Patient Preferences
Pada topik patient preferrence kita memperhatikan nilai (value) dan penilaian
pasien tentang manfaat dan beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan
kaidah autonomy. Pertanyaan etiknya meliputi pertanyaan tentang kompetensi
pasien, sifat volunter sikap dan keputusannya, pemahaman atas informasi, siapa
pembuat keputusan bila pasien tidak kompeten, nilai dan keyakinan yang dianut
pasien, dll2.
3. Quality of Life
Topik quality of life merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran, yaitu
memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insani. Apa, siapa dan
bagaimana melakukan penilaian kualitas hidup merupakan pertanyaan etik sekitar
prognosis, yang berkaitan dengan beneficence, nonmaleficence dan autonomy2.
4. Contextual Features
5Etika Profesi Kedokteran
Page 6
Dalam contextual features dibahas pertanyaan etik seputar aspek non medis yang
mempengaruhi keputusan, seperti faktor keluarga, ekonomi, agama, budaya,
kerahasiaan, alokasi sumber daya dan faktor hukum.
Etik dan Disiplin Profesi Dokter
Didalam praktek kedokteran terdapat aspek etik profesi, disiplin profesi dan aspek
hukum yang sangat luas, yang sering tumpang tindih pada suatu issue tertentu, seperti
pada inform consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme dll.
Norma etik profesi, disiplin profesi dan hukum pidana memang dalam satu garis,
dengan etik profesi di satu ujung dan hukum pidana diujung lainnya. Disiplin profesi
terletak diantaranya dan kadang membaur dari ujung ke ujung.. Bahkan didalam praktek
kedokteran, aspek etik profesi dan/atau disiplin profesi sering kali tidak dapat dipisahkan
dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik profesi yang telah diangkat
menjadi norma hukum yang mengandung nilai-nilai etik
Aspek etik profesi yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi
mengakibatkan penilaian perilaku etik profesi seorang dokter yang diadukan tidak dapat
dipisahkan dengan penilaian perilaku disiplin profesinya. Etik profesi yang memiliki
sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi
yang bersifat administratif3.
Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar
prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama
ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan
sikap profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai
pelanggaran etik profesi, disiplin profesi dan juga sekaligus pelanggaran hukum. Selain
Kode Etik Profesi diatas, praktek kedokteran juga berpegang pada prinsip – prinsip moral
kedokteran, prinsip – prinsip moral yang dijadikan arahan dalam menilai baik – buruknya
atau benar salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral.
Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis.
Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan
klinis yang etis dan pedoman dalam melakukan penelitian dibidang medis.
IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian
pelaksanaan etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan cabang,
serta lembaga MKEK (Majelis Kehormatan Etika Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah,
dan cabang.
6Etika Profesi Kedokteran
Page 7
Pada dasarnya suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar “hanya”
akan membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik
profesi dapat dikenai sanksi disiplin profesi, dalam bentu peringatan hingga kebentuk yang
lebih berat seperti kewajiban menjalani pendidikan atau pelatihan tertentu (bila akibat
kurang kompeten) dan pencabutan hak nya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan
oleh MKEK setelah dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar
etik (profesi) kedokteran1,2
Berdasarkan kasus ini hubungannya dengan empat kaedah dasar moral untuk mencapai
keputusan etik adalah:
Prinsip benificience
Sesuai dengan prinsip beneficence yaitu untuk kebaikan pasien, dokter A harus
dapat melakukan pemeriksaan terhadap bayi yang berusia 10 hari tersebut dengan
sebaik-baiknya dan kemudian menjelaskan apa yang terjadi kepada bayi tersebut
kepada orang tuanya sesuai dengan ilmu pengetahuan yang dia miliki, tetapi dalam
hal ini dokter A juga tidak boleh menjelekkan rekan sejawatnya dokter B dan
dokter C.
Dokter juga perlu untuk memberikan pendapatnya kepada orang tua pasien
mengenai hal penuntutan kepada dokter B dan dokter C, dokter A dapat
menanyakan apakah ibu korban yakin bahwa fraktur klavikula pada bayi ibu
tersebut benar terjadi karena kelalaian dokter B dan dokter C, karena bila tidak
yakin tidak menutup kemungkinan ibu korban dapat dituntut kembali oleh dokter B
dan dokter C.
Prinsip non-maleficience
Disini dokter A sebagai seorang dokter anak tentunya tidak terlalu kompeten untuk
menangani kasus fraktur tulang klavikula pada bayi, untuk mengurangi
kemungkinan terjadi tindakan yang dapat merugikan atau melukai pasien
sebaiknya dokter A merujuk pasien ke rumah sakit yang memiliki dokter bedah
tulang yang lebih kompeten di bandingkan dirinya.
Prinsip autonomi
Prinsip otonomi disini tidak dapat dilakukan kepada pasien, karena pasien masih
berusia 10 hari dan belum dapat mengambil keputusannya sendiri, oleh sebab itu
yang dimintai keputusan oleh dokter A adalah ibu atau orang tua korban.
Dokter tentunya harus menjelaskan mengenai fraktur tulang klavikula yang terjadi
pada anaknya, apa tujuan pemeriksaan radiologi yang dilakukan, tindakan-tindakan
7Etika Profesi Kedokteran
Page 8
medis apa yang akan dilakukan pada pasien, dan meminta persetujuan orang tua
korban setelah menjelaskan informasi-infromasi yang jelas mengenai setiap
tindakan kepada orang tua pasien.
Prinsip justice
Dalam kasus ini bila pasien adalah orang yang tidak mampu dokter juga harus
memberikan pelayanan kesehatan sebaik-sebaiknya sama seperti bila ia
menghadapi pasien yang mampu secara ekonomi, dokter juga tidak boleh
membeda-bedakan pasien, semua pasien harus dipandang sama oleh seorang
dokter tanpa memandang status sosial, rasa tau latar belakang pasien.
HUBUNGAN DOKTER-PASIEN
Jenis hubungan dokter –pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi
kedokteran,sebagai konsekuensi dari kewajiban-kewajiban profesi yang memberikan
batasan atau rambu-rambu hubungan tersebut.Kewajiban-kewajiban tersebut tertuang di
dalam prinsip-prinsip moral profesi,yaitu autonomy (menghormati hak-hak
pasien),beneficence (berorientasi kepada kebaikan pasien),non maleficence ( tidak
mencelakakan atau memperburuk keadaan pasien) dan justice ( meniadakan
diskriminasi)nyang disebut sebagai prinsip utama ;dan veracity (kebenaran=truthfull
information),fidelity (kesetiaan),privacy,dan confidentiality (menjaga kerahasiaan) sebagai
prinsip turunannya.4
Pada awalnya hubungan antara dokter pasien adalah hubungan yang bersifat
paternalistic,dengan prinsip moral utama adalah beneficence.Sifat hubungan paternalistiuk
ini kemudian dinilai telah mengabaikan nilai otonomi pasien,dan dianggap tidak sesuai
dengan perkembangan moral (orang barat ) saat ini,sehingga berkembanglah teori
hubungan kontraktual.Konsep ini muncul dengan merujuk kepada teoori social contract di
bidang politik.Vetch mengatakan bahwa dokter dan pasien adalah pihak-pihak yang
bebas,yang meskipun memiliki perbedaan kapasitas dalam membuat keputusan,tetapi
saling menghargai.Dokter akan mengembanm tanggungjawab atas segala keputusan
teknis,sedangkan pasien tetap memgang kendali keputusan penting,terutama yang terkait
dengan nilai moral dan gaya hidup pasien.hubungan kontrak mengharuskan terjadinya
pertukaran informasi dan negosiasi sebelum terjadinya kesepatan,namun juga memberikan
peluang kepada pasien untuk menyerahkan pengambilan keputusan kepada dokter.
Hubungan kontrak semacam ini harus dijaga dengan peraturan perundang-undangan dan
8Etika Profesi Kedokteran
Page 9
mengacu kepada suatu standar atau benchmark tertentu.Oleh karena itu sejak sebelum
Masehi telah ada Code of Hammurabi yang mengancam dengan pidana bagi dokter yang
karena salahnya telah mengakibatkan cedera atau matinya pasiennya,dan Code of Hittites
yang mewajibkan dokter untuk membayar rugi kepada pasiennya yang telah terbukti
dirugikan karena kesalahnnya /kelalaiannya1,4.
Dengan menganngap bahwa teori kontrak telah terlalu menyederhanakan nilai
hubungan dokter dengan pasien,maka Smith dan Newton (1984) lebih memilih hubungan
yang berdasar atas virtue sebagai hubungan yang paling cocok bagi hubungan dokter
pasien .Hubungan kontrak mereduksi hubungan dokter-pasien menjadi “peraturan” dan
“kewajiban” saja,sehingga seorang dokter dianggap baik bila ia telah melakukan
kewajiban dan peraturan.Hubungan kontrak tidak lagi mengindahkan
empathy,compassion,perhatian,keramahan,kemanusiaan,sikap saling mempercayai,itikad
baik,dll yang merupakan bagian dari virtue-based ethics (etika berdasar nilai
kebajikan/keutamaan).Pada hubungan dokter-pasien yang virtue based dirumuskan bahwa
hubungan itu bertumbuh dan berkembang sedemikian rupa sehingga tidak ada satupun
ketentuan yang ditentukan pada permulaan dapat menentukan masa depan.Baik dokter
maupun pasien harus tetap berdialog untuk menjaga berjalannya komunikasi dalam rangka
mencapai tujuan bersama,yaitu kesejahteraan pasien.tentu saja komunikasi yang baik
tersebut membutuhkan prinsip-prinsip moral diatas,termasuk informed consent yang
berasal dari prinsip autonomy.
Kode etik kedokteran Indonesia (KODEKI) terdiri dari 4 kewajiban, yaitu kewajiban
umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap teman sejawat, dan kewajiban
terhadap diri sendiri. KODEKI diatur dalam S.K.P.B. IDI No: 221/PB/A.4/04/2002,
adalah:4
Kewajiban Umum
- Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah
dokter.
- Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai
dengan standar profesi yang tertinggi.
- Pasal 3
9Etika Profesi Kedokteran
Page 10
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.
- Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji
diri.
- Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis
maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah
memperoleh persetujuan pasien.
- Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan
menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji
kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
- Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah
diperiksa sendiri kebenarannya.
- Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan
medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya,
disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat
manusia.
- Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui
memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan
penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien
- Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan
hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
10Etika Profesi Kedokteran
Page 11
- Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
makhluk insani.
- Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan
kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan
kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif),
baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi
masyarakat yang sebenar-benarnya.
- Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan
bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
Kewajiban Dokter Terhadap Pasien
- Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien,
ia wajib menujuk pasien kepada dokten yang mempunyai keahlian dalam
penyakit tersebut.
- Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa
dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan
atau dalam masalah lainnya.
- Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
- Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya.
Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat
11Etika Profesi Kedokteran
Page 12
- Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.
- Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali
dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri
- Pasal 16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan
baik.
- Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran/kesehatan.
Dengan tersusunnya Kode Etik Kedokteran ini berserta dengan prinsip-prinsip
moral dasar dan teori etik klinik, diharapkan dokter-dokter dapat memberikan
pelayanan yang terbaik. Dalam hal seorang dokter melanggar etika kedokteran (tanpa
melanggar norma hukum), maka ia dapat dipanggil dan disidang oleh Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggungjawaban.5
HUBUNGAN KESEJAWATAN
Menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) terdapat 4 kewajiban
seorang dokter dalam menjalani profesinya dan salah satunya itu adalah mengenai
kewajiban terhadap teman sejawat. Pasal-pasal dalam KODEKI yang mengatur mengenai
kewajiban terhadap teman sejawat adalah sebagai berikut: 5
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui
memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi atau yang melakukan
penipuan atau penggelapan dalam menangani pasien.
Seorang dokter harus menghargai hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya dan hak
tenaga kesehatan lainnya dan harus menjaga kepercayaan pasien.
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia ingin
diperlakukan.
12Etika Profesi Kedokteran
Page 13
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali
dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
Hubungan dokter dengan teman sejawatnya telah tertuang dalam KODEKI pasal 14
dan 15, yaitu:5
Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.
Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali
dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis
Rekam Medis 5
makin dipahami bahwa peran rekam medis tidak terbatas pada asumsi yang dikemukakan
diatas, tetapi jauh lebih luas. Oleh karena itu, para tenaga kesehatan masa kini harus
memahami dengan baik hal-hal yang berkaitan dengan rekam medis.
Dalam Undang-undang Kesehatan, walaupun tidak ada bab yang mengatur tentang rekam
medis secara khusus, secara implisit Undang-undang ini jelas membutuhkan adanya rekam
medis yang bermutu sebagai bukti pelaksanaan pelayanan kedokteran/kesehatan
yangberkualitas.
Kewajiban dokter untruk membuat rekam medis dalam pelayanan kesehatan dipertegas
dalam UUPK seperti terdapat pada pasal 46:
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib
membuat rekam medis
(2) Rekam medissebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah
pasien selesai menerimapelayanan kesehatan. Setiap catatan rekam medis harus
dibubuhi nama, waktu, dan tandatangan petugas yang memberikan pelayanan atau
tindakan.
Selanjutnya dalam pasal 79 diingatkan tentang sanksi hukum yang cukup berat, yaitu
denda paling banyak Rp.50.000.000,- bila dokter terbukti sengaja tidak membuat rekam
medis.
Dalam Permenkes No. 749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medis, disebut
pengertian RM adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien,
13Etika Profesi Kedokteran
Page 14
pemeriksaan,pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana
pelayanan kesehatan3,5.
Isi Rekam medis
Di rumah sakit didapat dua jenis RM, yaitu:
- RM untuk pasien rawat jalan
- RM untuk pasien rawat inap,untuk pasien rawat jalan, termasuk pasien gawat
darurat, RM memiliki informasi pasien, antara lain:
a. identitas dan formulir perizinan (lembar hak kuasa)
b. Riwayat penyakit (anamnesis) tentang : keluhan utama, riwayat sekarang, riwayat
penyakit yang pernah diderita,riwayat keluarga tentang penyakit yang mungkin
diturunkan
c. Laporan pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan laboratorium, foto rontgen,
scanning,MRI, dan lain lain.
d. Diagnosis dan/atau diagnosis banding.
Instruksi diagnostik dan terapeutik dengan tanda tangan pejabat kesehatan
yangberwenang.Untuk rawat inap, memuat informasi yang sama dengan yang terdapat
dalam rawat jalan, dengan tambahan :
Persetujuan tindakan medic
Catatan konsultasi
Catatan perawat dan tenaga kesehatan lainnya
Catatan observasi klinik dan hasil pengobatan
Resume akhir dan evaluasi pengobatan.Secara umum kegunaan RM adalah:
1. Sebagai alat komunikasi antara dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang ikut
ambilbagian dalam memberi pelayanan, pengobatan dan perawatan pasien. Dengan
membaca RM, dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang terlibat dalam merawat
pasien (misalnya, pada pasien rawat bersama atau dalam konsultasi) dapat
mengetahui penyakit,perkembangan penyakit, terapi yang diberikan, dan lain-lain
tanpa harus berjumpa satusama lain. Ini tentu merupa-kan sarana komunikasi yang
efisien.
2. Sebagai dasar untuk perencanaan pengobatan/perawatan yang harus diberikan
kepada pasien. Segala instruksi kepada perawat atau komunikasi sesama dokter
ditulis agarrencana pengobatan dan perawatan dapat dilaksanakan.
3. Sebagai bukti tertulis atas segala pelayanan, perkembangan penyakit dan
pengobatanselama pasien berkunjung/dirawat di rumah sakit. Bila suatu waktu
14Etika Profesi Kedokteran
Page 15
diperlukan bukti bahwa pasien pernah dirawat atau jenis pelayanan yang diberikan
serta perkembangan penyakit selama dirawat, tentu data dari RM dapat
mengungkapkan dengan jelas.
4. Sebagai dasar analisis, studi, evaluasi terhadap mutu pelayanan yang diberikan
kepadapasien. Baik buruknya pelayanan yang diberikan tercermin dari catatan
yang ditulis ataudata yang didapati dalam RM. Hal ini tentu dapat dipakai sebagai
bahan studi ataupun evaluasi dari pelayanan yang diberikan.
5. Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit maupun dokter dan
tenaga kesehatan lainnya. Bila timbul permasalahan (tuntutan) dari pasien kepada
dokter maupun rumah sakit, data dan keterangan yang diambil dari RM tentu dapat
diterima semua pihak. Di sinilah akan terungkap aspek hukum dari RM tersebut.
Bila catatan dan data terisi lengkap, RM akan menolong semua yang terlibat.
Sebaliknya, bila catatan yang ada hanya sekedarnya saja, apalagi kosong pasti akan
merugikan dokter dan rumahsakit. Penjelasan yang bagaimanapun baiknya tanpa
bukti tertulis, pasti sulit dipercaya.
6. Menyediakan data-data khusus yang sangat berguna untuk keperluan penelitian
dan pendidikan. Setiap penelitian yang melibatkan data klinik pasien hanya dapat
diper-gunakan bila telah direncanakan terlebih dahulu. Oleh karena itu, RM di
rumah sakit pendidikan biasanya tersusun lebih rinci karena sering digunakan
untuk bahan penelitian.
7. Sebagai dasar di dalam perhitungan biaya pembayaran pelayanan medik pasien.
Bilapasien mau dipulangkan, bagian administrasi keuangan cukup melihat RM,
dan segala biaya yang harus dibayar pasien/keluarga dapat ditentukan.
8. Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan, serta sebagai bahan
pertanggungjawaban dan laporan.Data dan infomasi yang didapat dari RM sebagai
bahan dokumentasi, bila diperlukan dapat digunakan sebagai dasar untuk
pertanggungjawaban atau laporan kepada pihak yangmemerlukan masa mendatang
DAMPAK PENUNTUTAN HUKUM 6, 7
Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik profesi, disiplin profesi dan aspek
hukum yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti
pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll. Sebenarnya
banyak kasus penuntutan hukum kepada dokter yang diduga melakukan kelalaian medic.
Apabila penuntutan dilakukan sesuai dengan proporsinya dapat diharapkan berperan
15Etika Profesi Kedokteran
Page 16
dalam upaya menjaga mutu pelayanan kedokteran kepada masyarakat. Namun disisi lain,
penuntutan sendiri dapat menyebabkan banyak dampak negative juga.6
Norma etik profesi disiplin profesi dan hukum pidana memang berada dalam satu
garis, dengan etik profesi di satu ujung dan hukum pidana di ujung lainnya. Disiplin
profesi terletak diantaranya dan kadang membaur dari ujung ke ujung. Bahkan di dalam
praktek kedokteran, aspek etik profesi dan/atau disiplin profesi seringkali tidak dapat
dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik profesi yang telah
diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai –
nilai etika. Aspek etik profesi yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar
profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik profesi seseorang dokter yang diadukan
tidak dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku diiplin profesinya. Etik profesi yang
memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin
profesi yang bersifat administratif.
Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa
melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggungjawaban (etik dan disiplin
profesinya). Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas,
profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis
profesi yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di
kalangan kedokteran. MKEK dalam perjalanannya telah diperkuat dengan landasan
hukum yang diatur dalam UU No.18 tahun 2002 tentang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga
yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No.29/2004, akan menjadi majelis yang
menyidangkan dugaan/pelanggaran disiplin profesi kedokteran. MKDKI bertujuan
menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran.
Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah “disiplin pofesi”, yaitu permasalahan yang timbul
akibat dari pelanggaran seseorang professional atas peraturan internal profesinya, yang
menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (professional) dengan
pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya
menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut
kepada MKEK,6.
16Etika Profesi Kedokteran
Page 17
Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses persidangan
gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya berbeda.
Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI,sedangkan gugatan
perdata dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan
umum. Dokter tersangka pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat
diperiksa oleh MKEK, dapat pula diperiksa dipengadilan tanpa adanya keharusan saling
berhubungan diantara keduanya. Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK
belum tentu dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya.
Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota)
bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai
penuntut. Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian
sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian
tetap berupaya melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang
lazim.
Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh:
Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidativ), langsung dari pihak-pihak
terkait (pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di
bidangnya yang dibutuhkan.
Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah /
brevet dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat
Ijin Praktek Tenaga Medis, Perijinan Rumah Sakit tempat kejadian, bukti
hubungan dokter dengan Rumah Sakit, hospital by laws SOP dan SPM setempat,
rekam medis, dan surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.
Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada
hukum pidana ataupun perdata. Bar’s Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya,
membolehkan adanya bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang perilaku teradu di
masa lampau. Cara pemberian keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan
pengangkatan sumpah, tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya.
Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat
dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk
permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian
17Etika Profesi Kedokteran
Page 18
ahli di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang
jalannya persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat
untuk sepaham dengan putusan MKEK. Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan
oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang
bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya diserahkan kepada Dinas Kesehatan
setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter teradu menerima keterangan
telah menjalankan putusan,6.
Gugatan yang tidak dibatasi terutama kerugian immaterial akan cenderung mengakibatkan
semakin rumitnya lingkaran setan pelayanan dokter dengan biaya yang tinggi. Demikian
pula biaya gugatan ganti rugi melalui persidangan, pengacara dan success fee. Oleh karena
itu World Medical Association menganjurkan kepada IDI untuk mencari jalan inovatif
dalam menyelesaikan masalah tuntutan ganti rugi seperti lebih memilih penyelesaian
melalui arbitrase daripada mellalui pengadilan. Penuntutan juga mengakibatkan tekanan
psikologi bagi para dokter yang diduga melakukan kelalaian medis. Meskipun pembayaran
ganti rugi dilakukan dengan menggunakan uang pertanggung jawaban asuransi profesi,
namun peristiwa penuntutan tersebut sudah mengakibatkan kegelisahan, depresi, perasaan
bersalah dan kehilangan rasa percaya diri dokter, karena nama baik dan reputasi dokter
yang bermasalah tersebut dapat tercemar. Para dokter yang pernah mengalami penuntutan
akan menderita litigation stress syndrome dengan derajat yang bervariasi.6
Pemberian sanksi disiplin oleh MKDKI dan MKDKIP, ada tiga alternatif sanksi
disiplin, antara lain:
Pemberian peringatan tertulis.
Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik.
Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi.
Selain pemberian sanksi disiplin dan etik, dokter yang telah melakukan kelalaian medis
akan diberikan sanksi perdata dan pidana yang diputuskan melalui pengadilan umum. Hal
ini diatur dalam undang-undang, antara lain:
Pasal 1365 KUH Perdata
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.
Pasal 1366 KUH Perdata
18Etika Profesi Kedokteran
Page 19
Setiap orang bertanggung-jawa tidak saja untuk kerugian yang disebabkan
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang
hati-hatiannya.
Pasal 1367 KUH Perdata
Seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan
perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-
orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang
berada di bawah pengawasannya.
Pasal 54 Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan ayat (1):
Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan
tenaga kesehatan.
Pasal 1370 KUH Perdata
Dalam halnya suatu kematian dengan sengaja atau karena kurang hati-hatinya
seorang, maka suami atau isteri yang ditinggalkan, anak atau orang tua si korban
yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan si korban mempunyai hak
menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan
kedua belah pihak, serta menurut keadaan.
Pasal 1371 KUH Perdata
Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja atau karena
kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk selain penggantian biaya-
biaya penyembuhan, menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka
atau cacat tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan
kemampuan kedua belah pihak, dan menurut keadaan. 6,7
Pasal 1372 KUH Perdata
Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian
kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik.
Pasal 359 KUHP
Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain mati,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan
paling lama satu tahun.
Pasal 360 KUHP
1) Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain
mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
19Etika Profesi Kedokteran
Page 20
2) Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain luka-
luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama
enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 361 KUHP
Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu
jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah
dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan
kejahatan, dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.6 ,7
SOLUSI
Dalam kasus ini, langkah yang harus ditempuh oleh dokter A adalah harus sesuai
dan berdasar pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), dimana selain menghargai
dan melayani pasien dengan sebaiknya, juga menjaga hubungan yang baik dengan rekan
sejawatnya. Dokter A dalam menghadapi pasien dan sejawatnya dilandaskan pada etika
kedokteran sbb:
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah
dokter.
Setiap dokter harus, dalam setiap praktek medisnya, memberikan pelayanan medis
yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya disertai rasa kasih
saying dan penghormatan atas martabat manusia
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui
memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi atau yang melakukan
penipuan atau penggelapan dalam menangani pasien.
Seorang dokter harus menghargai hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya dan hak
tenaga kesehatan lainnya dan harus menjaga kepercayaan pasien5, 6.
Dalam kasus ini tindakan kita sebagai dokter A sebaiknya adalah
- membantu orang tua pasien untuk membuktikan apakah terjadinya fraktur
klavikula pada bayi tersebut atau tidak, serta membantu mengetahui kapan kira-
kira fraktur itu terjadi. Oleh sebab itu penting untuk mengetahui mengenai proses
penyembuhan tulang panjang dalam kasus ini adalah klavikula pada bayi
20Etika Profesi Kedokteran
Page 21
- membantu ibu pasien untuk menentukan tindakan medis apa yang dapat dilakukan
oleh ibu pasien
- Dokter A tidak boleh menjatuhkan rekan sejawatnya dengan menyatakan bahwa
memang terjadi tindakan kelalaian medis disini, hal tersebut bukan merupakan hal
dari seorang dokter.
Dalam kasus ini juga perlu di ingat bahwa pasien bayi ini merupakan pasien dokter B dan
dokter C yang merupakan rekan sejawat kita, kita perlu memberi tahukan kepada dokter C
mengenai kejadian tersebut karena terdapat peraturan yang mengatur mengenai bagaimana
berhubungan dengan rekan sejawat yang tercantum dalam pasal 15 ”Setiap dokter tidak
boleh mengambil alih pasen dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan atau
berdasarkan prosedur yang etis”.
- Dokter A juga perlu menerangkan kepada ibu pasien mengenai pasal 26 Undang-
undang no. 36 / 2009 tentang kesehatan yang berbunyi “Dalam hal tenaga
kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian
tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”.
Artinya, dokter A dan pasien tidak boleh langsung menuntut dokter B dan C dengan
tuduhan kelalaian maupun malpraktik. Dokter A harus terlebih dahulu mengadakan
komunikasi dengan dokter B dan C mengenai kondisi pasien mereka, melakukan
pencocokan rekam medis dan informed consent.
- dokter tidak boleh melarang ibu korban bila berkeinginan untuk menuntut dokter B
dan dokter C bila ibu korban merasa dirugikan atas perasaan dirugikannya akibat
kelalaian medis yang dituduhkan ibu korban kepada dokter B dan dokter C, dokter
A tidak mempunyai hak untuk melarang ibu korban.
PENUTUP
KESIMPULAN
Kelalaian medis mungkin diakibatkan karena ketidakmampuan dokter untuk
mendiagnosa kondisi medis, kegagalan untuk memperingatkan pasien tentang risiko yang
mungkin selama jenis pengobatan tertentu, kelalaian dokter selama perawatan atau
diagnosis, kegagalan untuk mendapatkan persetujuan yang diperlukan dari pasien atau
anggota keluarganya selama pengobatan, pengobatan kesalahan dan penundaan sementara
merujuk ke spesialis yang berkaitan dengan keadaan pasien.
21Etika Profesi Kedokteran
Page 22
Semua kasus klinis dianggap kelalaian cedera pribadi di bawah hukum. Meskipun,
kelalaian klinis adalah bidang studi khusus di bawah hukum cedera pribadi karena
melibatkan kelalaian profesional yang memerlukan prinsip-prinsip hukum yang berbeda
dan aturan prosedur. Namun, mencari kompensasi dalam hal klaim atas kelalaian medis
bukanlah sederhana dan kerumitan prosedur bebas. Klaim dapat menguntungkan secara
finansial hanya ketika penderita mampu membuktikan bahwa ia memang menerima
perawatan kesehatan di bawah standar dibandingkan dengan perawatan kesehatan
profesional yang kompeten di bidang yang relevan kedokteran. Kita perlu juga
membuktikan di depan hukum bahwa ia telah menderita kerugian sebagai akibat dari
kelalaian medis.
Daftar Pustaka
1. Sampurna B. Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran: pengantar
bagi mahasiswa kedokteran dan hukum. Jakarta: Departemen Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.h.30-2.
2. FK UI. Persetujuan tindakan medic. Dalam : peraturan perundang-undangan
bidang kedokteran. Edisi 1, cetakan ke-2. Jakarta: Bagian Kedokteran forensic FK
UI.1994.h 20-23
3. Sampurna B. Syamsu Z, Siswaja TD. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Dalam :
Bioetik dan hukum kedokteran: pengantar bagi mahasiswa kedokteran dan hukum.
Jakarta: Departemen Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2010.h.49-51.
22Etika Profesi Kedokteran
Page 23
4. Hanafiah M.Jusuf, Amir Amri. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta:
EGC.2008
5. Peraturan Perundang-undangan Bidang Kedokteran. Cetakkan Kedua. Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1994
6. Achadiat CM. Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran. Jakarta: EGC.2006
7. Kode etik kedokteran Indonesia. Modul Emergency Medicine II. Jakarta:
UKRIDA; 2011
23Etika Profesi Kedokteran