Nomor: RISALAHDPD/KMT 1-RDPU/IX/2017 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ----------- RISALAH RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMITE I DENGAN NARASUMBER MASA SIDANG I TAHUN SIDANG 2017-2018 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA I. KETERANGAN 1. Hari : Senin 2. Tanggal : 4 September 2017 3. Waktu : 14.17 WIB - 16.50 WIB 4. Tempat : R.Sidang 2A 5. Pimpinan Rapat : 1. Drs. H. Akhmad Muqowam (Ketua) 2. Drs. H. A. Hudarni Rani, S.H. (Wakil Ketua) 6. Sekretaris Rapat : 7. Acara : RDPU membahas evaluasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan narasumber : 1. Sunaji Zamroni (Direktur IRE) 2. Sentot S. Satria (KOMPAK) 8. Hadir : Orang 9. Tidak hadir : Orang
29
Embed
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ... saja lewat, kepala desa saja lari pak takut jangan-jangan disana mau diawasi begitu. Sama dengan polisi-polisi pak, ada polisi mau datang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Nomor: RISALAHDPD/KMT 1-RDPU/IX/2017
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
-----------
RISALAH
RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMITE I DENGAN NARASUMBER
MASA SIDANG I TAHUN SIDANG 2017-2018
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
I. KETERANGAN
1. Hari : Senin
2. Tanggal : 4 September 2017
3. Waktu : 14.17 WIB - 16.50 WIB
4. Tempat : R.Sidang 2A
5. Pimpinan Rapat : 1. Drs. H. Akhmad Muqowam (Ketua)
2. Drs. H. A. Hudarni Rani, S.H. (Wakil Ketua)
6. Sekretaris Rapat :
7. Acara : RDPU membahas evaluasi Undang-Undang No. 6 Tahun
2014 tentang Desa dengan narasumber :
1. Sunaji Zamroni (Direktur IRE)
2. Sentot S. Satria (KOMPAK)
8. Hadir : Orang
9. Tidak hadir : Orang
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
1
II. JALANNYA RAPAT:
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Baik.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bismillah. Alhamdulilah.
Selamat siang dan salam sejahtera untuk kita semua.
Yang saya hormati Ibu, Bapak Pimpinan dan Anggota Komite I Dewan Perwakilan
Daerah.
Kemudian sudah datang ini KOMPAK. Orang Madura itu sila ketiga diganti,
Persatuan Indonesia diganti Indonesia KOMPAK. Orang Madura pak, orang Madura itu
sudah ekspansi kemana-mana di Belanda dia punya Madura Dam, di Amerika Latin dia
punya Manuel Maduro itu orang Madura, Pak Presiden Venezuela itu. Dibelahan lain juga di
Spanyol juga ada Madura itu.
Bapak, ibu sekalian hari ini kita RDPU dengan 3 lembaga. Pertama ini KOMPAK.
KOMPAK ini sebuah lembaga masyarakat yang bergerak fokus pada desa. Kemudian ada
IRE. IRE ini singkatannya asing, susah ini fokus desa tapi namanya IRE. IRE itu singkatan
dari Institute for Research and Empowerment. Jadi namanya asing tapi hidupnya di Yogya
mestinya di London, IRE ini. Kemudian satu lagi kita undang juga dari FITRA yang dimana
hari ini Mas Sentot yang dari KOMPAK ini.
Makro desa kita hari ada posisi dijerembabkan oleh media dan pemerintah, makro ini
sehingga di 2 minggu terakhir ini 600 desa yang di anggap bermasalah dengan pengelolaan
anggaran dana desa itu menjadi bagian dari menjajah pikiran para pejabat Jakarta bahwa
Undang-Undang Desa itu nggak benar saya kira ini banyak makna mulai politik, sosial
budaya, ekonomi,dan lain lain bahwa kalau Undang-Undang Desa itu di bumi anguskan itu
cita-cita mereka yang kapitalis itu. Jadi di media itu luar biasa sepertinya sudah mau roboh
desa di Indonesia ini. Padahal di posisi lain di Undang-Undang Desa itu Bimwas di satu
gandengan itu bimbingan pengawasan, yang ada was terus tapi tidak pernah bim. Jadi kita
mau bergerak sudah diawasi terus itulah nasib desa hari ini, nasib orang desa. Bimwas
dilakukan baik dari sisi internal Kementerian Desa, Dalam Negeri, pemerintah daerah,
provinsi, kabupaten. Ada juga indirectly yang dilakukan oleh misalnya BPKP. Indirect
kenapa? Karena Mas Sentot saya kira positioning Siskudes itu adalah penumpang dipinggir
jalan itu. Siskudes itu tidak in body ke dalam kebijakan pemerintah tapi Siskudes itu tahu-
tahu ini loh ada sistem keuangan desa yang harus dilaksanakan dan desa harus beli, ini saya
kira pemerintah itu dompleng saja mohon maaf Mas Sentot dompleng saja BPKP itu dan
pemerintah menganggap bahwa BPKP punya professional seperti itu dianggap benar cara
masuknya. Jadi pada legal aspek dan prosedurnya, BPKP ini nggak benar melakukan fungsi-
fungsi pengawasan terhadap desa dengan pintu masuk seperti itu. Pintu masuknya mas. Lalu
misalnya Kejaksaan ini juga mengadakan ada sebuah institusi di Kejaksaan ada namanya
TP4D (Tim Pemantau Pengawas Pelaksanaan Pembangunan Desa). Jadi mohon maaf wong
bajunya dicantelkan dipinggir jalan saja orang takut apalagi ada orangnya, Kejaksaan itu. Iya
Bang Ali. Jadi pernah ada cerita Daerah Boyolali, Sukoharjo itu ada orang Kejaksaan mau
takziah saja lewat, kepala desa saja lari pak takut jangan-jangan disana mau diawasi begitu.
Sama dengan polisi-polisi pak, ada polisi mau datang ke mertuanya lewat balai desa lari itu
RAPAT DIBUKA PUKUL 14.17 WIB
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
2
kepala desa, hati-hati ada polisi katanya. Sama juga jurnalis ya tentu tidak bertanggung jawab
ini cari saja perkara desa kalau tidak saya muat di koran nah itu kan membuat kepala desa
dan penduduk desa waduh luar biasa ketakutannya dan mohon maaf TP4D. Hari ini posisinya
selalu ketakutan. Nah pemilihan yang dilakukan pemerintah terutama regulasinya pragmatic
lalu dari kelembagaannya juga tidak ada koordinasi ya kalau di ruangan ini saya katakan
bindeng ketemu bindeng pak. Jadi yang membina tidak pernah memahami secara detail apa
mission sakri dari Undang-Undang Desa. Mission sakri itu harus kita pahami. Sehingga
bapak, ibu sekalian terseraplah substansi Undang-Undang Desa kalau hanya material yang
ada. Idenya hendak mengembalikan desa ke dalam sebuah kultur, struktur, gotong-royong,
guyub dan lain-lain itu. Tapi hari ini yang kemudian dimana akan menjadi mengecil Undang-
Undang Desa hanya dimaknakan sebagai dana desa, ini persoalan.
Nah karena itu Mas Sentot dan kawan-kawan Komite I sangat konsen kepada
Undang-Undang 6 ini, jadi bahkan teman-teman di Komite I ini karena yang menjadi pintu
masuk dalam pengawasan program dan punya visi-visi yang meluas kepada masyarakat
Undang-Undang Desa menjadi bagian pengawasan yang efektif bagi Komite I. Jadi kalau kita
melihat sebelum ada Undang-Undang Desa, kelahiran Undang-Undang Desa di songsong
luar biasa tapi pemerintah memaknakan secara simple, saya ingin Mas Sentot, sampeyan
nyewa LSM bukan nyewa lah ya, mohon maaf. Jadi kuartet dalam Undang-Undang Desa itu
kemudian dibelah menjadi 3, pemerintahan desa menjadi Perpres 11 Kemendagri urusannya,
kemudian Perpres 12 mengambil dua, pembangunan dan pemberdayaan. Kemudian peran
kemasyarakatan tidak termasuk dalam Perpres tersebut sehingga kemudian kalau ada orang
yang menjiar saya kira pasti menang itu, pasti menang. Saya jamin pasti menang kalau di jiar
karena tidak ada republik ini yang satu kementrian, yang umum adalah satu kementerian
menangani beberapa undang-undang itu biasa tapi desa satu undang-undang ditangani dua
kementrian bahkan lebih, Bappenas terlibat, keuangan terlibat, sekarang ini yang terakhir
MK. Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Di Jawa disana Bangmanu,
pembangunan manusia dan kebudayaan. Ada lagi di Sumatera Selatan ingat PMK itu bukan
itu, singkatannya. Singkatanya apalah terserah nantikan begitu kira-kira begitu kalau jadi
presiden.
Jadi Mas Sentot, Undang-Undang Desa masa lalunya tolong dijelaskan, hari ini
bagaimana dan kemudian ketiga masih ada prospek tidak ke depan ini. Kami di Komite I ini
merasa bahwa ada something wrong dalam Undang-Undang Desa ini. Jadi hari ini centang
perenang, unorganize, disharmony, perebutan kewenangan, desa hanya menjadi objek lagi
dalam konteks pengawasan, uang hanya menjadi instrumen untuk menakut-nakuti hari ini.
Mengerikan. Jadi kami di dalam masa sidang ini fokus pada seperti itu dan tentu
rekomendasinya pada pihak terkait misalnya Menteri Desa, Mentri Keuangan, Bappenas dan
Menteri Dalam Negeri agar ya ngomong jangan parsial sesuai sektor masing-masing tetapi
inkorporasi desa dalam konteks korporasi dengan nasional, saya kira itu lebih penting
daripada cara pandang masing-masing. Jadi Pak Sentot hadir ini Pak Hudanirani jabatan
terakhir Gubernur Bangka Belitung. Kemudian Ibu Dewi sebelah kiri saya, ibu gubernur saya
kira sebelah sini, ada ibu gubernur dan bapak gubernur. Kemudian Pak Yusran Silonde wakil
gubernur dulunya di Sulawesi Tenggara. Kemudian Pak Rizal Sirait, anggota DPD 5 periode
saya kira di Sumatera Utara, 3 atau 5? 5 ya mulai dari 1997 jadi anggota DPR bosen jadi
DPRD kemudian ke DPD. Pak Ali, beliau ini adalah mantan birokrat, Sekda pak ya, asisten 1
pengalaman mengolah Gorontalo sehingga menjadi provinsi sendiri dan gubernur pertama
adalah Pak Fadel Muhammad, Radhiyallahu Anhu. Radhiyallahu Anhu itu boleh pada setiap
orang semoga dapat ridha dari Allah masa nggak boleh, oh belom pantes, ini kalau pantes ibu
yang tahu lah. Kemudian satu lagi dari Kepulauan Riau, Pak Muhammad Nabil yang saya
kira Habil dan Nabil, Habil dan Kabil bukan Nabil ya sebab kalau Nabil itu kalau di Batam
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
3
ada Pelabuhan Kabil makanya diambil Nabil itu. Jadi kalau Pak Sentot ke Batam, Pelabuhan
Kabil itu punya Pak Nabil pak. Satu lagi HMI, Haji Muhammad Idris. Beliau dari Kaltim.
Sementara ini beliau punya dua di Kaltim maksudnya Kaltara bagian dari dia juga hari ini bu.
Dua wilayah, Kaltara dan Kaltim bukan dua yang lain bu. Ibu Juniwati langsung mengiyakan
saja, jangan lihat tampilannya bu power-nya yang penting. Ibu Dewi saya kira bisa
memberikan saksi saya kira. Kemudian Pak Mawardi. Kemudian Ibu Juniwati. Pak Mawardi
dulu bupati dan akan menjadi bupati lagi. Tahu ada gula ada semut pak tapi gulanya siapa
semutnya siapa. Jadi dipikir dengan pindah akan menyelesaikan permasalahan, siang mau
nya pindah, malam maunya mendekat dia.
Jadi Mas Sentot, saya kira ini KOMPAK mohon dijelaskan dulu agar kita-kita dapat
mengapresiasi sesuai provinsi masing-masing, Jawa Tengah ada tidak, Babel ada tidak,
Kaltim ada tidak biar kita bisa inkorporasilah di dalam melakukan fungsi-fungsi yang lebih
sinergis begitu. Percayalah kawan-kawan punya otoritas dan punya macam-macamlah yang
di daerah. Saya kira demikian sebagai pengantar. Silakan Mas Sentot dari KOMPAK.
PEMBICARA: SENTOT S. SATRIA (NARASUMBER)
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bapak, ibu semua dari Komite I Dewan Perwakilan Daerah yang terhormat.
Sangat berterima kasih sangat menghargai atas undangan dan kesempatan yang
diberikan kepada KOMPAK untuk berbagi update tentang pelaksanaan Undang-Undang
Desa terutama.
Ijinkan kami sedikit perkenalkan KOMPAK. KOMPAK adalah kerjasama antara
pemerintah Indonesia dan Australia untuk mengelola bantuan teknis dan bantuan hibah pada
CSO di Indonesia, LSM. Jadi sebetulnya bahkan IRE dan FITRA itu termasuk patner kami di
dalam interfensi di daerah. Jadi patner utama KOMPAK adalah Bappenas sebagai lead
agency dari pihak pemerintah Indonesia. Kemudian ada Kementrian Dalam Negeri,
Kementrian Desa, Kementrian Keuangan dan Kemenko PMK sebagai pengarah sekaligus
penerima bantuan teknis. Fokus kami ada tiga seperti sesuai dengan prioritas pemerintah ada
pada pelaksanaan pelayanan dasar, penyelenggaraan pelayanan dasar, kemudian pelaksanaan
Undang-Undang Desa dan yang ketiga adalah pengembangan ekonomi. Ini patner KOMPAK
juga Mas Nadi dari IRE.
Jadi kalau dulu mungkin bapak, ibu pernah mengenal yang namanya AUSIT. AUSIT
itu sekarang sudah tidak ada. KOMPAK itu dikelola oleh suatu perusahaan yang mengelola
semua bantuan teknis itu. Saya sendiri di KOMPAK sebagai senior advicer untuk
disentralisasi dan Undang-Undang Desa. Salam dari pimpinan kami, beliau mengutus saya
untuk memenuhi undangan bapak, ibu sekalian. Jadi ini sudah KOMPAK sendiri sudah ada
sejak tahun 2015 sejak mulainya Undang-Undang Desa dilaksanakan pada 2015 dan kami
akan berakhir tahun depan 2018. Wilayah kerja kami ada di 7 provinsi juga, jadi ada wilayah
provinsi dan kabupaten juga dimana kami mempunyai staf lapangan untuk memungkinkan
advokasi dan bantuan teknis yang lebih intensif kepada pemerintah daerah. Dari barat
lokasinya dari Aceh, kemudian Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Sulawesi Selatan, Papua
dam Papua Barat, dan di 7 provinsi itu ada sekitar 33 kabupaten dimana KOMPAK ada staf
lapangan. Itu mengenai KOMPAK pak ya. Undang-Undang Desa ini sudah tahun ketiga
seperti bapak, ibu tahu dan menurut kami ada permasalahan yang paling mendesak di dalam
pekalsanaan Undang-Undang Desa ini dan itu kita juga melihat fakta bahwa menurut BPS
tingkat kedalama kemiskinan desa malah bertambah. Walaupun angka kemiskinan berkurang
di daerah pedesaan, angkanya kalau tidak salah kurang sebanyak 180.000 jiwa tapi tingkat
kemiskinan bertambah dan 180.000 jiwa kalau kita bagi dengan 74.000 desa hitungan
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
4
sederhana, simple itu yang terentaskan dari kemiskinan di desa hanya kira-kira 3 orang per
desa. 180.000 jiwa itu terentaskan dari kemiskinan untuk wilayah pedesaan menurut data
BPS tapi keparahan atau kedalaman kemiskinan bertambah. Jadi orang yang paling berada di
dasar tangga tingkat kemiskinan itu jangan-jangan malah tambah miskin. Yang menikmati
besarnya dana yang masuk desa jangan-jangan adalah kelas menengah di desa. Jadi itu
memberikan warning yang sangat kuat kepada pemerintah bahwa tentu saja pemerintah
melalui berbagai pernyataan presiden ingin agar dana desa dan seluruh anggaran yang masuk
desa ini berdampak kepada turunnya angka kemiskinan. Itu seperti arahan presiden dalam
berbagai kesempatan sejak tahun lalu harus menjadi instrumen fiskal pengentasan
kemiskinan, peningkatan akses terhadap pelayanan dasar kemudian dampak ekonominya juga
diharapkan mulai nampak. Namun dari, mohon lanjut slidenya. Dan tentu saja harapan itu
sangat berdasar ya. Pada waktu pemerintahan Bapak SBY kita mempunyai program-program
pemberdayaan masyarakat itu menunjukan ada dampak. Jadi misalnya karena di swakelola
oleh masyarakat tiap pembangunan sarana prasarana bisa lebih murah 30-50%. Kemudian
umumnya lebih dari 80% kualitas prasarana yang dibangun masyarakat itu memuaskan. Dari
sisi kemiskinan ada kenaikan konsumsi perkapita itu di daerah program, itu 9% lebih
daripada di daerah non program. Itu hanya dengan anggaran waktu itu dari tahun 1998 – 2014
hanya 85 triliun. Bandingkan dengan anggaran yang masuk desa sekarang dari DD dan ADD
saja itu tahun ini 103 triliun menurut data dari DJBK dari Kementerian Keuangan. Jadi dulu
di jamannya tahun 1998 – 2014 ada program-program termaksud desa itu 85 triliun, tidak pak
1998 – 2014 lebih hampir 16 tahun, hampir 16 tahun itu hanya 85 triliun. Dulu itu namanya
dulu ada PNPM dan saudara-saudaranya banyak ya, ada BPK dan sebagainya, itu hanya 85
triliun. Ditambah lagi dulu bapak. ibu mengingat ada namanya klaster penanggulangan
kemiskinan yang setiap tahun dulu 4 klaster program kemiskinan Pak SBY itu hanya 100
triliun sekarang dana yang masuk desa saja itu sudah 103 triliun tahun ini, tahun depan akan
sama karena pemerintah sedang putuskan dana desa sementara belum akan di tambah masih
60 triliun. Jadi ini juga seperti Pak Muqoam sampaikan tadi sayangnya juga seolah-olah
Undang-Undang Desa ini hanya soal dana desa, jangan lupa ada ADD yang juga besar sekali
yang kalau tidak diperhatikan itu juga menjadi objek ranciking kabupaten karena untuk gaji
dan operasional kepala desa itu dari ADD, diambil dari ADD. Nah kami mensinyalir banyak
ADD yang jumlahnya tidak memenuhi perintah undang-undang atau sering kali pencairannya
terlambat, 3-6 bulan baru cair sehingga kepala desa dan perangkatnya harus pinjam kesana
kemari untuk mendukung operasionalnya. Nah ini lagi-lagi menghasilkan ranciking yang
besar sekali.
Kembali ke isu utama Undang-Undang Desa. Pertama adalah formula atau policy
alokasi dana desa ini syukurlah akan diperbaiki setelah 3 tahun, jadi 2018 akan diperbaiki
tapi bagaimana perbaikannya kita belum lihat hasil akhirnya Pak Ketua. Jadi yang dulu 90%
dibagi rata dana desa nantinya akan dikurangi yang dibagi rata itu menjadi 77% saja. Ini-ini
sangat-sangat krusial karena jika acara pembaginya masih seperti sekarang nyaris dibagi rata
tentunya ini sangat tidak adil bagi desa-desa yang tertinggal apalagi yang jumlah penduduk
miskinnya besar. Jadi desa dengan 20 KK mendapatkan jumlah uang yang hampir sama
dengan desa yang 2.000 KK. Perbandingannya itu perkapita dana desa itu bisa mencapai 30
kali lipat untuk desa-desa yang kecil. Nah ini akan segera diperbaiki oleh pemerintah dan
kami sangat menghargai dan mendukung keputusan tersebut. Yang kedua adalah tentang
penggunaan dana desa. Tadi alasan dari pusat sebetulnya sudah cukup jelas untuk
peningkatan pelayanan dasar, untuk penanggulangan kemiskinan. Kemarin di nota keuangan
juga di Menteri Keuangan menggarisbawahi bahwa prioritas dana desa adalah untuk
penanggulangan kemiskinan bukan berarti dana desa dipakai untuk misalnya membeli beras
atau apa, memberikan bantuan kemasyarakat tapi harusnya masyarakat prioritas desa harus
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
5
kepada pemenuhan dasar sebagai pra syarat lawan kemiskinan tapi kemudian prioritas itu
diarahkan terlalu sempit oleh Kementerian Desa sampai sekarang di media masih sering kita
lihat Kementerian Desa mengarahkan dana desa agar untuk membangun embung,
membangun mengembangkan Bimdes, mengembangkan produk unggulan dan sarana
olahraga dan kadang-kadang dibawah itu menjadi arahan ini agar diprioritaskan menjadi
arahan diwajibkan. Belum di tambah lagi seperti bapak, ibu temukan ada kabupaten yang
sering nambah-nambahi lagi memberikan arahan juga yang terlalu spesifik misalnya. Jadi
intervensi dari kabupaten itu menambahi lagi sehingga asas Undang-Undang Desa yang
harusnya memberikan wewenang penuh untuk memutuskan prioritas skala desa mereka, ini
menjadi teroduksi banyaknya subsidi tersebut. Tapi yang paling, menurut saya yang paling
membinggungkan di lapangan adalah instruksi-instruksi, arahan-arahan dari pusat yang
terlalu spesifik mengabaikan beragamnya kebutuhan desa 74.000 desa di Indonesia. Embung
sendiri tidak cocok disemua lokasi kan ada desa yang punya, sudah punya banyak air atau
tidak punya potensi untuk membuat embung dan sebagainya. Artinya, harusnya prioritas itu
digariskan sebenarnya misalnya prioritasnya adalah penuhi dulu kebutuhan akan akses air
bersih misalnya, yaitu pelayanan dasar baru masyarakat diminta mikir oh alternatif apa, bikin
embung atau bikin perpipaan atau mencari mata air yang bisa diandalkan dan sebagainya.
Bukan spesifik embung. Nah ini sebetulnya arahan dari keuangan, dari presiden itu
sebetulnya sudah cukup jelas ya. Kemudian di dalam Musrembangnas 2018 itu juga ada 10
prioritas nasional mulai dari pendidikan, kesehatan, pertanian, penanggulangan kemiskinan
dan sebagainya ada 10 prioritas nasional nanti di akhir slide kami ada seharusnya kemudian
pemerintah memberikan, menyediakan pedoman kepada desa bagaimana mereka dapat
berkontribusi terhadap prioritas nasional tersebut. Jadi misalnya prioritas nasional adalah
pendidikan. Yang tidak jelas sekarang adalah apa, sejauh mana kewenangan desa dalam
bidang pendidikan, sejauh mana kewenangan desa dan tanggung jawab desa dalam bidang
kesehatan. Kalau di Brebes misalnya masih banyak anak putus sekolah tidak menyelesaikan
wajib belajar 9 tahun, apa yang desa bisa lakukan dan sebetulnya arahan dari Musrembangnas
sudah cukup jelas bahwa harus ada sinergi antara APBD, APBDES dan APBN kalau perlu.
Misalnya ada orang sering bilang, oh untuk anak putus sekolah kan sudah ada KIP (Kartu
Indonesia Pintar) Program Indonesia Pintar, tapi kalau di daerah, di desa berapa yang sudah
mempunyai kartu KIP, mungkin belum 50% Pak Muqowam. Buktinya presiden kalau ke
daerah masih bagi-bagi KIP kan, berarti kan belum semua memiliki itu. Nah desa misalnya
bisa berperan misalnya membantu warga-warga miskinnya untuk cepat mengurus
kepemilikan Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan sebagainya. Nah
kesinambungan ini yang belum terbangun dengan baik karena si pendamping desa yang
dimobilisasi oleh Kementerian Desa ironisnya adalah mereka fokus atau diharapkan oleh
pemerintahan desa untuk membantu mereka, membantu aparat desa. Ini terbalik ini, Pak.
Harusnya pendampingnya Kemendesa itu fokusnya mendampingi masyarakat sesuai perintah
undang-undang, memberdayakan masyarakat untuk ikut mengambil keputusan, untuk agar
aspirasi mereka tertampung di dalam musdes, tapi mereka diharapkan lebih membantu
pemerintahan desa. Kemudian ketika mereka ternyata tidak mempunyai skill yang cukup dari
segi administrasi pemerintahan, pemahaman PP, permen dan sebagainya, pemdes bilang
pendamping desa tidak ada gunanya buat kami. Jadi triliunan anggaran yang dialokasi untuk
pendampingan desa ini wasted.
Belum lagi masalah kedua adalah kemampuan untuk menyelenggarakan merekrut
pendamping. Bapak lihat di Facebook sekarang proses rekrutmen baru mulai berjalan. Ini
sudah bulan Agustus, apa gunanya mereka ke lapangan bulan Agustus, sementara proses di
desa seharusnya sudah hampir menyelesaikan RKP Des. Dan, biasanya proses seleksi ini baru
akan selesai nanti di bulan-bulan Oktober untuk 300.000. Dan ini masalah seperti ini sudah
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
6
berjalan tiga tahun Bapak/Ibu, masalah pendampingan ini. Ada kesan saya, ada keengganan
untuk mendesentralisasikan pendampingan ini atau mendekonkan pendampingan ini kepada
pemerintah provinsi. Tapi at the same time ternyata tidak mampu untuk merekrut
pendampingan on time paling tidak sehingga provinsi-provinsi yang kami sering ketemu
sama teman-teman provinsi mereka katakan, kami hanya diberlakukan sebagai juru bayar,
juru bayar gajinya pendamping-pendamping. Apalagi kabupaten yang nyaris melakukan,
kami tidak punya wewenang apa pun terkait pendampingan. Nah ini harus diperbaiki masalah
pendampingan itu.
Maaf balik ke yang kelima, nah ini tadi. Jadi penggunaan dana desa ini tidak
menghasilkan kegiatan-kegiatan yang propelayanan dasar dan melawan kemiskinan. Dan
kami ada evidence, sudah ada buktinya dari Bank Dunia dan dari hasil monitoring
Kementerian Desa sendiri. Misalnya belanja untuk kesehatan dan pendidikan itu tidak sampai
6%. Dari sampel 1.800 lebih desa, belanja untuk kegiatan yang menyangkut pendidikan
kesehatan tidak sampai 6%. Ini lagi diperburuk dengan arah-arahan tadi ya, yang berbau
penyeragaman, baik dari pusat maupun dari kabupaten. Ketiga adalah peraturan-peraturan
yang kurang selaras. Ini mungkin Mas Naji nanti bisa cerita banyak ya. Saling bertentangan
atau dianggap saling bertentangan, membingungkan, terlalu jauh mengatur, malah seperti
contoh seperti Siskeudes itu menghambat desa memilih kegiatan-kegiatan yang menurut
mereka perlu untuk warga miskinnya. Tapi sebetulnya ini bukan 100% salahnya Siskeudes,
Pak. Jadi Siskeudes itu teman-teman, mereka bilang, “Loh saya hanya mengikuti
Permendagri No. 113,” begitu kan. Nah Permendagri Nomor 113 memang sebetulnya perlu
segera direvisi. Kenapa? Kalau Bapak/Ibu menyempatkan untuk melihat bagaimana template
dari APBDes atau realisasi APBDes di 113, template itu mengakibatkan Bapak/Ibu tidak
akan mendapatkan laporan output dana desa apa, tapi hanya mendapat laporan input di desa
untuk ... (kurang jelas, red.) UU Desa apa. Jadi input-nya artinya misalnya Anda akan
menemukan berapa sak semen yang dihabiskan tahun ini, tapi berapa kilometer jalan malah
tidak jelas. Jadi itu Permendes, Permendagri satu-satu itu sangat mendesak karena ditunggu
oleh Siskeudes. Siskeudes sendiri sebetulnya mendapatkan dukungan karena waktu itu surat
ke daerah adalah surat bersama antara Bina Pemdes, Kemendagri, dengan BPKP dan
mendapatkan dukungan yang cukup besar dari presiden. Sehingga memang kalau
Permendagri-nya bisa diselesaikan dengan cepat, Siskeudes-nya bisa gampang diperbaiki.
Keempat adalah, Bapak/Ibu, kita menggelontorkan anggaran ke desa begitu besarnya,
tapi investasi untuk penguatan kapasitas aparat untuk pendampingan itu kecil sekali. Kalau
Bapak/Ibu lihat sekarang anggaran pendampingan di tempatnya Kementerian Desa 2,3 triliun
itu terlalu kecil Pak. Kayaknya besar, tapi sebenarnya kecil sekali. Jadi Bank Dunia
memperhitungkan bahwa anggaran untuk pendampingan untuk penguatan itu hanya 1,1%
dari total dana yang masuk ke desa. Bandingkan dulu dengan zamannya PNPM itu pernah
mencapai 15%, Pak. Rata-rata 10% setiap tahun. Jadi ini sangat menentukan, sangat critical.
Ibaratnya 100 triliun itu bisa jadi dua tahun ke depan tetap tidak akan menghasilkan apa pun
kalau Bapak/Ibu, pemerintah, tidak memberikan investasi yang cukup untuk penguatan.
Kedua adalah tidak ada lagi juga sebelum Undang-Undang Desa dimulai, tidak ada
kesepakatan kerangka pengawasannya bagaimana. Tadi kalau dari sisi penguatan pembinaan,
pengawasan juga sama saja. Baru belakangan setelah banyak merebak kasus-kasus, akhirnya
Desember kemarin Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan surat edaran untuk pengawasan
oleh inspektorat, bulan Desember sekeluarnya. Saya tidak yakin karena keluarnya baru bulan
Desember, apakah anggaran yang diperlukan oleh inspektorat untuk melakukan pengawasan
di tahun 2017 sudah ada karena keluarnya baru bulan Desember. Dan kita bisa lihat sendiri di
daerah, teman-teman inspektorat bilang, kami tidak punya anggaran atau tidak cukup
anggaran. Paling mereka hanya bisa ke desa-desa yang ada di pusat kabupaten, di ibukota
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
7
kabupaten. Kedua adalah kerangka pengawasannya, saya belum ada kesepakatan. Bahkan
harusnya yang fokusnya kepada inspektorat atau BPD, memperkuat BPD, dan sebagainya, ini
malah pendekatannya pendekatan represif seperti Bapak bilang itu kan, ke polisi, ke
kejaksaan, dan sebagainya. Memang ini harus segera ditangani. Kalau tidak, desa akan
kewalahan menerima berbagai kunjungan, berbagai pertanyaan dari pihak-pihak yang, belum
ada lagi satgas ya mas ya, satgas lagi, satgas dana desa yang sangat ahok, saya dengar juga
belum jelas anggarannya dari mana untuk mereka. Jadi tidak ada upaya yang lebih
membangun sistem pengawasan ini. Sekarang BPK juga sama kan, BPK tidak mungkin
mensampel 10% desa saja itu. Ini harus dibicarakan di antara pemerintah, bagaimana
kerangka pengawasan. Dulu di PNPM kita mensampel 10% kecamatan Pak, 10% kecamatan.
Itu saja BPKP waktu itu harus menggandeng teman-teman inspektorat karena tidak, mereka
tidak cukup punya auditor di lapangan. Sekarang satu pihak saya juga memahami kenapa
pemerintah tidak ingin menambah dana desa dulu sesuai dengan perintah undang-undang,
tapi juga kalau kemudian menunda amanah undang-undang untuk memenuhi 10% dana
transfer ke daerah sebagai dana desa, tapi tanpa melakukan apa pun misalnya untuk
memperbaiki lima aspek ini, ya apa artinya menunda sebetulnya begitu kan. Lebih baik ada
komitmen untuk misalnya dana desa oke 60 triliun dulu, tapi kemudian ada alokasi untuk
memperkuat aparat, untuk menjelaskan pengawasan, melatih inspektorat daerah, dan
sebagainya. Kemudian mengkonsolidasikan semua peraturan-peraturan yang masih sangat
penting untuk dikonsolidasikan.
Tapi yang jelas, dua tahun ini bukan waktu yang panjang. Saya pribadi sangat
khawatir, Pak, kita tidak akan melihat dampak dana desa dalam waktu dua tahun ini,
pengurangan kemiskinan. Nanti paling gampang adalah kalau Bapak/Ibu ke lapangan dan
bertanya kepada pemda, “Dari dana desa ini, apa sumbangannya terhadap akses terhadap air
bersih?” Syukur-syukur mereka bisa jawab, jangan-jangan malah tidak memonitor. “Apa
sumbangannya terhadap berkurangnya sanitasi yang buruk?” Apa sumbangannya terhadap
rumah kumuh?” Dan sebagainya. Ini pemdanya juga mungkin akan kesulitan menjawab
pertanyaan seperti itu. Akhirnya pemerintah kita akan tidak bisa menjawab pertanyaan seperti
itu.
Mungkin itu dulu dari saya. Terima kasih. Mohon maaf kalau terlalu panjang.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Wa’alaikumsalam.
Ya Mas Sentot saya kira, Mas Sentot ini agak malu-malu bicara PNPM. Jadi
Bapak/Ibu sekalian, 100% dana PNPM itu 15% adalah untuk biaya operasional, SDM, dan
lain-lain. Kemudian, 75% dari 85% itu infrastruktur. Dan hasilnya Bapak Ibu sekalian, rata-
rata nasional itu 250% dari cost yang dikeluarkan, nilai setelah dibangun. Kalau NKRI dari
100% harga jadi 60% sudah bagus. Ini dari 100% menjadi 25%. Coba kita lihat di PNPM-
PNPM masih ada itu stempelnya masih banyak di daerah, di desa-desa itu. Nah tapi ya itu
tadi, itu kan zamanmu, zamanku yo kudu bedo begitu loh Pak. Itu kan zamannya SBY,
zamanku ya kudu bedo begitu loh, repotnya tuh di situ. Jadi yang baik itu, memang repot
kalau tidak pernah jadi NU itu. Di NU itu ada almuhafadhotu 'ala qodimis sholih wal akhdzu
bil jadidil ashlah, yang baik yang lama pertahankan, yang lebih baik nilai masuk, ambil.
Bukan untuk Pak Mawardi, yang lama tetap di rumah, yang baru di Jakarta, kan beda lagi
urusannya. Ya mestinya begitu. Nah dalam hal 25% Bapak Ibu sekalian, 25% itu hari ini
menjadi dana-dana di UPK (Unit Pelaksanaan Kegiatan). Itu jumlahnya Mas Naji, rata-rata di
atas 12 triliun saya kira. Bahkan nasional itu mungkin bukan 12, perkembangan hari ini
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
8
mungkin sudah lebih dari 13 triliun UPK (Unit Pelaksanaan Kegiatan). Jadi kantor-kantor
Bapak di daerah itu ada UPK. Jangan bertanya UPK itu apa, tapi ada duitnya di dalamnya.
UPK itu Unit Pelaksanaan Kegiatan. Ya sekarang kan belum dapat karena pemerintah Bapak
tidak mengerti mau dikemanakan ini nama ini sebab swasta bukan, pemerintah bukan,
BUMN juga bukan. Pokoknya bukan-bukan itu, jadinya bagus itu. Jadi UPK itu masih ada
hari ini. Jawa tengah UPK itu lebih dari 2,1 triliun, Jawa tengah. Dan itu hari ini efektif,
alhamdulillah teman-teman itu pada jujur semualah ya Mas Naji ya, Mas Sentot sehingga
dana itu tidak kemana-mana. Ya mungkin mereka bukan politisi sehingga dana itu aman,
mereka profesional begitu ya. Loh iya maksud saya begitu, gitu loh Pak. Tidak, tidak bahkan
merekaitu ada menciptakan social culture yang pro kepada dia sendiri. Ada lima dusun dalam
satu desa misalnya, desa dusun A dia NPL nonperform, hutangnya itu lebih dari 30% dalam
waktu tiga bulan, dusun-dusun tersebut tidak akan dapat pinjaman lagi bulan depan. Mereka
berlaku seperti itu, itu yang Indonesia di masa SBY. Tapi sekarang kan Indonesia di masanya
bukan SBY, begitu saya kira.
Jadi soal yang lain-lain saya kira, Mas, simpul saya sementara itu memang pemerintah
panjenengan itu gagal paham terhadap undang-undang, gagal paham. Kenapa? Subsidialitas
saja tidak paham mereka kok, ... (kurang jelas, red.). Jadi NKRI kembali Mas, di sini bukan
negara kesatuan saya singkat, Negara Kok Republik Indonesia. Saya kira repot, Pak. Jadi
karena itu, bagian-bagian ini menjadi menarik. Jadi kalau membandingkan tadi 85 banding
103 Pak, ya repot lagi Pak. Zamanku kudu zamanmu ... (kurang jelas, red.).
Terus kemudian empat program itu, unggulan, kemudian .... (kurang jelas, red.),
embung, olahraga. Ini yang repotnya lagi Bapak Ibu sekalian, kalau melaksanakan itu maka
desa mendapatkan eksklusivitas, ini kan gila lagi ini. Jadi bagaimana daerah pegunungan, Pak
Khaly, suruh bangun embung. Bukan embung yang didapat, tapi kembung yang dapat itu.
Duh repot ini UU Desa ini. Nah ini kalau main-main dengan satgas desa, ya saya kan agak
tahu Pak Bibit Samad. Mereka itu orang yang sangat profesional, orang yang punya
integritas, Pak Bibit Samad mantan KPK itu sekarang menjadi satgas dana desa. Ini kalau
Kemendes macam-macam bisa dilipat sama Pak Bibit. Besok kita undang Pak Bibit. Jadi Pak
Bibit orang yang cukup punya kredibilitas, punya integritas. Kalau dimain-mainkan, saya kira
Komite I harus memprovokasi Pak Bibit agar mereka melawan Kementerian Desa, saya kira