Page 1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar …………………………………………………………………………….......i
Daftar Isi ………………………………………………………………………………………1
BAB I : Pendahuluan …………………………………………………………….......2
BAB II : Anatomi dan Fisiologi ………………………………………………………3
BAB III : Sinusitis …………………………………………………………………….10
- 3.1 Etiologi …………………………………………………………………........10
- 3.2 Patogenesis …………………………………………………………………..11
- 3.3 Manifestasi Klinis ………………………………………………………......12
- 3.4 Pemeriksaan Fisik ………………………………………………………......13
- 3.5 Pemeriksaan Penunjang ……………………………………………………..18
- 3.6 Penatalaksanaan …………………………………………………………….19
- 3.7 Prognosis ………………………………………………………………........20
BAB IV : Terapi Pembedahan pada Sinusitis ……………………………………....21
BAB V : Kesimpulan ……………………………………………………………......37
Daftar Pustaka …………………………………………………………………………........38
1
Page 2
BAB I
PENDAHULUAN
Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasal. Definisi lain menyebutkan,
sinusitis adalah inflamasi dan pembengkakan membrana mukosa sinus disertai nyeri lokal.
Sesuai anatomi sinus yang terkena dapat dibagi menjadi sinusitis maxilla, sinusitis ethmoid,
sinusitis frontal, dan sinusitis sphenoid. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis
sedangkan bila mengenai semua sinus disebut paranasal sinusitis. (1,2)
Etiologi rinosinusitis kronis bersifat multifaktorial meliputi factor penjamu (host) baik
sistemik maupun lokal dan factor lingkungan.(3,4,5) Namun pada rinosinusitis kronis yang
persisten meskipun telah diberikan terapi yang adekuat biasanya berhubungan dengan adanya
obstruksi mekanik, riwayat alergi dan asma, inflamasi dari superantigen bakteri dan jamur
serta adanya polutan seperti rokok.(3,6,7)
Diagnosis rinosinusitis kronis didapatkan melalui anamnesis, pemeriksaan THT
dengan rinoskopi anterior dan posterior, nasoendoskopi kaku atau fleksibel, pemeriksaan
radiologi (Röntgen ataupun tomografi komputer sinus paranasal) dan pemeriksaan
mikrobiologi.(8,9)
Tatalaksana dan pengenalan dini terhadap sinusitis ini menjadi penting karena hal
diatas. Terapi antibiotic diberikan pada awalnya dan jika telah terjadi hipertrofi,
mukosa polipoid dan atau terbentuknya polip atau kista maka dibutuhkan tindakan
operasi (Mangunkusumo&Soetjipto, 2007).
2
Page 3
BAB II
ANATOMI dan FISIOLOGI
ANATOMI DAN FISIOLOGI RONGGA HIDUNG DAN SINUS PARANASAL
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi
karena bentuknya bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari
yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan
kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk
rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.(2)
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung
dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sphenoid dan sinus
frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, sedangkan sinus frontal
berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun.
Pneumatisasi sinus sphenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-
superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara
15-18 tahun.(2)
Tulang-tulang pembentuk dinding lateral hidung dijelaskan dalam gambar (2).
3
Page 4
Gambar 1. Tulang-tulang pembentuk dinding lateral hidung (1. Nasal; 2. Frontal; 3. Etmoid;
4. Sfenoid; 5. Maksila; 6. Prosesus palatina horizontal; 7. Konka superior (etmoid); 8. Konka
media (etmoid); 9. Konka inferior; 10. Foramene sfenopalatina; 11. Lempeng pterigoid
media; 13. Hamulus pterigoid media)
Gambar 2. Anatomi Sinus
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume
6-8 mL, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal,
yaitu 15 mL saat dewasa.(2)
Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os
maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra temporal
maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah
dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus
maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris
melalui infundibulum etmoid.(2)
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah: (2)
1. Dasar dari sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar
(P1 dan P2), molar (M1 dan M2) kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3,
4
Page 5
bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi
mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drenase kurang baik.
Lagipula drenase juga harus melalui infundibulum yang sempit.
Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat
radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitis.
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus,
berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus
frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum
usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada
yang lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15%
orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya
tidak berkembang.(2) Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan
dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak
adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen
menunjukan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari
orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah
ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal. Resesus
frontal adalah bagian dari sinus etmoid anterior.(2)
Sinus etmoid merupakan sinus yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap
paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Itu
dikarenakan sinus frontal dan sinus maksila mula-mula mengalirkan isinya melalui sinus
etmoidalis sebelum mencapai hidung. Sehingga jka sinus etmoid tidak mengeluarkan isinya
dengan lancar, sinus-sinus lain juga akan ikut tersumbat. Pada orang dewasa bentuk sinus
etmoid seperti piramida dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke
posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian
posterior.(2)
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon,
yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media
5
Page 6
dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata 9 sel).
Berdasarkan letaknya sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di
meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel etmoid
anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka media,
sedangkan sinus etmoid superior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan
terletak di postero-superior dari perlekatan konka media.(2)
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus
frontal yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid terbesar disebut bula etmoid. Di
daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum tempat
bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan dan peradangan di resesus frontal dapat
menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan
sinusitis maksila.(2)
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa,
dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid
dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus
sfenoid.(2)
6
Page 7
Gambar 3. Dinding lateral diperlihatkan tanpa konka. Muara sinus paranasal, demikian pula
duktus lakrimalis dapat terlihat membuka pada meatus yang bersesuaian.
Sinus sfenoid terletak dibagian belakang hidung, jauh di dalam tengkorak, terletak di
lokasi di mana mata dan otak bertemu. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut
septum intersfenoid. Setiap sinus sfenoid berukuran seperti sebuah anggur besar. Ukurannya
adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5
sampai 7,5 mL. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os
sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi
pada dinding sinus sfenoid. Arteri karotis berjalan melalui dinding luar sinus sfenoid. Batas-
batasnya adalah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofise, sebelah
inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri
karotis interna, dan sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah
pons.(2)
Pada sepertiga tengah dinding lateral lateral hidung terdapat daerah yang rumit dan
sempit disebut kompleks ostio-meatal yang merupakan muara-muara saluran dari sinus
maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior. Kompleks ostio-meatal terdiri dari
infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula
etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.(2)
Sistem Mukosiliar
Seperti pada mukosa hidung, didalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut
lender di atasnya. Didalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lender
menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya.(2)
Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transpor mukosiliar dari sinus. Lendir
yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infudibulum etmoid dialirkan
ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus
posterior bergabung di resessus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior
muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didaptkan sekret pasca-nasal (post nasal drip),
tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung.(2)
7
Page 8
FISIOLOGI SINUS PARANASAL
Sampai saat ini belum ada kesepakatan pendapat mengenai pernyataan bahwa sinus
paranasal mempunyai fungsi fisiologis yang nyata. Ada juga beberapa yang berpendapat
bahwa sinusparanasal tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat
pertumbuhan tulang muka. Negus adalah salah satu pendukung opini bahwa sinus juga
berfungsi sebagai indra penghidu dengan jalan memudahkan perluasan dari etmokonka,
terutama sinus frontalis dan sfenoidalis.
Etmoidalis yang dilapisi epitel penghidu dapat ditemukan pada beberapa binatang
misalnya anjing atau kucing. Pada manusia, sinus biasanya kosong dan indra penghidu kita
jauh lebih rendah dari etmokonka; etmokonka manusia jelas telah menghilang selama proses
evolusi.(2)
Ada beberapa teori yang mengatakan sinus paranasal mempunyai fungsi yaitu sebagai
berikut : (2)
1. Pengatur kondisi udara ( Air Conditioning )
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban
udara inspirasi.
Keberatan terhadap teori ini adalah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang
definitive antara sinus dan rongga hidung.
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada
tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam
sinus. Lagi pula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang banyak
mukosa hidung.
2. Penahan suhu ( Thermal Insulators )
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan ( buffer ) panas, melindungi orbita dan fossa
serebri dari suhu rongga hidung yang berubah – ubah. Akan tetapi kenyataannya sinus – sinus
paranasal yang besar tidak terletak diantara hidung dan organ – organ yang dilindungi.
3. Membantu keseimbangan kepala
Sinus paranasal membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.
Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan memberikan
pertambahan 1 % dari berat kepala, sehingga teori ini tidak dianggap bermakna.
4. Membantu resonansi suara
8
Page 9
Sinus paranasal mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara.
Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus
berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagi pula tidak ada korelasi antara resonansi suara
dan besarnya sinus pada hewan – hewan tingkat rendah.
5. Peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada
waktu bersin atau membuang ingus.
6. Membantu produksi mucus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan
dengan mucus di rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut
masuk dengan udara inspirasi karena mucus ini keluar dari meatus medius, tempat yang
paling strategis.
9
Page 10
BAB III
SINUSITIS
Sinusitis adalah peradangan pada mukosa sinus paranasalis. Sinusitis diberi nama
sesuai dengan sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis. Bila
mengenai semua sinus paranasalis disebut pansinusitis. (2)
Berdasarkan perjalanan penyakitnya terbagi atas : (2)
Sinusitis akut, bila infeksi beberapa hari sampai 4 minggu,
Sinusitis subakut, bila infeksi antara 4 minggu sampai 3 bulan,
Sinusitis kronik, bila infeksi sudah lebih dari 3 bulan
Berdasarkan letaknya, sinusitis terbagi atas: (10)
Sinusitis maksilaris
Sinusitis etmoidalis
Sinusitis frontalis
Sinusitis sphenoidalis
Sedangkan berdasarkan penyebabnya, sinusitis dibagi atas: (10)
Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu
yangmenyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Contohnya
rinitisakut (influenza), polip, dan septum deviasi
Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering menyebabkan
sinusitis infeksi adalah pada gigi geraham atas (pre molar dan molar). Bakteri
penyebabnya adalah Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenza,
Steptococcusviridans, Staphylococcus aureus, Branchamella catarhatis
3.1 Etiologi
Sinusitis akut
Agen etiologi sinusitis dapat berupa virus, bakteri atau jamur. Sinusitis virus biasanya
terjadi selama infeksi saluran pernafasan atas. Bakteri penyebab sinusitis akut tersering ialah
Streptococcus pneumonia, dapat juga Haemofillus influenzae, Staphilococcus aureus yang
ditemukan pada 70% kasus.(10)
Dapat pula disebabkan rinitis akut : infeksi faring, seperti faringitis, adenoiditis,
tonsilitis akut; infeksi gigi molar M1, M2, M3 atas, serta premolar P1, P2; berenang dan
10
Page 11
menyelam; trauma langsung yang dapat menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal;
dan barotrauma serta adanya faktor predisposisi antara lain :
Obstruksi mekanik, seperti deviasi septum, benda asing di hidung, tumor dan polip.
Rinitis kronik dan rinitis alergi juga menyebabkan obstruksi ostium sinus.
Lingkungan berpolusi, udara dingin serta kering yang dapat menyebabkan perubahan
pada mukosa dan kerusakan silia.
Sinusitis subakut
Etiologi dan faktor predisposisi kurang lebih sama dengan sinusitis akut, hanya tanda-
tanda radang akutnya sudah reda.
Sinusitis kronik
Polusi bahan, alergi, dan defisiensi imunologik menyebabakan silia rusak, sehingga
terjadi perubahan mukosa hidung. Perubahan ini mempermudah terjadinya infeksi. Terdapat
edema konka yang mengganggu draenase sekret, sehingga silia rusak, dan seterusnya. Jika
pengobatan pada sinusitis akut tidak adekuat, maka akan terjadi infeksi kronik.
3.2 Patogenesis
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostiumostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar (mucociliarry clearance) di dalam KOM (kompleks osteomeatal). Mukus juga
mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernapasan.
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium
tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan
terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-
bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Bila kondisi ini
menetap, sekret yang berkumpul didalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan
multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut
bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada
faktor presdiposisi, inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang.
11
Page 12
Mukosa makin membengkan dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai
akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip
dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi. (2)
3.3 Manifestasi Klinis
Keluhan utama rhinosinusitis akut adalah hidung sumbat disertai nyeri/ rasa tekanan
pada muka dan mukus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip) dapat
disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. (2)
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas
sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred pain). Nyeri pipi
menandakan sinusitis maxilla, nyeri dia antara atau di belakang ke dua bola mata
menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sphenoid, nyeri dirasakan di vertex, oksipital,
belakang bola mata dan daerah mastoid. Pada sinusitis maxilla kadang-kadang ada nyeri alih
ke gigi dan telinga. (2)
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post nasal drip yang
menyebabkan batuk dan sesak pada anak.(2)
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit di diagnosis. Kadang-kadang hanya
1 atau 2 dari gejala-gejala yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan
tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eustachius, gangguan ke
paru seperti bronkitis, bronkiektasis dan yang penting adalah serangan asma yang meningkat
dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.(2)
3.4 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik sinusitis pada inspeksi didapati adanya pembengkakan di pipi
sampai kelopak mata bawah, biasanya pada sinusitis maxilaris. Pembengkakkan di kelopak
mata atas mungkin terjadi pada sinusitis frontalis. Pada palpasi dan perkusi, nyeri tekan dan
nyeri ketuk dirasakan pada pipi dan gigi menunjukkan adanya sinusitis maxilaris, nyeri tekan
pada atap orbita menunjukkan adanya sinusitis frontalis. Dan nyeri tekan di daerah kantus
medius menunjukkan adanya sinusitis ethmioidalis. (2)
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan udem, pada sinusitis
maksilaris, ethmoidalis anterior dan frontalis tampak mukopus keluar dari meatus medius,
sedangkan pada sinusitis ethmoidalis posterior dan sinusitis sphenoid keluar mukopus dari
meatus superior Pada rinoskopi posterior tampak post nasal drip. Pada sinusitis kronik
12
Page 13
tampak nanah pada meatus medius atau meatus superior pada pemeriksaan rinoskopi anterior
dan pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok. (2)
Pada pemeriksan transluminasi sinus dilakukan di kamar gelap, dan sumber cahaya
diletakkan di mulut pasien pada salah satu sisi palatum durum, maka cahaya tersebut akan
dihantarkan melalui rongga sinus dan akan memberikan gambaran sinar yang samar-samar
dan berbentuk bulan sabit di bawah mata. Akan tetapi pemeriksaan ini hanya terbatas pada
sinus maksila dan sinus frontalis saja. Pemeriksaan ini bermakna bila hanya satu sisi sinus
yang terkena, maka akan tampak lebih suram dibandingkan dengan yang normal. (2)
Sinoskopi, merupakan pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan endoskop.
Endoskop dimasukan melalui lubang yang dibuat di meatus inferior atau di fossa koana.
Dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan di dalam sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan
granulasi, massa tumor atau kista, bagaimana keadaan mukosa, apakah ostiumnya terbuka. (2)
3.5 Pemeriksaan Penunjang
Transiluminasi
Transiluminasi menggunakan angka sebagai parameternya. Transiluminasi akan
menunjukkan angka 0 atau 1 apabila terjadi sinusitis (sinus penuh dengan cairan)
Rontgen sinus paranasalis
Pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal terdiri atas berbagai macam
posisi antara lain: (11)
a. Foto kepala posisi anterior-posterior ( AP atau posisi Caldwell)
b. Foto kepala lateral
c. Foto kepala posisi Waters
d. Foto kepala posisi Submentoverteks
e. Foto Rhese
f. Foto basis kranii dengan sudut optimal
g. Foto proyeksi Towne
Pemeriksaan foto polos kepala adalah pemeriksaan yang paling baik dan paling utama untuk
mengevaluasi sinus paranasal. Karena banyaknya unsur-unsur tulang dan jaringan lunak yang
13
Page 14
tumpang tindih pada daerah sinus paranasal, kelainan-kelainan jaringan lunak, erosi tulang
kadang-kadang sulit dievaluasi. Pemeriksaan ini dari sudut biaya cukup ekonomis dan pasien
hanya mendapat radiasi yang minimal. (11)
a.Foto kepala posisi AP (Posisi Caldwell)
Foto ini diambil pada posisi kepala meghadap kaset, bidang midsagital kepala tegak lurus
pada film. Idealnya pada film tampak pyramid tulang petrosum diproyeksi pada 1/3 bawah
orbita atau pada dasar orbita. Hal ini dapat tercapai apabila orbito-meatal line tegak lurus
pada film dan membentuk 1500 kaudal. (11)
Gambar 2. Foto kepala posisi Caldwell (diambil dari kepustakaan 12)
Gambar 3. Foto konvensional caldwell posisi PA menunjukkan air fluid level pada sinus
maxillaris merupakan gambaran sinusitis akut. (dikutip dari kepustakaan 11)
d. Foto lateral kepala
14
Page 15
Dilakukan dengan film terletak di sebelah lateral dengan sentrasi di luar kantus mata,
sehingga dinding posterior dan dasar sinus maksilaris berhimpit satu sama lain. (11)
Gambar 4. Foto lateral kepala (dikutip dari kepustakaan 12)
Gambar 5. Foto lateral menunjukkan gambaran air fluid level di sinus maksilla (dikutip dari
kepustakaan 13)
Pada sinusitis tampak :
- penebalan mukosa
- air fluid level (kadang-kadang)
- perselubungan homogen pada satu atau lebih sinus para nasal
- penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik) (14)
15
Page 16
e. Foto kepala Posisi Submentovertical
Foto diambil dengan meletakkan film pada vertex, kepala pasien menengadah sehingga garis
infraorbito meatal sejajar dengan film. Sentrasi tegak lurus film dalam bidang midsagital
melalui sella turcica kearah vertex. Posisi ini biasa untuk melihat sinus frontalis dan dinding
posterior sinus maxillaris. (11)
Gambar 6. Foto kepala posisi submentoverteks (dikutip dari kepustakaan 12)
f. Foto posisi Waters
Foto ini dilakukan dengan posisi dimana kepala menghadap film, garis orbito meatus
membentuk sudut 370 dengan film. Pada foto ini, secara ideal piramid tulang petrosum
diproyeksikan pada dasar sinus maxillaris sehingga kedua sinus maxillaris dapat dievaluasi
sepenuhnya. Foto Waters umumnya dilakukan pada keadaan mulut tertutup. Pada posisi
mulut terbuka akan dapat menilai dinding posterior sinus sphenoid dengan baik. (11)
16
Page 17
Gambar 7. Foto posisi Waters (dikutip dari kepustakaan 12)
g. Foto posisi Rhese
Posisi Rhese atau oblique dapat mengevaluasi bagian posterior sinus ethmoidalis, kanalis
optikus, dan lantai dasar orbita sisi lain. (11)
h. Foto kepala posisi Towne
17
Page 18
Posisi ini diambil dengan berbagai variasi sudut angulasi antara 300-600 ke arah garis
orbitomeatal. Sentrasi dari depan kira-kira 8 cm diatas glabela dari foto polos kepala dalam
bidang midsagital.proyeksi ini paling baik untuk menganalisis dinding posterior sinus
maxillaris, fisura orbitalis inferior, kondilus mandibularis dan arkus zigomatikus posterior.
(11)
Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa :
1. Penebalan mukosa,
2. Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)
3. Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat dilihat pada foto
waters.
Bagaimanapun juga, harus diingat bhwa foto SPN 3 posisi ini memiliki
kekurangan dimana kadang kadang bayangan bibir dapat dikacaukan dengan
penebalan mukosa sinus.
CT Scan
CT Scan adalah pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran yang paling baik
akan adanya kelainan pada mukosa dan variasi antominya yang relevan untuk mendiagnosis
sinusitis kronis maupun akut. Walaupun demikian, harus diingat bahwa CT Scan
menggunakan dosis radiasi yang sangat besar yang berbahaya bagi mata.
Sinoscopy
Sinoscopy merupakan satu satunya cara yang memberikan informasi akurat tentang
perubahan mukosa sinus, jumlah sekret yang ada di dalam sinus, dan letak dan keadaan dari
ostium sinus. Yang menjadi masalah adalah pemeriksaan sinoscopy memberikan suatu
keadaan yang tidak menyenangkan buat pasien.
Pemeriksaan mikrobiologi
Biakan yang berasal dari hidung bagian posterior dan nasofaring biasanya lebih akurat
dibandingkan dengan biakan yang berasal dari hidung bagian anterior. Namun demikian,
pengambilan biakan hidung posterior juga lebih sulit. Biakan bakteri spesifik pada sinusitis
dilakukan dengan menagspirasi pus dari sinus yang terkena. Seringkali diberikan suatu
antibiotik yang sesuai untuk membasmi mikroorganisme yang lebih umum untuk penyakit
ini.
18
Page 19
3.6 Penatalaksanaan
Tujuan terapi sinusitis ialah mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi dan
mencegah akut menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di kompleks
ostio-meatal (KOM) sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. (2)
Penatalaksanaan sinusitis supuratif dapat dibagi menjadi penatalaksanaan medis dan
penatalaksanaan bedah. Penatalaksanaan bedah dapat berupa penatalaksanaan bedah minor,
pembedahan di poliklinik atau intervensi di ruang operasi. (16)
1. Penatalaksanaan Medis
Karena sebagian besar infeksi sinusitis supuratif akut disebabkan oleh organisme
gram-positif yang kebanyakannya Diplococcus pneumonia, Staphylococcus aureus,
Steptococcus (grup A,B,dan D), dan Heamophilus influenza (gram negatif) disertai hospes
organisme anaerob, maka terapi terpilihnya penisilin G. Penisilin G juga merupakan pilihan
yang baik terapi awal dan definitive untuk kokus gram negatif, basal gram positif dan gram
negative. Ini kunci utama penatalaksanaan medis pada sinusitis supuratif akut. Untuk
H.influenza, diindikasikan pemberian ampisilin. (15)
Terapi antibiotic harus diteruskan minimum 1 minggu setelah gejala terkontrol. Lama
terapi rata-rata 10 hari. Karena banyaknya distribusi ke sinus-sinus yang terlibat, perlu
mempertahankan kadar antibiotika yang adekuat; bila tidak, mungkin terjadi sinusitis
supuratif kronik. .(16)
Tindakan lain yang dapat dilakukan untuk membantu memperbaiki drainase dan
pembersihan secret dari sinus. Untuk sinusitis maxillaris dilakukan pungsi dan irigasi sinus,
sedangkan untuk sinusitis ethmoidalis frontalis dan sinusitis sphenoidalis dilakukan tindakan
pencucian Proetz. Irigasi dan pencucian dilakukan 2 kali dalam seminggu. Bila setelah 5 atau
6 kali tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap banyak secret purulen, maka perlu dilakukan
bedah radikal. .(2)
Untuk pasien yang menderita alergi, pengobatan alergi yang dijalani bermanfaat.
Pengontrolan lingkungan, steroid topical, dan imunoterapi dapat mencegah eksesarbasi
rhinitis sehingga mencegah perkembangannya menjadi sinusitis. .(15)
2. Penatalaksanaan Bedah
Harus dipertimbangkan penatalaksanaan bedah untuk mempermudah drainase sinus yang
terkena serta mengeluarkan mukosa yang sakit.
19
Page 20
Hal ini diperlukan
(1) bila terancam komplikasi,
(2) untuk menghilangkan nyeri hebat, dan
(3) bila pasien tidak berespon terhadapat terapi medis. .(16)
3) Pembedahan Radikal
Pembedahan radikal yaitu pengangkatan mukosa yang patologik dan membuat
drainase dari sinus yang terkena. Untuk sinus maxillaris dilakukan operasi Caldwell-luc,
sedangkan untuk sinus ethmoidalis dilakukan ethmoidektomi yang anc dilakukan dari dalam
hidung (intranasal) atau dari luar (ekstranasal). Drainase ancer pada sinus frontalis dapat
dilakukan dari dalam hidung (intranasal) atau dari luar (ekstranasal) seperti dalam operasi
Kilian. Drainase sinus sphenoidalis dilakukan dari dalam hidung (intranasal). .(2)
b) Pembedahan Non-Radikal
Akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal dengan menggunakan
endoskop yang disebut Bedah Sinus Endoskop Fungsional (BSEF). Prinsipnya ialah
membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal yang menjadi sumber sumbatan
dan infeksi, sehingga ventilasi dan drainase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami.
Dengan demikian mukosa sinus akan kembali normal. .(2)
3.7 Prognosis
Sinusitis akut memiliki prognosis yang sangat baik, dengan perkiraan 70% penderita
sembuh tanpa pengobatan. Sedangkan sinusitis kronik memiliki prognosis yang bervariasi.
Jika penyebabnya adalah kelainan anatomi dan telah diterapi dengan bedah, maka
prognosisnya baik.lebih dari 90% pasien membaik dengan intervensi bedah, namun pasien ini
kadang mengalami kekambuhan. .(15)
20
Page 21
BAB IV
TERAPI PEMBEDAHAN pada SINUSITIS
Pembedahan dilakukan apabila pengobatan dengan medikamentosa sudah gagal.
Harus dipertimbangkan penatalaksanaan bedah untuk mempermudah drainase sinus yang
terkena serta mengeluarkan mukosa yang sakit.
Hal ini diperlukan :
(1) bila terancam komplikasi,
(2) untuk menghilangkan nyeri hebat, dan
(3) bila pasien tidak berespon terhadapat terapi medis. .(16)
Teknik pembedahan pada terapi sinusitis dapat dibagi menjadi 2 , yaitu :
a) Pembedahan Radikal
Pembedahan radikal yaitu pengangkatan mukosa yang patologik dan membuat drainase dari
sinus yang terkena. Untuk sinus maxillaris dilakukan operasi Caldwell-luc, sedangkan untuk
sinus ethmoidalis dilakukan ethmoidektomi yang bisa dilakukan dari dalam hidung
(intranasal) atau dari luar (ekstranasal). Drainase sekret pada sinus frontalis dapat dilakukan
dari dalam hidung (intranasal) atau dari luar (ekstranasal) seperti dalam operasi Kilian.
Drainase sinus sphenoidalis dilakukan dari dalam hidung (intranasal). .(2)
b) Pembedahan Non-Radikal
Akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal dengan menggunakan
endoskop yang disebut Bedah Sinus Endoskop Fungsional (BSEF). Prinsipnya ialah
membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal yang menjadi sumber sumbatan
dan infeksi, sehingga ventilasi dan drainase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami.
Dengan demikian mukosa sinus akan kembali normal. .(2)
Caldwell-Luc Procedure
Teknik operasi Caldwell-luc atau radical antrostomy biasa digunakan oleh bedah mulut dan
maksilofasial sebagai jalan masuk menuju sinus maksilaris untuk mengeluarkan akar gigi
atau benda asing , oleh dokter tht digunakan untuk mengobati sinusitis maksilaris kronis, dan
oleh dokter bedah kepala dan leher digunakan untuk melakukan dekompresi oleh grave’s
opthalmopathy.
21
Page 22
Teknik operasi Caldwell-Luc : lakukan insisi di sublabial pada sulkus bucal di sebelah
kiri lateral dari gigi incisivus ke ipsilateral gigi molar I. Bagian mucoperiosteal di balik atau
periosteum maxillaris anterior di naikkan dan di angkat sampai ke bagian kiri bawah nervus
orbita dapat terlihat. Antrostomi dilakukan sampai melewati tulang yang tebal dari seluruh
fossa caninus. Kemudian di masukkan fibre optic probe yang digunakan untuk mendapatkan
lapang pandang yang lebih baik pada antrum dan ostium. Lalu di lakukan irigasi dari sinus
dengan menggunakan normal saline. Setelah bersih,luka operasi ditutup kembali dengan
menggunakan jahitan yang di absorpsi sehingga tidak meninggalkan jaringan parut pada luka
insisinya.
22
Page 23
BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL (BSEF)
Definisi BSEF
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus
Surgery (FESS) adalah teknik operasi pada sinus paranasal dengan menggunakan endoskop
yang bertujuan memulihkan “mucociliary clearance” dalam sinus. Prinsipnya ialah membuka
dan membersihkan daerah kompleks osteomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan
infeksi sehingga ventilasi dan drenase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami. (2,17,18)
Dibandingkan dengan prosedur operasi sinus sebelumnya yang bersifat invasif radikal
seperti operasi Caldwel-Luc, fronto-etmoidektomi eksternal dan lainnya, maka BSEF
merupakan teknik operasi invasif yang minimal yang diperkenalkan pertama kali pada tahun
1960 oleh Messerklinger dan kemudian dipopulerkan di Eropa oleh Stammberger dan di
Amerika oleh Kennedy. Sejak tahun 1990 sudah mulai diperkenalkan dan dikembangkan di
Indonesia.
Dengan alat endoskop maka mukosa yang sakit dan polip-polip yang menyumbat
diangkat sedangkan mukosa sehat tetap dipertahankan agar transportasi mukosilier tetap
berfungsi dengan baik sehingga terjadi peningkatan drenase dan ventilasi melalui ostium-
ostium sinus. Teknik bedah BSEF sampai saat ini dianggap sebagai terapi terkini untuk
sinusitis kroniks dan bervariasi dari yang ringan yaitu hanya membuka drenase dan ventilasi
kearah sinus maksilaris (BSEF mini) sampai kepada pembedahan lebih luas membuka
seluruh sinus (fronto-sfeno-etmoidektomi).
Teknik bedah endoskopi ini kemudian berkembang pesat dan telah digunakan dalam
terapi bermacam-macam kondisi hidung, sinus dan daerah sekitarnya seperti mengangkat
tumor hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran liquor serebrospinal, tumor hipofisa,
tumor dasar otak sebelah anterior, media bahkan posterior, dakriosistorinostomi, dekompresi
orbita, dekompresi nervus optikus, kelainan kogenital (atresia koana) dan lainnya.
Keuntungan dari teknik BSEF, dengan penggunaan beberapa alat endoskop bersudut
dan sumber cahaya yang terang, maka kelainan dalam rongga hidung, sinus dan daerah
sekitarnya dapat tampak jelas. Dengan demikian diagnosis lebih dini dan akurat dan operasi
lebih bersih / teliti, sehingga memberikan hasil yang optimal. Pasien juga diuntungkan karena
morbiditas pasca operasi yang minimal. Penggunaan endoskopi juga menghasilkan lapang
pandang operasi yang lebih jelas dan luas yang akan menurunkan komplikasi bedah.(19)
23
Page 24
Indikasi
Indikasi umumnya adalah untuk rinosinusitis kronik atau rinosinusitis akut berulang
dan polip hidung yang telah diberi terapi medikamentosa yang optimal. Indikasi lain BSEF
termasuk didalamnya adalah rinosinusitis dengan komplikasi dan perluasannya, mukokel,
sinusitis alergi yang berkomplikasi atau sinusitis jamur yang invasif dan neoplasia.. (20) Bedah
sinus endoskopi sudah meluas indikasinya antara lain untuk mengangkat tumor hidung dan
sinus paranasal, menambal kebocoran liquor serebrospinal, tumor hipofisa, tumor dasar otak
sebelah anterior, media bahkan posterior, dakriosistorinostomi, dekompresi orbita,
dekompresi nervus optikus, kelainan kogenital (atresia koana) dan lainnya.
Kontraindikasi
1. Osteitis atau osteomielitis tulang frontal yang disertai pembentukan sekuester.
2. Pasca operasi radikal dengan rongga sinus yang mengecil (hipoplasi).(19)
3. Penderita yang disertai hipertensi maligna, diabetes mellitus, kelainan hemostasis
yang tidak terkontrol oleh dokter spesialis yang sesuai.
Persiapan Pra-operasi Persiapan Kondisi Pasien.
Pra-operasi kondisi pasien perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Jika ada
inflamasi atau udem, harus dihilangkan dahulu, demikian pula jika ada polip, sebaiknya
diterapi dengan steroid dahulu (polipektomi medikamentosa). Lihat. Kondisi pasien yang
hipertensi, memakai obat-obat antikoagulansia juga harus diperhatikan, demikian pula yang
menderita asma dan lainnya.
Naso-endoskopi prabedah untuk menilai anatomi dinding lateral hidung dan
variasinya. Pada pemeriksaan ini operator dapat menilai kelainan rongga hidung, anatomi
dan variasi dinding lateral misalnya meatus medius sempit karena deviasi septum, konka
media bulosa, polip meatus medius, konka media paradoksikal dan lainnya. Sehingga
operator bisa memprediksi dan mengantisipasi kesulitan dan kemungkinan timbulnya
komplikasi saat operasi.
CT Scan.
Gambar CT scan sinus paranasal diperlukan untuk mengidentifikasi penyakit dan
perluasannya serta mengetahui landmark dan variasi anatomi organ sinus paranasal dan
24
Page 25
hubungannya dengan dasar otak dan orbita serta mempelajari daerah-daerah rawan tembus ke
dalam orbita dan intra kranial. Konka-konka, meatus-meatus terutama meatus media beserta
kompleks ostiomeatal dan variasi anatomi seperti kedalaman fossa olfaktorius, adanya sel
Onodi, sel Haller dan lainnya perlu diketahui dan diidentifikasi, demikian pula lokasi
a.etmoid anterior, n.optikus dan a.karotis interna penting diketahui.
Gambar CT scan penting sebagai pemetaan yang akurat untuk panduan operator saat
melakukan operasi. Berdasarkan gambar CT tersebut, operator dapat mengetahui daerah-
daerah rawan tembus dan dapat menghindari daerah tersebut atau bekerja hati-hati sehingga
tidak terjadi komplikasi operasi. Untuk menilai tingkat keparahan inflamasi dapat
menggunakan beberapa sistem gradasi antaranya adalah staging Lund-Mackay. Sistem ini
sangat sederhana untuk digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil
gambaran CT scan.
Lund-MacKay Radiologic Staging System(21)
Lokasi Gradasi Radiologik *Gradasi radiologik dari 0-2 :
Gradasi 0 : Tidak ada kelainan
Gradasi 1 : Opasifikasi parsial
Gradasi2 : Opasifikasi
komplit
Sinus maksila
Etmoid anterior
Etmoid posterior
Sfenoid
Frontal
Kompl. Osteomeatal Gradasi 0 dan 2 saja
Tahapan operasi (22)
Tujuan BSEF adalah membersihkan penyakit di celah-celah etmoid dengan panduan
endoskop dan memulihkan kembali drenase dan ventilasi sinus besar yang sakit secara alami.
Prinsip BSEF adalah bahwa hanya jaringan patologik yang diangkat, sedangkan jaringan
sehat dipertahankan agar tetap berfungsi. Jika dibandingkan dengan bedah sinus terdahulu
yang secara radikal mengangkat jaringan patologik dan jaringan normal, maka BSEF jauh
lebih konservatif dan morbiditasnya dengan sendirinya menjadi lebih rendah. Teknik operasi
BSEF adalah secara bertahap, mulai dari yang paling ringan yaitu infundibulektomi, BSEF
mini sampai frontosfenoidektomi total. Tahap operasi disesuaikan dengan luas penyakit,
25
Page 26
sehingga tiap individu berbeda jenis atau tahap operasi. Karenanya tidak ada tindakan rutin
seperti bedah sinus terdahulu. Berikut ini dijelaskan tahapan-tahapan operasi.
Infundibulektomi dan pembesaran ostium sinus maksila
Pertama-tama perhatikan akses ke meatus medius, jika sempit akibat deviasi septum,
konka bulosa atau polip, koreksi atau angkat polip terlebih dahulu. Tidak setiap deviasi
septum harus dikoreksi, kecuali diduga sebagai penyebab penyakit atau dianggap akan
mengganggu prosedur endoskopik. Sekali-kali jangan melakukan koreksi septum hanya agar
instrumen besar bisa masuk. Tahap awal operasi adalah membuka rongga infundibulum yang
sempit dengan cara mengangkat prosesus uncinatus sehingga akses ke ostium sinus maksila
terbuka.
Selanjutnya ostium dinilai, apakah perlu diperlebar atau dibersihkan dari jaringan
patologik. Dengan membuka ostium sinus maksila dan infundibulum maka drenase dan
ventilasi sinus maksila pulih kembali dan penyakit di sinus maksila akan sembuh tanpa
melakukan manipulasi di dalamnya. Jika kelainan hanya di sinus maksila, tahap awal operasi
ini sudah cukup. Tahap operasi semacam ini disebut sebagai Mini FESS atau BSEF Mini.
Eksenterasi sinus maksila
Pengangkatan kelainan ekstensif di sinus maksila seperti polip difus atau kista besar
dan jamur masif, dapat menggunakan cunam bengkok yang dimasukkan melalui ostium sinus
maksila yang telah diperlebar. Dapat pula dipertimbangkan memasukkan cunam melalui
meatus inferior jika cara diatas gagal. Jika tindakan ini sulit, lakukanlah bedah Caldwell-Luc,
tetapi prinsip BSEF yang hanya mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan jaringan
normal agar tetap berfungsi dan melebarkan ostium asli di meatus medius dianjurkan untuk
dilakukan disini.
Etmoidektomi retrograde
Jika ada sinusitis etmoid, operasi dilanjutkan dengan etmoidektomi, sel-sel sinus
dibersihkan termasuk daerah resesus frontal jika ada sumbatan di daerah ini dan jika disertai
sinusitis frontal. Caranya adalah retrograde sebagai berikut. Setelah tahap awal tadi (BSEF
Mini), sebaiknya mempergunakan teleskop 00, dinding anterior bula etmoid ditembus dan
diangkat sampai tampak dinding belakangnya yaitu lamina basalis yang membatasi sel-sel
etmoid anterior dan posterior. Jika ada sinus lateralis, maka lamina basalis akan berada
26
Page 27
dibalakang sinus lateralis ini. Lamina basalis berada tepat di depan endoskop 00 dan tampak
tipis keabu-abuan, lamina ditembus di bagian infero-medialnya untuk membuka sinus etmoid
posterior.
Selanjutnya sel-sel etmoid posterior (umumnya selnya besar-besar) di observasi dan
jika ada kelainan, sel-sel dibersihkan dan atap sinus etmoid posterior yang merupakan dasar
otak diidentifikasi. Identifikasi dasar otak di sinus etmoid posterior sangat penting mencegah
penetrasi dasar otak pada pengangkatan sel etmoid selanjutnya. Dengan jejas dasar otak
sebagai batas atas diseksi, maka diseksi dilanjutkan ke depan secara retrograde
membersihkan partisi sel-sel etmoid anterior sambil memperhatikan batas superior diseksi
adalah tulang keras dasar otak (fossa kranii anterior), batas lateral adalah lamina papirasea
dan batas medial konka media. Disini mempergunakan teleskop 00 atau 300. Cara
membersihkan sel etmoid anterior secara retrograde ini lebih aman dibandingkan cara lama
yaitu dari anterior ke posterior dengan kemungkinan penetrasi intrakranial lebih besar.
Keuntungan melakukan diseksi etmoid posterior terlebih dahulu adalah karena dasar
otak yang merupakan atap sinus etmoid posterior lebih mudah ditemukan dan diidentifikasi
sebagai tulang keras yang letaknya agak horisontal sehingga kemungkinan penetrasi lebih
kecil dari pada di etmoid anterior dimana dasar otaknya lebih vertikal.
Arteri etmoid anterior.
Identifikasi arteri sangat penting. Ia berada di atas perlekatan bula etmoid pada dasar
otak. Setelah diseksi, arteri akan tampak dalam kanal tulang di batas belakang atap resesus
frontal. Hindari trauma pada arteri ini.
Sel Onodi.
Sel Onodi tampak pada gambar CT dan menurut Sethi akan ditemukan 1: 2-3 pada
spesimen Asia. Bahaya keberadaan sel Onodi adalah kemungkinan melekatnya n.optikus dan
a.Karotis Interna pada dinding lateralnya. Saat diseksi di sinus etmoid posterior, harus ingat
adanya sel Onodi. Jika ada sel etmoid posterior yang sangat berpneumatisasi, berbentuk
piramid dengan dasarnya menghadap ke endoskop, ini adalah sel Onodi. Perhatikan apakah
ada penonjolan n.optikus dan / atau a.karotis di sisi lateralnya. Hindari trauma pada organ
penting ini, terutama trauma pada a.karotis interna dapat berakibat fatal bagi pasien.
Sinus frontal
27
Page 28
Untuk memperbaiki drenase sinus frontal dan membuka ostium sinus frontal, resesus
frontal harus dibersihkan terlebih dahulu. Diseksi disini menggunakan cunam Blakesley
upturned dipandu endoskop 300. Setelah partisi sel-sel resesus frontal dibersihkan, ostium
biasanya langsung tampak. Lokasi ostium dapat di identifikasi berdasar tempat perlekatan
superior dari prosesus unsinatus. Jika perlekatan tersebut pada orbita, maka drenase dan
lokasi ostium ada di sebelah medial perlekatan unsinatus. Jika unsinatus melekat pada dasar
otak atau konka media, maka drenase dan ostium ada disebelah lateral perlekatan. Panduan
ini terutama diperlukan jika ostium tersembunyi oleh polip, sel-sel frontal dan variasi
anatomi. Hati-hati saat diseksi di sisi medial, terutama jika pada gambar CT scan ditemukan
lamina lateralis kribriformis yang panjang (Keros tipe III), hindarkan ujung cunam
menghadap daerah ini.
Beberapa penyebab ostium sinus frontal tersembunyi adalah jaringan udem,
polip/popipoid, sisa prosesus uncinatus di bagian superior, variasi anatomi seperti sel-sel
agger nasi yang meluas ke posterior, bula etmoid meluas ke anterior, sel supra-orbital sangat
cekung menyerupai kedalaman sinus frontal dan lainnya. Semua ini dibersihkan dengan
cunam Blekesley upturned, cunam-cunam jerapah atau kuret J dipandu endoskop 30 dan / 70,
dengan memperhatikan luasnya sinus frontal pada gambar CT, serta mengingat lokasi drenase
sinus frontal, kekeliruan membuka ostium sinus frontal dapat dihindari. Adanya gelembung
udara atau turunnya sekret menunjukkan lokasi ostium yang sebenarnya. Kista atau polip di
sinus frontal dapat dibersihkan dengan menarik ujung polip yang dapat dicapai dengan cunam
jerapah, biasanya seluruh polip ikut tertarik keluar. Cunam jerapah ini khusus dibuat untuk
bekerja di atap resesus frontal. Polip yang berada di ujung lateral sinus frontal merupakan
kontraindikasi tindakan BSEF karena tidak dapat dicapai dengan teknik ini, dalam hal ini
harus dilakukan pendekatan ekstranasal.
Jaringan parut masif yang menutup ostium juga merupakan kontraindikasi BSEF.
Pada keadaan ini operasi trepinasi sinus frontal yang dikombinasi endoskopi merupakan
pilihan. Setelah resesus frontal dan infudibulum dibersihkan, maka jalan ke sinus frontal dan
maksila sudah terbuka, drenase dan ventilasi akan pulih dan kelainan patologik di kedua sinus
tersebut akan sembuh sendiri dalam beberapa minggu tanpa dilakukan suatu tindakan
didalamnya. Ada beberapa teknik yang bisa dilakukan mencegah trauma a.etmoid anterior
dan dasar otak antaranya Intact Bulla Technique dan Axillary Flap.
Sfenoidektomi
28
Page 29
Biasa yang dilakukan bukan sfenoidektomi tetapi sfenoidotomi, yaitu hanya membuka
sinus sfenoid. Ini bukan prosedur rutin BSEF. Di dalam sinus ada kanal n.optikus dan
a.karotis, sehingga manipulasi daerah ini dapat berakibat kebutaan, kebocoran likuor atau
perdarahan hebat dengan kemungkinan fatal. Sfenoidektomi memerlukan perencanaan yang
matang. Anatomi rincinya harus dipelajari dengan seksama dan CT scan potongan koronal
bahkan kalau perlu potongan aksial dan MRI. Perhatikan letak n.optikus, a.karotis dan apakah
ujung septum intersfenoid melekat pada a.karotis sehingga jika diangkat dapat menyebabkan
ruptur arteri yang fatal.
Manipulasi di sinus sfenoid harus dilakukan secara hati-hati. Karena n.optikus dan
a.karotis berada di daerah laterosuperior, maka sebaiknya diseksi di bagian medial dan
inferior saja. Menurut Stammberger, pada 25% kasus ditemukan dehisence di kanal tulang
a.karotis. Jika ingin mengangkat septum intersfenoid, harus yakin bahwa ujung septum tidak
bertaut pada a.karotis interna atau n.optikus. Prinsip ini penting dalam menunjang hasil
terapi. Kennedy mengemukakan bahwa dengan mempertahankan mukosa sedapat mungkin,
penyembuhan terjadi lebih cepat dan lebih baik. Moriyama juga menganjurkan mengangkat
jaringan patologik dipermukaan mukosa saja dengan cunam yang memotong (cutting forcep).
Dalam penyelidikannya, cara ini menunjang penyembuhan fisiologik dimana sel-sel bersilia
akan regenerasi setelah 6 bulan. (RUJUKAN)
Perawatan Pasca Operasi
Secara teoritis, walaupun belum terbukti, pembersihan pasca operasi dilakukan untuk
membersihkan sisa perdarahan, sekret, endapan fibrin, krusta, dan devitalisasi tulang yang
bila tidak dilakukan dapat menimbulkan infeksi, jaringan fibrotik, sinekia, dan osteitis.
Perawatan operasi sebaiknya dilaksanakan oleh operator karena operator yang mengetahui
lokasi dan luas jaringan yang diangkat. Manipulasi agresif dihindari untuk mencegah
terjadinya penyakit iatrogenik.
Beberapa penulis menyebutkan prosedur pembersihan pasca operasi dilakukan seawal
mungkin setelah operasi selesai yaitu pada hari ke-1 dan selanjutnya setiap 2 sampai 4 hari
secara teratur. Fernandes pada suatu studi prospektif melaporkan pada 55 pasien yang
dilakukan BSEF 95,5% pasien memperlihatkan perbaikan gejala klinik sekitar 50% lebih
pada perawatan pasca operasi hanya dengan irigasi larutan salin hipertonik setelah hari ke-10
postoperatif. Beberapa ahli menyebutkan penggunaan antibiotik profilaksis pada semua
29
Page 30
pasien, dimana ahli yang lain menggunakannya hanya pada kasus adanya infeksi. Sementara
itu pada suatu penelitian prospektif acak, tersamar ganda oleh Annys dan Jorrisen dikutip dari
Schlosser37 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pada gejala klinik setelah
pemberian cefuroksim postoperasi.
Komplikasi
Semenjak diperkenalkan teknik BSEF sangat populer dan diadopsi dengan cepat oleh
para ahli bedah THT di seluruh dunia. Seiring dengan kemajuannya, muncul berbagai
komplikasi akibat operasi bahkan komplikasi yang berbahaya. Karenanya para ahli segera
melakukan penelitian tentang komplikasi yang mungkin terjadi akibat BSEF dan mencari
cara untuk mencegah dan menghindarinya dan mengobatinya. Pemahaman yang mendalam
tentang anatomi bedah sinus, persiapan operasi yang baik dan tentunya pengalaman ahli
dalam melakukan bedah sinus akan mengurangi dan mencegah terjadinya komplikasi.
Komplikasi BESF dapat dikategorikan menjadi komplikasi intranasal,
periorbital/orbital, intrakranial, vaskular dan sistemik. 38
1. Komplikasi Intransal Sinekia.
Masalah yang sering timbul berkaitan dengan bedah sinus endoskopik adalah
terjadinya sinekia yang disebabkan melekatnya dua permukaan luka yang saling
berdekatan, umumnya permukaan konka media dan dinding lateral hidung.
Stammberger dkk melaporkan insidens sinekia yaitu sekitar 8%, namun hanya 20%
yang menyebabkan gangguan sumbatan.
Disfungsi penciuman dapat terjadi bila celah olfaktori obstruksi akibat sinekia konka
media dengan septum. Untuk mencegah ketidak stabilan konka media, maka
perlekatan superior dan inferior dari konka media harus dipertahankan.
Stenosis ostium sinus maksila.
Stenosis ostium sinus maksila pasca pembedahan terjadi sekitar 2 %. Pembukaan
ostium sebesar diameter 3mm diperkirakan sudah dapat menghasilkan drenase
fisiologik. Stankiewicsz mengatakan bahwa pelebaran ostium secara melingkar dapat
menyebabkan timbulnya parut dan stenosis ostium sinus maksila. Metode terbaik
memperlebar ostium adalah dengan membuka ke salah satu atau beberapa dari arah
30
Page 31
ini yaitu ke anterior, posterior, dan inferior. Bila stenosis terjadi bersamaan dengan
timbulnya gejala maka revisi bedah mungkin diperlukan.
Kerusakan duktus nasolakriamalis.
Komplikasi ini sangat jarang karena duksus nasolakrimalis berada di sepanjang kanal
keras sakus lakrimalis dan bermuara di meatus inferior. Duktus ini dapat terluka saat
pelebaran ostium maksila ke arah anterior. Bolger dan Parson dkk melakukan studi
terhadap pasien yang mengalami perlukaan duktus nasolakrimalis, tidak ada yang
mengalami gejala dakriosisititis atau epifora.
Rekomendasi untuk mencegah hal ini adalah melakukan pelebaran ostium sinus
maksila terutama dari arah posterior dan / inferior.
2.Komplikasi Periorbital/Orbital Edema kelopak mata/ekimosis/emfisema.
Edema kelopak mata, ekimosis, dan atau emfisema kelopak mata secara tidak
langsung terjadi akibat trauma pada lamina papirasea. Proyeksi medial lamina
papirasea pada rongga hidung dan struktur tulangnya yang lembut menyebabkan
lamina papirasea mudah trauma selama prosedur bedah dilakukan. Kejadian rusaknya
lamina papirasea sekitar 0,5-1,5% di tangan seorang ahli yang sudah berpengalaman.
Pada umumnya akan sembuh sendiri dalam 5 hari tanpa diperlukan pengobatam
khusus.
Perdarahan retrobulbar.
Perdarahan retrobulbar merupakan komplikasi yang berbahaya. Tandanya adalah
proptosis mendadak, bola mata keras disertai edema kelopak mata, perdarahan
subkonjungtiva, nyeri, oftalmoplegi, dan proptosis. Seiring dengan meningkatnya
tekanan intraokuler, iskemi retina terjadi dan menyebabkan kehilangan penglihatan,
midriasis dan defek pupil. Karenanya saat prosedur pembedahan, mata pasien agar
selalu tampak dalam pandangan operator.
Kerusakan nervus optikus.
Meskipun sangat jarang, komplikasi ini pernah dilaporkan. Visualisasi yang kurang
adekuat selama pembedahan, yang dapat pula disebabkan oleh adanya perdarahan,
31
Page 32
serta buruknya pemahaman mengenai anatomi bedah merupakan penyebab terjadinya
trauma pada n.optikus yang dapat menyebabkan gangguan penglihatan.
Gangguan pergerakan otot mata.
Pembedahan pada dinding medial dapat menyebabkan trauma atau putusnya otot
rektus medialis atau otot oblikus superior mata serta kerusakan pada saraf yang
menginervasinya.
3. Komplikasi Intrakranial
Komplikasi intrakranial merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pemula. Cara
diseksi etmoidektomi retrograde dan membaca daerah rawan tembus di CT scan
preoperasi (tipe Keros) akan menghindarkan komplikasi ini. Kebocoran cairan
serebrospinal selama prosedur bedah merupakan komplikasi yang jarang terjadi.
Insidensi komplikasi ini dilaporkan sebanyak 0,05-0,9%. Jika terjadi saat operasi
harus segera dilakukan penambalan menggunakan jaringan sekitarnya misalnya konka
media dan septum. Jika terjadi pasca operasi dapat diobservasi karena 90%
diharapkan dapat menutup sendiri.
4. Komplikasi Sistemik
Walaupun jarang, infeksi dan sepsis mungkin terjadi pada setiap prosedur bedah.
Masalah yang dapat terjadi berkaitan dengan komplikasi sistemik pada bedah sinus
adalah pemakaian tampon hidung yang dapat menyebabkan toxic shock syndrome
(TSS). Kondisi ini ditandai dengan adanya demam dengan suhu lebih tinggi dari
39,50 C, deskuamasi dan hipotensi ortostatik. Toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1)
dihasilkan oleh strain Stafilokokus aureus. Jacobson dkk melaporkan insidensi TSS
adalah 16/100.000 kasus yang dilakukan bedah sinus endoskopik. Bila digunakan
tampon setelah operasi, direkomendasikan untuk memberikan bacitrasin yang
merupakan agen yang efektif melawan Stafilokokus aureus.
Penyulit Selama Prosedur Bedah Berlangsung dan Penanganannya
Penyulit infundibulotomi.
Penyulit yang dapat terjadi di tahap awal ini adalah kesulitan insisi infundibulotom
jika letak unsinatus terlalu dislokasi ke lateral atau ada konka media yang paradoksikal. Insisi
sulit dan ujung pisau dapat melukai orbita ini. Hal ini diatasi dengan meluksasi unsinatus ke
32
Page 33
medial menggunakan ujung bengkok ostium seeker, kemudian potong dengan backbiting.
Cara ini terbukti menurunkan komplikasi ke orbita.
Penyulit pelebaran ostium.
Penyulit juga dapat terjadi jika pasca infundibulotomi, ostium tidak langsung tampak.
Seringkali akibat infundibulotomi yang tidak sempurna, sehingga masih ada sisa unsinatus
yang menutupi ostium. Keadaan ini diatasi dengan mengangkat sisa unsinatus dengan
backbiting. Jika ostium tetap tidak dapat ditemukan meskipun tidak ada lagi sisa unsinatus,
lakukan palpasi dengan kuret J di sepanjang pertautan tulang konka inferior. Palpasi jangan
terlalu ke atas karena dapat menembus orbita. Adanya gelembung udara menunjukkan lokasi
ostium yang dicari. Harus diingat bahwa lokasi ostium adalah di pertemuan aspek antero-
superior dan postero-inferior infundibulum dan berada di depan aspek anterior bula etmoid.
Karenanya, adanya bula etmoid dapat membantu menentukan lokasi ostium, sehingga
dianjurkan supaya pengangkatan bula setelah identifikasi ostium sinus maksila. Pelebaran
ostium dapat dilakukan ke arah posterior menggunakan gunting atau cunam Blakesley lurus,
selipkan salah satu ujungnya ke sisi dalam fontanel posterior. Pelebaran ke arah anterior
menggunakan backbiting dan ke inferior menggunakan sidebiting. Pelebaran ostium dapat
juga menggunakan kuret J.
Pelebaran ostium hanya pada 1 atau 2 sisi, tidak dibenarkan memperlebar ke semua
arah, karena akan terjadi jaringan ikat melingkar dan gangguan drenase di kemudian hari.
Dengan membiarkan 1 atau 2 sisi ostium utuh, kemungkinan obliterasi dicegah. Ostium
asesori yang ditemukan harus disatukan dengan ostium asli, agar tidak menyebabkan infeksi
berulang.
Penyulit etmoidektomi.
Penyulit pada tahap ini adalah saat identifikasi dan menembus lamina basalis.
Identifikasi sering sulit karena perubahan patologik atau variasi anatomi, misalnya adanya
sinus lateralis diantara dinding belakang bula dan lamina basalis atau adanya sel etmoid
anterior yang meluas ke belakang dan menekan dinding lamina basalis menjadi berbenjol-
benjol. Seringkali atap etmoid diduga sebagai lamina basalis. Operator harus yakin betul
identifikasi lamina basalis sebelum menembusnya agar tidak terjadi kebocoran cairan otak.
Lamina basalis bagian superior dan anterior berdekatan dengan dasar otak, tetapi karena
dinding lamina berjalan ke arah posterior dan inferior, maka makin ke belakang makin jauh
33
Page 34
jaraknya terhadap dasar otak. Karenanya menembus lamina basalis di sebelah medial bawah
merupakan tempat paling aman.
Mencegah penetrasi intrakranial.
Penyulit utama saat diseksi retrograde adalah mencegah penetrasi intrakranial.
Ketebalan tulang dasar otak tidak sama, bagian antero-medial paling tipis, hanya 1/10 bagian
lateral sehingga paling rawan tembus. Karenanya dianjurkan untuk bekerja di sebelah lateral
agar lebih aman. Daerah rawan lainnya adalah pertautan atap etmoid (fovea etmoidales)
dengan lamina kribosa yang disebut lamina lateralis kribosa yang merupakan tulang tipis
yang panjangnya bervariasi antara 3-16 mm. Berdasarkan bentuk dan panjang lamina lateralis
ini, Kerose membaginya dalam 4 tipe. Ohnishi juga mendapatkan bahwa atap medial etmoid
mempunyai banyak dehiscence dan celah-celah. Daerah pertautan konka media pada dasar
otak dan aspek antero-lateral dinding sel-sel etmoid juga merupakan daerah rawan tembus.
Variasi anatomi diatas dapat diketahui dari gambar CT scan dan sebaiknya operator
menghindari daerah ini atau jika terpaksa, bekerjalah ekstra hati-hati. Jika bekerja di daerah
medial, dianjurkan selalu menghadapkan cunam agak ke lateral.
Mencegah penetrasi orbita.
Penyulit lainnya adalah mencegah penetrasi ke orbita. Ini dapat terjadi saat
membersihkan partisi sel etmoid yang melekat ke orbita karena mungkin ada dehiscence
sehingga mudah tertembus cunam. Saat bekerja disini, arahkan cunam ke vertikal. Kadang-
kadang di lamina papirasea ada penonjolan orbita atau trochlea yang sering diduga sebagai
sel etmoid. Jika diangkat maka terjadi penetrasi dan lemak orbita akan keluar. Tidak perlu
berusaha memasukkan kembali karena akan menambah taruma orbita.
Lemak ini akan masuk kembali tertekan oleh tampon hidung yang dipasang
pascaoperasi. Yang penting adalah mengetahui bahwa jaringan yang diangkat adalah lemak
orbita. Lemak orbita berwarna kekuningan berbentuk gelembung bulat-bulat kecil dan
melayang di dalam air. Sedangkan jaringan polip atau jaringan rongga hidung lain akan
tenggelam. Emfisema subkutis merupakan komplikasi penetrasi orbita. Untuk menghindari,
jangan menggunakan insuflasi masker oksigen saat selesai anestesi dan pasien dilarang
menyringsing ingus selama 1-2 minggu pascaoperasi.
Perdarahan saat operasi.
34
Page 35
Perdarahan saat operasi adalah karena perdarahn mukosa. Perdarahan ini ringan
namun dapat mengganggu kelancaran bahkan menggagalkan operasi bila operator tidak dapat
melihat dengan jelas. Tindakan vasokonstriktor yang baik praoperasi sangat berpengaruh
disini disamping faktor-faktor lain. Kelancaran tindakan bedah sangat ditunjang oleh upaya
mengeringkan lapangan operasi dengan cara memasukkan kapas adrenalin ke lapangan
operasi. Pada tindakan dengan anestesi umum, dianjurkan anestesi kendali hipotensi. Dalam
hal ini diperlukan dokter anestesi yang handal.
Jika ada perdarahan maka perlu kesabaran untuk berulang kali mengeringkan
lapangan operasi dan membersihkan endoskop yang menjadi buram terkena darah. Ini
terutama pada pemula. Perdarahan yang cukup merepotkan biasanya terjadi pada daerah yang
udem atau radang, polip luas atau pasien dengan tekanan darah tinggi. Perdarahan juga dapat
terjadi pada pasien koagulopati, pasien dengan penggunaan jangka lama obat-obat yang
memanjangkan masa perdarahan seperti salisilat atau obat-obat antiinflamasi non steroid,
persantin, dll.
Obat dihentikan sekurang-kurangnya 1 minggu sebelum operasi. Jika perdarahan
berlanjut dan sulit diatasi, hentikan penggunaan endoskop dan lakukanlah operasi secara
konvensional. Pada pasien poliposis dengan kemungkinan perdarahan, polip yang besar
diangkat dulu tanpa penggunaan endoskop. Setelah perdarahan berkurang, tindakan
dilajutkan dengan endoskop. Dengan alat baru yang sangat menguntungkan yaitu alat
debrider yang dapat memotong langsung menghisap polip sehingga perdarahan sangat
minimal. Perdarahan yang dapat berbahaya adalah perdarahan akibat trauma pada a.etmoid
anterior jika ujung arteri yang terputus mengalami retraksi dan masuk ke dalam orbita
menyebabkan perdarahan rongga orbita disebut hematoma retro-orbital. Mata menjadi
proptosis secara tiba-tiba dan dapat timbul kebutaan akibat regangan n.optikus. Karenanya
mata harus selalu berada dalam pandangan kita agar dapat dimonitor selama operasi.
Perdarahan paling berbahaya terjadi akibat ruptur a.karotis atau akibat penetrasi intrakranial,
maka ahli bedah saraf harus segera dipanggil dan tindakan kraniotomi dianjurkan untuk
mengatasi perdarahan ini.
Anestesi dan Analgesi
Teknik BSEF dapat dilakukan dalam anestesi lokal atau umum. Umumnya anastesi
lokal dilakukan jika prosedur ringan seperti BSEF mini atau lainnya. Pada anastesi lokal,
manipulasi daerah lamina papirasea dan dasar otak akan menghasilkan rasa nyeri dan ini
merupakan tanda untuk mencegah penetrasi, tetapi menurut kepustakaan, tidak terbukti
35
Page 36
anestesi lokal lebih aman dibanding anestesi umum dengan teknik hipotensi kendali pada
operasi endoskopik.(19)
Diperlukan teknik anestesi lokal yang mampu memberikan vasokonstriksi yang baik.
Anastesi topikal adalah dengan larutan lidokain/pantokain/xylokain 2% dicampur epinefrin
1:100.000 dalam konsentrasi 4:1. Kapas kecil bertali dibasahi larutan ini, diperas kuat-kuat,
dimasukkan ke meatus medius dan agger nasi dengan panduan endoskop dan dibiarkan
selama 10 menit. Dapat pula memakai analgesi-vasokonstriktor kuat seperti Co-phenylcaine
Forte spray. Anestesi infiltrasi adalah dengan lidokain 2% dan epinefrin 1:80.000-100.000,
disuntikkan dengan jarum panjang di atas perlekatan konka media, prosesus unsinatus dan
foramen sfenopalatina.8 Saat ini anastesi umum dengan teknik hipotensi terkendali
merupakan teknik anastesi yang paling populer baik di negara Barat maupun di Indonesia.
Teknik kendali hipotensi akan mengurangi perdarahan sehingga lapang pandang
operasi lebih jelas dan kemungkinan komplikasi terhindar, disamping pasien lebih nyaman
demikian pula operator dapat bekerja lebih baik dan tenang. Namun demikian hipotensi
kendali ini memiliki risiko pada beberapa pasien misalnya pasien geriatri. Disamping itu
penggunaan halotan bersama vasokonstriktor dapat menimbulkan risiko iritabilitas jantung. (23)
BAB V
KESIMPULAN
Sinusitis didefinisikan sebagai
inflamasi mukosa sinus paranasal.
Rinitis dan sinusitis biasanya terjadi bersamaan dan saling terkait pada kebanyakan individu,
sehingga terminologi yang digunakan saat ini adalah rinosinusitis. Komplikasi akibat sinus
paranasal sangat bervariasi, baik lokal, intra orbital maupun intra kranial. Sinusitis dengan
komplikasi intra orbita adalah penyakit yang berpotensi fatal.
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran klirens
dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Komplikasi dari sinusitis tersebut
antara lain komplikasi lokal, orbital dan intrakranial. Komplikasi lokal antara lain mukokel
36
Page 37
dan osteomielitis (Pott’s puffy tumor). Komplikasi orbital adalah inflamatori edema, abses
orbital dan trombosis sinus cavernosus. Komplikasi intrakranial antara lain meningitis dan
abses subperiosteal.
Terapi yang diberikan dapat berupa medika mentosa berupa pemberian antibiotic
yang adekuat atau bila dengan pengobatan tidak terdapat perbaikan pada sinusitis, dapat
dilakukan tindakan pembedahan dengan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rusdy Ghazali Malueka, Sinus Paranasal (SPN). Sinusitis. Dalam : Radiologi
Diagnostik Yogyakarta : Pustaka Cendekia Press Yogyakarta, cetakan ketiga ; april
2011, p. 116 – 118
2. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher. Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 201. Hal 150-3
3. Fokkens W, et al. European Position on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007,
Rhinology 2007 ; suppl 45:1-139
37
Page 38
4. Clerico DM.. Medical Treatment of Chronic Sinus Disease, In : Kennedy DW, Bolger
W, Zinreich SJ, editors. Diseases of the Sinuses Diagnosis and Management, Ontario :
BC Decker Inc : 2001. p. 155-66
5. Jackman AH, Kennedy DW. Patophysiology of Sinusitis, In : Brook Itzhak, editor.
Sinusitis : From Microbiology to Management, New York : Taylor & Francis ; 2006.
p. 109-29
6. Mayr S, Schick B. Role of Aetiology in Revision Endoscopic Sinus Surgery , In :
Stucker FJ, de Souza C, Kenyon GS, Lian TS, Draf W , Schick B, editors, Rhinology
and Facial Plastic Surgery, London : Springer – Verlag Berlin Heidelberg ; 2009 , p.
607-15
7. Stankiewics J, Hanjo NA, Chow JM. Revision Endoscopic Sinus Surgery, In : Levine
HL , Clemente MP, editors. Sinus Surgery : Endoscopic and Microscopic
Approaches. New York : Thime ; 2005. p. 260-8
8. Becker DG. Sinusitis. J Long-Term Effects Med Implant 2003 ; 13(3) :175-94
9. Crombuggen KV, Bruaene NV, Holtappels, Bachert C. Chronic sinusitis and rhinitis :
Clinical terminology “Chronic Rhinosinusitis” further supported. Rhinology 2010 ;
48:54-58
10. Hilger PA. Penyakit Sinus Paranasalis. Dalam: Adams GL, Boies RL, Highler PA,
editor. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Penerbit buku kedokteran EGC :
Jakarta ; 1997.h.240-57.
11. Rachman MD, Sinus paranasalis dan Mastoid. Dalam: Ekayuda I. Radiologi
Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta : Divisi Radiodiagnostik Departemen Radiologi
FKUI; 2005. Hal 431-45
12. Dr Tomas Sempere Dura, Orbit And Paranasal Sinuses Conventional X-Rays.
Dalam : Atlas Of Anatomy By Sectional Imaging, Berlin, Bayer Health Care; 2009
13. Itzhak Brook,MD,MSc. Epidemiology of Acute Sinusitis. Updated Apr 2, 2012.
Available from: http//emedicine.medscape.com/article/232670-overview#a0156
14. Rusdy Ghazali Malueka, Sinus Paranasal (SPN). Sinusitis. Dalam: Radiologi
Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press Yogyakarta, cetakan ketiga; april
2011, p. 116-118
38
Page 39
15. Shah AR, Salamone FN, Tani TA, Acute & Chronic Sinusitis. In : Lalwni AK.
Current Diagnosis & Treament In Otolaryngology Head & Neck Surgery. New York:
Mc Graw Hill; 2008.P.273-81
16. Cody DT, Kern EB, Pearson BW, Sinusitis. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung Dan
Tenggorokan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran; 2002.hal 233-9
17. Stammberger H. Functional Endoscopic Sinus Surgery, Philadelphia: BC Decker;
1991.
18. Iriani AH, Widiantoro R, Arfandy RB. Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF)
Tanpa Tampon. Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah Tahunan Perhimpunan Dokter
Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Indonesia (Perhati), Batu Malang: 1996.
19. Slack R, Bates G. Functional Endoscopic Sinus Surgery. Am Fam Phys, 1998:
20. Kennedy DW. Functional Endoscopic Sinus Surgery: Concepts, Surgical, Indication
and Instrumentation. In: Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ, eds. Diseases of the
Sinuses, Diagnosis and Management. London: Hamilton;2001
21. Mackay IS, Lund VJ. Imaging and Staging. In: Mygind N. Lildholt T. Nasal
Polyposis: An Inflammatory Disease and Its Treatment. Copenhagen: Munksgaard;
1997:137-44.
22. Soetjipto D. Teknik dan Tip Praktis Bedah Sinus Endoskopik Fungsional. Kumpulan
Naskah Lengkap, Kursus, Pelatihan dan Demo BSEF. Bagian Ilmu Penyakit Telinga
Hidung & Tenggorok. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
23. Lanza DC, Kennedy DW. Endoscopic Sinus Surgery. Dept of Otolaryngology, The
Cleveland Clinic Foundation, Cleveland, Ohio
39