Top Banner
Buku Saku Oral Medicine FKG 2009 DESEMBER 2015
276

Buku Saku Om

Jul 11, 2016

Download

Documents

om
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Buku Saku Om

Buku Saku Oral Medicine

FKG 2009DESEMBER 2015

Page 2: Buku Saku Om

DAFTAR ISI

ContentsBAB I

SKIN DISEASE...............................................................................................................................3

BAB II RESPIRATORY DISEASES.....................................................................................30

BAB III PENYAKIT SALURAN PENCERNAAN.................................................................46

BAB IV HEMATOLOGIC DISEASE......................................................................................69

BAB V PENYAKIT GINJAL.................................................................................................99

BAB VI DIABETES MELLITUS..........................................................................................126

BAB VII PENYAKIT ENDOKRIN........................................................................................136

BAB VIII INFECTIOUS DISEASES.........................................................................................141

BAB IX CARDIOVASCULAR DISEASE............................................................................162

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................186

-RINGKASAN OM 2009- 2

Page 3: Buku Saku Om

BAB I

SKIN DISEASE

ULCERATIVE, VESICULAR, AND BULLOUS LESIONS

1.1 Pemphigus Vulgaris

1.1.1 Definisi dan Etiologi

Pemphigus merupakan penyakit yang berpotensial mengancam hidup karena terjadinya

lepuh dan erosi pada kulit dan membran mukosa. Lesi epitelial merupakan hasil dari autoantibodi

yang beraksi dengan glikoprotein autosomal yang terdapat pada permukaan sel keratinosit.

Reaksi imun melawan glikoprotein ini menyebabkan kehilangan sel, berakhir dalam bentuk bula

intraepitelial. Terdapat 0,5 hingga 3,2 kasus yang dilaporkan setiap tahunnya per 100.000

populasi, dengan insidensi tertinggi terjadi pada dekade kelima dan keenam, meskipun jarang

dilaporkan pada anak-anak dan orang muda.

Varian utama pemphigus adalah pemphigus vulgaris, pemphigus vegetans, pemphigus

foliaceus, pemphigus erythematosus, paraneoplastic pemphigus (PNPP), dan drug-related

pemphigus. Pemphigus vegetans merupakan varian dari pemphigus vulgaris dan pemphigus

erythematosus varian dari pemphigus foliaceus. Kedua bentuk penyakit ini memiliki antibodi

yang langsung melawan target dengan antigen yang berbeda pd permukaan sel, berakhir pada

suatu lesi pada lapisan epitelium yang berbeda. Pada pemphigus foliaceus, kerapuhan terjadi

pada lapisan sel granular superfisial, sedangkan pemphigus vulgaris lesinya dalam diatas lapisan

-RINGKASAN OM 2009- 3

Page 4: Buku Saku Om

sel basal. Keterlibatan mukosa bukan merupakan ciri dari bentuk penyakit foliaceus dan

erythematous.

Pemphigus Vulgaris adalah bentuk yang paling umum dari pemphigus, terdata lebih dari

80% kasus. Mekanisme yang mendasari penyebab lesi intraepitelial dari PV adalah ikatan

autoantibodi IgG ke desmoglein 3, sebuah transmembran molekul adhesi glikoprotein pada

desmosom. Kehadiran autoantibodi desmoglein 1 merupakan karakteristik pemphigus foliaceus,

tetapi antibodi ini juga dideteksi pada pasien dengan long-standing PV. Petunjuk untuk

hubungan autoantibodi IgG dengan formasi lesi PV ditunjukkan dengan melepuhnya kulit tikus

setelah transfer pasif IgG dari pasien dengan PV. Mekanisme dimana antidesmoglein

menyebabkan hilangnya cell-to-cell adhesion merupakan hal yang kontroversi. Beberapa peneliti

percaya bahwa ikatan antibodi PV akan mengaktifkan protease, namun keterangan yang baru

mendukung teori tersebut yaitu antibodi PV secara langsung menghalangi fungsi adhesi dari

desmoglein.

Gambar 1.1 Acantholysis - Tzank cells (sel epitel yang lebih kecil dan lebih bundar)

Terpisahnya sel-sel disebut acantholisis, terdapat di lapisan bawah dari stratum

spinosum. Observasi elektron mikroskopik menunjukkan perubahan awal epitelial sebagai

kehilangan substansi semen interselular, diikuti dengan pelebaran ruang interselular, destruksi

desmosom, dan terakhir degenerasi selular. Hasil dari progresif acantholisis adalah bulla

suprabasillar klasik, termasuk peningkatan area epitelium yang menjadi lebih besar, hasilnya

adalah kehilangan area yang luas dari kulit dan mukosa.

Pemphigus telah dilaporkan sama dengan penyakit autoimun lainnya, terutama

myasthenia gravis. Pasien dengan thymoma juga memiliki insidensi tinggi untuk terkena

pemphigus. Beberapa kasus pemphigus telah dilaporkan dengan pasien yang memiliki kelainan

autoimun multipel atau adanya neoplasma seperti lymphoma. Frekuensi kematian lebih tinggi

-RINGKASAN OM 2009- 4

Page 5: Buku Saku Om

pada orang yang berusia lanjut dan pasien yang menggunakan kortikosteroid dosis tinggi yang

dapat meningkatkan infeksi dan septikemi bakteri, khususnya dari Staphylococcus aureus.

1.1.2 Manifestasi Klinis

Luka klasik untuk pemphigus adalah bulla berdinding tipis pada mukosa atau kulit

normal. Bulla cepat pecah namun terus menyebar secara periperal, sehingga meninggalkan area

kulit terbuka yang besar. Tanda khas dari penyakit ini dapat diperoleh dengan memberi tekanan

pada bulla yang utuh. Pada pasien dengan PV, bulla membesar dengan ekstensi pada permukaan

yang tampak normal. Tanda khas lain dari penyakit ini adalah penekanan pada area yang tampak

normal menghasilkan pembentukan luka baru. Fenomena ini, disebut tanda Nikolsky, dihasilkan

dari lapisan atas kulit tertarik menjauh dari lapisan basal. Tanda Nikolsky paling sering dikaitkan

dengan pemphigus namun juga dapat terjadi pada epidermolysis bullosa.

Sebagian pasien dengan pemphigus mengembangkan penyakit fulminasi akut, namun

disebagian besar kasus, penyakit berkembang lebih lambat, biasanya selama berbulan-bulan

untuk berkembang sampai penuh.

Gambar 1.2 Gambar histologi PV. Bulla suprabasilar dengan acantholysis

-RINGKASAN OM 2009- 5

Page 6: Buku Saku Om

A B

Gambar 1.3 (A) erosi dangkal irregular pada mukosa bukal dan permukaan tengah lidah

disebabkan pemphigus. (B) Bulla pada kulit pasien dengan PV.

1.1.3 Manifestasi Oral

Delapan puluh sampai 90% pasien dengan PV kadang-kadang selama perkembangan

penyakitnya memperlihatkan lesi oral sebagai tanda pertamanya. Lesi oral dapat dimulai dengan

bulla klasik pada daerah yang tak terinflamasi, lebih seringnya dokter melihat ulSer dangkal

irregular karena bullanya sudah pecah. Lapisan tipis epitel mengelupas dengan pola yang

irregular, meninggalkan permukaan yang gundul. Pinggiran dari lesi meluas ke perifer setelah

beberapa minggu hingga memperlihatkan bentuk yang besar di mukosa oral. Umumnya lesi

mulai terbentuk di mukosa bukal, yaitu pada area bekas trauma di sekitar lengkung oklusal.

Palatum dan gingiva adalah tempat yang umum dalam perkembangannya.

Umumnya lesi oral muncul sampai 4 bulan sebelum lesi kulit tampak. Jika perawatan

dimulai selama masa ini, penyakit dapat lebih mudah di kontrol dan kesempatan untuk

kesembuhannya lebih tinggi. Seringnya, diagnosa awal terlewatkan, dan lesi salah terdiagnosa

menjadi infeksi herpes atau kandidiasis. Beberapa pasien PV memiliki kandidiasis yang

bersamaan keberadaannya, hal ini membuat gambaran klinis khas dari lesi pemphigus tertutup.

Ada juga beberapa grup pasien pemphigus yang penyakitnya membekas pada mukosa oral.

Pasien ini sering memiliki hasil negatif pada direct immunofluoresence.

Pemphigus harus dapat dibedakan dari infeksi virus akut, erythema multiform atau

kategori RAS. Lesi pemphigus tidak membulat dan simetris seperti lesi RAS melainkan tidak

beraturan dan terkadang memiliki epitel detached pada perifer. Dalam kasus yang sama, lesi

mungkin berawal dari gingiva dan disebut deskuamatif gingivitis. Deskuamatif gingivitis tidak

-RINGKASAN OM 2009- 6

Page 7: Buku Saku Om

dapat terdioagnosis sendiri, lesi ini harus dibiopsi untuk mengeluarkan kemungkinan dari PV

seperti pemphigoid bullous, membran mukus pemphigoid, dan erosif lichen planus.

1.1.4 Tes Laboratorium

PV didiagnosis dengan biopsi. Biopsi sebaiknya dilakukan pada vesikel dan bulla yang

utuh kurang dari 24 jam, karena lesi ini jarang pada mukosa oral, contoh dari biopsi sebaiknya

diambil dari pinggir lesi, dimana area dengan cirri acantholysis suprabasilar dapat diobservasi

oleh pathologist. Terkadang beberapa biopsi dibutuhkan sebelum diagnosis yang benar bisa

dibuat. Jika pasien positif pada Nikolsky sign, tekanan dapat ditempatkan pada mukosa tersebut

untuk menghasilkan lesi baru, dapat dilakukan biopsi pada lesi yang baru ini.

Biopsi yang kedua, dipelajari oleh DIF, sebaiknya dilakukan ketika pemphigus

dimasukkan dalam diagnosis banding. Studi ini dilakukan pada spesimen biopsi dari perilesi

mukosa atau kulit yang tampak normal. Pada teknik DIF ini, fluorescein – labeled antihuman

immunoglobulin ditempatkan di atas spesimen biopsi pasien. Pada kasus PV, teknik ini akan

mendeteksi antibodi, biasanya IgG dan komplemen, mengelilingi permukaan keratinosit.

Tes indirect immunofluorescent antibody membantu membedakan pemphigus dari

pemphigoid dan lesi oral kronis lainnya dan membantu dalam peningkatan pengobatan pasien

pemphigus. Pada teknik ini, serum dari pasien dengan penyakit bullous ditempatkan di atas slide

struktur epidermal (biasanya esophagus monyet). Slide selanjutnya dilapisi dengan fluorescein-

tagged antihuman gamma globulin. Pasien dengan pemphigus vulgaris memiliki antibodi

antikeratinosit melawan substansi interseluler yang terlihat dibawah fluorescent microscope.

ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) dapat mendeteksi desmoglein 1 dan 3 pada

sampel serum pasien PV. Tes laboratorium ini memberikan cara baru untuk menghasilkan

diagnosis yang akurat dari PV dan juga berguna untuk memantau perjalanan penyakit.

1.1.5 Pengobatan

Aspek penting dalam pengobatan pasien adalah diagnosis awal, ketika dosis rendah

pengobatan dapat digunakan dalam periode yang singkat untuk mengontrol penyakit. Alur utama

dari pengobatan yatitu dosis tinggi dari kortikosteroid sistemik, biasanya diberikan dalam dosis 1

atau 2 mg/kg/d. Ketika steroid harus diberikan dalam jangka waktu yang lama, obat pembantu

-RINGKASAN OM 2009- 7

Page 8: Buku Saku Om

seperti azathiopine atau cyclophosphamide diberikan untuk mengurangi komplikasi penggunaan

kortikosteroid jangka lama. Prednison biasanya digunakan di tahap awal agar penyakit terkontrol

kemudian dosis prednison akan diturunkan. Tidak ada satupun perawatan untuk pemphigus yang

terbatas di mulut, tetapi penelitian selama 5 tahun tentang oral pemphigus menunjukkan bahwa

tidak ada manfaat tambahan dari penambahan cyclophosphamide atau cyclosporine pada

prednison dibandingkan dengan jika hanya menggunakan prednisone Hal ini menunjukkan

tingkat komplikasi yang tinggi dalam kelompok obat immunosupresif. Umumnya penelitian pada

pemphigus kulit menunjukkan penurunan tingkat kematian ketika terapi adjuvant diberikan

bersama prednison.

Obat immunosupresif baru, mycophenolate, telah efektif pada pasien yang resisten

terhadap adjuvant. Kebutuhan terhadap steroid sistemik dapat diturunkan pada kasus pemphigus

oral dengan mengkombinasikan steroid topikal dan sistemik, salah satunya dengan memberikan

tablet prednison yang lama larut dalam mulut sebelum ditelan atau dengan menggunakan krim

steroid topikal yang potensial. Terapi lainnya yang cukup menguntungkan yaitu dapsone,

tetracycline, dan plasmapheresis. Plasmapheresis berguna pada pasien yang sukar sembuh

dengan kortikosteroid.

1.2 Erythema Multiforme (EM)

1.2.1 Definisi dan Etiologi

Eritema multiforme merupakan lesi akut, yang muncul secara rekuren, kondisi

mukokutan dari etipatologi belum pasti yang dapat muncul dengan pemberian obat atau infeksi

(Osterne, 2009). Erithema Multiform diklasifikasikan menjadi minor, mayor, steven jonshon

syndrom, toxic epidermal necrolysis. Dimana EM minor merupakan lesi teringan dan TEN lesi

paling parah. (Osterne, 2009).

Penyebabnya EM belum jelas. Diduga adalah suatu reaksi hipersensitivitas (Regezi,

2003). Dan dianggap suatu penyakit imunologi (Laskaris, 2005). Dimana terjadi suatu reaksi

kompleks imun yang ditimbulkan sebagai akibat adanya respon imun pada antigen tertentu

seperti herpes simplex virus atau beberapa jenis obat tertentu (Wray, 2001). Etiologi yang

disebabkan oleh infeksi lebih umum terjadi pada anak-anak dan sering dilibatkan dalam

terjadinya EM. Erythema multiforme minor umumnya dipicu oleh Herpes Simpleks virus (HSV)

-RINGKASAN OM 2009- 8

Page 9: Buku Saku Om

(tipe 1 dan tipe 2). Dan HSV paling umum terjadi pada dewasa muda. Mengenai obat-obatan,

obat-obatan sulfa (sulfa drugs) adalah pemicu yang paling umum.

Pada 50 % kasus faktor penyebabnya tidak teridentifikasi sedangkan pada sebagian kasus

lagi beberapa agen diidentifikasi sebagai Faktor pemicu penyakit EM, antara lain sebagai

berikut.

Tabel 1.1 Faktor Predisposisi Eritema Multiforme

FAKTOR PREDISPOSISI PADA ERITEMA MULTIFORME

Infeksi(sekitar 90% darijumlah kasus)

Virus Herpes Simplex Virus (HSV-1, HSV-2) Parapoxvirus (orf) Vaccinia (smallpox vaccine) Varicella zoster virus (chickenpox) Adenovirus Eipstein-Barr virus Cytomegalovirus Hepatitis virus Coxsackievirus Parvovirus B19

Infeksi(sekitar 90% darijumlah kasus)

Bakteri

Mycoplasma pneumonia Chlamydophila (formerly Chlamydia)

psittaci (ornithosis) Salmonella Mycobacterium tuberculosis

Infeksi(sekitar 90%

Histoplasma capsulatum Dermatofita

-RINGKASAN OM 2009- 9

Page 10: Buku Saku Om

Obat-Obatan(<10% kasus)

Primer: Obat-Obat antiinflamasi non-steroid Sulfonamida Antiepileptik Antibiotik

Paparan Poison ivy

Penyakit Sistemik(jarang)

Inflamatory Bowel Disease Lupus Eryhthematosus (Rowell’s Syndrome) Behcet’s Disease

1.2.2 Manifestasi Klinis

Riwayat prodormal biasanya tidak ada atau ringan pada orang dengan erithema multiform

minor. Gejala ringan dapat berupa demam, limpadenopati, malaise, sakit kepa, batuk, radang

tenggorokan biasanya terjadi 1 minggu sebelum timbul eritema. Lesi dapat muncul dengan

bentuk makula merah irreguler, papula, dan vesikel pecah dan membesar membentuk plak pada

kulit. Selain itu krusta dan blister biasanya timbul pada lengan kulit, menghasilakan bulatan

menyerupai “bull’s eye”. (Osterne, 2009)

Pada mulut, eritema multiform dapat hadir dalam bentuk makula, papula, vesikel,atau

bulla yang menyebabkan ketidaknyamanan. Vesikel dan bulla pecah menghasilkan lesi erosif

atau ulseratif dimana lesi erosif ditutupi oleh permukaan fibrinosa berwarna putih kelabu. lesi-

lesi terbatas pada mukosa pipi, mukosa bibir, palatum, lidah atau melibatkan semua area

tersebut. Gusi jarang terlibat. Krusta pendarahan yang gelap berwarna merah- coklat secara khas

menutupi bibir. Pasien dengan penyakit ini mengalami kesulitan dalam hal makan, menelan dan

berbicara (Angela, 2005)

Gambar 2.1 Lesi vesikel pada pasien EM setelah Reccurent herpes labialis

-RINGKASAN OM 2009- 10

Page 11: Buku Saku Om

Tabel 1.2 Kategori Eritema Multiforme

Kategori GambaranEM minor Lesi target yang khas, keterlibatan membrane mukosa

minimal dan biasanya muncul pada 1 area (paling umum di mulut.)

Lesi oral; erythema ringan sampai berat, erosi dan ulserasi. Kadang-kadang dapat berefek hanya pada mukosa oral. Lesi berupa vesikula yang banyak dan pecah,

meninggalkan daerah erosi yang sakit dan ditutupi pseudomembran putih.

< 10% permukaan tubuh yang terlibat.EM mayor Lesi kutaneus dan setidaknya 2 sisi mukosa (khususnya)

mukosa oral) yang terkena. Terdistribusi secara simetris khususnya lesi target. Timbul

lesi target atau keduanya Lesi oral biasanya menyebar dan parah. 10% area tubuh terlibat Lesi pada mukosa rongga mulut lebih sering terjadi pada

kasus EM tipe mayor. Awalnya adalah daerah kemerahan, berubah dengan cepat menjadi bentuk vesikula dan segera pecah dan meninggalkan daerah erosi kemerahan yang ditutupi pseudomembran putih dan krusta akibat perdarahan.

Steven johnson syndrome (SJS)

Perbedaan utama dari erythema multiforme mayor adalah berdasarkan typology dan lokasi lesi dan adanyagejala sistemik.

< 10% permukaan tubuh yang terlibat. Terutama lesi berupa lesi target datar atipikal danmakula

daripada lesi target klasik. Secara umum menyebar daripada hanya melibatkanarea

akral. Adanya keterlibatan mukosa yang multiple dengan scar pada lesi mukosa.

Disertai gejala konstitusi atau gejala sistemik mirip-flu prodromal (prodromal flu-like systemic symptoms) juga umum.

Overlapping SJS dan NET

Tidak ada target tipikal; muncul target atipikal yangdatar. Sampai dengan 10% – 30% permukaan tubuh terlibat. Disertai gejala konstitusi atau gejala sistemik flu like

syndrome

-RINGKASAN OM 2009- 11

Page 12: Buku Saku Om

Nekrolisis epidermal toksik(NET)

Pada kasus di mana muncul spot muncul, ditandai oleh epidermal detachment dari > 30% permukaan tubuh dan macula purpuric yang menyebar (widespread purpuricmacules) atau target atipikal yang datar.

Pada kasus di mana tidak ada spot yang muncul,ditandai oleh epidermal detachment > 10% permukaantubuh, large epidermal sheets dan tidak ada macula ataupun lesi target.

1.2.3 Diagnosis

Tidak ada pemeriksaan diagnostik yang spesifik untuk EM (Scully, 2007) sehingga perlu

dilakukan pemeriksaan biopsi untuk melihat histopatologinya. Pemeriksaan mikroskop terlihat

epithelial hyperplasia dan spongiosis (Regezi, 2008) dengan nekrosis satelit sel (individual

eosinophilic necrotic keratinocytes yang dikelilingi oleh limfosit), degenerasi vakuolar pada

daerah membrana basal, (Basal dan parabasal keratinosit yang terapoptosis selalu terlihat.

Terjadi udema papilary yang parah sehingga terbentuklah vesikula pada permukaan epithelium,

meskipun terkadang ada juga yang berada pada intraepithelium. Terdapat infiltrasi limfositik

yang parah pada membrana basal dan perivaskular serta adanya deposit imun nonspesifik yaitu

IgM, C3 dan fibrin pada daerah ini walaupun dalam berbagai pemeriksaan tidak menunjukkan

kekhasan terhadap EM. Gambaran paling banyak adalah adanya ephitelial yang nekrosis (Scully,

2007; Regezi, 2008).

Pemeriksaan darah lengkap, urea, elektrolit, erythrocyte sedimentation rate (ESR) dan

fungsi liver bersamaan dengan serologi HSV dan mikoplasma, kultur mikrobial dari darah,

sputum dan daerah yang erosif perlu dilakukan pada pasien-pasien yang parah (Scully, 2007).

1.2.4 Terapi

Perawatan eritema multiforme bergantung pada keparahan klinis. Bentuk ringan dari

penyakit ini biasanya sembuh dalam 2-6 minggu, menggunakan obat lokal, analgetik topikal atau

anastesi untuk mengontrol sakit dan diet biasanya diberikan pada kondisi ini. Untuk keadaan

yang parah dibutuhkan cairan terapi intravena. Antihistamin oral dan steroid topikal dat juga

dibutuhkan untuk meredakan nyeri. Kortikosteroid sistemik telah digunakan dan sukses pada

beberapa pasien (Osterne, 2009).Pemakaian kortikosteroid secara oral, terutama setelah hari ke2-

4, untuk mengurangi periode erupsi akut dan gejala. Tipe minor pemberian kortikosteroid oral

-RINGKASAN OM 2009- 12

Page 13: Buku Saku Om

antara 20-40 mg/hari selama 4-6 hari lalu diberikan secara tapering dosis tak lebih dari 2 minggu.

Pada tipe mayor perlu pemberian antara 40-80 mg/hari selama 2-3 minggu. (Laskaris, 2005)

Rekurensi biasanya terjadi 20-25 % pada kasus EM, walaupun penyakit ini sembuh

spontan dalam 10-20 hari, pasien dapat mengalami rekurensi 2-24 kali dalam setahun (angelina,

2005).

Pemberian antiviral efektif untuk menghindari infeksi sekunder (Watter, 2010; Laskaris,

2005). HAEM efektif teratasi dengan asiklovir (200 mg, 5 kali sehari, selama 5 hari). Bila EM

tetap rekuren, pengobatan dapat dilanjutkan dengan pemberian dosis rendah secara berkala

menggunakan asiklovir oral. Asiklovir oral menunjukkan keefektifitasan yang baik dalam

menjaga terjadinya rekuran HAEM, dan protokol pemberian dengan dosis 200-800 mg/ hari

selama 26 minggu. Bila perawatan asiklovir gagal, dapat diberikan valacyclovir 500 mg 2 kali

sehari. Valacyclovir memiliki biovaibiliti yang lebih tinggi dan efektif dalam menekan terjadinya

rekurensi HAEM (Osterne, 2009)

Terapi secara topikal juga bisa diberikan, Instruksi pada pasien untuk diet lunak, pemakaian

anastesi topikal, obat kumur yang berisi antibiotik, dan kortikosteroid topikal untuk mengurangi

ketidaknyamanan pada pa sien (Laskaris, 2005).

1.2.5 Prognosa

Kebanyakan kasus EM bersifat self-limited. Pada EM minor, lesi berkembang lebih 1-2

minggu dan pada akhirnya mereda dalam 2-3 minggu tanpa jaringan parut. Bagaimanapun,

rekurensi EM minor umum terjadi dan kebanyakan diawali oleh infeksi subklinis dari HSV.

EM mayor memiliki angka kematian kurang dari 5% dan berlangsung lebih lama dalam

penyembuhan membutuhkan 3-6 minggu. Rekurensi ditemukan sekitar 20-25 % dari kasus EM.

Meskipun dapat sembuh secara spontan dalam 10-20 hari, beberapa pasien dapat mengalami 2-

24 kali episode dalam setahun

DAFTAR PUSTAKA (Erytema Multiforme)

Osterne RLV, Brito RGM, et al, Sousa FB. 2009. Management of erythema multiforme

associated with recurrent herpes infection : A case Report. J.C.D.A.75.

-RINGKASAN OM 2009- 13

Page 14: Buku Saku Om

Scully, C. 2008. Oral Mucosal diseases: Erythema multiforme. British hournal of oral and

Maxillofacial Surgery. 46 : 90-95.

Isik, et al.2007. Multidrug-Induced Erythema Multiforme. J Investig Allergol Clin Immunol.

Ankara: Esmon Publicidad; 2007. Available

at:http://www.jiaci.org/issues/vol17issue03/12.pdf

Djuanda, Adhi, et al. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. ed. ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;

2010.

Angela J. 2005. Eritema multiformis yang dipicu oleh virus herpes simpleks. Journal kedokteran

gigi universitas sumatera utara . Available online at

Fiel A , longman L. tyldesley’s Oral meicine, 5 th Ed. Oxford.2004; p.135-6

Greenberg, M ; Glick, M ; Burket’s Oral Medicine Diagnosis and treatment 10 ed ; BC Decker

Inc; 2003; p: 182-184

Laskaris George. 2005 Treatment of oral Disease : A Concise Textbook, Thieme : p. 66-7

Regezi,J; Sciubba, J;Jordan,R; Oral Pathology; Sunders, St Louis; 2008: p100-104; 34-35

Kumar,V; Abbas,A; Fausto,N; Basic Pathology 8th; Saunders, Philadelphia; 2008; P:435-440

Wray D, Lowe, Dagg, Felix, Scully. Textbook of General And Oral Medicine, Churchill

Livingstone, 2001 ; p.238-9.

1.3 Bullous Pemphigoid

1.3.1 Definisi dan Etiologi

Bullous pemphigoid adalah penyakit respon autoimun dengan karakteristik berupa bula

subepidermal deposit IgG dan C3. Dalam Burket’s BP adalah penyakit autoimun yang

disebabkan oleh pengikatan autoantibodi kepada antigen spesifik yang ditemukan di region

lamina lucia. Sering ditemukan pada usia dewasa di atas 60 tahun dan bersifat idiopatik. Namun,

pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa penyakit ini dapat disebabkan oleh obat. Penyakit

ini dapat berlangsung beberapa bulan sampai 5 tahun dan dapat sembuh dengan sendirinya.

Bullous pemphigoid dapat menyebabkan kematian pada orang tua dengan kondisi lemah.

1.3.2 Gambaran Klinis

-RINGKASAN OM 2009- 14

Page 15: Buku Saku Om

Karakteristik lesi kulit dari bullous pemphigoid adanya blister pada dasar yang

eritematous yang terdapat pada kulit kepala, lengan, kaki, ketiak dan paha. Tanda lain adalah

adanya makula pruritus dan papula. Pasien dengan BP dapat terkena dalam satu periode atau

terjadi rekurensi. BP jarang menyebabkan kematian karena bulla tidak berkembang pada perifer

untuk membentuk benjolan yang besar, walaupun kematian dari sepsis atau penyakit

kardiovaskular telah dilaporkan pada beberapa kelompok pasien usia lanjut.

Gambar 1.4 Lesi bullous pemphigoid pada kulit kepala

1.3.3 Manifestasi Oral

Keterlibatan oral umum terjadi dalam BP. Terjadi pada 30-50% pasien. Lesi oral dari BP

lebih kecil, terbentuk lebih lambat dan lebih tidak menyakitkan dibandingkan pada pemphigus

vulgaris dan perluasan ke labial tidak terjadi. Gingivitis deskuamatif juga dilaporkan pada

manifestasi oral yang umum dari BP dan lesi gingival merupakan satu-satunya tempat

keterlibatan oral. Lesi gingival terdiri dari oedema generalisata, inflamasi, dan deskuamasi

dengan area yang terlokalisasi dari pembentukan vesikel.

Gambar 1.5 Manifestasi oral bullous pemphigoid

-RINGKASAN OM 2009- 15

Page 16: Buku Saku Om

1.3.4 Diagnosis Banding

Penyakit mayor yang secara klinis muncul nenyerupai BP adalah bentuk erosif dari lichen

planus, pemphigus dan beberapa bullous subepitel lainnya.

1.3.5 Perawatan

Pasien dengan lesi BP yang terlokalisasi dapat dilakukan perawatan dengan steroid

topical potensi tinggi, dimana pasien dengan penyakit parah membutuhkan kortikosteroid atau

kombinasi obat imunosupresif seperti azathioprine, cyclophosphamide atau mycophenolate.

Pasien dengan penyakit level sedang dapat dicegah menggunakan steroid dengan penggunaan

dapsone atau kombinasi tetrasiklin dan nikotiamid.

1.4 Pemphigus Vegetans

1.4.1 Definisi

Pemphigus adalah suatu penyakit dengan kelainan autoimun yang bersifat fatal bagi

kehidupan (Son, et al., 2011). Pemphigus sendiri berasal dari Bahasa Greek yaitu “pemphix”

yang berarti busa atau lepuhan, sehingga kelainan ini berupa busa atau lepuhan kronik yang

terjadi pada kulit atau mukosa. Pemphigus vegetans merupakan varian dari pemphigus vulgaris

yang paling jarang terjadi, kelainan ini hanya terjadi sekitar <1-2% dari semua kasus pemphigus

(Greenberg, et al,. 2008; Son, et al., 2011). Pemphigus vegetans yang merupakan varian dari

pemphigus vulgaris pertama kali dideskripsikan oleh Neumann pada tahun 1876 (Adriano, et al.,

2011).

1.4.2 Etiologi

Etiologi dari penyakit ini adalah autoimun, autoantibodi interseluler menyerang

desmoglein 1 dan 3 yang merupakan molekul adhesive pada desmosome keratinosit (Son, et al.,

2011). Faktor lain yang merupakan faktor predisposisi timbulnya kelainan ini adalah genetik,

imunologik, dan lingkungan (Adriano, et al., 2011).

1.4.3 Gambaran Klinis

-RINGKASAN OM 2009- 16

Page 17: Buku Saku Om

Gambaran klinis dari penyakit autoimun ini yaitu munculnya bulla yang mudah rupture

atau pustula yang mengalami erosi sehingga membentuk plak papilla hipertrofi yang terutama

menyerang lipatan kulit, kulit kepala, wajah, dan membran mukosa. Keterlibatan kuku jari juga

dapat terjadi (Almeida, et al., 2006). Pustula yang terjadi mudah mengalami rupture yang

kemudian digantikan oleh daerah ex-ulseratif yang berkaitan dengan jaringan vegetasi

membentuk plak verrucous dan mengalami hiperpigmentasi (Adriano, et al., 2011).

Gambar 1.6 Plak vegetasi pada wajah pasien pemphigus vegetans

(Sumber: Adriano, et al. 2011)

Pemphigus vegetans memiliki dua subtype klinis yang khas, yaitu tipe Neumann yang

diperkenalkan pertama kali pada tahun 1866, dan tipe Hallopeau yang pertama kali

diperkenalkan pada tahun 1889 (Canpolat, et al., 2010). Kedua subtype kemudian berkembang

menjadi plak vegetative yang mengalami hiperpigmentasi dengan pustula atau jaringan granulasi

hipertrofi yang berada pada pinggiran lesi (Son, et al., 2011).

Tipe Neumann lebih sering muncul tetapi berkembang menjadi lesi yang lebih luas yang

tahan terhadap perawatan medis, oleh karena itu apabila tipe ini muncul membutuhkan dosis

kortikosteroid yang lebih tinggi dibandingkan tipe Hallopeau. Tipe Neumann memiliki masa

relaps dan remisi. Tipe Hallopeau dimulai dengan pustula yang berbatas tegas, yang secara

histologis menunjukkan pustula intraepidermal eosinofilik. Tipe ini relative lebih jinak dan

membutuhkan dosis kostrikosteroid sistemik yang lebih rendah, dan biasanya memiliki masa

remisi yang panjang (Canpolat, et al., 2010).

Diagnosis dari pemphigus vegetans didasarkan pada manifestasi klinis dan dikonfirmasi

kembali oleh temuan histologis. Keterlibatan batas vermillion bibir merupakan tanda klinis

-RINGKASAN OM 2009- 17

Page 18: Buku Saku Om

terdapat keterlibatan oral. Temuan histologis pasien pemphigus vegetans yaitu terdapat

hyperplasia epitel, suprabasal cleft, terdapat sel-sel akantolisis, dan microabscesses yang

mengandung eosinophil dan neutrophil (Almeida, et al., 2006).

Gambar 1.7 Temuan histologis pasien pemphigus vegetans menggambarkan adanya (A)

suprabasal cleft pada mukosa oral, (B) suprabasal cleft dan sel akantolisis (tanda panah)

pada lesi vegetant, dan (C) hyperplasia epitel dengan abses neutrofil

(Sumber: Almeida, et al., 2006)

1.4.4 Diagnosis Banding

Teknik imunofluoresence merupakan teknik yang penting untuk menentukan diagnosis

banding dari kelainan berupa bulla dan kelompok pemphigus memiliki pola interseluler yang

klasik. Diagnosis banding yang paling penting yaitu Pyodermatitis-pyostomatitis vegetans, yang

memiliki manifestasi klinis dan temuan histologis yang sama tetapi memiliki hasil tes

imunofluoresence yang negatif. Kelainan ini memiliki keterlibatan mukosa, oleh karena itu

Steven-Johnson’s Syndrome juga merupakan diagnosis banding pemphigus vegetans (Almeida,

et al., 2006).

-RINGKASAN OM 2009- 18

Page 19: Buku Saku Om

Gambar 1.8 Pemphigus Vegetans. Immunofluoresence direk: positif deposit IgG

granuler pada interseluler

(Sumber: Adriano, et al. 2011)

1.4.5 Perawatan

Penatalaksanaan pasien pemphigus vegetans biasanya melibatkan agen imunosupresif,

kortikosteroid sistemik merupakan obat pilihan utama. Walaupun demikian, kortikosteroid oral

sendiri tidak dapat menyembuhkan penyakit ini. Pada beberapa penelitian disebutkan bahwa

penggunaan steroid sistemik dengan azathioprine, dapsone, cyclophosphamide, dan cyclosporine

merupakan perawatan yang efektif. Ketika penyakit bersifat persisten, vegetasi verrucous,

kombinasi dari kortikosteroid dan etrenitrate dapat menyembuhkan lesi. Selain itu, hubungan

methotrexate, dicloxacillin, oral steroids, dan suntikan kortikosteroid intralesional secara

periodik merupakan perawatan yang efektif pada penyakit pemphigus vegetans yang menyerang

kulit kepala yang bersifat resisten (Adriano, et al., 2011;Almeida, et al., 2006).

1.5 Sindrom Steven-Johnson (SJS)

Sindrom Stevens-Johnson (SJS) adalah gangguan mucocutaneous yang diinduksi obat

dan terkait dengan morbiditas yang tinggi dan prognosis buruk. SJS dan TEN yang disebabkan

obat, biasanya mulai timbul dua sampai tiga minggu setelah mulai terapi tetapi dapat terjadi lebih

cepat.

1.5.1 Definisi

-RINGKASAN OM 2009- 19

Page 20: Buku Saku Om

SJS adalah salah satu tampilan klinis dari reaksi obat yang parah pada kulit. Terdapat

klasifikasi terhadap eritema multiforme (EM), SJS, dan epidermal toksik nekrolisis (TEN)

berdasarkan variasi keparahan. EM minor biasanya self-limited dan disebabkan infeksi. Drug-

induced EM, disebut EM-major, dapat berkembang menjadi SJS atau, ketika sangat parah

menjadi TEN. SJS adalah gangguan bulosa, dengan ulserasi, purpura, demam, dan keterlibatan

membran mukosa lebih dari dua lokasi, serta kulit. TEN merupakan kondisi yang lebih parah

dari SJS, dengan peluruhan kulit menyerupai luka bakar tingkat tiga.

1.5.2 Patogenesis

Pasien dengan SJS dan TEN biasanya disebabkan oleh antikonvulsan atau sulfonamid,

gangguan dalam detoksifikasi reaksi metabolisme. Sel CD8 mendominasi dalam lesi

menimbulkan blister, mengakibatkan cell-mediated cytotoxic reaction yang menyerang sel

epidermis. Tumor necrosis factor-a, perforin, granzim B (GRB), dan Fas Ligand (FasL)

meningkat pada tahap awal penyakit, kemudian mendukung mekanisme sitotoksik.

1.5.3 Gambaran Klinis

SJS ditandai dengan makula purpura dan blister terdistribusi secara luas pada tubuh dan

wajah. Lesi timbul satu sampai tiga hari dengan demam dan gejala seperti influenza. Ruam

menyebar dalam hitungan jam dan maksimal empat hari. Pada 90% pasien terjadi erosi kulit

yang sakit atau krusta pada membran mukosa. Erosi mukosa mengakibatkan gangguan

alimentation, fotofobia, dan sakit saatbuang air kecil. Epitel gastrointestinal dapat terlibat,

sehingga terjadi diare. Difus pneumonitis interstitial dan keterlibatan epitel trakeobronkial dapat

terjadi, mengakibatkan gangguan pernapasan. Sekitar 85% pasien memiliki lesi konjungtiva,

mulai dari hiperemia pembentukan pseudomembran. Peningkatan ringan enzim hati dapat terjadi.

Luasnya daerah epidermal yang terlibat membedakan SJS dari TEN. Di SJS, blister

terjadi pada kulit di bawah 10% dari luas permukaan tubuh (BSA). TEN terjadi pada epidermal

yang lebih luas pada lebih dari 30% BSA, mengarah pada Nikolsky’s sign yang positif. Kasus

dengan daerah yang terlibat antara 10% dan 30% dari BSA disebut juga SJS-TEN.

Kehilangan cairan terjadi pada kulit, mengarah kepada prerenal azotemia dan

ketidakseimbangan elektrolit. Lesi kulit dapat dikolonisasi Staphylococcus aureus dan batang

-RINGKASAN OM 2009- 20

Page 21: Buku Saku Om

gram negatif. Pasien juga mengalami keadaan hypercatabolic dengan resistensi insulin, dan

termoregulasi terganggu. Fungsi kekebalan terganggu, predisposisi pasien untuk sepsis.

Kelainan laboratorium meliputi anemia, limfopenia di 90% dari pasien karena

menipisnya CD4 + T-limfosit, dan neutropenia, indikator prognostik yang buruk. Sekitar 30%

pasien terjadi peningkatan transaminase dan amilase / lipase. Proteinuria ringan juga umum.

Diagnosis banding SJS / TEN adalah dermatitis eksfoliatif, staphylococcal scalded skin

syndrome, acute exanthematous pustulosis, paraneoplastic pemphigus, luka bakar termal, reaksi

fototoksik.

1.5.4 Perawatan

Penanganan yang cepat dari SJS dan TEN dapat menyelamatkan jiwa. Obat yang

diberikan dalam waktu satu bulan dari reaksi harus dicurigai. Perawatan sama dengan yang dari

pasien yang menderita luka bakar termal: kontrol termal lingkungan, penggantian cairan,

mengontrol rasa sakit, dukungan nutrisi, dan pengobatan antibakteri bila diperlukan. Intubasi dan

ventilasi mekanik diperlukan ketika trakea dan bronkus yang terlibat. Antikoagulasi

direkomendasikan, karena tromboemboli dan koagulasi intravaskular (DIC) merupakan

penyebab penting morbiditas dan mortalitas. Manajemen agresif oleh dokter mata diperlukan.

Kortikosteroid, siklosporin, dan imunoglobulin intravena (IVIg) digunakan untuk pengobatan

SJS / TEN.

1.6 Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)

1.6.1 Definisi

Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) atau penyakit Lyell adalah penyakit kulit dan

membran mukosa yang sangat parah akibat reaksi hipersensitif terhadap obat tertentu dan

memiliki prognosis yang buruk.

1.6.2 Etiologi

TEN adalah reaksi hipersensitif tubuh terhadap obat yang hampir selalu menjadi pemicu

utama mekanisme penyakit TEN.

-RINGKASAN OM 2009- 21

Page 22: Buku Saku Om

1.6.3 Gambaran Klinis

TEN biasanya dimulai demam tingkat rendah, malaise, arthralgia, sensasi terbakar pada

konjungtiva, kulit menjadi lunak, dan muncul eritema. Setelah 24 jam, muncul blister dan kulit

mulai mengelupas sehingga seluruh seluruh permukaan tubuh menjadi melepuh. Hasil

pemeriksaan Nicolsky’s sign positif. Manifestasi rongga mulut terdiri eritema difuse, vesicle, dan

erosi pada bibir dan perioral yang sangat nyeri, dimana lesi tersebut juga muncul pada mukosa

bukal, lidah, dan palatum. Kemudian terdapat lesi pada ocular, genital, dan membrane mukosa.

1.6.4 Perawatan

Steroid sistemik dosis tinggi, antibiotik, dan cairan elektrolit

1.7 Behcet Disease [BD {Behcet Syndrome}]

1.7.1 Definisi

Behcet disease (BD) pada awalnya dideskripsikan oleh dermatologis Turki, Hulusi

Behcet sebagai 3 gejala yaitu oral ulcer rekuren, genital ulcer rekuren, dan adanya keterlibatan

kelainan mata. BD saat ini dipahami merupakan kelainan multisistem dengan banyak

kemungkinan manifestasi. Insidensi tertinggi BD dilaporkan di Asia Timur, Timur Tengah, dan

Mediterean Timur terutama Tukri dan Jepang, dimana BD bisa menyebabkan kebutaan pada

laki-laki dewasa, namun kasus ini juga dilaporkan terjadi di seluruh dunia termasuk Eropa dan

Amerika Utara.

1.7.2 Etilologi dan Patogenensis

Penyebab BD belum diketahui, tetapi disregulasi imun, termasuk sirkulasi imun

kompleks, autoimun, sitokinesis, dan heat shock proteins merupakan faktor terbesar di dalam

-RINGKASAN OM 2009- 22

Page 23: Buku Saku Om

patogenesis BD. Genotipe HLA-B51 paling sering dihubungkan dengan BD, terutama pada

pasien di Asia yang memiliki kelainan yang parah, tetapi genetic alami yang tepat pada etiologic

BD masih belum jelas. Secara teori BD terjadi jika bakteri atau virus memicu reaksi imun pada

individu yg cenderung kea rah genetic.

1.7.3 Manifestasi Klinis

Insidensi tertinggi BD terjadi pada dewasa muda yang berusia antara 25 sampai 40 tahun,

dengan oral mukosa merupakan area paling umum terlibat. Area genital merupakan area kedua

yang paling umum terlibat dan adanya ulserasi pada scrotum dan penis pada laki-laki, dan

ulserasi di labia pada perempuan. Lesi pada mata terdiri dari uveitis, retinal vaskulitis, vascular

occlusion, atropi optik, dan conjungtivitis. Kebutaan merupakan komplikasi yg sering terjadi

pada penyakit ini, dan evaluasi secara periodic oleh ophtalmologis dibutuhkan.

Keterlibatan general terjadi pada lebih dari setengah pasien dengan BD. Lesi pada kulit

yang menyerupai eritema nodosum atau lesi pustular yang besar terjadi juga pada lebih dari 50%

pasien dengan BD. Lesi-lesi ini mungkin ditimbulkan oleh trauma, pada pasien BD biasa terjadi

hiperaktivitas cutaneous terhadap injeksi intercutaneous atau jarum suntik. Arthritis terjadi pada

lebih dari 40% pasien dan paling sering mempengaruhi lutut, engkel, pergelangan tangan dan

siku. Sendi yang terefeksi ini bisa menjadi merah dan bengkak seperti arthritis rheumatoid, tetapi

keterlibatan sendi kecil pada tangan tidak terjadi, dan tidak terjadi disabilitas permanen.

Pada beberapa pasien, kerterlibatan sistem saraf sentral adalah hal yang paling

menyedihkan pada kelainan ini. Termasuk juga sindrom brainstem, keterlibatan saraf cranial,

degenerasi saraf yang menyerupai multiple sclerosis yang bisa dilihat dari MRI pada otak. Tanda

lain pada BD termasuk thrombophlebitis, elserasi intertinal, thrombosis venous, dan kelainan

ginjal, jatung, dan paru-paru. Kedua paru-paru yang terlibat dan jatung dipercayai merupakan

vaskulitis sekunder. Keterlibatan pembuluh darah besar bisa mengancam nyawa karena resiko

arterial occlusion atau aneurysms.

BD pada anak-anak, dimana paling sering terjadi di antara umur 9 dan 10 tahun, memiliki

manifestasi yang sama seperti pada orang dewasa, tetapi ulser oral lebih sering terlihat pada

anak-anak, dan jarang eterjadi uveitis. Lesi oral merupakan gejala pada 95% pasien anak yang

-RINGKASAN OM 2009- 23

Page 24: Buku Saku Om

mengidap BD. Varisai dari BD, Sindrom MAGIC, telah dideskripsikan. Hal dapat dikarakterisasi

oleh ulcer oral dan genital dengan inflamasi kartilago.

1.7.4 Temuan Oral

Daerah yang paling sering terlibat dengan BD adalah mukosa oral. Ulcer oral rekuren

terlihat pada 90% pasien, lesi-lesi ini tidak dapat dibedakan secara klinis apa histologis dari

RAS. Beberapa pasien mengalami lesi oral rekuren yang ringan, yang lainnya memiliki luka lesi

yang dalam dan besar yang mencirikan RAS mayor. Lesi ini bisa terlihat dimanapun pada

mukosa oral atau pharigeal.

1.7.5 Diagnosis Banding

Karena tanda dan gejala dari BD hampir sama dengan beberapa kelainan yang lain,

secara khusus penyakit jaringan ikat, hal ini menyulitkan untuk mengembangkan kriteria yang

bisa diterima secara universal. Lima jenis diagnosis yang berbeda telah digunakan dalam 20

tahun terakhir. Pada tahun 1990, studi grup internasional meninjau data dari 914 pasien dari 7

negara. Kriteria diagnosis telah dikembangkan termasuk ulcer oral rekuren yang terjadi paling

sedikit 3 kali di dalam satu periode 12 bulan ditambah dengan 4 manifestasi berikut:

1. Ulser genital rekuren

2. Lesi pada mata, termasuk uveitis dan vaskulitis retinal

3. Lesi pada kulit, termasuk nodosum eritema, pseudofolliculitis, lesi papulopustular, atau

nodul acneiform di pasien postadolescent yang tidak menggunakan kortikosteriod

4. Tes pathergy positif, yang dilakukan dengan cara meletakkan jarum 20G 5mm ke dalam

kulit di lengan. Tes ini positif jika terdapat papula atau pustule yang berindurasi

berdiameter 2 mm atau lebih dalam waktu 48 jam.

1.7.6 Temuan Laboratori

BD merupakan diagnosis klinis berdasarkan kriteria yang dijelaskan di atas. Tes

laboratory digunakan untuk memperlihatkan penyakit yang lain, seperti kelainan jaringan ikat

(seperti lupus erythematosus) dan dyscrasias darah.

-RINGKASAN OM 2009- 24

Page 25: Buku Saku Om

1.7.7 Manajemen

Manajemen pada BD tergantung pada tingkat keparahan dan daerah yang terlibat. Pasien

dengan penglihatan yang terancam yang memiliki keterlibatan mata atau lesi pada sistem saraf

pusat mebutuhkan terapi yang agresif dengan obat, dengan potensi yang lebih tinggi untuk efek

samping yang serius. Azathioprine dan obat imunosupresif dikombinasikan dengan prednisone

menunjukkan adanya pengurangan kelainan ocular begitu juga dengan yang memiliki

keterlibatan oral dan genital. Pentoxifylline, yang memiliki efek samping yang lebih sedikit

dibandingkan dengan obat imunosupresif dan steroid sistemik, juga dilaporkan efektif dalam

mengurangi aktivitas penyakit, khususnya lesi oral dan genital. Dapsone, colchicine, dan

thalidomide juga telah efektif digunakan untuk merawat lesi pada mukosa pada penyakit BD.

Agen yang aktif terhadap sitokin TNF-χ, seperti infliximab dan ethanercept, telah menujukkan

potensi efektif terhadap manifestasi mucocutaneous dan ocular pada BD.

Gambar 1.9 Apthous ulcer (A) dan lesi pada kulit (B) pada pasien dengan Behcets Disease

1.8 Paraneoplastic Pemphigus (PNPP)

1.8.1 Definisi

Pnpp adalah varian parah pemfigus yang berhubungan dengan neoplasma-paling sering

limfoma mendasari non-Hodgkin, leukemia limfositik kronis, atau thymoma. Penyakit

Castleman dan Waldenstrom macroglobulinemia juga terkait dengan kasus pnpp. Kerusakan

pada epitel di pnpp adalah karena kedua reaksi autoimun dengan sel-sel epitel dan sel-dimediasi

sitotoksisitas.

1.8.2 Temuan Klinis

-RINGKASAN OM 2009- 25

Page 26: Buku Saku Om

Pasien dengan pnpp mengembangkan terik parah dan erosi pada membran mukosa dan

kulit. Timbulnya penyakit ini sering cepat, dan mulut dan lesi konjungtiva keduanya umum dan

sering parah. Lesi ini mungkin menyerupai lesi inflamasi dari reaksi obat, lichen planus, atau

EM, serta lecet terlihat pada pemfigus (Gambar 36). Pada kasus yang berat, lesi dapat meniru

TEN dan sering juga melibatkan epitel pernapasan. Tidak seperti EM atau TEN, lesi dari pnpp

terus berkembang selama beberapa minggu atau bulan. Keterlibatan paru progresif terjadi pada

hingga 40% pasien dengan pnpp.

Gambar 1.10 PNPP pada pasien non-Hodkin’s Limfoma

1.8.3 Manifestasi Oral

Lesi oral adalah manifestasi paling umum dari pnpp, dan penyakit mulut sering luas dan

menyakitkan. Lesi sering meradang dan nekrotik, dengan erosi besar yang meliputi bibir, lidah,

dan palatum lunak (Gambar 37).

Gambar 1.11 Lesi yang parah pada lidah pasien dengan PNPP

1.8.4 Temuan Lab

Histopatologi lesi dari pnpp termasuk perubahan sugestif dari EM, lichen planus,

pemfigoid dan pemfigus. Ada peradangan di persimpangan dermal-epidermal dan keratinosit

-RINGKASAN OM 2009- 26

Page 27: Buku Saku Om

nekrosis selain akantolisis karakteristik terlihat pada PV. Hasil imunofluoresensi langsung dan

tidak langsung juga berbeda dari yang di PV. DIF menunjukkan deposisi IgG dan melengkapi

sepanjang membran basement serta pada permukaan keratinosit di lokasi antar. IIF menunjukkan

antibodiesthat tidak hanya mengikat epitel tetapi untuk hati, jantung, dan jaringan kandung

kemih juga.

1.8.5 Manajemen

Pasien dengan pnpp sekunder untuk tumor lokal seperti penyakit Castleman

meningkatkan dengan operasi pengangkatan tumor. Pasien dengan pnpp dihasilkan dari limfoma,

bagaimanapun, memiliki prognosis yang buruk dan biasanya meninggal dalam waktu 2 tahun

dari kombinasi penyakit yang mendasari, kegagalan pernapasan, dan keterlibatan mukokutan

luas.

Penggunaan kombinasi prednison dan obat imunosupresif dapat terapi membantu

mengendalikan tingkat keparahan lesi kulit, tetapi mulut, konjungtiva, dan penyakit paru sering

resisten terhadap pengobatan.

1.9 Linear IgA Disease (LAD)

1.9.1 Etiologi dan Patogenesis

LAD adalah penyakit subepitel ditandai dengan deposisi IgA daripada IgG di membran

basal. Manifestasi klinis dapat berupa dermatitis herpetiformis atau pemfigoid. Sebagian besar

penyebabnya belum diketahui, tetapi pada beberapa kasus dilaporkan berhubungan dengan

induksi obat atau penyakit sistemik, termasuk keganasan hematologi, atau penyakit jaringan ikat,

seperti dermatomiositis. Seperti dalam MMP, antigen dikaitkan dengan LAD yang heterogen dan

dapat ditemukan baik dalam lamina lucida atau lamina densa yang merupakan bagian dari

membran basal.

1.9.2 Manifestasi Klinis

Lesi kulit dari LAD mungkin serupa pada pasien dengan dermatitis herpetiformis, yang

ditandai dengan papula pruritus dan blister di daerah trauma seperti lutut dan siku. Pasien lainnya

-RINGKASAN OM 2009- 27

Page 28: Buku Saku Om

memiliki lesi bulosa mirip dengan yang terlihat pada pasien dengan BP. Mukosa mulut dan

konjungtiva juga sering terlibat.

1.9.3 Temuan Oral

Lesi oral yang umum terlihat pada LAD dapat dilihat pada sampai dengan 70% dari

pasien. Lesi ini secara klinis sulit dibandingkan dengan lesi oral MMP, dengan blister dan erosi

mukosa sering disertai gingivitis deskuamatif, yang secara klinis tidak dapat dibedakan dari lesi

MMP. Serupa dengan MMP, kasus-kasus sebelumnya hanya memperlihatkan gingivitis

deskuamatif. Beberapa peneliti percaya bahwa masih ada bukti yang cukup untuk membedakan

antara LAD dan MMP.

Gambar 1.12 Perawatan splint ringan untuk merawat sekunder gingivitis deskuamatif pada

MMP

1.9.4 Temuan Lab

Pemeriksaan histologi menunjukkan lesi subepitel di membran basal mirip dengan MMP,

tetapi penelitian DIF menunjukkan pengendapan IgA daripada IgG. IIF biasanya negative, tetapi

ketika positif akan menunjukkan antibodi IgA terhadap antigen membran basal.

-RINGKASAN OM 2009- 28

Page 29: Buku Saku Om

Gambar 1.13. A. Photomicrograph dari MMP memperlihatkan sel basal dan bulla subepitel

yang utuh. B. Gambaran Direct immunoflourence dari membrane mukosa memperlihatkan

deposisi IgG positif pada dasar zona membrane.

1.9.5 Manajemen

Seperti halnya penyakit blister subepitel, klinisi harus mempertimbangkan adanya

kemungkinan reaksi obat yang mendasari atau terjadinya keganasan. Lesi oral LAD dapat

ditangani dengan penggunaan steroid topikal tetapi secara karaktersistik responnya tidak sebaik

pada MMP yang cukup diterapi dengan steroid topikal atau sistemik saja. Dapson sering lebih

efektif apabila steroid topikal tidak cukup. Sulfapyridine atau tetrasiklin, yang dapat

dikombinasikan dengan niacinamide, juga efektif. Pada kasus yang cukup parah mungkin

diperlukan kombinasi kortikosteroid sistemik dan terapi obat imunosupresif.

-RINGKASAN OM 2009- 29

Page 30: Buku Saku Om

BAB II

RESPIRATORY DISEASES

UPPER-RESPIRATORY INFECTIONS

2.1 Allergic Rhinitis

2.1.1 Definisi dan Etiologi

Allergic rhinitis adalah inflamasi rekuren kronis pada mukosa nasal

Permulaan inflamasi merupakan allergic hypersensitivity (hipersensitivitas tipe I)

terhadap trigger dari lingkungan.

Trigger

Musiman: rumput, pohon, serbuk sari

Menahun: tungau, bulu, binatang, jamur

2.1.2 Patofisiologi

Fase Sensitisasi : Terpapar allergen tertentu dan allergen dikenal oleh system imun

Akhir fase sensitisasi: Produksi spesific Immunoglobulin E (IgE) antibody, IgE berikatan

dengan permukaan sel-sel mast dan basophil darah.

Fase awal (early-phase) reaksi alergi

Re-exposure allergen interaksi permukaan IgE dan allergen IgE cross-linking

*Cross linking IgE memicu degranulasi sel mast dan pelepasan mediator sel mast.

Sel mast Histamin (mediator utama) bersin, pruritus, dan rhinorrhea Cytokine

amplifikasi dan feedback dari respon alergimasuknya sel-sel inflamasi lain (termasuk

eosinofil) late-phase allergic

Eosinofil memproduksi berbagai mediator inflamasi yang menyebabkan inflamasi alergi

kronis dan symptom kongesti nasal.

2.1.3 Temuan Klinis dan Laboratorium

Simptom: bersin, pruritus, clear rhinorrhea, kongesti nasal

Simptom lain: drainase postnasal dengan iritasi tenggorokan, pruritus palatum dan

saluran telinga, serta kelelahan

-RINGKASAN OM 2009- 30

Page 31: Buku Saku Om

Tanda klinis: lipatan hidung transversal, sering menggosok ujung hidung ke arah atas.

Pemeriksaan langsung: edema, pewarnaan biru pucat pada turbinates, clear rhinorrhea

yang berlebihan, polip nasal, drainase post nasal, cobble stoning orofaring, lengkung

palatum tinggi, protrusi lidah dan overbite.

Pemeriksaan Lab (tidak sensitif dan spesifik):

o Level serum Ig meninggi

o Jumlah eosinofil total meninggi

Pemeriksaan mikroskopis sekresi nasal

o Eosinofil dalam jumlah signifikan

Radio allergosorbent test (RAST): tes berdasarkan level sirkulasi Ig, level Ig spesifik

ditentukan menggunakan sampel serum dan dihitung menggunakan penanda radioaktif.

Digunakan pada pasien ibu hamil, atau kelainan kulit kronis yang parah termasuk

dermatitis atopic.

2.1.4 Klasifikasi

Seasonal (musiman), allergen di luar rumah: pepohonan, rumput,

Perennial (menetap), allergen dari dalam rumah: tungau, kecoa, binatang peliharaan.

2.1.5 Diagnosis

Jelas berdasarkan riwayat dan pemeriksaan klinis

Riwayat sensitivitas alergi, symptom rekuren terhadap paparan spesifik, eksaserbasi

selama waktu-waktu tertentu

Simptom mengalami rekurensi selama 2 tahun atau lebih pada musim tertentu

Seasonal allergic

Simptom memburuk selama pasien berada di rumah, dan membaik saat pasien bekerja

atau berlibur Perennial allergic, dengan trigger indoor

TES Skin Test / prick test

o Purified allergen dalam jumlah kecil disuntikkan ke epidermis dengan pricking

device.

-RINGKASAN OM 2009- 31

Page 32: Buku Saku Om

o Kontrol positif (histamin) dan negatif (albumin-saline) digunakan untuk

perbandingan.

o Dilihat setelah 15 menit

2.1.6 Manajemen

UMUM : Menghindari allergen, farmakoterapi (obat), dan immunoterapi (injeksi alergi)

Bersin, pruritus, rhinorrhea antihistamin (generasi kedua: loratadine dan fexofenadine)

Nasal kongesti dan obstruksi oral dekongestan (sympathomimetic amines)

Medikasi kombinasi

o CysLT1-receptor antagonis + antihistamin

Symptom yang berhari-hari atau parah dan tidak sembuh dengan antihistamin-

dekongestan. Agen anti-inflamasi topikal (cromolyn sodium dan topikal kortikosteroid

spray), keuntungan topikal kortikosteroid : dosis satu kali sehari, superior efficacy,

sembuh menyeluruh

Immunoterapi pasien yang tidak bias menghindari allergen, respon suboptimal

terhadap farmakoterapi, menghindari penggunaan jangka panjang obat-obatan, wanita

hamil.

2.2 Faringitis dan Tonsilitis

2.2.1 Definisi dan Etiologi

Inflamasi pada tonsil dan faring selalu dihubungkan dengan infeksi, baik virus atau

bakteri. Lebih dari 90% kasus radang tenggorokan berhubungan dengan infeksi virus. Etiologi

paling besar yaitu Epstein-Barr Virus, coxsackievirus A, adonevirus, rhinovirus, dan measles

virus.

Bakteri yang paling banyak menyebabkan tonsilo-faringitis akut adalah infeksi kelompok

A β-hemolitic Streptococcus (GABHS), terutama infeksi dari Streptococcus pyogens. Bakteri

lain yang mungkin dapat menyebabkan infeksi ini yaitu: Corynebacterium diphtheriae, Neisseria

gonorhoeae, Chlamydia, dan Mycoplasma pneumonia.

-RINGKASAN OM 2009- 32

Page 33: Buku Saku Om

2.2.2 Patofisiologi

Infeksi Streptococcus dapat terjadi melalui kontak langsung dengan sekresi saluran

pernafasan. Transmisi sering terjadi pada area yang mudah berkontak seperti: sekolah dan tempat

penitipan bayi. Masa inkubasi 2 – 5 hari.

2.2.3 Temuan Klinis dan Laboratorium

Pasien dengan infeksi EBV dapat menjadi infeksi mono nucleosis, yaitu penyakit yang

dicirikan dengan adanya exudative tonsillopharingitis, lymphadenopathy, demam, dan pegal.

Pemeriksaan fisik dapat menemukan adanya hepatoplenomegaly. Temuan laboratorium

menunjukkan leukositosis, yang memiliki 20% limfosit tidak beraturan pada darah.

2.2.4 Klasifikasi

Faringitis viral (umumnya oleh rhinovirus): diawali dengan gejala rhinitis dan beberapa

hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain demam disertai rinorea dan mual.

Faringitis bakterial: nyeri kepala hebat, muntah, kadang disertai demam dengan suhu

yang tinggi, jarang disertai batuk.

Faringitis fungal: terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan.

Faringitis kronik hiperplastik: mula-mula tenggorok kering, gatal dan akhirnya batuk

yang berdahak.

Faringitisatrofi: umumnya tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau.

Faringitis tuberkulosis: nyeri hebat pada faring dan tidak berespon dengan pengobatan

bakterial non spesifik.

Bila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis luetika, ditanyakan riwayat hubungan

seksual

Faringotonsilitis diklasifikasikan berdasarkan etiologi dan gambaran klinis. (sesuai

penjelasan sebelumnya)

2.2.5 Diagnosis

-RINGKASAN OM 2009- 33

Page 34: Buku Saku Om

Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang bila diperlukan.

2.2.6 Manajemen

Penatalaksanaan penyakit dilakukan sesuai dengan penyebabnya. Jika disebabkan oleh

virus, dapat diberikan obat kumur, analgesik, dan antipiretik. Jika disebakan oleh bakteri dapat

diberikan penicillin, cephalosporin, macrolides, clindamycin, atau injeksi intramuskular

benzathine penicillin G.

2.2.7 Prognosis

Baik

2.2.8 Pertimbangan Kesehatan Mulut

Suatu studi menyebutkan bahwa ada hubungan antara infeksi GABHS pada sikat gigi dan

ortho lepasan. Pasien yang memiliki infeksi GABHS harus diinstruksikan untuk selalu

membersihkan sikat gigi dan alat lepasan setiap hari. Selain itu pasien juga diinstruksikan untuk

mengganti sikat gigi setelah masa akut infeksi orofaringeal.

2.3 Sinusitis

2.3.1 Definisi dan Etiologi

Sinusitis adalah suatu peradangan pada lapisan epitel dari sinus paranasal. Peradangan

jaringan ini menyebabkan edema mukosa dan peningkatan sekresi mukosa. Pemicu paling umum

adalah infeksi saluran pernapasan atas akut, meskipun penyebab lain (seperti eksaserbasi alergi

rhinitis, infeksi gigi atau manipulasi, dan trauma langsung) dapat terlibat.

2.3.2 Patofisiologi

Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang dilapisi dengan epitel pernapasan

bertingkat semuolumnar. Epitel tersebut bersilia, yang memfasilitasi pembersihan sekresi

mukosa. Frontal, maksila, dan sinus ethmoid menguras ke daerah yang dikenal sebagai kompleks

ostiomeatal. Ritme gerakan silia dan pembersihan sekresi dapat terganggu oleh beberapa faktor,

-RINGKASAN OM 2009- 34

Page 35: Buku Saku Om

termasuk infeksi virus pernapasan bagian atas, alergi peradangan, dan paparan tembakau rokok

dan iritasi lainnya.

Selain itu, benda asing (disengaja atau bedah) atau septum nasal sangat menyimpang

dapat menyebabkan obstruksi. Jika penyumbatan ostia sinus atau obstruksi kompleks ostiomeatal

terjadi, stasis sekresi sinus akan memungkinkan penyatuan dalam rongga sinus, yang

memfasilitasi pertumbuhan bakteri.

Organisme yang paling umum ditemukan di sinusitis akut adalah S. pneumoniae, H.

influenzae, dan M. catarrhalis. Disekitar 8 sampai 10% kasus sinusitis akut,

Bacteroidessppdan S. aureus adalah penyebabnya.

Organisme yang biasa terkait dengan sinusitis kronis adalah bakteri anaerob seperti

Bacteroides sp, Fusobacterium sp, Streptococcus, Veillonella, dan Corynebacterium sp.

Sinusitis karena infeksi jamur jarang terjadi.

2.3.3 Temuan Klinis dan Laboratorium

Gejala sinusitis akut termasuk nyeri wajah, nyeri, dan sakit kepala local ke daerah yang

terkena.

Sinusitis mempengaruhi sinus sphenoid atau sinus ethmoid posterior dapat menyebabkan

sakit kepala atau nyeri di daerah oksipital.

Gejala lain yang umum dijelaskan termasuk purulent nasal discharge, demam, malaise,

dan post nasal drainase dengan napas berbau busuk.

Kadang-kadang disertai sakit gigi

Pemeriksaan fisik nyeri sinus dan drainase purulent nasal. Mukosa nasal akan

memperlihatkan edema dan eritem, dan muncul polip nasal

Computed Tomography (CT) pilihan untuk mendokumentasikan sinusitis kronis

dengan penyakit yang mendasari kompleks osteomeatal. CT juga dapat secara akurat

menilai polip, osteitis reaktif, penebalan mukosa, dan sinusitis jamur.

Magnetic Resonance Imaging (MRI) identifikasi kelainan tulang.

-RINGKASAN OM 2009- 35

Page 36: Buku Saku Om

2.3.4 Klasifikasi

Sinusitis berdasarkan durasi inflamsi: Akut (4 minggu) Sub Akut (4 – 12 minggu)

Kronis (lebih dari 12 minggu)

2.3.5 Diagnosis

Diagnosis sinusitis akut dibuat atas dasar histori dan pemeriksaan fisik. Evaluasi

radiologis dapat membantu dalam situasi tertentu.

Evaluasi alergi untuk rhinitis alergi dapat membantu.

Faktor predisposisi lain, seperti paparan asap tembakau, immunodefisiensi, dan deviasi

septum, harus dipertimbangkan.

Rhinoskopi dapat membantu untuk visualisasi langsung dari sinus ostia.

2.3.6 Manajemen

Perawatan medis awal terdiri dari antibiotik dan dekongestan topikal atau oral untuk

memfasilitasi drainase sinus.

Antibiotik: amoksisilin cukup efektif, meskipun generasi kedua sefalosporin,

azitromisin, dan amoksisilin klavulanat dapat membantu dalam kasus resisten.

Hidrasi yang memadai, uap inhalasi, dan farmakologis tindakan

Glukokortikosteroid nasal dianggap efektif menambah terapi antibiotic

Antibiotik intravena dan intervensi bedah diindikasikan berdasarkan respon kondisi untuk

manajemen medis.

Kortikosteroid topikal / kortikosteroid oral jangka pendek mengurangi pembengkakan

dan obstruksi osteomeatal kompleks.

2.3.7 Prognosa

Pasien dirawat untuk sinusitis akut biasanya sembuh tanpa gejala sisa.

Anak-anak dengan sinusitis, khususnya ethmoid dan sinusitis maksilaris, beresiko untuk

periorbital atau orbital selulitis.

Sinusitis frontal dapat meluas melalui dinding anterior Tumor.

Sinusitis dapat menyebar secara intrakranial abses atau meningitis

-RINGKASAN OM 2009- 36

Page 37: Buku Saku Om

Penggunaan obat kronis dapat menyebabkan efek samping atau komplikasi lain, seperti

rhinitis

2.3.8 Pertimbangan Kesehatan Mulut

Pasien dengan infeksi sinus hadir dengan keluhan sakit gigi

Sinusitis biasanya hadir dengan melibatkan lebih dari satu gigi di maksila dengan

kuadran yang sama

Infeksi sinus kronis sering disertai dengan pernafasan mulut mulut kering dan (pada

penderita lama) gingivitis.

Penggunaan dekongestan mungkin dapat berhubungan dengan mulut kering

LOWER-RESPIRATORY INFECTIONS

2.4 Bronkhitis Akut

2.4.1 Definisi dan Etiologi

Bronkhitis akut adalah infeksi repiratori akut yang melibatkan jalan napas besar (trakea

dan bronkus) yang dimanifestasi sebagian besar oleh batuk dengan atau tanpa dahak selama 3

mingggu atau lebih. Bagi individu yang sehat tanpa ada penyakit paru, bronkhitis biasanya

disebabkan oleh infeksi virus. Virus yang sering terlibat adalah influenza B, influenza A,

parainfluenza, dan RSV. Virus yang biasanya terlibat dengan infeksi saluran pernapasan atas

seperti coronavirus, rhinovirus, dan adenovirus juga dapat menyebabkan bronkhitis akut. Bakteri

yang biasanya dihubungkan dengan bronkhitis akut pada individu sehat adalah Mycoplasma

pneumoniae, Chlamidya pneumoniae, Bordella pertussis dan Bordetella parapertussis.

Staphylococcus dan bakteri gram negatif biasanya menyebabkan bronkhitis pada individu-

individu di rumah sakit.

2.4.2 Patofiologi

Patofisiologi bronkhitis akut sama dengan infeksi saluran pernapasan yang lain.

Mengikuti infeksi dari sel mukosa, terjadi perkembanganpenyumbatan mukosa respiratory.

Inflamasi menyebabkan peningkatan aktivitas sekret, yang berakhir pada meningkatkan produksi

-RINGKASAN OM 2009- 37

Page 38: Buku Saku Om

dahak. Polymorfonuklear leukosit menginflitrasi dinding bronkial dan lumen. Lalu terjadi

deskuamasi epitel siliata dan spasme otot halus bronkial.

2.4.3 Temuan Klinis dan Laboratorium

Bronkhitis viral akut biasanya timbul dengan onset batuk tiba-tiba dengan atau tanpa

pengeluaran dahak dan tanpa tanda pneumonia, pilek, asthma akut, atau akut eksaserbasi

bronkhitis kronis. Tidak nyamannya dada dapat terjadi, diperparah dengan penyakit batuk

menetap. Gejala lain seperti dyspnea dan sulit bernapas kadang timbul. Pemeriksaan klinis dapat

menemukan wheezing. Penampilannya menyerupai akut eksaserbasi asthma. Gejala akan

menghilang dalam 1-2 minggu.

Penampilan bronkhitis bakterial akut mirip dengan bakterial pneumonia. Gejala dapat

timbul demam, dyspnea, batuk dengan dahak bernanah, dan nyeri dada. Bronkitis bakterial dapat

dibedakan dengan penumonia dari tampilan radiografi dada.

2.4.4 Klasifikasi

Bronkhitis akut dapat dideferensiasi menurut etiologinya yaitu viral bronkhitis dan

bakterial bronkhitis.

2.4.5 Diagnosis

Diagnosis bronkhitis akut didasarkan pada riwayat dan pemeriksaan fisik. Jumlah sel

darah dan sputum dianalisa. Radigrafi dada dapat membantu membedakan bakterial bronkhitis

dan pneumonia. Pasien dengan rekuren bronkhitis akut harus dievaluasi untuk kemungkinan

asthma.

Pasien dengan gejala persisten viral brokhitis harus dievaluasi untuk mengetahui etiologi

yang mendasarinya. Kultur dahak dapat dilakukan tapi tidak harus dilakukan secara rutin.

2.4.6 Perawatan

Viral bronkhitis dapat dirawat dengan hanya perawatan suportif karena kebanyakan

individu yang sehat sembuh tanpa pengobatan spesifik. Apabila ada penyempitan jalan nafas

yang signifikan atau hipereaktif, dapat digunakan bronkodilator hirup seperti albuterol.

-RINGKASAN OM 2009- 38

Page 39: Buku Saku Om

Suppresan batuk seperti codein dapat digunakan bagi pasien yang menglami gangguan tidur

karena batuk.

Perawatan bakterial bronkhitis mencakup amoxicillin, amoxicillin-clavulanate,

macrolides, dan sefalosporin. Bagi individu yang diduga atau didiagnosa infeksi pertusis, diberi

macrolide atau trimethoprim-sulfamethoxazole. Bronkodilator hirup b2-agonist biasanya

digunakan tapi tidak direkomendasikan secara jangka panjang untuk meringankan batuk.

2.4.7 Prognosis

Brokhitis akut membawa prognosis baik pada pasien tanpa riwayat penyakit paru.

Namun, pada pasien dengan penyakit paru kronis dan gangguan pernapasan, bronkhitis dapat

menjadi serius dan memicu perawatan rumah sakit dan gagal napas. Pada individu yang beresiko

tinggi seperti pada individu dengan infeksi HIV atau imunodefisiensi, bronkhitis akut dapat

mengarah pada perkembangan bronchiestasis.

2.4.8 Pertimbangan Kesehatan Mulut

Resistensi antibiotik dapat berkembang dengan cepat dan berlangsung selama 10-14 hari.

Demikian yang mengkonsumsi amoxicillin untuk bronkhitis akut harus diresepkan antibiotik tipe

lain (clyndamicin atau sefalosporin) ketika dibutuhkan antibiotik untuk infeksi odontogenik.

2.5 Pneumonia

2.5.1 Definisi dan Etiologi

Infeksi dan inflamasi yang melibatkan parenkim paru-paru

Penyebabnya karena bakteri dan virus

Terklasifikasi menjadi infeksi noskomial (Staphylococcus aureus dan bakteri Gram

negatif) dan infeksi dapatan komunitas (Streptococcus pneumoniae, Haemophilus

influenzae).

Pneumonia yang mengandung Klebsiellaoneumoniae ditemukan pada pasien usia lanjut

dengan riwayat alkoholik.

-RINGKASAN OM 2009- 39

Page 40: Buku Saku Om

Penumonia juga dapat disebabkan oleh jamur (Candida, Histoplasma, Cryptococcus dan

Aspergillus) oleh protozoa (Pneumocystic carinii, Nocardia, Mycobacterium

tuberculosis).

2.5.2 Patofisiologis

Patofisiologis penumonia bergantung dari organisme penyebab infeksi. Contoh bakteri

penyebab tersering Streptococcus pneumoniae, mekanismenya:

Bakteri masuk alveolar melalui inhalasi

Di alveoli bakteri secara cepat bermultipel dan terbentuk edema

Bakteri menyebabkan respon inflamasi kuat, melibatkan banyak leukosit PMN

Terdapat kebocoran kapiler

Selama proses inflamasi, leukosit PMN digantikan oleh makrofag

Deposisi fibrin terjadi saat infeksi terkontrol

2.5.3 Temuan Klinis dan Laboratorium

Pneumonia karena infeksi dapatan (pneumococcus) biasanya akut, dengan onset gejala yg

cepat.

Gejala prodormal seperti infeksi akut saluran pernafasan atas.

Gejala umum: demam, nyeri dada, dan batuk yang menghasilkan sputum purulen,

malaise, pusing.

Pemeriksaan fisik menunjukan crackles (rales) pada paru-paru yang terkena, suara nafas

yang menurun.

2.5.4 Klasifikasi

Pneumonia diklasifikasi berdasarkan tampilan klinis bakterial atau atipikal.

2.5.5 Diagnosis

Jika pasien dengan penumonia sedang dievaluasi, kemungkinan organisme penyebab

disarankan berdasarkan (1) tampilan klinis dan perjalanan penyakit, (2) derajat

-RINGKASAN OM 2009- 40

Page 41: Buku Saku Om

imunokompetensi pasien, (3) ada atau tidaknya penyakit paru yang menyertai, (4) tempat

kemungkinan terpapar penyakit (rumah sakit atau komunitas).

Pemeriksaan sputum juga penting untuk menegakan organisme penyebab dan diagnosis.

Pemeriksaan lain: pemeriksaan kultur darah, cairan paru

Pemeriksaan radiografis juga dapat mengevaluasi pasien dengan pneumonia.

2.5.6 Manajemen

Jika pasien dengan suspek pnuemonia, pemberian Penisilin dianggap efektif namun dapat

resisten

Alternatif obat lain yaitu antibiotik cepalosporins dan macrolide.

Penanganan karena bakteri H.influenza yaitu cephalosporins atau ampisilin/klavulanat

alternatif yaitu claritomycin atau antibiotik quinolon

Penanganan karena bakteri Legionella dan Mycolasma yaitu antibiotik Eritromycin

Perawatan tidak spesifik bagi pasien pneumonia yaitu hidrasi untuk membersihkan

sputum, fisioterapi dada, pemberian oksigen jika terdapat hipoksia

Vaksin pneumococcal tersedia dan efektif untuk orang dewasa serta anak-anak diatas 2

tahun dan direkomendasikan untuk orang-orang yang beresiko besar terkena pneumonia

seperti orang dengan asplenia dan individu berumur diatas 65 tahun.

2.5.7 Prognosis

Kematian karena penumonia dapatan rendah.

Resiko kematian tinggi pada pasien tua, pasien dengan penyakit paru yang menyertai,

pasien imunodefisiensi (asplenia), dan pasien dengan kultur darah positif. Kematian

biasanya terjadi 5 hari setelah onset dimulai.

Kematian karena staphylococal pneumonia tinggi dan pasien yang sembuh seringkali

memiliki residu abnormalitas paru-paru.

2.6 Asma

2.6.1 Definisi dan Etiologi

Asma adalah kelainan inflamasi kronis pada jalan pernapasan.

-RINGKASAN OM 2009- 41

Page 42: Buku Saku Om

Karakteristiknya adalah terdapat keterbatasan aliran udara pada saat proses inflamasi

terjadi dan rekuren.

Etiologinya belum diketahui, tetapi biasanya pasien asma sensitif terhadap alergi.

Kontribusi genetik juga sepertinya mempengaruhi, tetapi belum dapat diidentifikasi

sebagai penyebabnya.

Banyak faktor risiko yang dapat membuat asma berkembang seperti riwayat keluarga

yang terkena asma, atopi, infeksi saluran pernapasan, udara yang terkontaminasi polusi

baik di luar ruangan maupun di dalam ruangan bekerja, allergen, sensitive terhadap

makanan, dan paparan lainnya (seperti asap rokok).

2.6.2 Patofisiologi

Tampak klinis dari asma bergantung pada kronisnya proses inflamasi. Meskipun etiologi

tidak diketahui, gambaran histopatologi dapat memperlihatkan kronisnya proses inflamasi.

Infiltrasi pada saluran pernapasan yang diakibatkan oleh sel inflamasi seperti limfosit aktif dan

eusinofil, denudasi epitel, deposit kolagen pada area membran sub-basement, dan degranulasi sel

mast sering tampak pada asma ringan atau moderat. Pada asma yang berat, tampak klinis lainnya

terlihat, termasuk lumen bronkial yang menempel dengan mukosa, otot halus bronkia yang

hiperplasi dan hiperatropi, serta hiperplasi sel goblet.

Inflamasi pada saluran pernapasan dapat menjadi tanda yang jelas untuk kelainan asma,

termasuk obstruksi saluran napas, hiperresponsif bronkial, dan tahap awal pada proses

penyembuhan jejas (remodeling) pada beberpa pasien. Spasme otot polos bronkial merupakan

reaksi tubuh terhadap reaktifitas saluran napas yang berlebihan. Sel pada saluran napas, termasuk

sel mast, makrofag alveolar, dan eptiel saluran napas, berimigrasi bersama sel inflamasi,

mengeluarkan berbagai macam mediator yang nantinya merangsang otot polos bronkial.

Mediator ini, seperti histamis, leukrotin cyteinyl, dan bradikinin, menaikan permiabilkitas

membaran kapiler dan menyebabkan edema mukosa pada saluran napas.

Atopi adalah faktor risiko terkuat yang dihubungkan dengan perkembangan asma.

Paparan terus menerus dari allergen pada individu yang sensitive dapat memicu alergi inflamasi

kronis pada saluran napas. Meskipun atopi lebih sering terlihat pada asma yang menyerang anak-

anak, atopi juga dapat memegang peranan penting pada asma dewasa.

-RINGKASAN OM 2009- 42

Page 43: Buku Saku Om

2.6.3 Klasifikasi

Klasifikasi asma berdasarkan tingkat keparahan. pedoman yang ditetapkan oleh National

Asthma Education and Prevention Program (NAEPP) adalah yang paling sering

digunakan di AS.

Pasien asma diklasifikasikan ringan-jarang (mild-intermitten), ringan-terus menerus

(mild-persistent), berat-terus menerus (severe-persistent).

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan hal yang mentrigger kemunculannya.

2.6.4 Diagnosis

Diagnosis riwayat, temuan fisik yang spesifik, dan adanya keterbatasan aliran udara.

Pasien rawat jalan biasa menggunakan spirometri atau determinasi PEFR, atau dengan

penilaian klinis setelah percobaan terapi.

Diagnosis banding (DD) asma termasuk hal-hal yang dapat menyebabkan batuk kronis

dan bunyi berdecit pada napas.

DD Biasanya rhinitis kronis atau sinusitis, CF, GERD, penyempitan jalan napas dan

COPD.

Faktor yang memperkuat diagnosis asma adalah hilang timbulnya simtop dengan periode

asimtom, reversibilitas lengkap atau hampir lengkap dengan bronchidialator, tidak

adanya digital clubbing, dan adanya riwayat atopi

2.6.5 Prognosis

Meskipun asma bukan merupakan kelainan yang dapat diobati, kelainan ini dapat

dikontrol. Program edukasi asma sangatlah penting untuk membuat diagnosis awal dan

kemungkinan intervensi. Dengan diagnosis awal dan rencana perawatan yang komprehensif,

pasien dengan asma dapat memiliki kehidupan yang normal dan kualitas hidup yang baik.

2.6.6 Pemeliharaan Kesehatan Mulut

-RINGKASAN OM 2009- 43

Page 44: Buku Saku Om

Berikut ini adalah pertimbangan perawatan dental yang direkomendasikan untuk pasien

yang memiliki asma:

1. Menggunakan suplemen fluoride, biasanya R2-agonist.

2. Pasien diinstruksikan berkumur dengan air setelah menggunakan inhaler.

3. Kebersihan mulut harus ditingkatkan untuk menurunkan insidensi gingivitis dan

periodontitis.

4. Obat antifungal dapat dikonsumsi jika diperlukan, terutama pada pasien yang

menggunakan inhaler kortikosteroid.

5. Profilaksis steroid diberikan pada pasien yang menggunakan kortikosteroid jangka

panjang.

6. Gunakan teknik stress-reducing. Sedasi sadar harus diberikan dengan agen yang tidak

menyebabkan konstriksi bronkiolus, seperti hydroxyzine. Barbiturat dan narkotika

sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan spasme bronkiolus dan mengurangi

fungsi respiratori. Nitrous oxide dapat digunakan untuk seluruh pasien tetapi pada pasien

dengan asma berat dapat mengiritasi saluran napas.

7. Hindari bahan dental yang dapat memicu serangan asma. Bahan dental yang tidak

mengandung menthylmethacrylate dapat dipertimbangkan.

8. Jadwalkan perawatan pasien pada pagi menjelang siang atau sore untuk meminimalisir

risiko serangan asma.

9. Mempunyai tabung oksigen dan bronchodilator untuk pasien asma eksaserbasi

10. Tidak ada kontraindikasi unutk penggunaan anastesi local dengan epinefrin, tetapi bahan

pengawet seperti sodium metabisulfite dapat berkonstribusi mengeksaserbasi asma pada

beberapa pasien dan R2-agonist dapat menghasilkan efek sinergis, menaikan tekana

darah dan arrhythmias.

11. Penggunaan rubber dam dengan benar dapat mecegah penurunan kemampuan bernapas.

12. Penempatan tip suction tidak boleh merangsang reflex batuk.

13. Hampir 10% pasien asma dewasa alergi terhadap aspirin dan agen NSAID lainnya.

14. Interaksi obat dengan theophylline biasa terjadi. Antibiotic macrolide dapat menaikan

efek theoplylline. Tetrasiklin mempunyai efek samping lebih banyak ketika diperikan

bersamaan dengan theophylline.

-RINGKASAN OM 2009- 44

Page 45: Buku Saku Om

15. Ketika serangan asma akut berlangsung, hentikan perawatan dental, singkirkan semua

alat dari intraoral, posisikan pasien hingga merasa nyaman, pastikan jalan napas terbuka,

berikan R2-agonist dan oksigen. Apabila tidak membaik, berikan epinephrine subkutan

(konsentrasi 1:1.000, 0.01 mg/kgBB, maksimum 0,3 mg).

-RINGKASAN OM 2009- 45

Page 46: Buku Saku Om

BAB III

PENYAKIT SALURAN PENCERNAAN

Sistem percernaan terdiri dari esophagus, lambung, usus halus, dan usus besar. Setiap

komponen memiliki fungsi yang spesifik. Efek dari penyakit saluran pencernaan dapat

bermanifestasi di rongga mulut. Penyakit pada saluran pencernaan terbagi menjadi:

3.1 Saluran Pencernaan Atas

3.1.1 GERD (Gastro-Esophageal Reflux Disease)

Merupakan salah satu penyakit yang sering muncul pada saluran pencernaan atas, dapat

mempengaruhi aktivitas sehari-hari.

Diagnosis banding: Bowel disease, gejalanya mirip dengan GERD.

Insidensi: meningkat, 10% dari populasi dunia mengalaminya setiap hari.

Gejala: ringan sampai berat.

Prevalensi: tidak terdapat perbedaan antara pria dan wanita.

Selama GERD, isi lambung secara perlahan naik ke esophagus. Pasien dapat mengalami

gejala ringan dengan esophagus yang secara klinis normal, atau mengalami gejala berat dengan

abnormalitas permukaan yang dapat dideteksi dengan endoskopi.

Heartburn adalah gejala utama dari GERD, didefinisikan sebagai sensasi terbakar atau

panas yang menyebar dari epigastrium (ulu hati) ke leher. Nyeri dada merupakan gejala lain dari

GERD, berhubungan dengan kelainan esophagus. Nyeri dada ini menyerupai gejala gangguan

jantung dan pembuluh darah akut.

Komplikasi GERD: Barrett’s esophagus dimana epitel skuamosa dinding tenggorokan

digantikan dengan epitel kolumnar yang biasanya terdapat di dinding usus.

Relaksasi spinkter esophagus bawah dengan tujuan mengurangi tekanan di dalam perut

(dari gas dan menelan makanan) disebut mekanisme burp.

Segera tidur setelah makan dapat menyebabkan terjadinya refluks.

Pengobatan GERD ringan – menengah cisapride.

Pengobatan GERD berat operasi antirefluks.

-RINGKASAN OM 2009- 46

Page 47: Buku Saku Om

Keluhan dalam rongga mulut berupa disgesia (foul taste), sensitif terhadap stimulus

panas/dingin karena terkikisnya email akibat asam lambung, erosi gigi, dan pulpitis. Pemeriksaan

histopatologi morfometri pada mukosa palatum pasien GERD secara mikroskopik

memperlihatkan perbesaran epitel dan peningkatan jumlah fibroblast.

Terapi dental pasien dengan GERD: simetidin.

3.1.2 Hiatal Hernia

Merupakan kondisi yang ditandai dengan penonjolan pada bagian atas lambung yang

menyelinap masuk ke dalam dada melalui diafragma karena robekan atau melemahnya

diafragma. Penderita memiliki hiatus esophagus yang lebih besar dari normal, hal ini dapat

disebabkan oleh faktor genetik.

Insidensi: meningkat sesuai umur, juga ditemukan pada bayi dan anak-anak.

Karena diafragma memisahkan rongga toraks dari abdomen, salah satu gejala hiatal

hernia adalah nyeri dada, yang memiliki pola yang sama dengan nyeri infark miokardia. Hiatal

hernia yang kecil biasanya tidak ada gejala. Di sisi lain, jika area hiatus sangat lemah, fungsi

untuk mencegah refluks terganggu dan menyebabkan naiknya asam lambung ke esophagus.

Ada 2 tipe hiatus hernia:

1) Sliding hiatus hernia

Sliding hiatus hernia adalah tipe yang lebih umum dan gejalanya biasanya bersifat

sementara. Terjadi ketika persimpangan gastroesofageal bergerak lebih tinggi

daripada diafragma sementara bagian atas lambung bergesar kembali dan ke depan

karena kontraksi dan pelebaran otot esophagus (pipa makanan) sewaktu menelan.

2) Hiatus hernia para-esofageal (rolling)

Hiatus hernia para-esofageal terjadi ketika bagian atas lambung bergeser masuk ke

bagian diafragma yang terbuka ke arah dada dan persimpangan gastroesofageal

menjadi terjebak. Ulkus dapat terbentuk pada bagian lambung yang terherniasi, atau

pada kasus yang berat, kondisi ini bahkan dapat menyebabkan terputusnya pasokan

darah, menyebabkan kematian pada jaringan lambung yang terjebak. Untungnya,

hernia para-esofageal yang besar sangat jarang terjadi.

-RINGKASAN OM 2009- 47

Page 48: Buku Saku Om

Efek samping pengobatan hiatal hernia serostomia (mulut kering). Dapat diatasi

dengan pemberian saliva buatan, obat kumur non alkohol, atau memperbanyak konsumsi cairan.

Kadang dapat ditemukan karies kelas V atau karies pada akar yang diakibatkan oleh mulut

kering.

3.2 Saluran Percernaan Bawah

3.2.1 Gangguan pada Perut

3.2.1.1 Peptic Ulcer Disease

PUD atau ulkus peptikum adalah ulserasi jinak (tidak ganas) pada lapisan epitel perut

(gastric ulcer) atau duodenum/usus 12 jari (duodenal ulcer) yang berhubungan dengan

meningkatnya asam lambung dan pepsin.

Prevalensi Rasio Pria : Wanita 3:1. Kelompok ekonomi rendah, usia diatas 50 tahun

lebih sering. Faktor genetik muncul pada patogenesis ulser ini. Kembar identik mendekati 50%.

Etiologi bakteri Helicobacter pylori, NSAIDs dan faktor lain yg mengikis pertahanan

mukosa dan mekanisme penyembuhan normal. Asam lambung menjadi faktor independen

kerusakan mukosa. Kopi, teh, minuman kola, bir, susu, dan makanan pedas bisa menyebabkan

dispepsia tapi tidak meningkatkan resiko PUD. Konsumsi alkohol konsentrasi tinggi

menyebabkan kerusakan mukosa lambung secara akut dan pendarahan saluran cerna bagian

bawah tapi bukan penyebab ulser.

NSAIDs menyebabkan kerusakan mukosa melalui iritasi langsung terhadap epitel

lambung, dan inhibisi atau penghambatan enzim cyclooxigenase-1 (COX-1) yg akibatnya

menurunkan sintesa prostaglandin.

Gejala klinis Ulkus cenderung sembuh dan kambuh kembali. Gejalanya bervariasi

tergantung dari lokasinya dan usia penderita. Anak-anak dan usia lanjut bisa tidak memiliki

gejala yang umum atau bisa tidak memiliki gejala sama sekali. Hanya separuh dari penderita

yang memiliki gejala khas dari ulkus duodenalis, yaitu nyeri lambung, perih, panas, sakit, rasa

perut kosong dan lapar. Nyeri cenderung dirasakan pada saat perut kosong. Penderita sering

terbangun pada jam 1-2 pagi karena nyeri. Nyeri sering muncul satu kali atau lebih dalam satu

hari, selama satu sampai beberapa minggu dan kemudian bisa menghilang tanpa pengobatan.

Tetapi nyeri biasanya akan kambuh kembali, dalam 2 tahun pertama dan kadang setelah

-RINGKASAN OM 2009- 48

Page 49: Buku Saku Om

beberapa tahun. Penderita biasanya memiliki pola tertentu dan mereka mengetahui kapan

kekambuhan akan terjadi (biasanya selama mengalami stres).

Gejala ulkus gastrikum seringkali tidak memiliki pola yang sama dengan ulkus

duodenalis. Makan bisa menyebabkan timbulnya nyeri, bukan mengurangi nyeri. Ulkus

gastrikum cenderung menyebabkan pembengkakan jaringan yang menuju ke usus halus,

sehingga bisa menghalangi lewatnya makanan yang berasal dari lambung. Hal ini bisa

menyebabkan perut kembung, mual atau muntah setelah makan.

Komplikasi Penetrasi (ulkus dapat menembus dinding otot dari lambung atau

duodenum dan sampai ke organ lain yang berdekatan, seperti hati atau pancreas). Perforasi

(ulkus di permukaan depan duodenum atau (lebih jarang) di lambung bisa menembus dindingnya

dan membentuk lubang terbuka ke rongga perut). Perdarahan (komplikasi yang paling sering

terjadi. Gejalanya muntah darah segar atau gumpalan coklat kemerahan yang berasal dari

makanan yang sebagian telah dicerna,yang menyerupai endapan kopi, dan tinja berwarna

kehitaman atau tinja berdarah). Penyumbatan (pembengkakan atau jaringan yang meradang di

sekitar ulkus atau jaringan parut karena ulkus sebelumnya, bisa mempersempit lubang di ujung

lambung atau mempersempit duodenum. Penderita akan mengalami muntah berulang, dan

seringkali memuntahkan sejumlah besar makanan yang dimakan beberapa jam sebelumnya).

Terapi:

a. Terapi NonFarmakologi. menetralkan atau mengurangi keasaman lambung. Proses

ini dimulai dengan menghilangkan iritan lambung (misalnya obat anti peradangan

non-steroid, alkohol dan nikotin). Makanan cair tidak mempercepat penyembuhan

maupun mencegah kambuhnya ulkus. Tetapi penderita hendaknya menghindari

makanan yang tampaknya menyebabkan semakin memburuknya nyeri dan perut

kembung.

b. Terapi Farmakologi 1) Antasid. Antasid mengurangi gejala, mempercepat

penyembuhan dan mengurangi jumlah angka kekambuhan dari ulkus. 2) Obat-obat

ulkus. Ulkus biasanya diobati minimal selama 6 minggu dengan obat-obatan yang

mengurangi jumlah asam di dalam lambung dan duodenum. Obat ulkus bisa

menetralkan atau mengurangi asam lambung dan meringankan gejala, biasanya dalam

-RINGKASAN OM 2009- 49

Page 50: Buku Saku Om

beberapa hari. Contoh : Sucralfat, Antagonis H2, Pompa Proton Inhibitor (PPI),

Antibiotik, Misoprostol.

3.2.2 Gangguan pada Usus

3.2.2.1 Duodenal Ulcer Disease

Duodenal ulcer suatu defek mukosa/submukosa yang berbatas tegas yang dapat

menembus muskularis mukosa sampai lapisan serosa sehingga dapat terjadi perforasi. Secara

klinis, DU didefinisikan sebagai hilangnya epitel superficial atau lapisan lebih dalam dengan

diameter ≥ 5 mm yang dapat diamati secara endoskopis atau radiologis. Gambaran klinik DU

berupa nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada epigastrium (sindrom dyspepsia).

Prevalensi resiko DU semakin meningkat dengan pertambahan usia terutama di atas

45 tahun. Perbandingan laki-laki: perempuan sebesar 2:1.

Penyebab bakteri gram negative H.pylori. faktor lain berupa penggunaan obat anti

inflamasi non-steroid (OAINS), peningkatan asam lambung/pepsin dan faktor-faktor lingkungan

serta kelainan satu atau beberapa faktor pertahanan. Genetika nampaknya berperan dengan

agregasi keluarga yang jelas, tetapi penanda genetik spesifik secara pasti belum bisa ditentukan.

Terapi Jika komplikasi seperti perdarahan, perforasi dibutuhkan perawatan bedah.

Makanan yang menyebabkan tidak nyaman harus dihindari. Obat seperti aspirin NSAIDs, serta

alkohol, tembakau harus dihindari kalau tidak pasien juga diberikan misoprostol. Untuk bakteri

H.pylori bisa diberikan obat bismuth, metronidazole, amoxicillin, tetracycline. Untuk

menghilangkan H.pylori mengikuti 6 kelas obat yaitu sedasi untuk mengurangi stress, antacid,

obat penutup dan proteksi ulser, obat antikolinergik, reseptor antagonis histamine H2

(ranitidine), omeprazole.

-RINGKASAN OM 2009- 50

Page 51: Buku Saku Om

Tabel 3.1 Faktor predisposisi duodenal ulcer disease

Faktor biologi Faktor perilaku Faktor lingkungan

Faktor pelayanan kesehatan

Usia tua (45-65 tahun) meningkat

usia lebih tua

Penggunaan OAINS secara

kronik dan regular

Sanitasi lingkungan sekitar yang kurang

baik

Minimnya pengetahuan

petugas kesehatan

Laki-laki : wanita sebesar 2:1

Manajemen stres yang kurang baik

Status sosio-ekonomi yang

rendah

Pemberian antibiotik yang

tidak tepat

Riwayat keluarga MerokokKeterlambatan

dalam diagnosis dan terapi

Memiliki penyakit tertentu sindrom

Zollinger Elison, mastositosis

sistemik, penyakit Chron dan

hiperparatiroidisme

Kebersihan perorangan yang

kurang baik

Kurangnya alat diagnostik

radiologis dan endoskopi

Kurangnya kesadaran untuk

berobat dini

Kekeliruan dalam mendiagnosa dan

memberikan terapiKeterlambatan

mencari pertolongan pengobatan

Tidak melakukanpemeriksaan

kesehatan secara teratur

3.2.2.2 Inflammatory Bowel Disease

IBD adalah sekumpulan penyakit peradangan pada usus besar dan usus halus, sebagai

akibat dari reaksi kekebalan tubuh yang menyerang jaringan ususnya sendiri.

Penyebab masih belum diketahui. Kemungkinan penyebabnya adalah faktor keturunan

dan agen-agen infeksi yang memicu aktifasi sistem kekebalan tubuh. Hal ini terjadi ketika faktor

yang tidak diketahui memicu sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan reaksi peradangan

yang tidak terkendali dan menetap pada usus. Hal ini menyebabkan kerusakan dinding usus.

-RINGKASAN OM 2009- 51

Page 52: Buku Saku Om

Prevalensi pertama dan tinggi prevalensinya antara umur 20-24 tahun, kedua pada

umur 40-44 tahun, ketiga umur 60-64 tahun. Umur 60 tahun insidensi ulserasi berubah menjadi

Crohn’s Diosease. Wanita Eropa resikonya meningkat 30%. Biasanya pada Ras Kaukasoid,

Eropa Tengah, Polandia, Rusia resikonya tinggi.

Ada 2 tipe IBD yang utama: Penyakit Crohn dan Kolitis Ulseratif. Penyakit Crohn adalah

suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada bagian manapun dari saluran

pencernaan yang dimulai dari mulut sampai dengan anus. Kolitis Ulseratif adalah suatu kondisi

medis yang ditandai dengan terbentuknya ulkus-ulkus pada usus besar.

Penyakit muncul dengan gejala diare yang lama (diare kronik) yang disertai dengan

perdarahan buang air besarnya dan rasa sakit perut (mules) yang mengganggu. Hal yang

mendasari untuk terjadinya penyakit ini terdiri dari berbagai macam sebab yakni genetik,

lingkungan dan imunologi. Untuk mendiagnosis diperlukan pemeriksaan kolonoskopi dan

dilakukan biopsi mukosa usus yang meradang.

Pengobatan terdiri dari berbagai macam modalitas yakni, obat untuk pengaturan

imunologi badan, kortikosteroid dan obat anti diare. Lama pengobatan ini cukup memakan waktu

antara 6 - 12 bulan.

3.2.2.3 Ulserasi colitis

Aspek medis

Peradangan pada ulserasi colitis dapat mempengaruhi seluruh atau sebagian dari usus

besar. Secara mikroskopis, mukosanya mungkin tampak seperti granular jika penyakitnya ringan.

Ulserasi colitis tetap menjadi penyakit yang tidak diketahui etiologinya. Terlepas dari

keterlibatan yang kuat dari bakteri, virus, imunologi, dan faktor psikologis, belum ada etiologi

pasti yang ditetapkan.

Ciri khas dari ulserasi colitis adalah pendarahan anus dan diare. Frekuensi buang air besar

dan jumlah darah yg terlihat ini mencerminkan suatu aktivitas penyakit. Biasanya, diare parah,

mungkin 5-8 buang air besar dalam 24 jam. Manifestasi ekstraintestinal mungkin yang paling

menonjol. Eritema nodosum, ditandai dengan nodul bengkak merah yang biasanya terlihat di

paha dan kaki. Perubahan pada mata seperti episkleritis, uveitis, ulkus kornea, dan retinitis dapat

menyebabkan rasa sakit dan fotofobia. Anemia umumnya terkait dengan ulserasi colitis. Itu

-RINGKASAN OM 2009- 52

Page 53: Buku Saku Om

kemungkinan besar disebabkan oleh kehilangan darah dan anemia hipokromik dari kekurangan

zat besi. Leukositosis terjadi pada penyakit aktif dan biasanya berhubungan dengan intra

abdominal abses. Ketidakseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia, dan magnesium serum dan

kalium tingkat rendah dapat terjadi karena diare berat.

Penanganan medis

Diagnosis ulserasi colitis dibuat atas dasar anamnesia yang cermat, pemeriksaan fisik,

radiografi gastrointestinal, dan endoskopi, yang melibatkan visualisasi langsung dari mukosa

usus. Terapi untuk ulserasi colitis bertujuan untuk mengurangi peradangan dan memperbaiki

efek dari penyakit. Sulfasalazine digunakan untuk memulai dan mempertahankan pengurangan

pada ulserasi colitis. Kortikosteroid dan corticotropin (hormon adrenokortikotropik [ACTH])

digunakan pada pasien yang tidak dapat dobati oleh sulfasalazine. Agen imunosupresif yang

digunakan seperti azathioprin, cyclosporin, dan merkaptopurin, menghasilkan hasil yang

bervariasi. Karena risiko penekanan hematologi dan superinfeksi pada pasien yang memakai obat

ini, obat obat ini disediakan untuk pasien yang tidak dapat ditangani oleh terapi medis

tradisional.

Pertimbangan kesehatan mulut

Karena gejala diare parah dan sering sakit perut atau kram, tidak mungkin pasien akan

pergi untuk perawatan gigi rutin dengan ulserasi colitis yang tidak terdiagnosis. Perubahan pada

mukosa oral yang terjadi dalam kasus ulserasi colitis ini tidak spesifik dan jarang, dengan

insidensi kurang dari 8%. Stomatitis aftosa dari berbagai besar dan kecil telah dilaporkan pada

pasien yang terdiagnosa ulserasi colitis. Tidak ada yang unik tentang lesi ini, dan telah dikatakan

bahwa adanya lesi lesi tersebut hanyalah kebetulan. Pada pasien yang rentan untuk

berkembangnya ulser aftosa, kemunculan dari ulser baru di mukosa oral seringkali menjadi

penyebab dari adanya penyakit usus. Pioderma gangrenosum dapat terjadi dalam bentuk ulser

yang dalam yang kadang-kadang ulserasinya melalui pilar tonsil.pyostomatitis vegetans,

peradangan purulen dari mulut, juga dapat terjadi. Lesi-lesi oral ini ditandai dengan vegetasi

jaringan yang dalam atau lesi proliferatif yang mengalami ulserasi dan kemudian bernanah.

Pasien dengan ulserasi colitis juga dapat mengembangkan hairy leukoplakia, lesi lebih umumnya

terkait dengan penyakit human immunodeficiency virus (hiv). Lesi ini mungkin berfungsi

sebagai penanda imunosupresi parah dan mungkin hasil dari penggunaan kortikosteroid atau

-RINGKASAN OM 2009- 53

Page 54: Buku Saku Om

agen imunosupresif lainnya. Penanganan medis dari ulserasi colitis mungkin memerlukan

perubahan terapi gigi. Sejumlah pertimbangan perawatan kesehatan mulut terkait dengan

penggunaan terapi glukokortikosteroid. Terapi glucocorticosteroid jangka panjang juga dapat

menyebabkan osteoporosis dan fraktur kompresi vertebral; dengan demikian, hati-hati jika

memposisikan pasien di kursi gigi dan motivasi pasien untuk meminum suplemen kalsium dapat

membantu mencegah patah tulang. Penggunaan glukokortikosteroid secara jangka panjang juga

dapat mengakibatkan supresi adrenal. Prosedur operasi atau pembedahan besar dapat memicu

insufisiensi adrenal dari dosis steroid glukokortikoid tidak disesuaikan dengan benar. Ulserasi

colitis dapat dikaitkan dengan perdarahan kronis. Sebelum prosedur perawatan gigi, cek lab

darah yang meliputi hemoglobin, hematokrit, dan jumlah sel darah merah harus dilakukan untuk

menyingkirkan adanya anemia. Pasien yang mengkonsumsi azathioprin mungkin diharapkan

untuk memiliki perubahan jumlah sel darah putih dan merah, dan jumlah sel darah putih total dan

diferensial harus dipastikan sebelum memulai prosedur pembedahan. Tes fungsi hati yang

abnormal harus didiskusikan dengan dokter gigi yang mungkin perlu resep obat analgesik atau

antibiotik yang dimetabolisme di hati. Pasien yang menjalani operasi yang luas usus dapat

menderita malabsorpsi vitamin K, vitamin B12, dan asam folat. Sebelum prosedur bedah selesai,

pasien ini harus dievaluasi untuk kedua anemia makrositik dan mikrositik dan gangguan

perdarahan dari tingkat vitamin K yang cukup (pembentukan bekuan fibrin).

3.2.2.4 Crohn’s Disease

Aspek medis

Crohn’s disease adalah penyakit inflamasi usus kecil atau besar. peradangan melibatkan

semua lapisan usus.bukti epidemiologi terbaru menunjukkan bahwa ada dua bentuk crohn

disease ini: bentuk tidak berlubang yang cenderung kambuh secara perlahan dan bentuk yang

berlubang atau bentuk agresif yang berkembang lebih cepat.dengan keterlibatan baik usus besar

atau usus kecil, pemeriksaan mikroskopis memperlihatkan inflamasi masuk di seluruh lapisan

usus yang terkena, dengan sel-sel plasma dan limfosit mendominasi di lamina propria. Crohn’s

disease memperihatkan banyak kesamaan epidemiologi dengan ulserasi colitis. Crohn’s disease

mempengaruhi segala usia dan kedua jenis kelamin dan paling sering terjadi pada wanita berusia

20 sampai 39 tahun. penyebab dan evolusi crohn’s disease ini tidak diketahui. faktor risiko

-RINGKASAN OM 2009- 54

Page 55: Buku Saku Om

terkuat tunggal untuk Crohn’s disease adalah, diet berpengaruh kuat, merokok, stres, atau

kebersihan, memiliki relatif dengan penyakit.pembatasan usus yang abnormal ini dapat

mengakibatkan peningkatan penyerapan bahan berbahaya dan / atau meningkatkan reaksi imun

terhadap antigen usus.erosi kecil diatasnya jaringan limfoid mukosa normal akhirnya bergabung

membentuk ulkus aphthous kecil atau ulserasi lebih menyebar dari mukosa. Tampilan klinis

crohn disease tergantung pada sejauh mana peradangan dan di tempat keterlibatan usus.

Tampilan yang terlihat dari anak muda di akhir remaja atau dua puluhan yang telah sakit selama

periode tertentu dan yang penyakit tiba-tiba memburuk.radang usus kecil dapat mengganggu

penyerapan nutrisi penting. Kalsium, zat besi, dan folat yang diserap dalam duodenum, dan

penyerapan mereka menurun karena peradangan dapat menyebabkan kekurangan. Tanda-tanda

dan gejala crohn disease ini sering lebih halus daripada yang terkait dengan ulserasi colitis,

seringkali menunda diagnosis. Metode yang paling diandalkan dan sensitif untuk membedakan

antara ulserasi colitis dan crohn disease adalah kolonoskopi dengan endoskopi diarahkan biopsi

kolon. Fitur berikut membedakan crohn disease ini dari ulserasi colitis: (1) keterlibatan usus

kecil atau bagian atas saluran pencernaan; (2) penyakit segmental usus besar, dengan "skip"

daerah rektum normal; (3) munculnya retakan atau saluran sinus; dan (4) kehadiran terbentuk

dengan baik jenis granuloma sarkoid.

Pertimbangan kesehatan mulut

Lesi oral, baik simtomatik dan asimtomatik, mempengaruhi 6-20% dari pasien crohn

disease ini. Kebanyakan manifestasi oral crohn disease yang terjadi pada pasien dengan penyakit

usus aktif, dan kehadiran mereka sering berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Recurrent ulkus

aphthous adalah manifestasi oral yang paling umum dari Crohn disease. Vegetans pyostomatitis,

mukosa cobblestone, dan patologi saluran kelenjar ludah minor merupakan perubahan

granulomatosa yang merupakan ciri khas dari Crohn disease.pasien penyakit crohn ini

mengembangkan pembengkakan difus bibir dan wajah, hiperplasia inflamasi dari mukosa mulut

dengan pola batu, polypoid mengeras seperti lesi di vestibulum dan ruang retromolar pad, dan

ulserasi linear dalam dengan margin hiperplastik. Banyak obat, termasuk persiapan anti inflamasi

dan sulfa yang biasa digunakan untuk mengelola pasien IBD, telah dilaporkan menyebabkan

reaksi obat dari oral lichenoid. Seringnya, pasien akan mengeluh rasa sakit yang terkait dengan

lesi ulseratif di rongga mulut. Tampaknya ada peningkatan risiko karies gigi yang mungkin

-RINGKASAN OM 2009- 55

Page 56: Buku Saku Om

terkait dengan perubahan pola makan pada pasien dengan IBD. Efek oral malabsorpsi juga dapat

dilihat. Pucat, cheilitis angular, dan glositis, semua manifestasi oral anemia, dapat terjadi,

terutama pada penyakit yang tidak terdiagnosis atau tidak terkontrol. Malnutrisi sering masalah,

dan memantau kepatuhan pasien dengan suplemen makanan adalah faktor penting.seperti

ulserasi colitis, manajemen medis pasien dengan crohn's disease mungkin memerlukan

modifikasi untuk rutinitas perawatan kesehatan mulut standar asumsi yang mendasari perubahan

manajemen ini adalah bahwa pasien dengan IBD berada pada peningkatan risiko untuk

pengembangan infeksi mulut, termasuk karies gigi. Screening, mendiagnosa, dan mengobati lesi

inflamasi, infeksi, atau granulomatosa yang diperlukan. Terapi steroid topikal harus jangka

pendek dan dipantau karena efek samping atrofi mukosa dan penyerapan sistemik. Tergantung

pada hasil konsultasi dengan dokter pasien, studi laboratorium berikut dapat diindikasikan

sebelum prosedur bedah yang dilakukan: (1) hitung darah lengkap; (2) tingkat hematokrit; (3)

kadar hemoglobin; (4) menghitung trombosit; (5) studi koagulasi (waktu protrombin / inr, dan

waktu tromboplastin parsial); (6) uji fungsi hati; dan (7) kadar glukosa darah. Ohcps bertanggung

jawab untuk pengobatan manifestasi oral IBD, terutama jika lesi simptomatik. Paliatif obat

kumur sodium bikarbonat dapat digunakan. Salep dan krim berguna ketika lesi terlokalisasi dan

aplikasi topikal langsung memungkinkan.pasien IBD tampak pada peningkatan risiko karies gigi

serta infeksi bakteri dan jamur. Ini multifaktorial di etiologi tetapi tampaknya terkait dengan baik

status kekebalan diubah pasien atau diet. Manifestasi oral anemia dapat dicatat pada pasien

dengan ulserasi colitis, terutama di terdiagnosis atau penyakit kurang terkontrol.

3.2.2.5 Antibiotic-induced Diarrhea dan Pseudomembranous Enterocolitis

Aspek medis

Pada pasien yang menerima terapi antibiotik, diare dapat terjadi sebagai akibat dari

perubahan flora usus. Sering, kondisi ini ringan dan reda ketika terapi antibiotik dihentikan.

Pasien yang lemah atau yang memiliki gagal ginjal tampaknya berada pada risiko yang lebih

tinggi tertular penyakit. Studi terbaru menunjukkan peran utama untuk Clostridium difficile

dalam patogenesis antibiotik diproduksi enterocolitis pseudomembran. Difficile terhitung dari 10

sampai 25% dari kasus antibiotik terkait diare dan hampir semua kasus antibiotik terkait

pseudomembran colitis.jenis antibiotik dan rute dari kejadian penyakit pengaruh administrasi.

-RINGKASAN OM 2009- 56

Page 57: Buku Saku Om

Klindamisin, ampisilin, dan sefalosporin yang paling sering dikaitkan dengan antibiotik terkait

pseudomembran colitis, tetapi hampir antibiotik apapun dapat menghasilkan gangguan ini.

Kolitis pseudomembran diketahui mengikuti administrasi klindamisin, amoksisilin, atau

sefalosporin, yang semuanya sekarang direkomendasikan untuk profilaksis antibiotik dari

endokarditis infektif dan akhir infeksi sendi prostetik. Mungkin, flora kolon normal terhambat

ketika antibiotik diberikan.waktu yang sangat bervariasi, dengan beberapa kasus yang muncul

setelah dosis tunggal dan sekitar sepertiga dari kasus yang terjadi setelah obat dihentikan. Diare

hadir dalam semua kasus dan berhubungan dengan kolitis dan perdarahan pada 20% kasus.

Kolitis pseudomembran adalah penyakit yang mengancam kehidupan, dan individu harus

diperlakukan secara cepat dengan cairan dan penggantian elektrolit.

Pertimbangan kesehatan mulut

Peran utama dokter gigi adalah untuk mengenali tanda-tanda dan gejala antibiotik terkait

diare dan kolitis pseudomembran pada pasien yang baik mengambil antibiotik atau memiliki

sejarah dari rejimen antibiotik. Penghentian rujukan antibiotik dan cepat untuk dokter yang

diperlukan untuk diagnosis definitif.

3.3 Penyakit Sistem Hepatobilier

Hati memiliki peran penting dalam proses ekskresi pigmen heme dan respon imun.

Kerusakan hepatosit dapat mengganggu kemampuan hati untuk mensintesis dan menyimpan

glikogen yang merupakan sumber utama dari glukosa.Anestesi lokal, analgesik, sedatif,

antibiotik, dan antifungal dimetabolisme di hati. Pasien dengan gangguan hati harus

memperhatikan penggunaan obat tersebut.Gangguan hati memiliki beberapa tanda dan gejala.

Jaundice merupakan manifestasi dari penyakit hati. Proses perjalanan penyakit dapat

mengakibatkan gagalnya fungsi hati dan cirrhosis.

3.3.1 Jaundice

Jaundice atau ikterus bukan merupakan suatu penyakit melainkan tanda dari kelebihan

bilirubin pada sirkulasi dan akumulasi bilirubin dalam jaringan. Jaundice merupakan perubahan

warna kuning yang terjadi pada kulit membran mukosa, dan sklera mata.

Pigmentasi ini disebabkan oleh:

-RINGKASAN OM 2009- 57

Page 58: Buku Saku Om

1. Kelebihan produksi bilirubin dari proses hemolisis sel darah merah (hemolytic jaundice)

2. Obstruksi pada pokok bilier, menghalangi ekskresi bilirubin (obstructive jaundice)

3. Penyakit parenkim hati (hepatocellular jaundice)

3.3.2 Hemolytic Jaundice

Hemolytic jaundice bukan merupaka suatu penyakit. Hemolytic anemia merupakan

penyebab utama dari kelainan ini. Destruksi berlebih eritrosit dapat menyebabkan mild

hyperbilirubinemia. Destruksi berlebihan tersebut diakibatkan oleh sel yang bersifat abnormal

(contoh: sickle cell disease, thalassemia). Obat-obatan dan agen beracun (seperti nitrobenzene,

toluene, dan phenacetin), dan penyakit imun dapat menyebabkan hemolytic jaundice. Penegakan

diagnosis terhadapat penyaktni membutuhkan pemeriksaan secara menyeluruh dan tes

laboratorium.

3.3.3 Obstructive Jaundice (Cholestasis)

Penyakit ini disebabkan oleh penyumbatan cairan empedu yang terjadi sebagian atau

seluruhnya. Kalainan ini dsebabkan oleh obstruksi extrahepatic biliary treedan yang

berhubungan dengan abnormalitas intrahepatic. Cairan empedu yang melaluihati dapat terhalang

sehingga meningkatkan bilirubin pada jaringan. Batu empedu dan keganasan merupakan

penyebab dan hampir semua kasus extrahepatic cholestasis. Tumor pada kepala pankreas

merupakan keganasan yang menjadi penyebab umum penyakit ini. Penyebab dari intrahepatic

cholestasis meliputi neoplasma, obat-obatan dan bahan kimia yang bersifat toksik, hepatitis,

IBD, dan kerusakan metabolisme.

Perawatan rutin gigi pasien dapat dilakukan bila penyakit ini sudah mendapat

penatalaksanaan yang baik. Konsultasi degan dokter pasien sebaiknya dilakukan apabila akan

melakukan pembedahan mulut. Prosedur pembedahan mulut sebaiknya ditunda pada pasien

jaundice apabila memungkinkan. Bahaya utama dari pembedahan pasien dngan obstructive

jaundice adalah perdarahan berlebih yang diakibatkan dari malabsorbsi vitamin K. jika

pembedahn diperlukan, vitamin K harus diberikan secara parenteral dengan dosis 10 mg perhari

selama beberapa hari. Anestesi umumpada pasien dengan severe jaundice dapat menyebabkan

gagal ginjal.

-RINGKASAN OM 2009- 58

Page 59: Buku Saku Om

3.3.4 Hepatocellular Jaundice

Penyakit ini dapat diakibatkan oleh hepatitis dan cirrhosis.

3.3.4.1 Alcoholic Hepatitis

Aspek Medis

Alcoholic hepatitis merupakan istilah untuk menggambarkan presentasi klinis pasien

alkoholik dengan jaundice.

Bentuk penyakit hepar yang diinduksi racun yang berspektrum luas dari penyakit

subklinis hingga sirosis dan kegagalan hepar.

Konsumsi 40 hingga 60 g ethanol per hari sealam 15 tahun berperan dalam memicu

sirosis.

Cedera hepatosit dari alkohol berkembang karena toksisitas seluler dari asetaldehida yang

merupakan metabolit mayor alkohol.

Lebih berpotensi terjadi pada wanita.

Faktor pendukung: nutrisi, genetik, sitokin, hepatitis B dan C, obat-obatan yang sedang

digunakan

Manifestasi klinis:

o Superimposed dengan sirosis yang biasanya sudah ada

o Pembesaran hepar merupakan indikasi awal

o Pada pasien mungkin terdapat gejala hepatitis akut atau hepatitis kronis

Masalah klinis yang berkaitan dengan alcoholic hepatitis mencerminkan kelainan

metabolisme dan sirkulasi hepar.

Penatalaksanaan Medis

Penegakkan diagnosis dan luasnya kerusakan hepar dilakukan dengan biopsy hepar.

Perbaikan nutrisi pada pasien malnutrisi menjadi juga penting

Alcoholic hepatitis yang tidak disertai sirosis hepar bersifat reversibel

Pertimbangan Kesehatan Rongga Mulut

-RINGKASAN OM 2009- 59

Page 60: Buku Saku Om

Lesi rongga mulut yang tedapat pada pasien alcoholic hepatitis berhubungan dengan

disfungsi hepatosit.

Kemungkinan terdapat:

o Petekia dan ekimosis pada intra/ekstraoral

o Hemoraghi gingiva

o Defisiensi vitamin

o Anemia

o Pucat

o Angular cheilitis

o Glossitis

Prevalensi penyakit dental beragam, tergantung pemeliharaan kebersihan rongga mulut

dan penurunan laju saliva

Perawatan gigi rutin tidak menjadi kontraindikasi, kecuali terdapat gambaran sirosis yang

signifikan.

Untuk mendapatkan informasi akurat dari dokter yang merawat, dokter gigi harus

terbiasa dan mengerti uji laboratorium yang digunakan untuk mengevaluasi status pasien.

3.3.4.2 Drug-Induced Hepatoxicity

Aspek Medis

Penyakit hepar yang diinduksi obat-obatan dapat mengisyaratkan adanya penyakit hepar

akut atau kronis.

Pasien mungkin datang dengan kegagalan hepar dari hepatotoksin intrinsik seperti

asetaminofen atau karena fungsi hepar abnormal pada hasil uji laboratorium.

Penting bagi dokter gigi mengenali obat-obatan yang menginduksi hepatoksisitas.

Toksisitas biasanya terjadi berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah penggunaan

obat, biasanya bersifat reversible.

Sulfonamide dan fenitoin merupakan contoh obat yang menginduksi hepatoksisitas. Pada

pasien hipersensitif, pemberian kembali obat-obatan tersebut dapat menyebabkan

kematian, walaupun dengan dosis yang sangat kecil.

-RINGKASAN OM 2009- 60

Page 61: Buku Saku Om

Hepatoksisitas yang diinduksi obat-obatan dapat menyebabkan cedera hepatoselular,

reaksi obat-obatan kolestik, penyimpanan lemak yang abnormal, sirosis, dan cedera

vaskular.

Cedera hepatoselular paling sering dikenali pada cedera yang diinduksi obat-obatan,

dengan toksisitas asetaminofen mungkin terjadi paling sering pada praktik kedokteran

gigi.

Pertimbangan Kesehatan Rongga Mulut

Kebanyakan obat-obatan yang digunakan atau diresepkan oleh dokter gigi bersifat

hepatoksis memiliki alternatif.

Koordinasi terapi medis dan terapi dental sangat penting.

Karena banyak obat menghasillkan idiosinkronisasi toksisitas obat, maka tidak ada cara

untuk memprediksi atau mencegah reaksi tersebut.

Pasien yang menggunakan dosis besar asetaminofen harus dianjurkan untuk tidak

mengonsusmsi alkohol dan mendapat nutrisi yang cukup.

Pasien dengan riwayat hepatotoksis yang diinduksi obat-obatan harus dievaluasi oleh

berbagai uji laboratorium, Karena reaksi obat hepatoselular dapat mengakibatkan

kegagalan hepatosit dan kematian.

Mungkin terdapat berbagai kematian sel yang memengaruhi metabolisme dan

homeostasis yang berpengaruh pada kemampuan pasien untuk menjalani perawatan gigi.

3.3.4.3 Sirosis Hepatis

Tabel 3.2 Sirosis Hepatis

Definisi bukan merupakan suatu proses tunggal dari suatu penyakit, melainkan suatu hasil dari berbagai kondisi yang dapat menyebabkan adanya inflamasi dan kerusakan sel hepar secara kronis, menyebabkan terjadinya akumulasi matriks ekstraseluler atau jaringan parut yang terdiri dari: matriks ekstraseluler, kolagen tipe I dan III (fiblrillar kolagen), proteoglikan sulfat, dan glikoprotein sebagai respon terhadap iritasi akut atau kronik pada hepar.

Etiologi Alkohol dan obesitas (steatohepatitis)

-RINGKASAN OM 2009- 61

Page 62: Buku Saku Om

Infeksi virus hepatitis (HCV/ HBV) NASH (non-alcoholic steatohepatitis)

Faktor Predisposisi

Racun dan obat-obatan Penyakit pada sistem biliary Penyakit hemokromatosis

Patofisiologis Pada fase awal inflamasi ( injury ) :

Sel endotelial memproduksi fibronektin seluler Mengaktivasi sel stellata Penumpukkan pada matriks ekstraseluler (PDGF,

endothelin -1 (ET-1), thrombin, FGF, dan IGF) dan kontraksi sel hepar yang menyebabkan intrahepatic portal hypertention

Perubahan mikrovaskuler (Remodeling sinusoidal)

Disfungsi endotelial Menghambat pelepasan vasodilator (nitrit oksida

(NO)) dan meningkatkan produksi vasokonstriktor (stimulasi adrenergik, tromboksan A2, dan endotelin)

Meningkatkan tekanan portal pada sirosis dan penentu utama dari kegagalan hepar.

Diagnosa Pemeriksaan Klinis Pemeriksaan Penunjuang:

o ultrasoonografi, CT, atau MRI pada nodul hepar.

o biopsi hepar merupakan metode yang bisa menentukan diagnosis sirosis hepatis.

o Pada pasien dengan tingkat keparahan yang lebih lanjut menggunakan MELD score. MELD diukur dan ditentukan berdasarkan konsentrasi kreatinin dan bilirubin serta rasio normalisasi internasional (INR). Metode ini memprediksi 3 bulan mortalilas

Tanda & Gejala Klinis

malaise, lemah, dispepsi, anoreksia, nausea ascites, sepsis, perdarahan variseal, ensefalopati, non-obstructive jaundice, karena:

o Produksi berlebih dari bilirubin karena

-RINGKASAN OM 2009- 62

Page 63: Buku Saku Om

adanya hemolisis sel darah merah (hemolyticjaundice).

o Kerusakan dari sistem biliary sehingga mencegah sekresi bilirubin (obstructive jaundice).

o Penyakit parenkim hepar (hepatocellular jaundice)

meningkatnya resiko infeksi, trombositopenia, ensepalopati, hiperglikemia, hipoglikemia, kuagulopati, edema perferal, coma hepar naiknya BMI dan glukosa pada serum

meningkatan resiko terbentuknya jaringan firbosis. Subklasifikasi = stage 1, 2, 3, 4, dan 5.

1. Stage 1 (kompensata tanpa adanya varises esofageal) memiliki perkiraan mortalitas 1% tiap tahunnya.

2. Stage 2 (kompensata dengan varises), 3. stage 3 (dekompensata dengan ascites), dan 4. stage 4 (dekompensata dengan perdarahan GI)

secara berturut-turut memiliki rata-rata mortalitas sekitar 3.4%, 20%, dan 57%.

5. Adanya infeksi dan gagal ginjal yang menyertai sirosis dipertimbangkan sebagai stage 5 dengan angka mortalitas sebanyak 67% setiap tahunnya

Manifestasi oral Berhubungan dengan adanya defisiensi vitamin dan anemia.

Angular keilitis, glositis, Mukosa yang pucat. Pigmentasi yang berwarna kuning dapat dilihat

pada mukosa rongga mulut dan biasanya disertai dengan jaundice pada sklera dan kutaneus.

Disfungsi kelenjar salivarius (dapat dihubungkan dengan adanya sirosis primer pada sistem biliary)

Petechie dan ekhimosis ekstraoral atau intraoral, Perdarahan gusi karena adanya kekurangan faktor-

faktor pembekuan yang dihubungkan dengan alkohol

Treatment untuk mencegah inflamasi lebih lanjut dari sel

-RINGKASAN OM 2009- 63

Page 64: Buku Saku Om

hepar. Penghentian konsumsi alkohol dan toksin lain

sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan perawatan.

kortikosteroid dan agen immunosupresif lain seperti metotreksat (methotrexate).

Pada kasus yang lebih parah seperti penyakit hepar progresif yang irreversibel perlu dilakukan transplantasi hepar

Obat-obatan: non-selective beta blockers, statin, antibiotik oral, antikoagulan, dan rifaksimin (Rifaximin) merupakan alternatif yang dapat mencegah infeksi spontan bakteri peritonitis, menurunkan kadar endotoksin dan memperbaiki fungsi ginjal.

Komplikasi Hipertensi portal, Oedema dan asites, Varises, Splenomegali, Ensepalopati hepatis, Penyakit metabolik tulang, Perdarahan, Sensitif terhadap obat-obatan, Resistensi insulin dan diabetes melitus tipe 2, Kanker hati, dan Menurunkan sistem imun sehingga pasien dengan

sirosis hepatis rentan terhadap infeksi Pertimbangan Oral

Pasien sirosis hepatis biasanya mengalami penurunan kemampuan detoksifikasi terjadi penumpukkan sisa metabolisme (toksik) dalam darah perlu dilakukan konsultasi pada dokter hematologist dan hepatologist yang merawat sirosis pasien apabila akan dilakukan tindakan dental yang beresiko menimbulkan perdarahan.

Dokter gigi juga setidaknya harus mengetahui pemeriksaan laboratorium pada pasien sirosis.

Mendapatkan perhatian yang lebih banyak pasien dengan sirosis biasanya memiliki kerusakan pada sistem hemostasis yang disebabkan karena ketidakmampuan hepar dalam mensintesis faktor-faktor pembekuan ataupun karena trombositopenia., Kondisi ini dapat diatasi dengan melakukan transfusi dengan fresh frozen plasma dan trombosit.

Semua tindakan dental yang dapat memicu perdarahan memerlukan adanya pemeriksaan

-RINGKASAN OM 2009- 64

Page 65: Buku Saku Om

laboratorium yang lengkap, terutama jumlah darah lengkap, jumlah trombosit, dan nilai bleeding time.

Pada beberapa kasus diperlukan antibiotik profilaksis, karena disfungsi hepar dapat menyebabkan berkurangnya fungsi sistem imun

Jika pasien memiliki resiko perdarahan yang tinggi, maka perlu diberikan agen hemostasis, antifibrinolisis (seperti asam traneksamat), dan vitamin K. Pada beberapa kasus yang lebih parah diperlukan adanya transfusi fresh frozen plasma dan platelet

Dokter gigi harus menghindari penggunaan obat yang dimetabolisme di hepar

3.4 Gastrointestinal Syndromes

3.4.1 Eating Disorders: Anorexia & Bulimia

Tabel 3.3 Anorexia dan Bulimia

Definisi Anorexia Individu yang secasa terus-menerus membiarkan diri mereka kelaparan dalam kondisi berat badan yang rendah (15% atau <) dari berat badan normal.

Definisi Bulimia nervosa

Individu yang mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang banyak delama episode ”binge” yang tidka terkontrol

Etiologi Trauma emosional (ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh)Muntah terus-menerusPenggunaan laxativeDiet agresif

Prevalensi Anorexia

- Pada individu dalam perindustrian, terutama apabila terdapat stigma bahwa badan kurus merupakan bentuk yang idelal

- Dewasa muda (14-18 thn)- 0.5% pada wanita usia dewasa muda- 0.3-0.7% pada wanita dewasa

Prevalensi Bulimia

- Usia belasan akhir- Usia awal 20 tahunan- 1-2% pada wanita usia dewasa muda- 1.7-2.5% wanita dewasa

-RINGKASAN OM 2009- 65

Page 66: Buku Saku Om

Diagnosa - In bingeing & purging selama 3 minggu- Kurangnya kontrol untuk makan- Menggunakan self-induced vomiting- Menggunakan laxative atau obat diuretik- Selalu terpusat pada bentuk dan berat badan

Klinis - = kelainan psychiatrik dengan adanya komplikasi fisik- Tanda awal dari depresi &schizophrenia - Distorted body image - Relaps = satu bulan atau satu tahun setelah perawata

Komplikasi Kematian, karena kelaparan, bunuh diri, atau ketidakseimbangan cairan elektrolit tubuh

Pertimbangan oral

- Erosi parah pada enamel (pada permukaan lingual gigi RA) karna asam dari muntahan yang terjadi

- Pembesaran kelenjar parotid- Perubahan jaringan lunak mukosa oral

Treatment - Secara fisik: desensitasi gigi dan estetik- Secara psikologis: menunjukkan rasa peduli dan kasih

sayang selama perawatan

3.4.2 Gardner’s Syndrome

Tabel 3.4 Gardner’s Syndrome

Etiologi Diturunkan sebagai autosomal dominant trait

Diagnosa - Pemeriksaan penunjang : dental radiography

Klinis - Poliposis intestine (tada adanya lesi premalignant)- Impaksi gigi supernumereri dalam jumlah yang banyak

Pertimbangan oral

- Pada usia 50 thn jangan melakukan pembedahan- Pada usia muda dapat ditunjang dengan pemeriksaan

dental radiography

3.4.3 Plummer-Vinson Syndrome

Tabel 3.5 Plummer-Vinson Syndrome

Definisi = Disphagia histerikal.

Etiologi Disphagia yang merupakan hasil dari stricture esophageal yang menyebabkan pasien ketakutan dalam choking

Diagnosa - Pemeriksaan oral, pharingeal, esophageal

-RINGKASAN OM 2009- 66

Page 67: Buku Saku Om

Klinis - Lemon-tilted pallor disertai keringnya kulit- Kuku jari yang berbentuk seperti sendok- Koilonychia- Splenomegali

Manifestasi oral - Atrofik glossitis dengan erithema atau adnya fissure - Keilitis angularis- Penipisan batas (vermilion) bibir- Leukoplakia pada lidah- Atrofi & hiperkeratinisasi membran mukosa- Adanya karsinoma pada 10-30% pasien

Treatment - Saliva artifisial untuk mengurangi rasa sakit saat menelan

3.4.4 Peutz-Jeghers Syndrome

Tabel 3.6 Peutz-Jeghers Syndrome

Definisi Dikarakteristikann dengan adanya polip multiple pada GI tract terutama pada usus kecil

Etiologi Trauma emosional (ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh)Muntah terus-menerusPenggunaan laxativeDiet agresif

Prevalensi malignansi

- Pada 10% pasien

Klinis - Pigmentasi (sejak lahir) pada wajah, bibir, dan rongga mulut

Pertimbangan oral

- Tidak ada perawatan atau pertimbangan dental yang spesifik

3.4.5 Cowden’s Syndrome

Tabel 3.7 Cowden’s Syndrome

Definisi Ditandai dengan adanya hamartoma dan neoplasma multiple .

Etiologi Autosomal dominant

Klinis - Facial trichilemmomas

-RINGKASAN OM 2009- 67

Page 68: Buku Saku Om

- Polip gastrointestinal- Neoplasma payudara dan kelenjar thyroid- Abnormalitas rongga mulut

Komplikasi = marker kutaneus keganasan pada usus

Manifestasi oral - Lesi Pebbly papilloma-like - Fibroma multiple

-RINGKASAN OM 2009- 68

Page 69: Buku Saku Om

BAB IV

HEMATOLOGIC DISEASE

4.1 Kelainan Sel Darah Merah

4.1.1 Eritrositosis

Merupakan kondisi dengan peningkatan sirkulasi sel darah merah (red blood cell/RBC)

yang menyebabkan terjadinya peningkatan hematokrit. Eritrositosis terdiri dari 1) apparent

erythrocytosis, 2) relative erythrocytosis, 3) absolute erythrocytosis, dan 4) idiopathic

erythrocytosis.

4.1.1.1 Diagnosis

Diagnosis dilakukan dengan melakukan pengukuran massa RBC, melihat peningkatan

hematocrit vena persisten (pria >52%, wanita >48% selama lebih dr 2 bulan). Pada apparent

erythrocytosis, peningkatan hematocrit vena, massa RBC rendah. Pada relative erythrocytosis

hanya terjadi jika disertai dehidrasi signifikan, diuretic, diare, atau terbakar terbakar. Terjadi pula

hemoconcentration, yaitu kondisi dimana massa RBC normal, volume plasma rendah.

Absolute erythrocytosis menunjukkan massa RBC >25%. Absolute erythrocytosis primer

terjadi karena kompartemen erythropoietic berkembang secara independen dari pengaruh

ekstrinsi atau menanggapi secara tidak adekuat, terdiri dari primary familial, congenital

polycythemia due to mutation of the erythropoietin (Epo) receptor gene, myeloproliferative

disorder polycythemia vera (PV). Absolute erythrocytosis sekunder dipengaruhi faktor hormon

(secara predominan oleh Epo) ekstrinsik dan terjadinya peningkatan sekresi Epo meningkat

respon fisiologis hipoksia jaringan, produksi autonomous Epo abnormal, disregulasi sintesis

oxygen-dependent Epo. Absolute erythrocytosis sekunder dapat muncul dari congenital high-

oxygen affinity hemoglobin, hipoksia karena merokok dan penyakit paru-paru kronis, penyakit

jantung kongenital sianotik dengan intracardiac shunts, sindrom hipoventilasi, chronic high

altitude, dan post transplantasi ginjal.

-RINGKASAN OM 2009- 69

Page 70: Buku Saku Om

Idiopathic erythrocytosis (IE) menunjukkan peningkatan massa RBC dengan penyebab

tidak diketahui. Frekuensi IE terjadi pada 110/100.000 subjek. Hal ini diduga terjadi mekanisme

heterogen dan terjadinya ‘early’ PV dan polycythemia sekunder dan kongenital yang tidak

terdeteksi IE merupakan enyakit stabil dengan resiko thrombotic rendah dan jarang menjadi

leukemia akut atau myelofibrosis. Pengobatan kontroversi untuk kelainan ini adalah phlebotomy

dan pasien dianjurkan untuk menghindari obat myelosuppressive.

4.1.2 Polystemia Vera

Polisitemia vera adalah kelainan myeloproliferative kronis yang memiliki karakteristik

proliferasi utama dari jenis sel eritroid dan kelainan sumsum tulang utama tabf terdapat ketika

perdarahan, trombosis, dan peningkatan masa RBC. Polisitemia vera menunjukkan 2 tingkat

gambaran histopatologis, yaitu polisitemik dan fase polisitemik.

4.1.2.1 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria perkembangan kelompok studi polisitemia

vera. Sebagian besar kriteria meliputi peningkatan masa RBC, saturasi oksigen normal, dan

splenomegali yang jelas.

4.1.2.2 Manifestasi Klinis

Polisitemia vera biasanya asimptomatik. Ketika gejala muncul, dapat disertai dengan

pruritis, vertigo, nyeri gastrointestinal, sakit kepala, parastesi, kelelahan, kelemahan, gangguan

visual, tinnituss, pletora, dan perdarahan pada gusi. Politemia vera juga dicurigai ada pasien

dengan peningkatan hemoglobin atau tingkat HCT, splenomegali, atau trombosis vena porta.

4.1.2.3 Manifestasi Oral

-RINGKASAN OM 2009- 70

Page 71: Buku Saku Om

Manifestasi oral pada polisitemia vera adalah adanya eritem (tampilan merah-ungu) pada

mukosa, glositis dan erimatous, serta edematous gingiva.

4.1.2.4 Perawatan

Kebanyakan pasien memerlukan perawatan myelosupresif selama penyakit terjadi sampai

myeloproliferasi progresif. Hyroxyurea adalah obat utama yang digunakan pada orang dewasa,

dan α interferon dapat digunakan sebagai alternatif pada pasien anak-anak.

4.1.2.5 Pertimbangan Oral

Kontrol perdarahan setelah bedah dental harus diperhatikan. Perdarahaan pada pasien

dengan polisitemia vera dapat dihubungkan dengan jumlah keping darah yang tinggi, penyakit

von Willebrand, dan terapi obat antiplatelet dengan dosis yang tinggi. Ukuran lain untuk

pertimbangan dalam mempersiapkan pasien dengan polisitemia vera untuk bedah dental yang

rutin meliputi kontrol jumlah darah yang lebih baik melalui plebotommi atau terapi obat dan

penyesuaian antiplatelet yang tepat dan terapi antikoagulan.

4.1.3 Anemia

Anemia terjadi setiap kali ada penurunan jumlah sirkulasi hemoglobin normal. Penurunan

hemoglobin dapat diakibatkan oleh kehilangan darah (seperti dalam anemia kekurangan darah),

dari peningkatan kehancuran sel darah merah (seperti pada anemia hemolitik), dari penurunan

produksi sel darah merah (seperti dalam pernicious and folic acid deficiency anemia), atau dari

kombinasi dari ketiganya. Ketika ada kombinasi penyebab, satu mekanisme biasanya

mendominasi. Gejala umum dari semua anemia adalah pucat pada kulit, konjungtiva palpebra,

dan nail bed, dispnea, dan mudah kelelahan.

4.1.3.1 Anemia Owing to Blood Loss: Iron Deficiency

-RINGKASAN OM 2009- 71

Page 72: Buku Saku Om

Iron deficiency anemia (blood loss anemia, hypochromic microcytic anemia) disebabkan

oleh kehilangan darah kronis, seperti saat pendarahan menstrual atau menopausal, partruition,

hemorrhoid berdarah, atau lesi malignant berdarah pada saluran pencernaan, pada pasien dengan

masalah yang menyebabkan kesulitan menyerap besi, seperti gastrictomy butotal atau total, atau

kebiasaan memakan clay, atau bagian dari sindrom malabsorpsi. Kekurangan besi dalam

makanan juga dapat menyebabkan ini, tapi diagnosa ini harus sangat diwaspadai.

Tanda utama IDA adalah pallor pada mukosa. Selain itu, sel epithelial oral menjadi

atrophic, dengan berkurangnya keratinisasi. Lidah dapat menjadi halus karena atrophy pada

filiform dan fungiform papillae, dan glossodynia dapat terjadi. Pada kasus lama, struktur atau

jaring esophegal dapat terjadi, menyebabkan dysphagia. Investigasi klinis terbaru menunjukkan

tanda-tanda lingual yang lebih jarang daripada diperkirakan sebelumnya.

Diagnosa ditentukan dari berkurangnya jumlah hemoglobin dalam pemeriksaan darah

rutin; pada peripheral smear, sel bersifat microcytic dan hypochromic.

Pasien dental dengan ciri anemia atau tanda oral yang menunjukkan kondisi ini

disarankan melakukan complete blood count (CBC). Jika ada tingkat hemoglobin rendah, pasien

perlu diarahkan ke dokter untuk pemeriksaan medis lebih mendalam, tes lab, dan penanganan.

Prosedur periodontal atau elective oral surgery sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan

anemia karena kemungkinan adanya pendarahan melus dan menyulitkan penyembuhan luka.

Bila tingkat hemoglobin berkurang di bawah 10g/dL, tensi oksigen rendah mempengaruhi

interaksi rheologis antara komponen seluler darah, terutama platelet dan endothelium, dan

menyulitkan pembekuan. General anasthesia sebaiknya tidak dilakukan kecuali hemoglobin di

atas 10g/dL. Pasien tidak perlu diobati dengan besi kecuali tidak ada penyebab yang ditemukan.

Plummer-Vinson Syndrome dicirikan dengan adanya disfagia dan anemia microcytic

hypochromic. Lidah halus dan sakit, mulut kering, kuku berbentuk sendok, dan angular

stomatitis sering ditemukan. Ada atrophy pada papillae lidah, tapi tidak seberat pernicious

anemia. Ada perubahan atrophic pada oral mucosa, faring, esophagus bagian atas, dan vulva.

Jaringan ini kering, tidak elastis, dan tampak mengkilap. Simptom tambahan adalah listlessness,

pallor, ankle edema, dan dyspnea, semuanya terkait pada anemia. Pasien dengan sindrom ini

-RINGKASAN OM 2009- 72

Page 73: Buku Saku Om

sebagian besar edentulous, kehilangan gigi saat masih muda. Keluhan mulut yang sakit dan

ketidakmampuan memakai gigi palsu sering terjadi. Pasien dengan Plummer-vinson syndrome

sering mengeluhkan "spasm dalam tenggorokan" atau "makanan menempel pada tenggorokan".

Dysphagia, yang merupakan sifat penting kondisi ini, tampak disebabkan degenerasi otot dalam

eesophagus, dan stenoses atau jaring pada esophageal mucosa.

Diagnosa sindrom ini dapat dilakukan berdasarkan sejarah dan penemuan hematologis.

Lesi esophageal dapat ditunjukkan secara radiologis (barium yang ditelan) atau esophagoscopy.

Adanya achlorhydria dengan tingkat bervariasi biasanya terjadi. Karena banyak simptom ini

mirip dengan masalah kekurangan vitamin B complex dan hypochromic anemia biasa, kondisi

ini perlu ditangani. Terkadang, dyspagia membaik dengan terapi zat besi.

Plummer-Vinson syndrome biasanya serius karena pharyngeal dan intraoral carcinoma

lebih sering terjadi pada pasien ini. Pasien dengan ciri-ciri sindrom ini harus diperiksa secara

rutin dengan interval rendah, dan diperiksa untuk adanya lesi dengan kemunkinan mengganas.

4.1.3.2 Anemia Owing to Hemolysis

Anemia hemolitik terjadi karena berkurangnya jangka hidup eritrosit, baik berketerusan

atau sementara, karena kecacatan intracorpuscular pada eritrosit (sering karena keturunan) atau

karena faktor extracorpuscular. Hasil pemeriksaan laboratium anemia hemolotic biasanya antara

lain menurunnya hemoglobin, meningkatnya reticulosit, dan meningkatnya serum bilirubin.

Pasien dengan anemia hemolitik biasanya tampak pucat. Hal ini dapat dilihat dari naik bed dan

palpebral conjunctiva. Warna pucat juga dapat dilihat pada mukosa oral, terutama palatum lunak,

lidah, dan jaringan sublingual. Anemia hemolitik mengakibatkan jaundice karena

hyperbilirubinemia yang merupakan penyakit sekunder dari destruksi eritrosit. Hal ini dapat

dilihat pada sklera, namun pada kulit, palatum lunak, dan jaringan di dasar mulut juga menjadi

ikhterik karena meningkatnya serum bilirubin.

Keparahan anemia dan perawatannya harus dievaluasi sebelum intervensi dental mayor.

Transfusi darah mungkin diperlukan sebelum perawatan dental pada kasus berat. Obat-obat yang

dapat menyebabkan hemolisis seperti dapsine, sulfasalazine, dan phenacetine, harus dihindari.

-RINGKASAN OM 2009- 73

Page 74: Buku Saku Om

Analgesik dan antibiotik dapat diberikan dalam dosis terapeutik, asalkan perhatian khusus

diberikan pada rekomendasi produsen.

Hemoglobinopathies merupakan contoh dari penyakit sickle cell disease dan thalassemia,

yang disebabkan oleh defek pada bagian globin dari molekul hemoglobin. Defek ini

mengakibatkan eritrosit mengandung hemoglobin abnormal yang lebih mudah hemolysis.

Pasien dengan anemia sel sabit ditandai keterbelakangan dan sering terjadi kematian

sebelum 40 tahun. Manifestasi klinis adalah hasil dari dasar anemia dan proses hemolitik

(kuning, pucat, dan gagal jantung) atau nekrosis darah stasis dengan vasoklusi. Hal tersebut

ditunjukkan oleh lienalis miokard, borok kaki kronis, Priapisme, trombosis vaskular serebral

( "Stroke"), dan serangan sakit perut dan tulang sakit (nyeri krisis). Selain penyakit kuning dan

pucat pada mukosa oral, pasien sering menunjukkan letusan tertunda dan hypoplasia dari gigi

sekunder untuk mereka keterbelakangan umum. Tidak ada pengobatan untuk penyakit sel sabit

selain pengobatan simtomatik. Antibiotik harus awal yang digunakan dalam pengobatan infeksi,

dan obat-obatan analgesik harus digunakan jika diperlukan, tetapi dengan hati-hati untuk

mencegah iatrogenik kecanduan.

Prosedur dental yang melibatkan jaringan lunak tidak boleh dilakukan pada pasien

dengan penyakit tak terkontrol kecuali sangat diperlukan karena peningkatan risiko komplikasi

sekunder anemia kronis dan menunda penyembuhan luka.

Thalassemia adalah penyakit kelompok bawaan (kelainan yang ditandai oleh kekurangan

sintesis baik rantai globin dalam molekul hemoglobin). Akibatnya, sel-sel darah merah

microcytic dan hypochromic dengan morfologi menyimpang. Thalassemias sering dianggap

antara hypoproliferative anemias, yang hemolitik anemias, dan anemias berkaitan dengan

hemoglobin abnormal. Pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak lambat. Dalam masa

remaja, karakteristik seks sekunder biasanya tertunda. Warna kulit menjadi abu-abu-abu karena

kombinasi dari pucat, kuning, dan hemosiderosis. Pasien juga tampak cardiomegaly,

hepatomegali, dan splenomegaly.

Hemolitik anemia dengan hypochromic microcytic sel darah merah yang berbeda-beda

dalam ukuran dan bentuk adalah ciri khas talasemia mayor. Hemoglobin elektroforesis

-RINGKASAN OM 2009- 74

Page 75: Buku Saku Om

menunjukkan peningkatan jumlah hemoglobin janin dan variabel jumlah dewasa normal

hemoglobin. Diagnosis talasemia pada fase prenatal ditunjukkan oleh asam deoksiribonukleat

(DNA) pada analisis cairan ketuban sel.

Protusi bimaksiler dan abnormalitas oklusi lainnya biasa terdapat pada kebanyakan

penderita thalassemia. Beberapa contoh abnormalitas wajah dan dental adalah crowding, open

bite, prominent malar bones, dan saddle nose, menyebabkan pneumatisasi sinus maksilaris

terhambat. Dampak terlihat pada perubahan skeletal, bibir atas retraksi sehingga membentuk

wajah menjadi “chipmunk facies”. Perubahan radiografi terlihat di sendi dengan gambaran

umum adanya penipisan tulang alveolar, penebalan tulang kortikal, pembesaran marrow space,

dan trabekula yang kasar, di mana hal ini sama dengan gejala pada pasien dengan sickle cell

disease. Pada tulang parietal, korteks yang tebal melapisi trabekula vertikal kasar dan

pembesaran diploë menghasilkan gambaran “hair on end”. Kelumpuhan saraf cranial pada

thalassemia diakibatkan proses hematopoiesis ektramedula menekan saraf.

Sama halnya dengan pasien anemia kronis, perawatan minimal dapat terjadi setelah

tindakan bedah. Kemungkinan adanya eksaserbasi merupakan gejala hipoksia serebral atau

kardia jika substansi perdarahan terjadi pada pasien yang sudah mengidap anemia. Pembedahan

merupakan tindakan yang cukup berhasil dalam penanganan deformitas wajah.

4.1.3.3 Anemia Owing to Decreased Production of Red Cells

Anemia megaloblastik merupakan kelainan pada perbadaan pola pada sel hemapoietic.

Sel ini memiliki nuclei immature dan sitoplasma yang mature. Secara mikroskopis,

ketidaksinkronan nuklei dan sitoplasma didefinisikan sebagai “megaloblastic.” Kelainan ini

memengaruhi sel sehingga bergerak lebih dinamis. Selain itu, sel epitel, mukosa gastrointestinal,

dan oral mukosa mengalami hal yang sama. Kekurangan vitamin B12 (cobalamine) atau asam

folat adalah penyebab utama megaloblastic anemia.

Glossitis dan glossodynia adalah gejala klasik dari anemia ganas. Lidah terlihat seperti

daging merah dan terinflamasi dengan area eritem kecil di bagian ujung dan margin. Adanya

kehilangan filiform papillae dan pada penyakit yang lebih parah, atrofi papilla menyerang

-RINGKASAN OM 2009- 75

Page 76: Buku Saku Om

hampir semua permukaan lidah dengan hilangnya fungi normal otot. Lesi macular yang eritem

juga terdapat pada mukosa labial dan bukal. Pasien mungkin mengeluhkan dysphagia dan rasa

kecap yang tidak normal. Ketidaknyamanan yang disebabkan oleh penggunaan gigi tiruan karena

adanya kelemahan jaringan mukosa. Walaupun sensasi terbakar pada mulut didiagnosis pada

anemia ganas namun dapat pula terjadi pada neuropaty dan penyebab oral burning, termasuk

candidiasis, sehingga harus bisa dibedakan.

Biopsi oral mukosa pada penderita anemia ganas terdapat atrofi epitel, pembesaran nuclei

sel basal, penambahan mitosis pada epitel basal, dysplasia epitel, dan infiltrasi nonspesifik

limfosit, sel plasma, dan polymorphonuclear leukocytes di lamina propria. Sesuai dengan

perawatan dengan vitamin B12, lidah mendapatkan penanganan yang lengkap dengan

pembalikan gejala dan penghentian perubahan bentuk.

Perawatan dilakukan di antaranya adalah pemberian secara parenteral cyanocobalamin.

Dosis besar secara peroral bisa diberikan jika injeksi intramuscular menjadi suatu kontaindikasi.

Perawatan ini akan memperbaiki perubahan hematologi namun tidak memperbaiki perubahan

neurologi. Perawatan ini diberikan oleh praktisi kesehatan dan harus dilanjutkan selama

hidupnya.

Folic acid deficiency anemia merupakan anemia yang parah tanpa adanya abnormalitas

neurologik. Defisiensi folat ditemukan pada pasien yang berdiet sayuran, alkoholik dan

pengguna obat-obatan terlarang, orang hamil, anak muda dan seseorang dengan perawatan

kemoterapi untuk kanker. Diagnosanya ditegakkan dengan mendeteksi perubahan hematologi

(sama seperti pada anemia ganas). Terapinya bisa menggunakan tablet asam folat peroral dengan

dosis 1mg, dosis 5 mg bisa diberikan pada pasien dengan malabsorpsi usus. Manifestasi oralnya

berupa angular cheilitis, ulcerative stomatitis dan faringitis.

Aplastik anemia disebabkan karena adanya kegagalan pada sumsum tulang belakang.

Penyebabnya belum diketahui secara pasti, namun hampir dari setengah kasus ini disebabkan

karena bahan kimia seperti pelarut cat, benzol dan klorampenikol. Bisa juga disebabkan karena

tingkat radiasi sinar X yang tinggi.

-RINGKASAN OM 2009- 76

Page 77: Buku Saku Om

Dua masalah utama yang dihadapi pada pasien dengan anemia aplastik adalah infeksi dan

perdarahan. Perdarahan pada ginggiva bisa diatasi dengan pemberian antifibrinolitik seperti

aminokaproat atau asam traneksamat. Dosis asam traneksamat 20mg/kg BB 4 kali sehari dimulai

24 jam sebelum prosedur oral dan berlanjut 3-4 hari kedepan. Berkumur dengan klorheksidin

0,2% bisa mengurangi jumlah plak serta mikroorganisme di dalam kavitas oral. Injeksi

intramuscular dan anesthesia harus dihindari karena meningkatkan risiko tromositopenia dan

perdarahan, sebagai alternative bisa dilakukan anestesi intraligamentary.

Fanconi’s anemia penyakit anemia turunan yang menyerang anak-anak. Dihubungkan

dengan pigmentasi kecoklatan pada kulit, hipoplasia ginjal dan limpa, ketiadaan atau

pertumbuhan hypoplastik dari jempol, serta retardasi mental dan seksual.

4.2 Kelainan Sel Darah Putih

Kelainan sel darah putih biasanya melibatkan salah satu atau dua komponen utama,

limfosit atau granulosit neutrofilik. Tabel 4 menunjukkan perubahan pada sel darah putih yang

terjadi pada berbagai kelainan.

Tabel 4.1 Kunci Tes Laboratorium Untuk Kelainan Sel Darah Putih

Nama Tes

Nilai

Normal

(SI)

Peningkatan PenurunanTemuan

Oral

White blood cell

(WBC)

4,400-

11,000

Penyakit

hematologis

Pembesaran

gingiva,

-RINGKASAN OM 2009- 77

Page 78: Buku Saku Om

/µL neoplastik (early

leukemia), drug-

induced

neutropenia,

cyclic

neutropenia,

infeksi virus,

infeksi bakteri

berat, kegagalan

sumsum tulang,

aplasia sumsum

kongenital

ulcer oral,

infeksi oral

akibat

penurunan

imun oleh

penyakit

atau terapi

Differential WBC

Polymorphonuclear

neurophils (Segs)*

41-

78%

Infeksi,

inflamasi,

keadaan toksik,

kerusakan

jaringan, stress,

obat (adrenal

acute

hemorrhage)

Agranulocytosis,

drug-induced

neutropenia,

infeksi virus,

penyakit infeksius,

chemical induced,

hyperspenism,

penyakit kolagen-

vaskular

Band neutrophils* 0-6% Neutrofil

immature;

indikasi

produksi cepat

dari sel

seringkali

terdapat pada

-RINGKASAN OM 2009- 78

Page 79: Buku Saku Om

infeksi

Lymphocytes 23-

44%

Infeksi virus,

mononucleosis,

limfositosis

infeksius,

hipoadrenalisme,

hipotiroidisme

Imunodefisiensi,

pemaparan

adrenal-

kortikosteroid,

penyakit yang

mengakibatkankan

keterbatasan berat,

defek pada

sirkulasi limfatik

Monocytes 0-7% Infeksi kronis

(tuberculosis),

bacterial

endocarditis,

penyakit

granulomatous

Eosinophils * 0-4% Penyakit parasit,

alergi, penyakit

kulit kronis,

penyakit lain

(sarcoidosis,

Hodgkin’s

disease,

metastase

kanker)

Basophils* 0-2% Tingkat

hipersensitivitas

kronis, tanpa

-RINGKASAN OM 2009- 79

Page 80: Buku Saku Om

alergen spesifik,

kelainan

myeloproliferatif

*Granulocytes

4.2.1 Quantitative Leukocyte Disorders

4.2.1.1 Granulocytosis

Terdapat tiga tipe granulosit, dibedakan berdasarkan Wright’s stain: neutrofil granulosit,

eosinofil granulosit, dan basofil granulosit. Sel darah putih lain yang bukan termasuk granulosit

(agranulosit) antara lain limfosit dan monosit.

Granulositosis merupakan keadaan abnormal di mana terdapat banyak granulosit dalam

darah. Basofilia, eosinofilia, dan neutrofilia masing-masing menunjukkan tingginya jumlah

basofil, eosinofil, dan neutrofil. Neutrofilia paling umum terjadi, dapat disebabkan infeksi, reaksi

metabolik, keracunan, dan lain-lain.

4.2.1.2 Agranulocytosis (Neutropenia/Granulocytopenia)

Istilah agranulositosis, neutropenia, dan granulositopenia umum digunakan untuk

menunjukkan berkurangnya jumlah leukosit. Tanda klinis agranulositosis antara lain demam,

menggigil, sakit tenggorokan. Neutropenia dapatan lebih sering terjadi dibandingkan neutropenia

kongenital, dapat disebabkan oleh infeksi virus, obat-obatan, kerusakan antibodi atau

myelosupresi.

Pertimbangan Kesehatan Mulut

-RINGKASAN OM 2009- 80

Page 81: Buku Saku Om

Antibiotik profilaktik direkomendasikan pada pasien dengan keganasan hematologis

dengan ANC <1000 sel/mm3 akibat ekstraksi gigi. Analisis pada pasien dengan leukemia akut

menunjukkan bahwa profilaksis dengan fluoroquinolones (ciprofloxacin atau levofloxacin)

mengurangi infeksi akibat bakteri gram positif dan mengurangi tingkat kematian hingga 33%.

Untuk itu, profilaksis dengan fluoroqiunolones direkomendasikan sebagai prosedur rutin pada

pasien dengan leukemia akut, limfoma, dan tumor organ yang dapat menyebabkan neutropenia.

Tabel 4.2. Klasifikasi Neutropenia Primer dan Sekunder

Dapatan KongenitalSindrom Kompleks

Meliputi Neutropenia

Antibody-mediated

(aminopyrine, obat lain)

Cyclic neutropenia Cartilage-hair hypoplasia

Aplasia sumsum tulang,

dysplasia, penggantian

Familial benign

neutropenia

Chediak-Higashi

syndrome

Drug induced (cytotoxic

chemotherapy,

phenothiazines, obat lain)

Myelokathexis Dyskeratosis kongenital

Hypersplenism Severe chronic

neutropenia

Fanconi’s anemia;

Diamond-Blackfan

anemia

Immune-mediatd

(alloimmune dan

autoimmune)

Kelainan metabolik

(kelainan cadangan

glikogen tipe 1b, aciduria

organik)

Nutrisional (folat,

vitamin B12)

Immunodefisiensi primer

(X-linked hyper-IgM

-RINGKASAN OM 2009- 81

Page 82: Buku Saku Om

syndrome)

Sepsis dengan kurangnya

sumsum tulang

Reticular dysgenesis

Penurunan sumsum

tulang viral

Shwachman-Diamond

syndrome

4.2.1.3 Cyclic Neutropenia

Cyclic neutropenia merupakan kelainan hematologis, dengan karakteristik demam, ulcer

rongga mulut, dan indeksi berulang yang menyebabkan neutropenia berat. Neutropenia terjadi

dengan periode yang teratur selama 21 hari, berlangsung selama 3 sampai 5 hari, dan disertai

infeksi yang lebih berat dibandingkan neutropenia kronis berat.

Manifestasi Klinis dan Oral

Osilasi periodik jumlah neutrofil berhubungan dengan demam dan ulcer rongga mulut

yang menjadi kunci dari penyakit ini. Tampilannya berubah sesuai usia, di mana anak-anak pada

umunya menunjukkan siklus neutrofil dengan gejala ulserasi mukosa, limfadenopati, dan infeksi.

Pada dewasa lebih jarang terjadi dan gejalanya lebih ringan tanpa siklus yang jelas.

Perawatan

Faktor pertumbuhan hematopoetik seperti G-CSF, membantu menurunkan jumlah dan

keparahan siklus pada pasien neutropenik. Sebagian besar pasien merespon terhdap perawatan

G-CSF selama 1-2 minggu dengan dosis kurang dari 30 µg/kg.

4.2.1.4 Chronic Neutropenia

-RINGKASAN OM 2009- 82

Page 83: Buku Saku Om

Neutropenia kronis didefinisikan sebagai rendahnya ANC selama lebih dari 6 bulan,

dapat bersifat kongenital, dapatan, maupun idiopatik. Neutropenia menunjukkan rendahnya

jumlah neutrofil yang bersirkulasi dalam darah yang mengakibatkan kerentanan terhadap infeksi

pyogenik.

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinisnya meliputi infeksi bakteri yang mengancam jiwa, gingivitis rekuren,

dan bahkan periodontitis berat, seringkali mulai terjadi pada awal masa anak-anak.

Perawatan

Kebanyakan pasien dengan neutropenia kronis berat merespon terhadap terapi G-CSF

pada dosis yang lebih tinggi dibandingkan neutropenia siklik.

Manifestasi oral

Berbagai temuan oral antara lain gingivitis rekuren, periodontitis berat, kehilangan tulang

alveolar, dan ulserasi dapat terlihat pada pasien neutropenik.

4.2.2 Qualitative Leukocyte Disorders

4.2.2.1 Chediak-Higashi Syndrome

Chediak-Higashi syndrome (CHS) merupakan kelainan autosomal resesif

immunodefisiensi yang ditandai dengan oculoalbinisme parsial, mudah memar dan berdarah

sebagai hasil dari defisiensi platelet, neutropenia dan abnormalitas fungsi neutrofil, gangguan

-RINGKASAN OM 2009- 83

Page 84: Buku Saku Om

aktivitas kemotaksis dan bakterisidal, dan abnormalitas fungsi pembunuh sel alami yang

mengakibatkan infeksi rekuren, terutama pada kulit dan sistem pernapasan.

Manifestasi klinis

Sindrom lengkap meliputi albinisme okulokutaneus dengan fotofobia, tampilan

neurologis, infeksi rekuren, dan enterokolitis.

Manifestasi Oral

Pasien dengan CHS menunjukkan kerusakan periodontal serius dengan inflamasi gingiva

akut dan ulcer. Status radiografik oralnya menunjukkan kehilangan tulang alveolar, hingga

eksfoliasi gigi. Perawatan periodontal pada pasien ini seringkali tidak berhasil.

Perawatan

Terapi CHS seringkali simptomatik, seperti imunisasi dan antibiotik untuk infeksi.

Perdarahan dapat ditanggulangi dengan menghindari konsumsi aspirin dan penggunaan

desmopressin, aminocaproic acid, atau transfusi platelet pada perdarahan serius. Kemoterapi,

kortikosteroid, IVIG, dan splenektomi telah dilakukan untuk manajemen pada fase akselerasi.

Perawatan kuratif kelainan ini adalah HSCT, yang menanggulangi gangguan imun dan fase

akselerasi namun tidak merangsang perkembangan kelainan neurologis yang semakin berat

seiring pertambahan usia.

Pertimbangan Kesehatan Mulut

-RINGKASAN OM 2009- 84

Page 85: Buku Saku Om

Jika prosedur bedah telah direncanakan, kehilangan darah yang berlebihan harus dapat

diantisipasi akibat adanya defek pada fungsi platelet. Suntikan intramuskular harus dihindari.

Pasien seringkali mengalami fotofobia dan menjadi sensitif terhadap lampu operasi.

4.2.2.2 Lymphocytosis

Limfositosis asimtomatik tidak selalu disebabkan oleh leukemia limfositik kronis atau

penyakit ganas. Limfositosis dapat juga disebabkan oleh infeksi, antara lain infeksi

postsplenectomi, HIV, human T-lymphotropic virus 1, cytomegalovirus, hepatitis, EBV, atau

penyebab lainnya.

4.2.3 Leukemia

Leukemia merupakan keganasan yang mempengaruhi sel darah putih pada sumsum

tulang.

Sel keganasan menggantikan elemen sumsum normal, menyebabkan anemia,

trombositopenia, dan defisiensi leukosit dengan fungsi normal.

Klasifikasi French-American-British (FAB) berdasarkan diferensiasi dan maturasi

sel leukosit predominan pada sumsum tulang dan analisis cytochemical

Klasifikasi leukemia: akut, kronis, dan berdasarkan tipe sel

Etiologi tidak diketahui (pada banyak kasus), tapi ada beberapa faktor yang

meningkatkan resiko terjadinya leukemia, antara lain:

1. Faktor genetik

2. Kelainan genetik, seperti sindrom Down, Klinefelter, Fanconi

3. Radiasi lebih dari 1 Gy

4. Paparan kimia dan obat tertentu, seperti benzene, phenylbutazone, dan antibiotik

chloramphenicol

-RINGKASAN OM 2009- 85

Page 86: Buku Saku Om

4.2.3.1 Leukemia Akut

Leukimia akut merupakan keganasan pada sel progenitor hematopoietik, sehingga

menyebabkan kegagalan maturasi dan berdiferensiasi.

Manifestasi Klinis

Leukemia akut dapat terjadi pada segala usia, tp pada umumnya ALL terjadi pada anak-

anak, dan AML terjadi pada dewasa.

Tanda dan gejala: perubahan sumsum tulang anemia, trombositopenia, berkurangnya neutrofil

dengan fungsi normal

1. Anemia: pucat, napas pendek, kelelahan

2. Trombositopenia: pendarahan spontan (petechiae, ekimosis, epitaksis, melena,

meningkatnya pendarahan menstural, dan pendarahan gingiva) saat jumlah platelet

menurun <25.000/mm3

Infeksi merupakan komplikasi yg paling sering terjadi menyebabkan morbitas dan

mortalitas.

Kloroma: tumor yang terlokalisasi, mengandung sel leukemik. Permukaan tumor berubah

menjadi hijau saat terkena cahaya adanya myeloperoksidase.

Diagnosis: berdasarkan pemeriksaan lab darah perifer dan sumsum tulang

- Jumlah sel darah putih perifer ↑. Jika normal/ menurun disebut subleukemik atau

aleukemik leukemia

- Ditemukan prekursor granulositik/limfositik, bahkan stem sel pada darah perifer

-RINGKASAN OM 2009- 86

Page 87: Buku Saku Om

Perawatan

Yang utama memperoleh remisi lengkap (darah perifer normal, sumsum normal, dan

status klinis normal)

Kombinasi kemoterapi : daunorubicin dan cytarabin. Kemoterapi 3 tahap : induksi,

konsolidasi, dan pemeliharaan

Perawatan suportif: transfusi platelet, transfusi sel darah merah, heparin

Transplantasi sumsum tulang

4.2.3.2 Leukimia Kronis

Ditandai dengan ditemukannnya sel yang berdiferensiasi sempurna pada sumsum tulang,

darah perifer, dan jaringan, pasien juga mampu bertahan lama bahkan tanpa terapi.

4.2.3.2.1 Chronic myelogenous leukemia (CML)

Disebut juga Chronic granulocytic leukemia (CGL). Berhubungan dengan paparan radiasi

ion dan zat kimia toksik. Terdiri dari 2 fase: kronik dan blastik

Manifestasi klinis:

1) Umumnya terjadi pd usia 30-50 tahun

2) Terdapat tanda-tanda anemia dan trombositopenia

-RINGKASAN OM 2009- 87

Page 88: Buku Saku Om

3) Tes lab: ↑ jumlah leukosit sampai beberapa ratus ribu/ mm3, sumsum tulang hiperselular,

adanya kromosom Philadelphia, dan tidak adanya leukosit alkalin fosfatase

Perawatan:

- Kontrol pada fase kronik

Gejala muncul busulfan atau agen alkilasi

Kemoterapi dan radiasi

Transplantasi sumsum tulang

- Fase blastik sulit disembuhkan

4.2.3.2.2 Chronic Lymphocytic Leukemia

Manifestasi klinis

1) Terjadi pada laki-laki >40thn, onset paling umum60 thn

2) Tanda-tanda anemia dan trombositopenia

3) Infiltrasi ke jaringan lain: limfadenopati, splenomegali, hepatomegali, ilfiltrat leukemik

pada kulit dan mukosa. Tanda pada kepala dan leher paling sering: limfadenopati cervical

dan pembesaran tonsil

4) Hipogamaglobulinemia

Perawatan

1) Chlorambucil, fludarabine

2) Hairy cell leukemia cladribine

Pertimbangan Oral dan Dental

o Tanda dan gejala oral umum ditemukan dokter gigi dapat menjadi klinisi yang

pertama menemukan penyakit ini.

o Penanganan terhadap pendarahan gingival

o Ulser oral akibat kemoterapi infeksi HSV rekuren acyclovir

-RINGKASAN OM 2009- 88

Page 89: Buku Saku Om

Ulser oral non HSV bertujuan untuk mencegah menyebarnya infeksi yang ada,

meminimalkan bakteremia, membentu penyembuhan luka, dan mengurangi nyeri

o Infeksi oral : komplikasi yang berpotensi berakibat fatal

o Infeksi fungal

o Lesi lichenoid, termasuk gingivitis deskuamatif, lesi keratotik, atrofi, dan ulserasi

Transfusi platelet dan kombinasi antibiotik IV perlu diberikan sebelum

perawatan dental.Deformitas kraniofasial dan anomali dental : gangguan

perkembangan mandibula, agenesi gigi, terhentinya perkembangan akar gigi,

mikrodontia, dan displasia enamel.

4.2.4 Lymphoma

4.2.4.1 Hodgkin’s Lymphoma/Disease

Sekitar 95% pasien HL memiliki ciri histologi classic HL yang ditandai dengan adanya

sel ganas Hodgkin’s Reed-Sternberg yang langka di antara sejumlah besar dari sel-sel

reaktif jinak.

Klasifikasi neoplasma limfoid menurut WHO:

1. Classic HL, dibagi menjadi 4 subdivisi:

a. Nodular sclerosing classic HL (70–80% kasus di Amerika Utara)

b. Lymphocyte-rich classic HL (5%)

c. Mixed cellularity HL (10–15%)

d. Lmphocyte-depleted classic HL (langka)

2. Nodular lymphocyte predominant HL

Etiologi HL tidak diketahui, namun baik faktor genetik dan lingkungan, termasuk EBV,

berperan dalam pathogenesis HL.

Manifestasi Klinis

Tabel 4.1. Tahapan klinis HL berdasarkan klasifikasi Ann Arbor

-RINGKASAN OM 2009- 89

Page 90: Buku Saku Om

Perawatan

Perawatan dapat berupa radiasi saja dan kemoterapi dengan ABVD (Adriamycin

[doxorubicin], bleomycin, vinblastine, dacarbazine) diikuti oleh involved-field radiation

therapy (IFRT) dalam dosis hingga 35 Gy

Tabel 4.2. Rekomendasi penanganan berdasarkan tahapan klinis

-RINGKASAN OM 2009- 90

Page 91: Buku Saku Om

Manifestasi Oral

Massa ekstranodal pada kepala dan leher

Keterlibatan cincin Waldeyer’s pada tumor HL jarang terjadi, kebanyakan pada tonsil

atau nasofring, dan hanya 6 kasus pada lidah

Pertimbangan Kesehatan Rongga Mulut

Radiasi pada servikal kelenjar ludah submandibular dan sublingual berisiko

mengakibatkan xerostomia sementara atau bahkan permanen

Topikal fluoride, gel, atau pasta gigi berfluoride dapat digunakan untuk pencegahan

karies jika mulut pasien kering

4.2.4.2 Non-Hodgkin’s Lymphoma

Dihubungkan dengan chronic inflammatory diseases seperti Sjögren’s syndrome, celiac

disease, dan rheumatoid arthritis dan immune suppression dari HIV and pengobatan

untuk menangani psien yang menerima transplantasi organ.

-RINGKASAN OM 2009- 91

Page 92: Buku Saku Om

Infeksi kronis lymphoma dihubungkan dengan infeksi Helicobacter pylori dan mukosa

terkait jaringan limfoid (MALT) limfoma; HTLV-1 dan dewasa T-sel limfoma; EBV dan

limfoma Burkitt; Clamydia psittaci dan limfoma adenexal mata; dan hepatitis C dan

limpa atau sel besar limfoma.

Diagnosis ditentukan dengan pemeriksaan fisik dan riwayat penyakit, laboratorium,

aspirasi dan biopsi sumsum tulang, biopsi nodal, CT scan, positron emission tomography,

dan tingkat dehidrogenase laktat untuk mengukur proliferasi tumor.

Manifestasi Klinis

Lymphadenopathy dan terkadang melibatkan extranodal dari traktus gastrointestinal,

kulit, sumsum tulang, sinus, tiroid atau sistem saraf pusat. Gejala sistemik: demam, panas dingin,

keringat malam, penurunan BB pada pasien dengan aggressive lymphoma.

Perawatan

Pasien dengan follicular lymphomas tahap awal biasanya dirawat dengan terapi radiasi,

sedangkan tahap III dan IV memerlukan perawatan kemoterapi, imunoterapi, atau

radioimunoterapi.

Manifestasi Oral

Pembengkakan atau massa gingival atau jaringan mukosa pertumbuhan tumor yang

cepat pada daerah bekas ekstraksi yang sukar sembuh.

o Gejalanya dapat berupa anesthesia atau paresthesia

o Ulser yang tak kunjung sembuh dengan batasan penyakit yang jelas pada sekeliling

mukosa, lesi gingiva yang tampak jinak, dan lesi mukosa erosive menyerupai penyakit

vesikulobulosa.

-RINGKASAN OM 2009- 92

Page 93: Buku Saku Om

Gambar 4.1. Non-Hodgkin’s Lymphoma pada lokasi bekas ekstraksi yang tidak kunjung

sembuh 46 dan 47 yang muncul dalam waktu 1 minggu setelah ekstraksi gigi pada seorang pria

31 tahun yang terinfeksi HIV.

Pertimbangan Kesehatan Rongga Mulut

Komplikasi akut dari kemoterapi: mukositis, infeksi virus dan bakteri, dan lesi hemoragik

yang dihubungkan dengan supresi sumsum tulang.

Komplikasi kronis dari kemoterapi: orodental kronis, termasuk diskolorasi enamel dan

malformasi akar.

4.2.4.3 Burkitt’s Lymphoma

Sel lymphoma yang agresif, kecil, tidak membelah biasanya ditandai dengan

pembengkakan rahang.

Klasifikasi menurut WHO:

o Endemik (Afrika)

o Sporadik (Amerika)

o Berhubungan dengan imunodefisiensi

Manifestasi Klinis

Endemik:

-RINGKASAN OM 2009- 93

Page 94: Buku Saku Om

o 4 sampai 7 tahun

o Rasio pria: wanita = 2:1

o Melibatkan tulang rahang dan tulang wajah lainnya, ginjal, traktus gastrointestinal,

ovarium, payudara, dan lokasi ekstranodal lainnya

Sporadik:

o Abdomen, terutama area ileocecal, efusi pleural malignan atau akumulasi cairan dan

keterlibatan lymph node, rahang, ovarium, ginjal, payudara, omentum, cincin

Waldeyer, dan lokasi lainnya.

Berhubungan dengan imunodefisiensi

o Usia muda

o Biasanya menderita AIDS

o Memiliki angka rata-rata CD4 lebih tinggi, biasanya >200 sel/μL

Perawatan

Kemoterapi adalah perawatan utama, dengan cyclophosphamide, vincristine,

methotrexate, dan kortikosteroid; namun, surgical debulking dan dosis rendah terapi

radiasi merupakan terapi paliatif untuk lokasi tumor lokal.

Manifestasi Oral

Pada anak-anak biasanya berupa pembengkakan pada rahang (52%), abdomen (25%),

kombinasi rahang dan abdomen (14%), dan lokasi lainnya (10%)

Pada orang dewasa, lokasi yang terlibat adalah rahang (4%), abdomen (43%), kombinasi

rahang dan abdomen (25%), dan lokasi lainnya (27%)

Tumor rahang yang bisa menyebabkan kegoyangan gigi dan nyeri, pembengkakan

intraoral pada mandibular dan maksila, dan openbite anterior.

-RINGKASAN OM 2009- 94

Page 95: Buku Saku Om

Gambaran radiografi panoramik menunjukkan resorpsi tulang alveolar, hilangnya lamina

dura, pembesaran folikel gigi, destruksi korteks di sekeliling gigi, perpindahan gigi dan

kuncup gigi karena pembesaran tumor.

4.2.5 Multiple Myeloma

4.2.5.1 Definisi

Multiple myeloma (MM) adalah neoplasma sel plasma ganas yang relatif jarang

ditemukan. Karakteristik MM adalah adanya produksi protein M yang berlebih akibat proliferasi

plasma sel yang abnormal, sehingga menyebabkan lesi tulang, penyakit ginjal, hiperviskositas

dan hiperkalsemia (Greenberg & Glick, 2011).

4.2.5.2 Etiologi

Tidak diketahui (Laskaris, 2006).

4.2.5.3 Karakteristik

Dapat terjadi pada pria dan wanita berusia lebih dari 50 tahun (Greenberg & Glick,

2011), tetapi pria lebih umum (Laskaris, 2006). Simptom paling sering adalah adanya nyeri

skeletal, yang disebabkan oleh lisis tulang yang secara langsung diakibatkan oleh adanya

akumulasi tumor, atau secara tidak langsung dari faktor aktivasi osteoklas yang disekresikan oleh

sel myeloma ganas (Greenberg & Glick, 2011).

80% kasus MM mengenai tulang. Gambaran radiografi yang umum dari lesi ini adalah

adanya lesi radiolusen yang tampak ”punched-out” (plasmasitoma), tetapi osteoporosis pun dapat

terjadi walaupun tidak tampak adanya lesi punched-out (Greenberg & Glick, 2011).

-RINGKASAN OM 2009- 95

Page 96: Buku Saku Om

Gambar 4.2. Multiple myeloma pada rahang atas dan bawah (Greenberg & Glick, 2011).

4.2.5.4 Manifestasi Oral

Kira-kira 5-30% pasien dengan MM memiliki lesi pada rahang, dan lesi pada rahang

dapat menjadi lesi awal yang ditemukan pada kasus MM, terutama pada rahang bawah karena

memiliki lebih banyak sumsum tulang. Pasien akan merasakan nyeri, pembengkakan, kaku

rahang, pembentukan epulis, atau mobilitas gigi geligi (Greenberg & Glick, 2011).

Gambar 4.3. Multiple myeloma dengan tampilan massa gingiva yang terulserasi (Regezi, 2008).

Biopsi lidah umumnya dilakukan untuk membantu diagnosis. Secara klinis lidah akan

tampak membesar dan berbintil merah tua. Amiloidosis terjadi pada 6-15% pasien dengan MM,

dan dapat dideteksi dari spesimen jaringan dari lipatan mukobukal atau lidah (Greenberg &

Glick, 2011).

-RINGKASAN OM 2009- 96

Page 97: Buku Saku Om

Gambar 4.3. Amiloidosis yang menyebabkan lidah makroglosia (Regezi, 2008).

4.2.5.5 Diagnosis

Diagnosis dibuat berdasarkan pengukuran protein serum M, yang didapat melalui

prosedur elektroforesis protein serum atau imunoelektroforesis, atau dapat dilihat melalui

pengukuran protein Bence Jones, yaitu rantai immunoglobulin monoklonal yang terdeteksi dari

specimen urin 24 jam. Biopsi sumsum tulang dapat dilakukan untuk melihat adanya sel plasma

yang tidak lazim (Greenberg & Glick, 2011).

4.2.5.6 Perawatan

Lesi simptomatik lokal dirawat dengan radioterapi. Obat-obatan kemoterapi untuk MM

adalah agen alkilasi seperti melphalan atau siklosfofamida, yang merupakan pilihan terapi untuk

lesi tulang yang luas dan peningkatan protein M. Jangka waktu rata-rata keberhasilan perawatan

yaitu 2-3 tahun, tapi dengan pengembangan agen kemoterapi terbaru dapat berhasil hingga 6

tahun. Penyebab umum kematian adalah myeloma ginjal, akibat akumulasi protein abnormal di

jaringan ginjal (Greenberg & Glick, 2011).

4.2.5.7 Penanganan Dental

Hemoragi dan infeksi perlu diperhatikan saat melakukan perawatan dental pasien dengan

MM, karena pasien MM memiliki trombositopenia, fungsi platelet abnormal, koagulasi

abnormal, dan atau hiperviskositas (Greenberg & Glick, 2011).

-RINGKASAN OM 2009- 97

Page 98: Buku Saku Om

-RINGKASAN OM 2009- 98

Page 99: Buku Saku Om

BAB V

PENYAKIT GINJAL

5.1 Fungsi Ginjal

1. Meregulasi keseimbangan asam dan cairan elektrolit tubuh dengan cara memfilter darah

2. Penyerapan ulang air dan elektrolit secara selektif

3. Eksresi urin

4. Eksresi sisa produk metabolik termasuk urea, kreatinin, asam urik, dan benda asing.

5. Fungsi endokrin dengan sekresi renin, vit D aktif, dan eritropoietin yang berfungsi menjaga

tekanan darah, metabolisme kalsium, dan sintesis eritrosit.

Kelainan pada ginjal diklasifikasikan menjadi :

1. Kelainan konsentrasi pH dan elektrolit

2. Acute Renal Failure (ARF)

3. Chronic Renal Failure (CRF)

4. End-stage renal failure atau Sindrom Uremik

5.2 Struktur dan Fungsi Ginjal

Struktur ginjal

- Organ bean-shaped pada retroperitoneum selevel pinggang

- Berat 160 g, panjang 10-15 cm

- Ginjal mengeksresi urin 1,5-2,5 L setiap hari

-RINGKASAN OM 2009- 99

Page 100: Buku Saku Om

- Nefron pada ginjal tidak bisa beregenerasi setelah mengalami kerusakan. Ginjal

mengkompensasi kehilangan nefron dengan hipertrofi unit lain.

- Fungsi ginjal normal dapat tetap terjaga sampai 50% nefron mengalami kerusakan.

5.3 Homeostasis Cairan, Elektrolit, dan pH

1. Tanda klinis pertama pada kegagalan fungsi ginjal yaitu menurunnya kemampuan menjaga

konsentrasi dalam urin (isosthenuria)

2. Kegagalan fungsi ginjal awal gangguan konsentrasi sodium dalam urin

3. Kegagalan fungsi ginjal bertambah volume overload hipertensi dan congestive heart

failure

4. Filtrasi glomerulus rusak total sekresi potassium berkurang hiperkalemia

5.4 Prosedur Diagnostik pada Penyakit Ginjal

5.4.1 Kimia Serum

Level sodium, klorida, blood urea nitrogen (BUN), glukosa, kreatinin,

karbondioksida, potassium, fosfat, dan kalsium berguna untuk mengevaluasi derajat

kerusakan ginjal dan progres penyakit.

5.4.2 Urinalisis

-RINGKASAN OM 2009- 100

Page 101: Buku Saku Om

Pemeriksaan urin pada pasien dengan penyakit ginjal mencakup deteksi protein

atau darah dalam urin, osmolalitas, dan pemeriksaan mikroskopis.Tanda disfungsi ginjal

pada urin adalah hematuria dan proteinaria.Hematuria terjadi karena perdarahan pada

traktur urinarius.

Pengumpulan urin selama 24 jam harus dilakukan untuk mengetahui adanya

proteinuria persisten. Batas normal protein dalam urin adalah 150 mg per hari.

5.4.3 Creatinine Clearance Test

GFR (glomerulus filtrate rate) dapat dihitung secara tidak langsung dengan

endogenous creatinine clearance test.Konsentrasi kreatinin pada plasma yaitu 0,7-1,5

mg/dL. Kreatinin 100% difiltasi oleh glomerulus dan tidak diserap ulang oleh tubulus.

Creatinine clearance test dilakukan dengan pengumpulan urin 24 jam dan sampel

darah pada periode 24 jam yang sama. Pada penyakit gagal ginjal kronis dan beberapa

tipe gagal ginjal akur, nilai GFR lebih rendah dari nilai normal yang berkisar antara 100-

150 mL/min. Semakin bertambah usia juga mengurangi nilai GFR yaitu 1 mL/min per

tahun setelah 30 tahun.

5.4.4 Pyelografi Intravena

Merupakan pemeriksaan radiologis pada ginjal dengan melakukan injeksi media

kontras melalui intravena.

5.4.5 Ultrasonografi ginjal

Prosedur diagnostik menggunakan USG yang diarahkan pada ginjal, dapat

membedakan adanya tumor padat atau cairan – berisi kista.Berguna untuk pasien dengan

gagal ginjal berat, yang tidak indikasi dilakukan IVP. Diindikasikan untuk melihat

ukuran ginjal, melihat adanya hambatan ,evaluasi transplantasi ginjal adanya hematoma,

serta lokalisasi ginjal untuk dilakukan biopsy.

5.4.6 Computed Tomography and Magnetic Resonance Imaging

MRI memberikan informasi yang sama dengan CT ginjal namun tidak

menggunakan radiasi pengion.

-RINGKASAN OM 2009- 101

Page 102: Buku Saku Om

5.4.7 Biopsi

Biopsi ginjal dilakukan dengan biopsi jarum perkutan yang dibantu dengan

ultrasonografi.5% kasus terjadi perdarahan post prosedur dan hematuria.

5.5 Renal Failure (Gagal Ginjal)

Gagal ginjal Ginjal kehilangan kemampuan untuk mempertahankan komposisi dan

volume normal cairan tubuh.

Klasifikasi gagal ginjal didasarkan pada dua kriteria yaitu onset (akut dan kronis) dan lokasi

(prerenal, renal atau intrinsik, dan postrenal).Chronic renal failure (CRF) berjalan lambat,

irreversible, dan terjadi selama periode tahun.Sedangkan Acute Renal Failure (ARF) berkembang

selama periode hari atau minggu, reversible jika dikelola dengan tepat.

5.5.1 Acute Renal Failure (ARF)

ARF merupakan sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan cepat fungsi ginjal

selama periode hari hingga minggu, menuju ke azotemia berat (meningkatnya kadar nitrogen

dalam darah). Penyebab umum ARF : obat, operasi, komplikasi yang berhubungan dengan

kehamilan, dan trauma. ARF berkembang melalu tiga tahap: oliguria (volume urin <400 ml per

hari), diuresis (volume urin >400 ml per hari), dan recovery. Penyebab ARF: kegagalan

prerenal, kegagalan posrenal, dan kegagalan akut intrinsik.

5.5.1.1 Kegagalan prerenal

Definisi: kondisi membahayakan dari fungsi ginjal tanpa cedera fisik permanen pada

ginjal. Kondisi ini sering disebut azotemia prerenal perubahan reversible pada aliran darah,

terjadi > 50% pada kasus. Etiologi: deplesi volume, penyakit kardiovaskular, perubahan

distribusi volume cairan yang berhubungan dengan sepsis.

5.5.1.2 Kegagalan postrenal

Kurang umum terjadi (< 5% dari pasien).Kondisi ini menghambat aliran urin dari ginjal

pada saluran kemih dan yang kemudian menurunkan GFR.Dapat menyebabkan anuria total,

-RINGKASAN OM 2009- 102

Page 103: Buku Saku Om

obstruksi lengkap atau polyuria.Dengan ultrasonografi, dapat menunjukan terjadinya

hidronefrosis.Banyak terjadi karena obstruksi dari pembesaran prostat (hipertrofi jinak atau

neoplasia ganas) pada pria yang lebih tua, atau kanker serviks.Kondisi ini dapat diobati.

5.5.1.3 Kegagalan akut intrinsik

Tiga penyebab utama dari gagal ginjal akut intrinsik yaitu kelainan glomerulus,

pembuluh darah, dan tubulointerstitial (> 75% kasus)

Glomerulonefritis jarang menjadi penyebab ARF, biasanya subakut atau kronis.Jika

ditemukan terkait dengan sedimen urin aktif. Temuan klinis dan lab : hipertensi, proteinuria,

hematuria. Kelainan glomerulus yang paling sering menjadi penyebab adalah glomerulus

progresif, glomerulonephritis denga endocarditis dan infeksi pada akses vascular. Proses oklusif

vaskuler seperti arteri ginjal atau thrombosis vena juga dapat menyebabkan gagal ginjal akut

intrinsik. Tampilan klinis: nyeri punggung bawah tiba-tiba, oliguria berat, dan hematuria

makrospik.

Penyebab paling umum adalah kelainan tubulointerstitial, termasuk nefritis interstitial

dan acute tubular necrosis (ATN).

5.5.2 Chronic Renal Failure(CRF)

Gagal ginjal kronis didefinisikan dengan: (1) kerusakan ginjal selama > 3 bulan, dengan

kelainan structural atau fungsional pada ginjal dengan atau tanpa penurunan GFR baik oleh

kelainan patologis atau penanda lain, termasuk kelainan pada komposisi darah atau urin, atau

kelainan dalam radiografi; (2) GFR < 600cc/menit/1,73 m2 selama > 3 bulan.

CRF disebabkan oleh banyak penyakit yang menghancurkan massa nefron ginjal.

Kemudian sebagian besar menyebabkan kerusakan bilateral parenkim ginjal. Berdasarkan

statistik di AS, diagnosa paling umum ditemukannya CRF atau ESRD (End-Stage Renal

Disease) adalah pada pasien dengan DM, hipertensi, glomerulonephritis, interstitial nefritis,

pyelonephritis, dan kelainan ginjal polycystic.

5.5.2.1 Clinical Progression

CRF dibagi dalam tahap sesuai dengan tingkat GFR:

-RINGKASAN OM 2009- 103

Page 104: Buku Saku Om

Tahap 1: Pasien memiliki fungsi ginjal normal (GFR>90cc/menit), tetapi mungkin memiliki

proteinuria atau hematuria.

Tahap 2: GFR 60-90 cc/menit.

Tahap 3 : GFR 30-60 cc/menit. Adanya anemia dan hiperparatiroidisme sekunder

Tahap 4: GFR 15-30 cc/menit. Dialisis.

Tahap5: GFR <15 cc / menit, menurunnya secara signifikan fungsi ginjal, membutuhkan

perawatan dialisis kronis jangka panjang.

5.5.2.2 Etiologi dan Patogenesis

Perkembangan penyakit ginjal, memuncak di CRF, dalam rentang 30 hingga 40

bulan.Penyebab yang paling umum terjadi pada gagal ginjal diimpulkan pada Tabel 5.1. Pada

saat ini, diabetes dan hipertensi tercatat sebanyak 44.4% dan 26.6% dari total keseluruhan kasus

ESRD. Glomerulonefritis adalah urutan ketiga dari penyebab umum ESRD (12.2%

kasus).Nefritis interstitial, pyelonefritis, dan polikistik ginjal tercatat sebanyak 7.2%

kasus.Sisanya 9.6% penyebab umum ESRD merupakan systemic lupus erythematosus (SLE) dan

keadaan yang jarang terjadi seperti uropati obstruktif.

Tabel 5.1 Etiologi dan Stage Akhir Penyakit Ginjal

Usia, ras, jenis kelamin, dan riwayat keluarga telah diidentifikasi sebagai faktor resiko

untuk berkembangnya ESRD. Usia rata-rata pasien yang baru terdiagnosis dengan ESRD adalah

61.1 tahun, dan 53.1% dari pasien ESRD adalah pria. Orang bekulit putih, termasuk Hispanic,

-RINGKASAN OM 2009- 104

Page 105: Buku Saku Om

tercatat sebanyak 63.5% pasien ESRD; berkulit hitam sebanyak 28.7% pasien, dan keturunan

Asia sekitar 2.9%. Riwayat keluarga merupakan faktor resiko diabetes dan hipertensi, yang

keduanya sama-sama mempengaruhi ginjal dan yang kemudian dapat menimbulkan resiko pada

perkembangan ESRD.Bukti-bukti terbaru menggagas bahwa merokok merupakan faktor resiko

besar untuk ginjal, meningkatnya resiko neuropati dan melipatgandakan nilai perkembangan

sampai tingkat akhir penyakit.

5.5.2.2.1 Glomerulonefritis

Glomerulonefritis mewakili kelompok heterogen penyakit dengan berbagai etiologi

dan patogenesis yang menghasilkan fungsi ginjal yang tak dapat diperbaiki.Hal ini biasanya

terinisiasi oleh serangan streptococcal atau non streptococcal glomerulonefritis akut.

Glomerulonefritis juga dapat memasuki stase kronis sindrom nefritik. Contoh serupanya adalah

glomurulosklerosis segmental, glomerulonefrinitis membranus idiopatik, dan glomerulonefritis

membranoproliferatif.Pada kasus umumnya, pasien menunjukkan tanda-tanda CRF dan

hipertensi atau dengan kemungkinan adanya proteinuria yang berkembang pada nefritis kronik

dalam beberapa tahun.

Glomerulonefritis kronis biasanya berbahaya pada onset (awal). Perkembangan sangan

lambat tapi lama-kelamaan menjadi progresif, dan berakhir gagal ginjal dan uremia dalam waktu

30 tahun.Diketahui sebagai kelainan pada origin imunologis.

5.5.2.2.2 Sindrom Neuropatik

Sindrom neuropatik merupakan manifestasi klinis dari banyak lesi glomerular yang

menyebabkan berlebihnya ekskresi protein pada urin sebanyak lebih dari 3.5g per

hari.Disebabkan oleh banyak penyakit.Diagnosis perbandingannya luas tetapi meliputi anemia

sel sabit (sickle cell), DM, myeloma multiple, SLE, dan glomerulonefritis membranus.

5.5.2.2.3 Pyelonefritis

Pyelonefritis mengarah pada efek-efek infeksi bakterial pada ginjal, paling banyak

disebabkan Escherichia coli.Dapat juga muncul dengan keadaan akut dengan infeksi pyogenik

-RINGKASAN OM 2009- 105

Page 106: Buku Saku Om

aktif atau keadaan kronis menjadi manifestasi utama yang disebabkan oleh cedera ketika infeksi

mendahului.

Lesi apapun yang menimbulkan obstruksi dari traktus urinari dapat memaparkan

pasien kepada pyelonefritis aktif.Pyelonefritis juga dapat ditemui pada pasien dengan

endokarditis bakterial.

Gambaran klinis pyelonefritis akut sering berkaratketistik meliputi kenaikan tiba-tiba

suhu tubuh (38.9-40.6C), mengigil, sakit pada satu atau kedua area kostovertebral atau yang

mengapit, dan simptom inflamasi kantung kemih.Pasien dengan pyelonefritis aktif kronis

biasanya menderita dari beberapa tahap pyelonefritis akut atau memungkinkan memiliki infeksi

kecil persisten dengan hasil tahap-akhir kegagalan ginjal tahan kedua pada kerusakan dari bekas

luka parenkim ginjal.

5.5.2.2.4 Penyakit Ginjal Polisiklik

Penyakit ginjal polisiklik memerankan keturunan autosomal dominan.Pasien pada

umumnya menunjukkan terdapat hematuria mikroskopik atau berat (besar), nyeri perut atau

panggul, dan rekurensi infeksi taktus urinari. Penyakit ini disebabkan insufisiensi ginjal pada

50% individu pada usia 70 tahun. Secara klinis pasien ini memiliki ginjal yang dapat dipalpasi

besar, dan diagnosis dikofirmasi menggunakan ultrasonografi ginjal, CT, atau IVP.Sebagian

besar pasien mendapatkan hipertensi selama masa menderita penyakit tersebut.

5.5.2.2.5 Nefrosklerosis Hipertensif

Hubungan antara ginjal dan hipertensi telah dikenali, namun penyakit utamanya

biasanya tidak.Hipertensi bisa saja menjasi kelainan utama yang menyebabkan kerusakanginjal,

tetapi CRF yang parah dapat mengarah kepada hipertensi atau mengekal melalui perubahan

ekskresi sodium dan air dan/atau dalam sistem renin-angiotensin. Jantung, otak, mata, dan ginjal

meliputi 4 target organ utama hipertensi. Hipertensi yang lama (long-standing) menyebabkan

fibrosis dan sklerosis dari arteriol dalam organ dan ke seluruh tubuh.Penutupan progesif

arteridan arteriol menimbulkan atrofi tubula dan kerusakan glomerulus.

5.5.2.2.6 Kelainan Jaringan Ikat

-RINGKASAN OM 2009- 106

Page 107: Buku Saku Om

Penyakit ginjal sangat lazim pada pasien dengan kelainan jaringan ikat, dikenal

dengan penyakit vaskular kolagen.Sekitar dua per tiga pasien SLE dan skleroderma atau

progressive systemic sclerosis (PSS) memiliki bukti klinis keterlibatan ginjal. Tahap-akhir gagal

ginjal terjadi pada 25% pasien SLE.PSS dikarakteristikkan dengan sklerosis progresif kulit dan

ciscera, termasuk ginjal dan vaskularnya.

5.5.2.2.7 Kelainan Metabolik

Kelainan metabolik yang dapat menimbulkan CRF diantaranya DM, amilodosis,

sengal/encok, dan HPTH primer.DM merupakan penyebab paling utama dari CRFdan tercatat

sebanyak setengah dari pasien ESRD baru. Sekitar 50% [asien dengan DM tipe 1

mengembangkan ESRD dalam 15 sampai 25 thaun setelah onset diabetes, dibandingkan dengan

6% pasien dengan DM tipe 2. Glomerulosklerosis merupakan lesi yang paling terkarakteristik

dari neuropati diabetik. Lesi lainnya nefritis tubulointerstitial konis, nekrosis papilari, dan

ischema.

Neuropati diabetik ada dalam 5 tahan; tahap 1 adanya perubahan fungsional, tahap 2

berkembang pada perubahan struktural, tahap 3 neuropati insipien, tahap 4 neuropati diabetik

klinis, tahap 5 gagal ginjal progresif. Tahap-akhir terkarakteristik oleh azotemia menghasilkan

penurunan cepat pada GFR dan menghasilkan ESRD.

5.5.2.2.8 Neuropati Toksik

Ginjal terpapar oleh efek toksik dari zat kimia dan obat-obatan karena rute ekskresi

dari obat-obatan pada umumnya dan karena besarnya perfusi vaskular.

5.5.2.2.9 Manifestasi Penyakit Ginjal Sindrom Uremik

Dua kelompok dari simptom terdapat pada pasien dengan sindrom uremik: simptom

yang berhubungan dengan aturan berubahnya fungsi pengaturan dan ekskretoris (volume cairan,

abnormalitas elekrolit, ketidakseimbangan asam, akumulasi limbah nitrogenus, dan anemia) dan

sekelompok simptom klinis mempengaruhi kardiovaskular, gastrointestinal, hematologi, dan

sistem lainnya.

-RINGKASAN OM 2009- 107

Page 108: Buku Saku Om

Gangguan Biokimia

Asidosis metabolik merupakan gangguan biokimia yang dialami pasien dengan gagal

ginjal. Saat fungsi ginjal gagal, ekskresi ion hidrogen (H+) dikurangi, dan menjadi asidosis

sistemik dengan hasil plasma pH dan konsentrasi bikarbonat lebih rendah. Ekskresi amonium,

menurun karena massa nefron berkurang, adalah faktor penting kemampuan ginjal untuk

mengeliminasi hidrogen dan bikarbonat. Pasien ini menderita asidosis moderat.Simptomnya

adalah anoreksia, letargi, dan mual. Simptom Kussmaul’s breathing disebabkan asidosis.

Simptom Gastrointestinal

Simptom gastrointestinal , terutama esofagus, perut, duodenum, dan pankreas,

menunjukkan banyak simptom dengan kasus sindrom uremik. Yang paling sering adalah tanda-

tanda awal penyakit yaitu mual (nausea), muntah, dan anoreksia.Inflamasi gastrointestinal seperti

gastritis, duodenitis, dan esofagitis sering pada gagal ginjal dan dapat mempengaruhi seluruh

traktus gastrointestinal.

Tanda-tanda dan Simptom Neurologis

Beberapa tanda-tanda awal dan simptom pada CKD berhubungan dengan sistem

neurologis.Sistem nervus sentral dan periferal terlibat, dengan konsekuensi yang

beragam.Derajat gangguan serebral secara kasar paralel dengan derajat

azotemia.Elektroensefalogram pasien menjadi abnormal, dengan perubahan sepadandengan

ensalopati metabolik.Dengan penyakit yang semakin berkembang, asterixis dan sentakan

mioklonikmenjadi jelas; iritabilitas sistem nervus sentral dan kejang dapat terjadi.

Bersama hiperiritabilitas neurologis, neuropati periferal biasanya muncul sebagai hasil

gangguan mekanisme konduksi daripada kehilangan kuantatif dari fiber nervus.Keluhan pasien

yang utama adalah parastesia atau “burning feet”, yang dapat berkembang kepada otot yang

melemah, atrofi, dan paralisis.Efek-efek predominan ekstrimitas bawah tetapi dapat memberi

efek pada ekstremitas atas juga.Fasial, oral, dan regio perioral jarang terkena efek.Neuropati

uremik parah jarang dijumpai saat ini karena dialisis atau transplantasi biasanya dilakukan

sebelum simptom uremik diperpanjang atau semakin parah.

-RINGKASAN OM 2009- 108

Page 109: Buku Saku Om

Perawatan gagal ginjal dapat juga menimbulkan perkembangan abnormalitas neurologis

dalam bentuk disequilibrium dialisis, yang dapat ditemui ketika perawatan dialisis pertama atau

kedua dengan karakteristik sakit kepala, mual (nausea), dan iritabilitas yang dapat menimbulkan

kejang, koma, dan kematian.Hal ini jarang karena tindakan pencegahan sudah diambil pada saat

perawatan tahap awal dengan tidak mengurangi toksin uremik dari darah terlalu cepat.

Masalah Hematologis (Hematologic Problems)

Pasien dengan CKD (Chronic Kidney Disease) biasanya memiliki masalah hematologis,

kebanyakan pada umumnya adalah anemia dan meningkatnya pendarahan. Patogenesis dari

anemia tersebut dikarenakan beberapa faktor, yaitu defisiensi nutrisi, abnormalitas metabolisme

zat besi, dan sirkulasi toksin uremik yang menghambat erythropoiesis. Semua faktor ini memiliki

peranan masing-masing. Namun, faktor utama adalah ketidakmampuan ginjal untuk

menghasilkan erythropoietin, yang merangsang sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah

merah.Recombinant human erythropoietin (epoetin alfa) menghilangkan perlunya dilakukan

transfusi pada pasien. Dosis 50-150 U/Kg dari berat badan IV tiga kali seminggu menghasilkan

peningkatan hematokrit, yang disertai peningkatan hemoglobin, viskositas darah, dan masa sel

renal.

Pendarahan merupakan masalah penting dalam stadium akhir gagal ginjal, dan berkaitan

dengan bertambahnya aktivitas prostasiklin, bertambahnya kerapuhan kapiler, dan defisiensi

platelet faktor 3. Resiko pendarahan pada pasien dengan gagal ginjal dihasilkan dari kerusakan

platelet karena toksin uremik yang mengurangi daya lekat platelet. Kerusakan platelet ini dapat

diperbaiki dengan dialisis, namun dapat juga dengan cryoprecipitate atau l-deamino-8-d-

argininevasopressin(DDAVP).

Kalsium dan Gangguan Skeletal (Renal Osteodystrophy)

“Renal Osteodystrophy” atau RO mengacu pada perubahan skeletal yang dihasilkan dari

penyakit ginjal kronis dan disebabkan oleh ganguan metabolisme kalsium dan fosfor,

metabolisme vitamin D yang abnormal, dan meningkatnya aktivitas paratiroid. Pada gagal ginjal

stadium awal, absorpsi kalsium berkurang dikarenakan ginjal tidak dapat mengubah vitamin D

ke dalam bentuk aktif. Pada beberapa kasus, RO menjadi bertambah parah ketika hemodialisis,

-RINGKASAN OM 2009- 109

Page 110: Buku Saku Om

perubahan yang menjadi lebih cepat adalah remodeling tulang, osteomalasia, osteitis fibrosa

cystica, dan osteosklerosis. Sedangkan manifestasi metabolik RO pada rahang adalah

demineralisasi tulang, berkurangnya trabekula, tampilan “ground-glass”, hilangnya lamina dura,

lesi sel besar yang radiolusen, dan kalsifikasi jaringan lunak metastatik. Pasien osteodystrophy

biasa diberikan protein-restricted diets dan phosphate binders untuk menjaga serum fosfor pada

batas normal, suplemen vitamin D, dan medikasi untuk reseptor kalsium.

Manifestasi Kardiovaskular

Hipertensi dan gagal jantung kongestif merupakan manifestasi umum dari sindrom

uremik. Asosiasi dari sirkulasi yang berlebih dan hipertensi menyebabkan gangguan pada

keseimbangan sodium dan air sehingga meningkatkan prevalensi terjadinya gagal jantung

kongestif. Sebagai tambahan, retinopathy dan encephalopathy dapat terjadi karena hipertensi

yang parah.

Gejala Pernapasan

Pernapasan Kussmaul (pernapasan yang sangat dalam merupakan respon terhadap

metabolik asidosis) dapat terlihat disertai uremia. Komplikasi pernapasan lainnya, penumonitis

dan “uremic lung” merupakan hasil dari edema pulmonaris yang terkait dengan retensi cairan

dan sodium dan/atau gagal jantung kongestif.

Perubahan Immunologis

Morbiditas signifikan yang dialami oleh pasien dapat dikaitkan dengan perubahan

pertahanan tubuh mereka. Plasma uremik mengandung faktor nondialyzable yang dapat menekan

respon limfosit yang bermanifestasi pada tingkat selular dan humoral, seperti disfungsi

granulosit, imunitas sel perantara yang tertekan, dan berkurangnya kemampuan untuk

menghasilkan antibodi. Selain itu, lapisan mukokutan yang rusak atau terganggu dapat

menurunkan perlindungan terhadap patogen dari lingkungan. Gangguan tersebut menempatkan

pasien uremik pada kondisi dengan resiko tinggi terhadap infeksi, yang merupakan penyebab

umum dari morbiditas dan mortalitas.

-RINGKASAN OM 2009- 110

Page 111: Buku Saku Om

5.5.2.3 Manifestasi Oral

Adanya gangguan fungsi ginjal, berkurangnya GFR (Glomerular Filtration Rate),

akumulasi dan retensi dari berbagai senyawa yang dihasilkan dari gagal ginjal, rongga mulut

dapat menunjukkan berbagai perubahan sebagaimana tubuh berkembang dari keadaan azotemik

ke keadaan uremik (Tabel 5.2).

Tabel 5.2 Manifestasi dan Manifestasi Oral Penyakit Ginjal

Pada penelitian terhadap pasien ginjal, sampai 90% ditemukan memiliki gejala oral

uremia. Tanda-tanda yang dapat terlihat diantaranya adalah tercium bau dan pengecapan seperti

bau ammonia, stomatitis, gingivitis, berkurangnya aliran saliva, xerostomia, dan parotitis.

-RINGKASAN OM 2009- 111

Page 112: Buku Saku Om

Ketika gagal ginjal mulai terbentuk, gejala awal yang dapat ditemukan adalah pegecapan

dan bau mulut yang tidak sedap, khususnya di pagi hari, hal ini dikarenakan konsentrasi urea

yang tinggi pada saliva. Peningkatan secara akut dari tingkat BUN (Blood Urea Nitrogen) dapat

menyebabkan stomatitis uremik yang timbul dalam bentuk erythemopultaceous dengan

karakteristik mukosa yang merah dan dilapisi eksudat tebal dan pseudomembran atau dalam

bentuk ulseratif dengan karakteristik ulserasi frank dengan warna kemerahan dan lapisan

pultaceous. Temuan oral lain yang sering ditemukan adalah xerostomia, kemungkinan

disebabkan oleh kombinasi keterlibatan langsung dari kelenjar saliva, inflamasi kimiawi,

dehidrasi, dan mouth breathing (Kussmaul’s respiration). Pembengkakkan kelenjar saliva juga

biasa ditemukan.

Manifestasi oral lain dari gagal ginjal berhubungan dengan RO (Renal Osteodystrophy)

atau HPTH (hyperparathyroidism) sekunder. Tanda klasik dari RO pada mandibula dan maksila

adalah demineralisasi tulang, hilangnya trabekula, tampilan ground-glass, kehilangan total atau

sebagian dari lamina dura, lesi sel besar atau brown tumor, dan kalsifikasi metastatik (Gambar

5.1).

Gambar 5.1 Tampilan Radiografi Manifestasi Oral penyakit Ginjal

Meskipun tulang mengalami dekalsifikasi, gigi yang sudah terbentuk secara utuh tidak

akan terpengaruh secara langsung, akan tetapi karena adanya dekalsifikasi skeletal, gigi akan

terlihat lebih radioopak. Lesi radiolusen dari HPTH disebut “brown tumor” karena mengandung

area hemorage yang sudah lama dan tampak berwarna coklat pada pemeriksaan klinis.

-RINGKASAN OM 2009- 112

Page 113: Buku Saku Om

Manifestasi klinis lain dari RO yaitu kegoyangan gigi, maloklusi, dan kalsifikasi jaringan

lunak metastatik. Bertambahnya kegoyangan dan pergeseren gigi dengan adanya poket

periodontal patologis dapat terlihat, hal ini kemudian dapat menyebabkan terjadinya

maloklusi.Kalsifikasi metastatik dapat terjadi terutama ketika tanda multiplikasi kalsium-fosfat

(Ca x P) > 70. Bertambahnya senyawa ion kalsium-fosfat pada cairan ekstraseluler dapat

menyebabkan kalsifikasi metastatik karena pengendapan dari kristal kalsium-fosfat kedalam

jaringan lunak, seperti sklera, ujung mata, jaringan subkutan, otot skeletal dan jantung, dan

pembuluh darah. Hal ini juga dapat terjadi pada mulut dan jaringan lunak sekitar mulut.

Kalsifikasi ini dapat terlihat secara radiografis.

Hipoplasia enamel (pewarnaan keputihan atau kecoklatan) sering terlihat pada pasien

dengan gagal ginjal yang dimulai pada usia muda. Lokasi hipoplasia enamel pada gigi permanen

dapat menunjukkan onset dimulainya gagal ginjal mulai berkembang. Penggunaan kortikostreoid

yang berkepanjangan mungkin berkontribusi terhadap defisiensi ini (Gambar 5.1). Temuan

dental lain yang sering dijumpai adalah penyempitan dan kalsifikasi pulpa. Pada beberapa pasien

yang menjalani dialisis, erosi gigi yang parah sebagai hasil dari nausea dan vomiting setelah

menjalani perawatan dialisis dapat terlihat. Karena platelet berubah seiring terdapatnya gagal

ginjal dan dilakukannya perawatan dialisis, pendarahan gingiva sering kali menjadi keluhan

pasien. Perbaikan tulang yang abnormal setelah ekstraksi gigi, atau biasa disebut dengan istilah

“socket sclerosis” yang secara radiografi memiliki karakteristik kurangnya resorpsi lamina dura

dan dengan tulang sklerotik yang membatasi lamina dura, dapat ditemukan pada pasien dengan

gagal ginjal (Gambar 5.2).

Gambar 5.2 A. Hipoplasia Enamel B. Tulang Sklerotik

5.5.2.4 Penatalaksanaan Medis CRF (Chronic Renal Failure)

-RINGKASAN OM 2009- 113

Page 114: Buku Saku Om

Perawatan CRF terbagi dalam (1) terapi konservatif yang bertujuan untuk menunda

disfungsi ginjal yang progresif dan (2) terapi penggantian ginjal, dilakukan ketika tindakan

konservatif tidak lagi efektif dalam mempertahankan kelangsungan hidup.

Terapi Konservatif

Tindakan konservatif dilakukan ketika pasien menjadi azotemik. Terapi konservatif awal

diarahkan dengan mengatur diet, cairan, elektrolit, keseimbangan kalsium-fosfat dan menuju

pencegahan serta perawatan dari komplikasi. Modifikasi diet dimulai dengan onset dari gejala

uremik. Regulasi diet protein (20-40 g/hari) dapat memperbaiki asidosis, azotemia, dan nausea.

Pembatasan protein tak hanya mengurangi tingkat BUN, tetapi juga asupan potasium dan fosfat

serta pembentukan ion hidrogen. Selain itu juga, asupan rendah protein mengurangi beban

ekskresi dari ginjal, dengan demikian mengurangi hiperfiltrasi glomerular, tekanan

intraglomerular, dan cedera sekunder dari nefron. Pada pasien dengan insufisiensi ginjal awal,

pencegahan dari hiperfosfatemia dengan membatasi asupan makanan yang mengandung fosfat

dan mengkonsumsi suplemen diet yang mengandung kalsium karbonat (untuk mencegah

absorpsi intestinal) dapat secara potensial meminimalisir sekuel dari osteodistrofi uremik.

Untuk memperbaiki disfungsi ginjal, mengurangi komplikasi uremik, dan

mempersiapkan pasien untuk terapi penggantian ginjal, penyedia perawatan medis harus “take

care of the BEANS” sebagai berikut. Tekanan darah harus dijaga pada kisaran target lebih rendah

dari 130/80 mmHg, tingkat hemoglobin harus berada 10-12 g/dL dengan menggunakan agen

yang menstimulasi erythropoietin, hiperlipidemia dirawat menggunakan “statin” lipid-lowering

medication, menghentikan kebiasaan merokok. Akses untuk dialisis harus dibuat ketika serum

kreatinin mencapai >4.0 mg/dL atau GFR turun ke <20 mL/min. Keadaan ini juga merupakan

waktu yang sesuai untuk merujuk pasien untuk evaluasi transplantasi ginjal. Pemantauan ketat

dari keadaan nutrisi pasien penting untuk menghindari malnutrisi protein, memperbaiki asidosis

metabolik, mencegah dan mengobati hiperfosfatemia, pemberian suplemen vitamin, dan

mengarahkan untuk dimulainya terapi dialisis.

Terapi Penggantian Ginjal

-RINGKASAN OM 2009- 114

Page 115: Buku Saku Om

Tidak ada pedoman yang jelas untuk menentukan kapan terapi penggantian ginjal harus

dilakukan. Kebanyakan nephrologist mendasari keputusan mereka pada kemampuan individual

pasien untuk bekerja full-time, adanya neuropati perifer, dan adanya tanda-tanda lain dari

kerusakan klinis atau gejala uremik. Kebanyakan nephrologistakan memulai dialisis ketika GFR

<15 cc/min pada pasien diabetes dan <10 cc/min pada pasien non diabetes. Terdapat beberapa

indikasi klinis untuk memulai perawatan dialisis. Diantaranya adalah perikarditis, kelebihan

cairan atau pulmonary edema refractoryto diuretics, hipertensi akibat respon yang buruk dari

medikasi antihipertensif, ensefalopati atau neuropati uremik progresif, pendarahan klinis yang

terkait dengan uremia, dan nausea atau vomiting yang persisten. Terdapat dua teknik utama

dalam dialisis, yaitu hemodialisis dan peritoneal dialisis. Keduanya mengikuti prinsip dasar dari

difusi dari larutan dan air dari plasma ke larutan dialisis sebagai respon terhadap gradient

konsentrasi atau tekanan.

Hemodialisis

Hemodialisis adalah pembuangan nitrogen dan beracun produk metabolisme dari darah

dengan cara sistem hemodialyzer. Pertukaran terjadi antara plasma dan pasien dialisat

(komposisi elektrolit yang meniru cairan ekstraseluler) di membran semipermeabel yang

memungkinkan racun uremik untuk berdifusi keluar dari plasma sementara tetap

mempertahankan element dan protein pembentuk darah (Gambar 15-5). Dialisis tidak

memberikan derajat kesehatan yang sama dari Dalam fungsi dibadingkan ginjal normal, karena

tidak ada Kemampuan resorpsi pada membran dialisis; Oleh karena itu, nutrisi yang berharga

hilang, dan molekul yang berpotensi toksik tetap bertahan. Sistem dialisis biasa terdiri dari

dialyzer sebuah, unit produksi dialisat, roller pepompa darah, pompa infus heparin , dan berbagai

perangkat untuk memantau konduktivitas, temperatur,laju aliran, dan tekanan dialisat dan untuk

mendeteksi kebocoran darah dan tekanan arteri dan vena.

Terapi dialisis dapat diberikan kepada pasien rawat jalan dipusat dialisis, di mana

personil terlatih dalam pemberian terapi secara reguler atau dirumah, dimana anggota keluarga

telah diberi pelatihan cara dialysis untuk membantu pasien dalam melakukan terapi dialysis.

Hasil membuktikan baha pasien yang melakukan terapi dialisis dirumah memiliki psikologis

-RINGKASAN OM 2009- 115

Page 116: Buku Saku Om

yang lebih baik. Namun sayangnya dialisi dirumah tidak dapat diberikan pada semua pasien

karena lebih sulit dan membutuhkan motivasi yang kuat.

Frekuensi dan durasi perawatan dialisis adalah terkait dengan ukuran tubuh, fungsi ginjal

residual, asupan protein, dan toleransi terhadap pembuangan cairan. Pasien pada umumnya

melakukan hemodialisis tiga kali per minggu, dengan masing-masing sesi berlangsung sekitar 3

sampai 4 jam pada unit dialisis standar dan waktu yang lebih sedikit pada unit dialisis high

effeciency atau high-flux. Selama perawatan dan padawaktu yang bervariasi sesudahnya,

antikoagulan akan diberikan secara regional atau dengan cara sistemik. Akses vaskular pada

hemodialisis dapat dibuat dengan shunt atau sistem kanula eksternal atau oleh fistula

arteriovenosa; itu fistula lebih disukai untuk pengobatan jangka panjang Konstruksi klasik adalah

anastomosis sisi ke sisi antara arteri radial dan vena cephalic di lengan bawah. Pada pasien

dengan nadi yang sangat tipis, secara teknis tidak mungkin untuk membuat fistula arteriovenosa

secara langsung, dan pada beberapa pasien, fistula memiliki gumpalan di kedua lengan,

menyebabkan keharusan untuk membuat bentuk akses vascular lain (terkadang bagian paha

digunakan sebagai tempat yang baru). kemajuan besar dalam pembuatan akses dikenalkan

dengan cara cangkok arterivenous artifisial secara subkutan dimulai dengan Heterografts Gore-

Tex (WL Gore, Flagstaff, Ariz.). Pada saat ini Fistula dibentuk antara arteri dan vena dengan

menggunakan vena saphena, autografts, cangkok polytetrafluoroethylene (PTFE), Dacron, dan

saluran prostetik lainnya.

-RINGKASAN OM 2009- 116

Page 117: Buku Saku Om

Gambar 5.3 A. Dialysate, B. Dialysis unit, C. Pasien menerima perawatan dialysis, D. Akses

pada pasien

Hemodialysis dilakukan dengan kanul secara langsung dengan menggunakan graft atau

anastomosis vascular. (gambar 5.4). Terdapat peningkatan trend terhadap penggunaan kateter

vena central untuk peraatan hemodilisis.

Walaupun dilakukan dialysis optimal, pasien-pasien tersebut tetap sakit secara kronis

dengan permasalahan hematologis, metabolisme, neurologis, dan kardiovaskular yang dapat

dikatakan permanen. Alterasi pada pertumbuhan dapat terlihat pada pasien muda dengan

penyakit ginjal, terutama jika mereka melakukan hemodialysis secara rutin. Die suplemen dapat

mengalterasi tingkat pertumbuhan dan transplantasi ginjal yang sukses dapat mengembalikan

pertumbuhan secara normal. Faktor utama yang menentukan adalah usia tulang. Pada pasien

diatas 12 tahun sangat diragukan untuk mendapatkan pertumbuhan yang normal.

Gambar 5.4 Tempat akses vascular pada tangan

-RINGKASAN OM 2009- 117

Page 118: Buku Saku Om

Peritoneal dialysis

Dialisis peritoneal menyumbang hanya 10% dari perawatan dialisis. Selama dialisis

peritoneal, akses ke tubuh dicapai melalui kateter melalui dinding perut ke dalam peritoneum.

Satu sampai dua liter dialisat ditempatkan di peritoneal yang rongga dan diperbolehkan untuk

tetap berada disitu untuk beberapa intervalwaktu yang berbeda. Zat berdifusi melintasi

membrane peritoneal semipermeable menuju dialysate. Dibandingkan dengan membrane untuk

hemodialysis, membrane peritoneal memiliki permeabilitas yang lebih besar terhadap spesies

berat molekul yang tinggi. Kateter Tenckhoff silastic membuat lubang pada peritoneal setiap kali

akan dilakukan dialysis tidak diperlukan. Kateter Tenckhoff merupakan kateter intraperitoneal

permanen yang memiliki dua gelang polister yang masuk kedalam jaringan yang berkembang.

Jika digunakan dengan teknik yang steril, maka dapat digunakan sebagai akses ke peritoneum

yang dapat digunakan secara jangka panjang dan bebas infeksi (Gambar 15-7).

Beberapa regimen dapat digunakan dengan peritoneal dialysis. Salah satu adalah

ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), 2 L dari cairan dialysis dimasukkan kedalam kavitas

peritoneum selama 30 menit dan kemudian dikeluarkan. Hal ini dilakukan setiap 8-12 jam, 5-7

hari per minggu. Variasi yang popular adalah Continous cyclic peritoneal dialysis (CCPD),

dimana 2 L dialysate diganti setiap 6-8 jam, selama 7 hari seminggu.

Dua keuntungan dari peritoneal dialysis adalah heparinisasi tidak diperlukan dan tidak

ada resiko adanya emoli udara dan kebocoran darah. Hal ini juga memerikan kebebasan

personal, untuk alas an ini terapi peritoneal dialysis dapat digunakan sebagai terapi utama atau

terapi sementara. Beberapa kelebihan ini dan juga kemudahan dalam dialysis, menjadikan

peritoneal dialysis aman untuk pasien yang memiliki resiko apaila melakukan hemodialysis

( Umur muda, pasien tua, psien dengan resiko penyakit jantung dan cerebral vskular dan pasien

dengan kesulitan akses vaskular). Beberapa masalah yang muncul pada peritoneal dialysis adalah

rasa sakit, perdarahan intra abdominal, owel infraction, drainase yang kurang, dan peritonitis

(kurang lebih 70% dikarenakan bakteri gram positif yang terdapat pada kulit atau saluran

pernapasan pasien dan menginfeksi kavitas peritoneal).

Sekarang ini transplatasi ginjal merupakan perawatan pilihan pada pasien gagal ginja

irversible. Tetapi penggunaan transplatasi terbatas pada ketersediaan organ.

-RINGKASAN OM 2009- 118

Page 119: Buku Saku Om

A. B.

C.

Gambar 5.5 A. Dialysate untuk chronic ambulatory peritoneal dialysis, B. pasien yang menerima

terapi dialysis C. akses peritoneal

Pendekatan Lain Untuk Solute Removal

Banyak pasien terus memiliki berbagai gangguan dalam fungsi metabolisme meskipun

memiliki dialisis yang optimal, menjaga metabolit uremik (misalnya, urea, kreatinin, dan fosfat)

pada tingkat hampir normal. Observasi ini telah menyebabkan peneliti untuk menyatakan bahwa

racun uremik dari berat molekul antara urea (<500 D a) dan protein plasma (> 50.000 D a),

secara efektif tidak tersaring oleh dialisis, menjelaskan kelainan klinis. Teori ini, disebut

hipotesis molekul tengah, telah menyebabkan pengembangan dua teknik: hemofiltration (HF)

dan terapi penyerapan. Hemofiltration didasarkan p.ada prinsip konveksi dan didasarkan pada

fungsi fisiologis dari glomerulus. Dalam HF, teknik dialisis standar dimodifikasi oleh prediluting

darah yang berurutan dengan larutan elektrolit yang mirip dengan plasma dan kemudian

"ultrafiltering "di bawah tekanan hidrolik tinggi.

-RINGKASAN OM 2009- 119

Page 120: Buku Saku Om

Teknik ini lebih efisien daripada dialisis dalam menghilangkan zat terlarut dalam kisaran

molekul menengah dan hasil pada pasien yang merasa baik dan memiliki ketidakstabilan

hemodinamik. Teknik adaptif digunakan dengan perawatan dialisis atau untuk pasien dengan

fungsi ginjal residual yang signifikan (GFR dari 5 sampai 10 mL / menit) termasuk penggunaan

bahan penyerap untuk menghilangkan zat terlarut. Serapan ini dapat digunakan melalui tindakan

langsung pada aliran darah (hemoperfusion), melalui regenerasi dialisat (REDY sorbent

hemodialysis), atau tidak langsung, melalui pengenalan ke usus. Sistem Recirculating DialYsis

(REDY 2000, system REDY Sorbent), yang awalnya diproduksi oleh Organon Teknika dan

sekarang oleh Gambro Healthcare, Inc, berbeda dari biasa single-pass dialysis setelah melewati

dialyzer, cairan dialisat dibuat ulang oleh REDY , daripada dibuang, dengan melewati sorbent

cartridge.

Pertimbangan Kesehatan Gigi

Untuk keperluan manajemen gigi, pasien dengan penyakit ginjal dapat dikategorikan ke

dalam dua kelompok: pasien dengan ARF dan pasien dengan kemajuan gagal ginjal kronis atau

gagal ginjal stadium akhir yang sedang menjalani dialisis. Pertimbangan manajemen gigi untuk

pasien dengan penyakit ginjal.

Pasien ARF

ARF ini paling sering diamati pada orang dewasa muda yang sehat setelah cedera pada

tubulus ginjal sebagai akibat dari agen beracun, penyakit necrotizing glomerulus yang parah,

atau komplikasi dari operasi, termasuk perdarahan dan transfusi. Pasien dengan ARF tidak

disarankan untuk perawatan gigi elektif, dan beberapa pasien dengan ARF membutuhkan

lembaga terapi dialisis. Dalam kasus tersebut, perawatan gigi elektif harus ditunda sampai pasien

membuat pemulihan ginjal lengkap. Dialisis peritoneal umumnya tidak menimbulkan

kontraindikasi untuk perawatan gigi, kecuali pada saat infeksi peritoneal akut, ketika perawatan

elektif harus ditunda.

Pasien CRF dan ESRD

-RINGKASAN OM 2009- 120

Page 121: Buku Saku Om

Banyak pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki kesehatan mulut yang buruk. Hasil

studi menilai kebutuhan gigi pasien hemodialisis menunjukkan bahwa 64% dari pasien-pasien ini

membutuhkan perawatan gigi dan sebagian besar pasien ini tidak menyadari kemungkinan

komplikasi kelalaian gigi saat hemodialysis. Selain lebih umum alasan untuk tidak menerima

perawatan gigi rutin, pasien ini memiliki akses terbatas ke perawatan gigi karena banyak dokter

gigi umum enggan untuk mengobati pasien dengan penyakit sistemik yang berat. Sebagian besar

pusat dialisis merujuk pasien mereka pada dokter umum untuk dilakukan pengobatan, penting

bahwa dokter gigi umum lebih mengenal masalah manajemen masalah terkait dengan pasien

ESRD yang sedang menjalani dialisis.

Perdarahan yang berlebihan dan anemia adalah dua kondisi hematologi utama yang

paling sering mempengaruhi pasien dengan uremia dan gagal ginjal. Perdarahan pada pasien ini

cenderung dikaitkan dengan kombinasi cacat trombosit kualitatif dan kuantitatif, peningkatan

aktivitas prostasiklin, defek koagulasi intrinsik, dan kerapuhan kapiler. Kecenderungan

hemoragik ini dapat diperbesar dengan adanya uremia. Perdarahan di gingiva yang tidak biasa.

Ulserasi dan lesi purpural atau petekie dapat dicatat di seluruh mukosa mulut. Memar setelah

trauma umum terjadi, dan pembentukan hematoma harus diharapkan setelah alveolectomy atau

operasi periodontal. Tindakan hemostatik adaptif harus dipertimbangkan untuk pasien yang

berisiko. DDAVP (1-deamino-8-d-arginine vasopressin), analog sintetis dari vasopressin hormon

antidiuretik, telah terbukti efektif dalam pengelolaan jangka pendek perdarahan pada pasien

dengan gagal ginjal. Efek estrogen terkonjugasi, yang digunakan untuk hemostasis jangka

panjang, biasanya berlangsung sampai 2 minggu, dibandingkan dengan beberapa jam untuk

DDAVP. Asam traneksamat (agen antifibrinolytic) diberikan dalam bentuk obat kumur atau

direndam kasa secara signifikan mengurangi perdarahan operasi dan pasca operasi. Teknik bedah

teliti, penutupan primer, dan hemostatik lokal seperti kolagen microfibrillar dan selulosa

teroksidasi diregenerasi harus digunakan sebagai standar perawatan. Meskipun jarang, efusi

hemoragik ke dalam ruang sendi temporomandibular menyajikan sebagai nyeri dan

pembengkakan telah dilaporkan pada pasien yang menjalani dialisis dan terapi antikoagulan

sistemik.

Waktu perawatan gigi bagi pasien yang sedang menjalani dialisis telah lama menjadi

sumber diskusi dalam literatur. Sejak dialisis akan kembali hidrasi, elektrolit serum, urea

-RINGKASAN OM 2009- 121

Page 122: Buku Saku Om

nitrogen, dan kreatinin menuju tingkat normal, argumen telah dibuat untuk mengobati pasien

dalam pengaturan gigi pada hari perawatan dialisis. Argumen ini dimentahkan oleh fakta bahwa

pasien sering tidak merasa baik setelah menjalani dialisis dan bahwa mereka mengalami

heparinize. Idealnya, prosedur elektif gigi, serta ekstraksi dan operasi lainnya, harus dilakukan

pada hari-hari nondialysis sedini mungkin dari perawatan dialisis berikutnya. Pada titik ini, darah

bebas dari racun uremik, dan pasien cukup jauh dari dialisis untuk memberikan waktu yang

cukup setelah operasi untuk pembekuan sebelum siklus berikutnya dan eheparinization. Sangat

kecil kemungkinan bahwa pasien akan memiliki cacat pembekuan yang disebabkan disfungsi

platelet-uremia terkait, yang berkembang karena ditahan metabolit urea. Sebuah jumlah

trombosit dan darah lengkap adalah panduan penting bagi praktisi gigi berkaitan dengan

pengelolaan perdarahan kecenderungan dan kondisi anemia. Namun, karena pasien secara fisik

dan emosional kelelahan dan tidak merasa baik setelah perawatan dialisis, prosedur gigi elektif

harus dijadwalkan pada hari nondialysis, ketika pasien lebih mungkin untuk mentolerir

perawatan.

Selain melayani sebagai tempat potensial untuk infeksi, situs AV tidak boleh

membahayakan. Lengan dengan akses vaskular harus diidentifikasi dan dicatat pada grafik

pasien dengan instruksi untuk menghindari baik injeksi obat intramuskular dan IV ke lengan ,

dan situs akses sebaiknya tidak digunakan sebagai tempat penyuntikan. Aliran darah melalui

lengan tidak boleh terhambat dengan meminta pasien untuk mengambil posisi sempit atau

dengan menggunakan lengan untuk mengukur tekanan darah. Ketika situs akses terletak di kaki,

pasien harus menghindari duduk untuk waktu yang lama. Menghalangi vena drainase dengan

kompresi di pangkal paha atau di belakang lutut harus dihindari, terutama karena cenderung

terjadi biasanya ketika pasien dalam posisi duduk. Pasien tersebut harus diijinkan untuk berjalan-

jalan selama beberapa menit setiap jam selama prosedur gigi yang panjang.

Kerentanan terhadap infeksi merupakan masalah serius bagi pasien dengan uremia atau

ESRD yang menjalani hemodialysis. Pasien ini memiliki kerentanan terhadap infeksi bakteri

yang dihasilkan dari imunitas seluler sekunder terhadap efek racun uremik dikombinasikan

dengan kekurangan gizi dari diet protein. Penyakit mulut dan manipulasi gigi membuat bakteri

yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan pada pasien dengan gagal

ginjal yang sedang menjalani hemodialisis. Mayoritas infeksi septicemia telah dikaitkan dengan

-RINGKASAN OM 2009- 122

Page 123: Buku Saku Om

situs akses vaskular, tetapi penyakit mulut seperti penyakit periodontal, infeksi pulpa, dan

ulserasi mulut, bersama dengan perawatan gigi, dapat memberikan mikroorganisme dengan

akses yang mudah masuk ke sistem peredaran darah. Oleh karena itu, setiap upaya harus

dilakukan untuk menghilangkan potensi sumber infeksi. Kebersihan mulut, termasuk perawatan

yang baik di rumah, perawatan kesehatan mulut, dan penggunaan antijamur dan antimikroba,

yang rutin dapat mengurangi risiko infeksi dental.

Infeksi Endokarditis merupakan masalah serius pada pasien hemodialisis. Sepsis dan

bakteri endarteritis terjadi dari infeksi di lokasi masuk jarum oleh organisme. Infeksi

Endokarditis telah dilaporkan pada pasien dengan cangkok akses hemodialisis setelah menerima

perawatan gigi. Insiden infeksi endokarditis pada pasien yang menjalani hemodialisis adalah

2.7%. Pada pasien dengan riwayat infeksi akses vaskular, kejadian meningkat menjadi 9,0%.

Viridans Streptococcus menyumbang hampir sepertiga dari kasus infeksi endokarditis,

sedangkan organisme staphylococcal seperti Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus

aureus berperan untuk sebagian besar kasus. Penyebab endokarditis pada pasien ini masih bisa

diperdebatkan tetapi tampaknya berkaitan dengan kombinasi akses pembuluh darah dan patologi

intrinsik kardiovalvular. Penjahitan AV shunt atau graft sintetis (fistula) meningkatkan risiko

kolonisasi infeksi pada garis jahitan atau perbedaan permukaan antara intima arteri normal dan

prosthetic pseudointima. Daerah tersebut dapat memberikan nidus untuk bakteri intravaskular,

menyebabkan pertahanan dari bakteri (seperti salah satu yang dihasilkan dari manipulasi gigi),

dengan endarteritis berikutnya, embolisasi, dan infeksi. Sebuah periode kerentanan tinggi

terhadap infeksi biasanya terlihat dalam 3 bulan pertama setelah implantasi (risiko tertinggi

dalam 3 minggu pertama), setelah itu terjadi penurunan bertahap pada risiko. Pengurangan risiko

ini mungkin disebabkan oleh "efek isolasi" dari berkembangnya pseudointima dan

endothelialization.

Infeksi endokarditis biasanya mengenai pasien dengan riwayat katup jantung yang

abnormal namun dapat juga terjadi pada pasien hemodialisis tanpa menunjukan adanya

valvulopathy. Hal ini terjadi pada pasien uremia dan hemodialis karena ada hubungannya dengan

perubahan volume cairan yang berpengaruh pada aliran darah yang melewati jantung serta fungsi

jantung.

-RINGKASAN OM 2009- 123

Page 124: Buku Saku Om

Profilaksis harus diberikan dalam mencegah infeksi endokarditis dengan pemberian

antibiotik, bergantung pada jenis mikroorganisme yang ada. Antibiotik pilihan biasanya (1)

amoxicillin atau clindamycin, (2) antibiotik spektrum luas seperti oral clarithromycin atau IV

vancomycin apabila pasien hipersensitif terhadap penicillin atau clindamycin.

Biasanya pasien terekspos terhadap transfusi darah dalam jumlah yang banyak, maupun

perubahan yang dikarenakan oleh gagal ginjal mempunyai tingkat risiko lebih tinggi dalam

terkena hepatopic viral infection seperti hepatitis B dan C, HIV, serta tuberculosis.

Pasien yang sedang menjalani hemodialisis, biasanya menderita hipertensi, postdialisis

hipotensi, kongestive heart failure, dan pulmonary hipertensi. Dimana hipertensi dalam End

Stage Renal Disease (ESRD) dapat menunju pada atherosclerosis.

Tabel 5.2 Obat yang dibatasi atau dihindari saat merawat Pasien Dialysis.

-RINGKASAN OM 2009- 124

Page 125: Buku Saku Om

-RINGKASAN OM 2009- 125

Page 126: Buku Saku Om

BAB VI

DIABETES MELLITUS

Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik baik klinis dan genetik yang ditandai

dengan peningkatan gula darah (hiperglikemia) yang tidak normal dan kegagalan dalam mengatur

metabolisme karbohidrat, protein, dan lipid. gejala utama adalah hiperglikemia kronis yang diakibatkan

karena ketidakmampuan pankreas dalam mensekresi insulin atau resistensi aksi insulin oleh sel-sel tubuh,

atau keduanya. Hiperglikemia yang berkelanjutan dapat mempengaruhi hampir seluruh jaringan tubuh

dan berhubungan dengan komplikasisistem organ tubuh seperti mata, saraf, ginjal, dan pembuluh darah.

6.1 Epidemiologi

Prevalensi DM di dunia di tahun 2000 pada laki-laki dan perempuan sama, usia kurang dari sama

dengan 20 tahun sebesar 0,19%, di atas 20 tahun 8,6% di atas 20 tahun, dan 20,1% pada usia lebih dari 65

tahun. Di Amerika Serikat, 20,8 juta atau 7% penduduk memiliki DM, dimana 6,2 juta penduduk tidak

terdiagnosis. Pada tahun 2005, ditemukan 1,5 juta kasus DM baru dengan usia minimal 20 tahun.

Insidensi DM meningkat seiring bertambahnya usia dan prevalensi obesitas. Menurut data prevalensi

Amerika Serikat, rata-rata 60-70 dalam 1000 pasien menderita DM, dan 50% diantaranya tidak

terdiagnosa secara klinis (Greenberg, 2008).

6.2 Patofisiologi

Berhubungan dengan perubahan metabolisme karbohidrat dan aksi insulin. Setelah makan,

penguraian karbohidrat meningkatkan kadar gula darah. Keadaan hiperglikemi menstimulasi pelepasan

insulin oleh sel beta pankreas karena insulin dibutuhkan untuk dalam pintu masuknya glukosa. Insulin

berikatan pada reseptor spesifik selular dan memfasilitasi masuknya glukosa ke dalam sel, yang

menggunakan glukosa sebagai energi. Hasilnya adalah menurunya kadar glukosa dalam darah dan

akhirnya menyebabkan turunnya sekresi insulin. Jika ada perubahan produksi dan sekresi insulin karena

suatu penyakit, maka glukosa darah pun berubah. Sebaliknya, jika kadar insulin dalam darah berlebihan

akan mengakibatkan hipoglikemia. Setelah makan, kelebihan glukosa disimpan di hati dalam bentuk

glikogen sebagai cadangan. Jika energi dibutuhkan, glikogen akan diubah menjadi glukosa dengan proses

glikogenolisis, sehingga kadar glukosa darah meningkat. Glukosa juga diproduksi hati dari lemak dan

-RINGKASAN OM 2009- 126

Page 127: Buku Saku Om

protein (asam amino) melalui proses glukoneogenesis. Baik glikogenolisis dan glukoneogenesis dapat

meningkatkan kadar gula darah. Glikemia diatur oleh beberapa hormon seperti glukagon, katekolamin,

Growth Hormone (GH), hormon tiroid, dan glukokortikoid (Greenberg, 2008).

6.3 Klasifikasi

1) Tipe 1 (diabetes pada usia muda, insulin-dependent diabetes)

Karekteristik dari tipe ini adalah kerusakan autoimun idiopatik dari sel beta pankreas. Terdapat dua

subtipe, yaitu:

a. autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta

b. idiopatik tanpa bukti autoimun dan tidak diketahui sumbernya.

Karena pada DM tipe ini tidak dihasilkan insulin, maka bergantung pada terapi insulin. Berat badan

penderita biasanya normal atau kurus, sering terkena diabetik ketoasidosis. Hal ini terjadi karena tidak

adanya insulin yang dihasilkan pankreas membuat glukosa menumpuk dalam darah. Untuk mengimbangi

kebutuhan energi sel, lemak mengalami lipolisis melepaskan gliserol dan asam lemak, gliserol diubah

menjadi glukosa, sedangkan asam lemak diubah menjadi keton, mengakibatkan tingginya kadar keton

dalam darah dan menurunnya ion hidrogen (pH). akumulasi keton dalam tubuh menurunkan pH,

kehilangan cairan elektrolit, dehidrasi, dan perubahan sistem buffer bikarbonat. Diabetik ketoasidosis

yang tidak dirawat dapat mengakibatkan koma dan bahkan kematian.

2) Tipe 2 (diabetes pada usia dewasa, non-insulin-dependent diabetes)

Merupakan tipe DM yang paling banyak. Etiologinya bermacam-macam seperti, predileksi genetik,

usia, obesitas, dan kurang aktifitas. Biasanya penderita DM tipe ini memiliki berat badan yang berlebihan,

dan terdiagnosa saat dewasa. Pengaruh genetik pada DM tipe 2 juga sangat besar. Karakteristiknya (1)

resisten insulin periferal, (2) meningkatnya produksi glukosa oleh hati, (3) kerusakan sekret insulin.

Tingginya kadar gula darah juga meningkatkan kadar insulin dalam darah (hiperinsulinemia). Onset

berjalan lambat, berbeda dengan tipe 1, biasanya resisten terhadap diabetik ketoasidosis. DM tipe 2

membutuhkan terapi insulin, namun tidak bergantung sepenuhnya untuk mempertahankan hidup. Pasien

harus menjaga pola hidup dan makan yang baik.

-RINGKASAN OM 2009- 127

Page 128: Buku Saku Om

3) Diabetes tipe lain

Adanya kelainan genetik, kelainan pankreas, infeksi, luka pada pankreas, dan penyakit endokrin.

Penyakit genetik yang berkaitan dengan DM tipe ini seperti sindrom Turner, sindrom Down, sindrom

Kleinfelter, sindrom Wolfram, ataxia, Huntington’s chorea, Sindrom Prader-Willi, dll.

4) Gestational diabetes

Biasa terjadi pada kehamilan, namun berhenti setelah kelahiran. Seperti halnya DM tipe 2, DM

ini berkaitan dengan resistensi insulin. Sekitar 30-50% wanita yang pernah mengalami DM tipe ini

berkembang menjadi DM tipe 2 dalam kurun waktu 10 tahun.

Tabel 6.1 Klasifikasi Etiologi Diabetes Mellitus oleh American Diabetes Association (1997).

Klasifikasi Karakteristik

Tipe 1 Destruksi sel beta pankreas, defisiensi insulin absolute

Immune mediated

idiopatik

Tipe 2 Resistensi insulin dengan sedikit defisiensi insulin

Tipe Lain Kerusakan fungsi sel beta secara genetic

Kegagalan aksi insulin secara genetik

Penyakit kelenjar eksokrin pankreas

Penyakit kelenjar endokrin

Pengaruh obat-obatan

Infeksi

-RINGKASAN OM 2009- 128

Page 129: Buku Saku Om

Immune mediated lainnya

Sindrom lainnya yang berkaitan dengan diabetes

Gestational DM Berlangsung selama kehamilan

Tabel 6.2 Tanda dan Gejala Diabetes Mellitus

Gambaran Klinis DM tipe 1 DM tipe 2

Polidipsi ++ +

Poliuria ++ +

Polifagia ++ -

berkurang berat badan ++ +

Malaise ++ +

Nocturnal enuresis ++ -

Irritability ++ +

Mulut kering ++ +

Infeksi kulit kronis ++ +

Ketoasidosis ++ +

periodontitis ++ +

Perubahan penglihatan + ++

Pruritus + ++

Parestesi + ++

Impoten + ++

-RINGKASAN OM 2009- 129

Page 130: Buku Saku Om

Hipotensi + ++

Initially asymptomatic - ++

6.4 Presentasi klinis

DM tipe 1 onsetnya tiba-tiba, sementara DM tipe 2 terjadi bertahun-tahun dan tanpa gejala. Pasien

yang tidak terdiagnosis DM dapat memiliki beberapa gejala seperti hiperglikemia yang termasuk

polidipsia, polifagia, poliuria, dan manifestasi akut hiperglikemia. Keluhan yang dijumpai pada pasien ini

seperti turunnya berat badan, penyembuhan luka yang lama, penglihatan yang buram, perdarahan gingiva,

rentan terkena infeksi, dan biasanya lemah dan lesu.jika komplikasi terjadi pasien dapat mengeluhkan

melemahnya penglihatan, gejala neurologic seperti pusing, kesemutan, dan lesu, sakit pada dada, gejala

gastrointestinal, gejala gestourinari terutama tidak dapat menahan urin, dan kelemahan seksual.

6.5 Diagnosis dan Monitoring

Tabel 6.3 Kriteria Diagnosis DM*

Normal Glukosa puasa

terganggu

Diabetes

Melitus

Glukosa Puasa**

Glukosa plasma 2 jam setelah makan siang

OGTT*** (tidak direkomendasikan untuk

pemeriksaan klinis rutin)

<110

mg/dL

<140

mg/dL

110-126 mg/dL

140-200 mg/dL

≥ 126

mg/dL

≥ 200

mg/dL

Glukosa

plasma 2

jam ≥ 200

mg/dL

*Kriteria ini perlu dikonfirmasi dengan tes berulang di hari yang berbeda

-RINGKASAN OM 2009- 130

Page 131: Buku Saku Om

**Puasa = tidak ada asupan kalori selama 8 jam

***OGTT = Oral Glucose Tolerance Test dilakukan menggunakan 75 gr glukosa anhidrat

yang dilarutkan di air

6.6 Komplikasi

Tabel 6.4 Komplikasi Diabetes Melitus Pada Beberapa Organ

Lokasi Gambaran

Mata Retinopati, katarak, kebutaan

Ginjal Nepropati, gagal ginjal

Sistem saraf Sensori : peripheral neuropati, cranial neuropati

mempengaruhi sarafkranial III, IV, VI, VII

Otonom : gastroparesis; disfungsi dan perubahan ritme

jantung; gastrointestinal neuropati, kandung kemih lemah;

dan impoten

Mukosa mulut dan kulit Infeksi tak biasa, penyembuhan luka lambat

Periodontium Gingivitis dan penyakit periodontal

Sistem kardiovaskular Penyakit makrovaskular (percepatan aterosklerosis)

menyebabkan gangguan vascular peripheral, gangguan

arteri coroner, penyakit cerebrovaskular, ulseriskemik, dan

kaki bergangren

6.7 Manajemen

Tujuan perawatan utama DM adalah mencapai tingkat glukosa darah normal sedekat mungkin dan

mencegah komplikasi diabetes. Tujuan lain yaitu pertumbuhan dan perkembangan normal, berat badan

normal, pencegahan gejala / hiperglikemia berkelanjutan, pencegahan ketoasidosis dan non-ketoasidosis

-RINGKASAN OM 2009- 131

Page 132: Buku Saku Om

diabetes, dan deteksi segera dan perawatan komplikasi diabetis jangka panjang. Diet, olahraga, kontrol

berat badan, dan pengobatan adalah cara mencapai tujuan tersebut.

Pengobatan utama pada DM tipe 1 adalah insulin (pasien DM tipe 1 sangat bergantung pada insulin

untuk selamat). Pasien DM tipe 2 seringnya menggunakan pengobatan oral, walaupun banyak juga yang

menggunakan insulin untuk meningkatkan kontrol glikemik.

Tabel 6.5 Pengobatan untuk Manajemen DM

Jenis Agen Nama generic

Oral agent Sulfonylurea / generasipertama

Sulfonylurea / generasikedua

Meglitinides

Biguanides

Thiazolidinediones

A-glucosidase inhibitor

Chlorpropamide

Tolazamide

Tolbutamide

Acetohexamide

Glyburide

Glipizide

Glimeperide

Repaglinide

Nateglinide

Metformin

Rosiglitazone

Pioglitazone

Acarbose

Miglitol

Injeksi Amylin analogues Pramlintide

-RINGKASAN OM 2009- 132

Page 133: Buku Saku Om

Glucagon-like peptide-1 analoges

Exanatide

Tabel 6.6 Jenis-jenis Insulin

Tipe Klasifikasi Onset aktif

(jam)

Puncakaktif

(jam)

Durasiaktif

(jam)

Insulin glargine

Insulin determir

Ultralente

Lente

NPH

Regular

Lispro

Inhaled insulin

Lama

Lama

Lama

Sedang

Sedang

Pendek

Cepat

Cepat

2

2

6-10

3-4

2-4

0.5-1.0

0.25

0

Tidakadapuncak

Tidakadapuncak

12-16

4-12

4-10

2-3

0.5-1.5

2-0.4

20->24

6-24

20-30

16-20

14-18

4-12

<5

30-90 menit

NPH = Neutral Protamine Hagedorn

6.8 Manifestasi Oral Diabetes Mellitus

Kondisi mukosa oral pada penderita DM yaitu sensasi terbakar pada mulut, gangguan

penyembuhan luka, peningkatan insidensi infeksi candida (terutama kandidiasis akut pseudomembran

pada lidah, mukosa bukal dan gingiva). Xerostomia dan sialadenitis (biasanya pada kelenjar parotid)

dapat terjadi dan keduanya seringkali dikaitkan dengan kontrol glikemi yang buruk (Greenberg, 2008).

Obat-obatan pada pasien penderita DM seringkali menyebabkan penurunan fungsi salivasi.

Permukaan mukosa yang kering menyebabkan terjadinya ulserasi minor, sensasi terbakar pada mulut, dan

peningkatan pertumbuhan organisme fungal. Tingginya insidensi karies pada penderita DM dikaitkan

-RINGKASAN OM 2009- 133

Page 134: Buku Saku Om

dengan kondisi xerostomia, peningkatan level glukosa pada cairan sulkus gingiva dan peningkatan

akumulasi plak pada gigi. Penderita DM juga memiliki faktor resiko yang lebih tinggi terhadap gingivitis

dan periodontitis (Greenberg, 2008).

6.9 Penanganan Dental Penderita DM

Penanganan dental penderita DM tergantung pada tingkat glikemi, pola makan, kebersihan mulut

dan kebiasaan mengonsumsi alkohol dan tembakau. Sebagai contoh, penderita DM dengan kebersihan

mulut yang buruk, merokok dan mengonsumsi diet tinggi karbohidrat lebih beresiko mengalami karies

dan periodontitis. Pasien seperti ini akan merespon perawatan lebih lambat dibandingkan penderita DM

yang tidak disertai factor yang telah disebutkan (Greenberg, 2008).

Tingkat glikemi memiliki peran dalam respon terhadap bedah periodontal. Pasien dengan diabetes

tidak terkontrol akan beresiko lebih tinggi mengalami infeksi dentoalveolar, tidak terlalu merespon

perawatan periodontal dan rekurensi penyakit periodontal setelah dilakukan perawatan (Greenberg,

2008).

Indikasi pemberian antibiotik profilaksis apabila level Hba1c sangat tinggi (>11– 12%) dan terdapat

tanda infeksi bakteri intraoral yang rekuren (Greenberg, 2008).

Emergensi yang paling umum dialami penderita DM pada saat perawatan gigi yaitu hipoglikemia.

Tanda dan gejalanya adalah kebingungan, keringat berlebih, tremor, pusing dan takikardia. Hipoglikemia

yang parah dapat menyebabkan kejang dan hilang kesadaran. Karbohidrat yang dapat diserap secara oral

dan cepat dianjurkan untuk penanganan ini terutama apabila dokter gigi tidak terlatih dalam pemberian

glucagon atau dekstros secara intravena, intramuskular atau subkutan (Greenberg, 2008).

-RINGKASAN OM 2009- 134

Page 135: Buku Saku Om

-RINGKASAN OM 2009- 135

Page 136: Buku Saku Om

BAB VII

PENYAKIT ENDOKRIN

7.1 Kelainan Pituitari

Kelenjar pituitary ada di sela tursika terbagi menjadi dua secara anatomis,

fungsi, dan perkembangannya menjadi pituitary anterior/adenohypophysis dan posterior

pituitary/neurohypophysis.

Adenohypophysis seksresikan : GH, ACTH, TSH, FSH, LH, dan prolactin.

Neurohypophysis sekresikan : ADH dan oxytocin.

7.1.1 Manifestasi oral

Pasien dengan GH berlebih memiliki manifestasi :

1. Tampilan wajah kasar karna kulit yang tebal

2. Hidung besar

3. Bibir tebal

4. Makrosefali

5. Makrognatia

6. Mandibular prognati

7. Diastem generalisata

8. Anterior open bite dan maloklusi lain

9. Makroglosia

10. Hipertrofi jaringan faring dan laring sleep apneu

11. Taurodontia dan hipersementosis

Pasien dengan defisiensi GH memiliki manifestasi :

1. Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan tengkorak dan tulang wajah

2. Pembentukan gigi dan pertumbuhan tulang alveolar terhambat crowding dan

maloklusi

3. Keterlambatan erupsi gigi sulung dan formasi gigi pengganti

-RINGKASAN OM 2009- 136

Page 137: Buku Saku Om

7.1.2 Manajemen Dental

Keadaan umum pasien yang harus diperhatikan saat perawatan pada pasien GH

berlebih : hipertensi, kardiomegali, kecenderungan gagal jantung, dan DM tipe-2.

Pasien defisiensi GH sebaiknya menerima perawatan korektif maloklusi dental

dan skeletal.

Hindari pemberian glukokortikosteroid dosis tinggi.

7.2 Kelaianan Adrenal

Kelenjar adrenal dan hormonnya dibagi menjadi korteks yang menyekresikan

kortisol dan aldosterone serta medulla yang menyekresikan epinefrin dan non-epinefrin.

Kortisol tersekresi sebagai respon dari ACTH yang berfungsi menjaga tekanan

darah dan glukogenesis.

Aldosteron dikenal juga dengan hormone steroid berfungsi menjaga tekanan

darah dengan menambahkan jumlah volume intravascular.

Epinefrin atau adrenalin aktif sebagai efek dari aktifnya syaraf simpatis.

7.2.1 Manifestasi Oral

Hyperadrenocortism (cushings’s syndrome) memiliki manifestasi :

1. Moon face

2. Kapiler permukaan rentan --. Mudah hematoma

3. Kulit wajah berjerawat dan memiliki rambut wajah

4. Keterlambatan tumbuh kembang termasuk struktur dentoskeletal

5. Immunosupresi perhatikan penyakit oral yang dapa muncul karena

imunosupresi (candidiasis, herpes labial, herpes zoster, penyakit periodontal, dan

waktu penyembuhan luka yang lama).

Hypoadrenocortism (Addison’s disease) memiliki manifesasi :

1. Freckles dan tahi lalat pada wajah

2. Hiperpigmentasi pada mucocutaneous junction dan bias juga pada margin

gingiva, mukosa bukal, palatum, dan permukaan lingual lidah.

-RINGKASAN OM 2009- 137

Page 138: Buku Saku Om

7.2.2 Manajemen

Hyperadrenocorism mengobai lesi oral akibat imunosupresi.

Hypoadrenocortism terapi kortikosteroid dengan memperhatikan penyakit

oral yang muncul karena efek imunosupresi

7.3 Kelainan Tiroid

Kelenjar tiroid mennyekresikan 90% thyroxine (T4) dan 10% triiodothyronine

(T3). Manifestasi hypertiroid disebut protean, yaitu :

1. Merasa panas saat lingkungan dingin

2. Lapar dan makan sepanjang waktu tapi berat badan turun,

3. Rambut tipis,

4. Gelisah

5. Tremor

6. Takikardi

Penyebab terjadinya hipertiroid karena autoantibodi stimulasi TSH (Grave’s

disease) dan nodul yang menyekresian hormone tiroid (toxic nodule). Tampilan khas

dari hipertiroid adalah mata proptosis akibat deposisi glikosaminoglikan di otot orbital.

Terdapat edema periorbital dan kelenjar tiroid membesar dan teraba lunak.

Manifestasi hipotiroid berkebalikan dengan hipertiroid, yaitu :

1. Selalu lemah

2. Merasa dingin disaat yang lain merasa nyaman

3. Bertambah berat badan walaupun makan sedikit

4. Konstipasi

5. Bradikardi dengan reflex lambat

6. Penurunan mental dan depresi

7. Hypothermia

Penyebab terjadinya hipotiroid autoimun yang merusak kelenjar (Hashimoto’s

thyroiditis), hilangnya sel di pituitari yang memproduksi TSH, atau adenoma pituitary

yang menyebabkan hilangnya fungsi.

-RINGKASAN OM 2009- 138

Page 139: Buku Saku Om

7.3.1 Manifestasi Oral

Palpasi kelenjar tiroid pada saat pemeriksaan ekstraoral dilakukan sambil

menginstruksikan pasien menelan, biasanya lobul tiroid kanan lebih besar dari kiri dan

batas kelenjar dalam keadaan rileks sulit diraba. Pasien hipertiroid memiliki respon

nyeri dan kecemasan berlebih dibandingkan pasien normal. Pembesaran kelenjar tiroid

dapat mengangkat lidah dan menyebabkan sulit menelan. Pasien ini juga menjadi renan

terhadap karies dan penyakit periodontal.

Pasien hipotiroid diantaranya facial myxedema, makroglosia, kesehatan

periodontal yg compromised, erupsi gigi lambat, penyembuhan luka lambat, burning

mouth, perubahan pengecapan, dan suara parau. Hashimoto’s thyroiditis juga berkaitan

dengan xerostomia dan gangguan ekskresi saliva.

7.3.1.1 Manajemen Oral

Perawatan gigi pasien kelainan tiroid sebaiknya dibarengi dengan konsultsai

dokter yang menangani kelainan tiroidnya. Pasien hipertiroid kontraindikasi terhadap

pemberian epinfrin, aspirin, dan NSAID. Pasien hipotiroid biasanya memiliki kesehatan

oral yang buruk. Depresi ventilasi dan reflex lambat meningkatkan resiko aspirasi dental

material. Luka pada pasien hipotiroid sulit sembuh dan mungkin mengalami perdarahan

pasca perawatan lebih banyak daripada pasien normal.

7.4 Disfungsi Gonad dan Gonadal

7.4.1 Manifestasi Oral

Kehamilan : melisma bilateral pada wajah, permeabilitas kapiler meningkat

sehingga mudah terjadi gingivitis, gingival hyperplasia, dan pyogenic granuloma.

Menopause : penurunan laju dan komposisi saliva sehingga dapat memudahkan

terjadinya karies, glossodynia, dysgeusia, rasa seperti besi, dan oral candidiasis, gingiva

jadi atrofi, post ekstraksi resoropsi tulang alveolar akan lebih cepat.

7.4.2 Manajemen Dental

Perawatan gigi ibu hamil : hindari pada trisemester awal dan paruh akhir

trisemester ketiga. Perhatikan penggunaan obat-obatan.

Pasien menopause : pemeriksaan carotid atheroma dengan foto panoramic.

-RINGKASAN OM 2009- 139

Page 140: Buku Saku Om

7.4.3 Kelainan paratiroid

Empat kelenjar paratiroid mengeksresikan PTH yang bertanggung jawab

mengatur ion kalsium pada serum. Hiperparatiroidism menyebabkan hiperkalsemia, dan

dapat disebabkan oleh hiperparaatiroidism primer atau karena malignansi. Pasien

biasanya mengeluhkan nyeri tulang dan arthralgia dan dapat terjadi fraktur patologis.

Pada radiogragi Nampak “brown tumor”pada tulang.

Hipoparatiroid dapat diakibatkan oleh hipokalsemia karena pengangkatan

kelenjar pratiroid untuk mengobati hiperparatiroid, autoimun cell-mediated glandular

destruction, radiasi area leher, metastasis kanker, infeksi, defisiensi magnesium,

kerusakan paratiroid akibat logam berat (tembaga pada Wilson’s disease, besi pada

hemokromatosis). Kelenjar paratiroid bisa benar-benar tidak ada pada DiGeorge

syndrome. Hipokalsemia sendiri dapat terjadi karena defisiensi vit.D,

hiperphosphatemia, malabsorpsi kalsium, dan kegagalan ginjal kronis.

7.4.3.1 Manifestasi Oral

Osteoporosis generalisata dan “brown tumors” terlihat pada radiologi panoramik

pasien hiperparatiroidism.

Hypoparatiroidsim :iritabilitas saraf tepi dan otot, maksila dan mandibular padat

tapi nampak abnormal, oral mukakutaneous muncul pada hypoparatyroidism akibat

autoimun.bila hypoparatiroid terjadi saat perkembangan gigi maka dapat mempengaruhi

formasi dan erupsi gigi.

7.4.3.2 Manajemen Oral

Hiperparatiroidism : hindari fraktur mandibular iatrogenic.

Hipoparatiroid : karena pasien biasanya mengalami gangguan kardiovaskular

maka sebaiknya konsultasikan dengan dokter pasien sebelum tindakan, dental radiograf

periodic dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya perkembangan kista dentigerus

pada gigi impaksi.

-RINGKASAN OM 2009- 140

Page 141: Buku Saku Om

BAB VIII

INFECTIOUS DISEASES

8.1 INFEKSI BAKTERI

8.1.1 Gonorrhea

Gonorrhae adalah infeksi seksual menular, disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae,

ditularkan oleh aktivitas seksual, dan lesi terjadi di bagian genital, lubang anus, rongga

mulut, khususnya faring, dan kombinasi dari bagian-bagian ini. Faktor risiko utama

gonococcal pharingitis adalah seks orogenital. Penyakit ini disebabkan ikatan N.

gonorrhoeae ke genital atau muscosa oral dan penetrasi berikutnya ke jaringan yang lebih

dalam antara permukaan sel epitel. Penyebaran dapat terjadi oleh kontinuitas langsung, oleh

limfatik, atau hematogen. Secara lokal, ada reaksi inflamasi yang intens dengan produksi

nanah, secara mikroskopik terdapat banyak leukosit polimorfonuklear dengan intraseluler

diplococcic gram negatif. Pada laki-laki, penyakit ini ditandai dengan rasa gatal dan sensasi

terbakar di uretra dengan nyeri sedang sampai berat dan adanya debit kuning. Pada wanita,

uretra adalah situs utama infeksi awal, tapi presentasi kurang akut dibandingkan pada pria,

atau tanpa gejala.

8.1.1.2 Pertimbangan Oral

Mukosa mulut relatif tahan terhadap infeksi oleh N. gonorrhoeae, tapi gonorrheal

stomatitis terdiagnosa dengan meningkatnya meningkatnya aktifitas seksual, terutama pada

hubungan seksual sesama laki-laki. Tampilan klinis gonore oral bervariasi tergantung pada

tingkat keparahan dan distribusi infeksi. Pasien biasanya mengeluhkan sensasi terbakar atau

gatal atau rasa panas kering di mulut, yang dalam 24 hingga 48 jam berubah menjadi nyeri

akut. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa tidak enak pada mulut, aliran saliva yang

dapat meningkat atau menurun, napas berbau busuk, dan kelenjar getah bening

submandibular biasanya membesar dan sakit, demam mungkin terjadi jika infeksi parah.

Lesi ditemukan pada semua bagian dari mukosa mulut dan biasanya digambarkan

dengan campuran variabel dari tanda-tanda klinis berikut : peradangan, edema, vesikula,

-RINGKASAN OM 2009- 141

Page 142: Buku Saku Om

ulserasi, dan pseudomembranes. warna putih, kuning, atau abu-abu; mudah dihapus; dan

meninggalkan permukaan berdarah. Pada beberapa pasien, stomatitis dengan rasa sakit

difus di mana semua membran mulut menjadi merah dan edema. Bicara, menelan, dan

gerakan mulut sederhana menjadi sangat menyakitkan. Daerah infeksi primer yang telah

dilaporkan yaitu gingiva, lidah, mukosa bukal, palatum keras dan lunak, dan orofaring.

Amandel dan orofaring menjadi daerah yang paling umum dari infeksi oral.

Tampilan klinisnya bervariasi, dari asimtomatis sampai pasien dengan tonsillitis

akut. Infeksi genital dan mulut yang simultan, atau lesi oral yang terjadi kemudian

membuat sulit dalam klasifikasi kasus. Oropharyngeal gonorrhoea lebih resisten terhadap

antibiotik dibandingkan infeksi genital, dan terapi untuk infeksi genital mengakibatkan

tersisanya organisme di oropharing dan menyebabkan terjadinya rekurensi penyakit

simptomatk beberapa bulan kemudian. Infeksi primer pada mulut dapat menyebabkan

penyebarluasan lesi. Infeksi sekunder pada parotid jarang terjadi tapi dapat terjadi pada

pasien dengan oral gonorrhae.

Gonococcal arthritis merupakan salah satu lanjutan infeksi urogenital yang umum

terjadi. Simptom klis gonococcal arthristis yatu demam dengan inset yang cepat,

polyarthritis, dan inflamasi dan pembengkakan sendi; cairan mengandung

polymorphonuclear leukosit dan diplokokus gram negative dalam jumlah besar. Pada tmj,

manifestasi local termasuk trismus akibat spasme pada otot maseter dan inflamasi dan

edema di sekitar sendi.

8.1.1.3 Diagnosis dan Manajemen

Satu-satunya cara dalam mendiagnosis gonorrheal stomatitis dengan pengecekan

lab. Adanya intracellular diplococcic gram negatif pada olesan lesi yang dicurigai perlu

diinvestigasi lebih lanjut. Spesimen biasanya diinokulasi ke kultur martinlewis medium dan

Gonococci secara mayoritas lebih resisten terhadap obat b-lactam; maka pilihannya ada B-

lactamase stabil, generasi tiga cephalosporin. Dari semua agen yang digunakan untuk

menyembuhkan penyakit gonococcalm hanya cephalosporin (cefexime) atau ciprofloxacin

yang ampuh, namun kerentanan terhadap antibiotic ini pun timbul. Pencegahan gonorrhoea

memerlukan edukasi kesehatan mengenai berhubungan yang sehat

-RINGKASAN OM 2009- 142

Page 143: Buku Saku Om

8.1.2 Tuberkulosis

8.1.2.1 Epidemiologi

Sepertiga populasi dunia terinfeksi tuberculosis dan merupakan penyakit infeksius

kedua yang paling banyak menyebabkan kematian. WHO memprediksi sekitar 8 juta orang

memiliki tuberculosis aktif dan 2 juta orang meninggal setiap tahunnya. Transmisi potensial

tuberculosis melalui rute respiratori sangat tinggi. Latar beakang etnis menjadi faktor resiko

yang kuat. Orang dengan sindrom aids juga memiliki resiko signifikan memiliki TB aktif

setelah terpapar. Kemiskinan, penggunaan obat-obatan injeksi, pecandu alcohol, dan

tunawisma berkontribusi dalam penyebaran TB. Orang yang tidak menyelesaikan

perawatan TB menyebabkan infeksi terjadi lebih lama dan memungkinan untuk terjadi

resistensi pada pengobatan.

8.1.2.2 Diagnosis

Diagnosis dimulai dengan melakukan tuberculin skin test pada lengan dengan

purified protein derivate (PPDP, antigen mycobacterial. Bila terdapat bilur merah dalam 72

jam, pasien kemungkinan telah terekspos mycobacterium tuberculosis. Tanda dan symptom

dievaluasi untuk melihat penyakit aktif, termasuk batuk produktif, demam, menggigil atau

berkeringat di malam hari. Radiografi dada dilakukan untuk melihat keterlibatan

pulomonari. Tes terakhir, acid-fast bacillus test, dengan mengumpulkan sputum pasien

untuk melihat organ yang terinfeksi.

8.1.2.3 Patogenesis

TB disebabkan oleh acid and alcohol fast bacillus M, tuberculosis. Organisme ini

menyebar dengan transmisi udara dan berkembang pada alveoli pulomonari dan makrophag

dengan respon inflamasi local. Pada kebanyakan kasus, t helper cell mengaktifasi

makrophag melalui sekresi sitokin dan gamma-interferon, dan infeksi disupresi secara

permanen atau tetap laten untuk diaktifkan ulang nulan atau tahun berikutnya. Simptom

yang paling sering pada infeksi aktif yaitu batuk, demam sedang, berkeringat di malam

hari, kelelahan,selera makan berkurang dan berat badan turun. TB dapat menyebar ke

-RINGKASAN OM 2009- 143

Page 144: Buku Saku Om

bagian tubuh lain melalui limfe dan sistem peredaran darah. TB infeksi darah dan

meningeal merupakan bentuk serius dari TB dan memiliki tigkat kematian yang tinggi.

8.1.2.4 Manajemen Medis

Pada kebanyakan pasien TB dapat disembuhkan, tapi penyelesaian regimen obat

sangat dibutuhkan untuk menghindari aktivasi kembali penyakit tersebut. Terapi biasanya

dilakukan selama 6 sampai 9 bulan dengan berbagai regimen obat. Bila pasien gagal pada

terapi awal, dapat terjadi resistensi terhadap beberapa obat TB.

Terdapat vaksin untuk TB: Bacilli Calmette-Guerin (BCG), yang dibuat dari

Mycobacterium bovis hidup yang dilemahkan. Pada negara diaman TB sering terjadi,

vaksin diberikan pada anak dengan kemanjuaran 60-80%. Tapi vaksin tidak terlalu efektif

pada orang dewasa.

8.1.2.5 Pertimbangan oral

Manifestasi oral dapat terjadi sekitar 3% pasien dengan long-term systemic TB. Lesi

terjadi pada jaringan oral dan limph node. Resiko praktisi dental terkena TB dari pasien

sangan rendah. Tetapi praktisi dental termasuk pada golongan yang beresiko tinggi dalam

list. Pasien dengan TB aktif akan diisolasi dan perawatan dental harus ditunda sampai

pasien sudah tidak lagi infeksius. Pasien tidak lagi dianggap infeksius setelah dua kali

kultur sputum negative berturut-turut atau telah melakukan perawatan TV kurang lebih 2

minggu.

8.1.3 Leprosy

Leprosy merupakan penyakit multisistemik kronis yang disebabkan oleh

Mycobacterium leprae, dimana penampakan klinikopatologisnya ditentukan oleh interaksi

kompleks antara organisme yang menginvasi dan status imunitas individu.

Infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae masih menjadi endemik di

negara-negara tropis. Infeksi lepra/kusta ada beberapa jenis karakteristik menurut lesi yang

timbul, yaitu tuberculoid, lepromatous, dan borderline atau reactional, biasanya lesi

muncul pada kulit dan ekstremitas. Tuberkuloid lepra secara klinis tampak lesi makular

-RINGKASAN OM 2009- 144

Page 145: Buku Saku Om

pada kulit, yang jika diperiksa secara biopsi akan ditemukan granuloma tuberkuloid

subepidermal yang mengandung sejumlah kecil bakteri basil asam. Pasien dengan

tuberkuloid lepra memiliki reaksi hipersensitivitas yang menurun (disebut reaksi Fernandez

atau Mitsuda) terhadap injeksi intradermal ekstrak organisme (tes lepromin) dan dianggap

tidak infeksius. Pasien dengan lepromatosa lepra tidak menunjukkan penurunan imunitas

terhadap organisme, namun terdapat massa granulomatosa multipel (lepromas) yang

muncul pada wajah, hidung, dan telinga (leonine facies) dan kulit di atas pergelangan

tangan, siku, lutut dan pantat. Jaringan saraf perifer juga terlibat dengan nodul lepromatosa

dan tampaknya patch yang tidak dipengaruhi yang terdapat pada kulit seringkali menjadi

hypoanestesi atau anestesi. Secara histologis, lepromas terdiri dari sel-sel agregat berbuih

penuh lemak (sel lepra) dengan adanya sekelompok bakteri basil asam dan hanya sedikit

respon sel T yang menunjukkan sifat tuberkuloid granuloma. Pasien dengan lepromatosa

lepra yang infeksius (menular) biasanya memiliki penyakit progresif yang memerlukan

perawatan antimikobakterial. Borderline atau reactional lepra menunjukkan tingkat

intermediat antara tipe tuberkuloid dan lepromatosa.

Literatur yang membahas tentang tuberkuloid lepra tidak terlalu banyak.

Lepromatosa nodul pada lidah, palatum, bibir, dan faring seringkali muncul dengan

penampakan kuning kemerahan atau sessile coklat atau nodul mukosa pedunculated, dan

lesi destruktif pada palatum dan tulang nasal dapat memicu pada deformitas. Lesi oral

dilaporkan 20-60% pada pasien dengan Hansen’s disease, mayoritas pasien dengan

penyakit ini menderita lepromatosa nodul.

8.1.4 Syphilis

Sifilis memiliki beberapa keterlibatan yang amat penting untuk tim dokter gigi.

Pertama, sifilis dapat terlihat dalam manifestasi oral, tingkat pertama dan kedua amat

sangat menular. Kedua, penyakit ini dapat ditransmisikan dengan kontak langsung dengan

lesi oral, saliva, dan darah. Ketiga, penyakit yang ditularkan melalui kontak seksual

(misalnya gonorrhea) dapat muncul pada pasien dengan sifilis dan risiko infeksi HIV

menjadi lebih besar. Karena itu, tim dokter gigi memegang peran penting dalam

-RINGKASAN OM 2009- 145

Page 146: Buku Saku Om

menegakkan diagnosa yang benar dan dini dan dapat memberikan perawatan yang tepat

pada pasien.

Penampakan klinis pada pasien dengan sifilis diantaranya chancre, ulser berbentuk

snail-track, dan formasi gumma. Chancre pada umumnya ulser indurasi asimptomatik

dengan adanya krusta coklat yang biasa terdapat pada bibir, mukosa oral, lidah, palatum,

dan dinding faring posterior. Sifilis sekunder memiliki ciri ulser mukosa yang sangat

infeksius dengan penampakan lesi putih yang dikelilingi dasar yang eritem. Ulser yang

tampak jelas umumnya ada pada sifilis tersier sebagai akibat dari destruksi gumma. Ulser

ini biasanya ada pada palatum dan lidah.

Diagnosa banding harus memasukkan herpetic cold sores, deep-seated fungal

infections, mycobacteria-associated ulcer, malignant ulcer, dan trauma. Diagnosa definitif

dibuat dengan mikroskop dark-field yang membuktikan agen penyebabnya yaitu

Treponema pallidum. Perawatan yang diberikan adalah perawatan antibiotik sistemik yang

tepat.

8.2 INFEKSI JAMUR

Infeksi candida merupakan penyakit jamur yang paling sering terjadi pada rongga

mulut. Candidiasis disebabkan Candida albicans. Manifestasi oral terdapat lesi putih pada

mulut, lidah, atau pipi pasien. Lesi putih ini akan berdarah walaupun hanya terkena

gosokan ringan. Dijelaskan lebih detail pada bab 4 “lesi merah dan lesi putih pada mukosa

rongga mulut”.

8.2.1 Aspergillosis

Aspergillosis:

- infeksi mikotik oportunistik yang paling sering terjadi setelah candidiasis

- frekuensi ke-2, infeksi jamur orofacial yang paling sering terjadi pada pasien yang

menerima kemoterapi kanker

Aspergillosis disebabkan jamur Aspergillus. Patogen yang paling umum Aspergillus

fumigatus. Infeksi pada manusia juga bisa disebabkan oleh Aspergillus flavus, Aspergillus

glaucis, Aspergillus terrus, dan Aspergillus niger. Aspergillus dapat menunjukkan tiga

-RINGKASAN OM 2009- 146

Page 147: Buku Saku Om

tampilan klinis: (1) saprophytic – infeksi superfisial tanpa invasi; (2) alergi – reaksi

hipersensitivitas; dan (3) invasif – infeksi ke dalam jaringan.

Aspergillosis umumnya melalui inhalasi spora, yang menginfeksi ke kedua saluran

pernapasan atas dan bawah – bronkopulmonalis aspergillosis. Jamur ini umumnya

ditemukan pada daun-daun kering, biji-bijian atau tumbuh-tumbuhan yang membusuk.

Spora yang resisten lepas di udara kemudian dihirup oleh manusia sehingga masuk ke

dalam tubuh kemudian menginfeksinya.

Infeksi dapat menyebar ke otak, tulang, atau jantung. Sinus paranasal, laring, mata,

telinga, dan rongga mulut mungkin terlibat dalam aspergillosis primer. Penularan

aspergillosis dari manusia ke manusia potensinya rendah.

8.2.1.1 Manifestasi Oral

Orofacial Aspergillosis dapat mempengaruhi sinus paranasal, rongga hidung,

mukosa mulut, dan struktur dasar kulit wajah. Terjadi pada individu immunocompromised

terutama setelah ekstraksi gigi atau perawatan endodontik. Pada umumnya lesi berwarna

kuning atau warna hitam, dengan dasar ulserasi nekrotik, biasanya terletak pada palatum

atau posterior lidah.

8.2.1.2 Diagnosis dan Manajemen

Diagnosis pembanding utama adalah dari Mucor dan infeksi mulut Pseudomonas.

Erosi tulang dapat lebih mudah dideteksi oleh nuclear magnetic resonance atau computed

tomography, dan diagnosis dapat dikonfirmasi oleh periodic acid Schiff. Amphotericin B

sistemik merupakan pilihan antimikotik jika infeksi superfisial tidak ada perubahan dalam

waktu 72 jam dari terapi ketoconazole atau clotrimazole.

8.2.2 Blastomycosis

Blastomycosis disebabkan oleh Blastomyces dermatitidis, paling sering ditemukan

di Amerika utara. B.dermatitidis adalah jamur yang tumbuh di tanah, ditemukan dekat

dengan air dan kotoran hewan. Beberapa sumber nenyebutkan penyebaran penyakit adalah

kegiatan outdoor (seperti memancing). Biasanya ditemukan pada pasien

-RINGKASAN OM 2009- 147

Page 148: Buku Saku Om

imunocompromised dan keadaan umumnya lebih berat. Blastomycosis menginfeksi melalui

inhalasi. B.Dermatitidis adalah jamur yang tumbuh di tanah. Infeksi muncul setelah tanah

mengalami pemanasan dalam beberapa hari.

Sebagian besar kasus blastomycosis merupakan asimtomatik atau menghasilkan

gejala yang ringan, pasien yang mengalami simptom biasanya memiliki keluhan pada

pulmonya. Blastomycosis akut menyerupai pneumonia dengan gejala demam tinggi, nyeri

pada dada, berkeringat pada malam hari, dan batuk yang disertai sputum mukopurilen.

8.2.2.1 Manifestasi oral

Blastomycosis oral jarang dan dapat berbentuk ulserasi single atau multiple, lesi

granulomatosa atau verrucous. Lesi ini mungkin beraturan, eritema atau permukaan utuh

putih, atau muncul sebagai ulcer yang tidak beraturan dengan tingkat rasa nyeri yang

berbeda-beda. Secara klinis, dikarenakan lesi menyerupai karsinoma sel skuamosa, biopsi

dan pemeriksaan histopatologi diperlukan dalam kasus ini.

8.2.2.2 Diagnosis dan manajemen

Diagnosis berdasarkan pemeriksaan biopsi, smear, atau kultur. Amphotericin B,

ketoconazole, miconazole, dan itraconazole semuanya efektif.

8.2.3 Coccidioidomycosis

Kondisi ini sering ditemukan di Amerika Serikat bagian selatan dan barat, Mexico,

Amerika tengah, dan beberapa bagian di Amerika Selatan. Penyakit ini disebabkan oleh

Coccidioides immitis yang ditemukan pada tanah. Penyakit ini muncul dengan cara

ditularkan pada manusia dan hewan melalui inhalasi dari debu yang dikontaminasi oleh

spora organisme penyebab. Penyakit ini biasanya penyakit pulmo akut dan demam, kadang-

kadang disertai eritema nodosum atau eritema multiforme. Penyebaran coccidioidomycosis

terjadi pada wanita hamil, buruh imigran, dan pasien immunocompromised.

-RINGKASAN OM 2009- 148

Page 149: Buku Saku Om

8.2.3.1 Manifestasi Oral

Lesi oral jarang dan bermanifestasi menjadi lesi verrucous dengan infeksi yang

mendasari pada rahang. Lesi pada rongga mulut dan kulit berkembang menjadi granuloma

dan ulkus yang tidak dapat digambarkan secara jelas pada gejala klinisnya.

8.2.3.2 Diagnosis dan Manajemen

Diagnosis berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan penunjang dari histologi.

Tes kulit coccidioidin dapat membantu. Manajemen dengan amphotericin B sistemik, jika

perlu dilengkapi dengan azole.

8.2.4 Kriptokokosis

Kriptokokosis adalah penyakit jamur kronis yang melibatkan paru-paru, system

saraf pusat, dan, kadang- kadang, kulit dan mulut. Penyebabnya adalah, Cryptococcus

neoformans, adalah kotoran burung.

Penyakit subklinis paru yang dapat berjalan menjadi cepat, yang melibatkan system

saraf pusat, kulit, membrane mukosa, tulang, dan berbagai jaringan lainnya, seperti kulit,

lesi kulit pada wajah, kulit kepala, dan leher.

8.2.4.1 Gambaran Klinis

Seperti papula, pustule Acneiform, abses, ulser, granuloma superfisial, atau pada

saluran sinus. Kriptokokosis tidak mungkin ditularkan dari manusia ke manusia kecuali

pasien lemah di rumah sakit yang dapat memperoleh penyakit nosokomial, melalui jalan

paru.

8.2.4.2 Manifestasi Oral

Lesi oral pada gingiva, palatum lunak dan keras, faring, mukosa mulut, tonsil dan

soket gigi setelah ekstraksi. Lesi telah banyak digambarkan sebagai nodul dari jaringan

granulasi, bengkak, atau ulser. Sebagian besar kasus yang dilaporkan kriptokokosis oral

pada orang yang terinfeksi HIV.

-RINGKASAN OM 2009- 149

Page 150: Buku Saku Om

8.2.4.3 Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakan setelah pemeriksaan mikroskopik. Kultur dan uji serum

atau cairan serebrospinal untuk antigen kapsuler. Amfoterisin B sistemik adalah obat

pilihan dan dapat dilengkapi dengan flusitosin.

8.2.5 Fusariosis

Spesies Fusariosis pernah dianggap tidak berbahaya, saprophytic, jamur hidup di

dalam tanah. Namun, sekarang muncul sebagai pathogen karena tingginya prevalensi

penyakit di masyarakat. Fusariosis adalah penyakit yang tidak mungkin ditularkan dari

manusia ke manusia.

8.2.5.1 Manifestasi Oral

Infeksi Fusariosis pada manusia dapat terlihat local, focally invasif, atau biasanya

hadir sebagai lesi sekunder, berwarna hitam, ulkus nekrotik yang terjadi terutama pada

langit- langit mulut.

Sebagai lesi ini mirip dengan aspergillosis dan mucormycosis, diagnosis definitive

harus dibuat oleh histology dan teknik cultur.

8.2.5.2 Diagnosis dan Manajemen

Manajemen tergantung pada derajat invasi dan status pasien. Infeksi dapat dikelola

oleh ketoconazole atau vorikonazol diberikan untuk waktu yang lama.

8.2.6 Geotrichosis

Geotrichosis candida biasanya saprophytic tapi kadang- kadang menyebabkan

infeksi oportunistik pada manusia. Jamur ini telah diisolasi dari kulit, sputum dan feses dan

dalam saluran pencernaan dari beberapa individu. Infeksi dalam bronkus, paru-paru, mulut,

dan usus. Geotrichosis bronchial adalah bentuk paling umum dikenal dan ditandai oleh

batuk terus- menerus, produksi sputum agar-agar, dan tidak adanya demam. Infeksi

disebarluaskan pada pasien lemah atau mereka yang menerima obat imunosupresif.

Geotrichosis tidak dapat ditularkan dari manusia ke manusia.

-RINGKASAN OM 2009- 150

Page 151: Buku Saku Om

8.2.6.1 Manifestasi Oral

Lesi oral geotrichosis bias dibedakan secara klinis dari kandidiasis pseudomembran

akut (trush), insidensinya rendah telah dan dilaporkan penyakit ini mungkin karena salah

diagnosa. Laporan lain menunjukkan bahwa penampilan klinis edema gingiva dan

eritematosa dan ulserasi.

8.2.6.2 Diagnosis dan Manajemen

Diagnosis dikonfirmasi oleh pemeriksaan histology dan kultur. Nistatin mungkin

efektif untuk lesi oral lokal, di mana infeksi sistemik merespon dengan baik terhadap terapi

itrakonazol.

8.2.7 Histoplasmosis

Histoplasmosis capsulatum, jamur dimorfik, adalah endemik di lembah-lembah

sungai Mississippi dan Ohio dan ditemukan di Amerika Latin, India, dan Australia.

Organisme yang ditemukan terutama pada burung dan kelelawar. Infeksi terjadi kemudian

ketika microconidia dan hifa yang terhirup ke dalam paru-paru dan berkembang menjadi

ragi atau infeksi yang telah ada diaktifkan kembali. Pasien AIDS sangat beresiko karena

penurunan imunitas seluler. Histoplasmosis tidak mungkin ditularkan dari manusia ke

manusia.

8.2.7.1 Manifestasi Oral

Lesi oral sebagian besar kronis dengan nodular, indurated, atau massa granular dan

ulserasi; kerusakan jaringan keras dan lunak mungkin jarang terjadi. Hingga 40 sampai

50% kasus dengan histoplasmosis terlihat secara sistemik dengan lesi oral. Mukosa oral

yang dapat terkena adalah mukosa, lidah, langit- langit mulut, gingiva, dan daerah

periapikal dari gigi. Keparahan penyakit pada pasien AIDS lebih besar bila jumlah CD4 di

bawah 200 sel/cm2.

-RINGKASAN OM 2009- 151

Page 152: Buku Saku Om

8.2.7.2 Diagnosis dan Manajemen

Diagnosis dikonfirmasi dengan mikroskop, kultur, dan serologi. Amfoterisin B

adalah pilihan pertama obat, sedangkan flukonazol alternatif. Tingkat kekambuhan

mungkin setinggi 80% untuk pasien tidak ditempatkan pada perawatan yang baik setelah

pengobatan awal dengan amfoterisin B.

8.3 INFEKSI PROTOZOA

8.3.1 Cryptosporidium

Cryptosporidium parvum, telah muncul sebagai etiologi utama diare persisten di

negara-negara berkembang, diare berat sampai mengancam hidup orang dengan kondisi

imunosupresif dan AIDS, dan pada individu yang sebelumnya sehat karena menganggu

kesehatan pasokan air bersih.

8.3.1.1 Karakteristik Mikrobakteri

Telah lama diakui sebagai penyebab penyakit manusia dan kematian di banyak

bagian dunia. Peningkatan dramatis pada jumlah individu dengan sistem pertahanan tubuh

yang rendah.

Ciri-ciri:

1. Influenza-like syndrome awal disertai batuk.

2. Masa inkubasi 2 hingga 10 hari

3. Nyeri pada dada disertai tonjolan

4. Sering ditemui Pneumonia

5. Tingkat keparahan mulai dari batuk ringan hingga pingsan

6. Perawatan: erythromycin dan macrolides lainnya.

Mampu menginfeksi manusia maupun mamalia lainnya. Menular melalui feses

individu terjangkit. Oocyst tahan terhadap prosedur standar chlorination perkotaan, dan ini

yang membedakan crytosporidia dari organisme unisel air lainnya. Karena tahan terhadap

chlorine, membahayakan pasokan air bersih kota.

-RINGKASAN OM 2009- 152

Page 153: Buku Saku Om

8.3.1.2 Epidemiologi dan Transmisi

Tersebar di banyak tempat seperti pasokan air kota, kolam renang, perumahan,

hingga rumah sakit. Sangat menular dengan rasio 30 dari 100. Sering terinfeksi karena

tertelan air dari kolam renang dan rekreasi air lainnya.

Metode penularan lain dari manusia ke manusia karena feses di tempat-tempat

seperti penitipan anak, rumah sakit, dan panti jompo. Terjadi juga penularan dari hewan

ternak ke manusia hingga perlu diwaspadai para petani dan pemilik hewan peliharaan.

8.3.1.3 Gejala Klinis

Siklus hidup C.parvum pada terjangkit dimulai 2 hingga 10 hari setelah air yang

terkontaminasi tertelan. Manifestasi umum biasanya diare, disertai demam, kram perut, dan

nyeri badan. Dehidrasi berat yang harus diperhatikan oleh dokter, karena diare yang sering

dan bisa berlanjut hingga 2 minggu.

Setelah gejala cryptosporidiosis berkurang atau bahkan hilang, pasien masih bisa

menularkan penyakit hingga berbulan-bulan lamanya. Individu yang terinfeksi dengan

sistem kekebalan yang lemah dapat tetap menular jauh lebih lama.

8.3.1.4 Perawatan dan Kontrol

Sejauh ini, belum ada metode antimikroba yang secara umum ampuh melawan

cryptosporidiosis, dengan demikian, perawatan peningkatan daya tahan tubuh pasien

menjadi pilihan. Karena tebalnya dinding sel C.parvum pada siklus oocyst tahan terhadap

chlorine, langkah mengendalikan penyebaran sel menular diutamakan. Reverse osmosis,

teknik filtrasi yang lebih baik, dan prosedur lain yang lebih efisien masih dalam tahap

penelitian.

8.4 INFEKSI VIRUS

8.4.1 Hepatitis

Hampir 80% infeksi viral hepatitis dikarenakan hepatitius A (HAV), hepatitis B

(HBV), hepatitis C (HCV), hepatitis D (HDV), atau hepatitis E (HEV) (tabel 1). HAV dan

HEV tidak menyebabkan penyakit kronis, berbeda halnya dengan HBV, HCV, dan HDV.

-RINGKASAN OM 2009- 153

Page 154: Buku Saku Om

Tabel 8.1. Virus Hepatitis

8.4.1.1 Diagnosis

Bentuk akut dan kronis dari viral hepatitis, menyebabkan pasien tidak menunjukan

suatu gejala atau gejalanya begitu ringan yang terlihat seperti demam, mual, rasa tidak

nyaman, sakit di bagian abdomen, kehilangan nafsu makan. Sehingga hepatitis baru

diketahui setelah pemeriksaan darah seperti saat melakukan donor darah. Karakteristik

lainnya diantaranya jaundice (kuning), urtikaria, urin berwarna gelap, feses berwarna

terang, dan pembesaran dari hati, yang merupakan tanda dari kerusakan hati lebih lanjut.

Kondisi lain yang dapat dijadikan diagnosis banding adalah adanya penyalahgunaan

alcohol, hepatitis autoimun, perlemakan pada hati, sirosis biliary primer, hemokromatosis,

Wilson’s disease, dan defisiensi α- antitrypsin.

Pemeriksaan laboratorium untuk meneggakkan diagnosa, memonitor progresifitas

penyakit, dan melihat hasil intervensi perawatan. Tes fungsi dasar hati seperti alanine

aminotransferase, alkalin fosfat, aspartate aminotransferase, albumin, dan protein total.

Selain itu perlu disertai dengan tes spesifik. Untuk HBV ada tes HBsAG, HBS antibody

(anti-HBs), HBeAg, HBV e antibody (anti-HBe), dan HBV antibody core (anti-HBc dan

IgM anti-HBc). Untuk HDV ada antigen HDV (HDAg) dan antibody HDV (anti-HD).

Sedangkan untuk HCV ada antibody HCV (anti-HCV). Untuk lebih jelas dpat dilihat di

tabel 1.

-RINGKASAN OM 2009- 154

Page 155: Buku Saku Om

Tabel 8.2. Tes untuk Hepatitis B dan C

8.4.1.2 Manajemen Medis

Protokol perawatan untuk viral hepatitis akut hanya perawatan suportif. Yang ingin

di capai pada hasil perawatan adalah bagaimana memperlambat progesifitas, mencegah

kegagalan hati, dan mencegah perkembangan dari HCC. Untuk pasien dengan penyakit

telah parah, dimana perawtaan medis tidak lagi efektif dan kontraindikasi, satu-satunya hal

yang dapat dilakukan adalah transplatasi hati. Obat untuk perawatan HCV diantaranya

pegylated interferon-α dan ribavirin.

Tindakan perventif untuk menghindari penyebaran viral hepatitis, diantaranya

vaksin (untuk HBV); pengukuran tepat dan pemeriksaan sebelum donor darah dan jaringan;

edukasi dan promosi kesehatan mengenai penggunaan obat suntik dengan atau tanpa

kegiatan seksual.

-RINGKASAN OM 2009- 155

Page 156: Buku Saku Om

8.4.1.3 Pertimbangan Kesehatan Gigi dan Mulut

Status dan anamnesis sangat penting ditegakkan sebelum melakukan perawatan gigi

dan mulut. Namun pada pasien yang tidak menunjukan gejala yang aktif atau tidak sedang

dalam perawatan, dapat saja mendapat perawatan gigi. Tanda klinis dari berkurangnya

fungsi hati adalah jaundice, mudah berdarah, dan adanya petekie, hematom, atau ekimosis.

8.4.2 Herpes Simpleks

8.4.2.1 Herpes Simplex Virus Stomatitis

HSV Stomatitis merupakan infeksi berupa ulcer pada kulit dan mukosa yang

berawal dari vesikel. HSV dapat bersifat primer/sistemik atau sekunder/lokalisata. Kedua

bentuk ini dapat sembuh dengan sendirinya, namun HSV sekunder lebih sering bersifat

rekuren karena virus dapat berada dalam masa dorman pada jaringan ganglion.

8.4.2.2 HSV Primer

HSV primer lebih umum menyerang anak-anak, namun HSV ini juga kerap kali

menyerang orang dewasa yang belum pernah terpapar HSV sebelumnya. Vesikel yang

pecah akan tampak sebagai gejala klinis pada kulit, bibir, dan membrane mukosa mulut.

Gejala ini berkebalikan dengan bentuk rekuren dari HSV dimana lesi mucul pada palatum

dan gingiva. Lesi primer ini ditandai dengan demam arthlagia, malaise, anorexia, sakit

kepala, dan limpadenopati servikal. Pada pasien dengan immunocompromised gejala klinis

akan lebih terlihat. Treatment dapat dilakukan dengan pemberian acyclovir. (6)

-RINGKASAN OM 2009- 156

Page 157: Buku Saku Om

Tabel 8.3. Herpes Simpleks Primer

Gambar 8.1. Manifestasi klinis HSV Primer pada bibir dan lidah

8.4.2.3 HSV Sekunder

HSV sekunder menunjukan reaktifasi dari virus laten. Pasien biasanya merasakan

gejala prodromal berupa kesemutan, terbakar, atau nyeri di bagian lesi akan muncul.

Beberapa jam kemudian, beberapa vesikel yang rapuh dan berumur pendek muncul. Lesi

ini akan sembuh tanpa pembentukan jaringan parut dalam 1-2 minggu dan sangat jarang

menjadi infeksi sekunder. Jumlah kekambuhan sangat bervariasi dari setahun sekali sampai

sebulan sekali. Lesi sekunder ini biasa muncul pada vermilion bibir dan kulit disekitarnya,

sehingga sering disebut dengan herpes labialis. Pada intraoral lebih banyak muncul pada

-RINGKASAN OM 2009- 157

Page 158: Buku Saku Om

palatum keras atau gingiva. Pengobatan dapat dilakukan dengan acyclovir dan analogs,

pemberian secara sistemik lebih efektif daripada pemberian secara topical. (6)

Gambar 8.2. Infeksi HSV Sekunder

8.4.2.4 Terapi

Hal yang terpenting dari terapi HSV adalah waktu. Obat akan sangat efektif apabila

diberikan sesegera mungkin, tidak lebih dari 48 jam setelah onset. Acyclovir dan analogs

merupakan obat yang paling efektif untuk pengobatan infeksi mukokutan. Acyclovir

sistemik (tablet 200-400 mg, lima kali sehari) efektif untuk mengontrol herpes genital

primer dan mengurangi tingkat keparahan pada herpes oral primer. Terapi suportif (cairan,

istirahat, kebersihan mulut, alagesik, dan antipiretik) merupakan hal yang dapat membantu

pemulihan. Topikal acyclovir efektif pada herpes simpleks sekunder. Acyclovir 5%

(analog) dalam sediaan salep diaplikasikan lima kali sehari ketika symptom pertama

muncul, dapat mengurangi durasi dari lesi herpes atau bahkan menunda lesi. Sehingga hal

ini dapat mencegah rekurensi.

8.4.3 HIV

8.4.3.1 Epidemiologi

Ada 2 tipe HIV, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV 1 dibagi menjadi 3 grup : M,N,O.

HIV grup M ditemukan 95% pada infeksi manusia (HIV dapat juga muncul pada hewan

primata selain manusia). HIV-2 jarang terjadi di luar Afrika.

Model penyebaran utama HIV:

1. Hubungan sex sesama pria tanpa pengaman.

2. Hubungan sex heterosexual tanpa pengaman.

-RINGKASAN OM 2009- 158

Page 159: Buku Saku Om

3. Pemakaian obat suntik.

4. Penggunaan jarum suntik dan transfuse darah yang tidak bersih.

5. Penyebaran ibu-ke-anak selama masa mengandung, melahirkan, atau menyusui.

8.4.3.2 Diagnosis

Diagnosa infeksi HIV didapatkan dari tes lab yang baik. Urutan pemeriksaan lab

antibody-HIV: tes plasma atau serum darah EIA; jika positif, maka dilakukan pemeriksaan

EIA ke-2; jika hasil positif, maka dilakukan tes konfirmasi analisis Western blot.

Pemeriksaan ini sangat sensitive; kemungkinan hasil false-positive hanya tejadi dari range

1:130.000 hingga 1:250.000.

Urutan pemeriksaan lab ini hanya dapat dilakukan beberapa minggu bahkan bulan

karena harus menunggu terbentuknya respon antibody. Maka dari itu dikembang

pemeriksaan lain yang telah disetujui FDA dengan sampel saliva, urin, dan fingerpick.

Orang berisiko tinggi terkena HIV:

1. Pengguna obat suntik

2. Pelaku hubungan homosexual

3. Pelaku aktif hubungan heterosexual dengan multiple partner

8.4.3.3 Patogenesis

Pola patogenesis HIV dibagi dalam 3 fase :

1. Infeksi primer (4-8 minggu pertama setelah paparan. Meskipun banyak yang

mengalami symptom yang minimal, 40-90% yang mengalami symptom infeksi

virus akut : demam, lemah, ruam makulopapular, nyeri kepala, limfadenopati,

faringitis, myalgia, arthralgia, gangguan pencernaan, berkeringat malam hari, dan

ulser pada oral atau genital.

2. Prololonged period clinical latency (rata2 20 tahun)

3. Munculnya manifestasi klinis. Diestimasikan 10% pasien berkembang menjadi

AIDS dalam waktu 2-3 tahun paparan, tapi 10-17% penderita yang terpapar HIV

lainnya tidak berkembang menjadi AIDS setelah 10 tahun paparan.

-RINGKASAN OM 2009- 159

Page 160: Buku Saku Om

Respon imun yang biasa terjadi pada infeksi HIV :

1. CD4+ limfosit baru menunjukan target baru infeksi HIV.

2. Meningkatnya produksi sitokin proinflamasi (contoh, factor nekrosis tumor, dan

interleukin-6)

8.4.3.4 Manajemen Medik

Target utama manajemen HIV: infeksi oportunistik yang berkaitan dengan

imunosupresi dan HIV itu sendiri. Obat antiretroviral sebetulnya ada 4 kelas : (1) fusion

inhobotor, (2) nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs), (3) non-nucleoside

reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs), dan (4) protease inhibitors (PIs). Pengobatan

HIV memerlukan highly active antiretroviral therapy (HAART). Obat ini tidak

menyembuhkan tapi memperlambat pathogenesis dengan cara meningkatkan CD4+ dan

menekan jumlah virus.

Kekurangan dan efek samping HAART:

1. Perdarahan episodic

2. Supresi sumsum tulang

3. Hepatoxicity

4. Nekrosis hepatic

5. Reaksi hipersensitivitas

6. Asidosis laktat

7. Nephrolitiasis

8. Nephrotoxicity

9. Pankreatitis

10. SJS/TEN

11. Tidak direkomendasikan untuk pasien dengan baseline CD4+ rendah.

12. Lesi popular oral

13. Pembesaran kelenjar saliva

14. xerostomia

-RINGKASAN OM 2009- 160

Page 161: Buku Saku Om

Tidak ada lesi oral spesifik pada pasien HIV, tapi ada lesi oral yang muncul akibat

imunosupresi dari HIV yang dibagi dalam 3 kategori:

1. Sangat berkaitan dengan HIV: pada pasien dewasa candidiasis (eritematus dan

pseudomembran), hairy leukoplakia, Kaposi’s sarcoma, non-Hodgkin’s limfoma,

dan pernyakit periodontal (linier gingival eritema (LGE), NUG, NUP). Pada pasien

anak: candidiasis (eritematus, pseudomembran, angular cheilitis), infeksi herpes

simplex, LGE, pembesaran parotis, RAS (minor, mayor, herpetiform).

2. Jarang berkaitan dengan HIV

3. Dapat terlihat pada HIV

8.4.3.5 Pertimbangan Oral

Hal yang harus diperhatikan bila pasien HIV datang:

1. Cek status imun, cek kelainan yang biasa muncul menyertai HIV, riwayat

pengobatan, dan prognosa pasien. Bila perlu, kontak dokter yang menangani HIV

pasien.

2. Kondisi medis pasien: gangguan hemostasis (terutama bila trombosit rendah

<50.000cell/mm3), rentan terkena infeksi yang dicetuskan perawatan gigi, interaksi

obat, kemampuan pasien dalam menangani stress selama perawatan dental.

3. Tujuan terapi perawatan gigi: mengoptimalkan kebersihan dan fungsi oral, membuat

kunjungan rutin, memonitor dan menangani lesi oral yang berkaitan dengan HIV,

dan menangani efek samping obat terhadap kondisi oral (seperti xerostomia).

4. Medikasi profilaksis tidak diperlukan kecuali bila neutropeni (neutrophil

<500/mm3)

5. Risiko penyebaran HIV pasien-tenaga kesehatan meningkat bila : (1) ada darah

pada instrument sebelum menyebabkan luka, (2) ada luka akiba jarum yang

diinjeksikan ke dalam arteri atau vena pasien, (3) luka dalam yang disebabkan

jarum atau instrument bekas pasien, (4) bila jumlah virus pasien sedang meningkat.

-RINGKASAN OM 2009- 161

Page 162: Buku Saku Om

BAB IX

CARDIOVASCULAR DISEASE

9.1 Hipertensi

9.1.1 Pendahuluan

Hipertensi didefinisikan sebagai keadaan dimana tekanan darah sistolik > 140 mmHg

atau tekanan darah diastolik > 90 mmHg atau kondisi dimana harus menggunakan obat

antihipertensi. Hipertensi dibagi menjadi 2 tipe yaitu primary dan secondary. 95% etiologi

utama hipertensi tidak diketahui. Terdapat beberapa etiologi sekunder terjadinya hipertensi,

termasuk kelainan ginjal seperti renal parenchymal disease, renovascular disease, renin-

producing tumor, dan primary sodium retention. Kelainan endokrin yang menghasilkan

hipertensi misalnya penyakit tiroid, kelainan adrenal, carcinoid, dan hormon eksogen. Etiologi

lainnya termasuk penyempitan aorta, komplikasi akibat kehamilan, masalah neurologi, stress

akut, penggunaan alkohol, pengguna nikotin, peningkatan volume intravaskular, dan

penggunaan obat seperti cyclosporine atau tacrolimus.

Tabel 9.1 Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa.Klasifikasi SBP (mmHg) DBP (mmHg)

Normal <120 <90Pre-hipertensi 120-139 80-89Hipertensi tahap 1 140-159 90-99Hipertensi tahap 2 >160 >100

9.1.2 Modifikasi faktor resiko

Harus disadari bahwa hipertensi adalah suatu penyakit kronis dengan skala waktu yang

lama. Namun, perawatan difokuskan pada pencegahan untuk mengurangi komplikasi yang

seringnya menyerang organ lain seperti otak, hati, ginjalm mata, dan arteri periferal.

Komplikasi hipertensi antara lain dapat mengakibatkan cereblas hemorrhage, left ventricular

hypertrophy, CHF, gagal ginjal, diseksi aorta, dan penyakit atherosclerotic pada pembuluh

darah vaskular.

9.1.3 Diagnosis

-RINGKASAN OM 2009- 162

Page 163: Buku Saku Om

Hipertensi biasanya terjadi dalam jangka waktu lama dan asimptomatik,

mengakibatkan seringkali tidak terdiagnosis. Diagnosis ditegakkan setelah terjadi peningkatan

tekanan darah sebanyak beberapa kali. Disebut hipertensi tahap 1 jika SBP berada pada 140-

159 mmHg atau DBP 90-99 mmHg. Hipertensi tahap 2 jika SBP > 160 mmHg atau DBP > 100

mmHg.

Terdapat tiga tujuan utama dari evaluasi pasien hipertensi antara lain untuk

mengidentifikasi pengobatan yang bisa dlakukan, untuk memperkirakan persistensi pada

target organ, dan untuk memperkirakan resiko menyeluruh pada pasien tersebut. Pada pasien

hipertensi perlu dilakukan evaluasi secara rutin.

9.1.4 Pemeriksaan Fisik

Tujuan utama dari pemeriksaan fisik adalah untuk mencari tanda kerusakan pada

organ dan penyebab dari hipertensi sekunder. Lakukan palpasi pada nadi periferal,dan

auskultasi pada abdomen untuk mendengar udara pada arteri renal yang mengindikasikan

hipertensi renovaskular. Pemeriksaan fisik harus meliputi penilaian funduskopik

9.1.5 Pemeriksaan Laboratorium Tambahan

Prosedur rutin laboratorium termasuk hemoglobin, urinanalisis, pemeriksaan darah

rutin (glukosa, kreatinin, elektrolit), dan kolesterol dan trigliserin. Dapat juga dilakukan

pemeriksaan ECG. Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:

a) Electrocardiography

b) Ambulatory BP Monitoring

c) Plasma Renin Activity testing

d) Radiologi testing

9.1.6 Penilaian Resiko Kardiovaskular

Insidensi terjadinya CVD meningkat sejala dengan peningkatan tekanan darah. Sebuah

penelitian mencatat bahwa resiko terjadinya masalah kardiovaskular meningkat 1,6 kali pada

pria dan 2,5 kali pada wanita pada peningktan tekanan darah dari tahap optimal (<120/80

mmHg) ke tahap diatas normal (130-139/85-89 mmHg).

9.1.7 Penatalaksanaan

-RINGKASAN OM 2009- 163

Page 164: Buku Saku Om

Penatalaksanaan hipertensi adalah tergantung pada penggunaan obat. Beberapa

diantaranya diuretik, B-blockers, calsium channel blockers, angiostestin-converting enzyme

inhibitors (ACEIs), angiostensin II receptor blockers, direct vasodilator, dan centrally acting

agents. Setiap obat hipertensi diatas, memiliki efektivitas yang sama dan menunjukkan respon

yang baik pada 40-60% kasus. Pemberian obat dimulai dengan dosis yang kecil lalu

ditingkatkan. Perawatan hipertensi penting karena mengurangi tingkat kematian. Secara acak,

farmakoterapi antihipertensi tampak pada efek utama dalam mencegah kematian karna

stroke.

9.1.8 Pertimbangan pada Perawatan Gigi

Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh petugas kesehatan gigi antara lain (1) efek

samping sistemik dari perawatan utama, (2) interaksi dengan obat selama perawatan dental

(3) menyebabkan perubahan intraoral, seperti sensasi kering pada rongga mulut,

pertumbuhan berlebih pada gusi, atau terjadinya ulserasi. Penggunaan epineprin pada pasien

hipertensi sampai saat ini masih kontroversi. Beberapa sumber menyatakan bahwa

keuntungan epineprin dalam mencapai kedalaman dan anastesia yang lebih panjang

meningkatkan resiko sistemik. Konsentrasi epineprin lebih besar dari 1:100.000 tidak terlalu

penting dan dapat mengakibatkan resiko lebih tinggi.

9.2 Coronary Artery Disease (CAD)

9.2.1 Etiologi

1. Pada kebanyakan kasus Aterosklerosis

Munculnya lapisan lemak pada saat remaja lesi berlanjut menjadi plak pada masa

awal dewasa oklusi trombotik dan jantung koroner pada usia pertengahan.

2. Penyebab penumpukan plak aterosklerotik:

Ketidaknormalan metabolism lipid

Hipertensi sistemik

Diabetes melitus

Merokok

Faktor Resiko

Lipid

Tingginya konsentrasi kolesterol pada serum dapat meningkatkan resiko penyakit

jantung koroner

-RINGKASAN OM 2009- 164

Page 165: Buku Saku Om

9.2.2 Faktor Resiko

1. Hipertensi

Penderita hipertensi yang disebabkan kerusakan organ dapat memicu penyakit jantung

koroner.

2. Intoleransi glukosa dan diabetes mellitus

Resistensi insulin, hiperinsulinemia, dan intoleransi glukosa dapat meningkatkan resiko

aterosklerosis terutama pada wanita.

Penderita diabetes pada umumnya memiliki faktor-faktor resiko yang mendukung

terjadinya aterosklerosis seperti hipertensi, hipertrigliseridemia, peningkatan rasio

kolesterol-HDL dan peningkatan level plasma fibrinogen.

Penanganan yang agresif terhadap faktor-faktor resiko tersebut dapat mengurangi

resiko penyakit kardiovaskular pada penderita diabetes.

3. Merokok

Mengonsumsi tembakau dapat meningkatkan resiko penyakit jantung koroner dan

infark miokard.

4. Defisiensi estrogen

Insidensi penyakit jantung koroner meningkat pada wanita yang sudah menopause

dikarenakan rendahnya level serum dari estrogen.

5. Faktor gaya hidup dan diet

Faktor-faktor diet seperti tinggi kalori, tinggi lemak, dan tinggi kolesterol dapat

meningkatkan faktor resiko lainnya seperti obesitas, hiperlipidemia, dan diabetes,

dimana faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan penyakit jantung koroner.

Konsumsi sayur-sayuran, buah-buahan, dan serat yang cukup dapat mencegah

terjadinya penyakit jantung koroner.

6. Olah raga

Olah raga yang cukup dapat memberikan beberapa keuntungan seperti meningkatkan

level serum kolesterol HDL, menurunkan tekanan darah, menurunkan berat badan,

dan menurunkan insidensi resistensi insulin.

7. Obesitas

Obesitas biasanya disertai dengan beberapa faktor yang dapat memicu penyakit

jantung koroner seperti hipertensi sistemik, kegagalan metabolisme glukosa, resistensi

insulin, hipertrigliseridemia, penurunan kolesterol HDL, dan peningkatan fibrinogen.

-RINGKASAN OM 2009- 165

Page 166: Buku Saku Om

8. Vitamin dan homosistein

Kekurangan konsumsi vitamin B dapat menyebabkan level serum dari homosistein

yang mana dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit jantung koroner dan infark

miokard.

9. Plasma fibrinogen

Pengukuran fibrinogen berguna untuk mendeteksi peningkatan resiko thrombosis

pada pasien

10. Antioksidan

Terapi antioksidan dapat mengurangi resiko terjadinya penyakit kardiovaskular.

11. Disfungsi endothelial

Disfungsi endotel merupakan tahap awal terjadinya proses aterosklerosis dan dapat

terjadi akibat dislipidemia, hipertensi, dan diabetes.

9.2.3 Diagnosis

CAD biasanya didiagnosi berdasarkan tampilan klinis. Gejalanya meliputi sesak napas,

rasa tidak nyaman pada rahang, sakit pada lengan kiri, dyspnea, penyakit epigastrik.

Pemeriksaan penunjang: Exercise testing menggunakan electrocardiography (ECG).

9.2.4 Perawatan

Pasien dengan timbunan iskemik yang kecil, toleransi olahraga yang normal. fungsi LV

normal dapat diobati dengan obat-obatan seperti:

Aspirin, β-bloker, ACEI, dan HMG CoA reductase inhibitors mencegah dan mengurangi

insidensi infark miokardial serta kematian.

Nitrates, calcium channel blockers mengurangi gejala iskemia.

Pasien dengan pengurangan fungsi LV dan iskemia yang parah dilakukan tindakan

bedah: coronary artery bypass graft (CABG).

9.2.5 Prognosis

Adanya peningkatan pada terapi farmakologi, PCI dan teknik bedah secara signifikan

telah mengurangi jumlah kematian pada pasien CAD. Modifikasi faktor resiko dapat

meningkatkan prognosis kearah yang lebih baik

9.3 Heart Failure

-RINGKASAN OM 2009- 166

Page 167: Buku Saku Om

9.3.1 Definisi

Gagal jantung merupakan sindrom klinis yang disebabkan oleh berbagai etiologi. Gagal

jantung mungkin hasil dari fungsi kontraktil yang abnormal (disfungsi sistolik) atau gangguan

relaksasi (disfungsi diastolik). Beberapa penyebab umum disfungsi diastolik adalah hipertensi,

penyakit arteri koroner dengan segmen iskemik atau infark dari miokardium, idiopatik

kardiomiopati dilatasi, atau cardiomyopathy alkoholik.

9.3.2 Etiologi

a) Penyakit arteri koroner (kardiomiopati iskemik)

b) Hipertensi

c) Kardiomiopati

o Kardiomiopati dilatasi idiopatik

o hypertrophic cardiomyopathy

o Alkohol

o Diabetes

o Virus (virus coxsackie, Enterovirus, HIV)

o Gangguan infiltratif (amiloidosis, hemochromatosis, sarkoidosis)

o Racun (agen kemoterapi)

o Gangguan metabolisme (hipotiroidisme)

d) Penyakit jantung katup

e) penyakit perikardial

f) takiaritmia

g) output tinggi (tirotoksikosis, AV fistula, defisiensi tiamin)

9.3.3 Diagnosis

Gejala umum : Dyspnea, ortopnea, dan dispnea paroksismal nokturnal.

Keluhan spesifik : dada tidak nyaman, kelelahan, jantung berdebar, pusing, dan sinkop

yang tidak biasa.

Pasien asimptomatik sering didiagnosis ketika pemeriksaan rutin dan ditemukan

kelainan pada EKG, radiografi dada, atau echocardiograms.

Penurunan relatif tekanan darah sistol (karena berkurangnya curah jantung) dan

peningkatan tekanan darah diastol DPB (karena vasokonstriksi perifer) mengakibatkan

penurunan tekanan nadi. Perkusi jantung dan palpasi mengungkapkan pembesaran jantung

-RINGKASAN OM 2009- 167

Page 168: Buku Saku Om

dengan pergeseran secara lateral dan difus impuls apikal. Auskultasi dapat mengungkapkan

bunyi desiran tidak normal dari holosistolik apikal regurgitasi mitral dan parasternal lebih

rendah dari regurgitasi trikuspid. Suara jantung ketiga dan keempat dapat didengar,

menandakan bukti disfungsi sistolik dan diastolik. Distensi vena jugularis, edema perifer, dan

hepatomegali menandakan bukti tekanan jantung kanan yang tinggi dan disfungsi ventrikel

kanan. Temuan lain pada pemeriksaan fisik adalah ekstremitas dingin dengan penurunan nadi,

cachexia general, atrofi otot, dan kelemahan karena gagal jantung kronis.

Radiografi dada menunjukkan pembesaran jantung, kongesti paru, dan efusi pleura.

EKG yang tidak normal merupakan satu-satunya indikasi penyakit jantung asimptomatik.

Elektrokardiograpi dapat mengungkapkan repolarisasi berkepanjangan (yaitu, Q-T interval),

dan spesifik ST dan perubahan gelombang T. Kriteria ventrikel kiri hipertrofi dengan kelainan

repolarisasi menunjukkan hipertensi sebagai etiologi. Takiaritmia supraventrikuler dan

ventricular tachycardia juga terkait dengan gagal jantung, seperti pengembangan fibrilasi

ventrikel dengan kematian jantung mendadak.

Ekokardiograpi transtorakik adalah alat diagnostik invasif yang paling berguna untuk

evaluasi pasien dengan gagal jantung dan memberikan informasi tidak hanya pada ukuran

jantung secara keseluruhan dan fungsi, tetapi juga pada struktur katup dan fungsi, gerakan

dinding dan ketebalan, massa ventrikel kiri, dan adanya penyakit perikardial. Turunan Doppler

hemodinamik secara akurat memprediksi tingkat keparahan regurgitasi katup yang terlihat

pada gagal jantung dan memberikan estimasi noninvasif tekanan arteri pulmonalis. Teknik

Doppler juga dapat digunakan untuk mengevaluasi kelainan diastolik ventrikel kiri, yang sering

hadir pada pasien gagal jantung.

Kateterisasi jantung (dengan pengukuran tekanan intrakardiak dan curah jantung),

bersama dengan coronaryangiography, berguna dalam mengevaluasi etiologi gagal jantung.

Penyebab paling umum dari gagal jantung dan kardiomiopati adalah penyakit arteri koroner.

Temuan khas pada kateterisasi pada kasus gagal jantung meliputi peningkatan tekanan

diastolik akhir ventrikel kiri, ganjalan, arteri paru-paru, dan jantung kanan; peningkatan ukuran

ventrikel kiri dengan penurunan fungsi keseluruhan; dan regurgitasi mitral. Kelainan gerakan

dinding regional dapat dilihat baik pada kardiomiopati iskemik maupun kardiomiopati meluas

tapi biasanya kurang menonjol pada pasien yang tidak memiliki penyakit jantung iskemik.

9.3.4 Perawatan

-RINGKASAN OM 2009- 168

Page 169: Buku Saku Om

Pengobatan gagal jantung harus individual sesuai etiologi dari gagal jantung dan

pasien. Pasien dengan penyakit jantung iskemik dan gagal jantung harus dievaluasi. Pasien

dengan kardiomiopati alkoholik harus menjauhkan diri dari alkohol, karena ini menyebabkan

peningkatan ventrikel kiri. Hipertensi harus diobati secara agresif dengan intervensi

farmakologis dan ukuran diet. Untuk pasien dengan disfungsi sistolik primer,

ACEI adalah andalan terapi obat oral. Agen ini jelas telah terbukti menurunkan angka

kematian dan memperpanjang kelangsungan hidup. Terapi ini juga menunda onset dan

mengurangi gejala gagal jantung pada pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Jika ACEI

tidak dapat mentoleransi, reseptor antagonis angiotensin atau kombinasi turunan hydralazine

dan nitrat bisa menggantikan. Digoxin efektif dalam mengurangi angka kesakitan dan rawat

inap tetapi memiliki sedikit efek terhadap mortalitas secara keseluruhan. Spironolactone

meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien gagal jantung kongestif parah. Penggunaan β-

blocker pilihan terapi pada pasien dengan gagal jantung dan disfungsi sistolik ventrikel kiri.

Dosis harus dimulai pada tingkat rendah dan perlahan dititrasi sampai beberapa minggu atau

bulan. Gejala gagal jantung pada awalnya dapat memperburuk, dan dosis obat lain mungkin

perlu disesuaikan pada tahap awal terapi β-blocker.

Antikoagulasi dengan warfarin (Coumadin) pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri

telah terbukti mengurangi morbiditas dan mortalitas dari peristiwa kardioembolik yang

mengembangkan sekunder untuk pembesaran ruang dan stasis darah; Namun, risiko

pendarahan perlu disadari.Terapi antikoagulan lebih memberi manfaat pada pasien dengan

fibrilasi atrium atau atrium berdebar atau untuk pasien dengan irama sinus dengan fraksi

ejeksi ventrikel kiri kurang dari 20%.

Bagi pasien simptomatik, terapi intravena dengan diuretik dan inotropik mungkin perlu

dimulai. Beberapa pasien merespon dengan baik terhadap pengobatan ini, dan terapi oral

dapat kemudian dilanjutkan dengan cepat; pasien lain membutuhkan terapi intravena jangka

panjang. Untuk pasien yang tidak berhasil dihentikan dari pengobatan intravena dan yang

tidak memiliki morbiditas yang signifikan lainnya, jantung transplantasi adalah pilihan terapi

lain.

9.4 Acute Coronary Syndromes (Sindrom Koroner Akut)

9.4.1 Definisi

Definisi: ruptur dari atherosclerotic plak yang secara tiba-tiba terjadi karena

berkurangnya aliran.

-RINGKASAN OM 2009- 169

Page 170: Buku Saku Om

Formasi trombus intrakorona menyebabkan iskemik myocardia dan inrak

subsequent yang berkelanjutan berkurangnya aliran darah yang parah.

9.4.2 Diagnosis

Histori pasien biasanya mengalami perubahan pola anginal atau memiliki simptom

iskemik yang terus menerus. Lihat hasil EKG patut dicurigai apabila tidak normal. Level dari

serum cardiac enzym: creatine phosphokinasi (CPK) tidak naik secara signifikan

9.4.3 Perawatan

Tabel 9.2 Perawatan Sindrom Koroner Akut

9.4.4 Pencegahan Umum Sebelum Melakukan Dental Prosedur

a) Dokter harus mampu melakukan standar basic life support

b) Lakukan pengecekkan tanda vital sebelum melakukan tindakan

c) Pengecekkan tekanan darah dan denyut serta ritme nadi harus dilakukan

d) Pasien dengan CAD mempunyai resiko tekanan darah tinggi

-RINGKASAN OM 2009- 170

Page 171: Buku Saku Om

e) Kecemasan juga dapat menambah tekanan darah

f) Pramedikasi anti kecemasan dapat dilakukan dengan pemakaian nitrous oksida

9.4.5 Terapi Antikoagulan dan Perawatan Dental

Pasien dengan CAD biasanya memerlukan penggunaan aspirin. Penambahan

antiplatelet agen seperti clopidogrel atau ticlopidine biasanya digunakan segera

setelah arteri koroner stenting.

Aspirin meningkatkan resiko pendarahan saat ekstraksi gigi.

2 tipe obat antikoagulan:

Antiplatelet

Antithrombine

9.5 Valvular Heart Disease

9.5.1 Mitral Stenosis

Mitral stenosis adalah suatu penyempitan jalan aliran darah ke ventrikel. Penyempitan

katup mitral menyebabkan katup tidak terbuka dengan tepat dan menghambat aliran darah

antara ruang-ruang jantung kiri. Ketika katup mitral menyempit (stenosis), darah tidak dapat

dengan efisien melewati jantung. Kondisi ini menyebabkan seseorang menjadi lemah dan

nafas menjadi pendek serta gejala lainnya.

9.5.1.1 Epidemiologi

Di negara-negara maju, insidens dari mitral stenosis telah menurun karena

berkurangnya kasus demam rematik sedangkan di negara-negara yang belum berkembang

cenderung meningkat. Dua pertiga pasien kelainan ini adalah wanita. Gejala biasanya timbul

antara umur 20 sampai 50 tahun. Gejala dapat pula nampak sejak lahir, tetapi jarang sebagai

defek tunggal. Mitral stenosis kongenital lebih sering sebagai bagian dari deformitas jantung

kompleks.

9.5.1.2 Etiologi

Penyebab tersering dari mitral stenosis adalah demam reumatik. Penyebab yang agak

jarang antara lain: mitral stenosis kongenital, lupus eritematosus sistemik (SLE), artritis

-RINGKASAN OM 2009- 171

Page 172: Buku Saku Om

reumatoid (RA), atrial myxoma, dan endokarditis bacterial. Selain itu, virus seperti coxsackie

diduga memegang peranan pada timbulnya penyakit katup jantung kronis. Gejala dapat

dimulai dengan suatu episode atrial fibrilasi atau dapat dicetuskan oleh kehamilan dan stress

lainnya terhadap tubuh misalnya infeksi (pada jantung, paru-paru, etc) atau gangguan jantung

yang lain.

9.5.1.3 Patofisiologi

Mitral stenosis murni terdapat pada kurang lebih 40% dari semua penderita penyakit

jantung reumatik. Terdapat periode laten antara 10-20 tahun, atau lebih, setelah suatu

episode penyakit jantung rematik; dengan demikian tidak akan terjadi onset dari gejala mitral

stenosis sebelumnya. Bakteri Streptococcus Beta Hemolitikus Group A dapat menyebabkan

terjadinya demam reumatik. Selain itu, oleh tubuh dianggap antigen yang membuat tubuh

membuat antibodinya. Hanya saja, strukturnya ternyata mirip dengan katup mitral yang

membuat kadangkala antibodi tersebut malah menyerang katup mitral jantung. Hal ini dapat

membuat kerusakan pada katup mitral tersebut.

Pada proses perbaikannya, maka akan terdapat jaringan fibrosis pada katup tersebut

yang lama kelamaan akan membuatnya menjadi kaku. Pada saat terbuka dan tertutup akan

terdengar bunyi yang tidak normal seperti bunyi S1 mengeras, bunyi S2 tunggal, dan opening

snap, juga akan terdengar bising jantung ketika darah mengalir. Apabila kekakuan ini dibiarkan,

maka aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri akan terganggu. Ini membuat tekanan pada

atrium kanan meningkat yang membuat terjadi pembesaran atrium kanan. Keregangan otot-

otot atrium ini akan menyebabkan terjadinya fibrilasi atrium.

Penyempitan dari katup mitral menyebabkan perubahan pada peredaran darah,

terutama di atas katup. Ventrikel kiri yang berada di bawah katup tidak banyak mengalami

perubahan kecuali pada mitral stenosis yang berat, ventrikel kiri dan aorta dapat menjadi kecil.

Mitral stenosis menghalangi aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri selama fase diastolik

ventrikel. Untuk mengisi ventrikel dengan adekuat dan mempertahankan curah jantung,

atrium kiri harus menghasilkan tekanan yang lebih besar untuk mendorong darah melampaui

katup yang menyempit. Karena itu, selisih tekanan atau gradient tekanan antara kedua ruang

tersebut meningkat. Dalam keadaan normal selisih tekanan tersebut minimal.

Luas normal orifisium katup mitral adalah 4-6 cm2. Ketika daerah orifisium ini

berkurang hingga 2 cm2 maka akan terjadi peningkatan tekanan atrium kiri yang dibutuhkan

agar aliran transmitral tetap normal. Mitral stenosis yang parah terjadi ketika pembukaan

-RINGKASAN OM 2009- 172

Page 173: Buku Saku Om

berkurang hingga 1 cm2. Pada tahap ini dibutuhkan tekanan atrium kiri sebesar 25 mmHg

untuk mempertahankan cardiac output yang normal. Otot atrium kiri mengalami hipertrofi

untuk meningkatkan kekuatan memompa darah. Makin lama peranan kontraksi atrium makin

penting sebagai faktor pembantu pengisian ventrikel. Dilatasi atrium kiri terjadi oleh karena

volume atrium kiri meningkat karena ketidakmampuan atrium untuk mengosongkan diri

secara normal. Peningkatan tekanan dan volume atrium kiri dipantulkan ke belakang ke dalam

pembuluh paru-paru. Tekanan dalam vena pulmonalis dan kapiler meningkat, akibatnya terjadi

kongesti paru-paru, mulai dari kongesti vena yang ringan sampai edema interstitial yang

kadang-kadang disertai transudasi dalam alveoli.

Pada akhirnya, tekanan arteria pulmonalis harus meningkat sebagai akibat dari

resistensi vena pulmonalis yang meninggi. Respon ini memastikan gradient tekanan yang

memadai untuk mendorong darah melalui pembuluh paru-paru. Akan tetapi, hipertensi

pulmonalis meningkatkan resistensi ejeksi ventrikel kanan menuju arteria pulmonalis.

Ventrikel kanan memberi respons terhadap peningkatan beban tekanan ini dengan cara

hipertrofi. Lama kelamaan hipertrofi ini akan dikuti oleh dilatasi ventrikel kanan. Dilatasi

ventrikel kanan ini nampak pada foto jantung pada posisi lateral dan posisi PA. Pembesaran

ventrikel kanan ini lama kelamaan mempengaruhi fungsi katup trikuspid. Katup ini akan

mengalami insufisiensi. Kalau ventrikel kanan mengalami kegagalan, maka darah yang

mengalir ke paru berkurang.

9.5.1.4 Diagnosis

Gambaran klinis penyakit ini adalah sebagai berikut;

a) Riwayat demam reumatik akut, meskipun banyak pasien yang tidak lagi

mengingatnya

b) Riwayat murmur

c) Effort-induced dyspnea, merupakan keluhan yang paling banyak, sering dicetuskan

oleh latihan berat, demam, anemia, timbulnya atrial fibrilasi, atau kehamilan.

d) Lemah setelah berkegiatan

e) Hemoptisis karena ruptur vena bronkial yang tipis dan berdilatasi

f) Nyeri dada karena iskemia ventrikel kanan, menyerupai aterosklerosis koroner atau

emboli koroner

g) Tromboemboli

h) Palpitasi

-RINGKASAN OM 2009- 173

Page 174: Buku Saku Om

i) paroksismal nokturnal dispnea, ortopnea, atau edema paru yang tegas.

Tanda dari pemeriksaan fisis yang ditemukan tergantung perkembangan penyakit dan

tingkat dekompensasi kordis yang menyertai. Antara lain sebagai berikut:

a) Sianosis perifer dan fasial

b) Distensi vena jugular

c) Distress pernafasan, menandakan adanya edema paru

d) Bunyi S1 yang keras diikuti bunyi S2 dan opening snap, paling baik di linea sternalis

kiri

e) Digital clubbing

f) Embolisasi sistemik

g) Tanda-tanda gagal jantung kanan pada mitral stenosis berat meliputi ascites,

hepatomegali, dan edema perifer

h) Jika terjadi hipertensi pulmonal, dapat ditemukan kuat angkat pada ventrikel kanan,

dan peninggian bunyi P2.

9.5.1.5 Pemeriksaan

Stenosis mitral yang murni dapat dikenal dengan terdengarnya bising middiastolik

yang bersifat kasar, bising menggenderang (rumble), bunyi jantung satu yang mengeras. Jika

terdengar bunyi tambahan opening snap berarti katup masih relatif lemas sehingga waktu

terbuka mendadak saat diastol menimbulkan bunyi yang menyentak. Jarak bunyi jantung

kedua dengan opening snap memberikan gambaran beratnya stenosis. Makin pendek jarak ini

berarti makin berat derajat penyempitannya. Pada fase lanjut ketika sudah terjadi bendungan

interstitial dan alveolar paru akan terdengar ronkhi basah atau wheezing pada fase ekspirasi.

Untuk menunjang diagnosis dari Mitral Stenosis ini, maka dapat dilakukan

pemeriksaan penunjang seperti foto thoraks dimana akan ditemukan adanya pembesaran

atrium kanan dan juga ditemukan udem paru. Pada pemeriksaan Elektrokardiogram, akan

ditemukan gangguan irama berupa fibrilasi atrium. Pada pemeriksaan Echocardiogram, dapat

ditentukan derajat stenosis katup mitral. Sedangkan pemeriksaan laboratorium hanya untuk

membantu menentukan adanya reaktivasi rheuma.

9.5.1.6 Diagnosis Banding

a) Insufisiensi mitral

-RINGKASAN OM 2009- 174

Page 175: Buku Saku Om

Bentuk jantung pada insufisiensi mitral ini hampir sama dengan stenosis mitral. Pada

insufisiensi mitral, ventrikel kiri nampak besar; sedang pada stenosis mitral ventrikel

kiri normal atau mengecil.

b) Regurgitasi Aorta

Hipertrofi ventrikel kiri yang jelas, pengurangan bunyi jantung pertama (S1) dan tidak

adanya opening snap pada auskultasi menyokong kearah regurgitasi aorta.

9.5.1.7 Terapi

Tidak ada pengobatan yang dibutuhkan jika gejala-gejala tidak ditemukan atau hanya

ringan saja. Rujukan ke rumah sakit hanya dibutuhkan untuk diagnosis atau penanganan gejala

yang berat. Tak ada obat yang dapat mengoreksi suatu defek katup mitral. Hanya saja obat-

obatan tertentu dapat digunakan untuk mengurangi gejala dengan mempermudah kerja

pemompaan jantung dan mengatur irama jantung, misalnya diuretik untuk mengurangi

akumulasi cairan di paru. Antikoagulan dapat membantu mencegah terbentuknya bekuan

darah pada jantung dengan kerusakan katup. Antibiotik diberikan bila pasien akan menjalani

tindakan bedah, tindakan dentologi, atau tindakan medis tertentu lainnya.

Tindakan bedah dapat dilakukan untuk mengoreksi kelainan ini. Kadang-kadang katup

dapat dibuka teregang dengan suatu prosedur yang disebut dengan balloon valvuloplasty.

Pada balloon valvuloplasty, sebuah balon berujung kateter disusupkan melewati vena dan

akhirnya sampai ke jantung. Ketika berada di dalam katup balon dikembangkan lalu

memisahkan daun katup. Pilihan lainnya adalah bedah jantung untuk memisahkan fusi

kommisura. Jika katup rusak berat dapat dilakukan mitral valve repair atau mitral valve

replacement.

9.5.1.8 Prognosis

Prognosis penyakit ini bervariasi. Gangguan dapat saja ringan, tanpa gejala, atau

menjadi berat. Riwayat yang banyak terjadi pada mitral stenosis adalah:

a) Timbulnya murmur 10 tahun setelah masa demam rematik

b) 10 tahun berikutnya gejala berkembang

c) 10 tahun berikutnya sebelum penderita mengalami sakit serius.

-RINGKASAN OM 2009- 175

Page 176: Buku Saku Om

9.5.1.9 Komplikasi

Komplikasi dapat berat atau mengancam jiwa. Mitral stenosis biasanya dapat dikontrol

dengan pengobatan dan membaik dengan valvuloplasty atau pembedahan. Tingkat mortalitas

post operatif pada mitral commisurotomy adalah 1-2% dan pada mitral valve replacement

adalah 2-5%.

9.5.2 Regurgitas Mitral

Regurgitasi mitral dapat terjadi pada pasien dengan penyakit jantung rematik, penyakit

jantung iskemik, atau gagal jantung kongestif. Namun, penyebab terseringnya adalah prolaps

katup mitral. Sekitar 2-5% dari populasi mengalami prolaps katup mitral. Sebagian besar

ditemuka pada usia 20 sampai 40 tahun dan lebih sering mengnai perempuan. Pada Prolaps

Katup Mitral (Mitral Valve Prolapse (MVP), selama ventrikel berkontraksi, daun katup

menonjol ke dalam atrium kiri, kadang-kadang memungkinkan terjadinya kebocoran

(regurgitasi) sejumlah kecil darah ke dalam atrium. Penyakit ini ditandai dengan penimbunan

substansi dasar longgar di dalam daun dan korda katup mitral, yang menyebabkan katup

menjadi “floopy” dan inkompeten saat sistol. Prolaps katup mitral jarang menyebabkan

masalah jantung yang serius. Namun, bisa menjadi penyulit sindrom Marfan atau penyakit

jaringan ikat serupa, dan pernah dilaporkan sebagai penyakit dominan autosomal yang

berkaitan dnegan kromosom 16p. Sebagian besar timbul sebagai kasus yang sporadic.

9.5.2.1 Faktor Resiko Pada Prolaps Katup Mitral

• Wanita kurus yang memiliki kelainan dinding dada, skoliosis atau penyakit lainnya

• Penderita kelainan septum atrial yang letaknya tinggi pada dinding jantung (ostium

sekundum)

• Kehamilan (karena menyebabkan meningkatnya volume darah dan beban kerja

jantung)

• Kelelahan

9.5.2.2 Manifestasi Klinis

Sebagian besar penderita tidak memiliki gejala. Beberapa penderita memiliki gejala

sebagai berikut:

• nyeri dada

• palpitasi (jantung berdebar)

-RINGKASAN OM 2009- 176

Page 177: Buku Saku Om

• sakit kepala migren

• kelelahan

• pusing.

Pada saat penderita berdiri, tekanan darahnya dapat turun di bawah normal. Palpitasi

terjadi akibat kelainan denyut jantung yang sifatnya ringan.

9.5.2.3 Diagnosa

Diagnosis ditegakkan jika terdengar bunyi 'klik' yang khas melalui stetoskop

(midsistolik) yang disebabkan tegangan mendadak daun katup yang berlebihan dan korda

tendinae. Jika terdengar murmur pada saat ventrikel berkontraksi, berarti terjadi regurgitasi

(late sistolic murmur). Ekokardiografi memungkinkan dokter untuk melihat prolaps dan

menentukan beratnya regurgitasi.

9.5.2.4 Komplikasi

Pasien dengan prolaps katup mitral beresiko mengalami endokarditis infektif dan

kematian mendadak akibat aritmia ventrikel. Stroke atau infark dapat terjadi akibat embolisme

trombus yang terbentuk dalam atrium kiri.

9.5.2.5 Pengobatan

Sebagian besar penderita tidak memerlukan pengobatan. Jika jantung berdenyut

terlalu cepat, beta-blocker dapat digunakan untuk memperlambat denyut jantung serta

mengurangi palpitasi dan gejala lainnya. Jika terjadi regurgitasi, setiap kali sebelum menjalani

tindakan pencabutan gigi atau pembedahan, penderita harus mengkonsumsi antibiotik karena

terdapat resiko infeksi katup jantung.

9.5.3 Stenosis Aorta

9.5.3.1 Etiologi

Kalsifikasi senilis, penyakit jantung rematik, aorta bikuspid dan kelainan kongenital

lainnya merupakan etiologi paling sering. Di negara maju, etiologi tersering adalah kalsifikasi-

degeneratif dan seiring dengan prevalensi penyakit jantung koroner yang makin meningkat

faktor risiko kedua kelainan ini sama. Penyakit ini biasanya terdiagnosis pada umur 60-70. Di

negara kurang maju etiologi didominasi oleh penyakit jantung rematik dan biasanya sudah

-RINGKASAN OM 2009- 177

Page 178: Buku Saku Om

muncul pada umur 40-50 tahun. Sedangkan Aorta Bikuspid biasanya terdiagnosis pada umur

50-60 tahun.

9.5.3.2 Patogenesis

Area katup aorta normal berkisar 2-4cm2. Gradien ventrikel kiri dengan aorta mulai

terlihat bila area katup aorta <1.5cm2. Bila area katup mitral <1cm2, maka stenosis aorta

sudah disebut berat. Kemampuan adaptasi miokard menghadapi stenosis aorta meyebabkan

manifestasi baru muncul bertahun tahun kemudian. Hambatan aliran darah pada stenosis

katup aorta (progressive pressure overload of left ventricle akibat stenosis aorta) akan

merangsang mekanisme RAA (Renin-Angiotensin-Aldosteron) beserta mekanisme lainnya agar

miokard mengalami hipertrofi. Penambahan massa otot ventrikel kiri ini akan meningkatkan

tekanan intra-ventrikel agar dapat melampaui tahanan stenosis aorta tersebut dan

mempertahankan wall stress yang normal.

Namun bila tahanan aorta bertambah maka hipertrofi akan berkembang menjadi

patologik disertai penambahan jaringan kolagen dan menyebabkan kekakuan dinding

ventrikel, penurunan cadangan diastolic, penigkatan kebutuhan miokard dan iskemia miokard.

Pada akhirnya performa ventrikel kiri akan tergangu akibat dari asinkroni gerak dinding

ventrikel dan afterload mismatch. Gradien trans-valvular menurun, tekanan arteri pulmonalis

dan atrium kiri meningkat menyebabkan sesak nafas.

Gejala yang mencolok adalah sinkope, iskemia sub-endokard yang menghasilkan

angina dan berakhir dengan gagal miokard (gagal jantung kongestif). Angina timbul karena

iskemia miokard akibat dari kebutuhan yang meningkat hipertrofi ventrikel kiri, penurunan

suplai oksigen akibat dari penurunan cadangan koroner, penurunan waktu perfusi miokard

akibat dari tahanan katup aorta. Sinkop umumnya timbul saat aktifitas karena ketidak

mampuan jantung memenuhi peningkatan curah jantung saat aktifitas ditambah dengan reaksi

penurunan resistensi perifer.

Gangguan fungsi diastolic maupun sistolik ventrikel kiri dapat terjadi pada stenosis

aorta yang dapat diidentifikasi dari pemeriksaan jasmani,foto torak. Hipertrofi ventrikel akan

menigkatkan kekakuan seluruh dinding jantung. Deposisi kolagen akan menambah kekakuan

miokard dan menyebabkan disfungsi diastolik. Setelah penebalan miokard maksimal maka wall

stress tidak lagi dinormalisasi sehingga terjadi peninggian tekanan diastolic ventrikel kiri

menghasilkan penurunan fraksi ejeksi dan penurunan curah jantung yang disebut sebagai

disfungsi sistolik.

-RINGKASAN OM 2009- 178

Page 179: Buku Saku Om

9.5.3.3 Diagnosis

Pada tahap asimtomatik, stenosis aorta ditandai oleh murmur sistolik tipe ejeksi

dibasis jantung yang menyebar ke leher, paling keras di daerah aorta dan apeks. Pada awalnya

karena curah jantung masih baik,murmur ini keras dan kasar puncak mid-sistol dan disertai

thrill pada palpasi. Pada perkembangannya dimana curah jantung mulai menurun, murmur ini

menjadi lebih halus dengan puncak diakhir sistol. Pada stenosis aorta kongenital, murmur ini

biasanya didahului oleh Klik sistolik. Perabaan amplitude nadi menurun(pulsus parvus et

tardus). Bunyi jantung kedua melemah atau terdengar hanya satu komponen saja. Bila disertai

regurgitasi aorta akan ditemukan early diastolik murmur.

Foto toraks dapat normal pada tahap awal karena penebalan miokard kearah lumen

(hipertrofi konsentrik) ventrikel kiri. Kalsifikasi aorta dapat terlihat pada flouroskopi. Pada

tahap lanjut akan ditemukan dilatasi post stenotik aorta asendens,dilatasi venrikel kiri,kongesti

paru, pembesaran atrium kiri dan rongga jantung kanan.

Elektrokardiografi menunjukkan pembesaran ventrikel kiri. Pada kasus lanjut akan

ditemukan depresi segmen ST dan inversi gelombang T(LV Strain) di sandapan I,AVL dan

prekordial. Namun beratnya AS tidak bisa disingkirkan walaupun tanpa hipertrofi ventrikel kiri

pada EKG. Ekokardiografi, trans torakal (TTE) atau Trans Esophagela (TEE) sangat membantu

untuk menunjukkan penebalan dan kalsifikasi daun katup aorta. Gerak dan Jenis katup

bicuspid (congenital) atau tricuspid, hipertrofi ventrikel kiri, Fraki ejeksi yang menggambarkan

fungsi sistolik ventrike kiri dapat pula dinilai.

Kecepatan aliran darah di katup aorta(trans-valvular aortic velocity/disingkat V) dapat

diukur dengan Doppler-Ekokardiografi. Treadmil Exercise Test dulu dianggap kontraindikasi

pada stenosis aorta. Sekarang perlu bagi penderita stenosis aorta asimtomatik dengan velocity

transvalvular antara 3-4 m/deti. Dobutamin stress eko dapat pula dipakai untuk memastikan

beratnya penyakit pada stenosis aorta dengan gardien trans-aorta rendah atau fungsi sistolik

yang menurun. Dibeberapa pusat jantung, ekokardiografi sudah dapat mendiagnosis stenosis

aorta dengan sangat akurat dengan ekokardiografi transtorakal atau trans esophageal, tetapi

Angiografi koroner diperlukan bila direncanakan tidakan operasi katup untuk menilai anatomi

dan kemungkinan stensosi koroner. Kateterisasi jantung juga dapat membantu untuk

konfirmasi beratnya stenosis (Gradien katup dan area katup aorta),menilai anatomi

katup,fungsi sistolik ventrikel kiri.

-RINGKASAN OM 2009- 179

Page 180: Buku Saku Om

Perjalanan Penyakit Stenosis aorta asimtomatik mengalami periode normal yang laten

dan lamanya tergantung etiologi. Rata rata area katup aorta akan menurun 0.1 cm2 pertahun,

peningkatan gradient katup 7 mmHg pertahun jet velocity ber. Pada masa laten ini akan terjadi

fibrosis dan kalsifikasi katup, tambah 0.25m/detik setiap tahun. Periode laten ini lebih pendek

pada stenosis aorta karena Aorta Bikuspid serta reumatik dibandingkan dengan sklerotik aorta.

Gejala yang paling sering muncul adalah Angina (35%), sinkop (15%) dan gagal jantung (50%).

Begitu gejala muncul,rata rata hanya 25% yang bertahan hidup 3 tahun. Penderita dengan

angina hanya 50% bertahan hidup 5 tahun, kecuali dilakukn operasi ganti katup. Penderita

denga sinkope hanya 50% yang bertahan hidup 3 tahun. Penderita dengan gagal jantung hanya

50% yang bertahan hidup 2 tahun. Risiko mati mendadak pada penderita asimtomatik hanya

sekitar 2% sehingga pembedahan harus segera dilakukan pada penderita stenosis aorta

simtomatik. Penderita asimtomatik akan mengalami mati mendadak sebesar 0.5%/tahun.

Penderita yang sudah dioperasi akan mengalami re-operasi sebesar 1% pertahun dengan risiko

kematian operasi sebesar 1%.

Gradasi stenosis asimtomatik dapat diukur dengan Doppler di katup Aorta dan dapat

dipakai sebagai penentu timbulnya gejala. Hanya 3% penderita dengan Trans-valvular velocity

>4m/detik yang bertahan asimtomatik dalam 2 tahun. Sedangkan 85% penderita asimtomatik

dengan kecepatan <3m/detik dapat tetap hidup tanpa keluhan dalam 5 tahun. Beratnya

kalsifikasi katup oarta, peningkatan jet velocity yang progresif serta adanya penyakit jantung

koroner mempercepat timbulnya simtom dan memperburuk prognosis.

9.5.3.4 Terapi

Tidak ada pengobatan medikamentosa untuk Stenosis Aorta asimtomatik,tetapi begitu

timbul gejala seperti sinkop,angina atau gagal jantung segera harus dilakukan operasi katup,

tergantung pada kemampuan dokter bedah jantung. Dapat dilakukan reparasi (repair) atau

replace(mengganti katup dengan katup artificial). Penderita asimtomatik perlu dirujuk untuk

pemeriksaan Doppler-Ekokardiografi. Trans-valvular velocity lebih dari 4m/detik dianjurkan

untuk menjalani operasi seperti penderita simtomatik. Transvalvular-velocity kurang dari

3m/detik tetap diobservasi saja dan dibuat Doppler-ekokardiografi tiap 6 (bagi mereka yang

disertai penyakit jantung koroner atau kalsifikasi sedang dan berat)atau tiap tahun bila tidak

ditemukan hal dimuka.

Treadmill Ecercisercise Test merupakan kontra-indikasi pada stenosis aorta simtomatik

tetapi, bila transvalvular –velocity antaara 3-4m/detik ,maka Teradmil Exercise Test protocol

-RINGKASAN OM 2009- 180

Page 181: Buku Saku Om

Bruce dengan pengawasan ketat dianjurkan untuk menetukan saat yang tepat untuk operasi.

Bila timbul gejala,tekanan darah turun saat test atau kemampuan yang sangat rendah

(digambarkan dengan waktu exercise yang sangat pendek) saat treadmill test,maka penderita

dianjurkan untuk operasi katup seperti penderita simtomatik.

Karena patogenesis stenosis aorta akibat sklerosis aorta dianggap sama seperti

aterosklerosis, maka semua tindakan untuk pencegahan aterosklerosis harus diberikan untuk

mencegah progresifitas stenosis. Operasi penggatian katup dianjurkan bagi stenosis orta yang

simtomatik (angina,synkop atau penurunan fungsi sistolik jantung). Aktifitas fisik berat harus

dihindarkan pada penderita Stenosis Aorta berat (<0.5cm2/m2 walaupun masih asimtomatik.

Nitrogliserin diberikan bila ada angina. Diuretik dan digitalis diberikan bila ada tanda gagal

jantung. Statin dianjurkan untuk mencegah progresifitas kalsifikasi daun katup aorta. Operasi

dianjurkan bila area katup <1cm2 atau 0.6cm/m2 permukaan tubuh, disfungsi ventrikel kiri

(stress test), dilatasi post stenostik aorta walaupun asimtomatik. Stenosis aorta karena

kalsifikasi biasanya terjadi pada orang tua yang telah pula mengalami penurunan fungsi

ginjal,hati dan paru. Evaluasi dari organ organ ini diperlukan sebelum operasi dianjurkan.

Operasi yang paling sering dilakukan adalah penggatian dengan katup mekanik artificial atau

bioprotese, reparasi (reapir), homogaft atau autograft. Balonisasi atau tindakan pengantian

katup perkutan baru diperuntukkan bagi mereka yang berisiko sangat tinggi untuk operasi

penggantian katup, gagal jantung berat, komorbid yang tidak memungkinkan untuk operasi

jantung.

9.5.3.5 Prognosis

Survival rate 10 tahun penderita pasca operasi ganti katup aorta adalah sekitar 60%

dan rata rata 30% katup artifisial bioprotese mengalami gangguan setelah 10 tahun dan

memerlukan operasi ulang. Katup Metal artificial harus dilindungi dengan antikoagulan untuk

mencegah trombus dan embolisasi. Sebanyak 30% penderita ini akan mengalami komplikasi

perdarahan ringan-berat akibat dari terapi tersebut. Valvuloplasti aorta perkutan dengan balon

dapat dilakukan pada anak atau anak muda dengan stenosis aorta congenital non-kalsifikasi.

Pada orang dewasa dengan kalsifikasi, tindakan ini menimbulkan restenosis yang tinggi.

9.5.4 Regurgitasi Katup Aorta

-RINGKASAN OM 2009- 181

Page 182: Buku Saku Om

Regugitasi Katup Aorta (Inkompetensia Aorta, Insuffisiensi Aorta), Aortic Regurgitation)

adalah kebocoran pada katup aorta yang terjadi setiap kali ventrikel mengalami relaksasi.

9.5.4.1 Etiologi

Dulu penyebab utama dari regurgitasi katup aorta di Amerika Utara dan Eropa Barat

adalah demam rematik dan sifilis. Sekarang kedua penyakit ini sudah jarang ditemukan karena

antibiotik telah digunakan secara luas. Di wilayah lainnya, kerusakan katup akibat demam

rematik masih sering terjadi. Selain demam rematik, penyebab lainnya yang paling sering

ditemukan adalah:

• Melemahnya katup

• Bahan fibrosa akibat degenerasi miksomatous Degenerasi miksomatous merupakan

kelainan jaringan ikat yang diturunkan, yang memperlemah jaringan katup jantung dan

membuatnya meregang secara tidak normal dan kadang sobek.

• Kelainan bawaan

• Infeksi bakteri (endokarditis bakterialis)

• Ruptur traumatik

• Sindrom Marfan, Mukopolisakaridosis

9.5.4.2 Manifestasi Klinis

Regurgitasi katup aorta yang ringan tidak menimbulkan gejala selain murmur jantung

yang khas (setiap kali ventrikel kiri mengalami relaksasi), yang dapat didengar melalui

stetoskop. Pada regurgitasi yang berat, ventrikel kiri mengalirkan sejumlah besar darah, yang

menyebabkan pembesaran ventrikel dan akhirnya menjadi gagal jantung. Angina dapat muncul

sebelumnya akibat rendahnya tekanan artifisial dan timbulnya hipertrofi ventrikel kiri. Gagal

jantung menyebabkan sesak nafas sewaktu melakukan aktivitas atau sewaktu berbaring

telentang, terutama pada malam hari. Duduk tegak memungkinkan dialirkannya cairan dari

paru-paru bagian atas sehingga pernafasan kembali normal. Penderita juga mungkin

mengalami palpitasi (jantung berdebar) yang disebabkan oleh kontraksi yang kuat dari

ventrikel yang membesar. Bisa terjadi nyeri dada, terutama pada malam hari.

9.5.4.3 Diagnosa

-RINGKASAN OM 2009- 182

Page 183: Buku Saku Om

Diagnosis regurgitasi katup aorta biasanya ditegakkan bila:

• pada pemeriksaan dengan stetoskop terdengar bunyi murmur jantung yang khas

• pada pemeriksaan fisik ditemukan kelainan yang menunjukkan adanya regurgitasi

katup aorta (misalnya kelainan denyut nadi tertentu)

• pada rontgen dada ditemukan pembesaran jantung, kadang pula ditemukan normal.

• Elektrokardiogram dapat menunjukkan perubahan dari irama jantung dan tanda-tanda

dari pembesaran ventrikel kiri.

• Ekokardiografi dapat memberikan gambaran katup yang rusak dan bisa menunjukkan

beratnya penyakit.

Pengobatan untuk mencegah infeksi pada katup jantung yang rusak, setiap sebelum

menjalani tindakan gigi atau pembedahan, kepada penderita diberikan antibiotik. Tindakan

tersebut juga dilakukan pada regurgitasi katup aorta yang ringan. Jika timbul gejala gagal

jantung, harus dilakukan pembedahan sebelum ventrikel kiri mengalami kerusakan yang

menetap. Sebelum pembedahan dilakukan, gagal jantung diobati dengan digoksin dan

penghambat ACE, atau obat lain yang melebarkan pembuluh darah dan mengurangi kerja

jantung. Biasanya katup akan diganti dengan katup mekanik atau katup yang sebagian dibuat

dari katup babi.

9.5.5 Regurgitasi Trikuspid

Regurgitasi trikuspid adalah kembalinya sebagian darah ke atrium kanan pada saat

diastolik. Keadaan ini dapat terjadi primer yakni akibat kelainan organik katup maupun sekuder

karena hipertensi pulmonal, perubahan fungsi maupun geometri ventrikel berupa dilatasi

ventrikel kanan maupun anulus trikuspid. Penyakit jantung rematik dapat secara langsung

mengenai katup trikuspid dan biasanya disertai dengan stenosis. Pada kelainan ini terjadi

kenaikan tekanan akhir diastolik pada atrium dan ventrikel kanan. Tekanan atrium akan

meningkat mendekati tekanan ventrikel kanan sesuai dengan kenaikan tekanan ventrikel

kanan, yaitu sesuai dengan derajat kenaikan katup trikuspid. Tekanan sistolik arteri pulmonalis

ventrikel kanan dapat dipakai sebagai petunjuk kasar regurgitasi primer atau sekunder. Bila

tekanan kurang dari 40 mmHg dianggap cenderung ke arah primer.

9.5.5.1 Manifestasi Klinis

-RINGKASAN OM 2009- 183

Page 184: Buku Saku Om

Regurgitasi trikuspid tanpa hipertensi pulmonal biasanya tidak memberikan keluhan

dan dapat ditoleransi dengan baik. Rasio perempuan terhadap pria adalah 2:1, dengan rata-

rata usia 40 tahun. Oleh karena lebih sering bersamaan dnegan stenosis mitral, maka gejala

stenosis mitral biasnaya lebih dominan.

9.5.5.2 Pemeriksaan Fisik

Pada inspeksi selalu terlihat adanya gambaran penurunan berat badan, kakeksia,

sianosis, dan ikterus. Biasanya selalu dijumpai pelebaran vena jugularis. Akan terlihat juga

impuls ventrikel kanan yang mencolok. Pada saat sistolik juga dapat teraba impuls atrium

kanan pada garis sternal kiri bawah. Pada asukultasi dapat terdengar S3 dari ventrikel kanan

yang terdengar lebih keras saat terjadi inspirasi, dan bila disertai hipertensi pulmonal suara P2

akan mengeras. Perlu diingat bahwa derajat bising pada regurgitasi trikuspid akan meningkat

pada inspirasi. Adanya kenaikan aliran melalui katup trikuspid dapat menimbulkan bising

diastolik parasternal kiri.

9.5.5.3 Pemeriksaan Penunjang

Pulsed color doppler echocardiography, merupakan sarana yang mempunyai akurasi,

sensitivitas dan spesivitas yang tinggi dalam menentukan adanya regurgitasi trikuspid.

9.5.5.4 Pengobatan Konservatif

Ditujukan terutama bila terdapat tanda-tanda kegagalan fungsi jantung berupa

istirahat, pemakaian diuretik dan digitalis. Tanpa suatu tanda hipertensi pulmonale biasanya

tidak diperlukan suatu tindakan pembedahan.

9.5.6 Stenosis Trikuspid

Stenosis trikuspid merupakan kelainan katup yang jarang ditemukan, dan paling sering

merupakan penyakit jantung reumatik yang menyertai kelainan katup mitral atau aorta.

Kejadian ini lebih sering terjadi pada perempuan dengan umur 20-60 tahun.

9.5.6.1 Etiologi

Etiologi penyakit ini selalu disebabkan oleh penyakit jantung reumatik. Keadaan lain

yang dapat menjadi etiologi adalah atresia trikuspid, tumor atrium kanan, sindrom karsinoid

dan vegetasi pada daun katup. Perubahan anatomik sering ditemukan sebagaimnaa stenosis

-RINGKASAN OM 2009- 184

Page 185: Buku Saku Om

mitral berupa fusi dan pemendekan korda tendinea dan fusi pinggiran katup. Sebagai mana

katup mitral, stenosis sering diiringi dnegan regurgitasi. Atrium kanan akan melebar dengan

dinding yang tebal. Pada keadaan normal pressure gradient hanya 1 mmHg. Bila meningkat

sampai 2 mmHg sudah dpaat menunjukana danya stenosis trikuspid.

9.5.6.2 Manifestasi Klinis

Rendahnya curah jantung, mudah lelah, dan adanya kongesti sistemik dan

hepatomegai menimbulkan keluhan tidak enak pada perut. Perut membesar dan bengkak

umum. Beberapa pasien mengeluh denyut pada leher akibat besarnya gelombang a pada vena

jugularis.

9.5.6.3 Pemeriksaan Fisik

Oleh karena sering menyertai kelainan katup lain, stenosis trikuspid ini tidak

terdiagnosis, kecuali memang snegaja dicari. Pada auskultasi dapat terdengar opening snap

pada garis sternal kiri sampai pada xifoideus, terutama presistolik. Bising ini akan menjadi lebih

keras pada inspirasi, dan melemah pada ekspirasi dan manuver valsava karena menurunnya

aliran darah melalui trikuspid.

9.5.6.4 Pemeriksaan Penunjang

Gambaran pembesaran atrium kanan pada EKG berupa gelombang p yang tinggi dan

tajam pada sadapan II, demikian pula pada V1. Pada pemeriksaan foto toraks didapatkan

pembesaran atrium kanan dan vena kava superior tanpa pembesaran arteri pulmonalis. Tidak

didapatkan pembendungan paru. Ekokardigrafi menunjukan penebala daun katup trikuspid

dnegan gambaran dooming dan adanya gradient transvalvular pada pemeriksaan dopler.

9.5.6.5 Pengobatan

Dalam hal ini dibutuhkan diuretik atau retriksi konsumsi garam. Keadaan ini

dibutuhkan untuk memperbaiki fungsi hati yang sangat dibutuhkan apda saat operasi. Selain

itu, pemakaian antibiotik dapat mencegah terjadinya endokarditis infektif. Tindakan operasi

dapat berupa komisurotomi tapi bila disertai regurgitasi dapat dilakukan anulopasti secara

bersamaan.

-RINGKASAN OM 2009- 185

Page 186: Buku Saku Om

DAFTAR PUSTAKA

Akil, H. A. M. Tukak Duodenum. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI.

Balatandayoudam, A et al. 2012. Dental Consideration For Patient With Hepatic Dysfunction. Jident Issue 1. Vol 1: 1-7.

Crus-Pamplona, M et al. 2011. Dental Consideration in Patient With Liver Disease. J Clin Exp Dent. 3(2): 127-134.

Greenberg, M.S and Michael Glick. 2008. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Treatment. 11th ed. Hamilton: BC Decker Inc.

http://www.persify.com/id/perspectives/medical-conditions-diseases/hiatus-hernia-_-951000103543

McPhee, S.J & William F. Ganong. 2006. Pathophysiologyof Desiase An Introduction to Clinical Medicine. 5th ed. United State: The Mac Graw-Hill Companies.

Olckzak-Kowalczyk, Dorota et al. 2014. Oral Helath and Liver Fucntion in Children and Adolescents With Cirrhosis of The Liver. Przeglad Gastroenterologiczny. 9(1): 25-30.

Pincus, M.R et al. __. Evaluation of Liver Function. Chapter 21.263-276.

Rockey, D.C and Scott, L Fredman. 2006. Hepatis Firbosis and Cirrhosis. Pathophysiology of The Liver. 87-110.

Scully, C. 2010.Medical Problems in Dentistry.6th ed. United States: Churcill Livingstone.

Tsochatzis, E A et al. 2014. Liver Cirrhosis. Seminar: 1-13.

Carabello,BA, Is it time to Operate on Asymptomatic Aortic Stensosis?ACCEL.November 2004,vol 36,no 11,Disc 1 

Fuster V, Aortic Valve Sclerosis.The 37th Annual New york Cardiovascular Symposium:Major Topics in Cardiology Today,New York Hilton and Towers,New York,December 10-12,2004:

Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2005. 

Otto,CM,Aortic Stenosis:even mild disease is significant.Eur J Card 2004;25:185-187 

-RINGKASAN OM 2009- 186

Page 187: Buku Saku Om

Rosenhek R,Klaar U,Schemper M etal, Mild and moderate aortic stenosis.Eur J Card 2004;25:199-205

Stewart WJ and Carabello BA,Aortic Valve Disease.In:Topol EJ(Editor),Textbook of Cardiovascular Medicine, ed2 , Lippincot Williams and Wilkins,Philadelphia,2002,509-516

Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009. 

Vahanian A,Lung B,Dion R and Peper J.Valvular Heart Disease.In Camm JA, Lucher TF,Serruiys PW(Eds) .Textbook of Cardiovascular Medicine.Blackwall Publishing and European Society of Cardiology,2006.p 625-670 

Harris, J.P., Weisman,M.H. 2010. Head and neck manifestations of systemic disease.New

York: Informa Healthcare USA, Inc

Son, Y. M., et al. 2011. The Neumann Type of Pemphigus Vegetans Treated with

Combination of Dapsone and Steroid. Ann Dermatol. 23(3): 310-313.

Greenberg, M.S. and Glick, M. 2008. Burket’s Oral Medicine: Diagnosis and Treatment 11th

ed. Ontario : BC Decker Inc.

Adriano, A. R., et al. 2011. Pemphigus vegetans induced by use of enalapril (Case Report).

An Bras Dermatol. 86(6):1197-200.

Almeida, Jr. HL., et al. 2006. Pemphigus Vegetans Associated With Verrucous Lesions -

Expanding A Phenotype. CLINICS. 61(3):279-82.

-RINGKASAN OM 2009- 187