Top Banner
DEPRESI PASCA STROKE PENDAHULUAN Depresi merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan sejumlah gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda pada masing-masing individu. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM)-IV merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk menegakkan diagnosis depresi. Jika manifestasi depresi muncul dalam bentuk keluhan yang ber-kaitan dengan mud (mood) (seperti murung, sedih, rasa putus asa), diagnosis depresi dapat dengan mudah ditegakkan; tetapi jika gejala depresi muncul dalam keluhan psikomotor atau somatik seperti malas bekerja, lamban, lesu, nyeri ulu hati, sakit kepala terus-menerus, adanya depresi yang melatar-belakanginya sering tidak terdiagnosis. Ada masalah-masalah lain yang juga dapat menutupi diagnosis depresi misalnya pasien menyalahgunakan alkohol atau obat untuk mengatasi depresi, atau muncul dalam bentuk gangguan perilaku. Gangguan depresi sering ditemui. Prevalensi selama kehidupan, pada wanita 10%-25% dan pada laki-laki 5%-12%. Sekitar 15% penderita depresi melakukan usaha bunuh diri. Walaupun depresi lebih sering pada wanita, kejadian bunuh diri lebih sering pada laki-laki, terutama lelaki usia muda dan usia tua. Penyebab depresi secara pasti, belum diketahui. Faktor-faktor yang diduga berperan yaitu peristiwa-peritiwa kehidupan yang bersifat stresor (problem keuangan, perkawinan, pekerjaan, penyakit, dan lain-lain), faktor kepribadian, genetik, dan biologik lain seperti gangguan hormon, keseimbangan neurotransmiter biogenik amin, dan imunologik. . Pada stroke, depresi merupakan gangguan emosi yang paling sering ditemukan. Sekitar 15%-25% pasien stroke dalam
55

bhn referat

Jan 26, 2016

Download

Documents

Winda Anastesya

gir
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: bhn referat

DEPRESI PASCA STROKE

PENDAHULUAN

Depresi merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan sejumlah gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda pada masing-masing individu. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM)-IV merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk menegakkan diagnosis depresi. Jika manifestasi depresi muncul dalam bentuk keluhan yang ber-kaitan dengan mud (mood) (seperti murung, sedih, rasa putus asa), diagnosis depresi dapat dengan mudah ditegakkan; tetapi jika gejala depresi muncul dalam keluhan psikomotor atau somatik seperti malas bekerja, lamban, lesu, nyeri ulu hati, sakit kepala terus-menerus, adanya depresi yang melatar-belakanginya sering tidak terdiagnosis. Ada masalah-masalah lain yang juga dapat menutupi diagnosis depresi misalnya pasien menyalahgunakan alkohol atau obat untuk mengatasi depresi, atau muncul dalam bentuk gangguan perilaku.

Gangguan depresi sering ditemui. Prevalensi selama kehidupan, pada wanita 10%-25% dan pada laki-laki 5%-12%. Sekitar 15% penderita depresi melakukan usaha bunuh diri. Walaupun depresi lebih sering pada wanita, kejadian bunuh diri lebih sering pada laki-laki, terutama lelaki usia muda dan usia

tua. Penyebab depresi secara pasti, belum diketahui. Faktor-faktor yang diduga berperan yaitu peristiwa-peritiwa kehidupan yang bersifat stresor (problem keuangan, perkawinan, pekerjaan, penyakit, dan lain-lain), faktor kepribadian, genetik, dan biologik lain seperti gangguan hormon, keseimbangan neurotransmiter biogenik amin, dan imunologik.

. Pada stroke, depresi merupakan gangguan emosi yang paling sering ditemukan. Sekitar 15%-25% pasien stroke dalam komunitas menderita depresi. sedangkan yang sedang dirawat di rumah sakit, sekitar 30%-40% menderita depresi.

Gangguan depresi dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya. Ia dapat pula mecetuskan, memperlambat penyembuhan atau memperberat penyakit fisik. Selain itu, depresi dapat pula meningkatkan beban ekonomi. Depresi perlu diidentifikasi secara dini makin dini penatalaksanaan makin baik prognosisnya. Ada beberapa jenis penatalaksanaan depresi psikofarmaka, psikoterapi, kombinasi

Page 2: bhn referat

keduanya, Terapi Kejang Listrik (TKL), terapi cahaya, atau gabungan terapi cahaya dan psikofarmaka. Mengingat ada beberapa faktor penyebab depresi, penatalaksanaan yang komprehensif sangat diperlukan.

GEJALA DEPRESI

Gambaran emosi :

- Mud depresi, sedih atau murung

- Iritabilitas, anksietas

- Ikatan emosi berkurang

- Menarik diri dari hubungan interpersonal

- Preokupasi dengan kematian

- Ide-ide bunuh diri atau bunuh diri

Gambaran kognitif

- Mengeritik diri sendiri, perasaan tak berharga, rasa bersalah

- Pesimis, tak ada harapan, putus asa

Page 3: bhn referat

- Bingung, konsentrasi buruk

- Tak pasti dan ragu-ragau

- Berbagai obsesi

- Keluhan somatik

- Gangguan memori

- Ide-ide mirip waham

Gambaran Vegetatif

- Lesu dan tak ada tenaga

- Tidak bisa tidur atau banyak tidur

- Tidak mau makan atau banyak makan

- Penurunan berat badan atau penambahan berat badan

- Libido terganggu

Psikomotor

Page 4: bhn referat

- Retardasi psikomotor

- Agitasi psikomotor

TANDA-TANDA DEPRESI

- Tidak atau lambat bergerak

- Wajah sedih dan selalu berlinang air mata

- Kulit dan mulut kering

- Konstipasi

KlASIFIKASI DEPRESI MENURUT DSM-IV

1. Gangguan depresi mayor unipolar dan bipolar.

2. Gangguan mood spesifik lainnya

- Gangguan distimik depresi minor.

- Gangguan siklotimik depresi dan hipomanik saat ini atau

Page 5: bhn referat

baru saja berlalu (secara terus menerus selama 2 tahun).

- Ganguan depresi atipik

- Depresi postpartum

- Depresi menurut musim

3. Gangguan depresi akibat kondisi medik umum dan gangguan depresi akibat zat

4. Gangguan penyesuaian dengan mood depresi; depresi disebabkan oleh stresor psikososial.

DEPRESI PASCASTROKE (DPS)

Gangguan depresi merupakan gangguan emosi yang paling sering dikaitkan dengan stroke. Sekitar 15%-25% pasien stroke dalam komunitas menderita depresi. sedangkan yang sedang dirawat di rumah sakit, sekitar 30%-40% menderita depresi baik mayor ataupun minor.

. Fenomenologi simptom depresi fungsional hampir sama dengan simptom DPS. Sekitar 50% pasien yang memenuhi kriteria diagnostik untuk DPS melaporkan adanya kesedihan, kecemasan, ketegangan, kehilangan minat, terbangun dini hari, hilangnya nafsu makan dan penurunan berat badan, sulit konsentrasi dan berpikir,serta pikiran-pikiran tentang kematian. Meskipun penyebab pasti DPS belum diketahui, sejumlah peneliti menyatakan bahwa lokasi lesi di otak memegang peranan penting. Penelitian terhadap penderita stroke dengan lesi hemisfer kiri, mendapatkan hubungan terbalik antara

beratnya depresi dengan jarak antara batas anterior lesi dengan kutub frontal.

Page 6: bhn referat

PREVALENSI

Sekitar 26% pasien pascastroke menderita depresi mayor dan 20% depresi tipe distimik. Sekitar 40%-50% pasien dapat menderita depresi dalam beberapa bulan pertama setelah stroke

Studi prospektif (dua tahun) yang dilakukan terhadap pasien stroke mendapatkan 26% pasien mengalami depresi mayor dan 20% depresi minor ketika dievaluasi di rumah sakit. Pasien yang mengalami depresi mayor ketika di dalam rumah sakit, setelah satu atau dua tahun sembuh sempurna; sedangkan prognosis pasien dengan depresi minor kurang baik, hanya 30% yang sembuh setelah dua tahun pasca stroke. Sekitar 30% yang tidak mengalami depresi selama perawatan di rumah sakit

menjadi depresi setelah dua tahun pasca stroke. Durasi depresi mayor secara alamiah berlangsung sekitar satu tahun sedangkan durasi depresi minor lebih lama; pada beberapa kasus berlangsung lebih dari dua tahun sehingga memenuhi kriteria gangguan distimik.

Dua faktor yang telah diidentifikasi dapat mempengaruhi perjalanan alamiah DPS yaitu:

1. Terapi dengan antidepresan

2. Lokasi lesi

Berdasarkan lokasi, frekuensi kesembuhan depresi pada pasien dengan lesi subkorteks dan serebelum lebih tinggi bila dibandingkan dengan pasien yang lesinya di korteks. Impairment dalam aktivitas kehidupan sehari-hari juga berbeda bermakna. Depresi bukanlah penyakit yang sifatnya sementara tetapi berlangsung lama. Durasi untuk depresi mayor adalah satu tahun sedangkan untuk depresi minor sekitar dua tahun.

LESI KORTEKS DAN SUBKORTEKS

Page 7: bhn referat

Dari penelitian terhadap pasien pascastroke didapatkan bahwa sekitar 44% pasien dengan lesi di korteks kiri mengalami depresi sedangkan pada pasien dengan lesi di subkorteks kiri 39%. Depresi pada lesi di korteks kanan 11% dan di subkorteks kanan 14%. Tidak terdapat perbedaan kejadi-an depresi yang bermakna antara lesi di korteks dengan subkorteks.Tetapi prevalensi depresi lebih tinggi secara bermakna pada lesi di hemisfer kiri dibandingkan dengan lesi di hemisfer kanan.

Bila dilihat lebih jauh, pasien dengan lesi korteks frontal kiri anterior lebih sering mengalami depresi jika dibandingkan dengan pasien dengan lesi korteks frontal kiri posterior. Dengan perkataan lain, depresi akan lebih berat jika lesi lebih dekat ke kutub frontal. Depresi lebih sering pada pasien dengan lesi di hemisfer anterior kiri daripada lesi hemisfer anterior kanan. Lesi di korteks frontal dorsolateral dan lesi ganglia basal kiri menimbulkan depresi mayor yang lebih sering dan lebih berat dibandingkan dengan lesi di tempat lain.

LESI SIRKULASI SEREBRI MEDIA DAN POSTERIOR

Suatu penelitian dilakukan terhadap 37 pasien dengan lesi sirkulasi serebri posterior dibandingkan dengan 42 pasien dengan lesi sirkulasi serebri media. Lesi sirkulasi serebri posterior dibagi lagi menjadi hemisfer temporo-oksipital dan lesi batang otak/serebelum. Depresi mayor/minor terjadi pada 48% pasien dengan lesi sirkulasi serebri media dan pada 35% pasien dengan lesi batang otak/serebelum. Setelah enam bulan, frekuensi depresi 82% pada pasien dengan lesi sirkulasi serebri

media dan 20% pada sirkulasi serebri posterior; setelah 1-2 tahun, frekuensi depresi adalah 68% dan 0%. Perjalanan depresi di regio batang otak/serebelum lebih pendek. Penemuan ini menunjukkan bahwa mekanisme depresi akibat lesi di arteri serebri media berbeda dengan lesi di batang otak/serebelum.

Hal ini karena lesi di batang otak biasanya kecil dan tidak begitu merusak jaras biogenik amin yang berperan penting dalam memodulasi emosi.

LESI HEMISFER KANAN

Page 8: bhn referat

Suatu penelitian terhadap 54 pasien stroke (diagnosis dengan CT-scan) melaporkan bahwa 66% pasien dengan depresi mayor dan 63% dengan depresi minor mempunyai lesi di massa putih (white matter) lobus parietal. Riwayat psikiatrik dalam keluarga pasien dengan lesi hemisfer kanan yang menderita depresi, lebih tinggi secara bermakna bila dibanding-kan dengan pasien dengan lesi di hemisfer kanan yang tidak depresi

FAKTOR RISIKO PREMORBID DAN DEPRESI

Meskipun lesi anterior kiri dan posterior kanan ber-hubungan dengan depresi pascastroke, tidak semua pasien dengan lesi ini menjadi depresi. Pasien depresi lebih sering mempunyai riwayat keluarga atau pribadi menderita depresi dibandingkan dengan pasien nondepresi; lokasi bukanlah faktor tunggal dalam terjadinya depresi pascastroke. Adanya atrofi subkorteks, riwayat keluarga dan pribadi menderita depresi sebelum stroke merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya depresi pascastroke.

Pasien dengan lesi hemisfer kanan yang berkembang menjadi depresi mayor setelah stroke mempunyai riwayat keluarga menderita gangguan psikiatrik lebih tinggi dibanding-kan dengan yang tidak depresi. Ini menunjukkan bahwa faktor genetik juga ikut berperan dalam terjadinya depresi pascastroke

HUBUNGAN DENGAN HENDAYA (IMPAIRMENT) FISIK

Penelitian yang menggunakan instrumen ADL untuk menilai hendaya fungsi sehari-hari penderita pascastroke melaporkan adanya hubungan antara depresi dengan hendaya fisik atau hendaya fungsi sehari-hari. Hendaya fungsi dapat menimbulkan depresi dan depresi dapat mempengaruhi berat-nya hendaya fungsi sehari-hari. Pasien stroke yang tidak depresi tidak menunjukkan perubahan fungsi sehari-hari bahkan dengan berjalannya waktu fungsi kehidupan sedikit lebih meningkat. Depresi berpengaruh terhadap penyembuhan yaitu memperlambat penyembuhan fisik.

Page 9: bhn referat

DEPRESI DAN HENDAYA KOGNITIF

Pasien stroke dengan depresi mengalami defisit intelektual dengan mengobati depresi, defisit intelektualnya membaik. Hendaya kognitif (penurunan skor Mini Mental State Examination – MMSE), lebih berat pada pasien dengan lesi hemisfer kiri yang mengalami depresi mayor daripada pasien dengan lesi yang sama tetapi tidak mengalami depresi sedangkan pada pasien dengan lesi hemisfer kanan tidak

terlihat adanya perbedaan penurunan fungsi kognitif antara kelompok yang depresi dengan nondepresi. Dengan perkataan lain, depresi mayor yang dikaitkan dengan stroke hemisfer kiri terlihat menimbulkan hendaya kognitif yang bermakna.

MEKANISME TERJADINYA DPS

Penyebab pasti belum diketahui. Ada dugaan DPS disebabkan oleh disfungsi biogenik amin. Badan sel serotoni-nergik dan noradrenergik terletak di batang otak dan ia mengirim proyeksinya melalui bundel forebrain media ke korteks frontal. Lesi yang mengganggu korteks prefrontal atau ganglia basalis dapat merusak serabut-serabut ini. Ada dugaan DPS disebabkan oleh deplesi serotonin dan norepinefrin akibat lesi frontal dan ganglia basalis

Respons biokimia terhadap lesi iskemik bersifat lateralisasi. Lesi hemisfer kiri menyebabkan penurunan biogenik amin tanpa adanya kompensasi pe-ninggian regulasi serotonin akibatnya, gejala depresi dapat muncul. Sebaliknya lesi hemisfer kanan menyebabkan peninggian regulasi serotonin (karena mekanisme kompensasi) yang bersifat protektif terhadap depresi.

TEORI PSIKOBIOLOGIK

Teori psikoanalitik

Page 10: bhn referat

Menurut Freud pasien depresi menderita kehilangan nyata atau imajiner atas obyek cinta yang bersifat ambivalen. Pasien bereaksi dengan kemarahan yang kemudian diarahkan kepada diri sendiri, dan ini menyebabkan penurunan harga diri dan terjadi depresi.

Teori kognitif : menyebutkan suatu “tritunggal kognitif” tentang distorsi persepsi yaitu :

a. Interpretasi negatif seseorang tentang pengalaman

hidupnya.

b. Menyebabkan devaluasi dirinya,

c. Yang akhirnya menyebabkan depresi.

Teori biologik :

Memfokuskan pada abnormalitas norepinefrin (NE) dan serotonin (5-HT) serta dopamin (D). Hipotesis katekolamin menyatakan bahwa depresi disebabkan oleh rendahnya kadar NE otak dan dopamin. Walaupun demikian, pada beberapa pasien kadar MHPG (metabolit utama NE) tetap rendah. Hipotesis indolamin menyatakan bahwa rendahnya 5-HT otak (atau metabolit utama, 5-HIAA) dapat menyebabkan depresi. Mekanisme kerja antidepresan yang diketahui, mendukung teori ini trisiklik memblok ambilan NE dan 5-HT dan menghambat oksidasi NE oleh monoamin oksidase inhibitor. Depresi juga dihubungkan dengan ketidakseimbangan neurohormonal.

Teori neurofisiologik

Penelitian terbaru menyatakan bahwa mungkin terdapat hipometabolisme di lobus frontal atau menyeluruh pada depresi atau beberapa abnormalitas funda-mental ritmik sirkadian pada pasien depresi.

Page 11: bhn referat

PEMERIKSAAN BIOLOGIK DEPRESI

Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis dan prognosis depresi.

- Dexamethasone suppression test (DST) hasil tes positif bila tidak terjadi penekanan plasma kortisol 6- 24 jam setelah pemberian deksametason oral.

- Peningkatan kortisol serum (30% pasien depresi mengalami hipertrofi adrenal)

- Penurunan kadar MHPG (3-methoxy-4 – hydroxyphenylene glycol) urin, suatu hasil katabolit metanorepinefrin dan 5-HIAA cairan serebrospinal (CSS) yaitu suatu metabolit serotonin pada penderita depresi.

- Uji stimulasi TSH (TSH turun dan tidak ada respons TSH dan GH terhadap TRH eksogen, menunjukkan depresi unipolar).

- Rekaman tidur – terdapat gangguan pola tidur : Latensi

REM memendek waktu antara masuk tidur dengan mulai tidur REM (indikator paling baik) sering terbangun, terbangun dini hari, penurunan tidur NREM peningkatan densitas REM (frekuensi gerakan bola mata cepat pada tidur REM). Semua ini mungkin ciri-ciri orang yang rentan untuk depresi.

- Uji tantangan stimulansia beberapa pasien depresi membaik sementara bila diberi 10 mg amfetamin.

Penggunaan klinik rutin uji-uji ini sangat sedikit; yang paling baik dilihat adalah :

a. Pola tidur abnormal

Page 12: bhn referat

b. Kadar TSH dan respons TRH abnormal

c. Bila setelah pengobatan DST positif, merupakan indikator hasil terapi yang buruk.

Semua uji-uji ini sensitivitas dan spesifikasinya tidak cukup baik (terlalu banyak positif palsu dan negatif palsu). Bagaimanapun, keadaan ini dapat menunjukkan bahwa faktor biologi memegang peranan pada beberapa pasien depresi selain lingkungan yang juga berperan penting, karena 25% pasien

dengan kondisi medik serius dan yang menderita stres psiko-sosial berat akan menderita depresi mayor.

Penelitian dengan PET dan fMRI untuk mengetahui lokasi gangguan ini di SSP memberi harapan. Depresi mayor diduga berkaitan dengan penurunan aktivitas korteks prefrontal lateralis terutama sisi kiri, kaudatus, putamen, dan mungkin juga amigdala

PENATALAKSANAAN DEPRESI

Perlu pemeriksaan medik dan psikiatrik untuk menyisihkan depresi sekunder. Tanyakan tentang gambaran-gambaran vegetatif dan evaluasi potensi untuk bunuh diri.

Apakah pasien :

a. Mengalami ketidakmampuan akibat gangguan ini.

b. Mempunyai lingkungan rumah yang destruktif atau dukungan lingkungan yang terbatas.

Page 13: bhn referat

c. Mempunyai ide-ide bunuh diri.

d. Mempunyai penyakit medik terkait yang memerlukan pengobatan atau perawatan.

Semua pasien depresi mesti mendapatkan psikoterapi, beberapa memerlukan tambahan terapi fisik. Jenis terapi ber-gantung dari diagnosis, berat penyakit, umur pasien, respons terhadap terapi sebelumnya.

PSIKOTERAPI

Psikoterapi yaitu terapi yang digunakan untuk menghilangkan keluhan-keluhan dan mencegah kambuhnya gangguan psikologik atau pola perilaku maladaptif. Terapi ini dilakukan dengan jalan pembentukan hubungan profesional antara terapis dengan pasien.

Psikoterapi untuk DPS dapat diberikan secara individu, kelompok, atau pasangan sesuai dengan gangguan psikologik yang mendasarinya. Beberapa pasien dan klinisi sangat meyakini manfaat intervensi psikoterapi tetapi ada pula yang sebaliknya yaitu tidak percaya. Berdasarkan hal ini, keputusan untuk melakukan psikoterapi sangat dipengaruhi oleh penilaian dokter atau pasiennya.

Terapi kognitif (TK)

Ada dugaan bahwa penderita depresi adalah orang yang “belajar menjadi tak berdaya”. Depresi diterapi dengan mem-berikan pasien latihan ketrampilan dan memberikan pe-ngalaman-pengalaman tentang kesuksesan. Terapi ini bertujuan untuk menghilangkan simptom depresi melalui usaha yang

sistematis yaitu mengubah cara pikir maladaptif dan otomatik pada pasien-pasien depresi. Dasar pendekatannya adalah suatu asumsi bahwa kepercayaan-kepercayaan yang mengalami distorsi tentang diri sendiri, dunia, dan masa depan dapat menyebabkan depresi. Pasien harus menyadari cara berpikirnya

Page 14: bhn referat

yang salah. Kemudian ia harus belajar cara merespons cara pikir yang salah tersebut dengan cara yang lebih adaptif. Dari perspektif kognitif, pasien dilatih untuk mengenal dan

menghilangkan pikiran-pikiran negatif dan harapan-harapan negatif. Cara ini dipraktekkan di luar sesi terapi dan menjadi modal utama dalam mengubah gejala.

Terapi ini berlangsung lebih kurang 12-16 sesi dengan tiga fase yaitu:

1. Fase awal (sesi 1-4) membentuk hubungan terapeutik dengan pasien. Mengajarkan pasien tentang bentuk kognitif yang salah dan pengaruhnya terhadap emosi dan fisik. Menentukan tujuan dan goal terapi. Mengajarkan pasien untuk mengevaluasi pikiran-pikirannya yang otomatis.

2. Fase pertengahan (sesi 5-12) mengubah secara berangsur-angsur kepercayaan yang salah. Membantu pasien mengenal akar kepercayaan diri. Pasien diminta mem-praktekkan ketrampilan berespons terhadap hal-hal yang depresogenik dan memodifikasinya.

3. Fase akhir (sesi 13-16) menyiapkan pasien untuk terminasi dan memprediksi situasi berisiko tinggi yang relevan untuk kekambuhan dan mengkonsolidasikan pembelajaran melalui tugas-tugas terapi sendiri.

Terapi perilaku

Intervensi perilaku terutama efektif untuk pasien yang menarik diri dari lingkungan sosial dan anhedonia. Terapi ini sering digunakan bersama-sama terapi kognitif. Tujuannya adalah meningkatkan aktivitas pasien, mengikutkan pasien dalam tugas-tugas yang dapat meningkatkan perasaan yang menyenangkan.

Fase awal pasien diminta memantau aktivitasnya, menilai derajat kesulitan aktivitasnya, kepuasannya terhadap aktivitasnya. Pasien diminta melakukan sejumlah aktivitas yang menyenangkan. Latihan ketrampilan sosial, asertif, dapat meningkatkan hubungan interpersonal dan dapat menurunkan

Page 15: bhn referat

interaksi submisif. Fase akhir fokus berpindah ke latihan mengontrol diri dan pemecahan masalah. Diharapkan ilmu yang didapat dalam terapi dapat digeneralisasi dan dipertahankan dalam lingkungan

pasien sendiri.

Psikoterapi suportif

Psikoterapi ini hampir selalu diindikasikan. Memberikan kehangatan, empati, pengertian dan optimisme. Bantu pasien mengidentifikasi dan mengekspresikan emosinya dan bantu untuk ventilasi. Mengidentifikasi faktor-faktor presipitasi dan membantu mengoreksi. Bantu memecahkan problem eksternal (misalnya masalah pekerjaan, rumah tangga). Latih pasien untuk mengenal tanda-tanda dekompensasi yang akan datang. Temui pasien sesering mungkin (mula-mula 1-3 kali per minggu) dan secara teratur, tetapi jangan sampai tidak berakhir atau selamanya. Kenalilah bahwa beberapa pasien depresi dapat memprovokasi kemarahan terapis (melalui kemarahan, hostilitas, tuntutan yang tak masuk akal, dan lain-lain).

Psikoterapi psikodinamik

Dasar terapi ini adalah teori psikodinamik yaitu kerentanan psikologik terjadi akibat konflik perkembangan yang tak selesai. Terapi ini dilakukan dalam periode jangka panjang. Perhatian pada terapi ini adalah defisit psikologik yang menyeluruh yang diduga mendasari gangguan depresi. Misalnya, problem yang berkaitan dengan rasa bersalah, rasa rendah diri, berkaitan dengan pengalaman yang memalukan, pengaturan emosi yang buruk, defisit interpersonal akibat tak adekuatnya hubungan dengan keluarga.

Psikoterapi dinamik singkat (brief dynamic psychotherapy)

Sesinya lebih pendek. Tujuannya menciptakan lingkungan yang aman buat pasien. Pasien dapat mengenal materi konfliknya dan dapat mengekspresikannya.

Terapi kelompok

Page 16: bhn referat

Tidak ada bentuk terapi kelompok yang spesifik. Ada beberapa keuntungan terapi kelompok.

1. Biaya lebih murah

2. Ada destigmatisasi dalam memandang orang lain dengan

problem yang sama

3. Memberikan kesempatan untuk memainkan peran dan

mempraktekkan ketrampilan perilaku interpersonal yang

baru

4. Membantu pasien mengaplikasikan ketrampilan baru

Terapi kelompok sangat efektif untuk terapi jangka pendek pasien rawat jalan juga lebih efektif untuk depresi ringan. Untuk depresi lebih berat terapi individu lebih efektif.

Terapi perkawinan

Problem perkawinan dan keluarga sering menyertai depresi dan dapat mempengaruhi penyembuhan fisik. Oleh karena itu, perbaikan hubungan perkawinan merupakan hal penting dalam terapi ini.

Psikoterapi berorientasi tilikan (insight)

Page 17: bhn referat

Jangka terapi cukup lama, dapat berguna pada pasien depresi minor kronik tertentu dan beberapa pasien dengan depresi mayor yang mengalami remisi tetapi mempunyai konflik.

Deprivasi tidur parsial

Bangun mulai di pertengahan malam dan tetap jaga sampai malam berikutnya, dapat membantu mengurangi gejala-gejala depresi mayor buat sementara.

TERAPI BIOLOGIK

Antidepresan

Sebagian besar penderita depresi membutuhkan anti-depresan (70%-80% pasien berespons terhadap antidepresan), walaupun yang mempresipitasi terjadinya depresi jelas terlihat atau dapat diidentifikasi. Mulailah dengan SSRI atau salah satu antidepresan terbaru. Jika tak berhasil, pertimbangkan anti-depresan trisiklik, atau MAOI (terutama pada depresi “atipikal”) atau kombinasi beberapa obat jika obat pertama tak berhasil. Harus hati-hati dengan efek samping dan harus sadar

bahwa antidepresan “dapat” mempresipitasi episode manik pada beberapa pasien bipolar (10% dengan TCA, dengan SSRI lebih rendah, tetapi semua konsep tentang “presipitasi manik” masih diperdebatkan).

Setelah sembuh dari episode depresi pertama, obat dipertahankan untuk beberapa bulan, kemudian diturunkan. Beberapa pasien membutuhkan obat pemeliharaan jangka panjang. Anti depresan saja (tunggal) tidak dapat mengobati depresi.

Lithium

Bermanfaat untuk depresi bipolar akut dan beberapa depresi unipolar. Ia cukup efektif pada bipolar serta untuk mempertahankan remisi dan begitu pula pada beberapa pasien unipolar.

Antikonvulsan

Page 18: bhn referat

Juga sama baiknya dengan lithium untuk mengobati kondisi akut, meskipun kurang efektif untuk pemeliharaan.

Antidepresan dan lithium dapat dimulai bersama-sama dan lithium diteruskan setelah remisi.

Pasien psikotik, paranoid atau sangat agitasi membutuhkan antipsikotik, tunggal atau bersama-sama dengan antidepresan, lithium antipsikotik atipik juga terlihat efektif.

Terapi Kejang Listrik (TKL)

Mungkin merupakan terapi pilihan bila :

a. Obat tak berhasil

b. Kondisi pasien menuntut remisi segera (misalnya; bunuh

diri yang akut).

c. Pada beberapa depresi psikotik.

d. Pada pasien yang tak dapat mentoleransi obat (misalnya pasien tua yang berpenyakit jantung). Lebih dari 90% pasien memberikan respons.

Latihan fisik

Lari dan renang dapat memperbaiki depresi, dengan mekanisme biologis yang belum dimengerti dengan baik

Page 19: bhn referat

.

KESIMPULAN

Depresi merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan sejumlah gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda pada masing-masing individu. Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorders (DSM-IV) merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk menegakkan diagnosis depresi. Gejala depresi terdiri dari penurunan mood, gangguan kognitif, vegetatif, retardasi psikomotor. Ada beberapa bentuk depresi yaitu gangguan depresi mayor (unipolar, bipolar), gangguan mood spesifik lainnya,gangguan depresi akibat kondisi medik umum atau akibat zat, dan gangguan penyesuai-an dengan mood depresi. Sampai saat ini, penyebab pasti gangguan depresi belum diketahui. Ada beberapa faktor yang berkrontribusi yaitu faktor stresor psikososial, genetik, kepribadian, dan biologik.

Pada stroke, gangguan depresi merupakan gangguan emosi yang paling sering ditemukan. Sekitar 15%-25% pasien stroke dalam komunitas menderita depresi. sedangkan pasien stroke yang sedang dirawat di rumah sakit, sekitar 30%-40% menderita depresi. Ada beberapa jenis penatalaksanaan depresi medikasi, psikoterapi, kombinasi keduanya, Terapi Kejang Listrik (TKL), terapi cahaya, atau gabungan terapi cahaya dan medikasi. Mengingat ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan timbulnya depresi, penatalaksanaan yang komprehensif sangat diperlukan.

KTI Hubungan depresi dengan kelainan otak pada penderita pasca-stroke

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan depresi dapat merupakan gangguan emosional yang sering dihubungkan dengan penyakit serebrovaskuler. Sekitar 25-50% pasien stroke mengalami depresi setelah serangan stroke. Banyak

Page 20: bhn referat

penelitian mengatakan bahwa pada pasien pasca stroke yang mengalami depresi, akan terjadi peningkatan persentase mortalitas. Pada pasien yang lebih muda dan tidak mempunyai penyakit kronis sebelumnya, angka kematian tetap tinggi pada pasien depresi pasca-stroke.

Beberapa penelitian mengatakan bahwa lokasi jejas pada otak memegang peranan penting terhadap terjadinya depresi pasca-stroke. Penelitian melaporkan sebuah hasil yang signifikan tergantung pada lokasi lesi otak dengan kejadian depresi pasca stroke pada lesi di hemisfer kiri. Depresi pasca stroke juga dapat terjadi sebagai hasil ketidakmampuan pasien melakukan kegiatan sehari-hari. Kondisi ini membuat pasien secara fisik dan mental tidak berdaya dan dapat mengarah ke perasaan tidak kompeten dan tertekan. Tatalaksana depresi pasca-stroke merupakan kombinasi psikofarmakoterapi dan psikoterapi.

Perasaan murung adalah biasa, terapi perasaan ini akan hilang dengan berjalannya waktu. Akan tetpai harus dibedakan antara keadaan murung dan depresi. Depresi bisa muncul dalam berbagai cara dan mempunyai sejumlah penyebab,tidak memedulikan jenis kelamin dan pekerjaan dan bisa menyerang kapanpun dari remaja sampai paruh baya. Usia paruh baya adalah usia puncak dari depresi. Bentuk depresi berbeda tiap individu. Gambaran seperti kecemasan,gelisah dan berbicara gugup atau bisa beralih menjadi periode mania – mood bicara banyak dan tak terputus-putus, serta aktivitas kompulsif yang dinamakan pasien “manic depresif”. Ada juga yang bersifat apatis dan cenderung menutupi kekhawatirannya. Penderita sering mengeluh tidak mampu berfikir dengan jelas, sulit berkonsentrasi,atau membuat keputusan.

Penyakit serebrovaskuler atau stroke masih merupakan salah satu penyakit yang banyak menimbulkan kecacatan dan kematian di dunia. Penyakit ini merupakan penyebab kematian ketiga di dunia. Di Amerika, stroke merupakan penyebab kematian ketiga dan merupakan penyebab kematian yang umum pada orang dewasa. Di Indonesia, menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, stroke juga merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama 1-5 Laki-laki disebutkan mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terkena stroke dengan perbandingan 1,33:1, tujuh puluh persen dari pasien yang selamat akibat stroke mempunyai disabilitas pekerjaan yang permanen dan sekitar 25% mengalami demensia vaskular.

Stroke yang disebut juga gangguan perdarahan pembuluh darah otak adalah sindrom gangguan serebri yang bersifat fokal akibat gangguan sirkulasi otak. Gangguan tersebut akibat penyumbatan lumen pembuluh darah oleh trombosis atau emboli, pecahnya dinding pembuluh darah otak, perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah, dan perubahan viskositas maupun kualitas darah sendiri. Proses ini dapat tidak menimbulkan gejala dan akan muncul secara klinis jika aliran darah ke otak turun sampai tingkat melampaui batas toleransi jaringan otak yang disebut ambang aktivitas fungsi otak.

Page 21: bhn referat

1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 Tujuan Umum :

Untuk mengetahui hubungan antara depresi dengan kelainan otak pada penderita pasca stroke

1.2.1 Tujuan Khusus :

1.2.1.1 Menganalisa kontribusi hubungan depresi dengan kelainan otak terhadap penderita pasca-stroke

1.2.1.2 Menganalisa kontribusi depresi terhadap penderita pasca-stroke

1.2.1.3 Menganalisa kontribusi kelainan otak terhadap penderita pasca-stroke

1.2.1.5 Menganalisa kontribusi frekuensi depresi pada penderita pasca-stroke

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEPRESI

Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang mempunyai gejala utama afek depresi, kehilangan minat dan kegembiraan, dan kekurangan energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktifitas. Disamping itu gejala lainnya yaitu konsentrasi dan perhatian berkurang, pikiran bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu dan nafsu makan berkurang.

Gangguan neurologis yang sering diikuti depresi adalah multiple sclerosis, demensia Alzheimer, penyakit Parkinson, stroke, dan epilepsi. Lokasi paling sering dari stroke untuk munculnya depresi adalah lesi pada lobus frontal kiri.

Page 22: bhn referat

2.2 STROKE

Stroke atau disebut juga cerebrovascular disease (CVD) adalah simtom gangguan serebri yang bersifat fokal akibat gangguan sirkulasi otak. Gangguan sirkulasi otak tersebut dapat disebabkan oleh hipoperfusi ekstrakranial, trombosis, perdarahan intrakranial, emboli, hipertensi, arterosklerosis, anoksia, dan gangguan darah seperti polisitemia.

World Health Organization (WHO) mendefinisikan stroke sebagai suatu kumpulan gejala klinis yang ditandai dengan hilangnya fungsi otak, baik sebagian ataupun menyeluruh, secara tiba – tiba disebabkan oleh gangguan pembuluh darah. Stroke terjadi ketika aliran suplai darah untuk otak tiba - tiba terganggu atau ketika pembuluh darah di otak menjadi pecah, sehingga darah tumpah disekitar sel pada otak. Gejala dari stroke tiba – tiba muncul dan sering lebih dari satu gejala pada waktu yang bersamaan, seperti :

• Tiba tiba kebas atau terjadi kelemahan pada wajah, lengan, kaki, khususnya pada salah satu bagian tubuh.

• Tiba – tiba menjadi bingung, sulit berbicara, atau perkataan yang sulit dimengerti.

• Terjadi gangguan pada penglihatan pada salah satu atau kedua belah mata.

• Tiba – tiba menjadi sulit berjalan, pusing, kehilangan keseimbangan atau kordinasi.

• Tiba – tiba terjadi sakit kepala yang hebat tanpa diketahui penyebabnya.

Faktor risiko yang paling penting untuk terjadinya stroke adalah hipertensi, penyakit jantung, diabetes, dan perokok. Termasuk pengkonsumsi alkohol, tinggi kadar kolesterol, penggunaan obat terlarang, genetik, khususnya gangguan pembuluh darah. Stroke dapat terjadi pada semua golongan usia namun tiga perempat serangan stroke terjadi pada orang – orang dengan usia 65 tahun keatas. Menurut data statistik stroke terbanyak dijumpai pada usia diatas 55 tahun, walupaun dapat terjadi pada semua golongan usia. Insidens stroke karena perdarahan lebih sering terjadi pada usia 40 – 60 tahun sedangkan akibat infark (emboli trombus) lebih sering dijumpai pada usia 60 – 90 tahun. Menurut penelitian yang dilakukan Ecktstrorn dan kawan - kawan, juga penelitian yang dilakukan oleh Suharso, insiden menurut jenis kelamin tidak ada perbedaan bermakna antara pria dan wanita.

2.3 DEPRESI PASCA STROKE

Depresi yang terjadi setelah stroke disebut juga sebagai depresi pasca stroke. Hal ini merupakan konsekuensi yang sering terjadi, dan mempunyai akibat yang negatif pada masa penyembuhan dari fungsi motorik dan kognitif. Prevalensi terjadinya depresi pasca stroke berkisar antara 5% hingga 63% pada beberapa penelitian cross sectional, dimana hal ini sering terjadi 3 hingga 6 bulan setelah stroke.7,18 Prevalensi depresi dapat menurun sampai 16% pada 12 bulan, 19% pada 2 tahun, dan meningkat sampai 29% pada 3 tahun.

Menurut Masdeu dan Solomon, penderita stroke cenderung mudah menderita gangguan jiwa karena adanya perubahan yang tiba – tiba terhadap seseorang akibat ketidakmampuannya untuk menggunakan anggota badan mereka, adanya ketidakmampuan mereka berkomunikasi, mudah

Page 23: bhn referat

menyebabkan timbulnya gangguan penyesuaian. Sedangkan menurut Horvath dan kawan - kawan, gejala psikiatri yang paling sering dijumpai pada penyakit pembuluh darah otak adalah gejala depresi. Dari 600.000 pria dan wanita Amerika mengalami stroke yang pertama atau berulang setiap tahunnya, diperkirakan 10-27% mengalami depresi berat, dan 15-40% mengalami beberapa gejala – gejala depresi. Menurut penelitian yang dilakukan Kaplan dan kawan - kawan, perubahan psikologi yang terjadi mempunyai kaitan dengan lokasi lesi di otak.4 Lokasi yang sering dihubungkan dengan simtom depresi adalah lesi pada lobus frontalis, lobus temporalis, dan bangsal ganglia terutama nukleus kaudatus. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa depresi lebih sering dijumpai pada lesi stroke di hemisfer kiri.

Mayer mengatakan bahwa ada hubungan antara kelainan emosi dengan lokasi kerusakan otak pada penderita stroke. Babinski juga menyatakan bahwa pasien stroke dengan kerusakan hemisfer kanan sering menampakkan gejala – gejala eforia dan sikap tidak peduli. Selain itu, Bleuer mengatakan bahwa terdapat melankolia selama beberapa bulan bahkan lebih lama pada pasien pasca stroke. Robinson menyatakan bahwa lesi pada left anterior cerebral lebih signifikan untuk terjadinya depresi daripada lesi left posterior. Tetapi hal ini berbeda dengan penelitian systemic review yang dinyatakan oleh Carson dan kawan - kawan, dimana mereka menemukan dari 34 kelompok penelitian yang dilakukan, lokasi lesi tidak selalu berhubungan dengan depresi. Penelitian tentang hubungan antara stroke dan penyakit psikiatri berfokus pada depresi yang merupakan efek dari stroke, yang menyebabkan munculnya insiden depresi pasca stroke yang berkisar 20 - 50% setelah 1 bulan hingga 1 tahun setelah kejadian stroke. Meta analisis dari faktor risiko timbulnya depresi setelah stroke diidentifikasi mempunyai riwayat depresi pada masa dahulu, riwayat penyakit psikiatri, disfasia, gangguan fungsional, hidup sendiri, dan social isolation merupakan prediksi terpenting munculnya depresi. Lesi pada sisi kiri, khususnya lesi pada lobus frontal kiri mempunyai frekuensi yang lebih besar sebagai faktor risiko munculnya depresi pasca stroke. Pada suatu analisis dari 48 penelitian dengan data yang adekuat, bagaimanapun juga, tidak ada bukti - bukti antara lokasi lesi dengan kemungkinan terjadinya depresi. Bentuk dan perjalanan penyakit depresi pada pasien pasca stroke masih belum jelas, tetapi tidak sekedar merupakan reaksi dari stres psikis, fisik ataupun hendaya fungsi kognitif saja. Penyebab depresi pada keadaan pasca stroke ini tidak sederhana atau multi faktorial. Beberapa faktor yang dianggap sebagai kausa depresi pasca stroke antara lain adalah pengaruh gangguan anatomik, gangguan neurohormonal / neurotransmiter, dan psikologis.

Munculnya atropi kortikal dan pembesaran dari ventrikel juga merupakan faktor risiko penting terjadinya depresi pasca stroke. Starkstein dan teman – teman melakukan penelitian terhadap atropi subkortikal pada otak melalui CT scan yang terjadi setelah stroke. Pasien yang mengalami depresi pasca stroke secara signifikan mengalami atropi yang besar dibandingkan pasien stroke yang tidak mengalami depresi. Sebagai tambahan, lesi subkortikal yang kecil pada hemisfer kiri lebih sering berhubungan dengan frekuensi yang tinggi terjadinya depresi dibandingkan lesi pada hemisfer kanan..

Robinson mengatakan bahwa penderita stroke yang pada saat serangan akut tidak menunjukkan tanda-tanda depresi, pada pemeriksaan ulang yang dilakukan 6 bulan kemudian dijumpai sekitar 30%-nya memperlihatkan gejala depresi. Sementara setengah dari penderita yang mengalami depresi dalam waktu 2-3 bulan setelah terjadinya serangan stroke akan tetap menunjukkan tanda-tanda depresi selama kurang lebih 1 tahun. Sedangkan depresi yang terjadi segera yaitu dalam

Page 24: bhn referat

beberapa hari setelah stroke, acap kali berhubungan dengan remisi spontan. Selain depresi, ansietas juga sering terjadi mengikuti serangan stroke dan prevalensinya berkisar antara 6-13%. Prevalensi ini meningkat menjadi lebih tinggi yaitu sekitar 28% bilamana ansietas terdapat bersama-sama dengan depresi

2.4 Kelainan/gangguan Otak

Meta analisis dari faktor risiko timbulnya depresi setelah stroke diidentifikasi mempunyai riwayat depresi pada masa dahulu, riwayat penyakit psikiatri, disfasia, gangguan fungsional, hidup sendiri, dan social isolation merupakan prediksi terpenting munculnya depresi. Lesi pada sisi kiri, khususnya lesi pada lobus frontal kiri mempunyai frekuensi yang lebih besar sebagai faktor risiko munculnya depresi pasca stroke. Pada suatu analisis dari 48 penelitian dengan data yang adekuat, bagaimanapun juga, tidak ada bukti - bukti antara lokasi lesi dengan kemungkinan terjadinya depresi. Bentuk dan perjalanan penyakit depresi pada pasien pasca stroke masih belum jelas, tetapi tidak sekedar merupakan reaksi dari stres psikis, fisik ataupun hendaya fungsi kognitif saja. Penyebab depresi pada keadaan pasca stroke ini tidak sederhana atau multi faktorial. Beberapa faktor yang dianggap sebagai kausa depresi pasca stroke antara lain adalah pengaruh gangguan anatomik, gangguan neurohormonal / neurotransmiter, dan psikologis.

Munculnya atropi kortikal dan pembesaran dari ventrikel juga merupakan faktor risiko penting terjadinya depresi pasca stroke. Starkstein dan teman – teman melakukan penelitian terhadap atropi subkortikal pada otak melalui CT scan yang terjadi setelah stroke. Pasien yang mengalami depresi pasca stroke secara signifikan mengalami atropi yang besar dibandingkan pasien stroke yang tidak mengalami depresi. Sebagai tambahan, lesi subkortikal yang kecil pada hemisfer kiri lebih sering berhubungan dengan frekuensi yang tinggi terjadinya depresi dibandingkan lesi pada hemisfer kanan.

2.5 Beck Depression Inventory (BDI)

Beck Depression Inventory (BDI) merupakan suatu skala yang dapat digunakan sebagai alat skreening pada pasien depresi yang timbul akibat stroke. BDI terdiri dari 21 pertanyaan yang sering digunakan pada penelitian depresi pasca stroke. BDI mempunyai cutoff point optimal dengan nilai 10, sensitivitas 80.0, dan spesifisitas 61.4.

Pasien dengan depresi pasca stroke lebih lambat penyembuhan atau perbaikan fungsi fisik maupun kognitifnya dibandingkan dengan pasien stroke tanpa depresi. Juga 3 – 4 kali lebih cepat berakibat fatal dalam kurun waktu 10 tahun setelah mengalami stroke. Stroke merupakan suatu stressor psikososial yang berat bagi penderita maupun pasangannya, yang harus dihadapi dan diselesaikan dengan baik

Page 25: bhn referat

2.6 Kerangka Konsep

Depresi pasca stroke

Pasien stroke :

- Umur penderita

- Jenis kelamin

- Tingkat pendidikan

- Pekerjaan

- Status perkawinan

- Lokasi lesi

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pada umumnya seseorang yang menderita stroke akan mengalami gangguan neurologis pasca-stroke. Hal ini dikarenakan karena adanya kelainan pada otak (serebral) yang mengalami kerusakan akibat iskemia pada daerah tersebut, sehingga dapat mengakibatkan Di antara faktor-faktor yang berperan terhadap kejadian dan beratnya depresi pasca-stroke adalah lokasi dari lesi di otak, adanya riwayat depresi di dalam keluarga, dan kondisi kehidupan sosial pra-stroke. Penderita-penderita stroke yang mengalami depresi berat acapkali kurang responsif terhadap upaya rehabilitasi, bersifat mudah marah, dan menunjukkan perubahan perilaku atau kepribadian. Hal ini telah diungkapkan dan dibenarkan bahwa ada hubungan nya antara depresi dengan kelainan otak pada penderita pasca stroke melalui adanya penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dilakukan beberapa peneliti yaitu :

Menurut Masdeu dan Solomon, penderita stroke cenderung mudah menderita gangguan jiwa karena adanya perubahan yang tiba – tiba terhadap seseorang akibat ketidakmampuannya untuk menggunakan anggota badan mereka, adanya ketidakmampuan mereka berkomunikasi, mudah menyebabkan timbulnya gangguan penyesuaian. Sedangkan menurut Horvath dan kawan - kawan, gejala psikiatri yang paling sering dijumpai pada penyakit pembuluh darah otak adalah gejala depresi. Dari 600.000 pria dan wanita Amerika mengalami stroke yang pertama atau berulang setiap tahunnya, diperkirakan 10-27% mengalami depresi berat, dan 15-40% mengalami beberapa gejala – gejala depresi. Menurut penelitian yang dilakukan Kaplan dan kawan - kawan, perubahan psikologi yang terjadi mempunyai kaitan dengan lokasi lesi di otak.4 Lokasi yang sering dihubungkan dengan simtom depresi adalah lesi pada lobus frontalis, lobus temporalis, dan bangsal ganglia terutama nukleus kaudatus. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa depresi lebih sering dijumpai pada lesi stroke di hemisfer kiri.

Page 26: bhn referat

Mayer mengatakan bahwa ada hubungan antara kelainan emosi dengan lokasi kerusakan otak pada penderita stroke. Babinski juga menyatakan bahwa pasien stroke dengan kerusakan hemisfer kanan sering menampakkan gejala – gejala eforia dan sikap tidak peduli. Selain itu, Bleuer mengatakan bahwa terdapat melankolia selama beberapa bulan bahkan lebih lama pada pasien pasca stroke. Robinson menyatakan bahwa lesi pada left anterior cerebral lebih signifikan untuk terjadinya depresi daripada lesi left posterior. Tetapi hal ini berbeda dengan penelitian systemic review yang dinyatakan oleh Carson dan kawan - kawan, dimana mereka menemukan dari 34 kelompok penelitian yang dilakukan, lokasi lesi tidak selalu berhubungan dengan depresi. Penelitian tentang hubungan antara stroke dan penyakit psikiatri berfokus pada depresi yang merupakan efek dari stroke, yang menyebabkan munculnya insiden depresi pasca stroke yang berkisar 20 - 50% setelah 1 bulan hingga 1 tahun setelah kejadian stroke. Meta analisis dari faktor risiko timbulnya depresi setelah stroke diidentifikasi mempunyai riwayat depresi pada masa dahulu, riwayat penyakit psikiatri, disfasia, gangguan fungsional, hidup sendiri, dan social isolation merupakan prediksi terpenting munculnya depresi. Lesi pada sisi kiri, khususnya lesi pada lobus frontal kiri mempunyai frekuensi yang lebih besar sebagai faktor risiko munculnya depresi pasca stroke. Pada suatu analisis dari 48 penelitian dengan data yang adekuat, bagaimanapun juga, tidak ada bukti - bukti antara lokasi lesi dengan kemungkinan terjadinya depresi. Bentuk dan perjalanan penyakit depresi pada pasien pasca stroke masih belum jelas, tetapi tidak sekedar merupakan reaksi dari stres psikis, fisik ataupun hendaya fungsi kognitif saja. Penyebab depresi pada keadaan pasca stroke ini tidak sederhana atau multi faktorial. Beberapa faktor yang dianggap sebagai kausa depresi pasca stroke antara lain adalah pengaruh gangguan anatomik, gangguan neurohormonal / neurotransmiter, dan psikologis.

Munculnya atropi kortikal dan pembesaran dari ventrikel juga merupakan faktor risiko penting terjadinya depresi pasca stroke. Starkstein dan teman – teman melakukan penelitian terhadap atropi subkortikal pada otak melalui CT scan yang terjadi setelah stroke. Pasien yang mengalami depresi pasca stroke secara signifikan mengalami atropi yang besar dibandingkan pasien stroke yang tidak mengalami depresi. Sebagai tambahan, lesi subkortikal yang kecil pada hemisfer kiri lebih sering berhubungan dengan frekuensi yang tinggi terjadinya depresi dibandingkan lesi pada hemisfer kanan.

Robinson mengatakan bahwa penderita stroke yang pada saat serangan akut tidak menunjukkan tanda-tanda depresi, pada pemeriksaan ulang yang dilakukan 6 bulan kemudian dijumpai sekitar 30%-nya memperlihatkan gejala depresi. Sementara setengah dari penderita yang mengalami depresi dalam waktu 2-3 bulan setelah terjadinya serangan stroke akan tetap menunjukkan tanda-tanda depresi selama kurang lebih 1 tahun. Sedangkan depresi yang terjadi segera yaitu dalam beberapa hari setelah stroke, acap kali berhubungan dengan remisi spontan. Selain depresi, ansietas juga sering terjadi mengikuti serangan stroke dan prevalensinya berkisar antara 6-13%. Prevalensi ini meningkat menjadi lebih tinggi yaitu sekitar 28% bilamana ansietas terdapat bersama-sama dengan depresi

Menurut penulis, seseorang penderita stroke sangatlah cenderung terkena gangguan jiwa , hal tersebut karena perubahan secara tiba-tiba baik dari segi fisiologis,komunikasi verbal,neurologis,dll. Karena ketidakmampuan yang mereka rasakan tersebut yang dapat memperburuk kondisi kejiwaan, sebagai akibat adanya kelainan/gangguan pada serebral pasien stroke . Yakni beberapa faktor yang dianggap sebagai kausa depresi pasca stroke antara lain adalah pengaruh gangguan anatomik,

Page 27: bhn referat

gangguan neurohormonal / neurotransmiter, dan psikologis .Dimana pernyataan ini sesuai yang telah di buktikan oleh peneliti-peneliti sebelumnya.

Akan tetapi,pada suatu analisis dari 48 penelitian dengan data yang adekuat, bagaimanapun juga, tidak ada bukti - bukti antara lokasi lesi dengan kemungkinan terjadinya depresi. Bentuk dan perjalanan penyakit depresi pada pasien pasca stroke masih belum jelas, tetapi tidak sekedar merupakan reaksi dari stres psikis, fisik ataupun hendaya fungsi kognitif saja. Penyebab depresi pada keadaan pasca stroke ini tidak sederhana atau multi faktorial. Beberapa faktor yang dianggap sebagai kausa depresi pasca stroke antara lain adalah pengaruh gangguan anatomik, gangguan neurohormonal / neurotransmiter, dan psikologis

3.2 Saran

Beberapa peneliti-peneliti sebelumnya telah mengungkapkan dan membuktikan bahwa ada hubungan antara depresi dengan kelainan/gangguan otak pada penderita pasca stroke meskipun keadaan pasca stroke adalah tidak multi-factorial. Kritik dan saran penulis harapkan untuk penyempurnaan karya tulis ini. Mohon maaf bila ada kesalahan baik dari penulisan dan kata-kata. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

.

DAFTAR PUSTAKA

Penyakit psikologi popular :hal :

http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&cad=rja&ved=0CEEQFjAD&url=http%3A%2F%2Feprints.undip.ac.id%2F29354%2F3%2FBab_2.pdf&ei=HAzhUtDfOcGzrgfT8oCwAw&usg=AFQjCNGU7HevX2o96nS-Y7NqMIm_0sZRvQ&sig2=grh4vKLTBH-SRm6in9lJmQ&bvm=bv.59568121,d.bmk

http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&cad=rja&ved=0CEEQFjAD&url=http%3A%2F%2Feprints.USU.ac.id

Page 28: bhn referat

%2F29354%2F3%2FBab_2.pdf&ei=HAzhUtDfOcGzrgfT8oCwAw&usg=AFQjCNGU7HevX2o96nS-Y7NqMIm_0sZRvQ&sig2=grh4vKLTBH-SRm6in9lJmQ&bvm=bv.59568121,d.bmk

DEPRESI PASCA STROKE

PENDAHULUAN

Depresi dapat mengenai siapa saja, tetapi orang-orang dengan penyakit yang serius seperti stroke memiliki risiko lebih tinggi. Hubungan antara gejala-gejala depresi dan penyakit serebrovaskuler telah banyak dilaporkan. Beberapa peneliti bahkan mengusulkan suatu istilah vascular depression yang khusus menggambarkan kelainan klinis tersebut. Apati, perubahan-perubahan psikomotor, gangguan kognitif dan gejala neurologis fokal merupakan gejala yang sering dijumpai pada vascular depression. Seringkali depresi pasca stroke kurang mendapat perhatian sehingga mudah terlewatkan dan tidak terdiagnosis. Penderita stroke, anggota keluarga dan teman-temannya, bahkan kadang-kadang dokter yang merawatnya dapat secara salah menafsirkan gejala depresi yang dianggapnya sebagai suatu reaksi yang tak terhindarkan yang timbul karena penderita mendapat serangan stroke. Padahal, diagnosis dan pengobatan depresi yang baik dapat memberi keuntungan yang nyata pada seseorang yang sedang dalam penyembuhan. Pengobatan terhadap depresi dapat pula mempersingkat proses rehabilitasi dan mempercepat penyembuhan kelainan-kelainan yang ditimbulkan akibat stroke.

Secara umum, stroke dapat terjadi pada semua kelompok umur, bahkan pada janin yang masih di dalam kandungan sekalipun. Tetapi tiga perempat dari peristiwa stroke terjadi pada orang-orang yang sudah berusia 65 tahun atau lebih, sehingga stroke mengakibatkan timbulnya disabilitas pada orang-orang tua. Umumnya gejala depresi ini timbul dalam waktu 1-2 bulan setelah terjadinya stroke. Di antara faktor-faktor yang berperan terhadap kejadian dan beratnya depresi pasca stroke adalah lokasi dari lesi di otak, adanya riwayat depresi di dalam keluarga, dan kondisi kehidupan sosial pra stroke.

Penderita-penderita stroke yang mengalami depresi berat acapkali kurang responsif terhadap upaya rehabilitasi, bersifat mudah marah, dan menunjukkan perubahan perilaku atau kepribadian. Tetapi depresi adalah suatu kelainan yang harus dilihat secara terpisah dari stroke, dan harus ditangani sedini mungkin bahkan ketika penderita sedang menjalani proses rehabilitasi. Meskipun gejala-gejala depresi tumpang tindih dengan gejala pasca stroke, seorang profesional kesehatan yang terlatih harus mampu mengenali gejala depresi tersebut, mendiagnosis dan kemudian merancang pengobatannya. 1

Page 29: bhn referat

ETIOLOGI

Depresi pasca stroke mempunya etiologi yang sifatnya multifaktorial dengan komponen reaktif dan organik. Depresi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari proses infark otak atau dapat terjadi sebagai reaksi akibat cacat atau ketidakberdayaan yang disebabkan oleh stroke. Perilaku emosional dan reaksi katastrofik lebih sering dijumpai pada penderita-penderita yang mengalami lesi di daerah hemisfer kiri sedangkan pada penderita dengan kerusakan hemisfer kanan terdapat pola reaksi indiferen. Penderita dengan lesi hemisfer kiri 64% menunjukkan gangguan depresi ringan sampai berat sedangkan kelainan ini hanya dijumpai pada 14% penderita dengan lesi hemisfer kanan. Mereka juga menemukan bahwa atrofi subkortikal berkaitan dengan depresi pasca stroke. Penderita-penderita stroke dengan depresi dan ansietas lebih sering menunjukkan lesi kortikal (sebelah kiri) dibandingkan dengan kelompok penderita stroke yang hanya dengan depresi saja. Pada kelompok penderita stroke yang hanya dengan depresi saja ini lebih banyak ditemukan kerusakan subkortikal, sedangkan penderita stroke dengan ansietas sering berkaitan dengan lesi hemisfer kanan. Selain itu penderita dengan lesi hemisfer kiri yang memperlihatkan gejala depresi jumlahnya tidak secara bermakna lebih besar.1

EPIDEMIOLOGI

Selama sepuluh tahun terakhir sejumlah besar penelitian mengenai prevalensi depresi pasca stroke telah dilakukan. Dibandingkan dengan prevalensi depresi yang terdapat pada populasi umumnya, prevalensi depresi pasca stroke secara bermakna jauh lebih tinggi. Prevalensi depresi pasca stroke berkisar antara 11-68%, tergantung dari seleksi penderita, kriteria diagnostik yang digunakan dan lamanya waktu pemeriksaan ulang berikutnya (follow-up) setelah terjadinya serangan stroke. Dalam sejumlah besar pustaka, prevalensi depresi pasca stroke berkisar antara 6-22% pada dua minggu pertama, 22-53% setelah 3-4 bulan, 16-47% pada tahun pertama, 19% pada tahun kedua, 9-41% pada tahun ketiga, 35% pada tahun kelima, dan 19% pada tahun ketujuh pasca stroke. Prevalensi ini semakin meningkat dengan meningkatnya umur penderita. Ini menunjukkan adanya korelasi positif antara umur dan depresi. Prevalensi yang paling tinggi terdapat sekitar 3-6 bulan pasca stroke dan tetap tinggi sampai 1-3 tahun kemudian,tetapi umumnya prevalensi akan menurun sampai setengahnya setelah satu tahun terjadinya stroke. Penderita stroke yang pada saat serangan akut tidak menunjukkan tanda-tanda depresi, pada pemeriksaan ulang yang dilakukan enam bulan kemudian dijumpai sekitar 30%-nya memperlihatkan gejala depresi. Sementara setengah dari penderita yang mengalami depresi dalam waktu 2-3 bulan setelah terjadinya serangan stroke akan tetap menunjukkan tanda-tanda depresi selama kurang lebih satu tahun. Sedangkan depresi yang terjadi segera yaitu dalam beberapa hari setelah stroke, acapkali berhubungan dengan remisi spontan.Selain depresi, ansietas juga sering terjadi mengikuti serangan stroke dan prevalensinya berkisar antara 6-13%. Prevalensi ini meningkat menjadi lebih tinggi yaitu sekitar 28% bilamana ansietas terdapat bersama-sama dengan depresi.

Page 30: bhn referat

Jenis kelamin (gender) juga memegang peranan penting di dalam risiko untuk terjadinya stroke. Dilaporkan laki-laki memiliki risiko stroke lebih tinggi dibandingkan perempuan, tetapi oleh karena usia rata-rata perempuan lebih panjang maka pada suatu tingkat usia tertentu jumlah perempuan yang mengalami serangan stroke lebih banyak dari laki-laki.Angka prevalensi depresi pasca stroke adalah 10-25% untuk perempuan dan 5-12% untuk laki-laki. Pada perempuan, adanya riwayat kelainan psikiatris dan kelainan kognitif sebelum terjadinya stroke menyebabkan gejala depresi yang timbul menjadi lebih berat, sedangkan pada laki-laki depresi pasca stroke berhubungan dengan gangguan yang lebih besar dari aktivitas hidup sehari-hari serta fungsi sosial. 1

Depresi merupakan keadaan medis yang berbahaya karena mempengaruhi pikiran,perasaan dan kemampuan terhadap ativitas sehari-hari. Depresi dapat terjadi pada semua usia. Penelitian NIMH memperkirakan 6% kelompok usia sembilan hingga tujuh belas tahun di Amerika Serikat dan hampir sepuluh persen dewasa atau kurang lebih sembilan belas juta orang pada kelompok usia delapan belas atau lebih terkena depresi setiap tahunnya.2

HUBUNGAN LETAK LESI DAN STROK

Berbagai faktor resiko berhubungan dengan depresi pasca stroke termasuk lokasi dan ukuran strok, dan ukuran ventrikel. Hubungan lokasi strok dan depresi pasca stroke telah banyak diteliti, namun hasilnya masih terdapat pertentangan. Robinson dkk, yang pertama menyimpulkan terdapat hubungan antara depresi pasca stroke dan hemisfer stroke kiri meliputi lesi di kortikal frontal dorsolateral kiri dan ganglia basalis kiri. Robinson dan Szetela juga meneliti hubungan terbalik antara beratnya depresi pasca stroke dan jarak lesi stroke dengan kutub frontal. Singh dkk, mereview data dari dua belas penelitian. Mereka mendapatkan tidak terdapat hubungan antara lokasi stroke dan depresi pasca stroke pada enam penelitian, dan mereka menemukan sebaliknya pada empat penelitian. Setelah melengkapi review literatur depresi pasca stroke. Cummings dan Mega menyimpulkan hubungan antara lokasi stroke depresi pasca stroke berhubungan dengan onset gejala depresi setelah stroke. Terdapat frekuensi yang tinggi lesi hemisfer kiri daripada kanan pada pasien dengan gejala depresi dalam sepuluh hari pertama stroke. Hubungan ini menghilang jika onset gejala tiga bulan setelah stroke. Selanjutnya dilaporkan bila gejala depresi tampak lebih dari satu tahun setelah stroke, lesi hemisfer kanan lebih sering.

Adanya atropi kortikal dan pelebaran ventrikel telah diteliti faktor resiko yang potensial untuk depresi pasca stroke. Starkstein dkk membandingkan atropi subkortikal pada CT Scan otak segera setelah stroke. Pasien dengan depresi pasca stroke memiliki dejat atropi yang lebih besar daripada yang tidak menderita depresi pasca stroke.

Suatu penelitian yang dilakukan terhadap pasien dengan lesi sirkulasi serebri media dan lesi sirkulasi posterior didapatkan depresi lebih sering pada lesi sirkulasi media dan perjalanan depresi di regio batang otak/serebelum lebih pendek. Penemuan ini menunjukkan bahwa mekanisme terjadi depresi akibat lesi di serebri media berbeda dengan lesi di batang otak / serebelum. Hal ini disebabkan karena lesi di batang otak biasanya ukurannya kecil dan tidak begitu merusak jaras biogenik amin. Jaras biogenik amin berperan penting dalam memodulasi emosi.3

Page 31: bhn referat

MEKANISME TERJADINYA DEPRESI PASCA STROKE

Penyebab pasti depresi pasca stroke belum diketahui. Ada dugaan depresi pasca stroke disebabkan oleh disfungsi biogenik amin. Badan sel serotoninergik dan noradrenergik terletak di batang otak dan ia mengirim proyeksinya melalui bundel forebrain media ke korteks frontal. Lesi yang mengganggu korteks prefrontal atau ganglia basalis dapat merusak serabut-serabut ini. Ada dugaan depresi pasca stroke disebabkan oleh deplesi serotonin dan norepinefrin akibat lesi frontal dan ganglia basalis. Respon biokimia terhadap lesi iskemik bersifat lateralisasi. Lesi hemisfer. Kiri menyebabkan peninggian regulasi serotonin karena mekanisme kompensasi yang bersifat protektor terhadap depresi.

Pada penelitian untuk melihat hubungan beratnya disabilitas dan depresi didapatkan hubungan bermakna, tetapi hubungan ini tidak konsisten pada penelitian dengan evaluasi follow up dengan waktu lebih panjang. Hal ini memberi kesan disabilitas dapat menyebabkan depresi reaktif pada tahap dini setelah stroke, tetapi kemungkinan tidak menyebabkan depresi pasca stroke dalam jangka waktu panjang. Pada review literatur oleh Robinson dan Szetela menyimpulkan beratnya gangguan aktivitas sehari-hari mempunyai pengaruh yang terbatas pada depresi pasca stroke.

Depresi pasca stroke juga memiliki hubungan dua arah, tidak hanya pasien dengan stroke memiliki resiko lebih besar untuk mengalami depresi, tetapi pasien dengan depresi memiliki resiko dua kali lebih besar untuk mengalami stroke. Meskipun telah mengontrol faktor resiko lainnya. Peningkatan resiko stroke pada pasien dengan depresi dapat melalui peningkatan resiko penyakit kardiovaskular, hipertensi, aritmia jantung, dan diabetes.3

KLASIFIKASI

Depresi menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV) terbagi menjadi 4 antara lain :

1. Gangguan depresi mayor unipolar dan bipolar

2. Gangguan mood spesifik lainnya :

- Gangguan distimik depresi minor.

- Gangguan siklotimik depresi dan hipomanik saat ini atau baru saja berlalu (secara terus menerus selama 2 tahun).

- Ganguan depresi atipik

- Depresi postpartum

- Depresi menurut musim

Page 32: bhn referat

3. Gangguan depresi akibat kondisi medik umum dan gangguan depresi akibat zat 4. Gangguan penyesuaian dengan mood depresi; depresi disebabkan oleh stresor psikososial.4

Sedangkan klasifikasi depresi pasca stroke terdiri atas tiga bentuk antara lain bentuk ringan, bentuk distimik dan bentuk berat. Depresi pasca stroke bentuk berat dapat menyebabkan gangguan berupa perasaan ketidakberdayaan yang berkepanjangan dan berlebih-lebihan sehingga mendorong penderita stroke untuk bunuh diri. Perasaan takut jatuh, terjadinya serangan stroke ulangan, dan bahkan perasaan tidak nyaman oleh pandangan orang lain terhadap cacat dirinya dapat menyebabkan penderita stroke membatasi diri untuk tidak keluar dari lingkungannya. Keadaan ini selanjutnya dapat mendorong penderita ke dalam gejala depresi yang berdampak pada motivasi dan rasa percaya dirinya. Maka terjadilah suatu lingkaran debilitatis yang tidak ada kaitannya dengan ketidakmampuan fisiknya. Ketidakmampuan fisik (physical disability) bersama-sama dengan gejala depresi dapat menyebabkan aktivitas penderita stroke menjadi sangat terbatas pada tahun pertama, namun dukungan sosial dapat mengurangi dampak dari ketidak-mampuan fisik serta depresi tersebut. Ketidakmampuan fisik yang menyebabkan hilangnya peran hidup yang dimiliki penderita sebelum sakit dapat menyebabkan gangguan persepsi akan arti diri (personal worth) yang bersangkutan dan dengan sendirinya mengurangi kualitas hidupnya. Tampaknya, persepsi penderita yang tidak proporsional mengenai ketidakmampuan fisiknya itu merupakan suatu faktor kontribusi di dalam meyakini secara berlebihan seluruh cacat yang dideritanya. Gangguan afek yang mungkin terjadi pada periode akut dari stroke perlu diwaspadai dan perlu dibedakan dari depresi pasca stroke yang baru akan timbul beberapa minggu kemudian setelah stroke. Gangguan afek ini sering dikenal dengan beberapa istilah seperti emosionalisme patologis, gejala menangis-tertawa patologis, atau labilitas emosional. 1

GAMBARAN KLINIS

Gambaran pasien dengan depresi pasca stroke dapat dinilai dari gambarn emosi, kognitif, vegetatif dan psikomotor. Antara lain sebagai berikut :

Gambaran emosi

- Mood depresi, sedih atau murung

- Iritabilitas, ansietas

- Ikatan emosi berkurang

- Menarik diri dari hubungan interpersonal

- Preokupasi dengan kematian

- Ide-ide bunuh diri atau bunuh diri

Page 33: bhn referat

Gambaran kognitif

- Mengeritik diri sendiri, perasaan tak berharga, rasa bersalah

- Pesimis, tak ada harapan, putus asa

- Bingung, konsentrasi buruk

- Tak pasti dan ragu-ragau

- Berbagai obsesi

- Keluhan somatik

- Gangguan memori

- Ide-ide mirip waham

Gambaran Vegetatif

- Lesu dan tak ada tenaga

- Tak bisa tidur atau banyak tidur

- Tak mau makan atau banyak makan

- Penurunan berat badan atau penambahan berat badan

- Libido terganggu

- Variasi diurnal

Gambaran Psikomotor

- Retardasi psikomotor

- Agitasi psikomotor

Selain itu tanda-tanda depresi dapat juga sebagai berikut :

- Tidak atau lambat bergerak

- Wajah sedih dan selalu berlinang air mata

- Kulit dan mulut kering

- Konstipasi 4

Page 34: bhn referat

DIAGNOSIS

Diagnosis depresi yang berhubungan dengan stroke dan atau kondisi medis kronis lainnya ditegakkan berdasar kriteria diagnosis menurut DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, fourth edition). Minimal didapatkan lima dari gejala-gejala berikut di bawah yang telah berlangsung selama periode dua minggu dan menggambarkan suatu perubahan nyata dari fungsi sebelumnya.

1. Mood yang depresif sepanjang hari

2. Kehilangan minat atau kesenangan dalam segala hal atau aktivitas

3. Penurunan berat badan ketika tidak sedang melaksanakan diet atau penurunan atau peningkatan selera makan hampir setiap hari

4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari

5. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari

6. Lelah atau kehilangan energi hampir setiap hari

7. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan

8. Kehilangan kemampuan untuk berpikir dan berkonsentrasi

9. Pikiran berulang tentang kematian, pikiran bunuh diri, atau rencana spesifik untuk melakukan bunuh diri5

Sedangkan menurut PPDGJ III depresi pasca stroke termasuk dalam gangguan depresif organik (F06.32). Gejala klinis depresi pasca stroke hampir sama dengan gejala depresi fungsional. Depresi mayor dan minor sering kita jumpai dalam depresi pasca stroke. Berdasarkan PPDGH III, diagnosis depresi berdasarkan(-) :

a. Gejala Utama

- Afek depresif

- Kehilangan minat dan kegembiraan

- Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata setelah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas

b. Gejala lainnya

- Konsentrasi dan perhatian berkurang

- Harga diri dan kepercayaan diri berkurang

Page 35: bhn referat

- Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna

- Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis

- Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri

- Tidur terganggu

- Nafsu makan berkurang

Sedangkan untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa sekurang-kurangnya dua minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.6

DIFERENSIAL DIAGNOSIS

Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi ke III menunjukkan gejala-gejala yang mirip dengan depresi pasca stroke antara lain :

1. Episode depresif ringan (F32.0) dengan pedoman diagnostik :

- Sekurang-kurangnya ada dua gejala dari tiga gejala utama depresi

- Ditambah sekurang-kurangnya dua dari tiga gejala lainnya

- Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukannya

2. Episode depresif sedang (F32.1)

- Sekurang-kurangnya harus ada dua dari tiga gejala utama

- Ditambah sekurang-kurangnya tiga dan sebaiknya empat dari gejala lainnya

- Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan rumah tangga

3. Episode depresif berat tanpa gejala psikotik (F32.2)

- Semua tiga gejala utama harus ada

- Ditambah sekurang-kurangnya empat dari gejala lainnya, dan beberapa di anataranya harus berintensitas berat

- Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresid berat masih dibenarkan

- Sangat tidak mungkin akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.6

PENATALAKSANAAN

Page 36: bhn referat

Terapi depresi pasca stroke dikatakan berhasil jika terdapat penurunan nilai Hamilton Depression Rating Scales (HDRS) lebih dari 50% setelah pengobatan. Dalam pemilihan obat perlu diperhatikan hal-hal berikut :

1. Mengetahui efek pada masalah klinisnya

2. Mengetahui efek penyakit dasarnya

3. Mengetahui implikasi akibat efek samping obat

4. Mengetahui interaksi dengan obat somatik lainnya

5. Pemakaian obat oral/parenteral

6. Mengetahui fungsi hati/ginjal dan dosis yang diberikan

7. Mengetahui masalah ilmu dasar yang mendasarinya

Selain itu perlu pemeriksaan medik dan psikiatrik untuk menyisihkan depresi sekunder. Tanyakan tentang gambaran-gambaran vegetatif dan evaluasi potensi untuk bunuh diri. Apakah pasien :

1. Mengalami ketidakmampuan akibat gangguan ini

2. Mempunyai lingkungan rumah yang destruktif atau dukungan lingkungan yang terbatas

3. Mempunyai ide-ide bunuh diri

4. Mempunyai praktik medik terkait yang memerlukan pengobatan atau perawatan.

Semua pasien depresi mesti mendapatkan psikoterapi, beberapa memerlukan tambahan terapi fisik. Jenis terapi bergantung dari diagnosis, berat penyakit, umur pasien, respons terhadap terapi sebelumnya.5

a. Psikofarmaka

Obat anti depresi yang digunakan pada pasien depresi pasca stroke adalah SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors). Contoh : Sertraline, Paroxetine, Fluvoxamine, Fluoxetine, Duloxetine, Citalopram.

Namun obat-obat anti depresan juga memiliki efek samping berupa :

- Sedasi (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun,dll)

- Efek anti kolinergik (mulut kering, retensi urin, penglihatan kabur, konstipasi, sinus takikardia, dll)

- Efek anti adrenergik alfa (perubahan EKG, hipotensi)

Page 37: bhn referat

- Efek neurotoksis (tremor halus, gelisah,agitasi, insomnia)

Efek samping yang tidak berat (tergantung daya toleransi dari penderita) biasanya berkurang 2-3 minggu bila tetap diberikan dengan dosis yang sama.

Pada keadaan overdosis atau intoksikasi trisiklik dapat timbul “Atropine Toxic Syndrome” dengan gejala : eksitasi SSP, hipertensi, hiperpireksia, konvulsi, toxic confusional state (confusion,delirium,disorientation)

Tindakan untuk keadaan tersebut :

- Gastric lavage (hemodialisis tidak bermanfaat oleh karena obat trisiklik bersifat “protein binding” , forced diuresis juga tidak bermanfaat oleh karena renal “excretion of free drug” rendah

- Diazepam 10 mg (im) untuk mengatasi konvulsi

- Prostigmine 0,5-1,0 mg (im) untuk mengatasi efek anti kolinergik (dapat diulangi sampai 30-45 menit sampai gejala mereda)

- Monitoring EKG untuk deteksi kelainan jantung7

Psikoterapi

Psikoterapi yaitu terapi yang digunakan untuk menghilangkan keluhan-keluhan dan mencegah kambuhnya gangguan psikologik atau pola perilaku maladaptif. Terapi ini dilakukan dengan jalan pembentukan hubungan profesional antara terapis dengan pasien. Psikoterapi untuk depresi pasca stroke dapat diberikan secara individu, kelompok, atau pasangan sesuai dengan gangguan psikologik yang mendasarinya. Beberapa pasien dan klinisi sangat meyakini manfaat intervensi psikoterapi tetapi ada pula yang sebaliknya yaitu tidak percaya. Berdasarkan hal ini, keputusan untuk melakukan psikoterapi sangat dipengaruhi oleh penilaian dokter atau pasiennya. 4

Jenis psikoterapi yang diberikan pada pasien depresi pasca stroke dapat berupa terapi kognitif yaitu pasien belajar untuk berhadapan dengan keadaan personal depresi, terapi kelompok, psikoterapi psikoanalitik, terapi keluarga dan terapi perkawinan. Semuanya dapat dikombinasikan dengan farmakoterapi.9

Rehabilitasi Stroke

Rehabilitasi unit stroke mencakup sebuah paket perawatan kompleks yang meningkat termasuk status neuropsikiatri. Prinsip dari rehabilitasi stroke yaitu :

1. Pendidikan

2. Perawatan fisik (misalnya oksigen,larutan garam intravena)

3. Rehabilitasi fisik (misalnya mobilisasi segera)

Page 38: bhn referat

4. Dukungan dan penyemangat (misalnya pengerahan segera)

5. Dukungan dan penyemangat (misalnya teknik motivasi)

6. Pencegahan untuk komplikasi yang dapat dihindari (misalnya dengan penggunaan antibiotik dan antipiuretik)

7. Pengenalan segera dan perawatan untuk komplikasi tak terhindarkan

8. Intervensi Neuropsikiatrik8

Faktor yang Mempengaruhi Rehabilitasi Stroke

Penentu tingkat keparahan

- Tingkat dan lokasi stroke

- Gangguan kesadaran

- Serum glukosa

Faktor Resiko

- Usia lanjut

- Penyakit yang menyertai

- Status gizi

- Riwayat stroke

- Serum albumin

Komplikasi

- Afasia

- Gangguan kesadaran

- Depresi

- Inkontinensia8

Page 39: bhn referat

PROGNOSIS

Hasil akhir dari pengobatan pasien dengan episode depresif adalah bervariasi secara umum berdasarkan follow up yang lebih baik. Resiko relaps akan berulang jika pengobatan antidepressan diteruskan hingga enam bulan setelah akhir episode depresif.9

DAFTAR PUSTAKA

1. R.Suwantara, Jeanette. Depresi pasca-stroke : epidemiologi, rehabilitasi. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. 2004. Page 150-155

2. Annonimous. Depression and Stroke. Departement of Health and Human Services National Institutes of Health. Available from : http://www.mentalhelp.net

3. Nurmiati, Amir. Depresi Pasca Stroke : Aspek Neurobiologi Diagnosis dan Tatalaksana. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2005. Halaman 133-140

4. Nurmiati, Amir. Cermin Dunia Kedokteran No.149 : Diagnosis dan Penatalaksanaan Depresi Pasca Stroke. Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. 2005. Halaman 8-13

5. Meifi. Agus,Darmady. Majalah Kedokteran Damianus.Vol 8 No.1 : Stroke dan Depresi Pasca Stroke. Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009. Halaman 17-26.

6. Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya. 2001.

7. Maslim, Rusdi. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya. 2001.

8. Mitchell, Alex J. Neuropsychiatry and Behavioural Neurolgy Explained. Elsevier Health Science Right Departement. Philadelphia,USA. 2004. Page 318-320.

9. K.Puri, Basant. Laking, Paul J. Treasaden, Ian H. Textbook of Psychiatry second edition. Elsevier Health Science Right Departement. Philadelphia,USA. 2002. Page 178-180.

Page 40: bhn referat

Melanjutkan Hidup Pasca Stroke

Pengantar Stroke adalah penyebab kematian dan kecacatan yang utama di seluruh dunia. Stroke memberikan dampak

yang sangat bsar bagi para penderitanya. Dampak stroke juga akan berimbas pada keluarga penyandang stroke. Beban

ekonomi yang ditimbulkan oleh stroke juga sedemikian besarnya. Stroke adalah kedaruratan medik, dan pada umumnya

penderita stroke akan dirawat di RS. Setelah menjalani perawatan di RS, ada 3 kemungkinan yang dialami oleh pasien

stroke, yaitu : (1) meninggal dunia, (2) sembuh tanpa cacat, dan (3) sembuh dengan kecacatan. Penelitian menunjukkan

angka kematian pada stroke berkisar antara 10%-30%. Sebagian kematian dialami dalam waktu 72 jam setelah

serangan stroke, dan pada umumnya berhubungan langsung dengan strokenya (stroke yang besar atau lokasi stroke di

batang otak). Kematian yang dialami setelah 72 jam serangan stroke pada umumnya akibat komplikasi stroke (

misalnya: radang paru-paru). Stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga, setelah penyakit jantung dan kanker.

Stroke merupakan penyebab kecacatan nomor satu bagi para penyandangnya. Angka kematian akibat stroke di seluruh

dunia masihlah tinggi. Kematian paling tinggi dijumpai pada 1 bulan pasca serangan stroke. Kematian akibat stroke

ditemukan pada 10%-30% pasien yang dirawat. Masa kritis umumnya dijumpai pada minggu-minggu pertama pasca

serangan stroke. Chen, dkk (2006) menyimpulkan bahwa 68,3% kematian terjadi pada 5 hari pertama perawatan di RS.

Bila ada 10%-30% kematian akibat stroke, maka ada 70%-90% penderita yang hidup pasca stroke. Mereka ini disebut

dengan stroke survivors? Bagaimana kelanjutan hidup para stroke survivors? Apa yang harus mereka lakukan?

Kecacatan akibat stroke Bagaimana dengan kecacatan pasca stroke ? Bagaimana kecacatan pasca stroke diukur ?

Page 41: bhn referat

Kecacatan pasca stroke pada umumnya dinilai dengan kemampuan pasien untuk melanjutkan fungsinya kembali seperti

sebelum sakit, dan kemampuan pasien untuk mandiri. Salah satu skala ukur yang sering dipakai untuk pasien

menggambarkan kecacatan akibat stroke adalah skala Rankin. Tabel 1. Skala Rankin untuk kecacatan stroke 1

Tidak ada disabilitas yang signifikan, dapat melakukan tugas harian seperti biasa 2 Disabilitas ringan,

tidak dapat melakukan beberapa aktivitas seperti sebelum sakit, namun dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa

bantuan 3 Disabilitas sedang, memerlukan sedikit bantuan, tapi dapat berjalan tanpa bantuan 4

Disabilitas sedang-berat, tidak dapat berjalan tanpa bantuan, dan tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa

bantuan 5 Disabilitas berat Di tempat tidur, inkontinensia, memerlukan perawatan dan perhatian

Penelitian di Argentina menunjukkan bahwa kurang ebih sepertiga pasien stroke pulih sempurna/ hampir

sempurna dalam waktu 6 bulan pasca serangn stroke. Kecacatan ringan dialami pada 12,2%, kecacatan sedang pada

25,7%, dan kecacatan berat 26,3%. Pasien dengan tingkat kecacatan yang berat tidaklah dapat mandiri. Sebagian besar

aktivitas kehidupannya memerlukan bantuan, bahkan sampai aktivitas kehidupan yang paling dasar sekalipu (makan,

berkemih, dan mandi) (Melcon, 2006). Penelitian lain di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa lebih dari separuh (55%)

pasien stroke sumbatan dapat mandiri dalam waktu 3 bulan pasca serangan. Ada 18% pasien yang mengalami

kecacatan berat, dan memerlukan bantuan dalam banyak aspek kehidupannya. Faktor yang berperan adalah keparahan

stroke pada saat awal. Stroke yang menunjukkan derajat kparahan yang tinggi saat serangan lebih sering dihubungkan

dengan kecacatan pasca stroke. Keparahan derajat stoke tentu pula berhubungan dengan kecepatan mendapat

pertolongan medis yang adekuat (Johnston dan Wagner, 2006). Segera kenali gejala stroke, segera minta pertolongan

Page 42: bhn referat

medis untuk mencegah kecacatan stroke. Dampak stroke Bagi para stroke survivor, masalah belumlah selesai.

Stroke dapat memberikan gejala sisa atau dampak lanjut. Bagi para stroke survivors, pencegahan serangan stroke ulang

dan penanganan gejala sisa stroke merupakan hal yang utama. Berbagai dampak pasca stroke adalah depresi,

kepikunan, gangguan gerak, nyeri, epilepsi, tulang keropos, dan gangguan menelan. Penanganan bersifat individual

sesuai kondisi pasien. Salah satu gejala sisa yang sering dialami pasien stroke adalah kepikunan. Kepikunan

(demensia) akibat stroke dapat terjadi dengan segera, atau bertahap sampai dengan 3 bulan pasca stroke. Kejadian

demensia pasca stroke adalah berkisar antara 6%-32%. Usia yang tua, hipertensi, dan dislipidemia merupakan faktor

yang berperan besar untuk munculnya pikun pasca stroke. Pikun lebih sering dijumpai pada stroke di otak besar

(cerebrum) dibanding otak kecil (cerebelum) (Henon, 2006). Penelitian Rasquin, dkk (2005) pada 156 pasien stroke

menunjukkan bahwa gangguan memori dijumpai pada 23,4% (hampir seperempat dari seluruh pasien stroke) dalam 1

bulan pasca stroke. Gangguan lain yang seringkali teramati adalah gangguan bicara (18,6%), gangguan berhitung

(51,6%), dan depresi (49%). Stroke tidak hanya memiliki dampak pada penyandangnya saja. Stroke berdampak pula

pada keluarga penyandang. Ada rasa cemas, rasa sedih, ketakutan, dan bahkan putus asa. Seorang ayah dan suami

yang dahulu beegitu gagah dan mandiri, tiba-tiba menjadi begitu tergantung dalam berbagai aspek kehidupan. Keluarga

pasien stroke seringkali bertanya “kapan bapak/ ibu akan kembali seperti semula?”. Pada umumnya

mereka akan mencoba banyak cara agar penyandang stroke dapat pulih kembali. Berbagai usaha medis dan non medis

pun akan dicoba. Penelitian Smith, dkk (2004) pada 90 orang keluarga dekat penderita stroke menunjukkan bahwa

Page 43: bhn referat

32,2% mengalami kecemasan terkait kondisi stroke penderita, 33,3% merasa kesehatannya menurun, dan 14,4%

mengalami depresi ringan. Penelitian lain pada 64 kerabat pasien stroke memperlihatkan bahwa stroke berdampak

pada gangguan fungsi sosial, fisik, dan mental bagi keluarga penyandang stroke (suami/ istri, anak, dan kerabat lain)

(Scholle, dkk, 2006). Stroke secara langsung akan berdampak pada tersitanya waktu keluarga penyandang stroke.

Penelitian van Excel, dkk (2005) pada 151 pasien stroke dan keluarganya menunjukkan bahwa seorang keluarga

penderita stroke rata-rata menghabiskan waktu 3,4 jam sehari untuk bersama pasien stroke (mengantar ke dokter,

mandi, dan berpakaian), dan 10,8 jam sehari untuk tugas mengawasi paien stroke (mengawasi saat jalan dan makan).

Penutup Pada akhirnya kita semua diingatkan untuk terus mewaspadai stroke sebagai pembunuh nomor tiga dan

penyebab kecacatan nomor satu. Prof Vladimir Hachinski pada pembukaan World Stroke Congress (24-27 September

2008) di Vienna Austria mengingatkan pentingnya untuk melakukan intervensi yang lebih dini. Intervensi lebih dini

dengan mengendalikan faktor risiko tentulah diharapkan untuk memberi hasil yang lebih baik. Hal ini pernah

diungkapkan Ovidius Naso (seorang penyair Romawi) 2000 tahun yang lalu “Act before disease has gained