Page 1
46 | P a g e
Bab IV
Bentuk Perubahan Identitas Sosial dan Peran Gereja Galed Kelapa Lima
Terhadap Pembangunan Industri Pariwisata
4.1 Bentuk Perubahan Identitas
4.1.1 Persembahan Jemaat
Sebagai jemaat pesisir yang hidup dan bekerja di kawasan pantai,
dulunya jemaat mengenal persembahan natura yang sering terjadi dalam
ibadah-ibadah khusus. Di mana ada jemaat yang membawa hasil pertanian
dan hasil laut dari hasil melaut sebagai nelayan. Sehingga hal ini menjadi
salah satu identitas dari jemaat Galed Kelapa Lima karena kehadirannya
yang ada di kawasan pesisir pantai.
Identitas yang dulunya tertanam dalam diri mereka sebagai
masyarakat pesisir kini telah mengalami perubahan. Seperti yang
dikatakan oleh Jenkins individual dan kolektif berkembang secara
sistematis.1 Identitas sebagai kunci dari kenyataan subjektif yang
berhubungan dengan dialektif dengan masyarakat. Masyarakat mempunyai
sejarah dan di dalam perjalanan sejarah itu muncul identitas-identitas
khusus; tetapi, sejarah-sejarah itu dibuat oleh manusia dengan identitas-
identitas tertentu.2 Seperti halnya Jemaat Galed Kelapa Lima memiliki
identitas yang berbeda dengan jemaat gereja lain. Interaksi sosial jemaat
Galed kini dibentuk kembali dengan lingkungan yang sedang terjadi
1 Jenkins, Sosial Identity,.....45.
2 https://sosiologibudaya.wordpress.com/2011/03/29/identitas-budaya/
Page 2
47 | P a g e
berhubungan dengan kehadiran industri pariwisata yang ada di kawasan
pasisir pantai. Sama halnya yang dikatakan oleh Berger manusia dengan
masyarakat merupakan proses di mana masyarakat merupakan proses
dialektis yaitu objektivasi di mana status realitas objektivasi disandangnya
status realitas objektif oleh hasil-hasil kegiatan manusia. Sehingga hasil
ekspresi oleh manusia menjadi kenyataan sendiri yang terpisah dari
manusia.3 Nilai saing ekonomi adalah hal yang dilakukan oleh masyarakat
Kelapa Lima kini telah tertanam dalam masyarakat Kelapa Lima.
Perubahan profesi masyarakat yang ada seperti halnya yang berprofesi
sebagai nelayanpun terjadi. Jemaat yang paling nyata merasakan
perubahan sosial tersebut adalah jemaat yang berprofesi sebagai nelayan,
di mana identitas sebagai nelayan menjadi terancam karena pantai yang
dulunya menjadi rumah kedua bagi mereka kini telah hilang. Di satu sisi
identitas jemaat Galed harus dipertahankan namun di sisi lain harus bisa
menerima tantangan global dari proses globalisasi itu sendiri. Jika tidak
mempertahankan apa yang sudah ada secara turun temurun sehingga tanpa
filter yang selektif, identitas jemaat Galed akan luntur bahkan terlupakan.
Identitas jemaat Galed sebagai jemaat yang ada di kawasan pantai akan
berubah menjadi identitas jemaat yang berada di industri pariwisata
dengan gedung-gedung yang tinggi dan kokoh, tidak ada lagi nelayan yang
memberikan naturanya berupa hasil tangkapan, dan ini hanya akan
menjadi cerita yang akan dikenang oleh jemaat Galed atau bahkan akan
terlupakan. Seperti yang dikatakan oleh Jenkins bahwa Identitas individual
3 Berger, Langit Suci.....54
Page 3
48 | P a g e
dan kolektif berkembang secara sistematis, dan berkembang atas
keterlibatan satu sama lain4
Berdasarkan pemahaman di atas perubahan jemaat Kelapa Lima
dapat dipahami mulai dari tradisi yaitu konsepsi yang dipandang bernilai
dalam komunitas jemaat Galed Kelapa Lima yang dipakai sebagai
pedoman berprilaku. Ini berarti bahwa kebiasaan, selain berupa nilai yang
dibagi bersama, juga konsepsi itu berwujud suatu cara, pola tindakan dan
struktur sosial. Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial yang terlibat
dalam membentuk dan mempertahankan identitas ditentukan oleh struktur
sosial. Pengaruh pariwisata terhadap masyarakat (kebudayaan) setempat
harus disadari bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang secara internal
terdeferensiasi, aktif dan selalu berubah. Oleh karena itu pendekatan yang
kiranya lebih realistis adalah dengan mengganggap bahwa pariwisata
adalah ‘pengaruh luar yang kemudian terintegrasi dengan masyarakat”,5 di
mana jemaat mengalami proses menjadikan pariwisata sebagai bagian dari
kebudayaan, atau apa yang disebut sebagai proses “turistifikasi”
(touristification). Pengaruh di luar interaksi langsung ini justru lebih
penting karena mampu menyebabkan restrukturisasi pada berbagai bentuk6
hubungan di dalam masyarakat dan jemaat.
Industri Pariwisata yang oleh pemerintah dilaksanakan dalam
seperangkat perencanaan dan pengawasan dapat menjadi salah satu bentuk
4 Nufnini, Tabua Ma Tnek Mese...............
5http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/48613/Chapter%20I.pdf;jsess
ionid=060F516A18C74FB713C323661B0B3A5B?sequence=4,1 6 https://www.academia.edu/20341006/DAMPAK_SOSIAL_BUDAYA_PARIWISATA
Page 4
49 | P a g e
aspek yang memunculkan suatu polarisasi tertentu.7 Kenyataan
menunjukkan bahwa semaraknya perkembangan jemaat Kelapa Lima
didorong oleh pariwisata dan sebaliknya, industri pariwisara senantiasa
memikat karena karena daya tarik kebudayaan,8 memberikan peluang
untuk meraih manfaat ekonomi. Mengingat budaya dan kinerja ekonomi
berkaitan erat sehingga perubahan pada yang satu akan berpengaruh pada
yang lain. Pergeseran nilai ini yakni dari budaya ekspresif ke budaya
progresif yang lebih mengutamakan nilai ekonomi, juga ditegaskan Darma
Putera9 bahwa pemerintah dan masyarakat melihat adanya kepentingan
pariwisata. Dan melihat konsep “pembangunan” yang mengacuh pada
pengertian ekonomi, yang berarti suatu proses di mana real per capita
income dari suatu negara meningkat dalam suatu masa panjang, dan dalam
masa yang bersamaan jumlah penduduk yang “di bawah garis
kemiskinan” tidak bertambah dan distribusi pendapatan tidak makin
senjang.10
Masalah pembangunan yang berwujud permasalahan nyata yang
mendesak seperti kehilangan lahan kerja, kebutuhan akan pekerjaan,
perumahan, lahan terbuka hijau dan merasakan kehilangan nilai-nilai yang
biasanya memberi makna pada kehidupan.11
Hal inilah yang sedang
7 Nyomanyudarmita, Young, Culture,Toursm,
https://student.unud.ac.id/nyomanjudarmita/news/14968 8Darma Putra, Solusi-Solusi Pembangunan:Bali Kebudayaan di antara Pariwisata,
Demokratisasi dan Terorisme (Denpasar:Kerjasama Departemen Kebudayaan dan pariwisata Republik Indonesia dan Universitas Udaya, 2006), 7.
9Nyomanyudarmita, Young, Culture,Toursm,.....
10 Amri Marzali, Antropologi dan Pembangunan Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), 59-
60. 11
Peter L.Berger, Piramida Kurban Manusia, Pembangunan-Kebijaksanaan Politik, Teori, terjemahan A. R Toleng, (Jakarta: LP3ES, 2004),11.
Page 5
50 | P a g e
dirasakan oleh sebagian besar jemaat Galed bahwa nilai ekonomi dari
kehadiran industri pariwisata tidak sangat membantu mereka keluar dari
kehidupan yang lebih baik. Manfaat nilai ekonomi hanya membuat mereka
berlomba-lomba bahwakan dapat menyingkirkan yang lain, karena
tentulah modal usaha yang banyak yang dapat bertahan sehingga nilai
persaudaraan, kebersamaan itupun perlahan menjadi luntur diganti dengan
nilai saing yang tinggi.
Kehadiran pariwisata terhadap kebudayaan pada masyarakat tuan
rumah dapat dibedakan menjadi perkara: 1) pengaruh dalam kehidupan
ekonomi, apabila kegiatan pariwisata itu dapat meningkatkan kesempatan
kerja dan tingkat kemakmuran. 2) pengaruh kehadiran wisatawan
mancanegara dengan kebiasaan busananya yang sebenarnya asing bagi
bagi masyarakat tuan rumah. Kemakmuran, apabila tidak dipandu baik
dengan suatu sikap budaya yang benar akan dapat mengembangkan nilai-
nilai budaya yang berubah misalnya dari adat kekeluargaan dan gotong
royong kearah sikap “semua bisa dengan uang”12
.
Kehadiran wisatawan dengan segala adat kebiasaan tidak jarang
juga menimbulkan efek “meniru” pada penduduk setempat (meniru hal
baik dan buruk). Dan dalam jangka waktu tertentu dapat menggeser nilai-
nilai budaya setempat. Hal ini tentulah bertolakbelakang dengan
pembangunan perspektif kesejahteraan sosial. Kesejahteraan sosial
merupakan suatu keadaan terpenuhinya kebutuhan hidup yang layak bagi
masyarakat, sehingga mampu mengembangkan diri dan dapat
12
http://e-journal.uajy.ac.id/2260/3/2SOS03146.pdf
Page 6
51 | P a g e
melaksanakan fungsi sosialnya yang dapat dilakukan pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial.
Kesejahteraan sosial merupakan suatu keadaan terpenuhinya kebutuhan
hidup yang layak bagi masyarakat, sehingga mampu mengembangkan diri
dan dapat melaksanakan fungsi sosialnya yang dapat dilakukan
pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan
sosial.13
Kesejahteraan merupakan suatu hal yang bersifat subjektif,
sehingga setiap keluarga atau individu di dalamnya yang memiliki
pedoman, tujuan, dan cara hidup yang berbeda akan memberikan nilai
yang berbeda tentang faktor-faktor yang menentukan tingkat
kesejahteraan.14
4.1.2 Ibadah Kategorial
Ibadah kategorial seperti ibadah pemuda dan ibadah Persekutuan
Anak dan Remaja (PAR) sering dilakukan di kawasan pantai. Kini wisata
rohani sudah tidak dilakukan bisa dilakukan lagi di kawasan pantai Kelapa
Lima. Dengan adanya pariwisata yang masuk di kawasan Kelapa Lima,
masyarakat memiliki suatu kesadaran global yang mendorong mereka
untuk melakukan suatu perubahan, yang berdampak pada identitas kultur
mereka. Identitas kultur merupakan suatu proses yang berjalan dan
mengalami perubahan sesuai dengan situasi yang terjadi. Dengan kata lain,
13
James, Pembangunan Sosial........23 14
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/11468/BAB+III+Kerangka+Pemikiran_+I09cha.pdf;jsessionid=DA3AD48D14CF38D724D47373AB2D72BE?sequence=7
Page 7
52 | P a g e
global consciousness (kesadaran global) yang merupakan motor dari
globalisasi.15
Dengan kehadiran pariwisata di tengah masyarakat Kelapa Lima ini
memberi peluang sekaligus tantangan bagi jemaat Galed Kelapa Lima.
Nilai merupakan suatu prinsip etis dan ideal, yang berhubungan dengan
hal universal, secara spesifik merupakan persepsi moral yang ada sesuai
dengan konteks masing-masing.16
Jemaat Galed menerima kehadiran
pariwisata yang masuk dalam kehidupan mereka, meskipun pada awalnya
mereka tidak begitu menerima kehadiran pariwisata ini, namun dengan
pemahaman baru yang diberikan kepada mereka bahwa pariwisata
berfungsi untuk menguatkan identitas lokal, sehingga jemaat menerima
dan memberdayakan pariwisata yang ada. Contohnya saja dengan bentuk
persembahan jemaat berupa natura (hasil melaut) yang dipersembahkan di
gereja seperti waktu lampau.
4.1.3 Jemaat yang individualis
Sosial ekonomi salah satunya akan terjadi kesenjangan status sosial
ekonomi dimana ini merupakan keadaan yang tidak seimbang di bidang
sosial dan ekonomi dalam kehidupan di masyarakat, artinya ada jurang
pemisah yang lebar antara si kaya dan si miskin di mana akibatnya akan
timbul ketidakmerataan pembangunan. Jika hal ini tidak segera di
tanggulangin maka akan menimbulkan kecemburuan sosial yang dapat
15
Chris Rumford, Cosmpolitan Spaces: Europe, Globalization, Theory (New York: Routledge, 2008), 135.
16Steve Bruce and Steven Yearley, "Values," in The Sage Dictionary of Sociology
(California: SAGE Publications Inc, 2006), 314.
Page 8
53 | P a g e
menyebabkan keresahan dalam jemaat. Dari kesenjangan itu maka akan
muncul hal-hal seperti berikut: yang pertama dari segi sosial yang dapat
terjadi adalah lahirnya kelompok-kelompok sosial tertentu seperti
kelompok pengangguran, dan pedagang kaki lima. Dampak positif
perubahan sikap dan cara berfikir masyarakat yang sebelumnya irasional
menjadi rasional. Karena dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi masyarakat menjadi lebih mudah dalam beraktivitas dan
mendorong untuk berpikir lebih maju, perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi pula yang membentuk masa modernisasi yang terus kian
berkembang dan maju di waktu sekarang ini.17
Pada akhirnya, taraf
ekonomi jemaat pesisir dipastikan akan semakin merosot.
4.1.4 Kehadiran Jemaat dan Pola berbusana
Pariwisata merupakan suatu hal yang menarik dalam kajian
sosiologis, alasannya bahwa dampak dari pariwisata yang menghubungkan
antara orang asing (turis) dan orang lokal. Di dalam pariwisata ini terdapat
suatu hal yang saling bertentangan, yakni akibat dari pembangunan
pariwisata menyebabkan hancurnya hal-hal yang bersifat otentik dan
lingkungan yang murni. Hal tersebut berpengaruh kepada budaya lokal dan
pembangunan ekonomi dan sosial yang terjadi di sekitar masyarakat.18
Pariwisata melakukan transformasi dalam bentuk yang berbeda melalui
17
http://mr-kazikame.blogspot.co.id/2013/05/dampak-positif-dan-negatif-era.html 18
Steve Bruce and Steven Yearley, "Tourism," in The Sage Dictionary of Sociology (California: SAGE Publications Inc, 2006), 304.
Page 9
54 | P a g e
diskursus global dari konsumerisme, yang merupakan sebuah proses
melalui 'orang lain' menjadi sebuah komoditi untuk dikonsumsi.19
Kehadiran wisatawan mancanegara dengan kebiasaan dan pola
busana yang sebenarnya asing bagi masyarakat tuan rumah tak dapat
dipungkiri juga pola berbusana yang semakin modern yang dibawa oleh
para wisatawan membuat jemaatpun mengikuti pola busana dari luar.
4.2 Peran Gereja Galed Kelapa Lima
4.2.1 Gereja berdiam dalam zona zamannya
Berbicara mengenai agama (gereja) berarti berbicara juga
mengenai budaya dalam hal ini termasuk pariwisata. Geertz mengatakan
bahwa agama menjadi salah satu sitem budaya dan juga menjadi sumber
makna yang menjadi dasar orang bertindak.20
Itu berarti identitas, model
dan perkembangan agama yang di miliki merupakan produk dari proses
sosialisasi. Di pihak lain, masih banyak anggota gereja Galed yang tidak
peduli dan menanggap masalah pariwisata bukan masalah pelayanan
gereja.
Sebagai gereja Kristen yang peduli membuat komitmen ke arah
rekonsiliasi nilai-nilai kemanusiaan dan perbaikan martabat yang hilang
karena fenomena pariwisata modern. Sehingga seharusnya gereja Galed
tidak perlu menunggu sampai nampak dampak yang besar terjadi dan
mengambil langkah yang terlambat. Gereja bukan hanya menjadi pengajar
tetapi juga sebagai orang yang belajar dari konteks yang ada.
19
Stroma Cole, Tourism, Culture and Development: Hopes, Dreams and Realities in East Indonesia (Great Britain: Cromwell Press, 2008), 21.
20 Cllifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 45.
Page 10
55 | P a g e
Dalam usaha mengembangkan industri kepariwisataan, pemerintah
sejak awal sudah menyadari bahwa agama merupakan penangkal yang
paling ampuh bagi munculnya dampak negatif dari pariwisata.21
Oleh
sebab itu gereja dapat mendukung kepariwisataan. Namun di sisi lain,
industri pariwisata itu sendiri masih tetap merupakan persoalan dilematis
jika berhadapan dengan realitas masyarakat yang ada. Tujuan leluhur
kepariwisataan yang diproklamasikan itu bisa saja berbeda dengan realitas
yang ada. Gereja jangan terus berdiam dalam zona nyamannya saja,
sehingga gereja ditantang bersikap kritis dan antisipatif.22
Hal yang harus dilakukan oleh gereja Galed yang sedang
dihadapkan dengan perubahan sosial khususnya dengan industri pariwisata
maka yang bisa dilakukan sebagai langkah awal adalah memilih dan
memilah tentang perubahan yang terjadi apakah berdampak pada hal yang
positif ataukah negatif khususnya menyangkut identitas sosial jemaat
Galed Kelapa Lima. Seharusnya gereja Galed berperan menjaga nilai-nilai,
norma-norma didalam lingkungan tersebut, sehingga dapat mencegah agar
tidak terjadi perubahan yang akan merusak nilai sosial budaya yang sudah
dipegang sejak dahulu/perubahan ke arah negatif.
Beberapa pendekatan dalam implementasi kebijakan publik adalah
pendekatan secara top-down. Dalam proses implementasi peranan
pemerintah sangat besar pada pendekatan ini asumsi yang terjadi adalah
para pembuat keputusan merupakan aktor kunci dalam keberhasilan
implementasi, sedangkan pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses
21
Undang-Undang RI No 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan 22
https://meimanmorandusgulodotcom.wordpress.com/2013/06/04/tentang-gereja/
Page 11
56 | P a g e
implementasi dianggap menghambat, sehingga para pembuat keputusan
meremehkan inisiatif stretegi yang berasal dari level birokrasi rendah
maupun subsistem-subsistem kebijaksanaan yang lain.23
Jika demikian dapat dikatakan bahwa strategi pembangunan
tersebut menghasilkan apa yang disebut “dilema pembangunan”.24
Dengan
kehadiran pembangunan industri pariwisata, banyak penduduk baru baik
dalam kota maupun luar kota membeli tanah dan kemudian membanggung
bangunan karena melihat perspektif dengan adanya pasar global, tanpa
melihat bahwa identitas jemaat Galed terabaikan, pesisir sebagai tempat
tinggal mereka kini telah dihuni oleh orang-orang asing. Sehingga jemaat
dan masyarakat tentu akan merasa kecewa dengan adanya pembangunan
yang ada karena suara mereka tidak didengar karena hanya sebagai objek
dari pembangunan yang pasif, dan pembangunan tidak sesuai dengan
harapan yang ada.25
Dalam pendekatan top down, semua keputusan berada di tangan
pemerintah sehingga masyarakat hanya sebagai objek dari suatu
perencana, hal ini juga yang terlihat dalam pembangunan yang terjadi di
kawasan Kelapa Lima, masyarakat belum menyadari bahwa mereka hanya
sebagai subjek dari pembangunan sehingga mengikuti arus yang terjadi.
23
Nugroho, Riant. Public Policy (Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, Manajemen Kebijakan). Edisi Ketiga, Revisi 2011. Penerbit PT. Elex Media Komputindo. Jakarta, https://arpansiregar.wordpress.com/2013/01/17/pendekatan-pendekatan-dalam-implementasi-kebijakan/ .
24 Amri Marzali, Antropologi dan Pembangunan Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009) 71,
25 Riant Nugroho, Public Policy (Dinamika Kebijakan, Manajemen Kebijakkan), Ed.ke-3,
(Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2011), 78.
Page 12
57 | P a g e
4.2.2 Dualisme Gereja
Bagaimanakah hubungan antara individu dan masyarakat, masalah
tersebut sebaiknya dipandang sebagai suatu kenyataan yang dibangun
secara dialektik. Artinya bahwa eksistensi manusia yang utuh hanya
mungkin ada di dalam masyarakat, dan demikian juga sebaliknya,
eksistensi masyarakat hanya mungkin ada karena aktifitas manusia sebagai
penciptanya. 26
Menurut Berger, kenyataan atau dunia kehidupan
menyatakan eksistensinya sebagai sesuatu yang sangat mempengaruhi
kesadaran manusia dengan cara yang paling masif, mendesak, dan
mendalam, sehingga sangat sukar bagi manusia untuk mengabaikannya.27
Tidak lain karena kenyataan itu sudah diobjektifikasi sedemikian rupa
sebagai sesuatu yang telah ditata sebelum keberadaan seorang individu.
Proses perubahan tidak bisa jauh dari peran gereja yang kadang
terjebak antara dualisme pekabaran injil dan aksi sosial. Peran sebagai
pekerja injil kemudian digeser ke dalam masalah bagaimana menambah
dan mempertahankan jumlah anggota serta menambah dana yang banyak.
Kedua peran ini seharusnya ditempatkan dan dipahami sebagai satu
kesatuan yang utuh, terbuka terhadap kritik, apalagi paham terhadap
usaha-usaha perubahan. Sehingga tak jarang gereja lebih mengutamakan
arah persaingan berubah dari mengejar kualitas ke mengejar kuantitas.28
Kembali pada tugas gereja agar dekat dengan realitas sehari-hari,
26
R.Haroold, ejournal.uksw.edu/cakrawala/article/download/500/334 27
Peter L. Berger, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (Jakarta: LP3ES,1990), 31-32.
28 http://doro2020.blogspot.co.id/2006/01/review-tulisan-budaya-lainnya.html
Page 13
58 | P a g e
menyediakan ruang untuk pembaharuan dan menyesuaikan diri dengan
kondisi sosial agar pelayanan gereja semakin mengena.
Hal positif yang diambil gereja dalam menyikapi perubahan sosial
yang terjadi adalah sikap keterbukaan yang ditampilkan dalam beberapa
aspek kehidupan. Sikap keterbukaan yang dimainkan gereja banyak
memudahkan gereja dalam usaha mempertahankan eksistensinya sebagai
institusi keagamaan di tengah-tengah badai perubahan yang melanda
dunia, dalam hal ini gereja Galed bersikap positif terhadap perubahan.
Berger menjelaskan bahwa, “semua dunia yang dibangun secara sosial,
secara inheren adalah rawan. Karena didukung oleh aktivitas manusia,
maka dunia-dunia tersebut terancam oleh fakta kepentingan diri dan
kebodohan manusiawi. Program-program kelembagaan disabot oleh
individu-individu yang memiliki kepentingan yang bertentangan.”29
Peter
L. Berger menjawab bahwa manusia mengeksternalisasikan agama karena
manusia diperhadapkan pada ancaman-ancaman anomik dalam dunia yang
merupakan hasil dari aktifitas manusia itu sendiri melalui proses
eksternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi. Dalam menanggulangi
kecemasan manusia terhadap situasi anomik, masyarakat telah
menciptakan instrumen-instrumen semacam sosialisasi dan kontrol sosial,
namun tampaknya instrumen itu tidak cukuplah memadai untuk
29 Rudy Harold, Agama Dan Pembantukan Realitas Dalam Pandangan Peter L Berger,
ejournal.uksw.edu/cakrawala/article/download/500/334
.
Page 14
59 | P a g e
menegasikan ancaman-ancaman terciptanya kondisi anomik, baik secara
individu maupun kolektif.30
Setiap manusia di dalam hidupnya dapat dipastikan akan mengalami
yang namanya perubahan sosial, adanya perubahan-perubahan tersebut akan
jelas diketahui bila kita melakukan perbandingan dengan cara menelaah
antara keadaan sosial jemaat pada suatu masa tertentu dengan keadaan
jemaat pada waktu lampau. Perubahan tersebut tentulah tidak dapat
dihindari, karena perubahan merupakan suatu hal yang abadi, hal ini berarti
bahwa setiap masyarakat pada kenyataannya akan mengalami yang
namanya perubahan sosial.
Apa peran gereja dalam proses perubahan sosial? Salah satu peran
utama yang bisa diambil oleh gereja dalam proses perubahan sosial adalah
gereja harus mampu membaca tanda ketidakadilan, dan bersikap sebagai
hakim yang adil. Kemampuan gereja hadir sebagai kekuatan transformasi
merupakan harapan orang banyak, namun tidak selalu mudah diwujudkan.31
Bagaimana agar gereja mampu menempatkan diri sebagai hakim
yang adil? Bukankah gereja juga merupakan bagian dari masyarakat yang
tidak terlepas dari ‘konflik’ kepentingan di dalamnya? seringkali gereja
tidak mampu keluar dengan ‘suara kenabiannya’ untuk berbicara tentang
hal-hal yang menjadi tantangan zaman.
Tugas gereja adalah memberi nama dan menyuarakan suara-suara
orang yang menderita dan dilupakan. Untuk ini otoritas gereja perlu
30
ejournal.uksw.edu/cakrawala/article/download/500/334 31
Gereja, Perubahan Sosial di NTT dan 500 Tahun Reformasi, http://sinodegmit.or.id/gereja-perubahan-sosial-di-ntt-dan-500-tahun-reformasi-oleh-dominggus-elcid-li/
Page 15
60 | P a g e
mengambil posisi sebagai gembala yang melindungi. Termasuk dengan
konteks perubahan sosial yang terjadi di jemaat Galed Kelapa Lima.
Geertz mengatakan bahwa agama menjadi salah satu sistem budaya
dan juga menjadi “sumber makna” yang menjadi dasar orang bertindak.32
Itu berarti identitas, model dan perkembangan agama yang dimiliki
merupakan produk dari proses sosial. Dari sudut pandang kristiani, industri
kepariwisatawan pada awalnya benar, baik dan bermanfaat bagi dan yang
patut disyukuri, karena pada dasarnya sebagai ungkapan kerinduan yang
terdapat di hati manusia untuk memulihkan kembali situasi ke arah yang
lebih baik.
Namun dipihak lain, pembangunan industri pariwisata juga
mempunyai dampak negatif yang dapat mengubah pola hidup, nilai-nilai,
tatanan masyarakat, bahkan merusak harkat dan martabat manusia. Di
sinilah gereja ditantang untuk bersikap kritis dan antisipatif. Untuk gereja
itu hidup: Gereja mau belajar, gereja yang mengasihi (melayani, diakonia),
gereja yang mengabarkan injil (bersaksi, marturia)
32
Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama (Yogyakarta: 1998), 34.