Gereja Lintas Agama 77 BAB II Menguak Isolasi Menjalin Relasi Emanuel Gerrit Singgih Pengantar Upaya kita untuk menjawab pertanyaan: “Apakah menjadi murid berarti seseorang mesti menjadi anggota gereja institusional? Tidak dapatkah seseorang itu adalah murid, tetapi tetap berada dalam agamanya sendiri?” mengantar kita pada perjumpaan dengan Emanuel Gerrit Singgih, pendeta Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB). Judul yang kami pakai untuk bab ini (Menguak Isolasi, Menjalin Relasi) kami angkat dari salah satu judul buku yang berisi kumpulan karangan Pak Gerrit. 1 Kami memilih Prof. Emanuel Gerrit Singgih atau yang akrab dikenal di kalangan para pemikir Indonesia dengan sapaan Pak Gerrit (kami akan menyebut Pak Gerrit di sepanjang tulisan ini) karena pertimbangan berikut. Pak Gerrit adalah seorang ahli Perjanjian Lama. Ia memperoleh gelar doctor of Philosophy dari Universitas of Glasgow, Skotlandia untuk bidang studi Perjanjian Lama dengan disertasi tentang Konsep Penciptaan dalam Tradisi Kenabian 1 Emanuel Gerrit Singgih. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2009.
44
Embed
BAB II Menguak Isolasi Menjalin Relasi...ahli tafsir kontekstual, yakni membuat tafsiran Kitab Suci dengan mempertimbangkan perspektif dan kesadaran religius-kultural lokal.4 Maksud
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Gereja Lintas Agama 77
BAB II
Menguak Isolasi Menjalin Relasi
Emanuel Gerrit Singgih
Pengantar
Upaya kita untuk menjawab pertanyaan:
“Apakah menjadi murid berarti seseorang mesti
menjadi anggota gereja institusional? Tidak dapatkah
seseorang itu adalah murid, tetapi tetap berada dalam
agamanya sendiri?” mengantar kita pada perjumpaan
dengan Emanuel Gerrit Singgih, pendeta Gereja
Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB). Judul yang
kami pakai untuk bab ini (Menguak Isolasi, Menjalin
Relasi) kami angkat dari salah satu judul buku yang
berisi kumpulan karangan Pak Gerrit.1
Kami memilih Prof. Emanuel Gerrit Singgih
atau yang akrab dikenal di kalangan para pemikir
Indonesia dengan sapaan Pak Gerrit (kami akan
menyebut Pak Gerrit di sepanjang tulisan ini) karena
pertimbangan berikut. Pak Gerrit adalah seorang ahli
Perjanjian Lama. Ia memperoleh gelar doctor of Philosophy dari Universitas of Glasgow, Skotlandia
untuk bidang studi Perjanjian Lama dengan disertasi
dari Amos sampai Deutro-Yesaya.2 Sebagaimana diakui
sendiri, Pak Gerrit menaruh minat yang besar
terhadap hermeneutik dan kontekstualisasi. Ini yang
membuat kami memilih Pak Gerrit, karena
jawabannya terhadap pertanyaan yang kita gumuli
pastilah bersumber dari upaya hermeneutik terhadap
kitab suci sekaligus pemahaman yang mendalam
terhadap pergumulan konteks Indonesia, atau yang dia
lebih suka menyebutnya sebagai gambaran dunia sosial-budaya Indonesia.3
Dalam menelusuri pemikiran Pak Gerrit untuk
tujuan penulisan ini, kami akan mengorganisir bab ini
menurut sistematika berikut. Segera setelah pengantar
singkat, kami akan memperkenalkan siapa Pak Gerrit
dan karya-karya yang pernah dipublikasikannya
(sejauh yang dapat kami pantau, sekaligus yang kami
pakai untuk penulisan ini). Selanjutnya, kami akan
memperkenalkan kepada pembaca apa yang Pak Gerrit
maksudkan dengan kontekstulisasi yang tentu saja
didahului dengan menyajikan gambaran dunia sosial-
budaya Indonesia sebagaimana yang dipetakan Pak
Gerrit.
2 Judul asli disertasinya adalah the Concept of Creation in the Prophetic Tradition from Amos to Deutro-Isaiah. Terjemahan tadi berasal dari kami. Mohon maaf bila ada
kesalahan terjemaah mengingat bahasa Inggris bukanlah
bahasa ibu dari penulis. 3 Emanuel Gerrit Singgih. Mengantisipasi Masa Depan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2004. hlm. 19.
Gereja Lintas Agama 79
Berturut-turut setelah itu kami akan
membahas hal-hal berikut: Apa yang Pak Gerrit
pikirkan tentang Misi dan Penginjilan. Mengikuti alur
berpikirnya, pembahasan kita tentang pokok tadi akan
membawa kita pada upaya re-interpretasi Matius
28:18-20 untuk konteks Indonesia yang dibuat Pak
Gerrit, lalu paham Pak Gerrit tentang penginjilan
sebagai kegiatan belajar-mengajar, dan paham dia
tentang agama sebagai kewajiban ataukah kebebasan.
Uraian kita akan diakhiri dengan mencoba melakukan
rekonstruksi pemikiran Pak Gerrit tentang model
bergereja yang cocok dengan permasalahan yang kita
bahas.
Biodata dan Karya
Nama lengkapnya: Emanuel Gerrit Singgih.
Sejak 1985 mengajar tafsir biblika dan kontektualisasi
di Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana,
sekaligus adalah Guru Besar ilmu teologi di lembaga
80 Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
itu. Sebelumnya (1983-1985) bekerja sebagai pendeta
jemaat GPIB di Ujung Pandang-Makasar.
Guru besar kelahiran di Jakarta, 7 Agustus
1949 terbilang penulis produktif dengan ide-ide
brilliant dan segar. Buku-buku yang sudah diterbitkan
telah melebihi hitungan jari-jari baik tangan maupun
kaki, belum lagi artikel-artikelnya yang dimuat di
berbagai jurnal dalam dan luar negeri, yang berbahasa
Indonesia maupun bahasa Inggris, mungkin juga ada
yang dalam bahasa Belanda, karena ternyata dia juga
fasih berbahasa negeri kincir angin itu.
Julianus Mojau mencirikan Pak Gerrit sebagai
ahli tafsir kontekstual, yakni membuat tafsiran Kitab
Suci dengan mempertimbangkan perspektif dan
kesadaran religius-kultural lokal.4 Maksud dari
upayanya itu, sebagaimana diakui sendiri oleh Pak
Gerrit, adalah membantu pembaca dalam hal ini warga
gereja di Indonesia untuk menentukan pijakan dan
keputusan yang tepat dan benar di tengah persoalan
berbangsa dan bermasyarakat di Indonesia seturut
iman Kristen.
Pak Gerrit sebagaimana yang kami pahami dari
karya-karyanya, menyadari betapa pentingnya gereja
dan para pengikut Kristus di Indonesia memahami diri
secara baru untuk dapat menghadirkan diri secara baru
dan bermakna di Indonesia. Ia karena itu membekali
4 Julianus Mojau. Meniadakan atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2012. hlm. 188.
Gereja Lintas Agama 81
kita dengan wawasan teologi yang segar agar kita tidak
terperangkap dalam wawasan teologis yang sempit
untuk menjawab pertanyaan: “Apakah menjadi murid
berarti seseorang mesti menjadi anggota gereja
institusional? Tidak dapatkah seseorang itu adalah
murid, tetapi tetap berada dalam agamanya sendiri?”
Memang Pak Gerrit tidak secara eksplisit
mengajukan pertanyaan tadi. Ia justru mengajukan
pertanyaan lain, tetapi yang serupa dengan itu.
Pertanyaan itu adalah: “Apa yang mewujudkan
identitas kristen kita? Apakah baptisan ataukah
tindakan?”5 Jawaban yang diberikan Pak Gerrit untuk
pertanyaan ini, tentu berkaitan erat dengan
pandangannya tentang apa dan bagaimana gereja.
Hal menarik yang kami temukan dalam upaya
menelusuri jawaban untuk pertanyaan tadi adalah
bahwa Pak Gerrit tak henti-henti mengajak gereja dan
para pengikut Kristus di Indonesia untuk mencari
eklesiologi yang relevan bagi konteks Indonesia.6
Ajakan untuk memikirkan pelayanan yang relevan
untuk konteks Indonesia tidak hanya sebatas pada
pelayanan gereja dalam bidang liturgi dan marturia.
Pak Gerrit melakukan kajian kontekstualisasi itu
sampai pada lembaga-lembaga para gereja, yakni yang
5 Emanuel Gerrit Singgih. Mengantisipasi Masa Depan. hlm.
akan kami fokuskan pada butir kerendahan hati ketiga,
yakni kesediaan untuk belajar dari agama lain.
Pembahasan kita untuk butir ketiga ini dibuat untuk
menjawab pertanyaan: “Apakah menjadi murid berarti
seseorang mesti menjadi anggota gereja? Tidak
dapatkah seseorang itu adalah murid, tetapi tetap
berada dalam agamanya sendiri?”
Agama Bukan Kewajiban tetapi Kebebasan Hati
Nurani
Penegasan Pak Gerrit tentang perlunya
kerendahan hati orang Kristen untuk belajar dari
agama-agama lain berangkat dari keyakinannya
tentang agama. Baiklah kita terlebih dahulu mencatat
pokok-pokok pikiran Pak Gerrit tentang agama.
Pertama, Pak Gerrit tidak merasa enjoy dengan
penilaian negatif terhadap agama, sebagaimana yang
kita warisi dari pemikiran-pemikiran teologis Barat.
Dalam hubungan ini Pak Gerrit mengkritisi Hendrik
Kraemer yang menyebut tanah Sunda sebagai nova
zambala spiritual, yang memposisikan Islam sebagai
yang tidak memiliki dimensi spiritual.33
Belajar dari Aloysius Pieris, teolog Katolik dari
Sri Langka, Pak Gerrit mengakui bahwa agama bersifat
33 Emanuel Gerrit Singgih. Dua Konteks. Tafsir-Tafsir Perjanjian Lama sebagai Respons atas Perjalanan Reformasi di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2009. hlm. 75.
Gereja Lintas Agama 105
ambigu. Pada satu pihak bisa positif dan pada pihak
lain, bisa negatif. Sikap negatif terhadap agama tidak
sepenuhnya benar.34 Apalagi kalau ditegaskan bahwa
agama orang lain sajalah yang negatif dan agama kita
selalu positif. Sikap seperti ini, seperti yang ditegaskan
Pak Gerrit dalam ceramah di Gereja Kristen Pasundan,
(GKP) hanya akan membuat GKP akan terus terisolasi
dan tidak akan memiliki masa depan.35
Dalam kajiannya yang detail, Pak Gerrit
membedakan agama dalam dua kategori: agama literal
dan agama emansipatorik atau agama skriptural dan
agama substansial. Perbedaan antara dua corak agama
ini bukan antara agama A dan agama B. Perbedaan itu
ada dalam tiap-tiap agama. Juga adalah keliru kalau
kita berkata bahwa agama yang literal atau skriptural bersifat fundametalis sedangkan agama yang
emansipatorik atau substansial bersifat kultural.
Menurut Pak Gerrit sikap fundamentalisme maupun
kultural dalam beragama dapat terjadi dalam dua
kategori agama ini.
Kedua, agama tidak boleh hanya dipelajari
dalam kerangka misiologis saja, dalam arti belajar
adalah sikap dialogis, yakni berusaha mengerti apa
yang bermakna bagi orang lain, tetapi juga himbuan
agar orang lain mengerti apa yang bermakna bagi kita.
Orang Kristen di Indonesia, demikian kata Pak Gerrit
seperti di simpulkan Julianus Mojau, perlu
memandang umat Islam sebagai tetangga untuk saling
mendukung dalam memajukan kehidupan bersama
dan sebagai sesama komunitas umat Allah yang
melayani kemanusiaan.40 Agama tidak boleh hanya
dipelajari dalam kerangka misiologis saja.
Dialog dan hidup bersama mereka yang
berbeda agama tidak berarti orang Kristen
40 Julianus Mojau. Meniadakan atau Merangkul? hlm. 319.
Gereja Lintas Agama 109
merelatifkan atau bahkan kehilangan Yesus Kristus.
Justru dalam dialog, gereja dan para pengikut Kristus
dapat memberi kesaksian tentang Yesus Kristus kepada
umat beragama lain dan bersama-sama mereka terlibat
dalam perjuangan bagi keadilan dan kemanusiaan
untuk kebaikan bersama. Hal ini sejalan dengan apa
yang akan kami tunjukan dalam pembahasan
mengenai Nabeel Jabbour dalam kisahnya tentang
seorang orang Kristen Mesir bernama Samuel dalam
bab IV.41
Dalam hubungan dengan misi atau pekabaran
Injil, Pak Gerrit menegaskan bahwa misi bukan
sekedar mengajar orang dari agama lain tetapi juga
belajar dari mereka. Baptisan bukanlah pertama-tama
menjadikan orang sebagai anggota gereja institusional
melainkan menegaskan keberadaan si penerima
baptisan dan pengajaran bahwa ia telah berada dan
ambil bagian dalam lingkungan keselamatan ilahi di
dalam Yesus. Penegasan ini mengandaikan bahwa
seseorang dapat tetap tinggal dalam agamanya.
Keberadaannya sebagai murid Kristus tidak merupakan
sebuah panggilan agar ia memutuskan hubungan
dengan agama semula dan beralih ke dalam agama
Kristen.
Pak Gerrit sampai pada sikap ini karena bagi
dia identitas Kristen tidak terletak pada berbagai
macam isme atau pada keanggotaan seseorang dalam
satu agama, seperti agama Kristen tetapi pada relasi
41 Lihat Bab IV hlm. 119.
110 Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
yang hidup dengan pribadi Kristus.42 Dalam bukunya
yang lain, Pak Gerrit menegaskan bahwa batas antara
gereja (baca: para pengikut Kristus) dan dunia (baca:
agama-agama) bukan dalam hal moralitas, seolah-olah
para pengikut Kristus memiliki moralitas lebih dari
orang dalam agama lain. Tidak, perbedaan gereja dan
dunia terletak pada humilitas, yakni persekutuan dari
para murid-murid Tuhan, yakni iman kepada Kristus
yang tersalib seperti yang disaksikan dalam Galatia
6:11-16.43
Gereja Tanpa Dinding
Verne H. Fletcher dalam bukunya Lihatlah
Sang Manusia menegaskan bahwa belajar dari realita
Kerajaan Allah yang sudah mewujud dalam masa kini,
gereja dan para murid kristus harus mulai mendirikan
tanda-tanda keselamatan itu pada masa kini. Salah
satunya adalah dengan menjalani hidup tanpa
membangun tembok-tembok pemisah.44 Ini
42 Emanuel Gerrit Singgih. Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2000,
hlm. 3. 43 Emanuel Gerrit Singgih. Berteologi dalam Konteks. Pemikiran-pemikiran mengenai Kontekstualisasi di Indonesia Jakarta/ Yogyakarta: BPK Gunung Mulia/Kanisua.
2000, hlm. 211. 44 Verne H. Fletcher. Lihatlah Sang Manusia. Suatu Pendelatan pada Etika Kristen Dasar. Jakarta: BPK Gunung
Mulia. 2007. hlm. 143-4.
Gereja Lintas Agama 111
mengadaikan bahwa gereja haruslah menjadi
persekutuan orang-orang percaya tanpa dinding.
Mencermati pemikiran Pak Gerrit yang
dituangkan dalam buku-buku yang berkali-kali kita
kutip, kami mendapat kesan bahwa pemikiran Pak
Gerrit tentang gereja dalam kehidupan bersama di
Indonesia yang salah satu cirinya adalah kepelbagaian
agama dan adalah tabu untuk memandang agama-
agama itu sebagai yang kafir adalah gereja yang tanpa dinding. Memang Pak Gerrit sendiri tidak memakai
istilah itu. Istilah yang dipakai Pak Gerrit presensia, kehadiran dan hidup yang dinamis di tengah-tengah
mereka yang lain.45 Julianus Mojau menjelaskan frasa
itu dalam kalimat berikut:46
Singgih menggariskan bahwa misi Kristen seperti
itu hanya akan sungguh-sungguh efektif apabila
umat Kristen Indonesia secara sungguh-sungguh
menjadikan diri mereka sebagai sebuah
komunitas iman yang terbuka dan dialogis, yang
dapat menerobos kebuntuan hubungan dengan
umat Islam.
Kami memilih ungkapan gereja tanpa dinding untuk menggambarkan konstruksi eklesiologi yang ada
45 Emmanuel Gerrit Singgih. Dunia yang Bermakna. Kumpulan Karangan Tafsir Perjanjian Lama. Jakarta: BPK
Gunung Mulia. 1999. hlm. 20. 46 Julianus Mojau. Meniadakan atau Merangkul? hlm. 189.
112 Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
dalam pikiran Pak Gerrit, betapapun Pak Gerrit sendiri
tidak eksplisit menyebutkannya karena kami
mengingat penegasannya yang sudah kita catat di
depan, yakni “Kelompok khusus berupa orang pilihan
ini belum tentu merupakan anggota-anggota dari satu
lembaga yang terorganisir secara ketat dan terartur.
Paling banyak kita hanya dapat mengatakan bahwa
eklesia dan eklektos berhubungan dengan persekutuan
tertentu.”47
Gerejanya Pak Gerrit adalah komunitas iman
yang terbuka dan dialogis, bukan sekedar sebuah
organisasi. Tanda dari keberadaan seseorang sebagai
pengikut Kristus, kata Pak Gerrit bukan pada soal
ritual tetapi pada tindakan yang dimotivasi oleh
ketulusan dan keteguhan hatinya untuk
mendahulukan kerajaan Allah dan kebenaranNya.48
Jelasnya kemuridan yang sejati atau Pak Gerrit
sendiri menyebutnya: kesempurnaan Kristen tidak
terletak pada ritual atau moral, tetapi pada kesaksian
hidup dengan jalan mempraktikkan Khotbah di Bukit
(Mengantisipasi Masa Depan: 206). Tindakan dan
perilaku hidup seperti itu tidak hanya ditemukan
dalam diri orang-orang yang secara statistik dan
administrasi beragama Kristen. Tidak sedikit orang di
47 Emanuel Gerrit Singgih. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi. hlm. 241. 48 Itu adalah saripati dari artikel Emanuel Gerrit Singgih
tentang Khotbah di Bukti yang dimuat dalam buku.
Mengantisipasi Masa Depan. hlm. 188-208.
Gereja Lintas Agama 113
luar kekristenan yang menjalani teladan hidup tadi.
Jadi, pengikut Kristus tidak harus otomatis menjadi
pemeluk agama Kristen.
Pendapat Pak Gerrit tadi dituangkan dalam
pembahasannya tentang Khotbah di Bukit yang
dikemas dalam judul Rumah di Atas Batu. Di awal
uraiannya Pak Gerrit mengajukan pertanyaan: “Apa
yng mewujudkan identitas iman Kristen kita? Apakah
baptisan atau tidakan?” (Mengantisipasi Masa Depan:
189). Pak Gerrit kemudian meminta pembaca untuk
menggumuli pertanyaan ini sambil merenungkan
uraiannya yang menyusul.
Jadi, gereja dalam pemahaman Pak Gerrit
adalah gereja tanpa dinding. Yang penting dari gereja
bukan ritus-ritusnya, bukan juga organisasi dan
aturan-aturan yang harus ditaati. Yang menjadi
identitas gereja adalah keterhubungannya dengan
Kristus. Keterhubungan itu bersifat terbuka, nampak
dalam tindakan dan perilaku hidup, tidak bisa dibatasi
hanya dalam satu agama atau gereja yang institusional.
Gereja yang terbuka adalah yang hadir dan
berada di tengah-tengah dunia ini, bukan
mengasingkan diri dari dunia ini. Dalam rangka
keterbukaan itu Pak Gerrit mencatat dua hal. Pertama,
gereja di Indonesia tidak bisa meneruskan sikap
proselitisme mutlak, yakni sikap yang menegaskan
bahwa dari antara agama-agama yang ada, pastilah ada
agama yang benar dan yang lain salah, sehingga agama
lain yang tidak benar itu sebaiknya bubar dan
114 Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
anggotanya dibujuk menjadi anggota agama yang
benar (Mengantisipasi Masa Depan: 59).
Kedua, sebagai ganti proselitisme gereja perlu
membangun sikap presensia dan dialog.49 Para
pengikut Kristus perlu hadir di tengah-tengah
masyarakat, hidup bersama orang lain, bukan sekedar
hidup berberdampingan dengan orang dari agama lain.
Dalam pemahaman tradisional presensia gereja
diwujudkan dalam apa yang Pak Gerrit sebut tridarma Gereja: marturia, koinonia dan diakonia. Mengingat
konteks Indonesia yang dicirikan dengan lima masalah
itu, Pak Gerrit lebih memilih diakonia sebagai wujud
presensia gereja yang paling kuat. Presensia gereja
dalam wujud diakonia kata Pak Gerrit tidak boleh
dilihat sebagai alat untuk melakukan pekabaran Injil
kepada kaum miskin. Ini kesalahan banyak gereja di
Indonesia (Mengantisipasi Masa Depan: 63).
Pilihan pada diakonia dibuat Pak Gerrit
sebagai protes terhadap kecenderungan gereja-gereja
di Indonesia mempersempit kehadirannya dari
tridarma menjadi eka darma, yakni kepada
pemberitaan firman secara verbal. Malah kalau orang
di kalangan gereja berbicara tentang pelayanan, kata
Pak Gerrit, maka maksudnya bukan diakonia,
melainkan kebaktian/ibadah (Mengantisipasi Masa Depan: 19).
49 Emanuel Gerrit Singgih. Mengantisipasi Masa Depan. hlm. 60.
Gereja Lintas Agama 115
Mengenai dialog, menurut Pak Gerrit, itu
adalah usaha mencari kebenaran yang penuh dengan
berdasarkan pengakuan bahwa apa yang kita yakini
sebagai kebenaran, belum merupakan kebenaran yang
penuh sambil berdoa agar Tuhan yang adalah
kebenaran itu sendiri akan menganugerahkannya
kepada kita bersama, bukan hanya kita sendiri. Dalam
dialog itu, kita juga harus terbuka, kata Pak Gerrit,
yakni terbuka kepada pertobatan. Maksudnya, dalam
dialog itu orang lain bisa mengakui kebenaran kita dan
beralih dari agamanya kepada agama Kristen. Namun
kita pun bisa menerima kebenaran orang lain dalam
arti orang Kristen beralih ke agama lain.50 Dialog
terbuka kepada dua kemungkinan itu.
Watak keterbukaan dari presensia Kristen
seperti yang terkandung dalam pikiran-pikiran Pak
Gerrit, kata Julianus Mojau, juga terlihat dalam
solidaritasnya terhadap penderitaan manusia.51
Keterbukaan itu bersifat horizontal, terbuka terhadap
agama lain dalam hal kemanusiaan, maupun vertikal,
terbuka dalam soal pemahaman tentang Tuhan dalam
rumusan-rumusan proporsional, gambaran-gambaran
metaforis dan narasi-narasi.52
50 Emanuel Gerrit Singgih. Mengantisipasi Masa Depan. hlm. 60. 51 Julianus Mojau. Meniadakan atau Merangkul? hlm. 190. 52 Emmanuel Gerrit Singgih. Mengantisipasi Masa Depan. hlm. 18.
116 Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Yesus gambarkan keterbukaan dalam
pengertian solidaritas dengan metafora garam dunia.
Menyebut ini saya teringat kepada sebuah contoh
konkret yang dikemukakan oleh pendeta L.Z. Raprap.
Dia menegaskan bahwa penginjilan yang perlu
dipelajari gereja-gereja di Indonesia adalah model
garam. Dia mengatakan begini: “Coba sekarang, ibu
mau menginjil di pasar. Ibu lihat ada seorang ibu pakai
kerudung, menenteng dua keranjang penuh ayam,
ikan, daging. Kemudian, karena semangatnya ibu
datang dan menginjil ibu berkerudung itu: “Bu, saya
mau ngomong dulu, ya? Ibu sudah terima Yesus atau
belum?” Saya rasa, dua keranjang yang dibawanya
akan langsung ditimpuk ke arah ibu. Tetapi kalau ibu
bilag begini: “Sini, bu, saya tolong bawa satu
keranjang, ya? Bawa dulu keranjangnya ke mobil!
Mungkin ia Tanya: “Kenapa ibu baik, kenapa ibu mau
tolong saya? Waktu itu kalau ibu jawab: “Sebab saya
punya Yesus” keranjang itu pasti tidak akan ditimpuk
ke arah ibu.”53
Penginjilan model garam artinya orang Kristen
atau gereja harus terbuka untuk memahami dan
mengenal kehidupan sesamanya yang lain. Tetapi ada
sekelompok orang yang beranggapan bahwa gereja dan
orang Kristen tidak boleh menyesuaikan diri (baca
terbuka) terhadap dunia demi menjaga kemurnian injil
tetapi dunialah yang harus menyesuaikan dengan
53 L.Z. Raprap. Ada Waktu Mengelus Ada Waktu Menggampar. Kumpulan Khotbah Jenaka. Jakarta: BPK
Gunung Mulia. 2010. hlm. 39.
Gereja Lintas Agama 117
agama Kristen, atau dunialah yang harus dikristenkan
(Mengantisipasi Masa Depan: 327). Terhadap
kekuatiran ini, yakni gereja akan kehilangan Kristus
dan kemurnian injil kalau ia terbuka terhadap orang
dari dan belajar dari agama lain Pak Gerrit menulis
begini:54
Menurut perasaan kami klaim bahwa seseorang
mengetahui kebenaran tidak perlu merupakan
halangan untuk belajar mengerti orang lain. Kita
tidak perlu kuatir bahwa kemurnian iman kita
akan luntur karena bercampur dengan mereka
yang tidak seiman. Bahkan sebaliknya, iman kita
akan semakin diperkaya oleh kesadaran bahwa
Allah jauh lebih besar daripada apa yang dapat
kita gambarkan dan oleh konsep-konsep teologis
mana pun yang pernah kita ciptakan tentang Dia.
Sebagai persekutuan yang terbuka, tanpa
dinding yang hidup dalam semangat dialog (mengajar
dan belajar) dari agama lain dan menyatakan
solidaritas Allah dalam situasi konkret manusia, para
murid Kristus tidak boleh ke mana-mana. Mereka
harus berpegang teguh kepada Yesus Kristus sebagai
Tuhan dan juruselamat, tetapi pada saat yang sama
mereka harus ada di mana-mana, bukan hanya untuk
memberitakan Yesus Kristus, tetapi juga untuk makin
54 Emmanuel Gerrit Singgih. Dunia yang Bermakna. hlm.
20.
118 Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
menjadi kuat dan kaya dalam iman kepada Yesus
Kristus.
Kesimpulan dan Penutup
Pak Gerrit bergumul dengan upaya
kontekstualisasi pemikiran Kristen dengan
memperhatikan sungguh-sungguh warisan iman
Alkitab dan aspirasi masyarakat atau rakyat Indonesia
yang dianggap mewakili gambaran dunia. Dalam
upaya itu Pak Gerrit mendayagunakan kecakapan
hermeneutik yang ada padanya. Dalam hubungan
dengan pertanyaan yang menjadi keprihatinan studi
kita, Pak Gerrit sampai pada kesimpulan bahwa
kekristenan atau gereja di Indonesia haruslah
memperlihatkan keberanian untuk keluar dari isolasi
institusional (kenyamanan dalam kelompok sendiri)
dan teologi ready made (kenyamanan dalam bangunan
mental kepuasan terhadap teologi siap saji yang
diterima dari Barat yang dianggap sebagai iman).
Seiring dengan itu dibutuhkan kerendahan
hati untuk bertemu dan hidup bersama dengan umat
beragama lain, bukan sekedar hidup berdampingan
dengan mereka. Dalam kehidupan bersama itu gereja
dan orang Kristen bukan hanya berkesempatan untuk
mengajarkan (menyaksikan) Kristus kepada mereka
dalam bahasa dan gambaran dunia yang mereka kenal,
tetapi juga belajar dari mereka bagaimana mengalami