Top Banner
18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian dan Dalil-Dalil Tentang Jilbab 1. Pengertian Jilbab Jilbab merupakan perkataan yang sudah lazim yang sudah lazim dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Islam. Kata jilbab dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “baju kurung yang longgar”, dilengkapi dengan kerudung yang menutupi kepala, sebagian muka dan dada. 1 Dan juga dalam Kamus Ilmiah Populer diartikan sebagai “kerudung busana Muslim”. 2 Namun jilbab itu sendiri sebenarnya berasal dari bahasa arab, yang merupakan kalimat yang mempunyai dua arti asal, yaitu dari kata jalaba ( ﺠﻠﺏ) yang artinya “membawa” atau “mendatangkan”, serta al- jilbab ( ﺍﻟﺠﻠﺒﺎﺏ) yang berarti “baju kurung panjang” 3 . Di arab dikenal dengan jalabiyyah ( ﺟﻠﺒﻴﺔ.). selain itu juga dikenal dengan tajalbaba yang berarti “ membajui”. Adapun Lisanul Arab mendefinisikan jilbab sebagai “kain bagian luar atau penutup yang dililitkan pada bagian atas pakaiannya 1 Tim Penyusun Kamus Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 2, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, Hlm. 41 2 Pius A. paryanto, M Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: ARKOLA, t,tt, hlm.287 3 Achmad Warson Munawwir, Al-Munawwar Kamus Arab-Indonesia, Edisi 2, Surabaya: Pustaka Progresif, Cet. 25, hlm. 199.
28

BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

Feb 06, 2018

Download

Documents

vodieu
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

18

BAB II

JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM

A. Pengertian dan Dalil-Dalil Tentang Jilbab

1. Pengertian Jilbab

Jilbab merupakan perkataan yang sudah lazim yang sudah lazim

dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Islam. Kata jilbab

dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “baju kurung yang longgar”,

dilengkapi dengan kerudung yang menutupi kepala, sebagian muka dan

dada.1 Dan juga dalam Kamus Ilmiah Populer diartikan sebagai “kerudung

busana Muslim”.2Namun jilbab itu sendiri sebenarnya berasal dari bahasa

arab, yang merupakan kalimat yang mempunyai dua arti asal, yaitu dari kata

jalaba ( جلب) yang artinya “membawa” atau “mendatangkan”, serta al-

jilbab ( الجلباب ) yang berarti “baju kurung panjang”3. Di arab dikenal

dengan jalabiyyah ( جلبية.). selain itu juga dikenal dengan tajalbaba yang

berarti “ membajui”. Adapun Lisanul Arab mendefinisikan jilbab sebagai

“kain bagian luar atau penutup yang dililitkan pada bagian atas pakaiannya

1 Tim Penyusun Kamus Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, Edisi 2, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, Hlm. 41 2 Pius A. paryanto, M Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: ARKOLA, t,tt,

hlm.287 3 Achmad Warson Munawwir, Al-Munawwar Kamus Arab-Indonesia, Edisi 2, Surabaya:

Pustaka Progresif, Cet. 25, hlm. 199.

Page 2: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

19

untuk menutupi dirinya dari kepala hingga ujung kaki. Jilbab itu benar-benar

menyembunyikan tubuhnya (kecuali yang boleh ditampakkan)4

Menurut Muhammad Syahrur dalam kitabnya “ al-kitab wa al-

Qur’an: Qiraah muasyirah “ menyatakan bahwa: kata jilbab berasal dari

kata jalaba. Dalam kamus Lisanul Arabiyyah, kata ini adalah kata kerja”

fi’il” yang mempunyai dua arti asal, yang pertama adalah “mendatangkan

sesuatu dari satu tempat ke tempat yang lain”, dan arti yang lainnya adalah

“sesuatu yang menutupi sesuatu yang lain”. Sedangkan kata jilbatun adalah

“ penutup yang menyelubungi atau menutupi anggota badan ketika baru

sembuh dari luka dan sedang pulih”, dan sebelum anggota badan itu pulih,

anggota badan itu dibalut dengan kain yang steril atau kain yang diberi obat

untuk melindunginya dari gangguan yang datang dari luar.” 5

Ibnu Hazm menuliskan bahwa dalam bahasa arab jilbab merupakan

kain bagian luar yang menutupi seluruh tubuh. Karenanya sepotong kain

yang terlalu kecil untuk menutupi seluruh tubuh tidak dapat disebut sebagai

jilbab. Adapun Nasharuddin Umar mencatat jenis-jenis pakaian perempuan

dalam Vocabulary Arab bahwa, pada masa Rasulullah dikenal dengan

beberapa istilah, yakni: khimar, pakaian yang khusus menutupi bagian

kepala. Dir, pakaian yang khusus menutupi bagian badan. Niqab dan Burq,

pakaian yang khusus menutupi daerah muka kecuali bagian bola mata.

Idhar, pakaian yang dijahit yang menutupi anggota badan sampai ke bagian

kaki. Rida’, pakaian luar yang menutupi bagian atas badan kebagian bawah

4 IDEA, Analisis Utama ”Membongkar Jilbab”, Edisi, 20/Th.IX/Juni 2004 , hlm.9 5 Muhammad .Syahrur, Al-kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asyirah ,op.cit, hlm. 614

Page 3: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

20

diatas Idhar. Dan jilbab, yaitu kerudung yang menutupi bagian luar kepala,

termasuk Dir dan khimar.6

2. Dasar Hukum Memakai Jilbab

Adapun dalil hukum memakai jilbab yaitu firman Allah dalam Al-

Qur’an surat An-Nur ayat 31:

وقل للمؤمنات يغضضن من أبصارهن ويحفظن فروجهن ولا وبهنيلى جع رهنبخم نربضليا ومنه را ظهإلا م نزينته دينبي

أو ائهنآب أو ولتهنعإلا لب نزينته دينبلا يو أو ولتهنعاء بآب أبنائهن أو أبناء بعولتهن أو إخوانهن أو بني إخوانهن أو بني أخواتهن أو نسائهن أو ما ملكت أيمانهن أو التابعين غير أولي

أو الطفل الذين لم يظهروا على عورات النساء الإربة من الرجالولا يضربن بأرجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن وتوبوا إلى الله

ونتفلح لكملع ؤمنونا المهميعا أي31: النور(ج(

Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.(QS. An-Nur: 31)7

6 Op.cit, hlm. 10 7 Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1978, hlm. 548

Page 4: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

21

Dan juga dalam firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat: 59

هنليع نيندي ؤمنيناء المنسو ناتكبو اجكوقل لأز ا النبيها أييجلابيبهن ذلك أدنى أن يعرفن فلا يؤذين وكان الله غفورا من

) 59: االحزاب (رحيما Artinya: Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak

perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.(QS. Al-Ahzab: 59)8

Serta hadits Nabi yang dijadikan sebagai sandaran hukum terhadap

diwajibkannya wanita memakai jilbab , yaitu:

ان اسماء بنت ابي بكر دخلت على رسول اللة صلى اللة عليه وسلم وعليها ثيا ب رقاق فا عرض عنها رسول اللة صلى اللة عليه وسلم وقال يا اسماء ان المراة اذابلغت المحيض لم تصلح ان

)رواه ابو دود( يرى منها اال هذا وهذا واساراليوجهه وكفيه

Artinya: Bahwa ‘asma’ bin abu bakar masuk ke rumah rasul dengan mengenakan pakaian yang tipis, maka rasulullah bersabda: “wahai ‘asma’, sesungguhnya wanita yang telah haid (baligh) tidak diperkenankan dilihat dari padanya ini dan ini, dengan mengisyaratkan wajah dan telapak tangan. (HR. Abu Daud).9

B. Kerangka Teoritik Metode Istinbath Berdasarkan Kaidah Kebahasaan

Jumlah dalil-dalil syara’ ( sumber-sumber hukum ) dalam fiqh adalah

banyak, dari jumlah yang banyak itu ada sebagian yang telah disepakati oleh

para ahli ushul fiqh dan ada pula yang sebagian yang belum mereka sepakati.

8 Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, op.cit, hlm. 678 9 Abi Daud, Sunan Abi Dawud, (Bairut: Libanon, Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, T.Th), hlm.62

Page 5: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

22

Dalil-dalil yang telah disepakati oleh jumhur ahli ushul fiqh ada 4

macam,10 dan dijadikan sebagai dasar pokok dalam pengambilan hukum-

hukum syar’iyyah, yaitu : (1) Al-Qur’an, (2) As-Sunnah, (3) Al-Ijma’, (4) Al-

Qiyas. Dan menurut fiqh As-Syafi’i hirarki sumber hukum tersebut

menunjukkan urutan prioritas.11

Sedangkan dalil-dalil yang tidak merupakan kesepakatan jumhur

ulama’ ushul fiqh adalah Istihsan, Maslahah Mursalah, Istihsab, ‘Urf, Syariat

Ummat Sebelum Kita, Madzhab Sahabat, Sadduddzara’i, Dan Dalalah

Iqtiram.12

Namun dalam bab ini penulis hanya akan menguraikan dan

menjelaskan metode atau cara pengambilan hukum ushul fiqh mainstream

terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagai acuan dalam menganalisis

pengambilan hukum Muhammad Syahrur yang akan diterapkan di dalam bab

IV.

Dalam ushul fiqh, setiap istinbath (pengambilan hukum) dalam syariat

Islam harus berpijak atas al-Qur’an dan Sunnah Nabi, ini berarti dalil-dalil

syara’ ada dua macam, yaitu : nash dan ghairun nash (bukan nash). Dalil-

dalil yang tidak termasuk dalam kategori nash adalah qiyas dan istihsan, yang

pada hakekatnya digali, bersumber dan berpedoman pada nash.

10 Muhtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung : al-Ma’arif, Cet

Ke-I, 1986, hlm 28. 11 Nasr Hamid Abu–Zayd, Imam Syafi’i: Moderatisme, Eklektisisme, Arabisme,

Yogyakarta : LkiS, Cet Ke-2, 2001, hlm 5 12 Ahmad Hanafie, Ushul Fiqh, Jakarta : Wijaya, Cet. Ke-12, 1993, hlm 102

Page 6: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

23

Adalah suatu keharusan bagi seorang ahli hukum (faqih) untuk

mengetahui cara pengambilan hukum (thuruq al-istinbath ) dari nash. Untuk

kepentingan itu, ilmu ushul fiqh telah menetapkan metodologinya.

Cara pengambilan hukum (thuruq al-istinbath) dari nash ada dua

macam pendekatan, yaitu : pendekatan makna (thuruq ma’nawiyah) dan

pendekatan lafazh (thuruq lafdzhyyah). Pendekatan makna (thuruq

ma’nawiyah) adalah (istidhal) penarikan kesimpulan hukum bukan kepada

nash langsung seperti menggunakan qiyas, istihsan, maslakhah mursalah,

dzara’i, dan lain sebagainya.

Sedangkan pendekatan lafazh (thuruq lafdzhyyiah) penerapannya

membutuhkan beberapa faktor pendukung yang sangat dibutuhkan. Yaitu

penguasaan terhadap makna (pengertian) dari lafazh-lafazh nash serta

konotasinya dari segi umum dan khusus; mengetahui dalalahnya apakah

menggunakan manthuq lafadzhy ataukah termasuk dalalah yang

menggunakan pendekatan mafhum yang diambil dari konteks kalimat;

mengerti batasan-batasan (qayyid) yang membatasi ibarat-ibarat nash;

kemudian pengertian yang dapat dipahami dari lafadz nash apakah

berdasarkan ibarat nash ataukah isyarat nash dan lain sebagainya.

Sehubungan dengan hal tersebut, para ulama’ ushul fiqh telah membuat

metodologi khusus “Mabahus lafdziyyah” ( pembahasan lafadz-lafadz nash )

yang dapat diuraikan sebagai berikut :

Nash-nash hukum Islam adalah nash-nash yang memakai bahasa arab.

Oleh karena itu, seseorang yang akan memahami nash dan menggali hukum

Page 7: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

24

yang terkandung didalamnya harus menguasai bahasa arab. Lebih jauh lagi, ia

harus memahami detail-detail idiom (ibarat) dalam bahasa arab beserta

pengertiannya, menguasai gaya bahasa yang menggunakan ta’bir (ungkapan)

hakiki pada kondisi tertentu, dan menggunakan ta’bir majaz (kiasan) pada

kondisi yang lain; dan mengerti maksud utama dari tiap-tiap ungkapan bahasa

yang dipakainya. Sebab penguasaan terhadap hal-hal tersebut masing-masing

mempunyai relevansi tersendiri berkenaan dengan upaya memahami nash dan

mencari kejelasan hukum-hukum yang terkandung didalamnya.13 Dan agar

terhindar dari penyimpangan dan kekeliruan di dalam memahami al-Qur’an,

karena disamping kekeliruan yang disebabkan oleh kecenderungan dan latar

belakang seorang mufassir, juga disebabkan oleh minimnya pengetahuan

mereka terhadap ilmu-ilmu bantu yang harus dikuasainya, seperti pengetahuan

tentang kaidah-kaidah kebahasaan (qawaid al-Lughawiyah)14Dimana lafadz-

lafadz, dilalah, dan batasan-batasan di dalam lafadz dapat mengandung makna

yang umum (‘amm), khusus (khash), musytarak (kata-kata yang memiliki

makna lebih dari satu), serta muradif (sinonim).15

Oleh karena itu, para ulama’ ushul fiqh bekerja keras membuat

kaedah-kaedah yang dapat digunakan untuk dapat memahami nash-nash dan

menggali hukum-hukum taklify dari nash-nash itu. Abdul Wahab Khallaf

misalnya, mengklasifikasikan kaidah-kaidah tersebut dalam tujuh kaidah

13 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Terj. Saefullah Ma’sun, Jakarta : Pustaka

Firdaus, Cet Ke-3, 1995, hlm 166 14 Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, Refleksi Atas Persoalan Linguistic, dalam

pengantar HM.Muchoyyar,HS, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cet Ke-1, 2002, hlm x 15 Abdul Hadi Muthohhar, Rekonstruksi Pemikiran Ilmu Fiqh, 2004, hlm 92.

Page 8: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

25

ushuliyyah yang ditinjau dari aspek bahasa.16 Dalam membuat kaedah-kaedah

tersebut, mereka berpedoman pada dua hal sebagai berikut :17

Pertama, “ Al-Maudhu’at Al-Lughawiyyah” (pengertian konotasi

kebahasaan), dan “al-fahmu al-Arabi” (pemahaman pada citarasa bahasa

arab) terhadap nash-nash hukum dalam kaitannya dengan Al-Qur’an dan

Sunnah.

Kedua, pedoman (metode) yang dipakai Nabi SAW dalam

menjelaskan hukum-hukum Al-Qur’an, dan himpunan hukum-hukum nash

yang telah mendapat penjelasan dari sunnah, lafadz nash menjadi jelas

pengertiannya dan masuk kedalam lingkup hukum syara’ yang mempunyai

kepastian hukum.

Kaidah-kaidah bahasa (luhgawi) itu mengacu pada empat segi yaitu :

a. Lafadz-lafadz nash dari segi kejelasan dan kekuatan dalalahnya terhadap

kejelasan yang dimaksud.

b. Dari segi ungkapan dan konotasinya, apakah menggunakan ibarat yang

sharih (ungkapan yang jelas), ataukah menggunakan isyarat yang

mengandung makna yang tersirat; dan apakah memakai manthuq ataukah

mafhum.

c. Dari segi cakupan lafadz dan cakupan dalalahnya, apakah lafadz umum

(amm) ataukah (khash) khusus, dan lafadz muqayyar dan mutlaq.

d. Dan dari segi bentuk tuntutan (shighat taqlif)-nya.

16 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : Gema Risalah Press, Cet Ke-

1,1996, hlm 241 17 Muhammad Abu Zahrah, Op.cit, hlm 167

Page 9: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

26

Keempat segi diatas harus dikuasai oleh seseorang ahli fiqh agar dalam

melakukan istinbath hukum terhindar dari kekeliruan. Dan keempat segi diatas

akan diuraikan sebagai berikut :

a. Lafadz-lafadz nash dari segi kejelasan dan kekuatan dalalahnya terhadap

kejelasan yang dimaksud.

Lafadz dalam Al-Qur’an terbagi dalam dua macam, yaitu : lafadz

yang jelas dalalahnya yang tidak perlu penjelasan lagi, dan dari lafadz itu

sudah dapat ditetapkan taklifi, serta lafadz yang tidak mempunyai

kejelasan makna secara khusus.

1). Lafadz yang jelas

Lafadz-lafadz yang jelas ada empat macam, yang berbeda-beda

tingkat “kekuatan kejelasan lafadznya” yang berakibat pada kekuatan

dalalahnya, yaitu :

a).Zhahir

Zhahir (makna yang tersurat)18 di dalam kitab-kitab ushul fiqh

oleh sebagian jumhur ulama’ madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbaly,

tidak ditemukan perbedaan antara nash dan zhahir, menurut mereka

zhahir sama pengertiannya dengan nash, dan sebagian lagi melihat

adanya perbedaan antara keduanya. Mereka menyatakan bahwa nash

adalah lafadz yang tidak menerima kemungkinan arti lain (ihtimal) di

dalam dalalah-nya. Sedangkan zhahir ialah lafadz yang masih mungkin

menerima arti lain (ihtimal) di dalam dalalahnya. Sebagian Mazhab

Maliki memberikan tafsiran ihtimal (kemungkinan arti lain) yang tidak

18 Abdul Wahab Khallaf, Op.Cit, hlm 246

Page 10: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

27

terjadi pada nash, bahwa ihtimal yang dimaksud disini adalah ihtimal

yang keluar dari dalil. Sedangkan ihtimal yang tidak keluar dari dalil,

maka tidak tertutup kemungkinan bahwa lafadz itu tergolong nash di

dalam maknanya.

Lafadz zhahir meskipun memiliki dalalah sesuai yang ditunjuk

oleh lafadznya dan hukum taklify yang terkandung di dalamnya, masih

tetap menerima adanya takhsish (spesifikasi), ta’wil, dan nasakh. Jadi

karena adanya kemungkinan masuknya tiga hal itulah, lafdz zhahir

masih mengandung ihtimal (kemungkinan) di dalam dalalahnya.

b) Nash

Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa nash menurut

sebagian ulama madzhab Syafi’i dan Maliki adalah lafadz yang tidak

mengandung ihtimal sama sekali, atau tidak mengandung ihtimal yang

timbul dari dalil ; dan menurut Madzhab Hanafi ialah dalalah lafadz

sesuai dengan konteks kalimatnya, seperti perbedaan antara jual beli dan

riba dalam ayat diatas dan seperti firman Allah swt :

والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسبا نكاال

)38: املائدة(من الله والله عزيز حكيم

Artinya :“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah”. (QS.al Maidah :38).19

19 Ibid., hlm 165

Page 11: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

28

Dari segi dalalahnya terhadap hukum, lafadz nash lebih kuat

dibanding lafadz zhahir. Oleh karena itu apabila terjadi pertentangan

antara keduanya, maka nash harus didahulukan pemakaiannya atas

zhahir.

c). Mufassar

Mufassar ialah yang menunjukkan kepada maknanya sesuai

yang dimaksud oleh konteks kalimat. Maka dari lafadz itu pada asalnya

lafadz yang mujmal, lalu datang dari nash lain yang menafsirnya

(menjabarkannya), seperti perintah tentang kewajiban membayar diyat

dalam tindak pidana pembunuhan tidak sengaja (khatha’). Allah SWT

berfirman :

ومن قتل مؤمنا خطئا فتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة إلى أهله

Artinya : “Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang

diserahkan kepada keluarganya (si pembunuh)”. (QS. An Nisa : 92).20

Dalam hal itu, terdapat hadist Nabi yang menjelaskan ukuran-

ukurannya, had-hadnya, dan macam-macamnya, sehingga nash yang

kedua (hadist Nabi) menjadi mufassir (menjelaskan) terhadap nash

pertama. Juga, seperti perintah zakat. Ayat itu masih mujmal yang

kemudian ditafsirkan oleh sunnah Nabi. Dengan demikian penjabaran

dan perincian ayat tersebut diperoleh berdasarkan lafadz-lafadz yang

20 Ibid., hlm 135

Page 12: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

29

menafsirinya. Sebagaimana keterangan yang disandarkan kepada sabda

Nabi :

راهم دةالقطع فى اقل من عشر

Artinya : “Tidak dikenakan hukuman potong tangan, pencuri yang kurang dari sepuluh dirham”(HR.Muslim) 21

Perlu di ingat disini bahwa dalil-dalil yang bisa menafsiri

hanya bisa terbatas pada ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena

itu, penafsiran yang mempunyai fungsi takhsis dan takwil hanya ada

pada zaman Rasulullah SAW.

Dari segi dalalahnya terhadap makna, lafadz yang menafsiri

(mufassar) lebih kuat dibanding lafadz zhahir dan nash.

d). Muhkam.

Muhkam ialah ayat-ayat yang dimaksud petunjuk (dalalah)-nya jelas dan

tegas sehingga tidak menimbulkan kekeliruan pemahaman.22 Atau

lafadz yang menunjukkan makna yang dimaksud, yang memang

didatangkan untuk makna itu. Lafadz ini jelas pengertiannya, tidak

menerima lagi adanya ta’wil dan takhsis.

Dan seperti firman Allah SWT dalam kaitannya dengan orang

yang melakukan delik qadzaf :

ولا تقبلوا لهم شهادة أبدا

21 Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz 2, Beirut: Dar al-Kutubi al-Ilmiah, tt.hlm. 22 Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, Memahami Essensi Al-Qur’an, Terj. Idrus

Alkaf, Cet Ke-1, Jakarta : Lentera, 2000, hlm 42

Page 13: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

30

Artinya : “Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya”.( QS. An-Nur ;4).23

Lafadz muhkam mempunyai dalalah hukum yang lebih kuat di

banding macam-macam lafadz yang tersebut dahulu. Oleh karena itu,

apabila dari segi lahiriahnya nampak terjadi pertentangan dengan lafadz

yang lain maka lafadz muhkam mesti didahulukan.

2). Lafadz yang tidak jelas pengertiannya.

Lafadz yang tidak jelas pengertiannya (ghairul wadhih), yaitu

lafadz yang maknanya itu tidak jelas mutlak, atau makna itu tidak jelas

pada pengertian yang ditunjuk (madhlul) yang masuk dalam lingkup

pengertiannya.

Lafadz yang tidak jelas maknanya kadangkala secara essensial

memang tidak jelas, dan Allah saja yang mengetahuinya. Bagian ini

tidak masuk dalam kategori taklif (yang dibebankan), seperti huruf-

huruf yang terdapat dalam beberapa awal surat, misalnya sad, khaf, ha,

ya, ain, shad, ain, sin ,qaf dan seterusnya.

Ketidakjelasan suatu lafadz terkadang bukan karena lafadznya

sendiri, akan tetapi penerapan lafadz itu pada sebagian madzufnya.

Bagian ini terbagi menjadi empat yaitu : Al-khafiy, Al-musykil, Al-

mujmal, dan Al-mutasyabih.

a). Al-khafiy, adalah lafadz yang maknanya samar (tidak jelas) pada

sebagian pengertian yang ditunjuk (madhlul)-nya.

23 Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Ibid, hlm 543

Page 14: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

31

b). Al-Musykil, adalah lafadz yang maknanya samar atau kabur karena

sesuatu sebab yang ada pada lafadz itu sendiri. Contohnya adalah

lafadz Musytarak, yaitu : lafadz yang menunjukkan dua arti atau

lebih secara bergantian, seperti kata ‘ain, kata ini menunjukkan

beberapa makna satu anggota badan yaitu air mata (alat melihat),

sumber air (mata air), essensi (zat).

c). Al-Mujmal, adalah bentuk ungkapan yang dalam maknanya

tersimpan banyak ketentuan dan berbagai keadaan yang tidak

mungkin diketahui dengan pasti, kecuali melalui pernyataan lain

yang menjelaskan (mubayyin).

Banyak ungkapan al-Qur’an mengenai hukum-hukum taklify

yang berbentuk mujmal, yang kemudian oleh sunnah dijelaskan dan

di rinci ketentuan-ketentuannya. Misalnya, perintah sholat berbentuk

mujmal, lalu datanglah sunnah Nabi dalam bentuk ucapan sekaligus

tindakan. Nabi bersabda :

صلوا كما رايتموني اصلى

Artinya : “Lakukanlah sholat (dengan cara) sebagaimana kalian lihat ketika aku shalat”.(HR. Muslim)24

d). Al-Mutasyabih, adalah lafadz yang samar maknanya, dan tidak

mungkin dijangkau oleh nalar ulama sekalipun, sementara baik pihak

didalam al-Qur’an maupun hadist tidak ada penafsiran yang bersifat

qath’y (pasti) ataupun yang zhanny terhadap lafadz tersebut. Akal

24 Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz 2, Beirut: Dar al-Kutubi al-Ilmiah, tt.hlm

Page 15: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

32

manusia tidak akan sanggup selain menyerahkan persoalannya

kepada Allah swt. Dan mengakui kelemahan dan keterbatasan diri.

Contohnya seperti potongan-potongan huruf di awal surat

serta sumpah Allah dalam al-Qur’an seperti :

لا أقسم بيوم القيامة

Artinya: “Aku bersumpah demi hari kiamat”.(QS.Al-Qiyamah: 1).25

2. Dilalah.

Apa yang dipaparkan diatas adalah pembagian lafadz ditinjau dari

segi kejelasan dan kualitas penjelas itu, kemungkinan menginterpretasikan

sebuah lafadz-lafadz nash dengan sebagian lainnya serta cara menggali

hukum dari nash-nash tersebut. Pengertian dari nash-nash tersebut disebut

Dilalah yang dapat ditinjau dari bermacam-macam cara (segi) hingga satu

lafadz dapat menunjukkan beberapa pengertian yang saling berdekatan

lantaran segi tinjauan yang berbeda-beda.26 Dilalah itu tidaklah terbatas

menurut sesuatu yang dipahami dari yang tersurat atau huruf-hurufnya.

Bahkan nash-nash itu kadang-kadang menunjukkan beberapa makna yang

diperoleh dari cara-cara isyarat, dilalah dan tuntutannya.27

Para fuqaha Mazhab Hanafi membagi cara peninjauan dilalah lafadz

menjadi empat macam,28 dan disusun berdasarkan tingkatannya, yaitu

25 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, op.cit, hlm 998 26 Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm 203 27 Abdul Wahab Khallaf, op.cit, hlm 245 28 Ibid.

Page 16: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

33

1. Dilalah ibarah (makna yang dipahami dari lafadz, baik lafadz tersebut

berupa zhahir maupun nash, muhkam maupun tidak). Oleh karena itu,

setiap pengertian yang dipahami dari keadaan lafadz yang jelas disebut

Dilalah ibarah. Seperti firman Allah :

فاجتنبوا الرجس من الأوثان واجتنبوا قول الزور Artinya : “Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan

jauhilah perkataan-perkataan dusta”.(QS.Al-Hajj : 30).29 Dengan Dilalah ibarah ayat tersebut dapat dipahami bahwa

perkataan dusta (saksi palsu) adalah dusta.

2. Dilalah Nash / Mafhum Muwafaqah atau disebut juga Dilalatul Aula

adalah pengertian secara implisit tentang suatu hukum lain yang dipahami

dari pengertian nash secara eksplisit (ibaratun nash) karena adanya faktor

penyebab yang sama. Seperti firman Allah : QS.Al-Isra’ : 23-24).

Secara eksplisit ayat tersebut menjelaskan tentang haramnya

mengucapkan “ah” kepada kedua orang tua. Bila ucapan “ah” saja

diharamkan, apalagi memukul dan mencerca apalagi perkataan dan

perbuatan yang menyakiti hati kedua orang tua, tentu lebih diharamkan.

Dilalah ini dapat dipahami dari nash ayat tersebut tanpa

memerlukan istinbath.

3. Dilalah Isyarat yaitu dilalah makna nash yang lazim bagi sesuatu yang

difahami dari suratan nash, tidak dimaksudkan oleh susunan katanya, ia

memerlukan pemahaman serius atau pemahaman yang selintas. Menurut

29 Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, op.cit, hlm 516

Page 17: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

34

kejelasan atau ketidakjelasan kelazimannya.30 Misalnya firman Allah

dalam konteks diperkenankannya poligami bagi seorang laki-laki yang

dijelaskan Allah yang berbunyi :

فال جناح عليكم إذا سلمتم ما آتيتم بالمعروف

Artinya : “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada

para ibu dengan cara yang baik”. (Al-Baqarah :233).31

Secara eksplisit (ibarat) ayat tersebut menjelaskan bahwa

kewajiban memberi nafkah kepada anak adalah dibebankan kepada ayah,

Sedangkan secara implisit (isyarat) menunjukkan bahwa seorang anak

adalah dinashabkan kepada ayahnya. Demikian pula secara eksplisit

seorang ayah mempunyai hak-hak tertentu terhadap anaknya, yang

secara implisit dinyatakan seorang ayah seakan-akan memiliki harta

kekayaan anaknya. Sehingga konsekuensi logis dari hal tersebut, jika

seorang ayah mengambil harta benda milik anaknya, ia tidak

dikategorikan sebagai pencuri.

4. Dilalah Al-Iqtidha’ yaitu penunjukan (dilalah) lafadz terhadap sesuatu,

dimana pengertian lafadz tersebut idak logis kecuali dengan adanya

sesuatu tersebut, atau juga makna yang mana susunan makna tidak

lengkap kecuali dengan kata-kata yang disimpan dibuang.32 Seperti

firman Allah :

30 Abdul Wahab Khallaf, op.cit, hlm 249 31 Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, op.cit, hlm 57 32 Abdul Hadi Muthohhar, Rekonstruksi Pemikiran Ilmu Fiqh ,op.cit, hlm 171

Page 18: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

35

فاتباع بالمعروف وأداء إليه بإحسان

Artinya : “Maka barang siapa yang mendapat sesuatu pemaafan dari saudara-saudaranya, hendaklah (memaafkan) mengikuti dengan cara baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) pada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)”.(QS.Al-Baqarah : 178).33

Ayat tersebut menjelaskan bahwa jika keluarga orang yang

dibunuh telah memaafkan, maka hendaklah diikuti dengan sikap yang

baik kepada orang yang diberi maaf. Yakni sebagai konsekuensi logis

dari sikap memaafkan tersebut ialah adanya imbalan harta benda (diyat)

yang diharapkan oleh orang yang mengharapkan.

C. Lafadz Ditinjau Dari Segi Cakupannya

Menurut para ulama’ ushul fiqh, dilihat dari segi cakupan lafadz

terhadap satuannya dibagi menjadi bentuk yang umum (‘umm ) dan khusus (

khash ). Sedangkan dari segi sifat dibagi menjadi bentuk yang muthlaq dan

muqayyad.34

Lafadz ‘amm adalah lafadz yang digunakan untuk menunjukkan pada

jumlah yang banyak dan satuan yang termasuk dalam pengertian dalam satu

makna yang berlaku. Sebagai contoh adalah lafadz “rijal”, lafadz tersebut

merupakan lafadz “amm sebab mencakup seluruh satuan yang di kandung

oleh lafadz tersebut sesuai dengan makna yang berlaku.

Lafadz khash adalah suatu lafadz yang menunjukkan satu orang /

barang / hal yang tertentu.35 Menggunakan arti mufrad (singgular), baik

pengertian itu menunjukkan pada seseorang, jenis, golongan atau nama

33 Ibid, hlm 43 34 Muhammad Abu Zahrah, op.cit, hlm 235 35 Ahmad Hanafie, Ushul Fiqh, op.cit, hlm 52

Page 19: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

36

sesuatu,36 seperti hayawan, atau menunjukkan macam (kategori) seperti lafadz

insan rajul atau menunjukkan arti perorangan seperti Ibrahim.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa keumuman lafadz

‘amm itu akan tetap dalam keumumannya selama tiak ada dalil yag dijadikan

dasar untuk mengtakhsisnya. Meskipun demikian sebagian besar ulama’

berpendapat bahwa setiap ada lafadz ‘amm, pasti ada dalil yang

mengtakhsisnya, atas dasar itulah sehingga mereka membuat suatu kaidah

“maa min ‘ammin illa khushshisha” ( tidak ada lafadz ‘amm melainkan selalu

ditakhsiskan ).37

Berdasarkan kaidah tersebut, maka beberapa ulama’ seperti Imam

Syafi’i berpendapat bahwa lafadz ‘amm itu dalalahnya bersifat dhanniyah,

bukan bersifat qath’iyyah. Oleh karena itu, apabila seseorang menemukan

lafadz ‘amm, maka hendaklah ia mencari takhsishnya sebelum diamalkan.38

Lafadz mutlaq adalah lafadz yang menunjukkan pada hakekat

(mahiyah) lafadz itu apa adanya tanpa memandang jumlah maupun sifatnya,

misalnya lafadz “raqabah” dalam firman Allah :

ة فكقبر Artinya : “( Yaitu ) melepaskan budak dari perbudakan”.(QS.al-Balad : 13).39

36 Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, Refleksi Atas Persoalan Linguistic,

op.cit,hlm 186 37 Ibid, hlm 182 38 Djalaludin as-Suyuti as-Syafi’i, Manahilul Irfan Fi ‘Ulumul Qur’an, Jilid II,Beirut :

Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiah, 1996, hlm 5 39 Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, op.cit, hlm 1060

Page 20: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

37

Lafadz Muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan pada hakekat

lafadz tersebut dengan dibatasi (diberi qayd) oleh sifat, keadaan dan syarat

tertentu. Dengan kata lain, muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan pada

hakekat lafadz itu sendiri,dengan dibatasi oleh batasan-batasan, tanpa

memandang pada jumlah, 40 Seperti firman Allah :

فإن طبن لكم عن شيء منه نفسا Artinya : “( Hendaklah ) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang

beriman”(QS.An-Nisa :4).41

D. Bentuk Taklif

Hukum Taklif adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan

orang-orang mukallaf, baik berupa perintah maupun pilihan. Yang dimaksud

perintah disini ada kalanya perintah untuk melaksanakan suatu perbuatan,

adakalanya perintah untuk meninggalkan. Sedangkan yang dimaksud pilihan

adalah memperbolehkan seorang mukallaf untuk mengerjakan suatu perbuatan

atau meninggalkannya.42 Adapun bentuk-bentuk hukum taklif adalah

a). Mubah

Hukum mubah dapat diketahui melalui tiga bentuk ungkapan, yaitu :

1) nash yang menjelaskan tentang tiadanya dosa dalam perbuatan seperti

lafadz ‘la junaha’ (QS.Al-Baqarah : 229). 2). Sesuatu yang menurut aslinya

halal “dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di Bumi untuk kamu”

(QS. Al-Baqarah :29 ). Serta 3). Nash yang menggunakan kata-kata halal

seperti dalam (QS.Al-Maidah :5).

40 Muhammad Abu Zahrah, op.cit, hlm 256 41 Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, op.cit, hlm. 115 42 Muhammad Abu Zahrah, op.cit, hlm 263-264

Page 21: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

38

Terkadang hukum mubah juga dapat diketahui dari nash yang

berbentuk perintah, misalnya dalam surat Al-A’raf : 31, tentang makan dan

minum yang tidak berlebihan, dan juga sabda Nabi yang berbunyi ‘makan

dan minumlah serta berpakaianlah tapi jangan berlebih-lebihan dan

sombong’ serta Al-Maidah: 2 tentang kebolehan berburu setelah

menyelesaikan ibadah haji.43

b). Perintah

Adapun hukum yang berupa perintah, baik perintah untuk

mengerjakan suatu perbuatan maupun perintah untuk meninggalkannya.

Terkadang diungkapkan dengan kata-kata yang jelas (sharih). Misalnya :

يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من

قبلكم لعلكم تتقون Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa

sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa”.(QS.Al-Baqarah : 183).44

Juga perintah yang menunjukkan pada hukum wajib itu

menggunakan bentuk fi’il mudhari’ (kata kerja). Misalnya:

والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثالثة قروء

Artinya : “Wanita-wanita yang ditalaq, hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru” (QS. Al-Baqarah : 228).45

43 Ibid, hlm 264-265 44 Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, op.cit, hlm 44 45 Ibid, hlm 55

Page 22: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

39

Demikian banyak sekali ungkapan-ungkapan yaitu menunjukkan

perintah dan larangan, oleh karena itu para ulama’ ushul fiqh telah

mengkategorikan bentuk-bentuk ungkapan-ungkapan secara terperinci, yaitu

a) Perintah (Al-Amr)

Amar adalah perintah dari pihak yang lebih tinggi tingkatannya

kepada yang lebih rendah tingkatannya. Dalam bahasa Arab, bentuk

amar adalah dengan menggunakan sighat if’al yang berarti “kerjakan”

dan li taf’al ( litaf’al) yang berarti “hendaklah engkau mengerjakan”.

Menurut aslinya, bentuk (sighat) amar adalah menunjukkan perintah,

sedangkan bentuk sighat amar tersebut digunakan untuk menunjukkan

selain perintah, seperti untuk membimbing (irsyad), menakut-nakuti

(tahdid), doa atau penghinaan maka penggunaan sighat amar tersebut bersifat

majaz (kiasan),46 misalnya firman Allah :

الذين يخالفون عن أمره أن تصيبهم فتنة أو يصيبهم عذاب أليم Artinya : “ Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya

takut akan ditimpa coba’an dan azab yang pedih”. (QS.an-Nur : 63).47

b) Larangan ( An-Nahy )

An-nahyu (nahi) ialah tuntutan untuk meninggalkan suatu

perbuatan (larangan). Sebagaimana amr, nahy juga merupakan tuntutan

46 Muhammad Abu Zahrah, op.cit, hlm. 269 47 Ibid, hlm. 556

Page 23: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

40

(meninggalkan) yang harus.48 Al- Qur’an telah menjelaskan tentang

kewajiban meninggalkan larangan (nahy) yang berbunyi sebagai berikut

وا وفانته نهع اكما نهم Artinya: “Dan apa yang dilarang-Nya bagimu, maka tinggalkanlah”

(QS.Al-Hasyr : 7).49

Demikianlah pembahasan tentang lafadz yang berhubungan

dengan penggalian dengan hukum syara’ dari nash-nash Al-Qur’an dan

hadits. Namun dalam ilmu ushul fiqh terdapat nasakh (penggantian

hukum) yaitu; mengganti atau merubah hukum syara’ dengan dalil yang

turun kemudian,50 masalah ini terjadi bila ada pertentangan antar nash.

Jika terjadi pertentangan antar dua nash Al-Qur’an, maka kedua nash

tersebut harus dipertemukan,51 dan cara mempertemukan keduanya

adalah yaitu :

- Jika salah satu dari keduanya menunjukkan pengertian khusus (khash),

sedang yang lainnya umum (‘umm), maka nash yang khash tersebut

mengtakhsish nash yang ‘amm.

- Bila salah satu dari kedua nash tersebut sesuai dengan ketentuan-

ketentuan dasar syari’at, sementara yang lain menyalahi, maka nash

yang menyalahi harus di ta’wil kan sehingga kedua nash tersebut dapat

dipertemukan.

48 Muhammad Abu Zahrah, op.cit, hlm.278 49 Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, op.cit, hlm.916 50 Muhammad Abu Zahrah, op.cit, hlm.283 51 Ibid, hlm.283

Page 24: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

41

- Apabila tidak ada jalan lain untuk mempertemukan, maka mujtahid

mengambil nash yang lebih kuat sanadnya.

Adapun contoh Nasakh adalah . ( QS. An-Nahl : 67) kemudian

(QS.Al-Baqarah : 219) dan ”.( QS.An-Nisa’ : 43 ).dan (QS. Al-Maidah:

90) tentang khamr

Dari keterangan diatas, jelaslah hukum syara’ itu ditetapkan

secara bertahap, sesuai dengan situasi dan kondisi. Semula suatu

perbuatan itu dibiarkan hukumnya sesuai dengan hukum yang sudah ada.

Kemudian baru diharamkan dan diganti (menasakh) hukum yang dahulu

dengan hukum yang telah datang kemudian.

C. Penerapan Metode Istinbath Berdasarkan Kaidah Kebahasaan Sebagai

Metode Dalam Penafsiran Ayat-ayat Jilbab

Dari uraian teori istinbath hukum para ulama’ ushul fiqh diatas, yang

kemudian diterapkan dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dan memahami

sunnah, untuk menentukan hukum memakai jilbab bagi wanita, yaitu dalam

al-Qur’an surat An-Nur ayat 31 dan surat Al-Ahzab ayat 59, serta hadits Nabi

(riwayat Abu Daud). Maka para ulama’ ushul fiqh menjelaskan bahwa hukum

memakai jilbab bagi wanita adalah wajib bagi wanita sebagaimana yang

diperintahkan oleh Allah:

یغضضن من أبصارهن ویحفظن فروجهن ولا یبدین زینتهن إلا ما ظهر منها وليضربن بخمرهن على جيوبهن ولا یبدین زینتهن إلا

لبعولتهن Artinya:"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara

kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka

Page 25: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

42

menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya,(QS. An-Nur: 31)52

Dan juga firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 59:

یا أیها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين یدنين عليهن من جلابيبهن ذلك أدنى أن یعرفن فلا یؤذین وآان الله غفورا رحيما

Artinya: Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.( Al-Ahzab 59)53

Kedua ayat diatas jika dilihat dari lafadz-lafadz nash dari segi

kejelasan dan kekuatan dalalahnya terhadap kejelasan yang dimaksud,

merupakan kategori ayat mufassar yaitu menunjukkan kepada maknanya

sesuai yang dimaksud oleh konteks kalimat. Maka dari lafadz itu pada asalnya

lafadz yang mujmal, lalu datang dari nash lain yang menafsirkannya

(menjabarkannya), yaitu perintah kepada kaum wanita

ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها

Artinya: " Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya,(QS. An-Nur: 31)

Serta

جلابيبهن یدنين عليهن من

52 Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, op.cit, hlm.548 53 Ibid, hlm. 678

Page 26: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

43

Artinya:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".( Al-Ahzab 59)

Sehingga terkandung didalamnya penegasan tentang wajibnya

menutup seluruh perhiasan dari tubuh wanita kepada lelaki lain, kecuali yang

biasa tampak dari padanya)54

Pengertian dari firman Allah; “kecuali yang biasa nampak” yang

disebutkan diatas adalah pengertian yang langsung bisa ditangkap dari ayat

tersebut, namun para salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in berbeda pendapat

dalam menafsirkan “pakaian-pakaian luar”, dan ada pula yang menafsirkan

“cincin, celak, gelang dan wajah”, namun banyak pendapat mengatakan

bahwa yang dimaksud adalah wajah dan telapak tangan.55

Dalam hal itu, terdapat hadits Nabi yang menjelaskan ukuran-

ukurannya, sehingga nash yang kedua (hadits Nabi) menjadi mufassir

(menjelaskan) terhadap nash yang pertama. Ayat itu masih mujmal yang

kemudian ditafsirkan oleh Sunnah Nabi. Dengan demikian penjabaran dan

perincian hadits tersebut diperoleh berdasarkan lafadz-lafadz yang

menafsirinya. Sebagaimana keterangan yang disandarkan kepada sabda Nabi:

ان اسماء بنت ابي بكر دخلت على رسول اللة صلى اللة عليه وسلم وعليها ثيا ب رقاق فا عرض عنها رسول اللة صلى اللة عليه وسلم وقال يا اسماء ان المراة اذابلغت المحيض لم تصلح ان

)رواه ابو دود( يرى منها اال هذا وهذا واساراليوجهه وكفيه

54 Nasharuddin al-Abany, Jilbab Dan Hijab Busana Wanita Islam Menurut Al-Qur’an

Dan Sunnah,Terj. HA. Karim Hayaza, op.cit, hlm. 19 55 Nasharuddin al-Abany, Jilbab Al-Mar’ah Al- Muslimah, Terj. Abu Shafia, Yogyakarta:

Media Hidayah, Cet.Ke-10, hlm.56

Page 27: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

44

Artinya: ”Bahwa ‘asma’ bin abu bakar masuk ke rumah rasul dengan mengenakan pakaian yang tipis, maka rasulullah bersabda: “wahai ‘asma’, sesungguhnya wanita yang telah haid (baligh) tidak diperkenankan dilihat dari padanya inidan ini, dengan mengisyaratkan wajah dan telapak tangan. (HR. Abu Dawud).56

Dan dilihat dari segi dalalahnya, ayat diatas termasuk dalalah isyarat

yaitu dalalah makna nash yang lazim bagi sesuatu yang di fahami dari suratan

nash, tidak dimaksudkan oleh susunan katanya, secara eksplisit menunjukkan

bahwa seorang wanita harus menutup auratnya agar tidak diganggu dan

mudah dikenal, yang secara implisit dinyatakan jika tidak menutup auratnya

maka akan ada gangguan yang datang padanya dari seorang laki-laki dan

adanya fitnah dari sesama manusia. Dilihat dari segi cakupan lafadz terhadap

satuannya, ayat diatas adalah termasuk lafadz khass yaitu suatu lafadz yang

menunjukkan satu orang /barang/hal yang tertentu. Dengan menggunakan arti

mufrad (singular), baik pengertian itu menunjukkan pada seseorang, jenis,

golongan atau nama sesuatu. Karena menunjukkan arti tunggal, yaitu

menunjukkan pada seseorang (wanita), lafadz khash adalah bersifat qath’iyyah

(pasti), sehingga tidak perlu lagi mengtakhsishnya dalam mengamalkannya

atau mengambilnya sebagai dasar hukum. Dan merupakan ketetapan (taklif)

Allah yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf, berupa perintah untuk

melaksanakan suatu perbuatan. Perintah (amr) tersebut menunjukkan pada

hukum wajib karena menggunakan bentuk fi’il mudhari’, yaitu kata kerja

56 Abi Daud, op.cit.

Page 28: BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian

45

( نين يد ) “hendaklah” sehingga para ulama’ ushul fiqh tidak ragu lagi

menentukan hukum wajib bagi wanita untuk memakai jilbab (menutup

auratnya) sehingga tidak terlihat (kecuali muka dan telapak tangan)