18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian dan Dalil-Dalil Tentang Jilbab 1. Pengertian Jilbab Jilbab merupakan perkataan yang sudah lazim yang sudah lazim dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Islam. Kata jilbab dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “baju kurung yang longgar”, dilengkapi dengan kerudung yang menutupi kepala, sebagian muka dan dada. 1 Dan juga dalam Kamus Ilmiah Populer diartikan sebagai “kerudung busana Muslim”. 2 Namun jilbab itu sendiri sebenarnya berasal dari bahasa arab, yang merupakan kalimat yang mempunyai dua arti asal, yaitu dari kata jalaba ( ﺠﻠﺏ) yang artinya “membawa” atau “mendatangkan”, serta al- jilbab ( ﺍﻟﺠﻠﺒﺎﺏ) yang berarti “baju kurung panjang” 3 . Di arab dikenal dengan jalabiyyah ( ﺟﻠﺒﻴﺔ.). selain itu juga dikenal dengan tajalbaba yang berarti “ membajui”. Adapun Lisanul Arab mendefinisikan jilbab sebagai “kain bagian luar atau penutup yang dililitkan pada bagian atas pakaiannya 1 Tim Penyusun Kamus Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 2, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, Hlm. 41 2 Pius A. paryanto, M Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: ARKOLA, t,tt, hlm.287 3 Achmad Warson Munawwir, Al-Munawwar Kamus Arab-Indonesia, Edisi 2, Surabaya: Pustaka Progresif, Cet. 25, hlm. 199.
28
Embed
BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · 18 BAB II JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM A. Pengertian
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
18
BAB II
JILBAB DALAM PENDEKATAN USHUL FIQH MAINSTREAM
A. Pengertian dan Dalil-Dalil Tentang Jilbab
1. Pengertian Jilbab
Jilbab merupakan perkataan yang sudah lazim yang sudah lazim
dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Islam. Kata jilbab
dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “baju kurung yang longgar”,
dilengkapi dengan kerudung yang menutupi kepala, sebagian muka dan
dada.1 Dan juga dalam Kamus Ilmiah Populer diartikan sebagai “kerudung
busana Muslim”.2Namun jilbab itu sendiri sebenarnya berasal dari bahasa
arab, yang merupakan kalimat yang mempunyai dua arti asal, yaitu dari kata
jalaba ( جلب) yang artinya “membawa” atau “mendatangkan”, serta al-
jilbab ( الجلباب ) yang berarti “baju kurung panjang”3. Di arab dikenal
dengan jalabiyyah ( جلبية.). selain itu juga dikenal dengan tajalbaba yang
berarti “ membajui”. Adapun Lisanul Arab mendefinisikan jilbab sebagai
“kain bagian luar atau penutup yang dililitkan pada bagian atas pakaiannya
1 Tim Penyusun Kamus Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Edisi 2, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, Hlm. 41 2 Pius A. paryanto, M Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: ARKOLA, t,tt,
untuk menutupi dirinya dari kepala hingga ujung kaki. Jilbab itu benar-benar
menyembunyikan tubuhnya (kecuali yang boleh ditampakkan)4
Menurut Muhammad Syahrur dalam kitabnya “ al-kitab wa al-
Qur’an: Qiraah muasyirah “ menyatakan bahwa: kata jilbab berasal dari
kata jalaba. Dalam kamus Lisanul Arabiyyah, kata ini adalah kata kerja”
fi’il” yang mempunyai dua arti asal, yang pertama adalah “mendatangkan
sesuatu dari satu tempat ke tempat yang lain”, dan arti yang lainnya adalah
“sesuatu yang menutupi sesuatu yang lain”. Sedangkan kata jilbatun adalah
“ penutup yang menyelubungi atau menutupi anggota badan ketika baru
sembuh dari luka dan sedang pulih”, dan sebelum anggota badan itu pulih,
anggota badan itu dibalut dengan kain yang steril atau kain yang diberi obat
untuk melindunginya dari gangguan yang datang dari luar.” 5
Ibnu Hazm menuliskan bahwa dalam bahasa arab jilbab merupakan
kain bagian luar yang menutupi seluruh tubuh. Karenanya sepotong kain
yang terlalu kecil untuk menutupi seluruh tubuh tidak dapat disebut sebagai
jilbab. Adapun Nasharuddin Umar mencatat jenis-jenis pakaian perempuan
dalam Vocabulary Arab bahwa, pada masa Rasulullah dikenal dengan
beberapa istilah, yakni: khimar, pakaian yang khusus menutupi bagian
kepala. Dir, pakaian yang khusus menutupi bagian badan. Niqab dan Burq,
pakaian yang khusus menutupi daerah muka kecuali bagian bola mata.
Idhar, pakaian yang dijahit yang menutupi anggota badan sampai ke bagian
kaki. Rida’, pakaian luar yang menutupi bagian atas badan kebagian bawah
4 IDEA, Analisis Utama ”Membongkar Jilbab”, Edisi, 20/Th.IX/Juni 2004 , hlm.9 5 Muhammad .Syahrur, Al-kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asyirah ,op.cit, hlm. 614
20
diatas Idhar. Dan jilbab, yaitu kerudung yang menutupi bagian luar kepala,
termasuk Dir dan khimar.6
2. Dasar Hukum Memakai Jilbab
Adapun dalil hukum memakai jilbab yaitu firman Allah dalam Al-
Qur’an surat An-Nur ayat 31:
وقل للمؤمنات يغضضن من أبصارهن ويحفظن فروجهن ولا وبهنيلى جع رهنبخم نربضليا ومنه را ظهإلا م نزينته دينبي
أو ائهنآب أو ولتهنعإلا لب نزينته دينبلا يو أو ولتهنعاء بآب أبنائهن أو أبناء بعولتهن أو إخوانهن أو بني إخوانهن أو بني أخواتهن أو نسائهن أو ما ملكت أيمانهن أو التابعين غير أولي
أو الطفل الذين لم يظهروا على عورات النساء الإربة من الرجالولا يضربن بأرجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن وتوبوا إلى الله
ونتفلح لكملع ؤمنونا المهميعا أي31: النور(ج(
Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.(QS. An-Nur: 31)7
Dan juga dalam firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat: 59
هنليع نيندي ؤمنيناء المنسو ناتكبو اجكوقل لأز ا النبيها أييجلابيبهن ذلك أدنى أن يعرفن فلا يؤذين وكان الله غفورا من
) 59: االحزاب (رحيما Artinya: Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.(QS. Al-Ahzab: 59)8
Serta hadits Nabi yang dijadikan sebagai sandaran hukum terhadap
diwajibkannya wanita memakai jilbab , yaitu:
ان اسماء بنت ابي بكر دخلت على رسول اللة صلى اللة عليه وسلم وعليها ثيا ب رقاق فا عرض عنها رسول اللة صلى اللة عليه وسلم وقال يا اسماء ان المراة اذابلغت المحيض لم تصلح ان
)رواه ابو دود( يرى منها اال هذا وهذا واساراليوجهه وكفيه
Artinya: Bahwa ‘asma’ bin abu bakar masuk ke rumah rasul dengan mengenakan pakaian yang tipis, maka rasulullah bersabda: “wahai ‘asma’, sesungguhnya wanita yang telah haid (baligh) tidak diperkenankan dilihat dari padanya ini dan ini, dengan mengisyaratkan wajah dan telapak tangan. (HR. Abu Daud).9
B. Kerangka Teoritik Metode Istinbath Berdasarkan Kaidah Kebahasaan
Jumlah dalil-dalil syara’ ( sumber-sumber hukum ) dalam fiqh adalah
banyak, dari jumlah yang banyak itu ada sebagian yang telah disepakati oleh
para ahli ushul fiqh dan ada pula yang sebagian yang belum mereka sepakati.
8 Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, op.cit, hlm. 678 9 Abi Daud, Sunan Abi Dawud, (Bairut: Libanon, Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, T.Th), hlm.62
22
Dalil-dalil yang telah disepakati oleh jumhur ahli ushul fiqh ada 4
macam,10 dan dijadikan sebagai dasar pokok dalam pengambilan hukum-
hukum syar’iyyah, yaitu : (1) Al-Qur’an, (2) As-Sunnah, (3) Al-Ijma’, (4) Al-
Qiyas. Dan menurut fiqh As-Syafi’i hirarki sumber hukum tersebut
menunjukkan urutan prioritas.11
Sedangkan dalil-dalil yang tidak merupakan kesepakatan jumhur
ulama’ ushul fiqh adalah Istihsan, Maslahah Mursalah, Istihsab, ‘Urf, Syariat
Ummat Sebelum Kita, Madzhab Sahabat, Sadduddzara’i, Dan Dalalah
Iqtiram.12
Namun dalam bab ini penulis hanya akan menguraikan dan
menjelaskan metode atau cara pengambilan hukum ushul fiqh mainstream
terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagai acuan dalam menganalisis
pengambilan hukum Muhammad Syahrur yang akan diterapkan di dalam bab
IV.
Dalam ushul fiqh, setiap istinbath (pengambilan hukum) dalam syariat
Islam harus berpijak atas al-Qur’an dan Sunnah Nabi, ini berarti dalil-dalil
syara’ ada dua macam, yaitu : nash dan ghairun nash (bukan nash). Dalil-
dalil yang tidak termasuk dalam kategori nash adalah qiyas dan istihsan, yang
pada hakekatnya digali, bersumber dan berpedoman pada nash.
10 Muhtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung : al-Ma’arif, Cet
ma’nawiyah) adalah (istidhal) penarikan kesimpulan hukum bukan kepada
nash langsung seperti menggunakan qiyas, istihsan, maslakhah mursalah,
dzara’i, dan lain sebagainya.
Sedangkan pendekatan lafazh (thuruq lafdzhyyiah) penerapannya
membutuhkan beberapa faktor pendukung yang sangat dibutuhkan. Yaitu
penguasaan terhadap makna (pengertian) dari lafazh-lafazh nash serta
konotasinya dari segi umum dan khusus; mengetahui dalalahnya apakah
menggunakan manthuq lafadzhy ataukah termasuk dalalah yang
menggunakan pendekatan mafhum yang diambil dari konteks kalimat;
mengerti batasan-batasan (qayyid) yang membatasi ibarat-ibarat nash;
kemudian pengertian yang dapat dipahami dari lafadz nash apakah
berdasarkan ibarat nash ataukah isyarat nash dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan hal tersebut, para ulama’ ushul fiqh telah membuat
metodologi khusus “Mabahus lafdziyyah” ( pembahasan lafadz-lafadz nash )
yang dapat diuraikan sebagai berikut :
Nash-nash hukum Islam adalah nash-nash yang memakai bahasa arab.
Oleh karena itu, seseorang yang akan memahami nash dan menggali hukum
24
yang terkandung didalamnya harus menguasai bahasa arab. Lebih jauh lagi, ia
harus memahami detail-detail idiom (ibarat) dalam bahasa arab beserta
pengertiannya, menguasai gaya bahasa yang menggunakan ta’bir (ungkapan)
hakiki pada kondisi tertentu, dan menggunakan ta’bir majaz (kiasan) pada
kondisi yang lain; dan mengerti maksud utama dari tiap-tiap ungkapan bahasa
yang dipakainya. Sebab penguasaan terhadap hal-hal tersebut masing-masing
mempunyai relevansi tersendiri berkenaan dengan upaya memahami nash dan
mencari kejelasan hukum-hukum yang terkandung didalamnya.13 Dan agar
terhindar dari penyimpangan dan kekeliruan di dalam memahami al-Qur’an,
karena disamping kekeliruan yang disebabkan oleh kecenderungan dan latar
belakang seorang mufassir, juga disebabkan oleh minimnya pengetahuan
mereka terhadap ilmu-ilmu bantu yang harus dikuasainya, seperti pengetahuan
tentang kaidah-kaidah kebahasaan (qawaid al-Lughawiyah)14Dimana lafadz-
lafadz, dilalah, dan batasan-batasan di dalam lafadz dapat mengandung makna
yang umum (‘amm), khusus (khash), musytarak (kata-kata yang memiliki
makna lebih dari satu), serta muradif (sinonim).15
Oleh karena itu, para ulama’ ushul fiqh bekerja keras membuat
kaedah-kaedah yang dapat digunakan untuk dapat memahami nash-nash dan
menggali hukum-hukum taklify dari nash-nash itu. Abdul Wahab Khallaf
misalnya, mengklasifikasikan kaidah-kaidah tersebut dalam tujuh kaidah
13 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Terj. Saefullah Ma’sun, Jakarta : Pustaka
Firdaus, Cet Ke-3, 1995, hlm 166 14 Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, Refleksi Atas Persoalan Linguistic, dalam
pengantar HM.Muchoyyar,HS, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cet Ke-1, 2002, hlm x 15 Abdul Hadi Muthohhar, Rekonstruksi Pemikiran Ilmu Fiqh, 2004, hlm 92.
25
ushuliyyah yang ditinjau dari aspek bahasa.16 Dalam membuat kaedah-kaedah
tersebut, mereka berpedoman pada dua hal sebagai berikut :17
kebahasaan), dan “al-fahmu al-Arabi” (pemahaman pada citarasa bahasa
arab) terhadap nash-nash hukum dalam kaitannya dengan Al-Qur’an dan
Sunnah.
Kedua, pedoman (metode) yang dipakai Nabi SAW dalam
menjelaskan hukum-hukum Al-Qur’an, dan himpunan hukum-hukum nash
yang telah mendapat penjelasan dari sunnah, lafadz nash menjadi jelas
pengertiannya dan masuk kedalam lingkup hukum syara’ yang mempunyai
kepastian hukum.
Kaidah-kaidah bahasa (luhgawi) itu mengacu pada empat segi yaitu :
a. Lafadz-lafadz nash dari segi kejelasan dan kekuatan dalalahnya terhadap
kejelasan yang dimaksud.
b. Dari segi ungkapan dan konotasinya, apakah menggunakan ibarat yang
sharih (ungkapan yang jelas), ataukah menggunakan isyarat yang
mengandung makna yang tersirat; dan apakah memakai manthuq ataukah
mafhum.
c. Dari segi cakupan lafadz dan cakupan dalalahnya, apakah lafadz umum
(amm) ataukah (khash) khusus, dan lafadz muqayyar dan mutlaq.
d. Dan dari segi bentuk tuntutan (shighat taqlif)-nya.
16 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : Gema Risalah Press, Cet Ke-
1,1996, hlm 241 17 Muhammad Abu Zahrah, Op.cit, hlm 167
26
Keempat segi diatas harus dikuasai oleh seseorang ahli fiqh agar dalam
melakukan istinbath hukum terhindar dari kekeliruan. Dan keempat segi diatas
akan diuraikan sebagai berikut :
a. Lafadz-lafadz nash dari segi kejelasan dan kekuatan dalalahnya terhadap
kejelasan yang dimaksud.
Lafadz dalam Al-Qur’an terbagi dalam dua macam, yaitu : lafadz
yang jelas dalalahnya yang tidak perlu penjelasan lagi, dan dari lafadz itu
sudah dapat ditetapkan taklifi, serta lafadz yang tidak mempunyai
kejelasan makna secara khusus.
1). Lafadz yang jelas
Lafadz-lafadz yang jelas ada empat macam, yang berbeda-beda
tingkat “kekuatan kejelasan lafadznya” yang berakibat pada kekuatan
dalalahnya, yaitu :
a).Zhahir
Zhahir (makna yang tersurat)18 di dalam kitab-kitab ushul fiqh
oleh sebagian jumhur ulama’ madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbaly,
tidak ditemukan perbedaan antara nash dan zhahir, menurut mereka
zhahir sama pengertiannya dengan nash, dan sebagian lagi melihat
adanya perbedaan antara keduanya. Mereka menyatakan bahwa nash
adalah lafadz yang tidak menerima kemungkinan arti lain (ihtimal) di
dalam dalalah-nya. Sedangkan zhahir ialah lafadz yang masih mungkin
menerima arti lain (ihtimal) di dalam dalalahnya. Sebagian Mazhab
Maliki memberikan tafsiran ihtimal (kemungkinan arti lain) yang tidak
18 Abdul Wahab Khallaf, Op.Cit, hlm 246
27
terjadi pada nash, bahwa ihtimal yang dimaksud disini adalah ihtimal
yang keluar dari dalil. Sedangkan ihtimal yang tidak keluar dari dalil,
maka tidak tertutup kemungkinan bahwa lafadz itu tergolong nash di
dalam maknanya.
Lafadz zhahir meskipun memiliki dalalah sesuai yang ditunjuk
oleh lafadznya dan hukum taklify yang terkandung di dalamnya, masih
tetap menerima adanya takhsish (spesifikasi), ta’wil, dan nasakh. Jadi
karena adanya kemungkinan masuknya tiga hal itulah, lafdz zhahir
masih mengandung ihtimal (kemungkinan) di dalam dalalahnya.
b) Nash
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa nash menurut
sebagian ulama madzhab Syafi’i dan Maliki adalah lafadz yang tidak
mengandung ihtimal sama sekali, atau tidak mengandung ihtimal yang
timbul dari dalil ; dan menurut Madzhab Hanafi ialah dalalah lafadz
sesuai dengan konteks kalimatnya, seperti perbedaan antara jual beli dan
riba dalam ayat diatas dan seperti firman Allah swt :
والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسبا نكاال
)38: املائدة(من الله والله عزيز حكيم
Artinya :“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah”. (QS.al Maidah :38).19
19 Ibid., hlm 165
28
Dari segi dalalahnya terhadap hukum, lafadz nash lebih kuat
dibanding lafadz zhahir. Oleh karena itu apabila terjadi pertentangan
antara keduanya, maka nash harus didahulukan pemakaiannya atas
zhahir.
c). Mufassar
Mufassar ialah yang menunjukkan kepada maknanya sesuai
yang dimaksud oleh konteks kalimat. Maka dari lafadz itu pada asalnya
lafadz yang mujmal, lalu datang dari nash lain yang menafsirnya
(menjabarkannya), seperti perintah tentang kewajiban membayar diyat
dalam tindak pidana pembunuhan tidak sengaja (khatha’). Allah SWT
berfirman :
ومن قتل مؤمنا خطئا فتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة إلى أهله
Artinya : “Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang
diserahkan kepada keluarganya (si pembunuh)”. (QS. An Nisa : 92).20
Dalam hal itu, terdapat hadist Nabi yang menjelaskan ukuran-
ukurannya, had-hadnya, dan macam-macamnya, sehingga nash yang
kedua (hadist Nabi) menjadi mufassir (menjelaskan) terhadap nash
pertama. Juga, seperti perintah zakat. Ayat itu masih mujmal yang
kemudian ditafsirkan oleh sunnah Nabi. Dengan demikian penjabaran
dan perincian ayat tersebut diperoleh berdasarkan lafadz-lafadz yang
20 Ibid., hlm 135
29
menafsirinya. Sebagaimana keterangan yang disandarkan kepada sabda
Nabi :
راهم دةالقطع فى اقل من عشر
Artinya : “Tidak dikenakan hukuman potong tangan, pencuri yang kurang dari sepuluh dirham”(HR.Muslim) 21
Perlu di ingat disini bahwa dalil-dalil yang bisa menafsiri
hanya bisa terbatas pada ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena
itu, penafsiran yang mempunyai fungsi takhsis dan takwil hanya ada
pada zaman Rasulullah SAW.
Dari segi dalalahnya terhadap makna, lafadz yang menafsiri
(mufassar) lebih kuat dibanding lafadz zhahir dan nash.
d). Muhkam.
Muhkam ialah ayat-ayat yang dimaksud petunjuk (dalalah)-nya jelas dan
tegas sehingga tidak menimbulkan kekeliruan pemahaman.22 Atau
lafadz yang menunjukkan makna yang dimaksud, yang memang
didatangkan untuk makna itu. Lafadz ini jelas pengertiannya, tidak
menerima lagi adanya ta’wil dan takhsis.
Dan seperti firman Allah SWT dalam kaitannya dengan orang
yang melakukan delik qadzaf :
ولا تقبلوا لهم شهادة أبدا
21 Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz 2, Beirut: Dar al-Kutubi al-Ilmiah, tt.hlm. 22 Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, Memahami Essensi Al-Qur’an, Terj. Idrus
Alkaf, Cet Ke-1, Jakarta : Lentera, 2000, hlm 42
30
Artinya : “Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya”.( QS. An-Nur ;4).23
Lafadz muhkam mempunyai dalalah hukum yang lebih kuat di
banding macam-macam lafadz yang tersebut dahulu. Oleh karena itu,
apabila dari segi lahiriahnya nampak terjadi pertentangan dengan lafadz
yang lain maka lafadz muhkam mesti didahulukan.
2). Lafadz yang tidak jelas pengertiannya.
Lafadz yang tidak jelas pengertiannya (ghairul wadhih), yaitu
lafadz yang maknanya itu tidak jelas mutlak, atau makna itu tidak jelas
pada pengertian yang ditunjuk (madhlul) yang masuk dalam lingkup
pengertiannya.
Lafadz yang tidak jelas maknanya kadangkala secara essensial
memang tidak jelas, dan Allah saja yang mengetahuinya. Bagian ini
tidak masuk dalam kategori taklif (yang dibebankan), seperti huruf-
huruf yang terdapat dalam beberapa awal surat, misalnya sad, khaf, ha,
ya, ain, shad, ain, sin ,qaf dan seterusnya.
Ketidakjelasan suatu lafadz terkadang bukan karena lafadznya
sendiri, akan tetapi penerapan lafadz itu pada sebagian madzufnya.
Bagian ini terbagi menjadi empat yaitu : Al-khafiy, Al-musykil, Al-
mujmal, dan Al-mutasyabih.
a). Al-khafiy, adalah lafadz yang maknanya samar (tidak jelas) pada
sebagian pengertian yang ditunjuk (madhlul)-nya.
23 Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Ibid, hlm 543
31
b). Al-Musykil, adalah lafadz yang maknanya samar atau kabur karena
sesuatu sebab yang ada pada lafadz itu sendiri. Contohnya adalah
lafadz Musytarak, yaitu : lafadz yang menunjukkan dua arti atau
lebih secara bergantian, seperti kata ‘ain, kata ini menunjukkan
beberapa makna satu anggota badan yaitu air mata (alat melihat),
sumber air (mata air), essensi (zat).
c). Al-Mujmal, adalah bentuk ungkapan yang dalam maknanya
tersimpan banyak ketentuan dan berbagai keadaan yang tidak
mungkin diketahui dengan pasti, kecuali melalui pernyataan lain
yang menjelaskan (mubayyin).
Banyak ungkapan al-Qur’an mengenai hukum-hukum taklify
yang berbentuk mujmal, yang kemudian oleh sunnah dijelaskan dan
di rinci ketentuan-ketentuannya. Misalnya, perintah sholat berbentuk
mujmal, lalu datanglah sunnah Nabi dalam bentuk ucapan sekaligus
tindakan. Nabi bersabda :
صلوا كما رايتموني اصلى
Artinya : “Lakukanlah sholat (dengan cara) sebagaimana kalian lihat ketika aku shalat”.(HR. Muslim)24
d). Al-Mutasyabih, adalah lafadz yang samar maknanya, dan tidak
mungkin dijangkau oleh nalar ulama sekalipun, sementara baik pihak
didalam al-Qur’an maupun hadist tidak ada penafsiran yang bersifat
qath’y (pasti) ataupun yang zhanny terhadap lafadz tersebut. Akal
manusia tidak akan sanggup selain menyerahkan persoalannya
kepada Allah swt. Dan mengakui kelemahan dan keterbatasan diri.
Contohnya seperti potongan-potongan huruf di awal surat
serta sumpah Allah dalam al-Qur’an seperti :
لا أقسم بيوم القيامة
Artinya: “Aku bersumpah demi hari kiamat”.(QS.Al-Qiyamah: 1).25
2. Dilalah.
Apa yang dipaparkan diatas adalah pembagian lafadz ditinjau dari
segi kejelasan dan kualitas penjelas itu, kemungkinan menginterpretasikan
sebuah lafadz-lafadz nash dengan sebagian lainnya serta cara menggali
hukum dari nash-nash tersebut. Pengertian dari nash-nash tersebut disebut
Dilalah yang dapat ditinjau dari bermacam-macam cara (segi) hingga satu
lafadz dapat menunjukkan beberapa pengertian yang saling berdekatan
lantaran segi tinjauan yang berbeda-beda.26 Dilalah itu tidaklah terbatas
menurut sesuatu yang dipahami dari yang tersurat atau huruf-hurufnya.
Bahkan nash-nash itu kadang-kadang menunjukkan beberapa makna yang
diperoleh dari cara-cara isyarat, dilalah dan tuntutannya.27
Para fuqaha Mazhab Hanafi membagi cara peninjauan dilalah lafadz
menjadi empat macam,28 dan disusun berdasarkan tingkatannya, yaitu
25 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, op.cit, hlm 998 26 Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm 203 27 Abdul Wahab Khallaf, op.cit, hlm 245 28 Ibid.
33
1. Dilalah ibarah (makna yang dipahami dari lafadz, baik lafadz tersebut
berupa zhahir maupun nash, muhkam maupun tidak). Oleh karena itu,
setiap pengertian yang dipahami dari keadaan lafadz yang jelas disebut
Dilalah ibarah. Seperti firman Allah :
فاجتنبوا الرجس من الأوثان واجتنبوا قول الزور Artinya : “Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan
jauhilah perkataan-perkataan dusta”.(QS.Al-Hajj : 30).29 Dengan Dilalah ibarah ayat tersebut dapat dipahami bahwa
perkataan dusta (saksi palsu) adalah dusta.
2. Dilalah Nash / Mafhum Muwafaqah atau disebut juga Dilalatul Aula
adalah pengertian secara implisit tentang suatu hukum lain yang dipahami
dari pengertian nash secara eksplisit (ibaratun nash) karena adanya faktor
penyebab yang sama. Seperti firman Allah : QS.Al-Isra’ : 23-24).
Secara eksplisit ayat tersebut menjelaskan tentang haramnya
mengucapkan “ah” kepada kedua orang tua. Bila ucapan “ah” saja
diharamkan, apalagi memukul dan mencerca apalagi perkataan dan
perbuatan yang menyakiti hati kedua orang tua, tentu lebih diharamkan.
Dilalah ini dapat dipahami dari nash ayat tersebut tanpa
memerlukan istinbath.
3. Dilalah Isyarat yaitu dilalah makna nash yang lazim bagi sesuatu yang
difahami dari suratan nash, tidak dimaksudkan oleh susunan katanya, ia
memerlukan pemahaman serius atau pemahaman yang selintas. Menurut
29 Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, op.cit, hlm 516
34
kejelasan atau ketidakjelasan kelazimannya.30 Misalnya firman Allah
dalam konteks diperkenankannya poligami bagi seorang laki-laki yang
dijelaskan Allah yang berbunyi :
فال جناح عليكم إذا سلمتم ما آتيتم بالمعروف
Artinya : “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara yang baik”. (Al-Baqarah :233).31
Secara eksplisit (ibarat) ayat tersebut menjelaskan bahwa
kewajiban memberi nafkah kepada anak adalah dibebankan kepada ayah,
Sedangkan secara implisit (isyarat) menunjukkan bahwa seorang anak
adalah dinashabkan kepada ayahnya. Demikian pula secara eksplisit
seorang ayah mempunyai hak-hak tertentu terhadap anaknya, yang
secara implisit dinyatakan seorang ayah seakan-akan memiliki harta
kekayaan anaknya. Sehingga konsekuensi logis dari hal tersebut, jika
seorang ayah mengambil harta benda milik anaknya, ia tidak
dikategorikan sebagai pencuri.
4. Dilalah Al-Iqtidha’ yaitu penunjukan (dilalah) lafadz terhadap sesuatu,
dimana pengertian lafadz tersebut idak logis kecuali dengan adanya
sesuatu tersebut, atau juga makna yang mana susunan makna tidak
lengkap kecuali dengan kata-kata yang disimpan dibuang.32 Seperti
firman Allah :
30 Abdul Wahab Khallaf, op.cit, hlm 249 31 Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, op.cit, hlm 57 32 Abdul Hadi Muthohhar, Rekonstruksi Pemikiran Ilmu Fiqh ,op.cit, hlm 171
35
فاتباع بالمعروف وأداء إليه بإحسان
Artinya : “Maka barang siapa yang mendapat sesuatu pemaafan dari saudara-saudaranya, hendaklah (memaafkan) mengikuti dengan cara baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) pada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)”.(QS.Al-Baqarah : 178).33
Ayat tersebut menjelaskan bahwa jika keluarga orang yang
dibunuh telah memaafkan, maka hendaklah diikuti dengan sikap yang
baik kepada orang yang diberi maaf. Yakni sebagai konsekuensi logis
dari sikap memaafkan tersebut ialah adanya imbalan harta benda (diyat)
yang diharapkan oleh orang yang mengharapkan.
C. Lafadz Ditinjau Dari Segi Cakupannya
Menurut para ulama’ ushul fiqh, dilihat dari segi cakupan lafadz
terhadap satuannya dibagi menjadi bentuk yang umum (‘umm ) dan khusus (
khash ). Sedangkan dari segi sifat dibagi menjadi bentuk yang muthlaq dan
muqayyad.34
Lafadz ‘amm adalah lafadz yang digunakan untuk menunjukkan pada
jumlah yang banyak dan satuan yang termasuk dalam pengertian dalam satu
makna yang berlaku. Sebagai contoh adalah lafadz “rijal”, lafadz tersebut
merupakan lafadz “amm sebab mencakup seluruh satuan yang di kandung
oleh lafadz tersebut sesuai dengan makna yang berlaku.
Lafadz khash adalah suatu lafadz yang menunjukkan satu orang /
barang / hal yang tertentu.35 Menggunakan arti mufrad (singgular), baik
pengertian itu menunjukkan pada seseorang, jenis, golongan atau nama
33 Ibid, hlm 43 34 Muhammad Abu Zahrah, op.cit, hlm 235 35 Ahmad Hanafie, Ushul Fiqh, op.cit, hlm 52
36
sesuatu,36 seperti hayawan, atau menunjukkan macam (kategori) seperti lafadz
insan rajul atau menunjukkan arti perorangan seperti Ibrahim.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa keumuman lafadz
‘amm itu akan tetap dalam keumumannya selama tiak ada dalil yag dijadikan
dasar untuk mengtakhsisnya. Meskipun demikian sebagian besar ulama’
berpendapat bahwa setiap ada lafadz ‘amm, pasti ada dalil yang
mengtakhsisnya, atas dasar itulah sehingga mereka membuat suatu kaidah
“maa min ‘ammin illa khushshisha” ( tidak ada lafadz ‘amm melainkan selalu
ditakhsiskan ).37
Berdasarkan kaidah tersebut, maka beberapa ulama’ seperti Imam
Syafi’i berpendapat bahwa lafadz ‘amm itu dalalahnya bersifat dhanniyah,
bukan bersifat qath’iyyah. Oleh karena itu, apabila seseorang menemukan
lafadz ‘amm, maka hendaklah ia mencari takhsishnya sebelum diamalkan.38
Lafadz mutlaq adalah lafadz yang menunjukkan pada hakekat
(mahiyah) lafadz itu apa adanya tanpa memandang jumlah maupun sifatnya,
misalnya lafadz “raqabah” dalam firman Allah :
ة فكقبر Artinya : “( Yaitu ) melepaskan budak dari perbudakan”.(QS.al-Balad : 13).39
36 Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, Refleksi Atas Persoalan Linguistic,
Demikian banyak sekali ungkapan-ungkapan yaitu menunjukkan
perintah dan larangan, oleh karena itu para ulama’ ushul fiqh telah
mengkategorikan bentuk-bentuk ungkapan-ungkapan secara terperinci, yaitu
a) Perintah (Al-Amr)
Amar adalah perintah dari pihak yang lebih tinggi tingkatannya
kepada yang lebih rendah tingkatannya. Dalam bahasa Arab, bentuk
amar adalah dengan menggunakan sighat if’al yang berarti “kerjakan”
dan li taf’al ( litaf’al) yang berarti “hendaklah engkau mengerjakan”.
Menurut aslinya, bentuk (sighat) amar adalah menunjukkan perintah,
sedangkan bentuk sighat amar tersebut digunakan untuk menunjukkan
selain perintah, seperti untuk membimbing (irsyad), menakut-nakuti
(tahdid), doa atau penghinaan maka penggunaan sighat amar tersebut bersifat
majaz (kiasan),46 misalnya firman Allah :
الذين يخالفون عن أمره أن تصيبهم فتنة أو يصيبهم عذاب أليم Artinya : “ Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya
takut akan ditimpa coba’an dan azab yang pedih”. (QS.an-Nur : 63).47
b) Larangan ( An-Nahy )
An-nahyu (nahi) ialah tuntutan untuk meninggalkan suatu
perbuatan (larangan). Sebagaimana amr, nahy juga merupakan tuntutan
46 Muhammad Abu Zahrah, op.cit, hlm. 269 47 Ibid, hlm. 556
40
(meninggalkan) yang harus.48 Al- Qur’an telah menjelaskan tentang
kewajiban meninggalkan larangan (nahy) yang berbunyi sebagai berikut
وا وفانته نهع اكما نهم Artinya: “Dan apa yang dilarang-Nya bagimu, maka tinggalkanlah”
(QS.Al-Hasyr : 7).49
Demikianlah pembahasan tentang lafadz yang berhubungan
dengan penggalian dengan hukum syara’ dari nash-nash Al-Qur’an dan
hadits. Namun dalam ilmu ushul fiqh terdapat nasakh (penggantian
hukum) yaitu; mengganti atau merubah hukum syara’ dengan dalil yang
turun kemudian,50 masalah ini terjadi bila ada pertentangan antar nash.
Jika terjadi pertentangan antar dua nash Al-Qur’an, maka kedua nash
tersebut harus dipertemukan,51 dan cara mempertemukan keduanya
adalah yaitu :
- Jika salah satu dari keduanya menunjukkan pengertian khusus (khash),
sedang yang lainnya umum (‘umm), maka nash yang khash tersebut
mengtakhsish nash yang ‘amm.
- Bila salah satu dari kedua nash tersebut sesuai dengan ketentuan-
ketentuan dasar syari’at, sementara yang lain menyalahi, maka nash
yang menyalahi harus di ta’wil kan sehingga kedua nash tersebut dapat
dipertemukan.
48 Muhammad Abu Zahrah, op.cit, hlm.278 49 Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, op.cit, hlm.916 50 Muhammad Abu Zahrah, op.cit, hlm.283 51 Ibid, hlm.283
41
- Apabila tidak ada jalan lain untuk mempertemukan, maka mujtahid
mengambil nash yang lebih kuat sanadnya.
Adapun contoh Nasakh adalah . ( QS. An-Nahl : 67) kemudian
Dari keterangan diatas, jelaslah hukum syara’ itu ditetapkan
secara bertahap, sesuai dengan situasi dan kondisi. Semula suatu
perbuatan itu dibiarkan hukumnya sesuai dengan hukum yang sudah ada.
Kemudian baru diharamkan dan diganti (menasakh) hukum yang dahulu
dengan hukum yang telah datang kemudian.
C. Penerapan Metode Istinbath Berdasarkan Kaidah Kebahasaan Sebagai
Metode Dalam Penafsiran Ayat-ayat Jilbab
Dari uraian teori istinbath hukum para ulama’ ushul fiqh diatas, yang
kemudian diterapkan dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dan memahami
sunnah, untuk menentukan hukum memakai jilbab bagi wanita, yaitu dalam
al-Qur’an surat An-Nur ayat 31 dan surat Al-Ahzab ayat 59, serta hadits Nabi
(riwayat Abu Daud). Maka para ulama’ ushul fiqh menjelaskan bahwa hukum
memakai jilbab bagi wanita adalah wajib bagi wanita sebagaimana yang
diperintahkan oleh Allah:
یغضضن من أبصارهن ویحفظن فروجهن ولا یبدین زینتهن إلا ما ظهر منها وليضربن بخمرهن على جيوبهن ولا یبدین زینتهن إلا
لبعولتهن Artinya:"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka
42
menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya,(QS. An-Nur: 31)52
Dan juga firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 59:
یا أیها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين یدنين عليهن من جلابيبهن ذلك أدنى أن یعرفن فلا یؤذین وآان الله غفورا رحيما
Artinya: Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.( Al-Ahzab 59)53
Kedua ayat diatas jika dilihat dari lafadz-lafadz nash dari segi
kejelasan dan kekuatan dalalahnya terhadap kejelasan yang dimaksud,
merupakan kategori ayat mufassar yaitu menunjukkan kepada maknanya
sesuai yang dimaksud oleh konteks kalimat. Maka dari lafadz itu pada asalnya
lafadz yang mujmal, lalu datang dari nash lain yang menafsirkannya
(menjabarkannya), yaitu perintah kepada kaum wanita
ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها
Artinya: " Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya,(QS. An-Nur: 31)
Artinya:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".( Al-Ahzab 59)
Sehingga terkandung didalamnya penegasan tentang wajibnya
menutup seluruh perhiasan dari tubuh wanita kepada lelaki lain, kecuali yang
biasa tampak dari padanya)54
Pengertian dari firman Allah; “kecuali yang biasa nampak” yang
disebutkan diatas adalah pengertian yang langsung bisa ditangkap dari ayat
tersebut, namun para salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in berbeda pendapat
dalam menafsirkan “pakaian-pakaian luar”, dan ada pula yang menafsirkan
“cincin, celak, gelang dan wajah”, namun banyak pendapat mengatakan
bahwa yang dimaksud adalah wajah dan telapak tangan.55
Dalam hal itu, terdapat hadits Nabi yang menjelaskan ukuran-
ukurannya, sehingga nash yang kedua (hadits Nabi) menjadi mufassir
(menjelaskan) terhadap nash yang pertama. Ayat itu masih mujmal yang
kemudian ditafsirkan oleh Sunnah Nabi. Dengan demikian penjabaran dan
perincian hadits tersebut diperoleh berdasarkan lafadz-lafadz yang
menafsirinya. Sebagaimana keterangan yang disandarkan kepada sabda Nabi:
ان اسماء بنت ابي بكر دخلت على رسول اللة صلى اللة عليه وسلم وعليها ثيا ب رقاق فا عرض عنها رسول اللة صلى اللة عليه وسلم وقال يا اسماء ان المراة اذابلغت المحيض لم تصلح ان
)رواه ابو دود( يرى منها اال هذا وهذا واساراليوجهه وكفيه
54 Nasharuddin al-Abany, Jilbab Dan Hijab Busana Wanita Islam Menurut Al-Qur’an
Dan Sunnah,Terj. HA. Karim Hayaza, op.cit, hlm. 19 55 Nasharuddin al-Abany, Jilbab Al-Mar’ah Al- Muslimah, Terj. Abu Shafia, Yogyakarta:
Media Hidayah, Cet.Ke-10, hlm.56
44
Artinya: ”Bahwa ‘asma’ bin abu bakar masuk ke rumah rasul dengan mengenakan pakaian yang tipis, maka rasulullah bersabda: “wahai ‘asma’, sesungguhnya wanita yang telah haid (baligh) tidak diperkenankan dilihat dari padanya inidan ini, dengan mengisyaratkan wajah dan telapak tangan. (HR. Abu Dawud).56
Dan dilihat dari segi dalalahnya, ayat diatas termasuk dalalah isyarat
yaitu dalalah makna nash yang lazim bagi sesuatu yang di fahami dari suratan
nash, tidak dimaksudkan oleh susunan katanya, secara eksplisit menunjukkan
bahwa seorang wanita harus menutup auratnya agar tidak diganggu dan
mudah dikenal, yang secara implisit dinyatakan jika tidak menutup auratnya
maka akan ada gangguan yang datang padanya dari seorang laki-laki dan
adanya fitnah dari sesama manusia. Dilihat dari segi cakupan lafadz terhadap
satuannya, ayat diatas adalah termasuk lafadz khass yaitu suatu lafadz yang
menunjukkan satu orang /barang/hal yang tertentu. Dengan menggunakan arti
mufrad (singular), baik pengertian itu menunjukkan pada seseorang, jenis,
golongan atau nama sesuatu. Karena menunjukkan arti tunggal, yaitu
menunjukkan pada seseorang (wanita), lafadz khash adalah bersifat qath’iyyah
(pasti), sehingga tidak perlu lagi mengtakhsishnya dalam mengamalkannya
atau mengambilnya sebagai dasar hukum. Dan merupakan ketetapan (taklif)
Allah yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf, berupa perintah untuk
melaksanakan suatu perbuatan. Perintah (amr) tersebut menunjukkan pada
hukum wajib karena menggunakan bentuk fi’il mudhari’, yaitu kata kerja
56 Abi Daud, op.cit.
45
( نين يد ) “hendaklah” sehingga para ulama’ ushul fiqh tidak ragu lagi
menentukan hukum wajib bagi wanita untuk memakai jilbab (menutup
auratnya) sehingga tidak terlihat (kecuali muka dan telapak tangan)