Top Banner
BAB I PENDAHULUAN Jembatan merupakan salah satu prasarana transportasi yang strategis bagi pergerakan lalu lintas. Jembatan adalah istilah umum untuk suatu konstruksi yang dibangun sebagai jalur transportasi yang melintasi sungai, danau, rawa, maupun rintangan lainnya. Jika jembatan berada di atas jalan lalu lintas biasa maka dinamakan viaduct (Santoso, 2009 : 1). Dalam perancangan suatu konstruksi jembatan ada beberapa aspek yang harus diperhitungkan, seperti letak jembatan, aspek hidraulik sungai serta bentuk abutmen yang akan memberikan pola aliran di sekitarnya. Struktur jembatan umumnya terdiri dari dua bangunan penting, yaitu struktur bangunan atas dan struktur bangunan bawah. Salah satu struktur utama bangunan bawah jembatan adalah abutmen jembatan yang selalu berhubungan langsung dengan aliran sungai. Affandi (2007 : 2) menyebutkan gerusan (scouring) merupakan suatu proses alamiah yang terjadi di sungai akibat pengaruh morfologi sungai (dapat berupa tikungan atau bagian penyempitan aliran sungai) atau adanya bangunan air (hydraulic structure) seperti: jembatan, bendung, pintu air, dan lain-lain. Hal ini disebabkan aliran 1
69

Bab 5 yumi

Jun 22, 2015

Download

Documents

putrizia

Tugas
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Bab 5 yumi

BAB I

PENDAHULUAN

Jembatan merupakan salah satu prasarana transportasi yang strategis bagi

pergerakan lalu lintas. Jembatan adalah istilah umum untuk suatu konstruksi yang

dibangun sebagai jalur transportasi yang melintasi sungai, danau, rawa, maupun

rintangan lainnya. Jika jembatan berada di atas jalan lalu lintas biasa maka

dinamakan viaduct (Santoso, 2009 : 1).

Dalam perancangan suatu konstruksi jembatan ada beberapa aspek yang harus

diperhitungkan, seperti letak jembatan, aspek hidraulik sungai serta bentuk abutmen

yang akan memberikan pola aliran di sekitarnya. Struktur jembatan umumnya terdiri

dari dua bangunan penting, yaitu struktur bangunan atas dan struktur bangunan

bawah. Salah satu struktur utama bangunan bawah jembatan adalah abutmen

jembatan yang selalu berhubungan langsung dengan aliran sungai.

Affandi (2007 : 2) menyebutkan gerusan (scouring) merupakan suatu proses

alamiah yang terjadi di sungai akibat pengaruh morfologi sungai (dapat berupa

tikungan atau bagian penyempitan aliran sungai) atau adanya bangunan air

(hydraulic structure) seperti: jembatan, bendung, pintu air, dan lain-lain. Hal ini

disebabkan aliran saluran terbuka mempunyai permukaan bebas (free surface).

Kondisi aliran saluran terbuka berdasarkan pada kedudukan permukaan bebasnya

cenderung berubah sesuai waktu dan ruang, disamping itu ada hubungan

ketergantungan antara kedalaman aliran, debit air, kemiringan dasar saluran dan

permukaan saluran bebas itu sendiri.

Adanya bangunan air menyebabkan perubahan karakteristik aliran seperti

kecepatan dan atau turbulensi sehingga menimbulkan perubahan transpor sedimen

dan terjadinya gerusan. Adanya abutmen jembatan akan menyebabkan perubahan

pola aliran sungai dan terbentuknya aliran tiga dimensi di sekitar abutmen tersebut.

Perubahan pola aliran tersebut akan menimbulkan terjadinya gerusan lokal (local

scouring) di sekitar konstruksi abutmen. Proses terjadinya gerusan lokal biasanya

dipicu oleh tertahannya angkutan sedimen yang dibawa bersama aliran oleh struktur

1

Page 2: Bab 5 yumi

2

bangunan dan peningkatan turbulensi aliran akibat gangguan suatu struktur (Affandi,

2007 : 2).

Abutmen merupakan bangunan jembatan yang terletak di pinggir sungai,

yang dapat mengakibatkan perubahan pola aliran. Bangunan seperti abutmen

jembatan selain dapat merubah pola aliran juga dapat menimbulkan perubahan

bentuk dasar saluran seperti penggerusan. Gerusan lokal yang terjadi pada abutmen

biasanya terjadi gerusan pada bagian hulu abutmen dan pada proses deposisi pada

bagian hilir abutmen (Hanwar, 1999 : 5).

Banyak kasus-kasus yang terjadi mengenai runtuhnya bangunan jembatan

bukan hanya disebabkan oleh faktor konstruksi saja, namun persoalan gerusan di

sekitar abutmen jembatan juga bisa menjadi penyebab lain. Hal ini disebabkan

karena proses gerusan yang terjadi secara terus menerus sehingga terjadi penurunan

pada pangkal abutmen. Oleh karena itu, dampak dari gerusan lokal harus diwaspadai

karena dapat berpengaruh pada penurunan stabilitas keamanan bangunan air.

Mengingat begitu kompleks dan pentingnya permasalahan di atas, kajian tentang

gerusan lokal di sekitar abutmen jembatan yang terdapat pada sungai perlu mendapat

perhatian secara khusus, sehingga nantinya dapat diketahui mengenai pola gerusan

dan kedalaman gerusan yang terjadi.

Berbagai penelitian terdahulu telah dilakukan untuk melihat besarnya

kedalaman gerusan lokal pada abutmen jembatan. Affandi (2007), meneliti pengaruh

kedalaman aliran terhadap kedalaman gerusan pada abutmen tipe semi-circular-end.

penelitian ini menggunakan alat flume dengan kondisi aliran seragam pada beberapa

variasi kedalaman aliran yang dicoba. Hasil penelitian menunjukkan gerusan

maksimum terjadi pada sisi samping bagian depan abutmen sebelah hulu.

Perkembangan gerusan terkecil terjadi pada bagian belakang abutmen sebelah hulu

maupun hilir. Kedalaman aliran berpengaruh terhadap kedalaman gerusan, semakin

bertambah kedalaman aliran maka gerusan yang terjadi semakin kecil. pola gerusan

yang terjadi di semua abutmen dengan berbagai kedalaman aliran relatif sama

meskipun dengan lebar dan kedalaman gerusan yang berbeda. Zaidun (2008),

meneliti gerusan yang terjadi di sekitar abutmen bersayap (wing-wall) dengan sudut

45º. Penelitian ini dilakukan pada kondisi jembatan tanpa tikungan dengan jembatan

Page 3: Bab 5 yumi

3

tikungan 90º dan 180º. Hasil penelitian menunjukkan turbulensi aliran menjadi lebih

besar pada segmen abutmen yang memiliki tikungan karena adanya penyempitan

lebar saluran yang mengakibatkan pada segmen ini terjadi gerusan yang cukup besar

di bandingkan dengan segmen lainnya. Perubahan gerusan terbesar terjadi saat

pengaliran jam-jam pertama di awal pengaliran, dan untuk jam selanjutnya relatif

konstan atau tidak memberikan perubahan yang signifikan. Dari berbagai penelitian

mengenai pengaruh kedalaman gerusan sebelumnya, belum adanya penelitian yang

memberikan perlakuan variasi sudut yang berbeda terhadap model abutmen tipe

wing-wall. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya kedalaman

gerusan dan pola gerusan yang terjadi pada abutmen jembatan tipe wing–wall dengan

sudut 40º, 45º, 60º, 75º dan 90º sehingga diperoleh nilai koefisien bentuk abutmen

(K1) untuk sudut selain 45°.

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Hidraulika Model Teknik Sungai

dan Pantai, Fakultas Teknik. Perilaku gerusan akan diselidiki melalui model abutmen

tipe wing-wall dengan variasi sudut yang berbeda-beda. Model abutmen ini dibuat

menggunakan kayu dengan panjang 12 cm, tebal 4,5 cm, dan tinggi 80 cm dengan

berbagai variasi sudut, yaitu sudut 40º, 45º, 60º, 75º dan 90º.

Berdasarkan hasil pengukuran yang telah dilakukan, diperoleh gerusan

terbesar terjadi pada abutmen dengan sudut 40° yaitu sebesar 58.33 mm, dan gerusan

terkecil terjadi pada sudut 60° sebesar 40.3 mm. Sedangkan untuk sudut 45°, 75° dan

90° nilainya berturut- turut adalah 53.33 mm, 50 mm dan 50.7 mm.

Dari hasil di atas dapat diperoleh nilai koefisien bentuk abutmen (K1) untuk

sudut 40°, 60°, 75° dan 90° berturut – turut adalah 0.82, 0.57, 0.70 dan 0.71.

Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan sudut pada

abutmen tipe wing-wall memberikan pengaruh terhadap kedalaman gerusan dan pola

gerusan yang terjadi di sekitar abutmen jembatan.

Page 4: Bab 5 yumi

4

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Gerusan

Gerusan adalah merupakan erosi pada dasar dan tebing saluran alluvial

(Hoffmans and Verheji, 1997) dalam Zaidun (2008:II-14) . Gerusan merupakan

proses semakin dalamnya dasar sungai karena interaksi antara aliran dengan material

dasar sungai. Proses penggerusan akan terjadi secara alami, baik karena pengaruh

morfologi sungai seperti tikungan sungai atau penyempitan aliran sungai, atau

pengaruh bangunan hidraulika yang menghalangi aliran seperti abutmen jembatan

(Legono, 1990) dalam Zaidun (2008:II-14).

2.1.1 Pengertian gerusan

Menurut Laursen (1952) dalam Wibowo (2007:10), gerusan didefinisikan

sebagai perubahan dari suatu aliran yang disertai pemindahan material melalui aksi

gerakan fluida. Perbedaan tipe gerusan yang diberikan oleh Raudkivi dan Ettema

(1982) dalam Wibowo (2007:10) adalah sebagai berikut:

1. Gerusan umum di alur sungai, tidak berkaitan sama sekali dengan ada atau tidak

adanya bangunan sungai.

2. Gerusan dilokalisir di alur sungai, terjadi karena penyempitan aliran sungai

menjadi terpusat.

3. Gerusan lokal disekitar bangunan, terjadi karena pola aliran lokal di sekitar

bangunan sungai.

Gerusan dari jenis (2) dan (3) selanjutnya dapat dibedakan menjadi gerusan

dengan air bersih (clear water scour) maupun gerusan dengan air bersedimen (live

bed scour). Gerusan dengan air bersih berkaitan dengan suatu keadaan dimana dasar

sungai di sebelah hulu bangunan dalam keadaan diam (tidak ada material yang

terangkut) atau secara teoritik τo < τc. Sedangkan gerusan dengan air bersedimen

4

Page 5: Bab 5 yumi

5

terjadi ketika kondisi aliran dalam saluran menyebabkan material dasar bergerak.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa tegangan geser pada saluran lebih besar dari nilai

kritiknya atau secara teoritik τo > τc.

2.1.2 Mekanisme gerusan

Menurut Yulistianto dkk. (1998) dalam Abdurrasyid (2005 : 37), gerusan

yang terjadi di sekitar abutmen jembatan adalah akibat sistem pusaran (vortex

system) yang timbul karena aliran dirintangi oleh bangunan tersebut. Sistem pusaran

yang menyebabkan lubang gerusan (scour hole), berawal dari sebelah hulu abutmen

yaitu pada saat mulai timbul komponen aliran dengan arah aliran ke bawah, karena

aliran yang datang dari hulu dihalangi oleh abutmen, maka aliran akan berubah arah

menjadi arah vertikal menuju dasar saluran dan sebagian berbelok arah menuju

depan abutmen selanjutnya diteruskan ke hilir. Aliran arah vertikal ini akan terus

menuju dasar yang selanjutnya akan membentuk pusaran. Di dekat dasar saluran

komponen aliran berbalik arah vertikal ke atas, peristiwa ini akan diikuti dengan

terbawanya material dasar sehingga terbentuk aliran spiral yang akan menyebabkan

gerusan dasar. Hal ini akan terus berlanjut hingga tercapai keseimbangan.

Kwan (1988) dan Kwan & Melville (1994) dalam Barbhuiya dan Dey (2004 :

449) menjelaskan bahwa primary vortex yang serupa dengan horse shoe vortex pada

pilar, bersama dengan down flow merupakan penyebab utama gerusan pada abutmen.

Inti dari primary vortex mengisi 17% bagian dari lubang gerusan dan menguasai 78%

dari sirkulasi aliran. Secondary vortex terjadi di dekat primary vortex dan diyakini

dapat memperkecil gerusan yang diakibatkan oleh primary vortex. Di hilir abutmen,

wake vortices terjadi karena adanya pemisahan aliran hulu dan aliran hilir pada sudut

abutmen. Wake vortices sedikit lebih lemah jika dibandingkan dengan primary

vortex. Wake vortices di hilir abutmen pada aliran utama berlaku seperti tornado

kecil dan mengangkat sedimen dari dasar saluran. Skema aliran vortex system dapat

diperlihatkan pada Gambar 2.1.

Page 6: Bab 5 yumi

6

Gambar 2.1 Mekanisme Gerusan Akibat Pola Aliran Air di Sekitar Abutmen

(Sumber: Kwan (1988) dalam Barbhuiya dan Dey (2004 : 449))

Chabert dan Engeldinger (1956) dalam Affandi (2007 : 13) menyatakan

lubang gerusan yang terjadi pada alur sungai umumnya merupakan korelasi antara

kedalaman gerusan dengan kecepatan aliran sehingga lubang gerusan tersebut

merupakan fungsi waktu (Gambar 2.2). Sedangkan Breusers dan Raudkivi (1991 :

61) dalam Affandi (2007:13) menyatakan bahwa kedalaman gerusan maksimum

merupakan fungsi kecepatan geser (Gambar 2.3). Kesetimbangan kedalaman gerusan

dicapai pada daerah transisi antara livebed scour dan clear-water scour.

Gambar 2.2 Hubungan Kedalaman Gerusan (ys) Dengan Waktu

(Sumber : Breuser dan Raudkivi (1991:62) dalam Affandi (2007:14))

Page 7: Bab 5 yumi

7

Gambar 2.3 Hubungan Kedalaman Gerusan (ys) Dengan Kecepatan Geser (u*)

(Sumber : Breuser dan Raudkivi (1991:62) dalam Affandi (2007:14))

Pada grafik diatas memperlihatkan bahwa kedalaman gerusan untuk clear

water scour dan live-bed scour merupakan fungsi dari kecepatan geser.

Kesetimbangan gerusan tergantung pada keadaan yang ditinjau yaitu gerusan dengan

air tanpa sedimen (clear-water scour) atau gerusan dengan air besedimen (live-bed

scour). Menurut Laursen (1952) dalam Affandi (2007 : 11), besar gerusan akan sama

selisihnya antara jumlah material yang ditranspor keluar daerah gerusan dengan

jumlah material yang ditranspor masuk ke dalam daerah gerusan. Kedalaman dan

besar gerusan ini (Husain et al, 1998 : 141) bergantung dari berbagai faktor seperti

kondisi aliran, bentuk dan ukuran abutmen, jarak antar abutmen atau jarak antara

abutmen dengan pilar, dan karaktreistik material dasar saluran tersebut.

2.1.3 Kedalaman gerusan

Kedalaman gerusan (Melville dan Coleman, 2000 : 192) dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu kecepatan aliran, kedalaman aliran (flow shallowness),

kekasaran material sedimen, lama gerusan, dan bilangan Froude (Fr). Raudkivi (1998

: 231) menyatakan bahwa berdasarkan data laboratorium kedalaman gerusan

maksimum terjadi pada kondisi gerusan tanpa transpor sedimen (clear water scour).

Page 8: Bab 5 yumi

8

Bentuk tampang abutmen merupakan salah satu dari bentuk geometrik

abutmen. Bentuk ini dapat mempengaruhi pola aliran yang terjadi disekitar abutmen,

oleh karena itu perlu diperhitungkan tipe aliran yang terjadi dari bentuk tampang

abutmen terhadap gerusan lokal. Tipe aliran yang terjadi dapat dihitung dengan

rumus Bilangan Reynolds dan Bilangan Froude yang akan dijelaskan selanjutnya.

Ada beberapa metode yang digunakan untuk menghitung kedalaman gerusan

yang terjadi di sekitar abutmen. Richardson and Davis (1999) menyatakan persamaan

yang direkomendasikan dalam FHWA's Hydraulic Engineering Circular No. 18

(HEC-18) adalah persamaan Froehlich’s (1989) untuk L/y < 25 dan persamaan HIRE

(Richardson, Simon, dan Julien 1990) untuk L/y > 25. Bentuk umum persamaan

Froehlich’s (Richardson and Davis, 2001:7.8) adalah:

Y s

Y a

=2 .27 K1 K2(L'Ya

)0. 43 Fr10 . 61+1

………….…..........……….(2.1)

dengan :

K1 = koefisien akibat bentuk abutmen

K2 = koefisien akibat sudut abutmen terhadap aliran

L’ = panjang abutmen yang menghalangi aliran (m)

Ae = luas tampang aliran yang terhalang oleh abutmen (m2)

Fr = bilangan Froude aliran di hulu abutmen

Dimana, Fr = Ve/(gya) 1/2 ………………………………(2.2)

Ve = Qe / Ae (m/det) ……………………………(2.3)

dengan :

Qe = aliran yang terhalang oleh abutmen (m3/det)

Ya = kedalaman rata-rata aliran pada dataran banjir (m)

Ya = (Ae /L)

L = panjang abutmen normal terhadap aliran (m)

Ys = kedalaman gerusan (m)

Page 9: Bab 5 yumi

9

Bentuk umum persamaan HIRE (Richardson and Davis, 2001:7.9)) adalah:

Y s

Y 1

=4 Fr10 .33[ K1

0. 55 ]K2 ………….…..........…………(2.4)

dengan :

K1 = koefisien akibat bentuk abutmen

K2 = koefisien akibat sudut abutmen terhadap aliran dihitung seperti pada

persamaan Froehlich

Fr = bilangan Froude aliran di hulu abutmen

Y1 = kedalaman aliran pada saluran utama (m)

Ys = kedalaman gerusan (m)

Untuk menghitung kedalaman gerusan (Ys), diperlukan nilai koefisien

abutmen akibat bentuk abutmen (K1). Nilai–nilai yang mempengaruhi koefisien K1

tersebut diperlihatkan pada Tabel 2.1 berikut :

Tabel 2.1. Faktor Bentuk Abutmen

(Sumber : Barbhuiya, A.K and Dey, S (2004 : 462)

Page 10: Bab 5 yumi

10

Koefisien K2 adalah koefisien yang disebabkan oleh sudut peletakan abutmen

terhadap arah aliran. Dimana kekasarannya dapat dihitung dengan menggunakan

persamaan yaitu :

K2 = (θ /90 )0. 13 …………………………………………. (2.5)

Ket : θ<90 jika abutmen mengarah ke hilir

θ>90 jika abutmen mengarah ke hulu

Gambar 2.4 Sudut Abutmen () Terhadap Aliran

(Sumber : Richardson and Davis (2001:7.6))

2.2 Gerakan Butiran Sedimen

Butiran sedimen yang ada di sungai pada umumnya tidak seragam, karena

variabel aliran seperti kedalaman, tampang basah, dan kecepatan di sepanjang sungai

tidak sama. Akibat adanya aliran air, timbul gaya-gaya yang bekerja pada material

sedimen. Gaya-gaya tersebut mempunyai kecenderungan untuk menggerakkan

butiran material sedimen. Pada waktu gaya-gaya yang bekerja pada butiran sedimen

mencapai suatu harga tertentu, sehingga apabila gaya ditambah akan menyebabkan

butiran sedimen bergerak, maka kondisi tersebut disebut kondisi kritik. Parameter

aliran pada kondisi tersebut, seperti tegangan geser dasar (τo), kecepatan aliran (V)

juga mencapai kondisi kritik (Kironoto (1997) dalam Affandi (2007 : 19)).

Page 11: Bab 5 yumi

11

Tiga faktor yang berkaitan dengan awal gerak butiran sedimen yaitu :

1. kecepatan aliran dan diameter/ukuran butiran,

2. gaya angkat yang lebih besar dari gaya berat butiran, dan

3. gaya geser kritis

2.2.1 Gerakan Butiran Sedimen Berdasarkan Tegangan Geser (τ)

Distribusi ukuran partikel dalam Raudkivi (1991) dalam Affandi (2007 : 19)

dinyatakan dalam diameter rata-rata geometrik (d50), di mana standar geometri (σg)

adalah sebagai berikut :

…………………………………………………………………...(2.6)

Shield dalam Wibowo (2007:22) mengungkapkan suatu diagram untuk awal

gerak butiran pada material dasar seragam. Diagram ini menyatakan parameter

mobilitas kritis yang dinamakan parameter Shield. Diagram Shield ini dapat dilihat

pada Lampiran A.2.1 halaman 49.

θ=τc

( ρs−ρw )gd ...........................................................................................(2.7)

tegangan geser :

τ o=ρw . g . y o . I…………………………………………………………………(2.8)

kecepatan geser :

………………………………………………………………….(2.9)

dengan ketentuan :

Jika > maka butiran bergerak

σ g=( d84

d16)0,5

V ¿=( τO

ρw)

0,5

Page 12: Bab 5 yumi

12

Jika > maka butiran tidak bergerak

dengan:

σg = standar geometri

d = diameter butiran (m)

g = percepatan grafitasi (m/det²)

ρw = massa jenis air (kg/m³)

ρs = massa jenis sedimen (kg/m³)

= tegangan geser (N/m2)

τc = tegangan geser kritik (N/m2)

θc = parameter mobilitas kritik (-)

y0 = kedalaman aliran (m)

I = kemiringan dasar sungai

2.3 Aliran Air di Saluran Terbuka

Aliran air dalam suatu saluran dapat berupa aliran saluran

terbuka (open channel flow) maupun aliran pipa (pipe flow). Kedua

jenis aliran tersebut memiliki kesamaan dalam banyak hal, namun

berbeda dalam satu hal yang sangat penting. Aliran pada saluran terbuka harus

memiliki permukaan bebas (free surface), sedangkan aliran pipa tidak demikian,

karena air harus mengisi seluruh saluran. Permukaan bebas dipengaruhi oleh tekanan

udara. Aliran pipa yang terkurung dalam saluran tertutup, tidak terpengaruh langsung

oleh tekanan udara kecuali oleh tekanan hidrolik.

2.3.1 Perilaku Aliran

Dalam saluran terbuka terdapat dua persamaan untuk membedakan perilaku

aliran, yaitu persamaan bilangan Reynolds dan persamaan bilangan Froude. Bilangan

Reynolds akan membagi aliran menjadi laminar, transisi dan turbulen, sedangkan

bilangan Froude akan membagi aliran menjadi subkritis, kritis dan superkritis

(Widyaningtias, 2008 : II-2).

Page 13: Bab 5 yumi

13

Persamaan untuk menghitung bilangan Reynolds:

ℜ=U . lv

…………………………………………………………(2.10)

dimana : Re : bilangan Reynolds (non dimensional)

U : kecepatan aliran (m/det)

l : panjang karakteristik (m)

v : viskositas kinematik (m2/det)

Berdasarkan pada percobaan aliran di dalam pipa, Reynolds menetapkan

bahwa untuk angka Reynolds di bawah 2000, gangguan aliran dapat diredam oleh

kekentalan zat cair, dan kondisi pada aliran tersebut adalah laminer. Aliran akan

turbulen apabila angka Reynolds lebih besar 4000. Apabila angka Reynolds berada di

antara nilai tersebut (2000 < Re < 4000) aliran adalah transisi. Angka Reynolds pada

kedua nilai di atas (Re = 2000 dan Re = 4000) disebut dengan batas kritik bawah dan

atas (Triatmodjo, 2003 : 5).

Pada saluran terbuka, Triatmodjo (2003 : 104) umumnya tipe aliran adalah

turbulen, karena kecepatan aliran dan kekasaran dinding relatif besar. Aliran melalui

saluran terbuka akan turbulen apabila angka Reynolds (Re > 1000), dan laminer

apabila Re < 500.

Persamaan untuk menghitung bilangan Froude adalah:

Fr= U

√g . h …………………………………………………….(2.11)

Dimana : Fr : bilangan Froude (non dimensional)

U : kecepatan aliran (m/det)

g : percepatan gravitasi (m/det2)

h : kedalaman aliran (m)

Page 14: Bab 5 yumi

14

Sementara perilaku aliran yang dibedakan berdasarkan atas bilangan Froude, yaitu :

1. Aliran subkritis : Fr < 1

2. Aliran kritis : Fr = 1

3. Aliran superkritis : Fr > 1

2.4 Pengukuran Debit

Triatmodjo (1996 : 200) mendefinisikan peluap sebagai bukaan pada salah

satu sisi kolam atau tangki sehingga zat cair (biasanya air) di dalam kolam tersebut

melimpah di atas peluap. Bangunan ukur berbentuk segitiga ditempatkan pada bagian

hulu flume untuk mengatur debit yang akan dialirkan. Gambar 2.5 memperlihatkan

peluap segitiga dengan tinggi peluapan (H), dan sudut peluap (α).

Gambar 2.5 Pintu Air Thompson

(Sumber : Triatmojo,1996)

Bangunan ukur berupa peluap berbentuk segitiga ditempatkan pada bagian

hulu flume. Debit yang mengalir melalui peluap dapat dihitung dengan persamaan

(Triatmodjo 1996 : 205) :

Q= 815

. Cd . tgα2

.√2g . H52

.......................................................... (2.12)

Page 15: Bab 5 yumi

15

dimana : Q = debit aliran (m3/det)

Cd = keofesien debit (Cd rata – rata = 0.62)

α = sudut peluap

g = gravitasi (m/det2)

H = tinggi peluapan (m)

2.5 Pengukuran Kecepatan Aliran Pada Saluran Terbuka

Zaidun (2008 : II-6) menyebutkan pada prinsipnya kecepatan aliran dapat

diukur dengan dua metode. Kedua metode yang dimaksud yaitu :

1. Metode apung

2. Metode currentmeter

2.5.1 Pengukuran kecepatan dengan metode apung

Prinsip pengukuran kecepatan dengan metode apung yaitu kecepatan aliran

(U) ditetapkan berdasarkan kecepatan pelampung (Up). Kecepatan aliran dapat

dihitung dengan menggunakan persamaan :

U = Up x k ……………………………………………………….(2.13)

Dimana : Up = kecepatan pelampung (m/det)

K = koefisien pelampung

2.5.2 Pengukuran kecepatan dengan metode currentmeter

Ada dua tipe currentmeter yaitu tipe price (kerucut) dan tipe baling-baling

(proppeler type). Oleh karena distribusi kecepatan aliran di sungai tidak sama baik

arah vertikal maupun horizontal, maka pengukuran kecepatan aliran dengan alat ini

tidak cukup pada satu titik (Widyaningtias, 2008 : II-6). Di bawah ini akan dijelaskan

mengenai masing-masing jenis currentmeter, yaitu :

Page 16: Bab 5 yumi

16

1. Tipe Price (kerucut)

Pada tipe ini arus air memutar kerucut, banyak putaran

dicatat pada counter. Kecepatan aliran dapat dihitung dengan

menggunakan persamaan :

U = e + f . N ……………………………………………………..(2.14)

Dimana : e, f : konstanta tergantung jenis alat

N : banyak putaran (frekuensi) per satuan waktu

U : kecepatan

2. Tipe Baling-baling (propeller)

Pada tipe ini arus air memutarkan baling-baling. Banyak

putaran dibaca pada counter dan waktu dicatat pada stopwatch.

Triatmodjo (2008 : 123) menyebutkan karena perubahan

kondisi aliran di sungai yang tidak dipengaruhi pasang surut relatif

kecil, pengukuran kecepatan dapat dilakukan dengan hanya

menggunakan satu alat dari satu vertikal ke vertikal berikutnya

dalam satu tampang lintang. Pengukuran dilakukan di beberapa

titik pada vertikal, yang selanjutnya dievaluasi untuk mendapatkan

kecepatan rerata yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 2.2 Jumlah Titik Arah Vertikal Sebagai fungsi dari kedalaman Aliran

Kedalaman Aliran (d) Jumlah Titik (n)

d < 0,25 m 1

0,25 m < d < 0,5 m 2

d > 0,5 m 3 atau lebih

(Sumber : Boiten (2003 : 81)

Page 17: Bab 5 yumi

17

Kecepatan rerata di setiap vertikal dapat ditentukan dengan salah satu dari

metode berikut yang tergantung pada ketersediaan waktu, ketelitian yang diharapkan,

lebar dan kedalaman sungai (Triatmodjo, 2008 : 123). Adapun metode-metode yang

dimaksud adalah:

1. Metode satu titik

Kecepatan rata-rata aliran pada 1 titik dapat dihitung dengan persamaan :

hVV 6,0...................................................................................... (2.15)

2. Metode dua titik

Kecepatan rata-rata aliran pada 2 titik dapat dihitung dengan persamaan :

V=V 0,2 h+V 0,8h

2 .......................................................................... (2.16)

3. Metode tiga titik

Kecepatan rata-rata aliran pada 3 titik dapat dihitung dengan persamaan :

V=V 0,2 h+V 0,6h+V 0,8 h

3 ............................................................... (2.17)

4. Metode empat titik

Kecepatan rata-rata aliran pada 4 titik dapat dihitung dengan persamaan :

V=V 0,2 h+2 .V 0,6 h+V 0,8 h

4 ............................................................ (2.18)

5. Metode lima titik

Kecepatan rata-rata aliran pada 5 titik dapat dihitung dengan persamaan :

V=V s+3 .V 0,2h+2. V 0,6 h+3 . V 0,8 h+V b

10 ......................................... (2.19)

dimana :

V = kecepatan rata-rata (m/det)

V s = kecepatan pada permukaan aliran (m/det)

V 0,2 h = kecepatan pada kedalaman 0,2h (m/det)

V 0,6 h = kecepatan pada kedalaman 0,6h (m/det)

Page 18: Bab 5 yumi

18

V 0,8 h = kecepatan pada kedalaman 0,8h (m/det)

V b = kecepatan pada dasar aliran (m/det)

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada prinsipnya, penelitian pengaruh perbedaan sudut terhadap perilaku

gerusan lokal pada abutmen tipe wing-wall ini dimulai dengan pekerjaan persiapan,

pengukuran untuk pengumpulan data awal, dan pekerjaan percobaan laboratorium.

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Hidraulika Model Teknik Sungai dan Pantai

Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh pada tanggal 25

April 2011 – 21 Juni 2011. Untuk lebih jelasnya bagan alir proses penelitian dapat

dilihat pada Lampiran A, Gambar A.3.1 halaman 50.

3.1 Pekerjaan Persiapan

Pekerjaan persiapan meliputi pengadaan bahan, pengadaan dan persiapan alat,

pembersihan saluran (flume) dan merencanakan model abutmen.

3.1.1 Pengadaan bahan

Bahan yang akan digunakan pada percobaan ini terdiri dari :

1. Air

Page 19: Bab 5 yumi

19

Air yang digunakan pada penelitian ini adalah air tawar yang terdapat pada

laboratorium, yang berfungsi sebagai media untuk pergerakan.

2. Model Abutmen

Pada penelitian ini abutmen yang akan digunakan adalah model abutmen tipe

wing-wall menggunakan kayu dengan panjang 12 cm, tebal 4,5 cm, dan

tinggi 80 cm dengan berbagai variasi sudut, yaitu sudut 40º, 45º, 60º ,75º dan

90º.

3. Pasir Halus

Pasir halus digunakan untuk bahan dasar pemodelan sungai. Pasir yang

digunakan adalah pasir yang pasir lolos saringan ASTM no. 4 dan

tertahan pada no. 200.

4. Kerikil

Kerikil juga ditambahkan untuk bahan dasar pemodelan sungai. Kerikil ini

dihamparkan sepanjang 0,70 meter pada dasar flume sebelah hulu.

5. Kawat kasa

Kawat kasa ini ini dibuat untuk meredam energi dari arus air yang keluar dari

peluap segitiga (Pintu Thompson) pada bagian hulu.

3.1.2 Peralatan yang digunakan

Peralatan yang akan digunakan pada penelitian ini sudah tersedia di

Laboratorium Hidraulika Model Teknik Sungai dan Pantai Fakultas Teknik

Universitas Syiah Kuala, yaitu terdiri dari:

1. Saluran (flume)

Saluran yang digunakan terbuat dari fiber glass yang kedap air, dengan

kerangka baja. Dimensi saluran dengan panjang 15,46 meter, lebar 0,5 meter

dan tinggi 1,00 meter.

2. Pompa air

Pompa air yang digunakan adalah buatan Taiwan Merk Showfou No. M45029

phase 3 Ø Type KL-732 50 Hz ISO 9001 A20 S tahun 2007.

4. Point gauge

18

Page 20: Bab 5 yumi

20

Point gauge digunakan untuk mengukur kedalaman yang terjadi setelah

pengaliran. Point gauge yang digunakan adalah merek Armfield serial No.

6449-14.

5. Bak penampungan dengan panjang 1,744 meter, tinggi 0,50 meter dan lebar

0,50 meter.

6. Grid dengan panjang 1,00 meter dan lebar 0,5 meter.

7. Currentmeter

Currentmeter digunakan untuk mengukur kecepatan aliran. Currentmeter

yang digunakan adalah merk KENEK VO-301A Model VOT2-100-05. Pada

currentmeter jenis ini kecepatan aliran dapat dicatat secara langsung tanpa

harus mengkalibrasikan jumlah putaran baling-baling terhadap waktu,

kecepatan aliran yang terbaca pada alat ini yaitu dalam satuan cm/dt.

8. Stopwatch

Stopwatch digunakan untuk menentukan waktu pengambilan atau pencatatan

data kedalaman gerusan pada saat running. Stopwatch yang digunakan pada

handphone seri Samsung Chat GT3222.

9. Meteran

Meteran digunakan untuk mengukur jarak peletakan model abutmen di dalam

flume.

10. Pintu air Thompson

Pintu air Thompson digunakan untuk mengukur debit.

11. Kamera

Kamera digunakan untuk dokumentasi selama penelitian berlangsung.

12. Barang pencatatan data

Alat tulis yang digunakan untuk mencatat data berupa pensil dan kertas.

3.1.3 Pembersihan saluran (flume)

Saluran yang digunakan pada penelitian ini terbuat dari fiber glass, sehingga

pembersihan dinding dari kotoran-kotoran perlu dilakukan untuk kesempurnaan

Page 21: Bab 5 yumi

Gambar 3.1.a Model Abutmen Tipe Wing-Wall Sudut (a) 40º, (b) 45º, (c) 60º, (d) 75 º, dan (e) 90º (d) 75º dan (e) 90º

21

penglihatan dalam melakukan penelitian. Gambar saluran (flume) dapat dilihat pada

Lampiran A.3.2 halaman 51.

3.1.4 Merencanakan model Abutmen

Abutmen yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah model abutmen tipe

wing-wall yang dibuat menggunakan kayu dengan panjang 12 cm, tebal 4,5 cm, dan

tinggi 80 cm dengan berbagai variasi sudut, yaitu sudut 40º, 45º, 60º, 75º dan 90º.

Model abutmen ini diletakkan pada jarak 5 meter dari hulu flume. Untuk lebih

jelasnya di bawah ini akan ditampilkan gambar model abutmen dengan sudut 40º,

45º, 60º, 75º dan 90º beserta ukurannya.

(a) (b) (c) (d) (e)

Page 22: Bab 5 yumi

22

3.2 Pekerjaan Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Hidraulika Model Teknik Sungai

dan Pantai Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh.

3.2.1 Penghamparan material dasar sungai

Penghamparan material dasar pada model sungai ini

menggunakan pasir halus yang diratakan dengan tebal rata – rata

10 cm dengan pertimbangan bahwa gerusan yang terjadi nanti

pada saat penelitian tidak melebihi kedalaman pasir yang

dihamparkan. Pada bagian hulu flume juga dihamparkan kerikil

sepanjang 0,70 meter.

3.2.2 Pengukuran debit aliran dan kecepatan

Pengukuran dilakukan pada flume berdinding fiber glass yang berukuran

panjang 15,46 m, lebar 0,5 m, dan tinggi 1 m. Pada bagian hulu flume akan

ditempatkan pintu ukur Thompson (α = 90°) untuk mengontrol debit aliran,

sedangkan untuk mengontrol debit air digunakan keran yang terpasang pada pipa.

Pengukuran kecepatan juga dilakukan menggunakan currentmeter dengan

menggunakan metode dua titik seperti persamaan (2.20) pada halaman 17.

Page 23: Bab 5 yumi

23

3.2.3 Langkah pekerjaan

Langkah-langkah pelaksanaan penelitian :

1. Pengadaan bahan penelitian meliputi air, pasir halus dan kerikil.

2. Persiapan alat penelitian meliputi pembersihan alat, pemeriksaan alat dan

pemasangan alat.

3. Penghamparan pasir halus pada dasar flume dan dipadatkan setebal 10 cm.

kerikil juga dipadatkan pada bagian hulu flume sepanjang 0,70 meter, lalu

dilakukan pemasangan kawat kasa.

4. Model abutmen diletakkan pada jarak 5 m dari hulu flume.

5. Air ditampung didalam bak penampungan hingga volume tertentu.

6. Running dilakukan dengan mengalirkan air yang tersedia di dalam bak

penampungan ke dalam flume. Di hulu flume, dipasang peluap segitiga (pintu air

Thompson). Pengaliran dilakukan sedemikian rupa sehingga air pada flume

memiliki ketinggian yang sama setiap runningnya, yaitu dengan ketinggian

direncanakan 30 cm.

7. Kecepatan aliran diukur dengan menggunakan currentmeter.

8. Percobaan dilakukan sebanyak 3 kali running dengan waktu 60 menit untuk tiap

sudut abutmen tipe wing-wall, yaitu sudut 40º, 45º, 60º, 75º dan 90º. Sehingga

didapat 15 kali running untuk semua variasi sudut pada abutmen tipe wing-wall.

9. Setelah running selesai, kedalaman gerusan diukur elevasinya

dengan menggunakan alat point gauge.

10. Distribusi gerusan diperoleh dari pengambilan data kontur gerusan di

sekitar abutmen. Data kontur diukur dengan menggunakan alat

point gauge dengan menggunakan grid sebanyak 59 titik.

11. Setelah dilakukan pengukuran, pasir diratakan kembali untuk

selanjutnya dilakukan running dengan perlakuan yang sama

untuk sudut yang berbeda.

Page 24: Bab 5 yumi

0.7

Gambar 3.3 Penempatan Model Abutmen (Tampak Atas)

Outlet

model abutmenJembatan

24

3.3 Analisa Data

Adapun hasil yang diperoleh dari percobaan yang telah dilakukan merupakan

data – data yang akan diproses untuk mendapatkan :

3.3.1 Kedalaman gerusan

Kedalaman gerusan (scouring depth) diukur setelah proses running selesai

dengan menggunakan point gauge. Kedalaman gerusan ini diukur pada bagian

disekitar abutmen. Hasil pengukuran kedalaman gerusan ini akan digunakan untuk

memperoleh grafik hubungan antara kedalaman gerusan (scouring depth) terhadap

variasi sudut abutmen. Kedalaman gerusan ini diukur setelah selang waktu 60 menit

untuk tiap sekali running.

(a) Kondisi flume sebelum pengaliran air

(b) Kondisi flume setelah pengaliran air

Gambar 3.2 Penampang Memanjang Saluran (Flume)

Page 25: Bab 5 yumi

Gambar 3.4 Model Grid

25

Tabel 3.1 Tabel Rencana Pengukuran Kedalaman Gerusan

JUMLAH RUNNING

KEDALAMAN GERUSAN PADA VARIASI SUDUT ABUTMEN TIPE WING-WALL (ds)

40⁰ 45⁰ 60⁰ 75⁰ 90⁰

Run 1 ds1α1 ds1α2 ds1α3 ds1α4 ds1α5

Run 2 ds2α1 ds2α2 ds2α3 ds2α4 ds2α5

Run 3 ds3α1 ds3α2 ds3α3 ds3α4 ds3α5

Run rata -rata ds4α1 ds4α2 ds4α3 ds4α4 ds4α5

Keterangan :

α = sudut

ds = kedalaman gerusan yang terjadi (mm)

3.3.2 Distribusi gerusan

Distribusi gerusan menampilkan kondisi dasar pada model sungai setelah

running dilakukan. Data untuk distribusi gerusan diperoleh dari elevasi dasar sungai

setelah running. Pengukuran data ini menggunakan bantuan grid dan diukur

menggunakan point gauge pada 59 titik pengamatan. Dari pengolahan data elevasi

dasar pada model sungai ini akan ditampilkan kontur pola gerusan di sekitar abutmen

jembatan.

Page 26: Bab 5 yumi

26

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada Bab ini akan disajikan hasil pengukuran serta pembahasan. Pengukuran

dilakukan sesuai dengan metode penelitian yang telah diuraikan pada Bab III. Data

hasil pengukuran juga ditampilkan dalam bentuk gambar dan grafik kontur yang

diperoleh dengan menggunakan program Surfer. Pembahasan tentang hasil

pengukuran kedalaman gerusan dan distribusi gerusan di berbagai variasi sudut

abutmen tipe wing-wall lebih lengkap akan diuraikan pada sub-bab di bawah ini.

4.1 Hasil

Page 27: Bab 5 yumi

27

Hasil penelitian ini meliputi analisa gradasi butiran pasir untuk material

penghamparan dasar sungai, perhitungan karakteristik aliran dan pengukuran

kedalaman gerusan serta distribusi gerusan.

4.1.1 Analisa gradasi butiran

Pemeriksaan gradasi dilakukan di Laboratorium Mekanika

Tanah Jurusan Teknik Sipil Universitas Syiah Kuala. Pasir yang

digunakan sebagai material dasar sungai di dalam penelitian ini

adalah pasir lolos saringan ASTM no. 4 dan tertahan pada no. 200.

Tabel hasil analisa gradasi butiran pasir dapat dilihat pada

Lampiran B, Tabel B.4.1 halaman 67. Sedangkan hubungan antara

diameter butiran dan persentase kelulusan untuk jelasnya dapat

dilihat pada Gambar 4.1. Dari grafik tersebut diketahui bahwa

diameter rata – rata (d50) adalah 0.37945 mm. Sedangkan ntuk nilai

d16 diperoleh 0.195 dan d84 sebesar 1.516, sehingga diperoleh nilai

g=2.786. Hasil perhitungan analisa gradasi butiran pasir halus ini

dapat dilihat pada Lampiran C.4.1 halaman 78. Berdasarkan hasil

perhitungan diperoleh nilai o=14.715 N/m2 dan nilai c = 0.235 N/m2. Karena nilai

tegangan geser dasar (o) lebih besar dari tegangan geser kritis butiran (c), maka

butiran pasir tersebut bergerak sehingga analisa gerusan dapat dilakukan.

26

Page 28: Bab 5 yumi

28

0.01 0.1 1 10 1000

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Diameter (mm)

Persen Lulus (%)

4.1.2 Karakteristik aliran

Pada penelitian karakteristik aliran tahap pertama dilakukan running dengan

menggunakan abutmen. Air dari bak penampungan dialirkan menuju flume dengan

menggunakan pintu Thompson. Kran yang terpasang pada pipa digunakan untuk

mengatur debit air yang masuk agar mencapai ketinggian 30 cm atau 0.3 m. Dari

proses ini diperoleh tinggi peluapan pada pintu Thompson adalah 8 cm, sehingga

diperoleh debit aliran sebesar 0.00265 m3/s.

Untuk menghitung kecepatan aliran digunakan metode dua titik. Hal ini

dikarenakan kedalaman aliran 0.25 m < h < 0.5 m. Dari perhitungan ini diperoleh

kecepatan aliran rata – rata pada flume sebesar 0.0375 m/s. Tahap berikutnya

dilakukan perhitungan dengan data – data yang diperoleh untuk menentukan perilaku

aliran pada flume. Aliran air yang terjadi pada flume merupakan aliran air pada

saluran terbuka. Oleh karena itu, untuk menentukan perilaku aliran yang terjadi dapat

digunakan dua persamaan, yaitu persamaan bilangan Reynolds dan persamaan

Page 29: Bab 5 yumi

29

bilangan Froude. Aliran melalui saluran terbuka akan turbulen apabila angka

Reynolds (Re) > 1000, dan laminer apabila Re < 500. Sedangkan aliran akan disebut

sub kritis apabila Fr < 1, kritis apabila Fr = 1 dan super kritis apabila Fr > 1.

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai untuk bilangan Reynolds ( Re) = 11250

( Re > 1000) dan bilangan Froude ( Fr) = 0.02 ( Fr < 1). Sehingga dapat

diklasifikasikan bahwa aliran yang terjadi pada flume termasuk aliran turbulen sub

kritis. Untuk lebih jelasnya semua perhitungan karakteristik aliran ini dapat dilihat

pada Lampiran C, Perhitungan C.4.2 halaman 80.

4.1.3 Kedalaman gerusan di sekitar abutmen

Gerusan di sekitar abutmen ini diukur pada 4 titik pengamatan dengan

menggunakan point gauge. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kedalaman

gerusan terbesar terjadi pada abutmen dengan sudut 40° yaitu 58.33 mm dan

kedalaman gerusan terkecil terjadi pada abutmen dengan sudut 60° yaitu 40.3 mm.

Sedangkan untuk sudut 45°, 75° dan 90° nilainya berturut- turut adalah 53.33 mm, 50

mm dan 50.7 mm Hasil pengukuran kedalaman gerusan maksimum yang terjadi di

berbagai variasi sudut abutmen tipe wing-wall dapat dilihat pada Tabel 4.1 di bawah

ini.

Tabel 4.1 Hasil Pengukuran Kedalaman Gerusan Maksimum

JUMLAH RUNNING

KEDALAMAN GERUSAN PADA VARIASI SUDUT ABUTMEN TIPE WING-WALL (Ys)

Gambar 4.2. Gerusan di Sekitar Abutmen Diukur Pada 4 Titik Pengamatan (Tampak Atas)

Page 30: Bab 5 yumi

30

40⁰ 45⁰ 60⁰ 75⁰ 90⁰

Run 1 60 55 50 50 55

Run 2 60 50 45 50 54

Run 3 55 55 43 50 45

Run Rata -rata 58.33 53.33 40.3 50 50.7

Keterangan : Nilai dalam satuan mm

4.1.4Distribusi gerusan di sekitar abutmen

Distribusi dan kedalaman gerusan diukur pada 55 titik di daerah

pengamatan sekitar abutmen. Proses pengukuran gerusan di

sekitar abutmen ini menggunakan alat point gauge dan dengan

alat bantu grid. Hasil pengukuran distribusi gerusan untuk berbagai

variasi sudut akan diuraikan di bawah ini.

a. Distribusi gerusan pada abutmen tipe wing-wall dengan sudut

40°

Pengukuran gerusan di sekitar abutmen dengan

menggunakan point gauge menghasilkan titik-titik kedalaman

gerusan (arah z) dengan tiap koordinat arah x dan y pada dasar

saluran. Hasil pengukuran gerusan pada 55 titik disekitar abutmen

disajikan pada Lampiran B, Tabel B.4.2.4 halaman 69.

Hasil analisa distribusi gerusan akan ditampilkan dalam

bentuk kontur pola gerusan disekitar abutmen yang dapat dilihat pada Gambar

4.3 dan Gambar 4.4. Dari kontur pola gerusan ini dapat dilihat

dengan lebih jelas letak kedalaman gerusan maksimum.

Page 31: Bab 5 yumi

31

Gambar 4.3 Distribusi Pola Gerusan Pada Abutmen Tipe Wing-Wall Sudut 40° Pada Running Rata - Rata Bentuk 2D

Gambar 4.4 Distribusi Pola Gerusan Pada Abutmen Tipe Wing-Wall Sudut 40° Pada Running Rata - Rata Bentuk 3D

Page 32: Bab 5 yumi

32

Gerusan yang terjadi di sekitar abutmen adalah akibat sistem pusaran (vortex

system) yang timbul karena aliran dirintangi oleh abutmen. Sistem pusaran

menyebabkan lubang gerusan (scour hole), yang berawal dari sebelah hulu abutmen

yaitu pada saat mulai timbul komponen aliran dengan arah aliran ke bawah, karena

aliran yang datang dari hulu dihalangi oleh abutmen, maka aliran akan berubah arah

menjadi arah vertikal menuju dasar saluran dan sebagian berbelok arah menuju

depan abutmen selanjutnya diteruskan ke hilir. Aliran arah vertikal akan terus

menuju dasar yang selanjutnya akan membentuk pusaran. Di dekat dasar saluran

komponen aliran berbalik arah vertikal ke atas. Peristiwa ini akan diikuti dengan

terbawanya material dasar sehingga terbentuk aliran spiral yang akan menyebabkan

gerusan dasar. Hal ini akan terus berlanjut hingga tercapai keseimbangan.

Dari gambar kontur pola gerusan pada abutmen tipe wing-wall dengan sudut

40° di atas dapat diperoleh panjang dan lebar lubang gerusan yang dihasilkan adalah

253.5 mm dan 90.1 mm. Bentuk kontur yang tidak beraturan dengan perkembangan

gerusan terbesar terjadi pada titik pengamatan 1 pada sisi depan abutmen bagian

hulu. Perkembangan gerusan terkecil terjadi pada titik pengamatan 4 pada sisi

belakang abutmen bagian hilir.

Sedangkan potongan melintang dan memanjang gerusan abutmen sudut 40°

dapat dilihat pada Gambar 4.5 berikut.

a. Potongan A – A’ b. Potongan B – B’

Gambar 4.5 Potongan Melintang dan Memanjang Gerusan Pada Abutmen Tipe Wing-Wall Sudut 40° Pada Running Rata - Rata

Page 33: Bab 5 yumi

33

Dari gambar potongan melintang dan memanjang di atas

dapat dilihat bahwa kedalaman maksimum gerusan yang terjadi

adalah 58.3 mm. Dari potongan B – B’, terlihat bagian yang paling

tergerus adalah di sekitar abutmen, yaitu pada titik pengamatan 1

– 4.

b. Distribusi gerusan pada abutmen tipe wing-wall dengan sudut

45°

Pengukuran gerusan di sekitar abutmen dengan

menggunakan point gauge menghasilkan titik-titik kedalaman

gerusan (arah z) dengan tiap koordinat arah x dan y pada dasar

saluran. Hasil pengukuran gerusan pada 55 titik disekitar abutmen

disajikan pada Lampiran B, Tabel B.4.3.4 halaman 71.

Hasil analisa distribusi gerusan akan ditampilkan dalam

bentuk kontur pola gerusan disekitar abutmen yang dapat dilihat pada Gambar

4.6 dan Gambar 4.7. Dari kontur pola gerusan ini dapat dilihat

dengan lebih jelas letak kedalaman gerusan maksimum.

Gambar 4.6 Distribusi Pola Gerusan Pada Abutmen Tipe Wing-Wall Sudut 45° Pada Running Rata – Rata Bentuk 2D

Page 34: Bab 5 yumi

34

Dari gambar kontur pola gerusan pada abutmen tipe wing-wall dengan sudut

45° di atas dapat diperoleh panjang dan lebar lubang gerusan yang dihasilkan adalah

325.1 mm dan 191.2 mm. Bentuk kontur yang tidak beraturan dengan perkembangan

gerusan terbesar terjadi pada titik pengamatan 1 pada sisi depan abutmen bagian

hulu. Perkembangan gerusan terkecil terjadi pada titik pengamatan 4 pada sisi

belakang abutmen bagian hilir.

Sedangkan potongan melintang dan potongan memanjang

gerusan abutmen sudut 45° dapat dilihat pada Gambar 4.8

berikut.

Gambar 4.7 Distribusi Pola Gerusan Pada Abutmen Tipe Wing-Wall Sudut 45° Pada Running Rata – Rata Bentuk 3D

Page 35: Bab 5 yumi

35

Dari gambar potongan melintang dan memanjang di atas

dapat dilihat bahwa kedalaman maksimum gerusan yang terjadi

adalah 53.3 mm. Dari potongan B – B’, terlihat bagian yang paling

tergerus adalah di sekitar abutmen, yaitu pada titik pengamatan 1

– 4.

c. Distribusi gerusan pada abutmen tipe wing-wall dengan sudut

60°

Pengukuran gerusan di sekitar abutmen dengan

menggunakan point gauge menghasilkan titik-titik kedalaman

gerusan (arah z) dengan tiap koordinat arah x dan y pada dasar

saluran. Hasil pengukuran gerusan pada 55 titik disekitar abutmen

disajikan pada Lampiran B, Tabel B.4.4.4 halaman 73.

Hasil analisa distribusi gerusan akan ditampilkan dalam

bentuk kontur pola gerusan disekitar abutmen yang dapat dilihat pada Gambar

4.9 dan Gambar 4.10. Dari kontur pola gerusan ini dapat dilihat

dengan lebih jelas letak kedalaman gerusan maksimum.

a. Potongan A – A’b. Potongan B – B’

Gambar 4.8 Potongan Melintang dan Memanjang Gerusan Pada Abutmen Tipe Wing-Wall Sudut 45° Pada Running Rata - Rata

Page 36: Bab 5 yumi

36

Dari gambar kontur pola gerusan pada abutmen tipe wing-wall dengan sudut

60° di atas dapat diperoleh panjang dan lebar lubang gerusan yang dihasilkan adalah

264.9 mm dan 180 mm. Bentuk kontur yang tidak beraturan dengan perkembangan

gerusan terbesar terjadi pada titik pengamatan 1 pada sisi depan abutmen bagian

hulu. Perkembangan gerusan terkecil terjadi pada titik pengamatan 4 pada sisi

belakang abutmen bagian hilir.

Sedangkan potongan melintang dan potongan memanjang

gerusan abutmen sudut 60° dapat dilihat pada Gambar 4.11

berikut.

Gambar 4.9 Distribusi Pola Gerusan Pada Abutmen Tipe Wing-Wall Sudut 60° Pada Running Rata - Rata Bentuk 2D

Gambar 4.10 Distribusi Pola Gerusan Pada Abutmen Tipe Wing-Wall Sudut 60° Pada Running Rata - Rata Bentuk 3D

Page 37: Bab 5 yumi

37

Dari gambar potongan melintang dan memanjang di atas

dapat dilihat bahwa kedalaman maksimum gerusan yang terjadi

adalah 53.3 mm. Dari potongan B – B’, terlihat bagian yang paling

tergerus adalah di sekitar abutmen, yaitu pada titik pengamatan 1

– 4.

d. Distribusi gerusan pada abutmen tipe wing-wall dengan sudut

75°

Pengukuran gerusan di sekitar abutmen dengan

menggunakan point gauge menghasilkan titik-titik kedalaman

gerusan (arah z) dengan tiap koordinat arah x dan y pada dasar

saluran. Hasil pengukuran gerusan pada 55 titik disekitar abutmen

disajikan pada Lampiran B, Tabel B.4.5.4 halaman 75.

Hasil analisa distribusi gerusan akan ditampilkan dalam

bentuk kontur pola gerusan disekitar abutmen yang dapat dilihat pada Gambar

4.12 dan Gambar 4.13. Dari kontur pola gerusan ini dapat dilihat

dengan lebih jelas letak kedalaman gerusan maksimum.

a. Potongan A – A’ b. Potongan B – B’

Gambar 4.11 Potongan Melintang dan Memanjang Gerusan Pada Abutmen Tipe Wing-Wall Sudut 60° Pada Running Rata - Rata

Page 38: Bab 5 yumi

38

Dari gambar kontur pola gerusan pada abutmen tipe wing-wall dengan sudut

75° di atas dapat diperoleh panjang dan lebar lubang gerusan yang dihasilkan adalah

212.5 mm dan 177.6 mm. Bentuk kontur yang tidak beraturan dengan perkembangan

gerusan terbesar terjadi pada titik pengamatan 1 pada sisi depan abutmen bagian

Gambar 4.12 Distribusi Pola Gerusan Pada Abutmen Tipe Wing-Wall Sudut 75° Pada Running Rata - Rata Bentuk 2D

Gambar 4.13 Distribusi Pola Gerusan Pada Abutmen Tipe Wing-Wall Sudut 75° Pada Running Rata - Rata Bentuk 3D

Page 39: Bab 5 yumi

39

hulu. Perkembangan gerusan terkecil terjadi pada titik pengamatan 4 pada sisi

belakang abutmen bagian hilir.

Sedangkan potongan melintang dan potongan

memanjangnya dapat dilihat pada Gambar 4.14 berikut.

Dari gambar potongan melintang dan memanjang di atas

dapat dilihat bahwa kedalaman maksimum gerusan yang terjadi

adalah 50 mm. Dari potongan B – B’, terlihat bagian yang paling

tergerus adalah bagian di sekitar abutmen, yaitu pada titik

pengamatan 1 – 4.

e. Distribusi gerusan pada abutmen tipe wing-wall dengan sudut

90°

Pengukuran gerusan di sekitar abutmen dengan

menggunakan point gauge menghasilkan titik-titik kedalaman

gerusan (arah z) dengan tiap koordinat arah x dan y pada dasar

saluran. Hasil pengukuran gerusan pada 55 titik disekitar abutmen

disajikan pada Lampiran B, Tabel B.4.6.4 halaman 77.

Hasil analisa distribusi gerusan akan ditampilkan dalam

bentuk kontur pola gerusan disekitar abutmen yang dapat dilihat pada Gambar

a. Potongan A – A’ b. Potongan B – B’

Gambar 4.14 Potongan Melintang dan Memanjang Gerusan Pada Abutmen Tipe Wing-Wall Sudut 75° Pada Running Rata - Rata

Page 40: Bab 5 yumi

40

4.15 dan Gambar 4.16. Dari kontur pola gerusan ini dapat dilihat

dengan lebih jelas letak kedalaman gerusan maksimum.

Gambar 4.15 Distribusi Pola Gerusan Pada Abutmen Tipe Wing-Wall Sudut 90° Pada Running Rata - Rata Bentuk 2D

Gambar 4.16 Distribusi Pola Gerusan Pada Abutmen Tipe Wing-Wall Sudut 90° Pada Running Rata - Rata Bentuk 3D

Page 41: Bab 5 yumi

41

Dari gambar kontur pola gerusan pada abutmen tipe wing-wall dengan sudut

90° di atas dapat diperoleh panjang dan lebar lubang gerusan yang dihasilkan adalah

279.4 mm dan 163.1 mm. Bentuk kontur yang tidak beraturan dengan perkembangan

gerusan terbesar terjadi pada titik pengamatan 1 pada sisi depan abutmen bagian

hulu. Perkembangan gerusan terkecil terjadi pada titik pengamatan 4 pada sisi

belakang abutmen bagian hilir.

Sedangkan potongan melintang dan potongan

memanjangnya dapat dilihat pada Gambar 4.17 berikut.

Dari gambar potongan melintang dan memanjang di atas

dapat dilihat bahwa kedalaman maksimum gerusan yang terjadi

adalah 50.7 mm. Dari potongan B – B’, terlihat bagian yang paling

tergerus adalah bagian di sekitar abutmen, yaitu pada titik

pengamatan 1 – 4.

4.2 Pembahasan

Hasil analisa penelitian menunjukkan bahwa kedalaman gerusan yang paling

besar terjadi pada abutmen dengan sudut terkecil yaitu sudut 40°. Sedangkan

kedalaman gerusan terkecil terjadi pada abutmen dengan sudut 60°. Gerusan

maksimum pada abutmen jembatan ini terjadi pada awal – awal pengaliran air

sehingga dicapai kondisi stabil. Nilai kedalaman gerusan yang terjadi pada setiap

a. Potongan A – A’ b. Potongan B – B’

Gambar 4.17 Potongan Melintang dan Memanjang Gerusan Pada Abutmen Tipe Wing-Wall Sudut 90° Pada Running Rata - Rata

Page 42: Bab 5 yumi

42

sudut telah diberikan pada Tabel 4.1 sebelumnya. Hubungan variasi sudut abutmen

terhadap kedalaman gerusan maksimum yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 4.18.

Selanjutnya dari penelitian terdahulu telah diberikan nilai koefisien (K1)

untuk abutmen tipe wing-wall dengan sudut 45° yaitu sebesar 0.75. Perhitungan nilai

koefisien abutmen (K1) untuk sudut 40°, 60°,75° dan 90° dilakukan dengan cara

membandingkan nilai kedalaman gerusan maksimum yang terjadi pada masing-

masing sudut dengan kedalaman gerusan maksimum pada sudut 45° dan dikalikan

dengan 0.75. Perhitungan ini dapat dilihat pada Lampiran C Perhitungan C.4.3

Halaman 82. Nilai koefisien (K1) tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.2 di bawah ini.

Tabel 4.2 Nilai Kofisien Bentuk Abutmen (K1)

Sudut Abutmen Tipe Wing-wall

Kedalaman Gerusan

Maksimum (Ys)Koefisien Bentuk

Abutmen (K1)40° 58.33 0.8245° 53.33 0.7560° 40.3 0.57

Gambar 4.18 Grafik Hubungan Kedalaman Gerusan Dengan Variasi Sudut

Page 43: Bab 5 yumi

43

75° 50 0.790° 50.7 0.71

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa abutmen tipe wing-wall dengan

sudut 60° merupakan tipe yang terbaik untuk mengurangi perilaku gerusan lokal

yang terjadi di sekitar abutmen jembatan. Hal ini dikarenakan sudut 60°

menghasilkan K1 = 0.57 yang lebih kecil dari 0.75.

Dari nilai koefisien bentuk abutmen (K1) untuk setiap sudut abutmen diatas

maka dapat dilakukan perhitungan kedalaman gerusan dengan menggunakan rumus

Froehlich’s (1989). Hasil perhitungan ini dapat dilihat pada Lampiran C Perhitungan

C.4.4 – C.4.8 halaman 83.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil pengukuran yang didapat dari penelitian maka dapat

diambil beberapa kesimpulan dan saran seperti uraian berikut ini.

5.1 Kesimpulan

Page 44: Bab 5 yumi

44

Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya dapat

diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Penelitian menggunakan tiga variasi debit aliran yaitu 2,257 l/dt, 3,086 l/dt dan

4,075 l/dt dengan kemiringan baffle block vertikal, 1:1, 1:1,25, dan 1:1,5.

2. Berdasarkan bilangan Froude, aliran yang terjadi di hilir bukaan

pintu termasuk aliran super kritis.

3. Berdasarkan pengukuran parameter aliran, kedalaman air sebelum loncatan

hidrolis (y1) menunjukkan nilai yang relatif konstan. Sedangkan kedalaman air

sesudah loncatan hidrolis dan panjang loncatan hidrolis cenderung meningkat

seiring bertambahnya debit aliran.

4. Secara umum kedalaman gerusan berbanding lurus terhadap kecepatan,

kedalaman air sesudah loncatan hidrolis dan panjang loncatan hidrolis.

5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penempatan baffle block pada apron

berpengaruh terhadap kedalaman gerusan yang terjadi. Gerusan yang terjadi di

hilir peredam energy pada model baffle block vertikal memberi reduksi sebesar

69%, 68%, 58% untuk ketiga variasi debit dibandingkan dengan model tanpa

ambang peredam energi.

6. Baffle block dengan kemiringan vertikal memberi reduksi terbesar dibandingkan

kemiringan baffle block lainnya.

7. Pola gerusan yang terjadi pada semua variasi debit aliran dan kemiringan baffle

block menunjukkan pola yang relatif sama, meskipun memilik kedalaman

gerusan yang berbeda-beda.

5.2 Saran

Dari hasil analisa pengolahan data dan kesimpulan yang diperoleh maka

disarankan sebagai berikut :

1. Perlu dilakukan penelitian lain dengan variasi yang berbeda seperti variasi

panjang apron, pola aliran, model pemecah energy, dan material dasar agar

mendapatkan hasil yang lebih sempurna.

Page 45: Bab 5 yumi

45

2. Hasil penelitian ini memeperlihatkan hubungan antara kedalaman gerusan

dengan factor-faktor yang mempengaruhinya sehingga masih perlu dikaji

lebih lanjut dan dikembangkan lagi sehingga dapat menjangkau beberapa

kemungkinan yang terjadi dalam praktek lapangan.

.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Abdurrosyid, J dan Fatchan, A.K, 2004, Gerusan di Sekitar Abutmen dan

Pengendaliannya Pada Kondisi Ada Angkutan Sedimen Untuk Saluran

Berbentuk Majemuk. Penelitian, Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik

Universitas Muhammadiyah, Surakarta.

Page 46: Bab 5 yumi

46

2. Affandi, M.R, 2007, Pengaruh Kedalaman Aliran Terhadap Perilaku Gerusan

Lokal di Sekitar Abutmen Jembatan. Tugas Akhir. UNNES, Semarang.

3. Barbhuiya, A.K and Dey, Subhasish, Local Scour at Abutmens : A Review,

Shadhana Vol. 29, Part 5, October 2004, pp. 449–476.

4. Boiten, W., 2003, Hydrometri, Swets & Zeitlinger B.V, Lisse.

5. Breuser. H.N.C. and Raudkivi. A.J. 1991. Scouring. IAHR Hydraulic

Structure Design Manual AA Balkema, Rotterdam

6. Chow, V. T., 1997, Hidrolika Saluran Terbuka, terjemahan E. V. N. Rosalina,

Penerbit Erlangga, Jakarta.

7. Hanwar, S. 1999. Gerusan Lokal di Sekitar Abutmen Jembatan. Tesis PPS

UGM, Yogyakarta.

8. Husain et al, 1998, Local Scour at Bridge Abutmens, JKAU : Eng.Sci., Vol

10, no 1, Hal 141 – 153.

9. Mark, M., 2009, H ydraulic Design Manual , (http:onlinemanuals.txt.

dot.gov/txtdotmanuals/hyd/flood_hydrograph_routing_method.html, 9 April

2009).

10. Melville, B.W. and Hadfield, A.C., 1999. Use of Sacrificial Piles as Pier

Scour Countermeasures. Journal of Hydraulic Engineering ,Vol 125, No. 11,

pp. 1221-1224. ASCE, New York.

11. Kironoto, B.A. and Graf, W.H., 1995. Turbulence Characteristics in Rough

Uniform Open-Channel Flow. Journal of Water Maritime and Energy , Vol.

112, Issue 4, London.

12. Richardson, E.V and S.R. Davis (1995), Evaluating scour at Bridges,

Hydraulic Engineering Circular No. 18 (HEC-18), Publication No. FHWA-

IP-90-017, Third Edition, Federal Highway Administration, Washington,

D.C.

13. Santoso, F., 2009, Tinjauan bangunan Bawah (Abutmen) Jembatan Karang

Kecamatan Karang Pandan Kabupaten Karanganyar, Tugas Akhir Program

Diploma Tiga, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas

Maret, Surakarta.

44

Page 47: Bab 5 yumi

47

14. Triatmodjo, B., 1996, Hidraulika I, Edisi ke dua, Penerbit Beta Offset,

Yogyakarta.

15. Triatmodjo, B., 2003, Hidraulika II, Edisi ke tiga, Penerbit Beta Offset,

Yogyakarta.

16. Triatmodjo, B., 2008, Hidrologi Terapan, Cetakan Pertama, Penerbit Beta

Offset, Yogyakarta.

17. Wibowo, O.M., Pengaruh Arah Aliran Terhadap Gerusan Lokal, Tugas

Akhir, UNNES, Semarang.

18. Widyaningtias, 2008, Perbandingan Gerusan Lokal Yang Terjadi di Sekitar

Abutmen D inding Vertika l Tanpa Sayap dan Dengan sayap Pada Model

Saluran Lurus, Tikungan 90ᵒ dan 180ᵒ, Master Thesis ITB, Bandung.

19. Zaidun, E.R., Gerusan Yang Terjadi di sekitar Abutmen Bersayap Pada

Jembatan, Tugas Akhir S1, ITB, Bandung.

LAMPIRAN A

Page 48: Bab 5 yumi

Gambar A.2.1 Grafik Shield

Permasalahan

Persiapan dan pengadaan bahan :AirModel abutmen jembatanPasir halus dan kerikil

Persiapan alat penelitianPompa airPoint gaugeBak penampunganGrid dan kawat kasaPeluap segitiga (Pintu Thompson)

Studi literatur

Mulai

48

LAMPIRAN A

Page 49: Bab 5 yumi

49

LAMPIRAN A

Gambar A.3.1 Bagan Alir Penelitian

Ya

Page 50: Bab 5 yumi

50

Gambar A.3.2 Flume penelitian