BAB I PENDAHULUAN Jembatan merupakan salah satu prasarana transportasi yang strategis bagi pergerakan lalu lintas. Jembatan adalah istilah umum untuk suatu konstruksi yang dibangun sebagai jalur transportasi yang melintasi sungai, danau, rawa, maupun rintangan lainnya. Jika jembatan berada di atas jalan lalu lintas biasa maka dinamakan viaduct (Santoso, 2009 : 1). Dalam perancangan suatu konstruksi jembatan ada beberapa aspek yang harus diperhitungkan, seperti letak jembatan, aspek hidraulik sungai serta bentuk abutmen yang akan memberikan pola aliran di sekitarnya. Struktur jembatan umumnya terdiri dari dua bangunan penting, yaitu struktur bangunan atas dan struktur bangunan bawah. Salah satu struktur utama bangunan bawah jembatan adalah abutmen jembatan yang selalu berhubungan langsung dengan aliran sungai. Affandi (2007 : 2) menyebutkan gerusan (scouring) merupakan suatu proses alamiah yang terjadi di sungai akibat pengaruh morfologi sungai (dapat berupa tikungan atau bagian penyempitan aliran sungai) atau adanya bangunan air (hydraulic structure) seperti: jembatan, bendung, pintu air, dan lain-lain. Hal ini disebabkan aliran 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Jembatan merupakan salah satu prasarana transportasi yang strategis bagi
pergerakan lalu lintas. Jembatan adalah istilah umum untuk suatu konstruksi yang
dibangun sebagai jalur transportasi yang melintasi sungai, danau, rawa, maupun
rintangan lainnya. Jika jembatan berada di atas jalan lalu lintas biasa maka
dinamakan viaduct (Santoso, 2009 : 1).
Dalam perancangan suatu konstruksi jembatan ada beberapa aspek yang harus
diperhitungkan, seperti letak jembatan, aspek hidraulik sungai serta bentuk abutmen
yang akan memberikan pola aliran di sekitarnya. Struktur jembatan umumnya terdiri
dari dua bangunan penting, yaitu struktur bangunan atas dan struktur bangunan
bawah. Salah satu struktur utama bangunan bawah jembatan adalah abutmen
jembatan yang selalu berhubungan langsung dengan aliran sungai.
Affandi (2007 : 2) menyebutkan gerusan (scouring) merupakan suatu proses
alamiah yang terjadi di sungai akibat pengaruh morfologi sungai (dapat berupa
tikungan atau bagian penyempitan aliran sungai) atau adanya bangunan air
(hydraulic structure) seperti: jembatan, bendung, pintu air, dan lain-lain. Hal ini
disebabkan aliran saluran terbuka mempunyai permukaan bebas (free surface).
Kondisi aliran saluran terbuka berdasarkan pada kedudukan permukaan bebasnya
cenderung berubah sesuai waktu dan ruang, disamping itu ada hubungan
ketergantungan antara kedalaman aliran, debit air, kemiringan dasar saluran dan
permukaan saluran bebas itu sendiri.
Adanya bangunan air menyebabkan perubahan karakteristik aliran seperti
kecepatan dan atau turbulensi sehingga menimbulkan perubahan transpor sedimen
dan terjadinya gerusan. Adanya abutmen jembatan akan menyebabkan perubahan
pola aliran sungai dan terbentuknya aliran tiga dimensi di sekitar abutmen tersebut.
Perubahan pola aliran tersebut akan menimbulkan terjadinya gerusan lokal (local
scouring) di sekitar konstruksi abutmen. Proses terjadinya gerusan lokal biasanya
dipicu oleh tertahannya angkutan sedimen yang dibawa bersama aliran oleh struktur
1
2
bangunan dan peningkatan turbulensi aliran akibat gangguan suatu struktur (Affandi,
2007 : 2).
Abutmen merupakan bangunan jembatan yang terletak di pinggir sungai,
yang dapat mengakibatkan perubahan pola aliran. Bangunan seperti abutmen
jembatan selain dapat merubah pola aliran juga dapat menimbulkan perubahan
bentuk dasar saluran seperti penggerusan. Gerusan lokal yang terjadi pada abutmen
biasanya terjadi gerusan pada bagian hulu abutmen dan pada proses deposisi pada
bagian hilir abutmen (Hanwar, 1999 : 5).
Banyak kasus-kasus yang terjadi mengenai runtuhnya bangunan jembatan
bukan hanya disebabkan oleh faktor konstruksi saja, namun persoalan gerusan di
sekitar abutmen jembatan juga bisa menjadi penyebab lain. Hal ini disebabkan
karena proses gerusan yang terjadi secara terus menerus sehingga terjadi penurunan
pada pangkal abutmen. Oleh karena itu, dampak dari gerusan lokal harus diwaspadai
karena dapat berpengaruh pada penurunan stabilitas keamanan bangunan air.
Mengingat begitu kompleks dan pentingnya permasalahan di atas, kajian tentang
gerusan lokal di sekitar abutmen jembatan yang terdapat pada sungai perlu mendapat
perhatian secara khusus, sehingga nantinya dapat diketahui mengenai pola gerusan
dan kedalaman gerusan yang terjadi.
Berbagai penelitian terdahulu telah dilakukan untuk melihat besarnya
kedalaman gerusan lokal pada abutmen jembatan. Affandi (2007), meneliti pengaruh
kedalaman aliran terhadap kedalaman gerusan pada abutmen tipe semi-circular-end.
penelitian ini menggunakan alat flume dengan kondisi aliran seragam pada beberapa
variasi kedalaman aliran yang dicoba. Hasil penelitian menunjukkan gerusan
maksimum terjadi pada sisi samping bagian depan abutmen sebelah hulu.
Perkembangan gerusan terkecil terjadi pada bagian belakang abutmen sebelah hulu
maupun hilir. Kedalaman aliran berpengaruh terhadap kedalaman gerusan, semakin
bertambah kedalaman aliran maka gerusan yang terjadi semakin kecil. pola gerusan
yang terjadi di semua abutmen dengan berbagai kedalaman aliran relatif sama
meskipun dengan lebar dan kedalaman gerusan yang berbeda. Zaidun (2008),
meneliti gerusan yang terjadi di sekitar abutmen bersayap (wing-wall) dengan sudut
45º. Penelitian ini dilakukan pada kondisi jembatan tanpa tikungan dengan jembatan
3
tikungan 90º dan 180º. Hasil penelitian menunjukkan turbulensi aliran menjadi lebih
besar pada segmen abutmen yang memiliki tikungan karena adanya penyempitan
lebar saluran yang mengakibatkan pada segmen ini terjadi gerusan yang cukup besar
di bandingkan dengan segmen lainnya. Perubahan gerusan terbesar terjadi saat
pengaliran jam-jam pertama di awal pengaliran, dan untuk jam selanjutnya relatif
konstan atau tidak memberikan perubahan yang signifikan. Dari berbagai penelitian
mengenai pengaruh kedalaman gerusan sebelumnya, belum adanya penelitian yang
memberikan perlakuan variasi sudut yang berbeda terhadap model abutmen tipe
wing-wall. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya kedalaman
gerusan dan pola gerusan yang terjadi pada abutmen jembatan tipe wing–wall dengan
sudut 40º, 45º, 60º, 75º dan 90º sehingga diperoleh nilai koefisien bentuk abutmen
(K1) untuk sudut selain 45°.
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Hidraulika Model Teknik Sungai
dan Pantai, Fakultas Teknik. Perilaku gerusan akan diselidiki melalui model abutmen
tipe wing-wall dengan variasi sudut yang berbeda-beda. Model abutmen ini dibuat
menggunakan kayu dengan panjang 12 cm, tebal 4,5 cm, dan tinggi 80 cm dengan
berbagai variasi sudut, yaitu sudut 40º, 45º, 60º, 75º dan 90º.
Berdasarkan hasil pengukuran yang telah dilakukan, diperoleh gerusan
terbesar terjadi pada abutmen dengan sudut 40° yaitu sebesar 58.33 mm, dan gerusan
terkecil terjadi pada sudut 60° sebesar 40.3 mm. Sedangkan untuk sudut 45°, 75° dan
90° nilainya berturut- turut adalah 53.33 mm, 50 mm dan 50.7 mm.
Dari hasil di atas dapat diperoleh nilai koefisien bentuk abutmen (K1) untuk
sudut 40°, 60°, 75° dan 90° berturut – turut adalah 0.82, 0.57, 0.70 dan 0.71.
Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan sudut pada
abutmen tipe wing-wall memberikan pengaruh terhadap kedalaman gerusan dan pola
gerusan yang terjadi di sekitar abutmen jembatan.
4
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Gerusan
Gerusan adalah merupakan erosi pada dasar dan tebing saluran alluvial
(Hoffmans and Verheji, 1997) dalam Zaidun (2008:II-14) . Gerusan merupakan
proses semakin dalamnya dasar sungai karena interaksi antara aliran dengan material
dasar sungai. Proses penggerusan akan terjadi secara alami, baik karena pengaruh
morfologi sungai seperti tikungan sungai atau penyempitan aliran sungai, atau
pengaruh bangunan hidraulika yang menghalangi aliran seperti abutmen jembatan
(Legono, 1990) dalam Zaidun (2008:II-14).
2.1.1 Pengertian gerusan
Menurut Laursen (1952) dalam Wibowo (2007:10), gerusan didefinisikan
sebagai perubahan dari suatu aliran yang disertai pemindahan material melalui aksi
gerakan fluida. Perbedaan tipe gerusan yang diberikan oleh Raudkivi dan Ettema
(1982) dalam Wibowo (2007:10) adalah sebagai berikut:
1. Gerusan umum di alur sungai, tidak berkaitan sama sekali dengan ada atau tidak
adanya bangunan sungai.
2. Gerusan dilokalisir di alur sungai, terjadi karena penyempitan aliran sungai
menjadi terpusat.
3. Gerusan lokal disekitar bangunan, terjadi karena pola aliran lokal di sekitar
bangunan sungai.
Gerusan dari jenis (2) dan (3) selanjutnya dapat dibedakan menjadi gerusan
dengan air bersih (clear water scour) maupun gerusan dengan air bersedimen (live
bed scour). Gerusan dengan air bersih berkaitan dengan suatu keadaan dimana dasar
sungai di sebelah hulu bangunan dalam keadaan diam (tidak ada material yang
terangkut) atau secara teoritik τo < τc. Sedangkan gerusan dengan air bersedimen
4
5
terjadi ketika kondisi aliran dalam saluran menyebabkan material dasar bergerak.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa tegangan geser pada saluran lebih besar dari nilai
kritiknya atau secara teoritik τo > τc.
2.1.2 Mekanisme gerusan
Menurut Yulistianto dkk. (1998) dalam Abdurrasyid (2005 : 37), gerusan
yang terjadi di sekitar abutmen jembatan adalah akibat sistem pusaran (vortex
system) yang timbul karena aliran dirintangi oleh bangunan tersebut. Sistem pusaran
yang menyebabkan lubang gerusan (scour hole), berawal dari sebelah hulu abutmen
yaitu pada saat mulai timbul komponen aliran dengan arah aliran ke bawah, karena
aliran yang datang dari hulu dihalangi oleh abutmen, maka aliran akan berubah arah
menjadi arah vertikal menuju dasar saluran dan sebagian berbelok arah menuju
depan abutmen selanjutnya diteruskan ke hilir. Aliran arah vertikal ini akan terus
menuju dasar yang selanjutnya akan membentuk pusaran. Di dekat dasar saluran
komponen aliran berbalik arah vertikal ke atas, peristiwa ini akan diikuti dengan
terbawanya material dasar sehingga terbentuk aliran spiral yang akan menyebabkan
gerusan dasar. Hal ini akan terus berlanjut hingga tercapai keseimbangan.
Kwan (1988) dan Kwan & Melville (1994) dalam Barbhuiya dan Dey (2004 :
449) menjelaskan bahwa primary vortex yang serupa dengan horse shoe vortex pada
pilar, bersama dengan down flow merupakan penyebab utama gerusan pada abutmen.
Inti dari primary vortex mengisi 17% bagian dari lubang gerusan dan menguasai 78%
dari sirkulasi aliran. Secondary vortex terjadi di dekat primary vortex dan diyakini
dapat memperkecil gerusan yang diakibatkan oleh primary vortex. Di hilir abutmen,
wake vortices terjadi karena adanya pemisahan aliran hulu dan aliran hilir pada sudut
abutmen. Wake vortices sedikit lebih lemah jika dibandingkan dengan primary
vortex. Wake vortices di hilir abutmen pada aliran utama berlaku seperti tornado
kecil dan mengangkat sedimen dari dasar saluran. Skema aliran vortex system dapat
diperlihatkan pada Gambar 2.1.
6
Gambar 2.1 Mekanisme Gerusan Akibat Pola Aliran Air di Sekitar Abutmen
(Sumber: Kwan (1988) dalam Barbhuiya dan Dey (2004 : 449))
Chabert dan Engeldinger (1956) dalam Affandi (2007 : 13) menyatakan
lubang gerusan yang terjadi pada alur sungai umumnya merupakan korelasi antara
kedalaman gerusan dengan kecepatan aliran sehingga lubang gerusan tersebut
merupakan fungsi waktu (Gambar 2.2). Sedangkan Breusers dan Raudkivi (1991 :
61) dalam Affandi (2007:13) menyatakan bahwa kedalaman gerusan maksimum
merupakan fungsi kecepatan geser (Gambar 2.3). Kesetimbangan kedalaman gerusan
dicapai pada daerah transisi antara livebed scour dan clear-water scour.
Gambar 2.2 Hubungan Kedalaman Gerusan (ys) Dengan Waktu
(Sumber : Breuser dan Raudkivi (1991:62) dalam Affandi (2007:14))
7
Gambar 2.3 Hubungan Kedalaman Gerusan (ys) Dengan Kecepatan Geser (u*)
(Sumber : Breuser dan Raudkivi (1991:62) dalam Affandi (2007:14))
Pada grafik diatas memperlihatkan bahwa kedalaman gerusan untuk clear
water scour dan live-bed scour merupakan fungsi dari kecepatan geser.
Kesetimbangan gerusan tergantung pada keadaan yang ditinjau yaitu gerusan dengan
air tanpa sedimen (clear-water scour) atau gerusan dengan air besedimen (live-bed
scour). Menurut Laursen (1952) dalam Affandi (2007 : 11), besar gerusan akan sama
selisihnya antara jumlah material yang ditranspor keluar daerah gerusan dengan
jumlah material yang ditranspor masuk ke dalam daerah gerusan. Kedalaman dan
besar gerusan ini (Husain et al, 1998 : 141) bergantung dari berbagai faktor seperti
kondisi aliran, bentuk dan ukuran abutmen, jarak antar abutmen atau jarak antara
abutmen dengan pilar, dan karaktreistik material dasar saluran tersebut.
2.1.3 Kedalaman gerusan
Kedalaman gerusan (Melville dan Coleman, 2000 : 192) dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu kecepatan aliran, kedalaman aliran (flow shallowness),
kekasaran material sedimen, lama gerusan, dan bilangan Froude (Fr). Raudkivi (1998
: 231) menyatakan bahwa berdasarkan data laboratorium kedalaman gerusan
maksimum terjadi pada kondisi gerusan tanpa transpor sedimen (clear water scour).
8
Bentuk tampang abutmen merupakan salah satu dari bentuk geometrik
abutmen. Bentuk ini dapat mempengaruhi pola aliran yang terjadi disekitar abutmen,
oleh karena itu perlu diperhitungkan tipe aliran yang terjadi dari bentuk tampang
abutmen terhadap gerusan lokal. Tipe aliran yang terjadi dapat dihitung dengan
rumus Bilangan Reynolds dan Bilangan Froude yang akan dijelaskan selanjutnya.
Ada beberapa metode yang digunakan untuk menghitung kedalaman gerusan
yang terjadi di sekitar abutmen. Richardson and Davis (1999) menyatakan persamaan
yang direkomendasikan dalam FHWA's Hydraulic Engineering Circular No. 18
(HEC-18) adalah persamaan Froehlich’s (1989) untuk L/y < 25 dan persamaan HIRE
(Richardson, Simon, dan Julien 1990) untuk L/y > 25. Bentuk umum persamaan
Froehlich’s (Richardson and Davis, 2001:7.8) adalah:
Y s
Y a
=2 .27 K1 K2(L'Ya
)0. 43 Fr10 . 61+1
………….…..........……….(2.1)
dengan :
K1 = koefisien akibat bentuk abutmen
K2 = koefisien akibat sudut abutmen terhadap aliran
L’ = panjang abutmen yang menghalangi aliran (m)
Ae = luas tampang aliran yang terhalang oleh abutmen (m2)
Fr = bilangan Froude aliran di hulu abutmen
Dimana, Fr = Ve/(gya) 1/2 ………………………………(2.2)
Ve = Qe / Ae (m/det) ……………………………(2.3)
dengan :
Qe = aliran yang terhalang oleh abutmen (m3/det)
Ya = kedalaman rata-rata aliran pada dataran banjir (m)
Ya = (Ae /L)
L = panjang abutmen normal terhadap aliran (m)
Ys = kedalaman gerusan (m)
9
Bentuk umum persamaan HIRE (Richardson and Davis, 2001:7.9)) adalah:
Y s
Y 1
=4 Fr10 .33[ K1
0. 55 ]K2 ………….…..........…………(2.4)
dengan :
K1 = koefisien akibat bentuk abutmen
K2 = koefisien akibat sudut abutmen terhadap aliran dihitung seperti pada
persamaan Froehlich
Fr = bilangan Froude aliran di hulu abutmen
Y1 = kedalaman aliran pada saluran utama (m)
Ys = kedalaman gerusan (m)
Untuk menghitung kedalaman gerusan (Ys), diperlukan nilai koefisien
abutmen akibat bentuk abutmen (K1). Nilai–nilai yang mempengaruhi koefisien K1
tersebut diperlihatkan pada Tabel 2.1 berikut :
Tabel 2.1. Faktor Bentuk Abutmen
(Sumber : Barbhuiya, A.K and Dey, S (2004 : 462)
10
Koefisien K2 adalah koefisien yang disebabkan oleh sudut peletakan abutmen
terhadap arah aliran. Dimana kekasarannya dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan yaitu :
K2 = (θ /90 )0. 13 …………………………………………. (2.5)
Ket : θ<90 jika abutmen mengarah ke hilir
θ>90 jika abutmen mengarah ke hulu
Gambar 2.4 Sudut Abutmen () Terhadap Aliran
(Sumber : Richardson and Davis (2001:7.6))
2.2 Gerakan Butiran Sedimen
Butiran sedimen yang ada di sungai pada umumnya tidak seragam, karena
variabel aliran seperti kedalaman, tampang basah, dan kecepatan di sepanjang sungai
tidak sama. Akibat adanya aliran air, timbul gaya-gaya yang bekerja pada material
sedimen. Gaya-gaya tersebut mempunyai kecenderungan untuk menggerakkan
butiran material sedimen. Pada waktu gaya-gaya yang bekerja pada butiran sedimen
mencapai suatu harga tertentu, sehingga apabila gaya ditambah akan menyebabkan
butiran sedimen bergerak, maka kondisi tersebut disebut kondisi kritik. Parameter
aliran pada kondisi tersebut, seperti tegangan geser dasar (τo), kecepatan aliran (V)
juga mencapai kondisi kritik (Kironoto (1997) dalam Affandi (2007 : 19)).
11
Tiga faktor yang berkaitan dengan awal gerak butiran sedimen yaitu :
1. kecepatan aliran dan diameter/ukuran butiran,
2. gaya angkat yang lebih besar dari gaya berat butiran, dan
3. gaya geser kritis
2.2.1 Gerakan Butiran Sedimen Berdasarkan Tegangan Geser (τ)
Distribusi ukuran partikel dalam Raudkivi (1991) dalam Affandi (2007 : 19)
dinyatakan dalam diameter rata-rata geometrik (d50), di mana standar geometri (σg)
adalah sebagai berikut :
…………………………………………………………………...(2.6)
Shield dalam Wibowo (2007:22) mengungkapkan suatu diagram untuk awal
gerak butiran pada material dasar seragam. Diagram ini menyatakan parameter
mobilitas kritis yang dinamakan parameter Shield. Diagram Shield ini dapat dilihat