BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (selanjutnya
disebut UUD Tahun 1945) Bab 1 Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa
'Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar'. Kedaulatan rakyat maksudnya adalah hak khusus
untuk menjalankan kewenangan tertinggi atas suatu wilayah atau
suatu kelompok orang, seperti negara atau daerah tertentu. Istilah
kedaulatan dalam bahasa Indonesia berarti kekuasaan atau dinasti
pemerintahan. Kedaulatan umumnya dijalankan oleh pemerintah atau
lembaga politik sebuah negara.
Pemilihan umum (disingkat Pemilu) adalah suatu kegiatan yang
memproses pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagaimana yang
dimaksudkan dalam UUD Tahun 1945 Bab 1 Pasal 1 ayat (2) tersebut di
atas. Hal ini sesuai dengan asas kedaulatan rakyat. Rakyat yang
menentukan kedaulatan yang dimilikinya. Dalam rangka pelaksanaan
hak asasi, Pemerintah berkewajiban untuk melaksanakan Pemilu.
Sejak Indonesia merdeka, Pemilu sudah dilaksanakan 10 (sepuluh)
kali, yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997,
1999, 2004 dan 2009. Pemilu tahun 1955 sampai dengan 1999
dilaksanakan untuk memilih wakil rakyat untuk menduduki jabatan di
lembaga legislatif. Selanjutnya, badan legislatiflah yang akan
membuat undang-undang dan memilih Presiden. Sedangkan Pemilu tahun
2004 dan 2009 dilaksanakan untuk memillih wakil rakyat yang duduk
di lembaga legislatif dan kemudian memilih Presiden dan Wakil
Presiden.
Selanjutnya, pasal 18 dan pasal 19 UUD Tahun 1945 menyebutkan
bahwa badan legislatif DPR-RI dan Kepala Daerah
Gubernur/Bupati/Walikota serta DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota juga
dipilih secara langsung dalam suatu Pemilihan Umum. Hal ini dapat
dipahami karena Lembaga DPR-RI adalah lembaga legislatif yang
mempunyai kekuasaan legislasi dan Kepala Daerah
Gubernu/Bupati/Walikota serta DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota adalah
juga yang mempunyai kekuasaan penyelenggara pemerintahan
(kekuasaan) di wilayah masing-masing. Dengan demikian rekrutmen
pemilihan secara langsung dalam suatu Pemilu proses rakyat
mewakilkan kedaulatannya kepada Negara.
UUD Tahun 1945 pasal 22E mengatur mengenai Pemilu. Pemilu
diselenggarakan oleh suatu komite yang disebut Komisi Pemilihan
Umum (selanjutnya disebut KPU) yang bersifat nasional, tetap dan
mandiri. KPU mempunyai kedudukan di Jakarta. Di tingkat Provinsi
dibentuk KPU Provinsi (disingkat KPUP) dan di tingkat
Kabupaten/Kota dibentuk pula KPU Daerah (disingkat KPUD). Di
tingkat Kecamatan dibentuk Panitia Pemilihan Kecamatan (disingkat
PPK), dan di tingkat paling bawah yang bertugas melaksanakan
pemungutan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dibentuk Panitia
Pemungutan Suara (disingkat PPS). Untuk mengawasi proses tahapan
Pemilu yang dilaksanakan oleh KPU, dibentuk pula Badan Pengawas
Pemilu (BAWASLU) yang berkedudukan di tingkat Nasional, Provinsi
dan Kabupaten/Kota. Selain dibentuk penyelenggara pemilu berupa KPU
dan Bawaslu, dibentuk pula Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(disingkat DKPP) yang melakukan pengawasan dari sisi etika terhadap
Pejabat Penyelenggara Pemilu.
Peserta Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR/Legislatif) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
terdiri dari partai-partai Politik yang sudah lulus verifikasi oleh
KPU. Peserta Pemilu untuk memilih anggora Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) adalah perseorangan. Peserta Pemilu untuk memilih
Presiden/Wakil Presiden dan Gubernur serta Bupati/Wakil
Bupati-Walikota/Wakil Walikota adalah pasangan calon yang diusulkan
oleh partai politik yang memenuhi persyaratan
perundang-undangan.
Pemenang Pemilu adalah Partai/Perseorangan/Pasangan Calon yang
mendapat dukungan suara terbanyak dari rakyat yang memberikan
suara. Pemenang Pemilu diputuskan oleh KPU dan selanjutnya
diserahkan kepada Pemerintah untuk ditetapkan dan ditindaklanjuti
dengan proses pelantikan atau peresmiannya.
Pemilu telah diatur dengan instrumen hukum berupa undang undang
mengenai penyelenggara Pemilu yaitu Undang Undang Nomor 22 Tahun
2007, yang kemudian disempurnakan dengan Undang Undang Nomor 15
Tahun 2011. Kedua Undang Undang ini merupakan penjabaran terhadap
UUD Tahun 1945 Pasal 22E ayat (6) yang intinya menjabarkan tugas
pokok dan fungsi masing-masing Lembaga Penyelenggara Pemilu yaitu
KPU, Bawaslu dan DKPP. DKPP bukan lembaga penyelenggara Pemilu,
tetapi tugas dan kewenangannya terkait dengan para pejabat
penyelenggara pemilu.Pelaksanaan Pemilu yang sudah dilakukan selama
ini masih memiliki kelemahan. Permasalahan yang sering terjadi
diakibatkan berbagai intervensi yang dilakukan berbagai pihak
terhadap KPU sebagai penyelenggara pemilu yang dapat mempengaruhi
hasil Pemilu. Berbagai pihak luar yang dimaksud, dapat terdiri dari
oknum aparat pemerintah dan partai politik, serta orang orang yang
memiliki kepentingan dalam pelaksanaan Pemilu. Intervensi yang
menjadi permasalahan antara lain ialah informasi, money politic,
perhitungan suara, keberpihakan oknum penyelenggara (imparsial) dan
sebagainya.
Pada pemilu tahun 2004 dan tahun 2009 terjadi permasalahan
mengenai daftar pemilih, di mana banyaknya warga yang tidak dapat
menggunakan hak pilih pada pelaksanaan pemilu. Hambatan bagi warga
negara untuk memilih pada pemilu diakibatkan bahwa para warga
dinyatakan oleh KPU tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemilih,
walaupun pada kenyataanya tidak demikian. Daftar pemilih yang
simpang siur membuat banyak pihak meragukan kredibilitas dan
kinerja KPU.
Fenomena terbaru ialah sengketa Pilkada Jawa Timur periode 2013
2018, di mana pada Pilkada tersebut salah satu pasangan calon
Gubernur Jawa Timur dan wakil Gubernur Jawa Timur yaitu Khofifah
Indar Parawansah dan Herman Suryadi Sumawiredja tidak diloloskan
oleh KPU Jawa Timur untuk ikut dalam Pilkada. KPU Jawa Timur
menilai syarat syarat yang diperlukan bagi pasangan calon Gubernur
dan Wakil Gubernur agar dapat ikut dalam Pilkada tidak terpenuhi.
Oleh sebab itu pasangan Khofifah dan Herman tidak dapat ikut
sebagai peserta di dalam Pilkada Jawa Timur.
Terkait dengan hal ini, Khofifah menilai bahwa KPU Jawa Timur
telah bekerja tidak secara professional. KPU Jawa Timur secara
tidak langsung telah memberikan dukungan kepada salah satu pasangan
calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim dan meloloskan pasangan
tersebut sebagai peserta Pilkada Jawa Timur. Khofifah dan tim kuasa
hukumnya memiliki bukti terkait dukungan sepihak yang dilakukan
oleh KPU Jawa Timur. Kubu Khofifah menilai bahwa KPU Jawa Timur
telah melanggar kode etik sebagai penyelenggara pemilu dan
mengadukan hal ini kepada DKPP.
Pelanggaran terhadap aturan Pemilu yang dilakukan oleh peserta
dan penyelenggara pemilu diselesaikan melalui jalur hukum pada
Mahkamah Konstitusi, sedangkan pelanggaran administrasi pemilu
diselesaikan oleh Bawaslu. Khusus pelanggaran etika yang dilakukan
oleh pejabat penyelenggara pemilu KPU dan Bawaslu beserta aparatur
jajarannya) diselesaikan oleh DKPP.
Menurut Undang Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilu pasal 111, DKKP mempunyai tugas dan kewenangan untuk
menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Dengan adanya
Pejabat Penyelenggara Pemilu, yaitu KPU dan Bawaslu, diharapkan
penyelenggaraan pemilu berjalan sesuai dengan ketentuan dan
peraturan, sehingga dapat diperoleh hasil pemilu yang sesuai dengan
asas penyelenggaraan pemilu, yaitu pemilu dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Dengan latar belakang sebagaimana diuraikan di atas, penulis
tertarik melakukan penelitian untuk penulisan skripsi ini yang
berjudul Kedudukan Dan Wewenang Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP) Dalam Penegakan Etika Penyelenggara Pemilu Di
Indonesia.
B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan tersebut di atas,
pokok-pokok permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
sebagai lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia?
2. Apakah bentuk pelanggaran kode etika penyelenggara
pemilu?
3. Bagaimanakah kewenangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
dalam pemberian sanksi terkait dengan penegakan etika penyelenggara
pemilu?
C. Tujuan PenelitianSelaras dengan pokok permasalahan tersebut,
tujuan penelitian ini yaitu:
1. Menjelaskan tentang kedudukan Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu sebagai lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia.2.
Menjelaskan tentang bentuk pelanggaran etika yang dilakukan oleh
penyelenggara pemilu di Indonesia.3. Menjelaskan sejauh mana
kewenangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu memberikan sanksi
terkait dengan penegakan etika penyelenggara pemilu di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat
secara teoretis maupun secara praktis. Secara teoretis, penelitian
ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran mengenai
kedudukan dan wewenang DKPP untuk menegakkan etika penyelenggara
pemilu di Indonesia sesuai Undang Undang 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu. Secara praktis, penelitian ini diharapkan
dapat memberikan pandangan atau argumen kepada masyarakat umum dan
KPU serta Bawaslu sebagai Penyelenggara Pemilu di Indonesia, bahwa
DKPP merupakan lembaga yang secara khusus bertugas melakukan
pengawasan terhadap penegakan etika bagi penyelenggara Pemilu di
Indonesia.
E. Kerangka Teori
1. Teori Lembaga Negara Dalam perkembangan sejarah, teori, dan
pemikiran tentang pengorganisasian, kekuasaan dan organisasi negara
berkembang sangat cepat. Variasi struktur dan fungsi organisasi dan
institusi institusi kenegaraan berkembang menjadi banyak ragam dan
bentuknya, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Gejala
perkembangan semacam itu merupakan kenyataan yang tak terelakan
akibat tuntutan keadaan dan kebutuhan yang nyata, baik karena
faktor sosial, ekonomi, politik, dan budaya di tengah pengaruh
globalisasi yang semakin kompleks.
Semua corak, bentuk, bangunan, dan struktur organisasi yang ada
hanyalah mencerminkan respon negara dan pengambil keputusan dalam
suatu negara dalam mengorganisasikan berbagai kepentingan yang
timbul dalam masyarakat negara yang bersangkutan. Karena
kepentingan yang timbul bervariasi, maka corak organisasi negaranya
juga berkembang dengan dinamika sendiri.
Terdapat enam tipe organisasi sebagaimana dikemukakan Gerry
Stoker, yaitu:
1. Organ yang bersifat central governments arms length agency:2.
Organ yang merupakan local authority implementation agency;3. Organ
atau institusi sebagai public/private partnership organization;4.
Organ sebagai user-organisation;5. Tipe kelima, organ yang
merupakan inter-govermental forum;6. Tipe keenam, organ yang
merupakan Joint Boards.Menurut Gerry Stoker, both cental and local
government have encouraged experimentation with non-elected forms
of government as a way encouraging the greater involvement of major
private corporate sector companies, banks, and building societies
in dealing with problems of urban and economic decline.
Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah bersama sama
terlibat dalam upaya eksperimentasi kelembagaan yang mendasar
dengan aneka bentuk organisasi baru yang diharapkan lebih mendorong
keterlibatan sektor swasta dalam mengambil tanggung jawab yang
lebih besar dalam mengatasi persoalan ekonomi yang terus menurun.
Masalah sosial, ekonomi, dan budaya yang dihadapi semakin kompleks
sehingga kita tidak dapat lagi mengandalkan bentuk organisasi yang
konvensional untuk mengatasinya.
Ragam bentuk organ pemerintahan mencakup struktur yang sangat
bervariasi, meliputi pemerintah pusat, kementerian kementerian yang
bersifat teritorial, ataupun intermediate institutions. Organ organ
tersebut pada umumnya berfungsi sebagai a quasi governmental world
of appointed bodies, dan bersifat nondepartemental agencies, single
purpose authorities, dan mix public private institutions.
Di negara negara demokrasi yang telah mapan, seperti di Amerika
Serikat dan Perancis, pada tiga dasawarsa terakhir abad ke 20, juga
banyak bertumbuh lembaga lembaga negara baru. Lembaga baru tersebut
biasa disebut sebagai state auxiliary organs, atau auxiliary
institutions sebaga lembaga negara yang bersifat penunjang. Di
antara lembaga lembaga itu kadang kadang ada juga yang disebut
sebagai self regulatory agencies, independent supervisory bodies
atau lembaga lembaga yang menjalankan fungsi campuran (mix fuction)
antara fungsi fungsi regulatif, administratif, dan fungsi
penghukuman yang biasanya dipisahkan tetapi justru dilakukan secara
bersamaan oleh lembaga lembaga baru tersebut.
Perkembangan lembagalembaga yang bersifat independen
mencerminkan adanya kebutuhan untuk mendekosentrasikan kekuasaan
dari tangan birokrasi ataupun organ organ konvensional pemerintahan
tempat kekuasaan selama masa sebelumnya terkonsentrasi. Organisasi
kekuasaan yang birokratis, sentralistis, dan terkonsentrasi tidak
dapat lagi diandalkan, karena sebagai akibat dari perkembangan yang
semakin komplek dan rumit, oleh karena itu, pada waktu yang hampir
bersamaan muncul gelombang deregulasi, debirokratisasi,
desentralisasi, dan dekonsentrasi.
Salah satu akibatnya, fungsi kekuasaan yang biasanya melekat
dalam fungsi lembaga eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif
dialihkan menjadi fungsi organ tersendiri yang bersifat independen.
Oleh karena itu, kadang kadang lembaga baru tersebut menjalankan
fungsi yang bersifat campuran dan independen.
Istilah organ negara atau lembaga negara dapat dibedakan dari
perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat atau
organisasi non pemerintah yang dalam bahasa Inggris disebut Non
Government Organization. Dengan demikian, lembaga apa saja yang
dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat disebut sebagai
lembaga negara. Lembaga negara dapat berada dalam ranah legislatif,
eksekutif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran.
Konsepsi tentang lembaga negara ini dalam bahasa Belanda biasa
disebut staatsorgaan, yang dalam bahasa Indonesia hal itu identik
dengan lembaga negara, badan negara, atau disebut juga dengan organ
negara. Dalam kamus Hukum Bekanda Indonesia, kata staatsorgaan
diterjemahkan sebagai alat perlengkapan negara. Dari penjelasan
tersebut dapat diketahui bahwa istilah lembaga negara, organ
negara, badan negara, dan alat perlengkapan negara seringkali
dipertukarkan. Akan tetapi menurut Natabaya, penyusun Undang Undang
Dasar 195 sebelum perubahan, cenderung konsisten menggunakan
istilah badan negara, bukan lembaga negara atau organ negara.
Namun, Undang Undang Dasar 1945 setelah perubahan melanjutkan
kebiasaan MPR sebelum masa reformasi yang tidak konsisten
menggunakan peristilahan lembaga negara, organ negara, dan badan
negara.
Untuk memahami secara tepat, tidak ada jalan lain kecuali
mengetahui persis apa yang dimaksud dan apa kewenangan dan fungsi
yang dikaitkan dengan organisasi atau badan yang bersangkutan.
Lembaga apa saja yang dibentuk yang bukan lembaga masyarakat dapat
disebut lembaga negara. Montesquieu mengatakan bahwa terdapat tiga
jenis organ negara yaitu lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan
lembaga yudikatif. Masing masing lembaga tersebut memiliki
fungsinya tersendiri dalam pemerintahan. Dewasa ini doktrin
Montesquieu tersebut sudah tidak relevan lagi digunakan sebagai
rujukan. Hal ini dikarenakan tidak mungkin lagi mempertahankan
bahwa ketiga organ tersebut bekerja secara eksklusif. Kenyataan
sekarang menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu
tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan ketiganya bersifat
sederajat serta saling mengendalikan satu sama lainnya dengan
prinsip check and balances.
Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga
pemerintahan, lembaga pemerintahan non departemen, atau lembaga
negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi
kekuasaan oleh Undang Undang Dasar, ada pula yang dibentuk dan
mendapatkan kekuasaannya dari Undang Undang, dan bahkan ada pula
yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Hirarki
kedudukannya tentu saja berdasarkan pada derajat pengaturannya
menurut perundang undangan yang berlaku.
Lembaga negara yang diatur dan dibentuk dengan Undang Undang
Dasar merupakan organ konstitusi yaitu Presiden, MPR, DPR, DPD, MK,
MA, BPK, TNI, Polri, Bank Sentral, Komisi Penyelenggara Pemilu, dan
Komisi Yudisial. sedangkan yang dibentuk berdasarkan Undang Undang
merupakan organ Undang Undang misalnya Komisi Penyiaran Indonesia,
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pengawas
Persaingan Usaha dan sebagainya, sementara yang hanya dibentuk
karena Keputusan Presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan
derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya.
Demikian pula jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan
berdasarkan Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi
tingkatannya.
Harus diakui bahwa di tengah masyarakat sekarang masih
berkembang pemahaman yang luas bahwa pengertian lembaga negara
dikaitkan dengan cabang cabang kekuasaan tradisional legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Lembaga negara dikaitkan dengan
pengertian lembaga yang berada di ranah kekuasaan legislatif
disebut lembaga legislatif, yang berada di ranah eksekutif disebut
lembaga pemerintah, dan yang berada di ranah yudikatif disebut
sebagai lembaga pengadilan.
Sebelum perubahan Undang Undang Dasar 1945 biasa dikenal adanya
istilah lembaga pemerintah, lembaga departemen, lembaga non
departemen, lembaga negara, lembaga tinggi negara dan lembaga
tertinggi negara. Dalam istilah hukum tata negara biasa dipakai
istilah yang menunjuk kepada pengertian yang lebih terbatas yaitu
alat perlengkapan negara yang biasanya dikaitkan dengan cabang
cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial.
Bab III Undang Undang Dasar 1945 mengatur tentang kekuasaan
pemerintahan negara. Bab ini menggambarkan proses dan sistem
pemerintahan negara. Sebelum diadakan perubahan pertama Undang
Undang Dasar 1945, pengertian pemerintahan negara mencakup
pengertian yang luas meliputi fungsi legislative dan eksekutif
sekaligus. Hal ini dapat dilihat di dalam rumusan pasal 5 ayat 1
Undang Undang Dasar 1945 yaitu Presiden memegang kekuasaan
membentuk undang undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat.
Setelah perubahan pertama Undang Undang Dasar 1945, mulai
diadakan pergeseran kekuasaan legislatif dengan mengalihkan lebih
banyak peranan dalam membentuk undang undang dari kewenangan
Presiden menjadi kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat. Pergeseran ini
berkaitan pula dengan pembagian kekuasaan versus pemisahan
kekuasaan. Sebelum diadakan perubahan, kedaulatan rakyat dianggap
tercermin dalam kekuasaan lembaga tertinggi negara, yaitu Majelis
Permusyawaratan Rakyat sebagai penjelmaan seluruh rakyat. Dari
lembaga tertinggi inilah kekuasaan dari rakyat dibagi bagikan
kepada lembaga lembaga tinggi negara lain secara distributif
(division of power). Oleh karena itu paham yang dianut bukan
pemisah kekuasaan dalam arti horizontal, melainkan pembagian
kekuasaan dalam arti vertikal. Sejak perubahan pertama sampai
keempat terhadap Undang Undang Dasar 1945, Konstitusi negara kita
meninggalkan doktrin pembagian kekuasaan dan mengadopsi gagasan
pemisahan kekuasaan dalam arti horizontal. Pemisahan kekuasaan yang
dilakukan dengan menerapkan prinsip check and balances di antara
lembaga lembaga konstitusional yang sederajat yang diidealkan
saling mengendalikan satu sama lain.
2. Teori Rule of Law dan Rule of EthicsRule of Law merupakan
suatu legalisme hukum yang mengandung gagasan bahwa keadilan dapat
dilayani melalui pembuatan sistem peraturan dan prosedur yang
obyektif, tidak memihak, dan otonom. Rule of Law adalah konsep
tentang common law, yaitu seluruh aspek negara menjunjung tinggi
supremasi hukum yang dibangun diatas prinsip keadilan dan
egalitarian. Rule of Law adalah rule by the law bukan rule by the
man.
Menurut doktrin Rule of Law, keadilan harus berlaku bagi setiap
orang. Friedman berpendapat bahwa Rule of Law merupakan doktrin
dengan semangat idealism keadilan yang tinggi. Rule of Law
dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
pengertian formal (in the formal sense) yaitu organized public
power atau kekuasaan umum yang terorganisasikan, misalnya negara.
pengertian hakiki (Ideological sense) yang erat hubungannya dengan
menegakkan rule of law karean menyangkut ukuran ukuran tentang
hukum yang baik dan buruk.Untuk memahami pengertian dari Rule of
law dibutuhkan pemahaman mengenai inti ajaran Rule of law, yaitu
keharusan menjamin apa yang diperoleh masyarakat atau bangsa yang
bersangkutan dipandang sebagai keadilan, khususnya keadilan sosial.
Rule of law sebagai suatu institusi sosial yang memiliki struktur
sosial sendiri dan mengakar pada budaya sendiri. Rule of law tumbuh
dan berkembang selama ratusan tahun seiring dengan pertumbuhan
masyarakat Eropa, sehingga mengakarkan sosial dan budaya Eropa, dan
bukan institusi netral.
Gerakan masyarakat yang menghendaki kekuasaan raja maupun
penyelenggara negara harus dibatasi dan diatur melalui suatu
perundang undangan, dan pelaksanaan dalam hubungannya dengan segala
peraturan perundang undangan sering diberikan istilah Rule of law.
Pengertian Rule of law berdasarkan substansi atau isinya sangat
berkaitan dengan peraturan perundang undangan yang berlaku dalam
suatu negara. Konsekuensinya setiap negara akan mengatakan
mendasarkan pada Rule of law dalam kehidupan negaranya,meskipun
negara tersebut adalah negara otoriter. Atas dasar alasan ini maka
diakui bahwa sulit untuk menentukan pengertian Rule of law secara
universal, karena setiap masyarakat melahirkan pengertian yang
berbeda beda.
3. Prinsip Rule of lawPrinsip secara formal Rule of law tertera
di dalam Undang Undang Dasar 1945. Jaminan adanya keadilan bagi
masyarakat khususnya keadilan sosial menjadi tujuan dari Rule of
law. Prinsip Rule of law di dalam Undang Undang dasar 1945 antara
lain: Pasal 1 ayat 3 yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah
negara hukum; Pasal 27 ayat 1 yang menyebutkan bahwa segala warga
negara bersamaan dengan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa
terkecuali; Pasal 28 ayat 1 yang menyebutkan bahwa setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
yang adil di hadapan hukum; Pasal 28 ayat 2 yang menyebutkan bahwa
setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.Prinsip-prinsip
Rule of Law secara materiil / hakiki, Berkaitan erat dengan the
enforcement of the Rule of Law; Keberhasilan the enforcement of the
rule of law tergantung pada kepribadian nasional; masing-masing
bangsa; Rule of law mempunyai akar sosial dan akar budaya Eropa;
Rule of law juga merupakan suatu legalisme, aliran pemikiran hukum;
mengandung wawasansosial, gagasan tentang hubungan antarmanusia;
masyarakat dan negara. Rule of law merupakan suatu legalisme
liberal. Albert Venn Dicey dalam Introduction to the Law of the
Constitution, memperkenalkan istilah the Rule of Law yang secara
sederhana diartikan sebagai suatu keteraturan hukum. Menurut Dicey
terdapat 3 unsur yang fundamental dalam Rule Of Law, yaitu:
Supremasi aturan-aturan hukum; Kedudukan yang sama dimuka hukum;
Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh Undang-undang serta
keputusan pengadilan.Suatu hal yang harus diperhatikan bahwa dalam
hubungan dengan negara hanya berdasarkan prinsip tersebut, maka
negara terbatas dalam pengertian negara hukum formal, yaitu negara
tidak bersifat proaktif melainkan pasif. Sikap negara yang demikian
ini dikarenakan negara hanya menjalankan dan taat pada apa yang
termaktub dalam konstitusi semata.Dalam hubungan negara hukum
organisasi pakar hukum internasional, International Comission of
Jurists (disingkat ICJ), secara intens melakukan kajian terhadap
konsep negara hukum dan unsur-unsur esensial yang terkandung di
dalamnya. Secara praktis, pertemuan ICJ di Bangkok tahun 1965
semakin menguatkan posisi Rule Of Law dalam kehidupan bernegara.
Selain itu melalui pertemuan tersebut telah digariskan bahwa
disamping hak-hak politik bagi rakyat harus diakui pula adanya
hak-hak sosial dan ekonomi, sehingga perlu dibentuk standar-standar
sosial ekonomi. Komisi ini merumuskan syarat-syarat pemerintahan
yang demokratis dibawah Rule Of Law yang dinamis, yaitu :
Perlindungan konstitusional; Lembaga kehakiman yang bebas dan tidak
memihak; Pemilihan umum yang bebas; Kebebasan menyatakan pendapat;
Kebebasan berserikat/berorganisasi dan berposisi; Pendidikan
kewarganegaraan;Etika atau ethics merupakan ilmu yang mempelajari
tentang kesusilaan atau ilmu tentang ahlak manusia. Secara umum
etika berasal dari kata bahasa Yunani yaitu ethos atau menurut E. Y
Kanter Mores atau moralis yang berarti kebiasaan, cara hidup,
tabiat, akhlak atau watak yang akan muncul sebagai suatu perilaku.
Terdapat beberapa pendapat mengenai istilah etika ini, salah
satunya menurut Jihn O Manique menyebutkan bahwa etis (moral)
adalah normatif, yang mengandung penilaian tentang apa yang
dianggap baik dan tidak baik, dan apa yang sebaiknya dan yang harus
dilakukan atau tidak dilakukan. Selanjutnya Jihn O Manique juga
menjelaskan bahwa masalah moral yang dianggap baik itu erat
hubungannya dengan faham mengenai tanggung jawab atau
responsibility. Pengertian etika politik secara subtantif tidak
dapat dipisahkan dengan manusia sebagai pelaku etika. Oleh karena
itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal
ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa
menunjuk kepada manusia sebagai subyek etika. Walaupun dalam
hubungannya dengan masyarakat bangsa maupun negara, etika politik
tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar
ini lebih meneguhkan akar politik bahwa kebaikan senantiasa
didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk yang beradab dan
berbudaya.
Dalam pelaksanaan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut
agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan asas
legalitas, secara demokrasi dan dilaksanakan berdasarkan
prinsip-prinsip moral. Etika politik ini harus direalisasikan oleh
setiap individu yang ikut terlibat secara kongkret dalam
pelaksanaan pemerintah negara.
Tujuan etika politik adalah mengarahkan pada hal yang lebih
baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup
kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil. Definisi
etika politik membantu menganalisis korelasi antara tindakan
individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada.
Pengertian etika politik mengandung tiga tuntutan, yaitu upaya
hidup baik bersama dan untuk orang lain, upaya memperluas lingkup
kebebasan, dan membangun institusi-institusi yang adil.
Tiga tuntutan dari pengertian etika politik ini saling terkait
erat. Hidup bersama dan untuk orang lain tidak mungkin terwujud
kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka
institusi-institusi yang adil. Institusi-institusi yang adil
memungkinkan perwujudan kebebasan yang mencegah warga negara atau
kelompok-kelompok dari perbuatan yang saling merugikan. Kebebasan
warga negara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap
institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan dimaksudkan sebagai
sebagai syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi
pelaksanaan kongkret kebebasan, kebebasan pers, kebebasan
berserikat dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan
sebagainya. Etika politik ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang
jujur, bertatakrama dalam perilaku politik yang toleran, tidak
berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sifat munafik serta tidak
melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai
tindakan yang tidak terpuji lainnya.
Penyelenggaraan negara dilaksanakan oleh organ yang bernama
aparatur negara. Baik buruknya penyelenggaraan pemerintahan yang
dilakukan terkait erat dengan perilaku dari aparatur negara.
Terkaitk dengan etika sebagaimana telah disebutkan Jihn O Manique,
etika penyelenggara negara merupakan nilai moral yang mengikat
seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur sikap, perilaku,
tindakan, ucapan dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan
kewenangannya. Aturan ini tentu harus dilakukan agar dapat mencapai
suatu kemajuan dalam suatu kehidupan yang dicita citakan yaitu
aman, tenteram, damai, sejahtera dan untuk itu sudah seharusnya
setiap gerak dan langkah yang dialkukan sebaiknya harus selalu
menjunjung tinggi dan memegang teguh norma etika yang ada. Aparatur
negara dan pemerintah memiliki tujuan untuk mendidik dan
mensejahterakan rakyat. Untuk dapat melakukan hal tersebut seorang
pemimpin atau pelaksana negara harus memiliki etika yang baik dalam
melaksanakan tugasnya. Ajaran untuk berperilaku baik dan benar
sesuai dengan nilai nilai keutamaan yang berhubungan dengan hakikat
manusia disebut etika pemerintahan. Etika pemerintahan juga bagian
dari praktik yurisprudensi atau filosofi hukum yang mengatur
operasi dari pemerintah dan hubungannya dengan orang orang dalam
pemerintahan. Prinsip prinsip etika harus disesuaikan dengan
keadaan, waktu, dan tempat, prinsip etika yang bersifat authority,
yang bersifat perintah menjadi suatu peraturan sehingga kadang
kadang merupakan atribut yang tidak bisa dipisahkan. Dalam etika
pemerintahan apa yang dianjurkan merupakan paksaan (imperative)
yang dalam kehidupan sehari - hari dapat menimbulkan kesulitan.
Hubungan etika pemerintahan dengan authority, misalnya adalah
berpakaian dinas. Hal ini sebenarnya hanya masalah etika, namun
kalau sudah dituangkan bukan lagi bersifat etis, tetapi bersifat
pelaksanaan (operasional). Kendatipun tidak ada sanksi yang tegas,
etika mengikuti suatu perubahan di dalam masyarakat yang bergantung
pada kemauan, karena kehendak masyarakat pada suatu waktu bisa
berubah ubah.
Etika bergantung pada authority menghendaki orang harus tunduk
pada perintah, sedangkan pemerintah memupunyai sifat authority,
yaitu sifat memaksakan. Pemerintah tidak dapat melaksanakan
perintah sekehendaknya yang bertentangan dengan nilai etika
masyarakat. Etika dalam fungsi pemerintahan antara lain,
Etika dalam proses kebijakan publik; Etika dalam pelayanan
publik; Etika dalam pengaturan dan penataan kelembagaan
pemerintahan
Etika dalam pembinaan dan pemberdayaan masyarakat; Etika dalam
kemitraan antara pemerintahan, pemerintah dengan swasta, dan dengan
masyarakat.Etika pemerintahan tidaklah berdiri sendiri, di mana
penegakannya terjalin erat dengan pelaksanaan prinsip penerapan
hukum. Sebuah pemerintahan yang bersih akan tercapai apabila segala
kebijakan dan tingkah laku dari aparatur pemerintah juga baik dan
bersih. Dengan demikian kebutuhan masyarakat akan terpenuhi secara
merata. Setiap warga masyarakat berhak memperoleh pelayanan dan
perlakuan yang adil dari aparatur pemerintah berdasarkan nilai
nilai etika dan hukum yang berlakuB. Keterkaitan Demokratisasi dan
Pemilu
Salah satu akar kedaulatan rakyat adalah demokratisasi yang
dimaknai sebagai implementasi demokrasi yang sesungguhnya, sehingga
tidak ada kedaulatan rakyat tanpa demokrasi dan tidak ada demokrasi
tanpa adanya kedaulatan rakyat. Dalam konsep demokrasi,
pemerintahan dibangun atas pemahaman bahwa rakyat memegang
kedaulatan tertinggi dalam menentukan corak pemerintahan yang
diinginkannya.
Hal ini dapat diwujudkan ketika seorang penguasa dipilih oleh
rakyat melalui proses pemilihan yang kompetitif. Artinya dalam
proses itu terdapat lebih dari seorang calon. Para calon tersebut
harus saling bersaing untuk memperlihatkan kepada pemilih, siapa di
antara mereka yang paling kompeten untuk menjadi pemimpin.
Adanya cara pemilihan sebagai wujud partisipasi rakyat dalam
negara merupakan wujud turut serta rakyat dalam mengawasi kegiatan
dari pemerintah. Hal ini menjadikan rakyat memiliki peran ganda,
satu sisi seorang warga negara menjadi orang yang patuh terhadap
pemerintah, sisi lain rakyat menjadi pihak yang berkuasa dalam
negara. Oleh sebab itu, dalam negara yang menjunjung tinggi asas
demokrasi, rakyat merupakan penentu atau juri segala tindakan
negara melalui sarana yang dinamakan sebagai pemilihan umum.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemilu sebagai alat
demokrasi yang memposisikan pemilu sebagai representative
government. Oleh sebab itu, keterkaitan demokrasi dengan pemilu
dapat dilihat dari sejauh mana pertarungan antar kelompok yang
menghasilkan representasi politik.
Kebebasan dan penghormatan terhadap hak hak asasi manusia pada
intinya juga merupakan bagian dari demokrasi, sehingga tepat jika
kemudian pemilu sebagai sarana demokratisasi memberikan jaminan
kebebasan memilih dan sikap memilih sebagai suatu hak. Dengan
demikian, kebebasan memilih seorang wakil rakyat akan terkait erat
dengan keinginan atau kemauan dari pemilihnya.
Ketidakbebasan dalam memilih atau menjalankan amanat rakyat yang
diwakilinya menyebabkan rakyat dan para wakilnya menjadi
subordinasi penguasa. Akibatnya, pemilu yang menjadi sarana memilih
dan dipilih lebih merupakan kamuflase politik yang penuh dengan
penipuan politik yang cenderung untuk mendapatkan keabsahan politik
semata. Kondisi seperti ini, sering terjadi terhadap negara yang
iklim demokrasinya berada dalam tekanan penguasa. Realita lainnya
juga menunjukkan bahwa struktur kekuasaan yang timpang akan
berkaitan dengan kemampuan untuk mengatur berdasarkan kepentingan
dan tujuan yang dicapai elit politik. Akhirnya, setiap kebijakan
negara yang harus ditaati dengan dalih sebagai bagian dari the
politics of the common good.Dalam interaksi politik yang normal,
demokratisasi dan pemilu akan berjalan sebagai tradisi yang
dijalankan secara wajar. Dengan demikian, perubahan pemerintahan
dan pergantian penguasa yang menjadi akibatnya dapat disandarkan
pada aturan main yang jelas dalam konstitusi. Namun, jika demokrasi
dan pemilu dilakukan sebagai akibat terjadinya konflik politik,
seringkali muncul penguasa yang memaknai demokrasi dan pemilu
sebagai dalih atas kekuasaan yang dimilikinya
F. Metode PenelitianMetode penelitian yang dipergunakan dalam
penelitian ini dilakukan dengan cara metode penelitian hukum
normatif atau disebut juga penelitian hukum kepustakaan. Penelitian
ini mempergunakan bahan pustaka atau data sekunder yang mencakup
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Bahan hukum primer mencakup norma, atau kaedah dasar, peraturan
dasar, Peraturan Perundang undangan, bahan hukum yang tidak
dikodifikasikan, dan Yurisprudensi.
Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti misalnya, rancangan undang undang, hasil
hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan lain
lain.
Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks, dan lain lain.
Bahan dasar penelitian kepustakaan dapat dilihat dari sudut
informasi yang dapat diberikan yaitu: bahan /sumber yakni bahan
pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir,
ataupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui maupun
mengenai suatu gagasan. Misalnya buku buku, kertas kerja
konperensi, seminar dan lain lain.
Bahan/sumber sekunder yaitu bahan pustaka yang berisikan
informasi tentang bahan primer. Misalnya, intisari, abstrak,
bibliografi, dan lain lain. Bahan tersier atau bahan penunjang
merupakan petunjuk terhadap bahan primer dan sekunder.
Penelitian hukum normatif terhadap bahan bahan kepustakaan yang
berkaitan dengan pemilihan umum pada umumnya bersumber pada
peraturan perundang undangan, sistem pemilu, penyelenggara pemilu,
dan yang terkait dengan pengawas penyelenggara pemilu. Bahan hukum
yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer,
sekunder, dan tersier.G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan dibagi dalam lima bab, yang terdiri dari
beberapa sub bab. Bab pertama menguraikan mengenai latar belakang,
pokok permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penelitian, kerangka
teori, metode penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab kedua menguraikan mengenai sejarah penyelenggaraan Pemilu
yang telah berlangsung beberapa kali, di antaranya pada tahun 1955,
pada masa Orde Baru, pada era Refomasi, yaitu Pemilu Tahun 2004 dan
Tahun 2009. Bagian ini juga menguraikan mengenai lembaga-lembaga
yang menyelenggarakan Pemilu, yaitu KPU, dan lembaga yang mengawasi
Pemilu, yaitu Bawaslu.Bab ketiga menguraikan mengenai kedudukan
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam penyelenggaraan
pemilu. Kemudian akan menguraikan bagaimana struktur organisasi dan
tata kerja DKPP, serta tugas dan wewenang dari DKPP tersebut.
Selanjutnya di dalam bab ini juga akan dibahas apa saja hambatan
pelaksanaan tugas DKPP ini.
Bab keempat menguraikan mengenai kedudukan DKPP dalam penegakan
etika penyelenggara pemilu di Indonesia dan bagaimana bentuk
pelanggaran etika pejabat penyelenggara pemilu. Kemudian akan
menguraikan mengenai bagaimana proses DKPP memberikan sanksi
terhadap pelanggaran etika penyelenggara pemilu.
Bab kelima sebagai bagian penutup memaparkan kesimpulan
kesimpulan berdasarkan analisis atau pembahasan pokok-pokok
permasalahan pada penelitian ini. Berdasarkan kesimpulan yang
diperoleh, bagian ini mengajukan saran saran kepada pihak-pihak
yang relevan dengan penelitian yang dilakukan dan dapat menjadi
masukan bagi perkembangan ilmu hukum di bidang penyelenggaraan
Pemilu. Indonesia, Undang Undang Dasar 1945, Pasal 1 ayat (2).
Abdul Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan
UUD 1945, (Bandung: Fokusmedia, 2009), hlm. 34.
Indonesia, Undang Undang Dasar 1945, Pasal 18 dan Pasal 19.
Dasril Radjab, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2005), hlm. 65.
Wendy Melfa, Pemilukada (Demokrasi dan Otonomi Daerah ),
(Lampung : BE Press, 2013), hlm. 35.
Ibid, hlm 47.
Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara
Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm 1.
Gerry Stoker, The Politics of Local Government, 2nd edition,
(London: The Macmillan Press, 1991), hlm. 63.
Ibid.
Asshidiqie, op. cit, hlm. 7.
Ibid.
Ibid, hlm 20.
Ibid, hlm 27.
Marjanne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda Indonesia, cet
-2,(Jakarta: Djambatan, 2002), hlm 390.
Asshidiqie, op. cit, hlm 28.
Ibid, hlm 32.
Ibid, hlm. 38.
Ibid.
Indonesia, Undang Undang Dasar 1945, Ps. 5 ayat (1)
Asshidiqie, op cit, hlm 40.
Sunaryati Hartono, Apakah The Rule Of Law itu, (Bandung: Alumni,
1982), hlm 56.
Ibid.
Ibid, hlm 65.
Ibid, hlm. 77.
Satjipto Rahardjo, Beberapa Masalah Hukum Dalam Masyarakat,
(Jakarta: Rajawali Press, 1976), hlm. 51-52.
Ibid., hlm. 56.
Miriam Budiarjo, Dasar Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1992), hlm. 57 - 58
Ibid, hlm. 69
Inu Kencana, Etika Pemerintahan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993),
hlm. 23
Ibid, hlm. 44.
Amir Santoso, Demokrasi dan Pergantian Kekuasaan secara Damai,
(Prisma, 1992), hlm. 22.
Gouw Giok Siong, Warga negara dan Orang Asing, (Jakarta: Keng
Po, 1958), hlm. 82.
R. Eep Saefullah Fatah, Masalah dan Prospek Demokrasi di
Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm. 15.
Ibid, hlm. 44
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:
Universitas Indonesia, 1986,) hlm. 52.
Ibid.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1985),
hlm. 29.
Ibid.
Ibid, hlm. 33.
1
22