Top Banner
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD Tahun 1945) Bab 1 Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa 'Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar'. 1 Kedaulatan rakyat maksudnya adalah hak khusus untuk menjalankan kewenangan tertinggi atas suatu wilayah atau suatu kelompok orang, seperti negara atau daerah tertentu. 2 Istilah kedaulatan dalam bahasa Indonesia berarti kekuasaan atau dinasti pemerintahan. Kedaulatan umumnya dijalankan oleh pemerintah atau lembaga politik sebuah negara. Pemilihan umum (disingkat Pemilu) adalah suatu kegiatan yang memproses pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagaimana yang dimaksudkan dalam UUD Tahun 1945 Bab 1 Pasal 1 ayat (2) tersebut di atas. Hal ini sesuai dengan asas kedaulatan rakyat. Rakyat yang menentukan kedaulatan yang dimilikinya. Dalam rangka pelaksanaan hak asasi, Pemerintah berkewajiban untuk melaksanakan 1 Indonesia, Undang – Undang Dasar 1945, Pasal 1 ayat (2). 2 Abdul Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, (Bandung: Fokusmedia, 2009), hlm. 34. 1
34

Bab 1 farid

Sep 03, 2015

Download

Documents

Saddam Muhdi

Bab 1 farid
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD Tahun 1945) Bab 1 Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa 'Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar'. Kedaulatan rakyat maksudnya adalah hak khusus untuk menjalankan kewenangan tertinggi atas suatu wilayah atau suatu kelompok orang, seperti negara atau daerah tertentu. Istilah kedaulatan dalam bahasa Indonesia berarti kekuasaan atau dinasti pemerintahan. Kedaulatan umumnya dijalankan oleh pemerintah atau lembaga politik sebuah negara.

Pemilihan umum (disingkat Pemilu) adalah suatu kegiatan yang memproses pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagaimana yang dimaksudkan dalam UUD Tahun 1945 Bab 1 Pasal 1 ayat (2) tersebut di atas. Hal ini sesuai dengan asas kedaulatan rakyat. Rakyat yang menentukan kedaulatan yang dimilikinya. Dalam rangka pelaksanaan hak asasi, Pemerintah berkewajiban untuk melaksanakan Pemilu.

Sejak Indonesia merdeka, Pemilu sudah dilaksanakan 10 (sepuluh) kali, yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009. Pemilu tahun 1955 sampai dengan 1999 dilaksanakan untuk memilih wakil rakyat untuk menduduki jabatan di lembaga legislatif. Selanjutnya, badan legislatiflah yang akan membuat undang-undang dan memilih Presiden. Sedangkan Pemilu tahun 2004 dan 2009 dilaksanakan untuk memillih wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif dan kemudian memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Selanjutnya, pasal 18 dan pasal 19 UUD Tahun 1945 menyebutkan bahwa badan legislatif DPR-RI dan Kepala Daerah Gubernur/Bupati/Walikota serta DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota juga dipilih secara langsung dalam suatu Pemilihan Umum. Hal ini dapat dipahami karena Lembaga DPR-RI adalah lembaga legislatif yang mempunyai kekuasaan legislasi dan Kepala Daerah Gubernu/Bupati/Walikota serta DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota adalah juga yang mempunyai kekuasaan penyelenggara pemerintahan (kekuasaan) di wilayah masing-masing. Dengan demikian rekrutmen pemilihan secara langsung dalam suatu Pemilu proses rakyat mewakilkan kedaulatannya kepada Negara.

UUD Tahun 1945 pasal 22E mengatur mengenai Pemilu. Pemilu diselenggarakan oleh suatu komite yang disebut Komisi Pemilihan Umum (selanjutnya disebut KPU) yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. KPU mempunyai kedudukan di Jakarta. Di tingkat Provinsi dibentuk KPU Provinsi (disingkat KPUP) dan di tingkat Kabupaten/Kota dibentuk pula KPU Daerah (disingkat KPUD). Di tingkat Kecamatan dibentuk Panitia Pemilihan Kecamatan (disingkat PPK), dan di tingkat paling bawah yang bertugas melaksanakan pemungutan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dibentuk Panitia Pemungutan Suara (disingkat PPS). Untuk mengawasi proses tahapan Pemilu yang dilaksanakan oleh KPU, dibentuk pula Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) yang berkedudukan di tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selain dibentuk penyelenggara pemilu berupa KPU dan Bawaslu, dibentuk pula Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (disingkat DKPP) yang melakukan pengawasan dari sisi etika terhadap Pejabat Penyelenggara Pemilu.

Peserta Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR/Legislatif) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terdiri dari partai-partai Politik yang sudah lulus verifikasi oleh KPU. Peserta Pemilu untuk memilih anggora Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah perseorangan. Peserta Pemilu untuk memilih Presiden/Wakil Presiden dan Gubernur serta Bupati/Wakil Bupati-Walikota/Wakil Walikota adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik yang memenuhi persyaratan perundang-undangan.

Pemenang Pemilu adalah Partai/Perseorangan/Pasangan Calon yang mendapat dukungan suara terbanyak dari rakyat yang memberikan suara. Pemenang Pemilu diputuskan oleh KPU dan selanjutnya diserahkan kepada Pemerintah untuk ditetapkan dan ditindaklanjuti dengan proses pelantikan atau peresmiannya.

Pemilu telah diatur dengan instrumen hukum berupa undang undang mengenai penyelenggara Pemilu yaitu Undang Undang Nomor 22 Tahun 2007, yang kemudian disempurnakan dengan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2011. Kedua Undang Undang ini merupakan penjabaran terhadap UUD Tahun 1945 Pasal 22E ayat (6) yang intinya menjabarkan tugas pokok dan fungsi masing-masing Lembaga Penyelenggara Pemilu yaitu KPU, Bawaslu dan DKPP. DKPP bukan lembaga penyelenggara Pemilu, tetapi tugas dan kewenangannya terkait dengan para pejabat penyelenggara pemilu.Pelaksanaan Pemilu yang sudah dilakukan selama ini masih memiliki kelemahan. Permasalahan yang sering terjadi diakibatkan berbagai intervensi yang dilakukan berbagai pihak terhadap KPU sebagai penyelenggara pemilu yang dapat mempengaruhi hasil Pemilu. Berbagai pihak luar yang dimaksud, dapat terdiri dari oknum aparat pemerintah dan partai politik, serta orang orang yang memiliki kepentingan dalam pelaksanaan Pemilu. Intervensi yang menjadi permasalahan antara lain ialah informasi, money politic, perhitungan suara, keberpihakan oknum penyelenggara (imparsial) dan sebagainya.

Pada pemilu tahun 2004 dan tahun 2009 terjadi permasalahan mengenai daftar pemilih, di mana banyaknya warga yang tidak dapat menggunakan hak pilih pada pelaksanaan pemilu. Hambatan bagi warga negara untuk memilih pada pemilu diakibatkan bahwa para warga dinyatakan oleh KPU tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemilih, walaupun pada kenyataanya tidak demikian. Daftar pemilih yang simpang siur membuat banyak pihak meragukan kredibilitas dan kinerja KPU.

Fenomena terbaru ialah sengketa Pilkada Jawa Timur periode 2013 2018, di mana pada Pilkada tersebut salah satu pasangan calon Gubernur Jawa Timur dan wakil Gubernur Jawa Timur yaitu Khofifah Indar Parawansah dan Herman Suryadi Sumawiredja tidak diloloskan oleh KPU Jawa Timur untuk ikut dalam Pilkada. KPU Jawa Timur menilai syarat syarat yang diperlukan bagi pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur agar dapat ikut dalam Pilkada tidak terpenuhi. Oleh sebab itu pasangan Khofifah dan Herman tidak dapat ikut sebagai peserta di dalam Pilkada Jawa Timur.

Terkait dengan hal ini, Khofifah menilai bahwa KPU Jawa Timur telah bekerja tidak secara professional. KPU Jawa Timur secara tidak langsung telah memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim dan meloloskan pasangan tersebut sebagai peserta Pilkada Jawa Timur. Khofifah dan tim kuasa hukumnya memiliki bukti terkait dukungan sepihak yang dilakukan oleh KPU Jawa Timur. Kubu Khofifah menilai bahwa KPU Jawa Timur telah melanggar kode etik sebagai penyelenggara pemilu dan mengadukan hal ini kepada DKPP.

Pelanggaran terhadap aturan Pemilu yang dilakukan oleh peserta dan penyelenggara pemilu diselesaikan melalui jalur hukum pada Mahkamah Konstitusi, sedangkan pelanggaran administrasi pemilu diselesaikan oleh Bawaslu. Khusus pelanggaran etika yang dilakukan oleh pejabat penyelenggara pemilu KPU dan Bawaslu beserta aparatur jajarannya) diselesaikan oleh DKPP.

Menurut Undang Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu pasal 111, DKKP mempunyai tugas dan kewenangan untuk menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Dengan adanya Pejabat Penyelenggara Pemilu, yaitu KPU dan Bawaslu, diharapkan penyelenggaraan pemilu berjalan sesuai dengan ketentuan dan peraturan, sehingga dapat diperoleh hasil pemilu yang sesuai dengan asas penyelenggaraan pemilu, yaitu pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Dengan latar belakang sebagaimana diuraikan di atas, penulis tertarik melakukan penelitian untuk penulisan skripsi ini yang berjudul Kedudukan Dan Wewenang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Dalam Penegakan Etika Penyelenggara Pemilu Di Indonesia.

B. Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan tersebut di atas, pokok-pokok permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kedudukan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia?

2. Apakah bentuk pelanggaran kode etika penyelenggara pemilu?

3. Bagaimanakah kewenangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dalam pemberian sanksi terkait dengan penegakan etika penyelenggara pemilu?

C. Tujuan PenelitianSelaras dengan pokok permasalahan tersebut, tujuan penelitian ini yaitu:

1. Menjelaskan tentang kedudukan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia.2. Menjelaskan tentang bentuk pelanggaran etika yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu di Indonesia.3. Menjelaskan sejauh mana kewenangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu memberikan sanksi terkait dengan penegakan etika penyelenggara pemilu di Indonesia. D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat secara teoretis maupun secara praktis. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran mengenai kedudukan dan wewenang DKPP untuk menegakkan etika penyelenggara pemilu di Indonesia sesuai Undang Undang 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pandangan atau argumen kepada masyarakat umum dan KPU serta Bawaslu sebagai Penyelenggara Pemilu di Indonesia, bahwa DKPP merupakan lembaga yang secara khusus bertugas melakukan pengawasan terhadap penegakan etika bagi penyelenggara Pemilu di Indonesia.

E. Kerangka Teori

1. Teori Lembaga Negara Dalam perkembangan sejarah, teori, dan pemikiran tentang pengorganisasian, kekuasaan dan organisasi negara berkembang sangat cepat. Variasi struktur dan fungsi organisasi dan institusi institusi kenegaraan berkembang menjadi banyak ragam dan bentuknya, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Gejala perkembangan semacam itu merupakan kenyataan yang tak terelakan akibat tuntutan keadaan dan kebutuhan yang nyata, baik karena faktor sosial, ekonomi, politik, dan budaya di tengah pengaruh globalisasi yang semakin kompleks.

Semua corak, bentuk, bangunan, dan struktur organisasi yang ada hanyalah mencerminkan respon negara dan pengambil keputusan dalam suatu negara dalam mengorganisasikan berbagai kepentingan yang timbul dalam masyarakat negara yang bersangkutan. Karena kepentingan yang timbul bervariasi, maka corak organisasi negaranya juga berkembang dengan dinamika sendiri.

Terdapat enam tipe organisasi sebagaimana dikemukakan Gerry Stoker, yaitu:

1. Organ yang bersifat central governments arms length agency:2. Organ yang merupakan local authority implementation agency;3. Organ atau institusi sebagai public/private partnership organization;4. Organ sebagai user-organisation;5. Tipe kelima, organ yang merupakan inter-govermental forum;6. Tipe keenam, organ yang merupakan Joint Boards.Menurut Gerry Stoker, both cental and local government have encouraged experimentation with non-elected forms of government as a way encouraging the greater involvement of major private corporate sector companies, banks, and building societies in dealing with problems of urban and economic decline.

Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah bersama sama terlibat dalam upaya eksperimentasi kelembagaan yang mendasar dengan aneka bentuk organisasi baru yang diharapkan lebih mendorong keterlibatan sektor swasta dalam mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam mengatasi persoalan ekonomi yang terus menurun. Masalah sosial, ekonomi, dan budaya yang dihadapi semakin kompleks sehingga kita tidak dapat lagi mengandalkan bentuk organisasi yang konvensional untuk mengatasinya.

Ragam bentuk organ pemerintahan mencakup struktur yang sangat bervariasi, meliputi pemerintah pusat, kementerian kementerian yang bersifat teritorial, ataupun intermediate institutions. Organ organ tersebut pada umumnya berfungsi sebagai a quasi governmental world of appointed bodies, dan bersifat nondepartemental agencies, single purpose authorities, dan mix public private institutions.

Di negara negara demokrasi yang telah mapan, seperti di Amerika Serikat dan Perancis, pada tiga dasawarsa terakhir abad ke 20, juga banyak bertumbuh lembaga lembaga negara baru. Lembaga baru tersebut biasa disebut sebagai state auxiliary organs, atau auxiliary institutions sebaga lembaga negara yang bersifat penunjang. Di antara lembaga lembaga itu kadang kadang ada juga yang disebut sebagai self regulatory agencies, independent supervisory bodies atau lembaga lembaga yang menjalankan fungsi campuran (mix fuction) antara fungsi fungsi regulatif, administratif, dan fungsi penghukuman yang biasanya dipisahkan tetapi justru dilakukan secara bersamaan oleh lembaga lembaga baru tersebut.

Perkembangan lembagalembaga yang bersifat independen mencerminkan adanya kebutuhan untuk mendekosentrasikan kekuasaan dari tangan birokrasi ataupun organ organ konvensional pemerintahan tempat kekuasaan selama masa sebelumnya terkonsentrasi. Organisasi kekuasaan yang birokratis, sentralistis, dan terkonsentrasi tidak dapat lagi diandalkan, karena sebagai akibat dari perkembangan yang semakin komplek dan rumit, oleh karena itu, pada waktu yang hampir bersamaan muncul gelombang deregulasi, debirokratisasi, desentralisasi, dan dekonsentrasi.

Salah satu akibatnya, fungsi kekuasaan yang biasanya melekat dalam fungsi lembaga eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif dialihkan menjadi fungsi organ tersendiri yang bersifat independen. Oleh karena itu, kadang kadang lembaga baru tersebut menjalankan fungsi yang bersifat campuran dan independen.

Istilah organ negara atau lembaga negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat atau organisasi non pemerintah yang dalam bahasa Inggris disebut Non Government Organization. Dengan demikian, lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat disebut sebagai lembaga negara. Lembaga negara dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran.

Konsepsi tentang lembaga negara ini dalam bahasa Belanda biasa disebut staatsorgaan, yang dalam bahasa Indonesia hal itu identik dengan lembaga negara, badan negara, atau disebut juga dengan organ negara. Dalam kamus Hukum Bekanda Indonesia, kata staatsorgaan diterjemahkan sebagai alat perlengkapan negara. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa istilah lembaga negara, organ negara, badan negara, dan alat perlengkapan negara seringkali dipertukarkan. Akan tetapi menurut Natabaya, penyusun Undang Undang Dasar 195 sebelum perubahan, cenderung konsisten menggunakan istilah badan negara, bukan lembaga negara atau organ negara. Namun, Undang Undang Dasar 1945 setelah perubahan melanjutkan kebiasaan MPR sebelum masa reformasi yang tidak konsisten menggunakan peristilahan lembaga negara, organ negara, dan badan negara.

Untuk memahami secara tepat, tidak ada jalan lain kecuali mengetahui persis apa yang dimaksud dan apa kewenangan dan fungsi yang dikaitkan dengan organisasi atau badan yang bersangkutan. Lembaga apa saja yang dibentuk yang bukan lembaga masyarakat dapat disebut lembaga negara. Montesquieu mengatakan bahwa terdapat tiga jenis organ negara yaitu lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif. Masing masing lembaga tersebut memiliki fungsinya tersendiri dalam pemerintahan. Dewasa ini doktrin Montesquieu tersebut sudah tidak relevan lagi digunakan sebagai rujukan. Hal ini dikarenakan tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organ tersebut bekerja secara eksklusif. Kenyataan sekarang menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan ketiganya bersifat sederajat serta saling mengendalikan satu sama lainnya dengan prinsip check and balances.

Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan non departemen, atau lembaga negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh Undang Undang Dasar, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari Undang Undang, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Hirarki kedudukannya tentu saja berdasarkan pada derajat pengaturannya menurut perundang undangan yang berlaku.

Lembaga negara yang diatur dan dibentuk dengan Undang Undang Dasar merupakan organ konstitusi yaitu Presiden, MPR, DPR, DPD, MK, MA, BPK, TNI, Polri, Bank Sentral, Komisi Penyelenggara Pemilu, dan Komisi Yudisial. sedangkan yang dibentuk berdasarkan Undang Undang merupakan organ Undang Undang misalnya Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan sebagainya, sementara yang hanya dibentuk karena Keputusan Presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya. Demikian pula jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya.

Harus diakui bahwa di tengah masyarakat sekarang masih berkembang pemahaman yang luas bahwa pengertian lembaga negara dikaitkan dengan cabang cabang kekuasaan tradisional legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Lembaga negara dikaitkan dengan pengertian lembaga yang berada di ranah kekuasaan legislatif disebut lembaga legislatif, yang berada di ranah eksekutif disebut lembaga pemerintah, dan yang berada di ranah yudikatif disebut sebagai lembaga pengadilan.

Sebelum perubahan Undang Undang Dasar 1945 biasa dikenal adanya istilah lembaga pemerintah, lembaga departemen, lembaga non departemen, lembaga negara, lembaga tinggi negara dan lembaga tertinggi negara. Dalam istilah hukum tata negara biasa dipakai istilah yang menunjuk kepada pengertian yang lebih terbatas yaitu alat perlengkapan negara yang biasanya dikaitkan dengan cabang cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial.

Bab III Undang Undang Dasar 1945 mengatur tentang kekuasaan pemerintahan negara. Bab ini menggambarkan proses dan sistem pemerintahan negara. Sebelum diadakan perubahan pertama Undang Undang Dasar 1945, pengertian pemerintahan negara mencakup pengertian yang luas meliputi fungsi legislative dan eksekutif sekaligus. Hal ini dapat dilihat di dalam rumusan pasal 5 ayat 1 Undang Undang Dasar 1945 yaitu Presiden memegang kekuasaan membentuk undang undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Setelah perubahan pertama Undang Undang Dasar 1945, mulai diadakan pergeseran kekuasaan legislatif dengan mengalihkan lebih banyak peranan dalam membentuk undang undang dari kewenangan Presiden menjadi kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat. Pergeseran ini berkaitan pula dengan pembagian kekuasaan versus pemisahan kekuasaan. Sebelum diadakan perubahan, kedaulatan rakyat dianggap tercermin dalam kekuasaan lembaga tertinggi negara, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai penjelmaan seluruh rakyat. Dari lembaga tertinggi inilah kekuasaan dari rakyat dibagi bagikan kepada lembaga lembaga tinggi negara lain secara distributif (division of power). Oleh karena itu paham yang dianut bukan pemisah kekuasaan dalam arti horizontal, melainkan pembagian kekuasaan dalam arti vertikal. Sejak perubahan pertama sampai keempat terhadap Undang Undang Dasar 1945, Konstitusi negara kita meninggalkan doktrin pembagian kekuasaan dan mengadopsi gagasan pemisahan kekuasaan dalam arti horizontal. Pemisahan kekuasaan yang dilakukan dengan menerapkan prinsip check and balances di antara lembaga lembaga konstitusional yang sederajat yang diidealkan saling mengendalikan satu sama lain.

2. Teori Rule of Law dan Rule of EthicsRule of Law merupakan suatu legalisme hukum yang mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui pembuatan sistem peraturan dan prosedur yang obyektif, tidak memihak, dan otonom. Rule of Law adalah konsep tentang common law, yaitu seluruh aspek negara menjunjung tinggi supremasi hukum yang dibangun diatas prinsip keadilan dan egalitarian. Rule of Law adalah rule by the law bukan rule by the man.

Menurut doktrin Rule of Law, keadilan harus berlaku bagi setiap orang. Friedman berpendapat bahwa Rule of Law merupakan doktrin dengan semangat idealism keadilan yang tinggi. Rule of Law dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:

pengertian formal (in the formal sense) yaitu organized public power atau kekuasaan umum yang terorganisasikan, misalnya negara. pengertian hakiki (Ideological sense) yang erat hubungannya dengan menegakkan rule of law karean menyangkut ukuran ukuran tentang hukum yang baik dan buruk.Untuk memahami pengertian dari Rule of law dibutuhkan pemahaman mengenai inti ajaran Rule of law, yaitu keharusan menjamin apa yang diperoleh masyarakat atau bangsa yang bersangkutan dipandang sebagai keadilan, khususnya keadilan sosial. Rule of law sebagai suatu institusi sosial yang memiliki struktur sosial sendiri dan mengakar pada budaya sendiri. Rule of law tumbuh dan berkembang selama ratusan tahun seiring dengan pertumbuhan masyarakat Eropa, sehingga mengakarkan sosial dan budaya Eropa, dan bukan institusi netral.

Gerakan masyarakat yang menghendaki kekuasaan raja maupun penyelenggara negara harus dibatasi dan diatur melalui suatu perundang undangan, dan pelaksanaan dalam hubungannya dengan segala peraturan perundang undangan sering diberikan istilah Rule of law. Pengertian Rule of law berdasarkan substansi atau isinya sangat berkaitan dengan peraturan perundang undangan yang berlaku dalam suatu negara. Konsekuensinya setiap negara akan mengatakan mendasarkan pada Rule of law dalam kehidupan negaranya,meskipun negara tersebut adalah negara otoriter. Atas dasar alasan ini maka diakui bahwa sulit untuk menentukan pengertian Rule of law secara universal, karena setiap masyarakat melahirkan pengertian yang berbeda beda.

3. Prinsip Rule of lawPrinsip secara formal Rule of law tertera di dalam Undang Undang Dasar 1945. Jaminan adanya keadilan bagi masyarakat khususnya keadilan sosial menjadi tujuan dari Rule of law. Prinsip Rule of law di dalam Undang Undang dasar 1945 antara lain: Pasal 1 ayat 3 yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum; Pasal 27 ayat 1 yang menyebutkan bahwa segala warga negara bersamaan dengan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali; Pasal 28 ayat 1 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil di hadapan hukum; Pasal 28 ayat 2 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.Prinsip-prinsip Rule of Law secara materiil / hakiki, Berkaitan erat dengan the enforcement of the Rule of Law; Keberhasilan the enforcement of the rule of law tergantung pada kepribadian nasional; masing-masing bangsa; Rule of law mempunyai akar sosial dan akar budaya Eropa; Rule of law juga merupakan suatu legalisme, aliran pemikiran hukum; mengandung wawasansosial, gagasan tentang hubungan antarmanusia; masyarakat dan negara. Rule of law merupakan suatu legalisme liberal. Albert Venn Dicey dalam Introduction to the Law of the Constitution, memperkenalkan istilah the Rule of Law yang secara sederhana diartikan sebagai suatu keteraturan hukum. Menurut Dicey terdapat 3 unsur yang fundamental dalam Rule Of Law, yaitu: Supremasi aturan-aturan hukum; Kedudukan yang sama dimuka hukum; Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh Undang-undang serta keputusan pengadilan.Suatu hal yang harus diperhatikan bahwa dalam hubungan dengan negara hanya berdasarkan prinsip tersebut, maka negara terbatas dalam pengertian negara hukum formal, yaitu negara tidak bersifat proaktif melainkan pasif. Sikap negara yang demikian ini dikarenakan negara hanya menjalankan dan taat pada apa yang termaktub dalam konstitusi semata.Dalam hubungan negara hukum organisasi pakar hukum internasional, International Comission of Jurists (disingkat ICJ), secara intens melakukan kajian terhadap konsep negara hukum dan unsur-unsur esensial yang terkandung di dalamnya. Secara praktis, pertemuan ICJ di Bangkok tahun 1965 semakin menguatkan posisi Rule Of Law dalam kehidupan bernegara. Selain itu melalui pertemuan tersebut telah digariskan bahwa disamping hak-hak politik bagi rakyat harus diakui pula adanya hak-hak sosial dan ekonomi, sehingga perlu dibentuk standar-standar sosial ekonomi. Komisi ini merumuskan syarat-syarat pemerintahan yang demokratis dibawah Rule Of Law yang dinamis, yaitu : Perlindungan konstitusional; Lembaga kehakiman yang bebas dan tidak memihak; Pemilihan umum yang bebas; Kebebasan menyatakan pendapat; Kebebasan berserikat/berorganisasi dan berposisi; Pendidikan kewarganegaraan;Etika atau ethics merupakan ilmu yang mempelajari tentang kesusilaan atau ilmu tentang ahlak manusia. Secara umum etika berasal dari kata bahasa Yunani yaitu ethos atau menurut E. Y Kanter Mores atau moralis yang berarti kebiasaan, cara hidup, tabiat, akhlak atau watak yang akan muncul sebagai suatu perilaku. Terdapat beberapa pendapat mengenai istilah etika ini, salah satunya menurut Jihn O Manique menyebutkan bahwa etis (moral) adalah normatif, yang mengandung penilaian tentang apa yang dianggap baik dan tidak baik, dan apa yang sebaiknya dan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan. Selanjutnya Jihn O Manique juga menjelaskan bahwa masalah moral yang dianggap baik itu erat hubungannya dengan faham mengenai tanggung jawab atau responsibility. Pengertian etika politik secara subtantif tidak dapat dipisahkan dengan manusia sebagai pelaku etika. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subyek etika. Walaupun dalam hubungannya dengan masyarakat bangsa maupun negara, etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya.

Dalam pelaksanaan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan asas legalitas, secara demokrasi dan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral. Etika politik ini harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara kongkret dalam pelaksanaan pemerintah negara.

Tujuan etika politik adalah mengarahkan pada hal yang lebih baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil. Definisi etika politik membantu menganalisis korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Pengertian etika politik mengandung tiga tuntutan, yaitu upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain, upaya memperluas lingkup kebebasan, dan membangun institusi-institusi yang adil.

Tiga tuntutan dari pengertian etika politik ini saling terkait erat. Hidup bersama dan untuk orang lain tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan yang mencegah warga negara atau kelompok-kelompok dari perbuatan yang saling merugikan. Kebebasan warga negara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan dimaksudkan sebagai sebagai syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan kongkret kebebasan, kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya. Etika politik ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang jujur, bertatakrama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sifat munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.

Penyelenggaraan negara dilaksanakan oleh organ yang bernama aparatur negara. Baik buruknya penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan terkait erat dengan perilaku dari aparatur negara. Terkaitk dengan etika sebagaimana telah disebutkan Jihn O Manique, etika penyelenggara negara merupakan nilai moral yang mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur sikap, perilaku, tindakan, ucapan dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya. Aturan ini tentu harus dilakukan agar dapat mencapai suatu kemajuan dalam suatu kehidupan yang dicita citakan yaitu aman, tenteram, damai, sejahtera dan untuk itu sudah seharusnya setiap gerak dan langkah yang dialkukan sebaiknya harus selalu menjunjung tinggi dan memegang teguh norma etika yang ada. Aparatur negara dan pemerintah memiliki tujuan untuk mendidik dan mensejahterakan rakyat. Untuk dapat melakukan hal tersebut seorang pemimpin atau pelaksana negara harus memiliki etika yang baik dalam melaksanakan tugasnya. Ajaran untuk berperilaku baik dan benar sesuai dengan nilai nilai keutamaan yang berhubungan dengan hakikat manusia disebut etika pemerintahan. Etika pemerintahan juga bagian dari praktik yurisprudensi atau filosofi hukum yang mengatur operasi dari pemerintah dan hubungannya dengan orang orang dalam pemerintahan. Prinsip prinsip etika harus disesuaikan dengan keadaan, waktu, dan tempat, prinsip etika yang bersifat authority, yang bersifat perintah menjadi suatu peraturan sehingga kadang kadang merupakan atribut yang tidak bisa dipisahkan. Dalam etika pemerintahan apa yang dianjurkan merupakan paksaan (imperative) yang dalam kehidupan sehari - hari dapat menimbulkan kesulitan. Hubungan etika pemerintahan dengan authority, misalnya adalah berpakaian dinas. Hal ini sebenarnya hanya masalah etika, namun kalau sudah dituangkan bukan lagi bersifat etis, tetapi bersifat pelaksanaan (operasional). Kendatipun tidak ada sanksi yang tegas, etika mengikuti suatu perubahan di dalam masyarakat yang bergantung pada kemauan, karena kehendak masyarakat pada suatu waktu bisa berubah ubah.

Etika bergantung pada authority menghendaki orang harus tunduk pada perintah, sedangkan pemerintah memupunyai sifat authority, yaitu sifat memaksakan. Pemerintah tidak dapat melaksanakan perintah sekehendaknya yang bertentangan dengan nilai etika masyarakat. Etika dalam fungsi pemerintahan antara lain,

Etika dalam proses kebijakan publik; Etika dalam pelayanan publik; Etika dalam pengaturan dan penataan kelembagaan pemerintahan

Etika dalam pembinaan dan pemberdayaan masyarakat; Etika dalam kemitraan antara pemerintahan, pemerintah dengan swasta, dan dengan masyarakat.Etika pemerintahan tidaklah berdiri sendiri, di mana penegakannya terjalin erat dengan pelaksanaan prinsip penerapan hukum. Sebuah pemerintahan yang bersih akan tercapai apabila segala kebijakan dan tingkah laku dari aparatur pemerintah juga baik dan bersih. Dengan demikian kebutuhan masyarakat akan terpenuhi secara merata. Setiap warga masyarakat berhak memperoleh pelayanan dan perlakuan yang adil dari aparatur pemerintah berdasarkan nilai nilai etika dan hukum yang berlakuB. Keterkaitan Demokratisasi dan Pemilu

Salah satu akar kedaulatan rakyat adalah demokratisasi yang dimaknai sebagai implementasi demokrasi yang sesungguhnya, sehingga tidak ada kedaulatan rakyat tanpa demokrasi dan tidak ada demokrasi tanpa adanya kedaulatan rakyat. Dalam konsep demokrasi, pemerintahan dibangun atas pemahaman bahwa rakyat memegang kedaulatan tertinggi dalam menentukan corak pemerintahan yang diinginkannya.

Hal ini dapat diwujudkan ketika seorang penguasa dipilih oleh rakyat melalui proses pemilihan yang kompetitif. Artinya dalam proses itu terdapat lebih dari seorang calon. Para calon tersebut harus saling bersaing untuk memperlihatkan kepada pemilih, siapa di antara mereka yang paling kompeten untuk menjadi pemimpin.

Adanya cara pemilihan sebagai wujud partisipasi rakyat dalam negara merupakan wujud turut serta rakyat dalam mengawasi kegiatan dari pemerintah. Hal ini menjadikan rakyat memiliki peran ganda, satu sisi seorang warga negara menjadi orang yang patuh terhadap pemerintah, sisi lain rakyat menjadi pihak yang berkuasa dalam negara. Oleh sebab itu, dalam negara yang menjunjung tinggi asas demokrasi, rakyat merupakan penentu atau juri segala tindakan negara melalui sarana yang dinamakan sebagai pemilihan umum.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemilu sebagai alat demokrasi yang memposisikan pemilu sebagai representative government. Oleh sebab itu, keterkaitan demokrasi dengan pemilu dapat dilihat dari sejauh mana pertarungan antar kelompok yang menghasilkan representasi politik.

Kebebasan dan penghormatan terhadap hak hak asasi manusia pada intinya juga merupakan bagian dari demokrasi, sehingga tepat jika kemudian pemilu sebagai sarana demokratisasi memberikan jaminan kebebasan memilih dan sikap memilih sebagai suatu hak. Dengan demikian, kebebasan memilih seorang wakil rakyat akan terkait erat dengan keinginan atau kemauan dari pemilihnya.

Ketidakbebasan dalam memilih atau menjalankan amanat rakyat yang diwakilinya menyebabkan rakyat dan para wakilnya menjadi subordinasi penguasa. Akibatnya, pemilu yang menjadi sarana memilih dan dipilih lebih merupakan kamuflase politik yang penuh dengan penipuan politik yang cenderung untuk mendapatkan keabsahan politik semata. Kondisi seperti ini, sering terjadi terhadap negara yang iklim demokrasinya berada dalam tekanan penguasa. Realita lainnya juga menunjukkan bahwa struktur kekuasaan yang timpang akan berkaitan dengan kemampuan untuk mengatur berdasarkan kepentingan dan tujuan yang dicapai elit politik. Akhirnya, setiap kebijakan negara yang harus ditaati dengan dalih sebagai bagian dari the politics of the common good.Dalam interaksi politik yang normal, demokratisasi dan pemilu akan berjalan sebagai tradisi yang dijalankan secara wajar. Dengan demikian, perubahan pemerintahan dan pergantian penguasa yang menjadi akibatnya dapat disandarkan pada aturan main yang jelas dalam konstitusi. Namun, jika demokrasi dan pemilu dilakukan sebagai akibat terjadinya konflik politik, seringkali muncul penguasa yang memaknai demokrasi dan pemilu sebagai dalih atas kekuasaan yang dimilikinya

F. Metode PenelitianMetode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara metode penelitian hukum normatif atau disebut juga penelitian hukum kepustakaan. Penelitian ini mempergunakan bahan pustaka atau data sekunder yang mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer mencakup norma, atau kaedah dasar, peraturan dasar, Peraturan Perundang undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, dan Yurisprudensi.

Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya, rancangan undang undang, hasil hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan lain lain.

Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks, dan lain lain.

Bahan dasar penelitian kepustakaan dapat dilihat dari sudut informasi yang dapat diberikan yaitu: bahan /sumber yakni bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir, ataupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan. Misalnya buku buku, kertas kerja konperensi, seminar dan lain lain.

Bahan/sumber sekunder yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer. Misalnya, intisari, abstrak, bibliografi, dan lain lain. Bahan tersier atau bahan penunjang merupakan petunjuk terhadap bahan primer dan sekunder.

Penelitian hukum normatif terhadap bahan bahan kepustakaan yang berkaitan dengan pemilihan umum pada umumnya bersumber pada peraturan perundang undangan, sistem pemilu, penyelenggara pemilu, dan yang terkait dengan pengawas penyelenggara pemilu. Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan dibagi dalam lima bab, yang terdiri dari beberapa sub bab. Bab pertama menguraikan mengenai latar belakang, pokok permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab kedua menguraikan mengenai sejarah penyelenggaraan Pemilu yang telah berlangsung beberapa kali, di antaranya pada tahun 1955, pada masa Orde Baru, pada era Refomasi, yaitu Pemilu Tahun 2004 dan Tahun 2009. Bagian ini juga menguraikan mengenai lembaga-lembaga yang menyelenggarakan Pemilu, yaitu KPU, dan lembaga yang mengawasi Pemilu, yaitu Bawaslu.Bab ketiga menguraikan mengenai kedudukan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam penyelenggaraan pemilu. Kemudian akan menguraikan bagaimana struktur organisasi dan tata kerja DKPP, serta tugas dan wewenang dari DKPP tersebut. Selanjutnya di dalam bab ini juga akan dibahas apa saja hambatan pelaksanaan tugas DKPP ini.

Bab keempat menguraikan mengenai kedudukan DKPP dalam penegakan etika penyelenggara pemilu di Indonesia dan bagaimana bentuk pelanggaran etika pejabat penyelenggara pemilu. Kemudian akan menguraikan mengenai bagaimana proses DKPP memberikan sanksi terhadap pelanggaran etika penyelenggara pemilu.

Bab kelima sebagai bagian penutup memaparkan kesimpulan kesimpulan berdasarkan analisis atau pembahasan pokok-pokok permasalahan pada penelitian ini. Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, bagian ini mengajukan saran saran kepada pihak-pihak yang relevan dengan penelitian yang dilakukan dan dapat menjadi masukan bagi perkembangan ilmu hukum di bidang penyelenggaraan Pemilu. Indonesia, Undang Undang Dasar 1945, Pasal 1 ayat (2).

Abdul Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, (Bandung: Fokusmedia, 2009), hlm. 34.

Indonesia, Undang Undang Dasar 1945, Pasal 18 dan Pasal 19.

Dasril Radjab, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 65.

Wendy Melfa, Pemilukada (Demokrasi dan Otonomi Daerah ), (Lampung : BE Press, 2013), hlm. 35.

Ibid, hlm 47.

Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm 1.

Gerry Stoker, The Politics of Local Government, 2nd edition, (London: The Macmillan Press, 1991), hlm. 63.

Ibid.

Asshidiqie, op. cit, hlm. 7.

Ibid.

Ibid, hlm 20.

Ibid, hlm 27.

Marjanne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda Indonesia, cet -2,(Jakarta: Djambatan, 2002), hlm 390.

Asshidiqie, op. cit, hlm 28.

Ibid, hlm 32.

Ibid, hlm. 38.

Ibid.

Indonesia, Undang Undang Dasar 1945, Ps. 5 ayat (1)

Asshidiqie, op cit, hlm 40.

Sunaryati Hartono, Apakah The Rule Of Law itu, (Bandung: Alumni, 1982), hlm 56.

Ibid.

Ibid, hlm 65.

Ibid, hlm. 77.

Satjipto Rahardjo, Beberapa Masalah Hukum Dalam Masyarakat, (Jakarta: Rajawali Press, 1976), hlm. 51-52.

Ibid., hlm. 56.

Miriam Budiarjo, Dasar Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 57 - 58

Ibid, hlm. 69

Inu Kencana, Etika Pemerintahan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm. 23

Ibid, hlm. 44.

Amir Santoso, Demokrasi dan Pergantian Kekuasaan secara Damai, (Prisma, 1992), hlm. 22.

Gouw Giok Siong, Warga negara dan Orang Asing, (Jakarta: Keng Po, 1958), hlm. 82.

R. Eep Saefullah Fatah, Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm. 15.

Ibid, hlm. 44

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986,) hlm. 52.

Ibid.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1985), hlm. 29.

Ibid.

Ibid, hlm. 33.

1

22