ARTIKEL/JURNAL HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN TEMPER TANTRUM PADA ANAK USIA PRASEKOLAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS LUBUK BUAYA PADANG Penelitian Keperawatan Anak MARISKA WULANDARI BP.1010323027 FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS ANDALAS 2015
ARTIKEL/JURNAL
HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN TEMPER TANTRUM PADA ANAK USIA PRASEKOLAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
LUBUK BUAYA PADANG
Penelitian Keperawatan Anak
MARISKA WULANDARI
BP.1010323027
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2015
HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN TEMPER TANTRUM PADA ANAK USIA PRASEKOLAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
LUBUK BUAYA PADANG
Ns. Dwi Novrianda, M.Kep*a, Ns. Elvia Metti, M. Kep, Sp.Kep.Mat *b, Mariska Wulandari*c
*a Pembimbing I Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Andalas
*b Pembimbing II Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Andalas
*c Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Andalas
Abstract: Correlation Between Parenting and Temper Tantrums of Preschoolers at Region Work of Lubuk Buaya Padang Health Center 2014
Temper tantrums are uncontrolled outbursts of anger that occur in children and can lead to hurt themself and others. One of the factors that influence is parenting. This studied aims to find out the correlation between parenting and temper tantrums of preschoolers at region work of Lubuk Buaya Padang Health Center 2014. Type of research was descriptive correlation with cross sectional design. Data collection conducted on 24 of December 2014 through 3 of January 2015 with a sample of 170 respondents using proportional random sampling technique. The Data was analyzed using chi-square. The results showed that more than half (67.1%) preschool children suffered moderate temper tantrums and less than half (49,4%) parents had authoritarian parenting. There was a significant correlation between parenting with temper tantrums of preschoolers with p-value (0.000). It can be concluded that authoritarian parenting can improve temper tantrums in children. Based on the research results,it’s suggested to health centers to conduct counseling to parents about parenting and advise parents that preschoolers should be care with democratic parenting. Keywords : parenting, temper tantrums, authoritarian, democratic
Bibliography :44 (2002-2014)
Abstrak: Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Temper Tantrum pada Anak Usia Prasekolah di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya tahun 2014
Temper tantrum yang tidak dikendalikan dengan baik dapat mengganggu perkembangan emosi anak. Salah faktor yang mempengaruhinya adalah pola asuh orang tua. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan temper tantrum anak usia prasekolah di wilayah kerja Puskesmas Lubuk Buaya tahun 2014. Jenis penelitian adalah deskriptif kolerasi dengan desain cross sectional study. Pengumpulan data dilakukan tanggal tanggal 24 Desember 2014 sampai dengan 3 Januari 2015 kepada 170 responden menggunakan teknik proportional random sampling. Analisa data menggunakan chi square. Hasil penelitian menunjukkan lebih dari setengah (67,1%) anak usia prasekolah mengalami temper tantrum sedang dan kurang dari setengah (49,4) orang tua memiliki pola asuh otoriter. Terdapat hubungan yang bermakna antara pola asuh dengan temper tantrum pada anak prasekolah dengan nilai p (0,000). Dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoriter
dapat meningkatkan temper tantrum pada anak. Berdasarkan hasil penelitian, disarankan kepada puskesmas agar mengadakan penyuluhan atau konseling kepada orang tua mengenai pola asuh dan menyarankan orang tua bahwa anak usia prasekolah sebaiknya diasuh dengan pola asuh demokratis. Kata kunci : pola asuh, temper tantrum, otoriter, demokratis Daftar Pustaka : 44 (2002-2014)
PENDAHULUAN
Perkembangan anak merupakan
sebuah proses yang indah di mata orang
tua. Masa perkembangan anak selalu
menjadi perhatian istimewa bagi para
orang tua dalam mengasuh dan mendidik
anak hingga dewasa. Hal terkait
perkembangan anak salah satunya
mengenai pengasuhan anak yang
merupakan sebuah diskusi hangat dan
selalu menjadi bahan perbincangan antara
orang tua, karena orang tua mempunyai
andil yang besar dalam proses
terbentuknya kepribadian anak
(Nurradiyah, 2010).
Anak usia prasekolah adalah anak
usia 3-5 tahun merupakan usia emas yang
apabila pada masa tersebut anak diberi
pendidikan dan pengasuhan yang tepat
akan menjadi model penting bagi
perkembangan anak di kemudian hari.
Anak mulai berkenalan dan belajar
menghadapi rasa kecewa, marah, sedih.
Akan tetapi seringkali orang tua
menyambut emosi yang dirasakan oleh
anak. Hal ini menyebab emosi anak tak
tersalurkan dengan lepas sehingga
tumpukan emosi inilah yang nantinya
meledak dan tak terkendali sehingga
muncul sebagai temper tantrum (Papalia,
Feldman, dan Mortorell, 2012).
Temper tantrum adalah episode
dari kemarahan dan frustasi yang ekstrim,
yang tampak seperti kehilangan kendali
seperti dicirikan oleh perilaku menangis,
berteriak, dan gerakan tubuh yang kasar
atau agresif seperti membuang barang,
berguling di lantai, membenturkan kepala,
dan menghentakkan kaki ke lantai. Anak
yang lebih kecil (lebih muda) biasanya
sampai muntah, pipis, atau bahkan nafas
sesak karena terlalu banyak menangis dan
berteriak. Terdapat di dalam kasus lain ada
anak yang sampai menendang atau
memukul orang tua atau orang dewasa
lainnya misalnya pada baby sitter (Tandry,
2010)
Temper tantrum biasanya hanya
mengenai satu hal spesifik, yaitu
kemarahan yang dilakukan oleh anak
kecil. Hampir semua tantrum terjadi ketika
anak sedang bersama orang yang paling
dicintainya. Tingkah laku ini biasanya
mencapai titik terburuk pada usia 18 bulan
hingga tiga tahun, dan kadang masih
ditemui pada anak usia empat atau enam
tahun, namun hal tersebut sangat tidak
biasa dan secara bertahap akan menghilang
(Kirana, 2013).
Dariyo (2007: 34) mengatakan jika
temper tantrum merupakan kondisi yang
normal terjadi pada anak-anak berumur 1-
3 tahun, apabila tidak ditangani dengan
tepat dapat bertambah sampai umur 4-6
tahun. Kemampuan untuk mengolah atau
mengatur emosi memegang peranan
penting dalam perkembangan
kepribadiannya. Oleh karena itu anak yang
mudah mengatur emosinya maka ia akan
dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosialnya.
Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa temper tantrum terjadi sekurangnya
sekali seminggu pada 50-80 % anak
prasekolah. Diperkirakan tiga perempat
dari seluruh perilaku temper tantrum
terjadi di rumah, namun temper tantrum
terburuk sering ditujukan di tempat-tempat
umum yang menjamin anak mendapat
perhatian sebesarnya dengan membuat
orang tua merasa malu (Hayes, 14: 2004).
Penelitian lain menunjukkan bahwa
penyebab utama temper tantrum pada anak
adalah konflik mereka dengan orang tua,
konflik paling umum adalah mengenai
makanan dan makan (16,7 %), konflik
lainnya adalah meletakkan anak di kereta
dorong, kursi tinggi untuk bayi, tempat
duduk di mobil, dan sebagainya (11,6 %),
konflik mengenai pemakaian baju (10,8
%). Ada kejadian puncak yang
menunjukkan bahwa temper tantrum lebih
banyak terjadi menjelang tengah hari dan
petang saat anak lapar ataupun lelah
(Hayes, 16: 2004).
Akibat yang ditimbulkan dari
temper tantrum ini cukup berbahaya,
misalnya anak yang melampiaskan
kekesalannya dengan cara berguling-
guling dilantai yang keras dapat
menyebabkan anak menjadi cedera. Anak
yang melampiaskan amarahnya dapat
menyakiti dirinya sendiri, menyakiti orang
lain atau merusak benda yang ada
disekitarnya. Jika benda-benda yang ada
disekitar anak merupakan benda keras
maka akan sangat berbahaya karena anak
dapat tersakiti dan mengalami cedera
akibat dari tindakan temper tantrumnya.
Sebuah penelitian yang dilakukan
oleh Potegal, dkk (2003) pada 335 anak
yang berumur 18 sampai 60 bulan tentang
durasi dan cara mengatur tantrum,
menunjukkan bahwa beberapa anak usia 3
atau 4 tahun mengalami tantrum sekali
dalam satu hari. Tantrum terjadi ketika
anak lapar, lelah atau kecewa. Tantrum
berlangsung selama 0,5 sampai 1 menit,
dan 75% kejadian tantrum berlangsung
selama 5 menit atau lebih. Tantrum terjadi
karena pengawasan orang tua yang kurang,
walaupun orang tua memiliki kemampuan
untuk mengalihkan perhatian anak saat
mengalami tantrum, namun terkadang
mereka tidak dapat mencegahnya.
Penelitian yang dilakukan oleh
Trahan (2007) yang berjudul tantrums
and anciety on early childhood: a pilot
study mendapatkan gambaran dari 33
responden yang berumur 3-5 tahun 26
orang (79%) melaporkan frekuensi
tantrum anaknya dalam kategori sering
terjadi , dengan setengah dari mereka
(n=12) melaporkan tantrum terjadi harian,
dan setengah (n=14) melaporkan tantrum
terjadi mingguan. Sisanya (n=7)
melaporkan frekuensi tantrum sangat
kurang, dari yang terjadi kurang sekali
sebulan sampai yang tidak pernah (n=1).
Durasi tantrum yang dialami oleh
responden dalam penelitian ini berkisar
antara 2 sampai 75 menit. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Nur Radiyah (2013)
tentang hubungan pola asuh orang tua
terhadap intensitas temper tantrum pada
anak autis di SLB Bhakti Luhur Malang
hasilnya adalah ada hubungan antara pola
asuh orang tua dengan intensitas temper
tantrum anak autis dimana Pada pola asuh
dialogis terdapat hubungan yang signifikan
antara pola asuh orang tua dan intensitas
temper tantrum pada anak autis.
Hubungan dengan orang terdekat
memainkan peran penting dalam
perkembangan terutama dalam
perkembangan emosi, intelektual dan
kepribadian anak. Bentuk-bentuk pola
asuh orang tua sangat erat hubungannya
dengan kepribadian anak setelah menjadi
dewasa. Disimpulkan pola asuh yang
diterapkan oleh orang tua sangat dominan
dalam bentuk kepribadian anak sejak dari
kecil sampai anak menjadi dewasa
(Subhan, 2013).
Pola asuh yang baik pada anak usia
3-5 tahun meliputi orang tua hendaknya
selalu mengajak anak berbicara dan
bermain interaktif, melibatkan anak
sesering mungkin dalam melaksanakan
tugas sehari-hari, jangan memaksa anak
untuk melakukan hal yang tidak
disukainya, memberikan pujian kepada
anak ketika anak melakukan apa yang
diperintahakan, memberikan kesempatan
kepada anak untuk mencoba keterampilan
motorik, sosial serta bahasanya sesuai
dengan tahap perkembangannya (Laurent,
2007:25-36 ).
Banyak orang tua yang
menganggap wajar tentang masalah yang
sering muncul pada anak. Seperti agresif,
banyak kemauan, berbohong, bandel atau
hyperaktif, suka berteriak, persaingan
saudara (sibling rivalry). Akan tetapi,
apabila orang tua salah dalam memberikan
pola asuh maka akan berdampak tidak baik
bagi anak dalam perkembangan
selanjutnya (Abuila, 2008).
Akhir-akhir ini kasus akibat
kekerasan di sekolah semakin sering di
temui melalui media cetak maupun di
layar televisi. Selain tawuran antar pelajar
sebenarnya ada banyak bentuk-bentuk
agresif atau kekerasan yang sudah lama
terjadi di sekolah-sekolah misalnya
intimidasi dari teman-teman, pemalakan,
pengucilan diri dari teman-temannya yang
biasa disebut dengan bullying. Hal tersebut
bisa terjadi karena faktor keluarga, dimana
anak tumbuh dalam keluarga yang
mengalami disfungsi, kurangnya
komunikasi dan kasih saying antar anggota
keluarga. Kebanyakan dari anak yang
berperilaku menyimpang mengalami
masalah dalam mengendalikan emosi
karena di masa kecil orang tua tidak
memberikan cara mengatasi emosi dengan
baik dalam pola asuhnya (Astuti, 2008).
Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan tren kenakalan dan
kriminalitas remaja di Indonesia mulai dari
kekerasan fisik, kekerasan seksual dan
kekerasan psikis meningkat. Pada tahun
2007 tercatat sebanyak 3145 remaja usia ≤
18 tahun menjadi pelaku tindak kriminal,
tahun 2008 dan 2009 meningkat menjadi
3280 hingga 4123 remaja (BPS, 2010).
Data dari Penelitian dan Pengembangan
(LITBANG) juga menunjukkan di Jakarta,
pada tahun 2010 tercatat 128 kasus
tawuran antar pelajar. Angka tersebut
meningkat lebih dari 100% pada 2011,
yakni 330 kasus tawuran yang
menewaskan 82 pelajar. Pada bulan
Januari-Juni 2012, telah terjadi 139
tawuran yang menewaskan 12 orang
pelajar (Lukmansyah & Andini, 2012).
Pemicu yang umum dari perilaku
agresif tersebut adalah ketika seseorang
mengalami satu kondisi emosi tertentu,
yang sering terlihat adalah emosi marah.
Berdasarkan hasil penelitian Fortuna
(2008) dinyatakan bahwa ada hubungan
pola asuh otoriter dengan perilaku agresif
tersebut. Pola asuh yang tidak tepat dalam
menanggulangi emosi anak di masa kecil
seperti tantrum dan negativism dapat
mempengaruhi kematangan mental yang
akan membentuk sikap diri anak di masa
dewasa.
Berdasarkan data dari Dinas
Kesehatan kota Padang, didapatkan data
sasaran anak program kesehatan kota
Padang tahun 2014 dimana jumlah anak 1-
5 terbanyak terdapat di Puskesmas Lubuk
Buaya dengan jumlah balita 8.172 orang.
Disusul dengan Puskesmas Andalas 6.454
orang dan Puseksmas Pauh 5.115 orang.
Berdasarkan data yang di dapatkan dari
Puskesmas Lubuk Buaya tahun 2009-2014
jumlah anak yang berusia 3-5 tahun adalah
sebanyak 1593 dan dari 25 RW yang ada
di kelurahan lubuk buaya, RW 04
memiliki jumlah anak 3-5 tahun terbanyak
dengan jumlah 284 anak.
Studi pendahuluan yang dilakukan
di RW 04 Kelurahan Lubuk Buaya dimana
dari dua belas anak 3-5 yang diamati
terdapat delapan anak yang mengalami
gejala temper tantrum. Ditemukan enam
ibu dari dua belas ibu yang diwawancarai
mengatakan anaknya mengalami tindakan
yang mengarah ke temper tantrum seperti
menjerit- jerit, menangis keras dan
berguling- guling di lantai jika sedang
marah. Ibu juga mengaku anaknya suka
memaksakan kehendak dan menjadi
mudah mengamuk. Kemudian tujuh dari
ibu yang diwawancarai didapatkan data
bahwa dalam memberikan pola asuh ibu
lebih memegang peran pola asuh
dibandingkan ayah. Ibu lebih banyak
menghabiskan waktu bersama anak
dibandingkan ayah. Jadi kebiasaan yang di
terapkan ibulah yang diikuti sang anak,
seperti tidak boleh bayak membeli jajanan
ice cream. Sementara ayah yang sedikit
lebih longgar lebih di sukai oleh anak dan
cenderung mengikuti kemauan anak. Hal
ini menunjukkan terdapat pola asuh yang
tidak sama antara ayah dan ibu juga dapat
memicu temper tantrum.
Ibu mengaku jarang melibatkan
sang anak dalam kegiatan sehari-hari
dikarenakan dapat mengganggu kegiatan
sehari dan ayah lebih cendrung
memanjakan anak. Tiga pasang orang tua
bahkan jarang berkomunikasi dengan sang
anak karena sibuk bekerja. Orang tua juga
jarang memberikan apresiasi kepada apa
yang dilakukan anak, jika ibu meminta
tolong pada anak, ibu jarang memberikan
pujian karena ibu menganggap hal itu
sudah wajar dilakukan bila ibu meminta
bantuan anak.
METODE PENELITIAN
Rancangan penelitian ini
menggunakan penelitian diskriptif korelasi
untuk mengetahui hubungan antara variabel
yang satu dengan variabel yang lain.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan potong lintang (Cross
Sectional), dimana variabel sebab atau
variabel bebas yaitu pola asuh dan variabel
akibat atau variabel terikat yaitu temper
tantrum pada anak diukur dalam waktu yang
bersamaan dan sesaat (Notoatmodjo, 2004).
Populasi dalam penelitian ini
adalah semua ibu yang memiliki anak usia 37-
71 bulan yang terdapat di RW 04 Kelurahan
Lubuk Buaya berjumlah 284 ibu. Penelitian ini
menggunakan teknik proportional random
sampling karena untuk menentukan proporsi
sampel pada wilayah penelitian. Peneliti juga
menentukan kriteria inklusi dan kriteria
eksklusi sampel.
Kriteria inklusi adalah
karakteristik umum subyek penelitian dari
suatu populasi target dan terjangkau yang akan
diteliti. Karakteristik eksklusi adalah
menghilangkan atau mengeluarkan subyek
yang memenuhi kriteria inklusi dari studi
karena berbagai sebab (Nursalam, 2008).
Penelitian ini menggunakan karakteristik
sebagai berikut. Kriteria inklusi: 1) Usia anak
37-71 bulan; 2) Anak yang memiliki orang tua
dan tinggal bersama dengan orang tuanya; 3)
Orang tua yang mempunyai anak usia 37-71
bulan bertempat tinggal di RW 04 Kelurahan
Lubuk Buaya; 4) Orang tua yang bias
membaca dan menulis; 5) Orang tua yang
bersedia menjadi responden.
Penelitian dilaksanakan di RW 04
Kelurahan Lubuk Buaya 2014. Penelitian ini
dilakukan mulai dari pengajuan judul pada
Agustus 2014 sampai penggandaan skripsi
Januari 2015. Pengumpulan data pada
penelitian ini dilakuan dengan pemberian
langsung dengan memakai kuesioner.
Untuk mengetahui hubungan pola
asuh orang tua dengan temper tantrum pada
anak 3-5 tahun digunakan instrumen berupa
skala. Skala yang digunakan adalah skala pola
asuh dan skala temper tantrum. Skala pola
asuh orang tua dengan skala temper tantrum
merupakan skala model likert. Skala likert
adalah skala yang disusun untuk
megungkapkan sikap pro atau kontra, postif
atau negatif, dan setuju atau tidak setuju
terhadap suatu objek yang terdiri dari lima
alternatif jawaban (Azwar, 2010: 97).
Skala yang disajikan tersebut
dibedakan menjadi dua kelompok item
pertanyan, yaitu item favourable dan item
unfavourable. Item favourable adalah item
yang mempunyai nilai positif atau sesuai
dengan pernyataan, sedangkan item
unfavourable adalah tem yang berlawanan
dengan pernyataan yang sebenarnya.
Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Angket
yang berupa kuesioner tentang hubungan pola
asuh orang tua dengan temper tanrum pada
anak usia 37-71 bulan di RW 04 Kelurahan
Lubuk Buaya. Sebelum penelitian
dilaksanakan, peneliti telah mendapatkan data
anak usia 37-71 bulan dari kader untuk
mengetahui data responden. Peneliti
mendatangi lokasi DI RT 3 didampingi oleh
seorang kader, kemudian untuk RT 1 dan 2
didampingi RT serta karang taruna setempat.
Pada RT 4-6 peneliti didampingin oleh
seorang teman untuk mengumpulkan data.
Dalam mengumpulkan data peneliti
menyerahkan angket dari rumah ke rumah.
Angket dititipkan pada responden, kemudain
di jemput kembali satu sampai 2 hari
kemudian. Pengumpulan data dengan
kuesioner dilakukan sebagai berikut: 1)
Sebelum pengisian kuesioner, peneliti
menjelaskan mengenai tujuan penelitian dan
petunjuk pengisian kuesioner; 2) Responden
menandatangani informed concent bila
bersedia; 3) Responden diberi kesempatan
untuk bertanya, sepanjang itu tidak
mempengaruhi substansi jawaban; 4) Semua
responden bersedia untuk dijadikan
responden; 5) Semua Responden yang
didatangi memenuhi kriteria inklusi; 6)
Responden mengisi semua jawaban pada
angket yang diberikan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Gambaran Umum Penelitian
Pengumpulan data mengenai hubungan
pola asuh orang tua dengan temper tantrum
pada anak usia prasekolah dilakukan pada
tanggal 24 Desember 2014 sampai dengan 3
Januari 2015 di RW 04 Kelurahan Lubuk
Buaya Padang dengan teknik proportional
random sampling. Pengumpulan data
dilakukan dengan memberikan kuesioner pola
asuh orang tua dan temper tantrum yang terdiri
dari 57 pertanyaan kepada 170 responden
yang memenuhi kriteria inklusi sampel. Hasil
penelitian ini disajikan dalam tiga bagian yaitu
hasil univariat, dan bivariat.
Karakteristik Responden Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Anak, Jenis Kelamin, Pendidikan Orang Tua Anak Usia Prasekolah di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya Padang Tahun 2014 (n=170)
No. Karakteristik Responden f %
1. Umur Anak a. 37-47 bulan b. 48-59 bulan c. 60-71 bulan
68 65 37
40,0 38,2 21,8
2. Jenis kelamin a. Laki-laki b. Perempuan
82 88
48,2 51,8
3. Pendidikan Orang Tua a. Pendidikan Dasar (SD) b. Pendidikan Menengah
(SMP-SMA) c. Perguruan Tinggi (D3-
S3)
6
99 65
3,5
58,2 38,2
Berdasarkan tabel 5.1 karakteristik
umur anak, dari 170 orang responden
didapatkan kurang dari setengah atau 68
responden (40%) memiliki anak usia 3 tahun.
Pada karakteristik jenis kelamin, 88 responden
atau lebih dari setengah (51,8%) memiliki
anak berjenis kelamin perempuan. Pada
karakteristik pendidikan, lebih dari setengah
responden (58,2%) berpendidikan menengah
(SMP-SMA) dan sebagian kecil responden
(3,5%) berpendidikan sekolah dasar .
Analisa Univariat
Tabel dibawah ini terlihat distribusi
frekuensi temper tantrum pada anak usia
prasekolah di wilayah kerja Puskesmas Lubuk
Buaya yang terdiri dari 2 kategori yaitu temper
tantrum rendah, dan sedang.
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Temper Tantrum Pada Anak Usia Prasekolah di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya Tahun 2014 (n=170).
No. Temper Tantrum
f %
1. 2. 3
Rendah Sedang Tinggi
56 114
0
32,9 67,1
0
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa dari
170 responden, lebih dari setengah (67,1%)
responden mengalami temper tantrum sedang
pada anak usia prasekolah di Wilayah Kerja
Puskemas Lubuk Buaya Padang tahun 2014.
Berdasarkan tabel dibawah ini terlihat
distribusi frekuensi pola asuh orang tua pada
anak usia prasekolah di wilayah kerja
Puskesmas Lubuk Buaya Padang yang terdiri
dari 3 kategori yaitu pola asuh demokratis,
pola asuh otoriter, dan pola asuh permisif.
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Pola Asuh Orang Tua Pada Anak Usia Prasekolah di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya Tahun 2014 (n=170).
No. Pola Asuh
Demokratis f (%)
1. 2. 3.
Demokratis Otoriter Permisif
64 84 22
37,6 49,4 12,6
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa dari
170 responden sebanyak 84 kurang dari
setengah (49,4%) responden menerapkan pola
asuh otoriter pada anak usia prasekolah. di
wilayah kerja Puskesmas Lubuk Buaya
Padang tahun 2014. Persentase pola adalah
pola asuh permisif dimana hanya sebagian
kecil responden menerapkan pola asuh
permisif (12,6%).
Analisa Bivariat
Analisis bivariat dilakukan dengan uji
statistik Chi Square untuk melihat hubungan
antara variabel independen yaitu pola asuh
orang tua dengan variabel dependen yaitu
temper tantrum yang bersifat kategorik. Hasil
bivariat ditampilkan dalam tabel yang
disajikan dalam bentuk berikut.
Tabel 5.4 Rekapitulasi Hasil Analisis Bivariat (n=170).
Pola Asuh Orang Tua
Temper Tantrum
Rendah Sedang Tinggi Jumlah p
f % f % f % f % 0,000
Demokratis 49
76,6
15 23,4 0 0 64 100
Otoriter 1 1,2 83 98,8 0 0 84 100
Permisif 6 27,3
16 72,7 0 0 22 100
Hubungan Antara Pola Asuh Orang
Tua dengan Temper Tantrum
Berdasarkan tabel 5.4 Responden
yang memiliki pola asuh demokratis
sebagian besar memiliki anak dengan
temper tantrum rendah dengan persentase
76,6%. Pada pola asuh permisif, lebih dari
setengah responden yang memiliki pola
asuh permisif anaknya memiliki temper
tantrum sedang (72,7%). Hubungan pola
asuh dengan tempter tantrum yang
memiliki persentase tertinggi yaitu pola
asuh otoriter (98,8%) atau sebagian besar
responden yang memiliki pola asuh
otoriter memiliki anak bertemper tantrum
sedang. Hasil uji statistik antara pola asuh
orangtua dengan temper tantrum
menunjukkan adanya hubungan yang
bermakna antara pola asuh orang tuas
dengan temper tantrum . Hal ini terlihat
dari nilai p =0,000 (<0,05).
PEMBAHASAN
Temper Tantrum pada Anak Usia
Prasekolah
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sebanyak 114 atau lebih dari
setengah responden memiliki anak yang
mengalami temper tantrum sedang yaitu
67,1% sedangkan presentasi temper
tantrum rendah pada responden sebesar
32,9%. Hasil penelitian tidak
didapatkannya anak yang memiliki temper
tantrum tinggi. Usia 3 tahun merupakan
usia tahap akhir dimana anak mengalami
temper tantrum (Suryadi, 2007). Analisa
dari jawaban responden pada kuesioner
didapatkan bahwa lebih dari setengah
responden (62%) menjawab mempunyai
anak yang belum dapat menerima keadaan
apabila kebutuhannya tidak terpenuhi
(pertanyaan nomor 9). Kemudian 60%
responden menjawab anaknya
menghentakkan kaki dan berguling-guling
di lantai bahkan menendang barang di
sekitarnya ketika anak mengamuk
(pertanyaan nomor 1 dan 7).
Menurut Siagian, (2009) anak-anak
banyak mengalami temper tantrum pada
usia 3 tahan 4 tahun dibandingkan dengan
usia 5-6 tahun, hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan dan dapatkan
data anak-anak banyak mengalami temper
tantrum pada usia 3 tahun (40%) dan 4
tahun (38,2%) dibandingkan dengan usia
5 tahun (21,8%). Secara teori menurut
(Siagian, 2009) usia berkaitan dengan
tingkat kedewasaan seseorang atau
maturitas, dalam arti semakin
meningkatnya umur seseorang maka akan
meningkat pula kedewasaan secara teknis
dan psikologis serta mampu melaksanakan
tugasnya.
Peneliti mendapatkan data
persentasi dimana sebagian besar anak
berusia 3 tahun (80,9%) memiliki temper
tantrum sedang. Sebagian besar anak
berusia 4 tahun bertemper tantrum sedang
dengan persentase 76,9%. Sedangkan anak
yang berusia 5 tahun memiliki persentasi
terendah yang mengalami temper tantrum
sedang yaitu 24,3% atau hanya sebagian
kecil dari seluruh responden.
Peneliti berpendapat bahwa
mayoritas anak berusia 3 tahun (40%) dan
4 tahun (38,2%) yang mengalami temper
tantrum dapat disebabkan oleh faktor usia
dimana anak usia 3 karena kemampuan
berbicaranya masih terbatas makan anak
tersebut masih mengalami kesulitan
mengungkapkan emosinya, sehingga anak
menuangkannya dalam bentuk temper
tantrum. Sementara anak berusia 5 tahun
sudah mulai mengerti banyak hal yang
didengar dan dilihat dan sudah mulai bisa
mengendalikan emosi sehingga temper
tantrum pada usia 5 tahun lebih rendah.
Jadi dapat disimpulkan anak usia
prasekolah pada RW 04 Kelurahan Lubuk
Buaya tahun 2014, jumlah anak yang
mengalami temper tantrum sedang
terbanyak berada di usia 3-4 tahun dengan
temper tantrum sedang.
Pola Asuh Orang Tua Pada Anak Usia
Prasekolah
Berdasarkan hasil penelitian yang
terdapat pada tabel 5.3 diketahui bahwa
sejumlah 170 ibu dengan persentase 32,4%
atau kurang dari setengah menggunakan
pola asuh demokratis. Dibandingkan
dengan pola asuh demokratis, pola asuh
otoriter lebih banyak digunakan oleh
responden. Hal ini terlihat dimana lebih
dari setengah (52,4%) ibu menggunakan
pola asuh otoriter. Analisa peneliti
terhadap jawaban responden mengenai
pola asuh yang mereka terapkan pada anak
terlihat dari 61% atau lebih dari setengah
responden membiasakan anak mereka
untuk makan pada waktu yang tepat
(pertanyaan nomor 5), seterusnya
sebanyak 62% responden mengharuskan
anak untuk mematuhi peintah orang tua
dan kegiatan anak sehari-hari sudah
dijadwalkan oleh orang tua (pertanyaan
nomor 12 dan 13). Kemudian jawaban
tertinggi yang deriberikan responden
dimana 61% atau lebih dari seengah orang
tua jarang mendengarkan cerita dari anak
mereka (pertanyaan nomor 4).
Seperti yang diungkapkan oleh
Hurlock (2010:95) bahwa pola asuh
otoriter sering digunakan untuk anak kecil,
karena anak-anak tidak mengerti
penjelasan sehingga mereka memusatkan
perhatian pada pengendalian otoriter.
Banyak responden yang memiliki pola
asuh otoriter terjadi karena dari hasil
penelitian yang dilakukan dimana kurang
dari setengah (48,9%) orang tua
berpendidikan menengah memiliki anak
bertemper tantrum sedang sehingga dalam
memberikan pola asuh otoriter orang tua
belum bisa menempatkan pola asuh
otoriter di situasi yang tepat terhadap anak.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian
yag dilakukan Kirana dimana 45% atau
kurang dari setengah responden
menerapkan pola asuh otoriter.
Kecendrungan responden lebih banyak
menerapkan pola asuh otoriter dapat
berhubungan dengan pendidikan yang
dimilik responden. Sebagian besar
responden berpendidikan menengah atas
(SMP-SMA).
Dilihat pada tabel 5.3 persentase
ibu yang menggunakan pola asuh permisif
adalah yang terkecil sebesar 14,1% atau
hanya sebagian kecil responden
menggunakan pola asuh permisif.
Berdasarkan jawaban yang diberikan
responden lebih dari setengah orang tua
(55%) membiarkan anak mereka bermain
sepuasnya, tetapi berdasarkan pertanyaan
nomor 25, responden hampir setengah
memberikan jawaban cuek kepada anak
ketika anak sedang sedih. Hal ini
menunjukkan bahwa orang tua sebenarnya
tidak bermaksud menelantarkan anak
sepenuhnya. Sebenarnya, orang tua yang
memberikan jawaban tersebut hanya tidak
ingin konflik dengan anaknya (Debri,
2008). Penelitian yang dilakukan oleh
Nurradiyah menunjukkan bahwa hanya
sebgian kecil orang tua yang menerapkan
pola asuh permisif pada anak autis.
Penelitian yang dilakukan juga sejalan
dengan penelitian Kirana dimana 14% atau
hanya sebagian kecil orang tua yang
memiliki pola asuh permisif.
Sebagaimana yang kita ketahui
pola asuh adalah pola interaksi antara
orang tua dan anak, apabila orang tua
merespon anak mereka dengan bijak maka
anak akan dapat bersikap dengan baik
karena orang tua mereka memberikan
contoh yang baik pula termasuk caranya
menerapkan aturan, mengajarkan
nilai/norma, memberikan perhatian dan
kasih sayang serta menunjukkan sikap dan
perilaku yang baik sehingga dijadikan
contoh/ panutan bagi anaknya. Fungsi
pokok dari pola asuh orang tua adalah
untuk mengajarkan anak menerima
pengekangan-pengekangan yang
diperlukan dan membantu mengarahkan
emosi anak ke dalam jalur yang berguna
dan diterima secara sosial Shanti, (2009).
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan niniek tahun 2011 menunjukkan
hubungan antara pendidikan orang tua
dengan pola asuh. Terdapat pengaruh
positif bahwa jika tingkat pendidikan
orang tua semakin baik dalam mendidik
maka semakin baik pula hasil pola asuh
terhadap anak. Hasil riset dari Sir Godfrey
Thomson menunjukkan bahwa pendidikan
diartikan sebagai pengaruh lingkungan
atas individu untuk menghasilkan
perubahan-perubahan yang tetap atau
permanen di dalam kebiasaan tingkah
laku, pikiran dan sikap. Orang tua yang
sudah mempunyai pengalaman
sebelumnya dalam mengasuh anak akan
lebih siap menjalankan peran asuh, selain
itu orang tua akan lebih mampu
mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan
perkembangan yang normal (Supartini,
2004).
Orang tua dengan latar belakang
pendidikan tinggi akan bersikap lebih siap
dalam mengasuh anaknya, karena
pengetahuan yang luas diperoleh melalui
kegiatan membaca artikel ataupun
mengikuti kemajuan mengenai
perkembangan anak. Orang tua yang
berpendidikan tinggi juga lebih bisa,
berpikir kritis atas apa yang mereka
dapatkan, sehingga mereka bisa memilah
apa yang baik dan tidak untuk mereka
lakukan terhadap anaknya (Subhan, 2010).
Disimpulkan hasil dari penelitian bahwa
responden lebih banyak menerapkan pola
asuh otoriter yang memiliki persentasi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pola asuh demokratis dan permisif.
Hubungan Pola Asuh Orang Tua
Dengan Temper Tantrum Pada Anak
Usia Prasekolah
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dari 170 responden yang diteliti,
terdapat 49 responden atau sebagian besar
memiliki pola asuh demokratis (76,6%)
mempunyai anak mengalami temper
tantrum rendah. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa responden yang
memiliki pola asuh demokratis umumnya
memilik anak yang mengalami temper
tantrum pada taraf rendah. Berdasarkan
hasil uji chi square, didapatkan nilai
p=0,000 yang mana jika p<0,05
menunjukkan adanya hubungan pola asuh
dengan temper tantrum pada anak usia
prasekolah. Hubungan pola asuh
demokratis dengan temper tantrum dapat
ditunjukkan melalui teori yang
dikemukakan oleh (Hasan, 2011) dimana
ketika orang tua menggunakan pola asuh
demokratis maka temper tantrum akan
rendah.
Sejalan dengan penelitian Kirana
(2013), menunjukkan bahwa keterkaitan
antara pola asuh demokrais dengan temper
tantrum anak, dapat disimpulkan bahwa
samakin demokratis orang tua terhadap
anak maka akan berbanding terbalik
dengan peningkatan temper tantrum pada
anak. Hal ini dikarenakan apabila orang
tua sudah menerapkan pola asuh yang baik
dengan menerapkan pola asuh demokratis
dapat mendorong anak agar mandiri tetapi
masih menerapkan batas-batas dan
pengendalian atas tindakan-tindakan yang
akan dilakukan oleh anak. Apabila kondisi
emosi anak sudah dapat terkendali dengan
baik maka tingkat agresif anak yang
disalurkan melalui temper tantrum akan
menurun.
Penelitian Triani (2010) pada ank
toddler di jawa tengah mengemukakan
bahwa mayoritas orang tua yang
menerapkan pola asuh demokratis
memiliki anak dengan perkembangan
sosial yang normal, dibandingkan dengan
orang tua yang menerapkan pola asuh
otoriter cenderung memiliki anak dengan
perkembangan personal sosial yang tidak
normal. Anak yang diasuh dengan pola
asuh demokratis biasanya dapat
berkomunikasi dengan orang tua dengan
lancer sehingga setiap persoalan yang
dialami anak dapat disalurkan dalam
suasana dialogis. Dengan demikian, stress
dan frustasi yang marupakan penyebab
agresifitas tidak muncul dan
perkembangan personal sosial anak dapat
berkembang secara normal.
Pada penggunaan pola asuh
demokratis terbukti akan mengurangi
intensitas temper tantrum. Musyawarah
untuk pengambilan setiap keputusan dan
orang tua memperlihatkan kehangatan
serta kasih sayang kepada anak. Dengan
cara demokratis ini pada anak akan
tumbuh rasa tanggungjawab untuk
memperlihatkan sesuatu tingkahlaku dan
selanjutnya memupuk rasa percaya
dirinya. Anak akan mampu bertindak
sesuai norma dan menyesuaikan diri
dengan lingkungannya. Pola asuh
demokratis merupakan model pola asuh
yang paling ideal dalam pendidikan anak.
Anak akan semakin termotivasi dalam
melakukan kegiatan karena adanya
kepercayaan diri yang diberikan oleh
orang tua, sehingga semakin bertanggung
jawab.
Pada penelitian ini persentase
responden yang memiliki pola asuh
otoriter, umumnya sebagian besar anak
responden mengalami temper tantrum
sedang yaitu (98,8%) dari pada responden
yang memiliki anak dengan temper
tantrum rendah (1,2%). Hasil penelitian ini
sejalan dengan teori yang dikemukakan
oleh Hasan (2011: 187) bahwa orang tua
mengasuh anak berperan untuk
menyebaban tantrum, semakin orang tua
bersikap otoriter, semakin besar
kemungkinan anak bereaksi dengan
amarah.
Penelitian Subhan Syam (2010) di
Surabaya menunjukkan bahwa pola asuh
otoriter cenderung menimbulkan
ketegangan dan ketidaknyamanan di
lingkungan rumah karena orang tua
bersikap memaksa dan selalu menuntut
kepatuhan anak, agar bertingkah laku
seperti yang dikehendaki oleh orang
tuanya. Akibat dari pola asuh otoriter
inilah yang menyebabkan anak merasa
dikekang dan anak menunjukkan rasa tidak
nyamannya melalui temper tantrum.
Menurut Soetjiningsih (2012:216)
efek pengasuhan otoriter, antara lain anak
mengalami inkompetensi sosial, sering
merasa tidak bahagia, kemampuan
komunikasi lemah, tidak memiliki inisiatif
melakukan sesuatu, dan kemungkinan
berperilaku agresif. Menghukum dan
mengancam akan menjadikan anak patuh
di hadapan orang tua, tetapi di
belakangnya ia akan menentang atau
melawan karena anak merasa dipaksa.
Reaksi menentang bisa ditampilkan dalam
tingkahlaku- tingkahlaku yang melanggar
norma-norma lingkungan rumah, sekolah,
dan pergaulan dimasa mendatang .
Dengan demikian pengasuhan yang
otoriter akan berdampak negatif terhadap
perkembangan anak kelak yang pada
gilirannya anak sulit mengembangkan
potensi yang dimiliki, karena harus
mengikuti apa yang dikehendaki orangtua,
walau bertentangan dengan keinginan
anak. Pola asuh ini juga dapat
menyebabkan anak menjadi depresi dan
stres karena selalu ditekan dan dipaksa
untuk menurut apa kata orangtua, padahal
mereka tidak menghendaki.
Dapat disimpulkan bahwa pola
asuh otoriter yang diterapkan pada anak
mengakibatkan anak mengalami temper
tantrum. Hal tersebut dapat terlihat dari
responden yang memiliki anak dengan
temper tantrum sedang menerapkan pola
asuh otoriter dengan persentase tertinggi
dibandingkan demokratis dan permisif.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dari 170 responden yang diteliti,
terdapat 22 orang responden memiliki pola
asuh permisif dan 16 responden (72,7%)
atau lebih dari setengah responden dengan
pola asuh permisif mempunyai anak
mengalami temper tantrum sedang. Pada
penerapan pola asuh permisif dimana pola
asuh ini memperlihatkan bahwa orang tua
cenderung memberikan banyak kebebasan
kepada anaknya dan kurang memberikan
kontrol. Orang tua banyak bersikap
membiarkan apa saja yang dilakukan anak.
Orangtua bersikap damai dan selalu
menyerah pada anak, untuk menghindari
konfrontasi. Orang tua kurang memberikan
bimbingan dan arahan kepada anak. Anak
dibiarkan berbuat sesuka hatinya untuk
melakukan apa saja yang mereka inginkan,
sehingga anak akan menggunakan
amarahnya untuk mendapatkan apa yang ia
inginkan (Kirana, 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh
Kirana menujukkan adanya hubungan
antara pola asuh permisif dengan temper
tantrum hal ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh peneliti
dimana orang tua yang memiliki pola asuh
permisif sebagian besar masih memiliki
anak dengan temper tantrum sedang.
Berdasarkan ketiga pola asuh yang
diteliti, responden cendrumg memiliki pola
asuh otoriter pada anak usia prasekolah.
Faktor-faktor yang terlihat berdasarkan
hasil penelitian adalah pendidikan orang
tua yang sebagian besar berada pada
pendidikan menengah dan usia anak yang
banyak mengalami temper tantrum berada
pada usia 3 tahun. Orang tua yang
memiliki pendidikan menengah tidak
sebijak orang tua yang memiliki
pendidikan tinggi dalam memberikan
asuhan. Sehingga orang tua yang
cenderung memberikan pola asuh otoriter
dan menyebabkan temper tantrum pada
anak.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan mengenai Hubungan Pola
Asuh Orang Tua dengan Temper Tantrum
Pada Anak Usia Prasekolah di Wilayah
Kerja Puskesmas Lubuk Buaya Tahun
2014, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut : 1) Pola asuh orang tua
pada anak usia prasekolah di Wilayah
Kerja Puskesmas Lubuk Buaya Lubuk
Buaya menunjukkan bahwa kurang dari
setengah responden memiliki pola asuh
otoriter sebesar 49,4%. 2) Lebih dari
setengah (67,1%) Responden mempunyai
anak dengan temper tantrum sedang. 3)
Ada hubungan bermakna antara pola asuh
dengan temper tantrum pada anak
prasekolah (p= 0,000).
Saran
Saran-saran yang disampaikan berdasarkan
penelitian yang dilakukan adalah:
1. Bagi Puskesmas/ Institusi Pelayanan
Kesehatan
Berdasarkan hasil penelitian
direkomendasikan bagi puskesmas untuk
mengadakan penyuluhan atau konseling
kepada orang tua mengenai pola asuh dan
menyarankan orang tua bahwa anak usia
prasekolah sebaiknya diasuh dengan pola
asuh demokratis. Apabila orang tua dapat
menggunakan pola asuh dengan bijak sesuai
denga situasi dan kondisi anak, hal ini dapat
membantu meningkatkan perkembangan
anak yang lebih baik khususnya
perkembangan emosi, psikologis dan sosial
anak..
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat
menjadi acuan penelitian bagi peneliti
selanjutnya, dan peneliti selanjutnya dapat
menghubungan temper tantrum dengan
variabel yang lain seperti pendidikan orang
tua kemudian menghubungkan aspek pola
asuh dengan usia dan pekerjaan orang tua
sehingga mampu memberikan sumbangan
yang lebih besar terhadap kajian
keperawatan. Peneliti selanjutnya yang
tertarik untuk meneliti tentang temper
tantrum pada anak disarankan untuk
menggunakan teknik wawancara kepada
responden agar mendapatkan hasil yang
lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Ari, S. (2014). Deteksi tumbuh kembang
anak. Jakarta: Salemba Medika.
Arikunto, S (2010). Prosedur penelitian.
Jakarta: Rineka Cipta.
Astuti, R. P. (2008). Meredam Bullying (3 cara efektif mengatasi kekerasan pada anak). Jakarta: Grasindo.
Barbara, K. (2010). Buku ajar fundamental keperawatan (7 ed., Vol. 1). Jakarta: EGC.
BPS. (2010, Juli 30). Profil kriminalitas
remaja. p. http://www.bps.go.id.
Chaplin, J. (2009). Kamus lengkap
psikologi. Jakarta: Rajawali Pers.
Dariyo, A. (2004). Psikologi perkembangan anak remaja. Bogor: GhaliaIndonesia.
Dariyo, A. (2007). Psikologi perkembangan anak tiga tahun pertama. Bandung: Refika Aditama.
Drey, C. E. (2006). Ketika anak sulit diatur: panduan orang tua mengubah masalah perilaku anak. Bandung: PT. Miza Pustaka.
Fortuna, F. (2008). Hubungan pola asuh otoriter dengan perilaku agresif pada remaja. Diperoleh tanggal 24 Agustus 2014 dari http://www.unadarma.ac.id. Menghadapi dan mengatasi anak yang suka ngamuk. Jakarta: PT Gramedia.
Hayes, E. (2004). Tantrum. Jakarta:
Erlangga.
Hidayat, A. (2011). Metode penelitian keperawatan dan teknik analaisis data edisi pertama . Jakarta : Salemba Medika
Hurlock, E. (2010). Perkembangan anak
jilid II. Surabaya: Erlangga.
Hurlock, E. (2000). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang Rentang hidu. Jakarta: Erlangga
Jas & Rahmadiana. (2004).
Mengkomunikasikan moral pada anak. Jakarta: PT Elex Komputindo.
Kartono, K. (1991). Bimbingan bagi Abak
dan Remaja yang Bermasalah. Jakarta: CV. Rajawali.
Kirana, R.S. (2013). Hubungan Pola Asuh
Dengan Temper Tantrum Pada Anak Usia 1-6 Tahun. [Skripsi]. Semarang: Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang
Lukmansyah, D & Andini, P. (2012). Data
tawuran pelajar selama 2010-2012. Diperoleh tanggal 10 November 2014 dari http:///video.tvOneNews.antaranews.tv/arsip.
Laurent, S. (2007). Ensiklopedia perkembangan bayi: apa yang terjadi dari 0 hingga 2 tahun, trans: Andre lucman, inswasti cahyani, Jakarta, Erlangga.
Meadow, S.R. Newell, S.J. (2009). Pediatrika 7th ed. Alih bahasa. Kripti Hartini,
Asri Dwi Rachmawati. Jakarta :
Erlangga.
Notoadmojo, S. (2004), Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
__________, (2005), Metodologi
penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
__________, (2010), Metodologi riset
keperawatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nurradiyah. (2010). Hubungan pola asuh orang tua terhadap intensitas temper tantrum pada anak autis di SLB Bhakti Luhur Malang. [Skripsi]. Malang: Fakultas Psikologi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Nursalam, S. P. (2001), Pendekatan
praktis metodologi riset keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.
Nursalam, S. P. (2008), Konsep dan
penerapan metodologi penelitian
ilmu keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Nursalam, Susilaningrum, R., & Utami, S.
(2005). Asuhan keperawatan bayi dan anak . Jakarta: Salemba Medika.
Potegal, M., Kosorok, M., & Davidson, R.
(2003). Temper tantrums in young children. Journal of developmental and behavioral pediatrics (Vol.24, No.3, June 2003).
Potter, P. (2009). Buku Ajar Fundamental Keperawatan :konsep, proses, dan
praktik, trans. Asih, Yasmin, &
Ester, Monica, EGC, Jakarta.
Potter, P & Perry. (2006), Fundamental Keperawatan, Edisi 2, EGC, Jakarta Tandry, N. 2010. Bad behaviour, tantrums, and tempers. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Salkind, Neil J. (2002). Child Developmen.
USA: Macmillan Reference.
Sastroasmoro, S., Ismael, S. (2011). Studi cross-sectional. In : Ghazali, M.V. Sastromihardjo, S., Soedjarwo, S.R., Soelaryo, T., Pramulyo, H.S., ed. Dasar dasar metodologi penelitian klinis. 4th ed. Jakarta : Sagung Seto.
Shanti, I. T. (2009). Pola asuh anak usia
dini. Jakarta: Rineka Cipta
Siregar (2010). Masa balita masa keemasan (dalam halo balita-panduan untuk ayah dan ibu), http://niniw.multiply.com/journal/item dilihat pada tanggal 31 Oktober 2014.
Soetjiningsih. (2008). Buku ajar tumbuh kembang anak dan remaja. Jakarta. : Sangung Seto
Soetjiningsih, Christiana Hari. 2012. Perkembangan Anak. Jakarta: Prenada
Media Group.
Sugiyono, (2007), Statistika untuk
penelitian. Bandung: Alfabeta.
________, (2009). Statistika untuk
penelitian. Bandung: Alfabeta.
Suryadi. (2007). Cara Efektif Memahami Perilaku Anak Usia Dini. Jakarta: EDSA Mahkota.
Tarmizi, R. (2010). Pola asuh orang tua dalam mengarahkan perilaku anak. diakses pada tanggal 14 November 2014 dari http://tarmizi.wordpress.com/2009/01/26/pola-asuh-orang-tua dalam mengarahkan-perilaku-anak/.
Uyanto, S. S. (2006). Pedoman analisis data dengan SPSS. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Wong, D. (2009) Buku ajar keperawatan pediatrik, trans. Agus Sutarna, Neti Juniarti,H.Y. Kuncara. Jakarta: EGC.
Yuliasanti, T. (2013). Pola asuh dan perkembangan personal sosial anak toddler. [Jurnal]. Klatens
Zaviera, F. (2008). Mengenali & memahami tumbuh kembang anak. Yogyakarta : Katahati